Anda di halaman 1dari 26

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayahnya-Nya kami
dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang berjudul “ Anemia Berat Et Causa Chronic Kidney
Disease dan Gastritis Erosive” ini dengan baik. Laporan Kasus ini disusun dalam rangka
mengikuti Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI) di Rumah Sakit Umum Daerah Patut
Patuh Patju, Gerung periode 1 Desember 2021- 28 Februari 2021.
Dalam penyusunan laporan kasus ini, banyak pihak yang telah membantu dari awal
hingga akhir, baik moral maupun material. Oleh karena itu pada kesempatan ini, kami
mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Yusa, Sp.PD selaku pembimbing laporan kasus.
2. dr. Kadek Sulistya, selaku pendamping peserta PIDI di Rumah Sakit Umum Daerah
Gerung.
3. Teman sejawat dokter internship beserta semua tenaga kesehatan di lingkungan Rumah
Sakit Umum Daerah Gerung.
4. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan laporan kasus ini yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa Laporan Kasus ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena
itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan dalam
rangka penyempurnaannya. Akhirnya penulis mengharapkan semoga Laporan Kasus ini dapat
bermanfaat di bidang ilmu pengetahuan dan kedokteran.

Gerung, Januari 2021


Penulis

1
BAB 1
PENDAHULUAN
Anemia adalah suatu kondisi di mana jumlah sel darah merah atau konsentrasi
hemoglobin di dalam tubuh lebih rendah dari normal. Apabila sel darah merah yang terlalu
sedikit atau abnormal, atau tidak cukup hemoglobin, maka akan terjadi penurunan kapasitas
darah untuk membawa oksigen ke jaringan tubuh. Hal ini menyebabkan gejala seperti kelelahan,
kelemahan, pusing dan sesak napas. Konsentrasi hemoglobin optimal yang dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan fisiologis bervariasi menurut usia, jenis kelamin, ketinggian tempat
tinggal, kebiasaan merokok, dan status kehamilan. Penyebab paling umum dari anemia termasuk
kekurangan nutrisi, terutama kekurangan zat besi, meskipun kekurangan folat, vitamin B12 dan
A juga merupakan penyebab penting; penyakit kronis; hemoglobinopati; dan penyakit menular,
seperti malaria, TBC, HIV dan infeksi parasit1,2

Prevalensi anemia terutama pada penyakit ginjal kronis semakin meningkat seiring
dengan fungsi ginjal yang menurun. Secara global, penyakit ini mempengaruhi sekitar 1,62
miliar orang, atau setara dengan 24,8% dari populasi. Dari tahun 2015 hingga 2017, terdapat 384
kasus penyakit ginjal kronis dan 95 penderita anemia di rumah sakit. Prevalensi kasus ini adalah
24,7% pada kelompok usia 51 - 60 tahun dan merupakan kasus tertinggi. Laki-laki terutama
mendominasi anemia pada CKD. Anemia pada pasien CKD stadium V adalah yang tertinggi,
dan meningkat lebih signifikan seiring dengan memburuknya stadium. 3 Anemia yang terjadi
dapat menurunkan produktivitas kerja pada orang dewasa dan dapat memiliki dampak sosial dan
ekonomi lebih lanjut bagi individu dan keluarga. Anemia merupakan indikator gizi buruk dan
kesehatan yang buruk.1Anemia adalah penyakit yang paling sering muncul pada pasien dengan
penyakit kronis (PGK). Oleh karena tingginya kasus anemia, baik yang disebabkan oleh penyakit
ginjal maupun penyebab lain terutama di indonesia, maka kasus anemia ini menarik untuk
dibahas.

2
BAB II
STATUS PASIEN

2.1. Identitas Pasien


Nama : Tn H
Umur : 40 tahun
Jenias Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Pedagang
Alamat : Perigi, Gerung
Status : Kawin
Tanggal Masuk : 9 Januari 2022
Tanggal Periksa : 9 Januari 2022
No CM : 513871

2.2. Riwayat Penyakit Sekarang


Keluhan utama : Lemas
Pasien datang ke RS Gerung mengeluh tubuhnya terasa lemas sejak sekitar 3 hari
SMRS. Selain itu pasien juga merasa sesak napas sejak 1 hari terakhir dan semakin memberat.
Pasien juga mengeluh nyeri perut hilang timbul di ulu hati sejak 8 bulan yang lalu dan
semakin memberat sekitar 3 hari SMRS. Nyeri perut disertai mual dan muntah yang berisi
makanan dan tidak didapatkan adanya darah, selain itu pasien juga mengeluh BAB berwarna
hitam dengan tekstur lembek sejak sekitar 3 hari terakhir.
Sekitar tiga hari SMRS pasien juga mengeluh pegal-pegal serta pusing. Pasien juga
merasa lutut dan pinggang bagian belakangnya sering sakit hilang timbul sejak kurang lebih 2
tahun yang lalu. Pasien sempat berobat ke puskesmas dan didiagnosis mengalami
peningkatan asam urat dan rutin mengkonsumsi obat pereda nyeri oleh karena peningkatan
asam uratnya sejak 2 tahun yang lalu.

