Oleh :
Agustina Br Pakpahan
G1A217095
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan berkat dan kasih karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
kasus yang berjudul “Ketoasidosis Diabetikum ec Diabetes Melitus Tipe II Tidak Terkontrol
+ ISK”. Dalam kesempatan ini saya juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Hasan Basri,
Sp.PD-KGH. FINASIM, sebagai dosen pembimbing yang memberikan banyak ilmu selama
di Departemen Ilmu Penyakit Dalam.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini jauh dari sempurna. Penulis sedang dalam
tahap pendidikan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran agar lebih baik
kedepannya.
Akhir kata, saya berharap semoga laporan kasus ini bermanfaat bagi kita semua dan
dapat menambah informasi dan pengetahuan kita.
Penulis
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
LAPORAN KASUS
Umur : 60 tahun
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
2.2 Anamnesa
Keluhan utama : Badan terasa lemas yang semakin memberat sejak ± 1 hari
SMRS
Pasien datang dengan keluhan badan terasa lemas sejak ± 3 hari SMRS, yang semakin
memberat sehari SMRS. Sekitar 3 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengatakan
badannya terasa lemas, namun masih dapat melakukan aktivitas sehari-hari. Dan sejak satu
hari sebelum masuk rumah sakit, pasien sulit berjalan dan sulit melakukan aktivitas apapun.
Pasien mengalami mual (+) sejak 3 hari SMRS, muntah (-). Pasien juga merasa nyeri
di ulu hati. Penurunan nafsu makan (+) sejak sekitar 3 hari SMRS.
Pasien juga mengeluhkan sesak sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak
dirasakan setiap waktu, dengan intensitas yang berbeda. Nyeri dada (-).
Pasien juga mengeluhkan demam sejak satu hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien
meminum obat demam saat dirumah, namun pasien masih merasa demam saat masuk rumah
sakit.
2
Pasien juga mengeluhkan gelisah dan sakit kepala sejak ± 1 hari SMRS. Pasien juga
sering keringat dingin, sering merasa lapar, sering haus, dan sering berkemih. Sejak ± 1
minggu terakhir, pasien mengaku buang air kecil dalam rentang waktu sekali dalam sejam,
dalam jumlah yang banyak, nyeri (+), tidak berpasir, darah (-). BAB normal.
Pasien mengaku sudah mengetahui dirinya mengidap DM sejak sekitar satu tahun
yang lalu. Diberikan obat untuk dimakan di pagi hari, pasien lupa nama obatnya, pasien
meminum obat yang diberikan, namun tidak kontrol ulang ke dokter setelah obat habis.
Tanda-tanda Vital :
TD : 120/70 mmHg
3
Nadi : 94 x/menit
RR : 19 x/menit, jenis pernafasan: thoracoabdominal
Suhu : 36,9 0C
Sp02 : 99 %
BB : 66 kg
TB : 160 cm IMT 25,78 (berat badan berlebih)
Kulit : Warna sawo matang, efloresensi (-), hiperpigmentasi (-), jaringan parut (-),
ikterus (-), lapisan lemak normal, pertumbuhan rambut normal, turgor baik.
Mata : Mata cekung (-) Konjungtiva anemis (-), sclera ikterik (-), edem pelpebra (-/-),
Reflek cahaya (+/+), pupil isokor (+/+).
Hidung : Nafas cuping hidung (-), secret (-), epistaksis (-), deviasi septum (-)
Mulut : Bentuk normal, bibir kering (-), sianosis (-), mukosa anemis (-), gusi berdarah
(-), bau nafas dbn.
Leher : JVP 5-1 cmH2O, pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran kelenjar
tiroid (-), deviasi trakea (-), kaku kuduk (-).
Thorak
Jantung
4
Paru
- Inspeksi : Gerakan dada simetris kanan dan kiri, jaringan parut (-), penggunaan otot
bantu nafas tidak ada
- Palpasi : Fremitus taktil sama kanan dengan kiri (normal), tidak ada nyeri tekan sela
iga
- Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
- Auskultasi : Vesikuler pada kedua lapang paru, ronkhi (-/-) wheezing (-/-)
Abdomen
Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (-), nyeri tekan suprapubik (-), defense
muskular (-), hepar, lien, ginjal tidak teraba
4. Pulmo posterior
- Inspeksi : simetris
- Palpasi : fremitus taktil normal kanan dan kiri
- Perkusi : sonor kanan dan kiri
- Gerakan : simetris
Tidak diperiksa
5
Ekstremitas
6
Oedem (-) (-)
7
Berat Jenis 1015
pH 5
Protein - -
Reduksi +++ -
Keton +++ -
SEDIMEN
Leukosit 20-22 0-4
Eritrosit 3-4 0-3
Epitel 8-10 0-1
2.5 Permasalahan
1. Hiperglikemia
2. Hiponatremi
3. Glukosuria
4. Ketonuria
5. ISK
Sekunder : ISK
- Ketoasidosis alkoholik
2.8 Tatalaksana
Non-farmakologi
Tirah baring
8
Edukasi
Farmakologi:
O2 4L/menit
IVFD NaCl 0,9% 250ml/jam → Jika GDS sudah < 200 mg/dl, diberikan D5% dengan
0,45 NaCl 150 ml/jam.
