Anda di halaman 1dari 51

Case Report Session (CRS)

*Kepaniteraan Klinik Senior/ G1A217076


** Pembimbing/ dr. Mirna Iskandar, Sp.S

HEMIPARESIS SINISTRA ET CAUSA INTRACEREBRAL

HEMMORHAGE (CVA-ICH)

Muhammad Arial Fikri, S.Ked* dr. Mirna Iskandar, Sp.S **

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF RSUD RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Case Report Session (CRS)


HEMIPARESIS SINISTRA ET CAUSA INTRACEREBRAL

HEMMORHAGE (CVA-ICH)

DISUSUN OLEH

Muhammad Arial Fikri, S.Ked


G1A217076

Sebagai Salah Satu Syarat Dalam Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior


Bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD Raden Mattaher/ Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Jambi, Maret 2020

PEMBIMBING

dr. Mirna Iskandar, Sp.S


BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit serebrovaskuler/cerebrovascular disease (CVD) merupakan


penyakit sistem persarafan yang paling sering dijumpai. Stroke merupakan
bagian dari CVD. Menurut World Health Organization (WHO), stroke adalah
manifestasi klinis dari gangguan fungsi serebri fokal atau global yang
berkembang dengan cepat atau tiba-tiba, berlangsung lebih dari 24 jam atau
berakhir dengan kematian, dengan tidak tampaknya penyebab lain selain
penyebab vaskular. Berdasarkan American Heart Association (AHA) stroke
ditandai sebagai defisit neurologi yang dikaitkan dengan cedera fokal akut dari
sistem saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh pembuluh darah, termasuk infark

serebral, pendarahan intraserebral (ICH) dan pendarahan subaraknoid (SAH).1


Stroke terjadi ketika jaringan otak terganggu karena berkurangnya aliran
darah atau oksigen ke sel-sel otak. Terdapat dua jenis stroke yaitu iskemik stroke
dan hemoragik. Stroke yang terjadi karena perdarahan ke dalam atau sekitar otak
disebut stroke hemoragik. Perdarahan yang terjadi pada stroke hemoragik dapat
dengan cepat menimbulkan gejala neurologik karena tekanan pada struktur saraf
di dalam tengkorak.1
Penyakit stroke merupakan penyebab kematian utama di hampir seluruh

RS di Indonesia, sekitar 15,4%. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)

Kemenkes RI tahun 2013 menunjukkan telah terjadi peningkatan prevalensi


stroke di Indonesia dari 8,3 per mil (tahun 2007) menjadi 12,1 per mil (tahun
2013). Prevalensi penyakit Stroke tertinggi di Sulawesi Utara (10,8per mil),
Yogyakarta (10,3 per mil), Bangka Belitung  (9,7 per mil) dan  DKI Jakarta (9,7
per mil).2
Kasus stroke termasuk dalam Standar Kompetensi Dokter dengan grade
3B, yang berarti dokter umum harus mampu mendiagnosa klinik berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan sederhana. Dokter
umum harus mampu memutuskan dan memberikan terapi pendahuluan, serta
merujuk ke spesialis yang relevan (kasus gawat darurat). Diharapkan laporan
kasus ini dapat menambah informasi dan wawasan mengenai stroke, sehingga
kompetensi yang diharapkan dapat tercapai.
BAB II
LAPORAN KASUS BANGSAL NEUROLOGI
RSUD RADEN MATTAHER JAMBI

I. IDENTITAS PASIEN
 Nama : Tn. S
 Jenis Kelamin : Laki - laki
 Usia : 47 tahun
 Alamat : Mingkung Jaya RT 18
 Status Perkawinan : Menikah
 Agama : Islam
 Pekerjaan : Petani Sawit
 Pendidikan : SMA
 Suku Bangsa : WNI
 Tanggal Masuk RS : 09 Maret 2020 , Pukul 03.06
 Ruang Perawatan : Neurologi

DAFTAR MASALAH

No. Masalah Aktif Tanggal Masalah Pasif Tanggal


1. Hemiparese 09 Maret 2020
inistra
2 Paralisis N VII 09 Maret 2020
tipe sentral
3 Cephalgia 09 Maret 2020

II. DATA SUBYEKTIF (Anamnesis tanggal : 13 Maret 2020 )


1. Keluhan Utama :
Kelemahan pada anggota gerak kiri sejak 3 jam SMRS (pukul. 00.00 wib)
2. Riwayat Penyakit Sekarang
 Lokasi : Anggota gerak sebelah kiri
 Onset : Mendadak saat hendak berdiri dari tempat tidur
 Kualitas : Pasien merasa kedua tangan dan kaki tiba-tiba lemah
dan sulit digerakkan
 Kuantitas : Mengganggu aktivitas.
 Kronologis :
Pasien datang di bawa oleh istri nya ke IGD RS Raden Mattaher dengan
keluhan kelemahan pada anggota gerak kiri sejak ± 3 Jam SMRS.
Kelemahan ini terutama dirasakan jika pasien ingin mengangkat
tangannya, pasien juga tidak mampu untuk melangkahkan kaki kirinya
dengan baik sehingga terkesan menyeretnya. Nyeri disangkal. Keluhan
ini dirasakan mendadak ketika pasien akan berdiri dari tempat tidur
setelah sebelumnya beristirahat dan tidak sedang melakukan aktifitas
berat. Pasien mengaku sebelum timbul gejala pasien merasakan
kesemutan ditubuh bagian kirinya dan disertai nyeri kepala berat
diseluruh kepalanya, pasien mengatakan rasanya seperti terikat dan
ditekan-tekan. Dari skala 1 sampai 10 pasien mengatakan nyeri kepala
yang dirasakannya saat ini berskala 6-7. Selain itu, sejak lemah ini,
pasien mengaku bicaranya pelo dan tidak jelas. Pasien menyangkal
adanya mual dan muntah, pandangan mata kabur, kejang dan penurunan
kesadaran juga disangkal oleh pasien.
Pasien mengaku memiliki riwayat darah tinggi sudah lama namu jarang
sekali kontrol dan minum obat. Pasien juga mengaku sering menderita
sakit kepala, namun biasanya sakit kepala ini akan hilang jika pasien
mengkonsumsi bodrex sehingga pasien tidak pernah memeriksakan
keluhan nyeri kepalanya ke dokter.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat keluhan seperti ini (-)
 Riwayat hipertensi (+) sejak 5 tahun yang lalu, namun tidak terkontrol
 Riwayat diabetes melitus (-)
 Riwayat trauma (-)
 Riwayat alergi obat-obatan (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat mengalami keluhan yang sama (+) pada ayah pasien
 Riwayat hipertensi (+)
 Riwayat DM (-)

Riwayat Sosial Ekonomi


 Pasien adalah seorang petani sawit
 Pasien Sudah menikah
 Pasien tinggal bersama istri dan anaknya
 Pasien berobat menggunakan BPJS selama dirawat

Riwayat kebiasaan :
- Riwayat konsumsi jamu-jamuan (-)
- Riwayat merokok (+) 1 bungkus/ hari
- Riwayat konsumsi alkohol (+) saat masih muda
- Riwayat mengkonsumsi makanan bersantan jarang

III. PEMERIKSAAN FISIK (OBJEKTIF)


Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 09 Maret 2020
1. Keadaan Umum dan Tanda Vital
 Kesadaran : Compos Mentis GCS : 15 ( E4 V5 M6)
 Tekanan Darah : 180/110 mmHg
 Nadi : 108 kali/ menit
 Respirasi : 20 kali/ menit, pernapasan regular
 Suhu : 37°C

2. Status Generalis
Kepala : Normocephal (+)
Mata : Edema palpebra (-/-), conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik
(-/-), pupil bulat, isokor,  ± 4 mm/± 4 mm, refleks cahaya
(+)/(+), katarak -/-
THT : Dalam batas normal
Mulut : Bibir sianosis (-), mukosa kering (-), lidah hiperemis (-), T1-
T1, faring hiperemis (-).
Leher : JVP 5+2 cm H2O, pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
Dada : Simetris ka=ki
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I dan BJ II regular, gallop (-),murmur(-)
Paru
Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris kanan dan kiri
Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-), krepitasi (-), fremitus
taktil sama kanan dan kiri
Perkusi : Fremitus vokal sama kiri dan kanan, Sonor +/+
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Distensi (-), masa (-).
Palpasi : Soepel, nyeri tekan epigastrium (+), undulasi (-),
shifting dullness (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Alat kelamin : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas :
Superior : Akral hangat, edema (-)/(-), sianosis (-)/(-)
Inferior : Akral hangat, edema (-)/(-), sianosis (-)/(-)

3. Status Psikitus
Cara berpikir : Baik
Perasaan hati : Biasa
Tingkah laku : Normoaktif
Ingatan : Baik
Kecerdasan : Baik
4. Status Neurologi
1. Kesadaran kualitatif : Compos Mentis
2. Kesadaran kuantitatif: E4M6V5
3. Kepala
a. Bentuk : Normocephal
b. Nyeri tekan : (-)
c. Simetri : (+)
d. Pulsasi : (-)

4. Tanda Rangsang Meningeal


a. Kakukuduk :-
b. Brudzinski 1 :-
c. Brudzinski 2 : -/-
d. Brudzinski 3 : -/-
e. Brudzinski 4 : -/-

5. Tanda Rangsang Radikuler


a. Leseque : -/-
b. Kernig : -/-
c. Patrick : -/-
d. Kontra Patrick : -/-

6. Pemeriksaan Nervus Cranialis


N.I (Olfactorius)

Pemeriksaan Kanan Kiri


Subjektif Baik Baik
Degan bahan Baik Baik
N.II (Opticus)

Pemeriksaan Kanan Kiri


Tajam Penglihatan Sulit untuk dinilai Sulit untuk dinilai
Lapang Pandang Baik Baik
Melihat Warna Sulit untuk dinilai Sulit untuk dinilai
Fundus Okuli Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N.III (Oculomotorius)

Pemeriksaan Kanan Kiri


Sulit untuk
Sela mata Sulit untuk dinilai
dinilai
Ptosis Tidak ada Tidak ada
Pergerakan bola mata Normal Normal
Nistagmus Tidak ada Tidak ada
Strabismus Tidak ada Tidak ada
Ekso/endophtalmus Tidak ada Tidak ada
Bulat, isokor, Bulat, isokor,
Pupil : Bentuk, Besar
±4mm ±4mm
Refleks Cahaya
+ +
Langsung
Refleks Cahaya Tidak
+ +
Langsung
Melihat Kembar Sulit dinilai Sulit dinilai