2.3. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat trauma sebelumnya : disangkal

3
Riwayat Darah tinggi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
Riwayat Alergi obat/makanan : disangkal
Riwayat Mondok : disangkal
Riwayat gout atritis : Sejak 2 tahun yang lalu
Riwayat anemia : 8 bulan yang lalu dan sempat mendapatkan transfusi darah

2.4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat Darah tinggi : disangkal
Riwayat DM : disangkal

2.5. Riwayat Kebiasaan dan Gizi


Pasien makan tiga kali sehari dengan sepiring nasi dan lauk pauk berupa sayur, tahu,
tempe, telur, ayam dan kadang-kadang daging sapi. Pasien biasanya minum sekitar 6 gelas air
putih per harinya.
Riwayat minum jamu-jamuan : disangkal
Riwayat Olahraga : jarang

2.6. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien tinggal bersama dengan istri dan anak-anaknya. Sehari-hari pasien bekerja sebagai
pedagang di pasar.

2.7. PEMERIKSAAN FISIK


Status Generalis
Keadaan umum sakit sedang, compos mentis GCS E4V5M6

Tanda Vital
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Nadi : 78x/menit
Respirasi : 20x/menit

4
Suhu : 36,5º C
SPO2 : 89% udara ruangan

Kulit
Warna kecoklatan, pucat (+), ikterik (-), petechie (-), venectasi (-), spider naevi (-), striae (-),
hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-), berkeringat (+).

Kepala
Bentuk kepala mesochepal, kedudukan kepala simetris, luka (-), rambut hitam , tidak mudah
rontok, tidak mudah dicabut, atrofi otot (-).

Mata
Conjunctiva pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung (+/+), pupil isokor
(3mm/3mm), oedem palpebra (-/-), sekret (-/-).

Hidung
Nafas cuping hidung (+), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-).

Telinga
Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-).

Mulut
Bibir kering (+), sianosis (-), lidah kotor (-).

Leher
Simetris, trakea di tengah, JVP tidak meningkat, limfonodi tidak membesar, nyeri tekan (-),
benjolan (-)

Thorax
Retraksi (-)

5
Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus Cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Konfigurasi Jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : Bunyi Jantung I dan II intensitas normal, reguler, Bising (-)

Paru
Inspeksi : statis: simetris
dinamis: pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : paru kanan = kiri
Auskultasi : suara dasar vasikular(+/+), ronki basah kasar(-/-), whezzing(-/-)

Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : Tympani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba

Ektremitas
Oedem Akral dingin
- - - -
- - - -

Pemeriksaan Rectal Toucher: Terdapat feses berwarna hitam, dan tidak ada lender, sfingter
ani kuat, mukosa licin, tidak terdapat benjolan atau massa

2.8. Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium
9 Januari 2022
HB : 1,3 g/dl

6
RBC : 0,88 x 10^6/uL
MCV : 55,7 fl
MCH : 14,9
MCHC : 26,7
WBC : 7,46 x 10^3/uL
HCT : 4,9%
PLT : 376 x 10^3/uL
SGOT : 12,1 U/L
SGPT : 9,4 U/L
BUN : 50 mg/dl
Cr : 3,8 mg/dl
GDS : 126 mg/dl
Dengan BB : 50 kg maka GFR pasien adalah 18,3 ml/min( CKD stage 4)
Endoskopi
Tidak dilakukan
Foto thorax AP

Kesan:
Cardiomegaly dengan tanda-tanda bendungan paru
2.9. ASSESMENT

7
1. Obs Dispnea et causa anemia berat et causa penyakit kronis(CKD) dd perdarahan
2. Melena et causa gastritis erosifa et causa NSAID dd variceal bleeding

2.10. DAFTAR MASALAH


Problem Medis :
1) Dispnea et causa anemia berat et causa penyakit kronis(CKD)
2) Melena et causa gastritis erosif
3) Mual muntah
4) Nyeri ulu hati
5) lemas

2.11. PENATALAKSANAAN
Terapi Medikamentosa
1. Oksigen NK 5 lpm
2. Infus Nacl 0,9% 28 tpm
3. Inj. Ceftriakson 1 gram/12 jam
4. Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam
5. Drip esola 40 mg dalam Nacl 0.9% 100 cc/12 jam
6. Inj ondansentron 4 mg/8 jam
7. Inj dexametason 5 mg/8 jam
8. Sucraflat 4x 2 cth (1 gr) mg PO
9. Pro transfusi PRC bertahap 6 kolf sampi Hb > 10 g/dl

2.12. PLANNING
Planning Edukasi :
1. Penjelasan tentang penyakit dan komplikasi yang terjadi
2. Penjelasan tentang terapi dan tindakan-tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien
Planning Monitoring:
1. Evaluasi hasil terapi medikamentosa

8
2.13. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad Malam
Ad sanam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia

2.14. Follow up
Tanggal Subjektif Objektif Pemeriksaa Assesment Planning
n
9/01/22 Lemas, sesak, Kesadaran HB : 1,3 1. Obs Dispnea Transfusi
compos mentis
nyeri ulu hati, et anemia berat PRC 1
KU sakit sedang
mual muntah, GCS E4V5M6 et causa kolf/12 jam
Td : 110/80
BAB hitam penyakit Terapi lain
hr : 89x/m
Rr : 22x/m kronis(CKD) lanjut
Spo2: 98 %
dd perdarahan
T : 36,6
K/L an +/+, ikt -/- 2. Melena et
Thorax : simetris,
causa gastritis
barrel chest -,
retraksis sela iga -, erosifa et causa
Cor : s1 s2 reguler,
NSAID dd
murmur -, gallop –
Pulmo : snv +/+, variceal
rhonki -/-,
bleeding
wheezing -/-
Abdomen : supel,
bu +normal, NT-+
Ekstremitas :
akrang hangat

12/01/22 Lemas, sesak Kesadaran - 1. Obs Dispnea terapi lanjut


compos mentis
berkurang, et anemia berat
KU sakit sedang
nyeri ulu hati GCS E4V5M6 et causa
Td : 112/60
berkurang, penyakit
hr : 84x/m
mual muntah, Rr : 20x/m kronis(CKD)
Spo2: 98 %
BAB hitam dd perdarahan
T : 36,6
K/L an +/+, ikt -/- 2.Melena et

9
Thorax : simetris, causa gastritis
barrel chest -,
erosifa et causa
retraksis sela iga -,
Cor : s1 s2 reguler, NSAID dd
murmur -, gallop –
variceal
Pulmo : snv +/+,
rhonki -/-, bleeding
wheezing -/-
Abdomen : supel,
bu +normal, NT+
Ekstremitas :
akrang hangat

13/08/21 Lemas, nyeri Kesadaran 1. Obs Dispnea Esola stop


compos mentis
ulu hati, mual et anemia berat - Drip
KU sakit sedang
muntah, BAB GCS E4V5M6 et causa omeprazol
Td : 110/80
hitam penyakit dalam 200 cc
hr : 80x/m
Rr : 20x/m kronis(CKD) Nacl tiap
Spo2: 98 %
dd perdarahan ganti cairan
T : 36,9
K/L an +/+, ikt -/- 2. Melena et - Terapi lain
Thorax : simetris,
causa gastritis lanjut
barrel chest -,
retraksis sela iga -, erosifa et causa
Cor : s1 s2 reguler,
NSAID dd
murmur -, gallop –
Pulmo : snv +/+, variceal
rhonki -/-,
bleeding
wheezing -/-
Abdomen : supel,
bu +normal, NT-+
Ekstremitas :
akrang hangat

14/01/22 nyeri ulu hati, Kesadaran 1. Obs Dispnea Terapi lanjut


compos mentis
mual BAB et anemia berat
KU sakit sedang
hitam GCS E4V5M6 et causa
Td : 110/80
penyakit
hr : 89x/m
Rr : 28x/m kronis(CKD)
Spo2: 98 %

10
T : 36,6 dd perdarahan
K/L an +/+, ikt -/-
2. Melena et
Thorax : simetris,
barrel chest -, causa gastritis
retraksis sela iga -,
erosifa et causa
Cor : s1 s2 reguler,
murmur -, gallop – NSAID dd
Pulmo : snv +/+,
variceal
rhonki -/-,
wheezing -/- bleeding
Abdomen : supel,
bu +normal, NT-+
Ekstremitas :
akrang hangat

15/01/22 nyeri ulu hati, Kesadaran HB : 12,1 1. Obs Dispnea BPL


compos mentis
BAB hitam g/dl et anemia berat
KU sakit sedang
GCS E4V5M6 RBC : 4,92 et causa
Td : 110/80
x 10^6/uL penyakit
hr : 89x/m
Rr : 28x/m MCV : 75,8 kronis(CKD)
Spo2: 98 %
fl dd perdarahan
T : 36,6
K/L an +/+, ikt -/- MCH : 24,6 2. Melena et
Thorax : simetris,
MCHC : causa gastritis
barrel chest -,
retraksis sela iga -, 32,4 erosifa et causa
Cor : s1 s2 reguler,
WBC : 9,35 NSAID dd
murmur -, gallop –
Pulmo : snv +/+, x 10^3/uL variceal
rhonki -/-,
HCT : bleeding
wheezing -/-
Abdomen : supel, 37,3%
bu +normal, NT-+
PLT : 236 x
Ekstremitas :
akrang hangat 10^3/uL

BAB III

11
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anemia penyakit kronis
A. Definisi1 1,4
Anemia adalah suatu kondisi di mana jumlah sel darah merah atau konsentrasi
hemoglobin di dalam tubuh lebih rendah dari normal. Apabila sel darah merah yang terlalu
sedikit atau abnormal, atau tidak cukup hemoglobin, maka akan terjadi penurunan kapasitas
darah untuk membawa oksigen ke jaringan tubuh. Hal ini menyebabkan gejala seperti kelelahan,
kelemahan, pusing dan sesak napas. Anemia penyakit kronis (APK) merupakan anemia dengan
prevalensi tersering kedua setelah anemia defisiensi besi. Anemia jenis ini dapat terjadi pada
semua usia, terutama mereka yang memiliki penyakit kronis. APK dapat terjadi dalam beberapa
derajat yaitu ringan, sedang, dan berat. Penyebab utama APK belum diketahui dengan pasti.
B. Etiologi4

