Anda di halaman 1dari 53

CASE REPORT SESSION (CRS)

*Kepaniteraan Klinik Senior/ R. A. Ratu Dania, S.Ked/ G1A221061

**Pembimbing/ dr. Suhaila, Sp. PD, FINASIM

DM TIPE 2 + CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V

R. A. Ratu Dania, S.Ked*

dr. Suhaila, Sp. PD, FINASIM**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2022
1
HALAMAN PENGESAHAN

Case Report Session (CRS)

DM TIPE 2 + CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V

Disusun Oleh :

R. A. Ratu Dania

G1A221061

Telah diterima dan dipresentasikan sebagai salah satu tugas

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD H Abdul Manap Jambi

Program Studi Profesi Dokter Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan

Jambi, November 2022

PEMBIMBING

dr. Suhaila, Sp. PD, FINASIM

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah melimpahkan nikmat dan karunia-Nya, sehingga karya tulis ilmiah berupa
Case Report Session yang berjudul “DM Tipe 2 + Chronic Kidney Disease Stage
V” ini dapat diselesaikan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Suhaila, Sp. PD, FINASIM
sebagai pembimbing dalam penulisan karya tulis ilmiah ini yang telah
membimbing penulis selama menjalani kepaniteraan klinik senior di bagian Ilmu
Penyakit Dalam. Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun.

Akhir kata, penulis berharap semoga karya tulis ilmiah ini dapat
bermanfaat untuk penulis, pembaca, dan dunia kesehatan.

Jambi, November 2022

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. 1


HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... 2
KATA PENGANTAR ........................................................................................... 3
DAFTAR ISI .......................................................................................................... 4
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 5
BAB II LAPORAN KASUS ................................................................................. 6
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 17
BAB IV ANALISA KASUS ................................................................................ 47
BAB V KESIMPULAN ...................................................................................... 51
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 52

4
BAB I
PENDAHULUAN

Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik kronik yang


disebabkan oleh defek sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Karakteristik
penyakit diabetes ditandai dengan adanya hiperglikemia. Organisasi International
Diabetes Federation (IDF) memperkirakan sedikitnya terdapat 263 juta orang
pada usia 20-79 tahun di dunia menderita diabetes pada tahun 2019 atau setara
dengan angka prevalensi sebesar 9.3% dari total penduduk pada usia yang sama.
Indonesia berada di peringkat ke-7 diantara 10 negara dengan jumlah penderita
terbanyak, yaitu sebesar 10.7 juta. Indonesia merupakan satu-satunya negara di
Asia Tenggara pada daftar tersebut, sehingga dapat diperkirakan besarnya
kontribusi Indonesia terhadap prevalensi kasus diabetes di Asia Tenggara.1

Faktor resiko diabetes melitus terdiri dari faktor yang dapat dimodifikasi dan
faktor yang tidak dapat dimodifikasi. Sementara itu, gejala klasik dari DM terdiri
dari poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan. Pemeriksaan
penunjang untuk mendiagnosis DM dapat menggunakan pemeriksaan gula darah
dan HbA1c. Komplikasi DM dikelompokkan menjadi 2, yaitu komplikasi akut
dan komplikasi kronik. Komplikasi akut DM meliputi ketoasidosis diabetikum
(KAD) dan hipoglikemia. Komplikasi kronik dapat dibedakan menjadi komplikasi
mikrovaskular dan makrovaskular. Komplikasi mikrovaskular mencakup
nefropati, retinopati, dan neuropati. Komplikasi yang mengenai pembuluh darah
besar adalah penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskular, dan penyakit
pembuluh darah perifer.

Nefropati Diabetik adalah komplikasi diabetes melitus pada ginjal yang


dapat berakhir sebagai gagal ginjal. Hampir 60% penderita hipertensi dan diabetes
di Asia menderita Nefropati diabetik. Sekitar 20 - 40% pasien diabetes akan
mengalami nefropati diabetik. Persentase global pasien end stage renal disease
(ESRD) dengan diabetes meningkat dari 19,0% pada tahun 2000 menjadi 29,7%
pada tahun 2015 di seluruh dunia, sedangkan persentase insiden ESRD penderita
diabetes meningkat dari 22,1% menjadi 31,3%.2

5
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama Pasien : Ny. L
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 47 tahun
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Jl. Pattimura, Simpang Rimbo, Jambi
MRS tanggal : 2 November 2022

2.2 Anamnesis
A. Riwayat Penyakit Sekarang
1. Keluhan Utama
Lemas memberat sejak 1 minggu SMRS
2. Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien datang ke poli penyakit dalam RSUD Abdul Manap dengan
keluhan lemas memberat sejak 1 minggu SMRS. Lemas
menyebabkan pasien sulit beraktivitas dan tidak kuat untuk
berjalan. Pasien lebih banyak duduk dan berbaring. Keluhan
kelemahan pada lengan dan tungkai tidak ada. Pasien juga
mengeluhkan sakit kepala yang dirasakan seperti terikat dan
berdenyut-denyut. Keluhan pusing berputar tidak ada.
Keluhan juga disertai dengan batuk berdahak sejak 3 hari SMRS.
Dahak berwarna kuning dengan volume ½ sdm saat batuk, tidak
ada darah, dan tidak disertai bau yang menyengat. Batuk memberat
saat suhu dingin. Batuk tidak dipicu oleh aktivitas fisik, debu,
emosi, asap rokok, dan bau yang menyengat. Keluhan sesak dan
nyeri dada tidak ada.
Selain itu, pasien mengeluhkan adanya penurunan berat badan ±7
kg dalam 2 minggu terakhir. Pasien mudah merasa haus dan lapar

6
namun nafsu makan berkurang. Pasien kadang juga merasa mual
dan kebas pada kedua kaki. Pasien mengaku BAK menjadi lebih
sering, urin berwarna kuning pekat dan tidak ada nyeri saat BAK.
Keluhan BAB tidak ada.
Pasien memiliki riwayat konsumsi obat glimepiride dan
amlodipine tidak teratur.
B. Riwayat Penyakit Dahulu
• Riwayat DM sejak ± 10 tahun yang lalu dan tidak teratur
mengonsumsi obat glimepiride.
• Riwayat hipertensi diketahui sejak 2 tahun yang lalu dan tidak
teratur mengonsumsi obat amlodipine.
• Riwayat penyakit ginjal sejak 1 tahun yang lalu.
• Riwayat obesitas ada dengan berat badan 55 kg.
• Riwayat penyakit jantung tidak ada.
• Riwayat asma tidak ada.
• Riwayat TB paru tidak ada.
C. Riwayat Penyakit Keluarga
• Riwayat DM tidak ada.
• Riwayat TB paru tidak ada.
• Riwayat penyakit jantung tidak ada.
• Riwayat penyakit ginjal tidak ada.
D. Riwayat Sosial Ekonomi
• Pasien bekerja sebagai pedagang di pasar.
• Rumah pasien memiliki ventilasi yang baik.
• Pasien tidak merokok dan tidak mengonsumsi alkohol.

2.3 Pemeriksaan Fisik


A. Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : composmentis

7
Tekanan darah : 165/90 mmHg
Nadi : 96 x/menit
Pernapasan : 22 x/menit
Suhu : 36,9 °C
SpO2 : 97%

Status Gizi
BB : 31 kg
TB : 148 cm
IMT : 14,15 kg/m2 (underweight)

B. Pemeriksaan Head to Toe


1. Kulit
• Warna : ikterik (-), sianosis (-)
• Turgor : normal
• Pucat :-
2. Kepala
• Bentuk : normocephal
• Rambut : hitam dan sukar dicabut
• Mata
- Palpebra : edema (-/-)
- Alis dan bulu mata : hitam
- Konjungtiva : anemis (+/+)
- Sklera : ikterik (-/-)
- Pupil : isokor, refleks cahaya (+/+)
• Telinga
- Bentuk : normal
• Hidung
- Bentuk : normal, deviasi (-)
- Sekret : minimal
- Epistaksis :-

8
• Mulut dan Gigi
- Bentuk : normal
- Bibir : kering (-)
- Karies :-
- Lidah : lidah kotor (-), atrofi papil(-)
• Faring
- Hiperemis :-
- Edema :-
- Membran / pseudomembran : -
• Tonsil
- Warna : normal
- Pembesaran :-
- Abses :-
- Membran / pseudomembran : -
• Leher
- Pembesaran kelenjar leher :-
- Massa :-
3. Thoraks
• Jantung
- Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : ictus cordis teraba di ICS VI
linea midclavicular sinistra
- Perkusi : tidak diperiksa
- Auskultasi
o Suara dasar : S1 S2 reguler
o Murmur :-
o Gallop :-
• Paru
Inspeksi : Bentuk : simetris
Retraksi :-

9
Pernapasan : 22 x/menit
Sternum : normal
Palpasi : Fremitus taktil : normal
Perkusi : sonor (+/+)
Auskultasi : Suara nafas dasar : vesikuler (+/+)
Suara nafas tambahan: -/-
• Abdomen
Inspeksi : Bentuk : soepel, datar
Auskultasi :Bising usus : 8 x/menit
Palpasi : Nyeri tekan :-
Nyeri lepas :-
Defans muscular :-
Turgor : normal
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Ginjal : tidak teraba
Massa :-
Perkusi : Timpani :+
Ascites :-
Nyeri ketok CVA : -/-
4. Ekstremitas
• Superior : akral dingin, CRT < 2 detik,
clubbing finger (-/-), edema
(-/-), kuku sendok (-/-)
• Inferior : akral dingin, CRT < 2 detik,
clubbing finger (-/-), edema
(-/-), kuku sendok (-/-)
5. Genitalia : tidak diperiksa

10
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium

Pemeriksaan
Hasil Nilai Normal
Laboratorium
Hematologi (2/11/2022)
RBC 2,56 x 1012 (L) 3,50-5,50 x 1012/l
MCV 83,8 75-100 fl
RDW% 14 11-16%
RDWa 68,9 30-150 fl
HCT 21,5 (L) 35-55%
9
PLT 531 x 10 (H) 150-400 x 109/l
MPV 6,5 (L) 8-11 fl
PDW 9,7 0,1-99,9 fl
PCT 0,34 0,01-9,99%
LPCR 8,2 0,1-99,9%
WBC 22,8 x 109 (H) 4-10 x 109/l
HGB 7,8 (L) 11,5-16,5 g/dl
MCH 30,5 25-35 pg
MCHC 36,4 31-38 g/dl
9
LYM 2,2 x 10 0,5-5,0 x 109/l
GRAN 17,9 x 109 (H) 1,2-8,0 x 109/l
MID 2,7 x 109 (H) 0,1-1,5 x 109/l
LYM% 9,8 (L) 15-50%
GRA% 78,5 35-80%
MID% 11,7 2-15%
Kimia Klinik (2/11/2022)
HbA1c 6,6 (H) < 6,5%
GDS 331 (H) <200 mg/dl
Ureum 156 (H) 15-39 mg/l
Creatinin 5,6 (H) 0,6-1,1 mg/l
SGOT 13 < 40 mg/l
SGPT 12 < 41 mg/l
Profil Lipid (3/11/2022)
HDL 32 (L) >34 mg/dl

11
LDL 100 <120 mg/dl
Trigliserida 90 <150 mg/dl
Cholesterol total 150 <200 mg/dl
Interpretasi : anemia normositik normokromik, leukositosis, trombositosis,
hiperglikemia

(140−47)𝑥 31 𝑥 0,85
LFG = = 6,08 (CKD stage V)
72 𝑥 5,6

Pemeriksaan Radiologi (2/11/2022)


Rontgen thorax PA

Kesan : bronkopneumonia dan kardiomegali


EKG (2/11/2022)

Kesan : sinus takikardi dan left ventricular hypertrophy

12
2.5 Pemeriksaan Anjuran
- Pemeriksaan kadar gula darah dan HbA1c secara rutin
- Pemeriksaan elektrolit dan albumin
- Pemeriksaan urinalisis
- Pemeriksaan USG abdomen
- Pemeriksaan TCM
- Pemeriksaan echocardiography
2.6 Diagnosis
Diagnosis primer : Diabetes mellitus tipe 2 + chronic kidney disease stage V
Diagnosis sekunder :
- Anemia penyakit kronik
- Hipertensi
- Bronkopneumonia
- Malnutrisi
Diagnosis banding :
- TB paru
2.7 Tatalaksana
Tatalaksana farmakologi :
• IVFD NaCl 0,9% 30 tpm
• IVFD B fluid 1 fls/hari
• Transfusi PRC 2 kolf
• Inj. Omeprazole 2x40 mg
• Inj. Novorapid 3x3 IU
• Inj. Ceftriaxone 2x1 gr
• Azitromicin 1x500 mg
• PO N asetilsistein 3x200 mg
Tatalaksana non farmakologi :

• Pro hemodialisa
• Tirah baring
• Edukasi:
a. Perjalanan penyakit DM dan CKD.

13
b. Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara
berkelanjutan.
c. Penyulit DM dan resikonya.
d. Intervensi non-farmakologis dan farmakologis serta target pengobatan.
e. Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat antihiperglikemia
oral atau insulin serta obat-obatan lain.
f. Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah.

Terapi nutrisi medis

BB Ideal = (148-100) = 48 kg

Kebutuhan kalori basal = 25 x 48 = 1.200 kal

Faktor tambahan :

Umur = 47 – (5% x 1200) = -13

Bedrest = 10% x 1200 = +120

BB = 20% x 1200 = + 240

Kebutuhan kalori total = 1.200 – 13 + 120 + 240 = 1.547 kal

2.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam

Quo ad functionam : ad malam

Quo ad sanationam : ad malam

14
2.9 Pemeriksaan Follow Up Harian

Tanggal S O A P
3/11/2022 Lemas KU : tampak sakit sedang DM tipe 2 + • IVFD NaCl
Batuk Kesadaran : composmentis CKD Stage V 0,9% 20 tpm
dahak HR : 99 x/menit • Inj.
berkurang RR : 20 x/menit - Anemia Omeprazole
T : 36,7 C penyakit kronik 2x40 mg
TD : 130/80 mmHg - Hipertensi • NAC 3x1
SpO2 : 96% - Bronko- • Inj.
Head to toe pneumonia Novorapid
Mata : CA (+) SI (-) - Malnutrisi • Inj.
Paru : pergerakan dinding Ceftriaxone
dada simetris, fremitus 2x1 gr
taktil kanan=kiri, sonor • Azitromicin
(+/+), vesikuler (+/+), ronki 1x500 mg
(-), wheezing (-)
• Infus B fluid
Jantung : BJ I & II regular, 1 fls/hari
murmur (-), gallop (-)
• Pro HD
Abdomen : dbn
Ekstremitas : akral dingin,
CRT <2 detik, edem (-)

Pemeriksaan penunjang :
GDP (06.00) : 146 mg/dl
GD2PP (09.00) : 224 mg/dl
GDS (11.00) : 221 mg/dl
4/11/2022 Lemas, KU : tampak sakit sedang DM tipe 2 + • IVFD NaCl
batuk Kesadaran : composmentis CKD Stage V 0,9% 20 tpm
dahak HR : 95 x/menit • Inj.
berkurang, RR : 20 x/menit - Anemia Omeprazole
sakit T : 36,8 C penyakit kronik 2x40 mg
kepala TD : 170/90 mmHg - Hipertensi • NAC 3x1
SpO2 : 97% - Bronko- • Inj.