N. IV (Trochlearis)

Pemeriksaan Kanan Kiri


Pergerakan bola mata
Normal Normal
ke bawah-dalam
Melihat Kembar Tidak ada Tidak ada

N. V (Trigeminus)

Pemeriksaan Kanan Kiri


Membuka mulut + +
Mengunyah + +
Menggigit + +
Sensibilitas Muka Kanan Kiri
Oftalmikus Normal Normal
Maksila Normal Normal
Mandibula Normal Normal
Refleks Kornea + +

N. VI (Abducent)
Pemeriksaan Kanan Kiri
Pergerakan bola mata ke lateral Normal Normal
Melihat Kembar Tidak ada Tidak ada

N. VII (Facialis)
Pemeriksaan Keterangan
Mengerutkan dahi Normal
Senyum memperlihatkan gigi Parese Sinistra
Menutup mata Normal
Bersiul Sulit untuk dinilai
Daya perasa 2/3 anterior lidah Normal
Plica nasolabialis Kiri lebih datar

N VIII (Vestibulocohlearis)
Pemeriksaan Kanan Kiri
Detik Arloji Normal Normal
Tes Garputala Normal Normal
Gesekan tangan Normal Normal

N IX (Glossopharingeus)
Pemeriksaan Kanan Kiri
Daya perasa 1/3
Normal Normal
posterior lidah
Sensibilitas faring Sulit untuk dinilai Sulit untuk dinilai
Refleks Muntah Ada Ada
Nadi Dalam Batas Normal

N X (Vagus)
Pemeriksaan Kanan Kiri
Arkus faring Sulit untuk dinilai Sulit untuk dinila
Disfonia Tidak ada Tidak ada
N XI (Assesorius)
Pemeriksaan Kanan Kiri
Mengangkat bahu Normal Normal
Memalingkan kepala Normal Normal

N XII (Hipoglossus)
Pemeriksaan Kanan Kiri
Pergerakan lidah Tertarik ke kiri Tertarik ke kiri
Tremor lidah Tidak ada Tidak ada
Atrofi Papil Tidak ada Tidak ada
Artikulasi Normal

7. Badan dan Anggota Gerak


A. Badan

Motorik Kanan Kiri


Respirasi Simetris Simetris
Duduk Sulit untuk dinilai Sulit untuk dinilai
Bentuk kolumna Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Sensibilitas Kanan Kiri
Taktil Normal Normal
Nyeri Normal Normal
Lokalis Normal Normal

B. Anggota Gerak Atas

Motorik Kanan Kiri


Pergerakan Cukup Kurang
Kekuatan 5 4
Tonus Normal Normal
Sensibilitas Kanan Kiri
Taktil Normal Normal
Nyeri Normal Normal
Thermi Normal Normal
Lokalis Normal Normal

Refleks Fisiologis Kanan Kiri


Biseps (++) (++)
Triseps (++) (++)

Refleks Patologis Kanan Kiri


Hoffman-Tromner (-) (-)

C. Anggota Gerak Bawah

Motorik Kanan Kiri


Pergerakan Cukup Kurang
Kekuatan 5 4
Tonus Normal Normal
Sensibilitas Kanan Kiri
Taktil Normal Normal
Nyeri Normal Normal
Thermi Normal Normal
Lokalis Normal Normal
Refleks Fisiologis Kanan Kiri
Patella (++) (++)
Achilles (++) (++)
Refleks Patologis Kanan Kiri
Babinsky (-) (+)
Chaddock (-) (-)
Rosolimo (-) (-)
Mendel-Bechtrew (-) (-)
Schaefer (-) (-)
Oppenheim (-) (-)
Klonus paha (-) (-)
Klonus kaki (-) (-)
Test Provokasi Kanan Kiri
Test Laseque (-) (-)
Test Patrick (-) (-)
kontra patrick (-) (-)
D. Koordinasi, Gait, Keseimbangan
 Cara berjalan : Tidak dilakukan
 Test Romberg : Tidak dilakukan
 Disdiadokinesis : Tidak dilakukan
 Ataksia : Tidak dilakukan
 Rebound phenomen : Tidak dilakukan
 Dismetria : Tidak dilakukan
E. Gerakan Abnormal
 Tremor : (-)
 Atetosis : (-)
 Miokloni : (-)
 Khorea : (-)
 Rigiditas : (-)
F. Alat Vegetatif
Miksi : Tidak dilakukan
Defekasi : Tidak dilakukan
G. Test Tambahan
Test Nafziger : Tidak dilakukan
Tes Valsava : Tidak dilakukan

I. DIAGNOSIS BANDING
1. Stroke non hemoragik
2. Space Occupying Lession

II. DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis :Hemiparese sinistra + Parese CN VII dan XII
sinistra tipe sentral
Diagnosis Topis :Hemisfer Dextra
Diagnosis Etiologi :Stroke Hemoragik (Intra Cerebral
Hemmorhage)
Pemeriksaan Penunjang
a. Darah Rutin (09 Maret 2020)

Parameter Hasil Nilai Rujukan


WBC 14,91 x103/mm3 4-10 x 103/mm3
RBC 4,83 x 106/mm3 3,5 -5,5 x 106/mm3
HGB 14,3 g/dl 11-16 g/dl
HCT 42,5 % 35-50 %
PLT 290 x 103/mm3 100-300 x 103/mm3
GDS 141 g/dl <200 g/dl
Kesan : Leukositosis

b. Kimia Darah (09 Maret 2020)

Parameter Hasil Nilai Rujukan


Asam Urat 7,3 mg/dl 2,6-6,0 mg/dl
Kolesterol 196 mg/dl <200 mg/dl
Trigliserida 127 mg/dl <150 mg/dl
HDL 69 mg/dl >34 mg/dl
LDL 101 mg/dl <120 mg/dl
Kesan : Hiperuresemia

c. Faal Ginjal (09 Maret 2020)

Parameter Hasil Nilai Rujukan


Ureum 33 mg/dl 15-39 mg/dl
Kreatinin 1,2 mg/dl 0,6-1,1 mg/dl
Kesan : Peningkatan faal ginjal.

d. Elektrolit(09 Maret 2020)

Parameter Hasil Nilai Rujukan


Natrium 141, 26 mmol/L 135-148 mmol/L
Kalium 3,86 mmol/L 3,5-5,3 mmol/L
Chlorida 106,36 mmol/L 98-110 mmol/L
Kalsium 1,15 mmol/L 1,19-1,23 mmol/L
Kesan : Hipokalsemia

e. Pemeriksaan Radiologi (09 Maret 2020)


Pemeriksaan CT scan Kepala tanpa Kontras
Kesan :
- Perdarahan di kapsula ekterna kanan (estimasi volume +/- 13,9 cc)
- Tidak tampak jelas infark, maupun SOL intracranial

Pemeriksaan Radiografi Toraks Proyeksi AP (09 Maret 2020)


Kesan :
- Kardiomegali DD/LVH
- Bronchopneumonia

f. EKG
Kesan : Sinus Rhythm

III. RINGKASAN :
S :
Pasien datang ke IGD RS Raden Mattaher dengan keluhan kelemahan
anggota gerak kiri sejak ± 3 Jam SMRS. Keluhan dirasakan secara tiba-
tiba saat pasien hendak bangun dari tempat tidur. Keluhan juga disertai
dengan nyeri kepala (+) seperti di tekan. Pandangan kabur (-), mual (-),
muntah (-), kejang (-), penurunan kesadaran (-) disangkal.Pasien
mengaku mengalami kesemutan, bicara menjadi tidak jelas, cadel dan
pelo selain itu pasien mengaku nyeri kepala berat dengan skala nyeri 6-7.
Pasien memiliki riwayat darah tinggi sudah 5 tahun namun tidak
meminum obat dengan rutin dan memiliki riwayat sering sakit kepala
namun hanya diobati dengan obat warung saja.

O :
Kesadaran : Compos mentis, E4M6V5
Tekanan Darah : 180/120 mmhg
Nadi : 108 x/menit
Suhu : 37 0C
Respirasi : 20 x/menit
SpO2 : 99 %

Kekuatan motorik : Kelemahan anggota gerak kiri


Pemeriksaan sensorik : Normal
N.Cranials :
Gangguan N VII facialis ( facialis central) dan NXII hipoglosus ( bicara
cadel, deviasi lidah sedikit ke sinistra)
Refleks Fisiologis : Normal
Refleks Patologis : (-)

A : Diagnosis Klinis : Hemiparese sinistra + parese CN VII (Sn) tipe sentral


Diagnosis Topis : Hemisfer dextra (capsula externa)
Diagnosis Etiologi: Stroke hemoragik (intra cerebral hemorrhage)
Diagnosis sekunder : Hipertensi stage II + Hiperurisemia

P : Terapi Awal
Farmakologi
- O2 2-3 liter nasal canul
- IVFD NaCl 0,9% 20 tpm + ketorolac 30 mg
- Inj Furosemide 20 mg (pagi dan malam)

Non Farmakologi
- Pasang kateter
- Pasang NGT
- Konsul ke dokter Sp.S

IV. PROGNOSIS

 Quo ad vitam : dubia ad Bonam


 Quo ad fungsionam : dubia ad malam
 Quo ad sanationam : dubia ad malam
IV. RIWAYAT PERKEMBANGAN
Tanggal S O A P
10 Maret Kelemahan - KU: Tampak sakit Hemiparese  IVFD NaCl 20 gtt/i + drip
2020 anggota sedang sinistra ec ICH keterolac 1 amp
gerak kiri, - Kesadaran: Compos hari ke 2 +  Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
nyeri mentis hipertensi stage  Inj Furosemide 40-0-20 mg
kepala, - GCS 15 (E4V5M6) II +  Candesartan 1 x 16 mg
pusing - TV: Hiperurisemia (malam)
TD: 200/120 mmHg  Amlodipin 1 x 10 mg
N: 87 x/m (pagi)
RR: 22x/m  MST 1 x 15 mg (malam)
T: 36,7˚C
 Fluoxetin 0-0-5 mg
SpO2 : 99%

Konsultasi Sp.KFR :
Advice :
 Elevasi duduk hanya di 30
derajat saja
 Bergantian pindah posisi
 Jika MAP < 120 fisioterapi

11 Maret Kelemahan - KU: Tampak sakit Hemiparese  IVFD NaCl 20 gtt/i + drip
2020 anggota sedang. sinistra ec ICH keterolac 1 amp
gerak kiri, - Kesadaran: Compos hari ke 3 +  Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
nyeri kepala mentis hipertensi stage  Inj Furosemide 40-0-20 mg
mulai - GCS 15 (E4V5M6) II +  Candesartan 1 x 16 mg
berkurang - TV: Hiperurisemia (malam)
TD: 160/110 mmHg  Amlodipin 1 x 10 mg
N: 77 x/m (pagi)
RR: 22 x/m  MST 1 x 15 mg (malam)
T: 36,5˚C
 Fluoxetin 0-0-5 mg
SpO2 : 96%
 Clonidine 1x1 pagi PO

12 Mret Kelemahan - KU: Tampak baik Hemiparese  IVFD NaCl 20 gtt/i


2020 anggota - Kesadaran: Compos sinistra ec ICH  Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
gerak kiri mentis hari ke 4 +  Inj Furosemide 40-0-20 mg
(+), Pusing - GCS 15 (E4V5M6) hipertensi stage  Candesartan 1 x 16 mg
sangat - TV: II + (malam)
berkurang, TD: 140/100 mmHg Hiperurisemia  Amlodipin 1 x 10 mg
komunikasi N: 89 x/m (pagi)
(+) RR: 20 x/m  MST 1 x 15 mg (malam)
T: 36,6 ˚C  Fluoxetin 0-0-5 mg
SpO2 : 99 %  Ketorolac stop

13 Maret - - KU: Tampak baik Hemiparese  Alupurinol 1 x 300 mg


2020 - Kesadaran: Compos sinistra ec ICH  Pasien dipulangkan
mentis hari ke 5 +
- GCS 15 (E4V5M6) hipertensi stage
- TV: II +
TD: 150/90 mmHg Hiperurisemia
N: 76 x/m
RR: 22 x/m
T: 36,7˚C
SpO2 : 99%

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 DEFINISI

Perdarahan intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang terjadi di


otak yang disebabkan oleh pecahnya (ruptur) pada pembuluh darah otak.
Perdarahan dalam dapat terjadi di bagian manapun di otak. Darah dapat
terkumpul di jaringan otak, ataupun di ruang antara otak dan selaput membran
yang melindungi otak. Perdarahan dapat terjadi hanya pada satu hemisfer
(lobar intracerebral hemorrhage), atau dapat pula terjadi pada struktur dari
otak, seperti thalamus, basal ganglia, pons, ataupun cerebellum (deep
intracerebral hemorrhage).3

3.2 EPIDEMIOLOGI

Di seluruh dunia insiden perdarahan intraserebral berkisar 10


sampai 20 kasus per 100.000 penduduk dan meningkat seiring dengan usia.
Perdarahan intraserebral lebih sering terjadi pada pria daripada wanita,
terutama yang lebih tua dari 55 tahun, dan dalam populasi tertentu, termasuk
orang kulit hitam dan Jepang. Selama periode 20 tahun studi The National
Health and Nutrition Examination Survey Epidemiologic menunjukkan
insiden perdarahan intraserebral antara orang kulit hitam adalah 50 per
100.000, dua kali insiden orang kulit putih. Perbedaan dalam prevalensi
hipertensi dan tingkat pendidikan berhubungan dengan perbedaan resiko.
Peningkatan risiko terkait dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah
mungkin terkait dengan kurangnya kesadaran akan pencegahan primer dan
akses ke perawatan kesehatan. Insiden perdarahan intraserebral di Jepang
yaitu 55 per 100.000 jumlah ini sama dengan orang kulit hitam.
Tingginya prevalensi hipertensi dan pengguna alkohol pada populasi Jepang
dikaitkan dengan insiden. Rendahnya observasi kadar kolesterol serum pada
populasi ini juga dapat meningkatkan resiko perdarahan intraserebral. Usia
rata-rata pada umur 53 tahun, interval 40 – 75 tahun. Insiden pada laki-laki
sama dengan pada wanita. Angka kematian 60 – 90 %.3,4
3.3 ANATOMI

Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang
yang dikenal sebagai sel glia, cairan serebrospinal, dan pembuluh darah.
Semua orang memiliki jumlah neuron yang sama sekitar 100 miliar, tetapi
koneksi di antara berbagi neuron berbeda-beda. Pada orang dewasa, otak
membentuk hanya sekitar 2% (sekitar 1,4 kg) dari berat tubuh total, tetapi
mengkonsumsi sekitar 20% oksigen dan 50% glukosa yang ada di dalam
darah arterial.4

Otak harus menerima lebih kurang satu liter darah per menit, yaitu
sekitar 15% dari darah total yang dipompa oleh jantung saat istirahat agar
berfungsi normal. Otak mendapat darah dari arteri. Yang pertama adalah arteri
karotis interna yang terdiri dari arteri karotis (kanan dan kiri), yang
menyalurkan darah ke bagian depan otak disebut sebagai sirkulasi arteri
cerebrum anterior. Yang kedua adalah vertebrobasiler, yang memasok darah
ke bagian belakang otak disebut sebagai sirkulasi arteri cerebrum posterior.
Selanjutnya sirkulasi arteri cerebrum anterior bertemu dengan sirkulasi arteri
cerebrum posterior membentuk suatu sirkulus willisi.4

Ada dua hemisfer di otak yang memiliki masing-masing fungsi.


Fungsi-fungsi dari otak adalah otak merupakan pusat gerakan atau motorik,
sebagai pusat sensibilitas, sebagai area broca atau pusat bicara motorik,
sebagai area wernicke atau pusat bicara sensoris, sebagai area visuosensoris,
dan otak kecil yang berfungsi sebagai pusat koordinasi serta batang otak yang
merupakan tempat jalan serabut-serabut saraf ke target organ. Jika terjadi
kerusakan gangguan otak maka akan mengakibatkan kelumpuhan pada
anggota gerak, gangguan bicara, serta gangguan dalam pengaturan nafas dan
tekanan darah. Gejala di atas biasanya terjadi karena adanya serangan stroke.4

3.4 ETIOLOGI

Hipertensi merupakan penyebab terbanyak (72-81%). Perdarahan


intraserebral spontan yang tidak berhubungan dengan hipertensi,
biasanya berhubungan dengan diskrasia darah, hemartroma, neoplasma,
aneurisma, AVM, tumor otak metastasis, pengobatan dengan antikoagulans,
gangguan koagulasi seperti pada leukemia atau trombositopenia,
serebralarteritis, amyloid angiopathy dan adiksi narkotika.

Perdarahan intraserebral dapat disebabkan oleh :5,6

1. Hipertensi

Hipertensi lama akan menimbulkan lipohialinosis dan nekrosis fibrinoid


yang memperlemah dinding pembuluh darah yang kemudian
menyebabkan ruptur intima dan menimbulkan aneurisma. Selanjutnya
dapat menyebabkan mikrohematoma dan edema. Hipertensi kronik dapat
juga menimbulkan sneurisma-aneurisma kecil (diameternya 1 mm) yang
tersebar di sepanjang pembuluh darah, aneurisma ini dikenal sebagai
aneurisma Charcot Bouchard. 5,6

2. Cerebral Amyloid Angiopathy

Cerebral Amyloid Angiopathy adalah suatu perubahan vaskular yang unik


ditandai oleh adanya deposit amiloid di dalam tunika media dan tunika
adventisia pada arteri kecil dan arteri sedang di hemisfer serebral. Arteri-
arteri yang terkena biasanya adalah arteri-arteri kortical superfisial dan
arteri-arteri leptomening. Sehingga perdarahan lebih sering di daerah
subkortikal lobar ketimbang daerah basal ganglia. Deposit amiloid
menyebabkan dinding arteri menjadi lemah sehingga kemudian pecah dan
terjadi perdarahan intraserebral. Di samping hipertensi, amyloid
angiopathy dianggap faktor penyebab kedua terjadinya perdarahan
intraserebral pada penderita lanjut usia. 5,6

3. Arteriovenous Malformation. 5,6

4. Neoplasma intrakranial. Akibat nekrosis dan perdarahan oleh jaringan


neoplasma yang hipervaskular. 5,6
Perdarahan di putamen, thalamus, dan pons biasanya akibat ruptur a.
lentikulostriata, a. thalamoperforating dan kelompok basilar-paramedian.
Sedangkan perdarahan di serebelum biasanya terdapat di daerah nukleus dentatus
yang mendapat pendarahan dari cabang a. serebelaris superior dan a. serecelaris
inferior anterior. 5,6

Gambar 1. Lokasi tersering sumber perdarahan intraserebral6

3.5 PATOFISIOLOGI

Kasus PIS umumnya terjadi di kapsula interna (70 %), di fossa


posterior (batang otak dan serebelum) 20 % dan 10 % di hemisfer (di luar
kapsula interna). Gambaran patologik menunjukkan ekstravasasi darah karena
robeknya pembuluh darah otak dan diikuti adanya edema dalam jaringan otak
di sekitar hematom. Akibatnya terjadi diskontinuitas jaringan dan kompresi
oleh hematom dan edema pada struktur sekitar, termasuk pembuluh darah otak
dan penyempitan atau penyumbatannya sehingga terjadi iskemia pada jaringan
yang dilayaninya, maka gejala klinis yang timbul bersumber dari destruksi
jaringan otak, kompresi pembuluh darah otak / iskemia dan akibat kompresi
pada jaringan otak lainnya.6

3.6 GEJALA KLINIS

Secara umum gejala klinis PIS merupakan gambaran klinis akibat


akumulasi darah di dalam parenkim otak. PIS khas terjadi sewaktu aktivitas,
onset pada saat tidur sangat jarang. Perjalanan penyakitnya, sebagian besar
(37,5-70%) per akut. Biasanya disertai dengan penurunan kesadaran.
Penurunan kesadaran ini bervariasi frekuensi dan derajatnya tergantung dari
lokasi dan besarnya perdarahan tetapi secara keseluruhan minimal terdapat
pada 60% kasus. dua pertiganya mengalami koma, yang dihubungkan dengan
adanya perluasan perdarahan ke arah ventrikel, ukuran hematomnya besar dan
prognosis yang jelek. Sakit kepala hebat dan muntah yang merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial dijumpai pada PIS, tetapi frekuensinya
bervariasi. Tetapi hanya 36% kasus yang disertai dengan sakit kepal sedang
muntah didapati pada 44% kasus. Jadi tidak adanya sakit kepala dan muntah
tidak menyingkirkan PIS, sebaliknya bila dijumpai akan sangat mendukung
diagnosis PIS atau perdarahn subarakhnoid sebab hanya 10% kasus stroke
oklusif disertai gejala tersebut. Kejang jarang dijumpai pada saat onset PIS.7