Tabel 1. Penyebab Anemia Penyakit Kronis

C. Patofisiologi4
APK disebabkan oleh terganggunya fungsi sel darah merah akibat ketidakmampuan
penggunaan besi dengan efisien. Selain itu, tubuh juga tidak mampu merespon eritropoietin
(EPO) secara normal. EPO adalah hormon yang disekresikan oleh ginjal untuk menstimulasi
pembentukkan sel darah merah oleh sumsum tulang. Seiring berjalannya waktu, kejadian ini

12
menyebabkan jumlah sel darah merah lebih rendah dari nilai normalnya.
Respon sistem imun dalam tubuh terhadap infeksi/inflamasi adalah mengeluarkan
sitokin. Sitokin membantu memulihkan tubuh dan memberikan pertahanan melawan infeksi.
Sitokin yang dihasilkan dari proses infeksi/inflamasi tersebut memicu terjadinya perubahan pola
distribusi besi. Namun, sitokin juga dapat mengganggu kemampuan penyerapan dan penggunaan
besi oleh sel darah merah. Inflmamatory Bowel Disease (IBD), termasuk penyakit Chron, juga
dapat menyebabkan hipoferemia karena gangguan penyerapan besi dan perdarahan pada saluran
cerna.
Disregulasi Homeostasis Besi
Saat proses awal inflamasi, terjadi induksi fase akut oleh makrofag sehingga melepaskan
sitokin inflamasi berupa TNF-α, IL-1, IL- 6 dan IL-8.5 IL-1 menyebabkan absorbsi besi
berkurang karena menekan eritropoiesis. Selain itu, IL-1 juga berfungsi mengaktifkan sel
monosit dan makrofag yang meningkatkan ambilan serum besi. Adanya TNF-α yang juga berasal
dari makrofag yang memberikan dampak sama yaitu menekan eritropoiesis melalui
penghambatan eritropoietin. IL-6 menyebabkan hipoferemia dengan menghambat pembebasan
cadangan besi jaringan ke dalam darah dan memicu pengeluaran hepsidin pada hati yang
menghambat penyerapan besi di duodenum.

Pemendekan Masa Hidup Eritrosit


Pemendekan masa hidup eritrosit terjadi karena aktivasi makrofag yang memfagositosis
eritrosit lebih dini. Sitokin berlebih pada anemia penyakit kronis menyebabkan sekuestrasi
makrofag, peningkatan fagositosis makrofag, dan filter limpa menjadi kurang toleran terhadap
kerusakan minor eritrosit. Hal ini ditandai dengan ditemukannya retikulosit dalam jumlah besar.
Keterlibatan faktor ekstrinsik seperti toksin bakteri dan agen farmakologi belum diketahui.

Gangguan Proliferasi Sel Progenitor Eritroid


Kegagalan proliferasi sel progenitor eritroid terutama diakibatkan oleh efek inhibisi
Interferon-γ (IFN-γ). IFN-γ berhubungan langsung dengan beratnya anemia. Kadar TNF-α yang
dihasilkan oleh makrofag aktif akan menekan eritropoiesis pada pembentukan Burst Forming
Unit-Erythroid (BFU-E) dan Colony Forming Unit - Erythroid (CFU-E). IL-1 akan menekan
CFU-E pada kultur sumsum tulang manusia. Selain itu, sitokin seperti Nitric Oxide (NO) yang

13
diproduksi oleh makrofag bersifat toksik terhadap sel progenitor

Gangguan Respon Eritropoietin


Resistensi respon eritropoietin sering dijumpai pada pasien dengan kadar eritropoietin
yang tinggi dan pada kadar hemoglobin yang rendah. Penurunan produksi eritropoietin
disebabkan oleh efek inhibisi sitokin inflamasi seperti TNF-α dan IL-1 yang diperantarai oleh
GATA-1 pada promoter eritropoietin.9 Eritropoetin memiliki peran tidak langsung terhadap
homeostasis besi. Penelitian menunjukkan bahwa Hypoxia Inducable Factor (HIF) - 1α, suatu
faktor transkripsi heterodimer yang juga memperantarai tingkat ekspresi eritropoietin,
berkontribusi menghambat produksi hepsidin. HIF-1α diduga menekan ekspresi hepsidin secara
tidak langsung dengan menurunkan induksi hepsidin termediasi Bone Morphogenetic Protein
(BMP) dan/atau induksi hepsidin termediasi hemokromatosis (HFE)/ Transferrin Receptor 2
(TFR2)
Gangguan Respon Eritropoietin
Resistensi respon eritropoietin sering dijumpai pada pasien dengan kadar eritropoietin
yang tinggi dan pada kadar hemoglobin yang rendah. Penurunan produksi eritropoietin
disebabkan oleh efek inhibisi sitokin inflamasi seperti TNF-α dan IL-1 yang diperantarai oleh
GATA-1. pada promoter eritropoietin.9 Eritropoetin memiliki peran tidak langsung terhadap
homeostasis besi. Penelitian menunjukkan bahwa Hypoxia Inducable Factor (HIF) - 1α, suatu
faktor transkripsi heterodimer yang juga memperantarai tingkat ekspresi eritropoietin,
berkontribusi menghambat produksi hepsidin. HIF-1α diduga menekan ekspresi hepsidin secara
tidak langsung dengan menurunkan induksi hepsidin termediasi Bone Morphogenetic Protein
(BMP) dan/atau induksi hepsidin termediasi hemokromatosis (HFE)/ Transferrin Receptor 2
(TFR2)

