PENDAHULUAN
Sindrom Nefrotik (SN) merupakan kumpulan manifestasi klinis yang ditandai dengan
hilangnya protein urin secara masif (albuminuria) diikuti dengan hipoproteinemia
(hipoalbuminemia) dan akhirnya mengakibatkan edema. Dan hal ini berkaitan dengan
timbulnya hiperlipidemia, hiperkolesterolemia dan lipiduria.
SN dapat terjadi pada anak, tetapi banyak terjadi pada usia 1-2 tahun dan 8 tahun.
Pada anak-anak yang onsetnya dibawah usia 8 tahun, rasio antara anak laki-laki dan
perempuan bervariasi dari 2 : 1 hingga 3 : 2. Pada anak yang lebih tua, remaja dan dewasa,
prevalensi antara laki-laki dan perempuan sama. Data dari International Study of Kidney
Disease in Children (ISKDC) menunjukkan bahwa 60% pasien dengan minimal change
nefhrotic syndrome (MCNS) dan focal segmental glomerulosclerosis (FSGS) adalah laki-laki
dan untuk membranoproliverative glomerulonephritis (MPGN) 65% nya adalah perempuan.
SN bukan merupakan penyakit yang berdiri sendiri, tetapi merupakan suatu penyakit
awal adanya pada unit filtrasi darah terkecil (glomerulus) pada ginjal, dimana urine dibentuk.
Sekitar 20% anak dengan SN dari hasil biopsi ginjalnya menunjukkan adanya skar atau
deposit pada glomerulus. Dua macam penyakit yang paling sering mengakibatkan kerusakan
pada unit filtrasi adalah Glomerulosclerosis Focal Segmental (GSFS) dan Glomerulonefritis
membaranoproliveratif (GNMP). Seorang anak yang lahir dengan kondisi tersebut akan
menyebabkan terjadinya Sindrom Nefrotik.
BAB II
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Nn. P
Usia
: 19 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Pekerjaan
: Karyawan
Alamat
Status
: Belum Menikah
Agama
: Islam
No. RM
: 3901xx
Tanggal Masuk RS
Tanggal Pemeriksaan
B. ANAMNESIS
Dilakukan Autoanamensis dengan pasien pada Senin, 21 November 2016.
Keluhan Utama
2
Sekitar 1 bulan SMRS os dirawat di Rumah Sakit selama 10 hari karena kejang,
tekanan darah tinggi (190/100 mmHg), dan kolesterol tinggi (536 mg/dl).
Os memiliki riwayat asma sejak usia 6 tahun. Kambuh saat udara dingin, debu,
dan kecapean. Asma dapat kambuh sekitar 8x dalam sebulan.
Riwayat Pengobatan
Riwayat Alergi
Os memiliki riwayat alergi debu dan udara dingin.
