Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom Nefrotik (SN) merupakan kumpulan manifestasi klinis yang ditandai dengan
hilangnya protein urin secara masif (albuminuria) diikuti dengan hipoproteinemia
(hipoalbuminemia) dan akhirnya mengakibatkan edema. Dan hal ini berkaitan dengan
timbulnya hiperlipidemia, hiperkolesterolemia dan lipiduria.
SN dapat terjadi pada anak, tetapi banyak terjadi pada usia 1-2 tahun dan 8 tahun.
Pada anak-anak yang onsetnya dibawah usia 8 tahun, rasio antara anak laki-laki dan
perempuan bervariasi dari 2 : 1 hingga 3 : 2. Pada anak yang lebih tua, remaja dan dewasa,
prevalensi antara laki-laki dan perempuan sama. Data dari International Study of Kidney
Disease in Children (ISKDC) menunjukkan bahwa 60% pasien dengan minimal change
nefhrotic syndrome (MCNS) dan focal segmental glomerulosclerosis (FSGS) adalah laki-laki
dan untuk membranoproliverative glomerulonephritis (MPGN) 65% nya adalah perempuan.
SN bukan merupakan penyakit yang berdiri sendiri, tetapi merupakan suatu penyakit
awal adanya pada unit filtrasi darah terkecil (glomerulus) pada ginjal, dimana urine dibentuk.
Sekitar 20% anak dengan SN dari hasil biopsi ginjalnya menunjukkan adanya skar atau
deposit pada glomerulus. Dua macam penyakit yang paling sering mengakibatkan kerusakan
pada unit filtrasi adalah Glomerulosclerosis Focal Segmental (GSFS) dan Glomerulonefritis
membaranoproliveratif (GNMP). Seorang anak yang lahir dengan kondisi tersebut akan
menyebabkan terjadinya Sindrom Nefrotik.

BAB II
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Nn. P

Usia

: 19 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Pekerjaan

: Karyawan

Alamat

: Ciawi Tali, Cisarua, Nagrak, Sukabumi

Status

: Belum Menikah

Agama

: Islam

No. RM

: 3901xx

Tanggal Masuk RS

: Sabtu, 19 November 2016

Tanggal Pemeriksaan

: Senin, 21 November 2016

B. ANAMNESIS
Dilakukan Autoanamensis dengan pasien pada Senin, 21 November 2016.

Keluhan Utama
2

Bengkak pada kedua kelopak mata, dan kedua tungkai.

Riwayat Penyakit Sekarang


Os datang ke BLUD RS Sekarwangi dengan keluhan bengkak pada kelopak mata,
dan kedua tungkai memberat sejak 3 hari SMRS. Os mengatakan bengkak sudah
dirasakan hilang timbul sejak 3 bulan terakhir. Bengkak pertama kali disadari muncul
pada daerah kelopak mata, kemudian bengkak muncul pada kedua tungkai. Os
mengatakan bengkaknya biasanya muncul lebih berat pada pagi hari, namun menjelang
siang biasanya bengkaknya mulai berkurang.
Os juga mengeluhkan adanya sesak napas. Sesak napas mulai dirasakan sejak
sekitar 1 minggu SMRS, namun memberat sejak 3 hari terakhir. Os mengatakan sesaknya
memberat jika os berbaring, sehingga os lebih nyaman tidur dengan menggunakan
minimal 2 bantal. Os menjadi mudah lelah dan sesak saat beraktivitas. Sesak dirasakan
hilang timbul. Sesak napas tidak disertai adanya suara mengi. Os tidak merasakan nyeri
dada. Sesak tidak berkurang dengan beristirahat. Sesak tidak dipengaruhi oleh keadaan
tertentu seperti udara dingin, debu, bau-bauan yang menyengat, atau makanan tertentu.
Os batuk dan pilek. Batuk tidak berdahak. Os mengatakan dirinya mudah terserang batuk
dan pilek.
Os merasakan adanya pusing, nyeri ulu hati, mual dan muntah >5x. Perut terasa
begah. Nafsu makan menurun. Os tidak dema, tidakmengalami keluhan nyeri perut yang
hebat dan tidak mengalami kemerahan pada kulit yang terasa nyeri. BAB tidak ada
keluhan dan BAK rata-rata 2x/hari keruh dan berbusa. BAK tidak nyeri dan tidak pernah
berdarah.
3

Riwayat Penyakit Dahulu


-

Bengkak mulai dirasakan sejak 3 bulan terakhir, hilang timbul.

Sekitar 1 bulan SMRS os dirawat di Rumah Sakit selama 10 hari karena kejang,
tekanan darah tinggi (190/100 mmHg), dan kolesterol tinggi (536 mg/dl).

Os memiliki riwayat asma sejak usia 6 tahun. Kambuh saat udara dingin, debu,
dan kecapean. Asma dapat kambuh sekitar 8x dalam sebulan.

Os tidak memiliki riwayat diabetes mellitus.

Riwayat tekanan darah tinggi sejak 3 bulan terakhir.

Riwayat pengobatan TB (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


-

Tidak ada yang mengalamikeluhan yang sama di keluarga.

Ibu os menderita penyakit gagal ginjal dan rutin cuci darah.

Ibu os memiliki riwayat penyakit darah tinggi dan kencing manis.

Riwayat Pengobatan

Sejak 3 bulan terakhir os rutin berobat ke Poli Dalam BLUD RS


Sekarwangi, os rutin mengkonsumsi asam folat dan obat penurun
kolesterol.

Untuk mengobati asmanya os menggunakan obat inhalasi.

Riwayat Alergi
Os memiliki riwayat alergi debu dan udara dingin.

Riwayat Psikososial
Sehari-hari os bekerja sebagai asisten kepala sekolah. Os tidak pernah merokok
ataupun meminum minuman beralkohol. Sehari-hari os makan 3x/hari, selalu makan
dengan lauk pauk.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak Sakit Ringan
Kesadaran

: Composmentis

Tanda Vital
-

Tekanan Darah : 190/100mmHg

Nadi

: 84x/menit, regular, kuat angkat

Suhu

: 36.6 C

Pernafasan

: 20x/menit

D. STATUS GENERALIS
Kepala
-

Rambut : Berwarna hitam, distribusi merata, ketombe (-)

Wajah

: Sembab

Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema palpebra (+/+)

Hidung

: Tidak ada kelainan bentuk, sekret (-/-), darah (-/-)

Telinga

: Tidak ada kelainan bentuk, sekret (-/-), darah (-/-)

Mulut

: Bibir kering (-), mukosa faring hiperemis (-), tonsil T1-T1

Leher
-

Pembesaran KGB

: Tidak ada pembesaran KGB

Pembesaran Tiroid

: Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid

JVP

: Tidak meningkat

Thorax
6

Paru

Inspeksi

: Bentuk dan pergerakan dada simetris, tidak tampak otot bantu napas

tambahan

Palpasi

: Tidak ada nyeri tekan, vokal fremitus sama di kedua lapang paru

Perkusi

: Sonor di seluruh lapang paru

Auskultasi

: Vesikular (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung

Inspeksi

: Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi

: Ictus kordis teraba di ICS 5 linea midklavikularis sinistra

Perkusi

: Batas atas di ICS II linea parasternalis dextra, batas kanan di ICS IV

linea sternalis dextra, batas kiri di ICS V linea midclavicula sinistra

Auskultasi

: BJI dan II regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi

: Perut datar, lesi kulit (-)

Auskultasi

: Bising usus (+) dalam batas normal

Perkusi

: Pekak samping (+) pekak alih (+)

Palpasi

: Nyeri tekan epigastrium (+), hepato-splenomegali (-)


7

Ekstremitas

Atas

: Akral hangat (+/+), sianosis (-/-), deformitas (-/-), edema (-/-)

Bawah

: Akral hangat (+/+), sianosis (-/-), deformitas (-/-), edema minimal (+/

+)

E. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan Laboratorium Sabtu, 19 November 2016
PEMERIKSAAN

HASIL

NILAI RUJUKAN

SATUAN

Hemoglobin

12.8

13.5 17.5

g/dL

Hematokrit

32

42 52

Leukosit

10.4

4.8 10.8

10^3/L

Trombosit

407

150 450

10^3/L

Ureum

38

10 50

mg/dl

Creatinin

1.2

0.5 1.9

mg/dl

HEMATOLOGI

KIMIA DARAH

Pemeriksaan Laboratorium Minggu, 20 November 2016


PEMERIKSAAN

HASIL

NILAI RUJUKAN

SATUAN
8

URINE RUTIN
Warna

Kuning muda

Kejernihan

Agak keruh

Berat Jenis

1.010

pH

Leukosit

Glukosa

+2
+2

Keton

2 3 / LPB

Nitrit
Protein

Urobillin

5 10 / LPB

Billirubin
Blood

0 1 / LPB

SEDIMEN
Leukosit
Eritrosit
Epithel
Cylinder
Bakteri
Kristal
Urine Glucose 2 JPP

Pemeriksaan Laboratorium Selasa, 22 November 2016


PEMERIKSAAN

HASIL

NILAI RUJUKAN

SATUAN

KIMIA DARAH
Cholesterol

320

<220

mg/dl

HDL-Cholesterol

34

>35

mg/dl
9

LDL-Cholesterol

260.8

<150

mg/dl

Triglycerida

176

<200

mg/dl

Albumin

2.04

3.2 4.8

gr/dl

SGOT

21

<21

U/L

SGPT

12

<22

U/L

F. RESUME
Perempuan, 19 tahun datang ke BLUD RS Sekarwangi dengan edema periorbita
dextra-sinistra dan kedua tungkai memberat sejak 3 hari SMRS. Edema hilang timbul
sejak 3 bulan terakhir, pertama kali disadari muncul pada daerah periorbita, kemudian
pada kedua tungkai. Edema lebih berat pada pagi hari, namun menjelang siang berkurang.
Os juga mengeluhkan adanya sesak napas sejak sekitar 1 minggu SMRS hilang
timbul, memberat 3 hari terakhir. Sesaknya memberat saat berbaring, os lebih nyaman
tidur dengan menggunakan minimal 2 bantal. Os mudah lelah dan sesak saat beraktivitas,
tidak berkurang saat beristirahat. Sesak napas tidak disertai adanya suara mengi. Nyeri
dada tidak ada. Os batuk tidak berdahak. Os mengatakan dirinya mudah terserang batuk
dan pilek.
Os pusing, nyeri ulu hati, mual dan muntah >5x. Perut terasa begah. Anoreksia.
BAK berbusa, frekuensi 2x/hari.

10

Tanda vital: hipertensi: 190/100 mmHg. Status generalis: Abdomen: nyeri tekan
epigastrium (+), pekak saming (+), pekak alih (+) asites (+). Ekstremitas: edema
tungkai (+).
Hasil pemeriksaan laboratorium: Cholesterol 320 mg/dl, LDL 260.8 mg/dl,
Albumin 2.04 gr/dl. Urin: agak keruh, protein (+2), blood (+2), leukosit 2-3/LPB, eritrosit
5-10/LPB, epithel 0-1/LPB.

G. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


-

Chest X-Ray

USG Abdomen
Hasil USG Abdomen:
Gambaran medulla pada kedua ginjal tidak tampak jelas, menyokong sindroma
nefrotik.
Tidak tampak batu/bendungan pada kedua ginjal.
Efusi pleura kiri.