3.7 PEMERIKSAAN FISIK

Hipertensi arterial dijumpai pada 91% kasus PIS. Tingginya


frekuensi hipertensi berkorelasi dengan tanda fisik lain yang menunjukkan
adanya hipertensi sistemik seperti hipertrofi ventrikel kiri dan retinopati
hipertensif. Pemeriksaan fundus okuli pada kasus yang diduga PIS
mempunyai tujuan ganda yaitu mendeteksi adanya tanda-tanda retinopati
hipertensif dan mencari adanya perdarahan subhialoid (adanya darah di ruang
preretina, yang merupakan tanda diagnostik perdarahan subarakhnoid) yang
mempunyai korelasi dengan ruptur aneurisma. Kaku kuduk terdapat pada 48%
kasus PIS.7,8

Gerakan mata, pada perdarahan putamen terdapat deviation


conjugae ke arah lesi, sedang pada perdarahan nukleus kaudatus terjadi
kelumpuhan gerak horisontal mata dengan deviation conjugae ke arah lesi.
Perdarahan thalamus akan berakibat kelumpuhan gerak mata atas (upward
gaze palsy), jadi mata melihat ke bawah dan kedua mata melihat ke arah
hidung. Pada perdarahan pons terdapat kelumpuhan gerak horisontal mata
dengan ocular bobbing. 7,8
Pada perdarahan putamen, reaksi pupil normal atau bila terjadi
herniasi unkus maka pupil anisokor dengan paralisis N. III ipsilateral lesi.
Perdarahan di thalamus akan berakibat pupil miosis dan reaksinya lambat.
Pada perdarahan di mesensefalon, posisi pupil di tengah, diameternya sekitar
4-6 mm, reaksi pupil negatif. Keadaan ini juga sering dijumpai pada herniasi
transtentorial. Pada perdarahn di pons terjadi pinpoint pupils bilateral tetapi
masih terdapat reaksi, pemeriksaannya membutuhkan kaca pembesar. 7,8

Pola pernafasan pada perdarahan diensefalon adalah Cheyne-


Stroke, sedang pada lesi di mesensefalon atau pons pola pernafasannya
hiperventilasi sentral neurogenik. Pada lesi di bagian tengah atau caudal pons
memperlihatkan pola pernafasan apneustik. Pola pernafasan ataksik timbul
pada lesi di medula oblongata. Pola pernafasan ini biasanya terdapat pada
pasien dalam stadium agonal.8

3.8 KLASIFIKASI PERDARAHAN INTRASEREBRAL

Tipe perdarahan intaserebral yang tersering adalah seperti berikut :8

1. Putaminal Hemorrhage

Antara sindroma klinis perdarahan yang tersering adalah


disebabkan oleh perdarahan putaminal dengan terjadinya penekanan pada
daerah berdekatan dengan kapsula interna. Gejala dan kelainan neurologic
hampir bervariasi berdasarkan kedudukan dan ukuran penekanan.
Perdarahan putaminal khas dengan onset progresif pada hampir
duapertiga pasien, dan kurang dari sepertiga mempunyai gejala mendadak
dan hampir maksimal saat onset. Nyeri kepala tampil saat onset gejala
hanya pada 14% kasus dan pada setiap waktu hanya 28%; semua pasien
menunjukkan berbagai bentuk defisit motorik dan sekitar 65%
mengalami perubahan reaksi terhadap pin-prick. Perdarahan putaminal
kecil menyebabkan defisit sedang motorik dan sensori kontralateral.
Perdarahan berukuran sedang mula-mula mungkin tampil dengan
hemiplegia flaksid, defisit hemisensori, deviasi konjugasi mata pada sisi
perdarahan, hemianopia homonim, dan disfasia bila yang terkena hemisfer
dominan. Progresi menjadi perdarahan masif berakibat stupor dan
lalukoma, variasi respirasi, pupil tak berreaksi yang berdilatasi, hilangnya
gerak ekstra-okuler, postur motor abnormal, dan respons
Babinski bilateral.8

Gejala muntah terjadi hampir setengah daripada penderita. Sakit


kepala adalah
gejala
tersering tetapi
tidak
seharusnya ada.
Dengan jumlah
perdarahan yang
banyak,
penderita dapat
segera masuk
kepada kondisi
stupor dengan
hemiplegi dan kondisi penderita akan tampak memburuk dengan
berjalannya masa.8

Gambar 2. Perdarahan Putaminal8


Walau bagaimanapun, penderita akan lebih sering mengeluh
dengan sakit kepala atau gangguan kepala yang dirasakan pusing. Dalam
waktu beberapa menit wajah penderita akan terlihat mencong ke satu sisi,
bicara cadel atau aphasia, lemas tangan dan tungkai dan bola mataakan
cenderung berdeviasi menjauhi daripada ekxtremitas yang lemah. Hal ini
terjadi, bertahap mengikuti waktu dari menit ke jam di mana sangat kuat
mengarah kepada perdarahan intraserebral. Paralisis dapat terjadi semakin
memburuk dengan munculnya refleks Babinski yang mana pada awalnya
dapat muncul unilateral dan kemudian bisa bilateral dengan ekstremitas
menjadi flaksid, stimulasi nyeri menghilang, tidak dapat bicara dan
memperlihatkan tingkat kesadaran stupor. Karekteristik tingkat keparahan
paling parah adalah dengan tanda kompresi batang otak atas (koma); tanda
Babinski bilateral; respirasi dalam, irregular atau intermitten; pupil dilatasi
dengan posisi tetap pada bagian bekuan dan biasanya adanya kekakuan
yang deserebrasi.8

2. Thalamic Hemorrhage

Sindroma klinis akibat perdarahan talamus sudah dikenal.


Umumnya perdarahan talamus kecil menyebabkan defisit neurologis lebih
berat dari perdarahan putaminal. Seperti perdarahan putaminal,
hemiparesis kontralateral terjadi bila kapsula internal tertekan. Namun
khas dengan hilangnya hemisensori kontralateral yang nyata yang
mengenai kepala, muka, lengan, dan tubuh. Perluasan perdarahan ke
subtalamus dan batang otak berakibat gambaran okuler klasik yaitu
terbatasnya gaze vertikal, deviasi mata kebawah, pupil kecil namun
bereaksi baik atau lemah. Anisokoria, hilangnya konvergensi, pupil tak
bereaksi, deviasi serong, defisit lapang pandang, dan nistagmus retraksi
juga tampak. Anosognosia yang berkaitan dengan perdarahan sisi kanan
dan gangguan bicara yang berhubungan dengan lesi sisi kiri tidak jarang
terjadi. Nyeri kepala terjadi pada 20-40 % pasien. Hidrosefalus dapat
terjadi akibat penekanan jalur CSS.8
 

Gambar 3. Perdarahan Thalamus8

3. Perdarahan Pons

Perdarahan pons merupakan hal yang jarang terjadi dibandingkan


dengan perdarahan intraserebral supratentorial, tetapi 50% dari perdarahan
infratentorial terjadi di pons. Gejala klinik yang sangat menonjol pada
perdarahan
pons ialah onset
yang tiba-tiba
dan terjadi
koma yang
dalam dengan
defisit neurologik
bilateral serta
progresif dan fatal.
Perdarahan
ponting paling
umum menyebabkan kematian dari semua perdarahan otak.
Bahkan perdarahan kecil segera menyebabkan koma, pupil pinpoint (1
mm) namun reaktif, gangguan gerak okuler lateral, kelainan saraf kranial,
kuadriplegia, dan postur ekstensor. Nyeri kepala, mual dan muntah
jarang.8
4. Perdarahan Serebelum

Lokasi yang pasti dari tempat asal perdarahan di serebelum sulit


diketahui. Tampaknya sering terjadi di daerah nukleus dentatus dengan
arteri serebeli superior sebagai suplai utama. Perluasan perdarahan ke
dalam ventrikel IV sering terjadi pada 50% dari kasus perdarahan di
serebelum. Batang otak sering mengalami kompresi dan distorsi sekunder
terhadap tekanan oleh gumpalan darah. Obstruksi jalan keluar cairan
serebrospinal dapat menyebabkan dilatasi ventrikel III dan kedua ventrikel
lateralis sehingga dapat terjadi hidrosefalus akut dan peningkatan tekanan
intrakranial dan memburuknya keadaan umum penderita. Kematian
biasanya disebabkan tekanan dari hematoma yang menyebabkan herniasi
tonsil dan kompresi medula spinalis.8

Sindroma klinis perdarahan serebeler pertama dijelaskan secara


jelas oleh Fisher. Yang khas adalah onset mendadak dari mual, muntah,
tidak mampu bejalan atau berdiri. Tergantung dari evolusi perdarahan,
derajat gangguan neurologis terjadi. Hipertensi adalah faktor etiologi pada
kebanyakan kasus. Duapertiga dari pasien dengan perdarahan
serebeler spontan mengalami gangguan tingkat kesadaran dan tetap
responsif saat datang; hanya 14% koma saat masuk. 50% menjadi koma
dalam 24 jam, dan 75% dalam seminggu sejak onset. Mual dan muntah
tampil pada 95%, nyeri kepala (umumnya bioksipital) pada 73%,
dan pusing (dizziness) pada 55 %. Ketidakmampuan berjalan atau berdiri
pada 94 %. Dari pasien non koma, tanda-tanda serebeler umum terjadi
termasuk ataksia langkah (78 %), ataksia trunkal (65 %), dan ataksia
apendikuler ipsilateral (65 %). Temuan lain adalah palsi saraf fasial perifer
(61%), palsi gaze ipsilateral (54 %), nistagmus horizontal (51 %), dan
miosis (30%). Hemiplegia dan hemiparesis jarang, dan bila ada biasanya
disebabkan oleh stroke oklusif yang terjadi sebelumnya atau bersamaan.
Triad klinis ataksia apendikuler, palsi gaze ipsilateral, dan palsi fasial
perifer mengarahkan pada perdarahan serebeler. Perdarahan serebeler garis
tengah menimbulkan dilema diagnostik atas pemeriksaan klinis.
Umumnya perjalanan pasien lebih ganas dan tampil dengan oftalmoplegia
total, arefleksia, dan kuadriplegia flaksid. 8

Pada pasien koma, diagnosis klinis perdarahan serebeler lebih sulit


karena disfungsi batang otak berat. Dari pasien koma, 83 % dengan
oftalmoplegia eksternal yang lengkap, 53 % dengan irreguleritas
pernafasan, 54 % dengan kelemahan fasial ipsilateral. Pupil umumnya
kecil; tak ada reaksi pupil terhadap sinar pada 40 % pasien.

5. Perdarahan Lober

Sindroma klinis akut perdarahan lober dijelaskan Ropper dan


Davis. Hipertensi kronik tampil hanya pada 31 % kasus, dan 4 % pasien
yang koma saat datang. Perdarahan oksipital khas menyebabkan nyeri
berat sekitar mata ipsilateral dan hemianopsia yang jelas. Perdarahan
temporal kiri khas dengan nyeri ringan pada atau dekat bagian anterior
telinga, disfasia fluent dengan pengertian pendengaran yang buruk namun
repetisi relatif baik. Perdarahan frontal menyebabkan kelemahan lengan
kontralateral berat, kelemahan muka dantungkai ringan, dan nyeri kepala
frontal. Perdarahan parietal mulai dengan nyeri kepala temporal anterior
('temple') serta defisit hemisensori, terkadang mengenai tubuh ke garis
tengah. Evolusi gejala yang lebih cepat, dalam beberapa menit, namun
tidak seketika bersama dengan satu dari sindroma tersebut membantu
membedakan perdarahan lober dari stroke  jenis lain. Kebanyakan
AVM dan tumor memiliki lokasi lober.8

6. Perdarahan intraserebral akibat trauma

Adalah perdarahan yang terjadi di dalam jaringan otak. Hematom


intraserebral pascatraumatik merupkan koleksi darah fokal yang biasanya
diakibatkan cedera regangan atau robekan rasional terhadap pembuluh-
pembuluh darah intraparenkimal otak atau kadang-kadang cedera
penetrans. Ukuran hematom ini bervariasi dari beberapa milimeter sampai
beberapa sentimeter dan dapat terjadi pada 2%-16% kasus cedera.
Intracerebral hematom mengacu pada hemorragi / perdarahan lebih dari 5
ml dalam substansi otak (hemoragi yang lebih kecil dinamakan punctate
atau petechial/bercak).8

3.9 DIAGNOSIS

Cara yang paling akurat untuk mendefinisikan stroke hemoragik


dengan stroke non hemoragik adalah dengan CT scan tetapi alat ini
membutuhkan biaya yang besar sehingga diagnosis ditegakkan atas dasar
adanya suatu kelumpuhan gejala yang dapat membedakan manifestasi klinis
antara perdarahan infark.9

Pemeriksaan Penunjang

 Kimia darah
 Lumbal punksi
 EEG
 CT scan
 Arteriografi
 Pemeriksaan koagulasi harus dikerjakan pada pasien.

3.10 KOMPLIKASI

o Stroke hemoragik

o Kehilangan fungsi otak permanen

o Efek samping obat-obatan dalam terapi medikasi

3.11 PENANGANAN PERDARAHAN INTRASEREBRAL

Semua penderita yang dirawat dengan ‟intracerebral hemorrhage‟ harus


mendapat pengobatan untuk :

1. ”Normalisasi” tekanan darah

2. Pengurangan tekanan intrakranial

3. Pengontrolan terhadap edema serebral


4. Pencegahan kejang.

Hipertensi dapat dikontrol dengan obat, sebaiknya tidak berlebihan


karena adanya beberapa pasien yang tidak menderita hipertensi; hipertensi
terjadi karena cathecholaminergic discharge pada fase permulaan. Lebih lanjut
autoregulasi dari aliran darah otak akan terganggu baik karena hipertensi
kronik maupun oleh tekanan intrakranial yang meninggi. Kontrol
yang berlebihan terhadap tekanan darah akan menyebabkan iskemia pada
miokard, ginjal dan otak.10

Dalam suatu studi retrospektif memeriksa dengan CT-Scan untuk


mengetahui hubungan tekanan darah dan pembesaran hematoma terhadap 79
penderita dengan PISH, mereka menemukan penambahan volume hematoma
pada 16 penderita yang secara bermakna berhubungan dengan tekanan darah
sistolik. Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg tampak berhubungan dengan
penambahan volume hematoma dibandingkan dengan tekanan darah sistolik ≤
150 mmHg. Obat-obat anti hipertensi yang dianjurkan adalah dari golongan :10

1. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors

2. Angiotensin Receptor Blockers

3. Calcium Channel Blockers

Tindakan segera terhadap pasien dengan PIS ditujukan langsung


terhadap pengendalian TIK serta mencegah perburukan neurologis berikutnya.
Tindakan medis seperti hiperventilasi, diuretik osmotik dan steroid (bila
perdarahan tumoral) digunakan untuk mengurangi hipertensi intrakranial yang
disebabkan oleh efek massa perdarahan. Sudah dibuktikan bahwa evakuasi
perdarahan yang luas meninggikan survival pada pasien dengan koma,
terutama yang bila dilakukan segera setelah onset perdarahan.

Walau begitu pasien sering tetap dengan defisit neurologis yang


jelas. Pasien memperlihatkan tanda-tanda herniasi unkus memerlukan
evakuasi yang sangat segera dari hematoma. Angiogram memungkinkan
untuk menemukan kelainan vaskuler. Adalah sangat serius untuk memikirkan
pengangkatan PIS yang besar terutama bila ia bersamaan dengan hipertensi
intrakranial yang menetap dan diikuti atau telah terjadi defisit neurologis
walau telah diberikan tindakan medis maksimal.

Adanya hematoma dalam jaringan otak bersamaan dengan adanya


kelainan neurologis memerlukan evakuasi bedah segera sebagai tindakan
terpilih. Beratnya perdarahan inisial menggolongkan pasien ke dalam tiga
kelompok :10,11

1. Perdarahan progresif fatal.

Kebanyakan pasien berada pada keadaan medis buruk. Perubahan


hebat tekanan darah mempengaruhi kemampuan otak untuk mengatur
darahnya, gangguan elektrolit umum terjadi dan pasien sering dehidrasi.
Hipoksia akibat efek serebral dari perdarahan serta obstruksi jalan nafas
memperburuk keadaan. Perburukan dapat diikuti sejak saat perdarahan
dengan bertambahnya tanda-tanda peninggian TIK dan gangguan batang
otak. Pengelolaan inisial pada kasus berat ini adalah medikal dengan
mengontrol tekanan darah ke tingkat yang tepat, memulihkan kelainan
metabolik, mencegah hipoksia dan menurunkan tekanan intrakranial
dengan manitol, steroid ( bila penyebabnya perdarahan tumoral) serta
tindakan hiperventilasi. GCS biasanya kurang dari 6. 10,11

2. Kelompok sakit ringan (GCS 13-15). 10,11

3. Kelompok intermediet, dimana perdarahan cukup berat untuk


menimbulkan defisit neurologis parah namun tidak cukup untuk
menyebabkan pasien tidak dapat bertahan hidup (GCS 6-12). Tindakan
medikal di atas diberikan hingga ia keluar dari keadaan berbahaya, namun
keadaan neurologis tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Pada
keadaan ini pengangkatan hematoma dilakukan secara bedah. 10,11

PENGELOLAAN SECARA MEDIKAL

Penilaian dan Pengelolaan Inisial


Pengelolaan spontan terutama tergantung keadaan klinis pasien
serta etiologi, ukuran serta lokasi perdarahan. Tak peduli apakah tindakan
konservatif atau bedah yang akan dilakukan, penilaian dan tindakan medikal
inisial terhadap pasien adalah sama.10

Saat pasien datang atau berkonsultasi, evaluasi dan pengelolaan


awal harus dilakukan bersama tanpa penundaan yang tidak perlu.
Pemeriksaan neurologis inisial dapat dilakukan dalam 10 menit, harus
menyeluruh. Informasi ini untuk memastikan prognosis, juga untuk membuat
rencana tindakan selanjutnya. Pemeriksaan neurologis serial harus dilakukan.
10

Tindakan standar adalah untuk mempertahankan jalan nafas,


pernafasan, dan sirkulasi. Hipoksia harus ditindak segera untuk mencegah
cedera serebral sekunder akibat iskemia. Pengamatan ketat dan pengaturan
tekanan darah penting baik pada pasien hipertensif maupun nonhipertensif.
Jalur arterial dipasang untuk pemantauan yang sinambung atas tekanan darah.
Setelah PIS, kebanyakan pasien adalah hipertensif. Penting untuk tidak
menurunkan tekanan darah secara berlebihan pada pasien dengan lesi massa
intrakranial dan peninggian TIK, karena secara bersamaan akan menurunkan
tekanan perfusi serebral. Awalnya, usaha dilakukan untuk mempertahankan
tekanan darah sistolik sekitar 160 mmHg pada pasien yang sadar dan sekitar
180 mmHg pada pasien koma, walau nilai ini tidak mutlak dan
akan bervariasi tergantung masing-masing pasien. Pasien dengan hipertensi
berat dan tak terkontrol mungkin diperkenankan untuk mempertahankan
tekanan darah sistoliknya di atas 180 mmHg, namun biasanya di bawah 210
mmHg, untuk mencegah meluasnya perdarahan oleh perdarahan ulang.
Pengelolaan awal hipertensinya, lebih disukai labetalol, suatu antagonis alfa-
1, beta-1 dan beta-2 kompetitif. Drip nitrogliserin mungkin perlu untuk kasus
tertentu. 10

Gas darah arterial diperiksa untuk menilai oksigenasi dan status


asam-basa. Bila jalan nafas tidak dapat dijamin, atau diduga suatu lesi massa
intrakranial pada pasien koma atau obtundan, dilakukan intubasi
endotrakheal. Cegah pemakaian agen anestetik yang akan meninggikan TIK
seperti oksida nitro. Agen anestetik aksi pendek lebih disukai. Bila diduga ada
peninggian TIK, dilakukan hiperventilasi untuk mempertahankan PCO2
sekitar 25-30 mmHg, dan setelah kateter Foley terpasang, diberikan mannitol
1,5 g/kg IV. Tindakan ini juga dilakukan pada pasien dengan perburukan
neurologis progresif seperti perburukan hemiparesis, anisokoria progresif,
atau penurunan tingkat kesadaran. Dilakukan elektrokardiografi, dan denyut
nadi dipantau. 10

