Anda di halaman 1dari 33

Laporan Kasus Ilmu Penyakit Dalam

Hipertensi Derajat 2
Sebagai Diskusi Kasus Diskusi Modul 8.2 Kepaniteraan Junior

HALAMAN JUDUL

Disusun oleh :

Agus Prabowo
1711201002

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ABDURRAB
PEKANBARU
2021

1
BAB I
STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien

Nama Pasien : Ny. D


Umur : 53 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama/suku : Islam
Suku : Melayu
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : IRT
Alamat : Jl. Sudirman
No. MR : 413777

B. Anamnesis

Dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan anak pasien.

Keluhan Utama
Nyeri kepala sejak 6 jam sebelum masuk rumah sakit (SMRS).

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD dengan keluhan nyeri kepala sejak 6 jam SMRS. Keluhan
ini dirasakan hilang timbul, seperti ingin pecah dan nyeri terasa menjalar hingga ke
tengkuk. Keluhan disertai dengan pandangan mata kabur, kaki dan telapak tangan
kesemutan, badan terasa lemas, dan buang air besar (BAB) serta buang air kecil (BAK)
tidak ada keluhan.
Sejak 2 bulan yang lalu, pasien kembali sering merasa pusing, pasien juga merasa
sering kencing (4-5x), sering merasa lapar, dan sering merasa haus walaupun pasien hanya
melakukan aktivitas ringan saja, pasien juga merasakan tangan dan kakinya kebas-kebas.
Kemudian pasien berobat ke ke bidan dengan hasil tekanan darah 160/100 mmHg dan
diberi obat penurun tekanan darah dan penghilang nyeri, keluhan dirasakan berkurang.
Pasien belum pernah memeriksakan kadar gula darahnya.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Riwayat hipertensi sejak 10 tahun yang lalu. Pasien mengeluhkan hal yang sama
sakit kepala menjalar sampai ke tengkuk, hilang timbul, dan disertai dengan pusing.
Kemudian pasien berobat ke puskesmas, pada pemeriksaan TD pasien 170/100 mmHg dan

2
diberi obat penurun tekanan darah dan penghilang nyeri, keluhanpun berkurang. Pasien
mengaku sering berobat, namun terkadang suka lupa meminum obatnya.

Riwayat Penyakit Keluarga:


Tidak ada keluarga pasien menderita penyakit gula dan hipertensi.

Riwayat pekerjaan, kebiasaan, dan sosial ekonomi :


 Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga
 Pasien hampir tidak pernah berolahraga
 Pasien suka mengkonsumsi makanan yang manis-manis dan bersantan
 Tidak ada riwayat melahirkan bayi dengan BB > 4 kg
 Sosial ekonomi menengah
 Kebiasaan merokok (-), alkohol (-)

C. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Komposmentis
TD : 170/100 mmHg (di IGD, lalu di berikan amlodipin 10 mg), 160/90
mmHHg (di bangsal)
Nadi : 80 x/menit.
Pernafasan : 24 x/menit.
Suhu : 36,5oC
Keadaan gizi : Over weight
BB : 52 kg
TB : 150 cm
IMT : 52/(1.50)2 = 24,4 kg/m2 → Over weight

Pemeriksaan Khusus:
Kepala
Kulit dan Wajah : Wajah tidak sembab
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat,
isokor dengan diameter 3/3 mm, reflek cahaya +/+
Lidah : Tidak kotor, faring tidak hiperemis.
Leher : KGB tidak membesar, distensi Vena jugularis (-),

3
JVP 5+1 cmH2O
Thorak
Paru :
1. Inspeksi : Dada simetris kiri dan kanan, gerak nafas simetris, tidak ada
bagian yang tertinggal, spider naevi(-)
2. Palpasi : Vocal fremitus kanan = kiri
3. Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru.
4. Auskultasi : Vesikuler kedua lapangan paru, ronki (-), wheezing (-)
Jantung :
5. Inspeksi : Ictus kordis tidak terlihat
6. Palpasi : Ictus kordis teraba 2 jari medial LMCS RIC V
7. Perkusi : Batas jantung kanan : Linea Sternalis Dekstra
Batas jantung kiri : 2 jari medial LMCS RIC V
8. Auskultasi : Bunyi jantung normal, teratur, bising (-)

Abdomen :
9. Inspeksi : Perut datar, venektasi (-)
10. Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba.
11. Perkusi : Timpani, shifting dullness (-).
12. Auskultasi : Bising usus (+), 9x/menit, Normal

Ekstremitas :
13. Akral hangat
14. CRT < 2 detik
15. Oedema (-)
16. Ulkus (-)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
● Darah Rutin
Hb : 13,1 gr%
Leukosit : 9.100/mm3
Hematokrit : 39,6 vol%
1. Kimia darah
17. BUN : 6 mg/dl
18. Creatinin : 0,63 mg/dl
19. AST : 23 IU/L

4
20. ALT : 27 IU/L
21. Ureum : 12 mg/dl
● GDS : 425 mg%

D. Diagnosa
Diagnosis : Hipertensi derajat 2
Diagnosis Banding : Diabetes Melitus
Tension Headech

E. Penatalaksanaan
1) Non-farmakologi
- Pengurangan asupan garam
- Diet sehat
- Mengonsumsi minuman sehat
- Komsumsi alkohol dalam jumlah sedang
- Penurunan berat badan
- Berhenti merokok
- Aktivitas fisik teratur
- Kurangi stress dan dorong kesadaran
- Pengobatan pelengkap, alternatif atau tradisional
- Kurangi paparan polusi udara dan suhu dingin
1) Farmakologi
Mulai terapi dengan diuretik tipe tiazid atau ACEI atau ARB atau CCB, sendiri atau
dengan terapi kombinasi

5
Bab II
Tinjauan Pustaka

 Definisi
Hipertensi didiagnosis ketika tekanan darah sistolik seseorang dikantor dan/atau klinik
adalah ≥ 140 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik mereka ≥ 90 mmHg setelah
pemeriksaan berulang (Unger et al, 2020).

 Epidemiologi
Hipertensi adalah epidemi di seluruh dunia; oleh karena itu, epidemiologinya telah
dipelajari dengan baik. Data dari National Health and Nutrition Examination Survey
(NHANES) periode 2011-2014 di Amerika Serikat menemukan bahwa pada populasi
berusia 20 tahun atau lebih, diperkirakan 86 juta orang dewasa menderita hipertensi,
dengan prevalensi 34%. Data 2017 dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit
(CDC) National Center for Health Statistics (NCHS) dari 2015-2016 menunjukkan
prevalensi hipertensi sebesar 29,0% di antara mereka yang berusia 18 tahun ke atas
Secara global, diperkirakan 26% dari populasi dunia (972 juta orang) menderita
hipertensi, dan prevalensinya diperkirakan akan meningkat menjadi 29% pada tahun 2025,
sebagian besar didorong oleh peningkatan ekonomi di negara berkembang. Tingginya
prevalensi hipertensi menimbulkan beban kesehatan masyarakat yang luar biasa. Sebagai
penyumbang utama penyakit jantung dan stroke, penyebab utama kematian pertama dan
ketiga di seluruh dunia, masing-masing, tekanan darah tinggi adalah faktor risiko teratas
yang dapat dimodifikasi untuk kecacatan disesuaikan tahun-tahun kehidupan yang hilang
di seluruh dunia pada tahun 2013. Antara 2006 dan 2011, ada peningkatan 25% dalam
jumlah orang yang mengunjungi ruang gawat darurat AS untuk hipertensi esensial,
menurut analisis data dari Sampel Departemen Darurat Nasional pada tahun 2014. Namun,
alasan peningkatan tersebut, tetap tidak pasti. Tingkat kunjungan gawat darurat juga
meningkat secara signifikan, menurut penelitian tersebut, meningkat dari 190,1 kunjungan
per 100.000 penduduk pada tahun 2006 menjadi 238,5 kunjungan per 100.000 penduduk
pada tahun 2011. Namun, selama periode yang sama, tingkat penerimaan menurun, dari
10,47% pada tahun 2006 menjadi 8,85% pada 2011.