Injeksi insulin 6,6 IU bolus IV
Injeksi insulin regular 6,6 IU/ jam IV → evaluasi glukosa darah tiap jam. Jika glukosa
< 200mg/dl → berikan insulin 3,3 IU/ jam IV
Injeksi ceftriaxone 1x2 gr IV → cek ulang sedimen urin 1 hari kemudian. Jika masih
leukosituri → Ciprofloxacin 2x500mg tab
Injeksi omeprazole 2x40 mg IV
Paracetamol 1x500mg tab
Metoclopramide 3 x 10mg tab
Lansoprazole 2 x 30mg tab
2.9 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ada sanationam : dubia ad bonam
9
2.10 Follow Up Pasien
Tanggal S O A P Ket
26 Mei 2018 Badan lemas Kesadaran : Ketoasidosis Non Pasien boleh
(-), sesak (-), CM diabetikum Farmakologi pulang
mual (-), TD : 120/70 ec DM tipe II 1.Istirahat
demam (-), mmHg overweight yang cukup
sering buang Nadi : 94 tidak 2.Bladder
air kecil (+) x/menit terkontrol + training
warna RR : 19 ISK Farmakologi:
kuning x/menit IVFD NaCl
muda, nyeri S : 36,9oC 0,9% 20 tpm
saat BAK (-).
2.11 Hasil Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik di IGD RSUD Raden Mattaher (23 Mei
2018):
Anamnesis: badan lemas sejak 3 hari SMRs, memberat 1 hari SMRS, sesak, nyeri dada (-),
mual (+), sering BAK, nyeri saat BAK (+)
Vital sign:
Kesadaran: Compos mentis
GCS: 15
TD: 110/70
10
N: 117x/menit
RR: 29x/menit
T: 37,7oC
Pemeriksaan Fisik:
Mata: anemis (-/-), ikterik (-/-)
Leher: normal
Thorax: Nafas Kussmaul
Abdomen: supel, nyeri tekan epigastrik (+)
Pelvis: normal
Eksstremitas: normal
11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.1 Definisi
3.1.2 Epidemiologi
Kejadian KAD berkisar 4-8 kasus pada setiap 1000 pengidap diabetes dan masih
menjadi masalah di rumah sakit. Angka kematian berkisar 0.5-7% tergantung dari kualitas
pusat pelayanan yang mengelola KAD tersebut.1
3.1.3 Patofisiologi1
Kombinasi dari defisiensi insulin absolut atau relatif dan peningkatan kadar hormon
kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol, hormon pertumbuhan, dan somatostatin)
akan mengakibatkan akselerasi kondisi katabolik dan inflamasi berat dengan akibat
peningkatan produksi glukosa oleh hati dan ginjal (via glikogenolisis dan glukoneogenesis)
dan gangguan utilisasi glukosa di perifer yang berakibat hiperglikemia dan hiperosmolaritas.
Defisiensi insulin dan peningkatan hormon kontra regulator terutama epinefrin juga
mengaktivasi hormon lipase sensitif pada jaringan lemak yang mengakibatkan peningkatan
lipolisis. Peningkatan lipolisis dan ketogenesis akan memicu ketonemia dan asidosis
metabolik. Populasi benda keton utama terdiri dari 3-hidroksibutirat, asetoasetat, dan aseton.
Sekitar 75-85% benda keton terutama adalah 3-beta hidroksibutirat, sementara aseton sendiri
sebenarnya tidak terlalu penting. Walaupun sudah banyak dibentuk benda keton untuk
sumber energi, sel-sel tubuh tetap masih lapar dan terus membentuk glukosa.
Hiperglikemia dan hiperketonemia mengakibatkan diuresis osmotik, dehidrasi, dan
kehilangan elektrolit. Perubahan tersebut akan memicu lebih lanjut hormon stress sehingga
akan terjadi perburukan hiperglikemia dan hiperketonemia. Jika fase ini tidak diinterupsi
dengan pemberian insulin dan cairan, maka akan terjadi dehidrasi berat dan asidosis
12
metabolik yang fatal. Ketoasidosis akan diperburuk oleh asidosis laktat akibat perfusi
jaringan yang buruk.
Defisiensi insulin relatif terjadi akibat konsentrasi hormon kontra regulator yang
meningkat sebagai respon terhadap kondisi stress seperti sepsis, trauma, penyakit
gastrointestinal berat, infark miokard akut, stroke, dan lain-lain. Denga adanya kondisi stress
metabolik tertentu, keberadaan insulin yang biasanya cukup untuk menekan lipolisis menjadi
tidak cukup secara relatif karena dibutuhkan lebih banyak insulin untuk metabolism dan
untuk menekan lipolisis.
13
3.1.4 Pencetus1
Pencetus tersering terjadinya KAD adalah infeksi. Pencetus lain diantaranya adalah
menghentikan atau mengurangi insulin, infark miokard, stroke akut, pancreatitis, dan obat-
obatan. Awitan baru atau penghentian pemakaian insulin seringkali menjadi sebab DM tipe 1
jatuh pada keadaan KAD. Pada beberapa pasien yang dianggap DM tipe 2, kadang-kadang
tidak ditemukan pencetus yang jelas dan setelah diberikan insulin dalam periode pendek,
keadaannya cepat membaik, bahkan tidak membutuhkan medikasi sama sekali.
3.1.5 Diagnosis1
Untuk menegakkan diagnosis tentu selalu dilakukan dengan anamnesis yang detail,
pemeriksaan fisik yang teliti, dan dibantu dengan pemeriksaan penunjang yang diperlukan.
Dari anamnesis bisa ditemukan riwayat seorang pengidap diabetes atau bukan dengan
keluhan poliuria, polidipsi, rasa lelah, kram otot, mual muntah, dan nyeri perut. Pada keadaan
yang berat dapat ditemukan penurunan kesadaran sampai koma.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda dehidrasi, nafas Kussmaul jika
asidosis berat, takikardi, hipotensi atau syok, flushing, penurunan beraat badan, dan tentunya
adalah tanda dari masing-masing penyakit penyerta.
Trias biokimiawi pada KAD adalah hiperglikemia, ketonemia dan atau ketonuria,
serta asidosis metabolik dengan beragam derajat. Pada awal evaluasi tentu kebutuhan
pemeriksaan penunjang disesuaikan keadaan klinis, umumnya dibutuhkan pemeriksaan dasar
gula darah, elektrolit, analisis gas darah, keton darah daan urin, osmolalitas serum, darah
perifer lengkap dengan hitung jenis, anion gap, EKG, dan foto polos dada.
Kunci diagnosis pada KAD adalah adanya peningkatan total bendda keton di
sirkulasi. Metode lama untuk mendeteksi adanya benda keton di darah dan urin adalah
dengan menggunakan reaksi nitropuside yang mengestimasi kadar asetoasetat dan aseton
secara semikuantitatif. Walaupun sensitif, tetapi metode tersebut tidak dapat mengukur
keadaan beta hidroksibutirat, benda keton utama sebagai produk ketogenesis. Peningkatan
benda-benda keton tersebut akan mengakibatkan peningkatan anion gap.
Gula darah melebihi dari 250 mg/dL dianggap sebagai criteria diagnosis utama KAD,
walaupun ada istilah KAD euglikemik, dengan demikian setiap pengidap diabetes yang gula
darahnya lebi dari 250 mg/dL harus dipikirkan kemungkinan ketosis atau KAD jika disertai
engan keadaan klinis yang sesuai. Derajat keasaman darah (pH) yang kurang dari 7,35
dianggap sebagai ambang adanya asidosis, hanya saja pada keadaan yang terkompensasi,
seringkali pH menunjukkan angka normal. Pada keadaan seperti itu, jika angka HCO3
14
kurangg dari 18mEq/l ditambah dengan keadaan klinis lain yang sesuai, maka sudah cukup
untuk menegakkan KAD.
Pada saat masuk rumah sakit, seringkali terdapat leukositosis pada pasien KAD
karena stress metabolik dan dehidrasi, sehingga jangan terburu-buru memberikan antibiotic
jika jumlah leukosit antara 10.000-15.000 m3.
3.1.6 Penatalaksanaan1
Kesuksesan pengelolaan KAD membutuhkan koreksi terhadap dehidrasi,
hiperglikemia, gangguan elektrolit, komorbiditas, dan monitoring selama perawatan. Karena
spektrum klinis sangat beragam, maka tidak semua kasus KAD harus dirawat di ICU, hanya
saja karena kasus yang ringan sekalipun membutuhkan monitor yang intensif, maka
sebaiknya minimal perawatan adalah di ruangan yang bisa dilakukan monitor intensif (high
care unit).
Secara umum, pemberian cairan adalah langkah awal penatalaksanaan KAD setelah
resusitasi kardiorespirasi. Terapi cairan ditujukan untuk ekspansi cairan intraseluler,
intravascular, dan interstisial, da restorasi perfusi ginjal. Jika tidak ada masalah kardiak, atau
penyakit ginjal kronik berat, cairan issotonik (NaCl 0,9%) diberikan dengan dosis 15-20
cc/Kg BB/jam pertama atau satu sampai satu setengah liter pada jam pertama. Tindak lanjut
cairan pada jam-jam berikutnya tergantung pada keadaan hemodinamik, status hidrasi,
elektrolit, dan produksi urin. Penggantian cairan dapat dilakukan sampai dengan 24 jam, dan
penggantian cairan sangat mempengaruhi pencapaian target gula darah, hilangnya benda
keton, dan perbaikan asidosis.
Insulin
Insulin merupakan farmakoterapi kausatif utama KAD. Pemberian insulin intravena
kontinyu lebih disukai karena waktu parunya pendek dan mudah dititrasi. Dari beberapa studi
prospektif dengan randomisasi didapatkan bahwa pemberian insulin regular dosis rendah
intravena merupakan cara yang efektif dan terpilih. Jika dosis insulin intravena yang
diberikan sekitar 0,1-1,15 unit/jam, maka sebenarnya tidak ddiperlukan insulin bolus
(priming dose) di awal. Dengan pemberian insulin intravena dosis renddah, diharapkan tejadi
penurunan glukosa plasma dengan kecepatan 50-100 mg/dl setiap jam sampai glukosa turun
ke sekitar 200 mg/dl, lalu kecepatan insulin diturunkan menjadi 0,02-0,05 unit/kgBB/jam.