Darah diambil saat jalur intravena dipasang. Hitung darah lengkap,


hitung platelet, elektrolit, nitrogen urea darah, creatinin serum, waktu
protrombin, waktu tromboplastin parsial, dan tes fungsi hati dinilai. Foto
polos dilakukan bila perlu. 10

Setelah penilaian secara cepat dan stabilisasi pasien, dilakukan CT-


scan kepala tanpa kontras. Sekali diagnosis PIS ditegakkan, pasien dibawa
untuk mendapatkan pemeriksaan radiologis lain yang diperlukan, ke unit
perawatan intensif, kamar operasi atau ke bangsal, tergantung status klinis
pasien, perluasan dan lokasi perdarahan, serta etiologi perdarahan. Sasaran
awal pengelolaan adalah pencegahan perdarahan ulang dan mengurangi efek
massa, sedang tindakan berikutnya diarahkan pada perawatan medikal umum
serta pencegahan komplikasi. 10

Pencegahan atas Perdarahan Ulang 

Perdarahan ulang jarang pada perdarahan hipertensif. Saat pasien


sampai di dokter, perdarahan aktif biasanya sudah berhenti. Risiko
perdarahan ulang dari AVM dan tumor juga jarang. Tindakan utama yang
dilakukan adalah mengontrol tekanan darah seperti dijelaskan di atas. Pada
perdarahan karena aneurisma yang ruptur, risiko perdarahan ulang lebih
tinggi. Pertahankan tekanan darah 10-20 % di atas tingkat normotensif untuk
mencegah vasospasme, namun cukup rendah untuk menekan risiko
perdarahan. Beberapa menganjurkan asam aminokaproat, suatu agen
antifibrinolitik. Namun manfaat serta indikasinya tetap belum jelas.
Kasus dengan koagulasi abnormal, risiko perdarahan ulang atau
perdarahan yang berlanjut sangat nyata kecuali bila koagulopati dikoreksi.
Pasien dengan kelainan perdarahan lain dikoreksi sesuai dengan penyakitnya.

Mengurangi Efek Massa

Pengurangan efek massa dapat dilakukan secara medikal maupun


bedah. Pasien dengan peninggian TIK dan atau dengan area yang lebih fokal
dari efek massa, usaha nonbedah untuk mengurangi efek massa penting untuk
mencegah iskemia serebral sekunder dan kompresi batang otak yang
mengancam jiwa. Tindakan untuk mengurangi peninggian TIK antara lain :10

1. Elevasi kepala higga 30o untuk mengurangi volume vena intrakranial serta
memperbaiki drainase vena.

2. Manitol intravena (mula-mula 1,5 g/kg bolus, lalu 0,5 g/kg tiap 4-6 jam
untuk mempertahankan osmolalitas serum 295-310 mOsm/L).

3. Restriksi cairan ringan (67-75% dari pemeliharaan) dengan penambahan


bolus cairan koloid bila perlu.

4. Ventrikulostomi dengan pemantauan TIK serta drainase CSS untuk


mempertahankan TIK kurang dari 20 mmHg.

5. Intubasi endotrakheal dan hiperventilasi, mempertahankan PCO 2 25-30


mmHg.

Pada pasien sadar dengan efek massa regional akibat PIS,


peninggian kepala, restriksi cairan, dan manitol biasanya memadai. Tindakan
ini dilakukan untuk memperbaiki tekanan perfusi serebral dan mengurangi
cedera iskemik sekunder. Harus ingat bahwa tekanan perfusi serebral adalah
sama dengan tekanan darah arterial rata-rata dikurangi tekanan intrakranial,
hingga tekanan darah sistemik harus dipertahankan pada tingkat normal, atau
lebih disukai sedikit lebih tinggi dari tingkat normal. Diusahakan tekanan
perfusi serebral setidaknya 70 mmHg, bila perlu memakai vasopresor seperti
dopamin intravena atau fenilefrin.10
Pasien sadar dipantau dengan pemeriksaan neurologis serial,
pemantauan TIK jarang diperlukan. Pada pasien koma yang tidak sekarat
(moribund), TIK dipantau secara rutin. Disukai ventrikulostomi karena
memungkinkan mengalirkan CSS, karenanya lebih mudah mengontrol TIK.
Perdarahan intraventrikuler menjadi esensial karena sering terjadi hidrosefalus
akibat hilangnya jalur keluar CSS. Lebih disukai pengaliran CSS dengan
ventrikulostomi dibanding hiperventilasi untuk pengontrolan TIK jangka
lama. Pemantauan TIK membantu menilai manfaat tindakan medikal dan
membantu memutuskan apakah intervensi bedah diperlukan.10

Pemakaian kortikosteroid untuk mengurangi edema serebral akibat


PIS pernah dilaporkan bermanfaat pada banyak kasus anekdotal. Namun
penelitian menunjukkan bahwa deksametason tidak menunjukkan manfaat, di
samping jelas meningkatkan komplikasi (infeksi dan diabetes). Namun
digunakan deksametason pada perdarahan parenkhimal karena tumor yang
berdarah dimana CT-scan memperlihatkan edema serebral yang berat.10

Perawatan Umum

Pasien dengan perdarahan intraventrikuler atau kombinasi dengan


perdarahan subarakhnoid atau parenkhimal akibat robeknya aneurisma
nimodipin diberikan 60 mg melalui mulut atau NGT setiap 4 jam. Belum ada
bukti pemberian intravena lebih baik. Namun penggunaan pada PIS non-
aneurismal belum pasti.

Antikonvulsan diberikan begitu diagnosis PIS supratentorial


ditegakkan, kecuali bila perdarahan terbatas pada thalamus atau ganglia basal.
Secara inisial disukai fenitoin, karena kadar darah terapeutik dapat dicapai
dalam 1 jam dengan pemberian IV, mudah pemberiannya, dan efektif
mencegah kejang umum. Pada dewasa, pembebanan 1 g IV (50 mg/menit)
diikuti 300-400 mg IV atau oral perhari. Tekanan darah harus dipantau selama
pembebanan IV karena infus yang terlalu cepat dapat berakibat penurunan
tekanan darah mendesak. Sebagai tambahan, EKG harus dipantau karena
fenitoin berkaitan dengan aritmia cardiac termasuk pelebaran interval PR dan
gelombang Q dengan diikuti kolaps vaskuler. Kadar fenitoin dipantau ketat
dan dosis disesuaikan hingga kadar fenitoin serum dalam jangkauan terapeutik
(10-20 µg/ml) dan pasien bebas kejang.

Antikonvulsan lain seperti fenobarbital (60 mg/IV atau oral, dua


kali sehari, kadar terapeutik darah 20-40 µg/ml) dan Carbamazepin (200 mg
oral, 3-4 kali sehari, kadar terapeutik 4-12 µg/ml). Kejang bisa bersamaan
dengan peninggian dramatik TIK dan tekanan darah sistemik, yang dapat
menyebabkan perdarahan, karenanya harus dicegah. Selain itu hipoksia dan
asidosis sering tampak selama aktifitas kejang, potensial untuk menambah
cedera otak sekunder.

Pengelolaan metabolik yang baik diperlukan pada pasien dengan


PIS. Status cairan, elektrolit serum, dan fungsi renal harus ditaksir berulang,
terutama pada pasien dengan restriksi cairan, mendapat manitol atau diuretika
lain, atau tidak makan. Nutrisi memadai adalah esensial.

PENGOBATAN DENGAN CARA OPERASI

Untuk menentukan pasien mana yang harus dioperasi adalah suatu


masalah yang sulit. Ada beberapa pandangan yang dapat dijadikan patokan
atau pedoman :

1. Dari seluruh penderita PISH hanya sedikit kasus yang harus dioperasi.

2. Kriteria memilih pasien untuk operasi harus ketat dan sesuai dengan
norma-norma kemanusiaan. Harapan terhadap hasil tindakan operasi harus
terfokus terhadap quality of survival yang dapat diterima oleh pasien,
keluarganya dan masyarakat.

Segera yang ingin dicapai dari operasi adalah kembalinya


pergeseran garis tengah, kembalinya tekanan intrakanial ke dalam batas
normal, kontrol pendarahan dan mencegah pendarahan ulang. Indikasi operasi
pada cedera kepala harus mempertimbangkan status neurologis, status
radiologis, pengukuran tekanan intracranial.10,12

Secara umum indikasi operasi pada hematoma intrakranial : 10,12


1. Massa hematoma kira-kira 40 cc

2. Massa dengan pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm

3. IED dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah
dengan GCS 8 atau kurang.

4. Konstusio serebri dengan diameter 2 cm dengan efek massa yang jelas


atau pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm.

5. Pasien-pasien yang menurun kesadarannya dikemudian waktu disertai


berkembangnya tanda- tanda lokal dan peningkatan tekanan intraknial
lebih dari 25 mmHg.

Tindakannya : 10,12

 Pemasangan kateter yang melewati pembuluh darah otak untuk


melebarkan pembuluh darah otak, guna menghindari prosedur operasi
yang invasif.

 Aspirasi dengan stereotactic surgery atau endoscopic drainage


digunakan untuk basal ganglia hemorrhage, meskipun angka
keberhasilannya masih sedikit.

Penggunaan manitol

Pada gangguan neurologis, Diuretic Osmotik (Manitol) merupakan


jenis diuretik yang paling banyak digunakan. Manitol adalah suatu
Hiperosmotik Agent yang digunakan dengan segera meningkat. Volume
plasma untuk meningkatkan aliran darah otak dan menghantarkan oksigen
(Norma D McNair dalam Black, Joyce M, 2005). Ini merupakan salah satu
alasan manitol sampai saat ini masih digunakan untuk mengobati klien
menurunkan peningkatan tekanan intrakranial. Manitol selalu dipakai
untuk terapi edema otak, khususnya pada kasus dengan Hernisiasi.
Manitol masih merupakan obat magic untuk menurunkan tekanan
intrakranial, tetapi jika hanya digunakan sebagai mana mestinya. Bila tidak
semestinya akan menimbulkan toksisitas dari pemberian manitol, dan hal
ini harus dicegah dan dimonitor.12

Indikasi dan dosis pada terapi menurunkan tekanan intrakranial.

Terapi penatalaksanaan untuk menurunkan peningkatan tekanan


intrakranial dimulai bilamana tekanan Intrakranial 20-25 mmHg.
Management penatalaksanaan peningkatan tekanan Intrakranial salah
satunya adalah pemberian obat diuretik osmotik (manitol), khususnya pada
keadaan patologis edema otak. Tidak direkomendasikan untuk
penatalaksanaan tumor otak. Seperti yang telah dijelaskan di atas, diuretik
osmotik (manitol) menurunkan cairan total tubuh lebih dari kation total
tubuh sehingga menurunkan volume cairan intraseluler.

