Anda di halaman 1dari 59

Clinical Report Session

* Program Pendidikan Profesi Dokter/G1A217099/ Agustus 2019


** Pembimbing : dr. Andy Hutariyus, Sp. An

GENERAL ANESTESI PADA SELULITIS MANUS + GANGRENE


DIGITI II MANUS SINISTRA + DM TIPE II

Oleh :
Khalida Khairunnisa*
G1A217099

Pembimbing :
dr. Andy Hutariyus, Sp. An**

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019

1
LEMBAR PENGESAHAN
Case Report Session
General Anestesi pada Selulitis Manus + Gangrene Digiti II Manus
Sinistra

DISUSUN OLEH
Khalida Khairunnisa
G1A217099

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU ANESTESI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019

Jambi, Agustus 2019


PEMBIMBING

dr. Andy Hutariyus, Sp. An

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa sebab karena rahmatnya, laporan kasus atau Case Report Session (CRS)
yang berjudul “General Anestesi pada Selulitis Manus + Gangrene Digiti II
Manus Sinistra + DM Tipe II” ini dapat terselesaikan. Laporan kasus ini
dibuat agar penulis dan teman – teman sesama koass periode ini dapat
memahami tentang gejala klinis yang sering muncul ini. Selain itu juga
sebagai tugas dalam menjalankan Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian
Ilmu Anestesi RSUD RadenMattaher Jambi.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Andy Hutariyus, Sp.


An selaku pembimbing dalam kepaniteraan klinik senior ini dan khususnya
pembimbing dalam laporan kasus ini. Penulis menyadari bahwa laporan ini
jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran agar
lebih baik kedepannya. Akhir kata, semoga laporan kasus ini bermanfaat
bagi kita semua dan dapat menambah informasi serta pengetahuan kita.

Jambi, Agustus 2019

Penulis

3
BAB I
PENDAHULUAN

Selulitis merupakan infeksi bakterial akut pada kulit yang menyebar


ke dalam lapisan dermis dan sub kutis. Selulitis dapat terjadi di semua usia,
tersering pada usia di bawah 3 tahun dan usia dekade keempat dan kelima.
Insidensi pada laki-laki lebih besar daripada perempuan dalam beberapa
studi epidemiologi. Insidensi selulitis ekstremitas masih menduduki
peringkat pertama. Terjadi peningkatan resiko selulitis seiring
meningkatnya usia, tetapi tidak ada hubungan dengan jenis kelamin.1,2
Gambaran klinis tergantung akut atau tidaknya infeksi. Umumnya
semua bentuk ditandai dengan kemerahan dengan batas jelas, nyeri tekan
dan bengkak. Penyebaran perluasan kemerahan dapat timbul secara cepat di
sekitar luka atau ulkus disertai dengan demam dan lesu. Pada keadaan akut,
kadang-kadang timbul bula. Tanpa pengobatan yang efektif dapat terjadi
supurasi lokal (flegmon, nekrosis atau gangren).1,2
Diabetes Melitus merupakan penyebab tersering dalam golongan
penyakit metabolik. Diagnosis klinis DM umumnya akan dipertimbangkan
bila terdapat keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsi, polifagi, lemah
dan penurunan BB yang tidak jelas penyebabnya. Pasien diabetes yang akan
menjalani pembedahan memiliki peningkatan angka mortalitas, dan pasien
diabetes type 1 sangat beresiko untuk terjadinya komplikasi pasca operasi.
Peningkatan prevalensi pasien diabetes yang akan dioperasi dan
meningkatnya resiko komplikasi sehubungan dengan penyakit DM
membutuhkan pemeriksaan dan pengelolaan perioperatif yang optimal.
Kontrol gula darah yang tepat terbukti menurunkan kejadian komplikasi.3

Perioperatif DM diantaranya dengan melakukan evaluasi klinis


pasien, menilai komplikasi serta kegagalan organ melalui anamnesis dan
pemeriksaan penunjang, selanjutnya dinilai status pembedahan pasien
apakah emergensi atau elektif. Status pengontrolan gula pasien berdasarkan
terapi yang telah diterima pasien harus dinilai. Pasien yang akan menjalani
operasi emergensi dilakukan kontrol gula darah secara cepat, diberikan

4
insulin kerja cepat untuk mengontrol keadaan hiperglikemi, dilakukan
penilaian dan tatalaksana keadaan hiperglikemi emergensi seperti HHS atau
KAD. Pada operasi elektif maka tatalaksana pasien dibagi berdasarkan lama
durasi operasi; yaitu kecil, sedang, dan besar, kemudian ditentukan teknik
anestesi terbaik untuk prosedur operasi yang akan dijalani.3,4
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari
berbagai tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan
penderita yang mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar,
pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri
menahun. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu
operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi
yang terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi,
menentukan prognosis dan persiapan pada hari operasi. Sedangkan tahap
penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa anestesi dan
pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi. 4,5
Anestesi umum merupakan kondisi hilangnya respon rasa nyeri,
hilangnya ingatan, hilangnya respon terhadap rangsangan atau refleks dan
hilangnya gerak spontan, serta hilangnya kesadaran. 4

5
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas
Nama : Ny. OS
Umur : 26 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
BB : 59 kg
Agama : Islam
Alamat : RT 28 Mayang, Alam Barajo
Tanggal masuk : 30 Juli 2019
Tanggal operasi : 06 Agustus 2019

2.2 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Riwayat Penyakit
A. Keluhan Utama
Pembengkakan pada tangan kanan

B. Riwayat penyakit sekarang


Hal ini dirasakan pasien sejak 2 minggu SMRS. Awalnya
pembengkakan muncul pada telunjuk tangan kiri yang semakin
lama semakin besar dan meluas hingga ke pergelangan tangan
pasien. Bengkak yang dirasakan, hangat, berdenyut, nyeri dan
berwarna kemerahan. Selain itu, pasien juga mengalami demam
yang timbul kira – kira 2 hari SMRS. Riwayat trauma (-)
Pasien sudah berobat ke klinik, dan mendapatkan antibiotik.
Namun, tangannya yang bengkak semakin parah dan tidak
kunjung sembuh.
1 bulan sebelumnya pasien juga mengeluhkan sering terbangun
malam hari karena ingin BAK.
C. Riwayat penyakit dahulu :
 Riwayat Operasi :-
 Riwayat hipertensi :-

6
 Riwayat asma :-
 Riwayat penyakit jantung : -
 Riwayat penyakit paru :-
 Riwayat DM :-
 Riwayat stroke :-
 Riwayat kejang :-
 Riwayat penyakit maag :-
 Riwayat penyakit ginjal :-
 Riwayat alergi makanan dan obat : -
D. Riwayat kebiasaan
Pasien memiliki pola makan yang tidak teratur. Gemar
mengkonsumsi makanan dan minuman manis.
Merokok (-)
E. Pemeriksaan Fisik :
1. Tanda Vital
 Kesadaran : Compos mentis
 Suhu : 37,20C
 RR : 22 kali/menit
 Nadi : 90 kali/menit
 Tekanan Darah: 110/70 mmHg
2. Kepala : normocephal
a. Mata : CA (-/-), SI (-/-), RC (+/+)
b. THT : telinga dan hidung tidak ada
kelainan, T1-T1
c. Mulut : Mallampati 1, gigi palsu (-), gigi
goyang (-)
d. Leher : Mobile, pembesaran KGB (-)
3. Thorax
 Inspeksi : simetris, sikatriks (-), massa (-)
 Palpasi : krepitasi (-), nyeri tekan (-)
 Perkusi : sonor kiri dan kanan
 Auskultasi :

7
 Cor : BJ I-II reguler, gallop (-), murmur (-)
 Pulmo : Vesikuler normal (+/+), wheezing
(-/-), rhonki (-/-)
4. Abdomen :
 Inspeksi : datar, sikatriks (-)
 Palpasi : nyeri tekan(-), hepar dan lien tidak
teraba
 Perkusi : timpani
 Auskultasi : bising usus (+) normal
5. Genitalia : Tidak diperiksa
6. Ekstremitas : Akral hangat (+), edema (-), CRT < 2
detik

Status Lokalis
Regio manus sinistra
Inspeksi : edema(+) pada dorsum manus, ganggren pada
distal digiti II, hiperemis (+)
palpasi : nyeri tekan (+), teraba hangat

2.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium:
Darah lengkap (31 Juli 2019)
Hb : 11,7 gr/dl
Leukosit : 19,1 x 109/L
Hematokrit : 34%
Eritrosit : 4,59 x 1012/L
Trombosit : 290 x 109/L
Kesan: dalam batas normal

Darah lengkap (05 Agustus 2019)


Hb : 11,1 gr/dl
Leukosit : 7,9 x 109/L

8
Hematokrit : 33,6 %
Eritrosit : 4,45 x 1012/L
Trombosit : 365 x 109/L
Kesan: dalam batas normal

Kimia Darah (31 juli 2019)


Faal Ginjal
Ureum : 18 mg/dl
Kreatinin : 0,6 mg/dl
Faal Hepar
SGOT : 17 u/l
SGPT : 30 u/l

GDS (31 juli 2019) : 313 mg/dl


GDS (05 agustus 2019) : 204 mg/dl
CT : 6’
BT : 2’
Gol. Darah :A

Pemeriksaan rontgen thoraks : Cor dan pulmo normal


EKG: sinus rhythm

2.4 Pra Anestesi


 Penentuan Status Fisik ASA: 1 / 2 / 3 / 4 / 5 karena dari pemeriksaan
laboratorium pasien mengalami gangguan sistemik berupa
hiperglikemia
 Mallampati: I
 Persiapan Pra Anestesi:
- Pasien telah diberikan Informed Consent
- Pramedikasi : -
- Persiapan operasi:
a. Puasa 6 jam pre op

9
b. Surat persetujuan tindakan operasi
c. Surat persetujuan anestesi

2.5 Laporan Anestesi Pasien


Tanggal : 06 Agustus 2019
Pasien : Ny. OS
Diagnosis : Selulitis manus sinistra + Gangrene Digiti II
Manus Sinistra + DM Tipe II
Tindakan : Pro Debridement
Ahli Bedah : dr. Ivan, Sp.B
Ahli Anestesi : dr. Widuri, Sp.An

Tindakan Anestesi
1. Metode : General Anestesi (Intubasi)
2. Premedikasi : Ondansentron 4 mg, Ranitidin 50 mg , dexketopren
25 mg
3. Induksi : Fentanyl 50 mcg, Tiopental 150 mcg, ketamin 100
mg, Midazolam 5 mg
4. Maintenance : Sevoflurans 2 vol% + O2 (2L) menggunakan
facemask

Keadaan Selama Operasi

1. Posisi Penderita : supine


2. Penyulit waktu anestesi : Tidak ada
3. Lama Anestesi : 30 menit
4. Jumlah Cairan

Input :

 RL 500 ml
 RL 500 ml
Total = 1000 ml

10
Output :

 Urine : ± 100 ml
 Perdarahan: Suction : 100 cc
Total = 200 ml

Kebutuhan cairan pasien ini;

BB = 59 Kg

 Maintenance (M) = 2 cc/kgBB


= 2 cc x 59
= 118 cc
 Pengganti Puasa (P)
P = 8 x M Pasien puasa dari jam 02.00, operasi pukul 10.00 WIB
= 8 x 118 cc
= 944 cc
 Stress Operasi (O)
O = BB x 4 cc (Operasi Ringan)
= 59 x 4 cc
= 236 cc
 EBV = 65 x BB
= 65 x 59  3835 cc
 EBL = 20% x EBV
= 20% x 3835 cc  767cc

Kebutuhan cairan selama operasi

Jam I = ½ (P) + M + O

= ½ (944) + 118 + 236


= 826 cc

11
Monitoring Peri Operatif:

TD
Jam Nadi RR
(mmH
WIB (x/m) (x/mnt)
g)

Pasien masuk ke kamar operasi, dan


09.50
dipindahkan ke meja operasi

Pemasangan monitoring tekanan darah,


09.53 16
nadi, saturasi O2 dan urin bag 119/80 110
dikosongkan.
09.55 Pemasangan IV line, diberikan cairan 120/85 104 20
RL (1 kolf) & obat premedikasi
Pasien mulai dilakukan general anestesi,
Pemberian Analgesia Fentanyl ,
Pemberian sedasi midazolam

09.57 Pemberian induksi IV Tiopental, 110/70 20


88
ketamin

Tes bulu mata,

Bagging

10.00 Operasi di mulai 110/80 70 20

10.00 Rl kolf ke dua 120/90 75 20

10.30 Operasi selesai 115/70 70 20

sevoflurane perlahan dimatikan, gas O2


dinaikkan
Pasien sadar & nafas spontan
10.35 Pelepasan 115/85 72 19
Pelepasan alat monitoring

Pasien dipindahkan ke ruang RR

5. Ruang Pemulihan (RR)


a. Masuk Jam : 10.40 WIB
b. Keadaan Umum : Kesadaran CM, GCS:15

12
c. Tanda Vital : TD (100/60 mmHg), N (76x/i), RR (18x/i), SpO2
(99%)
d. Pernafasan : Baik
e. Skoring Alderate : Aktifitas :2
Pernafasan : 2
Warna Kulit : 2 Jumlah = 10
Sirkulasi :2
Kesadaran : 2

6. Instruksi Post Operasi :


 Observasi keadaan umum, tanda vital dan perdarahan tiap 15 menit 24
jam
 Tirah baring tanpa bantal dalam 24 jam
 Puasa sampai sadar penuh dan BU (+)
 Terapi sesuai instruksi dr. Ivan, Sp.B

13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anestesi Umum


3.1.1 Definisi
Anestesi umum atau General Anestesia adalah tindakan untuk
menghilangkan nyeri secara sentral disertai dengan hilangnya kesadaran dan
bersifat pulih kembali atau reversible. Anestesi memungkinkan pasien untuk
mentoleransi prosedur bedah yang akan menimbulkan sakit yang tak
tertahankan, mempotensiasi eksaserbasi fisiologis yang ekstrim dan
menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan. Anestesi memiliki
tujuan-tujuan sebagai berikut:5
1. Hipnotik/sedasi: hilangnya kesadaran
2. Analgesia: hilangnya respon terhadap nyeri
3. Muscle relaxant: relaksasi otot rangka

3.1.2 Stadium – stadium Anestesi


Stadium anestesi dibuat berdasarkan efek Eter. Eter meupakan zat
anestetik volatil yang poten dan digunakan luas pada zamannya. Selama
masa penggunaan Eter yang cukup lama, dilakukan observasi dan
pencatatan lengkap mengenai anestesi yang terjadi. Klasifikasi Guedel
dibuat oleh Arthur Ernest Guedel pada tahun 1937, meliputi :5
1. Stadium 1 : stadium induksi. Ini adalah periode sejak masuknya
obat induksi hingga hilangnya kesadaran, yang antara lain
ditandai dengan hilangnya refleks bulu mata.
2. Stadium 2 : stadium eksitasi. Setelah kesadaran hilang, timbul
eksitasi dan delirium. Pernafasan menjadi iregular, dapat terjadi
pasien menahan nafas. Timbul gerak-gerakan dibawah sadar atau
involuntary, seringkali spastik. Pasien juga dapat muntah dan ini
dapat membahayakan jalan nafas. Stadium 2 adalah stadium yang
beresiko tinggi.

14
3. Stadium 3 : stadium pembedahan (surgical anestesi), dibagi atas
empat plana, yaitu :
- Plana 1 : ventilasi teratur, mata terfiksasi.
- Plana 2 : refleks cahaya menurun dsn refleks kornea hilang.
- Plana 3 : refleks cahaya hilang, tonus otot makin menurun.
- Plana 4 : ventilasi tidak teratur dan tidak adekuat.
Pada stadium ini otot-otot akan relaks, pernafasan menjadi teratur.
Pembedahan dimulai.
4. Stadium 4 : stadium overdosis obat anestetik. Anestesi menjadi
terlalu dalam. Terjadi depresi berat semua sistem tubuh, termasuk
batang otak.

3.1.3 Indikasi Anestesi Umum


Berikut indikasi dilakukannya anestesi umum: 4,7
- Infant dan anak usia muda
- Dewasa yang memilih anestesi umum
- Pembedahan luas
- Penderita sakit mental
- Pembedahan lama
- Pembedahan dimana anestesi lokal tidak praktis
- Riwayat penderita toksik/alergi obat anestesi lokal
- Penderita dengan pengobatan antikoagulan

3.1.4 Prosedur Anestesi Umum


1. Persiapan Pra Anestesi Umum 4,7
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif
maupun darurat harus dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan
anestesi dan pembedahan sangat dipengaruhi oleh persiapan pra
anestesi. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif umumnya
dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat waktu
yang tersedia lebih singkat.
Tujuan kunjungan pra anestesi:

15
- Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan
melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan
pemeriksaan lain.
- Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang
sesuai keadaan fisik dan kehendak pasien. Dengan demikian,
komplikasi yang mungkin terjadi dapat ditekan seminimal
mungkin.
- Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan
fisik, dalam hal ini dipakai klasifikasi ASA (American Society
of Anesthesiology) sebagai gambaran prognosis pasien secara
umum.
2. Persiapan Pasien
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan Fisik
- Keadaan psikis : gelisah,takut, kesakitan,keadaan gizi :
malnutrisi atau obesitas
- Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat,
terapi cairan yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan
sesudah pembedahan.
- Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan,
serta suhu tubuh.
- Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui
adanya trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu,
gangguan fleksi ekstensi leher, deviasi ortopedi dan
dermatologi. Ada pula pemeriksaan mallampati, yang dinilai
dari visualisasi pembukaan mulut maksimal dan posisi protusi
lidah. Pemeriksaan mallampati sangat penting untuk
menentukan kesulitan atau tidaknya dalam melakukan intubasi.
Penilaiannya yaitu:
- Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding
posterior oropharynk, tonsilla palatina dan tonsilla
pharingeal

16
- Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula,
dinding posterior uvula
- Mallampati III : palatum molle, dasar uvula
- Mallampati IV : palatum durum saja
- Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung
- Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi
- Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia,
atau tanda regurgitasi.
- Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal,
sianosis, adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di
tempat-tempat pungsi vena atau daerah blok saraf regional
c. Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai
dengan dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas
kesehatan yang mengharuskan uji laboratorium secara rutin
walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya
pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa
pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien di atas 50 tahun ada
anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks. Praktek-praktek
semacam ini harus dikaji ulang mengingat biaya yang harus
dikeluarkan dan manfaat minimal uji-uji semacam ini.
Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium, selanjutnya dibuat rencana mengenai
obat dan teknik anestesi yang akan digunakan. Misalnya pada
diabetes mellitus, induksi tidak menggunakan ketamin yang dapat
menimbulkan hiperglikemia. Pada penyakit paru kronik, mungkin
operasi lebih baik dilakukan dengan teknik analgesia regional
daripada anestesi umum mengingat kemungkinan komplikasi paru
pasca bedah. Dengan perencanaan anestesi yang tepat,
kemungkinan terjadinya komplikasi sewaktu pembedahan dan
pasca bedah dapat dihindari.
d. Masukan Oral

17
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia.
Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan
napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani
anestesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang
dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus
dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu
sebelum induksi anestesia. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-
8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak
berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesia.
Minuman bening, air putih, the manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam
sebelum induksi anestesia.
e. Klasifikasi Status Fisik
Berdasarkan status fisik pasien pra anestesi, ASA (The
American Society of Anesthesiologists) membuat klasifikasi yang
membagi pasien kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai
berikut:
ASA I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik,
biokimia
ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau
sedang.
ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga
aktivitas rutin terbatas.
ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya
merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
ASA V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat (cito)
dengan mencantumkan tanda darurat (E=emergency), misalnya
ASA I E atau III E.
f. Premedikasi
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan
pada situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan
pasien dapat membangun kepercayaan dan menenteramkan pasien.

18
Obat pereda kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg
beberapa jam sebelum induksi anestesia. Jika disertai nyeri karena
penyakitnya, dapat diberikan opioid misalnya petidin 50 mg
intramuskular. 4

3. Persiapan Peralatan Anestesi 4


a. Mesin Anestesi
Fungsi mesin anestesi (mesin gas) ialah menyalurkan gas atau
campuran gas anestetik yang aman ke rangkaian sirkuit anestetik
yang kemudian dihisap oleh pasien dan membuang sisa campuran
gas dari pasien. Rangkaian mesin anestesi sangat banyak ragamnya,
mulai dari yang sangat sederhana sampai yang diatur oleh
computer. Mesin yang aman dan ideal ialah mesin yang memenuhi
persyaratan berikut:
- Dapat menyalurkan gas anestetik dengan dosis tepat
- Mengeluarkan CO2 dengan efisien
- Bertekanan rendah
- Kelembaban terjaga dengan baik
- Penggunaannya sangat mudah dan aman
Komponen dasar mesin anestetik terdiri dari: 4
- Sumber O2, N2O, dan udara tekan.
- Dapat tersedia secara individual menjadi satu kesatuan mesin
anestetik atau dari sentral melalui pipa-pipa. Rumah sakit
besar bisaanya menyediakan O2, N2O, dan udara tekan secara
sentral untuk disalurkan ke kamar bedah sentral, kamar bedah
rawat jalan, ruang obstetric, dll.
- Alat pantau tekanan gas (pressure gauge)
- Berfungsi untuk mengetahui tekanan gas pasok. Kalau
tekanan gas O2 berkurang, maka akan ada bunyi tanda bahaya
(alarm)
- Katup penurun tekanan gas (pressure reducing valve)

19
- Berfungsi untuk menurunkan tekanan gas pasok yang masih
tinggi, sesuai karakteristik mesin anestesi.
- Meter aliran gas (flowmeter)
- Untuk mengatur aliran gas setiap menitnya.
- Satu atau lebih penguap cairan anestetik (vaporizers)
- Dapat tersedia satu, dua, tiga, sampai empat.
- Lubang keluar campuran gas (common gas outlet)
- Kendali O2 darurat (oxygen flush control)
Berfungsi untuk keadaan darurat yang dapat mengalirkan O2
murni sampai 35-37 liter/menit tanpa melalui meter aliran gas.
Tabung gas beserta alat tambahannya dan penguap diberi warna
khusus untuk menghindari kecelakaan yang mungkin timbul. Kode
warna internasional yang telah disepakati ialah:
Oksigen N2O Udara CO2 Halotan Enfluran Isofluran Desfluran Sevofluran
Putih Biru Putih- Abu- Merah Jingga Ungu Biru Kuning
hitam abu
kuning

b. Sirkuit anestesi
Sirkuit anestesi atau sistem penghantar gas atau sistem anestesi
ialah alat yang bukan saja menghantarkan gas atau uap anestetik
dan oksigen dari mesin ke jalan napas atas pasien, tetapi juga harus
sanggup membuang CO2 dengan mendorongnya dengan aliran gas
segar atau dengan menghisapnya dengan kapur soda.
Sirkuit anestesi umumnya terdiri dari:
- Masker Oksigen, sungkup laring, atau pipa trakea
- Katup ekspirasi dengan per atau pegas (expiratory loaded
spring valve, pop-off valve, APL, adjustable pressure limiting
valve)
- Corrugated tube, Reservoir tube
- Bahan karet hitam (karbon) atau plastic transparent anti
static, anti tertekuk
- Kantong cadang (reservoir bag)

20
- Tempat masuk campuran gas anestetik dan O2 (fresh gas
inlet).
- Untuk mencegah terjadinya barotraumas akibat naiknya
tekanan gas yang mendadak tinggi, katup membatasi tekanan
sampai 50 cm H2O.
c. Masker Oksigen
Pemakaian masker oksigen berguna untuk menyalurkan oksigen
atau gas anestesi ke pasien. Terdapat beberapa jenis sungkup.
Dengan sungkup trasparan berguna untuk obervasi kelembapan
udara yang diekshalasi dan mengetahui jika pasien muntah.
Sungkup karet hitam dapat digunakan untuk mengadaptasi struktur
muka yang tidak bisa. 4,7
Ventilasi efektif memerlukan baik sungkup yang kedap udara
dan jalan nafas yang baik. Teknik masker oksigen yang salah dapat
berakibat deflasi yang berkelanjutan pada reservoir bag saat katup
tekanan ditutup, bisaanya mengindikasikan adanya kebocoran di
sekitar sungkup. Sebaliknya pembentukan tekanan pernapasan
yang tinggi dengan gerakan dada minimal dan suara pernafasan
menandakan obstruksi jalan nafas. 4,7
Sungkup dipegang melawan muka dengan tekanan ke bawah
pada badan sungkup dilakukan dengan jempol kiri dan jari
telunjuk. Jari tengah dan manis memegang mandibula untuk
membantu ekstensi sendi atlantooksipital. Jari kelingking
diletakkan di bawah sudut rahang dan digunakan untuk menahan
dagu ke depan, maneuver paling penting untuk ventilasi pasien.
- Endotracheal tube (ETT)
ETT dapat digunakan untuk memberikan gas anestesi secara
langsung ke trakea dan memberikan ventilasi dan oksigenasi
terkontrol. Bentuk dan kekerasan ETT dapat diubah dengan stilet.
Resistensi terhadap aliran udara tergantung pada diameter tabung,
tetapi juga dipengaruhi oleh panjang tabung dan kurvatura.
Ukuran ETT yang digunakan pada wanita dewasa diameter

21
internal 7-7.5 mm dengan panjang 24 cm. pada pria dewasa
diameter internal 7.5-9 mm dengan panjang 24 cm.
- Sungkup laring (Laringeal mask airway = LMA)
LMA digunakan untuk menggantikan masker oksigen atau
ETT saat pemberian anestesi, untuk membantu ventilasi dan jalur
untuk ETT pada pasien dengan jalan nafas sulit dan membantu
ventilasi saat bronkoskopi. Pemakaian LMA memerlukan anestesi
lebih kuat dibandingkan dengan insersi jalan nafas oral.
Kontraindikasi LMA pada pasien dengan patologi faring seperti
abses, obstruksi faring, perut penuh seperti hamil atau komplians
paru rensah seperti penyaki jalan nafas restriktif.

4. Teknik Anestesia7
a. Teknik anestesia nafas spontan dengan masker oksigen
Indikasi:
- Untuk tindakan yang singkat (30-60 menit) tanpa membuka
rongga perut
- Keadaan umum pasien cukup baik (ASA 1 atau 2)
- Lambung harus kosong
b. Teknik anestesi spontan dengan pipa endotrakea
Pipa endotrakea dapat dimasukan melalui oro atau
nasotrakea. Rata-rata yang digunakan no. 7.5 untuk pipa
orotrakea dan no. 7 untuk pipa nasotrakea. Untuk anak ukuran ini
rata-rata sebesar jari kelingking.
Indikasi:
Operasi lama, kesulitan mempertahankan jalan nafas bebas
pada anestesia dengan masker oksigen. Persiapan obat: selain
tiopental harus disediakan obat pelemas otot jangka pendek:
suksinil-kolin 2% dan pelemas otot jangka panjang: pavulon
4mg/ampul atau alkuronium (alloferin) 10 mg/ampul.
c. Teknik anestesi dengan pipa endotrakea dan nafas kendali

22
Nafas dikendalikan secara manual atau dengan respirator.
Bila menggunakan respirator setiap inspirasi (volume tidal)
diusahakan ± 10ml/kgBB dengan frekuensi 10/14 per menit.
Apabila nafas dikendalikan secara manual harus diperhatikan
pergerakan dada kanan kiri yang simetris.
5. Ekstubasi
Mengangkat keluar pipa endotrakea harus mulus dan tidak
disertai batuk dan kejang otot yang dapat menyebabkan gangguan
nafas, hipoksia sianosis. Ekstubasi dapat dilakukan dengan menunggu
pasien sampai sadar betul atau menunggu sewaktu pasien masih dalam
keadaan anestesi yang agak dalam. Dengan cara terakhir dihindarkan
reaksi spasme kejang otot perut, dada dan jalan nafas.

3.1. 5 Premedikasi 5
Sebelum pasien diberi obat anestesia, yang harus dilakukan pada
general anestesi adalah premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi
anestesi diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan
bangun dari anestesi diantaranya:
- Meredakan kecemasan dan ketakutan
- Memperlancar induksi anestesia
- Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
- Meminimalkan jumlah obat anestetik
- Mengurangi mual muntah pasca bedah
- Menciptakan amnesia
- Mengurangi isi cairan lambung
- Mengurangi refleks yang membahayakan
Waktu dan cara pemberian premedikasi: 5
Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam 1 jam,
secara intramuskular minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus yang
sangat darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti obat-
obat dapat diberikan secara intravena. Obat akan sangat efektif sebelum
induksi. Bila pembedahan belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan

23
pemberian premedikasi intramuskular, subkutan tidak dianjurkan. Semua
obat premedikasi bila diberikan secara intravena dapat menyebabkan sedikit
hipotensi kecuali atropin dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi dengan
pemberian secara perlahan-lahan dan diencerkan.
Obat-obat yang sering digunakan: 5
a. Analgesik narkotik
a. Petidin (amp 2cc = 100 mg)
Merupakan obat golongan narkotik atau opioid. Petidin
diberikan secara intramuscular (IM) dengan dosis 1 mg/kgBB
atau secara intravena (IV) dengan dosis 0,5 mg/kgBB.
b. Morfin (amp 2cc = 10 mg)
Morfin adalah analgetik narkotik pertama yang digunakan
untuk mengurangi cemas dan ketegangan pasien menghadapi
pembedahan, mengurangi nyeri, dan membantu agar anestesi
dapat berlangsung baik. Morfin 8-10 mg yang diberikan secara
intramuscular (IM) biasanya cukup untuk tujuan diatas,
sedangkan dosis 0,01-0,2 g/kgBB secara intravena (IV) cukup
untuk menimbulkan analgesia. Dalam anesthesia berimbang
dengan N2O diperlukan morfin sampai 3 mg/kgBB, sedangkan
bila digunakan anestetik inhalasi lainnya dianjurkan dosis tidak
lebih dari 1-2 mg/kgBB.
c. Fentanil (fl 10cc = 500 µg)
Merupakan obat narkotik yang paling banyak digunakan
dalam praktek anestesiologi. Mempunyai potensi 1000 kali lebih
kuat dibanding petidin dan 50-100 kali lebih kuat dari morfin.
Dosis 1-3µgr/kgBB dapat diberikan secara intravena (IV) maupun
intramuscular (IM) dengan dosis yang sama.
b. Hipnotik
a. Ketamin (fl 10cc = 100 mg)
Sering digunakan untuk induksi yang diberikan secara
intravena (IV) dengan dosis 1-2 mg/kgBB atau secara
intramuscular (IM) dengan dosis 3-5 mg/kgBB.

24
b. Pentotal (amp 1cc = 1000 mg)
Termasuk dalam golongan barbiturate. Dosisnya 4-6
mg/kgBB dapat diberikan secara intravena.
c. Sedatif
a. Diazepam/valium/stesolid (amp 2cc = 10mg)
Termasuk dalam golongan benzodiazepine yang lebih
dianjurkan daripada opioid dan barbiturate. Pada dosis biasa, obat
ini tidak menimbulkan depresi napas seperti pada opioid. Selain
menyebabkan tidur, golongan ini juga menimbulkan amnesia
retrograde dan dapat mengurangi kecemasan. Dapat diberikan
dengan dosis 0,1 mg/kgBB dapat diberikan secara intravena,
peroral, maupun per rektal.
b. Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg)
Midazolam diindikasikan pada premedikasi sebelum induksi
anestesi, basal sedasi sebelum tindakan diagnostic atau
pembedahan yang dilakukan dibawah anestesi local serta induksi
dan pemeliharaan selama anestesi. Pemberian pada penderita
yang mengalami nyeri sebelum tindakan bedah, pemberian
tunggal atau kombinasi dnegan antikolinergik atau analesik.
Untuk pasien dewasa dosisnya 0,07- 0,1 mg/kgBB IM sesuai
dnegan keadaan umum pasien. Dosis usia lanjut dan pasien lemah
0,02-0,05 mg/kgBB diberikan secara intramuscular.
Untuk basal sedation pada dewasa tidak melebihi 2,5 mg
secara intravena (IV) 5-10 menit sebelum permulaan anestesi,
pada orang tua dosis harus diturunkan 1-1,5 mg dengan total dosis
tidak emlebihi 3,5 mg IV.
c. Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg)
Diberikan secara intravena (IV) dengan dosis 1,5-2,5
mg/kgBB.
2.1.1 Induksi Anestesi
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai
tercapainya stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap

25
pemeliharaan anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam stadium
anestesi setelah induksi. Pada kasus ini digunakan obat induksi :8
a. Fentanyl
Fentanyl adalah merupakan derivat agonis sintetik opioid fenil
piperidin, yang secara struktur berhubungan dengan meperidin, sebagai
anestetik 75 – 125 kali lebih poten dari Morfin.
Fentanil adalah analgesik narkotik yang poten, bisa digunakan
sebagai tambahan untuk general anastesi maupun sebagai awalan anastetik.
Fentanil menyediakan stabilitas jantung dan stress yang berhubungan
dengan hormonal, yang berubah pada dosis tinggi. Dosis 100 mg (w.o ml)
setara dengan aktifits analgesik 10 mg morfin. Fentanil memiliki kerja cepat
dan efek durasi kerja kurang lebih 30 menit setelah dosis tunggal IV 100mg.
Fentanil bergantung dari dosis dan kecepatan pemberian bisa menyebabkan
rigiditas otot, euforia, miosis dan bradikardi. Seluruh efek dari kerja fentanil
secara cepat dan secara penuh teratasi dan hilang dengan menggunaka
narkotik antagonis seperti Naloxone.
Sebagai dosis tunggal, fentanil memiliki onset kerja yang cepat dan
durasi yang lebih singkat dibanding morfin. Disamping itu juga terdapat
jeda waktu tersendiri antara konsentrasi puncak fentanil plasma, dan
konsentrasi puncak dari melambatnya EEG. Jeda waktu ini memberi efek
waktu Equilibration antara darah dan otak selama 6,4 menit.
Semakin tinggi potency dan onset yang lebih cepat mengakibatkan
Lipid solubility meningkat lebih baik daripada morfin, yang memudahkan
perjalanan obat menuju sawar darah otak. Dikarenakan durasi dan kerja
dosis tunggal fentanil yang cepat, mengakibatkan distribusi ke jaringan yang
tidak aktif menjadi lebih cepat pula, seperti jaringan lemak dan otot skelet,
dan ini menjadi dasar penurunan konsentrasi obat dalam plasma.
Paru – paru memiliki tempat penyimpanan tidak aktif yang cukup
besar, dengan estimasi 75% dari dosis awal fentanil yang di uptake disini.
Fungsi non respiratory dari paru ini yang membatasi jumlah obat yang
masuk ke sirkulasi sistemik dan memegang peranan utama dari penentuan
farmakokinetik dari fentanil. Bila dosis berulang IV berulang atau melalui

26
infus yang terus menerus dari fentanil dilakukan, saturasi yang progesif dari
jaringan yang tidak aktif ini terjadi. Sebagai akibatnya konsentrasi dari
fentanil plasma tidak menurun secara cepat, sehingga durasi dari analgesia
seperti depresi dari vantilasi memanjang.
Fentanyl dimetabolisme oleh N-demethylation, yang memproduksi
Norfentanil yang secara struktur mirip Normeperidine, ekskresi fentanil
pada ginjal dan terdeteksi pada urine dalam 72 jam setelah dosis tunggal IV
dilakukan. Cepat di metabolisme di hati, dan kurang lebih 75% dosis yang
diberikan di eksresikan dalam 24 jam dan hanya 10% tereliminasi sebagai
obat yang tidak berubah.
Walaupun fentanil memiliki durasi kerja yang cepat, eliminasi dari
paruh waktu lebih panjang dari morfin. Ini dikarenakan fentanyl mempunyai
Lipid solubility yang lebih baik yang menyebabkan perjalanan cepat menuju
jaringan. Konsentrasi plasma fentanil dipertahankan oleh uptake dari
jaringan yang lambat, yang memberikan hitungan dari efek obat yang
persisten dan paralel dengan eliminasi paruh waktunya.
Eliminasi paruh waktu pada orang tua lebih panjang , dikarenakan
klirens opiodi berkurang, disebabkan menurunnya aliran darah hepatik,
aktifitas enzym microsome atau produksi albumin ( fentanyl 79 % - 87%
terikat kepada protein).

Fentanyl diberikan untuk analgesik nakotik, sebagai tambahan pada


general atau regional anestesi, atau untuk pemberian dengan neuroleptik
(droperidol) sebagai premedikasi,untuk induksi, sebgai tambahan
pemeliharaan general anestesi maupun regional anestesi.
Fentanyl digunakan secara luas, contohnya dosis injeksi 1 – 2 mcg /
kg IV memberikan analgesia. Fentanyl 2-20 mcg/kg IV, biasanya digunakan
untuk tambahan pada inhalasi anastetik untuk membantu menurunkan
respon sirkulasi, digunakan dengan, Laryngoskopi untuk intubasi trakea
atau Stimulasi operasi yang tiba – tiba.
Waktu pemberian fentanil injeksi IV untuk menghambat atau
menatalaksana beberapa respon operasi harus dipertimbangkan waktu
equilibrationnya. Injeksi opioid seperti fentanil sebelum stimulasi operasi

27
yang menyakitkan, mungkin dapat mengurangi dari jumlah opioid yang
dibutuhkan untuk periode postoperasi untuk menyediakan analgesia.
Dosis besar dari fentanil sebagai awalan dari anestesi mempunyai
kelebihan menstabilkan hemodinamik dengan cara. A) Efek depresi
myocard yang rendah b) menghilangkan atau tidak mencetuskan pelepasan
histamin c) mensupressi stress pada respon operasi.
Kekurangannya a) gagal mencegah respon nervus simpatik pada
stimulasi operasi yang menyakitkan, terutama pada pasien dengan funsi
ventrikel kiri yang baik. b) kemungkinan pasien sadar c) depresi venilasi
pada posoperasi
Dosis pemberian fentanyl sebagai berikut.
Sebagai tambahan untuk general anestesi
a. Dosis rendah, 2 mcg / kg berguna untuk operasi minor
b. Dosis sedang, 2- 20 mcg /kg dimana operasi menjadi lebih
rumit dan dosis besar dibutuhkan
c. Dosis tinggi, 20 – 50 mcg/kg dalam prosedur bedah mayor,
dimana waktu tempuh lebih lama dan respon stress operasi
lebih tinggi, dosis 20 – 50 fentanyl dengan N20 telah menjadi
pilihan. Bila dosis seperti ini telah digunakan observasi
ventilasi posoperatif seperti diperlukan dimana kemungkinan
depresi ventilasi postoperatif memanjang.
d. Sebagai Agent anestetik
Jika respon stress dari operasi sangat perlu diturunkan, dosis
50 – 100 mg / kg mungkin dapat diberikan dengan oxigen
dan muscle relaxan. Teknik ini memberikan anestesi tanpa
perlu menambah anestesi lain dalam beberapa kasus dosis
lebih dari 150 mg / kg mungkin diperlukan untuk
menyediakan efek anestesi tersebut, telah banyak digunakan
untuk bedah jantung dan operasi lain yang memerlukan
proteksi miokard dari kelebihan kebutuhan akan oksigen.
Efek samping fentanyl meliputi depresi ventilasi yang persisten
maupun rekuren. Fentanil yang bersequesterasi bisa diabsorbsi kembali dari

28
usus halus kembali ke sirkulasi dan meningkatkan konsentrasi plasma
menyebabkan depresi ventilasi.
Pemberian fentanyl pada trauma kepala berhubungan dengan
peningkatan 6-9 mhg pada tekanan intrakranial, ataupun menjaga PaCo2
yang tidak berubah. Peningkatan ini biasanya diakibatkan oleh penurunan
MAP dan tekanan perfusi otak.
Konsentrasi analgesik dari fentanil sangat berefek pada potensi
midazolam dan penurunan dosis dari propofol yang dibutuhkan. Pada
klinisnya keuntungan sinergi dari opioid dan benzodiazepin untuk menjaga
kenyamanan pasien juga harus dibarengi dengan pemaantauan ketat, karena
memili efek buruk yaitu berpotensi efek depresi.

b. Propofol
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam
air dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan
2,25% glyserol. Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa
premedikasi7.
Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat
intravena lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat
diambulasi lebih cepat setelah anestesi umum. Selain itu, secara subjektif,
pasien merasa lebih baik setelah postoperasi karena propofol mengurangi
mual dan muntah postoperasi. Propofol digunakan baik sebagai induksi
maupun mempertahankan anestesi dan merupakan agen pilihan untuk
operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam menghasilkan
sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan
propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis) dapat
memicu timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat infeksi pernapasan
dan kemungkinan adanya skuele neurologik.
Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi secara
cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang
disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus

29
propofol yang berkesinambungan dengan opiat, N2O dan/atau anestetik
inhalasi lain.
Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup
berarti selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer
dan venodilatasi. Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira
80% tetapi efek ini disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada
penurunan curah jantung. Tekanan sistemik kembali normal dengan intubasi
trakea.
Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh
distribusinya adalah 2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-kira
30-60 menit. Propofol cepat dimetabolisme di hati 10 kali lebih cepat
daripada thiopenthal pada tikus. Propofol diekskresikan ke dalam urin
sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang dari 1% diekskresi
dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total anestesinya lebih besar daripada
aliran darah hepatik, sehingga eliminasinya melibatkan mekanisme
ekstrahepatik selain metabolismenya oleh enzim-enzim hati. Propofol dapat
bermanfaat bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam
memetabolisme obat-obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak
merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan
tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan propofol karena bekerja
lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca operasi yang minimal.
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini
didistribusikan cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi sebagai
akibat depresi langsung pada otot jantung dan menurunnya tahanan vaskuler
sistemik. Propofol tidak mempunyai efek analgesik. Dibandingkan dengan
tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan jarang terdapat mual dan
muntah. Pada dosis yang rendah propofol memiliki efek antiemetik.
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi
pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem
kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi.
Pada susunan syaraf pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia,

30
kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri sehingga saat
pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg).

c. Atrakurium Basylate
Merupakan obat pelumpuh otot nondepolarisasi berikatan dengan
reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkan depolarisasi, hanya
menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat
bekerja. Atrakurium memiliki struktur benzilisoquinolin yang memiliki
beberapa keuntungan antara lain metabolisme di dalam darah melalui suatu
reaksi yang disebut eliminasi hoffman yang tidak tergantung fungsi hati dan
gfungsi ginjal, tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang,
tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna. 8

3.1.6 Pemeliharaan
a. Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif,
tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan tidak
bereaksi dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai sifat
anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan
cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat
merelaksasi otot, oleh karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu
tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi
yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi
karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh.
Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi
beberapa menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai
perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam anestesi
umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% :
40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.

31
b. Sevoflurane
Sevoflurane merupakan suatu cairan yang jernih, tidak berwarna
tanpa stabiliser kimia. Tidak iritasi, stabil disimpan di tempat biasa. Tidak
terlihat adanya degradasi sevoflurane dengan asam kuat maupun panas.
Sevoflurane bekerja cepat, tidak iritasi, induksi lancar dan cepat
serta pemulihan yang cepat setelah obat dihentikan. Daerah otak yang
spesifik dipengaruhi oleh obat anestesi inhalasi termasuk reticulat
activating system, cerebral cortex, cuneate nucleus, olfacatory cortex, dan
hippocampus. Obat anestesi inhalasi juga mendepresi transmisi rangsang di
spinal cord, terutama pada level dorsal horn interneuron yang bertanggung
jawab terhadap transmissi rasa sakit.

3.1.7 Terapi Cairan


Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus
mendekati jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan
perioperatif bertujuan untuk.9
a. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang
selama operasi.
b. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang
diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti
pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan
untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan
suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10-15 %.
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan
cairan pada dewasa untuk operasi :
Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
Sedang = 6 ml/kgBB/jam

32
Berat = 8 ml/kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang
dari 10 % EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila
perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma
/ koloid / dekstran.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan
selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.

3.1.8 Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room
yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar
merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih
memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca
operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan
karena operasi atau pengaruh anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang
perawatan perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi
dan pembedahan. Beberapa cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi
umum yaitu cara Aldrete dan Steward, dimana cara Steward mula-mula
diterapkan untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang sangat luas
pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa. Sedangkan untuk regional
anestesi digunakan skor Bromage.

Tabel 4. Aldrete Scoring System

No Kriteria Skor

1 Aktivitas  Mampu menggerakan empat ekstremitas 2


Motorik  Mampu menggerakan dua ekstremitas 1
 Tidak mampu menggerakan ekstremitas 0

33
2 Respirasi  Mampu napas dalam, batuk, dan tangis 2
 Sesak atau pernapasan terbatas 1
 Henti napas 0

3 Tekanan  Berubah sampai 20 % dari prabedah 2


Darah  Berubah sampai 20-50 % dari prabedah 1
 Berubah sampai > 50 % dari prabedah 0

4 Kesadaran  Sadar baik dan orientasi baik 2


 Sadar setelah dipanggil 1
 Tak ada tanggapan terhadap rangsangan 0

5 Warna Kulit  Kemerahan 2


 Pucat agak suram 1
 Sianosis 0

3.2 Selulitis
3.2.1 Definisi
Selulitis merupakan infeksi bakterial akut pada kulit. Infeksi
yang terjadi menyebar ke dalam hingga ke lapisan dermis dan sub
kutis. Infeksi ini biasanya didahului luka atau trauma dengan
penyebab tersering Streptococcus beta hemolitikus dan
Staphylococcus aureus. Pada anak usia di bawah 2 tahun dapat
disebabkan oleh Haemophilus influenza, keadaan anak akan tampak
sakit berat, sering disertai gangguan pernapasan bagian atas, dapat
pula diikuti bakterimia dan septikemia. Terdapat tanda-tanda
peradangan lokal pada lokasi infeksi seperti eritema, teraba hangat,
dan nyeri serta terjadi limfangitis dan sering bergejala sistemik
seperti demam dan peningkatan hitungan sel darah putih. Selulitis
yang mengalami supurasi disebut flegmon, sedangkan bentuk
selulitis superfisial yang mengenai pembuluh limfe yang disebabkan
oleh Streptokokus beta hemolitikus grup A disebut erisepelas. Tidak
ada perbedaan yang bersifat absolut antara selulitis dan erisepelas
yang disebabkan oleh Streptokokus.
Sebagian besar kasus selulitis dapat sembuh dengan
pengobatan antibiotik. Infeksi dapat menjadi berat dan menyebabkan
infeksi seluruh tubuh jika terlambat dalam memberikan pengobatan.

34
Gambar : Anatomy of Skin and Soft Tissues and Different Types of Skin and Soft-Tissue
Infection (B)
3.2.2 Etiologi
Penyebab selulitis paling sering pada orang dewasa adalah
Staphylococcus aureus dan Streptokokus beta hemolitikus grup A
sedangkan penyebab selulitis pada anak adalah Haemophilus
influenza tipe b (Hib), Streptokokus beta hemolitikus grup A, dan
Staphylococcus aureus. Streptococcuss beta hemolitikus group B
adalah penyebab yang jarang pada selulitis.6 Selulitis pada orang
dewasa imunokompeten banyak disebabkan oleh Streptococcus
pyogenes dan Staphylococcus aureus sedangkan pada ulkus
diabetikum dan ulkus dekubitus biasanya disebabkan oleh organisme
campuran antara kokus gram positif dan gram negatif aerob maupun
anaerob. Bakteri mencapai dermis melalui jalur eksternal maupun
hematogen. Pada imunokompeten perlu ada kerusakan barrier kulit,
sedangkan pada imunokopromais lebih sering melalui aliran darah
(buku kuning). Onset timbulnya penyakit ini pada semua usia.

35
Tabel : Etiologi Soft Tissue Infection (STIs)

36
Gambar : Specific Anatomical Variants of Cellulitis and Causes of Predisposition to
the Condition.

3.2.3 Epidemiologi
Selulitis dapat terjadi di semua usia, tersering pada usia di
bawah 3 tahun dan usia dekade keempat dan kelima. Insidensi pada
laki-laki lebih besar daripada perempuan dalam beberapa studi
epidemiologi. Insidensi selulitis ekstremitas masih menduduki
peringkat pertama. Terjadi peningkatan resiko selulitis seiring
meningkatnya usia, tetapi tidak ada hubungan dengan jenis kelamin.

3.2.4 Faktor predisposisi


Faktor predisposisi erisepelas dan selulitis adalah: kaheksia,
diabetes melitus, malnutrisi, disgamaglobulinemia, alkoholisme, dan
keadaan yang dapat menurunkan daya tahan tubuh terutama bila
diseratai higiene yang jelek. Selulitis umumnya terjadi akibat
komplikasi suatu luka atau ulkus atau lesi kulit yang lain, namun
dapat terjadi secara mendadak pada kulit yang normal terutama pada
pasien dengan kondisi edema limfatik, penyakit ginjal kronik atau
hipostatik.