15
Head to toe pneumonia Novorapid
Mata : CA (+) SI (-) - Malnutrisi • Inj.
Paru : pergerakan dinding Ceftriaxone
dada simetris, fremitus 2x1 gr
taktil kanan=kiri, sonor • Azitromicin
(+/+), vesikuler (+/+), ronki 1x500 mg
(-), wheezing (-) • Infus B fluid
Jantung : BJ I & II regular, 1 fls/hari
murmur (-), gallop (-) • Transfusi
Abdomen : dbn PRC 1 kolf
Ekstremitas : akral dingin, • Pro HD
CRT <2 detik, edem (-)

Pemeriksaan penunjang :
GDP (06.00) : 206 mg/dl

16
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik


dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau keduanya.

2.2 Epidemiologi

Organisasi International Diabetes Federation (IDF) memperkirakan


sedikitnya terdapat 263 juta orang pada usia 20-79 tahun di dunia menderita
diabetes pada tahun 2019 atau setara dengan angka prevalensi sebesar 9.3% dari
total penduduk pada usia yang sama. Indonesia berada di peringkat ke-7 diantara
10 negara dengan jumlah penderita terbanyak, yaitu sebesar 10.7 juta. Indonesia
merupakan satu-satunya Negara di Asia Tenggara pada daftar tersebut, sehingga
dapat diperkirakan besarnya kontribusi Indonesia terhadap prevalensi kasus
diabetes di Asia Tenggara.

Berdasarkan jenis kelamin, IDF memperkirakan prevalensi diabetes di tahun


2019 yaitu 9% pada perempuan dan 9.65% pada laki-laki. Prevalensi diabetes
diperkirakan meningkat seiring pertambahan umur penduduk menjadi 19.9% atau
111.2 juta orang pada umur 65-79 tahun. Angka diprediksi terus meningkat
hingga mencapai 578 juta di tahun 2030 dan 700 juta di tahun 2045.3

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukan bahwa


prevalensi diabetes mellitus di Indonesia berdasarkan diagnosis dokter pada umur
> 15 tahun sebesar 2%. Angka ini menunjukkan peningkatan dibandingkan
prevalensi diabetes mellitus pada penduduk > 15 tahun pada hasil Riskesdas 2013
sebesar 1.5%. namun prevalensi diabetes mellitus menurut hasil pemeriksaan gula
darah meningkat dari 6.9% pada 2013 menjadi 8.5% pada tahun 2018. Angka ini
menunjukkan bahwa baru sekitar 25% penderita diabetes yang mengetahui bahwa
dirinya menderita diabetes.1

17
2.3 Faktor Resiko

Faktor resiko diabetes melitus terdiri dari faktor yang dapat dimodifikasi dan
faktor yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi
adalah ras, etnik, umur, jenis kelamin, riwayat keluarga, dengan diabetes melitus,
riwayat melahirkan bayi >4000 gram, riwayat lahir dengan BBLR (<2500 gram).

Faktor resiko yang dapat dimodifikasi yaitu berat badan lebih, obesitas
abdominal/sentral, kurangnya aktifitas fisik, hipertensi, dislipidemia, diet tidak
sehat, dan tidak seimbang (tinggi kalori), kondisi prediabetes, yang ditandai
dengan toleransi glukosa terganggu (TGT 140-199mg/dL) atau gula darah puasa
terganggu (GDPT <140 mg/dL) dan merokok.4,5

2.4 Klasifikasi DM
Klasifikasi DM dapat dilihat pada tabel berikut:

Klasifikasi Deskripsi
Destruksi sel beta, umumnya berhubungan dengan pada
Tipe 1
defisiensi insulin absolut
• Autoimun
• Idiopatik
Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai
Tipe 2
defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek
sekresi insulin disertai resistensi insulin.

Diabetes yang didiagnosis pada trimester kedua atau


Diabetes Melitus
ketiga kehamilan dimana sebelum kehamilan tidak
Gestasional
didapatkan Diabetes.

18
Tipe spesifik yang • Sindroma diabetes monogenik (diabetes neonatal,
maturity – onset diabetes of the young [MODY])
berkaitan dengan
• Penyakit eksokrin pankreas (fibrosis kistik, pankreatitis)
penyebab lain
• Disebabkan oleh obat atau zat kimia (misalnya
penggunaan
glukokortikoid pada terapi HIV/AIDS atau setelah
transplantasi organ)

2.5 Patogenesis dan Patofisiologi

Resistensi insulin pada sel otot dan hati, serta kegagalan sel beta pankreas
telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe 2. Hasil
penelitian terbaru telah diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan
lebih berat dari yang diperkirakan sebelumnya. Organ lain yang juga terlibat pada
DM tipe 2 adalah jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal
(defisiensi inkretin), sel alfa pankreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan
absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin), yang ikut berperan menyebabkan
gangguan toleransi glukosa.

Gambar 1. Patogenesis DM tipe 2

19
Secara garis besar patogenesis hiperglikemia disebabkan oleh sebelas hal
(egregious eleven) yaitu:

a) Kegagalan sel beta pankreas


Pada saat diagnosis DM tipe 2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat
berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah
sulfonilurea, meglitinid, agonis glucagon-like peptide (GLP-1) dan
penghambat dipeptidil peptidase-4 (DPP- 4).

b) Disfungsi sel alfa pankreas


Sel alfa pankreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam
hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel alfa berfungsi pada
sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma
akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan produksi glukosa hati
(hepatic glucose production) dalam keadaan basal meningkat secara
bermakna dibanding individu yang normal. Obat yang menghambat
sekresi glukagon atau menghambat reseptor glukagon meliputi agonis
GLP-1, penghambat DPP-4 dan amilin.

c) Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas
(free fatty acid (FFA)) dalam plasma. Peningkatan FFA akan
merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin
di hepar dan otot, sehingga mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang
disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoksisitas. Obat yang
bekerja dijalur ini adalah tiazolidinedion.

d) Otot
Pada penyandang DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang
multipel di intramioselular, yang diakibatkan oleh gangguan fosforilasi
tirosin, sehingga terjadi gangguan transport glukosa dalam sel otot,
penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah metformin dan tiazolidinedion.
20
e) Hepar
Pada penyandang DM tipe 2 terjadi resistensi insulin yang berat dan
memicu glukoneogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan
basal oleh hepar (hepatic glucose production) meningkat. Obat yang
bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan proses
glukoneogenesis.

f) Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang
obese baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia
yang merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada
golongan ini asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi
insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah
agonis GLP-1, amilin dan bromokriptin.

g) Kolon/Mikrobiota
Perubahan komposisi mikrobiota pada kolon berkontribusi dalam
keadaan hiperglikemia. Mikrobiota usus terbukti berhubungan dengan
DM tipe 1, DM tipe 2, dan obesitas sehingga menjelaskan bahwa hanya
sebagian individu berat badan berlebih akan berkembang DM. Probiotik
dan prebiotik. diperkirakan sebagai mediator untuk menangani keadaan
hiperglikemia.

h) Usus halus

Glukosa yang ditelan memicu respons insulin jauh lebih besar dibanding
kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek
inkretin ini diperankan oleh 2 hormon yaitu glucagon-like polypeptide-1
(GLP-1) dan glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau
disebut juga gastric inhibitory polypeptide (GIP). Pada penyandang DM
tipe 2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap hormon GIP.
Hormon inkretin juga segera dipecah oleh keberadaan enzim DPP-4,
sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja
menghambat kinerja DPP-4 adalah DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan

21
juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja
enzim alfa glukosidase yang akan memecah polisakarida menjadi
monosakarida, dan kemudian diserap oleh usus sehingga berakibat
meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk
menghambat kinerja enzim alfa glukosidase adalah acarbose.

i) Ginjal

Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam patogenesis


DM tipe 2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari.
Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali
melalui peran enzim sodium glucose co-transporter (SGLT-2) pada
bagian convulated tubulus proksimal, dan 10% sisanya akan diabsorbsi
melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga
akhirnya tidak ada glukosa dalam urin. Pada penyandang DM terjadi
peningkatan ekspresi gen SGLT-2, sehingga terjadi peningkatan
reabsorbsi glukosa di dalam tubulus ginjal dan mengakibatkan
peningkatan kadar glukosa darah. Obat yang menghambat kinerja
SGLT-2 ini akan menghambat reabsorbsi kembali glukosa di tubulus
ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urin. Obat yang bekerja
di jalur ini adalah penghambar SGLT-2. Dapaglifozin, empaglifozin dan
canaglifozin adalah contoh obatnya.

j) Lambung

Penurunan produksi amilin pada diabetes merupakan konsekuensi


kerusakan sel beta pankreas. Penurunan kadar amilin menyebabkan
percepatan pengosongan lambung dan peningkatan absorpsi glukosa di
usus halus, yang berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa
postprandial.

k) Sistem imun

Terdapat bukti bahwa sitokin menginduksi respons fase akut (disebut


sebagai inflamasi derajat rendah, merupakan bagian dari aktivasi sistem

22
imun bawaan/innate) yang berhubungan kuat dengan patogenesis DM
tipe 2 dan berkaitan dengan komplikasi seperti dislipidemia dan
aterosklerosis. Inflamasi sistemik derajat rendah berperan dalam induksi
stres pada endoplasma akibat peningkatan kebutuhan metabolisme
untuk insulin. DM tipe 2 ditandai dengan resistensi insulin perifer dan
penurunan produksi insulin, disertai dengan inflamasi kronik derajat
rendah pada jaringan perifer seperti adiposa, hepar dan otot.1
Beberapa dekade terakhir, terbukti bahwa adanya hubungan antara obesitas
dan resistensi insulin terhadap inflamasi. Hal tersebut menggambarkan peran
penting inflamasi terhadap patogenesis DM tipe 2, yang dianggap sebagai
kelainan imun (immune disorder). Kelainan metabolik lain yang berkaitan dengan
inflamasi juga banyak terjadi pada DM tipe 2.

Pada kondisi resistensi insulin, cadangan glukosa tidak dapat masuk ke


dalam hepar ataupun sel otot untuk disimpan (glikogenesis) dan menimbulkan
keadaan hiperglikemia setelah makan (post prandial) didalam darah. Karena
glukosa tidak dapat memasuki hepar ataupun sel otot, maka tubuh akan menerima
sinyal kekurangan cadangan glukosa. Hal ini mengakibatkan tubuh memproduksi
glukosa dengan berbagai cara, yaitu dengan munculnya rasa lapar (polifagia),
glikogenolisis (pemecahan glikogen dalam hepar untuk diubah menjadi glukosa)
dan glukoneogenesis (proses pembentukan glukosa dari bahan selain karbohidrat).
Selain itu juga akan terjadi proteolisis dan lipolisis yang berkaitan dengan proses
glukoneogenesis. Keseluruhan proses tersebut akhirnya menyebabkan kondisi
hiperglikemia yang lebih tinggi dan hiperglikemia puasa. Proses ini juga
menyebabkan terjadinya penurunan berat badan pada pasien karena cadangan
energi banyak yang dipecah.6,7

Jika konsentrasi glukosa dalam darah melebihi batas ambang ginjal untuk
rearbsorpsi glukosa (160-190 mg/dl), maka glukosa akan diekskresikan dalam
urin (glikosuria). Glikosuria menyebabkan diuresis osmotik dimana pasien
mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria). Polidipsia terjadi sebagai
bentuk kompensasi tubuh ketika kehilangan cairan yang berlebihan. Di dalam

23
hepar juga terjadi proses ketogenesis yang mengakibatkan meningkatnya
konsentrasi keton di dalam darah, menyebabkan terjadinya kondisi asidosis
metabolik yang disebut ketoasidosis diabetikum.7,8

2.6 Diagnosis1,3

Glukosa plasma puasa dianggap normal bila kadar glukosa darah plasma
<126 mg/dl (7 mmol/L). Glukosuria saja tidak spesifik untuk DM sehingga perlu
dikonfirmasi dengan pemeriksaan glukosa darah. Kecurigaan adanya DM perlu
dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:

● Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat


badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
● Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan apabila memenuhi salah satu kriteria
sebagai berikut.

1. Gejala klasik diabetes atau krisis hiperglikemi dengan kadar plasma glukosa
≥200mg/dL (11.1 mmol/L). Atau,
2. Kadar plasma glukosa puasa ≥126 mg/dL. (7.0 mmol/L). Atau,
3. Kadar glukosa 2 jam postprandial >200 mg/dL 11.1 mmol/L) dengan Uji
Toleransi Glukosa Oral. Uji Toleransi Glukosa Oral dilakukan dengan
pemberian beban glukosa setara dengan 75g anhydrous glukosa dilarutkan
dalam air atau 1.75g/kgBB dengan maksimum 75g, atau,
4. HbAlc >6.5%
Petanda ini harus dilakukan sesuai standar National Glycohemoglobin
Standardization Program (NGSP) pada laboratorium yang tersertifikasi dan
terstandar dengan assay Diabetes Control and Complications Trial (DCCT).

24
Pada kasus-kasus yang meragukan seperti penderita yang asimtomatis
dengan hiperglikemia (>200 mg/dL) harus dikonfirmasi dengan kadar GDP atau
TTGO terganggu. Diagnosis tidak ditegakkan berdasarkan satu kali pemeriksaan.

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM


digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

• Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa


plasma puasa antara 100 – 125 mg/dL dan pemeriksaan TTGO glukosa
plasma 2-jam < 140 mg/dL;
• Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2
-jam setelah TTGO antara 140 – 199 mg/dL dan glukosa plasma puasa <
100 mg/dL
• Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
• Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7 – 6,4%
2.7 Tatalaksana1,9

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup


pasien diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi :

1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas


hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa
darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan
pasien secara komprehensif.
A. Penatalaksanaan Umum
Perlu dilakukan evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama, yang
meliputi:
1. Riwayat Penyakit
a. Usia dan karakteristik saat onset diabetes.
b. Pola makan, status nutrisi, status aktifitas fisik, dan riwayat
perubahan berat badan.
c. Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda.
d. Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap,
termasuk terapi gizi medis dan penyuluhan.
e. Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan,
perencanaan makan dan program latihan jasmani.
f. Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar
hiperglikemia, hipoglikemia).
g. Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus
urogenital.
h. Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik pada ginjal, mata,
jantung dan pembuluh darah, kaki, saluran pencernaan, dll.
i. Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah.
j. Faktor resiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung
koroner, obesitas, dan riwayat.
k. penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan endokrin lain).
l. Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM.
m. Karakteristik budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pengukuran tinggi dan berat badan.
b. Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah
dalam posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi
ortostatik.
c. Pemeriksaan funduskopi.
d. Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid.

26
e. Pemeriksaan jantung.
f. Evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop.
g. Pemeriksaan kaki secara komprehensif (evaluasi kelainan vaskular,
neuropati, dan adanya deformitas).
h. Pemeriksaan kulit (akantosis nigrikans, bekas luka, hiperpigmentasi,
necrobiosis diabeticorum, kulit kering, dan bekas lokasi penyuntikan
insulin).
i. Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe lain.
3. Evaluasi Laboratorium
a. Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam setelah TTGO.
b. Pemeriksaan kadar HbA1c
B. Penatalaksanaan Khusus

Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi


nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi farmakologis
dengan obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan. Obat anti
hiperglikemia oral dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau kombinasi. Pada
keadaan emergensi dengan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis,
stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, atau adanya ketonuria, harus
segera dirujuk ke pelayanan kesehatan sekunder atau tersier. Pengetahuan tentang
pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus
diberikan kepada pasien. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tersebut dapat
dilakukan setelah mendapat pelatihan khusus.

1. Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan
sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang
sangat penting dari pengelolaan DM secara holistik. Materi edukasi

27
terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan materi edukasi tingkat
lanjutan.
2. Terapi nutrisi medis
Prinsip pengaturan makan pada pasien DM hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu.
Pasien DM perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan
jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan kalori, terutama pada mereka
yang menggunakan obat yang meningkatkan sekresi insulin atau terapi
insulin itu sendiri.
Komposisi Makanan yang Dianjurkan terdiri dari:
a) Karbohidrat
▪ Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan
energi. Terutama karbohidrat yang berserat tinggi.
▪ Pembatasan karbohidrat total < 130 g/hari tidak dianjurkan.
▪ Glukosa dalam bumbu diperbolehkan sehingga pasien
diabetes dapat makan sama dengan makanan keluarga yang
lain.
▪ Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
▪ Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat
diberikan makanan selingan seperti buah atau makanan lain
sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
b) Lemak
▪ Asupan lemak dianjurkan sekitar 20 - 25% kebutuhan
kalori, dan tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan
energi.

28
▪ Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak
mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain:
daging berlemak dan susu fullcream.
▪ Konsumsi kolesterol yang dianjurkan adalah < 200 mg/hari.
c) Protein
▪ Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan
asupan protein menjadi 0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari
kebutuhan energi, dengan 65% diantaranya bernilai
biologik tinggi.
▪ Pasien DM yang sudah menjalani hemodialisis asupan
protein menjadi 1 - 1,2 g/kg BB perhari.

Kebutuhan Kalori

Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan


pasien DM, antara lain dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal
yang besarnya 25 - 30 kal/kgBB ideal. Jumlah kebutuhan tersebut
ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor yaitu: jenis
kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dan lain-lain.

Perhitungan berat badan ideal (BBI) menggunakan rumus Broca:

Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg

Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah
150 cm, rumus dimodifikasi menjadi:

Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm – 100) x 1 kg

1) BB normal : BB ideal ± 10 %
2) Kurus : kurang dari BB ideal – 10%
3) Gemuk: lebih dari BB ideal + 10%
29
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).
Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus :

IMT = BB (kg)/TB (m2)

Klasifikasi IMT :
1) BB kurang < 18,5
2) BB normal 18,5 – 22,9
3) BB lebih ≥ 23,0
Dengan risiko 23,0 – 24,9
Obese I 25,0 – 29,9
Obese II ≥ 30

3. Latihan Fisik
Latihan fisik merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2.
Program latihan fisik secara teratur dilakukan 3 – 5 hari seminggu
selama sekitar 30 – 45 menit, dengan total 150 menit per minggu,
dengan jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Kegiatan
sehari-hari atau aktivitas sehari-hari bukan termasuk dalam latihan fisik.
Latihan fisik selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan
berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan
memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan fisik yang dianjurkan
berupa latihan fisik yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50 –
70% denyut jantung maksimal) seperti jalan cepat, bersepeda santai,
jogging, dan berenang. Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara
mengurangi 220 dengan usia pasien. Pasien diabetes dengan usia muda
dan bugar dapat melakukan 90 menit/minggu dengan latihan aerobik
berat, mencapai > 70% denyut jantung maksimal.
4. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.
30
1. Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat anti-hiperglikemia oral dibagi menjadi 6
golongan:
a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
1) Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia
dan peningkatan berat badan. Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada
pasien dengan risiko tinggi hipoglikemia (orang tua, gangguan fungsi
hati dan ginjal).
2) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya mirip dengan
sulfonilurea, namun berbeda lokasi reseptor, dengan hasil akhir berupa
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini
terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan
Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah
pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini
dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. Efek samping yang
mungkin terjadi adalah hipoglikemia. Obat golongan glinid sudah tidak
tersedia di Indonesia.
b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
1) Metformin
Metformin mempunyai efek utama meng-urangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan
perifer. Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar
kasus DM tipe 2. Dosis metformin diturunkan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal (LFG 30 – 60 ml/menit/1,73 m2). Metformin
tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan LFG <30 mL/menit/1,73

31
m2, adanya gangguan hati berat, serta pasien-pasien dengan
kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis,
renjatan, PPOK, gagal jantung NYHA fungsional class III-IV). Efek
samping yang mungkin terjadi adalah gangguan saluran pencernaan
seperti dispepsia, diare, dan lain-lain.
2) Tiazolidinedion (TZD)
Tiazolidinedion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR- gamma), suatu reseptor inti yang
terdapat antara lain di sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai
efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di
jaringan perifer. Tiazolidinedion meningkatkan retensi cairan tubuh
sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung (NYHA
fungsional class III-IV) karena dapat memperberat edema/retensi cairan.
Hati-hati pada gangguan faal hati, dan bila diberikan perlu pemantauan
faal hati secara berkala. Obat yang masuk dalam golongan ini adalah
pioglitazone.

c. Penghambat Alfa Glukosidase


Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim alfa glukosidase di
saluran pencernaan sehingga menghambat absorpsi glukosa dalam usus
halus. Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan pada keadaan LFG
≤ 30 ml/min/1,73 m2, gangguan faal hati yang berat, irritable bowel
syndrome. Efek samping yang mungkin terjadi berupa bloating
(penumpukan gas dalam usus) sehingga sering menimbulkan flatus.
Guna mengurangi efek samping pada awalnya diberikan dengan dosis
kecil. Contoh obat golongan ini adalah acarbose.

32
d. Penghambat enzim Dipeptidyl Peptidase-4 (DPP-4 inhibitor)
Dipeptidil peptidase-4 (DPP-4) adalah suatu serin protease, yang
didistribusikan secara luas dalam tubuh. Enzim ini memecah dua asam
amino dari peptida yang mengandung alanin atau prolin di posisi kedua
peptida N-terminal. Enzim DPP-4 terekspresikan di berbagai organ
tubuh, termasuk di usus dan membran brush border ginjal, di hepatosit,
endotelium vaskuler dari kapiler villi, dan dalam bentuk larut dalam
plasma. Penghambat DPP-4 akan menghambat lokasi pengikatan pada
DPP-4 sehingga akan mencegah inaktivasi dari glucagon-like peptide
(GLP)-1. Proses inhibisi ini akan mempertahankan kadar GLP-1 dan
glucose-dependent insulinotropic polypeptide (GIP) dalam bentuk aktif
di sirkulasi darah, sehingga dapat memperbaiki toleransi glukosa,
meningkatkan respons insulin, dan mengurangi sekresi glukagon.
Penghambat DPP-4 merupakan agen oral, dan yang termasuk dalam
golongan ini adalah vildagliptin, linagliptin, sitagliptin, saxagliptin dan
alogliptin.
e. Penghambat enzim Sodium Glucose co-Transporter 2(SGLT-2
inhibitor)
Obat ini bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi glukosa di tubulus
proksimal dan meningkatkan ekskresi glukosa melalui urin. Obat
golongan ini mempunyai manfaat untuk menurunkan berat badan dan
tekanan darah. Efek samping yang dapat terjadi akibat pemberian obat
ini adalah infeksi saluran kencing dan genital. Pada penyandang DM
dengan gangguan fungsi ginjal perlu dilakukan penyesuaian dosis, dan
tidak diperkenankan bila LFG kurang dari 45 ml/menit. Hati-hati karena
dapat mencetuskan ketoasidosis.

