Anda di halaman 1dari 58

PRESENTASI KASUS

DIABETES MELITUS TIPE 1, INFEKSI SALURAN KEMIH,


KETOASIDOSIS DIABETIK

Pembimbing:
Dr. dr Pugud Samodro, SpPD

Disusun oleh :
Arrosy Syarifah
G4A015001

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2016
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

DIABETES MELITUS TIPE 1, INFEKSI SALURAH KEMIH,


KETOASIDOSIS DIABETIK

Disusun Oleh :
Arrosy Syarifah
G4A015001

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di


bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal : Febuari 2016

Dokter Pembimbing,

Dr. dr Pugud Samudro, SpPD


NIP. 19670526 200312 1 001

I. STATUS PENDERITA
A. IDENTITAS PASIEN
Nama
Usia
Suku/bangsa
Pekerjaan
Alamat
Tanggal/Jam Masuk
Tanggal Pemeriksaan

: Tn. K
: 35 tahun
: Jawa
: Tukang Parkir di Wisata Baturaden
: Kemutug Lor 02/04 Baturaden
: 12 Januari 2016
: 16 Januari 2016

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Demam
Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke IGD di RSMS dengan keluhan demam sejak 2
minggu SMRS. Demam dirasakan muncul mendadak dan hilang timbul.
Demam tidak disertai kejang atau penurunan kesadaran. Menurut pasien, awal
demam pasien berobat di Klinik daerah Baturaden dan di diagnosis demam
tifoid, namun 6 jam SMRS pasien mengeluh demam naik kembali disertai
bibir kering, mual dan muntah.

Pasien mengaku sejak 2

bulan SMRS

mengeluhkan sering makan dan mudah lapar, sering haus sehingga banyak
minum, pasien memiliki kebiasaan minum dan makan makanan yang manis,
bibir terasa kering dan serta sering buang air kecil malam hari. Selain itu
kadang pasien merasa kaki kesemutan dan penglihatan mata semakin kabur
saat terlalu lama terkena matahari. Pasien mengaku berat badannya turun
secara cepat semenjak 2 bulan SMRS kurang lebih 15 kg. Pasien tidak
memiliki keluhan yang sama sebelumnya. Pasien tidak mengetahui memiliki
riwayat sakit DM atau HT sebelumnya.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat penyakit darah tinggi disangkal
- Riwayat kencing manis disangkal
- Riwayat asma disangkal
- Riwayat penyakit jantung disangkal
- Riwayat penyakit ginjal disangkal
- Riwayat alergi disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat keluhan yang sama disangkal
- Riwayat penyakit darah tinggi disangkal

Riwayat kencing manis diakui (ibu)


Riwayat asma disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat penyakit ginjal disangkal
Riwayat alergi disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien tinggal di lingkungan rumah dengan jumlah penduduk yang
cukup padat, dimana rumah satu dengan yang lain dipisahkan oleh tanah atau
kebun dengan lebar 1 m. Pasien tinggal bersama istri, dua anak, ibu mertua,
dan adik ipar. Hubungan antara keluarga terjalin cukup baik. Pasien bekerja
sebagai tukang parkir di wisata Baturaden. Rumah pasien berukuran cukup
luas sekitar 10x6.5 m, lantai keramik, berdinding dan memiliki 3 kamar.
Kamar mandi berada didalam rumah, pasien sering makan makanan yang
manis dan kebiasaan konsumsi kopi setiap pagi. Pasien jarang berolahraga
dan konsumsi buah serta sayur-sayuran. Pasien memiliki kebiasaan merokok.
C. PEMERIKSAAN FISIK (12/01/2016)
Pemeriksaan Fisik Umum
a. Keadaan umum

: Sedang

b. Kesadaran

: Compos mentis

c. Tanda vital:
-

Tekanan darah

: 100/70 mmHg

Nadi

: 80 x/menit, reguler

Pernapasan

: 22 x/menit, normopneu

Suhu badan (axila)

: 38.1 C

d. Pemeriksaan kepala
-

Bentuk kepala

: simetris, mesochepal

Rambut

: warna hitam, distribusi merata

Venektasi temporal

: tidak ada

e. Pemeriksaan Mata

Cekung

Konjungtiva anemis

: -/-

Sklera ikterik

: -/-

Palpebra edem

: -/-

f. Pemeriksaan Telinga :
-

Simetris

:+

Kelainan bentuk

:-

Discharge

:-

g. Pemeriksaan Hidung :
-

Discharge

:-

Nafas cuping hidung

:-

h. Pemeriksaan Mulut

Bibir sianosis

:-

Bibir kering

:+

Lidah sianosis

:-

Lidah kotor

:-

i. Pemeriksaan Leher

Deviasi trakea

:-

Pembesaran kel. Tiroid

:-

Pembesaran nnll

:-

Peningkatan JVP

:-

Thorax
Paru
Inspeksi

: Bentuk dada simetris, pergerakan dada simetris (tidak ada


gerakan nafas yang tertinggal), tidak ada retraksi spatium
intercostalis.

Palpasi

: Gerakan dada simetris, vocal fremitus kanan = kiri

Perkusi

: Sonor pada seluruh lapang paru

Auskultasi

: Suara dasar nafas vesikuler, tidak terdapat ronkhi basah


kasar di parahiler dan ronkhi basah halus di basal pada
kedua lapang paru, tidak ditemukan wheezing.

Jantung
Inspeksi

: Ictus cordis terlihat di SIC V, 2 jari medial

Palpasi

: Teraba ictus cordis, tidak kuat angkat di SIC V, 2 jari

medial LMCS
Perkusi

: Batas jantung kanan atas SIC II LPSD


Batas jantung kanan bawah SIC IV LPSD
Batas jantung kiri atas SIC II LPSS
Batas jantung kiri bawah SIC V 2 jari medial LMCS

Auskultasi

: S1>S2 reguler, tidak ditemukan murmur, tidak ditemukan

gallop.
Abdomen
Inspeksi

: Perut datar, tidak tampak benjolan, striae (-)

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

Perkusi

: Timpani, shifting dullness (-)

Palpasi

: Supel, tidak teraba massa, nyeri tekan (-) di regio


epigastrik.

Hepar

: tidak teraba

Lien

: tidak teraba

Pemeriksaan ekstrimitas
1) Superior dextra/sinistra

: edem -/-, ikterik -/-, sianosis -/-, akral

hangat +/+
2) Inferior dextra/sinistra

: edem -/-, ikterik -/-, sianosis -/-, akral

hangat +/+
D.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium (12/1/2016):
Pemeriksaan
Darah Lengkap
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Eritrosit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
RDW
MPV

Hasil

Nilai Rujukan

16.8 g/dL (H)


11570 /uL (H)
55 % (H)
5.6 x106/Ul (H)
228.000 /uL
98.9
30 pg
30.3 %
12.4 %
13.2

11.7 15.5 gr/dl


3.600 11.000/L
35 47 %
3.8 5.2 juta/L
150.000 -440.000/L
80 100 fL
26 34 pg
32 36 gr/dL
11.5 14.5 %
9.4 12.4 fL

Hitung Jenis
Basofil
Eosinofil
Batang
Segmen
Limfosit
Monosit
Kimia klinik
GDS
Widal
S. Typhi H
S. Typhi O
S. Paratyphi A-H
S. Paratyphi A-O
S. Paratyphi B-H
S. Paratyphi B-O
S. Paratyphi C-H
S. Paratyphi C-O

0.7 %
0.1 %
0.5 %
78.1 %
15.5 %
5.1 %

01%
24%
35%
50 70 %
25 40 %
2-8%

898 mg/dL (H)

200

Negative
Negative
Negative
Negative
Negative
Negative
Negative
Negative

Negative
Negative
Negative
Negative
Negative
Negative
Negative
Negative

Pemeriksaan Laboratorium (13/01/2016):


Pemeriksaan
Urin Lengkap
Warna
Kejernihan
Bau
Berat Jenis
pH
Leukosit
Nitrit
Protein
Glukosa
Keton
Urobilinogen
Bilirubin
Eritrosit
Sedimen
Eritrosit
Epitel
Silinder Hialin
Silinder lilin
Silinder eritrosit
Granuler halus
Granuler kasar
Kristal
Bakteri

Hasil

Nilai Rujukan

Kuning
Jernih
Khas
1.025
5.5
Negative
Negative
300
50
40
Normal
Negative
250

Kng muda-kng tua


Jernih
Khas
1.010-1.030
4.6-7.8
Negative
Negative
Negative
Normal
Negative
Normal
Negative
50

2-3
1-3
Negative
Negative
Negative
Negative
Negative
Negative
+1

Negative
Negative
Negative
Negative
Negative
Negative
Negative
Negative
Negative

Trikomonas
Jamur

Negative
Negative

Negative
Negative

Pemeriksaan Laboratorium (14/01/2016):


Pemeriksaan
GDP
GD2PP
HBA1C

Hasil
487 mg/dL (H)
415 mg/dL (H)
>14 % (H)

Nilai Rujukan
74 106
126
4.7 7.0

Pemeriksaan Laboratorium (15/01/2016):


Pemeriksaan
GDP

Hasil
343 (H)

Nilai Rujukan
126

Pemeriksaan Laboratorium (16/1/2016):


Pemeriksaan
Darah Lengkap
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Eritrosit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
RDW
MPV
Hitung Jenis
Basofil
Eosinofil
Batang
Segmen
Limfosit
Monosit
Kimia Klinik
GDS
Ureum darah
Kreatinin darah
Kalium
Natrium
Clorida
Perhitungan Osm
2 ( 186 )+

296
18

Hasil

Nilai Rujukan

15.5 g/dL
11380 /uL (H)
53 % (H)
5.1 x106/Ul
77.000 /uL (L)
103.5 Fl
30.5 pg
29.5 %
13.0 %
13.4

11.7 15.5 gr/dl


3.600 11.000/L
35 47 %
3.8 5.2 juta/L
150.000 -440.000/L
80 100 fL
26 34 pg
32 36 gr/dL
11.5 14.5 %
9.4 12.4 fL

0.4 %
0.1 %
0.5 %
72.9 %
20.7 %
5.4 %

01%
24%
35%
50 70 %
25 40 %
2-8%

296 mg/dL (H)


122.6 mg/dL (H)
2.81 mg/dL
3.8
186 (H)
149 (H)

< 200 mg/dL


14.98 38.52 mg/dL
0.80 1.30 mg/dL
3.5 5.1 mmol/dL
136 145 mmol/dL
98 107 mmol/dL

2 ( Na ) +

GDS
18

388.4

E. Diagnosis kerja di IGD


-

Diabetes Melitus Tipe 1


Obs. Febris

F. Terapi
Non Farmakologi
- Edukasi tentang

perubahan

gaya

hidup,

pengetahuan

tentang

penyakitnya, penyesuaian keadaan psikologis, perjalanan penyakit DM,


makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM, penyulit DM
-

dan risikonya.
Edukasi cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa

darah mandiri
Edukasi terkait asupan makanan tinggi kalori, rendah serat, minum

banyak > 2 liter


Edukasi terkait mobilisasi gerak, pentingnya latihan jasmani yang

teratur
Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit atau
hipoglikemia, masalah khusus yang dihadapi (contoh HHS, ulkus
decubitis).

Farmakologi
- IVFD RL: D5% 20 tpm
- Ciprofloxacin 200 mg/12 jam
- Paracetamol 3x1
- Inj. Ranitidin 2x1
G. Planning Pemeriksaan Penunjang
- Darah Lengkap
- Kimia Klinik
- Pemeriksaan GDS dan elektrolit
H. Monitoring dan Evaluasi
- Monitoring kadar glukosa pasien
- Deteksi terhadap timbulnya komplisasi
- Monitoring elektrolit dan gas darah vena setiap 2-4 jam
- Mengobservasi komplikasi DM tipe 1
FOLLOW UP BANGSAL MAWAR
Tanggal

13/01/16 - Badan lemas


- Demam sudah
berkurang
- Lidah
terasa
pahit
- BAK banyak

KU/ Kes: sedang/


compos mentis
TD: 130/70 mmHg
N: 135 x/mnt
RR: 28 x/mnt
S: 36.8 C
Status Generalis
Mata: Cekung, CA -/SI -/Hidung: nch
Mulut: bibir sianosis
bibir kering +
Thoraks:
P/ SD ves +/+, ST -/C/ S1>S2, reg, ST
Status Lok. Abd.
I: datar
A : BU (+) normal
Per: timpani
Pal: supel, NT +
epigastric
Ekstremitas:
Edem sup -/- inf -/Sianosis sup -/- inf -/14/01/16 - Badan lemas
KU/ Kes: sedang/
compos mentis
- Lidah pahit
TD: 150/100 mmHg
- Demam
N: 108 x/mnt
- Mual
- Rasa haus terus RR: 24 x/mnt
S: 38.3 C
menerus
- Nyeri perut ulu Status Generalis
Mata: Cekung, CA -/hati
SI -/Hidung: nch
Mulut: bibir sianosis
bibir kering +
Thoraks:
P/ SD ves +/+, ST -/C/ S1>S2, reg, ST
Status Lok. Abd.
I: datar
A : BU (+) normal
Per: timpani
Pal: supel, NT +
epigastric
Ekstremitas:
Edem sup -/- inf -/Sianosis sup -/- inf -/15/01/16 -Badan lemas
KU/ Kes: sedang/
-Bibir kering
compos mentis
-Haus
terus TD: 150/110 mmHg
menerus
N: 120 x/mnt

DM tipe 1
Obs. Febris dd
ISK
-

IVFD NaCl 0.9% 20


tpm
Novorapid 12-12-12
Levemir 20-0-20
Ciprofloxacin 200
mg/ 12 jam
- Paracetamol 3x1
- Inj. Ranitidin 2x1

