UNIVERSITAS JAMBI
2022
1
HALAMAN PENGESAHAN
Disusun Oleh :
R. A. Ratu Dania
G1A221061
PEMBIMBING
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah melimpahkan nikmat dan karunia-Nya, sehingga karya tulis ilmiah berupa
Case Report Session yang berjudul “DM Tipe 2 + Chronic Kidney Disease Stage
V” ini dapat diselesaikan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Suhaila, Sp. PD, FINASIM
sebagai pembimbing dalam penulisan karya tulis ilmiah ini yang telah
membimbing penulis selama menjalani kepaniteraan klinik senior di bagian Ilmu
Penyakit Dalam. Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun.
Akhir kata, penulis berharap semoga karya tulis ilmiah ini dapat
bermanfaat untuk penulis, pembaca, dan dunia kesehatan.
Penulis
3
DAFTAR ISI
4
BAB I
PENDAHULUAN
Faktor resiko diabetes melitus terdiri dari faktor yang dapat dimodifikasi dan
faktor yang tidak dapat dimodifikasi. Sementara itu, gejala klasik dari DM terdiri
dari poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan. Pemeriksaan
penunjang untuk mendiagnosis DM dapat menggunakan pemeriksaan gula darah
dan HbA1c. Komplikasi DM dikelompokkan menjadi 2, yaitu komplikasi akut
dan komplikasi kronik. Komplikasi akut DM meliputi ketoasidosis diabetikum
(KAD) dan hipoglikemia. Komplikasi kronik dapat dibedakan menjadi komplikasi
mikrovaskular dan makrovaskular. Komplikasi mikrovaskular mencakup
nefropati, retinopati, dan neuropati. Komplikasi yang mengenai pembuluh darah
besar adalah penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskular, dan penyakit
pembuluh darah perifer.
5
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 Anamnesis
A. Riwayat Penyakit Sekarang
1. Keluhan Utama
Lemas memberat sejak 1 minggu SMRS
2. Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien datang ke poli penyakit dalam RSUD Abdul Manap dengan
keluhan lemas memberat sejak 1 minggu SMRS. Lemas
menyebabkan pasien sulit beraktivitas dan tidak kuat untuk
berjalan. Pasien lebih banyak duduk dan berbaring. Keluhan
kelemahan pada lengan dan tungkai tidak ada. Pasien juga
mengeluhkan sakit kepala yang dirasakan seperti terikat dan
berdenyut-denyut. Keluhan pusing berputar tidak ada.
Keluhan juga disertai dengan batuk berdahak sejak 3 hari SMRS.
Dahak berwarna kuning dengan volume ½ sdm saat batuk, tidak
ada darah, dan tidak disertai bau yang menyengat. Batuk memberat
saat suhu dingin. Batuk tidak dipicu oleh aktivitas fisik, debu,
emosi, asap rokok, dan bau yang menyengat. Keluhan sesak dan
nyeri dada tidak ada.
Selain itu, pasien mengeluhkan adanya penurunan berat badan ±7
kg dalam 2 minggu terakhir. Pasien mudah merasa haus dan lapar
6
namun nafsu makan berkurang. Pasien kadang juga merasa mual
dan kebas pada kedua kaki. Pasien mengaku BAK menjadi lebih
sering, urin berwarna kuning pekat dan tidak ada nyeri saat BAK.
Keluhan BAB tidak ada.
Pasien memiliki riwayat konsumsi obat glimepiride dan
amlodipine tidak teratur.
B. Riwayat Penyakit Dahulu
• Riwayat DM sejak ± 10 tahun yang lalu dan tidak teratur
mengonsumsi obat glimepiride.
• Riwayat hipertensi diketahui sejak 2 tahun yang lalu dan tidak
teratur mengonsumsi obat amlodipine.
• Riwayat penyakit ginjal sejak 1 tahun yang lalu.
• Riwayat obesitas ada dengan berat badan 55 kg.
• Riwayat penyakit jantung tidak ada.
• Riwayat asma tidak ada.
• Riwayat TB paru tidak ada.
C. Riwayat Penyakit Keluarga
• Riwayat DM tidak ada.
• Riwayat TB paru tidak ada.
• Riwayat penyakit jantung tidak ada.
• Riwayat penyakit ginjal tidak ada.
D. Riwayat Sosial Ekonomi
• Pasien bekerja sebagai pedagang di pasar.
• Rumah pasien memiliki ventilasi yang baik.
• Pasien tidak merokok dan tidak mengonsumsi alkohol.
7
Tekanan darah : 165/90 mmHg
Nadi : 96 x/menit
Pernapasan : 22 x/menit
Suhu : 36,9 °C
SpO2 : 97%
Status Gizi
BB : 31 kg
TB : 148 cm
IMT : 14,15 kg/m2 (underweight)
8
• Mulut dan Gigi
- Bentuk : normal
- Bibir : kering (-)
- Karies :-
- Lidah : lidah kotor (-), atrofi papil(-)
• Faring
- Hiperemis :-
- Edema :-
- Membran / pseudomembran : -
• Tonsil
- Warna : normal
- Pembesaran :-
- Abses :-
- Membran / pseudomembran : -
• Leher
- Pembesaran kelenjar leher :-
- Massa :-
3. Thoraks
• Jantung
- Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : ictus cordis teraba di ICS VI
linea midclavicular sinistra
- Perkusi : tidak diperiksa
- Auskultasi
o Suara dasar : S1 S2 reguler
o Murmur :-
o Gallop :-
• Paru
Inspeksi : Bentuk : simetris
Retraksi :-
9
Pernapasan : 22 x/menit
Sternum : normal
Palpasi : Fremitus taktil : normal
Perkusi : sonor (+/+)
Auskultasi : Suara nafas dasar : vesikuler (+/+)
Suara nafas tambahan: -/-
• Abdomen
Inspeksi : Bentuk : soepel, datar
Auskultasi :Bising usus : 8 x/menit
Palpasi : Nyeri tekan :-
Nyeri lepas :-
Defans muscular :-
Turgor : normal
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Ginjal : tidak teraba
Massa :-
Perkusi : Timpani :+
Ascites :-
Nyeri ketok CVA : -/-
4. Ekstremitas
• Superior : akral dingin, CRT < 2 detik,
clubbing finger (-/-), edema
(-/-), kuku sendok (-/-)
• Inferior : akral dingin, CRT < 2 detik,
clubbing finger (-/-), edema
(-/-), kuku sendok (-/-)
5. Genitalia : tidak diperiksa
10
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan
Hasil Nilai Normal
Laboratorium
Hematologi (2/11/2022)
RBC 2,56 x 1012 (L) 3,50-5,50 x 1012/l
MCV 83,8 75-100 fl
RDW% 14 11-16%
RDWa 68,9 30-150 fl
HCT 21,5 (L) 35-55%
9
PLT 531 x 10 (H) 150-400 x 109/l
MPV 6,5 (L) 8-11 fl
PDW 9,7 0,1-99,9 fl
PCT 0,34 0,01-9,99%
LPCR 8,2 0,1-99,9%
WBC 22,8 x 109 (H) 4-10 x 109/l
HGB 7,8 (L) 11,5-16,5 g/dl
MCH 30,5 25-35 pg
MCHC 36,4 31-38 g/dl
9
LYM 2,2 x 10 0,5-5,0 x 109/l
GRAN 17,9 x 109 (H) 1,2-8,0 x 109/l
MID 2,7 x 109 (H) 0,1-1,5 x 109/l
LYM% 9,8 (L) 15-50%
GRA% 78,5 35-80%
MID% 11,7 2-15%
Kimia Klinik (2/11/2022)
HbA1c 6,6 (H) < 6,5%
GDS 331 (H) <200 mg/dl
Ureum 156 (H) 15-39 mg/l
Creatinin 5,6 (H) 0,6-1,1 mg/l
SGOT 13 < 40 mg/l
SGPT 12 < 41 mg/l
Profil Lipid (3/11/2022)
HDL 32 (L) >34 mg/dl
11
LDL 100 <120 mg/dl
Trigliserida 90 <150 mg/dl
Cholesterol total 150 <200 mg/dl
Interpretasi : anemia normositik normokromik, leukositosis, trombositosis,
hiperglikemia
(140−47)𝑥 31 𝑥 0,85
LFG = = 6,08 (CKD stage V)
72 𝑥 5,6
12
2.5 Pemeriksaan Anjuran
- Pemeriksaan kadar gula darah dan HbA1c secara rutin
- Pemeriksaan elektrolit dan albumin
- Pemeriksaan urinalisis
- Pemeriksaan USG abdomen
- Pemeriksaan TCM
- Pemeriksaan echocardiography
2.6 Diagnosis
Diagnosis primer : Diabetes mellitus tipe 2 + chronic kidney disease stage V
Diagnosis sekunder :
- Anemia penyakit kronik
- Hipertensi
- Bronkopneumonia
- Malnutrisi
Diagnosis banding :
- TB paru
2.7 Tatalaksana
Tatalaksana farmakologi :
• IVFD NaCl 0,9% 30 tpm
• IVFD B fluid 1 fls/hari
• Transfusi PRC 2 kolf
• Inj. Omeprazole 2x40 mg
• Inj. Novorapid 3x3 IU
• Inj. Ceftriaxone 2x1 gr
• Azitromicin 1x500 mg
• PO N asetilsistein 3x200 mg
Tatalaksana non farmakologi :
• Pro hemodialisa
• Tirah baring
• Edukasi:
a. Perjalanan penyakit DM dan CKD.
13
b. Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara
berkelanjutan.
c. Penyulit DM dan resikonya.
d. Intervensi non-farmakologis dan farmakologis serta target pengobatan.
e. Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat antihiperglikemia
oral atau insulin serta obat-obatan lain.
f. Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah.
