Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Gigitan ular merupakan suatu penyakit akibat kerja yang risiko


kejadiannya berkaitan erat dengan pekerjaan petani, nelayan, pemburu, dan
pawang ular. Asia Tenggara merupakan area dengan insiden gigitan ular yang
tinggi. Namun demikian, pada awal tahun 2009, kasus gigitan ular masuk ke
dalam daftar penyakit tropis yang diterlantarkan menurut WHO, padahal gigitan
ular menyebabkan puluhan ribu kematian setiap tahun dan berbagai kasus
kecacatan fisik kronis pada korbannya.1,2

World Health Organization/ South East Asian Region Organisation telah


mempublikasikan pedoman yang spesifik untuk area Asia Tenggara dalam
manajemen gigitan ular. Antibisa ular adalah satu-satunya antidot efektif untuk
bisa ular. Pemberian antibisa ular dilakukan sesegera mungkin sesuai indikasi.
Antibisa ular dapat melawan keracunan sistemik walaupun telah terjadi selama
beberapa hari. Pemberian antibisa ular diberikan selama bukti adanya koagulopati
masih ada. Antibisa ular berperan dalam mengatasi koagulopati dan menurunkan
udem ekstremitas yang berat.3

Pada setiap kasus yang dilaporkan sebagai gigitan ular, harus dipastikan
apakah gigitan tersebut disebabkan ular berbisa. Hal tersebut dapat ditentukan antara
lain dari luka bekas gigitan yang terjadi. Jika identifikasi sulit ditentukan, gejala dan
tanda akibat gigitan bisa ular menjadi dasar untuk menegakkan diagnosis.4

1
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. Hajar
Umur : 63 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Petani
Status Perkawinan : Sudah Menikah
Alamat : RT 08 Desa Ture
Agama : Islam
Tanggal MRS : 11 Juni 2018

2.2 Anamnesis
Keluhan utama :
Pasien datang dengan keluhan jari telunjuk kanan terasa nyeri sejak ± 10
jam setelah di gigit ular.

Riwayat penyakit sekarang :


Pasien mengeluhkan jari telunjuk kanan terasa nyeri, dan kemerahan ± 10
jam SMRS. Sebelumnya pasien mengatakan jari telunjuk tangan kanannya digigit
ular saat pasien sedang memotong karet di kebun. ± 9 jam SMRS pasien berobat
ke puskesmas Sungai Duren dan diberikan suntikan penghilang nyeri, dan petugas
puskesmas menyarankan pasien ke RSUD Raden Mattaher untuk mendapatkan
suntikan anti bisa ular, namun dikarenakan pasien merasa sudah baikan dan
tangannya sudah tidak nyeri pasien pulang ke rumah. 3 jam SMRS pasien kembali
merasakan nyeri di jari telunjuk tangan kanannya, keluarga pasien akhirnya
membawa pasien ke RSUD Raden Mattaher. Mual (+), muntah (-) pusing (-),
sakit kepala (+), demam (-). Menurut pasien ular yang menggigit pasien berwarna
hijau dan sebesar ibu jari kaki.

2
Riwayat penyakit dahulu
 Riwayat digigit ular sebelumnya (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat keluarga dengan keluhan yang serupa (-)
Riwayat Pekerjaan dan Sosial
Pasien merupakan seorang petani karet

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis, GCS: 15
Tanda-tanda Vital :
 TD : 120/70 mmHg
 Nadi : 76 x/menit
 RR : 24 x/menit
 Suhu : 36,5 0C

Status Generalisata
Kepala dan leher
Kulit :Warna sawo matang, hiperpigmentasi (-), jaringan parut (-),
pertumbuhan rambut normal, turgor baik.
Kepala : Bentuk simetris, deformitas (-)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edem pelpebra (-/-),
Reflek cahaya (+/+), pupil isokor
Hidung : Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-)
Mulut : Bentuk normal, bibir kering (-), bibir sianosis (-), mukosa anemis (-),
gusi berdarah (-).
Leher : JVP 5-2 cmH2O, pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran
kelenjar tiroid (-).