6
Kunjungan gawat darurat untuk hipertensi dengan komplikasi dan hipertensi
sekunder juga meningkat, dari 71,2 per 100.000 penduduk pada tahun 2006 menjadi 84,7
per 100.000 penduduk pada tahun 2011, sementara lagi, angka rawat inap turun, turun dari
77,79% pada tahun 2006 menjadi 68,75% pada tahun 2011. angka kematian rumah sakit
untuk pasien yang dirawat turun juga, dari 1,95% pada tahun 2006 menjadi 1,25% pada
tahun (Alexander et al, 2019).

 Klasifikasi
1. Klasifikasi berdasarkan derajat
Table 1. Klasifikasi Hipertensi menurut AHA 2020

Tekanan Darah (TD) TD Sistolik (mmHg) TD Diastolik (mmHg)

Normal <130 <85

Prehipertensi 130-139 85-89

Hipertensi derajat 1 140-159 90-99

Hipertensi derajat 2 ≥160 ≥100

Table 2. klasifikasi hipertensi menurut JNC 8

Tekanan Darah (TD) TD Sistolik (mmHg) TD Diastolik (mmHg)

Normal <120 <80

Prehipertensi 120-139 80-89

Hipertensi derajat 1 140-159 90-99

Hipertensi derajat 2 ≥160 ≥100

2. Klasifikasi berdasarkan etiologi


 Hipertensi primer (hipertensi esensial) yaitu hipertensi yang penyebabnya tidak
diketahui (90%)
 Hipertensi sekunder yaitu hipertensi yang penyebabnya diketahui (10%) (Olin
& Pharm, 2018).

3. Klasifikasi berdasarkan tempat pemeriksaanya


 White coat hypertension yaitu tekanan darah yang meningkat waktu di periksa
di tempat praktek sedangkan tekanan yang di ukur sendiri (home blood
pressure measurement/HBPM) ternyata selalu terukur normal.
 Sustained hypertension (hipertensi persisten) yaitu tekanan darah yang
meningkat baik di klinik maupun luar klinik, termasuk di rumah maupun
melakukan aktivitas harian yang biasa di lakukan (Unger et al, 2020)

7
2. Etiologi
Bagi sebagian besar penderita tekanan darah tinggi, penyebabnya tidak diketahui.
Ini diklasifikasikan sebagai hipertensi primer atau esensial. Sebagian kecil pasien memiliki
penyebab spesifik dari tekanan darah tinggi mereka, yang diklasifikasikan sebagai
hipertensi sekunder.
Lebih dari 90% pasien dengan tekanan darah tinggi mengalami hipertensi primer.
hipertensi primer tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikontrol dengan terapi yang
sesuai (termasuk modifikasi gaya hidup dan pengobatan). Faktor genetik mungkin
memainkan peran penting dalam perkembangan hipertensi primer. Bentuk tekanan darah
tinggi ini cenderung berkembang secara bertahap selama bertahun-tahun.
Kurang dari 10% pasien dengan tekanan darah tinggi mengalami hipertensi
sekunder. Hipertensi sekunder disebabkan oleh kondisi medis atau pengobatan yang
mendasari. Mengontrol kondisi medis yang mendasari atau menghilangkan obat penyebab
akan menyebabkan penurunan tekanan darah sehingga mengatasi hipertensi sekunder.
Penyebab tersering hipertensi sekunder dikaitkan dengan gangguan ginjal seperti penyakit
ginjal kronis (CKD) atau penyakit renovaskular. Bentuk tekanan darah tinggi ini cenderung
muncul tiba-tiba dan seringkali menyebabkan tekanan darah lebih tinggi daripada
hipertensi primer (Olin & Pharm, 2018).

3. Faktor Risiko
Berbagai faktor meningkatkan risiko seseorang untuk mengembangkan hipertensi.
Faktor risiko termasuk kondisi kesehatan, gaya hidup, dan riwayat keluarga. Beberapa
faktor risiko, seperti riwayat keluarga, tidak dapat dikendalikan. Namun, ada faktor risiko
seperti aktivitas fisik dan diet yang dapat dikontrol untuk mengurangi kemungkinan pasien
mengembangkan HT (Olin & Pharm, 2018).
Table 3. Faktor risiko hipertensi
Faktor yang dapat diubah Faktor yang tidak dapat diubah
Overweight/ obesitas Usia
Sedentary life style Ras
Penggunaan tembakau Riwayat keluarga
Makanan tidak sehat
minum alkohol
Stress
Sleep apnea
Diabetes

4. Patogenesis

8
5. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis
Berbagai faktor yang mengontrol tekanan darah berkontribusi pada pengembangan
hipertensi primer. Dua faktor utama termasuk masalah dalam mekanisme hormonal
[hormon natriuretik, sistem reninangiotensin-aldosteron (RAAS)] atau gangguan elektrolit
(natrium, klorida, kalium). Hormon natriuretik menyebabkan peningkatan konsentrasi
natrium dalam sel yang menyebabkan peningkatan tekanan darah. RAAS mengatur
natrium, kalium, dan volume darah, yang pada akhirnya akan mengatur tekanan darah di
arteri (pembuluh darah yang membawa darah menjauh dari jantung). Dua hormon yang
terlibat dalam sistem RAAS termasuk angiotensin II dan aldosteron. Angiotensin II
menyebabkan penyempitan pembuluh darah, meningkatkan pelepasan bahan kimia yang
meningkatkan tekanan darah, dan meningkatkan produksi aldosteron. Penyempitan
pembuluh darah meningkatkan tekanan darah (ruang lebih sedikit, jumlah darah sama),
yang juga memberi tekanan pada jantung. Aldosteron menyebabkan natrium dan air tinggal
di dalam darah. Akibatnya, volume darah menjadi lebih besar, yang akan meningkatkan
tekanan pada jantung dan meningkatkan tekanan darah. TD arteri adalah tekanan di
pembuluh darah, khususnya di dinding arteri. Ini diukur dalam milimeter merkuri (mmHg).
Dua nilai tekanan darah arteri adalah tekanan darah sistolik (SBP) dan tekanan darah
diastolik (DBP). SBP adalah nilai puncak (tertinggi) yang dicapai saat jantung
berkontraksi. DBP dicapai saat jantung dalam keadaan istirahat (tekanan terendah) dan
ruang jantung terisi dengan darah (Olin & Pharm, 2018).
Hipertensi dikenal sebagai “silent killer” karena biasanya tidak ada tanda atau
gejala peringatan, dan banyak orang tidak tahu bahwa mereka mengidapnya. Bahkan
ketika tingkat tekanan darah sangat tinggi, kebanyakan orang tidak memiliki tanda atau
gejala apa pun. Sejumlah kecil orang mungkin mengalami gejala seperti sakit kepala
kusam, muntah, pusing, dan mimisan lebih sering. Gejala-gejala ini biasanya tidak terjadi

9
sampai tingkat tekanan darah mencapai tahap yang parah atau mengancam jiwa. Satu-
satunya cara untuk mengetahui dengan pasti apakah seseorang menderita hipertensi adalah
dengan menemui dokter atau ahli kesehatan lain untuk mengukur tekanan darah (Olin &
Pharm, 2018). Gejala yang menyertai hipertensi yaitu nyeri dada, sesak napas, sakit kepala,
dan penglihatan kabur. Gejala sugestif hipertensi sekunder yaitu kelemahan otot, kram,
aritmia, berkeringat, jantung berdebar dan sering sakit kepala. Namun pada umumnya
sebagian besar pasien hipertensi tidak bergejala dan di diagnosis ketika pengukuran
tekanan darah saat pemeriksaan rutin (Unger et al, 2020).
Nyeri kepala umumnya dianggap sebagai gejala hipertensi meskipun ada pendapat
yang saling bertentangan. Sebagian besar penelitian telah menunjukkan bahwa hipertensi
dan nyeri kepala tidak berhubungan. Tetapi ada sedikit bukti tentang hal ini, yaitu “nyeri
kepala dikaitkan dengan gangguan homeostasis” (kode 10.3) Internal Classification of
Headache Disorders edisi 2 yang menganggap bahwa nyeri kepala ditemukan pada
hipertensi maligna, hipertensi preeklampsia dan eklampsia dan respon akut terhadap agen
eksogen (Cortelli et al, 2004)