BB Ideal = (148-100) = 48 kg
Faktor tambahan :
2.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
14
2.9 Pemeriksaan Follow Up Harian
Tanggal S O A P
3/11/2022 Lemas KU : tampak sakit sedang DM tipe 2 + • IVFD NaCl
Batuk Kesadaran : composmentis CKD Stage V 0,9% 20 tpm
dahak HR : 99 x/menit • Inj.
berkurang RR : 20 x/menit - Anemia Omeprazole
T : 36,7 C penyakit kronik 2x40 mg
TD : 130/80 mmHg - Hipertensi • NAC 3x1
SpO2 : 96% - Bronko- • Inj.
Head to toe pneumonia Novorapid
Mata : CA (+) SI (-) - Malnutrisi • Inj.
Paru : pergerakan dinding Ceftriaxone
dada simetris, fremitus 2x1 gr
taktil kanan=kiri, sonor • Azitromicin
(+/+), vesikuler (+/+), ronki 1x500 mg
(-), wheezing (-)
• Infus B fluid
Jantung : BJ I & II regular, 1 fls/hari
murmur (-), gallop (-)
• Pro HD
Abdomen : dbn
Ekstremitas : akral dingin,
CRT <2 detik, edem (-)
Pemeriksaan penunjang :
GDP (06.00) : 146 mg/dl
GD2PP (09.00) : 224 mg/dl
GDS (11.00) : 221 mg/dl
4/11/2022 Lemas, KU : tampak sakit sedang DM tipe 2 + • IVFD NaCl
batuk Kesadaran : composmentis CKD Stage V 0,9% 20 tpm
dahak HR : 95 x/menit • Inj.
berkurang, RR : 20 x/menit - Anemia Omeprazole
sakit T : 36,8 C penyakit kronik 2x40 mg
kepala TD : 170/90 mmHg - Hipertensi • NAC 3x1
SpO2 : 97% - Bronko- • Inj.
15
Head to toe pneumonia Novorapid
Mata : CA (+) SI (-) - Malnutrisi • Inj.
Paru : pergerakan dinding Ceftriaxone
dada simetris, fremitus 2x1 gr
taktil kanan=kiri, sonor • Azitromicin
(+/+), vesikuler (+/+), ronki 1x500 mg
(-), wheezing (-) • Infus B fluid
Jantung : BJ I & II regular, 1 fls/hari
murmur (-), gallop (-) • Transfusi
Abdomen : dbn PRC 1 kolf
Ekstremitas : akral dingin, • Pro HD
CRT <2 detik, edem (-)
Pemeriksaan penunjang :
GDP (06.00) : 206 mg/dl
16
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
17
2.3 Faktor Resiko
Faktor resiko diabetes melitus terdiri dari faktor yang dapat dimodifikasi dan
faktor yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi
adalah ras, etnik, umur, jenis kelamin, riwayat keluarga, dengan diabetes melitus,
riwayat melahirkan bayi >4000 gram, riwayat lahir dengan BBLR (<2500 gram).
Faktor resiko yang dapat dimodifikasi yaitu berat badan lebih, obesitas
abdominal/sentral, kurangnya aktifitas fisik, hipertensi, dislipidemia, diet tidak
sehat, dan tidak seimbang (tinggi kalori), kondisi prediabetes, yang ditandai
dengan toleransi glukosa terganggu (TGT 140-199mg/dL) atau gula darah puasa
terganggu (GDPT <140 mg/dL) dan merokok.4,5
2.4 Klasifikasi DM
Klasifikasi DM dapat dilihat pada tabel berikut:
Klasifikasi Deskripsi
Destruksi sel beta, umumnya berhubungan dengan pada
Tipe 1
defisiensi insulin absolut
• Autoimun
• Idiopatik
Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai
Tipe 2
defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek
sekresi insulin disertai resistensi insulin.
18
Tipe spesifik yang • Sindroma diabetes monogenik (diabetes neonatal,
maturity – onset diabetes of the young [MODY])
berkaitan dengan
• Penyakit eksokrin pankreas (fibrosis kistik, pankreatitis)
penyebab lain
• Disebabkan oleh obat atau zat kimia (misalnya
penggunaan
glukokortikoid pada terapi HIV/AIDS atau setelah
transplantasi organ)
Resistensi insulin pada sel otot dan hati, serta kegagalan sel beta pankreas
telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe 2. Hasil
penelitian terbaru telah diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan
lebih berat dari yang diperkirakan sebelumnya. Organ lain yang juga terlibat pada
DM tipe 2 adalah jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal
(defisiensi inkretin), sel alfa pankreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan
absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin), yang ikut berperan menyebabkan
gangguan toleransi glukosa.
19
Secara garis besar patogenesis hiperglikemia disebabkan oleh sebelas hal
(egregious eleven) yaitu:
c) Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas
(free fatty acid (FFA)) dalam plasma. Peningkatan FFA akan
merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin
di hepar dan otot, sehingga mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang
disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoksisitas. Obat yang
bekerja dijalur ini adalah tiazolidinedion.
d) Otot
Pada penyandang DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang
multipel di intramioselular, yang diakibatkan oleh gangguan fosforilasi
tirosin, sehingga terjadi gangguan transport glukosa dalam sel otot,
penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah metformin dan tiazolidinedion.