3
Thoraks
Paru
Inspeksi : Bentuk simetris, tidak ada pergerakan dinding dada yang
tertinggal, jejas (-)
Palpasi : Pergerakan dada simetris, fremitus taktil dada kiri = kanan
Perkusi : Sonor pada thorak dextra dan sinistra
Auskultasi : vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba pada sela iga V di linea midklavikularis
sinistra selebar 2-3 jari
Perkusi :
Batas jantung kanan : ICS IV, linea parasternalis dextra
Batas jantung kiri : ICS V, linea midklavikularis sinistra
Batas atas jantung : ICS II linea parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I dan BJ II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, sikatrik (-), venektasi (-), jaringan parut (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-) di regio epigastrium
Hati : Tidak teraba
Limpa : Tidak teraba
Ginjal : Tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas
Superior Inferior
Edema +/- -/-
Sianosis -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Clubbing finger -/- -/-
Gerak +/+ +/ +

4
Kekuatan 5/5 5/5
Tonus N/N N/N
Refleks fisiologis +/+ +/+
Refleks patologis -/- -/-
Status Lokalisata :
Regio manus dextra :
 Inspeksi : fang mark (+), edema (+), hiperemis (+)
 Palpasi : nyeri tekan pada tangan kanan, akral hangat, CRT < 2
detik
 Gerakan : gerak aktif dan pasif dextra tidak terbatas

2.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Nilai Nilai Rujukan
Darah Rutin (11 Juni 2018)
WBC 9,74 x 109/L 4,0-10,0
RBC 4,18 x 1012/L 3,50-5,50
HGB 12,3 g/dL 11,0-16,0
HCT 37,3 % 36,0-48,0
PLT 230 x 109/L 100-300
MCV 89,2 fl 80,0-99,0
MCH 29,4 pg 26,0-32,0
MCHC 330 g/L 320-360

5
GDS 111 mg/dl

2.4 Diagnosis Kerja


- Snake bite digiti II manus dextra
2.5 Tatalaksana
Farmakologi
 IVFD RL + SABU 1ml 80 tpm
 Inj. Ceftriaxone 2 x 1gr IV
 Inj. Ranitidin 2 x 1 amp IV
 Inj. Ketorolac 3 x1 amp
2.6 Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : bonam

2.7 Follow Up Pasien di Perawatan


Tanggal Perjalanan Penyakit Pengobatan / Tindakan
11 Juni S: luka masih terasa nyeri  IVFD RL + SABU 80
2018 O: TD : 120/70 tpm
Edema (+), Hiperemis (+)
A: Post snake bite  Inj. Ceftriaxone 2 x 1gr
IV
 Inj. Ranitidin 2 x 1
amp IV
 Inj. Ketorolac 3x1 amp
12 Juni S: luka masih terasa nyeri  IVFD dextrose 5% +
2018 O: TD : 120/70 SABU 20 tpm
Edema (-) , Hiperemis (-)
A: Post snake bite  Inj. Ceftriaxone 2 x 1gr
IV
 Inj. Ranitidin 2 x 1
amp IV

6
 Inj. Dexamethasone 3
x 1 amp IV
13 Juni S: luka masih terasa nyeri (-)  Pasien Pulang
2018 O: TD : 120/70
Edema (-) , Hiperemis (-)
A: Post snake bite

7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Gigitan ular adalah cedera yang disebabkan gigitan ular berbisa maupun tidak
berbisa yang mengakibatkan luka tusukan yang ditimbulkan oleh taring ular.

3.2 Epidemiologi
Diperkirakan setidaknya 421.000 kasus envenomasi (injeksi bisa terhadap
korban melalui sengatan/ gigitan oleh hewan berbisa) dan 20.000 kematian timbul
setiap tahunnya di seluruh dunia akibat gigitan ular. Sebagian besar perkiraan
kejadian gigitan ular dijumpai di Asia Selatan dan Asia Tenggara, Sub-Sahara
Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Kasus gigitan ular yang bervariasi
secara geografik dan musiman, terutama pada daerah pedesaan tropikal dimana
pelaporan dan pendataan masih kurang, dan sifat pengobatan tradisional yang
kadang lebih dipilih dibandingkan pengobatan medis, berkontribusi terhadap
kesulitan untuk mempelajari epidemiologi gigitan ular.5