37
3.2.5 Gejala klinis
Gambaran klinis tergantung akut atau tidaknya infeksi.
Umumnya semua bentuk ditandai dengan kemerahan dengan batas
jelas, nyeri tekan dan bengkak. Penyebaran perluasan kemerahan
dapat timbul secara cepat di sekitar luka atau ulkus disertai dengan
demam dan lesu. Pada keadaan akut, kadang-kadang timbul bula.
Dapat dijumpai limfadenopati limfangitis. Tanpa pengobatan yang
efektif dapat terjadi supurasi lokal (flegmon, nekrosis atau gangren).
Selulitis biasanya didahului oleh gejala sistemik seperti demam,
menggigil, dan malaise. Daerah yang terkena terdapat 4 kardinal
peradangan yaitu rubor (eritema), color (hangat), dolor (nyeri) dan
tumor (pembengkakan). Lesi tampak merah gelap, tidak berbatas
tegas pada tepi lesi tidak dapat diraba atau tidak meninggi. Pada
infeksi yang berat dapat ditemukan pula vesikel, bula, pustul, atau
jaringan neurotik. Ditemukan pembesaran kelenjar getah bening
regional dan limfangitis ascenden. Pada pemeriksaan darah tepi
biasanya ditemukan leukositosis.
Periode inkubasi sekitar beberapa hari, tidak terlalu lama.
Gejala prodormal berupa: malaise anoreksia; demam, menggigil dan
berkembang dengan cepat, sebelum menimbulkan gejala-gejala
khasnya. Pasien imunokompromais rentan mengalami infeksi walau
dengan patogen yang patogenisitas rendah. Terdapat gejala berupa
nyeri yang terlokalisasi dan nyeri tekan. Jika tidak diobati, gejala
akan menjalar ke sekitar lesi terutama ke proksimal. Kalau sering
residif di tempat yang sama dapat terjadi elefantiasis.
Lokasi selulitis pada anak biasanya di kepala dan leher,
sedangkan pada orang dewasa paling sering di ekstremitas karena
berhubungan dengan riwayat seringnya trauma di ekstremitas. Pada
penggunaan salah obat, sering berlokasi di lengan atas. Komplikasi
jarang ditemukan, tetapi termasuk glomerulonefritis akut (jika
disebabkan oleh strain nefritogenik streptococcus, limfadenitis,

38
endokarditis bakterial subakut). Kerusakan pembuluh limfe dapat
menyebabkan selulitis rekurens.

3.2.6 Patogenesis
Bakteri patogen yang menembus lapisan luar menimbulkan
infeksi pada permukaan kulit atau menimbulkan peradangan.
Penyakit infeksi sering berjangkit pada orang gemuk, rendah gizi,
kejemuan atau orang tua pikun dan pada orang yang menderita
diabetes mellitus yang pengobatannya tidak adekuat.
Setelah menembus lapisan luar kulit, infeksi akan menyebar
ke jaringan-jaringan dan menghancurkannya, hyaluronidase
memecah substansi polisakarida, fibrinolysin mencerna barrier
fibrin, dan lecithinase menghancurkan membran sel.

Bakteri patogen (streptokokus piogenes, streptokokus grup A,


stapilokokus aureus)

Menyerang kulit dan jaringan subkutan

Meluas ke jaringan yang lebih dalam

Menyebar secara sistemik

Terjadi peradangan akut

Eritema lokal pada kulit Edema kemerahan

Lesi Nyeri tekan

Gangguan rasa nyaman dan


Kerusakan integritas kulit nyeri

Gambar .Skema patogenesis

39
3.2.7 Diagnosa banding
Deep thrombophlebitis, dermatitits statis, dermatitis kontak,
giant urticaria, insect bite (respons hipersensitifitas), erupsi obat,
eritema nodosum, eritema migran (Lyme borreliosis), perivascular
herpes zooster, acute Gout, Wells syndrome (selulitis eosinofilik),
Familial Mediterranean fever-associated cellulitis like erythema,
cutaneous anthrax, pyoderma gangrenosum, sweet syndrome (acute
febrile neutrophilic dermatosis), Kawasaki disease, carcinoma
erysipeloides.

3.2.8 Diagnosis
Diagnosis selulitis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan klinis. Pada pemeriksaan klinis selulitis ditemukan
makula eritematous, tepi tidak meninggi, batas tidak jelas, edema,
infiltrat dan teraba panas, dapat disertai limfangitis dan limfadenitis.
Penderita biasanya demam dan dapat menjadi septikemia.
Selulitis yang disebabkan oleh H. Influenza tampak sakit berat,
toksik dan sering disertai gejala infeksi traktus respiratorius bagian
atas bakteriemia dan septikemia. Lesi kulit berwarna merah keabu-
abuan, merah kebiru-biruan atau merah keunguan. Lesi kebiru-
biruan dapat juga ditemukan pada selulitis yang disebabkan oleh
Streptokokus pneumonia Pada pemeriksaan darah tepi selulitis
terdapat leukositosis (15.000-400.000) dengan hitung jenis bergeser
ke kiri.
Gejala dan tanda Selulitis
Gejala prodormal : Demam, malaise, nyeri sendi dan menggigil
Daerah predileksi : Ekstremitas atas dan bawah, wajah, badan dan genitalia
Makula eritematous : Eritema cerah
Tepi : Batas tidak tegas
Penonjolan : Tidak terlalu menonjol
Vesikel atau bula : Biasanya disertai dengan vesikel atau bula
Edema : Edema
Hangat : Tidak terlalu hangat
Fluktuasi : Fluktuasi
Tabel: Gejala dan tanda selulitis

40
Pemeriksaan laboratorium sebenarnya tidak terlalu
dibutuhkan pada sebagian besar pasien dengan selulitis. Seperti
halnya pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan pencitraan juga tidak
terlalu dibutuhkan. Pada pemeriksaan darah lengkap, ditemukan
leukositosis pada selulitis penyerta penyakit berat, leukopenia juga
bisa ditemukan pada toxin-mediated cellulitis. ESR dan C-reactive
protein (CRP) juga sering meningkat terutama penyakit yang
membutuhkan perawatan rumah sakit dalam waktu lama. Pada
banyak kasus, pemeriksaan Gram dan kultur darah tidak terlalu
penting dan efektif.

3.2.9 Pengobatan
Selulitis karena streptokokus diberi penisilin prokain G
600.000-2.000.000 IU IM selama 6 hari atau dengan pengobatan
secara oral dengan penisilin V 500 mg setiap 6 jam, selama 10-14
hari. Pada selulitis karena H. Influenza diberikan Ampicilin untuk
anak (3 bulan sampai 12 tahun) 100-200 mg/kg/d (150-300 mg), >12
tahun seperti dosis dewasa.
Pada selulitis yang ternyata penyebabnya bukan
staphylococcus aureus penghasil penisilinase (non SAPP) dapat
diberi penisilin. Pada yang alergi terhadap penisilin, sebagai
alternatif digunakan eritromisin (dewasa: 250-500 gram peroral;
anak-anak: 30-50 mg/kgbb/hari) tiap 6 jam selama 10 hari. Dapat
juga digunakan klindamisin (dewasa 300-450 mg/hari PO; anak-
anak 16-20 mg/kgbb/hari). Pada yang penyebabnya SAPP selain
eritromisin dan klindamisin, juga dapat diberikan dikloksasilin 500
mg/hari secara oral selama 7-10 hari.

3.2.10 Komplikasi
Pada anak dan orang dewasa yang immunocompromised, penyulit
pada selulitis dapat berupa gangren, metastasis, abses dan sepsis
yang berat. Selulitis pada wajah merupakan indikator dini terjadinya
bakteriemia stafilokokus beta hemollitikus grup A, dapat berakibat

41
fatal karena mengakibatkan trombosis sinus cavernpsum yang
septik. Selulitis pada wajah dapat menyebabkan penyulit intrakranial
berupa meningitis.

3.3 Diabetes Melitus


3.3.1 Definisi
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.3

3.3.2 Faktor Resiko3


 Usia >45 tahun
 Aktivitas fisik yang kurang.
 First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM
dalam keluarga).
 Kelompok ras/etnis tertentu.
 Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan
BBL >4 kg atau mempunyai riwayat diabetes melitus
gestasional (DMG).
 Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi
untuk hipertensi).
 HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL.
 Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
 Riwayat prediabetes.
 Obesitas berat, akantosis nigrikans.
 Riwayat penyakit kardiovaskular.
 Stress

3.3.3 Patogenesis Diabetes Melitus


Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas
telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2
Belakangan diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih

42
berat daripada yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta,
organ lain seperti: jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal
(defisiensi incretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal
(peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin), kesemuanya
ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa
pada DM tipe-2. Delapan organ penting dalam gangguan toleransi glukosa
ini (ominous octet) penting dipahami karena dasar patofisiologi ini
memberikan konsep tentang:3
1. Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan
patogenesis, bukan hanya untuk menurunkan HbA1c saja.
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja
obat pada gangguan multipel dari patofisiologi DM tipe 2.
3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau
memperlambat progresivitas kegagalan sel beta yang sudah
terjadi pada penyandang gangguan toleransi glukosa.
DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot,
liver dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis
penderita DM tipe-2 tetapi terdapat organ lain yang berperan yang
disebutnya sebagai the ominous octet (Gambar 1).3

Gambar 1. The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam


patogenesis hiperglikemia pada DM tipe 2

43
Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal
(omnious octet) berikut :3
1. Kegagalan sel beta pancreas: Pada saat diagnosis DM tipe-2
ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang. Obat anti diabetik
yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1
agonis dan DPP-4 inhibitor.
2. Liver: Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat
dan memicu gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam
keadaan basal oleh liver (HGP=hepatic glucose production)
meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin,
yang menekan proses gluconeogenesis.
3. Otot: Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin
yang multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin
sehingga timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan
sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja
di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.
4. Sel lemak: Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari
insulin, menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam
lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA
akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi
insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin.
Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity.
Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.
5. Usus: Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar
dibanding kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai
efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like
polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic
polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada
penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten
terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh
keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa
menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah

44
kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga mempunyai
peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-
glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang
kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa
darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja
ensim alfa-glukosidase adalah akarbosa.
6. Sel Alpha Pancreas: Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang
berperan dalam hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α
berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa
kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini
menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara signifikan
dibanding individu yang normal. Obat yang menghambat sekresi
glukagon atau menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis,
DPP4 inhibitor dan amylin.
7. Ginjal: Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam
pathogenesis DM tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa
sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap
kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose coTransporter) pada
bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di
absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden,
sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM
terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat
kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di
tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah
salah satu contoh obatnya.
8. Otak: Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada
individu yang obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan
hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari
resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat
akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang
bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin.