Dosis : Untuk menurunkan tekanan intrakranial, dosis manitol 0,25 – 1


gram/kgbb diberikan bolus intravena, atau dosis tersebut diberikan
intravena selama lebih dari 10 – 15 menit. Manitol dapat jugadiberikan
atau dicampur dalam larutan Infus 1,5 – 2 gram/kgbb sebagai larutan 15-
20% yang diberikan selama 30-60 menit. Manitol diberikan untuk
menghasilkan nilai serum osmolalitas 310 – 320 mOsm/L. Osmolalitas
serum sering kali dipertahankan antara 290 – 310 mOsm. Tekanan
Intrakranial harus dimonitor, harus turun dalam waktu 60 - 90 menit,
karena efek manitol dimulai setelah 0,5 - 1 jam pemberian. Fungsi ginjal,
elektrolit, osmolalitas serum juga dimonitor selama pasien mendapatkan
manitol. Perawat perlu memperhatikan secara serius, pemberian manitol
bila osmolalitas lebih dari 320 mOsm/L. Karena diureis, hipotensi dan
dehidrasi dapat terjadi dengan pemberian manitol dalam jumlah dosis yang
banyak. Foley catheter harus dipasang selama pasien mendapat terapi
manitol. Dehidrasi adalah manisfestasi dari peningkatan sodium serum dan
nilai osmolalitas.
Obat Neuroprotektor :

1. Piracetam 1200 mg/kaplet

Indikasi : Kemunduran daya pikir, astenia, gangguan adaptasi,


gangguan reaksi psikomotor. Alkoholisme kronik dan adiksi.
Disfungsi serebral sehubungan dengan akibat pasca trauma.

Dosis : Oral sindroma psikoorganik yang berhubungan dengan


penuaan, awal 6 kapsul atau 3 kaplet/hari dalam 2-3 dosis terbagi
untuk 6 minggu. Pemeliharaan : 1,2 g/hr. Sindroma pasca trauma, awal
2 kapsul atau 1 kaplet 3x/hari sampai mencapai efek yang diinginkan,
lalu 1 kapsul atau ½ kaplet/hari. Inj IM atau IV 1 g 3x/hari.

Pemberian obat : sesudah makan.

Kontra indikasi : Kerusakan ginjal parah, hipersensitif.

Efek samping : Keguguran, lekas marah, sukar tidur, gelisah, gemetar,


agitasi, lelah, gangguan GI, mengantuk.

Mekanisme kerja : piracetam adalah suatu nootropic agent.

Rencana edukasi :

 Oleh karena piracetam seluruhnya dieliminasi melalui ginjal,


peringatan harus diberikan pada penderita gangguan fungsi ginjal,
oleh karena itu dianjurkan melakukan pengecekan fungsi ginjal.

 Oleh karena efek piracetam pada agregasi platelet, peringatan harus


diberikan pada penderita dengan gangguan hemostatis atau
perdarahan hebat.

2. Injeksi Citicoline

Indikasi : Gangguan kesadaran yang menyertai kerusakan atau cedera


serebral, trauma serebral, operasi otak, dan infark serebral.
Mempercepat rehabilitasi tungkai atas dan bawah pada pasien
hemiplegia apopleksi.

Dosis : Gangguan kesadaran karena cedera kepala atau operasi otak


100-500 mg 1-2x/hari secara IV drip atau injeksi. Gangguan
kesadaran karena infark serebral 1000 mg 1x/hari secara injeksi IV.
Hemiplegia apopleksi 1000 mg 1x/hari secara oral atau injeksi IV.

Pemberian obat : berikan pada saat makan atau di antara waktu


makan.

Efek samping : hipotensi, ruam, insomnia, sakit kepala, diplopia.

Mekanisme kerja :

 Citicoline meningkatkan kerja formatio reticularis dari batang


otak, terutama sistem pengaktifan formatio reticularis
ascendens yang berhubungan dengan kesadaran.

 Citicoline mengaktifkan sistem pyramidal dan memperbaiki


kelumpuhan sistem motoris.

 Citicoline menaikkan konsumsi O2 dari otak dan memperbaiki


metabolisme otak.

3.12 PROGNOSIS

Perdarahan yang besar jelas mempunyai morbiditas dan mortalitas


yang tinggi. diperkirakan mortalitas seluruhnya berkisar 26-50%. Mortalitas
secara dramatis meningkat pada perdarahan talamus dan serebelar yang
diameternya lebih dari 3 cm, dan pada perdarahan pons yang lebih dari 1 cm.
Untuk perdarahan lobar mortalitas berkisar dari 6-30 %. Bila volume darah
sesungguhnya yang dihitung (bukan diameter hematomnya), maka mortalitas
kurang dari 10% bila volume darahnya kurang dari 20 mm 3 dan 90% bila
volume darahnya lebih dari 60 mm.5

Kondisi neurologik awal setelah terserang perdarahan juga penting


untuk prognosis pasien. Pasien yang kesadarannya menurun mortalitas
meningkat menjadi 63%. Mortalitas juga meningkat pada perdarahan yang
besar dan letaknya dalam, pada fossa posterior atau yang meluas masuk ke
dalam ventrikel. Felmann E mengatakan bahwa 45% pasien meninggal bila
disertai perdarahan intraventrikular. Suatu penilaian dilakukan untuk
memperkirakan mortalitas dalam waktu 30 hari pertama dengan menggunakan
3 variabel pada saat masuk rumah sakit yaitu Glasgow Coma Scale (GCS),
ukuran perdarahan dan tekanan nadi. Perdarahan kecil bila ukurannya kurang
dari satu lobus, sedangkan perdarahan besar bila ukurannya lebih dari satu
lobus. Bila GCS lebih dari 9, perdarahannya kecil, tekanan nadi kurang dari
40 mmHg, maka probabilitas hidupnya dalam waktu 30 hari adalah 98%.
Tetapi bila pasien koma, perdarahannya besar dan tekanan nadinya lebih dari
65 mmHg, maka probabilitas hidupnya dalam waktu 30 hari hanya 8%. Pada
PIS hipertensif jarang terjadi perdarahan ulang.12
BAB IV

ANALISIS KASUS

Telah dilakukan pemeriksaan pada seorang Tn.S, laki-laki berusia 47


tahun dengan diagnosa klinis Hemiparesis sinistra dengan parese CN VII dan XII
sinistra tipe sentral. Pada pasien ini, diagnosa dapat ditegakan berdasarkan hasil
anamnesa dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesa didapatkan keluhan utama
kelemahan pada lengan dan tungkai kiri yang terjadi secara mendadak saat pasien
baru saja akan berdiri dari tempat tidurnya setelah istirahat, diawali rasa
kesemutan pada sisi tubuh sebelah kiri yang disertai dengan keluhan nyeri seluruh
kepala, tanpa disertai adanya mual, muntah, gangguan penglihatan, ataupun
penurunan kesadaran. Selain itu juga pasien memiliki riwayat penyakit darah
tinggi yang diketahui sejak lebih kurang 5 tahun yang lalu.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah yang tinggi pada
keadaan umum pasien, yaitu 180/100 mmHg. Pada pemeriksaan neurologis
didapatkan parase CN VII dan XII sinistra tipe sentral, kekuatan otot (5/4) / (5/4),
Babinsky (+) sinistra. Pada pasien ini ditemukan adanya gejala klinis fungsional
otak yang bersifat fokal yang timbul secara mendadak yaitu lengan dan tungkai
kiri tidak dapat digerakkan, kelumpuhan pada CN VII dan XII sinistra tipe sentral,
kesemutan dan juga nyeri kepala.
Pada pasien ini juga ditemukan beberapa faktor resiko untuk terjadinya
stroke, yaitu berdasarkan jenis kelamin stroke lebih sering terjadi pada pria dan
riwayat penyakit darah tinggi sejak lebih kurang 5 tahun yang lalu. Hipertensi
merupakan faktor risiko stroke yang potensial. Hipertensi dapat mengakibatkan
pecahnya maupun menyempitnya pembuluh darah otak yang mengakibatkan
perdarahan otak dan apabila pembuluh darah otak menyempit maka aliran darah
ke otak akan terganggu dan sel-sel otak akan mengalami kematian.
Menurut WHO stroke didefinisikan sebagai tanda-tanda klinis yang
berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global), dengan gejala-
gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih, dapat menyebabkan kematian,
tanpa adanya penyebab lain selain vaskuler. Pada keadaan fisiologis, jumlah darah
yang mengalir ke otak (Cerebral Blood Flow= CBF) ialah 50-60 ml per 100 gr
jaringan otak. Dari jumlah darah tersebut satu pertiganya disalurkan melalui tiap
arteri karotis interna dan satu pertiga sisanya disalurkan melalui susunan
vertebrobasilar. Pada stroke, terjadi gangguan peredaran darah pada daerah otak
tertentu.
Akibat penurunan CBF regional suatu daerah otak terisolasi dari
jangkauan aliran darah, yang mengangkut O2 dan glukosa yang sangat diperlukan
untuk metabolisme oksidatif serebral. Daerah yang terisolasi itu tidak berfungsi
lagi dank arena itulah timbul manifestasi deficit neurologis berupa hemiparalisis,
hemihipsetesia, hemiparestesia yang bisa juga disertai dengan deficit fungsi luhur
seperti afasia. Timbulnya infark serebral regional dapat juga disebabkan oleh
pecahnya arteri serebral. Daerah distal dari tempat dinding arteri pecah, tidak lagi
mendapat pasokan darah sehingga daerah tersebut menjadi iskemik dan kemudian
menjadi infark. Daerah infark tersebut tidak berfungsi lagi sehingga menimbulkan
defisit neurologis, yang biasanya berupa hemiparalisis. Daerah yang tertimbun
paerdarahan merupakan hematoma yang cepat menimbulkan kompresi terhadap
seluruh isis tengkorak berikut bagian rostral batang otak, keadaan demikian dapat
menimbulkan keadaan koma dengan tanda-tanda neurologik yang sesuai dengan
kompresi aut terhadap batang otak.
Pada pasien ditemukan adanya kelemahan lengan dan tungkai kiri
sehingga diagnosis klinisnya adalah hemiparesis dekstra. Pada pasien juga
terdapat refleks Babinsky yang positif menunjukkan adanya lesi upper
motoneuron yang berarti kerusakan berada pada saraf pusat. Kerusakan pada
seluruh korteks piramidalis sesisi menimbulkan kelumpuhan Upper Motoneuron
(UMN) pada belahan tubuh sisi kontralateral. Keadaan tersebut dikenal sebagai
hemiparalisis atau hemiplegia. Kerusakan yang menyeluruh, tetapi belum
membutuhkan semua neuron korteks piramidalis sesisi, menimbulkan
kelumpuhan pada belahan tubuh kontralateral yang ringan sampai sedang. Dalam
hal ini digunakan istilah hemiparesis.
Pada pasien didapatkan kelemahan lengan dan tungkai kiri yang disertai
adanya muntah, nyeri kepala yang terjadi secara mendadak mengarahkan
diagnosis etiologi pada stroke hemoragik, walapun tidak ditemukan adanya
penurunan kesadaran.

