Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS HIPERTENSI URGENSI

PADA PASIEN UPTD PKM DAMAI

Oleh
dr. Aji Syaid Muammar

Pendamping:
dr. Auliansyah Aldisela Januar Sukamto

DALAM RANGKA MENGIKUTI PROGRAM INTERNSHIP


KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
UPTD PUSKESMAS DAMAI
2023
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang memberi gejala
yang berlanjut untuk suatu target organ, seperti stroke untuk otak, penyakit
jantung koroner untuk pembuluh darah, jantung dan untuk otot jantung. Penyakit
ini telah menjadi masalah utama dalam kesehatan masyarakat yang ada di
Indonesia maupun di beberapa negara yang ada di dunia. Semakin meningkatnya
populasi usia lanjut maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar
juga akan bertambah. Diperkirakan sekitar 80% kenaikan kasus hipertensi
terutama di negara berkembang tahun 2025 dari sejumlah 639 juta kasus di tahun
2000, di perkirakan menjadi 1,15 milyar kasus di tahun 2025. Prediksi ini
didasarkan pada angka penderita hipertensi saat ini dan pertambahan penduduk
saat ini. Hasil Riset Kesehatan Dasar yang diselenggarakan oleh Departemen
Kesehatan Republik Indonesia (2008) menunjukkan bahwa stroke merupakan
penyebab kematian utama (15,4%) di Indonesia, diikuti oleh tuberkulosis (7,5%),
hipertensi (6,8%), cedera (6,5%), dan perinatal (6%). Promosi pola hidup sehat
harus ditingkatkan agar pada masa yang akan datang insiden penyebab kematian
ini dapat dikendalikan. Hipertensi yang diderita seseorang erat kaitanya dengan
tekanan sistolik dan diastolik atau keduanya secara terus menerus. Tekanan
sistolik berkaitan dengan tingginya tekanan pada arteri bila jantung berkontraksi,
sedangkan tekanan darah diastolik berkaitan dengan tekanan arteri pada saat
jantung relaksasi diantara dua denyut jantung. Dari hasil pengukuran tekanan
sistolik memiliki nilai yang lebih besar dari tekanan diastolik. Hipertensi,
diabetes, merokok, dan dislipidemia adalah faktor‐faktor resiko dari stroke yang
dapat dimodifikasi. Hipertensi adalah faktor resiko stroke yang paling mudah
dimodifikasi. Resiko stroke meningkat seiring dengan meningkatnya tekanan
sistolik diatas 115 mmHg. Pengontrolan tekanan darah yang efektif dapat
mereduksi resiko stroke 1‐3 kali. Di Indonesia sendiri kesadaran dan pengetahuan
tentang penyakit hipertensi masih sangat rendah, hal ini terbukti masyarakat lebih
memilih makanan siap saji yang umumnya rendah serat, tinggi lemak, tinggi
gula, dan mengandung banyak garam. Pola makan yang kurang sehat ini
merupakan pemicu penyakit hipertensi. Seluruh penderita tekanan darah tinggi,
ternyata sekitar 90‐95% belum dapat diterangkan mekanisme terjadi penyakitnya
secara tepat.6 Tidak diketahui pasti bagaimana sampai terkena penyakit tekanan
darah tinggi yang merupakan problem dari penderitanya. Penanganan hipertensi
dilakukan bersama dengan diet rendah kolesterol atau diet tinggi serat dan diet
rendah energi bagi penderita hipertensi yang juga obesitas. Pasien hipertensi
sebaiknya banyak mengkonsumsi buah‐buahan, sayuran, dan makanan rendah
lemak sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Pengubahan pola hidup dapat
berupa penurunan berat badan jika overweight, membatasi konsumsi alkohol,
berolahraga teratur, mengurangi konsumsi garam, mempertahan konsumsi
natrium, kalsium, magnesium yang cukup, dan berhenti merokok. Selain itu
penderita hipertensi juga harus mempunyai pengetahuan dan sikap kepatuhan
untuk dapat menyesuaikan penatalaksanaan hipertensi dalam kehidupan sehari‐
hari.
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS
• Nama : Ny. X
• TTL : 31-12-1965
• Usia : 57 tahun
• Jenis Kelamin : Perempuan
• Alamat : RT 8, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur
• Pendidikan : SLTA
• Pekerjaan : BURUH
• Agama : Islam
• Suku : Bugis
• Status Perkawinan : Menikah
2.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama
Kontrol rutin tekanan darah
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli dewasa PKM damai, dengan keluhan bagian tengkuk dan
Pundak belakang terasa kaku
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien punya riwayat darah tinggi dan minum obat saat ada keluhan saja, kencing
manis tidak ada, stroke tidak ada, penyakit jantung tidak ada.
Riwayat Penyakit Keluarga
Hipertensi (+), diabetes melitus (-)
2.3 PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum: Tampak lemah
Kesadaran/GCS : E4V5M6 (Compos Mentis)
Tanda Vital :
TekananDarah : 207/126 mmHg,
Respiration Rate: 20 x/menit,
DenyutNadi: 88 x/menit,
Suhu Aksila: 36,00C,
SpO2:98% Tanpa oksigen
Status Generalis
• Kepala :normochepali,
• Mata :konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-),
• THT :dalam batas normal,
• Leher: JVP tidak meningkat, pembesaran tiroid (-)
• Toraks :
Pulmo → Inspeksi : Bentuk normal, Retraksi dinding dada (-), Palpasi : nyeri tekan
(-/-), fremitus vocal normal simetris, Perkusi: Sonor diseluruh lapang paru,
Auskultasi: vesicular (+), wheezing (-), rhonki (-).
Cor Inspeksi: iktus cordis terlihat di ICS 5 mid clavikula sinistra, Palpasi: iktus
cordis teraba, Perkusi :dalam batas normal, Auskultasi:S1 (+), S2 (+) tunggal
• Abdomen: Inspeksi : luka bekas operasi (-) , Auskultasi : peristaltic usus (+)
normal, Perkusi: timpani diseluruh regio abdomen, Palpasi : nyeri tekan regio
suprapubic (-), distensi (-)
• Ekstremitas :Akral hangat ++/++, Udema -/-
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Gula Darah Sewaktu : 173
- Kolestrol : 132
- Asam Urat : 6.1
2.5 DIAGNOSIS KERJA
Hipetensi Urgensi
2.6 TATALAKSANA
AMLODIPIN 0-0-10 MG
HCT 25 MG-0-0
Pro Rujuk (Pasien Menolak)
KIE Bahaya Hipertensi
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 KRISIS HIPERTENSI