Jika glukosa sudah berada di sekitar 150-200 mg/dl, maka pemberian infuse dekstrose
dianjurkan untuk mencegah hipoglikemia.
15
Kalium
Sejatinya pasien KAD akan mengalami hiperkalemia melalui mekanisme asidemia,
defisiensi insulin, dan hipertonisitas. Jika saat masuk kalium pasien normal atau rendah,
maka sesungguhnya terdapat defisiensi kalium yang berat di tubuh pasien, sehingga butuh
pemberian kalium yang adekuat karena terapi insulin akan menurunkan kalium lebih lanjut.
Monitor jantung perlu dilakukan pada keadaan tersebut agar jangan teerjadi aritmia. Untuk
mencegah hipokalemia, maka pemberian kalium sudah dimulai manakala kadar kalium
dissekitar batas atas nilai normal.
Bikarbonat
Jika asidosis memang murni karena KAD, maka koreksi bikarbonat tidak
direkomendasikan diberikan rutin, kecuali jika pH drah kurang dari 6,9. Hanya saja, pada
keadaan dengan gangguan fungsi ginjal yang signifikan, seringkali sulit membedakan apakah
asidosisnya karena KAD atau karena gagal ginjalnya. Efek buruk dari koreksi bikarbonat
yang tidak pada tempatnya adalah meningkatnya risiko hipokalemia, menurunnya asupan
oksigen jaringan, edema serebri, dan asidosis susunan saraf pusat paradoksal.
Fosfat
Meskipun terjadi hipopasfatemia pada KAD, serum fosfat sering ditemukan dalam
keadaan normal atau meningkat saat awal. Kadar fosfat akan turun dengan pemberian insulin.
Dari beberapa studi tidak ditemukan manfaat yang nyata pemberian fosfat pada KAD, bahkan
pemberian fosfat yang berlebihan akan mencetuskan hipokalsemia berat. Pada keadaan
konsentrasi serum fosfat kurang dari 1 mg/dl dan disertai dengan disfungsi kardiak, anemia,
atau depresi nafas akibat kelemahan otot, maka koreksi fosfat menjadi pertimbangan penting.
16
merupakan pertimbangan penting saat transisi ke subkutan, jika pasien masih puasa karena
sesuatu hal atau asupan masih sangat kurang, maka lebih baik insulin intravena diteruskan.
Jika pasien sudah terkontrol regimen insulin tertentu sebelum mengalami KAD, maka
pemberian insulin dapat diberikan ke regimen awal dengan tetap mempertimbangkan
kebutuhan insulin pada keadaan terakhir. Pada pasien yang belum pernah mendapat insulin,
maka pemberian injeksi subkutan terbagi lebih dianjurkan. Jika kebutuhan insulin masih
tinggi, maka regimen basal bolus akan lebih menyerupai insulin fisiologis dengan risiko
hipoglikemia yang lebih rendah.
17
3.1.7 Komplikasi1
Komplikasi tersering adalah hipoglikemia, hipokalemia, dan hiperglikemia berulang.
Hiperkloremia juga sering didapatkan hanya saja biasanya sementara dan tidak membutuhkan
terapi khusus. Agar jangan terjadi komplikasi tersebut, maka diperlukan monitoring yang
ketat (gula darah diperiksa tiap 1-2 jam) dan penggunaan insulin dosis rendah.
Komplikasi lain yang harus menjadi perhatian adalah kelebihan cairan, termasuk
edema paru, sehingga pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan gagal jantung,
pemberian cairan dimodifikasi sesuai dengan risiko terjadinya kelebian cairan.
Hal lain yang jarang mendapatkan perhatian adalah komplikasi edema serebri,
walaupun jarang didapatkan pada usia dewasa. Keadaan ini tetap harus menjadi perhatian jika
kita mendapatkan pasien KAD yang kesadarannya tidak membaik dengan terapi standar atau
bahkan memburuk. Pada kasus seperti ini, evaluasi neurologis mutlak diperlukan karena
membutuhkan pengelolaan tambahan.
3.1.8 Pencegahan1
Edukasi merupakan tulang punggung pencegahan KAD, karena untuk sampai ke
keadaan KAD, tentu melalui proses dekompensasi metabolik yang berkepanjangan dan
membutuhkan waaktu. Ketosis merupakan keadaan sebelum terjadinya KAD sehingga jika
kita menemukan di fase ketosis, biasanya keadaan klinisnya lebih ringan dan pengelolaannya
lebih mudah.
3.1.9 Prognosis1
Umumnya pasien membaik setelah diberikan insulin dan terapi standar lainnya, jika
komorbid tidak terlalu berat. Biasanya kematian pada pasien KAD adalah karena penyakit
penyerta berat yang datang pada fase lanjut. Kematian meningkat seiring dengan
meningkatnya usia dan beratnya penyakit penyerta.
18
3.2 Infeksi Saluran Kemih
3.2.1 Anatomi dan Fisiologi
Sistem urinarius terdiri dari 2 ginjal (ren), 2 ureter, vesika urinaria dan uretra. System
urinarius berfungsi sebagai sistem ekskresi dari cairan tubuh. Ginjal berfungsi untuk
membentuk atau menghasilkan urin dan saluran kemih lainnya berfungsi untuk
mengekskresikan atau mengeliminasi urin. Sel-sel tubuh memproduksi zat-zat sisa seperti
urea, kreatinin dan ammonia yang harus diekskresikan dari tubuh sebelum terakumulasi dan
menyebabkan toksik bagi tubuh. Selain itu, ginjal juga berfungsi untuk regulasi volume darah
tubuh, regulasi elekterolit yang terkandung dalam darah, regulasi keseimbangan asam basa,
dan regulasi seluruh cairan jaringan tubuh. Saluran kemih bagian atas adalah ginjal,
sedangkan ureter, kandung kemih (vesika urinaria) dan uretra merupakan saluran kemih
bagian bawah.5,6
Ginjal memiliki tiga bagian penting yaitu korteks, medulla dan pelvis renal. Bagian
paling superfisial adalah korteks renal, yang tampak bergranula. Di sebelah dalamnya
terdapat bagian lebih gelap, yaitu medulla renal. Ujung ureter yang berpangkal di ginjal,
berbentuk corong lebar disebut pelvis renal. Pelvis renal bercabang dua atau tiga, disebut
kaliks mayor yang masing-masing bercabang membentuk beberapa kaliks minor. Dari kaliks
minor, urin masuk ke kaliks mayor, ke pelvis renal kemudian ke ureter, sampai akhirnya
ditampung di dalam kandung kemih.5,6
19
Ureter terdiri dari dua saluran pipa yang masing-masing menyambung dari
ginjal ke kandung kemih (vesika urinaria). Panjangnya kira-kira 25-30 cm, dengan
penampang ± 0,5 cm. Ureter sebagian terletak dalam rongga abdomen dan sebagian terletak
dalam rongga pelvis.5,6
Kandung kemih adalah kantong yang terbentuk dari otot tempat urin mengalir dari
ureter. Dinding kandung kemih terdiri dari lapisan sebelah luar (peritonium).5,6
Bagian akhir saluran keluar yang menghubungkan kandung kemih dengan luar
tubuh ialah uretra. Uretra pria sangat berbeda dari uretra wanita. Pada laki-laki, sperma
berjalan melalui uretra waktu ejakulasi. Uretra pada laki-laki merupakan tuba dengan panjang
kira-kira 17-20 cm dan memanjang dari kandung kemih ke ujung penis.5,6
Uretra pada laki-laki mempunyai tiga bagian yaitu : uretra prostatika, uretra
membranosa dan uretra spongiosa. Uretra wanita jauh lebih pendek daripada pria, karena
hanya 2,5-4 cm panjangnya dan memanjang dari kandung kemih ke arah ostium diantara
labia minora kira-kira 2,5 cm di sebelah belakang klitoris.5,6
.
20
Gambar 3. Vesika urinaria dan uretra pada perempuan dan laki-laki
Sumber: Essential of Anatomy and Physiology 5th edition,2007
3.2.2 Definisi7
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah istilah umum yang menunjukkan keberadaan
mikroorganisme dalam urin.
3.2.3 Klasifikasi ISK7
a. ISK bawah
Presentasi klinis ISK bawah tergantung dari jenis kelamin:
1. Perempuan
a. Sistitis
Sistitis adalah presentasi klinis infeksi kandung kemih disertai bakteriuria
bermakna.
b. Sindrom uretra akut
Sindrom uuretra akut (SUA) adalah presentasi klinis sistitis tanpa
ditemukan mikroorganisme (steril), sering dinamakan sistitis bakterialis.
Penelitian terkini SUA disebabkan oleh mikroorganisme anaerob.
2. Laki-laki
a. Pielonefritis akut (PNA)
Pielonefritis akut adalah proses inflamasi parenkim ginjal yang disebabkan
infeksi bakteri.
b. Pielonefritsi kronis (PNK)
21
Pielonefritsi kronis adalah infeksi bakteri berkepanjangan atau infeksi
sejak masakecil. Obstruksi saluran kemih dan refluks vesikoureter dengan atau
tanpa bakteriuria kronik sering diikuti pembentukan jaringan ikat parenkim ginjal
yang ditandai pielonefritis kronik yang spesifik. Bakteriuria asimtomatik kronik
pada orang dewasa tanpa faktor predisposisi tidak pernah menyebabkan
pembentukan jaringan ikat parenkim ginjal.
3.2.4 Epidemiologi7
Infeksi saluran kemih (ISK) tergantung dari banyak faktor, seperti usia, gender,
prevalensi bakteriuria, dan faktor predisposisi yang menyebabkan perubahan struktur salutran
kemih, termasuk ginjal.
Selama periode usia beberapa bulan dan lebih dari 65 tahun perempuan cenderung
menderita ISK dibandingkan laki-laki. ISK berulang pada laki-laki jarang dilaporkan, kecuali
disertai faktor predisposisi (pencetus).
Prevalensi bakteriuri asimtomatik lebih sering ditemukan pada perempuan. Prevalensi
selama periode sekolah (school girls) 1% meningkat menjadi 5% selama periode aktif secara
seksual. Prevalensi infeksi asimtomatik meningkat mencapai 30%, baik laki-laki maupun
perempuan bila disertai faktor predisposisi seperti terlihat pada daftar dibawah ini.
Faktor Predisposisi (Pencetus) ISK
Litiasis
Obstruksi saluran kemih
Penyakit ginjal polikistik
Nekrosis papilar
Diabetes mellitus pasca transplantasi ginjal
Nefropati analgesik
Penyakit Sikle-cell
Senggama
Kehamilan dan peserta KB dengan tablet progesteron
Kateterisasi
3.2.5 Etiologi7
Mikroorganisme Saluran Kemih
Pada umumnya ISK disebabkan mikroorganisme (MO) tunggal:
22
1. Escherichia coli merupakan MO yang paling sering diisolasi dari pasien dengan
infeksi simtomati maupun asimtomatik.
2. Mikroorganisme lainnya yang sering ditemukan seperti Proteus spp (33% ISK anak
laki-laki berusia 5 tahun), Klebsiella spp, dan Stafilokokus dengan koagulase negatif.
3. Infeksi yang disebabkan Pseudomonas spp dan MO lainnya seperti Stafilokokus
jarang dijumpai, kecuali pasca kateterisasi.
23
haemaglutinin atau DFA component of DR blood group), fimbrial adhesions (AFA-1
dan AFA-11), M-adhesions, G-adhesions dan curli adhesions.
Sifat patogenisitas lain dar E.coti berhubungan dengan toksin. Dikenal
beberapa toksin seperti α-haemolisin, cytotoxic necrotizing factor-1 (CNF-1), dan iron
uptake system (aerobactin dan enterobactin). Hampir 95% α-hemolisin terikat pada
kromosom dan berhubungan pathogenicity islands (PAIS) dan hanya 5% terikat pada
gen plasmio.
Resistensi uropatogenik E.coli terhadap serum manusia dengan perantara
(mediator) beberapa faktor terutama aktivasi sistem komplemen termasuk membrane
attack complex (MAC). Mekanisme pertahanan tubuh berhubungan dengan
pembentukan kolisin (Col V), K-1, Tra T proteins dan outer membrane protein
(OHPA). Menurut beberapa peneliti uropatogenik MO ditandai dengan ekspresi faktor
virulensi ganda. Beberapa sifat uropatogen MO; seperti resistensi serum, sekuestrasi
besi, pembentukan hidroksat dan antigen K yang muncul mendahului manifestasi
klinis ISK. Gen virulensi dikendalikan faktor luar seperti suhu, ion besi, osmolaritas,
pH, dan tekanan oksigen. Laporan penelitian Johnson mengungkapkan virulensi
E.coli sebagai penyebab ISK terdiri atas fimbriae type 1 (58%), P-fimbriae (24%),
aero bactin (38%), haemolysin (20%), antigen K (22%), resistensi serum (25%), dan
antigen O (28%).
Patofisiologi ISK
Pada individu nomal, biasanya laki laki maupun perempuan, urin selalu steril karena
dipertahankan jumlah dan frekuensi kencing. Uretro distal merupakan tempat kolonisasi
mikroorganisme nonpathegenic fostidious gram positif dan gram negatif.
Hampir semua ISK disebabkan invasi mikroorganisme asending dari uretra ke dalam
kandung kemih. Pada beberapa pasien tertentu invasi mikroorganistrie dapat mencapai ginjal.
Proses ini dipermudah refluks vesikoureter.
Proses invasi mikroorganisme hematogen sangat jarang ditemukan di klinik, mungkin
akibat lanjut dari bakteriemia. Ginjal diduga merupakan lokasi infeksi sebagai akibat lanjut
septikemi atau endakarditis akibat Stafilekokus aureus. Kelainan ginjal yang terkait dengan
endokarditis (stafilekokus aureus) dikenal Nephritis Lohlein. Beberapa peneliti melaporkan
25
pielonefritis akut (PNA) sebagai akibat lanjut invasi hematogen dari infeksi sistemik gram
negatif.
ISK rekuren
Infeksi saluran kemih (ISK) rekuren terdiri 2 kelompok, yaitu:
a. Re-infeksi (re-infections). Pada umumnya episode infeksi dengan interval >6 minggu
dengan mikroorganisme (MO) yang berlainan.
b. Relapsing infection. Setiap kali infeksi disebabkan mikroorganisme yang sama, disebabkan
sumber infeksi tidak mendapat terapi yang adekuat.
26
3.2.8 Komplikasi ISK7
Komplikasi ISK tergantung dari tipe yaitu ISK tipe sederhana (uncomplicated) dan
tipe berkomplikasi (complicated).
1. ISK sederhana (uncomplicated). ISK akut tipe sederhana (sistitis) yaitu non-obstruksi dan
bukan perempuan hamil merupakan penyakit ringan (self limited disease) dan tidak
menyebabkan akibat lanjut jangka lama.
2. ISK tipe berkomplikasi (complicated)
ISK selama kehamilan. ISK selama kehamilan dari umur kehamilan.
ISK pada diabetes melitus. Penelitian epidemiologi klinik melaporkan bakteriuria dan
ISK lebih sering ditemukan pada DM dibandingkan perempuan tanpa DM.