6. Kriteria Diagnosis
A. Anamnesis
Anamnesis meliputi :
1. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah

2. Indikasi adanya hipertensi sekunder

 Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal (ginjal polikistik)


 Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuria,
pemakaian obat-obat analgesik dan obat atau bahan lain
 Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi
(feokromositoma)
 Episode lemah otot dan tetani (aldosteronisme)
3. Faktor-faktor risiko

 Riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarga


pasien atau keluarga pasien
 Riwayat hiperlipidemia pada pasien atau keluarganya
 Riwayat diabetes mellitus pada pasien atau keluarganya
 Kebiasaan merokok
 Pola makan

 Kegemukan, intensitas olahraga

 Kepribadian
4. Gejala kerusakan organ
 Otak dan mata : sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan,
transient ischemic attacks, defisit sensoris atau motoris

10
 Jantung : palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki, tidur dengan
bantal tinggi (lebih dari 2 bantal)
 Ginjal : haus, poliuria, nokturia, hematuria, hipertensi yang disertai
kulit pucat anemis
 Arteri perifer : ekstremitas dingin, klaudikasio intermiten

1. Pengobatan anti hipertensi sebelumnya

2. Faktor-faktor pribadi, keluarga dan lingkungan


B. Pemeriksaan Fisik
Pengukuran tekanan darah (TD) dilakukan pada penderita yang dalam keadaan
nyaman dan relaks, dan dengan tidak tertutup atau terkena pakaian.
C. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri dari : tes darah rutin, glukosa darah
(sebaiknya puasa), kolestrol total serum, kolestrol HDL serum, trigliserida serum
(puasa), asam urat serum, kreatinin serum, kalium serum, hemoglobin dan hematocrit,
elektrokardiogram.
Beberapa pedoman penanganan hipertensi menganjurkan tes lain seperti :
ekokardiogram, USG karotis (dan femoralis), C-reactive protein, ikroalbuminuria atau
perbandingan albumin/kreatinin urin, proteinuria kuantitatif, funduskopi (pada
hipertensi berat) (Alwi, 2014).

7. Diagnosis Banding
1. Diabetes Melitus
Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya. Diabetes mellitus merupakan penyakit kronik
yang kompleks dan membutuhkan perawatan medis berkelanjutan dengan strategi
pengurangan risiko multifaktorial diluar kendali glikemik (Suliman et al, 2019)
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya
glukosuria. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:

 Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat


badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL. Puasa adalah kondisi


tidak ada asupan kalori minimal 8 jam. (B)

Atau

11
Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dL 2-jam setelah Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram. (B)

Atau

Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL dengan keluhan klasik.

Atau

Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan metode yang


terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program
(NGSP). (B)
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM
digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

 Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa


plasma puasa antara 100 – 125 mg/dL dan pemeriksaan TTGO glukosa
plasma 2-jam < 140 mg/dL;
 Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma 2 -jam setelah TTGO antara 140 – 199 mg/dL dan glukosa
plasma puasa < 100 mg/dL
 Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
 Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7 –6,4% (Suliman et
al, 2019).

 Penatalaksanaan Diabetes Mellitus

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup


penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi :

1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas


hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,


tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara
komprehensif.

A. Modifikasi Gaya Hidup

 Terapi Nutrisi Medis (TNM)

Terapi nutrisi medis merupakan bagian penting dari penatalaksanaan DM


secara komprehensif. (A) Kunci keberhasilannya adalah keterlibatan secara
menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain
12
serta pasien dan keluarganya). Terapi TNM sebaiknya diberikan sesuai dengan
kebutuhan setiap penyandang DM agar mencapai sasaran. (A)Prinsip
pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan anjuran makan
untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Penyandang DM perlu
diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan
jumlah kandungan kalori, terutama pada mereka yang menggunakan obat yang
meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu sendiri.

 Latihan Fisik

Latihan fisik merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2.


Program latihan fisik secara teratur dilakukan 3 – 5 hari seminggu selama
sekitar 30 – 45 menit, dengan total 150 menit per minggu, dengan jeda antar
latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. (A). Kegiatan sehari-hari atau
aktivitas sehari-hari bukan termasuk dalam latihan fisik. Latihan fisik selain
untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa
darah. Latihan fisik yang dianjurkan berupa latihan fisik yang bersifat aerobik
dengan intensitas sedang (50 – 70% denyut jantung maksimal) seperti jalan
cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Denyut jantung maksimal
dihitung dengan cara mengurangi 220 dengan usia pasien. Pasien diabetes
dengan usia muda dan bugar dapat melakukan 90 menit/minggu dengan latihan
aerobik berat, mencapai > 70% denyut jantung maksimal.

Pemeriksaan glukosa darah dianjurkan sebelum latihan fisik. Pasien dengan


kadar glukosa darah < 100 mg/dL harus mengkonsumsi karbohidrat terlebih
dahulu dan bila > 250 mg/dL dianjurkan untuk menunda latihan fisik.

Pasien diabetes asimptomatik tidak diperlukan pemeriksaan medis khusus


sebelum memulai aktivitas fisik intensitas ringan-sedang, seperti berjalan
cepat. Subyek yang akan melakukan latihan intensitas tinggi atau memiliki
kriteria risiko tinggi harus dilakukan pemeriksaan medis dan uji latih sebelum
latihan fisik

Pada penyandang DM tanpa kontraindikasi (contoh: osteoartritis, hipertensi


yang tidak terkontrol, retinopati, nefropati) dianjurkan juga melakukan
resistance training (latihan beban) 2 – 3 kali/perminggu (A) sesuai dengan
petunjuk dokter. Latihan fisik sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status
kesegaran fisik. Intensitas latihan fisik pada penyandang DM yang relatif sehat
bisa ditingkatkan, sedangkan pada penyandang DM yang disertai komplikasi
intesitas latihan perlu dikurangi dan disesuaikan dengan masing-masing
individu.

B. Terapi Farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan


jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan
bentuk suntikan.

13
1) Obat Antihiperglikemia Oral

Berdasarkan cara kerjanya, obat anti-hiperglikemia oral dibagi menjadi 6


golongan:

a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)

o Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi


insulin oleh sel beta pankreas. Efek samping utama adalah
hipoglikemia dan peningkatan berat badan. Hati-hati menggunakan
sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi hipoglikemia (orang
tua, gangguan fungsi hati dan ginjal).

o Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya mirip dengan


sulfonilurea, namun berbeda lokasi reseptor, dengan hasil akhir
berupa penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat
asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini
diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi
hiperglikemia post prandial. Efek samping yang mungkin terjadi
adalah hipoglikemia. Obat golongan glinid sudah tidak tersedia di
Indonesia.

o Metformin

Metformin mempunyai efek utama meng-urangi produksi glukosa


hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di
jaringan perifer. Metformin merupakan pilihan pertama pada
sebagian besar kasus DM tipe 2. Dosis metformin diturunkan pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal (LFG 30 – 60 ml/menit/1,73
m2). Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan LFG
< 30 mL/menit/1,73 m2, adanya gangguan hati berat, serta pasien-
pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit
serebrovaskular, sepsis, renjatan, PPOK, gagal jantung NYHA
fungsional class III-IV). Efek samping yang mungkin terjadi adalah
gangguan saluran pencernaan seperti dispepsia, diare, dan lain-lain.