20
e) Hepar
Pada penyandang DM tipe 2 terjadi resistensi insulin yang berat dan
memicu glukoneogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan
basal oleh hepar (hepatic glucose production) meningkat. Obat yang
bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan proses
glukoneogenesis.
f) Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang
obese baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia
yang merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada
golongan ini asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi
insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah
agonis GLP-1, amilin dan bromokriptin.
g) Kolon/Mikrobiota
Perubahan komposisi mikrobiota pada kolon berkontribusi dalam
keadaan hiperglikemia. Mikrobiota usus terbukti berhubungan dengan
DM tipe 1, DM tipe 2, dan obesitas sehingga menjelaskan bahwa hanya
sebagian individu berat badan berlebih akan berkembang DM. Probiotik
dan prebiotik. diperkirakan sebagai mediator untuk menangani keadaan
hiperglikemia.
h) Usus halus
Glukosa yang ditelan memicu respons insulin jauh lebih besar dibanding
kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek
inkretin ini diperankan oleh 2 hormon yaitu glucagon-like polypeptide-1
(GLP-1) dan glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau
disebut juga gastric inhibitory polypeptide (GIP). Pada penyandang DM
tipe 2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap hormon GIP.
Hormon inkretin juga segera dipecah oleh keberadaan enzim DPP-4,
sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja
menghambat kinerja DPP-4 adalah DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan
21
juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja
enzim alfa glukosidase yang akan memecah polisakarida menjadi
monosakarida, dan kemudian diserap oleh usus sehingga berakibat
meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk
menghambat kinerja enzim alfa glukosidase adalah acarbose.
i) Ginjal
j) Lambung
k) Sistem imun
22
imun bawaan/innate) yang berhubungan kuat dengan patogenesis DM
tipe 2 dan berkaitan dengan komplikasi seperti dislipidemia dan
aterosklerosis. Inflamasi sistemik derajat rendah berperan dalam induksi
stres pada endoplasma akibat peningkatan kebutuhan metabolisme
untuk insulin. DM tipe 2 ditandai dengan resistensi insulin perifer dan
penurunan produksi insulin, disertai dengan inflamasi kronik derajat
rendah pada jaringan perifer seperti adiposa, hepar dan otot.1
Beberapa dekade terakhir, terbukti bahwa adanya hubungan antara obesitas
dan resistensi insulin terhadap inflamasi. Hal tersebut menggambarkan peran
penting inflamasi terhadap patogenesis DM tipe 2, yang dianggap sebagai
kelainan imun (immune disorder). Kelainan metabolik lain yang berkaitan dengan
inflamasi juga banyak terjadi pada DM tipe 2.
Jika konsentrasi glukosa dalam darah melebihi batas ambang ginjal untuk
rearbsorpsi glukosa (160-190 mg/dl), maka glukosa akan diekskresikan dalam
urin (glikosuria). Glikosuria menyebabkan diuresis osmotik dimana pasien
mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria). Polidipsia terjadi sebagai
bentuk kompensasi tubuh ketika kehilangan cairan yang berlebihan. Di dalam
23
hepar juga terjadi proses ketogenesis yang mengakibatkan meningkatnya
konsentrasi keton di dalam darah, menyebabkan terjadinya kondisi asidosis
metabolik yang disebut ketoasidosis diabetikum.7,8
2.6 Diagnosis1,3
Glukosa plasma puasa dianggap normal bila kadar glukosa darah plasma
<126 mg/dl (7 mmol/L). Glukosuria saja tidak spesifik untuk DM sehingga perlu
dikonfirmasi dengan pemeriksaan glukosa darah. Kecurigaan adanya DM perlu
dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
1. Gejala klasik diabetes atau krisis hiperglikemi dengan kadar plasma glukosa
≥200mg/dL (11.1 mmol/L). Atau,
2. Kadar plasma glukosa puasa ≥126 mg/dL. (7.0 mmol/L). Atau,
3. Kadar glukosa 2 jam postprandial >200 mg/dL 11.1 mmol/L) dengan Uji
Toleransi Glukosa Oral. Uji Toleransi Glukosa Oral dilakukan dengan
pemberian beban glukosa setara dengan 75g anhydrous glukosa dilarutkan
dalam air atau 1.75g/kgBB dengan maksimum 75g, atau,
4. HbAlc >6.5%
Petanda ini harus dilakukan sesuai standar National Glycohemoglobin
Standardization Program (NGSP) pada laboratorium yang tersertifikasi dan
terstandar dengan assay Diabetes Control and Complications Trial (DCCT).
24
Pada kasus-kasus yang meragukan seperti penderita yang asimtomatis
dengan hiperglikemia (>200 mg/dL) harus dikonfirmasi dengan kadar GDP atau
TTGO terganggu. Diagnosis tidak ditegakkan berdasarkan satu kali pemeriksaan.