33
Tabel 1. Obat antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia

2. Obat Antihiperglikemia Suntik


Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan
kombinasi insulin dan agonis GLP-1.

a. Indikasi penggunaan insulin:


1) Indikasi Absolut :
• DM Tipe I
• DM Gestasional yang tak terkontrol
2) Indikasi Temporer
a) Gagal mencapai target dengan penggunaan kombinasi OHO dosis
optimal (3-6 bulan)
b) DM tipe 2 rawat jalan dengan:
• Kehamilan
• Infeksi paru (tuberkulosis)
• Kaki diabetik terinfeksi
• Fluktuasi gula darah yang tinggi
• Riwayat ketoasidosis berulang
• Riwayat pankreatomi
3) Dekompensasi metabolic, yang ditandai dengan gejala klasik
Diabetes (polidipsia, poliuria, polifagia) dan penurunan berat badan

34
disertai glukosa darah puasa (GDP) > 250 mg/dL atau glukosa darah
sewaktu (GDS) > 300 mg/dL atau HbA1c >9%, dan/atau sudah
mendapatkan terapi OHO.
4) Terapi steroid dosis tinggi yang menyebabkan glukosa darah tidak
terkendali
5) Perencanaan operasi yang kadar glukosa darahnya perlu segera
diturunkan
6) Beberapa kondisi tertentu yang dapat memerlukan pemakaian insulin
sepert infeksi (tuberculosis), penyakit hati kronik, dan gangguan
fungsi ginjal
3. Terapi Kombinasi
Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal yang utama
dalam penatalaksanaan DM, namun bila diperlukan dapat dilakukan
bersamaan dengan pemberian obat antihiperglikemia oral tunggal atau
kombinasi sejak dini. Pemberian obat antihiperglikemia oral maupun
insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan
secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah. Terapi
kombinasi obat antihiperglikemia oral, baik secara terpisah ataupun fixed
dose combination, harus menggunakan dua macam obat dengan
mekanisme kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu apabila sasaran
kadar glukosa darah belum tercapai dengan kombinasi dua macam obat,
dapat diberikan kombinasi dua obat antihiperglikemia dengan insulin.
Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis dan insulin tidak
memungkinkan untuk dipakai, terapi dapat diberikan kombinasi tiga obat
anti- hiperglikemia oral.
Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin dimulai dengan
pemberian insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja
panjang). Insulin kerja menengah harus diberikan jam 10 malam

35
menjelang tidur, sedangkan insulin kerja panjang dapat diberikan sejak
sore sampai sebelum tidur, atau diberikan pada pagi hari sesuai dengan
kenyamanan pasien. Pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat
mencapai kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang
cukup kecil. Dosis awal insulin basal untuk kombinasi adalah 6 - 10 unit.
kemudian dilakukan evaluasi dengan mengukur kadar glukosa darah
puasa keesokan harinya.
Dosis insulin dinaikkan secara perlahan (pada umumnya 2 unit)
apabila kadar glukosa darah puasa belum mencapai target. Pada keadaaan
kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun
sudah men-dapat insulin basal, maka perlu diberikan terapi kombinasi
insulin basal dan prandial, sedangkan pemberian obat antihiperglikemia
oral terutama golongan Sulfonilurea dihentikan dengan hati-hati

Tabel 2. Jenis-jenis Insulin

36
Gambar 2. Algoritma penatalaksanaan DM

2.8 Komplikasi

Komplikasi akut terdiri atas KAD dan hipoglikemia. Kriteria KAD


mencakup hiperglikemia, asidosis, dan ketonemia. Gejala KAD antara lain adalah
dehidrasi, takikardi, takipnea dan sesak, napas berbau aseton, mual, muntah, nyeri
perut, pandangan kabur, dan penurunan kesadaran. Pemantauan dan edukasi
mengenai hipoglikemia merupakan salah satu komponen utama tatalaksana
diabetes. Terapi hipoglikemia diinisiasi saat kadar glukosa darah <70 mg/dL.10
Gejala hipoglikemia diakibatkan oleh aktivasi adrenergik (berdebar, gemetar,
keringat dingin) dan neuroglikopenia (nyeri kepala, mengantuk, sulit konsentrasi).

Selain pemantauan komplikasi akut, perlu juga dilakukan skrining


komplikasi kronik yang dapat dibedakan menjadi komplikasi mikrovaskular dan
makrovaskular. Komplikasi mikrovaskular mencakup nefropati, retinopati, dan
neuropati. Komplikasi yang mengenai pembuluh darah besar adalah penyakit
jantung koroner, penyakit serebrovaskular, dan penyakit pembuluh darah perifer
(klaudikasio, infeksi/ gangrene, amputasi).11,12

37
2.8.1 Nefropati Diabetikum

Nefropati Diabetik adalah komplikasi diabetes melitus pada ginjal yang


dapat berakhir sebagai gagal ginjal. Penyakit ginjal (nefropati) merupakan
penyebab utama kematian dan kecacatan pada DM. Sekitar 50% gagal ginjal
tahap akhir di Amerika Serikat disebabkan nefropati diabetik. Hampir 60%
penderita hipertensi dan diabetes di Asia menderita Nefropati diabetik. Nefropati
diabetik merupakan penyebab paling utama dari Gagal Ginjal Stadium Akhir.
Sekitar 20 - 40% pasien diabetes akan mengalami nefropati diabetik. Persentase
global pasien end stage renal disease (ESRD) dengan diabetes meningkat dari
19,0% pada tahun 2000 menjadi 29,7% pada tahun 2015 di seluruh dunia,
sedangkan persentase insiden ESRD penderita diabetes meningkat dari 22,1%
menjadi 31,3%. Insiden tahunan global ESRD di antara pasien dengan diabetes
meningkat dari 375,8 menjadi 1.016,0/juta dengan diabetes selama 2000-2015.
Tingkat rata-rata tertinggi terdapat di Wilayah Pasifik Barat.2

Perkembangan penyakit DM menjadi penyakit ginjal stadium akhir


dipengaruhi oleh berbagai faktor yang terlibat, antara lain: faktor genetik, diet,
dan kondisi medis yang lain seperti hipertensi serta kadar gula darah yang tinggi
dan tidak terkontrol. Didapatkannya albuminuria persisten pada kisaran 30 - 299
mg/24 jam merupakan tanda dini nefropati diabetik pada DM tipe 2. Pasien yang
disertai dengan albuminuria persisten pada kadar 30 - 299 mg/24 jam dan berubah
menjadi albuminuria persisten pada kadar ≥ 300 mg/24 jam sering berlanjut
menjadi gagal ginjal kronik stadium akhir.13,14

38
Gambar 3. Patogenesis Nefropati Diabetikum

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada


penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang
terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi
struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai
upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan
growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis
nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi
nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.

39
Gambar 4. Gambaran nefron ginjal
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron
intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis
dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang sistem reninangiotansin-
aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth
factor (S (TGF-(i). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya
progresifitas Penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia,
dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan
fibroisis glomerulus maupun tubulointerstisial. Pada stadium paling dini penyakit
ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan
mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan

40
tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai
dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.

Gambar 5. Patomekanisme CKD


Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan
(asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti,
nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan.
Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia
yang nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme
fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga
mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih infeksi saluran napas, maupun
infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo
atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan
kalium. Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih
serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal {renal replacement
therapy) antara lain dialisis atau tansplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien
dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.15,16

Diagnosis nefropati diabetik ditegakkan melalui pemeriksaan urinary


albumin to creatinin ratio (UACR) dengan sampel spot urin acak. Nefropati
diabetik merupakan diagnosis klinis berdasarkan adanya albuminuria dan/atau
41
penurunan LFG. Nilai diagnosis UACR Normal < 30 mg/g. Penapisan dilakukan
segera setelah diagnosis DM tipe 2 ditegakkan. Jika albuminuria < 30 mg/24 jam
dilakukan evaluasi ulang setiap tahun.

Klasifikasi gagal ginjal kronik atas dasar derajat penyakit, dibuat atas
dasar LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault
sebagai berikut:

Tabel 3. Klasifikasi CKD berdasarkan LFG

Derajat Penjelasan LFG (ml/menit/1,73 m2)

1 Kerusakan ginjal dengan > 90


FLG normal atau ↑

2 Kerusakan ginjal dengan 60 – 89


FLG ringan ↓

3 Kerusakan ginjal dengan 30 – 59


FLG sedang ↓

4 Kerusakan ginjal dengan 15 – 29


FLG berat ↓

5 Gagal Ginjal < 15

42
Pendekatan Diagnostik CKD
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi
traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi. Lupus
Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya.
b. Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer,
pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
c. Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal,
gagal jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, klorida).
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus
Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan
untuk memperkirakan fungsi ginjal.
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper
atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.
d. Kelainan urinalisis meliputi, proteiuria, hematuri, leukosuria, cosf,
isostenuria.
Pemeriksaan radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak.
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh
toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
c. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi.