Krisis hipertensi merupakan salah satu kegawatan di bidang neurovaskular yang
sering dijumpai di instalasi gawat darurat. Krisis hipertensi ditandai dengan
peningkatan tekanan darah akut dan sering berhubungan dengan gejala sistemik
yang merupakan konsekuensi dari peningkatan darah tersebut. Ini merupakan
komplikasi yang sering dari penderita dengan hipertensi dan membutuhkan
penanganan segera untuk mencegah komplikasi yang mengancam jiwa (1).

3.2 EPIDEMIOLOGI
Duapuluh persen pasien hipertensi yang datang ke UGD adalah pasien hipertensi
krisis. Data di Amerika Serikat menunjukkan peningkatan prevalensi hipertensi
dari 6,7% pada penduduk berusia 20-39 tahun, menjadi 65% pada penduduk
berusia di atas 60 tahun. Data ini dari total penduduk 30% diantaranya menderita
hipertensi dan hampir 1%-2% akan berlanjut menjadi hipertensi krisis disertai
kerusakan organ target (1).
Sebagian besar pasien dengan stroke perdarahan mengalami hipertensi
krisis. Pada JNC VII tidak menyertakan hipertensi krisis ke dalam tiga stadium
klasifikasi hipertensi, namun hipertensi krisis dikategorikan dalam pembahasan
hipertensi sebagai keadaan khusus yang memerlukan tatalaksana yang lebih agresif
(1)
.
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC VII (2)
Kategori TD sistolik (mmHg) TD diastolik (mmHg)
Normal < 120 Dan < 80
Pre-hipertensi 120-139 Atau 80-89
Hipertensi Stadium 1 140-159 Atau 90-99
Hipertensi Stadium 2 > 160 Atau > 100