26
e. Pemeriksaan jantung.
f. Evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop.
g. Pemeriksaan kaki secara komprehensif (evaluasi kelainan vaskular,
neuropati, dan adanya deformitas).
h. Pemeriksaan kulit (akantosis nigrikans, bekas luka, hiperpigmentasi,
necrobiosis diabeticorum, kulit kering, dan bekas lokasi penyuntikan
insulin).
i. Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe lain.
3. Evaluasi Laboratorium
a. Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam setelah TTGO.
b. Pemeriksaan kadar HbA1c
B. Penatalaksanaan Khusus
1. Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan
sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang
sangat penting dari pengelolaan DM secara holistik. Materi edukasi
27
terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan materi edukasi tingkat
lanjutan.
2. Terapi nutrisi medis
Prinsip pengaturan makan pada pasien DM hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu.
Pasien DM perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan
jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan kalori, terutama pada mereka
yang menggunakan obat yang meningkatkan sekresi insulin atau terapi
insulin itu sendiri.
Komposisi Makanan yang Dianjurkan terdiri dari:
a) Karbohidrat
▪ Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan
energi. Terutama karbohidrat yang berserat tinggi.
▪ Pembatasan karbohidrat total < 130 g/hari tidak dianjurkan.
▪ Glukosa dalam bumbu diperbolehkan sehingga pasien
diabetes dapat makan sama dengan makanan keluarga yang
lain.
▪ Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
▪ Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat
diberikan makanan selingan seperti buah atau makanan lain
sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
b) Lemak
▪ Asupan lemak dianjurkan sekitar 20 - 25% kebutuhan
kalori, dan tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan
energi.
28
▪ Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak
mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain:
daging berlemak dan susu fullcream.
▪ Konsumsi kolesterol yang dianjurkan adalah < 200 mg/hari.
c) Protein
▪ Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan
asupan protein menjadi 0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari
kebutuhan energi, dengan 65% diantaranya bernilai
biologik tinggi.
▪ Pasien DM yang sudah menjalani hemodialisis asupan
protein menjadi 1 - 1,2 g/kg BB perhari.
Kebutuhan Kalori
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah
150 cm, rumus dimodifikasi menjadi:
1) BB normal : BB ideal ± 10 %
2) Kurus : kurang dari BB ideal – 10%
3) Gemuk: lebih dari BB ideal + 10%
29
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).
Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus :
Klasifikasi IMT :
1) BB kurang < 18,5
2) BB normal 18,5 – 22,9
3) BB lebih ≥ 23,0
Dengan risiko 23,0 – 24,9
Obese I 25,0 – 29,9
Obese II ≥ 30
3. Latihan Fisik
Latihan fisik merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2.
Program latihan fisik secara teratur dilakukan 3 – 5 hari seminggu
selama sekitar 30 – 45 menit, dengan total 150 menit per minggu,
dengan jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Kegiatan
sehari-hari atau aktivitas sehari-hari bukan termasuk dalam latihan fisik.
Latihan fisik selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan
berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan
memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan fisik yang dianjurkan
berupa latihan fisik yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50 –
70% denyut jantung maksimal) seperti jalan cepat, bersepeda santai,
jogging, dan berenang. Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara
mengurangi 220 dengan usia pasien. Pasien diabetes dengan usia muda
dan bugar dapat melakukan 90 menit/minggu dengan latihan aerobik
berat, mencapai > 70% denyut jantung maksimal.
4. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.
30
1. Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat anti-hiperglikemia oral dibagi menjadi 6
golongan:
a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
1) Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia
dan peningkatan berat badan. Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada
pasien dengan risiko tinggi hipoglikemia (orang tua, gangguan fungsi
hati dan ginjal).
2) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya mirip dengan
sulfonilurea, namun berbeda lokasi reseptor, dengan hasil akhir berupa
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini
terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan
Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah
pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini
dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. Efek samping yang
mungkin terjadi adalah hipoglikemia. Obat golongan glinid sudah tidak
tersedia di Indonesia.
b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
1) Metformin
Metformin mempunyai efek utama meng-urangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan
perifer. Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar
kasus DM tipe 2. Dosis metformin diturunkan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal (LFG 30 – 60 ml/menit/1,73 m2). Metformin
tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan LFG <30 mL/menit/1,73
31
m2, adanya gangguan hati berat, serta pasien-pasien dengan
kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis,
renjatan, PPOK, gagal jantung NYHA fungsional class III-IV). Efek
samping yang mungkin terjadi adalah gangguan saluran pencernaan
seperti dispepsia, diare, dan lain-lain.
2) Tiazolidinedion (TZD)
Tiazolidinedion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR- gamma), suatu reseptor inti yang
terdapat antara lain di sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai
efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di
jaringan perifer. Tiazolidinedion meningkatkan retensi cairan tubuh
sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung (NYHA
fungsional class III-IV) karena dapat memperberat edema/retensi cairan.
Hati-hati pada gangguan faal hati, dan bila diberikan perlu pemantauan
faal hati secara berkala. Obat yang masuk dalam golongan ini adalah
pioglitazone.