o Tiazolidinedion (TZD)

Tiazolidinedion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator


Activated Receptor Gamma (PPAR gamma), suatu reseptor inti
yang terdapat antara lain di sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini
mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer. Tiazolidinedion

14
meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga dikontraindikasikan
pada pasien dengan gagal jantung (NYHA fungsional class III-IV)
karena dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada
gangguan faal hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati
secara berkala. Obat yang masuk dalam golongan ini adalah
pioglitazone.

b. Penghambat Alfa Glukosidase

Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim alfa glukosidase di


saluran pencernaan sehingga menghambat absorpsi glukosa dalam usus
halus. Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan pada keadaan LFG
≤ 30 ml/min/1,73 m2, gangguan faal hati yang berat, irritable bowel
syndrome. Efek samping yang mungkin terjadi berupa bloating
(penumpukan gas dalam usus) sehingga sering menimbulkan flatus.
Guna mengurangi efek samping pada awalnya diberikan dengan dosis
kecil. Contoh obat golongan ini adalah acarbose.

c. Penghambat enzim Dipeptidyl Peptidase-4 (DPP-4 inhibitor)

Dipeptidil peptidase-4 (DPP-4) adalah suatu serin protease, yang


didistribusikan secara luas dalam tubuh. Enzim ini memecah dua asam
amino dari peptida yang mengandung alanin atau prolin di posisi kedua
peptida N-terminal. Enzim DPP-4 terekspresikan di berbagai organ
tubuh, termasuk di usus dan membran brush border ginjal, di hepatosit,
endotelium vaskuler dari kapiler villi, dan dalam bentuk larut dalam
plasma. Penghambat DPP-4 akan menghambat lokasi pengikatan pada
DPP-4 sehingga akan mencegah inaktivasi dari glucagon-like peptide
(GLP)-1. Proses inhibisi ini akan mempertahankan kadar GLP-1 dan
glucose-dependent insulinotropic polypeptide (GIP) dalam bentuk aktif
di sirkulasi darah, sehingga dapat memperbaiki toleransi glukosa,
meningkatkan respons insulin, dan mengurangi sekresi glukagon.
Penghambat DPP-4 merupakan agen oral, dan yang termasuk dalam
golongan ini adalah vildagliptin, linagliptin, sitagliptin, saxagliptin dan
alogliptin.

d. Penghambat enzim Sodium Glucose co-Transporter 2 (SGLT-2


inhibitor)

Obat ini bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi glukosa di tubulus


proksimal dan meningkatkan ekskresi glukosa melalui urin. Obat
golongan ini mempunyai manfaat untuk menurunkan berat badan dan
tekanan darah. Efek samping yang dapat terjadi akibat pemberian obat
ini adalah infeksi saluran kencing dan genital. Pada penyandang DM
dengan gangguan fungsi ginjal perlu dilakukan penyesuaian dosis, dan
tidak diperkenankan bila LFG kurang dari 45 ml/menit. Hati-hati
karena dapat mencetuskan ketoasidosis.

 Penyulit Akut

15
1. Krisis Hiperglikemia

 Ketoasidosis Diabetik (KAD)

Komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa


darah yang tinggi (300 - 600 mg/dL), disertai tanda dan gejala asidosis dan
plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300 - 320 mOs/mL)
dan terjadi peningkatan anion gap.

 Status Hiperglikemia Hiperosmolar (SHH)

Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600 1200
mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat
meningkat (330 -380 mOs/mL), plasma keton (+/-), anion gap normal atau
sedikit meningkat.

Catatan: Kedua keadaan (KAD dan SHH) tersebut mempunyai angka


morbiditas dan mortalitas yang tinggi, sehingga memerlukan perawatan di
rumah sakit guna mendapatkan penatalaksanaan yang memadai.

2. Hipoglikemia

Hipoglikemia ditandai dengan menurunya kadar glukosa darah < 70 mg/dL.


Hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa serum dengan atau
tanpa adanya gejala-gejala sistem autonom, seperti adanya whipple’s triad:

 Terdapat gejala-gejala hipoglikemia


 Kadar glukosa darah yang rendah
 Gejala berkurang dengan pengobatan

 Penyulit Menahun

1. Makroangiopati

 Pembuluh darah jantung: penyakit jantung coroner


 Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer yang sering terjadi pada
penyandang DM. Gejala tipikal yang biasa muncul pertama kali adalah
nyeri pada saat beraktivitas dan berkurang saat istirahat (claudicatio
intermittent), namun sering juga tanpa disertai gejala. Ulkus iskemik
pada kaki merupakan kelainan yang dapat ditemukan pada penyandang.
 Pembuluh darah otak: stroke iskemik atau stroke hemoragik

2. Mikroangiopati
a. Retinopati Diabetik

Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko
atau memperlambat progresi retinopati (A). Terapi aspirin tidak
mencegah timbulnya retinopati.

b. Nefropati Diabetik
16
 Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi
risiko atau memperlambat progresi nefropati.
 Untuk penyandang penyakit ginjal diabetic, menurunkan asupan
protein sampai di bawah 0.8 g/kgBB/hari tidak direkomendasikan
karena tidak memperbaiki risiko kardiovaskular dan menurunkan
GFR ginjal.

c. Neuropati

 Pada neuropati perifer, hilangnya sensasi distal merupakan faktor


penting yang berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki yang
meningkatkan risiko amputasi.
 Gejala yang sering dirasakan berupa kaki terasa terbakar dan
bergetar sendiri, dan terasa lebih sakit di malam hari.
 Setelah diagnosis DM tipe 2 ditegakkan, pada setiap pasien perlu
dilakukan skrining untuk mendeteksi adanya polineuropati distal
yang simetris dengan melakukan pemeriksaan neurologi sederhana
(menggunakan monofilamen 10 gram). Pemeriksaan ini kemudian
diulang paling sedikit setiap tahun.
 Pada keadaan polineuropati distal perlu dilakukan perawatan kaki
yang memadai untuk menurunkan risiko terjadinya ulkus dan
amputasi.
 Pemberian terapi antidepresan trisiklik, gabapentin atau pregabalin
dapat mengurangi rasa sakit.
 Semua penyandang DM yang disertai neuropati perifer harus
diberikan edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus
kaki.
 Untuk pengelolaan penyulit ini seringkali diperlukan kerja sama
dengan bidang/disiplin ilmu lain.

d. Kardiomiopati

 Pasien diabetes memiliki risiko 2 kali lipat lebih tinggi untuk


terjadinya gagal jantung dibandingkan pada non-diabetes.
 Diagnosis kardiomiopati diabetik harus dipastikan terlebih dahulu
bahwa etiologinya tidak ada berkaitan dengan adanya hipertensi,
kelainan katup jantung, dan penyakit jantung koroner.
 Pada pasien diabetes disertai dengan gagal jantung, pilihan terapi
yang disarankan adalah golongan penghambat SGLT-2 atau agonis
reseptor GLP-1 (Suliman et al, 2019).

