Anda di halaman 1dari 80

CLINICAL REPORT SESSION (CRS)

* Kepaniteraan Klinik Senior / G1A218096 / Desember 2019


** Pembimbing / dr. Nelila Pasmah Fitriani Siregar, Sp.PD

Hypokalemi Periodic Paralysis dengan Electrolit Imbalance

Dinda Sahyati Rizki Nalia Pohan, S.Ked *

dr. Nelila Pasmah Fitriani Siregar, Sp.PD**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019

i
HALAMAN PENGESAHAN

CLINICAL REPORT SESSION (CRS)

Hypokalemi Periodic Paralysis dengan Electrolit Imbalance

Disusun Oleh :
Dinda Sahyati Rizki Nalia Pohan, S.Ked
G1A1218050

Kepaniteraan Klinik Senior

Bagian/SMF Penyakit Dalam RSUD Raden Mattaher Prov. Jambi

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Pada Desember 2019

Pembimbing

dr. Nelila Pasmah Fitriani Siregar, Sp.PD

i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat Clinical Report Session(CRS) yang
berjudul “Hypokalemi Periodic Paralysis dengan Electrolit Imbalance” sebagai
salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu
Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi
Jambi.Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Nelila Pasmah Fitriani
Siregar, Sp.PD yang telah bersedia meluangkan waktudan pikirannya untuk
membimbing penulis selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian
Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi
Jambi.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada Laporan Kasus


ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan
laporan kasus ini. Penulis mengharapkan semoga Laporan kasus ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Jambi, Desember 2019

Dinda SR Nalia Pohan,


S.Ked

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hipokalemik periodik paralisis adalah kelainan yang ditandai dengan


kadar kalium (kalium) yang rendah (kurang dari 3.5 mmol/L) pada saat serangan,
disertai riwayat episode kelemahan sampai kelumpuhan otot skeletal.
Hipokalemia dapat terjadi karena adanya faktor pencetus tertentu, misalnya
makanan dengan kadar karbohidrat tinggi, istirahat sesudah latihan fisik,
perjalanan jauh, pemberian obat, operasi, menstruasi, konsumsi alkohol dan lain-
lain. Kadar insulin juga dapat mempengaruhi kelainan ini pada banyak penderita,
karena insulin akan meningkatkan aliran kalium ke dalam sel. Pada saat serangan
akan terjadi pergerakan kalium dari cairan ekstra selular masuk ke dalam sel,
sehingga pada pemeriksaan kalium darah terjadi hipokalemia. Kadar kalium
biasanya dalam batas normal diluar serangan. Pencetus untuk setiap individu
berbeda, juga tidak ada korelasi antara besarnya penurunan kadar kadar kalium
serum dengan beratnya paralisis (kelemahan) otot skeletal.1,2

Penderita dapat mengalami serangan hanya sekali, tetapi dapat juga


serangan berkali-kali (berulang) dengan interval waktu serangan juga bervariasi.
Kelemahan biasanya terjadi pada otot kaki dan tangan, tetapi kadangkadang dapat
mengenai otot mata, otot pernafasan dan otot untuk menelan, di mana kedua
keadaan terakhir ini dapat berakibat fatal. Angka kejadian adalah sekitar 1
diantara 100.000 orang, pria lebih sering dari wanita dan biasanya lebih berat.
Usia terjadinya serangan pertama bervariasi dari 1–20 tahun, frekuensi serangan
terbanyak di usia 15–35 tahun dan kemudian menurun dengan peningkatan usia.
Hipokalemik periodik paralisis biasanya terjadi karena kelainan genetik otosomal
dominan. Hal lain yang dapat menyebabkan terjadinya hipokalemik periodik
paralisis adalah tirotoksikosis (thyrotoxic periodic paralysis), hiperinsulin.1

3
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. S
Umur : 41 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : RT. 07 Dusun Sungai Rengas
Pekerjaan : IRT
MRS : 21 Desember 2019

2.2 ANAMNESIS

Keluhan Utama :

Kedua kaki dan kedua tangan semakin sulit digerakkan sejak ±1 jam
SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke RS dengan keluhan kedua kaki dan kedua tangan yang
sulit digerakkan sejak ±1 jam SMRS disertai rasa kaku di bagian tengkuk. Pasien
hanya mampu menggerakan jari-jari tangan dan kakinya.

Sebelumnya, ± 2 hari SMRS pasien mengaku mengalami muntah >5x/hari,


sebanyak 1 gelas air mineral kemasan setiap muntah, berisi apa yang dimakan.
Sehingga badan pasien terasa lemas jika bergerak, namun saat itu pasien masih
dapat beraktivitas. .
Kelemahan anggota gerak tidak disertai dengan rasa kebas/mati rasa,
sesak napas (-), gangguan bicara (-), gangguan kesadaran (-), demam (-), dan diare
(-). Pasien belum minum obat untuk mengurangi keluhannya. Mual (+), muntah
(+), pusing (+), Nyeri perut (-), batuk pilek (-) BAK dan BAB tidak ada keluhan.
Pasien mengaku sebelum timbul keluhan, pasien kelelahan karena banyak
melakukan aktivitas fisik dan liburan bersama keluarga sehingga kurang
beristirahat, tidak ada riwayat konsumsi karbohidrat dalam jumlah banyak dan

4
juga penggunaan obat-obatan seperti diuretic, dll.. Pasien juga tidak sedang
menstruasi dan tidak pernah mengkonsumsi alkohol.

Riwayat Penyakit Dahulu :

 Pasien pernah memiliki keluhan lemas anggota tubuh setelah muntah dan diare
2 tahun yang lalu, namun pasien tidak dirawat.

 Riwayat DM (+) sejak 2 tahun yang lalu, pasien mengkonsumsi obat


metformin 1x/hari. Terakhir dirawat 6 bulan yang lalu karena hiperglikemia.

 Riwayat hipertensi (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :


 Riwayat keluhan yang sama (-)
 Riwayat Hipertensi (-)
 Riwayat DM (-)

Riwayat Sosial Ekonomi dan kebiasaan :


Pasien sehari-hari di rumah sebagai IRT, pasien tinggal bersama anak dan
suaminya.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


Status Generalisata
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis

Vital Sign
TD : 120/80 Suhu : 36,10 C

HR : 72x/menit SpO2 : 98%

RR : 24x/menit

Status Gizi

5
BB : 58 Kg

TB :153 cm

IMT :24,78 (Normoweight)

Kulit
● Warna : sawo matang
● Efloresensi : (-)
● Jaringan Parut : (-)
● Pertumbuhan Rambut : normal
● Pertumbuhan Darah : (-)
● Suhu : Teraba hangat
● Lembab kering : Lembap
● Ikterus : (+)
● Turgor : normal, <2detik

Kelenjar Getah Bening


● Pembesaran KGB : (-)

Kepala
● Bentuk Kepala : Normocephal
● Rambut : hitam, tidak mudah dicabut
● Ekspresi : Tampak sakit sedang
● Simetris Muka : Simetris

Mata
● Konjungtiva : Konjungtiva anemis (-/-)
● Sklera : Sklera Ikterik (-/-)
● Pupil : RC(+/+)
● Gerakan : normal
● Lapangan Pandang : normal

Hidung
● Bentuk : Simetris
● Sekret : (-)
● Septum : deviasi (-)
● Selaput Lendir : (-)
● Sumbatan : (-)
● Pendarahan : (-)

6
Mulut
● Bibir : Kering (-), Sianosis (-)
● Lidah : normal
● Gusi : perdarahan (-)

Telinga
● Bentuk : simetris
● Sekret : minimal
● Pendengaran : normal
● Nyeri tekan tragus : (-)

Leher
● JVP : 5+2 cmH2O
● Kelenjar Tiroid : tidak teraba
● Kelenjar Limfonodi : tidak teraba

Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Teraba 2 jari di ICS V linea midclavicula sinistra
Perkusi : Batas Atas : ICS II Linea parasternal sinistra
Batas Kiri : ICS V Linea midclavicula sinistra
Batas Kanan : ICS IV Linea parasternal dextra
Auskultasi : BJ I/II Reguler, Murmur (-), Gallop (-)

Paru-paru
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, bekas luka(-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), Fremitus taktil kanan = kiri
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)

Abdomen
Inspeksi : datar, bekas luka (-).
Palpasi : Soepel, Nyeri tekan epigastrium (+).
Perkusi : Timpani (+)

7
Auskultasi : Bising Usus (+), normal

Ekstremitas
Superior : akral hangat, CRT <2 Detik, Edem (-), refleks fisiologis(+/+),
reflex patologis (-/-)
Inferior : akral hangat, CRT <2 Detik, Edem (-), refleks fisiologis(+/+),
reflex patologi (-/-)

Kekuatan motoric: 1 1
1 1

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Tabel 2.1 Pemeriksaan Laboratorium : Darah Rutin ( 21 Desember 2019 )

Parameter Nilai Normal


WBC 14,59 x 109/L 4-10
RBC 4.01x 1012/L 3.5-5.5
HGB 12,1 g/dL 11-16 g/dl
HCT 35% 35-50
PLT 328 x109/L 100-300 103mm3
MCV 87,2fl 80-100 fl
MCH 30.2 pg 27-34 pg
MCHC 346 g/l 320-360 g/l

Tabel 2.2 Pemeriksaan Elektrolit

Parameter 21/12/19 22/12/19 23/12/19 25/12/19 Normal

Na 136,91 146,24 144,62 157,34 135-148 mmol/L

K 1,46 1,83 2,81 3,19 3.5-5.3 mmol/L

Cl 118,18 119,88 118,40 106,07 98-110 mmol/L

Ca 1,18 1,22 1,26 1,55 1,19-1,23 mmol/L

8
Tabel 2.3 Pemeriksaan Gula Darah

Parameter 21/12/19 22/12/19 23/12/19 24/12/19 Normal

GDS 329 118 239 129 <200mg/dl

GDP - 97 - - <126mg/dl

GPP - 59 - - <200mg/dl

Tabel 2.4 Pemeriksaan Faal Ginjal

Parameter 21/12/19 24/12/19 Normal

Ureum 44 37 15-39

Kreatinin 2,7 1,8 0,6-1,1

9
Pemeriksaan EKG

Kesan : DBN

2.5 DIAGNOSA PRIMER

Hypokalemi Periodic Paralysis

2.6 DIAGNOSIS SEKUNDER

Imbalance elektrolit ec hipokalemi, hiperkalsemi, hiperclorida,


hipernatremi + DM tipe II

2.7 DIAGNOSA BANDING


Guillain-Barré syndrome.
Thyrotoxic periodic paralysis
2.8 ANJURAN PEMERIKSAAN
1. Kadar K dalam serum
2. Kadar K, Na, Cl dalam urin 24 jam
3. Analisa gas darah
4. Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan glukosa darah sewaktu setiap
hari
5. Pemeriksaan kadar HbA1c
6. Pemeriksaan Profil lipid pada keadaan puasa: kolesterol total, High
Density Lipoprotein (HDL), Low Density Lipoprotein (LDL), dan
trigliserida.
7. Tes fungsi hati
8. Tes fungsi ginjal: Kreatinin serum dan estimasi-GFR
9. Tes urin rutin
10. Albumin urin kuantitatif
11. Rasio albumin-kreatinin sewaktu.
12. Elektrokardiogram.
13. Foto Rontgen thoraks
14. Pemeriksaan kaki secara komprehensif.

2.9 TATALAKSANA
Non farmakologis :
 Tirah baring
 Pantau TTV dan KU
 konsumsi makanan dengan kadar kalium tinggi seperti kismis, pisang,
aprikot, jeruk, advokat, kacang-kacangan, air kelapa, dan kentang
 Memberikan Diet terapi DM sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat
gizi.
BBI : 47,7kg
Kebutuhan kalori : 1.192 kal.
Karbohidrat : 45-65% total asupan energi, (berserat tinggi.)
Lemak : 20-25% kebutuhan kalori
Protein : 10 – 20% total asupan energi.
Natrium : <2300 mg perhari
Serat : 20-35 gram/hari
 Kontrol ketat konsentrasi elektrolit
 Edukasi pasien dan keluarga
a. Penyebab dari hipokalemi
b. Makanan-makanan yang bias dikonsumsi untuk menaikkan
kadar kalium.
c. perjalanan penyakit DM.
d. Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara
berkelanjutan.
e. Penyulit DM dan risikonya.
f. Intervensi non-farmakologis dan farmakologis serta target
pengobatan.
g. Interaksi antara asupan makanan, aktivitasfisik, dan obat
antihiperglikemia oral atau insulin serta obat-obatan lain.
h. Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa
darah atau urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah
mandiri tidak tersedia).
i. Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia.
j. Pentingnya latihan jasmani yang teratur. Dilakukan secara
secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-
45 menit, dengan total 150 menit perminggu..
k. Pentingnya perawatan kaki.

Farmakologis :
 IVFD NaCL 0,9%1 kolf + KCl 30 mEq/3jam
Subtitusi Kalium:
(3,5-1,46) x 0,25 x 58 = 29,58mmol
 Inj. Ceftriaxone 1x2gr
 Inj Levemir 11 U
 Inj Novorapid 3x 6U
 Po : KSR 3x1
2.10 PROGNOSIS
● Quo Vitam : Dubia ad bonam
● Quo Functionam : Dubia ad bonam
● Quo Sanactionam : Dubia ad bonam
2.11 FOLLOW UP

Tabel 2.2 Follow Up Pasien


Tanggal Perkembangan
22/12/2019 S: Kaku pada leher, anggota gerak tidak dapat digerakkan.
(Hari II) Mual (+), Muntah (+) 3x
O: TD: 130/80 N : 99x/menit RR: 18x/menit T : 36,60 C
SpO2 : 99%.
GDS: 118mg/dl
GDP: 97mg/dl
GPP; 59mg/dl
KU : tampak sakit sedang
Kesadaran : CM (E4V5M6)
Pemeriksaan fisik:
Abdomen: Nyeri tekan epigastrium (+)
Neurologis :
 Kaku kuduk (-)
 Kekuatan Motorik :

3 2
3 2

 Refleks fisiologis (+/+)


 Refleks patologis (-/-)
A: Hypokalemi Periodic Paralysis + Imbalance
elektrolit + DM tipe II

P:
 Tirah baring
 Pantau TTV dan KU
 konsumsi makanan dengan kadar kalium tinggi
 Memberikan Diet terapi DM sesuai dengan kebutuhan
kalori (1192 kal) dan kebutuhan zat gizi.
 Kontrol ketat konsentrasi elektrolit
 Edukasi pasien dan keluarga

Farmakologis :
 IVFD NaCL 0,9%1 kolf + KCl 30 mEq/3jam
 Inj. Ceftriaxone 1x2gr
 Inj Levemir 11 U
 Inj Novorapid 3x 6U
Po : KSR 3x1
G23/12/2019 S: Kaku pada leher, anggota gerak tidak dapat digerakkan.
(Hari III) Mual (+), Muntah (-)
O: TD: 140/80 N : 83x/menit RR: 16x/menit T : 36,20 C
SpO2 : 98%
GDS: 239mg/dl
KU : tampak sakit sedang
Kesadaran : CM (E4V5M6)
Pemeriksaan fisik:
Abdomen: Nyeri tekan epigastrium (+)
Neurologis :
 Kaku kuduk (-)
 Kekuatan Motorik :

5 5
5 5

 Refleks fisiologis (+/+)


 Refleks patologis (-/-)
A: Hypokalemi Periodic Paralysis + Imbalance
elektrolit + DM tipe II

P:
Non farmakologis :
 Tirah baring
 Pantau TTV dan KU
 konsumsi makanan dengan kadar kalium tinggi
 Memberikan Diet terapi DM sesuai dengan kebutuhan
kalori (1192 kal) dan kebutuhan zat gizi.
 Kontrol ketat konsentrasi elektrolit
 Edukasi pasien dan keluarga
Farmakologis :
 IVFD NaCL 0,9%1 kolf + KCl 30 mEq/3jam
 Inj. Ceftriaxone 1x2gr
 Inj Levemir 11 U
 Inj Novorapid 3x 6U
Po : KSR 3x1
24/12/2019 S: Kaku pada leher, anggota gerak tidak dapat digerakkan.
(Hari IV) Mual (+), Muntah (-)
O: TD: 140/80 N : 83x/menit RR: 16x/menit T : 36,20 C
SpO2 : 98%
GDS: 129mg/dL
KU : tampak sakit sedang
Kesadaran : CM (E4V5M6)
Pemeriksaan fisik:
Abdomen: Nyeri tekan epigastrium (+)
Neurologis :
 Kaku kuduk (-)
 Kekuatan Motorik :

5 5
5 5

 Refleks fisiologis (+/+)


 Refleks patologis (-/-)
A: Hypokalemi Periodic Paralysis + Imbalance
elektrolit + DM tipe II

P:
Non farmakologis :
 Tirah baring
 Pantau TTV dan KU
 konsumsi makanan dengan kadar kalium tinggi
 Memberikan Diet terapi DM sesuai dengan kebutuhan
kalori (1192 kal) dan kebutuhan zat gizi.
 Kontrol ketat konsentrasi elektrolit
 Edukasi pasien dan keluarga
Farmakologis :
 IVFD NaCL 0,9%1 kolf + KCl 30 mEq/3jam
 Inj. Ceftriaxone 1x2gr
 Inj Levemir 11 U
 Inj Novorapid 3x 6U
 PO KSR 3x1
25/12/2019 S: Kaku pada leher, anggota gerak tidak dapat digerakkan.
(Hari IV) Mual (+), Muntah (-)
O: TD: 140/80 N : 83x/menit RR: 16x/menit T : 36,20 C
SpO2 : 98%
GDS: 103mg/dl
KU : tampak sakit sedang
Kesadaran : CM (E4V5M6)
Pemeriksaan fisik:
Abdomen: Nyeri tekan epigastrium (+)

Neurologis :
 Kaku kuduk (-)
 Kekuatan Motorik :

5 5
5 5

 Refleks fisiologis (+/+)


 Refleks patologis (-/-)
A: Hypokalemi Periodic Paralysis + Imbalance
elektrolit + DM tipe II

P:
Non farmakologis :
 Tirah baring
 Pantau TTV dan KU
 konsumsi makanan dengan kadar kalium tinggi
 Memberikan Diet terapi DM sesuai dengan kebutuhan
kalori (1192 kal) dan kebutuhan zat gizi.
 Kontrol ketat konsentrasi elektrolit
 Edukasi pasien dan keluarga
Farmakologis :
IVFD NaCL 20tpm
Inj. Levemir 11 U
Inj Novorapid 3x 6U
PO KSR 3x1
26/12/2019 PASIEN PULANG
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Hypocalemia Periodic Paralysis


a) Definisi3
Hipokalemik periodik paralisis adalah kelainan yang ditandai dengan
kadar kalium (kalium) yang rendah (kurang dari 3.5 mmol/L) pada saat
serangan, disertai riwayat episode kelemahan sampai kelumpuhan otot
skeletal.
Hipokalemia dapat terjadi karena adanya faktor pencetus tertentu,
misalnya makanan dengan kadar karbohidrat tinggi, istirahat sesudah latihan
fisik, perjalanan jauh, pemberian obat, operasi, menstruasi, konsumsi alkohol
dan lain-lain. Kadar insulin juga dapat mempengaruhi kelainan ini pada
banyak penderita, karena insulin akan meningkatkan aliran kalium ke dalam
sel. Pada saat serangan akan terjadi pergerakan kalium dari cairan ekstra
selular masuk ke dalam sel, sehingga pada pemeriksaan kalium darah terjadi
hipokalemia.

b) Etiologi3,4
Hipokalemia periodik paralise biasanya disebabkan oleh kelainan genetik
otosomal dominan. Hal lain yang dapat menyebabakan terjadinya hipokalemia
periodic paralise adalah tirotoksikosis.

Penyebab lain hipokalemia meliputi:

1. Peningkatan ekskresi (atau kerugian) dari kalium dari tubuh

2. Beberapa obat dapat menyebabkan kehilangan kalium yang dapat


menyebabkan hipokalemia. Obat yang umum termasuk diuretik loop
(seperti Furosemide). Obat lain termasuk steroid, licorice, kadang-kadang
aspirin, dan antibiotik tertentu.
3. Ginjal (ginjal) disfungsi - ginjal tidak dapat bekerja dengan baik karena
suatu kondisi yang disebut Asidosis Tubular Ginjal (RTA). Ginjal akan
mengeluarkan terlalu banyak kalium. Obat yang menyebabkan RTA
termasuk Cisplatin dan Amfoterisin B.

4. Kehilangan cairan tubuh karena muntah yang berlebihan, diare, atau


berkeringat.

5. Endokrin atau hormonal masalah (seperti tingkat aldosteron meningkat) -


aldosteron adalah hormon yang mengatur kadar potasium. Penyakit
tertentu dari sistem endokrin, seperti aldosteronisme, atau sindrom
Cushing, dapat menyebabkan kehilangan kalium.

6. Miskin diet asupan kalium

Adapun penyebab lain dari timbulnya penyakit hipokalemia : muntah


berulang-ulang, diare kronik, hilang melalui kemih (mineral kortikoid
berlebihan obat-obat diuretik).

c) Epidemiologi
Angka kejadian periodik paralisis adalah sekitar 1 diantara 100.000
orang, pria lebih sering dari wanita dan biasanya lebih berat. Usia
terjadinya serangan pertama kali bervariasi dari 1-25 tahun, frekuensi
serangan terbanyak di usia 15-35 tahun dan kemudian menurun dengan
peningkatan usia. Sejumlah penderita terserang setelah periode istirahat
sehabis latihan otot berat dan setelah bangun tidur pagi hari.
d) Patofisologi5

Gambar 1. Homeostasis Na+, K+, H20

Kalium adalah kation utama cairan intrasel. Kenyataannya 98 % dari


simpanan tubuh (3000-4000 mEq) berada didalam sel dan 2 % sisanya (kira-
kira 70 mEq) terutama dalam pada kompetemen ECF. Kadar kalium serum
normal adalah 3,5-5,5 mEq/L dan sangat berlawanan dengan kadar di dalam
sel yang sekitar 160 mEq/L. Kalium merupakan bagian terbesar dari zat
terlarut intrasel, sehingga berperan penting dalam menahan cairan di dalam sel
dan mempertahankan volume sel. Kalium ECF, meskipun hanya merupakan
bagian kecil dari kalium total, tetapi sangat berpengaruh dalam fungsi
neuromuskular. Perbedaan kadar kalium dalam kompartemen ICF dan ECF
dipertahankan oleh suatu pompa Na-K aktif yang terdapat dimembran sel.2
Rasio kadar kalium ICF terhadap ECF adalah penentuan utama
potensial membran sel pada jaringan yang dapat tereksitasi, seperti otot
jantung dan otot rangka. Potensial membran istirahat mempersiapkan
pembentukan potensial aksi yang penting untuk fungsi saraf dan otot yang
normal. Kadar kalium ECF jauh lebih rendah dibandingkan kadar di dalam
sel, sehingga sedikit perubahan pada kompartemen ECF akan mengubah rasio
kalium secara bermakna. Sebaliknya, hanya perubahan kalium ICF dalam
jumlah besar yang dapat mengubah rasio ini secara bermakna. Salah satu
akibat dari hal ini adalah efek toksik dari hiperkalemia berat yang dapat
dikurangi kegawatannya dengan meingnduksi pemindahan kalium dari ECF
ke ICF. Selain berperan penting dalam mempertahankan fungsi nueromuskular
yang normal, kalium adalah suatu kofaktor yang penting dalam sejumlah
proses metabolik.2

Homeostasis kalium tubuh dipengaruhi oleh distribusi kalium antara


ECF dan ICF, juga keseimbangan antara asupan dan pengeluaran. Beberapa
faktor hormonal dan nonhormonal juga berperan penting dalam pengaturan
ini, termasuk aldostreon, katekolamin, insulin, dan variabel asam-basa.2

Pada orang dewasa yang sehat, asupan kalium harian adalah sekitar 50-
100 mEq. Sehabis makan, semua kalium diabsorpsi akan masuk kedalam sel
dalam beberapa menit, setelah itu ekskresi kalium yang terutama terjadi
melalui ginjal akan berlangsung beberapa jam. Sebagian kecil (<20%) akan
diekskresikan melalui keringat dan feses. Dari saat perpindahan kalium
kedalam sel setelah makan sampai terjadinya ekskresi kalium melalui ginjal
merupakan rangkaian mekanisme yang penting untuk mencegah hiperkalemia
yang berbahaya.
Ekskresi kalium melalui ginjal dipengaruhi oleh aldosteron, natrium
tubulus distal dan laju pengeluaran urine. Sekresi aldosteron dirangsang oleh
jumlah natrium yang mencapai tubulus distal dan peningkatan kalium serum
diatas normal, dan tertekan bila kadarnya menurun. Sebagian besar kalium
yang di filtrasikan oleh gromerulus akan di reabsorpsi pada tubulus proksimal.
Aldosteron yang meningkat menyebabkan lebih banyak kalium yang
terekskresi kedalam tubulus distal sebagai penukaran bagi reabsorpsi natrium
atau H+. Kalium yang terekskresi akan diekskresikan dalam urine. Sekresi
kalium dalam tubulus distal juga bergantung pada arus pengaliran, sehingga
peningkatan jumlah cairan yang terbentuk pada tubulus distal (poliuria) juga
akan meningkatkan sekresi kalium.2

Gambar 2. Kehilangan Kalium dalam Tubuh

Keseimbangan asam basa dan pengaruh hormon mempengaruhi


distribusi kalium antara ECF dan ICF. Asidosis cenderung untuk
memindahkan kalium keluar dari sel, sedangkan alkalosis cenderung
memindahkan dari ECF ke ICF. Tingkat pemindahan ini akan meingkat jika
terjadi gangguan metabolisme asam-basa, dan lebih berat pada alkalosis
dibandingkan dengan asidosis. Beberapa hormon juga berpengaruh terhadap
pemindahan kalium antara ICF dan ECF. Insulin dan Epinefrin merangsang
perpindahan kalium ke dalam sel. Sebaliknya, agonis alfa-adrenergik
menghambat masuknya kalium kedalam sel. Hal ini berperan penting dalam
klinik untuk menangani ketoasidosis diabetik.2

Dasar fisiologis kelemahan otot flaksid adalah tidak adanya


eksitabilitas membran otot (yakni, sarkolema). Perubahan kadar kalium serum
bukan defek utama pada PP primer; perubahan metabolismse kaliuim adalah
akibat PP. Pada primer dan tirotoksikosis PP, paralisis flaksid terjadi dengan
relatif sedikit perubahan dalam kadar kalium serum, sementara pada PP
sekunder, ditandai kadar kalium serum tidak normal.3,4

Tabel 3.1 Periodik paralisis primer.3

Sodium channel Hiperkalemi PP

Paramyotonia kongenital

Potassium-aggravated myotonia Tidak ada

Calcium channel Hipokalemik PP


Chloride channel Becker myotonia kongenital

Thomson myotonia kongenital

mekanisme tunggal yang bertanggung jawab untuk kelainan pada kelompok


penyakit ini. Mekanisme itu heterogen tetapi punya bagian yang common traits.
Kelemahan biasanya secara umum tetapi bisa lokal. Otot – otot kranial dan
pernapsan biasanya tidak terkena. Reflek regang tidak ada atau berkurang selama
serangan. Serat otot secara elektrik tidak ada hantaran selama serangan. Kekuatan
otot normal diantara serangan tetapi, setelah beberapa tahun, tingkat kelemahan
yang menetap semakin berkembang pada beberapa tipe PP (khususnya PP primer).
Semua bentuk PP primer kecuali Becker myotonia kongenital (MC) juga terkait
autosomal dominan atau sporadik (paling sering muncul dari point mutation).4

Ion channel yang sensitif tegangan secara tertutup meregulasi pergantian


potensial aksi (perubahan singkat dan reversibel tegangan mebran sel). Disana
terdapat permeabelitas ion channel yang selektif dan bervariasi. Energi-tergantung
voltase ion channel terutama gradien konsentrasi. Selama berlangsungnya
potensial aksi ion natrium bergerak melintasi membran melalui voltage-gated ion
channel. Masa istirahat membran serat otot dipolarisasi terutama oleh pergerakan
klorida melalui channel klorida dan dipolarisasi kembali oleh gerakan
kalium.natrium, klorida dan kalsium channelopati ebagai sebuah grup,
dihubungkan dengan myotonia dan PP. Subunit fungsional channel natrium,
kalsium dan kalium adalah homolog. Natrium channelopati lebih dipahami
daripada kalsium atau klorida channelopati.3

e) Gejala Klinis5
Tanda awal serangan dapat berupa nyeri otot, sangat haus sebelum terjadi
kelemahan. Rasa lemah dimulai dari ektremitas bawah, diikuti dengan anggota
atas, badan dan leher. Otot respirasi jarang terlibat, jika ada maka penderita bisa
mengalami sesak nafas dan meninggal dunia. Pada pemeriksaan dijumpai refleks
fisiologis menurun atau hilang, sementara itu sensasi kulit tetap normal.5

Gambar 3. Gejala dan Tanda Klinis Hipokalemia


Derajat Hipokalemia5
„ Hipokalemia ringan: kadar serum 3-3,5 mEq/L.
„ Hipokalemia sedang: kadar serum 2,5-3 mEq/L.
„ Hipokalemia berat: kadar serum < 2,5 mEq/L. Hipokalemia <2 mEq/L biasanya
sudah disertai kelainan jantung dan mengancam jiwa

f) Diagnosis6
Diagnosis didapatkan dari anamnesis seperti adanya riwayat pada keluarga
karena erat kaitannya dengan genetik serta gejala klinis seperti yang tersebut di
atas, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari hasil pemeriksaan
didapatkan leukositosis selama serangan, ekg dan elektrolit serum menunjukkan
tanda-tanda hipokalemia dan emg memperlihatkan penurunan amplitudo unit
motor potensial, dan potensial polifasik meningkat jumlahnya serta kecepatan
hantar saraf tepi dalam batas normal.

g) Pemeriksaan Penunjang5,6
1. Kadar K dalam serum.
2. Kadar K, Na, Cl dalam urin 24 jam.
3. Kadar Mg dalam serum.
4. Analisis gas darah.
5. Elektrokardiografi.

h) Diagnosis Banding3,5
1. Kehilangan K melalui ginjal.
a. Kalium dalam urin > 15 mEq/24 jam.
b. Ekskresi kalium disertai poliuria (obat-obat diuretik, diuretic osmotik).
2. Kehilangan K yang tidak melalui ginjal.
a. Kehilangan melalui saluran cerna (diare).
b. Kehlangan melaluikeringat berlebihan.
c. Diet rendah kalium.
d. Muntah.
e. Perpindahan kalium ke dalam sel (alkalosis, insulin agonis beta, paralisis
periodik, leukemia).

i) Terapi5
Untuk memperkirakan jumlah kalium pengganti, perlu disingkirkan faktor-faktor
penyebab, contohnya insulin dan obatobatan. Setelah itu, perlu diperhatikan hal
berikut:
Rumus Subtitusi Kalium:
(K serum yang diinginkan (mEq/L) – K serum yang diukur) x 0,25 x BB (kg)

Cara Pemberian Kalium


- Penggantian kalium secara oral paling aman tetapi kurang ditoleransi karena
iritasi lambung. Pada hipokalemia ringan (kalium 3—3,5 mEq/L) dapat
diberikan KCl oral 20 mEq 3 – 4 kali sehari 5 dan edukasi diet kaya kalium.
Makanan mengandung cukup kalium dan menyediakan 60 mmol kalium.
Kalium fosfat dapat diberikan pada pasien hipokalemia gabungan dan
hipofosfatemia. Kalium bikarbonat atau kalium sitrat harus dipertimbangkan
pada pasien dengan penyulit asidosis metabolik. Pada hipokalemia dengan
hipomagnesemia, koreksi defisiensi Mg2+ perlu dilakukan bersamaan.
Mengingat distribusi kalium ke dalam kompartemen intraseluler tidak
langsung, defisit harus dikoreksi bertahap selama 24-48 jam dengan
pemantauan konsentrasi plasma K+ rutin untuk menghindari overrepletion
sementara dan hiperkalemia transien.
- Jalur intravena harus dibatasi hanya pada pasien yang tidak dapat
menggunakan jalur enteral atau dalam komplikasi berat (contohnya paralisis
dan aritmia). K+-Cl harus selalu diberikan dalam larutan garam, bukan
dekstrosa, karena peningkatan insulin yang diinduksi dekstrosa dapat
memperburuk hipokalemia.1,8 Pemberian dekstrosa bisa menyebabkan
penurunan sementara K+ serum sebesar 0,2—1,4 mmol/L karena stimulasi
pelepasan insulin oleh glukosa.9 Dosis intravena perifer biasanya 20-40 mmol
K+-Cl- per liter. Konsentrasi lebih tinggi dapat menyebabkan nyeri lokal flebitis
kimia, iritasi, dan sklerosis.13 Pada kondisi hipokalemia berat (<2,5 mmol/L)
dan/atau memiliki tanda gejala kritis, K+-Cl intravena dapat diberikan melalui
vena sentral dengan laju 10-20 mmol/ jam. Volume besar normal saline bisa
menyebabkan kelebihan beban cairan. Jika ada aritmia jantung, larutan K + lebih
pekat diberikan melalui vena sentral dan pemantauan EKG.

Kecepatan Pemberian Kalium Intravena

„ Jika kadar serum > 2 mEq/L, kecepatan lazim adalah 10 mEq/jam,


maksimal 20 mEq/jam untuk mencegah hiperkalemia. Pada anak, 0,5—1
mEq/kg/dosis dalam 1 jam. Dosis tidak boleh melebihi dosis maksimum
dewasa.1,5,6
„ Pada kadar < 2 mEq/L, bisa diberikan 40 mEq/jam melalui vena sentral
dan pemantauan ketat di ICU. Untuk koreksi cepat ini, KCl tidak boleh
dilarutkan dalam larutan dekstrosa karena justru mencetuskan hipokalemia
lebih berat.5,6

Pertimbangan Sediaan Kalium

„ KCl biasanya digunakan untuk menggantikan defisiensi K + pada kondisi


metabolik alkalosis dan deplesi Cl-, terutama pada pasien muntah dan
pengobatan diuretik.10
Pada kondisi metabolik asidosis (contohnya pada diare kronik) lebih
diutamakan kalium yang dikombinasikan dengan garam lain, yaitu potasium
bikarbonat atau ekuivalen bikarbonat lainnya (sitrat, asetat, atau glukonat)
untuk mengatasi kondisi asidosis.10
„ Hipokalemia pada penyalahgunaan alkohol atau ketoasidosis diabetes
umumnya disertai defisiensi fosfat sehingga diutamakan menggunakan
potasium fosfat.10
„ Diet Kalium. Diet orang dewasa mengandung kalium rata-rata 50-100
mEq/hari (contoh makanan tinggi kalium termasuk kismis, pisang, aprikot,
jeruk, advokat, kacang-kacangan, dan kentang).

Gambar 4. Tatalaksana Hipokalemi Periodic Paralysis

j) Komplikasi2,3
· Arrhytmia.
· Kelemahan otot progresif.

k) Prognosis3,5,6
Konsumsi suplemen kalium biasanya mengoreksi hipokalemia.
Hipokalemia berat dapat menyebabkan masalah jantung yang dapat fatal.
Hipokalemia yang tidak dapat dijelaskan, hiperkalemia refrakter, atau gambaran
diagnosis alternatif (misalnya, aldosteronisme atau kelumpuhan periodic
hipokalemia) harus dikonsultasikan ke endokrinologi atau nefrologi.

3.2 Gangguan Keseimbangan Elektrolit7,8

3.2.1. Gangguan Kesimbangan Kalium


Bila kadar kalium kurang dari 3,5 mEq/L disebut sebagai hipokalemia dan
kadar kalium lebih dari 5,3 mEq/L disebut sebagai hiperkalemia. Kekurangan ion
kalium dapat menyebabkan frekuensi denyut jantung melambat. Peningkatan
kalium plasma 3-4 mEq/L dapat menyebabkan aritmia jantung, konsentrasi yang
lebih tinggi lagi dapat menimbulkan henti jantung atau fibrilasi jantung.7

1. Hiperkalemia8
a. Definisi

Hiperkalemi didefiniskan sebagai K+ plasma lebih dari 5,0 mEq/L.


hiperkalemi sering terjadi akibat berkurangnya eksresi kalium di ginjal,
terutama pada penyakit ginjal kronik.

b. Etiologi

Hiperkalemia dapat disebabkan oleh :

a. Keluarnya Kalium dari Intrasel ke Ekstrasel Kalium keluar dari sel


dapat terjadi pada keadaan asidosis metabolik bukan oleh asidosis
organik (ketoasidosis, asidosis laktat), defisit insulin, katabolisme
jaringan meningkat, pemakaian obat penghambat-β adrenergik, dan
pseudohiperkalemia.
b. Berkurangnya Ekskresi Kalium melalui Ginjal Berkurangnya
ekskresi kalium melalui ginjal terjadi pada keadaan
hiperaldosteronisme, gagal ginjal, deplesi volume sirkulasi efektif,
pemakaian siklosporin atau akibat koreksi ion kalium berlebihan dan
pada kasus-kasus yang mendapat terapi angiotensin-converting
enzyme inhibitor dan potassium sparing diuretics.

Pseudohiperkalemia dapat disebabkan oleh hemolisis, sampel tidak segera


diperiksa atau akibat kesalahan preanalitik yang lain yaitu tornikuet pada
lengan atas tidak dilepas sebelum diambil darah setelah penderita
menggenggam tangannya berulangkali (peningkatan sampai 2 mmol/L).
Jumlah trombosit >500.000/mm3 atau leukosit >70.000/mm3 juga dapat
meningkatkan kadar kalium serum.

c. Pendekatan Diagnosa

Efek yang paling berbahaya dari hiperkalemi adalah toksisitas


kardiak, yang tidak berkolerasi baik dengan konsentrasi kalium plasma.
Perubahan awal EKG berupa peningkatan amplitude gelombang T atau
peaked T waves. Hiperkalemi yang lebih berat dapat memberikan
gambaran EKG berupa pemanjangan interval PR dan durasi QRS,
perlambatan konduksi arterioventrikular dan hilangnya gelombang P,
fibrilasi ventrikel atau asistol dapat terjadi.

Hiperkalemi dapat menyebabkan kelemahan otot hingga paralisis


dan hipoventilasi dapat terjadi bila otot pernafasan terlibat.

Hiperkalemi juga menyebabkan gangguan eksresi asam di ginjal


sehingga menimbulkan asidosis metabolic yang dapat memperparah
hiperkalemi akbat keluarnya K dari dalm sel. Konsentrasi kalium serum
>5,0 mEq/L disertai manifestasi klinis sesuai beratnya hiperkalemi.

d. Tatalaksana

Stabilisasi membran jantung dengan kalsium:

 Diberikan hanya untuk hyperkalemia dnegan perubahan EKG yang


bermakna atau aritmia berat yang disebabkan hiperkalem
 Berikan kalsium glukonas 1000mg (10 mL solusi 10%) intravena
secara perlahan dalam 2-3 menit.

 Terapi kalsium dapat diberikan berulang dalam 5 mint bila perubahan


EKG mentepa, pasien sebaiknya dalam monitor kardiak.

Memindahkan/memasukkan kalium ke dalam sel:

 Insulin dan glukosa

o Berikan bolus regular insulin 8 unit dengan 50 mL


dekstrose 40%

o Onset 10-20 menit

o Setelah terapi bolus insulin dan glukosa, diberikan infus


dextrose dan gula darah dimonitor

 Agonis Beta-2

o Dapat diberikan albuterol 10-20mg dalam 4mL saline untuk


inhalasi selama 10 menit. (dapat dgunakan metered dose
inhaler)

 Bicarbonat natricus

o Dapat diberikan 150 meq dalam 1 liter dextrose 5% dengan


kecepatan 250mL/jam

o Jangan diberikan bersama dengan kalsium dalam satu IV


line.

Menurunkan kalium:

 Kation exchangen resin (sodium polystyrene sulfonate)

Berikan 15 sampai 30 gram sodium polystyrene sulfonate per oral

 Loop atau thiazide diuretic


Dapat diberikan furosemide 20-40 mg IV

 Hemodialisis

Dapat digunakan bila terapi konservatif di atas gagal. Hiperkalemi


berat (K >6,5 mEq/L), pasien dengan gagal ginjal, atau pasien
dengan kerusakan jaringan berat.

e. Komplikasi

Gangguan pernafasan, aritmia

3.2.2 Gangguan Keseimbangan Natrium 8


Seseorang dikatakan hiponatremia, bila konsentrasi natrium plasma dalam
tubuhnya turun lebih dari beberapa miliekuivalen dibawah nilai normal (135-145
mEq/L) dan hipernatremia bila konsentrasi natrium plasma meningkat di atas
normal. Hiponatremia biasanya berkaitan dengan hipoosmolalitas dan
hipernatremia berkaitan dengan hiperosmolalitas.7,8
1. Hiponatremi8
a. Definisi
Hiponatremi adalah kadar sodium kurang dari 135mEq/L. kadar
natrium dan serum osmolaritas dalam batas normal akan mempertahankan
mekanisme homeostatik yang mempengaruhi rangsangan rasa haus, sekresi
dari ADH, dan proses filtrasi natrium dalam ginjal.
b. Patogenesis
Terdapat 3 mekanisme kejadian:

 hyponatremia dapat terjadi dari factor-faktor intrarenal seperti


turunnya GFR dan meningkatnya reabsorpsi natrium dan air di tubulus
proksimal yang diikuti penurunan reabsorpsi di tubulus distal yang
menyebabkan pengenceran di segmen-segmen nefron,.

 Hasil dari adanya defek transportasi dari Na+ Cl- keluar pada segmen-
segmen dari nefron pada TALH (thick ascending limb of henle)
 Rangsangan sekresi vasopressin oleh mekanisme nonosmotik
meskipun terdapat keadaan hipoosmolaritas.

c. Etiologi
Tingkat sodium yang rendah dalam darah mengakibatkan
kelebihan air atau cairan dalam tubuh, mengencerkan jumlah yang normal
dari sodium sehingga konsentrasinya nampak rendah. Tipe
hiponatremia ini dapat menjadi hasil dari kondisi- kondisi kronis
seperti gagal ginjal (ketika kelebihan cairan tidak dapat
diekskresikan secara efisien) dan gagal jantung, dimana kelebihan
cairan terakumulasi dalam tubuh. SIADH (sindrom of inappropriate
anti-diuretik hormon) adalah penyakit dimana tubuh menghasilkan terlalu
banyak hormon anti-diuretik, berakibat pada penahanan air dalam tubuh.
Mengkonsumsi air yang berlebihan, contohnya selama latihan yang
berat, tanpa penggantian sodium yang cukup, dapat juga berakibat pada
hiponatremia.
Hiponatremia juga terjadi ketika sodium hilang dari tubuh atau
ketika sodium dan cairan hilang dari tubuh, contohnya selama berkeringat
yang berkepanjangan dan muntah atau diare yang parah. Kondisi- kondisi
medis adakalanya dihubungkan dengan hiponatremia adalah kekurangan
adrenal, hypothyroidism dan sirosis hati. Sejumlah obat- obatan
juga dapat menurunkan tingkat sodium dalam darah contohnya adalah
obat-obatan diuretik, vasopresin, dan sulfonylurea

d. Faktor Risiko
Pada kondisi normal, kadar natrium yang seharusnya adalah 135
hingga 145 mEq/liter (miliequivalen per liter). Jika angkanya kurang dari
135 mEq/liter, maka dianggap mengidap hiponatremia. Terdapat sejumlah
faktor yang bisa memicu hiponatremia. Beberapa di antaranya adalah:
 Pengaruh usia. Lansia memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk
mengalami hiponatremia. Selain lansia, bayi juga berisiko lebih tinggi
mengalami hiponatremia. Kedua kelompok usia ini kurang bisa
menyadari rasa haus dan kurang bisa mengendalikan asupan cairan
tubuh mereka.
 Diare atau muntah yang parah dan kronis. Kondisi ini bisa memicu
berkurangnya kadar natrium serta elektrolit lain dari tubuh.
 Terlalu banyak minum atau kurang minum. Konsumsi terlalu banyak
air umumnya akan memicu hiponatremia. Natrium dikeluarkan tubuh
dalam bentuk keringat. Produksi keringat yang berlebihan pada orang-
orang yang melakukan lari maraton, akan menyebabkan kandungan
natrium dalam darah akan berkurang. Sedangkan kekurangan minum
akan memicu kehilangan cairan serta elektrolit-elektrolit lainnya.
 Obat-obatan tertentu, seperti pil diuretik, antidepresan, serta obat
pereda sakit.
 Obat-obatan terlarang, khususnya ekstasi.
 Kondisi kesehatan tertentu, contohnya gagal jantung, penyakit ginjal,
sirosis hati, syndrome of inappropriate anti-diuretic hormone atau
SIADH (kondisi yang muncul ketika produksi hormon anti-diuterik
sangat tinggi), serta rendahnya kadar hormon tiroid akibat gangguan
pada kelenjar adrenal.

e. Patofisiologi
Etiologi hiponatremia dapat dikategorikan dalam tiga cara
patofisiologi utama berdasarkan osmolalitas plasma.

1. Hipertonik hiponatremia, disebabkan oleh penyerapan air yang


ditarik oleh osmol seperti glukosa ( hiperglikemia atau diabetes ) atau
manitol ( infus hipertonik ).

2. Hiponatremia isotonik, lebih sering disebut pseudohiponatremia


disebabkan oleh kesalahan laboraturium karena hipertrigliseridemia atau
hiperparaproteinemia.

3. Hiponatremia hipotonik sejauh ini merupakan jenis yang paling umum.


Hiponatremia

hipotonik dikategorikan dalam 3 cara berdasarkan status


volume pasien darah:
 Hipervolemik hiponatremia dimana ada penurunan volume
sirkulasi efektif walaupun volume total tubuh meningkat. Volume
menurun beredar efektif menstimulasi pelepasan ADH yang
menyebabkan retensi air. Hipervolemik hiponatremia yang
paling umum akibat dari gagal jantung kongensif, gagal hati atau
penyakit ginjal.
 Euvolemik hiponatremia dimana peningkatan ADH sekunder
baik fisiolagis namun rilis ADH yang berlebihan (eperti mual atau
sakit parah ) atau disebabkan oleh sekresi yang tidak pantas dan
non- fisiologis ADH, yaitu sindrom hipersekresi hormon
antidiuretik tidak pantas ( SIADH ).
 Hipernatremia hipovolemik dimana sekresi ADH dirangsang
oleh deplesi volume. Klasifikasi volemik gagal memasukkan
hiponatremia palsu dan artifikulasi yang dibahas dalam
klasifikasi osmolar.

f. Manifestasi Klinis

Gejala-gejala dan tanda-tanda hiponatremia dapat sangat halus dan non


spesifik. Hal ini penting untuk menentukan apakah hiponatremia ini akut
(memburuk dalam ≤ 48 jam) atau kronis (memburuk dalam ≥ 48 jam).
Tingkat toleransi natrium jauh lebih rendah jika hiponatremia berkembang
menjadi kronis.

Tujuan menggunakan ambang 48 jam untuk membedakan


hiponatremia “akut” dan “kronik”, adalah dimana edema otak tampaknya
lebih sering terjadi dalam waktu kurang dari 48 jam. Penelitian
eksperimental juga menunjukkan bahwa otak memerlukan waktu sekitar
48 jam untuk beradaptasi dengan lingkungan yang hipotonik. Sebelum
adaptasi terjadi, terdapat risiko edema otak, akibat osmolalitas cairan
ekstraselular yang lebih rendah yang memicu terjadinya perpindahan air
kedalam sel. Tetapi, setelah adaptasi selesai, sel-sel otak dapat kembali
mengalami kerusakan jika kadar natrium plasma meningkat terlalu cepat.
Kerusakan pada selaput mielin yang menyelimuti neuron dapat
menimbulkan kondisi yang disebut sebagai sindrom demielinisasi osmotik.
Dengan demikian penting untuk membedakan antara hiponatremia akut
dan kronik untuk dapat menilai apakah seseorang memiliki risiko edema
otak yang lebih tinggi dibandingkan demielinisasi osmotik. Dalam praktik
klinis, perbedaan antara hiponatremia akut dan kronik sering tidak jelas,
terutama pada pasien yang datang ke unit gawat darurat. Jika
penggolongan akut ataupun kronik sulit dilakukan atau jika ada keraguan,
sebaiknya dianggap kronik, kecuali ada alasan untuk menganggapnya
sebagai kondisi akut

Etiologi hiponatremia harus dipertimbangkan ketika melakukan


anamnesa dan melakukan pemeriksaan pasien, misalnya cedera kepala,
bedah saraf, abdominal symptoms and signs, pigmentasi kulit (terkait
dengan penyakit Addison), riwayat obat, dan lainnya. Status cairan pasien
sangat penting untuk diagnosis dan pengelolaan selanjutnya.

Tabel 3.2 Gejala Klinis Hiponatremi

TINGKATAN PLASMA SODIUM GEJALA KLINIS

RINGAN 130 – 135 mmol/l - Terkadang tidak muncul gejala


- Anoreksia
- sakit kepala,
- mual
- muntah
- lesu
SEDANG 120 – 129 mmol/l - kram otot
- kelamahan otot
- ataksia
- perubahan kepribadian
BERAT ≤ 120 mmol/l - rasa mengantuk ,
- fungsi reflex berkurang
- kejang
- koma
- kematian
g. Algoritma Diagnosa 8

Gambar 5. Algoritma diagnosa

h. Tatalaksana
Pengobatan hiponatremia harus dipertimbangkan dari kronisitasnya,
keseimbangan cairan pasien, dan potensi etiologinya. Dalam hiponatremia
akut (durasi ≤ 48 jam '), pengobatan yang cepat dan koreksi natrium
disarankan untuk mencegah edema serebral.
Pada pasien dengan hiponatremia akut dan gejala sisa neurologis
(kejang atau koma) pengobatan dapat dimulai dengan 3% saline. Tidak ada
konsensus universal untuk penggunaan atau dengan rezim yang harus

diberikan: bisa dimulai pada 1-2 ml / kg / jam dengan pengukuran rutin


natrium serum, urin dan status kardiovaskular. Disarankan agar natrium
dikoreksi tidak lebih dari 8 mmol dalam 24 jam. Furosemide juga dapat
digunakan untuk mengeluarkan air yang berlebihan.
Bila keaadaan hiponatremia sampai menimbulkan gejala,
tujuan pengobatan yang utama adalah menjaga agar kadar Na
plasma tidak kurang dari 120 meq/L. Seperti yang diketahui
hiponatremia dapat disebabkan kehilangan Na atau K dank arena
retriksi air, sehingga pengobatan ditujukan pada sasaran- sasaran ini.
Kehilangan Na dapat dihitung berdasarkan rumus:

Kehilangan Na total = 0,6 x BB x ( 140 – kadar Na plasma )

Bila disertai kehilangan cairan, maka rumusnya:

Kehilangan Na total =

0,6 x BB x (140- kadar Na plasma ) + 140 x BB x ( 1- Na plasma/ 140)

Kelebihan cairan = 0,6 x BB x ( 1- Na plasma/ 140 )

Pada keadaan hiponatremia yang disertai hipokolemia


( diare, muntah, diuretik ), dengan melakukan koreksi K saja,
hiponatremia dapat kembali normal. Jadi pada dasarnya bila
hiponatremia menimbulkan gejala, pengobatan dalam larutan dalam
larutan NaCl 3 % baru perlu diberikan dengan segera ( kadar Na dalam
larutan ini adalah 513 meq/L). Bila tidak menimbulkan gejala, pengobatan
ditujukan pada penyebabnya yaitu larutan NaCl isotonis pada kehilangan
natrium dan retriksi cairan pada kasus dengan kelebihan cairan. Sebagai
dasar pengobatan dapat diberikan gambaran seperti di bawah ini :

2. Hipernatremi8
a. Definisi
Hipernatrim adalah suatu keadaan dimana kadar natrium >145mEq/L,
keadaan ini jarang terjadi dan sering disebabkan oleh resusitasi cairan yang
berlebih dengan menggunakan larutan NaCL 0,9%. Hipernatremi juga akan
terjadi pada kasus dehidrasi dengan gejala rasa haus yang menonjol.
Pendekatan klinis hipernatremi dibagi atas kategori volume total tubuh
yang kurang, normal dan berlebih.
b. Etiologi
Peningkatan konsentrasi natrium plasma karena kehilangan air dan
larutan ekstrasel (dehidrasi hiperosmotik pada diabetes insipidus) atau
karena kelebihan natrium dalam cairan ekstrasel seperti pada overhidrasi
osmotik atau retensi air oleh ginjal dapat menyebabkan peningkatan
osmolaritas & konsentrasi natrium klorida dalam cairan ekstrasel.19

Kepustakaan lain menyebutkan bahwa hipernatremia dapat terjadi


bila ada defisit cairan tubuh akibat ekskresi air melebihi ekskresi natrium
atau asupan air yang kurang. Misalnya pada pengeluaran air tanpa elektrolit
melalui insensible water loss atau keringat, diare osmotik akibat pemberian
laktulose atau sorbitol, diabetes insipidus sentral maupun nefrogenik,
diuresis osmotik akibat glukosa atau manitol, gangguan pusat rasa haus di
hipotalamus akibat tumor atau gangguan vaskular.3,7

c. Klasifikasi
Gambar 6. Klasifikasi Hipernatremi

1. Hipovolemi: hipernatremi berkaitan dengan kadar natrium total yang


rendah. Pada pasien ini terdapat kehilangan natrium dan air bersamaan,
namun relative lebih banyak kehilangan air. Pada pemeriksaan fisik,
ditemukan hipotensi ortostatik, takikardi, vena-vena di leher tidak
meningkat, turgor kurang, dan kadang terdapat gangguan status mental.
Umumnya pasien ini kehilangan cairan hipotonik melalui ginjal dan
gastrointestinal yang akhirnya kadar natrium dalam urin rendah.
2. Hypervolemia : hipernatremi berkaitan dengan kadar natrium yang
meningkat. Keadaan ini sering ditemukan dalam perawatan karena
pemberian cairan hipertonik seperti NaCL 3% dan koreksi cairan bicnat
(NaCO3) pada asidosis metabolic dll. Dan tidak jarang terjadi pada
pasien yang dilakukan dialysis dengan pemberian cairan dialisat dengan
konsentrasi natrium yang tinggi. Hypernatremia sering juga ditemukan
pada pasien gagal ginjal yang dirawat karena edema dan hipoalbumin
sehingga produksi urin yang menurun.
3. Euvolemia: hypernatremia yang berkaitan dengan kadar natrium yang
normal. Sebgain besar pasien dengan hipernatremi yang skunder terjadi
kehilangan air tapi kondisi pasien dalam euvolemia (normovolemi)
karena kehilangan air saja tanpa kehilangan natrium, jadi kehilangan air
saja tidak akan menyebabkan hipernatremi jika tidak diikuti dengan
asupan air; sebab hipodipsi, keadaan yang tidak umum terjadi. Biasanya
hipernatremi terjadi hanya jika asupan air tidak ada dan umumnya
terjadi pada pasien usia muda/usia lanjut akibat dari gangguan persepsi
rasa halus tersebut. Kehilangan air dari ginja dengan kondisi euvolemi
hipernatremi yang lain adalah disebabkan kelainan (defek) dari
produksi vasopressin (central diabetes insipidus) atau kegagalan dari
ductus kolekting untuk menganggapi hormone tersebut.

d. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda lebih sering berhubungan langsung dengan CNS dan
termasuk gangguan status mental seperti letarfi, iritabilitas, gelisah, kejang-
kejang, muscle twitching, dan spastisitas. Gejala lain adalah demam, mual,
muntah, nafas terasa berat dan rasa has yang menetap. Berdasarkan
statistic, 2/3 mempunyai gejala sisa neurologis pada akut hipernatremi.

e. Penatalaksanaan
Hipernatremi terjadi pada kondisi klinis yang dapat di antisipasi dan
seharusnya dapat dicegah. Pasien yang dirawat di RS dan usia lanjut
mempunyai risiko tinggi karena gangguan rasa haus dan ketidakmampuan
untuk mendapatkan air yang cukup secara independen. Pada keadaan
tertentu seperti gangguan ginjal akut (AKI), keadaan katabolic terapi cairan
hipertonik diabetes tidak terkontrol dan luka bakar diperlukan perhatian
khusus terhadap kadar elektrolitnya dan pemberian air yang adekuat.
Tujuan pengobatan selalu berdasarkan keadaan hiperosmolaritas
dan ditujukan untuk memperbaiki tonisitas plasma. Rejimen pengobatan
tergantung status volume, dan tatalaksana pengobatan sesuai algoritma
Gambar 7. Algoritma Tatalaksana Hipernatremi

3.3 Diabetes Mellitus9

1. Terapi Farmakologis9

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan


makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis
terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.
 Obat Antihiperglikemia Oral9

Berdasarkan cara kerjanya, obat anti- hiperglikemia oral dibagi


menjadi 5 golongan:
a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
 Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia
dan peningkatan berat badan. Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada
pasien dengan risiko tinggi hipoglikemia (orang tua, gangguan faal hati, dan
ginjal).
 Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin
fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin).
Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi
hiperglikemia post prandial. Efek samping yang mungkin terjadi
adalah hipoglikemia.

b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin

 Metformin

Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa


hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan
perifer. Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus
DMT2. Dosis Metformin diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal (GFR 30- 60 ml/menit/1,73 m2). Metformin tidak boleh diberikan
pada beberapa keadaan sperti: GFR<30 mL/menit/1,73 m2, adanya gangguan
hati berat, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya
penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan, PPOK,gagal jantung [NYHA
FC III-IV]). Efek samping yang mungkin berupa gangguan saluran
pencernaan seperti halnya gejala dispepsia.

 Tiazolidindion (TZD).

Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator


Activated Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang
terdapat antara lain di sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai
efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di jaringan
perifer. Tiazolidindion meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung (NYHA FC III-IV)
karena dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan
faal hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala.
Obat yang masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone.

c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan.

 Penghambat Alfa Glukosidase.


Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam
usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah
sesudah makan. Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan jika
GFR≤30ml/min/1,73 m 2, gangguan faal hati yang berat, irritable bowel
syndrome. Efek samping yang mungkin terjadi berupa bloating
(penumpukan gas dalam usus) sehingga sering menimbulkan flatus. Guna
mengurangi efek samping pada awalnya diberikan dengan dosis kecil.
Contoh obat golongan ini adalah Acarbose.

d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase- IV)


Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim
DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi
yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan
sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon bergantung kadar glukosa
darah (glucose dependent). Contoh obat golongan ini adalah Sitagliptin
dan Linagliptin.

e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co- transporter 2)


Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes
oral jenis baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli
distal ginjal dengan cara menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2.
Obat yang termasuk golongan ini antara lain: Canagliflozin,
Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin. Dapagliflozin baru saja
mendapat approvable letter dari Badan POM RI pada bulan Mei 2015.

Tabel 8. Profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia


Golongan Cara Kerja Utama Efek Samping PenurunanHbA1
Obat Utama c
Sulfonilurea Meningkatkan sekresi BB naik 1,0-2,0%
insulin hipoglikemia
Glinid Meningkatkan sekresi BB naik 0,5-1,5%
insulin hipoglikemia
Menekan produksi
Dispepsia,
glukosa hati &
Metformin diare, asidosis 1,0-2,0%
menambah
laktat
sensitifitas terhadap
insulin
Penghambat Menghambat absorpsi Flatulen, tinja 0,5-0,8%
Alfa- glukosa lembek
Glukosidase
Menambah
Tiazolidindion Edema 0,5-1,4%
sensitifitas terhadap
insulin
Penghambat Meningkatkan sekresi Sebah, muntah
0,5-0,8%
DPP-IV insulin, menghambat
sekresi glukagon
Menghambat Dehidrasi,
Penghambat
penyerapan kembali infeksi saluran 0,8-1,0%
SGLT-2
glukosa di tubuli kemih
distal
ginjal
 Obat Antihiperglikemia Suntik9

Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan


kombinasi insulin dan agonis GLP-1.

a.Insulin9

Insulin diperlukan pada keadaan :


1. HbA1c >9% dengan kondisi dekompensasi metabolic
2. Penurunan berat badan yang cepat
3. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
4. Krisis Hiperglikemia
5. Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
6. Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
7. Kehamilan dengan DM/ DM gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
8. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
9. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
10. Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

Jenis dan Lama Kerja Insulin


Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 5 jenis, yakni :
1. Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)
2. Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
3. Insulin kerja menengah (Intermediate- acting insulin)
4. Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
5. Insulin kerja ultra panjang (Ultra long- acting insulin)
6. Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerja
cepat dengan menengah (Premixed insulin)

Efek samping terapi insulin9


 Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia
 Penatalaksanaan hipoglikemia dapat dilihat dalam bagian komplikasi
akut DM
 Efek samping yang lain berupa reaksi alergi terhadap insulin

Awitan Puncak Lama


Jenis Insulin Kemasan
(onset) Efek Kerja
Insulin analog Kerja Cepat (Rapid-Acting)
Insulin Lispro (Humalog®)
Insulin Aspart (Novorapid®) Pen /cartridge
5-15
Insulin Glulisin 1-2 jam 4-6 jam Pen, vial, Pen
(Apidra®) menit
Insulin manusia kerja pendek = Insulin Reguler (Short-Acting)
Humulin® R Actrapid® 30-60 2-4 jam 6-8 jam Vial, pen /
menit cartridge
Insulin manusia kerja menengah = NPH (Intermediate-Acting)
Humulin N® Vial, pen /
Insulatard® Insuman Basal® 1,5–4 jam 4-10 jam 8-12 jam cartridge
Insulin analog kerja panjang (Long-Acting)
Insulin Glargine (Lantus®)
Insulin Detemir (Levemir®) 1–3 jam Hampir 12-24
Pen
Lantus 300 tanpa jam
puncak

Insulin analog kerja ultra panjang (Ultra Long-Acting)


Degludec 30-60 Hampir Sampai
(Tresiba®)* menit tanpa 48 jam
puncak
Insulin manusia campuran (Human Premixed)
70/30 Humulin® (70% NPH,
30% 30-60
3–12 jam
reguler) menit
70/30 Mixtard® (70% NPH,
30%
reguler)
Insulin analog campuran (Human Premixed)
75/25
Humalogmix® (75%
protamin
lispro, 25% lispro) 12-30 1.4 jam
70/30 Novomix® (70% menit
protamine
aspart, 30%
aspart) 50/50 Premix
b. Agonis GLP-1/Incretin Mimetic9

Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan


pendekatan baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja pada
sel-beta sehingga terjadi peningkatan pelepasan insulin, mempunyai efek
menurunkan berat badan, menghambat pelepasan glukagon, dan
menghambat nafsu makan. Efek penurunan berat badan agonis GLP-1 juga
digunakan untuk indikasi menurunkan berat badan pada pasien DM
dengan obesitas. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki
cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian
obat ini antara lain rasa sebah dan muntah. Obat yang termasuk golongan
ini adalah: Liraglutide, Exenatide, Albiglutide, dan Lixisenatide.

Salah satu obat golongan agonis GLP-1 (Liraglutide) telah beredar


di Indonesia sejak April 2015, tiap pen berisi 18 mg dalam 3 ml. Dosis awal
0.6 mg perhari yang dapat dinaikkan ke 1.2 mg setelah satu minggu untuk
mendapatkan efek glikemik yang diharapkan. Dosis bisa dinaikkan sampai
dengan 1.8 mg. Dosis harian lebih dari 1.8 mg tidak direkomendasikan.
Masa kerja Liraglutide selama 24 jam dan diberikan sekali sehari secara
subkutan.

c.Terapi Kombinasi
Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal yang utama
dalam penatalaksanaan DM, namun bila diperlukan dapat dilakukan
bersamaan dengan pemberian obat antihiperglikemia oral tunggal atau
kombinasi sejak dini. Pemberian obat antihiperglikemia oral maupun
insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan
secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Terapi
kombinasi obat antihiperglikemia oral, baik secara terpisah ataupun fixed
dose combination, harus menggunakan dua macam obat dengan
mekanisme kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu apabila sasaran
kadar glukosa darah belum tercapai dengan kombinasi dua macam obat,
dapat diberikan kombinasi dua obat antihiperglikemia dengan insulin.
Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis dimana insulin tidak
memungkinkan untuk dipakai, terapi dapat diberikan kombinasi tiga obat
anti- hiperglikemia oral. (lihat bagan 2 tentang algoritma pengelolaan
DMT2)
Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin dimulai
dengan pemberian insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja
panjang). Insulin kerja menengah harus diberikan jam 10 malam
menjelang tidur, sedangkan insulin kerja panjang dapat diberikan sejak sore
sampai sebelum tidur. Pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat
mencapai kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang
cukup kecil. Dosis awal insulin basal untuk kombinasi adalah 6-10 unit.
kemudian dilakukan evaluasi dengan mengukur kadar glukosa darah puasa
keesokan harinya. Dosis insulin dinaikkan secara perlahan (pada
umumnya 2 unit) apabila kadar glukosa darah puasa belum mencapai
target. Pada keadaaan dimana kadar glukosa darah sepanjang hari masih
tidak terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal, maka perlu
diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, sedangkan
pemberian obat antihiperglikemia oral dihentikan dengan hati-hati.

2. Komplikasi DM9
Menurut Schteingart (2006), komplikasi-komplikasi DM dapat dibagi
menjadi dua kategori mayor, yaitu:
1) Komplikasi metabolik akut, meliputi ketoasidosis diabetik
(DKA), hiperglikemia, hiperosmolar, koma nonketotik, dan
hipoglikemia.
2) Komplikasi vaskular jangka panjang, meliputi mikroangiopati
dan makroangiopati.
Komplikasi mikrovaskular antara lain retinopati, nefropati,
dan neuropati. Tiga jenis komplikasi makrovaskular yang umum
berkembang pada penderita diabetes adalah penyakit jantung
koroner, penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit pembuluh
darah perifer
BAB IV

ANALISA KASUS

4.1 ANALISA KASUS


Telah dilaporkan kasus Ny. S usia 41 tahun dengan diagnosis Hypokalemi
Periodic Paralysis dengan Electrolit Imbalance dan DM tipe 2. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.

ANAMNESIS :

Dari anamnesis didapatkan adanya kaku di bagian tengkuk, dan anggota


gerak yang mengalami kelemahan setelah sejak 2 hari sebelumnya pasien
mengalami muntah-muntah>5x/hari disertai nyeri di ulu hati, Hal ini sesuai
dengan teori, bahwa gejala Hypokalemi Periodic Paralysis adalah riwayat episode
kelemahan sampai kelumpuhan otot skeletal dan pada pasien ini bisa disebabkan
karena provokasi vomitus disertai sindrom dispepsia.

PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran : Compos Mentis
Artinya pasien dapat berorientasi dengan baik dan tidak ada penurunan kesadaran
Vital Sign
TD : 120/80

HR : 72x/menit

RR : 24x/menit

Suhu : 36,10 C

SpO2 : 98%

Dari vital sign keadaan pasien dalam batas normal.


Abdomen
Inspeksi : datar, bekas luka (-).
Palpasi : Soepel, Nyeri tekan epigastrium (+).
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : Bising Usus (+), normal

Ekstremitas
Superior : akral hangat, CRT <2 Detik, Edem (-), Motorik (1/1), refleks
fisiologis(+/+), reflex patologis (-/-)
Inferior : akral hangat, CRT <2 Detik, Edem (-), motorik (1/1), refleks
fisiologis(+/+), reflex patologi (-/-)

Dari pemeriksaan fisik abdomen didapatkan nyeri tekan epigastrium (+) yang
mendukung keluhan mual dan muntah , dan dari pemeriksaan fisik ekstremitas
didapatkan kekuatan motoric ke empat anggota gerak pasien 1 yang merupakan
manifestasi klinis dari hypokalemia periodic paralysis.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Dari pemeriksaan darah rutin : leukositosis.

- Dari pemeriksaan elektrolit : hipernatremi, hipokalemi, hiperklorida,


hiperkalsemi, sehingga pada pasien ini mengalami elektrolit imbalance

- Pemeriksaan kimia darah: hiperglikemia.

Dari hasil pemeriksaan klinis dan laboratorium pasien diduga mengalami


kelainan paralisis hipokalemia disertai hiperglikemia. Diagnosa kelainan paralisis
hipokalemi ditegakkan berdasarkan kadar kalium darah rendah (kurang dari 3,5
mmol/L) pada waktu serangan, mengalami flaccid paralysis dengan pemeriksaan
lain dalam batas normal. Paralisis yang terjadi pada penyakit ini umumnya
berlokasi di bahu dan panggul meliputi juga tangan dan kaki, bersifat intermiten,
serangan biasanya berakhir sebelum 24 jam, pada elektromiografi (EMG) dan
biopsi otot dapat ditemukan miotonia, kekuatan otot normal diluar serangan.
Diagnosis periodik paralisis hipokalemi(PPH) harus dipertimbangkan ketika suatu
serangan kelemahan terjadi episodik dan berkaitan dengan hipokalemia.
Hipokalemi yang terjadi pada HypoPP ini diduga karena adanya defek
permeabilitas membran sel terhadap kalium sehingga menurunkan kadar kalium
ekstraselular.
Kadar kalium serum akan kembali menjadi normal diantara serangan, dan apabila
hipokalemi menetap harus dipikirkan penyebab lain dari periodic paralisis, seperti
penurunan kadar kalium pada kelainan ginjal, gastrointestinal atau gangguan
metabolisme lain.
Pada pasien ini ditemukan kadar glukosa darah yang lebih dari normal.
Serangan PPH dapat ditimbulkan oleh asupan tinggi karbohidrat, insulin, stres
emosional, pemakaian obat tertentu (seperti amfoterisin- B, adrenalin, relaksan
otot, beta-bloker, tranquilizer, analgesik, antihistamin, antiasma puff aerosol, dan
obat anestesi lokal). Diet tinggi karbohidrat dijumpai pada makanan atau
minuman manis, seperti permen, kue, soft drinks, dan jus buah. Makanan tinggi
karbohidrat dapat diproses dengan cepat oleh tubuh, menyebabkan peningkatan
cepat kadar gula darah. Insulin akan memasukkan glukosa darah ke dalam sel
bersamaan dengan masuknya kalium sehingga menyebabkan turunnya kadar
kalium plasma.

TATALAKSANA
Non farmakologis :
 Tirah baring
 Pantau TTV dan KU
 konsumsi makanan dengan kadar kalium tinggi seperti kismis, pisang,
aprikot, jeruk, advokat, kacang-kacangan, air kelapa, dan kentang
 Memberikan Diet terapi DM sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat
gizi.
BBI : 47,7kg
Kebutuhan kalori : 1.192 kal.
Karbohidrat : 45-65% total asupan energi, (berserat tinggi.)
Lemak : 20-25% kebutuhan kalori
Protein : 10 – 20% total asupan energi.
Natrium : <2300 mg perhari
Serat : 20-35 gram/hari
 Kontrol ketat konsentrasi elektrolit
 Edukasi pasien dan keluarga
a. Penyebab dari hipokalemi
b. Makanan-makanan yang bias dikonsumsi untuk menaikkan
kadar kalium.
c. perjalanan penyakit DM.
d. Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara
berkelanjutan.
e. Penyulit DM dan risikonya.
f. Intervensi non-farmakologis dan farmakologis serta target
pengobatan.
g. Interaksi antara asupan makanan, aktivitasfisik, dan obat
antihiperglikemia oral atau insulin serta obat-obatan lain.
h. Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa
darah atau urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah
mandiri tidak tersedia).
i. Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia.
j. Pentingnya latihan jasmani yang teratur. Dilakukan secara
secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-
45 menit, dengan total 150 menit perminggu..
k. Pentingnya perawatan kaki.

Farmakologis :
o IVFD NaCL 0,9%1 kolf + KCl 30 mEq/3jam
o Inj. Ceftriaxone 1x2gr
o Inj Levemir 11 U
o Inj Novorapid 3x 6U
Tujuan pengobatan adalah mengobati simptom dan mencegah terjadinya
serangan ulang. Pencegahan sebaiknya disesuaikan dengan faktor pencetusnya,
pemberian kalium selama serangan dapat menghentikan gejala. Pengobatan yang
dianjurkan adalah pemberian kalium per oral, jika keadaan berat mungkin
dibutuhkan pemberian kalium intravena.
Terapi paralisis hipokalemi biasanya simtomatik, bertujuan menghilangkan
gejala kelemahan otot yang disebabkan hipokalemi. Terapinya mencakup
pemberian kalium oral, modifikasi diet dan gaya hidup untuk menghindari
pencetus, serta farmakoterapi.
Di beberapa literatur, disarankan pemberian kalium oral dengan dosis 20-
30 mEq/L setiap 15-30 menit sampai kadar kalium mencapai normal. Kalium
klorida (KCl) adalah preparat pilihan untuk sediaan oral. Suplementasi kalium
harus diberikan hati-hati karena hiperkalemia akan timbul saat proses redistribusi
trans-selular kalium berhenti.
Sediaan kalium oral dapat menyebabkan keluhan gastrointestinal dan
tablet bersalut enterik dilaporkan menyebabkan tukak usus halus. Sediaan garam
kalium mikroenkapsulasi mungkin tidak begitu menimbulkan keluhan
gastrointestinal.
Pada kasus paralisis hipokalemik berat atau dengan manifestasi perubahan
EKG, harus diberikan kalium intravena (IV) 0,5 mEq/kg selama 1 jam, infus
kontinu, dengan pemantauan ketat.
Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pemberian kalium ialah kadar
kalium plasma, gejala klinis, fungsi ginjal, dan toleransi pasien. Suplementasi
kalium dibatasi jika fungsi ginjal terganggu. Pemberian oral lebih aman karena
risiko hiperkalemia lebih kecil.
BAB V

KESIMPULAN

Hipokalemik periodik paralisis adalah kelainan yang ditandai dengan


kadar kalium (kalium) yang rendah (kurang dari 3.5 mmol/L) pada saat serangan,
disertai riwayat episode kelemahan sampai kelumpuhan otot skeletal.
Hipokalemia dapat terjadi karena adanya faktor pencetus tertentu, misalnya
makanan dengan kadar karbohidrat tinggi, istirahat sesudah latihan fisik,
perjalanan jauh, pemberian obat, operasi, menstruasi, konsumsi alkohol dan lain-
lain. Kadar insulin juga dapat mempengaruhi kelainan ini pada banyak penderita,
karena insulin akan meningkatkan aliran kalium ke dalam sel. Pada saat serangan
akan terjadi pergerakan kalium dari cairan ekstra selular masuk ke dalam sel,
sehingga pada pemeriksaan kalium darah terjadi hipokalemia. Kadar kalium
biasanya dalam batas normal diluar serangan. Pencetus untuk setiap individu
berbeda, juga tidak ada korelasi antara besarnya penurunan kadar kadar kalium
serum dengan beratnya paralisis (kelemahan) otot skeletal.

Hipokalemik periodik paralisis adalah kelainan yang ditandai dengan


kadar kalium (kalium) yang rendah (kurang dari 3.5 mmol/L) pada saat serangan,
disertai riwayat episode kelemahan sampai kelumpuhan otot skeletal.

Hipokalemia dapat terjadi karena adanya faktor pencetus tertentu,


misalnya makanan dengan kadar karbohidrat tinggi, istirahat sesudah latihan fisik,
perjalanan jauh, pemberian obat, operasi, menstruasi, konsumsi alkohol dan lain-
lain. Kadar insulin juga dapat mempengaruhi kelainan ini pada banyak penderita,
karena insulin akan meningkatkan aliran kalium ke dalam sel. Pada saat serangan
akan terjadi pergerakan kalium dari cairan ekstra selular masuk ke dalam sel,
sehingga pada pemeriksaan kalium darah terjadi hipokalemia.

DAFTAR PUSTAKA
1. Setiati Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II-III. Jakarta : Interna
Publising. 2014
2. Alwi, Idrus et all. 2015. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam
Panduan Praktik Klinis. Jakarta: Interna Publishing
3. Weber F, Lehmann-Horn F. Hypokalemic Periodic Paralysis. 2002 Apr 30
[Updated 2018 Jul 26]. In: Adam MP, Ardinger HH, Pagon RA, et al., editors.
GeneReviews® [Internet]. Seattle (WA): University of Washington, Seattle;
1993-2019..
4. Winarno, Agus Nur Salim, dkk. 2018. Laporan Kasus: Paralisis Periodik
Hipokalemik diduga Familial yang Dipicu Vomitus. CDK-261/ vol. 45 no. 2
th. 2018
5. Nathania, Maggie. 2019. Hipokalemi- Diagnosa dan Tatalaksana. IAI: CDK-
273/ vol. 46 no. 2 th. 2019
6. Ulfa R, Periodik Paralisis Hipokalemi pada Wanita 25 Tahun. Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung:Medula, Volume 1, Nomor 5, Oktober
2013
7. Yaswir, Rismawati. Fisiologi dan Gangguan Keseimbangan Natrium, Kalium
dan Klorida serta Pemeriksaan Laboratorium. Jurnal Kesehatan Andalas.
2012; 1(2): http://jurnal.fk.unand.ac.id
8. Setyohadi, Bambang, dkk. Eimed Dasar dan Kegawatdaruratan Penyakit
Dalam. Eimed PAPDI. Perhimpunan Dokter Penyakit Dalam Indonesia
9. Soelistjo, Soebagijo Adi, dkk. PENGELOLAAN DAN PENCEGAHAN
DIABETES MELITUS TIPE 2 DI INDONESIA 2015. Jakarta: PB
Perkeni. 2015
CLINICAL REPORT SESSION (CRS)
* Kepaniteraan Klinik Senior / G1A218096 / Desember 2019
** Pembimbing / dr. Nelila Pasmah Fitriani Siregar, Sp.PD

Kolitis TB

Dinda Sahyati Rizki Nalia Pohan, S.Ked *

dr. Nelila Pasmah Fitriani Siregar, Sp.PD**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.2 Latar Belakang

Berdasarkan data WHO pada tahun 2014, sebanyak 9,6 juta orang terkena
Tuberkulosis (TB) dan 1,5 juta orang meninggal akibat TB. Secara global, India
dan Indonesia memiliki jumlah kasus tertinggi berturut-turut sebanyak 23% dan
10% kasus global. Pada tahun 2014, Indonesia menempati urutan kedua sebagai
negara dengan prevalensi tertinggi di Asia Tenggara setelah Timor Leste.
Prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2014 adalah 647 per 100.000 penduduk,
sedangkan insidennya ditemukan sebanyak 399 kasus per 100.000 penduduk.1
TB ekstrapulmonal ditemui pada 15-20% populasi dengan insiden HIV
rendah dan merupakan salah satu manifestasi TB ekstrapulmonal tersering.2-5
Sementara itu, TB di abdomen didapatkan pada 11% pasien TB ekstrapulmonal.6
Laporan kasus menyebutkan bahwa sebanyak 2-3% TB abdomen ini terjadi di
kolon .7 TB intestinal dapat ditemui pada berbagai usia namun didominasi oleh
rentang usia 20-40 tahun.2
Lesi TB pada saluran cerna dapat berupa primer atau sekunder. TB usus
primer hanya ditemukan pada 1% kasus di Eropa. Kasus kolitis TB jarang
ditemukan karena sulitnya identifikasi biopsi dari endoskopi dan hanya 1 dari 3
kasus TB saluran cerna yang menunjukkan hasil positif dari kultur dan hanya 2
dari 3 kasus melalui pemeriksaan polymerase chain reaction ( PCR).1,2
Diagnosis TB usus merupakan hal yang menantang bagi klinisi karena
manifestasi klinis yang beragam sehingga menyerupai penyakit infeksi lain,
autoimun, keganasan dan terkait zat iritan (kasusnya jarang).3,10 Kurang dari
25% pasien dengan TB gastrointestinal juga memiliki infeksi TB pada paru.3,4
Dengan demikian, diagnostik yang cepat dan akurat sangat penting agar
tatalaksana pasien dapat optimal. Pada pembahasan ini akan dibahas tentang
diagnosis, manifestasi klinis dan tatalaksanan umum TB intestinal.3
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

MORFOLOGI DAN STRUKTUR BAKTERI


TB adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis (M. tuberculosis) complex.3 M. tuberculosis memiliki bentuk lurus
atau batang sedikit melengkung, tidak ada spora, tidak ada kapsul, dan 0,3-
0,6mikrometer lebar dan 1-4 m panjangnya. Dinding bakteri sangat kompleks,
yang terdiri dari relatif tinggi lapisan lemak (60%) yang komponen utamanya
adalah mycolic asam, lilin kompleks, trephalose dimycolic disebut kabel Faktor
dan sulpholipids mikobakteri yang memainkan peran dalam virulensi. Komponen
lain dari bakteri pada dinding sel adalah polisakarida, seperti arabinogalactan dan
arabinomannan. Struktur kompleks sel dinding memungkinkan bakteri menjadi
asam-cepat dikembalikan.1,2,3

TRANSMISI
Proses infeksi M. tuberculosis umumnya ditularkan dengan cara terhirup
yang lebih mengarah ke TB paru, merupakan manifestasi klinis yang paling
umum dibandingkan dengan organ lain. Transmisi ini Penyakit ini lebih banyak
terjadi dengan menghirup basil yang mengandung droplet nuklei khusus dari paru
Pasien TB dengan batuk produktif atau hemaptoe yang mengandung basil asam
cepat (AFB). Infeksi yang disebabkan oleh Bovis Mycobacterium mungkin
ditularkan melalui susu yang tidak disterilkan secara memadai atau telah
contaminated.4,5
Gambar 1. Penyebaran tuberculosis2

DEFINISI KOLITIS TUBERKULOSIS


Kolitis adalah peradangan akut atau kronis di usus yang, berdasarkan
3,4,5
etiologi, dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (1) infektif kolitis, seperti:
shigellosis, kolitis TB, kolitis amebic, pseudomembran colitis, kolitis dari / bakteri
etiologi parasit lainnya virus /; (2) kolitis Non-infektif, seperti: kolitis ulserativa,
Penyakit Crohn, kolitis radiasi, kolitis non-spesifik.6
TB dalam sistem pencernaan adalah salah satu manifestasi TB paru dan
terdiri dari 3-16% dari semua kasus TB paru. Tipe ini TB dapat mempengaruhi
sistem pencernaan, peritoneum, kelenjar getah bening mesenterika, hati, serta
limpa. Sistem pencernaan dipengaruhi dalam 66-75% pasien TB abdominal. Usus
dan peritoneum dapat terinfeksi melalui kelenjar getah bening mesenterika,
terinfeksi tuba falopii, penyebaran langsung dari organ yang terinfeksi, dan
Penyebaran hematogen. Infeksi langsung dari dinding usus sangat mungkin terjadi
setelah minum susu yang tidak dipasteurisasi atau menelan sejumlah besar basil
dari rongga paru. Reaktivasi dari tubuh dalam beberapa tahun waktu setelah
penyebaran hematogen sangat mungkin terjadi.7,8

EPIDEMIOLOGI
Dalam kolitis TB, sekum dan kolon ascenden merupaka dua daerah yang
paling sering terkena, diikuti oleh usus besar dan usus halus. Berdasarkan
beberapa referensi, 6-90% pasien dengan TB paru memiliki keterlibatan enterik.
Interval yang besar pada hal ini disebabkan oleh keparahan TB paru, di mana
keparahan TB paru berbanding lurus denganketerlibatan enterik bersamaan.7,8
Tabel 1. Distribusi Anatomi dari TB usus (dari seri klinis dan nekropsi)
8
Bagian Kasus (%)
Duodenum 2-3
Jejunum 7-25
Ileum 70-80
Area Ileosekal 55-85
Appendix 5-25
Colon 25-50
Rektum 5-10
Anal canal 0-4

Di sisi lain, 7-75% pasien dengan enteritis TB telah ada riwayat TB paru
bersamaan berdasarkan pada berbagai laporan di Kanada, Amerika Serikat, dan
Inggris. Studi di India melaporkan bahwa 60-75% pasien dengan enteritis TB
tidak memiliki hubungan dengan paru aktif TB, 0-20% memiliki hubungan
dengan TB paru aktif, dan 5-40% memiliki hubungan dengan paru tidak aktif TB.
7,8

ETIOPATOGENESIS DAN TRANSMISI


Infeksi TB disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang memiliki
bentuk lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora, tidak berkapsul dengan
lebar 0,3-0,6 um dan panjang 1-4 um. Dinding bakteri sangat kompleks, sehingga
bakteri ini secara alamiah tahan asam.11 Infeksi TB umumnya melalui inhalasi
dan menyebabkan TB paru yang merupakan manifestasi klinis tersering
dibandingkan organ lain.9
Bakteri pada saluran cerna dapat berasal dari bakteri yang tertelan,
penyebaran dari organ yang berdekatan, maupun melalui peredaran darah.3 Usus
dan peritoneum dapat terinfeksi melalui empat mekanisme, yaitu menelan sputum
yang terinfeksi, penyebaran lewat darah dari TB aktif atau TB milier, konsumsi
susu atau makanan yang terkontaminasi dan penyebaran langsung dari organ yang
berdekatan. Reaktivasi setelah penyebaran infeksi melalui darah mungkin terjadi
beberapa tahun setelah infeksi. Sementara invasi langsung dari dinding usus
mungkin terjadi setelah konsumsi susu yang tidak dipasterurisasi atau konsumsi
basil dari kavitas paru.9,10

MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis dan temuan patologi anatomi TB intestinal sangat
bervariasi. Manifestasinya dapat tidak spesifik dan menunjukkan kemiripan
dengan gangguan gastrointestinal lain, seperti penyakit Crohn, colitis ulseratif,
limfoma, enteritis amuba, actinomikosis dan enterokolitis Yersinia sp atau bahkan
keganasan pada kolon.11
Pemberian imunosupresan pada kasus yang salah duga sebagai
inflammatory bowel disease dapat mengakibatkan penyebaran sistemik TB
dengan komplikasi fatal.12 Sebaliknya, pemberian antituberkulosis empirik dapat
menyebabkan penundaan terapi penyakit Crohn sehingga meningkatkan risiko
eksaserbasi dan komplikasi.13 Oleh karena itu, dugaan klinis sangat menentukan
diagnosis yang tepat. 3,14
Pada umumnya, pasien datang dengan keluhan nyeri perut, diare dan
penurunan berat badan.5,15 Keluhan nyeri abdomen dapat ditemukan pada TB
intestinal dan penyakit Crohn’s. Namun, jika pada anamnesis didapatkan data
pasien dari daerah endemis TB, riwayat imunosupresi dan ada keluarga yang
terdiagnosis TB atau ditemukan TB ditempat lain, maka kecurigaan lebih
mengarah ke TB. 16
Adanya diare dan hematokezia, penyakit perianal, malabsorpsi dan
rekuren penyakit setelah operasi mengarahkan kecurigaan ke penyakit Crohn.
Pada penyakit Crohn sering ditemukan granuloma di mukosa dengan keterlibatan
kurang dari 4 segmen. Lesi dikelilingi mukosa yang tampak normal dan tidak
tampak ulser aftosa, kecuali pada pasien yang sebelumnya telah didiagnosis
penyakit Crohn. Lesi dapat meliputi lesi anorektal. Ulkus longitudinal, ulkus
aftosa, fistula dan gambaran cobblestone. Ulkus yang dalam, fisura, longitudinal,
khas untuk penyakit Crohn, ulkus longitudinal yang lebih kecil yang dipisahkan
oleh edema atau mukosa yang tidak terlibat dapat membentuk gambaran
cobblestone. 16
Pada TB saluran cerna granuloma sering ditemukan di submukosa.
Gambaran lesi per endoskopi dapat berupa liner, fisura, ulkus transversal,
sirkumferens atau massa polipoid. Mukosa sekitar lesi dapat tampak abnormal,
eritema, edema, iregular atau nodul. Tidak seperti pada penyakit Crohn, pada TB
saluran cerna umumnya lesi bersifat multifokal.
Studi pada 100 kasus dengan diare infektif menemukan bahwa 3,6%
diantaranya disebabkan oleh TB. Benjolan hanya ditemukan pada 13,4% pasien,
sedangkan limfadenopati ditemukan pada 1,5%. Peningkatan leukosit, LED, CRP
dan hemoglobin yang rendah mungkin ditemukan pada fase aktif kedua
penyakit.3 Peningkatan trombosit, pada fase aktif penyakit Crohn mungkin
disebabkan karena hiposplenisme reversibel yang meningkatkan kecurigaan
penyakit tersebut dibandingkan TB usus.16
Gambaran klinis TB intestinal meliputi: 1) gejala konstitusi seperti
demam, anoreksia dan penurunan berat badan; 2) gejala akibat ulserasi mukosa
seperti diare, hematoskezia dan malabsorpsi; 3) Gejala terkait keterlibatan
transmural seperti nyeri perut, tegang dan muntah akibat obstruksi lumen, teraba
benjolan, perforasi usus, fistula perianal dan intestinal; 4) manifestasi
ekstraintestinal seperti artritis, peritoneum dan kelenjar limfe; 5) riwayat kontak
dengan TBC.18 Penelitian oleh Mukewar, dkk.3 menyebutkan perubahan pola
defeksi dapat berupa diare atau diare yang bergantian dengan konstipasi.
Lesi makroskopik TB saluran cerna dari endoskopik dapat berupa ulserasi,
nodul, polip dan penyempitan lumen. 3,7,16 Selain itu, dapat juga ditemui gambaran
multipel fibrous band irregular. Beberapa literatur menyebutkan bahwa ulkus
kolon berbentuk linear atau transversal, namun Yusuf, dkk.16 menemukan bentuk
ulkus yang bulat sepanjang kolon. Gambaran ulkus atau kolitis pada TB intestinal
pada umumnya segmental, namun pada kondisi yang jarang dapat ditemui
gambaran colitis difus 21 Keterlibatan 3 atau lebih segmen intestinal lebih
mengarahkan ke diagnosis penyakit Crohn, sedangkan lesi TB intestinal lebih
terlokalisasi.13
Chong, dkk.5 membagi lesi TB saluran cerna menjadi 3 kategori, yaitu
tipe ulseratif (60%), hipertrofik (10%) dan lesi seperti massa atau hipertrofik
menyerupai ulkus (30%). Ulserasi dan penyempitan lumen adalah lesi yang paling
sering ditemui. Lesi ulseratif banyak ditemukan pada pasien dengan defisiensi
sistem imun, sedangkan lesi hipertrofik ditemukan pada pasien dengan sistem
imun baik. Lesi hipertrofik menyerupai ulkus paling banyak ditemukan pada TB
ileosaekal dibanding TB pada segmen usus lain.5,14

Gambar 2. kolonoskopik: (A) Penyakit Crohn — Bisul dan nodul longitudinal

yang dalam pada kolon asendens. (B) TBC usus — lesi ulceroproliferatif di katup

ileocecal
Gambar 2. (a) Gambaran kolonoskopi menunjukkan lesi ulsero hipertropik di
caecum dengan multiple lesi nodular dan penebalan katup ileosekal dengan
perluasan ke colon ascenden. (b) lesi ulserasi dengan slough nekrotik (c) nodul
proksimal katup ileosaecal.

Gambar 3. kolonoskopik: (A) Penyakit Crohn — Bisul dan nodul longitudinal

yang dalam pada kolon asendens. (B) TBC usus — lesi ulceroproliferatif di katup

ileocecal

LOKASI
Lokasi TB saluran cerna yang paling umum ditemui adalah ileum atau
ileosacecal.3,4,7,21 Hal ini disebabkan karena tingginya kelenjar limfoid dan
kontak yang lama dengan usus kecil. 3,6 Mikroorganisme berpenetrasi ke mukosa
dan jaringan limfoid di submukosa dan kemudian terjadi reaksi inflamasi yang
diikuti limfangitis, edarteritis, granuloma, nekrosis perkijuan, ulserasi mukosa dan
fibrotik jaringan.19 Pada kolon, lesi yang tersering adalah sisi kanan (kolon
asenden dan kolon tranversum). Beberapa studi menemukan bahwa lesi tersering
adalah di kolon transversum dengan lesi dominan striktur, namun penelitian hanya
berdasarkan radiologis bukan endoskopis.3
Tabel 2. Distribusi anatomis TB saluran cerna

DIAGNOSIS
Problem diagnostik diakibatkan sulitnya konfirmasi TB saluran cerna
melalui metode bakteriologik. Klinisi yang handal mungkin menegakkan
diagnosis yang tepat pada setengah pasien berdasarkan anamnesis, tanda dan
gejala saja. Sementara itu, pemeriksaan radiologis, endoskopik, histopatologik dan
mikrobiologik dapat mendukung diagnostik sampai 80%.13
Diagnosis pasti TB kolon ditegakkan bila dari biopsi ditemukan granuloma
dan atau basil tahan asam.3 Biopsi dari lesi hanya dapat mendeteksi 60-80%
penyakit.23 Pemeriksaan diagnostik yang membutuhkan waktu lama seperti
pewarnaan basil tahan asam dari biopsi atau sputum, kultur M. tuberculosis, uji
Mantoux dan rontgen toraks sering negatif pada TB ekstraparu.13
Diagnosis awal didasarkan pada penilaian klinis, yaitu demam yang tidak
diketahui sebabnya, penurunan berat badan, anemia, riwayat TB paru atau infeksi
aktif, kontak TB dan biopsi menunjukkan non caseating granuloma dan inflamasi
kronik.3 Perbedaan pada hasil pemeriksaan klinis, endoskopik, radiologis,
patologis, kultur dan pemeriksaan molekuler dapat digunakan utuk membedakan
keduanya.3 Beberapa kepustakaan mengatakan bahwa pemeriksaan diagnostik
yang direkomendasikan adalah kolonoskopi dan biopsi.5,13
Ada beberapa kriteria diagnostik klinis untuk TB intestinal yang perlu
diperhatikan. Beberapa kriteria tersebut yaitu: 1) kultur positif jaringan atau
kelenjar getah bening; 2) istopatologik menunjukkan menunjukkan batang tahan
asam M. tuberculosis di lesi; 3) ditemukan tuberkel dan nekrosis perkijuan dari
gambaran histologik; 4) gambaran endoskopi dan histologik sesuai dengan infeksi
TB ; dan 5) respon baik dengan terapi OAT.
Pasien kolitis TB terkonfirmasi apabila biopsi menunjukkan granuloma
perkijuan dan atau basil tahan asam. Sementara itu, dugaan kolitis TB dibuat
berdasarkan manifestasi klinik, yaitu demam tanpa sebab, penurunan berat badan,
anemia, riwayat TB paru, TB paru aktif, kontak TB positif dan biopsi
menunjukkan non caseating granuloma dan inflamasi kronik. Respon terhadap
terapi TB juga digunakan sebagai metode diagnostik.

1. Histologi
Beberapa studi telah mengevaluasi parameter-parameter histologi dari
biopsi kolonoskopi untuk membedakan TB intestinal dengan penyakit Crohn.
Parameter tersebut meliputi karakteristik granuloma seperti ukuran, jumlah,
konfluens, nekrosis perkijuan, lokasi, mikrogranuloma, bentuk ulserasi dan
kerusakan submukosa. Gambaran histologis TB intestinal yang khas adalah
konfluen, granuloma caseosa yang mengandung basil tahan asam dan dikelilingi
limfoid cuff. Hal tersebut ditemukan pada semua lapisan dinding usus dan kelenjar
getah bening regional. Granuloma awal kadang hanya ditemukan di jaringan
limfoid, namun dapat juga ditemukan metaplasia pilorik ekstensif, ulkus fisura
superfisial yang melas sampai ke submukosa dan penyembuhan terjadi melalui
fibrosis dan regenerasi epitel yang dimulai dari tepi. Granuloma penyembuhan
dikelilingi jaringan fibrosis di kelenjar limfe namun tidak pada dinding
intestinal.14
Biopsi dalam harus diambil di tepi ulkus karena granuloma sering berada
di submukosa, tidak seperti granuloma pada penyakit Crohn yang umum ditemui
pada lapisan mukosa. Namun demikian, pada pasien dengan TB paru aktif,
pemeriksaan hasil biopsi positif pada lesi usus dapat merupakan positif palsu
akibat Mycobacterium tuberculosis yang tertelan dari sputum. Selain itu, terapi
TB sebelumnya dapat mengubah gambaran umum dan mikroskopik sehingga
menyebabkan salah diagnosis.8

Penyakit Crohn dan TB intestinal ditandai dengan inflamasi granulomatosa,


namun granuloma caseosa multipel yang berkonfluen luas dengan inflamasi
submukosa, nekrosis caseosa, ulkus linier dan histiosit epiteloid lebih umum
ditemui di TB intestinal.15 Gambaran penyakit Crohn dari biopsi mukosa berupa
granuloma kecil dan jarang (jumlah <5 dan ukuran <200 um), granuloma tidak
terorganisir, diskrit atau terisolasi.13
Gambaran histopatologis tersebut dapat membedakan TB intestinal dan
penyakit Crohn. Namun, pada 52,7% kasus TB intestinal dan hampir semua kasus
penyakit Crohn memberikan gambaran yang membingungkan. Oleh karena itu,
untuk meningkatkan akurasi, interpretasi histologi digunakan bersama hasil
PCR.13

2. Endoskopi
Endoskopi gastrointestinal- ileokolonoskopi, enteroskopi dan
gastroduodenoskopi berperan penting dalam membedakan TB intestinal dengan
penyakit Crohn. Endoskopi memungkinkan visualisasi langsung dan biopsi lesi.
Daerah ileosaekal merupakan lokasi yang paling sering terkena infeksi dan
kolonoskopi dengan intubasi ileum retrograd (ileokolonoskopi) adalah
pemeriksaan pilihan. Ileokolonoskopi ini, pada pasien dengan dugaan atau ter-
bukti penyakit Crohn, dibandingkan dengan video kapsul enteroskopi
menunjukkan sensitifitas 67% vs 83% dan spesifisitas 100% vs 53%.
Ballon assisted dan spiral enteroskopi adalah modalitas pilihan untuk
mengevaluasi usus kecil karena kemampuan biopsi dan terapeutik. Biospi usus
kecil penting karena lesi ulseratif tidak dapat dibedakan hanya dari gambaran
endoskopi. Biopsi dari mukosa kolon atau gastroduodenal mukosa yang tampak
normal mungkin dapat menjadi kunci diagnostik pada pasien yang diduga
menderita penyakit Crohn.18 Skip lession lebih umum ditemui pada pasien
penyakit Crohn dibanding TB intestinal (66% vs 17%), begitu juga dengan
ulserasi aftosa, ulserasi linier, ulserasi superfisial dan cobblestone mukosa kolon,
yaitu masing-masing 54% vs 13%, 30 % vs 7%, 51% vs 17%) dan 17% vs 0%.
Sementara itu, nodularitas kolon lebih banyak ditemukan pada TB intestinal
(24.5% vs 49%).
Penggunaan kapsul endoskopi untuk diagnosis TB intestinal jarang
digunakan karena tidak mampu untuk biopsi. Namun, beberapa kasus TB
intestinal yang diperiksa melalui kapsul endoskopi menujukkan gambaran
multipel ulkus mukosa yang scattered, pendek, oblik atau tranversal dengan dasar
nekrotik pada jejunum dan ileum. Sulit untuk membedakan TB intestinal dengan
penyakit Crohn hanya dari gambaran kapsul endoskopi saja.18 Endoskopi juga
digunakan untuk evaluasi lesi TB intestinal pasca terapi.3

3. Radiologi penunjang
Rontgen toraks mungkin dapat membantu diagnosis TB intestinal, namun
hasil yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan TB intestinal.16 Hanya 20%
TB paru aktif yang dikaitkan dengan TB saluran cerna.13 Penggunaan fluorescent
untuk diagnosis TB usus meningkatkan sensitifitas namun spesifisitas masih
rendah.3 Pemeriksaan Barium enema akan menunjukkan ulkus segmental,
ketebalan mukosa, stenosis dan deformitas katup ileosekal. 8,12 Terminal ileum
akan menyempit (fleischner sign). Pemeriksaan usus kecil dan barium enema
menunjukkan hasil high riding caecum dengan atau tanpa string like lesion dari
ileum terminal.2

Pemeriksaan computer tomography scan (CT scan) mungkin menunjukkan


inflitrasi omentum, peritoneum dan mesenteium pada penebalan lapisan
peritoneum dan adanya cairan peritoneum yang berdensitas tinggi.25 Gambaran
yang paling umum ditemui dari CT scan adalah penebalan dinding
sirkumferensial saekum dan terminal ileum serta asimetris dari ileosaekal.3,4

Tabel 3. Gambaran CT scan penyakit Crohn dan TB Intestinal


TB intestinal CD
Penebalan mural tanpa stratifikasi Penebalan mural dengan stratifikasi
Striktur konsentrik Striktur eksentrik
Proliferasi fibropatty mesenterium sangat Proliferasi fibropatty mesenterium
jarang
Inflamasi mesenterium tanpa keterlibatan Mesenterium hipervaskular (comb sign)
vascular
Kelenjar getah bening hipodens dengan Limfadenopati ringan
penyangatan perifer
Asites Abses

USG abdomen mungkin menunjukkan penebalan usus yang konsentrik dan


regular.3 Foto polos abdomen tidak memberikan informasi yang bermakna karena
gambaran obstruksi atau perforasi tidak khas. Selain itu, gambaran klasifikasi
nodus mesenterikus juga tidak memastikan diagnosis jika klinis tidak mendukung.

4. Kultur
Waktu yang dibutuhkan untuk kultur M. tuberculosis dengan BACTEC
adalah 2-3 minggu namun sensitifitasnya rendah. Pemeriksaan kultur M.
tuberculosis dari biopsi spesimen mahal dan hasilnya dapat bervariasi.

TERAPI
Terapi untuk TB intestinal meliputi terapi farmakologis OAT dan bedah.8
Pilihan pertama untuk terapi TB intestinal adalah OAT. Ketika pasien diduga TB
intestinal, maka OAT dapat diberikan dosis penuh.16 Sementara itu, pembedahan
adalah pilihan kedua untuk mengatasi TB intestinal dengan komplikasi.16
Diperlukan kombinasi 3 macam obat atau lebih obat anti tuberculosis
seperti pada pengobatan TB paru, demikian pula lama pengobatan dan dosis
obatnya. Kadang-kadang perlu tindakan bedah untuk mengatasi komplikasi.
Beberapa obat anti TB yang sering dipakai adalah:1
 INH 5-10mg/kgbb atau 400mg sekali sehari.
 Etambutol 15-25mg/kgbb atau 900-1200 mg 1x/hari
 Rifampisin 10mg/kgbb atau 450-600 mg 1x/hari
 Pirazinamid 25-35mg/kgbb atau 1,5-2g 1x/hari1
Atau menggunakan kombinasi 1 OAT. Paduan OAT ini diberikan untuk
pasien baru:18
• Pasien baru TB paru BTA positif.
• Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
• Pasien TB ekstra paru
Dosis yang digunakan untuk paduan OAT KDT Kategori 1:
2(HRZE)/4(HR)3

Tabel 4. Pengobatan OAT KDT Kategori 118


Sulitnya diagnostik menimbulkan kesulitan untuk menentukan pada
kondisi apa terapi TB dimulai. Beberapa kepustakaan menyatakan bahwa
memulai terapi TB dilakukan jika kecurigaan klinis sangat mendukung ke arah TB

intestinal.
Reaksi paradoksikal dapat terjadi selama pemberian OAT. Reaksi ini
didefinisikan sebagai perburukan klinis atau radiologis pada pasien dengan lesi
TB. Reaksi ini juga dapat berupa terjadinya lesi baru pada pasien yang awalnya
memberikan respon dengan terapi.3,6
Seperti telah disebutkan sebelumnya, pembedahan merupakan pilihan
kedua untuk mengatasi TB usus dengan komplikasi.16
Pasien dengan keluhan perut walaupun telah diberikan terapi OAT harus
dicurigai onstruksi intestinal subakut.3,7 Hal ini harus dideteksi dini dan
dipertimbangkan tindakan pembedahan untuk mengurangi komplikasi akibat
perforasi. Namun demikian, tidak seperti TB paru, definisi sembuh untuk TB
ekstra paru sulit didefinisikan dan belum ada kriteria baku untuk mengakhiri
terapi.3,6
DIAGNOSA BANDING1
1. Penyakit Crohn
2. Amebiasis
3. Diverkulitis
4. Karsinoma Kolon

KOMPLIKASI
Komplikasi serius yang mungkin terjadi adalah obstruksi usus (15-60%),
fistula (25%) dan perforasi (15%) dengan angka kematian 30-40%. Komplikasi
lainnya yaitu dapat berupa perdarahan masif meskipun jarang terjadi.5,8

BAB V

KESIMPULAN
TB intestinal adalah manifestasi TB ekstrapulmonal terbanyak keenam.
Diagnostik yang akurat penting agar tatalaksana OAT dapat segera diberikan.
Sulitnya diagnosis TB intestinal disebabkan karena gambaran klinis yang tidak
spesifik. Sampai saat ini tidak ada metode tunggal yang dapat mendeteksi TB
intestinal secara tepat dan akurat, sehingga dibutuhkan kombinasi penilaian klinis
dan pemeriksaan berbagai modalitas. Pasien yang telah didiagnosis TB intestinal,
diberikan terapi OAT dan pertimbangan bedah jika mengalami komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Setiati Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II-III. Jakarta : Interna
Publising. 2014
2. WHO. Tuberculosis control in the south east asia region: annual report
2016 [Internet]. Geneva: World Health Organization; 2016 [cited 2016
Apr 13].p.1-219. Available from: http://www.searo. who.int/tb/annual-tb-
report-2016.pdf?ua=1
3. TB/CTA, CDC, ATS, KNCV, The Union, WHO. International standards
for tuberculosis care (ISTC) [Internet]. Geneva: World Health
Organization;2006 [cited 2016 Feb 13]. p.1-60. Available from:
http://www.who.int/tb/publications/ISTC_3rdEd.pdf
4. Mukewar S, Ravi R, Prasad A, Dua K. Colon Tuberculosis: Endoscopic
Features and rospective Endoscopic Follow-Up After Anti- Tuberculosis
Treatment. Clin Transl Gastroenterol. 2012;3(10):e24.
5. Chong VH, Lim KS. Gastrointestinal Tuberculosis. Singapore Med J.
2009;50(6):638.
6. Yusuf AI, Syam AF, Simadibrata M, Fauzi A. Multiple Lessions of The
Colon and Ileocaecal Valve in Collitis Tuberculosis Patient with Positive
Bacili Examination in the Stool. The Indones J Gastroenterol Hepatol Dig
Endosc. 2009;10(1):33-7.
7. Ranitya R, Syam AF, Kolopaking MS, Yuwono V. Diagnostic Problem
and Management of Intestinal Tuberculosis. Indones J Gastroenterol
Hepatol Dig Endosc. 2001;2(3):1-3.
8. Foster BD, Buchberg B, Parekh NK, Mills S. Case of Intestinal
Tuberculosis Mimicking Crohn’s Disease. Am J Case Rep. 2012;13:58-
61.
9. Mario C. Raviglione, Richard J. O’Brien. Tuberculosis. In: Longo, Fauci,
Kasper, Hauser, Jameson, Loscalzo, editors. Harrison’s principles of
internal medicines, 18th edition. Mc Graw Hill Education, 2015. p.1102-
22.
10. Kapoor VK. Abdominal Tuberculosis. Postgrad Med J. 1998;74(874):459-
67.
11. Larsson G, Shenov T, Ramasubramanian R, Kondarappassery LB,
Smastuen MC, et al. Routine Diagnosis of Intestinal Tuberculosis and
Chron’s Disease in Southern India. World J Gastroenterol.
2014;20(17):5017-24.
12. Jung JH KS, Cho YK, Ahn SB, Son BK,Jo YJ et al. A case report of
primary duodenal tuberculosis mimicking a malignant tumor. Clin
Endosc. 2014;47(4):346-9.
13. Sibuea TP, Syam AF, Joewono VD, Simadibrata M. Colonic Tuberculosis
and Chronic Diarrhea. Indones J Gastroenterol Hepatol Dig Endosc.
2001;2(2):32-7.
14. Farrill GZ, Castillo JDD, Sanchez CG, Villanue E, Saenz EV, Donoghue
JA. Colonic Tuberculosis in an Immunocompetent Patient. International
Journal of Surgery Case Report. 2013;4(4):359-61.
15. Pulimood A, Amarapurkar DN, Ghoshal U, Philip M, Pai CG, Real DN, et
al. Differentiation of Penyakit Crohn’sFrom Intestinal Tuberculosis in
India in 2010. World J Gastroenterol. 2011;17(3):433-43.
16. Michalopoulos A, Papadopoulos VN, Panidis S, Papavramidis TS, Chiotis
A , Basdanis G. Cecal Obstruction Due to Primary Intestinal Tuberculosis:
A Case Series. J Med Case Rep. 2011;128:1-5.
17. Park YS JD, Kim SH, Lee HH, Jo YJ, Song MH etal. Colonoscopy
evaluation after short-term anti-tuberculosis treatment in nonspecific
ulcers on the ileocecal area. World J Gastroenterol. 2008;14(32):5051-8.
18. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
364/Menkes/Sk/V/2009 Tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis
(Tb) Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2009

Anda mungkin juga menyukai