14
Gambar 1. Mekanisme Anemia pada penyakit ginjal kronis5

Gambar 2. Proses Eritropoesis6

15
D. Diagnosis

Tabel 2. Perbandingan Data Laboratorium Anemia Peyakit Kronis dan Anemia Defisiensi Besi
1. Serum besi dan saturasi transferrin
Konsentrasi serum besi dan saturasi transferrin yang menurun menunjukkan defisiensi
besi absolut pada anemia defisiensi besi sedangkan hipoferemia karena retensi pada sistem
retikuloendotelial ditemukan pada anemia defisiensi besi relatif. Pada anemia penyakit kronis,
penurunan saturasi transferrin disebabkan karena penurunan serum besi sedangkan pada anemia
defisiensi besi disebabkan karena konsentrasi transporter transferrin meningkat.
2. Pengukuran kadar besi sumsum tulang
Pemeriksaan cadangan besi sumsum tulang merupakan standar baku untuk membedakan
anemia defisiensi besi dengan anemia penyakit kronis. Pada anemia defisiensi besi, cadangan
besi akan sangat berkurang berbeda dengan anemia penyakit kronis yang meningkat. Teknik
pemeriksaan ini jarang dilakukan dalam praktek sehari-hari karena bersifat invasif.
3. Feritin
Feritin merupakan cadangan besi pada jaringan. Pemeriksaaan kadar serum ferritin rutin
dilakukan untuk menentukan diagnosis defisiensi besi karena pemeriksaan ini merupakan
indikator paling dini pada keadaan bila cadangan besi menurun. Akan tetapi, pada keadaan
inflamasi atau infeksi, kadarnya dapat meningkat sehingga dapat menggangu interpretasi
keadaan sesungguhnya.
4. Reseptor transferrin
Reseptor ini diekspresikan pada permukaan sel yang memerlukan besi dan bertindak
sebagai molekul pembawa besi. Reseptor ini merupakan parameter untuk mengukur kegiatan

16
eritropoiesis.
5. Indeks sTfR-F(LogFeritin/ReseptorTransferin)
Ferritin menggambarkan cadangan besi dalam jaringan sedangkan reseptor transferring
menggambarkan bagian fungsional besi. Perhitungan rasio kadar feritin dan reseptor transferin
yang dihitung dengan menggunakan indeks Soluble transferrin receptor-ferritin (sTfR-F)
dapat dipertimbangkan sebagai salah satu metode untuk membedakan anemia defisiensi besi dan
anemia penyakit kronis.18 Penelitian menunjukkan perbedaan bermakna dan peningkatan
sensitivitas dan spesivitas dalam diagnosis defisiensi zat besi. Nilai rujukan rata-rata untuk
indeks sTfR-F adalah 0,5–1,2 mg/dL untuk laki-laki dan 0,5–1,8 mg/dLuntuk perempuan.20
6. Eritropoietin
Pengukuran level eritropoietin hanya berguna untuk pasien anemia dengan level
hemoglobin <10g/dL. Pengukuran level eritropoietin ini digunakan untuk mengetahui respon
dari tata laksana anemia menggunakan agen eritropoietin

Gambar 3. Algoritma Diagnosis Anemia7

17
E. Tatalaksana
Penanganan awal dari anemia penyakit kronis hanya bertujuan untuk meningkatkan kadar
hemoglobin melalui transfusi darah atau pemberian zat besi. Terapi transfusi diberikan untuk
intervensi yang cepat dan efektif, terutama pada anemia yang mengancam jiwa (Hb <6,5 g/dL).
Tidak ada batasan kadar hemoglobin yang pasti sebagai indikasi pemberian transfusi tetapi
sebaiknya kadar hemoglobin pasien dipertahankan pada 10-11 g/ dL. Walaupun transfusi dapat
meningkatkan angka kelangsungan hidup, transfusi juga dapat meningkatkan risiko kegagalan
multi-organ dan angka mortalitas pada pasien kritis.
Terapi Zat Besi
Pemberian terapi zat besi pada anemia penyakit kronis hanya diberikan apabila terdapat
defisiensi zat besi. Defisiensi besi pada anemia penyakit kronis diberikan suplementasi besi baik
secara tunggal atau kombinasi dengan agen stimulasi eritropoietin. Walaupun pemberian tablet
besi secara oral mudah diaplikasikan dan biaya yang dibutuhkan sedikit, tetapi efektifitasnya
menurun karena hepsidin membatasi penyerapan besi pada saluran cerna. Oleh karena itu,
pemberian besi secara intravena jauh lebih efektif.
Eritropoietin
Selain untuk menghindarkan pasien dari transfusi serta efek sampingnya, pemberian
eritropoietin juga mempunyai keuntungan berupa efek anti-inflamasi dengan cara menekan
produksi dari TNF-α dan interferon-γ. Pemberian eritropoietin dikhususkan pada anemia
penyakit kronis dengan penyakit gagal ginjal kronis yaitu pemberian eritropoietin alfa.