32
d. Penghambat enzim Dipeptidyl Peptidase-4 (DPP-4 inhibitor)
Dipeptidil peptidase-4 (DPP-4) adalah suatu serin protease, yang
didistribusikan secara luas dalam tubuh. Enzim ini memecah dua asam
amino dari peptida yang mengandung alanin atau prolin di posisi kedua
peptida N-terminal. Enzim DPP-4 terekspresikan di berbagai organ
tubuh, termasuk di usus dan membran brush border ginjal, di hepatosit,
endotelium vaskuler dari kapiler villi, dan dalam bentuk larut dalam
plasma. Penghambat DPP-4 akan menghambat lokasi pengikatan pada
DPP-4 sehingga akan mencegah inaktivasi dari glucagon-like peptide
(GLP)-1. Proses inhibisi ini akan mempertahankan kadar GLP-1 dan
glucose-dependent insulinotropic polypeptide (GIP) dalam bentuk aktif
di sirkulasi darah, sehingga dapat memperbaiki toleransi glukosa,
meningkatkan respons insulin, dan mengurangi sekresi glukagon.
Penghambat DPP-4 merupakan agen oral, dan yang termasuk dalam
golongan ini adalah vildagliptin, linagliptin, sitagliptin, saxagliptin dan
alogliptin.
e. Penghambat enzim Sodium Glucose co-Transporter 2(SGLT-2
inhibitor)
Obat ini bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi glukosa di tubulus
proksimal dan meningkatkan ekskresi glukosa melalui urin. Obat
golongan ini mempunyai manfaat untuk menurunkan berat badan dan
tekanan darah. Efek samping yang dapat terjadi akibat pemberian obat
ini adalah infeksi saluran kencing dan genital. Pada penyandang DM
dengan gangguan fungsi ginjal perlu dilakukan penyesuaian dosis, dan
tidak diperkenankan bila LFG kurang dari 45 ml/menit. Hati-hati karena
dapat mencetuskan ketoasidosis.
33
Tabel 1. Obat antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia
34
disertai glukosa darah puasa (GDP) > 250 mg/dL atau glukosa darah
sewaktu (GDS) > 300 mg/dL atau HbA1c >9%, dan/atau sudah
mendapatkan terapi OHO.
4) Terapi steroid dosis tinggi yang menyebabkan glukosa darah tidak
terkendali
5) Perencanaan operasi yang kadar glukosa darahnya perlu segera
diturunkan
6) Beberapa kondisi tertentu yang dapat memerlukan pemakaian insulin
sepert infeksi (tuberculosis), penyakit hati kronik, dan gangguan
fungsi ginjal
3. Terapi Kombinasi
Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal yang utama
dalam penatalaksanaan DM, namun bila diperlukan dapat dilakukan
bersamaan dengan pemberian obat antihiperglikemia oral tunggal atau
kombinasi sejak dini. Pemberian obat antihiperglikemia oral maupun
insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan
secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah. Terapi
kombinasi obat antihiperglikemia oral, baik secara terpisah ataupun fixed
dose combination, harus menggunakan dua macam obat dengan
mekanisme kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu apabila sasaran
kadar glukosa darah belum tercapai dengan kombinasi dua macam obat,
dapat diberikan kombinasi dua obat antihiperglikemia dengan insulin.
Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis dan insulin tidak
memungkinkan untuk dipakai, terapi dapat diberikan kombinasi tiga obat
anti- hiperglikemia oral.
Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin dimulai dengan
pemberian insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja
panjang). Insulin kerja menengah harus diberikan jam 10 malam
35
menjelang tidur, sedangkan insulin kerja panjang dapat diberikan sejak
sore sampai sebelum tidur, atau diberikan pada pagi hari sesuai dengan
kenyamanan pasien. Pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat
mencapai kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang
cukup kecil. Dosis awal insulin basal untuk kombinasi adalah 6 - 10 unit.
kemudian dilakukan evaluasi dengan mengukur kadar glukosa darah
puasa keesokan harinya.
Dosis insulin dinaikkan secara perlahan (pada umumnya 2 unit)
apabila kadar glukosa darah puasa belum mencapai target. Pada keadaaan
kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun
sudah men-dapat insulin basal, maka perlu diberikan terapi kombinasi
insulin basal dan prandial, sedangkan pemberian obat antihiperglikemia
oral terutama golongan Sulfonilurea dihentikan dengan hati-hati
36
Gambar 2. Algoritma penatalaksanaan DM
2.8 Komplikasi
37
2.8.1 Nefropati Diabetikum
38
Gambar 3. Patogenesis Nefropati Diabetikum
39
Gambar 4. Gambaran nefron ginjal
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron
intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis
dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang sistem reninangiotansin-
aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth
factor (S (TGF-(i). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya
progresifitas Penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia,
dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan
fibroisis glomerulus maupun tubulointerstisial. Pada stadium paling dini penyakit
ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan
mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan
40
tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai
dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Klasifikasi gagal ginjal kronik atas dasar derajat penyakit, dibuat atas
dasar LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault
sebagai berikut:
42
Pendekatan Diagnostik CKD
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi
traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi. Lupus
Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya.
b. Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer,
pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
c. Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal,
gagal jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, klorida).