DM tipe 1
Obs. Febris dd
ISK
-

IVFD NaCl 0.9% 20


tpm
Novorapid 12-12-12
Levemir 0-0-20
Ciprofloxacin 200
mg/ 12 jam
- Paracetamol 3x1
- Inj. Ranitidin 2x1

DM tipe 1
ISK

- IVFD NaCl 0.9% 20


tpm
- Novorapid 12-12-12
- Levemir 20-0-20

-Mual,
perut
hati

nyeri RR: 28 x/mnt


ulu S: 36.5 C
Status Generalis
Mata: Cekung, CA -/SI -/Hidung: nch
Mulut: bibir sianosis
bibir kering +
Thoraks:
P/ SD ves +/+, ST -/C/ S1>S2, reg, ST
Status Lok. Abd.
I: datar
A : BU (+) normal
Per: timpani
Pal: supel, NT +
epigastric
Ekstremitas:
Edem sup -/- inf -/Sianosis sup -/- inf -/16/01/16 -Badan lemas
KU/ Kes: sedang/
-Haus
terus compos mentis
menerus,
TD: 140/100 mmHg
-Bibir kering,
N: 118 x/mnt
-Tidak
nafsu RR: 24 x/mnt
makan
S: 36.8 C
Status Generalis
Mata: Cekung, CA -/SI -/Hidung: nch
Mulut: bibir sianosis
bibir kering +
Thoraks:
P/ SD ves +/+, ST -/C/ S1>S2, reg, ST
Status Lok. Abd.
I: datar
A : BU (+) normal
Per: timpani
Pal: supel, NT +
epigastric
Ekstremitas:
Edem sup -/- inf -/Sianosis sup -/- inf -/17/01/16 -Tidak sadarkan GCS 3
diri
TD: 80/60 mmHg
-Sesak nafas
N: 120 x/mnt

RR: 34 x/mnt
S: 37.3 C
Status Generalis
Mata: Cekung, CA -/SI -/-

- Ciprofloxacin 200
mg/ 12 jam
- Paracetamol 3x1
- Inj. Ranitidin 2x1

DM tipe 1
ISK
KAD

IVFD RL 20 tpm
Novorapid 12-12-12
Levemir 20-0-20
Ciprofloxacin 200
mg/ 12 jam
Paracetamol 3x1
Inj. Ranitidin 2x1

DM tipe 1
ISK
KAD

- IVFD RL 10 tpm
- IVFD NaCl 0.45%
20 tpm
- O2 8 lpm
- Novorapid 12-12-12
- Levemir 20-0-20
- Ciprofloxacin 200
mg/ 12 jam

Hidung: nch
Mulut: bibir sianosis
bibir kering +
Thoraks:
P/ SD ves +/+, ST -/C/ S1>S2, reg, ST
Status Lok. Abd.
I: datar
A : BU (+) normal
Per: timpani
Pal: supel, NT Ekstremitas:
Edem sup -/- inf -/Sianosis sup -/- inf -/-

I. Diagnosis Akhir
- Diabetes Melitus tipe 1
- ISK
- Ketoasidosis Diabetik
J. Prognosis
a. Ad vitam
b. Ad fungsionam
c. Ad sanationam

: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam

- Paracetamol 3x1
- Inj. Ranitidin 2x1
- Rawat HCU
pasang DC dan
NGT
- Evaluasi GDS dan
elektrolit/ 12 jam

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Anatomi
Pancreas merupakan organ retroperitonela yang terletak di bagian
posterior dari dinding lambung. Letaknya diantara duodenum dan limfa,
didepan aorta agdominal dan arteri serta vena mesenterica superior. Organ ini
konsentrasinya padat, panjangnya 11.5 cm, berat 150 gram. Pancreas
terdiri dari bagian kepala/caput yang terletak disebelah kanan, diikuti corpus
tengah, dan cauda disebelah kiri. Ada sebagian kecil dari pancreas yang
berada dibagian belakang arteri mesenterica superior yang disebut dengan
processus uncinatus (Simbar, 2005).

Gambar 1. Anatomi Pankreas (Sobotta, 2012)


Jaringan penyusun pancreas terdiri dari (Guyton & Hall, 2006):
1. Jaringan eksokrin, berupa sel sekretorik yang berbentuk seperti anggur
yang disebut sebagai asinus/pancreatic acini yang merupakan jaringan
penghasil enzim pencernaan ke dalam duodenum.
2. Jaringan endokrin yang terdiri dari pulau-pulau Langerhans/Islet of
Langerhans

yang

tersebar

diseluruh

jaringan

pancreas,

yang

menghasilkan insulin dan glucagon ke dalam darah.

Gambar 2. Asinus dan pulau Langerhans (Gayton & Hall, 2006)

Pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pancreas


tersebar di seluruh pancreas dengan berat hanya 1-3 % dari berat total
pancreas. Pulau Langerhans berbentuk opoid dengan besar masing-masing
pulau berbeda. Besar pulau Langerhans yang terkecil adalah 50 , sedangkan
yang terbesar 300 , terbanyak adalah sebesar 100-225 . Jumlah semua
pulau Langerhans dipankreas diperkirakan antara 1-2 juta (Sloane, 2003).
Pulau-pulau Langerhans tersebut terdiri dari beberapa sel (Mescher, 2010):
1.

Sel (sekitar 20%) penghasil hormon glucagon

2.

Sel (dengan jumlah paling banyak 70%) penghasil hormon insulin

3.

Sel (sekitar 5-10%) penghasil hormon somatostatis

4.

Sel F atau PP (paling jarang) penghasil polipeptida pancreas.

B. Fisiologi
Masuknya glukosa ke dalam sel otot dipengaruh oleh dua keadaan.
Pertama, ketika sel otot melakukan kerja yang lebih berat, sel otot akan lebih
permeabel terhadap glukosa. Kedua, ketika beberapa jam setelah makan,
glukosa darah akan meningkat tersebut menyebabkan peningkatan transport
glukosa ke dalam sel (Guyton & Hall, 2006).
Insulin adalah hormon yang bersifat anabolic yang mendorong
penyimpanan glukosa sebagai glikogen di hati dan otot, perubahan glukosa
menjadi triasilgliserol di hati dan penyimpanannya di jaringan adiposa, serta
penyerapan asam amino dan sintesis protein di otot rangka Insulin
meningkatkan sintesis albumin dan protein darah lainnya oleh hati dan
meningkatkan penggunaan glukosa sebagai bahan bakar dengan merangsang
transpor glukosa ke dalam otot dan jaringan adiposa. Insulin juga bekerja

menghambat mobilisasi bahan bakar. Pelepasan insulin ditentukan terutama


oleh kadar glukosa darah, terjadi dalam beberapa menit setelah pankreas
terpajan oleh kadar glukosa yang tinggi. Ambang untuk pelepasan insulin
adalah sekitar 80 mg/dl. Kadar tertinggi insulin terjadi sekitar 30-45 menit
setelah makan makanan tinggi karbohidrat. Kadar insulin kembali ke tingkat
basal seiring dengan penurunan kadar glukosa darah, sekitar 120 menit
selepas makan (Cranmer et al., 2009).
Insulin disintesis oleh sel pada pancreas endokrin yang terdiri dari
kelompok mikroskopis kelenjar kecil, atau pulau Langerhans, tersebar di
seluruh pancreas eksokrin. Perangsangan insulin oleh glukosa menyebabkan
eksositosis vesikel penyimpanan insulin, suatu proses yang bergantung pada
ion K+, ATP, dan ion Ca2+. Fosfolirasi glukosa dan metabolisme selanjutnya
mencetuskan pelepasan insulin melalui suatu mobilisasi Ca2+ intrasel. Pulau
pancreas dipersarafi oleh system autonomy, termasuk cabang nervus vagus,
yang membantu mengkoordinasi pelepasan insulin dengan tindakan makan
(Aswani, 2010).
Hasil kerja insulin adalah melawan fosforilasi yang dirangsang oleh
glucagon, insulin bekerja melalui jenjang fosforilasi yang merangsang
fosforilasi beberapa enzim, insulin menginduksi dan menekan sintesis enzim
spesifik, insulin bekerja sebagai factor pertumbuhan dan memiliki efek
perangsangan umum terhadap sitesis protein dan insulin merangsang
transport glukosa dan asam amino ke dalam sel (Aswani, 2010).
Gambar 3. Sekresi Insulin
Reseptor insulin merupakan kombinasi dari empat subunit yang

berikatan dengan ikatan disulfida yaitu dua subunit- yang berada diluar sel
membrane dan dua unit sel yang menembus membrane. Insulin akan
mengikat serta mengaktivasi reseptor pada sel target, sehingga akan

menyebabkan sel terfosforilasi. Sel akan mengaktifkan tyrosine kinase


yang juga akan menyebabkan terfosforilasinya enzim intrasel lain termasuk
insulin-receptors substrates (IRS) (Guyton & Hall, 2006).
Setelah molekul glukosa memberikan rangsangan pada sel beta insulin
akan disekresi melalui beberapa tahap, pertama proses untuk melewati
membrane sel yang membutuhkan senyawa lain. Glucose transporter
(GLUT) adalah senyawa asam amino yang terdapat dalam berbagai sel yang
berperan proses metabolisme glukosa. Fungsinya sebagai kendaraan
pengankut glukosa masuk dari luar ke dalam jaringan tubuh. Glucose
transforter 2 (GLUT 2) yang terdapat dalam sel , diperlukan dalam proses
masuknya glukosa dari dalam darah melewati membran ke dalam sel. Proses
ini merupakan langkah penting, agar selanjutnya ke dalam sel, molekul
glukosa tersebut dapat mengalami proses glikolisis dan fosforilasi yang akan
membebaskan molekul ATP. Molekul ATP yang terbebas tersebut, dibutuhkan
untuk mengaktifkan proses penutupan K channel yang terdapat pada
membran sel. Terhambatnya pengeluaran ion K dari dalam sel menyebabkan
depolarisasi membran sel, yang diikuti kemudian oleh proses pembukaan Ca
channel. Keadaan inilah yang memungkinkan masuknya ion Ca sehingga
meningkatkan kadar ion Ca intrasel, suasana yang dibutuhkan bagi proses
sekresi insulin melalui mekanisme yang cukup rumit dan belum seutuhnya
dapat dijelaskan (Manaf, 2006).
Dalam tubuh kita terdapat mekanisme reabsorbsi glukosa oleh ginjal,
dlama batas ambang tertentu. Kadar glukosa normal dalam tubuh kira-kira
100mg glukosa/100ml plasma dengan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)
125ml/menit. Glukosa akan ditemukan diurin jika telah melewati ambang
ginjal untuk reabsorbsi glukosa yaitu 375 mg/menit dengan glukosa di plasma
darah 300mg/100ml (Sherwood, 2011).

C. Definisi
Diabetes Mellitus (DM) adalah kumpulan penyakit metabolik yang
ditandai dengan hiperglikemia akibat adanya gangguan sekresi insulin, kerja
insulin, ataupun keduanya. Hiperglikemi berhubungan dengan kerusakan

jangka panjang, disfungsi, dan kegagalan berbagai organ terutama mata,


ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah (ADA, 2012). Menurut World
Health Organization (WHO), Diabetes Mellitus merupakan suatu kumpulan
masalah anatomi dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor dimana didapat
sejumlah defisiensi insulin absolut atau relatif serta gangguan fungsi insulin
(Purnamasari, 2009).
Diabetes Melitus diklasifikasikan berdasarkan patogenesis yang
mengakibatkan terjadinya keadaan hiperglikemia dan klasifikasi ini juga
digunakan untuk penatalaksanaan (Powers, 2012). Diabetes mellitus secara
garis besar dikelompokan menjadi empat, yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM
tipe lain dan DM gestasional. Pada sebagian lainnya ditemukan autoantibodi
terhadap sel beta pancreas seperti ditemukan pada DM tipe 1 namun
terdiagnosis saat dewasa yang awalnya didiagnosis sebagai DM tipe 2.
Keadaan tersebut disebut sebagai Latent Autoimmune Diabetes in Adults
(LADA) (Kurniyanto & Tanggo; 2012).
D. Epidemiologi
Berdasarkan perolehan data Internatonal Diabetes Federatiaon (IDF)
tingkat prevalensi global penderita DM pada tahun 2012 sebesar 8,4 % dari
populasi penduduk dunia, dan mengalami peningkatan menjadi 382 kasus
pada tahun 2013, pada tahun 2035 jumlah insiden DM akan mengalami
peningkatan menjadi 55% (592 juta) di antara usia penderita DM 40-59 tahun
(IDF, 2013). Indonesia merupakan negara urutan ke 7 dengan kejadian
diabetes mellitus tertinggi dengan jumlah 8,5 juta penderita setelah Cina (98,4
juta), India (65,1 juta), Amerika (24,4 juta), Brazil (11,9 juta), Rusia (10,9
juta), Mexico (8,7 juta), Indonesia (8,5 juta) Jerman (7,6 juta), Mesir (7,5
juta), dan Jepang (7,2 juta). Berdasarkan perolehan data Badan Pusat Statistik
(BPS) menyatakan bahwa akan terjadi peningkatan jumlah penderita DM
pada tahun 2030 dengan jumlah penderita DM meningkat menjadi 20,1 juta
dengan prevalensi 14,7% untuk daerah urban dan 7,2% di rural. Sementara,
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi jumlah penderita DM
meningkat menjadi 21,3 juta pada tahun 2030 (Persi, 2011). Sedangkan