3.2 Gastritis Erosive


1) Definisi dan etiologi
Gastritis adalah inflamasi yang terjadi pada lapisan mukosa dan submukosa lambung.
Secara histopatologi bisa ditemukan infiltrasi sel-sel radang pada lapisan tersebut. Gastritis
disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor penyebab iritasi lambung atau disebut juga
faktor agresif yaitu HCl, pepsin, dan faktor pertahanan lambung dengan faktor defensif seperti
mukus bikarbonat. Hal yang menyebabkan ketidakseimbangan antara faktor agresif- defensif
tersebut salah satunya karena penggunaan golongan obat anti inflamasi non-steroid (OAINS).
Obat tersebut merupakan golongan obat yang dipakai untuk mengobati reumatoid artritis,
osteoartritis, dan meredakan nyeri. Obat anti inflamasi non-steroid tersebut dapat merusak

18
mukosa lambung melalui 2 mekanisme utama yaitu topikal dan sistemik. Kerusakan mukosa
secara topikal disebabkan oleh karena obat anti inflamasi non steroid bersifat lipofilik dan asam,
oleh karena itu mempermudah trapping ion hidrogen masuk mukosa dan menyebabkan
terbentuknya ulser. Efek sistemik obat anti inflamasi non steroid lebih penting, karena kerusakan
mukosa lambung disebabkan oleh produksi prostaglandin yang menurun. Prostaglandin
bertanggung jawab untuk pemeliharaan mekanisme pelindung mukosa lambung dari cedera yang
disebabkan oleh asam klorida. Prostaglandin khususnya prostaglandin E adalah substansi
sitoproteksi yang sangat penting untuk mukosa lambung. Penurunan produksi prostaglandin E
mengakibatkan terbentuknya lesi akut mukosa lambungdengan bentuk ringan hingga berat.8
2) Patofisiologi
Patofisiologi gastropati OAINS terjadi melalui 2 mekanisme yaitu topikal dan sistemik
 Topikal : Karena OAINS bersifat asam dan lipofiik sehingga mempermudah trapping ion
hidrogen masuk mukosa dan menyebabkan kerusakan.
 Sistemik : Kerusakan mukosa akibat produksi prostaglandin menurun yang berfungsi
menjaga aliran darah mukosa, meningkatkan sekresi mukosa dan ion bikarbonat serta
meningkatkan epithelial defense. Aliran darah yang menurun menimbulkan adhesi
netrolit pada endotel pembuluh drah dan mukosa sehingga memacu lebih jauh proses
imunologis. Radikal bebas dan protease yang dilepaskan akibat proses imunologis akan
merusak mukosa lambung.9

Gambar 4. Toksisitas dari NSAID10

19
3) Diagnosis

Diagnosis gastritis didasarkan pada pemeriksaan histopatologi jaringan biopsi lambung.


Sementara riwayat medis dan tes laboratorium sangat membantu, endoskopi dan biopsi adalah
standar emas dalam membuat diagnosis, mengidentifikasi distribusi, tingkat keparahan, dan
penyebabnya.11

a. Endoskopi : Kongesti mukosa, erosi-erosi kecil kadang disertai perdarahan kecil-kecil,


lesi seperti ini dapat sembuh sendiri. Lesi yang lebih berat dapat ditemukan erosi dan
tukak multiple, perdarahan luas dan perforasi sal, cerna.
b. Histopatologi: gambaran tidak khas. Regenerasi epitelial, hiperplasia foveolar, edema
lamina propria dan ekspansi serabut otot polos ke arah mukosa. Ekspansi abnormal bila
sudah mencapai sekitar 1/3 bagian atas.
4) Tatalaksana