3.3 DEFINISI
Terdapat perbedaan dari beberapa sumber mengenai definisi peningkatan darah akut.
Definisi yang paling sering dipakai adalah :
1. Hipertensi emergensi (darurat)
Peningkatan tekanan darah sistolik >180 mmHg atau diastolik > 120 mmHg secara
mendadak disertai kerusakan organ target. Hipertensi emergensi harus ditanggulangi
sesegera mungkin dalam satu jam dengan memberikan obat-obatan anti-hipertensi
intravena.
2. Hipertensi urgensi (mendesak)
Peningkatan tekanan darah seperti pada hipertensi emergensi namun tanpa disertai
kerusakan organ target. Pada keadaan ini tekanan darah harus segera diturunkan
dalam 24 jam dengan memberikan obat-obatan anti hipertensi oral.
Dikenal beberapa istilah yang berkaitan dengan krisis hipertensi antara lain :
1. Hipertensi refrakter
Respon pengobatan yang tidak memuaskan dan tekanan darah > 200/110 mmHg,
walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif (triple drug) pada penderita dan
kepatuhan pasien.
2. Hipertensi akselerasi
Peningkatan tekanan darah diastolik > 120 mmHg disertai dengan kelainan
funduskopi. Bilatidak diobati dapat berlanjut ke fase maligna.
3. Hipertensi maligna
Penderita hipertensi akselerasi dengan tekanan darah diastolik > 120-130 mmHg dan
kelainan funduskopi disertai papil edema, peninggian tekanan intrakranial,
kerusakan yang cepat dari vaskular, gagal ginjal akut, ataupun kematian bila penderita
tidak mendapatkan pengobatan. Hipertensi maligna biasanya pada penderita
dengan riwayat hipertensi esensial ataupun sekunder dan jarang pada penderita
yang sebelumnya mempunyai tekanan darah normal.
4. Hipertensi ensefalopati
Kenaikan tekanan darah dengan tiba-tiba disertai dengan keluhan sakit kepala yang
hebat, penurunan kesadaran dan keadaan ini dapat menjadi reversibel bila tekanan
darah tersebut diturunkan.

3.4 ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI


Faktor penyebab hipertensi intinya terdapat perubahan vaskular, berupa disfungsi
endotel, remodeling, dan arterial stiffness. Namun faktor penyebab hipertensi
emergensi dan hipertensi urgensi masih belum dipahami. Diduga karena
terjadinya peningkatan tekanan darah secara cepat disertai peningkatan resistensi
vaskular. Peningkatan tekanan darah yang mendadak ini akan menyebabkan jejas
endotel dan nekrosis fibrinoid arteriol sehingga membuat kerusakan vaskular,
(1,4,8)
deposisi platelet, fibrin dan kerusakan fungsi autoregulasi .
3.5 FAKTOR PENYEBAB KRISIS HIPERTENSI
- Hipertensi esensial

- Penyakit Parenkim Ginjal Pielonefritis Kronik Glomerulonefritis Nefritis


tubulointerstisial

- Penyakit Vaskular pada Ginjal Stenosis Arteri Renalis Makroskopis poliarteritis


nodusa

- Obat-obatan Penghentian tiba-tiba obat obatan agonis alfa-2 adrenergik yang


bekerja sentral seperti clonidine dan metildopa Intoksikasi obat simpatomimetik
(kokain, dll) Interaksi dengan obat MAO-Inhibitor (phenilzine, selegiline)