27
1. Ultrasonogram (USG)
2. Radiograf
Foto polos perut
Pielografi IV
Micturating cystogram
3. Isotop scanning
28
2. Pasien sakit berat atau debilitasi
3. Terapi antibiotik oral selama rawat jalan mengalami kegagalan
4. Diperlukan investigasi lanjutan
5. Faktor predisposisi untuk iSK tipe berkomplikasi
6. Komorbiditas seperti kehamilan, diabetes melitus, usia lanjut
The Infectious Disease Society of America menganjurkan satu dari tiga alternatif terapi
antibiotik IV sebagai terapi awal selama 48-72 jam sebelum diketahui MO sebagai
penyebabnya:
1. Fluorokuinolon
2. Amiglikosida dengan atau tanpa ampisilin
3. Sefalosporin dengan spektrum luas dengan atau tanpa aminoglikosida
3.2.11 Pencegahan7
Data epidemiologi klinik mengungkapkan uji saring bakteriuria asimtomatik bersifat
selektif dengan tujuan utama untuk mencegah menjadi bakteriuria disertai presentasi klinik
ISK. Uji saring bakteriuria asimtomatik harus rutin dengan jadual tertentu untuk kelompok
pasien perempuan hamil, pasien DM terutama perempuan, dan pasca transplantasi ginjal
perempuan dan laki-laki, dan kateterisasi laki-laki dan perempuan.
29
Prevalensi bakteriuri asimtomatik pada perempuan disertai diabetes mellitus lebih
banyak dibandingkan dengan perempuan tanpa diabetes mellitus. Patogenesis kepekaan
terhadap ISK diantara pasien diabetes mellitus tidak diketahui pasti. Peneitian epidemiologi
kiinik gagal mencari hubungan antara prevalensi bakteriuria asimtomatik dengan kualitas
pengendalian hiperglikemia (dengan parameter gula darah puasa dan HbA1C dan faal ginjal).
Peneliti lain Balasoiu D menemukan hubungan faktor risiko gangguan faal kandung kemih
(Bladder dysfunction) dengan peningkatan kepekaan terhadap ISK pada diabetes melitus.
Disfungsi kandung kemih ini diduga akibat disfungsi saraf autonom dan gangguan fungsi
leukosit PMN (opsonisasi, kemotaksis dan fagositosis). Perubahan susunan kimiawi dan
konsentrasi protein Tamm-Horsfaal diduga mempengaruhi perubahan bacterial adhesion
terhadap sel epitel yang dapat mencetuskan infeksi saluran kemih (ISK).
Menurut beberapa peneliti basiluri asimtomatik pada diabetes melitus merupakan
faktor predisposisi pielonefritis akut disertai mikrosis papiler dan insufisiensi renal. Basiluria
asimtomatik dengan mikroorganisme pembentukan, seperti E.coli, Candida spp dan
klostridium dapat menyebabkan pielonefritis emfisematosa disertai syok septik dan
vasomotor akut nefropati.
Beberapa peneliti lebih cenderung memberikan terapi antimikroba pada basiluria
asimtomatik pada pasien dengan diabetes melitus.
31
BAB IV
ANALISA KASUS
Berikut adalah analisa kasus Ny. R berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, hasil
laboratorium, serta tatalaksana nya.
Fakta Teori
1. Anamnesis
Didapatkan keluhan pada pasien Dari anamnesis, bisa ditemukan riwayat
sebagai berikut: seorang pengidap diabetes atau bukan,
Badan lemas, sesak dengan keluhan poliuria, polidipsi, badan
lemas, rasa lelah, kram otot, mual, muntah
Mual, nyeri ulu hati, dan nyeri perut.
Gelisah, demam, sakit kepala,
Adanya riwayat demam dapat menunjukkan
berkeringat adanya infeksi, dimana infeksi merupakan
Sering buang air kecil, nyeri saat pencetus tersering KAD.
BAK
Menderita DM selama 1 tahun.
2. Pemeriksaan fisik
Dari hasil pemeriksaan fisik di IGD, Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
didapatkan: tanda-tanda dehidrasi, nafas Kussmaul,
Kesadaran: Compos mentis takikardi, hipotensi atau syok, flushing,
TD: 110/70 penurunan berat badan.
N: 117 x/ menit
RR: 29 x/menit
T: 37,7oC
3. Hasil Laboratorium
Dari hasil laboratorium, ditemukan: 1. Trias biokimiawi pada KAD adalah
Metabolisme Karbohidrat:
hiperglikemi, ketonemia dan atau
GDS: 470 mg/dl → Kesan: ketonuria, serta asidosis metabolik
Hiperglikemia
dengan beragam derajat.
Elektrolit: 2. Gula darah lebih dari 250 mg/dl
32
Sedimen
Penatalaksanaan Teori
IVFD NaCl 0,9% 250ml/jam → Jika Sesuai dengan protokol manajemen KAD
GDS sudah < 200 mg/dl, diberikan D5% oleh Katabchi, yaitu:
dengan 0,45 NaCl 150 ml/jam 1. Pada pasien dengan hiponatremi,
diberikan NaCl 0,9% 250-500 ml/jam
tergantung status hidrasi.