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus
Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan
untuk memperkirakan fungsi ginjal.
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper
atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.
d. Kelainan urinalisis meliputi, proteiuria, hematuri, leukosuria, cosf,
isostenuria.
Pemeriksaan radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak.
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh
toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
c. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi.
43
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
kalsifikasi.
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan
ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif
tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui
etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah
diberikan. Biopsi ginjal indikasi-kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran
ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang
tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal napas, dan
obesitas.
Penatalaksanaan
44
Selain itu, perlu dilakukan monitoring terhadap kadar serum kreatinin dan
kalium serum pada pemberian penghambat ACE, penyekat reseptor angiotensin
II, atau diuretik lain.
Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada
penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoitin.
45
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping
penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoitin (EPO) merupakan hal yang
dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini, status besi harus selalu mendapat
perhatian karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian
tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara hati hati, berdasarkan
indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan
secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia
dan pemburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik
adalah 11-12 g/dl. Anemia yang tidak diterapi akan berhubungan dengan beberapa
kelainan fisiologis, seperti penurunan pengantaran dan penggunaan oksigen ke
jaringan, meningkatkan cardiac output, pembesaran jantung, hipertrofi ventrikel,
angina, gagal jantung kongestif, penurunan fungsi mental dan kognitif, gangguan
siklus menstruasi, gangguan host untuk melawan infeksi.
46
BAB IV
ANALISA KASUS
Pada kasus telah dilaporkan pasien datang ke poli penyakit dalam RSUD
Abdul Manap tanggal 2 November 2022 dengan keluhan lemas yang memberat
sejak 1 minggu SMRS. Pasien mudah merasa haus dan lapar namun nafsu makan
berkurang. Pasien kadang juga merasa mual dan kebas pada kedua kaki. Pasien
mengaku BAK menjadi lebih sering, urin berwarna kuning pekat. Keluhan juga
disertai dengan batuk berdahak sejak 3 hari SMRS. Dahak berwarna kuning
dengan volume ½ sdm saat batuk, tidak ada darah, dan tidak disertai bau yang
menyengat. Batuk memberat saat suhu dingin. Batuk tidak dipicu oleh aktivitas
fisik, debu, emosi, asap rokok, dan bau yang menyengat. Pasien juga
mengeluhkan adanya penurunan berat badan ±7 kg dalam 2 minggu terakhir.
Keluhan sesak dan nyeri dada tidak ada. Pasien memiliki riwayat DM dan
hipertensi tidak terkontrol serta riwayat penyakit ginjal.
47
adanya penurunan berat badan signifikan dari pasien hingga status gizi tidak
normal. Adanya tekanan darah tinggi mengarahkan adanya komorbid penyakit
lain, seperti hipertensi. Sementara itu, konjungtiva anemis dapat menjadi penanda
adanya anemia yang dapat didukung dengan pemeriksaan penunjang.
48
ginjal kronik stage V. Pasien juga mengalami anemia yang dapat timbul sebagai
komplikasi dari CKD yang merupakan penyakit kronik. Sesuai dengan hasil MCV
yang menunjukkan gambaran anemia normositik normokromik. Anemia dapat
timbul akibat defisiensi eritropoietin.
Pada pasien ini juga ditemukan adanya infeksi saluran napas dengan gejala
batuk berdahak warna kuning didukung dengan hasil pemeriksaan rontgen thorax
dan adanya leukositosis. Pada pasien CKD, resiko infeksi meningkat dan salah
satunya dapat berupa infeksi saluran napas. Pasien batuk berdahak berwarna
kuning dengan volume ½ sdm saat batuk, tidak ada darah, dan tidak disertai bau
yang menyengat. Batuk memberat saat suhu dingin. Batuk tidak dipicu oleh
aktivitas fisik, debu, emosi, asap rokok, dan bau yang menyengat. Hal ini
menyingkirkan diagnosis asma dan PPOK. Keluhan sesak dan nyeri dada tidak
ada.
IVFD NACL 0,9% 30 tpm diberikan untuk rehidrasi cairan pada pasien.
IVFD B fluid diberikan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien. Transfusi
PRC 2 kolf diberikan untuk mengoreksi anemia. Ceftriaxone adalah golongan
antibiotik sefalosforin yang dapat digunakan untuk mengobati beberapa kondisi
akibat infeksi bakteri. Azitromicin yang merupakan golongan makrolid diberikan
untuk mengatasi infeksi. Omeprazole diberikan untuk mengatasi keluhan mual.
Pada pasien ini diberikan terapi insulin kerja cepat, yaitu insulin aspart
(novorapid) dengan dosis 3x3 IU. Insulin diberikan secara injeksi subcutan pada
49
saat sebelum atau setelah makan. Dosis insulin bersifat individual dengan dosis
lazim yaitu 0,5-1 IU/kg BB per hari. Pemberian insulin ini bertujuan untuk
menurunkan kadar glukosa darah setelah makan. Pasien juga diberikan insulin
basal dengan dosis 1x6 IU. Dengan adanya insulin, kebutuhan energi pada
berbagai sel target tubuh akan terpenuhi sehingga pemecahan cadangan energi
akan menurun. Gejala klasik dari DM akan perlahan teratasi seiring dengan
pengendalian kadar glukosa darah. N asetilsistein diberikan sebagai mukolitik
karena adanya keluhan batuk berdahak pada pasien. Pasien direncanakan
tindakan hemodialisa sebagai tatalaksana dari CKD stage V.
Terapi nutrisi pada pasien ini disesuaikan dengan IMT dan Berat Badan
Ideal pasien serta diet khusus pada pasien Diabetes Melitus Tipe 2. Terapi nutrisi
medis merupakan bagian penting dari penatalaksanaan DM secara komprehensif.
Untuk karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45 – 65% total asupan energi.
Terutama karbohidrat yang berserat tinggi, Asupan lemak dianjurkan sekitar 20 –
25% kebutuhan kalori, dan tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan
energy, Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan asupan protein
menjadi 0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi, dengan 65%
diantaranya bernilai biologik tinggi.
50
BAB V
KESIMPULAN
51
DAFTAR PUSTAKA
1. Soelistijo S. Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe
2 Dewasa di Indonesia 2021. Glob Initiat Asthma [Internet]. 2021;46.
Tersedia pada: www.ginasthma.org.
2. Cheng HT, Xu X, Lim PS, Hung KY. Worldwide Epidemiology of
Diabetes-Related End-Stage Renal Disease, 2000-2015. Diabetes Care.
2021;44(1):89–97.
3. International Diabetes Federation. IDF Diabetes Atlas 10th edition. 2021.
1–141 hal.
4. Mahfudzoh BS, Yunus M, Ratih SP. Hubungan Antara Faktor Risiko
Diabetes Melitus yang Dapat Diubah Dengan Kejadian DM Tipe 2 di
Puskesmas Janti Kota Malang. Sport Sci Heal. 2019;1(1):59–71.
5. Gumilas NSA, Harini IM, Samodra P, Ernawati DA. Karakteristik
Penderita Diabetes Melitus (Dm) Tipe 2 Di Purwokerto. J Kesehat.
2018;1(2):14–5.
6. Katsarou A, Gudbjörnsdottir S, Rawshani A, Dabelea D, Bonifacio E,
Anderson BJ, et al. Type 1 diabetes mellitus. Nat Rev Dis Prim [Internet].
2017;3:1–18. Tersedia pada: http://dx.doi.org/10.1038/nrdp.2017.16
7. Marcdante K, Kliegman R. Nelson Essentials of Pediatrics 8th edition. 8
ed. Elsevier Inc; 2019.
8. Fortunato N. Pathophysiology: The Biologic Basis for Disease in Adults
and Children 8th ed. 2019;63(1):294.
9. Setiati S, Alwi I, Sudoyo A, Al E. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI.
Interna Publishing; 2017.
10. IDAI 2017. Panduan Praktik Klinis Diagnosis dan Tata Laksana Diabetes
Melitus Tipe-1 pada Anak dan Remaja. Ikat Dr Anak Indones. 2017;1–15.
11. Donaghue KC, Marcovecchio ML, Wadwa RP, Chew EY, Wong TY,
Calliari LE, et al. ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines 2018:
Microvascular and macrovascular complications in children and
adolescents. Pediatr Diabetes. 2018;19(Suppl 27):262–74.
12. Suryanegara NM, Acang N, Suryani YD. Scoping Review: Pengaruh Kadar
Gula Darah tidak Terkontrol terhadap Komplikasi Makrovaskular pada
Pasien Diabetes Melitus Tipe 2. J Integr Kesehat Sains. 2021;3(2):245–50.
52
13. ES HS, Decroli E, Afriwardi A. Faktor Risiko Pasien Nefropati Diabetik
Yang Dirawat Di Bagian Penyakit Dalam Rsup Dr. M. Djamil Padang. J
Kesehat Andalas. 2018;7(2):149.
14. Duan J, Wang C, Liu D, Qiao Y, Pan S, Jiang D, et al. Prevalence and risk
factors of chronic kidney disease and diabetic kidney disease in Chinese
rural residents: a cross-sectional survey. Sci Rep. 2019;9(1):1–11.
15. DeFronzo RA, Reeves WB, Awad AS. Pathophysiology of diabetic kidney
disease: impact of SGLT2 inhibitors. Nat Rev Nephrol [Internet].
2021;17(5):319–34. Tersedia pada: http://dx.doi.org/10.1038/s41581-021-
00393-8
16. Anders HJ, Huber TB, Isermann B, Schiffer M. CKD in diabetes: Diabetic
kidney disease versus nondiabetic kidney disease. Nat Rev Nephrol
[Internet]. 2018;14(6):361–77. Tersedia pada:
http://dx.doi.org/10.1038/s41581-018-0001-y
53