- Kehamilan Eklampsia/pre-eklampsi berat

- Endokrin Feokromositoma Aldosteronisme primer Kelebihan hormone


glukokortikoidTumor yang mensekresikan rennin

- Kelainan Sistem Saraf Pusat Stroke hemoragik, Cedera Kepala

3.6 MEKANISME AUTOREGULASI


Autoregulasi merupakan penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan dan
pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran
darah dengan berbagai tingkatan perubahan konstriksi/dilatasi pembuluh darah.
Bila tekanan darah turun maka akan terjadi vasodilatasi dan jika tekanan darah
naik akan terjadi vasokonstriksi. Pada individu normotensi, aliran darah otak
masih tetap pada fluktuasi Mean Atrial Pressure (MAP) 60-70 mmHg. Bila MAP
turun di bawah batas autoregulasi, maka otak akan mengeluarkan oksigen lebih
banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran darah yang menurun. Bila
mekanisme ini gagal, maka akan terjadi iskemia otak dengan manifestasi klinik
seperti mual, menguap, pingsan dan sinkop. Pada penderita hipertensi kronis, penyakit
serebrovaskular dan usia tua, batas ambang autoregulasi ini akan berubah dan bergeser ke
kanan pada kurva, sehingga pengurangan aliran darah dapat terjadi pada tekanan darah
yang lebih tinggi (lihat gambar 2) (1)
.
Gambar 1. Patofisiologi hipertensi emergensi (1).
Gambar 2. Kurva Autoregulasi Pada Tekanan Darah (1)

Pada penelitian Stragard, dilakukan pengukuran MAP pada penderita hipertensi dengan yang
normotensi. Didapatkan penderita hipertensi dengan pengobatan mempunyai nilai diantara
grup normotensi dan hipertensi tanpa pengobatan. Orang dengan hipertensi terkontrol
cenderung menggeser autoregulasi ke arah normal(1).
Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang yang normotensi maupun hipertensi,
diperkirakan bahwa batas terendah dari autoregulasi otak adalah kira-kira 25% di bawah
resting MAP. Oleh karena itu dalam pengobatan hipertensi krisis, penurunan MAP sebanyak
20%-25% dalam beberapa menit atau jam, tergantung dari apakah emergensi atau urgensi.
Penurunan tekanan darah pada penderita diseksi aorta akut ataupun edema paru akibat payah
jantung kiri dilakukan dalam tempo 15-30 menit dan bisa lebih cepat lagi dibandingkan
hipertensi emergensi lainya. Penderita hipertensi ensefalopati, penurunan tekanan darah 25%
dalam 2-3 jam. Untuk pasien dengan infark serebri akut ataupun perdarahan intrakranial,
penurunan tekanan darah dilakukan lebih lambat (6-12 jam) dan harus dijaga agar tekanan
darah tidak lebih rendah dari 170-180/100 mmHg (1,2,4,6,8).
3.7 MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis krisis hipertensi berhubungan dengan kerusakan organ target
yang ada. Tabel 2. Prevalensi kerusakan target organ

Pada pasien dengan hipertensi krisis dengan perdarahan intrakranial akan


dijumpai keluhan sakit kepala, penurunan tingkat kesadaran dan tanda neurologi
fokal berupa hemiparesis atau paresis nervus cranialis. Pada hipertensi
ensefalopati didapatkan penurunan kesadaran dan atau defisit neurologi fokal.
Pada pemeriksaan fisik pasien bisa saja ditemukan retinopati dengan
perubahan arteriola, Perdarahan dan eksudasi maupun papiledema. Pada
sebagian pasien yang lain manifestasi kardiovaskular bisa saja muncul lebih
dominan seperti; angina, akut miokardial infark atau gagal jantung kiri akut.
Dan beberapa pasien yang lain gagal ginjal akut dengan oligouria dan atau
hematuria bisa saja terjadi (1,5,7).