2. Tension Type Headache


Didefinisikan sebagai episodik (sering dan jarang) atau kronis. Kategori
sakit kepala juga ditentukan oleh apakah berhubungan dengan gangguan otot
perikranial. Sakit kepala tegang episodik biasanya dikaitkan dengan peristiwa
stres. Jenis sakit kepala ini memiliki intensitas sedang, sembuh sendiri, dan
biasanya responsif terhadap obat yang tidak diresepkan. Sakit kepala karena tegang
kronis sering kambuh setiap hari dan berhubungan dengan otot leher dan kulit

17
kepala yang berkontraksi. Jenis sakit kepala ini bilateral dan biasanya
oksipitofrontal. TTH adalah jenis nyeri kepala kronis berulang yang paling umum.
Kriteria diagnostik IHS untuk sakit kepala tipe tegang menyatakan bahwa
dua dari karakteristik berikut harus ada:
 Menekan atau mengencangkan (kualitas nonpulsatile)
 Lokasi frontal-oksipital
 Bilateral - Intensitas ringan / sedang
 Tidak diperburuk oleh aktivitas fisik

Riwayat sakit kepala tipe tegang adalah sebagai berikut:


 Durasi 30 menit sampai 7 hari
 Tidak ada mual atau muntah (dapat terjadi anoreksia) 
 Fotofobia dan / atau fonofobia 
 Minimal 10 episode sakit kepala sebelumnya; kurang dari 180 hari per
tahun dengan sakit kepala dianggap "jarang"
 Nyeri bilateral dan oksipitonuchal atau bifrontal
 Nyeri yang dideskripsikan sebagai "sesak, sesak / tertekan, tertekan", atau
"seperti pita / mirip"
 Dapat terjadi secara akut di bawah tekanan emosional atau kekhawatiran
yang intens
 Insomnia
 Sering muncul saat bangun tidur atau tidak lama kemudian
 Sesak atau kaku otot di daerah leher, oksipital, dan frontal
 Durasi lebih dari 5 tahun pada 75% pasien dengan sakit kepala kronis
 Kesulitan berkonsentrasi
 Tidak ada prodrome

Onset sakit kepala baru pada pasien usia lanjut harus menunjukkan etiologi selain
sakit kepala tegang. (Blanda & Sargeant, 2017). 
8. Prinsip tatalaksana
Dalam penatalaksanaan hipertensi para ahli umumnya mengacu kepada guideline-guideline
yang ada. Salah satu guideline terbaru yang dapat dijadikan acuan penanganan hipertensi
di Indonesia adalah guideline Joint National Committee (JNC) 8.
Guideline JNC 8 mencantumkan 9 rekomendasi penanganan hipertensi:
Rekomendasi 1
Pada populasi umum usia ≥ 60 tahun, terapi farmakologis untuk menurunkan tekanan
darah dimulai jika tekanan darah sistolik ≥150 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90
mmHg dengan target sistol <150 mmHg dan target diastolik <90 mmHg. (Strong
Recommendation- Grade A)
Pada populasi umum berusia ≥60 tahun, jika terapi farmako hipertensi menghasilkan
tekanan darah sistol lebih rendah (<140 mmHg) dan ditoleransi baik tanpa efek
samping kesehatan dan kualitas hidup, dosis tidak perlu disesuaikan. (Expert Opinion-
Grade E).

18
Rekomendasi 2
Pada populasi umum <60 tahun, terapi farmakologis untuk menurunkan tekanan darah
dimulai jika tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan target tekanan darah diastolik
<90 mmHg (untuk usia 30-59 tahun Strong Recommendation- Grade; untuk usia 18-29
tahun Expert Opinion-Grade E).
Rekomendasi 3
Pada populasi umum <60 tahun, terapi farmakologis untuk meurunkan tekanan darah
dimulai jika tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dengan target tekanan darah sistolik <140
mmHg (Expert Opinion-Grade E).
Rekomendasi 4
Pada populasi berusia ≥18 tahun dengan penyakit ginjal kronis, terapi farmakologis untuk
menurunkan tekanan darah dimulai jika tekanan darah sistolik ≥140mmHg atau tekanan
darah diastolic ≥90 mmHg dengan target tekanan darah sistolik <140 mmHg dan target
tekanan darah diastolic <90 mmHg (Expert Opinin-Grade E).
Rekomendasi 5
Pada populasi berusia ≥18 tahun dengan diabetes, terapi farmakologis untuk menurunkan
tekanan darah dimulai jika tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah diastolic
≥90 mmHg dengan target tekanan darah sistolik
<140mmHg dan target tekanan darah diastolic <90 mmHg (Expert Opinion- Grade E).
Rekomendasi 6
Pada populasi non-kulit hitam umum, termasuk mereka dengan diabetes, terapi
antihipertensi awal sebaik mencakup diuretic tipe thiazide, calcium channel blocker
(CCB), Angiotensin-Concerting Enzyme Inhibitor (ACEI), atau Angiotensin Receptor
Blocker (ARB). (Moderate recommendation-Grade B).
Rekomendasi 7
Pada populasi kulit hitam umum, termasuk mereka dengan diabetes, terapi antihipertensi
awal sebaiknya mencakup diuretic tipe thiazide atau CCB. (untuk populasi kulit hitam:
Moderate Recommendation-Grade B; untuk kulit hitam dengan diabetes: Weak
Recommendation-Grade C).
Rekomendasi 8
Pada populasi berusia ≥18 tahun dengan penyakit ginjal kronis, terapi antihipertensi awal
(atau tambahan) sebaiknya mencakup ACEI atau ARB untuk meningkatkan outcome
ginjal. Hal ini berlaku untuk semua pasien penyakit ginjal kronis dengan hipertensi terlepas
dari rasa tau status diabetes. (Moderate Recommendation-Grade B).
Rekomendasi 9
Tujuan utama terapi hipertensi adalah mencapai dan mempertahankan target tekanan darah.
Jika target tekanan darah tidak tercapai dalam 1 bulan perawatan, tingkatkan dosis obat
awal atau tambahkan obat kedua dari salah satu kelas yang direkomendasikan dalam
rekomendasi 6 (Thiazide-type diuretic, CCB, ACEI, atau ARB). Dokter harus terus menilai
tekanan darah dan menyesuaikan regimen perawatan sampai target tekanan darah tercapai.
Jika target tekanan darah tidak dapat dicapai dengan 2 obat, tambahkan dan titrasi obat
ketiga dari daftar yang tersedia. Jangan gunakan ACEI dan ARB bersama-sama pada satu
pasien. Jika target tekanan darah tidak dapat dicapai menggunakan obat didalam
rekomendasi 6 karena kontraindikasi atau perlu menggunakan lebih dari 3 obat, obat
antihipertensi kelas lain dapat digunakan. Rujukan kespesialis hipertensi mungkin
diindikasikan jika target tekanan darah tidak dapat tercapai dengan strategi diatas atau
untuk penanganan pasien komplikasi yang membutuhkan konsultasi klinis tambahan.
(Expert Opinion-grade E) (James et al, 2014).
Kesembilan rekomendasi ini diringkas menjadi satu algoritma penanganan hipertensi

19
Table 4. Hypertension guideline management algoritm

9. Penatalaksanaan
3. Tatalaksana Nonfarmakologi Hipertensi

20
Pilihan gaya hidup sehat dapat mencegah atau menunda timbulnya tekanan
darah tinggi dan dapat mengurangi risiko kardiovaskular. Modifikasi gaya hidup
juga merupakan lini pertama pengobatan antihipertensi. Modifikasi gaya hidup juga
dapat meningkatkan efek pengobatan antihipertensi. Modifikasi gaya hidup harus
mencakup yang berikut:
 Pengurangan garam
Ada bukti kuat untuk hubungan antara asupan garam yang tinggi dan
peningkatan tekanan darah. Kurangi garam yang ditambahkan saat
menyiapkan makanan, dan saat makan. Hindari atau batasi konsumsi
makanan tinggi garam seperti kecap, fast food dan makanan olahan
termasuk roti dan sereal tinggi garam.
 Diet sehat
Makan makanan yang kaya biji-bijian, buah-buahan, sayuran, lemak tak
jenuh ganda dan produk susu dan mengurangi makanan tinggi gula, lemak
jenuh dan lemak trans, seperti diet DASH. Perbanyak asupan sayuran tinggi
nitrat yang diketahui bisa menurunkan TD, seperti sayuran berdaun dan
bit. Makanan dan nutrisi bermanfaat lainnya termasuk yang tinggi
magnesium, kalsium dan kalium seperti alpukat, kacang-kacangan, biji-
bijian, kacang-kacangan dan tahu
 Minuman sehat
Konsumsi kopi, teh hijau dan hitam dalam jumlah sedang. Minuman lain
yang bermanfaat termasuk teh karkadé (kembang sepatu), jus delima, jus
bit dan coklat
 Konsumsi alkohol dalam Jumlah sedang
Hubungan linier positif ada antara konsumsi alkohol, tekanan darah,
prevalensi hipertensi, dan risiko CVD. Batas harian yang direkomendasikan
untuk konsumsi alkohol adalah 2 minuman standar untuk pria dan 1,5
untuk wanita (10 g alkohol / minuman standar). Hindari pesta minuman
keras
 Penurunan berat badan
Pengendalian berat badan diindikasikan untuk menghindari obesitas.
Obesitas perut harus ditangani. Pemotongan khusus etnis untuk BMI dan