Gambar 5. Guideline evaluasi dan terapi pasien dengan dispepsia atau ulkus12

20
Antagonis reseptor H2 ( ARH2 )

PPI : terutama bila pasien tidak mungkin menghentikan penggunaan OAINS

Usaha yang diperlukan untuk menghilangkan faktor agresif pada perdarahan SCBA karena
kelainan non varises antara lain :
a) Memperbaiki/menghindari faktor predisposisi atau risiko seperti gizi, stres, lingkungan,
sosioekonomi.
b) Menghindari/menghentikan paparan bahan atau zat yang agresif seperti asam, cuka, OAINS,
rokok, kortikosteroid dan lainnya.
c) Memberikan obat yang dapat mengurangi asam lambung seperti antasida, antimuskarinik,
penghambat reseptor H2 (H2RA), penghambat pompa proton (PPI). PPI diberikan per injeksi
bolus intra vena 2-3 kali 40 mg/hari atau bolus intra vena 80 mg dilanjutkan kontinu infus
drip 8 mg/jam selama 12 jam kemudian intra vena 4 mg/jam sampai 5 hari atau sampai
perdarahan berhenti lalu diganti oral 1-2 bulan. Alasan mengapa PPI diindikasikan pada
perdarahan non varises, karena PPI dapat menaikkan pH diatas 6 sehingga menyebabkan
bekuan darah yang terbentuk tetap stabil, tidak lisis.
Beberapa penatalaksanaan yang dapat dilakukan antara lain adalah:
1. Non-Medikamentosa
Lifestyle remodeling, berhenti merokok, hentikan pemakaian NSAIDs, dan pengaturan diet.
2. Medikamentosa
Tipe Obat Contoh Dosis
Menekan sekresi asam
Antasid Mylanta, Maalox, Tums, 100-140 mEq/L, 1 dan 3
Gaviscon jam setelah makan dan
sebelum tidur
Antahonis reseptor H2 Cimetidine 400 mg 2xsehari
Ranitidine 300 mg sebelum tidur
Famotidine 40 mg sebelum tidur
Nizatidine 300 mg sebelum tidur
Proton Pump Inhibitors Omeprazole 20 mg/hari
Lansoprazole 30 mg/hari

21
Rabeprazole 20 mg/hari
Pantoprazole 40 mg/ hari
Esomeprazole 20 mg/ hari
Melindungi mukosa
Sucralfate Sucralfate 1 g 4x sehari
Analog prostaglandin Misoprostol 200 μg 4x sehari
Bismuth Bismuth subsalicylate 2 tablet 4x sehari
(BSS)

22
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada anamnesis pasien mengeluhkan BAB kehitaman, nyeri ulu hati, dan riwayat
mengkonsumsi obat arthritis gout yaitu sejak 2 tahun terakhir. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan konjungtiva anemis dan terdapat nyeri tekan epigastrium. Pemeriksaan Rectal
Toucher: terdapat feses berwarna hitam, dan tidak ada lender, sfingter ani kuat, mukosa licin,
tidak terdapat benjolan atau massa. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan nilai Hb 1,3
gr/dl, Ht 4,9%, Trombosit 376.000/uL, Leukosit 7.460/uL. Faal hati SGOT 12,1 U/L, SGPT 9,4
U/L, fungsi ginjal ureum 50mg/dL, creatinin 3,8 mg/dL, dan gula darah sewaktu 126 mg/dL ,
dengan BB : 50 kg maka GFR pasien adalah 18,3 ml/min( CKD stage 4) Serta tidak ditemukan
gejala dan tanda yang mengarah kepada penyakit hati kronis (ikterus, spider nevi, ascites,
splenomegali, eritema palmaris, edema tungkai). Oleh karena itu pasien di diagnosis dengan
anemia. Pada kasus ini terdapat dua hal yang bisa menyebabkan anemia pada pasien yaitu
karena penyakit ginjal kronis, yang bisa kita nilai dari nilai GFR yang menunjukkan pasien
mengalami penyakit ginjal kronis stage 4 serta penyakit gastritis erosive yang belum bisa kita
singkirkan sebagai penyebab anemia pada pasien karena pada pasien terdapat gejala melena dan
riwayat mengkonsumsi obat gout atritis selama sekitar 2 tahun sehingga mengarahkan kita pada
diagnosis adanya gastritis erosive oleh karena penggunaan obat NSAID jangka panjang.
CKD (chronic kidney disease ) biasanya selalu disertai dengan kejadian anemia. Anemia
pada penyakit ginjal kronik bisa diakibatkan oleh banyak faktor. Meskipun demikian kejadian
anemia pada penyakit ginjal kronik tidak sepenuhnya berkaitan dengan penyakit ginjal yang
dialami pasien, adanya defisiensi zat besi ataupun kelainan pada eritrosit perlu disingkirkan
untuk menegakkan diagnosis anemia pada penyakit ginjal kronis.
Anemia yang terjadi pada pasien ini kemungkinan berkaitan dengan penyakit ginjal dan
juga penyakit tukak pada gasternya. Pasien tidak memiliki riwayat kelainan eritrosit, namun
anemia karena defisiensi zat besi belum bisa disingkirkan karena pada pasien ini belum
dilakukan pemeriksaan status besi. Anemia karena perdarahan oleh karena gastritis erosive juga
belum bisa disingkirkan karena pasien belum dilakukan pemeriksaan endoskopi . Pasien
memiliki riwayat mengkonsumsi obat NSAID jangka panjang dan mengeluh BAB hitam yang
mengarah pada perdarahan saluran cerna bagian atas yang bisa menyebabkan pasien mengalami
anemia.

23
Anemia pada pasien dengan penyakit ginjal kronis umumnya disebabkan oleh
kurangnya produksi dari eritropoetin (EPO) yang disebabkan oleh penyakit ginjalnya. Faktor
tambahan lainnya yang dapat mempermudah munculnya anemia diantaranya adalah karena
defisiensi zat besi, inflamasi akut ataupun kronik, inhibisi pada sumsum tulang dan pendeknya
masa hidup eritrosit.
Tujuan penatalaksanaan anemia pada penyakit ginjal kronis yaitu tercapainya target Hb
> 10 g/dL dan Ht > 30 %. Target Hb tersebut dapat dicapai dengan cara pengelolaan konservatif
ataupun dengan terapi eritropoetin (EPO). Jika pada terapi konservatif target Hb tidak tercapai
maka dilanjutkan dengan terapi EPO. Pada pasien ini terdapat riwayat dirawat di rumah sakit
karena keluhan lemah badan dan pucat. Hal ini menandakan bahwa anemia pada pasien sudah
terjadi berulang, dan kemungkinan besar disebabkan oleh karena penyakit yang bersifat kronis
seperti penyakit ginjal kronis. Pada pasien ini hanya dilakukan terapi konservatif yaitu hanya
dengan pemberian transfusi darah 5-6 kolf dan target hb>10 g/dl bisa tercapai. Oleh karena itu
pada pasien ini tidak dilakukan pemberian terapi eritropoietin.
Melena yaitu keadaan dimana BAB seseorang berwarna hitam yang disebabkan oleh
perdarahan yang berasal dari saluran cerna bagian atas. Saluran cerna bagian atas yang
dimaksud antara lain yaitu saluran cerna di atas ligamentum treitz, seperti dari jejunum
proksimal, duodenum, gaster, dan esophagus. Perdarahan saluran cerna atas perlu dibedakan
dengan perdarahan yang disebabkan oleh varises esofagus dan non-varises dikarenakan
perbedaan tatalaksana dan prognosis
Pasien pada kasus ini di diagnosis melena berdasarkan data anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Pada anamnesis pasien mengeluhkan BAB kehitaman, nyeri ulu hati, dan riwayat
mengkonsumsi obat arthritis gout yaitu sejak 2 tahun terakhir. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan konjungtiva anemis dan terdapat nyeri tekan epigastrium. Pemeriksaan Rectal
Toucher: terdapat feses berwarna hitam, dan tidak ada lender, sfingter ani kuat, mukosa licin,
tidak terdapat benjolan atau massa.
Ada beberapa penyebab tersering perdarahan pada saluran cerna, yaitu ulkus peptikum,
gastritis erosif, varises esofagus, dan ruptur mukosa esofagogastrika. Pasien didiagnosis dengan
melena et causa gastritis erosive karena adanya gejala feses berwarna hitam serta pasien
mengeluh nyeri ulu hati dan adanya riwayat mengkonsumsi obat golongan NSAID dalam jangka
panjang.

24
Penderita ditatalaksana secara nonmedikamentosa dan medikamentosa. Penatalaksanaan
non medikamentosa antara lain bed rest, puasa hingga perdarahan berhenti, dan diet cair. Pada
pasien diberikan terapi medikamentosa seperti omeprazol, ranitidin, sukralfat serta transfusi
sampai dengan kadar Hb 10 mg/dl. Dilakukan pemantauan Hb.

25
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO. Anemia. 2021. https://www.who.int/health-topics/anaemia#tab=tab_1
2. Suyatno FE, Rotty LWA, Moeis ES. Gambaran Anemia Defisiensi Besi pada Pasien Penyakit
Ginjal Kronik Stadium V yang Menjalani Hemodialisis di Instalasi Tindakan Hemodialisis
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Jurnal e-Clinic (eCl), 2016, Volume 4, Nomor 1.
146-151.
3. Gunaseelan R, Surudarma IW, Wihandani DM dan Sutadarma IWG. Prevalence of Anemia
on Chronic Kidney Disease and ts Influenced Factors in Sanglah General Hospital 2015-2017,
Bali. Intisari Sains Medis, 2020, 11(1): 248-252.
4. Hadianto JN, Gracia M, cahyadi A, dan Steffanus M. Anemia Penyakit Kronis. J indon Med
Assoc, 2018,68(10).Pp: 443-450.
5. Jodie L, Babitt dan Lin HY. Mechanism of Anemia in CKD. JASN October
2012, 23 (10) 1631-1634
6. Nakhoul G, dan Simon JF. Anemia of chronic kidney disease: Treat it, but not too aggressively.
Cleveland Clinic Journal of Medicine August 2016, 83 (8) 613-624
7. BMJ. Evaluation of anemia. 2021. https://bestpractice.bmj.com/topics/en-us/93/diagnosis-
approach
8. Amrullah, FM dan Utami N. Hubungan Konsumsi OAINS terhadap Gastritis. Majority, 2016,
5(5), PP. 18-21
9. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu
penyakit dalam jilid I. VI. Jakarta: InternaPublishing; 2014:
10. McCarthy, DM. Comparative Toxicity of Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs. The
American Journal of Medicine, 1999, vol 107. Pp 37-46
11. Azer, SA dan Akhondi H. Gastritis. 2021.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK544250/
12. Kumar A, Ashwlayan V, Verma M. Diagnostic approach & pharmacological treatment
regimen of Peptic Ulcer Disease. Phar Pharm Res Open Acc J. (2019);1(1):1‒12

26

Anda mungkin juga menyukai