45
3.3.4 Klasifikasi
Tabel 1.Klasifikasi etiologis DM3

3.3.5 Diagnosis3
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan
hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan
glukosa darah kapiler dengan
glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
 Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Kriteria diagnosis DM:


1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena)  200 mg/dl atau

46
2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126 mg/dl . Puasa adalah
kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam. Atau
3. Kadar glukosa plasma  200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban
glukosa 75 gram pada TTGO atau
4. Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang
terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization
Program (NGSP).
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria
DM digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi
glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
 Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan
glukosa plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan
TTGO glukosa plasma 2-jam <140 mg/dl;
 Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma 2 –jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa
plasma puasa <100 mg/dl
 Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
 Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

Cara pelaksanaan TTGO (WHO,1994) :


 3 hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup)
 Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan
 Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan,
minum air putih diperbolehkan
 Diperiksa kadar glukosa darah puasa
 Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB
(anak-anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu
5 menit.
 Diperiksa glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa

47
 Selama proses pemeriksaan subjek yang diperiksa tetap istirahat dan
tidak merokok.

3.3.6 Tatalaksana3
Secara garis besar tatalaksana DM dilakukan dengan cara:
1. Diet
Prinsip umum : diet dan pengendalian berat badan merupakan dasar
dari penatalaksanaan diabetes. Penatalaksanaan nutrisi pada penderita
diabetes diarahkan untuk mencapai tujuan berikut ini:
a. Memberikan semua unsur makanan esensial (misal : vitamin dan
mineral)
b. Mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai
c. Memenuhi kebutuhan energi
d. Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan
mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal melalui
cara-cara yang aman dan praktis
e. Menurunkan makan pada penderita DM
3. Olah raga / latihan
Latihan akan menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan
pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin,
sirkulasi darah dan tonus otot.
Latihan ini sangat bermanfaat pada pendrita diabetes karena dapat
menurunkan BB, mengurangi rasa stress dan mempertahankan kesegaran
tubuh. Mengubah kadar lemak darah yaitu meningkatkan kadar High
Density Lipoprotein (HDL)-kolesterol dan menurunkan kadar kolesterol
total serta trigliserida.
Meskipun demikian penderita diabetes dengan kadar glukosa >250
mg/dl (14 mmol/dL) dan menunjukkan adanya keton dalam urine tidak
boleh melakukan latihan sebelum pemeriksaan keton urine memperlihatkan
hasil negatif dan kadar glukosa darah telah mendekati normal.
Latihan dengan kadar glukosa darah yang tinggi akan meningkatkan
sekresi glukogen, Growth Hormone (GH) dan katekolamin. Peningkatan

48
hormon ini membuat hati melepas lebih banyak glukosa sehingga terjadi
kenaikan kadar glukosa darah
4. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral
dan
bentuk suntikan.
 Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi
menjadi 5 golongan:
a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue) :
Sulfonilurea, glinid
b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin : metformin,
tiazolidindion
c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan :
acarbose
d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl PeptidaseIV): Sitagliptin
dan Linagliptin.
e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2) :
Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin.

Tabel 2.Golongan obat antihiperglikemia oral

49
 Obat Antihiperglikemia Suntik
Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1
dan kombinasi insulin dan agonis GLP-1.

3.4 Pertimbangan Anestesi pada Diabetes Melitus


3.4.1 Perioperatif pada DM
Diabetes menyebabkan peningkatan morbiditas, mortalitas dan
masa rawat pada pasien operasi. Tingkat kematian perioperatif pada
pasien diabetes 50% lebih tinggi dibandingkan pada pasien tanpa
diabetes. Penyebab dari kondisi ini adalah :3
 Resiko hipo/hiperglikemia
 Faktor-faktor komorbid, di antaranya komplikasi makro dan
mikrovaskular.
 Pemberian obat-obatan yang kompleks, termasuk insulin.
 Kesalahan dalam proses peralihan terapi insulin intravena ke
subkutan.
 Resiko infeksi perioperatif.
 Perhatian yang kurang dalam pemantauan pasien diabetes.
 Kelalaian dalam mengidentifikasi pasien diabetes.
 Tidak adanya pedoman institusi terhadap manajemen diabetes.
 Kurangnya pengetahuan manajemen diabetes pada staf tenaga
kesehatan.
 Persiapan operasi elektif maupun non-elektif dapat dilihat pada
pedoman terapi insulin di rumah sakit.

3.4.2 Intraoperatif pada DM

Tujuan utama dari manajemen glukosa darah intraoperatif adalah


untuk menghindari hipoglikemia sambil mempertahankan glukosa darah di
bawah 180mg/dL. Hiperglikemia telah dikaitkan dengan hiperosmolaritas,
infeksi, penyembuhan luka yang buruk, dan peningkatan kematian.4

50
Ada beberapa regimen manajemen perioperatif yang umum untuk
pasien diabetes. Dalam pendekatan klinis (yang kita lakukan tidak
merekomendasikan karena tidak terlalu efektif), pasien menerima setengah
dari dosis kerja insulin pagi (Tabel 3). Untuk mengurangi risiko
hipoglikemia, insulin diberikan setelah akses intravena terpasang dan kadar
glukosa darah pagi diperiksa. Misalnya, pasien yang biasanya mengonsumsi
30 unit NPH (netral protamine Hagedorn; insulin kerja sedang) dan 10 unit
insulin reguler atau Lispro (kerja singkat) atau analog insulin setiap pagi dan
yang kadar glukosa darahnya paling sedikit 150 mg / dL akan menerima 15
unit (setengah dari dosis normal 30 unit pagi) dari NPH subkutan sebelum
operasi bersama dengan infus larutan dekstrosa 5% (1,5 mL / kg / jam).
Penyerapan insulin subkutan atau intramuskular tergantung pada aliran
darah jaringan, dan dapat diprediksi selama operasi. Hiperglikemia
intraoperatif (> 180 mg / dL) dapat diobati dengan bolus insulin reguler
intravena. Satu unit insulin reguler yang diberikan kepada orang dewasa
biasanya menurunkan glukosa plasma sebesar 25 hingga 30 mg / dL.4

Tabel 3. Teknik Manajemen Insulin perioperatif

Metode yang lebih baik, layak dalam semua prosedur kecuali pendek,
adalah untuk mengelola secara teratur insulin sebagai infus terus menerus.
Keuntungan dari teknik ini lebih tepat kontrol pengiriman insulin daripada
yang bisa dicapai dengan subkutan atau injeksi insulin NPH intramuskular,
terutama dalam kondisi yang terkait dengan perfusi kulit dan otot yang
buruk. Insulin reguler dapat ditambahkan ke salin normal di konsentrasi 1

51
unit / mL dan infus dimulai pada 0,1 unit / kg / jam atau kurang. Sebagai
glukosa darah berfluktuasi, infus insulin dapat disesuaikan ke atas atau ke
bawah wajib. Dedikasi garis intravena pengukur kecil untuk infus dekstrosa
mencegah gangguan dengan cairan dan obat intraoperatif lainnya.
Tambahan dekstrosa dapat diberikan jika pasien menjadi hipoglikemik
(<100 mg / dL). Harus ditekankan bahwa dosis ini adalah perkiraan dan
tidak berlaku untuk pasien dalam keadaan katabolik (misalnya, sepsis,
hipertermia). Dosis yang dibutuhkan dapat diperkirakan dengan rumus
berikut: 4

Target yang wajar untuk pemeliharaan glukosa darah intraoperatif


adalah < 180 mg / dL dan > 85 mg / dL. Ketika memberikan infus insulin
intravena kepada pasien bedah, menambahkan beberapa (misalnya, 20 mEq)
KCl ke setiap liter cairan perawatan, karena insulin menyebabkan
pergeseran kalium intraseluler. Karena insulin individu kebutuhan dapat
bervariasi secara dramatis, formula apa pun harus dianggap hanya mentah
pedoman. Diperlukan pengukuran glukosa berkala.4
Jika pasien menggunakan agen hipoglikemik oral sebelum operasi
daripada insulin, obat dapat dilanjutkan sampai hari operasi. Namun,
sulfonilurea dan metformin memiliki waktu paruh yang panjang dan banyak
dokter akan menghentikan obat tersebut dalam 24 – 48 jam sebelum operasi.
Obat tersebut dapat dimulai pasca operasi ketika pasien melanjutkan asupan
oral. Metformin dimulai kembali jika ginjal dan hati fungsi tetap memadai.
Efek obat hipoglikemik oral dengan singkat durasi kerja dapat diperpanjang
dengan adanya gagal ginjal. Banyak pasien yang dirawat dengan agen
antidiabetik oral akan membutuhkan perawatan insulin selama periode
intraoperatif dan pasca operasi. Stres akibat operasi peningkatan hormon
kontra-regulasi (misalnya, katekolamin, glukokortikoid, hormon
pertumbuhan) dan mediator inflamasi seperti faktor nekrosis tumor dan
interleukin. Masing-masing berkontribusi terhadap stres hiperglikemia,

52
meningkat kebutuhan insulin. Secara umum, pasien diabetes tipe 2
mentolerir prosedur bedah minor yang singkat tanpa memerlukan insulin
eksogen. Namun banyak pasien “nondiabetes” tampaknya menunjukkan
hiperglikemia selama penyakit kritis dan membutuhkan masa terapi insulin.4
Kunci dari setiap rejimen manajemen diabetes adalah memantau level
glukosa plasma. Pasien yang menerima infus insulin intraoperatif mungkin
perlu untuk mengukur kadar glukosa setiap jam. Mereka yang menderita
diabetes tipe 2 bervariasi kemampuan untuk memproduksi dan merespons
insulin. Demikian juga, kebutuhan insulin bervariasi dengan perpanjangan
prosedur bedah. 4

3.4.3 Pasca operasi pada DM


Pemantauan ketat glukosa darah harus dilanjutkan pasca operasi. Ada
variasi antar pasien dalam onset dan durasi kerja insulin persiapan.
Misalnya, timbulnya aksi subkutan insulin reguler kurang dari 1 jam, tetapi
pada pasien yang jarang durasi kerjanya mungkin lanjutkan selama 6 jam.
Insulin NPH biasanya memiliki onset aksi dalam 2 jam, tetapi aksi bisa
bertahan lebih lama dari 24 jam.4

BAB IV
PEMBAHASAN

Seorang pasien, Ny.OS usia 26 tahun dengan diagnosa Selulitis


manus sinistra dan gangren digiti II manus sinistra + DM tipe II. Diagnosis
pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pasien diatas direncanakan menjalani operasi
debridement dengan general anestesi. Berdasarkan pemeriksaan
preoperative diketahui bahwa pasien memiliki riwayat penyakit DM sejak
yang baru diketahui saat masuk rumah sakit, tidak ada riwayat penyakit
saluran pernapasan, riwayat penyakit kardiovaskular, dan tidak ada riwayat
alergi obat/makanan. Pasien dalam keadaan stabil dan didapatkan adanya
gangguan metabolik (hipeglikemia).

53
Sebelum dilakukan tindakan pembedahan pasien di konsulkan ke
bidang anestesi diperoleh hasil pemeriksaan didapatkan pasien dalam
kategori ASA II, dengan malampati I. Sebelum jadwal operasi dilaksanakan,
dipuasakan 6 jam sebelum operasi dan mempersiapkan SIO, diberikan obat
pengontrol gula darah lantus 1 x 10 U.

Pembahasan:
a. Pra Anestesi
Di ketahui bahwa pasien usia 26 tahun mengalami selulitis dan
gangren pada manus sinistra, penatalaksanaan yang dilakukakan adalah
tindakan debridement yang dilakukan pada tanggal 6 Agustus 2019.
Sebelum tindakan pembedahan dilaksanakan, sehari sebelumnya pada
tanggal 5 Agustus 2019 telah dilakukan kunjungan pra anestesi.
Berdasarkan penilaian hasil pemeriksaan preoperative tersebut dan
berdasarkan pemeriksaan status anestesi pasien, pasien digolongkan pada
ASA II sesuai dengan klasifikasi penilaian status fisik menurut The
American Society of Anesthesiologist.

b. Kebutuhan cairan
Pada pasien ini kebutuhan cairan telah dihitung dan didapatkan :
 Jam I : 1/2 (944 ml) + 118 ml + 236 ml = 826 ml
Total kebutuhan cairan selama operasi 30 menit  826 ml
Selama operasi jumlah carian yang diberikan adalah

Input : RL 2 Kolf  1000 ml


Output : Urin = ± 100 cc
Perdarahan = ± 100 cc
 Kebutuhan cairan pada pasien ini sudah tercukupi.

c. Tindakan premedikasi
Lima belas menit sebelum di lakukan induksi anestesi, pasien
diberikan obat ranitidine 50 mg (IV), ondansentron 4 mg (IV), dan
dexketopren 25 mg (IV). Tujuan pemberian ranitidine adalah untuk

54
mengurangi isi cairan lambung sehingga meminimalkan kejadian
pneumositis asam. Ondansteron diberikan untuk mengurangi rasa mual
muntah pasca bedah. Dexketopren merupakan golongan antiinflasi non
steroid diberikan untuk mengurangi histamin release, sehingga dapat
mengurangi alergi pada pasien.

d. Tindakan induksi anestesi


Induksi anestesi adalah tindakan yang bertujuan membuat pasien dari
sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan
pembedahan. Tindakan induksi anestesi dapat dilakukan dengan cara
intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal.
Induksi dengan cara intravena lebih mudah dikerjakan karena pada
pasien yang dilakukan tindakan pembedahan telah terpasang jalur intravena.
Obat induksi yang dibolus disuntikkan dalam kecepatan 30-60 detik. Pada
pasien ini induksi dilakukan secara intravena dengan tiopental 150 mg dan
ketamin 100 mg. Dosis tiopental adalah 3-6 mg/kgBB. Dosis tiopental yang
seharusnya diberikan adalah 177-354 mg. Dosis ketamin adalah 1-2
mg/kgBB. Dosis ketamin yang seharusnya diberikan adalah 59-118 mg.
Dosis ketamin pada pasien ini sudah tepat.
Pasien juga diberikan fentanyl 100 mcg IV. Dosis 1-3µgr/kgBB dapat
diberikan secara intravena (IV). Dosis fentanyl yang seharusnya diberikan
adalah 59-177 mcg. Dosis fentanyl pada pasien ini belum tepat/kurang.
Fentanyl merupakan obat narkotik yang paling banyak digunakan
dalam praktek anestesiologi. Mempunyai potensi 1000 kali lebih kuat
dibanding petidin dan 50-100 kali lebih kuat dari morfin.

e. Rumatan anestesi
Rumatan anestesi (maintenance) dapat dilakukan secara intravena, atau
dengan inhalasi atau campuran intravena inhalasi. Pada pasien ini rumatan
anestesi diberikan secara inhalasi sevoflurans + O2.
Oksigen diberikan untuk mencukupi oksigen jaringan. Sevoflurane
merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih anestesi lebih cepat
dibandingkan isoflurane. Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang

55
menyebabkan aritmia. Setelah pemberian dihentikan, sevoflurane cepat
dikeluarkan oleh tubuh.

f. Pemantauan selama operasi


Selama operasi berlangsung dilakukan pemantauan dan didapatkan
hasil sebagai berikut.
TD
Jam Nadi RR
(mmH
WIB (x/m) (x/mnt)
g)

Pasien masuk ke kamar operasi, dan


09.50
dipindahkan ke meja operasi

Pemasangan monitoring tekanan darah,


09.53 16
nadi, saturasi O2 dan urin bag 119/80 110
dikosongkan.
09.55 Pemasangan IV line, diberikan cairan 120/85 104 20
RL (1 kolf) & obat premedikasi
Pasien mulai dilakukan general anestesi,
Pemberian Analgesia Fentanyl ,
Pemberian sedasi midazolam

09.57 Pemberian induksi IV Tiopental, 110/70 20


88
ketamin

Tes bulu mata,

Bagging

10.00 Operasi di mulai 110/80 70 20

10.00 Rl kolf ke dua 120/90 75 20

10.30 Operasi selesai 115/70 70 20

sevoflurane perlahan dimatikan, gas O2


dinaikkan
Pasien sadar & nafas spontan
10.35 Pelepasan 115/85 72 19
Pelepasan alat monitoring

Pasien dipindahkan ke ruang RR

56
g. Ruang Pemulihan (RR)
Pasien masuk ke ruangan pemulihan pada Jam 10 : 40 WIB dengan
Keadaan Umum cukup, Kesadaran CM, GCS:15 TD: 100/60 mmHg, N:
76x/I, RR: 18 x/I Pernafasan tidak sesak. Selama pemantauan pasien dalam
keadaan stabil. Oksigen selalu diberikan sebelum pasien sadar penuh.
Pasien ini diberi obat tambahan yaitu ketorolac 30 mg, tramadol 100 mg di
dalam RL 500 ml bertujuan sebagai analgetik. Pasien dapat keluar dari RR
apabila sudah mencapai skor Aldrete lebih dari 8. Skoring Alderate pada
pasien ini
Aktifitas :2
Pernafasan :2
Warna Kulit :2
Sirkulasi :2
Kesadaran :2
Jumlah : 10

Selanjutnya pasien dipindahkan ke ruang perawatan bedah dengan


instruksi anestesi diantaranya, observasi keadaan umum, vital sign, dan
perdarahan tiap 15 menit, tirah baring tanpa menggunakan bantal 1x24 jam,
puasa sampai sadar penuh, bising usus (+), terapi selanjutnya disesuaikan
dengan dr. Ivan, Sp.B.

57
BAB IV
KESIMPULAN

Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap


operasi yang melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan
kita mengetahui kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin
timbul sehingga dapat mengantisipasinya.

Dalam kasus ini selama operasi berlangsung, tidak ada hambatan yang
berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di
ruang pemulihan juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius.

Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi


berlangsung dengan baik meskipun ada hal-hal yang perlu mendapat
perhatian.

58
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh.


Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2008
2. Fitzpatrick, Thomas B. Dermatology in General Medicine, seventh
edition. New York: McGrawHill: 2008
3. Vann Marry Ann. Perioperative Management of Ambulatory
Surgical Patient with Diabetes Mellitus. Current Oppinion in
Anaesthesiology. 2009
4. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis anestesiologi.
Edisi Ke-2. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI;
2009.
5. Dahlan MR, Soenarto RF. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta:
Departemen Anestesiologi dan Intensif Care FKUI; 2009.
6. Keat S, et al. Anaesthesia on the move. PT Indeks Jakarta. 2013
7. Soenarto RF, Chandra S. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta:
Departemen Anestesiologi dan Intensive Care Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2012.
8. Brash, P.G., Cullen, B.F., Stoelting, R.K., Cahalan, M.K., Stock,
M.C. Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA :
Lippincott Williams & Wilkins. 2009

59

Anda mungkin juga menyukai