i
HALAMAN PENGESAHAN
Disusun Oleh :
Dinda Sahyati Rizki Nalia Pohan, S.Ked
G1A1218050
Universitas Jambi
Pembimbing
i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat Clinical Report Session(CRS) yang
berjudul “Hypokalemi Periodic Paralysis dengan Electrolit Imbalance” sebagai
salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu
Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi
Jambi.Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Nelila Pasmah Fitriani
Siregar, Sp.PD yang telah bersedia meluangkan waktudan pikirannya untuk
membimbing penulis selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian
Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi
Jambi.
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Kedua kaki dan kedua tangan semakin sulit digerakkan sejak ±1 jam
SMRS.
Pasien datang ke RS dengan keluhan kedua kaki dan kedua tangan yang
sulit digerakkan sejak ±1 jam SMRS disertai rasa kaku di bagian tengkuk. Pasien
hanya mampu menggerakan jari-jari tangan dan kakinya.
4
juga penggunaan obat-obatan seperti diuretic, dll.. Pasien juga tidak sedang
menstruasi dan tidak pernah mengkonsumsi alkohol.
Pasien pernah memiliki keluhan lemas anggota tubuh setelah muntah dan diare
2 tahun yang lalu, namun pasien tidak dirawat.
Vital Sign
TD : 120/80 Suhu : 36,10 C
RR : 24x/menit
Status Gizi
5
BB : 58 Kg
TB :153 cm
Kulit
● Warna : sawo matang
● Efloresensi : (-)
● Jaringan Parut : (-)
● Pertumbuhan Rambut : normal
● Pertumbuhan Darah : (-)
● Suhu : Teraba hangat
● Lembab kering : Lembap
● Ikterus : (+)
● Turgor : normal, <2detik
Kepala
● Bentuk Kepala : Normocephal
● Rambut : hitam, tidak mudah dicabut
● Ekspresi : Tampak sakit sedang
● Simetris Muka : Simetris
Mata
● Konjungtiva : Konjungtiva anemis (-/-)
● Sklera : Sklera Ikterik (-/-)
● Pupil : RC(+/+)
● Gerakan : normal
● Lapangan Pandang : normal
Hidung
● Bentuk : Simetris
● Sekret : (-)
● Septum : deviasi (-)
● Selaput Lendir : (-)
● Sumbatan : (-)
● Pendarahan : (-)
6
Mulut
● Bibir : Kering (-), Sianosis (-)
● Lidah : normal
● Gusi : perdarahan (-)
Telinga
● Bentuk : simetris
● Sekret : minimal
● Pendengaran : normal
● Nyeri tekan tragus : (-)
Leher
● JVP : 5+2 cmH2O
● Kelenjar Tiroid : tidak teraba
● Kelenjar Limfonodi : tidak teraba
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Teraba 2 jari di ICS V linea midclavicula sinistra
Perkusi : Batas Atas : ICS II Linea parasternal sinistra
Batas Kiri : ICS V Linea midclavicula sinistra
Batas Kanan : ICS IV Linea parasternal dextra
Auskultasi : BJ I/II Reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Paru-paru
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, bekas luka(-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), Fremitus taktil kanan = kiri
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : datar, bekas luka (-).
Palpasi : Soepel, Nyeri tekan epigastrium (+).
Perkusi : Timpani (+)
7
Auskultasi : Bising Usus (+), normal
Ekstremitas
Superior : akral hangat, CRT <2 Detik, Edem (-), refleks fisiologis(+/+),
reflex patologis (-/-)
Inferior : akral hangat, CRT <2 Detik, Edem (-), refleks fisiologis(+/+),
reflex patologi (-/-)
Kekuatan motoric: 1 1
1 1
8
Tabel 2.3 Pemeriksaan Gula Darah
GDP - 97 - - <126mg/dl
GPP - 59 - - <200mg/dl
Ureum 44 37 15-39
9
Pemeriksaan EKG
Kesan : DBN
2.9 TATALAKSANA
Non farmakologis :
Tirah baring
Pantau TTV dan KU
konsumsi makanan dengan kadar kalium tinggi seperti kismis, pisang,
aprikot, jeruk, advokat, kacang-kacangan, air kelapa, dan kentang
Memberikan Diet terapi DM sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat
gizi.
BBI : 47,7kg
Kebutuhan kalori : 1.192 kal.
Karbohidrat : 45-65% total asupan energi, (berserat tinggi.)
Lemak : 20-25% kebutuhan kalori
Protein : 10 – 20% total asupan energi.
Natrium : <2300 mg perhari
Serat : 20-35 gram/hari
Kontrol ketat konsentrasi elektrolit
Edukasi pasien dan keluarga
a. Penyebab dari hipokalemi
b. Makanan-makanan yang bias dikonsumsi untuk menaikkan
kadar kalium.
c. perjalanan penyakit DM.
d. Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara
berkelanjutan.
e. Penyulit DM dan risikonya.
f. Intervensi non-farmakologis dan farmakologis serta target
pengobatan.
g. Interaksi antara asupan makanan, aktivitasfisik, dan obat
antihiperglikemia oral atau insulin serta obat-obatan lain.
h. Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa
darah atau urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah
mandiri tidak tersedia).
i. Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia.
j. Pentingnya latihan jasmani yang teratur. Dilakukan secara
secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-
45 menit, dengan total 150 menit perminggu..
k. Pentingnya perawatan kaki.
Farmakologis :
IVFD NaCL 0,9%1 kolf + KCl 30 mEq/3jam
Subtitusi Kalium:
(3,5-1,46) x 0,25 x 58 = 29,58mmol
Inj. Ceftriaxone 1x2gr
Inj Levemir 11 U
Inj Novorapid 3x 6U
Po : KSR 3x1
2.10 PROGNOSIS
● Quo Vitam : Dubia ad bonam
● Quo Functionam : Dubia ad bonam
● Quo Sanactionam : Dubia ad bonam
2.11 FOLLOW UP
3 2
3 2
P:
Tirah baring
Pantau TTV dan KU
konsumsi makanan dengan kadar kalium tinggi
Memberikan Diet terapi DM sesuai dengan kebutuhan
kalori (1192 kal) dan kebutuhan zat gizi.
Kontrol ketat konsentrasi elektrolit
Edukasi pasien dan keluarga
Farmakologis :
IVFD NaCL 0,9%1 kolf + KCl 30 mEq/3jam
Inj. Ceftriaxone 1x2gr
Inj Levemir 11 U
Inj Novorapid 3x 6U
Po : KSR 3x1
G23/12/2019 S: Kaku pada leher, anggota gerak tidak dapat digerakkan.
(Hari III) Mual (+), Muntah (-)
O: TD: 140/80 N : 83x/menit RR: 16x/menit T : 36,20 C
SpO2 : 98%
GDS: 239mg/dl
KU : tampak sakit sedang
Kesadaran : CM (E4V5M6)
Pemeriksaan fisik:
Abdomen: Nyeri tekan epigastrium (+)
Neurologis :
Kaku kuduk (-)
Kekuatan Motorik :
5 5
5 5
P:
Non farmakologis :
Tirah baring
Pantau TTV dan KU
konsumsi makanan dengan kadar kalium tinggi
Memberikan Diet terapi DM sesuai dengan kebutuhan
kalori (1192 kal) dan kebutuhan zat gizi.
Kontrol ketat konsentrasi elektrolit
Edukasi pasien dan keluarga
Farmakologis :
IVFD NaCL 0,9%1 kolf + KCl 30 mEq/3jam
Inj. Ceftriaxone 1x2gr
Inj Levemir 11 U
Inj Novorapid 3x 6U
Po : KSR 3x1
24/12/2019 S: Kaku pada leher, anggota gerak tidak dapat digerakkan.
(Hari IV) Mual (+), Muntah (-)
O: TD: 140/80 N : 83x/menit RR: 16x/menit T : 36,20 C
SpO2 : 98%
GDS: 129mg/dL
KU : tampak sakit sedang
Kesadaran : CM (E4V5M6)
Pemeriksaan fisik:
Abdomen: Nyeri tekan epigastrium (+)
Neurologis :
Kaku kuduk (-)
Kekuatan Motorik :
5 5
5 5
P:
Non farmakologis :
Tirah baring
Pantau TTV dan KU
konsumsi makanan dengan kadar kalium tinggi
Memberikan Diet terapi DM sesuai dengan kebutuhan
kalori (1192 kal) dan kebutuhan zat gizi.
Kontrol ketat konsentrasi elektrolit
Edukasi pasien dan keluarga
Farmakologis :
IVFD NaCL 0,9%1 kolf + KCl 30 mEq/3jam
Inj. Ceftriaxone 1x2gr
Inj Levemir 11 U
Inj Novorapid 3x 6U
PO KSR 3x1
25/12/2019 S: Kaku pada leher, anggota gerak tidak dapat digerakkan.
(Hari IV) Mual (+), Muntah (-)
O: TD: 140/80 N : 83x/menit RR: 16x/menit T : 36,20 C
SpO2 : 98%
GDS: 103mg/dl
KU : tampak sakit sedang
Kesadaran : CM (E4V5M6)
Pemeriksaan fisik:
Abdomen: Nyeri tekan epigastrium (+)
Neurologis :
Kaku kuduk (-)
Kekuatan Motorik :
5 5
5 5
P:
Non farmakologis :
Tirah baring
Pantau TTV dan KU
konsumsi makanan dengan kadar kalium tinggi
Memberikan Diet terapi DM sesuai dengan kebutuhan
kalori (1192 kal) dan kebutuhan zat gizi.
Kontrol ketat konsentrasi elektrolit
Edukasi pasien dan keluarga
Farmakologis :
IVFD NaCL 20tpm
Inj. Levemir 11 U
Inj Novorapid 3x 6U
PO KSR 3x1
26/12/2019 PASIEN PULANG
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
b) Etiologi3,4
Hipokalemia periodik paralise biasanya disebabkan oleh kelainan genetik
otosomal dominan. Hal lain yang dapat menyebabakan terjadinya hipokalemia
periodic paralise adalah tirotoksikosis.
c) Epidemiologi
Angka kejadian periodik paralisis adalah sekitar 1 diantara 100.000
orang, pria lebih sering dari wanita dan biasanya lebih berat. Usia
terjadinya serangan pertama kali bervariasi dari 1-25 tahun, frekuensi
serangan terbanyak di usia 15-35 tahun dan kemudian menurun dengan
peningkatan usia. Sejumlah penderita terserang setelah periode istirahat
sehabis latihan otot berat dan setelah bangun tidur pagi hari.
d) Patofisologi5
Pada orang dewasa yang sehat, asupan kalium harian adalah sekitar 50-
100 mEq. Sehabis makan, semua kalium diabsorpsi akan masuk kedalam sel
dalam beberapa menit, setelah itu ekskresi kalium yang terutama terjadi
melalui ginjal akan berlangsung beberapa jam. Sebagian kecil (<20%) akan
diekskresikan melalui keringat dan feses. Dari saat perpindahan kalium
kedalam sel setelah makan sampai terjadinya ekskresi kalium melalui ginjal
merupakan rangkaian mekanisme yang penting untuk mencegah hiperkalemia
yang berbahaya.
Ekskresi kalium melalui ginjal dipengaruhi oleh aldosteron, natrium
tubulus distal dan laju pengeluaran urine. Sekresi aldosteron dirangsang oleh
jumlah natrium yang mencapai tubulus distal dan peningkatan kalium serum
diatas normal, dan tertekan bila kadarnya menurun. Sebagian besar kalium
yang di filtrasikan oleh gromerulus akan di reabsorpsi pada tubulus proksimal.
Aldosteron yang meningkat menyebabkan lebih banyak kalium yang
terekskresi kedalam tubulus distal sebagai penukaran bagi reabsorpsi natrium
atau H+. Kalium yang terekskresi akan diekskresikan dalam urine. Sekresi
kalium dalam tubulus distal juga bergantung pada arus pengaliran, sehingga
peningkatan jumlah cairan yang terbentuk pada tubulus distal (poliuria) juga
akan meningkatkan sekresi kalium.2
Paramyotonia kongenital
e) Gejala Klinis5
Tanda awal serangan dapat berupa nyeri otot, sangat haus sebelum terjadi
kelemahan. Rasa lemah dimulai dari ektremitas bawah, diikuti dengan anggota
atas, badan dan leher. Otot respirasi jarang terlibat, jika ada maka penderita bisa
mengalami sesak nafas dan meninggal dunia. Pada pemeriksaan dijumpai refleks
fisiologis menurun atau hilang, sementara itu sensasi kulit tetap normal.5
f) Diagnosis6
Diagnosis didapatkan dari anamnesis seperti adanya riwayat pada keluarga
karena erat kaitannya dengan genetik serta gejala klinis seperti yang tersebut di
atas, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari hasil pemeriksaan
didapatkan leukositosis selama serangan, ekg dan elektrolit serum menunjukkan
tanda-tanda hipokalemia dan emg memperlihatkan penurunan amplitudo unit
motor potensial, dan potensial polifasik meningkat jumlahnya serta kecepatan
hantar saraf tepi dalam batas normal.
g) Pemeriksaan Penunjang5,6
1. Kadar K dalam serum.
2. Kadar K, Na, Cl dalam urin 24 jam.
3. Kadar Mg dalam serum.
4. Analisis gas darah.
5. Elektrokardiografi.
h) Diagnosis Banding3,5
1. Kehilangan K melalui ginjal.
a. Kalium dalam urin > 15 mEq/24 jam.
b. Ekskresi kalium disertai poliuria (obat-obat diuretik, diuretic osmotik).
2. Kehilangan K yang tidak melalui ginjal.
a. Kehilangan melalui saluran cerna (diare).
b. Kehlangan melaluikeringat berlebihan.
c. Diet rendah kalium.
d. Muntah.
e. Perpindahan kalium ke dalam sel (alkalosis, insulin agonis beta, paralisis
periodik, leukemia).
i) Terapi5
Untuk memperkirakan jumlah kalium pengganti, perlu disingkirkan faktor-faktor
penyebab, contohnya insulin dan obatobatan. Setelah itu, perlu diperhatikan hal
berikut:
Rumus Subtitusi Kalium:
(K serum yang diinginkan (mEq/L) – K serum yang diukur) x 0,25 x BB (kg)
j) Komplikasi2,3
· Arrhytmia.
· Kelemahan otot progresif.
k) Prognosis3,5,6
Konsumsi suplemen kalium biasanya mengoreksi hipokalemia.
Hipokalemia berat dapat menyebabkan masalah jantung yang dapat fatal.
Hipokalemia yang tidak dapat dijelaskan, hiperkalemia refrakter, atau gambaran
diagnosis alternatif (misalnya, aldosteronisme atau kelumpuhan periodic
hipokalemia) harus dikonsultasikan ke endokrinologi atau nefrologi.
1. Hiperkalemia8
a. Definisi
b. Etiologi
c. Pendekatan Diagnosa
d. Tatalaksana
Agonis Beta-2
Bicarbonat natricus
Menurunkan kalium:
Hemodialisis
e. Komplikasi
Hasil dari adanya defek transportasi dari Na+ Cl- keluar pada segmen-
segmen dari nefron pada TALH (thick ascending limb of henle)
Rangsangan sekresi vasopressin oleh mekanisme nonosmotik
meskipun terdapat keadaan hipoosmolaritas.
c. Etiologi
Tingkat sodium yang rendah dalam darah mengakibatkan
kelebihan air atau cairan dalam tubuh, mengencerkan jumlah yang normal
dari sodium sehingga konsentrasinya nampak rendah. Tipe
hiponatremia ini dapat menjadi hasil dari kondisi- kondisi kronis
seperti gagal ginjal (ketika kelebihan cairan tidak dapat
diekskresikan secara efisien) dan gagal jantung, dimana kelebihan
cairan terakumulasi dalam tubuh. SIADH (sindrom of inappropriate
anti-diuretik hormon) adalah penyakit dimana tubuh menghasilkan terlalu
banyak hormon anti-diuretik, berakibat pada penahanan air dalam tubuh.
Mengkonsumsi air yang berlebihan, contohnya selama latihan yang
berat, tanpa penggantian sodium yang cukup, dapat juga berakibat pada
hiponatremia.
Hiponatremia juga terjadi ketika sodium hilang dari tubuh atau
ketika sodium dan cairan hilang dari tubuh, contohnya selama berkeringat
yang berkepanjangan dan muntah atau diare yang parah. Kondisi- kondisi
medis adakalanya dihubungkan dengan hiponatremia adalah kekurangan
adrenal, hypothyroidism dan sirosis hati. Sejumlah obat- obatan
juga dapat menurunkan tingkat sodium dalam darah contohnya adalah
obat-obatan diuretik, vasopresin, dan sulfonylurea
d. Faktor Risiko
Pada kondisi normal, kadar natrium yang seharusnya adalah 135
hingga 145 mEq/liter (miliequivalen per liter). Jika angkanya kurang dari
135 mEq/liter, maka dianggap mengidap hiponatremia. Terdapat sejumlah
faktor yang bisa memicu hiponatremia. Beberapa di antaranya adalah:
Pengaruh usia. Lansia memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk
mengalami hiponatremia. Selain lansia, bayi juga berisiko lebih tinggi
mengalami hiponatremia. Kedua kelompok usia ini kurang bisa
menyadari rasa haus dan kurang bisa mengendalikan asupan cairan
tubuh mereka.
Diare atau muntah yang parah dan kronis. Kondisi ini bisa memicu
berkurangnya kadar natrium serta elektrolit lain dari tubuh.
Terlalu banyak minum atau kurang minum. Konsumsi terlalu banyak
air umumnya akan memicu hiponatremia. Natrium dikeluarkan tubuh
dalam bentuk keringat. Produksi keringat yang berlebihan pada orang-
orang yang melakukan lari maraton, akan menyebabkan kandungan
natrium dalam darah akan berkurang. Sedangkan kekurangan minum
akan memicu kehilangan cairan serta elektrolit-elektrolit lainnya.
Obat-obatan tertentu, seperti pil diuretik, antidepresan, serta obat
pereda sakit.
Obat-obatan terlarang, khususnya ekstasi.
Kondisi kesehatan tertentu, contohnya gagal jantung, penyakit ginjal,
sirosis hati, syndrome of inappropriate anti-diuretic hormone atau
SIADH (kondisi yang muncul ketika produksi hormon anti-diuterik
sangat tinggi), serta rendahnya kadar hormon tiroid akibat gangguan
pada kelenjar adrenal.
e. Patofisiologi
Etiologi hiponatremia dapat dikategorikan dalam tiga cara
patofisiologi utama berdasarkan osmolalitas plasma.
f. Manifestasi Klinis
h. Tatalaksana
Pengobatan hiponatremia harus dipertimbangkan dari kronisitasnya,
keseimbangan cairan pasien, dan potensi etiologinya. Dalam hiponatremia
akut (durasi ≤ 48 jam '), pengobatan yang cepat dan koreksi natrium
disarankan untuk mencegah edema serebral.
Pada pasien dengan hiponatremia akut dan gejala sisa neurologis
(kejang atau koma) pengobatan dapat dimulai dengan 3% saline. Tidak ada
konsensus universal untuk penggunaan atau dengan rezim yang harus
Kehilangan Na total =
2. Hipernatremi8
a. Definisi
Hipernatrim adalah suatu keadaan dimana kadar natrium >145mEq/L,
keadaan ini jarang terjadi dan sering disebabkan oleh resusitasi cairan yang
berlebih dengan menggunakan larutan NaCL 0,9%. Hipernatremi juga akan
terjadi pada kasus dehidrasi dengan gejala rasa haus yang menonjol.
Pendekatan klinis hipernatremi dibagi atas kategori volume total tubuh
yang kurang, normal dan berlebih.
b. Etiologi
Peningkatan konsentrasi natrium plasma karena kehilangan air dan
larutan ekstrasel (dehidrasi hiperosmotik pada diabetes insipidus) atau
karena kelebihan natrium dalam cairan ekstrasel seperti pada overhidrasi
osmotik atau retensi air oleh ginjal dapat menyebabkan peningkatan
osmolaritas & konsentrasi natrium klorida dalam cairan ekstrasel.19
c. Klasifikasi
Gambar 6. Klasifikasi Hipernatremi
d. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda lebih sering berhubungan langsung dengan CNS dan
termasuk gangguan status mental seperti letarfi, iritabilitas, gelisah, kejang-
kejang, muscle twitching, dan spastisitas. Gejala lain adalah demam, mual,
muntah, nafas terasa berat dan rasa has yang menetap. Berdasarkan
statistic, 2/3 mempunyai gejala sisa neurologis pada akut hipernatremi.
e. Penatalaksanaan
Hipernatremi terjadi pada kondisi klinis yang dapat di antisipasi dan
seharusnya dapat dicegah. Pasien yang dirawat di RS dan usia lanjut
mempunyai risiko tinggi karena gangguan rasa haus dan ketidakmampuan
untuk mendapatkan air yang cukup secara independen. Pada keadaan
tertentu seperti gangguan ginjal akut (AKI), keadaan katabolic terapi cairan
hipertonik diabetes tidak terkontrol dan luka bakar diperlukan perhatian
khusus terhadap kadar elektrolitnya dan pemberian air yang adekuat.
Tujuan pengobatan selalu berdasarkan keadaan hiperosmolaritas
dan ditujukan untuk memperbaiki tonisitas plasma. Rejimen pengobatan
tergantung status volume, dan tatalaksana pengobatan sesuai algoritma
Gambar 7. Algoritma Tatalaksana Hipernatremi
1. Terapi Farmakologis9
Metformin
Tiazolidindion (TZD).
a.Insulin9
c.Terapi Kombinasi
Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal yang utama
dalam penatalaksanaan DM, namun bila diperlukan dapat dilakukan
bersamaan dengan pemberian obat antihiperglikemia oral tunggal atau
kombinasi sejak dini. Pemberian obat antihiperglikemia oral maupun
insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan
secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Terapi
kombinasi obat antihiperglikemia oral, baik secara terpisah ataupun fixed
dose combination, harus menggunakan dua macam obat dengan
mekanisme kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu apabila sasaran
kadar glukosa darah belum tercapai dengan kombinasi dua macam obat,
dapat diberikan kombinasi dua obat antihiperglikemia dengan insulin.
Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis dimana insulin tidak
memungkinkan untuk dipakai, terapi dapat diberikan kombinasi tiga obat
anti- hiperglikemia oral. (lihat bagan 2 tentang algoritma pengelolaan
DMT2)
Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin dimulai
dengan pemberian insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja
panjang). Insulin kerja menengah harus diberikan jam 10 malam
menjelang tidur, sedangkan insulin kerja panjang dapat diberikan sejak sore
sampai sebelum tidur. Pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat
mencapai kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang
cukup kecil. Dosis awal insulin basal untuk kombinasi adalah 6-10 unit.
kemudian dilakukan evaluasi dengan mengukur kadar glukosa darah puasa
keesokan harinya. Dosis insulin dinaikkan secara perlahan (pada
umumnya 2 unit) apabila kadar glukosa darah puasa belum mencapai
target. Pada keadaaan dimana kadar glukosa darah sepanjang hari masih
tidak terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal, maka perlu
diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, sedangkan
pemberian obat antihiperglikemia oral dihentikan dengan hati-hati.
2. Komplikasi DM9
Menurut Schteingart (2006), komplikasi-komplikasi DM dapat dibagi
menjadi dua kategori mayor, yaitu:
1) Komplikasi metabolik akut, meliputi ketoasidosis diabetik
(DKA), hiperglikemia, hiperosmolar, koma nonketotik, dan
hipoglikemia.
2) Komplikasi vaskular jangka panjang, meliputi mikroangiopati
dan makroangiopati.
Komplikasi mikrovaskular antara lain retinopati, nefropati,
dan neuropati. Tiga jenis komplikasi makrovaskular yang umum
berkembang pada penderita diabetes adalah penyakit jantung
koroner, penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit pembuluh
darah perifer
BAB IV
ANALISA KASUS
ANAMNESIS :
PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran : Compos Mentis
Artinya pasien dapat berorientasi dengan baik dan tidak ada penurunan kesadaran
Vital Sign
TD : 120/80
HR : 72x/menit
RR : 24x/menit
Suhu : 36,10 C
SpO2 : 98%
Ekstremitas
Superior : akral hangat, CRT <2 Detik, Edem (-), Motorik (1/1), refleks
fisiologis(+/+), reflex patologis (-/-)
Inferior : akral hangat, CRT <2 Detik, Edem (-), motorik (1/1), refleks
fisiologis(+/+), reflex patologi (-/-)
Dari pemeriksaan fisik abdomen didapatkan nyeri tekan epigastrium (+) yang
mendukung keluhan mual dan muntah , dan dari pemeriksaan fisik ekstremitas
didapatkan kekuatan motoric ke empat anggota gerak pasien 1 yang merupakan
manifestasi klinis dari hypokalemia periodic paralysis.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Dari pemeriksaan darah rutin : leukositosis.
TATALAKSANA
Non farmakologis :
Tirah baring
Pantau TTV dan KU
konsumsi makanan dengan kadar kalium tinggi seperti kismis, pisang,
aprikot, jeruk, advokat, kacang-kacangan, air kelapa, dan kentang
Memberikan Diet terapi DM sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat
gizi.
BBI : 47,7kg
Kebutuhan kalori : 1.192 kal.
Karbohidrat : 45-65% total asupan energi, (berserat tinggi.)
Lemak : 20-25% kebutuhan kalori
Protein : 10 – 20% total asupan energi.
Natrium : <2300 mg perhari
Serat : 20-35 gram/hari
Kontrol ketat konsentrasi elektrolit
Edukasi pasien dan keluarga
a. Penyebab dari hipokalemi
b. Makanan-makanan yang bias dikonsumsi untuk menaikkan
kadar kalium.
c. perjalanan penyakit DM.
d. Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara
berkelanjutan.
e. Penyulit DM dan risikonya.
f. Intervensi non-farmakologis dan farmakologis serta target
pengobatan.
g. Interaksi antara asupan makanan, aktivitasfisik, dan obat
antihiperglikemia oral atau insulin serta obat-obatan lain.
h. Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa
darah atau urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah
mandiri tidak tersedia).
i. Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia.
j. Pentingnya latihan jasmani yang teratur. Dilakukan secara
secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-
45 menit, dengan total 150 menit perminggu..
k. Pentingnya perawatan kaki.
Farmakologis :
o IVFD NaCL 0,9%1 kolf + KCl 30 mEq/3jam
o Inj. Ceftriaxone 1x2gr
o Inj Levemir 11 U
o Inj Novorapid 3x 6U
Tujuan pengobatan adalah mengobati simptom dan mencegah terjadinya
serangan ulang. Pencegahan sebaiknya disesuaikan dengan faktor pencetusnya,
pemberian kalium selama serangan dapat menghentikan gejala. Pengobatan yang
dianjurkan adalah pemberian kalium per oral, jika keadaan berat mungkin
dibutuhkan pemberian kalium intravena.
Terapi paralisis hipokalemi biasanya simtomatik, bertujuan menghilangkan
gejala kelemahan otot yang disebabkan hipokalemi. Terapinya mencakup
pemberian kalium oral, modifikasi diet dan gaya hidup untuk menghindari
pencetus, serta farmakoterapi.
Di beberapa literatur, disarankan pemberian kalium oral dengan dosis 20-
30 mEq/L setiap 15-30 menit sampai kadar kalium mencapai normal. Kalium
klorida (KCl) adalah preparat pilihan untuk sediaan oral. Suplementasi kalium
harus diberikan hati-hati karena hiperkalemia akan timbul saat proses redistribusi
trans-selular kalium berhenti.
Sediaan kalium oral dapat menyebabkan keluhan gastrointestinal dan
tablet bersalut enterik dilaporkan menyebabkan tukak usus halus. Sediaan garam
kalium mikroenkapsulasi mungkin tidak begitu menimbulkan keluhan
gastrointestinal.
Pada kasus paralisis hipokalemik berat atau dengan manifestasi perubahan
EKG, harus diberikan kalium intravena (IV) 0,5 mEq/kg selama 1 jam, infus
kontinu, dengan pemantauan ketat.
Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pemberian kalium ialah kadar
kalium plasma, gejala klinis, fungsi ginjal, dan toleransi pasien. Suplementasi
kalium dibatasi jika fungsi ginjal terganggu. Pemberian oral lebih aman karena
risiko hiperkalemia lebih kecil.
BAB V
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Setiati Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II-III. Jakarta : Interna
Publising. 2014
2. Alwi, Idrus et all. 2015. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam
Panduan Praktik Klinis. Jakarta: Interna Publishing
3. Weber F, Lehmann-Horn F. Hypokalemic Periodic Paralysis. 2002 Apr 30
[Updated 2018 Jul 26]. In: Adam MP, Ardinger HH, Pagon RA, et al., editors.
GeneReviews® [Internet]. Seattle (WA): University of Washington, Seattle;
1993-2019..
4. Winarno, Agus Nur Salim, dkk. 2018. Laporan Kasus: Paralisis Periodik
Hipokalemik diduga Familial yang Dipicu Vomitus. CDK-261/ vol. 45 no. 2
th. 2018
5. Nathania, Maggie. 2019. Hipokalemi- Diagnosa dan Tatalaksana. IAI: CDK-
273/ vol. 46 no. 2 th. 2019
6. Ulfa R, Periodik Paralisis Hipokalemi pada Wanita 25 Tahun. Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung:Medula, Volume 1, Nomor 5, Oktober
2013
7. Yaswir, Rismawati. Fisiologi dan Gangguan Keseimbangan Natrium, Kalium
dan Klorida serta Pemeriksaan Laboratorium. Jurnal Kesehatan Andalas.
2012; 1(2): http://jurnal.fk.unand.ac.id
8. Setyohadi, Bambang, dkk. Eimed Dasar dan Kegawatdaruratan Penyakit
Dalam. Eimed PAPDI. Perhimpunan Dokter Penyakit Dalam Indonesia
9. Soelistjo, Soebagijo Adi, dkk. PENGELOLAAN DAN PENCEGAHAN
DIABETES MELITUS TIPE 2 DI INDONESIA 2015. Jakarta: PB
Perkeni. 2015
CLINICAL REPORT SESSION (CRS)
* Kepaniteraan Klinik Senior / G1A218096 / Desember 2019
** Pembimbing / dr. Nelila Pasmah Fitriani Siregar, Sp.PD
Kolitis TB
PENDAHULUAN
Berdasarkan data WHO pada tahun 2014, sebanyak 9,6 juta orang terkena
Tuberkulosis (TB) dan 1,5 juta orang meninggal akibat TB. Secara global, India
dan Indonesia memiliki jumlah kasus tertinggi berturut-turut sebanyak 23% dan
10% kasus global. Pada tahun 2014, Indonesia menempati urutan kedua sebagai
negara dengan prevalensi tertinggi di Asia Tenggara setelah Timor Leste.
Prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2014 adalah 647 per 100.000 penduduk,
sedangkan insidennya ditemukan sebanyak 399 kasus per 100.000 penduduk.1
TB ekstrapulmonal ditemui pada 15-20% populasi dengan insiden HIV
rendah dan merupakan salah satu manifestasi TB ekstrapulmonal tersering.2-5
Sementara itu, TB di abdomen didapatkan pada 11% pasien TB ekstrapulmonal.6
Laporan kasus menyebutkan bahwa sebanyak 2-3% TB abdomen ini terjadi di
kolon .7 TB intestinal dapat ditemui pada berbagai usia namun didominasi oleh
rentang usia 20-40 tahun.2
Lesi TB pada saluran cerna dapat berupa primer atau sekunder. TB usus
primer hanya ditemukan pada 1% kasus di Eropa. Kasus kolitis TB jarang
ditemukan karena sulitnya identifikasi biopsi dari endoskopi dan hanya 1 dari 3
kasus TB saluran cerna yang menunjukkan hasil positif dari kultur dan hanya 2
dari 3 kasus melalui pemeriksaan polymerase chain reaction ( PCR).1,2
Diagnosis TB usus merupakan hal yang menantang bagi klinisi karena
manifestasi klinis yang beragam sehingga menyerupai penyakit infeksi lain,
autoimun, keganasan dan terkait zat iritan (kasusnya jarang).3,10 Kurang dari
25% pasien dengan TB gastrointestinal juga memiliki infeksi TB pada paru.3,4
Dengan demikian, diagnostik yang cepat dan akurat sangat penting agar
tatalaksana pasien dapat optimal. Pada pembahasan ini akan dibahas tentang
diagnosis, manifestasi klinis dan tatalaksanan umum TB intestinal.3
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
TRANSMISI
Proses infeksi M. tuberculosis umumnya ditularkan dengan cara terhirup
yang lebih mengarah ke TB paru, merupakan manifestasi klinis yang paling
umum dibandingkan dengan organ lain. Transmisi ini Penyakit ini lebih banyak
terjadi dengan menghirup basil yang mengandung droplet nuklei khusus dari paru
Pasien TB dengan batuk produktif atau hemaptoe yang mengandung basil asam
cepat (AFB). Infeksi yang disebabkan oleh Bovis Mycobacterium mungkin
ditularkan melalui susu yang tidak disterilkan secara memadai atau telah
contaminated.4,5
Gambar 1. Penyebaran tuberculosis2
EPIDEMIOLOGI
Dalam kolitis TB, sekum dan kolon ascenden merupaka dua daerah yang
paling sering terkena, diikuti oleh usus besar dan usus halus. Berdasarkan
beberapa referensi, 6-90% pasien dengan TB paru memiliki keterlibatan enterik.
Interval yang besar pada hal ini disebabkan oleh keparahan TB paru, di mana
keparahan TB paru berbanding lurus denganketerlibatan enterik bersamaan.7,8
Tabel 1. Distribusi Anatomi dari TB usus (dari seri klinis dan nekropsi)
8
Bagian Kasus (%)
Duodenum 2-3
Jejunum 7-25
Ileum 70-80
Area Ileosekal 55-85
Appendix 5-25
Colon 25-50
Rektum 5-10
Anal canal 0-4
Di sisi lain, 7-75% pasien dengan enteritis TB telah ada riwayat TB paru
bersamaan berdasarkan pada berbagai laporan di Kanada, Amerika Serikat, dan
Inggris. Studi di India melaporkan bahwa 60-75% pasien dengan enteritis TB
tidak memiliki hubungan dengan paru aktif TB, 0-20% memiliki hubungan
dengan TB paru aktif, dan 5-40% memiliki hubungan dengan paru tidak aktif TB.
7,8
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis dan temuan patologi anatomi TB intestinal sangat
bervariasi. Manifestasinya dapat tidak spesifik dan menunjukkan kemiripan
dengan gangguan gastrointestinal lain, seperti penyakit Crohn, colitis ulseratif,
limfoma, enteritis amuba, actinomikosis dan enterokolitis Yersinia sp atau bahkan
keganasan pada kolon.11
Pemberian imunosupresan pada kasus yang salah duga sebagai
inflammatory bowel disease dapat mengakibatkan penyebaran sistemik TB
dengan komplikasi fatal.12 Sebaliknya, pemberian antituberkulosis empirik dapat
menyebabkan penundaan terapi penyakit Crohn sehingga meningkatkan risiko
eksaserbasi dan komplikasi.13 Oleh karena itu, dugaan klinis sangat menentukan
diagnosis yang tepat. 3,14
Pada umumnya, pasien datang dengan keluhan nyeri perut, diare dan
penurunan berat badan.5,15 Keluhan nyeri abdomen dapat ditemukan pada TB
intestinal dan penyakit Crohn’s. Namun, jika pada anamnesis didapatkan data
pasien dari daerah endemis TB, riwayat imunosupresi dan ada keluarga yang
terdiagnosis TB atau ditemukan TB ditempat lain, maka kecurigaan lebih
mengarah ke TB. 16
Adanya diare dan hematokezia, penyakit perianal, malabsorpsi dan
rekuren penyakit setelah operasi mengarahkan kecurigaan ke penyakit Crohn.
Pada penyakit Crohn sering ditemukan granuloma di mukosa dengan keterlibatan
kurang dari 4 segmen. Lesi dikelilingi mukosa yang tampak normal dan tidak
tampak ulser aftosa, kecuali pada pasien yang sebelumnya telah didiagnosis
penyakit Crohn. Lesi dapat meliputi lesi anorektal. Ulkus longitudinal, ulkus
aftosa, fistula dan gambaran cobblestone. Ulkus yang dalam, fisura, longitudinal,
khas untuk penyakit Crohn, ulkus longitudinal yang lebih kecil yang dipisahkan
oleh edema atau mukosa yang tidak terlibat dapat membentuk gambaran
cobblestone. 16
Pada TB saluran cerna granuloma sering ditemukan di submukosa.
Gambaran lesi per endoskopi dapat berupa liner, fisura, ulkus transversal,
sirkumferens atau massa polipoid. Mukosa sekitar lesi dapat tampak abnormal,
eritema, edema, iregular atau nodul. Tidak seperti pada penyakit Crohn, pada TB
saluran cerna umumnya lesi bersifat multifokal.
Studi pada 100 kasus dengan diare infektif menemukan bahwa 3,6%
diantaranya disebabkan oleh TB. Benjolan hanya ditemukan pada 13,4% pasien,
sedangkan limfadenopati ditemukan pada 1,5%. Peningkatan leukosit, LED, CRP
dan hemoglobin yang rendah mungkin ditemukan pada fase aktif kedua
penyakit.3 Peningkatan trombosit, pada fase aktif penyakit Crohn mungkin
disebabkan karena hiposplenisme reversibel yang meningkatkan kecurigaan
penyakit tersebut dibandingkan TB usus.16
Gambaran klinis TB intestinal meliputi: 1) gejala konstitusi seperti
demam, anoreksia dan penurunan berat badan; 2) gejala akibat ulserasi mukosa
seperti diare, hematoskezia dan malabsorpsi; 3) Gejala terkait keterlibatan
transmural seperti nyeri perut, tegang dan muntah akibat obstruksi lumen, teraba
benjolan, perforasi usus, fistula perianal dan intestinal; 4) manifestasi
ekstraintestinal seperti artritis, peritoneum dan kelenjar limfe; 5) riwayat kontak
dengan TBC.18 Penelitian oleh Mukewar, dkk.3 menyebutkan perubahan pola
defeksi dapat berupa diare atau diare yang bergantian dengan konstipasi.
Lesi makroskopik TB saluran cerna dari endoskopik dapat berupa ulserasi,
nodul, polip dan penyempitan lumen. 3,7,16 Selain itu, dapat juga ditemui gambaran
multipel fibrous band irregular. Beberapa literatur menyebutkan bahwa ulkus
kolon berbentuk linear atau transversal, namun Yusuf, dkk.16 menemukan bentuk
ulkus yang bulat sepanjang kolon. Gambaran ulkus atau kolitis pada TB intestinal
pada umumnya segmental, namun pada kondisi yang jarang dapat ditemui
gambaran colitis difus 21 Keterlibatan 3 atau lebih segmen intestinal lebih
mengarahkan ke diagnosis penyakit Crohn, sedangkan lesi TB intestinal lebih
terlokalisasi.13
Chong, dkk.5 membagi lesi TB saluran cerna menjadi 3 kategori, yaitu
tipe ulseratif (60%), hipertrofik (10%) dan lesi seperti massa atau hipertrofik
menyerupai ulkus (30%). Ulserasi dan penyempitan lumen adalah lesi yang paling
sering ditemui. Lesi ulseratif banyak ditemukan pada pasien dengan defisiensi
sistem imun, sedangkan lesi hipertrofik ditemukan pada pasien dengan sistem
imun baik. Lesi hipertrofik menyerupai ulkus paling banyak ditemukan pada TB
ileosaekal dibanding TB pada segmen usus lain.5,14
yang dalam pada kolon asendens. (B) TBC usus — lesi ulceroproliferatif di katup
ileocecal
Gambar 2. (a) Gambaran kolonoskopi menunjukkan lesi ulsero hipertropik di
caecum dengan multiple lesi nodular dan penebalan katup ileosekal dengan
perluasan ke colon ascenden. (b) lesi ulserasi dengan slough nekrotik (c) nodul
proksimal katup ileosaecal.
yang dalam pada kolon asendens. (B) TBC usus — lesi ulceroproliferatif di katup
ileocecal
LOKASI
Lokasi TB saluran cerna yang paling umum ditemui adalah ileum atau
ileosacecal.3,4,7,21 Hal ini disebabkan karena tingginya kelenjar limfoid dan
kontak yang lama dengan usus kecil. 3,6 Mikroorganisme berpenetrasi ke mukosa
dan jaringan limfoid di submukosa dan kemudian terjadi reaksi inflamasi yang
diikuti limfangitis, edarteritis, granuloma, nekrosis perkijuan, ulserasi mukosa dan
fibrotik jaringan.19 Pada kolon, lesi yang tersering adalah sisi kanan (kolon
asenden dan kolon tranversum). Beberapa studi menemukan bahwa lesi tersering
adalah di kolon transversum dengan lesi dominan striktur, namun penelitian hanya
berdasarkan radiologis bukan endoskopis.3
Tabel 2. Distribusi anatomis TB saluran cerna
DIAGNOSIS
Problem diagnostik diakibatkan sulitnya konfirmasi TB saluran cerna
melalui metode bakteriologik. Klinisi yang handal mungkin menegakkan
diagnosis yang tepat pada setengah pasien berdasarkan anamnesis, tanda dan
gejala saja. Sementara itu, pemeriksaan radiologis, endoskopik, histopatologik dan
mikrobiologik dapat mendukung diagnostik sampai 80%.13
Diagnosis pasti TB kolon ditegakkan bila dari biopsi ditemukan granuloma
dan atau basil tahan asam.3 Biopsi dari lesi hanya dapat mendeteksi 60-80%
penyakit.23 Pemeriksaan diagnostik yang membutuhkan waktu lama seperti
pewarnaan basil tahan asam dari biopsi atau sputum, kultur M. tuberculosis, uji
Mantoux dan rontgen toraks sering negatif pada TB ekstraparu.13
Diagnosis awal didasarkan pada penilaian klinis, yaitu demam yang tidak
diketahui sebabnya, penurunan berat badan, anemia, riwayat TB paru atau infeksi
aktif, kontak TB dan biopsi menunjukkan non caseating granuloma dan inflamasi
kronik.3 Perbedaan pada hasil pemeriksaan klinis, endoskopik, radiologis,
patologis, kultur dan pemeriksaan molekuler dapat digunakan utuk membedakan
keduanya.3 Beberapa kepustakaan mengatakan bahwa pemeriksaan diagnostik
yang direkomendasikan adalah kolonoskopi dan biopsi.5,13
Ada beberapa kriteria diagnostik klinis untuk TB intestinal yang perlu
diperhatikan. Beberapa kriteria tersebut yaitu: 1) kultur positif jaringan atau
kelenjar getah bening; 2) istopatologik menunjukkan menunjukkan batang tahan
asam M. tuberculosis di lesi; 3) ditemukan tuberkel dan nekrosis perkijuan dari
gambaran histologik; 4) gambaran endoskopi dan histologik sesuai dengan infeksi
TB ; dan 5) respon baik dengan terapi OAT.
Pasien kolitis TB terkonfirmasi apabila biopsi menunjukkan granuloma
perkijuan dan atau basil tahan asam. Sementara itu, dugaan kolitis TB dibuat
berdasarkan manifestasi klinik, yaitu demam tanpa sebab, penurunan berat badan,
anemia, riwayat TB paru, TB paru aktif, kontak TB positif dan biopsi
menunjukkan non caseating granuloma dan inflamasi kronik. Respon terhadap
terapi TB juga digunakan sebagai metode diagnostik.
1. Histologi
Beberapa studi telah mengevaluasi parameter-parameter histologi dari
biopsi kolonoskopi untuk membedakan TB intestinal dengan penyakit Crohn.
Parameter tersebut meliputi karakteristik granuloma seperti ukuran, jumlah,
konfluens, nekrosis perkijuan, lokasi, mikrogranuloma, bentuk ulserasi dan
kerusakan submukosa. Gambaran histologis TB intestinal yang khas adalah
konfluen, granuloma caseosa yang mengandung basil tahan asam dan dikelilingi
limfoid cuff. Hal tersebut ditemukan pada semua lapisan dinding usus dan kelenjar
getah bening regional. Granuloma awal kadang hanya ditemukan di jaringan
limfoid, namun dapat juga ditemukan metaplasia pilorik ekstensif, ulkus fisura
superfisial yang melas sampai ke submukosa dan penyembuhan terjadi melalui
fibrosis dan regenerasi epitel yang dimulai dari tepi. Granuloma penyembuhan
dikelilingi jaringan fibrosis di kelenjar limfe namun tidak pada dinding
intestinal.14
Biopsi dalam harus diambil di tepi ulkus karena granuloma sering berada
di submukosa, tidak seperti granuloma pada penyakit Crohn yang umum ditemui
pada lapisan mukosa. Namun demikian, pada pasien dengan TB paru aktif,
pemeriksaan hasil biopsi positif pada lesi usus dapat merupakan positif palsu
akibat Mycobacterium tuberculosis yang tertelan dari sputum. Selain itu, terapi
TB sebelumnya dapat mengubah gambaran umum dan mikroskopik sehingga
menyebabkan salah diagnosis.8
2. Endoskopi
Endoskopi gastrointestinal- ileokolonoskopi, enteroskopi dan
gastroduodenoskopi berperan penting dalam membedakan TB intestinal dengan
penyakit Crohn. Endoskopi memungkinkan visualisasi langsung dan biopsi lesi.
Daerah ileosaekal merupakan lokasi yang paling sering terkena infeksi dan
kolonoskopi dengan intubasi ileum retrograd (ileokolonoskopi) adalah
pemeriksaan pilihan. Ileokolonoskopi ini, pada pasien dengan dugaan atau ter-
bukti penyakit Crohn, dibandingkan dengan video kapsul enteroskopi
menunjukkan sensitifitas 67% vs 83% dan spesifisitas 100% vs 53%.
Ballon assisted dan spiral enteroskopi adalah modalitas pilihan untuk
mengevaluasi usus kecil karena kemampuan biopsi dan terapeutik. Biospi usus
kecil penting karena lesi ulseratif tidak dapat dibedakan hanya dari gambaran
endoskopi. Biopsi dari mukosa kolon atau gastroduodenal mukosa yang tampak
normal mungkin dapat menjadi kunci diagnostik pada pasien yang diduga
menderita penyakit Crohn.18 Skip lession lebih umum ditemui pada pasien
penyakit Crohn dibanding TB intestinal (66% vs 17%), begitu juga dengan
ulserasi aftosa, ulserasi linier, ulserasi superfisial dan cobblestone mukosa kolon,
yaitu masing-masing 54% vs 13%, 30 % vs 7%, 51% vs 17%) dan 17% vs 0%.
Sementara itu, nodularitas kolon lebih banyak ditemukan pada TB intestinal
(24.5% vs 49%).
Penggunaan kapsul endoskopi untuk diagnosis TB intestinal jarang
digunakan karena tidak mampu untuk biopsi. Namun, beberapa kasus TB
intestinal yang diperiksa melalui kapsul endoskopi menujukkan gambaran
multipel ulkus mukosa yang scattered, pendek, oblik atau tranversal dengan dasar
nekrotik pada jejunum dan ileum. Sulit untuk membedakan TB intestinal dengan
penyakit Crohn hanya dari gambaran kapsul endoskopi saja.18 Endoskopi juga
digunakan untuk evaluasi lesi TB intestinal pasca terapi.3
3. Radiologi penunjang
Rontgen toraks mungkin dapat membantu diagnosis TB intestinal, namun
hasil yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan TB intestinal.16 Hanya 20%
TB paru aktif yang dikaitkan dengan TB saluran cerna.13 Penggunaan fluorescent
untuk diagnosis TB usus meningkatkan sensitifitas namun spesifisitas masih
rendah.3 Pemeriksaan Barium enema akan menunjukkan ulkus segmental,
ketebalan mukosa, stenosis dan deformitas katup ileosekal. 8,12 Terminal ileum
akan menyempit (fleischner sign). Pemeriksaan usus kecil dan barium enema
menunjukkan hasil high riding caecum dengan atau tanpa string like lesion dari
ileum terminal.2
4. Kultur
Waktu yang dibutuhkan untuk kultur M. tuberculosis dengan BACTEC
adalah 2-3 minggu namun sensitifitasnya rendah. Pemeriksaan kultur M.
tuberculosis dari biopsi spesimen mahal dan hasilnya dapat bervariasi.
TERAPI
Terapi untuk TB intestinal meliputi terapi farmakologis OAT dan bedah.8
Pilihan pertama untuk terapi TB intestinal adalah OAT. Ketika pasien diduga TB
intestinal, maka OAT dapat diberikan dosis penuh.16 Sementara itu, pembedahan
adalah pilihan kedua untuk mengatasi TB intestinal dengan komplikasi.16
Diperlukan kombinasi 3 macam obat atau lebih obat anti tuberculosis
seperti pada pengobatan TB paru, demikian pula lama pengobatan dan dosis
obatnya. Kadang-kadang perlu tindakan bedah untuk mengatasi komplikasi.
Beberapa obat anti TB yang sering dipakai adalah:1
INH 5-10mg/kgbb atau 400mg sekali sehari.
Etambutol 15-25mg/kgbb atau 900-1200 mg 1x/hari
Rifampisin 10mg/kgbb atau 450-600 mg 1x/hari
Pirazinamid 25-35mg/kgbb atau 1,5-2g 1x/hari1
Atau menggunakan kombinasi 1 OAT. Paduan OAT ini diberikan untuk
pasien baru:18
• Pasien baru TB paru BTA positif.
• Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
• Pasien TB ekstra paru
Dosis yang digunakan untuk paduan OAT KDT Kategori 1:
2(HRZE)/4(HR)3
intestinal.
Reaksi paradoksikal dapat terjadi selama pemberian OAT. Reaksi ini
didefinisikan sebagai perburukan klinis atau radiologis pada pasien dengan lesi
TB. Reaksi ini juga dapat berupa terjadinya lesi baru pada pasien yang awalnya
memberikan respon dengan terapi.3,6
Seperti telah disebutkan sebelumnya, pembedahan merupakan pilihan
kedua untuk mengatasi TB usus dengan komplikasi.16
Pasien dengan keluhan perut walaupun telah diberikan terapi OAT harus
dicurigai onstruksi intestinal subakut.3,7 Hal ini harus dideteksi dini dan
dipertimbangkan tindakan pembedahan untuk mengurangi komplikasi akibat
perforasi. Namun demikian, tidak seperti TB paru, definisi sembuh untuk TB
ekstra paru sulit didefinisikan dan belum ada kriteria baku untuk mengakhiri
terapi.3,6
DIAGNOSA BANDING1
1. Penyakit Crohn
2. Amebiasis
3. Diverkulitis
4. Karsinoma Kolon
KOMPLIKASI
Komplikasi serius yang mungkin terjadi adalah obstruksi usus (15-60%),
fistula (25%) dan perforasi (15%) dengan angka kematian 30-40%. Komplikasi
lainnya yaitu dapat berupa perdarahan masif meskipun jarang terjadi.5,8
BAB V
KESIMPULAN
TB intestinal adalah manifestasi TB ekstrapulmonal terbanyak keenam.
Diagnostik yang akurat penting agar tatalaksana OAT dapat segera diberikan.
Sulitnya diagnosis TB intestinal disebabkan karena gambaran klinis yang tidak
spesifik. Sampai saat ini tidak ada metode tunggal yang dapat mendeteksi TB
intestinal secara tepat dan akurat, sehingga dibutuhkan kombinasi penilaian klinis
dan pemeriksaan berbagai modalitas. Pasien yang telah didiagnosis TB intestinal,
diberikan terapi OAT dan pertimbangan bedah jika mengalami komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Setiati Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II-III. Jakarta : Interna
Publising. 2014
2. WHO. Tuberculosis control in the south east asia region: annual report
2016 [Internet]. Geneva: World Health Organization; 2016 [cited 2016
Apr 13].p.1-219. Available from: http://www.searo. who.int/tb/annual-tb-
report-2016.pdf?ua=1
3. TB/CTA, CDC, ATS, KNCV, The Union, WHO. International standards
for tuberculosis care (ISTC) [Internet]. Geneva: World Health
Organization;2006 [cited 2016 Feb 13]. p.1-60. Available from:
http://www.who.int/tb/publications/ISTC_3rdEd.pdf
4. Mukewar S, Ravi R, Prasad A, Dua K. Colon Tuberculosis: Endoscopic
Features and rospective Endoscopic Follow-Up After Anti- Tuberculosis
Treatment. Clin Transl Gastroenterol. 2012;3(10):e24.
5. Chong VH, Lim KS. Gastrointestinal Tuberculosis. Singapore Med J.
2009;50(6):638.
6. Yusuf AI, Syam AF, Simadibrata M, Fauzi A. Multiple Lessions of The
Colon and Ileocaecal Valve in Collitis Tuberculosis Patient with Positive
Bacili Examination in the Stool. The Indones J Gastroenterol Hepatol Dig
Endosc. 2009;10(1):33-7.
7. Ranitya R, Syam AF, Kolopaking MS, Yuwono V. Diagnostic Problem
and Management of Intestinal Tuberculosis. Indones J Gastroenterol
Hepatol Dig Endosc. 2001;2(3):1-3.
8. Foster BD, Buchberg B, Parekh NK, Mills S. Case of Intestinal
Tuberculosis Mimicking Crohn’s Disease. Am J Case Rep. 2012;13:58-
61.
9. Mario C. Raviglione, Richard J. O’Brien. Tuberculosis. In: Longo, Fauci,
Kasper, Hauser, Jameson, Loscalzo, editors. Harrison’s principles of
internal medicines, 18th edition. Mc Graw Hill Education, 2015. p.1102-
22.
10. Kapoor VK. Abdominal Tuberculosis. Postgrad Med J. 1998;74(874):459-
67.
11. Larsson G, Shenov T, Ramasubramanian R, Kondarappassery LB,
Smastuen MC, et al. Routine Diagnosis of Intestinal Tuberculosis and
Chron’s Disease in Southern India. World J Gastroenterol.
2014;20(17):5017-24.
12. Jung JH KS, Cho YK, Ahn SB, Son BK,Jo YJ et al. A case report of
primary duodenal tuberculosis mimicking a malignant tumor. Clin
Endosc. 2014;47(4):346-9.
13. Sibuea TP, Syam AF, Joewono VD, Simadibrata M. Colonic Tuberculosis
and Chronic Diarrhea. Indones J Gastroenterol Hepatol Dig Endosc.
2001;2(2):32-7.
14. Farrill GZ, Castillo JDD, Sanchez CG, Villanue E, Saenz EV, Donoghue
JA. Colonic Tuberculosis in an Immunocompetent Patient. International
Journal of Surgery Case Report. 2013;4(4):359-61.
15. Pulimood A, Amarapurkar DN, Ghoshal U, Philip M, Pai CG, Real DN, et
al. Differentiation of Penyakit Crohn’sFrom Intestinal Tuberculosis in
India in 2010. World J Gastroenterol. 2011;17(3):433-43.
16. Michalopoulos A, Papadopoulos VN, Panidis S, Papavramidis TS, Chiotis
A , Basdanis G. Cecal Obstruction Due to Primary Intestinal Tuberculosis:
A Case Series. J Med Case Rep. 2011;128:1-5.
17. Park YS JD, Kim SH, Lee HH, Jo YJ, Song MH etal. Colonoscopy
evaluation after short-term anti-tuberculosis treatment in nonspecific
ulcers on the ileocecal area. World J Gastroenterol. 2008;14(32):5051-8.
18. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
364/Menkes/Sk/V/2009 Tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis
(Tb) Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2009