Epidemiologi gigitan ular di Asia Tenggara tidak diteliti secara adekuat


dan data yang dipublikasi, kebanyakan secara eksklusif berdasarkan laporan
rumah sakit kepada Kementerian Kesehatan, seringkali kurang dapat dipercaya
dan menyebabkan kesalahan data. Masalah mendasar yang dijumpai pada
kebanyakan regional Asia adalah pengobatan gigitan ular masih menganut paham
tradisional dan herbal, maka sebagian besar korban gigitan ular tidak tercatat pada
rumah sakit.3

3.3 Klasifikasi
Derajat berat kasus gigitan ular berbisa umumnya dibagi dalam 4 skala,
yaitu derajat 1 (minor) = tidak ada gejala, derajat 2 (moderate) = gejala lokal,
derajat 3 (severe) = gejala berkembang ke daerah regional, derajat 4 (major) = gejala
sistemik.6

8
Tabel 1 ini adalah tabel skor dari derajat beratnya kasus gigitan ular
berbisa dari famili Crotalidae dan famili Elapidae.6
Tabel 1. Klasifikasi gigitan ular berbisa
Famili Crotalidae 9 Famili Elapidae 6
Derajat Derajat Gejala dan tanda Derajat Gejala dan tanda
1. Minor Tredapat tanda bekas 0 – none Riwayat digigit ular,
gigitan / taring, tidak pembengkakan lokal
ada edem, tidak nyeri, dengan tanda guratan,
tidak ada gejala sistemik, tidak ada gangguan
tidak ada koagulopati. Neurologis
2. Moderate Terdapat tanda bekas 1 – moderate Derajat 0 ditambah
gigitan/taring, edem gejala neurologis atau
lokal, tidak ada gejala disertai eforia, mual,
sistemik, tidak ada muntah, parestesia,
Koagulopati ptosis, kelemahan otot,
paralisis, sesak
3. Severe Terdapat tanda bekas 2 – severe Gejala pada derajat 1
gigitan, edem regional ditambah paralisis otot
(2 segmen dari ekstremitas), pernapasan dalam 36
nyeri yang tidak teratasi oleh jam pertama
analgesik, tidak ada tanda
sistemik, teradapat tanda
koagulopati.
4. Major Terdapat tanda bekas gigitan ,
edem yang luas terdapat tanda
sistemik (muntah, sakit kepala,
nyeri pada perut dan dada, syok),
trombosis sistemik

3.4 Komposisi Venom


Komposisi bisa ular 90% terdiri dari protein. Masing-masing bisa
memiliki lebih dari ratusan protein berbeda: enzim (meliputi 80-90% bisa
viperidae dan 25-70% bisa elapidae), toksin polipeptida non-enzimatik, dan
protein non-toksik, seperti faktor pertumbuhan saraf. Enzim pada bisa ular
meliputi hidrolase digestif, hialuronidase, dan aktivator atau inaktivator proses
fisiologis, seperti kininogenase. Sebagian besar bisa mengandung L-asam amino
oksidase, fosfomono- dan diesterase, 5`-nukleotidase, DNAase, NAD-
nukleosidase, fosfolipase A2, dan peptidase.3

Tabel 2. Protein pada bisa ular yang mempengaruhi sistem hemostasis 7

9
3.5 Patofisiologi

10
Bisa ular terdiri dari campuran beberapa polipeptida, enzim dan protein.
Jumlah bisa, efek letal dan komposisinya bervariasi tergantung dari spesies dan
usia ular. Bisa ular bersifat stabil dan resisten terhadap perubahan temperatur.
Secara mikroskop elektron dapat terlihat bahwa bisa ular merupakan protein yang
dapat menimbulkan kerusakan pada sel-sel endotel dinding pembuluh darah,
sehingga menyebabkan kerusakan membran plasma. Komponen peptida bisa ular
dapat berikatan dengan reseptor-reseptor yang ada pada tubuh korban.
Bradikinin, serotonin dan histamin adalah sebagian hasil reaksi yang terjadi akibat
bisa ular.8

Enzim yang terdapat pada bisa ular misalnya L-arginine esterase


menyebabkan pelepasan bradikinin sehingga menimbulkan rasa nyeri, hipotensi,
mual dan muntah serta seringkali menimbulkan keluarnya keringat yang banyak
setelah terjadi gigitan. Enzim protease akan menimbulkan berbagai variasi nekrosis
jaringan. Phospholipase A menyebabkan terjadi hidrolisis dari membran sel
darah merah. Hyaluronidase dapat menyebabkan kerusakan dari jaringan ikat. Amino

acid esterase menyebabkan terjadi KID.6 Pada kasus yang berat bisa ular dapat
menyebabkan kerusakan permanen, gangguan fungsi bahkan dapat terjadi amputasi
pada ekstremitas.9

Bisa ular dari famili Crotalidae/Viperidae bersifat sitolitik yang


menyebabkan nekrosis jaringan, kebocoran vaskular dan terjadi koagulopati.
Komponen dari bisa ular jenis ini mempunyai dampak hampir pada semua sistem
organ. Bisa ular dari famili Elapidae dan Hydrophidae terutama bersifat sangat
neurotoksik, dan mempunyai dampak seperti kurare yang memblok
neurotransmiter pada neuromuscular junction. Aliran dari bisa ular di dalam tubuh,
tergantung dari dalamnya taring ular tersebut masuk ke dalam jaringan tubuh.10

11
3.6 Gambaran klinis
 Gejala lokal
- Edema
- Nyeri tekan pada luka gigitan
- Ekimosis dalam 30 menit sampai 24 jam
 Gejala sistemik
- Hipotensi
- Kelemahan otot
- Berkeringat
- Menggigil
- Mual dan muntah
- Hipersalivasi
- Nyeri kepala
- Pandangan kabur

12
 Gejala khusus
-
Hematotoksik, perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal,
peritoneum, otak, gusi, melena dan hematemesis, perdarahan
kulit(petekie, ekimosis), hemoptoe, hematuria, koagulasi
intravascular diseminata
-
Neurotoksik, hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernafasan,
ptosis, oftalmoplegi, paralisis otot laring, reflex abnormal, dan
kejang.
-
Kardiotoksik, hipotensi, henti jantung.10

3.7 Penegakkan Diagnosis


3.7.1 Anamnesis
Pada korban pagutan ular perlu ditanyakan kapan pagutan terjadi, jenis
ular teurtama warna dan bentuk dapat sangat membantu mengenalinya dan bahkan
bila ular tersebut dapat ditangkap. Selain itu, pertolongan pertama yang sudah
dilakukan.

Tidak semua ular mengeluarkan bisanya saat memagut manusia, walaupun


demikian korban dapat menjadi panik. Frekuensi napas dapat meningkat, tangan
dan tungkai dapat menjadi kaku, serta pusing. Dapat juga terjdi sinkop vasovagal
pada beberapa orang, dapat juga timbul agitasi sehingga menyamarkan gejala
yang sebenarnya.

Selain itu pemberian obat-obatan dan pengobatan secara tradisional saat


pertolongan pertama dapat memberikan gejala lain.

3.7.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan tanda vital harus selalu dilakukan. Kemudian dicari tanda
bekas gigitan ular, tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit
menginjeksikan bisa pada korbannya. Orang yang digigit ular, meskipun tidak ada
bisa yang diinjeksikan ke tubuhnya dapat menjadi panic, nafas menjadi cepat,
tangan dan kaki menjadi kaku, dan kepala menjadi pusing, gejala dan tanda akan

13
bervariasi sesuai spesies yang menggigit dan banyaknya bisa yang diinjeksi pada
korban. Gejala dan tanda-tanda tersebut antara lain tanda gigitan ular(fang marks),
nyeri lokak, perdarahan lokal, memar, melepuh, infeksi lokal, dan nekrosis
jaringan.

3.7.3 Pemeriksaan penunjang



Pemeriksaan darah: Hb, Leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit,
waktu perdarahan, waktu pembekuan, waktu protobin, fibrinogen, APTT, D-
dimer, uji faal hepar, golongan darah dan uji cocok silang

Pemeriksaan urin: hematuria, glikosuria, proteinuria (mioglobulinuria)

EKG

Rotngen thorax10

3.8 Diagnosis Banding


 Trombosis vena bagian dalam
 Trauma vaskular ekstrimitas
 Syok septik
 Luka infeksi

3.9 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pada kasus gigitan ular berbisa adalah:

Menghalangi/memperlambat absorbsi bisa ular

Menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam sirkulasi darah

Mengatasi efek lokal dan sistemik.10

Usahakan membuang bisa sebanyak mungkin dengan menoreh lubang


bekas masuknya taring ular sepanjang dan sedalam ½ cm, kemudian dilakukan
pengisapan mekanis. Bila tidak tersedia alatnya, darah dapat diisap dengan mulut
asal mukosa mulut utuh tak ada luka. Bisa yang tertelan akan dinetralkan oleh
cairan pencernaan. Selain itu dapat juga dilakukan eksisi jaringan berbentuk elips
karena ada dua bekas tusukan gigi taring, dengan jarak ½ cm dari lubang gigitan,
sampai kedalaman fasia otot.11

14
Usaha menghambat absorbsi dapat dilakukan dengan memasang tourniket
beberapa centimeter di proksimal gigitan atau di proksimal pembengkakan yang
terlihat, dengan tekanan yang cukup untuk menghambat aliran vena tapi lebih
rendah dari tekanan arteri. Tekanan dipertahankan dua jam. Penderita
diistirahatkan supaya aliran darah terpacu. Dalam 12 jam pertama masih ada
pengaruh bila bagian yang tergigit direndam dalam air es atau didinginkan dengan
es.11

Untuk menetralisir bisa ular dilakukan penyuntikan serum bisa ular


intravena atau intra arteri yang memvaskularisasi daerah yang bersangkutan.
Serum polivalen ini dibuat dari darah kuda yang disuntik dengan sedikit bisa ular
yang hidup di daerah setempat. Dalam keadaan darurat tidak perlu dilakukan uji
sensitivitas lebih dahulu karena bahanya bisa lebih besar dari pada bahaya syok
anafilaksis.11

Pengobatan suportif terdiri dari infus NaCl, plasma atau darah dan
pemberian vasopresor untuk menanggulangi syok. Mungkin perlu diberikan
fibrinogen untuk memperbaiki kerusakan sistem pembekuan. Dianjurkan juga
pemberian kortikosteroid.11

Bila terjadi kelumpuhan pernapasan dilakukan intubasi, dilanjutkan


dengan memasang respirator untuk ventilasi. Diberikan juga antibiotik spektrum
luas dan vaksinasi tetanus. Bila terjadi pembengkakan hebat, biasanya perlu
dilakukan fasiotomi untuk mencegah sindrom kompartemen. Bila perlu, dilakukan
upaya untuk mengatasi faal ginjal. Nekrotomi dikerjakan bila telah tampak jelas
batas kematian jaringan, kemudian dilanjutkan dengan cangkok kulit. Bila ragu –
ragu mengenai jenis ularnya, sebaiknya penderita diamati selama 48 jam karena
kadang efek keracunan bisa timbul lambat. Gigitan ular tak berbisa tidak
memerlukan pertolongan khusus, kecuali pencagahan infeksi.11

Tindakan Pelaksanaan

15
1. Sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan, beberapa hal yang perlu
diperhatikan adalah
 Penderita diistirahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka gigitan
 Penderita dilarang berjalan dan dilarang minum minuman yang
mengandung alkohol
 Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia antibisa, ikat
daerah proksimal dan distal dari gigitan. Kegiatan mengikat ini kurang
berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit pasca gigitan. Tujuan ikatan
adalah untuk menahan aliran limfe, bukan menahan aliran vena atau ateri.

2. Setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suportif sebagai


berikut:
 Penatalaksanaan jalan napas
 Penatalaksanaan fungsi pernapasan
 Penatalaksanaan sirkulasi: beri infus cairan kristaloid
 Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat dan luas diatas
luka, imobilisasi (dengan bidai)
 Ambil 5 – 10 ml darah untuk pemeriksaan: waktu trotombin, APTT, D-
dimer, fibrinogen dan Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit
(terutama K), CK. Periksa waktu pembekuan, jika >10 menit, menunjukkan
kemungkinan adanya koagulopati
 Apus tempat gigitan dengan dengan venom detection
 Beri SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dilemahan), polivalen
1 ml berisi:

 10-50 LD50 bisa Ankystrodon


 25-50 LD50 bisa Bungarus
 25-50 LD50 bisa Naya Sputarix
 Fenol 0.25% v/v
Teknik pemberian: 2 vial @5ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9% atau
Dextrose 5% dengan kecapatan 40-80 tetes/menit. Maksimal 100 ml (20 vial).
Infiltrasi lokal pada luka tidak dianjurkan.10

16
Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat
pada bagian luka. Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way:9
 Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam,
jika derajat meningkat maka diberikan SABU
 Derajat II: 3-4 vial SABU
 Derajat III: 5-15 vial SABU
 Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU

Pedoman terapi SABU menurut Luck.

Derajat Beratnya Taring atau Ukuran zona edema/ Gejala sistemik Jumlah vial
evenomasi gigi eritemato kulit (cm) venom

0 Tidak ada + <> - 0

I Minimal + 2-15 - 5

II Sedang + 15-30 + 10

III Berat + >30 ++ 15

IV Berat + <> +++ 15

Pedoman terapi SABU menurut Luck.12


 Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit
 Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberiann antivenom
 Jika koagulopati tidak membak (fibrinogen tidak meningkat,
waktu pembekuan darah tetap memanjang), ulangi pemberian
SABU. Ulangi pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam berikutnya,
dst.
 Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu
pembekuan menurun) maka monitor ketat kerusakan dan ulangi
pemeriksaan darah untuk memonitor perbaikkannya. Monitor
dilanjutkan 2x24 jam untuk mendeteksi kemungkinan koagulopati

17
berulang. Perhatian untuk penderita dengan gigitan Viperidae
untuk tidak menjalani operasi minimal 2 minggu setelah gigitan
 Terapi suportif lainnya pada keadaan :
 Gangguan koagulopati berat: beri plasma fresh-frizen (dan
antivenin)
 Perdarahan: beri tranfusi darah segar atau komponen darah,
fibrinogen, vitamin K, tranfusi trombosit
 Hipotensi: beri infus cairan kristaloid
 Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat
 Monitor pembengkakan local dengan lilitan lengan atau anggota
badan
 Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi
 Gangguan neurologik: beri Neostigmin (asetilkolinesterase),
diawali dengan sulfas atropin
 Beri tetanus profilaksis bila dibutuhkan
 Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein, hindari
penggunaan obat – obatan narkotik depresan
 Terapi profilaksis
 Pemberian antibiotika spektrum luas. Kaman terbanyak yang
dijumpai adalah P.aerugenosa, Proteus,sp, Clostridium sp,
B.fragilis
 Beri toksoid tetanus
 Pemberian serum anti tetanus: sesuai indikasi.

Petunjuk Praktis Pencegahan Terhadap Gigitan Ular



Penduduk di daerah di mana ditemuakan banyak ular berbisa dianjurkan
untuk memakai sepatu dan celana berkulit sampai sebatas paha sebab lebih
dari 50% kasus gigitan ular terjadi pada daerah paha bagian bawah sampai
kaki

Ketersedian SABU untuk daerah di mana sering terjadi kasus gigitan ular

18

Hindari berjalan pada malam hari terutama di daerah berumput dan
bersemak – semak

Apabila mendaki tebing berbatu harus mengamati sekitar dengan teliti

Jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak penderita yang
tergigit akibat kejadian semacam itu.10

3.10 Prognosis
Gigitan ular berbisa berpotensi menyebabkan kematian dan keadaan yang
berat, sehingga perlu pemberian antibisa yang tepat untuk mengurangi gejala.
Ekstremitas atau bagian tubuh yang mengalami nekrosis pada umumnya akan
mengalami perbaikan, fungsi normal, dan hanya pada kasus-kasus tertentu
memerlukan skin graft.13

