Anda di halaman 1dari 20

Nama peserta : dr.

Achmad Bima Aryaputra


Nama Wahana : RSU Aisyiah Ponorogo
Judul : Snake Bite
Tanggal MRS : 30 Maret 2019
Tanggal Presentasi : Pendamping : dr. Ani Ruliana
Tempat Presentasi : RSU Aisyiyah Ponorogo
Objektif Presentasi : Keilmuan, Masalah, Diagnostik
□ Neonatus □ Bayi □Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia □ Bumil
□ Deskripsi : Pasien laki-laki 59 tahun datang dengan keluhan nyeri setelah tergigit ular
□ Tujuan :
Bahan
 Tinjauan Pustaka □ Riset □ Kasus □ Audit
Bahasan :
Cara
 Presentasi dan Diskusi □ Diskusi □ E-Mail □ Pos
Membahas :
Data Pasien : