Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

STASE IKAKOM 2

RSIJ CEMPAKA PUTIH

DISUSUN OLEH

LUCKY MIFTAH SAVIRO

2007730076

PEMBIMBING

dr. Tri Murti

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2012
BAB I
IDENTITAS PASIEN

Identitas Pasien
Nama Pasien : Nn. M
Usia : 21 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Setiabudi
Tanggal Berobat : 22 Oktober 2012
Pekerjaan : Mahasiswi

ANAMNESIS
Keluhan Utama
Muntah-muntah sejak 6 jam sebelum dating ke puskesmas

Keluhan Tambahan
Nyeri ulu hati
Mual
BAB cair

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien mengeluh muntah sebanyak 3x, berisi cairan dan makanan. Satu hari sebelumnya pasien
makan nasi goring dan minum air putih. Tiga jam sebelum ke puskesmas pasien mengeluh nyeri
ulu hati yang terus menerus, terasa perih, menjalar ke sebelah kanan dan kiri. Pasien juga
mengeluh BAB cair setelah nyeri ulu hati sebanyak 2x, konsistensi cair, ampas (+), warna
kecoklatan, darah (-), lendir (-). Keluhan belum pernah diobati, pasien sedang tidak
mengkonsumsi obat-obatan tertentu.

Riwayat Penyakit Dahulu:


-

2
Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat darah tinggi OS tidak tahu, Riwayat kencing manis disangkal, Riwayat asma disangkal

Riwayat Pengobatan :
OS sedang tidak mengkonsumsi obat-obatan tertentu dalam jangka waktu yang lama

Riwayat Alergi :
Alergi obat dan makanan diangkal

Riwayat Psikososial :
-

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : OS tampak sakit ringan
Kesadaran : Composmentis
Tanda-Tanda Vital
- Suhu : 36,5°C
- TD : 110/70 mmHg
- Nadi : 72x/menit
- RR : 20x/menit

Status Generalis
- Kepala : Normochepal
- Rambut : Hitam, tidak rontok
- Alis : Hitam, tidak rontok
- Mata : Mata tidak cekung
Konjungtiva tidak anemis
Sklera tidak ikterik
- Hidung : Normotia, deviasi septum (-), sekret (-)
- Telinga : Normotia, serumen (-)/(-)

3
- Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-), stomatitis (-),
lidah kotor (-), tonsil = T1-T1, faring hiperemis (-)
- Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar Tiroid (-)
- Dada
o Paru:
 Auskultasi : Vesikuler di kedua lapang paru, ronkhi (-)/(-), wheezing
(-)/(-)
o Jantung
 Auskultasi : Bunyi Jantung I & II murni, mur-mur (-), gallop (-)

- Abdomen
 Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (+)
 Auskultasi : Bising usus (+) meningkat

- Ekstremitas inferior
 Akral : Hangat
 RCT : < 2 detik

RESUME
Perempuan 22 tahun berobat ke poli umum puskesmas kecamatan Setiabudi dengan keluhan
muntah-muntah sejak 6 jam yang lalu. Nyeri ulu hati (+), terus menerus, menjalar ke kanan dan
kiri. BAB cair 2x. konsistensi cair, ampas (+), warna kecoklatan, darah (-), lendir (-). Pada
pemeriksaan fisik ditemukan nyeri tekan ulu hati dan hiperperistaltik usus pada auskultasi.

DAFTAR MASALAH
1. Diare
2. Vomitus

ASSESSMENT
1. Diare non-infektif tanpa dehidrasi

4
 Dasar Dx : Vomitus (+), diare (+), mukus (-), darah (-). Dari pemfis didapatkan
suhu 36,5°C. nadi 72x/menit, nyeri tekan epigastrium, hiperperistaltik
usus, akral hangat, RCT< 2 detik.
 Rencana Dx : Cek profil lipid.
 WD : ACS NSTEMI/Unstable Angina
 DD : (-)
 Rencana Th/ : Morfin sulfat 2,5 – 15 mg bolus IV
Oksigen Kanul 4 L
Nitrogliserin sublingual 2,5 5 mg, ulangi tiap 5-10 menit, jangan lebih
dari 3x pemberian dalam interval 15-30 menit.
Aspirin dosis awal 160-325 mg. Maintenance 75-80 mg/hari.

PROGNOSIS
 Quo ad vitam : Dubia et malam
 Quo ad functionam : Dubia et malam

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pendahuluan
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah
cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 g atau
200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu buang air besar encer lebih
dari 3 kali per hari. Buang air besar encer tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah. 1,2
Diare akut adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan berlangsung kurang dari
14 hari, sedang diare kronik yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari. Diare
dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Dari penyebab diare yang terbanyak
adalah diare infeksi. Diare infeksi dapat disebabkan Virus, Bakteri, dan Parasit.3
Diare akut sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan, tidak saja di
negara berkembang tetapi juga di negara maju. Penyakit diare masih sering
menimbulkan KLB (Kejadian Luar Biasa) dengan penderita yang banyak dalam waktu
yang singkat.4,5
Di negara maju walaupun sudah terjadi perbaikan kesehatan dan ekonomi
masyarakat tetapi insiden diare infeksi tetap tinggi dan masih menjadi masalah kesehatan.
Di Inggris 1 dari 5 orang menderita diare infeksi setiap tahunnya dan 1 dari 6 orang pasien
yang berobat ke praktek umum menderita diare infeksi. Tingginya kejadian diare di negara
Barat ini oleh karena foodborne infections dan waterborne infections yang disebabkan
bakteri Salmonella spp, Campylobacter jejuni, Stafilococcus aureus, Bacillus cereus,
Clostridium perfringens dan Enterohemorrhagic Escherichia coli (EHEC).
Di negara berkembang, diare infeksi menyebabkan kematian sekitar 3 juta
penduduk setiap tahun. Di Afrika anak anak terserang diare infeksi 7 kali setiap tahunnya di
banding di negara berkembang lainnya mengalami serangan diare 3 kali setiap tahun.6
Di Indonesia dari 2.812 pasien diare yang disebabkan bakteri yang datang
kerumah sakit dari beberapa provinsi seperti Jakarta, Padang, Medan, Denpasar,
Pontianak, Makasar dan Batam yang dianalisa dari 1995 s/d 2001 penyebab terbanyak
adalah Vibrio cholerae 01, diikuti dengan Shigella spp, Salmonella spp, V.
Parahaemoliticus, Salmonella typhi, Campylobacter Jejuni, V. Cholera non-01, dan

6
Salmonella paratyphi A.7

B. Epidemiologi
Diare akut merupakan masalah umum ditemukan diseluruh dunia. Di Amerika
Serikat keluhan diare menempati peringkat ketiga dari daftar keluhan pasien pada ruang
praktek dokter, sementara di beberapa rumah sakit di Indonesia data menunjukkan diare
akut karena infeksi terdapat peringkat pertama s/d ke empat pasien dewasa yang datang
berobat ke rumah sakit.dikutip dari 8
Di negara maju diperkirakan insiden sekitar 0,5-2 episode/orang/tahun sedangkan
di negara berkembang lebih dari itu. Di USA dengan penduduk sekitar 200 juta diperkirakan
99 juta episode diare akut pada dewasa terjadi setiap tahunnya. 5 WHO memperkirakan
ada sekitar 4 miliar kasus diare akut setiap tahun dengan mortalitas 3-4 juta pertahun.9
Bila angka itu diterapkan di Indonesia, setiap tahun sekitar 100 juta episode
diare pada orang dewasa per tahun.10 Dari laporan surveilan terpadu tahun 1989 jumlah
kasus diare didapatkan 13,3 % di Puskesmas, di rumah sakit didapat 0,45% pada
penderita rawat inap dan 0,05 % pasien rawat jalan. Penyebab utama disentri di
Indonesia adalah Shigella, Salmonela, Campylobacter jejuni, Escherichia coli, dan
Entamoeba histolytica. Disentri berat umumnya disebabkan oleh Shigella dysentery,
kadang-kadang dapat juga disebabkan oleh Shigella flexneri, Salmonella dan
Enteroinvasive E.coli (EIEC).11
Beberapa faktor epidemiologis penting dipandang untuk mendekati pasien diare
akut yang disebabkan oleh infeksi. Makanan atau minuman terkontaminasi,
berpergian, penggunaan antibiotik, HIV positif atau AIDS, merupakan petunjuk
penting dalam mengidentifikasi pasien beresiko tinggi untuk diare infeksi.1,3,12

C. Patofisiologi 1,3,9,10
Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi diare
non inflamasi dan Diare inflamasi. Diare Inflamasi disebabkan invasi bakteri dan
sitotoksin di kolon dengan manifestasi sindroma disentri dengan diare yang disertai
lendir dan darah. Gejala klinis yang menyertai keluhan abdomen seperti mulas sampai
nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala dan tanda dehidrasi.

7
Pada pemeriksaan tinja rutin secara makroskopis ditemukan lendir dan/atau darah, serta
mikroskopis didapati sel leukosit polimorfonuklear.
Pada diare non inflamasi, diare disebabkan oleh enterotoksin yang mengakibatkan
diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah. Keluhan abdomen
biasanya minimal atau tidak ada sama sekali, namun gejala dan tanda dehidrasi cepat
timbul, terutama pada kasus yang tidak mendapat cairan pengganti. Pada pemeriksaan tinja
secara rutin tidak ditemukan leukosit.
Mekanisme terjadinya diare yang akut maupun yang kronik dapat dibagi
menjadi kelompok osmotik, sekretorik, eksudatif dan gangguan motilitas. Diare osmotik
terjadi bila ada bahan yang tidak dapat diserap meningkatkan osmolaritas dalam lumen yang
menarik air dari plasma sehingga terjadi diare. Contohnya adalah malabsorbsi
karbohidrat akibat defisiensi laktase atau akibat garam magnesium.
Diare sekretorik bila terjadi gangguan transport elektrolit baik absorbsi yang
berkurang ataupun sekresi yang meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat toksin
yang dikeluarkan bakteri misalnya toksin kolera atau pengaruh garam empedu, asam
lemak rantai pendek, atau laksantif non osmotik. Beberapa hormon intestinal seperti
gastrin vasoactive intestinal polypeptide (VIP) juga dapat menyebabkan diare sekretorik.
Diare eksudatif, inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa baik usus halus
maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi bakteri atau
bersifat non infeksi seperti gluten sensitive enteropathy, inflamatory bowel disease (IBD)
atau akibat radiasi.
Kelompok lain adalah akibat gangguan motilitas yang mengakibatkan waktu
tansit usus menjadi lebih cepat. Hal ini terjadi pada keadaan tirotoksikosis, sindroma usus
iritabel atau diabetes melitus.
Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada infeksi bakteri paling
tidak ada dua mekanisme yang bekerja peningkatan sekresi usus dan penurunan absorbsi
di usus. Infeksi bakteri menyebabkan inflamasi dan mengeluarkan toksin yang
menyebabkan terjadinya diare. Infeksi bakteri yang invasif mengakibatkan perdarahan atau
adanya leukosit dalam feses.
Pada dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat kuman enteropatogen
meliputi penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa, invasi

8
mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitotoksin. Satu bakteri dapat menggunakan
satu atau lebih mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi pertahanan mukosa usus.

Adhesi
Mekanisme adhesi yang pertama terjadi dengan ikatan antara struktur polimer
fimbria atau pili dengan reseptor atau ligan spesifik pada permukaan sel epitel. Fimbria
terdiri atas lebih dari 7 jenis, disebut juga sebagai colonization factor antigen (CFA) yang
lebih sering ditemukan pada enteropatogen seperti Enterotoxic E. Coli (ETEC). Mekanisme
adhesi yang kedua terlihat pada infeksi Enteropatogenic E.coli (EPEC), yang melibatkan
gen EPEC adherence factor (EAF), menyebabkan perubahan konsentrasi kalsium
intraselluler dan arsitektur sitoskleton di bawah membran mikrovilus. Invasi
intraselluler yang ekstensif tidak terlihat pada infeksi EPEC ini dan diare terjadi akibat shiga
like toksin.
Mekanisme adhesi yang ketiga adalah dengan pola agregasi yang terlihat pada
jenis kuman enteropatogenik yang berbeda dari ETEC atau EHEC.

Invasi
Kuman Shigella melakukan invasi melalui membran basolateral sel epitel usus. Di
dalam sel terjadi multiplikasi di dalam fagosom dan menyebar ke sel epitel sekitarnya.
Invasi dan multiplikasi intraselluler menimbulkan reaksi inflamasi serta kematian sel epitel.
Reaksi inflamasi terjadi akibat dilepaskannya mediator seperti leukotrien, interleukin,
kinin, dan zat vasoaktif lain. Kuman Shigella juga memproduksi toksin shiga yang
menimbulkan kerusakan sel. Proses patologis ini akan menimbulkan gejala sistemik seperti
demam, nyeri perut, rasa lemah, dan gejala disentri. Bakteri lain bersifat invasif misalnya
Salmonella.

Sitotoksin
Prototipe kelompok toksin ini adalah toksin shiga yang dihasilkan oleh
Shigella dysentrie yang bersifat sitotoksik. Kuman lain yang menghasilkan
sitotoksin adalah Enterohemorrhagic E. Coli (EHEC) serogroup 0157 yang dapat
menyebabkan kolitis hemoragik dan sindroma uremik hemolitik, kuman EPEC serta V.

9
Parahemolyticus.

Enterotoksin
Prototipe klasik enterotoksin adalah toksin kolera atau Cholera toxin (CT) yang
secara biologis sangat aktif meningkatkan sekresi epitel usus halus. Toksin kolera terdiri
dari satu subunit A dan 5 subunit B. Subunit A1 akan merangsang aktivitas adenil
siklase, meningkatkan konsentrasi cAMP intraseluler sehingga terjadi inhibisi
absorbsi Na dan klorida pada sel vilus serta peningkatan sekresi klorida dan HCO3 pada
sel kripta mukosa usus.
ETEC menghasilkan heat labile toxin (LT) yang mekanisme kerjanya sama
dengan CT serta heat Stabile toxin (ST).ST akan meningkatkan kadar cGMP selular,
mengaktifkan protein kinase, fosforilasi protein membran mikrovili, membuka kanal
dan mengaktifkan sekresi klorida.

Peranan Enteric Nervous System (ENS)


Berbagai penelitian menunjukkan peranan refleks neural yang melibatkan reseptor
neural 5-HT pada saraf sensorik aferen, interneuron kolinergik di pleksus mienterikus,
neuron nitrergik serta neuron sekretori VIPergik.
Efek sekretorik toksin enterik CT, LT, ST paling tidak sebagian melibatkan
refleks neural ENS. Penelitian menunjukkan keterlibatan neuron sensorik aferen
kolinergik, interneuron pleksus mienterikus, dan neuron sekretorik tipe 1 VIPergik.
CT juga menyebabkan pelepasan berbagai sekretagok seperti 5-HT, neurotensin, dan
prostaglandin. Hal ini membuka kemungkinan penggunaan obat antidiare yang bekerja
pada ENS selain yang bersifat antisekretorik pada enterosit.

D. Jenis-jenis Diare
Diare terdiri dari beberapa jenis yang dibagi secara klinis, yaitu:
a. Diare cair akut (termasuk kolera), berlangsung selama beberapa jam atau hari.
mempunyai bahaya utama yaitu dehidrasi dan penurunan berat badan juga dapat
terjadi jika makan tidak dilanjutkan.

10
b. Diare akut berdarah, yang juga disebut disentri, mempunyai bahaya utama yaitu
kerusakan mukosa usus,sepsis dan gizi buruk, mempunyai komplikasi seperti
dehidrasi.
c. Diare persisten, yang berlangsung selama 14 hari atau lebih, bahaya utamanya adalah
malnutrisi dan infeksi non-usus serius dan dehidrasi.
d. Diare dengan malnutrisi berat (marasmus atau kwashiorkor) mempunyai bahaya
utama adalah infeksi sistemik yang parah, dehidrasi, gagal jantung dan kekurangan
vitamin dan mineral.

E. Diagnosis
Pendekatan Umum Diare Akut Infeksi Bakteri
Untuk mendiagnosis pasien diare akut infeksi bakteri diperlukan pemeriksaan
yang sistematik dan cermat. Kepada pasien perlu ditanyakan riwayat penyakit, latar
belakang dan lingkungan pasien, riwayat pemakaian obat terutama antibiotik,
riwayat perjalanan, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. 1,3,13 Pendekatan
umum Diare akut infeksi bakteri baik diagnosis dan terapeutik terlihat pada gambar 1.

11
Manifestasi Klinis8,14,15
Diare akut karena infeksi dapat disertai keadaan muntah-muntah dan/atau
demam, tenesmus, hematochezia, nyeri perut atau kejang perut.
Diare yang berlangsung beberapa waktu tanpa penanggulangan medis yang
adekuat dapat menyebabkan kematian karena kekurangan cairan di badan yang
mengakibatkan renjatan hipovolemik atau karena gangguan biokimiawi berupa
asidosis metabolik yang lanjut. Karena kehilangan cairan seseorang merasa haus,
berat badan berkurang, mata menjadi cekung, lidah kering, tulang pipi menonjol, turgor

12
kulit menurun serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan deplesi air
yang isotonik.
Karena kehilangan bikarbonas, perbandingan bikarbonas berkurang, yang
mengakibatkan penurunan pH darah. Penurunan ini akan merangsang pusat
pernapasan sehingga frekwensi nafas lebih cepat dan lebih dalam (kussmaul). Reaksi
ini adalah usaha tubuh untuk mengeluarkan asam karbonas agar pH dapat naik kembali
normal. Pada keadaan asidosis metabolik yang tidak dikompensasi, bikarbonat standard
juga rendah, pCO2 normal dan base excess sangat negatif.
Gangguan kardiovaskular pada hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan
dengan tanda-tanda denyut nadi yang cepat, tekanan darah menurun sampai tidak
terukur. Pasien mulai gelisah, muka pucat, ujung-ujung ekstremitas dingin dan kadang
sianosis. Karena kehilangan kalium pada diare akut juga dapat timbul aritmia jantung.
Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun dan akan
timbul anuria. Bila keadaan ini tidak segera diatasi akan timbul penyulit berupa
nekrosis tubulus ginjal akut, yang berarti pada saat tersebut kita menghadapi gagal ginjal
akut. Bila keadaan asidosis metabolik menjadi lebih berat, akan terjadi kepincangan
pembagian darah dengan pemusatan yang lebih banyak dalam sirkulasi paru-paru.
Observasi ini penting karena dapat menyebabkan edema paru pada pasien yang menerima
rehidrasi cairan intravena tanpa alkali.

Pemeriksaan Laboratorium
Evaluasi laboratorium pasien tersangka diare infeksi dimulai dari pemeriksaan
feses adanya leukosit. Kotoran biasanya tidak mengandung leukosit, jika ada itu
dianggap sebagai penanda inflamasi kolon baik infeksi maupun non infeksi. Karena
netrofil akan berubah, sampel harus diperiksa sesegera mungkin. Sensitifitas lekosit
feses terhadap inflamasi patogen (Salmonella, Shigella dan Campylobacter) yang
dideteksi dengan kultur feses bervariasi dari 45% - 95% tergantung dari jenis
patogennya.3
Penanda yang lebih stabil untuk inflamasi intestinal adalah laktoferin.
Laktoferin adalah glikoprotein bersalut besi yang dilepaskan netrofil,
keberadaannya dalam feses menunjukkan inflamasi kolon. Positip palsu dapat terjadi

13
pada bayi yang minum ASI. Pada suatu studi, laktoferin feses, dideteksi dengan
menggunakan uji agglutinasi lateks yang tersedia secara komersial, sensitifitas 83 - 93
% dan spesifisitas 61 - 100 % terhadap pasien dengan Salmonella,Campilobakter, atau
Shigella spp, yang dideteksi dengan biakan kotoran.
Biakan kotoran harus dilakukan setiap pasien tersangka atau menderita
diare inflammasi berdasarkan klinis dan epidemiologis, test lekosit feses atau latoferin
positip, atau keduanya. Pasien dengan diare berdarah yang nyata harus dilakukan kultur
feses untuk EHEC O157 : H7.1
Pasien dengan diare berat, demam, nyeri abdomen, atau kehilangan cairan
harus diperiksa kimia darah, natrium, kalium, klorida, ureum, kreatinin, analisa gas darah
dan pemeriksaan darah lengkap5,8,10,14
Pemeriksaan radiologis seperti sigmoidoskopi, kolonoskopi dan lainnya
biasanya tidak membantu untuk evaluasi diare akut infeksi.6

Beberapa Penyebab Diare Akut Infeksi Bakteri1,3,15,16


a. Infeksi non-invasif.
Stafilococcus aureus
Keracunan makanan karena stafilokokkus disebabkan asupan makanan yang
mengandung toksin stafilokokkus, yang terdapat pada makanan yang tidak tepat
cara pengawetannya. Enterotoksin stafilokokus stabil terhadap panas.
Gejala terjadi dalam waktu 1 - 6 jam setelah asupan makanan
terkontaminasi. Sekitar 75 % pasien mengalami mual, muntah, dan nyeri
abdomen, yang kemudian diikuti diare sebanyak 68 %. Demam sangat jarang
terjadi. Lekositosis perifer jarang terjadi, dan sel darah putih tidak terdapat pada
pulasan feses. Masa berlangsungnya penyakit kurang dari 24 jam.
Diagnosis ditegakkan dengan biakan S. aureus dari makanan yang
terkontaminasi, atau dari kotoran dan muntahan pasien.
Terapi dengan hidrasi oral dan antiemetik. Tidak ada peranan antibiotik
dalam mengeradikasi stafilokokus dari makanan yang ditelan.

Bacillus cereus

14
B. cereus adalah bakteri batang gram positip, aerobik, membentuk spora.
Enterotoksin dari B. cereus menyebabkan gejala muntah dan diare, dengan gejala
muntah lebih dominan.
Gejala dapat ditemukan pada 1 - 6 jam setelah asupan makanan
terkontaminasi, dan masa berlangsungnya penyakit kurang dari 24 jam. Gejala
akut mual, muntah, dan nyeri abdomen, yang seringkali berakhir setelah 10
jam. Gejala diare terjadi pada 8 - 16 jam setelah asupan makanan terkontaminasi
dengan gejala diare cair dan kejang abdomen. Mual dan muntah jarang terjadi.
Terapi dengan rehidrasi oral dan antiemetik.

Clostridium perfringens
C perfringens adalah bakteri batang gram positip, anaerob, membentuk
spora. Bakteri ini sering menyebabkan keracunan makanan akibat dari
enterotoksin dan biasanya sembuh sendiri . Gejala berlangsung setelah 8 - 24 jam
setelah asupan produk-produk daging yang terkontaminasi, diare cair dan nyeri
epigastrium, kemudian diikuti dengan mual, dan muntah. Demam jarang terjadi.
Gejala ini akan berakhir dalam waktu 24 jam.
Pemeriksaan mikrobiologis bahan makanan dengan isolasi lebih dari 105
organisma per gram makanan, menegakkan diagnosa keracunan makanan C
perfringens . Pulasan cairan fekal menunjukkan tidak adanya sel polimorfonuklear,
pemeriksaan laboratorium lainnya tidak diperlukan. Terapi dengan rehidrasi oral dan
antiemetik.

Vibrio cholerae
V cholerae adalah bakteri batang gram-negatif, berbentuk koma dan
menyebabkan diare yang menimbulkan dehidrasi berat, kematian dapat terjadi
setelah 3 - 4 jam pada pasien yang tidak dirawat. Toksin kolera dapat
mempengaruhi transport cairan pada usus halus dengan meningkatkan cAMP,
sekresi, dan menghambat absorpsi cairan. Penyebaran kolera dari makanan dan air
yang terkontaminasi.
Gejala awal adalah distensi abdomen dan muntah, yang secara cepat

15
menjadi diare berat, diare seperti air cucian beras. Pasien kekurangan elektrolit dan
volume darah. Demam ringan dapat terjadi.
Kimia darah terjadi penurunan elektrolit dan cairan dan harus segera
digantikan yang sesuai. Kalium dan bikarbonat hilang dalam jumlah yang
signifikan, dan penggantian yang tepat harus diperhatikan. Biakan feses dapat
ditemukan V.cholerae. Target utama terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit
yang agresif. Kebanyakan kasus dapat diterapi dengan cairan oral. Kasus yang
parah memerlukan cairan intravena. Antibiotik dapat mengurangi volume dan masa
berlangsungnya diare. Tetrasiklin 500 mg tiga kali sehari selama 3 hari, atau
doksisiklin 300 mg sebagai dosis tunggal, merupakan pilihan pengobatan.
Perbaikan yang agresif pada kehilangan cairan menurunkan angka kematian
(biasanya < 1 %). Vaksin kolera oral memberikan efikasi lebih tinggi
dibandingkan dengan vaksin parenteral.

Escherichia coli patogen


E. coli patogen adalah penyebab utama diare pada pelancong. Mekanisme
patogen yang melalui enterotoksin dan invasi mukosa. Ada beberapa agen penting,
yaitu :
1 Enterotoxigenic E. coli (ETEC).
2 Enterophatogenic E. coli (EPEC).
3 Enteroadherent E. coli (EAEC).
4 Enterohemorrhagic E. coli (EHEC)
5 Enteroinvasive E. Coli (EIHEC)
Kebanyakan pasien dengan ETEC, EPEC, atau EAEC mengalami gejala
ringan yang terdiri dari diare cair, mual, dan kejang abdomen. Diare berat jarang
terjadi, dimana pasien melakukan BAB lima kali atau kurang dalam waktu 24 jam.
Lamanya penyakit ini rata-rata 5 hari. Demam timbul pada kurang dari 1/3 pasien.
Feses berlendir tetapi sangat jarang terdapat sel darah merah atau sel darah putih.
Lekositosis sangat jarang terjadi. ETEC, EAEC, dan EPEC merupakan penyakit
self limited, dengan tidak ada gejala sisa.
Pemeriksaan laboratorium tidak ada yang spesifik untuk E coli, lekosit

16
feses jarang ditemui, kultur feses negatif dan tidak ada lekositosis. EPEC dan
EHEC dapat diisolasi dari kultur, dan pemeriksaan aglutinasi latex khusus untuk
EHEC tipe O157.
Terapi dengan memberikan rehidrasi yang adekuat. Antidiare dihindari
pada penyakit yang parah. ETEC berespon baik terhadap trimetoprim-
sulfametoksazole atau kuinolon yang diberikan selama 3 hari. Pemberian
antimikroba belum diketahui akan mempersingkat penyakit pada diare EPEC
dan diare EAEC. Antibiotik harus dihindari pada diare yang berhubungan
dengan EHEC.

b. Infeksi Invasif
Shigella
Shigella adalah penyakit yang ditularkan melalui makanan atau air.
Organisme Shigella menyebabkan disentri basiler dan menghasilkan respons
inflamasi pada kolon melalui enterotoksin dan invasi bakteri.
Secara klasik, Shigellosis timbul dengan gejala adanya nyeri abdomen,
demam, BAB berdarah, dan feses berlendir. Gejala awal terdiri dari demam, nyeri
abdomen, dan diare cair tanpa darah, kemudian feses berdarah setelah 3 - 5 hari
kemudian. Lamanya gejala rata-rata pada orang dewasa adalah 7 hari, pada
kasus yang lebih parah menetap selama 3 - 4 minggu. Shigellosis kronis dapat
menyerupai kolitis ulseratif, dan status karier kronis dapat terjadi.
Manifestasi ekstraintestinal Shigellosis dapat terjadi, termasuk gejala
pernapasan, gejala neurologis seperti meningismus, dan Hemolytic Uremic
Syndrome. Artritis oligoartikular asimetris dapat terjadi hingga 3 minggu sejak
terjadinya disentri.
Pulasan cairan feses menunjukkan polimorfonuklear dan sel darah
merah. Kultur feses dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi dan sensitivitas
antibiotik.
Terapi dengan rehidrasi yang adekuat secara oral atau intravena,
tergantung dari keparahan penyakit. Derivat opiat harus dihindari. Terapi
antimikroba diberikan untuk mempersingkat berlangsungnya penyakit dan

17
penyebaran bakteri. Trimetoprim-sulfametoksazole atau fluoroquinolon dua
kali sehari selama 3 hari merupakan antibiotik yang dianjurkan.

Salmonella nontyphoid
Salmonella nontipoid adalah penyebab utama keracunan makanan di
Amerika Serikat. Salmonella enteriditis dan Salmonella typhimurium merupakan
penyebab. Awal penyakit dengan gejala demam, menggigil, dan diare, diikuti
dengan mual, muntah, dan kejang abdomen. Occult blood jarang terjadi. Lamanya
berlangsung biasanya kurang dari 7 hari.
Pulasan kotoran menunjukkan sel darah merah dan sel darah putih se.
Kultur darah positif pada 5 - 10 % pasien kasus dan sering ditemukan pada pasien
terinfeksi HIV.
Terapi pada Salmonella nonthypoid tanpa komplikasi dengan hidrasi
adekuat. Penggunaan antibiotik rutin tidak disarankan, karena dapat meningkatan
resistensi bakteri. Antibiotik diberikan jika terjadi komplikasi salmonellosis, usia
ekstrem (bayi dan berusia > 50 tahun), immunodefisiensi, tanda atau gejala
sepsis, atau infeksi fokal (osteomilitis, abses). Pilihan antibiotik adalah
trimetoprim-sulfametoksazole atau fluoroquinolone seperti ciprofloxacin atau
norfloxacin oral 2 kali sehari selama 5 - 7 hari atau Sephalosporin generasi ketiga
secara intravena pada pasien yang tidak dapat diberi oral.

Salmonella typhi
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi adalah penyebab demam tiphoid.
Demam tiphoid dikarakteristikkan dengan demam panjang, splenomegali,
delirium, nyeri abdomen, dan manifestasi sistemik lainnya. Penyakit tiphoid
adalah suatu penyakit sistemik dan memberikan gejala primer yang
berhubungan dengan traktus gastrointestinal. Sumber organisme ini biasanya
adalah makanan terkontaminasi.
Setelah bakterimia, organisma ini bersarang pada sistem
retikuloendotelial, menyebabkan hiperplasia, pada lymph nodes dan Peyer
pacthes di dalam usus halus. Pembesaran yang progresif dan ulserasi dapat

18
menyebabkan perforasi usus halus atau perdarahan gastrointestinal.
Bentuk klasik demam tiphoid selama 4 minggu. Masa inkubasi 7-14 hari.
Minggu pertama terjadi demam tinggi, sakit kepala, nyeri abdomen, dan
perbedaan peningkatan temperatur dengan denyut nadi. 50 % pasien dengan
defekasi normal. Pada minggu kedua terjadi splenomegali dan timbul rash. Pada
minggu ketiga timbul penurunan kesadaran dan peningkatan toksemia,
keterlibatan usus halus terjadi pada minggu ini dengan diare kebiru-
biruan dan berpotensi untuk terjadinya ferforasi. Pada minggu ke empat terjadi
perbaikan klinis.
Diagnosa ditegakkan dengan isolasi organisme. Kultur darah positif pada
90% pasien pada minggu pertama timbulnya gejala klinis. Kultur feses positif
pada minggu kedua dan ketiga.
Perforasi dan perdarahan gastrointestinal dapat terjadi selama jangka waktu
penyakit. Kolesistitis jarang terjadi, namun infeksi kronis kandung empedu dapat
menjadi karier dari pasien yang telah sembuh dari penyakit akut.
Pilihan obat adalah klorampenikol 500 mg 4 kali sehari selama 2 minggu.
Jika terjadi resistensi, penekanan sumsum tulang, sering kambuh dan karier
disarankan sepalosporin generasi ketiga dan flourokinolon. Sepalosforin generasi
ketiga menunjukkan effikasi sangat baik melawan S. Thypi dan harus
diberikan IV selama 7-10 hari, Kuinolon seperti ciprofloksasin 500 mg 2 kali
sehari selama 14 hari, telah menunjukkan efikasi yang tinggi
dan status karier yang rendah. Vaksin thipoid oral (ty21a) dan parenteral
(Vi) direkomendasikan jika pergi ke daerah endemik.

Campylobakter
Spesies Campylobakter ditemukan pada manusia C. Jejuni dan C.
Fetus, sering ditemukan pada pasien immunocompromised.. Patogenesis dari
penyakit toksin dan invasi pada mukosa. Manifestasi klinis infeksi Campylobakter
sangat bervariasi, dari asimtomatis sampai sindroma disentri. Masa inkubasi
selama 24 -72 jam setelah organisme masuk. Diare dan demam timbul pada
90% pasien, dan nyeri abdomen dan feses berdarah hingga 50-70%. Gejala

19
lain yang mungkin timbul adalah demam, mual, muntah dan malaise.
Masa berlangsungnya penyakit ini 7 hari.
Pulasan feses menunjukkan lekosit dan sel darah merah. Kultur feses dapat
ditemukan adanya Kampilobakter. Kampilobakter sensitif terhadap eritromisin
dan quinolon, namun pemakaian antibiotik masih kontroversi. Antibiotik
diindikasikan untuk pasien yang berat atau pasien yang nyata-nyata terkena
sindroma disentri. Jika terapi antibiotik diberikan, eritromisin 500 mg 2 kali
sehari secara oral selama 5 hari cukup efektif. Seperti penyakit diare lainnya,
penggantian cairan dan elektrolit merupakan terapi utama.

Vibrio non-kolera
Spesies Vibrio non-kolera telah dihubungkan dengan mewabahnya
gastroenteritis. V parahemolitikus, non-01 V. kolera dan V. mimikus telah
dihubungkan dengan konsumsi kerang mentah. Diare terjadi individual, berakhir
kurang 5 hari. Diagnosa ditegakkan dengan membuat kultur feses yang memerlukan
media khusus. Terapi dengan koreksi elektrolit dan cairan. Antibiotik tidak
memperpendek berlangsungnya penyakit. Namun pasien dengan diare parah atau
diare lama, direkomendasikan menggunakan tetrasiklin.

Yersinia
Spesies Yersinia adalah kokobasil, gram-negatif. Diklasifikasikan
sesuai dengan antigen somatik (O) dan flagellar (H). Organisme tersebut
menginvasi epitel usus. Yersinia menghasilkan enterotoksin labil. Terminal
ileum merupakan daerah yang paling sering terlibat, walaupun kolon dapat juga
terinvasi.
Penampilan klinis biasanya terdiri dari diare dan nyeri abdomen, yang
dapat diikuti dengan artralgia dan ruam (eritrema nodosum atau eritema
multiforme). Feses berdarah dan demam jarang terjadi. Pasien terjadi adenitis,
mual, muntah dan ulserasi pada mulut. Diagnosis ditegakkan dari kultur feses.
Penyakit biasanya sembuh sendiri berakhir dalam 1-3 minggu. Terapi dengan
hidrasi adekuat. Antibiotik tidak diperlukan, namun dapat dipertimbangkan

20
pada penyakit yang parah atau bekterimia. Kombinasi Aminoglikosid dan
Kuinolon nampaknya dapat menjadi terapi empirik pada sepsis.

Enterohemoragik E Coli (Subtipe 0157)


EHEC telah dikenal sejak terjadi wabah kolitis hemoragik. Wabah ini
terjadi akibat makanan yang terkontaminasi. Kebanyakan kasus terjadi 7-10 hari
setelah asupan makanan atau air terkontaminasi. EHEC dapat merupakan
penyebab utama diare infeksius. Subtipe 0157 : H7 dapat dihubungkan dengan
perkembangan Hemolytic Uremic Syndrom (HUS). Centers for Disease Control
(CDC) telah meneliti bahwa E Coli 0157 dipandang sebagai penyebab diare
berdarah akut atau HUS. EHEC non-invasif tetapi menghasilkan toksin shiga,
yang menyebabkan kerusakan endotel, hemolisis mikroangiopatik, dan kerusakan
ginjal.
Awal dari penyakit dengan gejala diare sedang hingga berat (hingga 10-
12 kali perhari). Diare awal tidak berdarah tetapi berkembang menjadi berdarah.
Nyeri abdomen berat dan kejang biasa terjadi, mual dan muntah timbul pada
2/3 pasien. Pemeriksaan abdomen didapati distensi abdomen dan nyeri tekan
pada kuadran kanan bawah. Demam terjadi pada 1/3 pasien. Hingga 1/3 pasien
memerlukan perawatan di rumah sakit. Lekositosis sering terjadi. Urinalisa
menunjukkan hematuria atau proteinuria atau timbulnya lekosit. Adanya tanda
anemia hemolitik mikroangiopatik (hematokrit < 30%), trombositopenia (<150 x
109/L), dan insufiensi renal (BUN >20 mg/dL) adalah diagnosa HUS.
HUS terjadi pada 5-10% pasien dan di diagnosa 6 hari setelah terkena
diare. Faktor resiko HUS, usia (khususnya pada anak-anak dibawah usia 5 tahun)
dan penggunaan anti diare.Penggunaan antibiotik juga meningkatkan resiko.
Hampir 60% pasien dengan HUS akan sembuh, 3-5% akan meninggal, 5% akan
berkembang ke penyakit ginjal tahap akhir dan 30% akan mengalami gejala sisa
proteinuria. Trombosit trombositopenik purpura dapat terjadi tetapi lebih jarang
dari pada HUS.
Jika tersangka EHEC, harus dilakukan kultur feses E. coli. Serotipe
biasanya dilakukan pada laboratorium khusus.

21
Terapi dengan penggantian cairan dan mengatasi komplikasi ginjal dan
vaskuler. Antibiotik tidak efektif dalam mengurangi gejala atau resiko
komplikasi infeksi EHEC. Nyatanya pada beberapa studi yang menggunakan
antibiotik dapat meningkatkan resiko HUS. Pengobatan antibiotik dan anti diare
harus dihindari. Fosfomisin dapat memperbaiki gejala klinis, namun, studi
lanjutan masih diperlukan.

Aeromonas
Spesies Aeromonas adalah gram negatif, anaerobik fakultatif.
Aeromonas menghasilkan beberapa toksin, termasuk hemosilin, enterotoksin, dan
sitotoksin. Gejala diare cair, muntah, dan demam ringan. Kadang-kadang feses
berdarah. Penyakit sembuh sendiri dalam 7 hari. Diagnosa ditegakkan dari biakan
kotoran.
Antibiotik direkomendasikan pada pasien dengan diare panjang atau
kondisi yang berhubungan dengan peningkatan resiko septikemia, termasuk
malignansi, penyakit hepatobiliar, atau pasien immunocompromised. Pilihan
antibiotik adalah trimetroprim sulfametoksazole.

Plesiomonas
Plesiomanas shigelloides adalah gram negatif, anaerobik fakultatif.
Kebanyakan kasus berhubungan dengan asupan kerang mentah atau air tanpa
olah dan perjalanan ke daerah tropik, Gejala paling sering adalah nyeri
abdomen, demam, muntah dan diare berdarah. Penyakit sembuh sendiri kurang
dari 14 hari. Diagnosa ditegakkan dari kultur feses.
Antibiotik dapat memperpendek lamanya diare. Pilihan antibiotik adalah
tritoprim sulfametoksazole.

F. PENATALAKSANAAN

a. Penggantian Cairan dan elektrolit


Aspek paling penting dari terapi diare adalah untuk menjaga hidrasi yang

22
adekuat dan keseimbangan elektrolit selama episode akut. Ini dilakukan dengan
rehidrasi oral, dimana harus dilakukan pada semua pasien kecuali yang tidak
dapat minum atau yang terkena diare hebat yang memerlukan hidrasi
intavena yang membahayakan jiwa. 17 Idealnya, cairan rehidrasi oral harus
terdiri dari 3,5 g Natrium klorida, dan 2,5 g Natrium bikarbonat, 1,5 g kalium
klorida, dan 20 g glukosa per liter air.2,4 Cairan seperti itu tersedia secara komersial
dalam paket-paket yang mudah disiapkan dengan mencampurkan dengan air. Jika
sediaan secara komersial tidak ada, cairan rehidrasi oral pengganti dapat dibuat
dengan menambahkan ½ sendok teh garam, ½ sendok teh baking soda, dan 2 -
4 sendok makan gula per liter air. Dua pisang atau 1 cangkir jus jeruk diberikan
untuk mengganti kalium.. Pasien harus minum cairan tersebut sebanyak mungkin
sejak mereka merasa haus pertama kalinya.3 Jika terapi intra vena diperlukan,
cairan normotonik seperti cairan saline normal atau laktat Ringer harus diberikan
dengan suplementasi kalium sebagaimana panduan kimia darah. Status hidrasi harus
dimonitor dengan baik dengan memperhatikan tanda-tanda vital, pernapasan, dan
urin, dan penyesuaian infus jika diperlukan. Pemberian harus diubah ke cairan
rehidrasi oral sesegera mungkin.
Jumlah cairan yang hendak diberikan sesuai dengan jumlah cairan yang
keluar dari badan. Kehilangan cairan dari badan dapat dihitung dengan memakai
cara: dikutip dari 8 BD plasma, dengan memakai rumus :

Kebutuhan cairan = BD Plasma - 1,025 X Berat badan (Kg) X 4 ml


0,001
Metode Pierce berdasarkan keadaan klinis :
- Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan 5% X KgBB
- Dehidrasi sedang, kebutuhan cairan 8% X KgBB
- Dehidrasi berat, kebutuhan cairan 10% X KgBB
Metode Daldiyono berdasarkan keadaan klinis yang diberi penilaian/skor
(tabel 1)

23
Kebutuhan cairan = Skor X 10% X KgBB X 1 liter
15

Goldbeger (1980) mengemukakan beberapa cara menghitung kebutuhan


cairan: dikutip dari 18
Cara I:
- Jika ada rasa haus dan tidak ada tanda-tanda klinis dehidrasi lainnya, maka
kehilangan cairan kira-kira 2% dari berat badan pada waktu itu.
- Bila disertai mulut kering, oliguri, maka defisit cairan sekitar 6% dari berat
badan saat itu.
- Bila ada tanda-tanda diatas disertai kelemahan fisik yang jelas, perubahan
mental seperti bingung atau delirium, maka defisit cairan sekitar 7 -14% atau
sekitar 3,5 – liter pada orang dewasa dengan berat badan 50 Kg.
Cara II:
Jika penderita dapat ditimbang tiap hari, maka kehilangan berat badan 4 Kg pada
fase akut sama dengan defisit air sebanyak 4 liter.
Cara III :
Dengan menggunakan rumus:
Na2 X BW2 = Na1 X BW1,

Na1 = Kadar Natrium plasma normal; BW1 = Volume air badan


normal, biasanya 60% dari berat badan untuk pria dan 50% untuk

24
wanita ; Na2 = Kadar natrium plasma sekarang ; BW2 = volume air
badan sekarang

b. Antibiotik
Pemberian antibotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare akut
infeksi, karena 40% kasus diare infeksi sembuh kurang dari 3 hari tanpa
pemberian antibiotik.
Pemberian antibiotik di indikasikan pada: Pasien dengan gejala dan
tanda diare infeksi seperti demam, feses berdarah,, leukosit pada feses,
mengurangi ekskresi dan kontaminasi lingkungan, persisten atau penyelamatan
jiwa pada diare infeksi, diare pada pelancong, dan pasien immunocompromised.
Pemberian antibiotik secara empiris dapat dilakukan (tabel 2),
tetapi terapi antibiotik spesifik diberikan berdasarkan kultur dan resistensi
kuman.1,5,9,16

c. Obat anti diare


Kelompok antisekresi selektif
Terobosan terbaru dalam milenium ini adalah mulai tersedianya
secara luas racecadotril yang bermanfaat sekali sebagai penghambat enzim
enkephalinase sehingga enkephalin dapat bekerja kembali secara normal.
Perbaikan fungsi akan menormalkan sekresi dari elektrolit sehingga keseimbangan

25
cairan dapat dikembalikan secara normal. Di Indonesia saat ini tersedia di bawah
nama hidrasec sebagai generasi pertama jenis obat baru anti diare yang dapat pula
digunakan lebih aman pada anak.14

Kelompok opiat
Dalam kelompok ini tergolong kodein fosfat, loperamid HCl serta
kombinasi difenoksilat dan atropin sulfat (lomotil). Penggunaan kodein adalah
15-60mg 3x sehari, loperamid 2 - 4 mg/ 3 - 4x sehari dan lomotil 5mg 3 - 4 x
sehari. Efek kelompok obat tersebut meliputi penghambatan propulsi,
peningkatan absorbsi cairan sehingga dapat memperbaiki konsistensi feses dan
mengurangi frekwensi diare.Bila diberikan dengan cara yang benar obat ini cukup
aman dan dapat mengurangi frekwensi defekasi sampai 80%. Bila diare akut
dengan gejala demam dan sindrom disentri obat ini tidak dianjurkan.10

Kelompok absorbent
Arang aktif, attapulgit aktif, bismut subsalisilat, pektin, kaolin, atau smektit
diberikan atas dasar argumentasi bahwa zat ini dapat menyeap bahan infeksius
atau toksin-toksin. Melalui efek tersebut maka sel mukosa usus terhindar kontak
langsung dengan zat-zat yang dapat merangsang sekresi elektrolit.

Zat Hidrofilik
Ekstrak tumbuh-tumbuhan yang berasal dari Plantago oveta, Psyllium,
Karaya (Strerculia), Ispraghulla, Coptidis dan Catechu dapat membentuk
kolloid dengan cairan dalam lumen usus dan akan mengurangi frekwensi dan
konsistensi feses tetapi tidak dapat mengurangi kehilangan cairan dan elektrolit.
Pemakaiannya adalah 5-10 cc/ 2x sehari dilarutkan dalam air atau diberikan
dalam bentuk kapsul atau tablet.9

Probiotik
Kelompok probiotik yang terdiri dari Lactobacillus dan Bifidobacteria
atau Saccharomyces boulardii, bila mengalami peningkatan jumlahnya di

26
saluran cerna akan memiliki efek yang positif karena berkompetisi untuk
nutrisi dan reseptor saluran cerna. Syarat penggunaan dan keberhasilan
mengurangi/menghilangkan diare harus diberikan dalam jumlah yang adekuat.3,7,19

G. KOMPLIKASI
Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama,
terutama pada usia lanjut dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera kehilangan
cairan secara mendadak sehingga terjadi shock hipovolemik yang cepat. Kehilangan
elektrolit melalui feses potensial mengarah ke hipokalemia dan asidosis metabolik.1,8
Pada kasus-kasus yang terlambat meminta pertolongan medis, sehingga
syok hipovolemik yang terjadi sudah tidak dapat diatasi lagi maka dapat timbul Tubular
Nekrosis Akut pada ginjal yang selanjutnya terjadi gagal multi organ. Komplikasi ini
dapat juga terjadi bila penanganan pemberian cairan tidak adekuat sehingga tidak tecapai
rehidrasi yang
optimal.9,12,14
Haemolityc uremic Syndrome (HUS) adalah komplikasi yang disebabkan
terbanyak oleh EHEC. Pasien dengan HUS menderita gagal ginjal, anemia
hemolisis, dan trombositopeni 12-14 hari setelah diare. Risiko HUS akan meningkat
setelah infeksi EHEC dengan penggunaan obat anti diare, tetapi penggunaan antibiotik
untuk terjadinya HUS masih kontroversi.
Sindrom Guillain - Barre, suatu demielinasi polineuropati akut, adalah
merupakan komplikasi potensial lainnya dari infeksi enterik, khususnya setelah infeksi
C. jejuni. Dari pasien dengan Guillain - Barre, 20 - 40 % nya menderita infeksi C. jejuni
beberapa minggu sebelumnya. Biasanya pasien menderita kelemahan motorik dan
memerlukan ventilasi mekanis untuk mengaktifkan otot pernafasan. Mekanisme
dimana infeksi menyebabkan Sindrom Guillain - Barre tetap belum diketahui.
Artritis pasca infeksi dapat terjadi beberapa minggu setelah penyakit diare
karena Campylobakter, Shigella, Salmonella, atau Yersinia spp.1

H. Prognosis

27
Dengan penggantian Cairan yang adekuat, perawatan yang mendukung, dan terapi
antimikrobial jika diindikasikan, prognosis diare infeksius hasilnya sangat baik
dengan morbiditas dan mortalitas yang minimal. Seperti kebanyakan penyakit,
morbiditas dan mortalitas ditujukan pada anak-anak dan pada lanjut usia. Di Amerika
Serikat, mortalits berhubungan dengan diare infeksius < 1,0 %. Pengecualiannya pada
infeksi EHEC dengan mortalitas 1,2 % yang berhubungan dengan sindrom uremik
hemolitik.1

I. PENCEGAHAN1,3,13,16
Karena penularan diare menyebar melalui jalur fekal-oral, penularannya dapat
dicegah dengan menjaga higiene pribadi yang baik. Ini termasuk sering mencuci
tangan setelah keluar dari toilet dan khususnya selama mengolah makanan. Kotoran
manusia harus diasingkan dari daerah pemukiman, dan hewan ternak harus terjaga dari
kotoran manusia.
Karena makanan dan air merupakan penularan yang utama, ini harus diberikan
perhatian khusus. Minum air, air yang digunakan untuk membersihkan makanan, atau
air yang digunakan untuk memasak harus disaring dan diklorinasi. Jika ada kecurigaan
tentang keamanan air atau air yang tidak dimurnikan yang diambil dari danau atau air,
harus direbus dahulu beberapa menit sebelum dikonsumsi. Ketika berenang di danau
atau sungai, harus diperingatkan untuk tidak menelan air.
Semua buah dan sayuran harus dibersihkan menyeluruh dengan air yang bersih
(air rebusan, saringan, atau olahan) sebelum dikonsumsi. Limbah manusia atau hewan
yang tidak diolah tidak dapat digunakan sebagai pupuk pada buah-buahan dan sayuran.
Semua daging dan makanan laut harus dimasak. Hanya produk susu yang dipasteurisasi
dan jus yang boleh dikonsumsi. Wabah EHEC terakhir berhubungan dengan meminum
jus apel yang tidak dipasteurisasi yang dibuat dari apel terkontaminasi, setelah jatuh dan
terkena kotoran ternak.
Vaksinasi cukup menjanjikan dalam mencegah diare infeksius, tetapi efektivitas
dan ketersediaan vaksin sangat terbatas. Pada saat ini, vaksin yang tersedia adalah
untuk V. colera, dan demam tipoid. Vaksin kolera parenteral kini tidak begitu
efektif dan tidak direkomendasikan untuk digunakan. Vaksin oral kolera terbaru lebih

28
efektif, dan durasi imunitasnya lebih panjang. Vaksin tipoid parenteral yang lama hanya
70 % efektif dan sering memberikan efek samping. Vaksin parenteral terbaru juga
melindungi 70 %, tetapi hanya memerlukan 1 dosis dan memberikan efek samping
yang lebih sedikit. Vaksin tipoid oral telah tersedia, hanya diperlukan 1 kapsul setiap
dua hari selama 4 kali dan memberikan efikasi yang mirip dengan dua vaksin lainnya.

J. Kesimpulan
Diare akut merupakan masalah yang sering terjadi baik di negara
berkembang maupun negara maju. Sebagian besar bersifat self limiting sehingga hanya
perlu diperhatikan keseimbangan cairan dan elektrolit. Bila ada tanda dan gejala
diare akut karena infeksi bakteri dapat diberikan terapi antimikrobial secara empirik,
yang kemudian dapat dilanjutkan dengan terapi spesifik sesuai dengan hasil kultur.
Pengobatan simtomatik dapat diberikan karena efektif dan cukup aman bila diberikan
sesuai dengan aturan. Prognosis diare akut infeksi bakteri baik, dengan morbiditas dan
mortalitas yang minimal. Dengan higiene dan sanitasi yang baik merupakan pencegahan
untuk penularan diare infeksi bakteri.

KEPUSTAKAAN

29
1. Ciesla WP, Guerrant RL. Infectious Diarrhea. In: Wilson WR, Drew WL, Henry NK,
et al editors. Current Diagnosis and Treatment in Infectious Disease. New York:
Lange Medical Books, 2003. 225 - 68.
2. Guerrant RL, Gilder TV, Steiner TS, et al. Practice Guidelines for the Management of
Infectious Diarrhea. Clinical Infectious Diseases 2001;32:331-51.
3. Lung E, Acute Diarrheal Disease. In: Friedman SL, McQuaid KR, Grendell JH,
editors. Current Diagnosis and Treatment in Gastroenterology. 2nd edition. New York:
Lange Medical Books, 2003. 131 - 50.
4. Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare. Mentri Kesehatan Republik Indonesia.
Available from : http://www.depkes.go.id/downloads/SK1216-01.pdf
5. Manatsathit S, Dupont HL, Farthing MJG, et al. Guideline for the Management of
acute diarrhea in adults. Journal of Gastroenterology and Hepatology 2002;17:
S54-S71.
6. Jones ACC, Farthing MJG. Management of infectious diarrhoea. Gut 2004;
53:296-305.
7. Tjaniadi P, Lesmana M, Subekti D, et al. Antimicrobial Resistance of Bacterial
Pathogens Associated with Diarrheal Patiens in Indonesia. Am J Trop Med Hyg 2003; 68(6):
666-10.
8. Hendarwanto. Diare akut Karena Infeksi, Dalam: Waspadji S, Rachman AM,
Lesmana LA, dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi ketiga.
Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI ;1996. 451-
57.
9. Soewondo ES. Penatalaksanaan diare akut akibat infeksi (Infectious Diarrhoea).
Dalam: Suharto, Hadi U, Nasronudin, editor. Seri Penyakit Tropik Infeksi
Perkembangan Terkini Dalam Pengelolaan Beberapa penyakit Tropik Infeksi.
Surabaya: Airlangga University Press, 2002. 34 - 40.
10. Rani HAA. Masalah Dalam Penatalaksanaan Diare Akut pada Orang Dewasa. Dalam:
Setiati S, Alwi I, Kasjmir YI, dkk, Editor. Current Diagnosis and Treatment in
Internal Medicine 2002. Jakarta: Pusat Informasi Penerbitan Bagian Penyakit Dalam

30
FK UI, 2002. 49-56.
11. Tatalaksana Penderita Diare. Available from: http://www.depkes.go.id/downloads/diare.pdf.
12. Thielman NM, Guerrant RL. Acute Infectious Diarrhea. N Engl J Med
2004;350:1: 38-47.
13. Kolopaking MS. Penatalaksanaan Muntah dan Diare akut. Dalam: Alwi I, Bawazier
LA, Kolopaking MS, Syam AF, Gustaviani, editor. Prosiding Simposium
Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu penyakit Dalam II. Jakarta: Pusat
Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 2002. 52-70.
14. Nelwan RHH. Penatalaksanaan Diare Dewasa di Milenium Baru. Dalam: Setiati S,
Alwi I, Kasjmir YI, dkk, Editor. Current Diagnosis and Treatment in Internal
Medicine 2001. Jakarta: Pusat Informasi Penerbitan Bagian Penyakit Dalam FK UI,
2001. 49-56.
15. Procop GW, Cockerill F. Vibrio & Campylobacter. In: Wilson WR, Drew WL, Henry
NK, et al, Editors. Current Diagnosis and Treatment in Infectious Disease, New York:
Lange Medical Books, 2003. 603 - 13.
16. Procop GW, Cockerill F. Enteritis Caused by Escherichia coli & Shigella &
Salmonella Species. In: Wilson WR, Drew WL, Henry NK,et al, Editors. Current
Diagnosis and Treatment in Infectious Disease, New York: Lange Medical Books, 2003.
584 - 66.
17. Wells BG, DiPiro JT, Schwinghammer TL, Hamilton CW. Pharmacotherapy Handbook.
5th ed. New York: McGraw-Hill, 2003. 371-79.
18. Zein,U. Gastroenteritis Akut pada Dewasa. Dalam: Tarigan P, Sihombing M,
Marpaung B, Dairy LB, Siregar GA, Editor. Buku Naskah Lengkap Gastroenterologi-
Hepatologi Update 2003. Medan: Divisi Gastroentero-hepatologi Bagian Ilmu Penyakit
Dalam FK USU, 2003. 67-79.
19. Isaulauri E. Probiotics for Infectious Diarrhoea. Gut 2003; 52: 436-7.

31

Anda mungkin juga menyukai