Riwayat Psikososial
Sehari-hari os bekerja sebagai asisten kepala sekolah. Os tidak pernah merokok
ataupun meminum minuman beralkohol. Sehari-hari os makan 3x/hari, selalu makan
dengan lauk pauk.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak Sakit Ringan
Kesadaran
: Composmentis
Tanda Vital
-
Nadi
Suhu
: 36.6 C
Pernafasan
: 20x/menit
D. STATUS GENERALIS
Kepala
-
Wajah
: Sembab
Mata
Hidung
Telinga
Mulut
Leher
-
Pembesaran KGB
Pembesaran Tiroid
JVP
: Tidak meningkat
Thorax
6
Paru
Inspeksi
: Bentuk dan pergerakan dada simetris, tidak tampak otot bantu napas
tambahan
Palpasi
: Tidak ada nyeri tekan, vokal fremitus sama di kedua lapang paru
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Perkusi
Palpasi
Ekstremitas
Atas
Bawah
: Akral hangat (+/+), sianosis (-/-), deformitas (-/-), edema minimal (+/
+)
E. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan Laboratorium Sabtu, 19 November 2016
PEMERIKSAAN
HASIL
NILAI RUJUKAN
SATUAN
Hemoglobin
12.8
13.5 17.5
g/dL
Hematokrit
32
42 52
Leukosit
10.4
4.8 10.8
10^3/L
Trombosit
407
150 450
10^3/L
Ureum
38
10 50
mg/dl
Creatinin
1.2
0.5 1.9
mg/dl
HEMATOLOGI
KIMIA DARAH
HASIL
NILAI RUJUKAN
SATUAN
8
URINE RUTIN
Warna
Kuning muda
Kejernihan
Agak keruh
Berat Jenis
1.010
pH
Leukosit
Glukosa
+2
+2
Keton
2 3 / LPB
Nitrit
Protein
Urobillin
5 10 / LPB
Billirubin
Blood
0 1 / LPB
SEDIMEN
Leukosit
Eritrosit
Epithel
Cylinder
Bakteri
Kristal
Urine Glucose 2 JPP
HASIL
NILAI RUJUKAN
SATUAN
KIMIA DARAH
Cholesterol
320
<220
mg/dl
HDL-Cholesterol
34
>35
mg/dl
9
LDL-Cholesterol
260.8
<150
mg/dl
Triglycerida
176
<200
mg/dl
Albumin
2.04
3.2 4.8
gr/dl
SGOT
21
<21
U/L
SGPT
12
<22
U/L
F. RESUME
Perempuan, 19 tahun datang ke BLUD RS Sekarwangi dengan edema periorbita
dextra-sinistra dan kedua tungkai memberat sejak 3 hari SMRS. Edema hilang timbul
sejak 3 bulan terakhir, pertama kali disadari muncul pada daerah periorbita, kemudian
pada kedua tungkai. Edema lebih berat pada pagi hari, namun menjelang siang berkurang.
Os juga mengeluhkan adanya sesak napas sejak sekitar 1 minggu SMRS hilang
timbul, memberat 3 hari terakhir. Sesaknya memberat saat berbaring, os lebih nyaman
tidur dengan menggunakan minimal 2 bantal. Os mudah lelah dan sesak saat beraktivitas,
tidak berkurang saat beristirahat. Sesak napas tidak disertai adanya suara mengi. Nyeri
dada tidak ada. Os batuk tidak berdahak. Os mengatakan dirinya mudah terserang batuk
dan pilek.
Os pusing, nyeri ulu hati, mual dan muntah >5x. Perut terasa begah. Anoreksia.
BAK berbusa, frekuensi 2x/hari.
10
Tanda vital: hipertensi: 190/100 mmHg. Status generalis: Abdomen: nyeri tekan
epigastrium (+), pekak saming (+), pekak alih (+) asites (+). Ekstremitas: edema
tungkai (+).
Hasil pemeriksaan laboratorium: Cholesterol 320 mg/dl, LDL 260.8 mg/dl,
Albumin 2.04 gr/dl. Urin: agak keruh, protein (+2), blood (+2), leukosit 2-3/LPB, eritrosit
5-10/LPB, epithel 0-1/LPB.
Chest X-Ray
USG Abdomen
Hasil USG Abdomen:
Gambaran medulla pada kedua ginjal tidak tampak jelas, menyokong sindroma
nefrotik.
Tidak tampak batu/bendungan pada kedua ginjal.
Efusi pleura kiri.
11
H. DIAGNOSIS KERJA
Sindroma Nefrotik + Hipertensi Urgensi
I. RENCANA TINDAKAN
Non-Medikamentosa:
-
12
Medikamentosa:
-
Furosemid 1 x 40 mg (IV)
Captopril 3 x 25 mg (PO)
Amlodipine 1 x 10 mg (PO)
Prednisone 20 mg 20 mg 10 mg (PO)
Atrovastatin 1 x 20 mg (PO)
Ranitidin 2 x 50 mg (IV)
J. PROGNOSIS
-
Quo ad Vitam
: Dubia ad Bonam
13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Sindrom nefrotik (SN) adalah suatu sindrom yang mengenai glomerulus, ditandai
dengan :
a.
Edema,
b.
Proteinuria masif
c.
d.
Relaps terjadi kurang dari 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau kurang
dari 4 kali pertahun pengamatan.
d. Relaps sering (frequent relaps)
Relaps 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respon awal atau 4 kali dalam periode 1
tahun.
e. Dependen steroid
Relaps 2 x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan (alternating) atau dalam 14
hari setelah pengobatan dihentikan.
f. Resisten steroid
Tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full dose) 2 mg/kgbb/hari
selama 4 minggu
B. EPIDEMIOLOGI
Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-4
kasus baru per 100.000 anak per tahun. Di negara berkembang insidensinya lebih tinggi. Di
Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan
2:1.
C. KLASIFIKASI
Klasifikasi sindrom nefrotik (SN), yaitu:
1. Berdasarkan etiologi
a. SN primer
15
b. SN sekunder
2. Berdasarkan histopatologi
a. SN kelainan minimal (SNKM) (85%)
b. SN non-minimal
-
D. ETIOLOGI
Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti
penyakit sistemik antara lain SLE, purpura henoch schoenlein, amyloidosis, infeksi HIV,
parvovirus B19, infeksi virus Hepatitis B atau C, dan lain-lain.
1. SN idopatik (90%)
Umumnya SN idiopatik diduga ada hubungan dengan genetik, imunologik, dan alergi.
Bentuk SN idiopatik meliputi:
a. kelainan minimal (SNKM) (85%)
b. mesangial proliferatif difus (MPD) (5%)
16
SECONDARY CAUSES
Infections
Finnish-type
syndrome
congenital
nephritic
Hepatitis B, C
HIV-1
Malaria
Syphilis
Toxoplasmosis
Penicillamine
Nail-patella syndrome
Gold
Alport syndrome
Interferon
Mercury
17
Charcot-Marie-Tooth disease
Heroin
Jeune syndrome
Lithium
Cockayne syndrome
Laurence-Moon-Biedl_bardet syndrome
Kimura disease
Bee sting
Food allergens
1 Antitrypsin deficiency
Fabry disease
Glutaric acidemia
Glycogen storage disease
Hurler syndrome
Lipoprotein disorders
Mitochondrial cytopathies
Sickle cell disease
Glomerular Hyperfiltration
Oligomeganephronia
Morbid obesity
Adaptation to nephron reduction
IDIOPATHIC NEPHROTIC
SYNDROME
Minimal change disease
Focal segmental glomerulosclerosis
Membranous nephropathy
E. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi dari sindrom nefrotik masih tidak diketahui secara pasti, tetapi ada bukti
kuat mengenai kelainan imunologik yang terutama mengganggu cell-mediated immnunity.
Yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein sehingga terjadi
proteinuria.
Terdapat 3 mekanisme yang mendasari proteinuria, yaitu:
1. Hilangnya muatan poliamnion pada dinding kapiler glomerulus,
2. Perubahan pori-pori dinding kapiler glomerulus,
3. Perubahan hemodinamik yang mengatur aliran kapiler.
Bertahun-tahun lamanya, penelitian difokuskan pada membran glomerulus atau faktorfaktor dari ekstraglomerolus yang berperanan dalam peningkatan permeabilitas glomerulus
dan terdapat bukti yang mengatakan bahwa kelainan primer pada sindrom nefrotik idiopatik
mungkin terdapat pada tingkat podosit, sel epitel pada viseral glomerolus. Kelainan pada
podosit ini berimplikasi pada peningkatan proteinuria glomerolus. Ada beberapa virus seperti
HIV, parvovirus B19, dan simian SV40 yang bisa secara langsung menyebabkan luka pada
podosit.
Mutasi gen ditemukan pada anak-anak dengan sindroma nefrotik familial, dimana
diantaranya mutasi pada gen NPHS1 pada sindroma nefrotik tipe Finnish yang mengkode
protein nefrin. Protein ini terdapat pada protein transmembran dalam slit diafragma antara
19
podosit. Disamping mutasi NPHS1 juga ada mutasi gen NPHS2 atau ACTN4 pada FSGS,
WT1 pada sindrom Denys-Drash (sindrom nefrotik, pseudohermafrodit laki-laki, dan
gonadoblastoma) dan sindrom Frasier (FSGS, pseudohermafrodit laki-laki, gonadoblastoma).
menyebabkan
terjadinya
hipoalbunemia.
Selanjutnya
hipoalbuminemia
2.
Teori Overflow/Overfill
Kelainan glomerolus menyebabkan terjadinya retensi primer ginjal terhadap garam
dan air sehingga akan terjadi peningkatan volume ekstraseluler. Peningkatan volume
ekstraseluler ini akan menyebabkan terjadinya edema dan peningkatan volume plasma
yang bersirkulasi, yang selanjutnya akan menyebabkan terjadi inhibisi sistem rennin-
20
a.
21
PATOMEKANISME
Proteinuria
hipoalbuminemia
Ig
(globulin)
vit D thyroxine
edema
hilangnya protein dalam serum menstimulasi sintesis lipoprotein dihati dan peningkatan
konsentrasi lemak dalam plasma hiperlipoproteinemia lipiduria
22
H. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis yang paling sering muncul adalah edema. Edema ini bersifat
generalisata dan berdasar atas daya gravitasi dimana edema pada regio periorbital terjadi pada
pagi hari sedangkan pada kaki sore harinya.
Bila lebih berat akan disertai dengan asites, efusi pleura, dan edema skrotum/vulva.
Kadang-kadang disertai dengan oliguria dan gejala infeksi, nafsu makan berkurang, dan diare.
Bila disertai sakit perut hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya peritonitis.
Pada pemeriksaan fisik harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi badan, lingkar
perut, dan tekanan darah. Dalam laporan ISKDC (International Study Of Kidney Disease In
Children) pada SNKM dapat ditemukan 22% hematuria mikroskopik, 15%-20% hipertensi,
dan sebesar 32% disertai peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah, tetapi bersifat
sementara.
Proteinuria
Proteinuria merupakan kelainan dasar SN. Proteinuria sebagian besar berasal dari
kebocoran glomerulus (proteinuria glomerular) dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi
tubulus (proteinuri tubular). Perubahan integritas membrana basalis glomerulus menyebabkan
peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma dan protein utama yang
diekskresikan dalam urin adalah albumin. Derajat proteinuri tidak berhubungan langsung
dengan keparahan kerusakan glomerulus.
23
Hipoalbuminemia
Hiperlipidemia
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein
(LDL), trigliserida meningkat. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan
penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan
intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi
oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan onkotik.
Lipiduria
Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin. Sumber lemak ini
berasal dari filtrat lipoprotein melalui membrana basalis glomerulus yang permeable.
Edema
natriuretic peptide (ANP). Pemberian infus albumin akan meningkatkan volume plasma,
meningkatkan laju filtrasi glomerulus dan ekskresi fraksional natrium klorida dan air yang
menyebabkan edema berkurang. Peneliti lain mengemukakan teori overfill. Bukti adanya
ekspansi volume adalah hipertensi dan aktivitas renin plasma yang rendah serta peningkatan
ANP. Beberapa penjelasan berusaha menggabungkan kedua teori ini, misalnya disebutkan
bahwa pembentukan edema merupakan proses dinamis. Didapatkan bahwa volume plasma
menurun secara bermakna pada saat pembentukan edema dan meningkat selama fase diuresis.
Pada SNKM edema timbul secara cepat dan progresif dalam beberapa hari.edema berupa
pitting
Hiperkoagulitas
Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C dan
plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya faktor V, VII, VIII, X, trombosit,
fibrinogen, peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel serta menurunnya
faktor zimogen (faktor IX, XI).
Rentan Terinfeksi
25
I. DIAGNOSIS
Diagnosis sindrom nefrotik meliputi:
1. Anamnesis
Paparan terhadap obat-obatan atau allergen, riwayat penyakit ginjal keluarga, riwayat
urin keruh (menandai awal infeksi)
2. Pemeriksaan fisik
Edema periorbita, dapat pula asites, edema dapat ditemukan pada genitalia, lengan,
pinggang.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Urinalisis dan bila perlu biakan urin,
b. Protein urin kuantitatif dapat berupa urin 24 jam atau rasio albumin/kreatinin pada
urin pertama pagi hari,
c. Pemeriksaan darah
Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit, hematokrit,
LED)
Albumin dan kolesterol
Ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin atau dengan rumus Schwartz
C3; bila dicurigai SLE pemeriksaan ditambah dengan C4 dan ANA (anti
nuclear antibody)
J. PENATALAKSANAAN
26
Pada penderita SN pertama kali sebaiknya di rawat di rumah sakit dengan tujuan
untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit, penanggulangan edema,
memulai pengobatan steroid, dan edukasi pada orang tuanya. Sebelum pengobatan steroid
dimulai dilakukan pemeriksaan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH
bersama steroid. Bila ditemukan tuberkolusis aktif pada pemeriksaan foto toraks diberi obat
anti tuberkulosis (OAT).
Diitetik
Pemberian diit tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang dianggap kontra
indikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme
protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan terjadinya sklerosis glomerulus. Jadi cukup diberi diit
protein normal sesuai dengan RDA (Recommended daily allowances) yaitu 2 g/kgbb/hari.
Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrasi energi protein (MEP) dan menyebabkan
hambatan pertumbuhan anak. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak
menderita edema.
Syarat diet :
Protein tinggi 17% dari kebutuhan kalori, untuk mengganti protein yang terbuang
lewat urin
Karbohidrat rendah
27
Makanan yang dianjurkan, makanan yang diberikan dalam bentuk lunak atau biasa :
Tempe, tahu, putih telur, kedelai rebus, susu skim, susu kedelai
Daging sapi tanpa lemak, ayam tanpa lemak, ikan, seral, nasi, jagung
Kacang polong, kacang hijau, brokoli rebus, kubis rebus, jamur rebus
Garam, gorengan, asinan, jeroan, keju, ice cream, manisan kering, milk shake
Daging berlemak, mie instan, cake beku, burger, kentang goreng, pizza, saus
tomat, margarin
Menu diet :
Pagi (pukul 10.00)
Nasi tim, dadar telur, tumis kacang panjang, susu, bubur kacang hijau, pisang
Siang (pukul 16.00)
Nasi tim, daging bumbu tomat, tim tahu, cah sayuran, pisang, susu
Malam
Nasi tim, daging bumbu terik, tempe bacem, sup sayuran
200
200
50
100
25
200
300
Urt
4 gelas nasi tim
4 potong sedang
1 butir
4 potong sedang
2 sdm
2 gelas
3 potong sedang
28
Gula pasir
Minyak
Susu
40
25
400
4 sdm
2 sdm
2 gelas
Nilai gizi :
Kalori
: 2304 kal
Protein
: 97 g
Lemak
: 77 g
Karbohidrat
: 310 g
Diuretika
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema yang berat. Biasanya diberikan loop
diuretik seperti furosemid 1-2 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasi dengan spironolakton
(antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-3 mg/kgbb/hari. Pada pemakaian diuretik
lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit darah kalium dan natrium.
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (refrakter) biasanya terjadi karena hipovolemia
atau hipoalbumenemia berat (1 g/kgbb selama 4 jam, untuk menarik cairan dari jaringan
interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid i.v 1-2 mg/kgbb/hari. Bila pasien tidak
mampu diberi plasma 20 ml/kggb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah
terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan dapat diberi selang sehari untuk
memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Pemberian plasma
berpotensi menyebabkan penularan infeksi hepatitis, HIV, dan lain-lain. Bila asites
sedemikian berat hingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi berulang.
Antibiotik Profilaksis
Di beberapa negara pasien SN dengan edema dan asites yang banyak diberikan
profilaksis dengan penisillin oral 125-250 mg 2 x sehari sampai edema berkurang. Di
29
Indonesia tidak dianjurkan pemberian antibiotik profilaksis, tetapi perlu dipantau berkala dan
bila ditemukan tanda-tanda infeksi segera diberikan antibiotik. Biasanya diberikan amoksilin,
eritromisin, atau sefaleksin.
Imunisasi
Pengobatan Kortikosteroid
Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal kecuali bila ada kontra
indikasi. Dapat diberikan prednison atau prednisolon.
K. PENGOBATAN INISIAL
Sesuai dengan anjuran ISKDC (International Study on Kidney Diseases in Children)
diberi prednison 60 mg/m2/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) untuk
menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan BB ideal, (berat terhadap tinggi
badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Pada pemberian
2 minggu pertama remisi terjadi sebanyak 80% dan pada 4 minggu 94%. Bila terjadi remisi
pada 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m 2 ( dosis
awal) secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Bila selama 4 minggu
tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resistens steroid (Gambar 2.1.).
4 MINGGU
Prednison FD : 60 mg/m2/har
Prednison AD : 40 mg/m2/har
30
Remisi
(-) : RESISTEN
STEROID
TERAPI
IMUNOSUPRESIF
SENSITIF
STEROID
R = REMISI
PROTEINURIA (-)
EDEMA (-)
Pengobatan SN Relaps
Meskipun pada pengobatan inisial terjadi remisi total 94%, tetapi sebagian besar akan
mengalami relaps (60%-70%) dan 50% mengalami relaps sering. Skema pengobatan relaps
dapat dilihat pada gambar, yaitu diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4
minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada penderita SN yang
mengalami proteinuria kembali 2+ tetapi tanpa edema sebelum diberi prednison kembali
dicari dulu pemicunya, biasanya infeksi saluran napas atas. Bila ada diberi antibiotik 5-7 hari
31
dan bila kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberi pengobatan relaps. Tetapi bila
sejak awal ditemukan proteinuria 2+ dan edema didiagnosis sebagai relaps dan diberi
pengobatan.
SN RELAPS
REMISI
FD
Keterangan
Predinison dosis penuh setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu) kemudian dilanjutkan
dengan prednison intermitent/alternating 40 mg/m2 LPB/hari selama 4 minggu. Bila sampai
pengobatan dosis penuh selama 4 minggu tidak juga terjadi remisi, maka pasien didiagnosis
sebagai SN resisten steroid dan harus diberikan terpai imunosupresif lain.
Jumlah relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan sangat penting karena dapat
meramalkan perjalanan penyakit selanjutnya. Berdasarkan relaps yang terjadi dalam 6 bulan
pertama, pasien dapat dibagi dalam beberapa golongan:
1.
2.
Relaps jarang
3.
Relaps sering
steroid diturunkan
pengobatan dihentikan
Dependen steroid adalah bagian dari relaps sering yang jumlah relapsnya lebih banyak
dan prognosisnya lebih buruk, tetapi masih lebih baik daripada resisten steroid.
32
Penderita pada kategori 1 dan 2 prognosisnya paling baik, biasanya setelah mengalami
2-3 kali relaps akan tidak relaps lagi. Sedangkan pada kategori 3 dan 4 bila berlangsung lama
akan menimbulkan efek samping steroid, antara lain moon face, hipertensi, striae, dll.
Penderita SN relaps sering dan dependen steroid sebaiknya dirujuk ke dokter spesialis anak
atau paling sedikit diobati bersama-sama dengan dokter spesialis anak.
Dahulu pada penderita SN relaps sering dan dependen steroid segera diberikan
pengobatan alternating dengan siklofosfamid (CPA), tetapi sekarang dalam kepustakaan ada 4
opsi :
a. Dicoba pemberian steroid jangka panjang
b. Pemberian levamisol
c. Pengobatan CPA
d. Pengobatan siklosporin (terakhir)
Perlu dilakukan usulan untuk mencari fokus infeksi seperti TB, infeksi di gigi atau
kecacingan.
33
alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat diteruskan 6-12 bulan, lalu dicoba
dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat menolerir prednison 0.5 mg/kgbb dan usia pra
sekolah sampai 1 mg/kgbb secara alternating.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0.5 mg/kgbb/alternating, tetapi <1,0
mg/kgbb/alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba dikombinasi dengan
Levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan atau langsung diberi CPA.
34
Remisi
Prednison ALT + CPA
(1)
Relaps pada
prednison > 1 mg/kg ALT
Atau efek samping steroid
(2)
prednison standar
Bila pasien :
1. relaps pada dosis rumat >1 mg/kgbb/alternating, atau
2. meskipun dosis rumat <1 mg tetapi disertai:
efek samping steroid yang berat
35
pernah relaps dengan gejala berat antara lain hipovolemia, trombosis, sepsis diberikan
CPA dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari selama 8-12 minggu.
Levamisol
Pemakaian levamisol pada SN masih terbatas karena efeknya masih diragukan. Efek
samping levamisol: mual, muntah dan netropenia revesibel.
Dalam studi kontrol double blind, levamisol dilaporkan dapat mempertahankan remisi
sampai 50%. Penelitian multisenter oleh British association for paediatric nephrology pada
61 anak secara random sampling mendapatkan hasil pada 14 anak yang diberi levamisol dan 4
kontrol masih menunjukkan remisi setelah 112 hari meskipun pemberian prednison sudah
dihentikan, tetapi 3 bulan setelah obat dihentikan akan terjadi relaps. Pada satu penelitian
retrospekstif di India, levamisol dilaporkan merupakan obat yang aman dan efektif bila
diberikan bersamaan dengan steroid, untuk penderita SN dependen steroid dan relaps sering,
khususnya anak-anak yang lebih tua. Di Jakarta, levamisol pernah dicoba diberikan tetapi
hasilnya kurang memuaskan. Oleh karena itu pada saat ini belum dapat direkomendasikan
secara umum, tetapi keputusan diserahkan kepada spesialis anak yang mengobati.
Sitostatika
Obat sitostika yang dipakai pada pengobatan SN anak paling sering adalah
siklosfamid (CPA oral) 2-3 mg/kgbb atau klorambusil 0,2-0,3 mg/kgbb/hari selama 8 minggu.
Sitostika dapat mengurangi relaps sampai >50% yaitu 67%-93% pada tahun pertama dan
36%-66% selama 5 tahun. Oleh APN dilaporkan pemberian 12 minggu dapat
mempertahankan remisi lebih lama daripada 8 minggu yaitu 67% dibandingkan 30%, tetapi
hal ini tidak dapat dikonfirmasi oleh peneliti lain.
36
Pemberian CPA dalam mempertahankan remisi lebih baik pada SN relaps sering
(70%) daripada dependen steroid (30%). Efek samping sitostika adalah depresi sumsum
tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia dan jangka panjang keganasan. Oleh karena
itu perlu pemantauan dengan pemeriksaan darah tepi: Hb, lekosit, trombosit 1-2 x seminggu.
Bila jumlah lekosit < 3000/ul, Hb <8 g/dl, trombosit <100.000/ul obat dihentikan sementara
dan diteruskan kembali setelah >5.000/ul.
Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau sitostatika
dianjurkan untuk diberi sikloporin dengan dosis 5 mg/kgbb/hari. Pada SN relaps
sering/dependen steroid CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi, hingga
pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan. Tetapi bila CyA dihentikan akan relaps
kembali (dependen siklosporin). Efek samping dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat
pada SN resisten steroid.
L. KOMPLIKASI
-
Infeksi
kebocoran IgG dan komplemen faktor B dan D di urin. Bila terjdi peritonitis primer yang
biasanya disebabkan oleh kuman Gram- negatif dan Streptokokus Pneumoniae diberikan
pengobatan penisilin parenteral dikombinasi dengan sefalosporin generasi ketiga, yaitu
sefotaksim/ seftriakson selama 10 - 14 hari.
Tromboemboli
37
Terapi Obat-obatan
Hipokalsemia
Hipovolemia
Akibat pemberian diuretik yang berlebihan. Atau pada SN relaps dengan gejala
hipotensi, takikardi, ekstremitas dingin dan sakit perut. Beri infus NaCl fisiologik dan
albumin 1 gr/kgbb atau plasma 20 ml/kgbb tetesan lambat 10 permenit, bila hipovolemia
teratasi dan tetap oligouria, beri furosemid 1-2 mg/kgbb i.v.
38
M. DIAGNOSIS BANDING
Sindrom nefrotik dapat di diagnosis banding dengan glomerulus nefritis akut (GNA).
GNA adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal terhadap bakteri atau virus tertentu, yang
sering terjadi adalah dengan infeksi kuman streptococcus. GNA didahului dengan infeksi di
traktus respiratorius bagian atas dan kulit oleh streptococcus beta hemolitikus golongan
A.Gejala yang dapat ditemukan adalah hematuria, edema bukan karena hipovolemia, karena
retensi natrium oleh ginjal yang mengakibatkan hipertensi berat atau edema paru.
N. PROGNOSIS
Prognosis jangka panjang SNKM pada pengamatan 20 tahun hanya 4-5% menjadi
gagal ginjal terminal, sedangkan pada GSFS 25% menjadi gagal ginjal terminal dalam 5
tahunan pada sebagian besar lainnya disertai penurunan fungsi ginjal. Pada berbagai
penelitian jangka panjang ternyata respons terhadap pengobatan steroid lebih dapat dipakai
untuk menentukan prognosis daripada gambaran PA.
39
DAFTAR PUSTAKA
Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO : Sindrom Nefrotik, Buku Ajar Nefrologi
Anak. Edisi 2. Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2004
A.Aziz Rani, Soegondo S. Mansjoer A. et all. Sindrom Nefrotik. Panduan Pelayanan Medik
PAPDI. 3rd ed. Jakarta: PB. PAPDI. 2009
Guyton.A.C. et all .Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Philadelpia: Elsevier saunders.
1996
Hull PR. Goldsmith DJ. Nephrotic syndrome in Adult [clinical review]. 2008:
vol.336.Website: BMJ. [cited 2012 Nov, 10]
Prodjosudjadi W. Sindrom Nefrotik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. 4th ed. Jakarta:
IPD FKUI. 2007. Hal: 547-549
Price, Braunwald, Kasper, et all. Nephrotic Syndrome. Harrisons Manual Of Medicine. 17 th
ed. USA: McGraw Hill. 2008.
Gunawan, S.G., Setiabudy, R., Nafriadi, & Elysabeth. 2008. Farmakologi dan terapi. Edisi 5.
Jakarta.
Guyton & Hall. 1997. Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. EGC. Jakarta.
PERKENI. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Dabetes melitus Tipe 2 Di
Indonesia 2011. Jakarta
Price, S. A & Wilson, L. M, 1995, Patofisiologi, EGC. Jakarta
Sherwood Lauralee, 2001, Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 21. EGC. Jakarta.
EGC
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simandibrata, & M., Setiati, S. 2009. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta.
40