Gambar 3. Papilledema. Pembengkakan optic disc dan margin kabur (1).


3.8 PENDEKATAN DIAGNOSIS
Kemampuan dalam mendiagnosis hipertensi emergensi dan urgensi harus dapat
dilakukan dengan cepat dan tepat sehingga dapat mengurangi angka morbiditas dan
mortalitas pasien. Anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat menunjukkan organ mana
yang mengalami gangguan.
Anamnesis
Anamnesis tentang riwayat penyakit hipertensinya, obat-obatan anti hipertensi yang
rutin diminum, kepatuhan minum obat, riwayat pemakaian obat-obatan yang dapat
menaikkan tekanan darah seperti kokain, phencyclidine (PCP), Lysergic Acid
Diethylamide (LSD), amphetamin, atau obat-obat simpatomimetic lainnya. Gejala
sistem saraf (nyeri kepala, perubahan mental, ansietas). Gejala sistem ginjal (BAK
berwarna merah, jumlah urin berkurang). Gejala sistem kardiovaskuler (adanya sesak
napas, payah jantung, kongestif dan oedema paru, nyeri dada). Riwayat penyakit yang
menyertai dan penyakit kardiovaskular atau ginjal (glomerulonefritis, pyelonefritis)
penting dievaluasi. Hal yang juga perlu untuk dievaluasi adalah riwayat kehamilan
untuk mencari tanda eklampsia sebagai penyebab krisishipertensi(1,2,3).

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran tekanan darah setelah beristirahat pada
posisi (baring dan berdiri) pada kedua tangan. Begitu pula nadi diperiksa pada
keempat ekstremitas, auskultasi paru untuk mencari edema paru, auskutasi jantung
untuk mencari murmur/gallop, auskultasi arteri renalis untuk mencari bruit dan
pemeriksaan neurologis serta funduskopi. Dilakukan funduskopi untuk melihat :
edema retina, perdarahan retina, eksudat pada retina atau papil edema. Pemeriksaan
kardiovaskuler dinilai apakah ada peningkatan tekanan vena jugularis, bunyi jantung
3, diseksi aorta, defisit nadi. Pemeriksaan neurologi untuk menilai tanda perubahan
neurologis yang segera terjadi atau berkelanjutan. Tanda hipertensi ensefalopati
seperti disorientasi, gangguan kesadaran, defisit neurologis fokal dan kejang fokal.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara, yaitu :
a. Pemeriksaan segera seperti :
□ Darah : Rutin, BUN, creatinine, elektrolit
□ Urine : Urinalisa
□ EKG : 12 lead : melihat tanda iskemi
□ Rontgen Thoraks : Rontgen thorax dapat dilakukan untuk menilai ukuran
jantung, tandaedema paru serta penapisan awal terjadinya diseksi aorta akut.
b. Pemeriksaan lanjutan (tergantung keadaan klinis dan hasil pemeriksaan pertama)
□ Dugaan kelainan ginjal : IVP, renal angiografi, biopsi renal
□ Menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi : CT scan
□ Bila disangsikan feokromositoma : urine 24 jam untuk khatekolamin,
metamefrin, Venumandelic Acid (VMA)
□ Echocardiografi dua dimensi : membedakan gangguan fungsi diastolik dari
gangguanfungsi sistolik ketika tanda gagal jantung didapatkan.
Berikut adalah bagan alur pendekatan diagnostik pada pasien hipertensi (1,2,5) :
Pasien dengan Hipertensi

TD > 180/120 mmHg

Tidak Ya

Tidak Krisis Hipertensi Kerusakan Organ Target

- Pre-hipertensi 1. Neurologi
TDS 120-139 - Tanda Stroke Iskemik/Hemoragik
TDD 80-89 • Nyeri kepala
- Hipertensi stadium 1 • Muntah
TDS 140-159
• Penurunan kesadaran
TDD 90-99
• Kelumpuhan anggota gerak/paresis n. cranialis
- Hipertensi stadium 2
• Bicara pelo
TDS > 160
• Mulut mencong
TDD > 100
- Flapping Tremor
2. Jantung & Paru
- Nyeri dada
Tatalaksana - Perbedaan TD lengan kanan/kiri > 20 mmHg (diseksi aorta)
- Auskultasi : murmur/mitral regurgitasi/gallop
- Peninggian JVP
- Ronkhi basah/sesak napas
3. Ginjal
- Edema perifer
- Oliguria/anuria
- Hematuria/proteinuria
- Peningkatan ureum kreatinin
4. Mata
- Funduskopi Keith-Wagner (KW) III atau IV

Tidak Ya

Hipertensi Urgensi Hipertensi Emergensi

Gambar 4. Alur Diagnostik Krisis Hipertensi(1)


3.9 PENATALAKSANAAN
1. Hipertensi Urgensi
A. Penatalaksanaan Umum
Manajemen penurunan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi urgensi tidak
membutuhkan obat-obatan parenteral. Pemberian obat-obatan oral aksi cepat akan memberi
manfaat untuk menurunkan tekanan darah dalam 24 jam awal Mean Arterial Pressure (MAP)
dapat diturunkan tidak lebih dari 25%. Pada fase awal standard goal penurunan tekanan
darah dapat diturunkan sampai 160/110 mmHg. Penggunaan obat-obatan anti-hipertensi
parenteral maupun oral bukan tanpa risiko dalam menurunkan tekanan darah. Pemberian
loading dose obat oral anti-hipertensi dapat menimbulkan efek akumulasi dan pasien akan
mengalami hipotensi saat pulang ke rumah. Optimalisasi penggunaan kombinasi obat oral
merupakan pilihan terapi untuk pasien dengan hipertensi urgensi.
B. Obat-obatan spesifik untuk hipertensi urgensi
Captopril adalah golongan angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dengan onset
mulai 15-30 menit. Captopril dapat diberikan 25 mg sebagai dosis awal kemudian tingkatkan
dosisnya 50-100 mg setelah 90-120 menit kemudian. Efek yang sering terjadi yaitu batuk,
hipotensi, hiperkalemia, angioedema, dan gagal ginjal (khusus pada pasien dengan stenosis
pada arteri renal bilateral).
Nicardipine adalah golongan calcium channel blocker yang sering digunakan pada pasien
dengan hipertensi urgensi. Pada penelitian yang dilakukan pada 53 pasien dengan hipertensi
urgensi secara random terhadap penggunaan nicardipine atau placebo. Nicardipine memiliki
efektifitas yang mencapai 65% dibandingkan placebo yang mencapai 22% (p=0,002).
Penggunaan dosis oral biasanya 30 mg dan dapat diulang setiap 8 jam hingga tercapai
tekanan darah yang diinginkan. Efek samping yang sering terjadi seperti palpitasi,
berkeringat dan sakit kepala.
Labetalol adalah gabungan antara α1 dan β-adrenergic blocking dan memiliki waktu kerja
mulai antara 1-2 jam. Dalam penelitian labetalol memiliki dose range yang sangat lebar
sehingga menyulitkan dalam penentuan dosis. Penelitian secara random pada 36 pasien,
setiap grup dibagi menjadi 3 kelompok; diberikan dosis 100 mg, 200 mg dan 300 mg secara
oral dan menghasilkan penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik secara signifikan.
Secara umum labetalol dapat diberikan mulai dari dosis 200 mg secara oral dan dapat
diulangi setiap 3-4 jam kemudian. Efek samping yang sering muncul adalah mual dan sakit
kepala.
Clonidine adalah obat-obatan golongan simpatolitik sentral (α2-adrenergicreceptor agonist)
yang memiliki mula kerja antara 15-30 menit dan puncaknya antara 2-4 jam. Dosis awal bisa
diberikan 0,1-0,2 mg kemudian berikan 0,05-0,1 mg setiap jam sampai tercapainya tekanan
darah yang diinginkan, dosis maksimal adalah 0,7 mg. Efek samping yang sering terjadi
adalah sedasi, mulut kering dan hipotensi ortostatik.
Nifedipine adalah golongan calcium channel blocker yang memiliki pucak kerja antara 10-20
menit. Nifedipine kerja cepat tidak dianjurkan oleh FDA untuk terapi hipertensi urgensi
karena dapat menurunkan tekanan darah yang mendadak dan tidak dapat diprediksikan
sehingga berhubungan dengan kejadian stroke.

2. Hipertensi Emergensi
A. Penatalaksanaan Umum
Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap individu tergantung pada kerusakan
organ target. Manajemen tekanan darah dilakukan dengan obat-obatan parenteral secara tepat
dan cepat. Pasien harus berada di dalam ruangan ICU agar monitoring tekanan darah bisa
dikontrol dan dengan pemantauan yang tepat. Tingkat ideal penurunan tekanan darah masih
belum jelas, tetapi penurunan Mean Arterial Pressure (MAP) 10% selama 1 jam awal dan
15% pada 2-3 jam berikutnya. Penurunan tekanan darah secara cepat dan berlebihan akan
mengakibatkan jantung dan pembuluh darah orak mengalami hipoperfusi. Untuk menghindari
hal tersebut maka pemberian anti hipertensi yang lebih bisa dikontrol secara intravena lebih
dianjurkan dibanding terapi oral atau sublingual seperti Nifedipine. Tujuan penurunan TD
bukanlah untuk mendapatkan TD normal, tetapi lebih untuk mendapatkan penurunan tekanan
darah yang terkendali. Penurunan tekanan darah diastolik tidak kurang dari 100 mmHg.
Tekanan sistolik tidak kurang dari 160 mmHg, ataupun MAP tidak kurang dari 120 mmHg
selama 48 jam pertama, kecuali pada krisis hipertensi tertentu (misal : disecting aortiic
aneurisma). Penurunan TD tidak lebih dari 20 % dari MAP ataupun TD yang didapat.
Kemudian dilakukan observasi terhadap pasien, jika penurunan tekanan darah awal dapat
diterima oleh pasien dimana keadaan klinisnya stabil, maka 24 jam kemudian tekanan darah
dapat diturunkan secara bertahap menuju angka normal.

B. Penatalaksanaan khusus untuk hipertensi emergensi


Neurologic emergency. Kegawatdaruratan neurologi sering terjadi pada hipertensi
emergensi seperti hypertensive encephalopathy, perdarahan intracranial dan stroke iskemik
akut. American Heart Association merekomendasikan penurunan tekanan darah > 180/105
mmHg pada hipertensi dengan perdarahan intracranial dan MAP harus dipertahankan di
bawah 130 mmHg. Pada pasien dengan stroke iskemik tekanan darah harus dipantau secara
hati-hati 1-2 jam awal untuk menentukan apakah tekanan darah akan menurun secara
sepontan. Secara terus-menerus MAP dipertahankan > 130 mmHg.
Cardiac emergency. Kegawatdaruratan yang utama pada jantung seperti iskemik akut pada
otot jantung, edema paru dan diseksi aorta. Pasien dengan hipertensi emergensi yang
melibatkan iskemik pada otot jantung dapat diberikan terapi dengan nitroglycerin. Pada studi
yang telah dilakukan, bahwa nitroglycerin terbukti dapat meningkatkan aliran darah pada
arteri koroner. Pada keadaan diseksi aorta akut pemberian obat-obatan β blocker (labetalol
dan esmolol) secara IV dapat diberikan pada terapi awal, kemudian dapat dilanjutkan
dengan obat-obatan vasodilatasi seperti nitroprusside. Obat-obatan tersebut dapat
menurunkan tekanan darah sampai target tekanan darah yang diinginkan (TD sistolik >
120mmHg) dalam waktu 20 menit.
Kidney Failure. Acute kidney injury bisa disebabkan oleh atau merupakan konsekuensi dari
hipertensi emergensi. Acute kidney injury ditandai dengan proteinuria, hematuria, oligouria
dan atau anuria. Terapi yang diberikan masih kontroversi, namun nitroprusside IV telah
digunakan secara luas namun nitroprusside sendiri dapat menyebabkan keracunan sianida
atau tiosianat. Pemberian fenoldopam secara parenteral dapat menghindari potensi keracunan
sianida akibat dari pemberian nitroprusside dalam terapi gagal ginjal.
Hyperadrenergic states. Hipertensi emergensi dapat disebabkan karena pengaruh obat-
obatan seperti katekolamin, klonidin dan penghambat monoamin oksidase. Pasien dengan
kelebihan zat-zat katekolamin seperti pheochromocytoma, kokain atau amphetamine dapat
menyebabkan over dosis. Penghambat monoamin oksidase dapat mencetuskan timbulnya
hipertensi atau klonidin yang dapat menimbukan sindrom withdrawal. Pada orang-orang
dengan kelebihan zat seperti pheochromocytoma, tekanan darah dapat dikontrol dengan
pemberian sodium nitroprusside (vasodilator arteri) atau phentolamine IV (ganglion-blocking
agent). Golongan β-blockers dapat diberikan sebagai tambahan sampai tekanan darah yang
diinginkan tercapai. Hipertensi yang dicetuskan oleh klonidinterapi yang terbaik adalah
dengan memberikan kembali klonidin sebagaidosis inisial dan dengan penambahan obat-
obatan anti hipertensi yang telah dijelaskan di atas.
PROGNOSIS
Penyebab kematian tersering adalah stroke (25%) , gagal ginjal (19%) dan gagal jantung
(13%). Prognosis menjadi lebih baik apabila penangannannya tepat dan segera(1,6).
Tabel 5. Obat-obatan yang digunakan untuk hipertensi emergensi
DAFTAR PUSTAKA

1. Devicaesaria, Asnelia. Hipertensi Krisis. Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo. Medicinus Vol. 27, No.3,
Desember 2014.
2. Anonymous. National High Blood Pressure Education Program. The seventh report of
the Joint National Committe on prevention, detection, evaluation and treatment of
high blood pressure. Bethesda (MD): Dept. of Health and Human Services, National
Institutes of Health, National Heart, Lung, and Blood Institute, NIH Publication.
2004; No.04-5230l.
3. Zampagniole B, Pascale C, Marchisio M, et al. Hypertensive urgencies and
emergencies. Prevalence and clinical presentation. Hypertension. 1996;27:144-7.
4. Sutters, M. Systemic Hypertension dalam Papadakis M, McPhee S, Rabow M.
Current Medical Diagnosis and Treatment 55th edition. 2016. McGraw-Hill Education
5. Evidence-based Guideline for Management of Hypertension in adults. Report From
the Panel Members Appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8).
JAMA. doi:10.1001/jama.2013.284427.
6. Pollack C, Rees C. Hypertnesive Emergency : Acute Care Evaluation and
Management. 2008. Department of Emergency Medicine, Pennsylvania Hospital.
University of Pennsylvania, Philadelphia.
7. Salkic S, Brkic S, Batic-Mujanovic O, et al. Emergency Room Treatment of
Hypertensive Crises. MED ARH. 2015 OCT; 69(5): 302-306
8. Angelats EG, Baur EB. Hypertension, Hypertensive crisis, and Hypertensive
emergency: approaches to emergency department care. Emergencias. 2010; 22: 209-
219
9. Efiaty arsyad. 2001. Epistaksis, Buku ajar ilmu kesehatan teling-hidung-tenggorok-
leher. FKUI. 2001

Anda mungkin juga menyukai