2. Jika serum glukosa mencapai 200 mg/dl
ganti cairan menjadi D5% dengan 0,45
NaCl 150-250 ml/jam
Injeksi insulin 6,6 IU bolus IV Sesuai dengan protokol manajemen KAD
oleh Katabchi, yaitu:
Pemberian insulin bolus 0,1 U/kgBB IV
Injeksi insulin 6,6 IU/ jam IV → Sesuai dengan protokol manajemen KAD
evaluasi glukosa darah tiap jam. Jika oleh Katabchi, yaitu:
glukosa < 200mg/dl → berikan insulin 1. Pemberian insulin 0,1 U/kgBB/jam IV.
3,3 IU/ jam IV 2. Jika glukosa serum tidak turun 10%
dalam 1 jam pertama, berikan 0,14 U/kgBB
bolus IV.
3. Jika glukosa serum mencapai 200 mg/dl,
kurangi infus insulin menjadi 0,02-0,05
U/kgBB/jam IV.
Injeksi omeprazole 2x40 mg (1 ampul) Sebagai terapi simptomatik untuk nyeri
perut
Injeksi ceftriaxone 1x2 gr IV → cek Antibiotik ini diberikan untuk mengatasi
ulang sedimen urin 1 hari kemudian. Jika ISK pada pasien. Masa kerja ceftriaxone
masih leukosituri → Ciprofloxacin adalah 1 hari. Maka, setelah pemberian
2x500mg tab injeksi ceftriaxone, perlu dilakukan
pengecekan ulang sedimen urin, untuk
melihat kadar leukosit dalam urin. Jika
masih tinggi, terapi dilanjutkan dengan
33
antibiotik oral.
Paracetamol 1x500 mg Sebagai terapi simptomatik untuk demam.
Metoclopramide 3x10 mg tab Untuk mengatasi gastroparesis diabetik
Lansoprazole 2x30 mg tab Sebagai terapi simptomatik jika pasien
masih nyeri perut dan mual.
34
BAB V
KESIMPULAN
Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dl), disertai tanda dan gejala
asidosis dan plasma keton (+) kuat.2
Kombinasi dari defisiensi insulin absolut atau relatif dan peningkatan kadar hormone
kontra regulator (glucagon, katekolamin, kortisol, hormon pertumbuhan, dan somatostatin)
akan mengakibatkan akselerasi kondisi katabolik dan inflamasi berat dengan akibat
peningkatan produksi glukosa oleh hati dan ginjal (via glikogenolisis dan glukoneogeesis)
dan gangguan utilisasi glukosa di perifer yang berakibat hiperglikemia da hiperosmolaritas.1
Untuk menegakkan diagnosis tentu selalu dilakukan dengan anamnesis yang detail,
pemeriksaan fisik yang teliti, dan dibantu dengan pemeriksaan penunjang yang diperlukan.
Dari anamnesis bisa ditemukan riwayat seorang pengidap diabetes atau bukan dengan
keluhan poliuria, polidipsi, rasa lelah, kram otot, mual muntah, dan nyeri perut. Pada keadaan
yang berat dapat ditemukan penurunan kesadaran sampai koma.1
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda dehidrasi, nafas Kussmaul jika
asidosis berat, takikardi, hipotensi atau syok, flushing, penurunan beraat badan, dan tentunya
adalah tanda dari masing-masing penyakit penyerta.1
Trias biokimiawi pada KAD adalah hiperglikemia, ketonemia dan atau ketonuria,
serta asidosis metabolik. Pada awal evaluasi tentu kebutuhan pemeriksaan penunjang
disesuaikan keadaan klinis, umumnya dibutuhkan pemeriksaan dasar gula darah, elektrolit,
analisis gas darah, keton darah daan urin, osmolalitas serum, darah perifer lengkap dengan
hitung jenis, anion gap, EKG, dan foto polos dada.1
Kesuksesan pengelolaan KAD membutuhkan koreksi terhadap dehidrasi,
hiperglikemia, gangguan elektrolit, komorbiditas, dan monitoring selama perawatan.1,2,3
35
Daftar Pustaka
1. Tarigan, Tri J.E. Ketoasidosis diabetik. Dalam Aru W.S., Bambang S., Idrus A.,
Marcellus S.K., Siti S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi ke-6. Jakarta: Interna
Publishing. 2014. Hal: 2375-80.
2. Soelistijo, S.A dkk. Konsensus pengolahan dan pencegahan diabetes mellitus tipe 2 di
Indonesia. PB Perkeni. 2015
3. Foster, D.W. Diabetes Mellitus. Dalam Fauci et al. Harrison’s principle of internal
medicine, edisi ke-14, volume 2. Amerika: McGraw-Hill. 1998. Hal: 2071-4.
4. Kitabchi, A.E et al. Hyperglicemic crisis in adult patients with diabetes. Diabetes
Care: 2009;32(7):1335-43.
5. Snell. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. Edisi ke-enam. Jakarta: EGC.
2004.
6. Guyton & Hall. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC. 2005
7. Sukandar, Enday. Infeksi saluran kemih pasien dewasa. Dalam Aru W.S., Bambang
S., Idrus A., Marcellus S.K., Siti S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi ke-6.
Jakarta: Interna Publishing. 2014. Hal: 2129-36.
8. Metoclopramide. Diakses dari: https://reference.medscape.com/drug/reglan-metozolv-
odt-metoclopramide-342051 (Diakses pada tanggal 10 Juni 2018).
36