43
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
kalsifikasi.
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan
ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif
tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui
etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah
diberikan. Biopsi ginjal indikasi-kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran
ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang
tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal napas, dan
obesitas.

Penatalaksanaan

a. Optimalisasi kontrol glukosa untuk mengurangi risiko ataupun


menurunkan progresi nefropati.
b. Optimalisasi kontrol hipertensi untuk mengurangi risiko ataupun
menurunkan progresi nefropati.
c. Pengurangan diet protein pada diet pasien diabetes dengan penyakit ginjal
kronik tidak direkomendasikan karena tidak mengubah kadar glikemik,
risiko kejadian kardiovaskular, atau penurunan LFG.
d. Terapi dengan penghambat ACE atau obat penyekat reseptor angiotensin
II tidak diperlukan untuk pencegahan primer.
e. Terapi Penghambat ACE atau Penyekat Reseptor Angiotensin II diberikan
pada pasien tanpa kehamilan dengan albuminuria sedang (30 - 299 mg/24
jam) dan albuminuria berat (> 300 mg/24 jam)

44
Selain itu, perlu dilakukan monitoring terhadap kadar serum kreatinin dan
kalium serum pada pemberian penghambat ACE, penyekat reseptor angiotensin
II, atau diuretik lain.

a. Diuretik, penyekat kanal kalsium, dan penghambat beta dapat diberikan


sebagai terapi tambahan ataupun pengganti pada pasien yang tidak dapat
mentoleransi penghambat ACE dan Penyekat Reseptor Angiotensin II.
b. Apabila serum kreatinin ≥ 2,0 mg/dL sebaiknya ahli nefrologi ikut
dilibatkan.
c. Pertimbangkan konsultasi ke ahli nefrologi apabila kesulitan dalam
menentukan etiologi, manajemen penyakit, ataupun gagal ginjal stadium
lanjut.
Tabel 4. Tatalaksana CKD berdasarkan derajat LFG

Derajat LFG Rencana Tatalaksana

1 >90 - Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid


evaluasi pemburukan (progression)
Fungsi ginjal, memperkecil resiko
kardiovaskuler

2 60-89 - Menghambat pemburukan (progression)


fungsi ginjal
3 30-59 - Evaluasi dan terapi komplikasi

4 12-29 - Persiapan untuk terapi pengganti ginjal

5 <15 - Terapi Pengganti Ginjal

Komplikasi anemia pada penyakit ginjal kronik

Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada
penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoitin.

45
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping
penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoitin (EPO) merupakan hal yang
dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini, status besi harus selalu mendapat
perhatian karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian
tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara hati hati, berdasarkan
indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan
secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia
dan pemburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik
adalah 11-12 g/dl. Anemia yang tidak diterapi akan berhubungan dengan beberapa
kelainan fisiologis, seperti penurunan pengantaran dan penggunaan oksigen ke
jaringan, meningkatkan cardiac output, pembesaran jantung, hipertrofi ventrikel,
angina, gagal jantung kongestif, penurunan fungsi mental dan kognitif, gangguan
siklus menstruasi, gangguan host untuk melawan infeksi.

46
BAB IV
ANALISA KASUS

Pada kasus telah dilaporkan pasien datang ke poli penyakit dalam RSUD
Abdul Manap tanggal 2 November 2022 dengan keluhan lemas yang memberat
sejak 1 minggu SMRS. Pasien mudah merasa haus dan lapar namun nafsu makan
berkurang. Pasien kadang juga merasa mual dan kebas pada kedua kaki. Pasien
mengaku BAK menjadi lebih sering, urin berwarna kuning pekat. Keluhan juga
disertai dengan batuk berdahak sejak 3 hari SMRS. Dahak berwarna kuning
dengan volume ½ sdm saat batuk, tidak ada darah, dan tidak disertai bau yang
menyengat. Batuk memberat saat suhu dingin. Batuk tidak dipicu oleh aktivitas
fisik, debu, emosi, asap rokok, dan bau yang menyengat. Pasien juga
mengeluhkan adanya penurunan berat badan ±7 kg dalam 2 minggu terakhir.
Keluhan sesak dan nyeri dada tidak ada. Pasien memiliki riwayat DM dan
hipertensi tidak terkontrol serta riwayat penyakit ginjal.

Dari pemeriksaan status gizi dengan parameter BB/TB didapatkan hasil


underweight. Pada pemeriksaan fisik didapatkan hasil konjungtiva anemis, batas
jantung tidak normal, dan akral dingin. Pada pemeriksaan penunjang laboratorium
didapatkan hasil anemia normositik normokromik, leukositosis, trombositosis,
hiperglikemia. Hasil rontgen menunjukkan adanya peningkatan corakan
bronkovaskular dan cardiomegaly. Pemeriksaan EKG menunjukkan adanya sinus
takikardi dan hipertrofi ventrikel kiri.
Berdasarkan anamnesis, pasien mengeluhkan gejala klasik dari DM tipe 2,
yaitu mudah haus (polidipsi), mudah lapar (polifagi), sering BAK (poliuri),
penurunan berat badan, dan kebas. Pasien memiliki riwayat DM tidak terkontrol
sejak ± 10 tahun. Pasien tidak rutin mengonsumsi obat glimepiride.

Berdasarkan pemeriksaan fisik, ditemukan adanya tekanan darah yang


tinggi, status gizi underweight, dan konjungtiva anemis. Temuan ini menunjukkan

47
adanya penurunan berat badan signifikan dari pasien hingga status gizi tidak
normal. Adanya tekanan darah tinggi mengarahkan adanya komorbid penyakit
lain, seperti hipertensi. Sementara itu, konjungtiva anemis dapat menjadi penanda
adanya anemia yang dapat didukung dengan pemeriksaan penunjang.

Pada pemeriksaan penunjang yang mendukung penegakan diagnosis DM


yang mana didapatkan hasil GDS 331 mg/dl dan HbA1c 6,6%. Menurut American
Diabetes Association, salah satu kriteria diagnosis DM yaitu, gejala klasik
diabetes atau krisis hiperglikemi dengan kadar plasma glukosa ≥ 200 mg/dL (11.1
mmol/L) atau kadar HbA1c >6,5%. Diabetes mellitus ditandai dengan
peningkatan kadar gula darah akibat gangguan produksi insulin, gangguan kerja
insulin, atau keduanya.

Komplikasi DM dapat bersifat akut maupun kronik. Komplikasi kronik


dapat berupa komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular. Salah satu komplikasi
yang dapat terjadi yaitu nefropati diabetik. Nefropati Diabetik adalah komplikasi
diabetes melitus pada ginjal yang dapat berakhir sebagai gagal ginjal. Penyakit
ginjal (nefropati) merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan pada DM.

Dari anamnesis didapatkan pasien mengeluhkan adanya lemas, mual,


batuk, riwayat DM, riwayat hipertensi, dan penyakit ginjal. Keluhan tersebut
dapat mengarah pada komplikasi dari penyakit DM berupa nefropati diabetik.
adanya batuk yang menunjukkan adanya infeksi saluran napas juga dapat menjadi
salah satu infeksi sekunder yang dapat ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik.

Dari pemeriksaan fisik, ditemukan adanya konjungtiva anemis yang


mendukung penegakan diagnosis anemia penyakit kronik yang dalam hal ini
penyakit kronik berupa gagal ginjal kronik. Selanjutnya, pada pemeriksaan
penunjang pasien ini ditemukan adanya peningkatan ureum dan creatinine yang
menunjukkan skor LFG 6,07%. Hal tersebut menandakan pasien mengalami gagal

48
ginjal kronik stage V. Pasien juga mengalami anemia yang dapat timbul sebagai
komplikasi dari CKD yang merupakan penyakit kronik. Sesuai dengan hasil MCV
yang menunjukkan gambaran anemia normositik normokromik. Anemia dapat
timbul akibat defisiensi eritropoietin.