19
BAB IV
ANALISIS KASUS

Diagnosa pasien adalah snake bite digiti II manus dextra, yang didapatkan
dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis
didapatkan tangan terasa sakit, bengkak, dan kemerahan setelah di gigit ular.
Pasien di gigit di jari telunjuk tangan kanan ± 10 jam SMRS. Sebelumnya pasien
mengatakan jari telunjuk tangan kanannya digigit ular saat pasien sedang
memotong karet di kebun. ± 9 jam SMRS pasien berobat ke puskesmas Sungai
Duren dan diberikan suntikan penghilang nyeri, dan petugas puskesmas
menyarankan pasien ke RSUD Raden Mattaher untuk mendapatkan suntikan anti
bisa ular. Mual (+), muntah (-) pusing (-), sakit kepala (+), demam (-). Menurut
pasien ular yang menggigit pasien berwarna hijau dan sebesar ibu jari kaki.. Pada
pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan. Status lokalisata pasien ditemukan :
Regio manus dextra :
 Inspeksi : fang mark (+), edema (+), hiperemis (+)
 Palpasi : nyeri tekan pada tangan kanan, akral hangat, CRT < 2
detik
 Gerakan : gerak aktif dan pasif dextra tidak terbatas
Lalu dilakukan pemeriksaan darah rutin. Hasil pemeriksaan darah rutin
didapatkan dalam batas normal. Tatalakasana yang diberikan adalah:
 Terapi cairan RL dan Dextrose 5% 20 tpm
 pemberian SABU (serum anti bisa ular)
 Inj. Ceftriaxone 1x2gr
 Inj. Ranitidine 2x1 amp
 Inj. Dexamethasone 3 x 1 amp IV
Hal ini sesuai dengan teori, dimana gejala lokal yang ditemukan berupa nyeri,
dan edema. Dan juga dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan
darah rutin. Hal ini dilakukan untuk penatalaksanaan selanjutnya. Tatalaksana
yang diberikan bertujuan untuk :

20

Menghalangi memperlambat absorbsi bisa ular

Menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam sirkulasi darah

Mengatasi efek lokal dan sistemik.

Diberikan juga antibiotik sebagai terapi profilaksis.

21
BAB V
KESIMPULAN

Snake bite dapat terjadi kapan saja. Gigitan ular tersebut dapat berbisa dan
tidak berbisa. Gigitan ular yang berbisa mengandung lebih dari 90 % protein.
Setiap racun mengandung lebih dari seratus protein yang berbeda, enzim ( yang
merupakan 80-90 % dari viperid dan 25-70 % dari racun elapid ), racun
polipeptida non-enzimatik, dan tidak beracun protein seperti faktor
pertumbuhan saraf. Kandungan bisa ular ini lah yang nanti akan menyebabkan
gejala lokal, gejala sistemik dan gejala khusus. Maka dari itu pecegahan dari
penyebaran bisa ular serta penatalaksanaan yang tepat perlu dilakukan untuk
mendapatkan prognosis yang baik.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Eriksson S. Medical geography views on snakebites in Southeast Asia: a


case study from Vietnam. Asian Geographer. 2011;28(2):123–34.

2. Alirol E, Sharma SK, Bawaskar HS, Kuch U, Chappuis F. Snake bite in


South Asia: a review. PLOS Neglected Tropical Disease. 2010;4(1):603.

3. Warrel DA. Guidelines for the management of snake-bites. New Delhi:


World Health Organization - Regional Office for South-East Asia; 2010.

4. Gold BS, Dart RC, Barish RA. Bites of venomous snakes. N Engl J
Med, 2002; 347:347-56.

5. Kasturiratne A, Wickremasinghe AR, de Silva N, Gunawardena NK,


Pathmeswaran A, Premaratna R, et al. (2009) The global burden of
snakebite: A literature analysis and modelling based on regional estimates
of envenoming and deaths. PLoS Med 5(11):e218.

6. Thomas L, Tyburn B, Bucher B, Pecout F, Ketterle J, Rieux D, dkk.


Prevention of thromboses in human patients with bothrops and
anceolatus envenoming in martinique: Fail- ure of anticoagulants and
efficacy of a monospecific antivenom. Am J Trop Med Hyg 1995;
52:419-26

7. Sajevic T, Leonardi A & Krizaj I. (2011) Haemostatically active proteins


in snake venoms.Toxicon 57:627-645.

8. Boechat ALR, Paiva CS, Franca FO, Dos-Santos MC. Heparin-


antivenom association: differential neutraliza- tion effectiveness in
bothrops atrox and bothrops erythromelas envenoming. Rev Inst Med
trop S Paulo 2001; 43:1-16

9. Young BA, Zatin K. Venom flow in rattlesnake: mechan- ics and


metering. J of Exp Biol 2001; 204:4345-51

23
10. Sudoyo, A.W.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2006

11. De Jong W., 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC: Jakarta

12. Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen
POM Depkes RI. Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.

13. Holve S. Envenomation. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
penyunting. Nelson textbook of pedi- atrics. Edisi ke-16. Philadelphia:WB
Saunders com- pany, 2000. h. 2174-8.

24

Anda mungkin juga menyukai