21
lingkar pinggang harus digunakan. Sebagai alternatif, rasio pinggang-tinggi
<0,5 direkomendasikan untuk semua populasi
 Berhenti merokok
Merokok merupakan faktor risiko utama CVD, COPD dan kanker.
Penghentian merokok dan rujukan ke program berhenti merokok
disarankan.
 Aktivitas fisik teratur
Studi menunjukkan bahwa aerobik dan latihan ketahanan secara teratur
mungkin bermanfaat untuk pencegahan dan pengobatan hipertensi.
Latihan aerobik intensitas sedang (berjalan, joging, bersepeda, yoga, atau
berenang) selama 30 menit selama 5-7 hari per minggu atau HIIT (latihan
interval intensitas tinggi) yang melibatkan semburan singkat aktivitas
intens secara bergantian dengan periode pemulihan berikutnya dari
aktivitas yang lebih ringan. Latihan kekuatan juga dapat membantu
menurunkan tekanan darah. Performa latihan ketahanan / kekuatan
selama 2–3 hari per minggu.
 Kurangi stres dan dorong kesadaran
Stres kronis telah dikaitkan dengan tekanan darah tinggi di kemudian hari.
Meskipun penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan efek stres
kronis pada tekanan darah, uji klinis acak yang meneliti efek meditasi /
kesadaran transendental pada tekanan darah menunjukkan bahwa praktik
ini menurunkan tekanan darah. Stres harus dikurangi dan kesadaran atau
meditasi dimasukkan ke dalam rutinitas sehari-hari.
 Pengobatan pelengkap, alternatif atau tradisional
Sebagian besar pasien hipertensi menggunakan obat-obatan pelengkap,
alternatif atau tradisional (di wilayah seperti Afrika dan Cina) namun uji
klinis berskala besar dan tepat diperlukan untuk mengevaluasi kemanjuran
dan keamanan obat-obatan ini. Dengan demikian, penggunaan pengobatan
tersebut belum didukung.
 Kurangi paparan polusi udara dan suhu dingin
Bukti dari penelitian mendukung efek negatif dari polusi udara pada
tekanan darah dalam jangka panjang (Unger et al, 2020).

22
4. Tatalaksana Farmakologi
Hal yang harus diperhatikan adalah pengobatan dengan obat-obatan
antihipertensi dimulai jika terapi nonfarmakologi dianggap kurang efektif untuk
menurunkan tekanan darah pasien. Terapi farmakologi untuk pasien hipertensi
dibagi menjadi lini pertama yang terdiri dari diuretik thiazide, ACE inhibitor, ARB
dan calcium channel blocker serta pengobatan lini kedua terdiri dari beta blocker,
aldosterone antagonist, alpha blocker dan direct renin inhibitor (ACE inhibitor dan
ARB)

1. Pengobatan Lini Pertama


 Diuretik
Golongan yang terutama digunakan adalah golongan thiazide yang
bekerja dengan menghambat transport bersama (symport) Na- Cl di
tubulus ginjal sehingga ekskresi Na+ dan Cl- meningkat. Dengan
meningkatkan ekskresi natrium dan klorida menurunkan volume darah
dan cairan ekstraselular sehingga menurunkan curah jantung dan
tekanan darah serta menurunkan resistensi perifer. Selain itu juga dapat
menggunakan golongan diuretik hemat kalium dan diuretik kuat.
 ACE Inhibitor (Angitensin Converting Enzyme Inhibitor)
Bekerja dengan menghambat perubahan Angiotensin I menjadi
Angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi
aldosterone serta menghambat degradasi bradikinin sehingga kadar
bradikinin dalam darah meningkat dan berperan dalam efek
vasodilatasi yang akan menurunkan tekanan darah dan dengan
berkurangnya aldosterone akan menyebabkan ekskresi air, natrium dan
retensi kalium.
 ARB (Angiotensin Receptor Blocker)
Bekerja dengan menghambat semua efek Angiotensin II seperti:
vasokonstriksi, sekresi aldosterone, rangsangan saraf simpatis, efek
sentral Angiotensin II dan stimulasi jantung. Bejerta selektif pada
reseptor Angiotensin II yaitu AT1 dan AT2.
 Calcium channel blocker
Bekerja dengan menghambat influx kalsium pada sel otot polos
pembuluh darah dan miokard. Di pembuluh darah terutama akan
menimbulkan relaksasi arteriol dan penurunan resistensi perifer.
1. Pengobatan lini ke dua
 Beta Blocker
Bekerja sebagai penghambat adrenergic yang terutama dengan
menghambat efek dari aktivitas simpatis dengan menghambat kerja
dari Beta-1 yang akan menghasilkan efek:
a. Penurunan frekuensi jantung dan kontraktilitas miokard
sehingga menurunkan curah jantung.
b. Penghambatan sekresi renin di sel-sel juxtaglomerular ginjal
dengan akibat penurunan produksi angiotensin II.

23
c. Efek sentral yang mempengaruhi aktivitas baroreseptor,
perubahan aktivitas neuron adrenergic perifer dan peningkatan
biosintesis prostasiklin.
Golongan beta-1 selective yang aman digunakan pada psien
COPD, asthma, diabetes dan penyakit vascular perifer: Metoprolol,
Bisoprolol, Betaxolol, dan Acebutolol.
 Alpha blocker
 Alpha-1 blocker
Hanya alpha blocker yang selektif menghambat reseptor
alpha-1 yang digunakan sebagai antihipertensi. Alpha blocker
non selektif kurang efektif sebagai antihipertensi karena
hambatan reseptor alpha 2 di ujug saraf adrenergic akan
meningkatkan pelepasan norepinephrine dan meningkatkan
aktivitas simpatis. Obat ini sebagai antihipertensi bekerja
dengan menghambat reseptor alpha-1 yang menyebabkan
menurunkan resistensi perifer dan venodilatasi menyebabkan
aliran balik vena berkurang yang akan menurunkan curah
jantung.
 Alpha-2 blocker
Alpha-2 blocker atau adrenolitik sentral dengan pilihan obat
metildopa, klonidin dan guanfasin.
 Aldosteronesterone antagonist

Spironolactone adalah diuretic hemat kalium yang


merupakan antagonis aldosterone. Obat ini bekerja dengan
meningkatkan retensi kalium dan ekskresi natrium ditubulus
distal. Spironolactone dikombinasikan dengan diuretic lain
untuk mengurangi efek hilangnya kalium melalui urin (Lloyd-
Jones et al, 2017).

Table. 5 obat antihipertensi

Obat antihipertensi Dosis (mg) Target dosis (mg) Dosis perhari


ACE Inhibitors
Captopril 50 150-200 2
Enalapril 5 20 1-2
Lisinopril 10 40 1

24
Obat antihipertensi Dosis (mg) Target dosis (mg) Dosis perhari
Angiotensin receptor blockers
Eprosartan 400 600-800 1-2
Candesartan 4 12-32 1
Losartan 50 100 1-2
Valsartan 40-80 160-320 1
Irbesartan 75 300 1
β-Blockers
Atenolol 25-50 100 1
Metoprolol 50 200 1-2
Calcium Channel Blockers
Amlodipine 2.5 10 1
Ditiazem extended 120-180 360 1
release
Nitrendipine 10 20 1-2
Thiazide tipe diuretik
Bendroflumethiazid 5 10 1
Chlorthalidone 12.5 12.5-25 1
Hydrochlorothiazide 12.5-25 25-100a 1-2
Indapamide 1.25 1.25-2.5 1

25
BAB III
PEMBAHASAN

3. Anamnesis
Pada RPS, pasien datang ke Rumah sakit dengan keluhan utama nyeri kepala sejak
6 jam SMRS. Keluhan ini dirasakan hilang timbul, seperti ingin pecah dan nyeri terasa
menjalar hingga ke tengkuk. Keluhan disertai dengan pandangan mata kabur, kaki dan
telapak tangan kesemutan, badan terasa lemas. Kemudian pasien berobat ke bidan dan hasil
TD 160/100 mmHg lalu diberi obat penurun tekanan darah dan penghilang nyeri.
Berdasarkan keluhan utama pasien, kemungkinan penyakit yang memiliki gejala seperti itu
adalah hipertensi, tension headache dan diabetes melitus. Selain itu, pasien mengaku 2
bulan yang lalu mengalami gejala seperti sering buang air kecil 4-5 kali, mudah haus dan
lapar meskipun hanya melakukan aktivitas ringan saja. Ini merupakan gejala klasik dari
penyakit diabetes melitus. Namun penyakit diabetes tidak dapat ditegakkan dengan hanya
mengetahui gejala klasik pasien. Pemeriksaan GDS, TTGO dan HbAIc juga perlu
diperhatikan untuk mendiagnosis apakah pasien juga mengalami diabetes mellitus.
Sehingga dari anamnesis pasien belum bisa dikatakan mengalami diabetes mellitus. Untuk
tention headache pasien tidak dapat ditegakkan karna minimnya anamnesis mengenai sakit
kepala. Dimana tidak ditanya frekuensi atau seberapa sering sakit kepala dan tidak ada
pertanyaan yang menjurus kearah sakit kepala.
Pada RPD, pasien memiliki riwayat hipertensi 10 tahun yang lalu serta pasien juga
mengaku sering berobat, namun terkadang suka lupa meminum obatnya. Pasien juga
mengeluhkan hal yang sama sakit kepala menjalar sampai ke tengkuk, hilang timbul, dan
disertai dengan pusing. Kemudian pasien berobat ke puskesmas, pada pemeriksaan
didapatkan TD 170/100 mmHg. Berdasarkan data RPD, diketahui pasien memiliki riwayat
hipertensi tidak terkontrol.
Pada riwayat psikososial, didapatkan pasien hampir tidak pernah berolahraga serta
pasien juga suka mengkonsumsi makanan yang manis-manis dan bersantan. Aktifitas yang
rendah serta konsumsi makanan yang buruk dapat secara bersamaan menimbulkan
berbagai penyakit, tidak hanya hipertensi namun diabetes mellitus pun dapat terjadi apabila
memiliki kebiasaan tersebut. Diagnosis kerja sebenarnya telah dapat ditegakkan pada
pasien. Namun masalah lain juga harus dicari agar pengobatan dapat dilakukan secara
tepat.

4. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik pasien ditemukan pasien dalam keadaan sakit sedang.
Tekanan darah pasien 170/100, keadaan gizi pasien over weight serta IMT pasien over
weight yaitu 24,4 kg/m2. Pemeriksaan fisik yang lain dalam batas normal serta tidak ada
kelainan yang dialami oleh pasien. Pemeriksaan fisik disini menunjukkan adanya
hipertensi serta adanya faktor resiko dari diabetes mellitus yaitu berat badan pasien yang
obesitas.

5. Pemeriksaan Laboratorium

26
Pada pemeriksaan laboratorium Gula darah Sewaktu pasien sangat tinggi yaitu 425
mg%. Hal ini menunjukkan pasien dalam keadaan hiperglikemi atau diabetes mellitus.
Berdasarkan faktor risiko dari diabetes melitus. Kemungkinan pasien dapat terkena
diabetes melitus. Dimana faktor risiko mengatakan bahwa seseorang dengan berat
obese/over weight dan ditambah salah satu risiko lain atau lebih sangat tinggi
kemungkinan terkena diabetes melitus. Salah satu risiko pasien adalah memiliki riwayat
hipertensi atau dalam pengobatan. Namun diabetes melitus belum bisa ditegakkan hanya
dengan GDS satu kali periksa saja.

6. Diagnosis
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien didiagnosis hipertensi
derajat 2. Pada anamnesis didapatkan gejala berupa nyeri kepala, pandangan mata kabur
dan hasil pengukuran tekanan darah 2 bulan lalu 160/100 serta memiliki riwayat hipertensi
10 tahun yang lalu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD pasien 170/100. Dan dari data
yang diperoleh juga dapat menyingkirkan diagnosis banding seperti:
1. Diabetes Melitus

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.


Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya
glukosuria. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:

 Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat


badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL. Puasa adalah kondisi


tidak ada asupan kalori minimal 8 jam. (B)

Atau

Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dL 2-jam setelah Tes Toleransi


Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram. (B)

Atau

Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL dengan keluhan klasik.

Atau

Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan metode yang


terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program
(NGSP). (B)

27
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM
digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

 Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa


plasma puasa antara 100 – 125 mg/dL dan pemeriksaan TTGO glukosa
plasma 2-jam < 140 mg/dL;
 Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma 2 -jam setelah TTGO antara 140 – 199 mg/dL dan glukosa
plasma puasa < 100 mg/dL
 Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT

Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil


pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7 –6,4%.

2. Tension Type Headache


Didefinisikan sebagai episodik (sering dan jarang) atau
kronis. Kategori sakit kepala juga ditentukan oleh apakah berhubungan
dengan gangguan otot perikranial. Sakit kepala tegang episodik biasanya
dikaitkan dengan peristiwa stres. Jenis sakit kepala ini memiliki intensitas
sedang, sembuh sendiri, dan biasanya responsif terhadap obat yang tidak
diresepkan. Sakit kepala karena tegang kronis sering kambuh setiap hari dan
berhubungan dengan otot leher dan kulit kepala yang berkontraksi. Jenis
sakit kepala ini bilateral dan biasanya oksipitofrontal. TTH adalah jenis
nyeri kepala kronis berulang yang paling umum. 
Kriteria diagnostik International Headache Society (HIS) untuk sakit kepala
tipe tegang menyatakan bahwa dua dari karakteristik berikut harus ada:
 Menekan atau mengencangkan (kualitas nonpulsatile)
 Lokasi frontal-oksipital
 Bilateral - Intensitas ringan / sedang
 Tidak diperburuk oleh aktivitas fisik

Riwayat sakit kepala tipe tegang adalah sebagai berikut:


 Durasi 30 menit sampai 7 hari
 Tidak ada mual atau muntah (dapat terjadi anoreksia) 
 Fotofobia dan / atau fonofobia 
 Minimal 10 episode sakit kepala sebelumnya; kurang dari 180 hari per
tahun dengan sakit kepala dianggap "jarang"
 Nyeri bilateral dan oksipitonuchal atau bifrontal
 Nyeri yang dideskripsikan sebagai "sesak, sesak / tertekan, tertekan", atau
"seperti pita / mirip"
 Dapat terjadi secara akut di bawah tekanan emosional atau kekhawatiran
yang intens
 Insomnia
 Sering muncul saat bangun tidur atau tidak lama kemudian

28
 Sesak atau kaku otot di daerah leher, oksipital, dan frontal
 Durasi lebih dari 5 tahun pada 75% pasien dengan sakit kepala kronis
 Kesulitan berkonsentrasi
 Tidak ada prodrome
Onset sakit kepala baru pada pasien usia lanjut harus menunjukkan
etiologi selain sakit kepala tegang.

7. Terapi
Terapi yang diberikan pada pasien dengan hipertensi derajat 2 berdasarkan algoritma JNC
8
2) Non-farmakologi
Pilihan gaya hidup sehat dapat mencegah atau menunda timbulnya tekanan
darah tinggi dan dapat mengurangi risiko kardiovaskular. Modifikasi gaya hidup
juga merupakan lini pertama pengobatan antihipertensi. Modifikasi gaya hidup juga
dapat meningkatkan efek pengobatan antihipertensi. Modifikasi gaya hidup harus
mencakup yang berikut:
 Pengurangan garam
Ada bukti kuat untuk hubungan antara asupan garam yang tinggi dan
peningkatan tekanan darah. Kurangi garam yang ditambahkan saat
menyiapkan makanan, dan saat makan. Hindari atau batasi konsumsi
makanan tinggi garam seperti kecap, fast food dan makanan olahan
termasuk roti dan sereal tinggi garam.
 Diet sehat
Makan makanan yang kaya biji-bijian, buah-buahan, sayuran, lemak tak
jenuh ganda dan produk susu dan mengurangi makanan tinggi gula, lemak
jenuh dan lemak trans, seperti diet DASH. Perbanyak asupan sayuran tinggi
nitrat yang diketahui bisa menurunkan TD, seperti sayuran berdaun dan
bit. Makanan dan nutrisi bermanfaat lainnya termasuk yang tinggi
magnesium, kalsium dan kalium seperti alpukat, kacang-kacangan, biji-
bijian, kacang-kacangan dan tahu
 Minuman sehat
Konsumsi kopi, teh hijau dan hitam dalam jumlah sedang. Minuman lain
yang bermanfaat termasuk teh karkadé (kembang sepatu), jus delima, jus
bit dan coklat
 Konsumsi alkohol dalam Jumlah sedang

29
Hubungan linier positif ada antara konsumsi alkohol, tekanan darah,
prevalensi hipertensi, dan risiko CVD. Batas harian yang direkomendasikan
untuk konsumsi alkohol adalah 2 minuman standar untuk pria dan 1,5
untuk wanita (10 g alkohol / minuman standar). Hindari pesta minuman
keras
 Penurunan berat badan
Pengendalian berat badan diindikasikan untuk menghindari obesitas.
Obesitas perut harus ditangani. Pemotongan khusus etnis untuk BMI dan
lingkar pinggang harus digunakan. Sebagai alternatif, rasio pinggang-tinggi
<0,5 direkomendasikan untuk semua populasi
 Berhenti merokok
Merokok merupakan faktor risiko utama CVD, COPD dan kanker.
Penghentian merokok dan rujukan ke program berhenti merokok
disarankan.
 Aktivitas fisik teratur
Studi menunjukkan bahwa aerobik dan latihan ketahanan secara teratur
mungkin bermanfaat untuk pencegahan dan pengobatan hipertensi.
Latihan aerobik intensitas sedang (berjalan, joging, bersepeda, yoga, atau
berenang) selama 30 menit selama 5-7 hari per minggu atau HIIT (latihan
interval intensitas tinggi) yang melibatkan semburan singkat aktivitas
intens secara bergantian dengan periode pemulihan berikutnya dari
aktivitas yang lebih ringan. Latihan kekuatan juga dapat membantu
menurunkan tekanan darah. Performa latihan ketahanan / kekuatan
selama 2–3 hari per minggu.
 Kurangi stres dan dorong kesadaran
Stres kronis telah dikaitkan dengan tekanan darah tinggi di kemudian hari.
Meskipun penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan efek stres
kronis pada tekanan darah, uji klinis acak yang meneliti efek meditasi /
kesadaran transendental pada tekanan darah menunjukkan bahwa praktik
ini menurunkan tekanan darah. Stres harus dikurangi dan kesadaran atau
meditasi dimasukkan ke dalam rutinitas sehari-hari.
 Pengobatan pelengkap, alternatif atau tradisional

30
Sebagian besar pasien hipertensi menggunakan obat-obatan pelengkap,
alternatif atau tradisional (di wilayah seperti Afrika dan Cina) namun uji
klinis berskala besar dan tepat diperlukan untuk mengevaluasi kemanjuran
dan keamanan obat-obatan ini. Dengan demikian, penggunaan pengobatan
tersebut belum didukung.
 Kurangi paparan polusi udara dan suhu dingin
Bukti dari penelitian mendukung efek negatif dari polusi udara pada
tekanan darah dalam jangka panjang
2) Farmakologi
Mulai terapi dengan diuretik tipe tiazid atau ACEI atau ARB atau CCB, sendiri atau
dengan terapi kombinasi.

31
BAB IV
KESIMPULAN

 Hipertensi didiagnosis ketika tekanan darah sistolik seseorang dikantor dan/atau klinik
adalah ≥ 140 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik mereka ≥ 90 mmHg setelah
pemeriksaan berulang
 Pada kasus ini, terdapat tanda dan gejala hipertensi berupa nyeri kepala, pandangan kabur,
TD 160/100 setelah diberikan amlodipin 10mg, serta riwayat hipertensi 10 tahun yang lalu.
 Penatalaksanaan yang diberikan pada kasus ini adalah intervensi gaya hidup dan
dilanjutkan dengan memberikan diuretic tipe tiazid, atau CEI, atau ARB, atau CCB,
diberikan sendiri atau dengan terapi kombinasi.

32
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, I. (-). (2014). Ilmu penyakit Dalam.

Cortelli, P., Grimaldi, D., Guaraldi, P., & Pierangeli, G. (2004). Headache and
hypertension. Neurological Sciences, 25(SUPPL. 3). https://doi.org/10.1007/s10072-
004-0271-y

James, P. A., Oparil, S., Carter, B. L., Cushman, W. C., Dennison-Himmelfarb, C.,
Handler, J., Lackland, D. T., LeFevre, M. L., MacKenzie, T. D., Ogedegbe, O., Smith,
S. C., Svetkey, L. P., Taler, S. J., Townsend, R. R., Wright, J. T., Narva, A. S., &
Ortiz, E. (2014). 2014 Evidence-based guideline for the management of high blood
pressure in adults: Report from the panel members appointed to the Eighth Joint
National Committee (JNC 8). JAMA - Journal of the American Medical Association,
311(5), 507–520. https://doi.org/10.1001/jama.2013.284427

Lloyd-Jones, D. M., Morris, P. B., Ballantyne, C. M., Birtcher, K. K., Daly, D. D.,
DePalma, S. M., Minissian, M. B., Orringer, C. E., & Smith, S. C. (2017). 2017
Guideline for the Prevention, Detection, Evaluation, and Management of High Blood
Pressure in Adults. Journal of the American College of Cardiology, 70(14), 1785–
1822. https://doi.org/10.1016/j.jacc.2017.07.745

Olin, B. R., & Pharm, D. (2018). Hypertension : The Silent Killer : Updated JNC-8
Guideline Recommendations.

Suliman, M., Almansi, S., Mrayyan, M., ALBashtawy, M., & Aljezawi, M. (2019).
Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes melitus Tipe 2 Dewasa Di Indonesia. Nursing
Management, 19(4). https://doi.org/10.7748/NM.2020.E1928

Unger, T., Borghi, C., Charchar, F., Khan, N. A., Poulter, N. R., Prabhakaran, D., Ramirez,
A., Schlaich, M., Stergiou, G. S., Tomaszewski, M., Wainford, R. D., Williams, B., &
Schutte, A. E. (2020). 2020 International Society of Hypertension Global
Hypertension Practice Guidelines. Hypertension, 75(6), 1334–1357.
https://doi.org/10.1161/HYPERTENSIONAHA.120.15026

33

Anda mungkin juga menyukai