Pasien juga memiliki riwayat hipertensi yang mana hipertensi juga


merupakan faktor resiko terjadinya CKD. Selain itu, hipertensi dan CKD juga
dapat menimbulkan kelainan pada jantung seperti hipertrofi ventrikel. Pada
pemeriksaan fisik jantung, gambaran radiologi, dan EKG pasien ini menunjukkan
adanya hipertrofi ventrikel kiri. Akral dingin pada pasien menandakan hipoperfusi
jaringan perifer.

Pada pasien ini juga ditemukan adanya infeksi saluran napas dengan gejala
batuk berdahak warna kuning didukung dengan hasil pemeriksaan rontgen thorax
dan adanya leukositosis. Pada pasien CKD, resiko infeksi meningkat dan salah
satunya dapat berupa infeksi saluran napas. Pasien batuk berdahak berwarna
kuning dengan volume ½ sdm saat batuk, tidak ada darah, dan tidak disertai bau
yang menyengat. Batuk memberat saat suhu dingin. Batuk tidak dipicu oleh
aktivitas fisik, debu, emosi, asap rokok, dan bau yang menyengat. Hal ini
menyingkirkan diagnosis asma dan PPOK. Keluhan sesak dan nyeri dada tidak
ada.

IVFD NACL 0,9% 30 tpm diberikan untuk rehidrasi cairan pada pasien.
IVFD B fluid diberikan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien. Transfusi
PRC 2 kolf diberikan untuk mengoreksi anemia. Ceftriaxone adalah golongan
antibiotik sefalosforin yang dapat digunakan untuk mengobati beberapa kondisi
akibat infeksi bakteri. Azitromicin yang merupakan golongan makrolid diberikan
untuk mengatasi infeksi. Omeprazole diberikan untuk mengatasi keluhan mual.
Pada pasien ini diberikan terapi insulin kerja cepat, yaitu insulin aspart
(novorapid) dengan dosis 3x3 IU. Insulin diberikan secara injeksi subcutan pada
49
saat sebelum atau setelah makan. Dosis insulin bersifat individual dengan dosis
lazim yaitu 0,5-1 IU/kg BB per hari. Pemberian insulin ini bertujuan untuk
menurunkan kadar glukosa darah setelah makan. Pasien juga diberikan insulin
basal dengan dosis 1x6 IU. Dengan adanya insulin, kebutuhan energi pada
berbagai sel target tubuh akan terpenuhi sehingga pemecahan cadangan energi
akan menurun. Gejala klasik dari DM akan perlahan teratasi seiring dengan
pengendalian kadar glukosa darah. N asetilsistein diberikan sebagai mukolitik
karena adanya keluhan batuk berdahak pada pasien. Pasien direncanakan
tindakan hemodialisa sebagai tatalaksana dari CKD stage V.

Terapi nutrisi pada pasien ini disesuaikan dengan IMT dan Berat Badan
Ideal pasien serta diet khusus pada pasien Diabetes Melitus Tipe 2. Terapi nutrisi
medis merupakan bagian penting dari penatalaksanaan DM secara komprehensif.
Untuk karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45 – 65% total asupan energi.
Terutama karbohidrat yang berserat tinggi, Asupan lemak dianjurkan sekitar 20 –
25% kebutuhan kalori, dan tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan
energy, Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan asupan protein
menjadi 0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi, dengan 65%
diantaranya bernilai biologik tinggi.

50
BAB V
KESIMPULAN

Diabetes melitus adalah penyakit yang ditandai dengan terjadinya


hiperglikemia dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang
dihubungkan dengan kekurangan secara absolut atau relatif dari kerja dan atau
sekresi insulin. Komplikasi DM dapat berupa komplikasi akut dan kronik.
Komplikasi kronik dapat berupa komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular.
Salah satunya yaitu nefropati diabetikum. Nefropati diabetik merupakan salah
satu penyebab tersering dari kejadian gagal ginjal kronik. Pada pasien gagal
ginjal kronik stage V, terapi yang diberikan yaitu hemodialisa.

51
DAFTAR PUSTAKA
1. Soelistijo S. Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe
2 Dewasa di Indonesia 2021. Glob Initiat Asthma [Internet]. 2021;46.
Tersedia pada: www.ginasthma.org.
2. Cheng HT, Xu X, Lim PS, Hung KY. Worldwide Epidemiology of
Diabetes-Related End-Stage Renal Disease, 2000-2015. Diabetes Care.
2021;44(1):89–97.
3. International Diabetes Federation. IDF Diabetes Atlas 10th edition. 2021.
1–141 hal.
4. Mahfudzoh BS, Yunus M, Ratih SP. Hubungan Antara Faktor Risiko
Diabetes Melitus yang Dapat Diubah Dengan Kejadian DM Tipe 2 di
Puskesmas Janti Kota Malang. Sport Sci Heal. 2019;1(1):59–71.
5. Gumilas NSA, Harini IM, Samodra P, Ernawati DA. Karakteristik
Penderita Diabetes Melitus (Dm) Tipe 2 Di Purwokerto. J Kesehat.
2018;1(2):14–5.
6. Katsarou A, Gudbjörnsdottir S, Rawshani A, Dabelea D, Bonifacio E,
Anderson BJ, et al. Type 1 diabetes mellitus. Nat Rev Dis Prim [Internet].
2017;3:1–18. Tersedia pada: http://dx.doi.org/10.1038/nrdp.2017.16
7. Marcdante K, Kliegman R. Nelson Essentials of Pediatrics 8th edition. 8
ed. Elsevier Inc; 2019.
8. Fortunato N. Pathophysiology: The Biologic Basis for Disease in Adults
and Children 8th ed. 2019;63(1):294.
9. Setiati S, Alwi I, Sudoyo A, Al E. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI.
Interna Publishing; 2017.
10. IDAI 2017. Panduan Praktik Klinis Diagnosis dan Tata Laksana Diabetes
Melitus Tipe-1 pada Anak dan Remaja. Ikat Dr Anak Indones. 2017;1–15.
11. Donaghue KC, Marcovecchio ML, Wadwa RP, Chew EY, Wong TY,
Calliari LE, et al. ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines 2018:
Microvascular and macrovascular complications in children and
adolescents. Pediatr Diabetes. 2018;19(Suppl 27):262–74.
12. Suryanegara NM, Acang N, Suryani YD. Scoping Review: Pengaruh Kadar
Gula Darah tidak Terkontrol terhadap Komplikasi Makrovaskular pada
Pasien Diabetes Melitus Tipe 2. J Integr Kesehat Sains. 2021;3(2):245–50.

52
13. ES HS, Decroli E, Afriwardi A. Faktor Risiko Pasien Nefropati Diabetik
Yang Dirawat Di Bagian Penyakit Dalam Rsup Dr. M. Djamil Padang. J
Kesehat Andalas. 2018;7(2):149.
14. Duan J, Wang C, Liu D, Qiao Y, Pan S, Jiang D, et al. Prevalence and risk
factors of chronic kidney disease and diabetic kidney disease in Chinese
rural residents: a cross-sectional survey. Sci Rep. 2019;9(1):1–11.
15. DeFronzo RA, Reeves WB, Awad AS. Pathophysiology of diabetic kidney
disease: impact of SGLT2 inhibitors. Nat Rev Nephrol [Internet].
2021;17(5):319–34. Tersedia pada: http://dx.doi.org/10.1038/s41581-021-
00393-8
16. Anders HJ, Huber TB, Isermann B, Schiffer M. CKD in diabetes: Diabetic
kidney disease versus nondiabetic kidney disease. Nat Rev Nephrol
[Internet]. 2018;14(6):361–77. Tersedia pada:
http://dx.doi.org/10.1038/s41581-018-0001-y

53

Anda mungkin juga menyukai