11

H. DIAGNOSIS KERJA
Sindroma Nefrotik + Hipertensi Urgensi

I. RENCANA TINDAKAN
Non-Medikamentosa:
-

O2 4 liter/menit nasal canul (bila sesak)

Diet rendah garam, rendah kolesterol, tinggi protein

12

Medikamentosa:
-

Furosemid 1 x 40 mg (IV)

Spironolacton 1 x 100 mg (PO)

Ciprofloxacin 2 x 400 mg (IV)

Captopril 3 x 25 mg (PO)

Amlodipine 1 x 10 mg (PO)

Prednisone 20 mg 20 mg 10 mg (PO)

Atrovastatin 1 x 20 mg (PO)

Asam Folat 3 x 1 (PO)

Ranitidin 2 x 50 mg (IV)

J. PROGNOSIS
-

Quo ad Vitam

: Dubia ad Bonam

Quo ad Sanationam : Dubia ad Bonam

Quo ad Functionam : Dubia ad Bonam

13

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Sindrom nefrotik (SN) adalah suatu sindrom yang mengenai glomerulus, ditandai
dengan :
a.

Edema,

b.

Proteinuria masif

c.

d.

>40 mg/m2/jam atau >3,5 g/24 jam (kuantitatif)

rasio protein/kreatinin pada urin >2 mg/mg

dipstick >2+ (kualitatif)

Hipoalbuminemia (<2,5 g/dl), dan

Dapat disertai dengan hiperkolesterolemia (>200 mg/dl) atau hiperlipidemia.

Beberapa definisi atau batasan yang dipakai pada SN, yaitu:


a. Remisi
Proteinuria (-) atau trace (proteinuria <40 mg/m2/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1
minggu.
b. Relaps
Proteinuria 2+ (proteinuria <40 mg/m2/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.
c. Relaps jarang
14

Relaps terjadi kurang dari 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau kurang
dari 4 kali pertahun pengamatan.
d. Relaps sering (frequent relaps)
Relaps 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respon awal atau 4 kali dalam periode 1
tahun.
e. Dependen steroid
Relaps 2 x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan (alternating) atau dalam 14
hari setelah pengobatan dihentikan.
f. Resisten steroid
Tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full dose) 2 mg/kgbb/hari
selama 4 minggu

B. EPIDEMIOLOGI
Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-4
kasus baru per 100.000 anak per tahun. Di negara berkembang insidensinya lebih tinggi. Di
Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan
2:1.

C. KLASIFIKASI
Klasifikasi sindrom nefrotik (SN), yaitu:
1. Berdasarkan etiologi
a. SN primer
15

b. SN sekunder
2. Berdasarkan histopatologi
a. SN kelainan minimal (SNKM) (85%)
b. SN non-minimal
-

Mesangial proliferatif difus (MPD) (5%)

Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) (10%)

3. Berdasarkan respon pengobatan terhadap steroid


a. Steroid responsif
b. Tidak steroid responsif

D. ETIOLOGI
Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti
penyakit sistemik antara lain SLE, purpura henoch schoenlein, amyloidosis, infeksi HIV,
parvovirus B19, infeksi virus Hepatitis B atau C, dan lain-lain.
1. SN idopatik (90%)
Umumnya SN idiopatik diduga ada hubungan dengan genetik, imunologik, dan alergi.
Bentuk SN idiopatik meliputi:
a. kelainan minimal (SNKM) (85%)
b. mesangial proliferatif difus (MPD) (5%)
16

c. glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) (10%)


2. SN sekunder (10%)
SN sekunder atau didapat bersal dari luar ginjal yang terjadi karena berhubungan
dengan penyakit sistemik. Bentuk SN sekunder meliputi:
a. glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP)
b. nefropati membranosa (GNM)

Tabel 2.1. Penyebab sindrom nefrotik pada anak


GENETIC DISORDER

SECONDARY CAUSES

Nephrotic Syndrome Typical

Infections

Finnish-type
syndrome

congenital

nephritic

Focal segmental glomerulosclerosis


Diffuse mesangial sclerosis
Denys-Drash syndrome

Hepatitis B, C
HIV-1
Malaria
Syphilis
Toxoplasmosis

Schimke immune-osseous dysplasia


Drugs
Proteinuria with or without Nephrotic
Syndrome

Penicillamine

Nail-patella syndrome

Gold

Alport syndrome

Nonsteroidal anti-inflammatory drugs


(NSAIDs)
Pamidronate

Multisystem Syndrome with or without


Nephrotic Syndrome
Galloway-Mowat syndrome

Interferon
Mercury
17

Charcot-Marie-Tooth disease

Heroin

Jeune syndrome

Lithium

Cockayne syndrome
Laurence-Moon-Biedl_bardet syndrome

Immunologic or Allergic Disorders


Castleman disease

Metabolic Disorders with or without


Nephrotic Syndrome
Alagille syndrome

Kimura disease
Bee sting
Food allergens

1 Antitrypsin deficiency
Fabry disease
Glutaric acidemia
Glycogen storage disease

Associated with Malignant Disease


Lymphoma
Leukemia

Hurler syndrome
Lipoprotein disorders
Mitochondrial cytopathies
Sickle cell disease

Glomerular Hyperfiltration
Oligomeganephronia
Morbid obesity
Adaptation to nephron reduction

IDIOPATHIC NEPHROTIC
SYNDROME
Minimal change disease
Focal segmental glomerulosclerosis
Membranous nephropathy

Pada pengobatan kortikosteroid inisial sebagian besar SNKM (94%) mengalami


remisi total (responsif), sedangkan pada GSFS 80%-85% tidak responsif (resisten steroid).
Sindrom Nefrotik yang muncul dalam 3 bulan pertama kehidupan disebut sebagai Sindrom
Nefrotik Kongenital dan dianggap penyebabnya adalah infeksi intrauterin (infeksi TORCH).
18

E. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi dari sindrom nefrotik masih tidak diketahui secara pasti, tetapi ada bukti
kuat mengenai kelainan imunologik yang terutama mengganggu cell-mediated immnunity.
Yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein sehingga terjadi
proteinuria.
Terdapat 3 mekanisme yang mendasari proteinuria, yaitu:
1. Hilangnya muatan poliamnion pada dinding kapiler glomerulus,
2. Perubahan pori-pori dinding kapiler glomerulus,
3. Perubahan hemodinamik yang mengatur aliran kapiler.

Bertahun-tahun lamanya, penelitian difokuskan pada membran glomerulus atau faktorfaktor dari ekstraglomerolus yang berperanan dalam peningkatan permeabilitas glomerulus
dan terdapat bukti yang mengatakan bahwa kelainan primer pada sindrom nefrotik idiopatik
mungkin terdapat pada tingkat podosit, sel epitel pada viseral glomerolus. Kelainan pada
podosit ini berimplikasi pada peningkatan proteinuria glomerolus. Ada beberapa virus seperti
HIV, parvovirus B19, dan simian SV40 yang bisa secara langsung menyebabkan luka pada
podosit.
Mutasi gen ditemukan pada anak-anak dengan sindroma nefrotik familial, dimana
diantaranya mutasi pada gen NPHS1 pada sindroma nefrotik tipe Finnish yang mengkode
protein nefrin. Protein ini terdapat pada protein transmembran dalam slit diafragma antara

19

podosit. Disamping mutasi NPHS1 juga ada mutasi gen NPHS2 atau ACTN4 pada FSGS,
WT1 pada sindrom Denys-Drash (sindrom nefrotik, pseudohermafrodit laki-laki, dan
gonadoblastoma) dan sindrom Frasier (FSGS, pseudohermafrodit laki-laki, gonadoblastoma).

Terdapat 2 teori tentang terjadinya edema pada sindrom nefrotik, yaitu:


1. Teori Underfill
Kelainan glomerolus ini akan menyebabkan terjadinya albuminuria berat. Albuminuria
ini

menyebabkan

terjadinya

hipoalbunemia.

Selanjutnya

hipoalbuminemia

menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga akan terjadi perpindahan


cairan dari plasma ke rongga interstisial dan terjadilah edema dan hipovolemia.
Hipovolemia ini mengakibatkan penurunan laju filtrasi glomerolus, peningkatan
reabsorbsi garam dan air pada tubulus proksimal, aktivasi dari sistem reninangiotensin-aldosteron, pelepasan hormon anti diuresis, dan inhibisi atrial natriuretic
peptide. Kemudian akan menyebabkan terjadinya retensi air dan garam, yang
selanjutnya akan menimbulkan terjadinya edema, yang akan diperparah dengan
asupan garam dan air yang terus menerus.

2.

Teori Overflow/Overfill
Kelainan glomerolus menyebabkan terjadinya retensi primer ginjal terhadap garam
dan air sehingga akan terjadi peningkatan volume ekstraseluler. Peningkatan volume
ekstraseluler ini akan menyebabkan terjadinya edema dan peningkatan volume plasma
yang bersirkulasi, yang selanjutnya akan menyebabkan terjadi inhibisi sistem rennin-

20

angiotensin-aldosteron, pelepasan arginin vasopressin, dan inhibisi atrial natriuretic


peptide. Ketiga hal ini akan menyebabkan kegagalan kontrol feedback negatif terhadap
retensi primer renal terhadap garam dan air. Hal ini akan diperberat dengan asupan
garam dan air yang terus menerus.

a.

21

PATOMEKANISME

Gangguan dalam glomerulus basement membrane karena metabolik ataupun biokimia

Mempengaruhi permeabilitas glomerular

Peningkatan filtrasi pada protein plasma

Hilangnya protein plasma seperti albumin dan beberapa imunoglobulin

Proteinuria

Hilangya transport protein

hipoalbuminemia

Ig

Tekanan onkotik menurun

Mudah terkena infeksi

(globulin)

vit D thyroxine

cairan berpindah dari intravaskuler ke interstisial

edema

penurunan sirkulasi darah menerunkan perfusi ginjal mengaktifkan system renin


angiotensin

retensi natrium edema lebih lanjut

hilangnya protein dalam serum menstimulasi sintesis lipoprotein dihati dan peningkatan
konsentrasi lemak dalam plasma hiperlipoproteinemia lipiduria
22

H. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis yang paling sering muncul adalah edema. Edema ini bersifat
generalisata dan berdasar atas daya gravitasi dimana edema pada regio periorbital terjadi pada
pagi hari sedangkan pada kaki sore harinya.
Bila lebih berat akan disertai dengan asites, efusi pleura, dan edema skrotum/vulva.
Kadang-kadang disertai dengan oliguria dan gejala infeksi, nafsu makan berkurang, dan diare.
Bila disertai sakit perut hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya peritonitis.
Pada pemeriksaan fisik harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi badan, lingkar
perut, dan tekanan darah. Dalam laporan ISKDC (International Study Of Kidney Disease In
Children) pada SNKM dapat ditemukan 22% hematuria mikroskopik, 15%-20% hipertensi,
dan sebesar 32% disertai peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah, tetapi bersifat
sementara.

Proteinuria

Proteinuria merupakan kelainan dasar SN. Proteinuria sebagian besar berasal dari
kebocoran glomerulus (proteinuria glomerular) dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi
tubulus (proteinuri tubular). Perubahan integritas membrana basalis glomerulus menyebabkan
peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma dan protein utama yang
diekskresikan dalam urin adalah albumin. Derajat proteinuri tidak berhubungan langsung
dengan keparahan kerusakan glomerulus.

23

Hipoalbuminemia

Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan peningkatan


katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya meningkat (namun tidak
memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin), tetapi mungkin normal atau
menurun.

Hiperlipidemia

Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein
(LDL), trigliserida meningkat. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan
penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan
intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi
oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan onkotik.

Lipiduria

Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin. Sumber lemak ini
berasal dari filtrat lipoprotein melalui membrana basalis glomerulus yang permeable.

Edema

Dahulu diduga edema disebabkan penurunan tekanan onkotik plasma akibat


hipoalbuminemia dan retensi natrium (teori underfill). Hipovolemi menyebabkan peningkatan
renin, aldosteron, hormon antidiuretik dan katekolamin plasma serta penurunan atrial
24

natriuretic peptide (ANP). Pemberian infus albumin akan meningkatkan volume plasma,
meningkatkan laju filtrasi glomerulus dan ekskresi fraksional natrium klorida dan air yang
menyebabkan edema berkurang. Peneliti lain mengemukakan teori overfill. Bukti adanya
ekspansi volume adalah hipertensi dan aktivitas renin plasma yang rendah serta peningkatan
ANP. Beberapa penjelasan berusaha menggabungkan kedua teori ini, misalnya disebutkan
bahwa pembentukan edema merupakan proses dinamis. Didapatkan bahwa volume plasma
menurun secara bermakna pada saat pembentukan edema dan meningkat selama fase diuresis.
Pada SNKM edema timbul secara cepat dan progresif dalam beberapa hari.edema berupa
pitting

Hiperkoagulitas

Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C dan
plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya faktor V, VII, VIII, X, trombosit,
fibrinogen, peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel serta menurunnya
faktor zimogen (faktor IX, XI).

Rentan Terinfeksi

Penurunan kadar imunoglobulin Ig G dan Ig A karena kehilangan lewat ginjal,


penurunan sintesis dan peningkatan katabolisme menyebabkan peningkatan kerentanan
terhadap infeksi bakteri berkapsul seperti Streptococcus pneumonia, Klebsiella, Haemophilus.
Pada SN juga terjadi gangguan imunitas yang diperantarai sel T. Sering terjadi
bronkopneumoni dan peritonitis.

25

I. DIAGNOSIS
Diagnosis sindrom nefrotik meliputi:
1. Anamnesis
Paparan terhadap obat-obatan atau allergen, riwayat penyakit ginjal keluarga, riwayat
urin keruh (menandai awal infeksi)
2. Pemeriksaan fisik
Edema periorbita, dapat pula asites, edema dapat ditemukan pada genitalia, lengan,
pinggang.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Urinalisis dan bila perlu biakan urin,
b. Protein urin kuantitatif dapat berupa urin 24 jam atau rasio albumin/kreatinin pada
urin pertama pagi hari,
c. Pemeriksaan darah
Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit, hematokrit,
LED)
Albumin dan kolesterol
Ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin atau dengan rumus Schwartz
C3; bila dicurigai SLE pemeriksaan ditambah dengan C4 dan ANA (anti
nuclear antibody)

J. PENATALAKSANAAN
26

Pada penderita SN pertama kali sebaiknya di rawat di rumah sakit dengan tujuan
untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit, penanggulangan edema,
memulai pengobatan steroid, dan edukasi pada orang tuanya. Sebelum pengobatan steroid
dimulai dilakukan pemeriksaan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH
bersama steroid. Bila ditemukan tuberkolusis aktif pada pemeriksaan foto toraks diberi obat
anti tuberkulosis (OAT).

Diitetik

Pemberian diit tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang dianggap kontra
indikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme
protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan terjadinya sklerosis glomerulus. Jadi cukup diberi diit
protein normal sesuai dengan RDA (Recommended daily allowances) yaitu 2 g/kgbb/hari.
Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrasi energi protein (MEP) dan menyebabkan
hambatan pertumbuhan anak. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak
menderita edema.
Syarat diet :

Energi cukup untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen positif

Protein tinggi 17% dari kebutuhan kalori, untuk mengganti protein yang terbuang
lewat urin

Lemak sedang, yaitu 15-20% dari kebutuhan energi total

Karbohidrat rendah

Natrium dibatasi 1-4 g sehari

Kolesterol dibatasi < 300 mg/hari

Cairan sesuai banyaknya cairan yang dikeluarkan

27

Makanan yang dianjurkan, makanan yang diberikan dalam bentuk lunak atau biasa :

Tempe, tahu, putih telur, kedelai rebus, susu skim, susu kedelai

Daging sapi tanpa lemak, ayam tanpa lemak, ikan, seral, nasi, jagung

Kacang polong, kacang hijau, brokoli rebus, kubis rebus, jamur rebus

Ikan gabus, sayur mayur, gandum, barley padi, buah-buahan

Makanan yang tidak dianjurkan

Garam, gorengan, asinan, jeroan, keju, ice cream, manisan kering, milk shake

Minuman bersoda, kecap, mentega, garam laut, makanan kalengan, sosis,


kornet

Daging berlemak, mie instan, cake beku, burger, kentang goreng, pizza, saus
tomat, margarin

Menu diet :
Pagi (pukul 10.00)
Nasi tim, dadar telur, tumis kacang panjang, susu, bubur kacang hijau, pisang
Siang (pukul 16.00)
Nasi tim, daging bumbu tomat, tim tahu, cah sayuran, pisang, susu
Malam
Nasi tim, daging bumbu terik, tempe bacem, sup sayuran

Tabel 2.2 Bahan makanan yang diberikan


Berat gr
Beras
Daging
Telur
Tempe
Kacang hijau
Sayuran
Buah

200
200
50
100
25
200
300

Urt
4 gelas nasi tim
4 potong sedang
1 butir
4 potong sedang
2 sdm
2 gelas
3 potong sedang
28

Gula pasir
Minyak
Susu

40
25
400

4 sdm
2 sdm
2 gelas

Nilai gizi :
Kalori

: 2304 kal

Protein

: 97 g

Lemak

: 77 g

Karbohidrat

: 310 g

Diuretika

Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema yang berat. Biasanya diberikan loop
diuretik seperti furosemid 1-2 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasi dengan spironolakton
(antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-3 mg/kgbb/hari. Pada pemakaian diuretik
lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit darah kalium dan natrium.
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (refrakter) biasanya terjadi karena hipovolemia
atau hipoalbumenemia berat (1 g/kgbb selama 4 jam, untuk menarik cairan dari jaringan
interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid i.v 1-2 mg/kgbb/hari. Bila pasien tidak
mampu diberi plasma 20 ml/kggb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah
terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan dapat diberi selang sehari untuk
memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Pemberian plasma
berpotensi menyebabkan penularan infeksi hepatitis, HIV, dan lain-lain. Bila asites
sedemikian berat hingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi berulang.

Antibiotik Profilaksis

Di beberapa negara pasien SN dengan edema dan asites yang banyak diberikan
profilaksis dengan penisillin oral 125-250 mg 2 x sehari sampai edema berkurang. Di
29

Indonesia tidak dianjurkan pemberian antibiotik profilaksis, tetapi perlu dipantau berkala dan
bila ditemukan tanda-tanda infeksi segera diberikan antibiotik. Biasanya diberikan amoksilin,
eritromisin, atau sefaleksin.

Imunisasi

Imunisasi pada SN selama pengobatan kortikosteroid atau dalam 6 minggu setelah


obat dihentikan hanya boleh diberi vaksin virus mati. Setelah lebih dari 6 minggu penghentian
steroid dapat diberi vaksin virus hidup. Imunisasi juga dihindari bagi penderita SN yang
mendapat terapi siklofosfamid atau siklosporin A.

Pengobatan Kortikosteroid

Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal kecuali bila ada kontra
indikasi. Dapat diberikan prednison atau prednisolon.

K. PENGOBATAN INISIAL
Sesuai dengan anjuran ISKDC (International Study on Kidney Diseases in Children)
diberi prednison 60 mg/m2/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) untuk
menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan BB ideal, (berat terhadap tinggi
badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Pada pemberian
2 minggu pertama remisi terjadi sebanyak 80% dan pada 4 minggu 94%. Bila terjadi remisi
pada 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m 2 ( dosis
awal) secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Bila selama 4 minggu
tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resistens steroid (Gambar 2.1.).

PREDNISON FULL DOSE


4 MINGGU

4 MINGGU

Prednison FD : 60 mg/m2/har
Prednison AD : 40 mg/m2/har

30

Remisi
(-) : RESISTEN
STEROID
TERAPI
IMUNOSUPRESIF

SENSITIF
STEROID

R = REMISI
PROTEINURIA (-)
EDEMA (-)

Gambar 2.1. Pengobatan inisial kortikosteroid


Keterangan
Prednison dosis penuh 60 mg/m2 LPB/hari (2mg/kgBB/hari) dibagi 3 dosis diberikan setiap
hari selama 4 minggu, dilanjutkan dengan prednison 40 mg/m2 LPB/hari (2/3 dosis penuh),
dapat diberikan secara intermittent (3 hari berturut-turut dalam 1 minggu) atau alternating
(selang sehari), selama 4 minggu.
Bila remisi terjadi dalam 4 minggu pertama, maka prednison intermitent/alternating 40
mg/m2 LPB/hari diberikan selama 4 minggu. Bila remisi tidak terjadi pada 4 minggu pertama,
maka pasien tersebut didiagnosis sebagai sindrom nefrotik resisten steroid.

APN (Arbeitgemeinshaft fur Pediatrische Nephrology) Jerman melaporkan bahwa


pada pemberian prednison dosis penuh 6 minggu, dilanjutkan dengan dosis alternationg 6
minggu dapat memperpanjang remisi dibandingkan dengan dosis standar 8 minggu. Pada
pengamatan 12 bulan relaps menurun 36,2% v.s 81% (dosis standar).

Pengobatan SN Relaps

Meskipun pada pengobatan inisial terjadi remisi total 94%, tetapi sebagian besar akan
mengalami relaps (60%-70%) dan 50% mengalami relaps sering. Skema pengobatan relaps
dapat dilihat pada gambar, yaitu diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4
minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada penderita SN yang
mengalami proteinuria kembali 2+ tetapi tanpa edema sebelum diberi prednison kembali
dicari dulu pemicunya, biasanya infeksi saluran napas atas. Bila ada diberi antibiotik 5-7 hari

31

dan bila kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberi pengobatan relaps. Tetapi bila
sejak awal ditemukan proteinuria 2+ dan edema didiagnosis sebagai relaps dan diberi
pengobatan.

SN RELAPS
REMISI
FD

Prednison FD: 60 mg/m2/hari


Prednison AD: 40 mg/m2/hari

Gambar 2.3. Pengobatan sindrom nefrotik relaps

Keterangan
Predinison dosis penuh setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu) kemudian dilanjutkan
dengan prednison intermitent/alternating 40 mg/m2 LPB/hari selama 4 minggu. Bila sampai
pengobatan dosis penuh selama 4 minggu tidak juga terjadi remisi, maka pasien didiagnosis
sebagai SN resisten steroid dan harus diberikan terpai imunosupresif lain.
Jumlah relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan sangat penting karena dapat
meramalkan perjalanan penyakit selanjutnya. Berdasarkan relaps yang terjadi dalam 6 bulan
pertama, pasien dapat dibagi dalam beberapa golongan:
1.

Tidak ada relaps sama sekali (30 %)

2.

Relaps jarang

: kurang dari 2 x (10-20%)

3.

Relaps sering

: relaps > 2 x (40-50 %)


4. Dependen steroid

: relaps 2 x berurutan pada saat dosis

steroid diturunkan

(alternating) atau dalam 14 hari setelah

pengobatan dihentikan
Dependen steroid adalah bagian dari relaps sering yang jumlah relapsnya lebih banyak
dan prognosisnya lebih buruk, tetapi masih lebih baik daripada resisten steroid.

32

Penderita pada kategori 1 dan 2 prognosisnya paling baik, biasanya setelah mengalami
2-3 kali relaps akan tidak relaps lagi. Sedangkan pada kategori 3 dan 4 bila berlangsung lama
akan menimbulkan efek samping steroid, antara lain moon face, hipertensi, striae, dll.
Penderita SN relaps sering dan dependen steroid sebaiknya dirujuk ke dokter spesialis anak
atau paling sedikit diobati bersama-sama dengan dokter spesialis anak.

Pengobatan SN Relaps Sering atau Dependen Steroid

Dahulu pada penderita SN relaps sering dan dependen steroid segera diberikan
pengobatan alternating dengan siklofosfamid (CPA), tetapi sekarang dalam kepustakaan ada 4
opsi :
a. Dicoba pemberian steroid jangka panjang
b. Pemberian levamisol
c. Pengobatan CPA
d. Pengobatan siklosporin (terakhir)
Perlu dilakukan usulan untuk mencari fokus infeksi seperti TB, infeksi di gigi atau
kecacingan.

Steroid Jangka Panjang

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian steroid jangka panjang dapat


dicoba dulu sebelum diberi CPA, mengingat efek samping yang lebih kecil. Jadi bila telah
dinyatakan relaps sering/dependen steroid, setelah remisi dengan prednison dosis penuh
diteruskan dengan steroid alternating dengan dosis yang diturunkan perlahan/bertahap 0.5
mg/kgbb sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/kgbb

33

alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat diteruskan 6-12 bulan, lalu dicoba
dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat menolerir prednison 0.5 mg/kgbb dan usia pra
sekolah sampai 1 mg/kgbb secara alternating.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0.5 mg/kgbb/alternating, tetapi <1,0
mg/kgbb/alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba dikombinasi dengan
Levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan atau langsung diberi CPA.

34

SN relaps frekuen / dependen steroid


Prednison FD

Remisi
Prednison ALT + CPA

Diturunkan sampai dosis treshold


0,1-0,5 mg/kg ALT
(6-12 bulan)
(2)
Relaps pada
Prednison > 0,5 mg/kg ALT

(1)

Relaps pada
prednison > 1 mg/kg ALT
Atau efek samping steroid
(2)

Levanisol 2,5 mg/kg ALT


(4-12 bulan)

CPA 2-3 mg/kgBB


9-12 minggu
(3)
Relaps

prednison standar

Relaps pada prednison > 0,5 mg/kg ALT


Siklosporin 5 mg/kg/hari
Selama 1 tahun
Gambar 2.4. Skema pengobatan prednison jangka panjang
Keterangan :
(1) Langsung diberi CPA (+ prednison ALT)
(2) Sesudah prednison jangka panjang dilanjutkan dengan CPA
(3) Sesudah prednison jangka panjang + levamison, dilanjutkan dengan CPA

Bila pasien :
1. relaps pada dosis rumat >1 mg/kgbb/alternating, atau
2. meskipun dosis rumat <1 mg tetapi disertai:
efek samping steroid yang berat

35

pernah relaps dengan gejala berat antara lain hipovolemia, trombosis, sepsis diberikan
CPA dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari selama 8-12 minggu.

Levamisol

Pemakaian levamisol pada SN masih terbatas karena efeknya masih diragukan. Efek
samping levamisol: mual, muntah dan netropenia revesibel.
Dalam studi kontrol double blind, levamisol dilaporkan dapat mempertahankan remisi
sampai 50%. Penelitian multisenter oleh British association for paediatric nephrology pada
61 anak secara random sampling mendapatkan hasil pada 14 anak yang diberi levamisol dan 4
kontrol masih menunjukkan remisi setelah 112 hari meskipun pemberian prednison sudah
dihentikan, tetapi 3 bulan setelah obat dihentikan akan terjadi relaps. Pada satu penelitian
retrospekstif di India, levamisol dilaporkan merupakan obat yang aman dan efektif bila
diberikan bersamaan dengan steroid, untuk penderita SN dependen steroid dan relaps sering,
khususnya anak-anak yang lebih tua. Di Jakarta, levamisol pernah dicoba diberikan tetapi
hasilnya kurang memuaskan. Oleh karena itu pada saat ini belum dapat direkomendasikan
secara umum, tetapi keputusan diserahkan kepada spesialis anak yang mengobati.

Sitostatika

Obat sitostika yang dipakai pada pengobatan SN anak paling sering adalah
siklosfamid (CPA oral) 2-3 mg/kgbb atau klorambusil 0,2-0,3 mg/kgbb/hari selama 8 minggu.
Sitostika dapat mengurangi relaps sampai >50% yaitu 67%-93% pada tahun pertama dan
36%-66% selama 5 tahun. Oleh APN dilaporkan pemberian 12 minggu dapat
mempertahankan remisi lebih lama daripada 8 minggu yaitu 67% dibandingkan 30%, tetapi
hal ini tidak dapat dikonfirmasi oleh peneliti lain.

36

Pemberian CPA dalam mempertahankan remisi lebih baik pada SN relaps sering
(70%) daripada dependen steroid (30%). Efek samping sitostika adalah depresi sumsum
tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia dan jangka panjang keganasan. Oleh karena
itu perlu pemantauan dengan pemeriksaan darah tepi: Hb, lekosit, trombosit 1-2 x seminggu.
Bila jumlah lekosit < 3000/ul, Hb <8 g/dl, trombosit <100.000/ul obat dihentikan sementara
dan diteruskan kembali setelah >5.000/ul.

Siklosporin (CyA)

Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau sitostatika
dianjurkan untuk diberi sikloporin dengan dosis 5 mg/kgbb/hari. Pada SN relaps
sering/dependen steroid CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi, hingga
pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan. Tetapi bila CyA dihentikan akan relaps
kembali (dependen siklosporin). Efek samping dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat
pada SN resisten steroid.

L. KOMPLIKASI
-

Infeksi

Tersering adalah selulitis

dan peritonitis. Hal ini disebabkan karena terjadinya

kebocoran IgG dan komplemen faktor B dan D di urin. Bila terjdi peritonitis primer yang
biasanya disebabkan oleh kuman Gram- negatif dan Streptokokus Pneumoniae diberikan
pengobatan penisilin parenteral dikombinasi dengan sefalosporin generasi ketiga, yaitu
sefotaksim/ seftriakson selama 10 - 14 hari.

Tromboemboli
37

Dapat terjadi trombosis di arteri maupun vena karena adanya hiperkoagulasi,


peningkatan kadar fibrinogen, faktor VIII, penurunan anti trombin III. Pencegahan nya
dengan pemberian aspirin dosis rendah (80 mg) dan dipiridamol. Bila telah terjadi trombosis
diberikan heparin.

Terapi Obat-obatan

Penggunaan obat-obatan seperti prednisolon atau prednison dapat mengakibatkan


moon face, obesiitas, dan kelainan lainnya. Namun hal ini tergantung dosis, frekuensi dan
lama pengobatan.

Hipokalsemia

Terjadi karena penggunaan steroid jangka panjang yang dapat menimbulkan


osteoporosis dan osteopeni. dan kebocoran metabolit vitamin D. Dapat diberikan vitamin D
dan kalsium 500 mg/hari. Bila terjadi tetani bisa diberikan kalsium glukonas 0,5 mg/kgbb i.v.

Hipovolemia

Akibat pemberian diuretik yang berlebihan. Atau pada SN relaps dengan gejala
hipotensi, takikardi, ekstremitas dingin dan sakit perut. Beri infus NaCl fisiologik dan
albumin 1 gr/kgbb atau plasma 20 ml/kgbb tetesan lambat 10 permenit, bila hipovolemia
teratasi dan tetap oligouria, beri furosemid 1-2 mg/kgbb i.v.

38

M. DIAGNOSIS BANDING
Sindrom nefrotik dapat di diagnosis banding dengan glomerulus nefritis akut (GNA).
GNA adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal terhadap bakteri atau virus tertentu, yang
sering terjadi adalah dengan infeksi kuman streptococcus. GNA didahului dengan infeksi di
traktus respiratorius bagian atas dan kulit oleh streptococcus beta hemolitikus golongan
A.Gejala yang dapat ditemukan adalah hematuria, edema bukan karena hipovolemia, karena
retensi natrium oleh ginjal yang mengakibatkan hipertensi berat atau edema paru.

N. PROGNOSIS
Prognosis jangka panjang SNKM pada pengamatan 20 tahun hanya 4-5% menjadi
gagal ginjal terminal, sedangkan pada GSFS 25% menjadi gagal ginjal terminal dalam 5
tahunan pada sebagian besar lainnya disertai penurunan fungsi ginjal. Pada berbagai
penelitian jangka panjang ternyata respons terhadap pengobatan steroid lebih dapat dipakai
untuk menentukan prognosis daripada gambaran PA.

39

DAFTAR PUSTAKA

Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO : Sindrom Nefrotik, Buku Ajar Nefrologi
Anak. Edisi 2. Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2004
A.Aziz Rani, Soegondo S. Mansjoer A. et all. Sindrom Nefrotik. Panduan Pelayanan Medik
PAPDI. 3rd ed. Jakarta: PB. PAPDI. 2009
Guyton.A.C. et all .Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Philadelpia: Elsevier saunders.
1996
Hull PR. Goldsmith DJ. Nephrotic syndrome in Adult [clinical review]. 2008:
vol.336.Website: BMJ. [cited 2012 Nov, 10]
Prodjosudjadi W. Sindrom Nefrotik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. 4th ed. Jakarta:
IPD FKUI. 2007. Hal: 547-549
Price, Braunwald, Kasper, et all. Nephrotic Syndrome. Harrisons Manual Of Medicine. 17 th
ed. USA: McGraw Hill. 2008.
Gunawan, S.G., Setiabudy, R., Nafriadi, & Elysabeth. 2008. Farmakologi dan terapi. Edisi 5.
Jakarta.
Guyton & Hall. 1997. Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. EGC. Jakarta.
PERKENI. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Dabetes melitus Tipe 2 Di
Indonesia 2011. Jakarta
Price, S. A & Wilson, L. M, 1995, Patofisiologi, EGC. Jakarta
Sherwood Lauralee, 2001, Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 21. EGC. Jakarta.
EGC
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simandibrata, & M., Setiati, S. 2009. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta.

40

Anda mungkin juga menyukai