Algoritma Gajah Mada

Kecurigaan diarahkan pada stroke hemoragik berdasarkan manifestasi


klinis yang terjadi, yaitu ditemukan dua dari tiga gejala berdasarkan Algoritma
Gajah Mada. Sesuai dengan algoritma tersebut, pada pasien ini ditemukan nyeri
kepala dan refleks Babinsky yang positif.
Untuk dapat mendiferensiasi stroke hemoragik dan stroke non hemoragik
dibutuhkan pemeriksaan penunjang berupa CT-Scan untuk membatu menegakkan
diagnosis. Dari pemeriksaan CT-Scan yang dilakukan didapatkan adanya
gambaran perdarahan intraserebral di kapsula eksterna kanan (estimasi volume +/-
13,9 cc) yang memastikan bahwa diagnosis pada pasien ini adalah stroke
hemoragik.
Pecahnya pembuluh darah secara tiba-tiba menyebabkan perdarahan
intracranial yang menghancurkan dan menggantikan jaringan otak yang juga
meningkatkan tekanan intracranial. Kemudian timbulnya lesi primer perdarahan
yang dapat berupa hematoma, edema perihematomal dan/atau iskemia,
hidrosefalus, atau perdarahan intra ventrikel sekunder. Semua komplikasi ini juga
berpotensi meningkatkan tekanan intrakranial.
Penatalaksanaan pada pasien ini diberikan cairan NaCl 0,9% 20 tetes per
menit sesuai dengan kebutuhan cairannya dengan tambahan ketorolac 30 mg
dalam Nacl 0,9% untuk meredakan nyeri kepalanya. Pasien juga mengalami
tekanan darah tinggi, maka tekanan darah perlu diturunkan. Menurut taksiran
WHO, Penyakit darah tinggi atau hipertensi menyumbangkan 17,5 juta kasus
stroke di dunia. Di Indonesia penyakit ini menduduki posisi ketiga setelah jantung
dan kanker. Sebanyak 28,5% penderita meninggal dunia dan sisanya menderita
kelumpuhan sebagian atau total. Hanya 15% saja yang dapat sembuh total dari
serangan stroke dan kecacatan.
Pada pasien stroke dengan perdarahan intraserebral akut, apabila tekanan
darah sistolik (TDS) >200 mmHg atau mean arterial pressure (MAP) >150
mmHg, tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi
intravena secara kontinu dengan pemantauan tekanan darah setiap 5 menit. Target
penurunan tersebut adalah 15-25% pada jam pertama, dan TDS 160/90 mmHg
dalam 6 jam pertama (PERDOSSI, 2011).
Pemberian terapi antihipertensi jika didapatkan tekanan darah yang tinggi
(hipertensi emergensi) diberikan dengan pertimbangan bukan hanya terhadap otak
saja, tetapi juga terhadap kerusakan organ lain misalnya jantung dan ginjal.
Meskipun demikian jika tekanan darahnya rendah pada pasien yang mempunyai
riwayat hipertensi pada fase akut serangan stroke, hal tersebut mungkin
menandakan deteriorasi neurologis dini atau peningkatan volume infark, dan
merupakan outcome yang buruk pada bulan pertama saat serangan, khususnya
penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 20 mmHg.
Maka pada pasien untuk menurunkan tekanan darah nya maka diberikan
obat peroral berupa Candesartan 1 x 16 mg, Amlodipin 1 x 10 mg dan pada hari
ke tiga perawatan ditambahkan Clonidin 1 x 1 tablet per harinya. Pada pasien juga
diberikan furosemide injeksi.
Penanganan komplikasi pada stroke akut berupa stress ulcer dapat
diberikan sitoprotektor atau penghambat reseptor H2. Antasida tidak perlu
diberikan pada profilaksis stress ulcer. Untuk semua penderita stroke, pemberian
obat-obatan seperti NSAID dan kortikosteroid, serta makanan/minuman yang
bersifat iritatif terhadap lambung juga perlu dihindari. Pada pasien dengan stress
ulcer pasien dipuasakan, memasang pipa nasogastrik dan melakukan irigasi
dengan air es tiap 6 jam sampai darah berhenti. Pada pasien diberikan ranitidine
2x50 mg (PERDOSSI, 2011).
Pengendalian faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi bersifat tidak
dapat dirubah dan dapat dipakai sebagai penanda stroke pada seseorang. Selain itu
juga untuk mencegah stroke diperlukan modifikasi gaya hidup. Pencegahan
berulang ICH dilakukan mengingat angka morbiditas dan mortalitas yang cukup
tinggi dengan cara menurunkan tekanan darah, tidak merokok, tidak meminum
alkohol dan menghindari penggunaan kokain. AHA merekomendasikan
pencegahan ICH berulang dengan cara mengobati hipertensi adalah langkah yang
paling penting untuk mengurangi risiko ICH dan ICH berulang. Merokok,
penggunaan alcohol dan penggunaan kokain adalah faktor risiko untuk terjadinya
ICH.
Pasien akan disarankan untuk menjalani rehabilitasi medik untuk memberi
kemampuan kepada penderita yang telah mengalami disabilitas fisik dan atau
penyakit kronis, agar dapat hidup atau bekerja sepenuhnya sesuai dengan
kapasitasnya. Program rehabilitasi medik telah dikonsultasikan dan siap diberikan
pada pasien jika MAP pasien < 120 mmHg.
BAB V

KESIMPULAN

Perdarahan intraserebral (PIS) adalah perdarahan fokal dari pembuluh


darah dalam parenkim otak. Penyebabnya biasanya hipertensi kronis. Gejala
umum termasuk defisit neurologis fokal, seringkali dengan onset mendadak sakit
kepala, mual, dan penurunan kesadaran. Kebanyakan perdarahan intraserebral
juga dapat terjadi ganglia basal, lobus otak, otak kecil, atau pons. Perdarahan
intraserebral juga dapat terjadi di bagian lain dari batang otak atau otak tengah.
Aada sindroma utama yang menyertai stroke hemoragik menurut Smith dapat
dibagi menurut tempat perdarahannya yaitu putaminal hemorrhage, thalamic
hemorrhage, pontine hemorrhage, cerebellar hemorrhage, lobar hemorrhage.

Pemeriksaan penunjang dengan lumbal pungsi, CT-scan, MRI, serta


angiografi. Adapun penatalaksanannya di ruang gawat darurat (evaluasi cepat dan
diagnosis, terapi umum, stabilisasi jalan napas dan pernapasan, stabilisasi
hemodinamik, pemeriksaan awal fisik umum, pengendalian peninggian TIK,
pengendalian kejang, pengendalian suhu tubuh, pemeriksaan penunjang)
kemudian penatalaksanaan di ruang rawat inap (cairan, nutrisi, pencegahan dan
mengatasi komplikasi, penatalaksanaan medik yang lain. Penatalaksanaan stroke
perdarahan intraserebral (PIS) meliputi terapi medik pada PIS akut (terapi
hemostatik, reversal of anticoagulation) dan tindakan operatif.

Prognosis bervariasi tergantung dari keparahan stroke, lokasi dan volume


perdarahan. Semakin rendah nilai GCS, maka prognosis semakin buruk dan
tingkat mortalitasnya tinggi. Semakin besar volume perdarahan maka prognosis
semakin buruk. Dan adanya darah di dalam ventrikel berhubungan dengan angka
mortalitas yang tinggi. Adanya darah di dalam ventrikel meningkatkan angka
kematian sebanyak 2 kali lipat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Aho K, Harmsen P, Hatano S, Marquardsen J, Smirnov VE, Strasser T.


Cerebrovascular disease in the community: results of a WHO collaborative
study. Bull World Health Organ. 1980; 58:113–30.
2. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), 2013. Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes RI.
3. Castel JP, Kissel P. Spontaneous intracerebral and infratentorial hemorrhage.
In:Youmans JR. ed. Neurological Surgery, 3rd ed, vol.IIIl. Philadelphia: WB
Saunders Company; 2006 .p. 1890-1913.
4. Luyendijk W. Intracerebral hemorrhage. In : Vinken FG, Bruyn GW, editors.
Handbook of Clinical Neurology. New York : Elsevier ; 2005; 660-719.
5. Abdul Gofar Sastrodiningrat. Perdarahan Intraserebral Hipertensif. Suplemen
Majalah Kedokteran Nusantara. Medan. 2006;39(3).
6. Rumantir CU. Gangguan peredaran darah otak. Pekanbaru : SMF Saraf RSUD
Arifin Achmad/FK UNRI. Pekanbaru. 2007.
7. Goetz Christopher G. Cerebrovascular Diseases. In : Goetz: Textbook of Clinical
Neurology, 3rd ed. Philadelphia : Saunders. 2007.
8. Rumantir CU. Pola Penderita Stroke Di Lab/UPF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung
Periode 1984-1985. Laporan Penelitian Pengalaman Belajar Riset Dokter
Spesialis Bidang Ilmu Penyakit Saraf. 2000.
9. Ropper AH, Brown RH. Cerebrovascular Diseases. In : Adam and Victor’s
Priciples of Neurology. Eight edition. New York : Mc Graw-Hill. 2005.
10. Baehr M, Frotscher M. Duus’ : Topical Diagnosis in Neurology. 4 th revised
edition. New York : Thieme. 2005.
11. El-Mitwalli, A., Malkoff, M D.,.2008. Intracerebral Hemorrhage. The Internet
Journal of Advanced Nursing Practice.
12. Kelompok Studi Stroke PERDOSSI. Pencegahan Primer Stroke. Dalam :
Guideline Stroke 2007. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai