KRISIS HIPERTENSI
Oleh:
dr. Intan Hardianti Savitri
Pembimbing:
dr. Theresia Bintang Hotnida
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. H
Usia : 48 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
TL : 21-07-1995
Alamat : Kp. Bajeg, Pandeglang
Suku : Jawa
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Status : Menikah
Pembayaran : BPJS
Tanggal Masuk : 11-04-2023
Ruang Rawat : IGD Yellow
No RM : 1400XX
B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesa dengan pasien pada tanggal 11
April 2023 pukul 10:00 WIB di IGD Yellow Zone RSUD Banten.
Keluhan Utama
Sakit kepala dirasakan menjalar hingga ke tengkuk leher dan punggung. Sakit
kepala dirasa seperti terikat dan berdenyut. Sakit dirasakan terus-menerus dan belum
membaik. Keluhan disertai dengan mual dan muntah, muntah sebanyak 2 kali, muntah
berisi makanan dan cairan. Pasien juga mengeluhkan sesak sejak beberapa hari
terakhir. Riwayat tidur mengunakan 2 bantal untuk mengurangi sesak. Riwayat batuk,
demam, pilek disangkal
Riwayat Keluarga
Riwayat Pengobatan
C. PEMERIKSAAN FISIK
a. Keluhan : Tampak Sakit Sedang
b. Kesadaran : GCS=15, E4V5M6
c. Vital Sign
Tekanan Darah : 254/119 mmHg
Nadi : 76x/menit
Respiratory Rate : 20x/menit
Suhu : 36.3oC
SaO2 : 99% Room Air
d. Status Generalis
Kepala : Normocephal
Mata : Refleks cahaya langsung (+/+), Refleks cahaya tidak langsung
(+/+), pupil bulat isokor, konjungtiva anemis (-/-)
THT : Ottorhea (-), telinga berdenging (-)
Mulut : Mukosa lembab (+), bibir sianosis (-/-)
Leher : peningkatan JVP (-)
Thorax
Pulmo : pergerakan simetris, tak tampak retraksi interkostalis (-)
Suara dasar vesikuler (+/+), Whezing (-/-), ronki (-/-).
Cor : BJ SI dan SII regular, murmur (+), gallop (-)
Abdomen : Nyeri Tekan Epigastrium (-)
Ekstremitas : akral hangat, edema -/-/-/-, CRT <2s
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Interpretasi:
Irama: Sinus
Rate: 71x/menit, Reguler
Axis: normoaxis
Gelombang P: p mitral (-), p pulmonal (-)
Interval PR:
Gelombang QRS: q patologis (-), R’ (-)
o RVH: R/S (di Lead V1)<1
o LVH: S(v1)+R(v5) <35
Segmen ST: ST elevasi (-), ST Depresi (-) semua lead
Gelombang T: T inverted (-)
3. Radiologi Thorax
Expertise:
Trakea tampak di tengah
COR membesar (CTR=52%)
Tidak tampak kalsifikasi aorta/elongasi aorta
Mediastinum dalam batas normal
Sinus kostofrenikus kanan dan kiri tajam
Diagfragma kanan dan kiri normal
Pulmo dalam batas normal
Hili normal
Corakan bronkovaskuler normal
Tidak tampak inflitrar/nodul/massa
Soft tissue dan skeletal normal
E. ASSESMENT
Krisis Hipertensi
Cephalgia ec TTH
F. TATALAKSANA
Tatalaksana IGD:
IVFD NaCl 0.9% 500cc/8 jam
IV Omeprazole 2x40mg
IV Ondancentron 3x4cc
Captopril tab tab 1x25mg
Amlodipine tab 1x10mg
Nicardipine start 5mg/jam
Nicardipine up titrasi
G. PROGNOSIS
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Fungsional : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Krisis hipertensi (HT) dapat didiagnosis apabila didapatkan tekanan darah
sistolik >180 mmHg atau tekanan darah diastolik > 120 mmHg. Krisis hipertensi
dibagi menjadi dua beradasarkan keterlibatan target organ damage akut:
1. Hipertensi emergensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah (TD)
yang berat (>180/120 mm Hg) disertai bukti kerusakan organ target yang akut/
acute target organ damage/ acute hypertensive mediated organ damage.
Hipertensi emergensi sering kali mengancam jiwa dan memerlukan
penanganan segera dan seksama. Untuk menurunkan tekanan darah
memerlukan obat intravena. Kecepatan peningkatan dan tinggi tekanan darah
sama pentingnya dengan nilai absolut tekanan darah dalam menentukan
besarnya kerusakan organ.1
2. Hipertensi urgensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah (TD)
yang berat (>180/120 mm Hg) tanpa disertai bukti kerusakan organ target
yang akut.
Peningkatan tekanan darah yang sangat tinggi (sistolik lebih atau sama dengan
180 atau diastolik lebih atau sama dengan 110, kadang disebut hipertensi maligna atau
akselerasi) sering disebut sebagai "krisis hipertensi." Tekanan darah di atas tingkat ini
memiliki risiko yang tinggi untuk terjadinya komplikasi. Orang dengan tekanan darah
pada kisaran ini mungkin tidak memiliki gejala, tetapi lebih cenderung melaporkan
sakit kepala (22% dari kasus) dan pusing dibandingkan dengan populasi umum.
Gejala lain krisis hipertensi mencakup berkurangnya penglihatan atau sesak napas
karena gagal jantung atau rasalesu karena gagal ginjal. Kebanyakan orang dengan
krisis hipertensi diketahui memiliki tekanan darah tinggi, tetapi pemicu tambahan
mungkin menyebabkan peningkatan secara tiba-tiba.2
B. Epidemiologi
Hipertensi merupakan masalah klinis yang sangat umum di negara barat.
Hipertensi mengenai sekitar 72 juta orang di USA dan sekitar 1 miliar orang di dunia.
Kebanyakan dari mereka merupakan hipertensi primer dan sekitar 30% nya tidak
terdiagnosis. Selanjutnya, hanya sekitar 14% - 29% pasien di Amerika dengan
hipertensi memiliki tekanan darah yang terkontrol. Insiden dari hipertensi meningkat
sesuai umur. Pada studi Framingham angka kejadian hipertensi pada pria meningkat
dari 3,3% di usia 30-39 tahun menjadi 6,2% di usia 70-79 tahun. Selain itu, insidensi
hipertensi lebih tinggi pada ras Afrika-Amerika dibandingkan mereka yang berkulit
putih. Prevalensi dan insidensi hipertensi di Mexico-Amerika sama atau lebih rendah
dibandingkan dengan kulit putih non-Hispanik.1
Di Indonesia masalah hipertensi cenderung meningkat. Hasil Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan bahwa 8,3% penduduk
menderita hipertensi dan meningkat menjadi 27,5% pada tahun 2004. Menurut Pusat
Penelitian Biomedis dan Farmasi Badan Penelitian Kesehatan Departemen Kesehatan
R.I tahun 2009, prevalensi hipertensi di Indonesia meningkat mencapai 32,2%. Dari
kasus hipertensi yang terjadi di Indonesia, mereka yang memiliki riwayat minum obat
hanya 7,8% atau hanya 24,2% dari kasus hipertensi di masyarakat. Hal ini
menunjukkan 75,8% kasus hipertensi di Indonesia belum terdiagnosis dan terjangkau
oleh pelayanan Kesehatan.1
C. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya krisis hipertensi masih belum begitu jelas, namun
demikian ada dua peran penting yang menjelaskan patofisiologi tersebut yaitu :
1. Peran langsung dari peningkatan tekanan darah
Peningkatan mendadak tekanan darah yang berat maka akan terjadi gangguan
autoregulasi disertai peningkatan mendadak resistensi vaskuler sistemik yang
menimbulkan kerusakan organ target dengan sangat cepat. Gangguan terhadap sistem
autoregulasi secara terus-menerus akan memperburuk keadaan pasien selanjutnya.
Pada keadaan tersebut terjadi keadaan kerusakan endovaskuler (endothelium
pembuluh darah) yang terus-menerus disertai nekrosis fibrinoid di arteriolus. Keadaan
tersebut merupakan suatu siklus (vicious circle) dimana akan terjadi iskemia,
pengendapan platelet dan pelepasan beberapa vasoaktif. Trigernya tidak diketahui dan
bervariasi tergantung dari proses hipertensi yang mendasarinya.3,4
Bila stress peningkatan tiba-tiba tekanan darah ini berlangsung terus-menerus
maka sel endothelial pembuluh darah menganggapnya suatu ancaman dan selanjutnya
melakukan vasokontriksi diikuti dengan hipertropi pembuluh darah. Usaha ini
dilakukan agar tidak terjadi penjalaran kenaikan tekanan darah ditingkat sel yang akan
menganggu hemostasis sel. Akibat dari kontraksi otot polos yang lama, akhirnya akan
menyebabkan disfungsi endotelial pembuluh darah disertai berkurangnya pelepasan
nitric oxide (NO). Selanjutnya disfungsi endotelial akan ditriger oleh peradangan dan
melepaskan zat-zat inflamasi lainnya seperti sitokin, endhotelial adhesion molecule
dan endhoteli-1.3
Mekanisme ditingkat sel ini akan meningkatkan permeabilitas dari sel
endotelial, menghambat fibrinolisis dan mengaktifkan sistem koagulasi. Sistem
koagulasi yang teraktifasi ini bersama-sama dengan adhesi platelet dan agregasi akan
mengendapkan materi fibrinoid pada lumen pembuluh darah yang sudah kecil dan
sempit sehingga makin meningkatkan tekanan darah. Siklus ini berlangsung terus dan
menyebabkan kerusakan endotelial pembuluh darah yang makin parah dan meluas.3
D. Klasifikas
Berdasarkan penyebab hipertensi dapat dibagi menjadi:
- Hipertensi Primes (esensial): penyebab hipertensi tidak diketahui, kejadian
hipertensi esensial terjadi pada 90-95% pasien.
- Hipertensi Sekunder:
o Gangguan Ginjal (2-6% dari seluruh pasien hipertensi): gangguan
parenkim gainjal, uropati obstruktif, penyakit renovascular, dll.
o Gangguan endokrin:kelainan adreno-kortikal, gangguan tiroid,
hiperparatiroid
o Obat-obatan
o Kehamilan
3. Renal
Pada renal didapatkan prevalensi acute kidney injury (AKI) sebesar <10%.
Acute kidney injury merupakan kerusakan ginjal akut yang ditandai dengan
peningkatan serum kreatinin sebesar ≥ 0,3 mg/dL dalam waktu 48 jam atau meningkat
≥ 1,5 kali lipat dari baseline yang diketahui atau dianggap telah terjadi dalam waktu
satu minggu atau urine output <0.5 ml/kgBB/jam minimal selama 6 jam.7
4. Liver
Pada Liver didapatkan peningkatan enzim hati yang paling banyak
berhubungan dengan HELLP Syndrome dengan prevalensi 0,1 - 0,8%. HELLP
syndrome merupakan kondisi kehamilan dimana didapatkan hemolisis, peningkatan
enzim hati dan juga penurunan platelet, pad kondisi ini dibutuhkan penanganan dan
persalinan segera.1
5. Mata
Pada mata didapatkan retinopati hipertensi dengan eksudat/perdarahan pada
retina dengan prevalensi sebesar 0,01-0,02%. Kelainan retina yang berhubungan
dengan hipertensi emergensi terdiri dari flame sahped hemorrhage, cotton wool spots
(Grade III) dengan atau tanpa adanya papilloedema (Grade IV). Abnormalitas retinal
ini jarang terjadi pada populasi normal dan, jika terjadi secara bilateral, sangat
spesifik terjadi hipertensi emergensi.2
6. Vaskular
Pada vaskular kelainan yang terjadi yaitu eklampsia dengan prevalensi 4,5%
dan diseksi aorta sebesar 2%. Eklampsia merupakan hipertensi pada keamilan yang
disertai dengan kejang, sakit kepala berat, gangguan pengelihatan, nyeri perut, mual
dan muntah dan menurunnya produksi urine output. Penanganan segera dan
persalianan segera sibutuhkan pada kondisi ini (1) Diseksi aorta merupakan
pemisahan lapisan pada dinding aorta yang mengakibatkan adanya 2 aliran darah pada
aorta. Robekan pada lapisan intima dinding aorta mengakibatkan penyebaran diseksi
sekunder setelah darah memasuki ruang intima-media. Gejala dapat bervariasi sesuai
dengan lokasi robekan. Robekan di aorta asendens akan menyebabkan nyeri di
anterior midline dada. Robekan pada arkus aorta dapat menyebabkan nyeri pada
rahang atau leher. Nyeri punggung dan perut intra-skapular lebih
F. Diagnosis
Hipertensi ini memerlukan penurunan tekanan darah segera meskipun tidak
perlu menjadi normal, untuk membatasi atau mencegah terjadinya kerusakan target
organ. Perburukan cepat artinya jika tidak diberikan terapi secara efektif dalam waktu
tertentu, terdapat kemungkinan terjadinya kegawatdaruratan. Krisis hipertensi adalah
keadaan hipertensi yang memerlukan penurunan tekanan darah segera karena akan
mempengaruhi keadaan pasien selanjutnya. Tingginya tekanan darah bervariasi, yang
terpenting adalah cepat naiknya tekanan darah. 5,6
Pada hipertensi urgensi, di mana terdapat peningkatan tekanan darah yang
bermakna (ada yang menyebut tekanan darah sistolik > 220 mmHg atau tekanan darah
diastolik > 125 mmHg) tanpa adanya gejala berat atau kerusakan target organ
progresif dan tekanan darah perlu diturunkan dalam beberapa jam. 4,5
Pada pedoman ACC/AHA-2020 diagnosis krisis hipertensi ditegakkan apabila
didapatkan SBP>180 mmHg dan/atau DBP >120 mmHg. Apabila terdapat target
organ damage baru/ progresif/ memburuk maka digolongkan sebagai hipertensi
emergensi. Pasien mungkin membutuhkan ICU. Target penurunan TD dibedakan
dengan melihat ada atau tidaknya kondisi yang memaksa (with or without compelling
condition). Secara umum bila tidak didapatkan compelling condition, tatalaksana HT
emergensi adalah dengan melakukan penurunan TD maksimal 25% dalam jam
pertama, kemudian target penurunan TD mencapai 160/100-110 mm Hg dalam 2
sampai 6 jam, selanjutnya TD mencapai normal dalam 24 sampai 48 jam. Penurunan
TD yang lebih agresif dilakukan bila didapatkan compelling condition (aorta dissekan,
pre-eclampsia berat atau eclampsia, dan krisis pheochromocytoma). Sedangkan
penurunan TD yang kurang agresif dilakukan pada HT dengan kondisi komorbid
penyakit serebro-vaskuler (perdarahan intraserebral akut dan stroke iskhemik akut).
Ya Tidak
Hipertensi Markedly
Emergensi elevated BP
1. Anamnesis
Riwayat hipertensi dan terapinya, kepatuhan minum obat, tekanan darah rata-rata,
riwayat pemakaian obat-obat simpatomimetik dan steroid, kelainan hormonal, riwayat
penyakit kronik lain, gejala-gejala serebral, jantung dan gangguan penglihatan.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pengukuran tekanan darah pada kedua lengan, perabaan denyut nadi perifer
(raba nadi radialis kedua lengan dan kemungkinan adanya selisih dengan nadi
femoral, radial-femoral pulse leg ),
b. Mata ; Lihat adanya papil edema, pendarahan dan eksudat, penyempitan yang
hebat arteriol.
c. Jantung ; Palpasi adanya pergeseran apeks, dengarkan adanya bunyi jantung
S3 dan S4 serta adanya murmur.
d. Paru ; perhatikan adanya ronki basal yang mengindikasikan CHF.
e. Status neurologik ; pendekatan pada status mental dan perhatikan adanya
defisit neurologik fokal. Periksa tingkat kesadarannya dan refleks fisiologis
dan patologis.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan dilakukan dengan memperhatikan penyakit dasarnya, penyakit
penyerta, dan kerusakan target organ. Yang sering dilakukan antara lain; pemeriksaan
elektrolit, BUN, glukosa darah, kreatinin, urinalisis, hitung jenis komponen darah dan
SADT. Pemeriksaan lainnya antara lain foto rontgen toraks, EKG dan CT-Scan.
Pemeriksaan Umum (dilakukan untuk mencari semua penyebab yang berpotensi)
Funduskopi
Funduskopi merupakan pemeriksaan bedside untuk mendeteksi adanaya
retinopatai hipertensi. Fundoskopi sangat penting dilakukakn pada hipertensi
urgensi maupun emergensi untuk mendeteksi perdarahan di retina, cotton wool
spot, microaneurisma maupun papiledema.
EKG 12 lead
EKG untuk mencari apakah ada acute coronary ischemia, left ventrikular
hypertrophy, dan adanya aritmia. Kriteria EKG LVH:
- Sokolow-LyonSV1+RV5 >35 mm, atau R di aVL ≥11 mm;
- Cornell voltageSV3+RaVL >28 mm (laki-laki), >20 mm (perempuan)
Hemoglobin, Trombosit, Fibrinogen
Untuk mencari tanda-tanda hemolisis maupun trombositopenia yang mengarah ke
trombotik microangiopathy salah satunya yaitu HELLP Syndrome
Creatinine, GFR, elektrolit, LDH
Untuk mengevaluasi adanya kerusakan ginjal
Urine albumin
Albuminuria untuk deteksi kerusakan ginjal
Test kehamilan pada wanita usia subur
AUTOREGULASI
Autoregulasi adalah penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan
dan pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran
darah dengan berbagai tingkatan perubahan kontriksi/dilatasi pembuluh darah.
Dengan pengetahuan autoregulasi dalam menurunkan tekanan darah secara mendadak
dimaksudkan untuk melindungi organ vital agar tidak terjadi iskemi. Bila tekanan
darah turun, terjadi vasodilatasi, jika tekanan darah naik timbul vasokonstriksi. Pada
individu normotensi, aliran darah otak masih tetap pada fluktuasi mean arterial
pressure (MAP) 70-105 mmHg. Rumus perhitungan MAP ialah :
Bila MAP turun di bawah batas autoregulasi, maka otak akan memakai
oksigen lebih banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran darah yang berkurang.
Bila mekanisme ini gagal, maka dapat terjadi iskemi otak dengan manifestasi klinik
seperti mual, menguap, pingsan dan sinkope. Autoregulasi otak ini kemungkinan
disebabkan oleh mekanisme miogenik yang disebabkan oleh stretch reseptor pada otot
polos arteriol otak, walaupun hipoksia mempunyai peranan dalam perubahan
metabolisme di otak. Pada orang normal dengan normotensi, autoregulasi aliran darah
ke otak dipertahankan pada MAP antara 60-120-140 mmHg sehingga penurunan
tekanan darah yang cepat sampai batas hipertensi, masih dapat ditoleransi. Pada
penderita hipertensi kronis, penyakit serebrovaskular dan usia tua, batas ambang
autoregulasi ini akan berubah dan bergeser ke kanan pada kurva dimana
dipertahankan pada MAP tinggi yaitu 120-160-180 mmHg sehingga pengurangan
aliran darah terjadi pada tekanan darah yang lebih tinggi.3,4,5
Penyakit
Usia <60 Semua ginjal
Usia ≥60
tahun pasien Diabetes
tahun
Mulai dengan Penyakit
ACE-I atau CCB atau 2 obat coroner
ARB Thiazide Riwayat
* Pada
Jika perlu stroke
Jika perlu CCB atau pasien
tambahkan.. Gagal
tambahkan.. Thiazide + stage 1
CCB atau ACE-I jantung
+ tanoa
Thiazide atau ARB risiko
ACE-I kardiov
atau ARB askuler
Jika Jika lainnya
perlu.. perlu.. atau
Jika perlu.. temuan
CCB + Thiazide + abnorm
ACE-I (atau al,
CCB + Thiazide +
ARB) beberap
ACE-I (atau ARB)
a bulan
manaje
men
Jika perlu tambahkan obat lain missal spirinolaktone, agen kerja sentral: gaya
Beta
Blocker hidup
+ tanpa
Jika perlu rujuk ke spesialis hipertensi obat
TATALAKSANA HIPERTENSI
a. Non farmakologis
Menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti dapat menurunkan tekanan darah,
dan secara umum sangat menguntungkan dalam menurunkan risiko permasalahan
kardiovaskular. Pada pasien yang menderita hipertensi derajat 1, tanpa faktor risiko
kardiovaskular lain, maka strategi pola hidup sehat merupakan tatalaksana tahap awal, yang
harus dijalani setidaknya selama 4 – 6 bulan. Bila setelah jangka waktu tersebut, tidak
didapatkan penurunan tekanan darah yang diharapkan atau didapatkan faktor risiko
kardiovaskular yang lain, maka sangat dianjurkan untuk memulai terapi farmakologi.
Beberapa pola hidup sehat yang dianjurkan oleh banyak guidelines adalah :
Mengurangi asupan garam. Di negara kita, makanan tinggi garam dan lemak
merupakan makanan tradisional pada kebanyakan daerah. Tidak jarang pula
pasien tidak menyadari kandungan garam pada makanan cepat saji, makanan
kaleng, daging olahan dan sebagainya. Tidak jarang, diet rendah garam ini
juga bermanfaat untuk mengurangi dosis obat antihipertensi pada pasien
hipertensi derajat ≥ 2. Dianjurkan untuk asupan garam tidak melebihi 2 gr/
hari
Olah raga. Olah raga yang dilakukan secara teratur sebanyak 30 – 60 menit/
hari, minimal 3 hari/ minggu, dapat menolong penurunan tekanan darah.
Terhadap pasien yang tidak memiliki waktu untuk berolahraga secara khusus,
sebaiknya harus tetap dianjurkan untuk berjalan kaki, mengendarai sepeda
atau menaiki tangga dalam aktifitas rutin mereka di tempat kerjanya.
b. Terapi farmakologi
Secara umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada pasien hipertensi
derajat 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan darah setelah > 6 bulan menjalani pola
hidup sehat dan pada pasien dengan hipertensi derajat ≥ 2.
Beberapa prinsip dasar terapi farmakologi yang perlu diperhatikan untuk menjaga kepatuhan
dan meminimalisasi efek samping, yaitu :
Berikan obat generic (non-paten) bila sesuai dan dapat mengurangi biaya
Berikan obat pada pasien usia lanjut ( diatas usia 80 tahun ) seperti pada usia 55 – 80
tahun, dengan memperhatikan faktor komorbid
Obat Anti-Hipertensi
1. ACE-Inhibitor
Bekerja dengan memblok ACE (Angiotensin Converting Enzyme) sehingga
mencegah angiotensin I menjadi II. Efek samping terseringnya berupa batuk, karea
adanya penekanan ACE yang mengakibatkan penumpukan bradykinin yang
mengganggu fungsi sluran nafas, Kontraindikasi diberikannya obat ini ialah pada
pasien angioedema dan kehamilan.
Gambar 3. Cara kerja ACE-iinhibitor
GENERIK DOSIS
-Diltiazem Tab : 30 mg 4x/hr. dapat dinaikkan sampai
dihidropiridin :
6. Alpha-1 Blocker
7. Diuretik
Bendroflumetiazid - -
Klorotiazid - -
Furosemide 40 mg tab, 40 mg 2x/hr
Diuretik
10 mg/ml 2 ml ampul
Loop
HematK
100 mg tab
alium
Triamterene 50 mg tab, 150-250 mg/hr, diberikan setelah
100 mg tab sarapan dan makan siang
8. A2 central Agonist
Reseptor alva 2 di batang otak dan perifer bekerja menghambat aktivitas simpatis
sehingga berefek dalam oenurunan tekanan darah, denyut jantung, dan tonus vascular.
a. Hipertensi Emergensi
1. Rawat di ICU. Bila ada indikasi, pasang femoral intraarterial line dan pulminari
arterial kateter untuk menentukan fungsi kardiopulmoner dan status volume
intravaskuler.
2. Anamnesis singkat dan pemeriksaan fisik, dengan menentukan :
- Penyebab krisis hipertensi
- Penyakit lain yang menyerupai krisis hipertensi disingkirkan
- Adanya kerusakan organ target
3. Tentukan tekanan darah yang diinginkan didasari dari lama tingginya tekanan
darah sebelumnya, cepatnya kenaikan dan keparahan hipertensi, masalah klinis
yang menyertai serta usia pasien.
- Menurunkan tekanan arteri rata-rata (MAP) sebanyak 25% atau mencapai
tekanan darah diastolik 100 – 110 mmHg dalam waktu beberapa menit
sampai satu atau dua jam. Kemudian tekanan darah diturunkan menjadi
160/100 mmHg dalam 2 sampai 6 jam. Tekanan darah diukur setiap 15
sampai 30 menit.
- Pada stroke, penurunan tekanan darah hanya boleh 20% dan khusus pada
stroke iskemik penurunan tekanan darah secara bertahap bila tekanan darah
> 220/130 mmHg.
- Penurunan tekanan darah yang terlalu cepat dapat menyebabkan iskemia
renal, serebral dan miokardium.
Pada hipertensi emergensi, pemberian obat antihipertensi melalui intravena
(IV). Berikut ini merupakan obat antihipertensi parenteral yang digunakan, antara
lain:
b. Hipertensi Urgensi
Pada hipertensi urgensi, tujuan pengobatan ialah penurunan tekanan darah sama
seperti hipertensi emergensi, hanya saja dalam waktu 24 sampai 48 jam. Penderita
dengan hipertensi urgensi tidak memerlukan rawat inap di rumah sakit. Sebaiknya
penderita ditempatkan di ruangan yang tenang, tidak terang, dan diukur kembali dalam
30 menit. Bila tekanan darah masih sangat meningkat, maka dapat dimulai pengobatan.
Umumnya digunakan obat-obat oral antihipertensi dalam menanggulangi hipertensi
urgensi. Berikut ini ialah obat antihipertensi oral yang diberikan, antara lain 5,6,7:
Nifedipine
Pemberian bisa secara sublingual (onset 5-10 menit), bukal (onset 5–10 menit), oral
(onset 15-20 menit), durasi kerja 5 – 15 menit secara sublingual/ buccal. Efek
samping: sakit kepala, takikardi, hipotensi, flushing, oyong.
Clonidine
Pemberian secara oral dengan onset 30–60 menit, durasi kerja 8-12 jam. Dosis: 0,1-
0,2 mg, dilanjutkan 0,05-0,1 mg setiap jam sampai dengan 0,7 mg. Efek samping:
sedasi, mulut kering. Hindari pemakaian pada AV blok derajat 2 dan 3, bradikardi,
sick sinus syndrome. Over dosis dapat diobati dengan tolazoline.
Captopril
Pemberian secara oral/sublingual. Dosis 25 mg dan dapat diulang setiap 30 menit
sesuai kebutuhan. Efek samping: angioneurotik edema, rash, gagal ginjal akut pada
penderita bilateral renal arteri stenosis.
Prazosin
Pemberian secara oral dengan dosis 1-2 mg dan diulang per jam bila perlu. Efek
samping: sinkop, hipotensi ortostatik, palpitasi, takikardi, sakit kepala.
Dengan pemberian nifedipine ataupun clonidine oral dapat dicapai penurunan MAP
sebanyak 20% ataupun tekanan darah <120 mmHg. Demikian juga captopril, prazosin
terutama digunakan pada penderita hipertensi urgensi akibat dari peningkatan katekolamin.
Perlu diingat bahwa pemberian obat anti hipertensi oral/sublingual dapat menyebabkan
penurunan tekanan darah yang cepat dan berlebihan bahkan sampai ke batas hipotensi,
walaupun hal ini jarang sekali terjadi. 5,6,7
Selain itu, reaksi hipotensi akibat pemberian oral nifedipine dapat menyebabkan
timbulnya infark miokard dan stroke. Dengan pengaturan titrasi dosis nifedipine ataupun
clonidin biasanya tekanan darah dapat diturunkan bertahap dan mencapai batas aman dari
MAP. Penderita yang telah mendapat pengobatan antihipertensi cenderung lebih sensitif
terhadap penambahan terapi. Untuk penderita hipertensi dengan riwayat penyakit
serebrovaskular dan koroner, pasien umur tua serta pasien dengan volume depletion maka
dosis obat nifedipine dan clonidine harus dikurangi. Seluruh penderita diobservasi paling
sedikit selama 6 jam setelah tekanan darah turun untuk mengetahui efek terapi dan juga
kemungkinan timbulnya hipotensi ortostatil. Bila tekanan darah penderita yang diobati tidak
berkurang maka sebaiknya penderita dirawat dirumah sakit. 5,6,8
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien dibawa oleh keluarganya ke IGD dengan keluhan kepala terasa sakit selama 3
jam SMRS. Sakit kepala dirasakan menjalar hingga ke tengkuk leher dan punggung. Disertai
rasa seperti terikat dan berdenyut. Sakit dirasakan terus-menerus dan belum membaik.
Keluhan disertai dengan mual dan muntah, muntah sebanyak 2 kali, muntah berisi makanan
dan cairan. Pasien juga mengeluhkan sesak sejak beberapa hari terakhir. Riwayat tidur
mengunakan 2 bantal untuk mengurangi sesak. Setelah dilakukan pengukuan tanda-tanda
vital, didapatkan tekanan darah pasien 254/119 mmHg. Kondisi yang terjadi pada pasien
sesuai dengan klinis pada pedoman ACC/AHA-2020 diagnosis krisis hipertensi ditegakkan
apabila didapatkan SBP>180 mmHg dan/atau DBP >120 mmHg. Tekanan darah di atas
tingkat ini memiliki risiko yang tinggi untuk terjadinya komplikasi. Orang dengan tekanan
darah pada kisaran ini mungkin tidak memiliki gejala, tetapi lebih cenderung melaporkan
sakit kepala (22% dari kasus) dan pusing dibandingkan dengan populasi umum. Sehingga
ditetapkan pasien dalam kondisi krisis hipertensi.
Pada kasus ini, pasien mengeluhkan sakit kepala beriringan dengan tekanan darah
yang tinggi dikhawatirkan terdapat kerusakan organ target seperti pada Neurologik dan
kardiovaskular. Neurologik: Encephalopati hipertensi, stroke hemoragik (intraserebral atau
subdural) atau iskemik, papil edema. Kardiovaskuler: Unstable angina, infark miokardium
akut, gagal jantung dengan edema peru, diseksi aorta. Kemudian pada pasien ini dilakukan
pemeriksaan EKG, Foto polos thorax, dan CT-Scan kepala untuk menyingkirkan adanya
kemungkinan kelainan jantung dan stroke perdarahan.
Pada Hipertensi urgensi, tujuan pengobatan ialah penurunan tekanan darah sama
seperti hipertensi emergensi, hanya saja dalam waktu 24 sampai 48 jam. Karena penurunan
yang terlalu agresif juga dapat menimbulkan berkurangnya perfusi dan aliran darah ke organ
vital terutama otak, jantung, dan ginjal. Untuk menurunkan tekanan darah sampai ke tingkat
yang diharapkan perlu diperhatikan berbagai faktor antara lain tekanan darah perlu
diturunkan segera atau bertahap, pengamatan yang menyertai krisis hipertensi, perubahan
aliran darah dan autoregulasi tekanan darah pada organ vital. Target penurunan tekanan darah
sebaiknya diturunkan sebesar 25% MAP dalam beberapa menit, dan target tekanan darah
160/100 mmHg dicapai dalam 2-6 jam.
Pada pasien ini dilakukan monitoring dan evaluasi. Pergantian obat intravena ke oral
sebaiknya dilakukan dalam waktu 6-12 jam dengan penurunan dosis titrasi obat intravena
Terapi yang diberikan selama observasi di IGD untuk menurunkan tensi pasien berupa tablet
Captopril 1 x 25mg, tablet Amlodipine 1x10mg dan injeksi Nicardipine 5mg/jam. Sesuai
dengan guideline obat-obatan antihipertensi yang dapat diberikan berupa Nifedipine,
Clonidine, Captopril, Prazosin. Dengan pemberian nifedipine ataupun clonidine oral dapat
dicapai penurunan MAP sebanyak 20% ataupun tekanan darah <120 mmHg. Demikian juga
captopril, prazosin terutama digunakan pada penderita hipertensi urgensi akibat dari
peningkatan katekolamin. Perlu diingat bahwa pemberian obat anti hipertensi oral/sublingual
dapat menyebabkan penurunan tekanan darah yang cepat dan berlebihan bahkan sampai ke
batas hipotensi, walaupun hal ini jarang sekali terjadi.
Dengan pengaturan titrasi dosis nifedipine ataupun clonidin biasanya tekanan darah
dapat diturunkan bertahap dan mencapai batas aman dari MAP. Penderita yang telah
mendapat pengobatan antihipertensi cenderung lebih sensitif terhadap penambahan terapi.
Bila tekanan darah penderita yang diobati tidak berkurang maka sebaiknya penderita dirawat
dirumah sakit.
BAB IV
KESIMPULAN
Seorang pasien Wanita, usia 48 tahun dibawa oleh keluarganya ke IGD karena
keluhan sakit kepala yang tidak membaik selama 3 jam SMRS. Pada saat datang di IGD
RSUD Banten, keadaan umum tampak sakit sedang, compos mentis. Tanda vital pasien
mengalami peningkatan tekanan darah sebesar 224/119 mmHg, denyut nadi 76x/menit kuat
angkat regular. Pasien juga memiliki riwayat pembesaran jantung dan sempat dirawat.
Factor-faktor seperti ketidakpatuhan berobat juga berperan penting dalam terjadinya krisis
hipertensi yang telah lama dimiliki pasien. Selain itu, ditemukan adanya bunyi jantung berupa
murmur saat pemeriksaan fisik. Selama di RSUB, dilakukan pemeriksaan dan pemantaian
terhadap pasien. Tatalaksana awal yang diberikan kepada pasien berupa infus NaCl 0.9%
500cc/8 jam, omeprazole intravena 2x40 mg, Ondancentron intravena 3x4cc, dan obat-obatan
penurun tensi berupa amlodipine tablet 1x25 mg, Captopril tablet 1x25mg, Nicardipine
intravena 5mg/jam. Dilakukan pemeriksaan rekam jantung, foto thorax, dan CT-Scan kepala
untuk memastikan adanya kerusakan organ target pada krisis hipertensi yang dialami pasien.