perolehan data Riskesdas tahun 2013, terjadi peningkatan prevalensi DM di


17 propinsi seluruh Indonesia dari 1,1% pada tahun 2007 meningkat menjadi
2,1% di tahun 2013 dari total penduduk sebanyak 250 juta. Dari data-data
prevalensi kejadian DM diatas, salah satunya adalah propinsi Jawa Tengah
dengan jumlah penderita DM tertinggi sebanyak 509.319 jiwa di kota
Semarang (Profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah, 2011). Di Indonesia
menurut terdapat 1785 DM yang mengalami komplikasi neuropati (63,5%),
retinopati (42%), nefropati (7,3%), makrovaskuler (16%), mikrovaskuler
(6%), luka kaki diabetic (15%) (Purwanti, 2013).
Data komunitas di Amerika Serikat, Rochester menunjukkan bahwa
insiden KAD sebesar 8/1000 pasien DM per tahun untuk semua kelompok
umur, sedangkan untuk kelompok umur kurang dari 30 tahun sebesar
13,4/1000 pasien DM per tahun. KAD dilaporkan bertanggung jawab untuk
lebih dari 100.000 pasien yang dirawat per tahun di Amerika Serikat.
Walaupun data komunitas di Indonesia belum ada, agaknya insiden KAD di
Indonesia tidak sebanyak di negara barat, mengingat prevalensi DM tipe 1
yang rendah. Laporan insiden KAD di Indonesia umumnya berasal dari data
rumah sakit dan terutama pada pasien DM tipe 2. Di negara maju dengan
sarana yang lengkap, angka kematian KAD berkisar antara 9-10%, sedangkan
di klinik dengan sarana sederhana dan pasien usia lanjut angka kematian
dapat mencapai 25-50%.
Angka kematian menjadi lebih tinggi pada beberapa keadaan yang
menyertai KAD, seperti sepsis, syok berat, infark miokard akut yang luas,
pasien usia lanjut, kadar glukosa darah awal yang tinggi, uremiadan kadar
keasaman darah yang rendah. Kematian pada pasien KAD usia muda
umumnya dapat dihindari dengan diagnosis cepat, pengobatan yang tepat dan
rasional sesuai dengan patofisiologinya. Pada pasien kelompok usia lanjut,
penyebab kematian lebih sering dipicu oleh faktor penyakit dasarnya.
Mengingat 80% pasien KAD telah diketahui menderita DM sebelumnya,
upaya pencegahan sangat berperan dalam mencegah KAD dan diagnosis dini
KAD.

Pada usia remaja insidensi ISK bertambah secara signifikan pada


wanita muda mencapai 20%, sementara konstan pada lelaki muda. Sebanyak
sekitar 7 juta kasus cystitis akut yang didiagnosis pada wanita muda tiap
tahun. Faktor resiko utama pada usia 16-35 tahun berkaitan dengan hubungan
seksual. Pada usia lanjut, insidensi ISK bertambah secara signifikan di
perempuan dan laki-laki. Morbiditas dan mortalitas ISK paling tinggi pada
kumpulan usia yang < 1 tahun dan > 65 tahun (Nguyen, 2004). Prevalensi
infeksi saluran kemih pada pasien DM didapatkan pada peeempuan sebayak
43% dan pada laki-laki DM 30% (Parvagi et al., 2011).
E. Etiologi
Berdasarkan American Diabetes Association

(ADA, 2013),

klasifikasi etiologis DM adalah sebagai berikut :


1.Diabetes Melitus tipe 1 (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi
insulin absolut)
a) Melalui proses imunologik
b) Idiopatik
2.Diabetes mellitus tipe 2 (bervariasi mulai dari predominan resistensi insulin
disertai defisiensi insulin relative sampai predominan gangguan sekresi
insulin bersama resistensi inslin)
Diabetes Melitus tipe 2 terjadi oleh karena adanya sekelompok
campuran kelainan dengan karakteristik resistensi insulin, kegagalan
sekresi insulin dan peningkatan pmbentukan glukosa darah. Adanya
kelainan genetic dan metabolik pada mekanisme kerja insulin atau proses
sekresinya menjadi penyebab terjadinya hiperglikemia pada DM tipe 2
(Powers, 2012). Adanya mutase pada reseptor insulin menyebabkan
terjadinya sekelompok gangguan yang ditandai oleh resistensi insulin
berat (Powers, 2012). Diabetes Melitus tipe lain merupakan jenis DM
yang sering ditemukan didaerah tropis dan negara berkembang dimana
biasanya disebabkan oleh malnutrisi yang bersama dengan defisiensi
protein (Suyono, 2009). Diabetes Melitus gstasional adalah Diabetes
Melitus

yang

berkembang

saat

kehamilan.

Resistensi

insulin

berhubungan dengan perubahan-perubahan metabolik yang terjadi


selama kehamilan dan adanya peningkatan kebutuhan insulin mungkin
menyebabkan terjadinya IGT (Powers, 2012).
3.Diabetes mellitus tipe lain
a) Defek genetic fungsi sel beta
-

Kromosom 12, HNF 1 (MODY3)

Kromosom 7, glukokinase (MODY2)

Kromosom 20, HNF-4 (MODY1)

Kromosom 13, Insulin Pomotor Factor-1

Kromosom 17, HNF 1 (MODY5)

Kromosom 2, NeuroD1 (MODY6)

DNA mitokondria

b) Defek

genetic

kerja

insulin:

resistensi

insulin

tipe

A,

leprechaunism, sindrom Rabson-medenhall, diabetes lipoatrofik


c) Penyakit eksokrin pancreas: pankreatitis, trauma/prankeatektomi,
neoplasia, fibrosis kistik, hemokromositositoma, pankreatopati
fibrokalkulus
d) Endokrinopati: akromegali, sindroma cushing, glukagonoma,
feokromositoma, hipertiroidisme,somatostationoma, aldosteronoma
e) Induksi oleh obat atau zat kimia : vacor, pentamidin, asam
nikotinat, glukokortikoid, hormon tiroid, diazoxide, agonis
adrenergik, tiazid, dilantin, interferon-, lainnya
f) Infeksi : rubella kongenital, Cytomegalovirus, lainnya
g) Imunologi (jarang terjadi) : sindrom Stiff-man, antibodi anti
reseptor insulin, lainnya
h) Sindrom genetik lain : sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindom
turner, sindrom Wolfram, ataksia Friedreich, kore Huntington,
distropi misotonik, porfiria, sindrom Prader-Willi, lainnya
4.Diabetes mellitus gestasional
Diabetes Mellitus tipe ini terjadi ketika ibu hamil gagal
mempertahankan euglikemia. Faktor resiko DM gestasional adalah
riwayat keluarga, obesitas dan glikosuria. Diabetes mellitus tipe ini

dijumapi pada 2-5% populasi ibu hamil. Biasanya gula darah akan
kembali normal setelah melahirkan, namun resiko ibu hamil untuk
mendapatkan DM tipe II dikemudian hari cukup besar (Nabyl, 2009).
Diabetes mellitus tipe ini sering juga disebut dengan istilah
diabetes sekunder, dimana keadaan ini timbul sebagai akibat adanya
penyakit lain yang mengganggu produkis insulin dan mempengearuhi
kerja insulin. Penyebab diabetes semacam ini antara lain: radang
pancreas, gangguan kelenjar adrenal atau hipofisis, penggunaan hormon
kortikosteroid,

pemakaian

beberapa

obat

antihipertensi

atau

antikolesterol, malnutrisi dan infeksi (Tandra, 2007).


F. Faktro Pencetus
Ada sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui menderita DM
untuk pertama kali. Pada pasien KAD yang sudah diketahui DM sebelumnya,
80% dapat dikenali adanya faktor pencetus. Mengatasi faktor pencetus ini
penting dalam pengobatan dan pencegahan ketoasidosis berulang.Faktor
pencetus yang berperan untuk terjadinya KAD adalah infeksi, infark miokard
akut, pankreatitis akut, penggunaan obat golongan steroid, menghentikan atau
mengurangi dosis insulin. Sementara itu 20% pasien KAD tidak didapatkan
faktor pencetus.
Faktor pencetus tersering dari KAD adalah infeksi, dan diperkirakan
sebagai pencetus lebih dari 50% kasus KAD. Pada infeksi akan terjadi
peningkatan sekresi kortisol dan glukagon sehingga terjadi peningkatan kadar
gula darah yang bermakna. Faktor lainnya adalah cerebrovascular accident,
alcohol abuse, pankreatitis, infark jantung, trauma, pheochromocytoma, obat,
DM tipe 1 yang baru diketahui dan diskontinuitas (kepatuhan) atau terapi
insulin inadekuat. Kepatuhan akan pemakaian insulin dipengaruhi oleh umur,
etnis dan faktor komorbid penderita. Faktor lain yang juga diketahui sebagai
pencetus KAD adalah trauma, kehamilan, pembedahan, dan stres psikologis.
Infeksi yang diketahui paling sering mencetuskan KAD adalah infeksi saluran
kemih dan pneumonia. Pneumonia atau penyakit paru lainnya dapat
mempengaruhi oksigenasi dan mencetuskan gagal napas, sehingga harus

selalu diperhatikan sebagai keadaan yang serius dan akan menurunkan


kompensasi respiratorik dari asidosis metabolik. Infeksi lain dapat berupa
infeksi ringan seperti skin lesion atau infeksi tenggorokan. Obat-obatan yang
mempengaruhi metabolisme karbohidrat seperti kortikosteroid, thiazid,
pentamidine, dan obat simpatomimetik (seperti dobutamin dan terbutalin),
dapat mencetuskan KAD. Obat-obat lain yang diketahui dapat mencetuskan
KAD diantaranya beta bloker, obat antipsikotik, dan fenitoin, Pada pasien
usia muda dengan DM tipe 1, masalah psikologis yang disertai kelainan
makan memberikan kontribusi pada 20% KAD berulang. Faktor yang
memunculkan kelalaian penggunaan insulin pada pasien muda diantaranya
ketakutan untuk peningkatan berat badan dengan perbaikan kontrol
metabolik, ketakutan terjadinya hipoglikemia, dan stres akibat penyakit
kronik. Namun demikian, seringkali faktor pencetus KAD tidak ditemukan
dan ini dapat mencapai 20-30% dari semua kasus KAD, akan tetapi hal ini
tidak mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat KAD itu sendiri.
G. Patogenesis dan Patofisiologi
Permasalahan utama pada DM tipe 1 karena kerusakan sel beta
pancreas baik oleh proses autoimun maupun idiopatik sehingga produksi
insulin berkurang bahkan terhenti. Gangguan pada hormon insulin menjadi
dasar terjadinya gejala pada DM. insulin diproduksi organ pancreas yang
terletak didekat hati dan berperan dalam melepaskan dan menyimpan bahan
bakar tubuh. Hormon insulin diproduksi sesuai pesanan dalam artian
kadarnya dapat naik dan turun tergantung kebutuhan. Insuli bekerja pada
keadaan makandan puasa. Setelah makan banyak, kadar insulin akan naik
dan glukosa akan disimpan oleh tubuh. Sebaliknya saat puasa, kadar insulin
akan turun dan glukosa disimpan dalam organ tubuh seperti hati, otot, dan
lemak dilepaskan untuk memenuhi kebutuhan tubuh (Pulungan &
Herqutanto, 2009).
Insulin dikenal sebagai hormon yang berperan penting untuk
mengatur keseimbangan glukosa darah dalam sirkulasi. Insulin merupakan
protein dengan berat molekul 6000D. terdiri dari dua rantai yang
dihubungkan oleh ikatan disulphide, disintesis dalam jumlah signifikan hanya

pada sel pakreas. mRNA insulin ditranlasi sebagai prekusor rantai tunggal
preproinsulin, perpindahan sinyal peptide selama proses insersi ke dalam
reticulum endoplasma (RE) menghasilkan proinsulin yang terdiri dari 3 rantai
yaitu rantai B terminal amino, rantai A terminal carboxy dan peptide
penghubung yang dikenal sebagai C peptide. Didalam RE dihasilkan insulin
matur yang dihasilkan oleh terpaparnya proinsulin oleh beberapa endopeptida
spesifik yang menyebabkan C peptide terlepas. Dalam badan golgi, insulin
dan C peptide dikemas kedalam granul-granul sekretorik yang terakumulasi
didalam sitoplasma (Cartailler, 2004; Dickson et al., 2004).
Sekresi insulin dari sel pancreas merupakan proses kompleks yang
melibatkan integrase dan interaksi berbagai stimulasi eksternal dan internal
sebagai respon perubahan kadar glukosa darah. Secara molekuler mekanisme
glukosa menginduksi sekresi insulin melalui beberapa tahapan, yaitu (Rajan,
2002):
1. Peningkatan konsentrasi glukosa pada cairan ekstraseluler menyebabkan
peningkatan kadar glukosa diantara sel
2. Glukosa masuk ke dalam sel pancreas melalui difusi yang difasilitasi
oleh GLUT-2 glucose transporter.
Intraseluler glukosa dimetabolisme membentuk ATP, mengakibatkan
terjadinya peningkatan rasio ATP/ADP dan kadar glukosa intraseluler yang
tinggi menyebabkan depolarisasi membrane sel menginduksi penutupan
KATP channel pada permukaan sel. Diikuti dengan terbukannya Cell-surface
voltage dependent Calsium channel (VDCC), influx calsium ke dalam sel ,
penambahan cytosolic calsium bebas memicu exocytosis insulin. Kemudian
molekul insulin masuk kedalam sirkulasi darah terkait dengan resptor. Ikatan
insulin dan reseptornya membutuhkan GLUT 4 glucose transporter untuk
dapat masuk kedalam sel otot dan jaringan lemak serta uptake glukosa dengan
efisiensi, yang akhirnya menurunkan kadar glukosa dalam plasma (Rajan,
2002; Eliasson et al., 2008).
Insufisiensi insulin pada penderita DM terutama disebabkan tidak
terjadinya mitogenesis yang memadai setelah kematian sel pancreas.
Apoptosis menjadi bentuk utama kematian sel pancreas pada DM tipe 1
maupun tipe 2. Respon imun yang terjadi pada DM tipe 1 menyebabkan
dilepaskannya sitokin-sitokin seperti IL-1 , TNF, IFN-, IFN- \, IFN- dan

diinduksinya factor-faktor transkripsi seperti, (NK)-kB, STAT-1 dan Fas, yang


selanjutnya menginduksi apoptosis sel melalui aktivasi serangkaian gen sel
di bawah kontrol faktor-faktor transkripsi. Aktivasi NF-kB memicu
produksi nitric oxide (NO), chemokine, dan deplesi Calsium pada reticulum
endoplasma

(stress

reticulum).

Selanjutnya

stress

reticulum

akan

mengaktivasi mitogen activated protein kinase (MAPK) dan pelepasan sinyal


apoptosis oleh mitokondria yang menyebabkan kematian sel (Maedle et al.,
2001; Eizirik et al., 2009; Donath et al., 2009).
KAD ditandai oleh adanya hiperglikemia, asidosismetabolik, dan
peningkatan konsentrasi keton yang beredar dalam sirkulasi. Ketoasidosis
merupakan akibat dari kekurangan atau inefektifitas insulin yang terjadi
bersamaan

dengan

katekolamin,

peningkatan

kortisol,

mengakibatkan

dan

perubahan

hormon

growth
produksi

kontraregulator

hormon).
dan

Kedua

pengeluaran

(glukagon,

hal

tersebut

glukosa

dan

meningkatkan lipolysis dan produksi benda keton. Hiperglikemia terjadi


akibat peningkatan produksi glukosa hepar dan ginjal (glukoneogenesis dan
glikogenolisis) dan penurunan utilisasi glukosa pada jaringan perifer.
Peningkatan

glukoneogenesis

akibat

dari

tingginya

kadar

substrat

nonkarbohidrat (alanin, laktat, dan gliserol pada hepar, dan glutamin pada
ginjal) dan dari peningkatan aktivitas enzim glukoneogenik (fosfoenol piruvat
karboksilase/ PEPCK, fruktose 1,6 bifosfat, dan piruvat karboksilase).
Peningkatan produksi glukosa hepar menunjukkan patogenesis utama yang
bertanggung jawab terhadap keadaan hiperglikemia pada pasien dengan KAD
(Hamdy, 2009).
Patogenesis HHS masih belum terlalu jelas bila dibandingkan dengan
KAD, namun tingkat dehidrasi yang lebih tinggi (karena diuresis osmotik)
dan perbedaan ketersediaan insulin membedakan kondisi HHS dengan KAD.
Walaupun defisiensi insulin relatif ditemukan pada HHS, jumlah sekresi
insulin relatif lebih banyak bila dibandingkan dengan KAD, dimana kadar
insulin tidak bermakna. Kadar insulin pada HHS tidak adekuat untuk
memfasilitasi glucose uptake pada jaringan yang sensitif terhadap insulin,

tetapi adekuat untuk mencegah terjadinya lipolisis dan ketogenesis (Kitabichi


et al., 2009).

Gambar 4. Patogenesis KAD dan SHH


(Gambar diambil dari Kitabchi AE, Umpierrez GE, Miles JM, Fisher JN.
Hyperglycemic crises in adult patients with diabetes. Diabetes Care
2009;32:13351343)
Selanjutnya, keadaan hiperglikemia dan kadar keton yang tinggi
menyebabkan diuresis osmotik yang akan mengakibatkan hipovolemia dan
penurunan glomerular filtration

rate. Keadaan yang terakhir akan

memperburuk hiperglikemia. Mekanisme yang mendasari peningkatan


produksi benda keton telah dipelajari selama ini. Kombinasi de siensi
insulin dan peningkatan konsentrasi hormon kontraregulator menyebabkan
aktivasi hormon lipase yang sensitif pada jaringan lemak. Peningkatan
aktivitas ini akan memecah trigliserid menjadi gliserol dan asam lemak bebas
(free fatty acid/FFA). Diketahui bahwa gliserol merupakan substrat penting
untuk gluconeogenesis pada hepar, sedangkan pengeluaran asam lemak bebas
yang berlebihan diasumsikan sebagai prekursor utama dari ketoasid.

Pada hepar, asam lemak bebas dioksidasi menjadi benda keton yang
prosesnya distimulasi terutama oleh glukagon. Peningkatan konsentrasi
glukagon menurunkan kadar malonyl coenzyme A (Co A) dengan cara
menghambat konversi piruvat menjadi acetyl Co A melalui inhibisi acetyl Co
A carboxylase, enzim pertama yang dihambat pada sintesis asam lemak
bebas. Malonyl Co A menghambat camitine palmitoyl-transferase I (CPT I),
enzim untuk transesterifikasi dari fatty acyl Co A menjadi fatty acyl camitine,
yang mengakibatkan oksidasi asam lemak menjadi benda keton. CPT I
diperlukan untuk perpindahan asam lemak bebas ke mitokondria tempat
dimana asam lemak teroksidasi. Peningkatan aktivitas fatty acyl Co A dan
CPT I pada KAD mengakibatkan peningkatan ketongenesis.
Defisiensi insulin pada penderita DM akan menyebabkan ginjal
bekerja hiperfungsi. Hiperfungsi ini menyebabkan ginjal menjadi hipertrofi
dan terjadi peningkatan tekanan intrakapiler glomerulus. Peningkatan
tekananan intra kapiler menyebabkan kerusakan glomerulus sehingga terjadi
glomeruloskerosis. Namun, ketika terjadi glomerulosklerosis arteriol afferent
vasodilatasi dan kerusakan ini menginduksi vasokonstriksi pembuluh darah
arteri sistemik sehingga terjadi peningkatan tekanan darah sistemik. Hal ini
menyebabkan gangguan hemodinamik sehingga tampak penebalan membran
basalis. Peningkatan tekanan intraglomerulus menyebabkan stress mekanik.
Stress mekanik menyebabkan stress fiber sehingga perlekatan matriks
ekstraseluler dan menimbulkan endapan matriks ekstraseluler. Endapan
matriks ekstraseluler menstimulus ekskresi growth factor yaitu angiotensin II
yang berperan dalam perubahan glomerulus menjadi sklerosis. Sehingga
terjadi hipoperfusi ginjal yang berhubungan dengan kontraksi volume dari
perdarahan dan dehidrasi. Penurunan volume darah efektif terjadi ketika
volume darah normal atau meningkat, namun perfusi ginjal menurun. Hal ini
berhubungan dengan DM dan HHS (Kitabchi et al., 2009).
H. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM.


kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik
DM seperti berikut (Perkeni, 2011):
a. Keluhan klasik DM berupa: polyuria, polidipsi, polifagia dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
b. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal,
pandangan mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus
vulva pada wanita
Sedangkan bila tanpa gejala, maka diperlukan paling tidak 2 kali
pemeriksaan gula darah abnormal pada waktu yang berbeda (Rustam et
al., 2010).
2. Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis DM menurut ADA (2013) dapat ditegakkan melalui salah satu
cara berikut ini.
a. HbA1c 6,5%. Tes ini harus dilakukan di laboratorium yang
menggunakan metode bersertifikat serta sudah distandarisasi.
b. Glukosa plasma puasa (Fasting Plasma Glucose = FPG) 126
mg/dl (7,0 mmol/l). Puasa didefinisikan sebagai tidak adanya asupan
kalori selama minimal 8 jam.
c. Glukosa plasma 2 jam 200 mg/dl (11.1mmol/l) selama tes toleransi
glukosa oral (TTGO). Tes harus dilakukan seperti yang dijelaskan
oleh WHO yaitu menggunakan glukosa dengan beban 75 g
dilarutkan dalam air.
d. Pada pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis
hiperglikemia, plasma acak glukosa 200 mg/dl (11,1 mmol/l).
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau
DM, bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke
dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah
puasa terganggu (GDPT).
a. TGT

: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan

TTGO didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140


199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).

b. GDPT

: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan

glukosa plasma puasa didapatkan antara 100 125 mg/dL (5,6 6,9
mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL
(Perkeni, 2011).
Untuk menegakan diagnosis DM tipe 1, maka perlu dilakukan
pemeriksaan penunjang, yaitu C-peptide < 0.85 ng/ml. C-peptide
merupakan salah satu penanda banyaknya sel pancreas yang masih
berfungsi. Pemeriksaan lain adalah dengan adanya autoantibodi yaitu
Islet

cell

autoantibodies

(ICA),

Glutamic

acid

decarboxylase

autoantibodies (65K GAD), IA2 (dikenal sebagai ICA 512 atau tyrosine
phosphatase) autoantibodies dan insulin autoantibodies (IAA). Adanya
autoantibodi mengkonfirmasi DM tipe 1 karena proses autoimun (ISPAD
Clinical Practice Consensus Guidelines, 2009; Rustam et al., 2010).
I. Komplikasi
Secara garis komplikasi diabetes mellitus dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Akut
a. Hipoglikemi
Hipoglikemia terjadi jika kadar gula darah turun hingga 60
mg/dl. Keluhan dan gejala hipoglikemia dapat bervariasi, tergantung
sejauh mana glukosa darah turun. Keluhan pada hipoglikemia pada
dasarnya dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu keluhan akibat otak
tidak mendapat kalori yang cukup sehingga mengganggu fungsi
intelektual dan keluhan akibat efek samping hormon lain yang
berusaha meningkatkan kadar glukosa dalam darah (Tandra, 2007).
Keluhan dan gejala hipoglikemia dapat bervariasi, tergantung
pada sejauh mana glukosa turun. Keluhan hipoglikemia pada dasarnya
dapat dibagi dalam dua kategori besar, yaitu (Gleadle, 2005):
1) Keluhan akibat otak tidak mendapat cukup kalori sehingga
mengganggu fungsi intelektual, antara lain sakit kepala, kurang
konsentrasi, mata kabur, capek, bingung, kejang, dan koma.

2) Keluhan akibat efek samping hormon lain (adrenalin) yang


berusaha menaikkan kadar glukosa darah, yaitu pucat,
berkeringat, nadi berdenyut cepat, berdebar, cemas, serta rasa
lapar.
Pada awalnya ketika glukosa darah berada pada tingkat 40-50
mg/dl, pasien DM mengalami gemetaran, keringat dingin, mata kabur,
lemah, lapar, pusing, sakit kepala, tegang, mual, jantung berdebar, dan
kulit dingin. Pada saat glukosa darah di bawah 40 mg/dl, pasien akan
merasa mengantuk, sukar bicara seperti orang mabuk, dan bingung.
Dan pada saat glukosa di bawah 20 mg/dl keluhan atau gejala yang
terjadi adalah kejang, tidak sadarkan diri dan bias menyebabkan
kematian (Smeltzer & Bare, 2002).
b. Ketoasidosis Diabetik (KAD)
Sekitar 80% KAD adalah pasien DM yang telah dikenal. KAD
biasanya muncul pada pasien yang lebih muda, cenderung terjadi pada
pasien DM tipe 1 dan berkembang dalam 1 hari. Langkah pertama
yang harus diambil pada pasien KAD terdiri dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti terutama memperhatikan
patensi jalan napas, status mental, status ginjal dan kardiovaskular,
dan status hidrasi. Langkah-langkah ini harus dapat menentukan jenis
pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan, sehingga
penatalaksanaan dapat segera dimulai tanpa adanya penundaan
(Augusta, 2010).
Meskipun gejala DM yang tidak terkontrol mungkin tampak
dalam beberapa hari, perubahan metabolik yang khas untuk KAD
biasanya tampak dalam jangka waktu pendek (< 24 jam). Umumnya
penampakan seluruh gejala dapat tampak atau berkembang lebih akut
dan pasien dapat tampak menjadi KAD tanpa gejala atau tanda KAD
sebelumnya. Gambaran klinis klasik termasuk riwayat poliuria,
polidipsia, dan polifagia, penurunan berat badan, muntah, sakit perut,
dehidrasi, lemah, clouding of sensoria, dan akhirnya koma (Augusta,
2010).

Langkah pertama dalam penegakan diagnosis KAD adalah


meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang KAD
(Soewondo, 2009; Masheani, 2010)
1. Anamnesis
Yaitu gejala klasik dari diabetes melitus yaitu poliuria, polidipsi
dan polifagi yang diikuti dengan penurunan berat badan.
Terkadang ada riwayat lemah, malaise atau letargi. Seringnya
pada krisis yang akut akan terlihat adanya infeksi akut atau stres
metabolik. Mual, muntah, nyeri perut, susah bernapas atau
progresifitas berat gejala. Pada anak-anak yang diketahui adanya
diabetes melitus maka KAD harus dicegah. Terkait dengan
menejemen rutin dan kegagalan untuk meningkatkan insulin
dengan penyakit penyerta.
Gejala klinis KAD:
a. Rasa letih dan lemah dalam waktu singkat, kurang dari 24
b.
c.
d.
e.
f.

jam
Polidipsi dan peningkatan rasa haus
Poliuria dan nokturia
Polifagia
Kehilangan berat badan
Mual dan muntah, muntah bisa berwarna seperti kopi

berhubungan dengan perdarahan lambung


g. Nyeri perut, berhubungan dengan asidosis dan dehidrasi
h. Lemah dan letih
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pernafasan
Pernafasan akan ditemukan pernafasan cepat dan dalam
(Pernafasan Kussmaul)
b. Gejala saraf : agitasi letargi, ngatuk dan koma. Peningkatan
osmolalitas berhubungan dengan faktor yang bersamaan
dengan mental status.
c. Gangguan visual berhubungan dengan hiperglikemia
d. Nafas cepat dan dalam, pernafasan Kusssmaul, bisa di
dapatkan adanya nafas bau buah atau asetone.
e. Gejala Dehidrasi : turgor kulit yang menurun, kehilangan
cairan tubuh seperti poliuri, muntah.

f. Gejala hipovolemia : takikardi, hipotensi, postural hipotensi


berhubungan dengan kehilangan cairan kurang lebih 3 liter.
g. Hipotermia sedang berhubungan dengan akibat pengaruh dari
asidosis sehingga terjadi vasodilatasi perifer, kulit hangat dan
kering dan demam. Hipotermia yang berat prognosisnya akan
buruk.
h. Nyeri perut berhubungan dengan muntah dan ketosis yang
persisten.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan inisial pada DKA : level glukosa serum >11
mmol/L, asidemia dan penemuan keton di urin.
b. Level glukosa serum 30-45 mmol/L
c. Asidosis dan derajat kompensasi dari hipokarbia (PaCO2).
Seringnya pada Ph arteri tapi Ph vena akan mengikuti pH
padarteri (pH vena biasanya 0,03 unit lebih rendah daripada
arteri). Sewaktu Ph turun 7,2 akan terjadi hiperventilasi dan
hipokarbia yang lebih berat. Bikarbonat serum <18 mmol/l
pada DKA yang berat <15 mmol/L.
d. Urinalisis dipstik : untuk menguji positif pada keton urin
(ketonuria) dan glukosa urin (glukosuria).
e. Fungsi ginjal maka dilakukan pemeriksaan urea dan
kreatinin. Normal jumlah urea : 2,5-6,4 mmol/L. Normal
kreatinin : 60-12mol/l. Penurunan aliran darah ginjal yang
akhirnya akan menyebabkan penurunan filtrasi glomerular
dan penurunan jumlah urea dan kreatinin.
f. Elektolit :
1) Jumlah K normal dalam darah adalah 3,5-5,0 mmol/L.
Jumlah K dalam serum akan berkurang karena ada
perpindahan ke ekstraselular

dikarenakan defisiensi

insulin dan asidosis.


2) Jumlah Na (normalnya adalah 136-145 mmol/L) bisa
meningkat karena diuresis osmosis dan kehilangan air
tanpa disadari. Sehingga akan terjadi penurunan karena
terjadi peningkatan perpindahan ke ekstraselular.

3) Magnesium dan fosfat : magnesium (normal : 0,07-1,10


mmol/L) dan fosfat (normal : 0,80-1,50 mmol/L) bisa
rendah dikarenakan kehilangan melalui urin.
4) Penurunan perbandingan anion (jumlah Na dan K) (Klorida + bicarbonate)]. Nilai normal <12mmol/L.
g. Osmolalitas darah (normalnya 280-295 mosm/L) akan
menurun pada DKA. Hiperosmolaritas merupakan faktor
untuk penurunan kesadaran.
h. Hitung jenis leukosit : Leukosistosis sedang 10.00020.000 terjadi pada dehidrasi dan stres. Pada leukositosis
yang berat >30.000 kemungkinan infeksi.
i. Amilase serum, lipase serum dan enzim hati untuk
mendeteksi adanya pankreatitis.
j. Hemoglobin A1C, indikator untuk kulitas pengontrolan
diabetes atau onset baru diabetes.
4. Pemeriksaan Lainnya
a. EKG untuk melihat adanya iskemik dan perubahan elektrolit
pada hiperkalemia atau hipokalemia.
b. Foto Rontgen untuk melihat adanya pneumonia
c. CT-sccan dapat mendeteksi perubahan neurologikal (bila
diduga stroke).

Gambar 5. Derajat KAD menurut America Diabetes Association


Catatan: - Pengukuran keton serum dan urine memakai metode reaksi
nitroprusida
- Osmolalitas serum efektif (mOsm/kg) = 2X Na (mEq/l) +
Glukosa (mg/dl)/18
- Anion gap = Na+ " (Cl-+HCO3- ) (mEq/l)
Komplikasi yang paling sering dari KAD adalah hipoglikemia
oleh karena penanganan yang berlebihan dengan insulin, hipokalemia
yang disebabkan oleh pemberian insulin dan terapi asidosis dengan
bikarbonat, dan hiperglikemia sekunder akibat pemberian insulin yang
tidak kontinu setelah perbaikan tanpa diberikan insulin subkutan.
Umumnya

pasien

KAD

yang

telah

membaik

mengalami

hiperkloremia yang disebabkan oleh penggunaan cairan saline yang


berlebihan untuk penggantian cairan dan elektrolit dan non-anion gap
metabolic acidosis seperti klor dari cairan intravena mengganti
hilangnya ketoanion seperti garam natrium dan kalium selama diuresis
osmotik. Kelainan biokemikal ini terjadi sementara dan tidak ada efek
klinik signifikan kecuali pada kasus gagal ginjal akut atau oliguria
ekstrem (Masharani, 2010).
Edema serebri umumnya terjadi pada anak-anak, jarang pada
dewasa. Tidak didapatkan data yang pasti morbiditas pasien KAD oleh
karena edema serebri pada orang dewasa. Gejala yang tampak berupa
penurunan kesadaran, letargi, penurunan arousal, dan sakit kepala.
Kelainan neurologis dapat terjadi cepat, dengan kejang, inkontinensia,
perubahan pupil, bradikardia, dan kegagalan respirasi. Meskipun
mekanisme edema serebri belum diketahui, tampaknya hal ini
merupakan akibat dari masuknya cairan ke susunan saraf pusat lewat
mekanisme osmosis, ketika osmolaritas plasma menurun secara cepat
saat terapi KAD. Oleh karena terbatasnya informasi tentang edema
serebri pada orang dewasa, beberapa rekomendasi diberikan pada
penanganannya, antara lain penilaian klinis yang tepat dibandingkan
dengan bukti klinis. Pencegahan yang tepat dapat menurunkan risiko
edema serebri pada pasien risiko tinggi, diantaranya penggantian

cairan dan natrium secara bertahap pada pasien yang hiperosmolar


(penurunan maksimal pada osmolalitas 2Osm/kgH2O/jam), dan
penambahan dextrose untuk hidrasi ketika kadar gula darah mencapai
250 mg/dl. Hipoksemia dan kelainan yang jarang seperti edema paru
nonkardiak dapat sebagai komplikasi KAD. Hipoksemia terjadi
mengikuti penurunan tekanan koloid osmotik yang merupakan akibat
peningkatan kadar cairan pada paru dan penurunan compliance paru.
Pasien dengan KAD yang mempunyai gradient oksigen alveoloarteriolar yang lebar yang diukur pada awal peneriksaan analisa gas
darah atau dengan ronki pada paru pada pemeriksaan fisik tampaknya
mempunyai risiko tinggi untuk menjadi edema paru (Yehia, 2008).
Selain itu, beberapa komplikasi yang mungkin terjadi selama
pengobatan KAD ialah hipertrigliseridemia, infark miokardakut dan
komplikasi
hipoglikemia,

iatrogenic.

Komplikasi

hypokalemia,

iatrogenic

hiperkloremi,

tersebut

edema

otak

ialah
dan

hipokalsemia (Umpirerrez, 2002).


c. Hiperglikemi Hiperosmolar State (HHS)
Pasien dengan HHS adalah pasien geriatrik DM tipe 2 dengan
riwayat poliuria, penurunan berat badan, dan oral intake yang kurang
dalam beberapa minggu dan berujung pada penurunan kesadaran.
Riwayat kurangnya asupan cairan, baik karena kurangnya rasa haus
ataupun kurangnya akses terhadap cairan karena terbaring di tempat
tidur, merupakan fitur riwayat yang tidak jarang ditemukan pada
pasien HHS. Pada pemeriksaan fisik ditemukan dehidrasi berat (lebih
berat daripada KAD), hipotensi, takikardi, dan penurunan kesadaran
tanpa adanya pernafasan Kussmaul (Power, 2012; Masharani 2012).
Gejala yang ditimbulkan adalah rasa sangat haus, banyak kencing,
lemah, kaki dan tungkai kram, bingung dan nadi berdenyut cepat.
Selain itu, tanda adanya gangguan neurologis fokal (hemianopia dan
hemiparesis) dan kejang (generalized atau focal) dapat ditemukan
pada HHS. Menurut Kitabchi tahun 2009, gejala-gejala karakteristik

KAD seperti mual, muntah, nyeri abdomen, dan pernafasan Kussmaul


tidak ditemukan pada pasien HHS. Mirip dengan KAD, HHS juga
sering dicetuskan oleh faktor pencetus seperti infark miokard, stroke,
sepsis, pneumonia, dan pencetus lainnya.
Hiperglikemia

dan

dehidrasi

berat

disertai

penurunan

kesadaran dengan tidak adanya asidosis yang bermakna merupakan


karakteristik dari HHS, yang presentasi klinisnya dengan ketosis yang
lebih rendah dan hiperglikemia yang lebih berat dari KAD.
Hiperglikemia berjarak diantara 800 mg/dL dan 2400 mg/dL,
hiperosmolalitas >350 mOsm/L, dan azotemia prerenal merupakan
fitur karakteristik HHS (Power, 2012; Masharani, 2012). Kontras
dengan pasien KAD, hampir seluruh pasien dengan HHS memiliki pH
darah saat presentasi awal > 7,30 dan kadar bikarbonat > 18 mEq/L,
dan ketonemia ringan. Ketonuria sedang bila ditemukan disebabkan
oleh kelaparan (starvation) (Kitabchi et al., 2009).
Tabel 1. Kriteria Diagnosis untuk Ketoasidosis Diabetikum dan Status
Hiperosmolar Hiperglikemi
(Dikutip dari: Kitabchi AE, Umpierrez GE,
Miles JM,
Fisher JN:

Hyperglycemic crises in adult patients with diabetes. Diabetes


Care 2009;32:13351343)
2. Kronik
Komplikasi yang terjadi pada semua pembuluh darah diseluruh
bagian tubuh (angipati diabetic) dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Mikrovaskular
Komplikasi mikrovaskular merupakan komplikasi yang terjadi
hanya pada DM. Penyakit mikrovaskular diabetes atau sering juga

disebut dengan istilah mikroangiopati ditandai oleh penebalan


membran basalis pembuluh kapiler. Hal yang mendukung mudahnya
terjadi komplikasi adalah umur muda, masa pubertas, dan control
metabolik yang tidak baik sehingga menyebabkan retinopati,
nefropati, dan neuropati. Ada dua tempat dimana gangguan fungsi
kapiler dapat berakibat serius yaitu mata dan ginjal. Kelainan
patologis pada mata, atau dikenal dengan istilah retinopati diabetes,
disebabkan oleh perubahan pada pembuluh-pembuluh darah kecil di
retina. Perubahan yang terjadi pada pembuluh darah kecil di retina ini
dapat menyebabkan menurunnya fungsi penglihatan pasien DM,
bahkan dapat menjadi penyebab utama kebutaan (Brunner &
Suddarth, 2001).
Tabel 2. Komplikasi mikrovaskular pada diabetes mellitus (Meeking,
2011)
Komplikasi
mikrovaskular
Retinopati
Nefropati
Neuropati

Gambaran Klinis
Penurunan atau terdapat gangguan
penglihatan
Ditemukan proteinuria, hipertensi atau
sindroma nefrotik
Neuropati perifer, mononeuropati,
carpal tunner syndrome, amyotrofi
atau ulserasu pada kaki

Komplikasi yang tersering adalah neuropati perifer, berupa


hilangnya sensasi distal. Beresiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki
dan amputasi. Setelah diagnosis DM ditegakan, setiap pasien perlu
dilakuakn pemeriksaan neurologi sederhana dangen monofilamer 10
gram sedikitnya setiap tahun. Semua penderita DM yang disertai
neuropati perifer harus diberikan edukasi perawatan kaki untuk
mengurangi risiko ulkus kaki. Untuk penatalaksanaan penyulit ini
seringkali diperlukan kerja sama dengan bidang disiplin ilmu lain
(Perkeni, 2011).
Neuropati muncul pada 60% penderita DM jangka panjang
baik pada DM tipe 1 atau tipe 2 (Meeking, 2011). Pada penderita DM

kemungkinan disebabkan gangguan sirkulasi pada sel saraf karena


kerusakan pembuluh darah, jenis-jenisnya yaitu (Powers, 2012):
a. Polineuropati dan mononeuropati
Bentuk yang paling umum dari neuropati diabetes adalah
polineuropati simetris distal. Paling sering ditandai dengan
kehilangan sensoria distal, tetapi hanya 50% dari penderita DM
memiliki gejala tersebut. Gejala mungkin termasuk sensasi mati
rasa, kesemutan, atau rasa panas yang dimuali dari kaki dan
menyebar proksimal. Nyeri sering melibatkan ekstremitas bawah
dan biasanya hadir saat istirahat dan memburuk pada malam hari.
Sedangkan mononeuropati adalah disfungsi saraf perifer atau
saraf kranial yang terisolasi. Mononeuropati ditandai dengan rasa
sakit dan kelemahan motoric dalam distribusi saraf tunggal.
b. Neuropati otonom
Penderita DM dapat mengalami disfungsi saraf otonom
(sitem kolinergik, noradrenergic dan peptidergik). Saraf-saraf
tersebut mengatur jantung, gastrointestinal dan sitem kemih. Hal
ini bias mengakibatkan takikardi, gejala gangguan pengosongan
lambung, gangguan frekuensi berkemih dan hipotensi ortostatik.
Komplikasi berupa retinopati dimana keadaan hiperglikemi
dapat

menyebabkan

hilangnya

retinal

pericytes,

peningkatan

permeabilitas pembuluh darah retina, perubahan dalam aliran darah


retina dan sitem mikrovaskular retina abnormal, yang menyebabkan
iskemia retina. Keadaan ini akan menyebabkan neovaskularisasi pada
saraf optic dan macula. Secara structural, pembuluh darah ini rapuh
dan dapat menyebabkan perdarahan vitreous, fibrosis dan perlepasan
retina yang dapat berakibat kebutaan (Colledge, 2006; Powers, 2012;
Meeking, 2011).
Komplikasi genitourinary berupa neuropati otonom diabetes
mungkin menyebabkan disfungsi genitourinary termasuk cystopathy,
disfungsi ereksi dan disfungsi seksual wanita (penurunan libido dan
dispareumia).

Gejala

diabetes

cystopathy

dimulai

dengan

ketidakmampuan untuk merasakan kandung kemih penuh dan


kegagalan untuk buang air kecil sepenuhnya. Seiring dengan
berkembangnnya neuropati otonom, kontrakrtilitas kandung kemih
yang buruk, kapasitas kandung kemih berkurang dan terjadinya
peningkatan residu air kemih yang sering berakibat pada infeksi
saluran kemih berulang (Powers, 2012).
Keadaan hiperglikemi membantu kolonisasi jamur dan bakteri
karena menyediakan sumber nutrisi yang adekuat untuk pertumbuhan
koloni. Infeksi tersering yang muncul pada pasien DM adalah
pneumonia, infeksi saluran kemih dan infeksi pada kulit. Selain itu
penderita DM juga rentan mengalami infeksi pasca operasi (Kumar &
Clark, 2006). Pada pasien dengan infeksi saluran kemih berupa
pielonefritis akut antara lain demam (39.5-40.5) C, disertai dengan
gejala menggigil, sakit pinggang dan didahului dengan gejala-gejala
ISK bawah (cystitis) berupa sakit suprapubic, polaksiuria, noktrusia,
disurian, dan stranguria. Terapi inisial pada pasien infeksi saluran
kemih berupa (Blok et al ., 2007):
Tabel 3. Terapi Antibiotik untuk Pengobatan Infeksi Saluran Kemih

Diabetes yang lama menyebabkan perubahan pada pembuluh


darah kecil yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal dimana
kerusakan ginjal tersebut dapat menyebabkan kegagalan ginjal yang
berat. Kerusakan ginjal dapat dimulai sejak tahun pertama setelah
terdiagnosis menderita DM tipe I. Namun diperlukan waktu sekitar 510 tahun untuk menjadi masalah kerusakan ginjal yang bermakna.

Komplikasi berupa nefropati diabetik, biasa ditandai dengan


microalbuminuria. Nefropati diabetic sering berhubungan dengan
hipertensi. Diperkirakan 30-40% nefropati pada DM tipe 1 dapat
berlanjut menjadi gagal ginjal kronik. Deteksi dini nefropati diabetik
dengan melakukan pemeriksaan mikroalbuminuria setiap tahun sejak
memasuki usia remaja (walaupun tidak ada gejala) disertai
pemeriksaan tekanan darah teratur pada setiap kunjungan. Sangatlah
penting kontrol glikemik yang dicapai dengan terapi insulin disertai
penggunaan ACE inhibitor dapat mencegah atau memperlambat
progresivitas mikroalbuminuria menjadi nefropati diabetik.
Nefropati diabetik juga sering didefinisikan sebagai sebuah
sindroma klinis yang ditandai dengan albuminuria persisten (> 300 mg
/ d atau > 200 mcg / min) yang dikonfirmasi sedikitnya 2 kali berturutturut dalam 3-6 bulan terpisah, adanya penurunan laju filtrasi
glomerolus (LFG), dan peningkatan tekanan daerah arterial (Price,
2005).
Progresi umum dari mikroalbuminuria menjadi nefropati
menyebabkan banyak yang menganggap mikroalbuminuria sebagai
tanda nefropati tahap awal. Kelainan ginjal tersebut sering terjadi pada
penderita diabetes yang lama terutama penderita diabetes tipe I.
Secara klinis nefropati diabetik ditandai dengan adanya peningkatan
proteinuria yang progresif, penurunan LFG, hipertensi, dan risiko
tinggi untuk menderita penyakit kardiovaskular. Perjalanan alamiah
nefropati diabetik merupakan sebuah proses dengan progresivitas
bertahap setiap tahun. Diabetes fase awal ditandai dengan hiperfiltrasi
glomerulus dan peningkatan LFG. Hal ini berhubungan dengan
peningkatan perkembangan sel dan ekspansi ginjal, yang mungkin
dimediasi oleh hiperglikemia. Mikroalbuminuria biasanya terjadi
setelah 5 tahun menderita penyakit Diabetes tipe 1 sedangkan
nefropati yang ditandai dengan ekskresi protein urin lebih dari 300
mg/hari, biasanya terjadi dalam waktu 10-15 tahun. Penyakit ginjal

stadium terminal terjadi pada sekitar 50% penderita DM tipe I, yang


mengalami nefropati dalam 10 tahun (Perkeni, 2011).
Gejala klinis yang ditimbulakan pada nefropati diabetik
melitupi gejala klinis yang khas pada DM, sindrom uremia yang
terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan
volume cairan, neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis,
kejang-kejang sampai koma serta timbulnya komplikasi berupa
hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jangtung, asidosis
metabolic dan gangguang keseimbangan elektrolit. Pada pemeriksaan
penunjag didapatkan penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan
kadar ureum dan kreatinin serum dan penurunan LFG. Tanda kelainan
biokimia darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan
kadar asam urat, hiper atau hypokalemia, hyponatremia dan asidosis
metabolic. Serta pada urinalisis meliputi proteinuria, hematuria,
leukosuria dan isostenuria (Suwitra, 2006).
Diabetes mellitus dapat mempengaruhi struktur dan fungsi
ginjal. Kemungkinan karena kerja ginjal yang terus menerus melebihi
batas untuk menyaring glukosa menyebabkan peningkatan tekanan
darah pada ginjal dan perubahan struktur glomerulus. Ginjal tidak
dapat menyaring zat yang terkandung dalam urin. Sehingga, racun
tidak dapat dikeluarkan, sedangkan protein yang seharusnya
dipertahankan ginjal bocor keluar. Gambaran gagal ginjal pada
penderita DM yaitu: lemas, mual, pucat, sesak nafas akibat
penimbunan cairan. Adanya gagal ginjal dibuktikan dengan adanya
kenaikan kadar kreatinin/ureum serum ditemukan berkisar 2-7% dari
penderita DM (Buse et al., 2008; Kumar et al., 2013)
b. Makrovaskular
Tiga jenis komplikasi makrovaskular yang umum berkembang
pada pasien DM adalah penyakit jantung coroner, penyakit pembuluh
darah otak, dan penyakit pembuluh darah perifer. Komplikasi ini lebih
sering pada pasien DM tipe II yang umumnya menderita hipertensi,

dyslipidemia dan atau kegemukan. Komplikasi ini timbul akibat


aterosklerosis dan tersumbatnya pembuluh-pembuluh besar khususnya
arteri akibat timbunan plak ateroma. Komplikasi makrovaskular atau
makroangiopati tidak spesifik pada diabetes, namun pada DM timbul
lebih cepat, lebih sering, dan lebih serius. Berbagai studi epidemiologi
menunjukkan bahwa angka kematian akibat penyakit kardiovaskular
dan diabetes meningkat 4 -5 kali dibandingkan pada orang normal.
Komplikasi makroangiopati umumnya tidak ada hubungannya dengan
kontrol kadar gula darah yang baik (Nabyl, 2009).
Tabel 4. Komplikasi makrovaskular pada diabetes mellitus (Meeking, 2011)
Komplikasi
makrovaskular
Coroner
Cerebral
Vaskularisasi perifer

Gambaran klinis
Angina atau infark miokard
Stroke, transient ischemic attack
(TIA)
Intermittent claudication, ischaemic
leg, ulserasi dan gangrene

J. Pencegahan KAD
Faktor pencetus utama KAD ialah pemberian dosis insulin yang
kurang memadai dan kejadian infeksi. Kejadian tersebut dapat dicegah
dengan akses pada sistem pelayanan kesehatan lebih baik (termasuk edukasi
DM) dan komunikasi efektif terutama pada saat penyandang DM mengalami
sakit akut (seperti batuk pilek, luka). Upaya pencegahan merupakan hal
penting dalam tatalaksana DM. Upaya pencegahan sekunder untuk mencegah
terjadinya komplikasi DM kronik dan akut, melalui edukasi sangat penting
untuk mendapatkan ketaatan berobat pasien yang baik (Augusta et al., 2010).
Khusus mengenai pencegahan KAD dan hipoglikemia, program
edukasi perlu menekankan pada cara-cara mengatasi sakit akut, meliputi
informasi mengenai pemberian insulin kerja cepat, target konsentrasi glukosa
darah pada saat sakit, mengatasi demam dan infeksi, dan garam yang mudah
dicerna. Yang paling penting adalah agar tidak menghentikan pemberian
insulin atau obat hipoglikemia oral dan sebaiknya segera mmencari

pertolongan atau nasihat tenaga kesehatan yang professional (Augusta et al.,


2010).
Pasien DM harus didorong untuk perawatan mandiri terutama saat
masa sakit dengan melakukan pemantauan konsentrasi glukosa darah dan
keton urin sendiri. Peran edukator DM sangat penting, sehingga dapat
membantu pasien dan keluarga terutama dalam keadaan sulit (Augusta et al.,
2010).
K. Tatalaksana
1. Non Farmakologi

Pengelolahan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan


jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa
darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan
pemberian obat hipoglikemi oral (OHO) atau suntikan insuli. Pada
keadaan tertentu OHO dapat segera diberikan sesuai indikasi. Dalam
keadaan dekompensasi metabolic berat, misalnya ketoasidosis, stress
berat, berat badan yang menurun cepat, insulin dapat segera diberikan.
Pada kedua keadaan tersebut perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya
hipoglikemia. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara
mandiri (Yuli, 2010).
a.

Edukasi
Edukasi yang diberikan kepada pasien DM meliputi pemahaman
tentang : perjalanan penyakit DM, makna dan perlunya pengendalian
dan pemantauan DM, penyulit DM dan risikonya, intervensi
farmakologis dan non-farmakologis serta target perawatan, interaksi
antara asupan makanan, aktifitas fisik, dan obat hipoglikemik oral atau
insulin serta obat-obatan lain, cara pemantauan glukosa darah dan
pemahaman hasil glukosa darah atau urin mandiri, mengatasi
sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit, atau hipoglikemia,
pentingnya latihan jasmani yang teratur, masalah khusus yang
dihadapi (contoh: DM pada kehamilan), serta pentingnya perawatan
diri.

b.

Terapi gizi medis (TGM)


Pada penderita DM perlu ditekankan pentingnya keteraturan
makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama
pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau
insulin (Perkeni, 2011). Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri
dari :
a. Karbohidrat
Dianjurkan sebesar 45-65 % total asupan energi
Sukrosa tidak boleh lebih dari 10% total asupan energi
Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti
gula, asal tidak melebihi batas aman konsumsi harian.
Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan
karbohidrat per hari
b. Lemak
Dianjurkan sekitar 20 25% kebutuhan kalori. Lemak
jenuh < 7% kebutuhan kalori dan Lemak tidak jenuh
ganda < 10 % kebuthan kalori.
Membatasi makanan yang banyak mengandung lemak
jenuh dan lemak trans antara lain : daging berlemak dan
susu penuh (whole milk)
Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari. Diusahakan
lemak berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA
/ Mono Unsaturated Fatty Acid), membatasi PUFA (Poly
Unsaturated Acid) dan asam lemak jenuh
c. Protein
Dibutuhkan sebesar 15 20% total asupan energi
Sumber protein yang baik adalah ikan, seafood, daging
tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak,
kacang-kacangan, tahu dan tempe

Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan


protein menjadi 0,8 g/kg BB/hari atau 10% dari kebutuhan
energi dan 65% hendaknya bernilai biologik tinggi
d. Garam
Tidak > 3000 mg atau sama dengan 6 7 g (1 sendok teh)
garam dapur
Pembatasan natrium sampai 2400 mg atau sama dengan
6g/hari terutama pada penderita hipertensi
e. Serat
Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/hari, diutamakan
serat larut
f. Pemanis
Batasi penggunaan pemanis bergizi
Fruktosa tidak dianjurkan karena efek samping pada lipid
plasma
Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas
aman
c.

Latihan jasmani
Dianjurkan latihan jasmani teratur 3-4 kali tiap minggu selama
+ 30 menit yang sifatnya CRIPE, yaitu:
Continous Latihan berkesinambungan, terus-menerus
tanpa henti.
Rytmical Latihan olah raga harus dipilih yang berirama
agar otot-otot berkontraksi dan berelaksasi secara teratur.
Interval Latihan dilakukan selang-seling antara gerak
cepat dan lambat. Contoh : jalan cepat diselingi dengan
jalan lambat.
Progressive Latihan dilakukan secara bertahap sesuai
kemampuan dari intensitas ringan.
Endurance Latihan daya tahan untuk meningkatkan
kemampuan

kardiorespirasi,

seperti

jalan

(jalan

santai/cepat,

sesuai

umur),

jogging,

berenang

dan

bersepeda.
Hal yang perlu diperhatikan dalam latihan jasmani ini adalah
jangan sampai memulai olah raga sebelum makan.
Prinsip diet DM adalah mengurangi dan mengatur konsumsi
karbohidrat sehingga tidak menjadi beban bagi mekanisme pengaturan
kadar gula darah dengan anjuran mengkonsumsi karbohidrat komplek dan
makanan yang mengandung serat (Tjokroprawiro, 2001). Prinsip
pemberian makanan bagi DM yang mempunyai interal waktu 3 jam sekali
dengan tujuan agar mampu mengontrol kadar gula darah. Jadwal makan
terakhir adalah snack malam sebelum tidur, sehingga jarak waktu malam
makanan sebelum tidur sampai bangun pagi tidak terlalu panjang untuk
mencegah hipogiklemia pada pagi harinya (Tjokroprawiro, 2001).
Kandungan kalori dalam diet penderita setiap hari ditentukan oleh
keadaan penyakit yang dideritanya. Jika penderita juga tergolong penderita
obesoitas, maka selain pembatasan hidrat arang dan lemak, juga dilakukan
pembatasan terhadap kandungan kalori dalam dietnya. Di RS Cipto
Mangunkusumo digunakan delapan diet baku dengan berbagai tingkatan
kandungan kalori yaitu (Juni, 2006):
c. Diet I
: 1100 kalori
d. Diet II
: 1300 kalori
e. Diet III
: 1500 kalori
f. Diet IV
: 1700 kalori
g. Diet V
: 1900 kalori
h. Diet VI
: 2100 kalori
i. Diet VII
: 2300 kalori
j. Diet VIII : 2500 kalori
Diet I dan III diberikan kepada penderita diabetes yang tergolong
penderita obesitas. Diet IV sampai V diberikan kepada penderita dengan
berat badan normal, diet VI sampai dengan VIII diberikan kepada
penderita yang kurus, diabetes dengan komplikasi atau penderita DM yang
sedang hamil.
Tujuan diet DM yaitu untuk mempertahankan kadar glukosa darah
supaya mendekati normal, mencapai kadar lipid serum optimal, memberi
cukup energi untuk mencapai atau mempertahankan berat badan normal,
menghindari dan menangani komplikasi kronik orang yang DM serta

meningkatkan kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang optimal


(Almatsier, 2005).
Syarat diet DM berupa pembagian makan kedalam 3 porsi besar
yaitu makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsi kecil
untuk makanan selingan (masing-masing 10-15%). Kebutuhan protein
normal 10-15% dari kebutuhan energy total. Kebutuhan lemak sedang
yaitu 20-25% dari kebutuhan energy total, dalam bentuk <10% dari
kebutuhan eenergytotal berasal dari lemak jenuh, 10% dari lemak tidak
jenuh ganda, sedangkan sisanya dari lemak tidak jenuh tunggal. Asupan
makanan kolesterol dibatasi, yaitu 300 mg/hari. Kebutuhan karbohidrat
adalah sisa dari kebutuhan energy total, yaitu 60-70%, dimana kebutuhan
karbohidrat sederhana 5% dari total kalori (Sarwono, 2009). Penggunaan
gula murni dalam makanan dan minuman tidak diperbolehkan kecuali
dalam jumlah sedikit sebagai bumbu. Sedangkan penggunaan gula
alternative dalam jumlah terbatas. Asupan serat dianjurkan 25 gr/hari.
Cukup vitamin dan mineral (Almatsier, 2005).

2. Farmakologi

Terapi pada DM tipe 1


Insulin diperlukan pada keadaan : penurunan berat badan yang
cepat, hiperglikemia berat yang disertai ketosis, ketoasidosis diabetik,
hiperglikemia hiperosmolar nonketotik, hiperglikemia dengan asidosis
laktat, gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal, stres berat
(infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke), DM gestasional yang tidak
terkendali dengan TGM, gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat, serta
kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO.
Tabel 4. Perbandingan Obat Hipoglikemia Suntikan
Golongan
Insulin
DPP IV
Inhibitor

Cara Kerja
Menekan produksi glukosa
hati, stimulasi
pemanfaatan glukosa
Meningkatkan sekresi
insulin, menghambat
sekresi glukagon

Efek Samping
Sebah, muntah
Hipoglikemi,
BB naik

Penurunan
A1C
1,5 3,5 %
0,5 1 %

Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yaitu :


a)

Insulin kerja cepat ( rapid acting insulin )

b)

Insulin kerja pendek ( short acting insulin )

c)

Insulin kerja menengah ( intermediate acting


insulin )

d)

Insulin kerja panjang ( long acting insulin )

e)

Insulin campuran tetap ( premixed insulin )


Efek samping terapi insulin yang utama adalah terjadinya

hipoglikemia. Selain itu, efek samping yang lain berupa reaksi imun
terhadap insulin yang dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi
insulin
a) Agonis GLP-1/Incretin Mimetic
Pengobatan baru untuk pengobatan DM adalah Agonis GLP1/Incretin Mimetic. Agonis GLP-1

bekerja sebagai perangsang

pelepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia atau


peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan
dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin
menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah
menghambat pelepasan glukagon yang diketahui berperan pada proses
glukoneogenensis. Efek samping yang timbul adalah sebah dan
muntah.
Tabel 5. Jenis Jenis Insulin
Nama
Insulin Short Acting
Reguler (Actrapid, HumulinR)
Insulin Analog Rapid Acting
Insulin Lispro (Humalog)
Insulin Glulisine (Apidra)
Insulin Aspart (Novorapid)
Insulin Intermediate Action
NPH (Insulatard, Humulin
N)
Insulin Long Acting
Insulin glargine (Lantus)

Lama Kerja

Kemasan

3 5 jam

Vial, pen/cartridge

3 5 jam
3 5 jam
3 5 jam

Pen/cartridge
Pen
Pen, vial

10 - 16jam

Vial, pen/cartridge

18 26 jam

Pen

Insulin Detemir (Levemir)

22 24 jam

Pen

Terapi Ketoasidosis Diabetik dan Hiperglikemi Hiperosmolar State


Penanganan pada KAD dan HHS meliputi koreksi dehidrasi,
hiperglikemia, dan gangguan elektrolit, identifikasi faktor pencetus dan
monitoring pasien yang ketat (Kitabchi et al., 2009).
a. Terapi cairan
Rata-rata kekurangan cairan pada penderita KAD adalah 3-5 L,
sedangkan pada HHS sekitar 10 L atau lebih. Terapi cairan inisial
diarahkan untuk ekpansi volume intravaskular, interstisial, dan
intraselular

yang

mengalami

penurunan

pada

kondisi

krisis

hiperglikemik dan restorasi dari perfusi renal. Dalam keadaan absen


dari dekompensasi cordis, cairan isotonis saline diberikan 15-20
ml/kgBB/jam atau 1-1,5 L dalam 1 jam pertama. Terapi cairan
berikutnya tergantung dari tanda hemodinamik, status hidrasi, serum
elektrolit, dan volume urin (Kitabchi et al., 2009). Secara umum, 0,45%
NaCl diberikan 250-500 ml/jam bila serum natrium yang terkoreksi
normal atau meningkat, sebaliknya, 0,9% NaCl diberikan dengan
kecepatan yang sama bila serum natrium yang terkoreksi rendah. Terapi
cairan yang berhasil ditentukan dari monitoring hemodinamik
(peningkatan tekanan darah), penilaian input output cairan, nilai
pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan klinis. Terapi cairan
seharusnya memperbaiki perkiraan defisit cairan dalam 24 jam pertama.
Pada pasien dengan gagal ginjal atau jantung, monitoring osmolalitas
serum dan penilaian ketat terhadap kondisi jantung, ginjal, dan status
mental harus dilakukan ketika resusitasi cairan untuk menghindari
adanya kelebihan cairan (fluid overload) (McNaughton et al., 2011).
Dalam penanganan DKA, hiperglikemia lebih cepat terkoreksi
dibandingkan dengan ketoasidosis. Durasi rata-rata penanganan sampai
kadar glukosa plasma < 250 mg/dl adalah 6 jam dan ketoasidosis (pH >
7,3; bikarbonat > 18 mmol/L) adalah 12 jam. Setelah kadar glukosa
plasma ~ 200 mg/dL, 5% dekstrosa diberikan agar terapi insulin tetap

dapat diberikan untuk menghindari hipoglikemi sampai ketonemia


terkoreksi (Kitabchi et al., 2009).
b. Terapi Insulin
Terapi utama KAD adalah pemberian insulin regular baik secara
intravena continuous atau dengan injeksi SC atau IM. Hasil studi
menyatakan terapi insulin tetap efektif baik melalui IV, SC, maupun
IM. Pemberian melalui IV continuous insulin regular lebih dipilih
karena paruh waktu yang singkat dan mudah dititrasi, bila dibandingkan
melalui subkutan dengan onset of action dan paruh waktu yang relatif
lebih lama (Kitabchi et al., 2009).
Insulin sebaiknya diberikan dengan bolus awal 0,15 U/kgBB
secara IV dan diikuti dengan drip 0,1 U/kgBB per jam sampai kadar
glukosa darah turun antara 250 sampai 300 mg/dL (13.9 mmol per L)
sampai 300 mg/dL. Jika kadar glukosa dalam darah tidak turun 50-70
mg/dl per jam, dosis yang diberikan dapat ditingkatkan. Ketika kadar
glukosa darah < 300 mg/dL sebaiknya diberikan dekstrosa secara IV
dan dosis insulin dititrasi secara sliding scale sampai pulihnya
kesadaran dan keadaan hiperosmolar.
Studi terbaru menyatakan bahwa bolus awal insulin tidak
diperlukan bila pasien diberikan infus insulin sebesar 0,14 unit/kg/jam
(ekuivalen dengan 10 unit/jam pada pasien dengan berat badan 70 kg).
Bila dosis bolus awal tidak diberikan, dosis insulin reguler <0,1
unit/kg/jam menyebabkan kadar insulin yang lebih rendah dan tidak
adekuat untuk mensupresi produksi badan keton di liver (Kitabchi et
al., 2009).
Pemberian insulin dosis rendah mengurangi konsentrasi glukosa
plasma dengan kecepatan 50-75 mg/dl/jam. Apabila glukosa plasma
tidak turun sebesar 50-75 mg dari nilai awal dalam 1 jam pertama,
periksa dulu status hidrasi; jika baik, infus insulin dapat digandakan tiap
jam sampai tercapai penurunan glukosa yang stabil antara 50 dan 75
mg/jam dicapai. Ketika glukosa plasma mencapai 200 mg/dL pada
KAD atau 300 mg/dL pada HHS, penurunan kecepatan pemberian

insulin dapat dilakukan yaitu 0,02-0,05 unit/kg/jam. Pada saat tersebut,


dekstrosa 5% dapat diberikan dan disesuaikan kecepatannya untuk
menjaga kadar glukosa plasma antara 150-200 mg/dL pada KAD atau
250-300 mg/dL pada HHS sampai klinis KAD dan HHS membaik
(Kitabchi et al., 2009).
c. Kalium
Pada keadaan krisis hiperglikemi terjadi defisit total kalium
tubuh, namun hiperkalemia ringan sampai sedang umumnya ditemukan
pada pasien tersebut (Kitabchi et al., 2009). Terapi insulin, koreksi dari
asidosis, dan ekspansi volume menyebabkan penurunan konsentrasi
serum kalium. Pencegahan hipokalemia dilakukan dengan pemberian
kalium yang dimulai setelah konsentrasi serum kalium turun dibawah
batas atas dari nilai normal laboratorium (5,0-5,2 mEq/L). Tujuan terapi
ini adalah untuk menjaga serum kalium dalam batas normal yaitu 4-5
mEq/L. Terapi kalium dapat diberikan sesuai dengan tabel 5.
(McNaughton et al., 2011). Secara umum, 20-30 mEq kalium dalam
setiap liter cairan infus cukup untuk menjaga serum kalium dalam batas
normal. Sangat jarang pasien KAD datang dengan hipokalemia berat.
Dalam kasus tersebut, terapi penggantian kalium harus dimulai dengan
terapi cairan dan terapi insulin ditunda dahulu sampai konsentrasi
serum kalium >3,3 mEq/L untuk mencegah aritmia dan kelemahan otot
pernapasan yang mengancam nyawa (Kitabchi et al., 2009).
Tabel 5. Terapi kalium sesuai kadar kalium dalam darah pada krisis
hiperglikemik

(Dikutip dari: McNaughton CD, Wesley H, and Slovis C. Diabetes in the


Emergency Department: Acute Care of Diabetes Patients. Clin Diab 2011;29:2)
d. Terapi bikarbonat

Penggunaan bikarbonat pada KAD masih kontroversial karena


para peneliti percaya ketika badan keton berkurang, akan terdapat
jumlah bikarbonat yang cukup kecuali pada keadaan asidosis berat.
Asidosis metabolik berat dapat menyebabkan gangguan kontraksi
myocardium, vasodilatasi cerebral dan koma, dan beberapa komplikasi
gastrointestinal. Sebuah studi prospektif pada 21 pasien gagal
menunjukan keuntungan maupun kerugian pada morbiditas dan
mortalitas pasien KAD yang datang dengan pH antara 6,9 dan 7,1
dengan terapi bikarbonat. Sembilan studi kecil lainnya mendukung
bahwa pemberian bikarbonat tidak memberikan keuntungan dalam
meningkatkan

fungsi

jantung

atau

neurologik

atau

kecepatan

penyembuhan dari hiperglikemi dan ketoasidosis. Sebaliknya, efek


merugikan dari terapi bikarbonat dilaporkan, antara lain peningkatan
resiko hipokalemia, penurunan uptake oksigen jaringan, edema
cerebral, dan asidosis paradoksikal sistem saraf pusat. Belum ada studi
mengenai pemberian bikarbonat pada pasien KAD dengan pH <6,9. 10
Asidosis berat menyebabkan efek merugikan terhadap vaskularisasi,
oleh karena itu direkomendasikan pada pasien dewasa dengan pH <6,9
pemberian 100 mmol natrium bikarbonat (2 ampul) dalam 400 ml
larutan isotonik yang disertai 20 mEq KCl dengan kecepatan pemberian
200 ml/jam selama 2 jam sampai pH vena >7,0. Apabila pH masih <7,0,
pemberian bikarbonat diulang setiap 2 jam sampai pH mencapai >7,0
(Kitabchi et al., 2009).
e. Terapi Fosfat
Pada KAD juga terjadi defisit total fosfat tubuh sejumlah ratarata 1,0 mmol/kg, namun pada saat presentasi biasanya normal atau
meningkat. Konsentrasi fosfat akan berkurang ketika diberikan insulin.
Beberapa studi prospektif gagal membuktikan adanya keuntungan
pemberian fosfat pada penderita KAD dan pemberian fosfat berlebihan
justru menyebabkan hipokalsemia berat. Pemberian fosfat dengan
perhatian khusus kadang diindikasikan pada penderita KAD dengan
disfungsi kardiak, anemia, depresi napas dan pasien dengan konsentrasi

serum fosfat <1,0 mg/dL untuk menghindari potensi terjadinya


kelemahan otot kardiak dan skeletal dan gagal napas karena
hipofosfatemia.

Pemberian

20-30

mEq/L kalium

fosfat

dapat

ditambahkan pada cairan pengganti. Kecepatan maksimal pemberian


fosfat yang dinilai aman pada hipofosfatemia berat adalah 4,5
mmol/jam (1,5 ml/jam K2PO4). Belum ada studi mengenai pemberian
fosfat pada penderita HHS (Kitabchi et al., 2009).
f. Monitoring terapi (Goter, 2010)
1) Vital signs : tekanan darah, nadi, respirasi, tingkat kesadaran dan
suhu.
2) Pemeriksaan glukosa darah perjam hingga keton urin negatif.
3) Pemeriksaan analisis gas darah tiap jam untuk monitor pH,
bikarbonate dan kalium hingga pH diatas 7,10 lalu tiap 2 jam
hingga pH diatas 7,30 atau bikarbonat diatas 15.
4) Food intake dengan nasogastrik tube bila ada gangguan dalam
makan.
5) Jumlah cairan : tekanan venai jugularias, perfusi perifer, pengisian
6)
7)
8)
9)

kapiler, membran mukosa, nadi dan urin output.


Monitor elektrolit, urea dan kratinin tiap 4 jam.
Kateter urin
Keseimbangan cairan
Urinalisis : periksa keton urin 2-4 jam bila ada kateter atau bila
pasien ingin BAK bila tidak ada kateter.
Semua pasien KAD harus mendapatkan evaluasi laboratorium

yang komprehensif termasuk pemeriksaan darah lengkap dengan profil


kimia termasuk pemeriksaan elektrolit dan analisis gas darah.
Pemberian cairan dan pengeluaran urine harus dimonitor secara hatihati dan dicatat tiap jam. Pemeriksaan EKG harus dikerjakan kepada
setiap pasien, khususnya mereka dengan risiko kardiovaskular. Terdapat
bermacam pendapat tentang frekuensi pemeriksaan pada beberapa
parameter yang ada. ADA merekomendasikan pemeriksaan glukosa,
elektrolit, BUN, kreatinin, osmolalitas dan derajat keasaman vena tiap
2- 4 jam sampai keadaan stabil tercapai. Sumber lain menyebutkan
pemeriksaan gula darah tiap 1-2 jam. Pemeriksaan kadar gula darah
yang sering adalah penting untuk menilai efikasi pemberian insulin dan

mengubah dosis insulin ketika hasilnya tidak memuaskan. Ketika kadar


gula darah 250 mg/dl, monitor kadar gula darah dapat lebih jarang (tiap
4 jam). Kadar elektrolit serum diperiksa dalam interval 2 jam sampai 68 jam terapi. Jumlah pemberian kalium sesuai kadar kalium, terapi
fosfat sesuai indikasi. Titik terendah kadar kalium dan fosfat pada saat
terapi terjadi 4-6 jam setelah mulainya terapi (Hamdy, 2009).

Gambar 3. Protokol untuk penanganan pasien dewasa dengan KAD atau


HHS. Kriteria diagnosis untuk KAD: glukosa darah 250 mg/dL, pH arteri 7,3,
bikarbonat 15 mEq/L, dan moderate ketonuria atau ketonemia. Kriteria diagnosis
untuk HHS: glukosa darah 600 mg/dl, pH arteri 7.3, serum bicarbonate15 mEq/l,
and ketonuria and ketonemia minimal. 1520 ml/kg/h; serum Na harus
dikoreksi untuk hiperglikemia (setiap 100 mg/dl dari glucose 100 mg/dl,
tambahkan 1.6 mEq untuk nilai natrium). Bwt, body weight; IV, intravenous; SC,
subcutaneous
(Dikutip dari: Kitabchi AE, Umpierrez GE, Miles JM, Fisher JN: Hyperglycemic
crises in adult patients with diabetes. Diabetes Care 2009; 32:13351343.)

L. Prognosis
Pada DM yang tidak terkendali dengan kadar gula darah yang terlalu
tinggi dan kadar hormon insulin yang rendah, tubuh tidak dapat
menggunakan glukosa sebagai sumber energi. Sebagai gantinya tubuh akan
memecah lemak untuk sumber energi. Pemecahan lemak tersebut akan
menghasilkan benda-benda keton dalam darah(ketosis). Ketosis menyebabkan
derajat keasaman (pH) darah menurun atau disebut sebagai asidosis.
Keduanya disebut sebagai ketoasidosis. Oleh karena itu prognosis pada KAD
masih tergolong dubia, tergantung pada usia,adanya infark miokard akut,
sepsis, syok. Pasien membutuhkan insulin dalam jangka panjang dan
kematian pada penyakit ini dalam jumlah kecil sekitar 5% (Syahputra, 2003).
Pada umumnya angka mortalitas kira-kira 2%. Pada pasien yang
mengalami koma yang lama, hipotermia dan oliguria menunjukkan prognosis
yang buruk. Prognosis yang baik pada pasien yang dirawat dengan
ketoasidosis diabetikum pada pasien dewasa muda tanpa penyakit penyerta.
Manakala prognosis yang buruk pada pasien yang lebih tua dengan penyakit
penyerta yang buruk seperti infark miokard, sepsis dan pneumonia terutama
ketika pasien dirawat di luar ICU. Pada hasil pengobatan yang baik adalah
pasien yang dirawat di ICU pada 1-2 hari pengobatan. Edema otak adalah
penyebab tersering yang menyebabkan mortalitas terutama pada pasien
dewasa muda dan anak-anak. Edema serebral muncul akibat dari
ketidakseimbangan cairan intrasel dan elektrolit. Penyebab lain yang
menyebabkan mortalitas adalah hipokalemi, ARDS, dan penyakit komorbid
seperti pneumonia, infark miokard, dan lain-lain (Chiasson, 2003).

DAFTAR PUSTAKA
American Diabetes Association. Standards of Medical Care in Diabetes 2013.
Diabetes Care 2013; 35(Suppl. 1):S11-S63
Aswani V., 2010. How Well Do You Understand Blood Glucose Levels?. Available
from: http://www.medscape.com/viewarticle/438144 Diakses: 30/01/2016
Augusta, L. Arifin, et al. 2010. Krisis Hiperglikemia pada Diabetes Melitus.
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran
RS dr. Hasan Sadikin Bandung
Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta
:EGC.
Cartailler JP. 2004. Insulin from secretion to action. The beta cell biology
concortium. http://www.betacell.org/content/articles/print.php?aid=1
Chiasson, et al. 2003. Diagnosis and treatment of diabetic ketoacidosis and the
hyperglycemic hyperosmolar state. Canadian Medical Association or its
licensors. 168 (7).
Cranmer H., Shannon M., 2009. Hypoglycemia. Available from:
http://emedicine
.medscape.com/article/802334-overview
Diakses:
30/01/2016
Dickson LM, Christopher JR. 2004. Pancreatic -cell growth and survival in the
onset of type 2 diabetes: a role for protein kinase B in the Akt Am J
Physiol Endocrinol Metab;287:192-198
Donath M.Y, Ehses J.A, Meadler K, Schumann D.M, et al., 2009. Mechanisms of
-cell
Death
in
Type
2
Diabetes.
http://diabetes.diabetesjournals.org/content/54/suppl_2/S108.full
Eizirik D.L, Colli M.L, Ortis F. 2001. The role of information in insulitis and cell in type 1 Diabetes. http://www.medscape.com/viewarticle/703547
Eliasson L, Abdulkader F, Braun M, Galvanovskis J, Hoppa MB, Rorsman P.
2008. Novel Aspects of the moleculer mechanism controlling insulin
secretion. J. Physiol; 586(14):3313-3324
Gleadle, J., 2005. At a Glance: Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Penerbit
Erlangga, Jakarta
Gotera, W., Budiyasa, G.A. 2010. Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetik (KAD).
Bag/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud / RSUP Sanglah Denpasar. J
Peny Dalam Vol 11.

Guyton, A.C. dan J.E.Hall. 2006. Textbook of Medical Physiology. 11th ed.
Elsevier Inc. Philadelphia. Pennsylvania.
Hamdy, O. 2009. Diabetic Ketoacidosis. Diunduh pada tanggal 31 Mei 2014dari
http://emedicine.medscape.com/article/118361-overview.2009.
International Diabetes Federation, 2013. Diabetes and Impaired Glucose
Tolerance. http://www.idf.org/sites/default/files/The_Globalburden.pdf
Kitabchi AE, Umpierrez GE, Miles JM, Fisher JN: Hyperglycemic crises in adult
patients with diabetes. Diabetes Care 2009; 32:13351343.
Kumar, R. 2013. Dasar-dasar Patofisiologi Penyakit. Tangerang Selatan:
Binarupa Aksara.
Kurniyanto & Tanggo, 2012. Diabetes Mellitus tipe 1 pada Orang Dewasa.
Majalah Kedokteran FK UKI 2012. (4):27. 188-193
Maedler K, Spinas GA, Lehmann R, Sergeev P, Weber M. Fontana A, et al. 2001.
Glucose Induces beta sell apoptosis via up regulation of the Fas receptor in
human islet. Diabetes Journal; 50: 1683-1690
Masharani U. Diabetic ketoacidosis.2010. In: McPhee SJ, Papadakis MA, editors.
Lange current medical diagnosis and treatment. 49th ed. New York: Lange.
1111-5.
McNaughton CD, Wesley H, and Slovis C. Diabetes in the Emergency
Department. 2011. Acute Care of Diabetes Patients. Clinic Diabetes;29:2
Mescher, A. L.. 2010. JUNQUEIRAS Basic Histology, 12th ed. McGraw-Hill
Companies, Inc. USA.
Nabyl. 2009. Mengenal Diabetes. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Perkeni. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes mellitus Tipe 2
di Indonesia 2011. Jakarta: Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
(Perkeni)
Powers AC.2012. Chapter 344. Diabetes Mellitus. Dalam: Longo DL, Fauci AS,
Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J, eds.Harrisons Principles
of Internal Medicine. 18th ed. New York: McGraw-Hill. Diakses dari:
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=9141196.
Price, S. A., Wilson, Lorraine M., 2005. Patofisologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Pulungan & Herqutanto, 2009. Diabetes Mellitus tipe 1: Penyakit Baruyang
akan Makin Akrab dengan kita. Majalah Kedokteran Indonesia;
(10)59:455-458

Purnamasari D. 2009. Diagnosis dan klasifikasi diabetes melitus. Dalam: Sudoyo


A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid 3. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing.
Purwanti, O.S. 2013. Analisis Faktor-Faktor Risiko Terjadinya Ulkus Kaki pada
Pasien Diabetes Mellitus di RSUD DR.Moewardi Surakarta, Prosiding
Seminar
Ilmiah
nasional,
ISSN:
2338-2694,
http://journal.ui.ac.id/index.php/jkepi/article/view/2763,
diakses:
31/01/2016
Raghavan VA. Diabetic Ketoacidosis. Diakses pada tanggal 2 Juni 2014 dari
http://emedicine.medscape. com/article/118361-overview.
Rajan S. Regulation of insulin secretion. Medscape Diabetes & Endocrinology,
2002. http://cme.medscape.com/viewarticle/438368 Diakses: 31/01/16
Riset Kesehatan Dasar. 2013. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementrian Kesehatan RI.
Jakarta.
Schteingart DE. 2004. Diabetes Melitus. Patofisiologi Konsep Klinis Proses
Penyakit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. EGC.
Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem.Edisi 6. Jakarta.
EGC
Smeltzer, C. S, Bare, G. B., 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Alih
Bahasa: dr. H. Y. Kuncara. Jakarta: EGC
Soewondo, P. 2009. Ketoasidosis diabetic. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid
III. (4): 1896-99.
Suwitra K, 2006. Penyakit Ginjal kronik. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Pusat penerbitan Ilmu Penyakit dalam FK UI
Suyono S, 2006. Diabetes Melitus di Indonesia. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam.
IV ed. Jakarta: Pusat penerbitan Ilmu Penyakit dalam FK UI
Syahputra. 2003. Diabetik Ketoasidosis. Bagian Biokimia Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
Tandra, H. 2008. Segala Sesuatu yang Harus Anda Ketahui tentang Diabetes.
Jakarta :Gramedia Pustaka Utama.
Tjokroprawiro, A. 2001. Hidup Sehat dan Bahagia Bersama Diabetes Mellitus.
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Trachtenbarg, DE. 2005. Management of Diabetic Ketoacidosis. American Family


Physician. 71 (9):p 1705-1714
Umpirerrez, GE. 2002. Diabetic Ketoacidosis amd Hypergycemic Hyperosmolar
State. Journal Diabetes Spectrum. 15(1):p28-36
WHO.

2000.
Waist
circumference
and
waist-hip
ratio.
http://whqlibdoc.who.int/publications/2011/9789241501491_eng.pdf. 21
Agustus 2011.

WHO. 2011. Diabetes programme. http://www.who.int/diabetes/en/. 24 Januari


2011.
Yehia, B.R. et al. 2008. Diagnosis and Management of Diabetic Ketoacidosis in
Adults : Hospital Physician. 21-26.

Anda mungkin juga menyukai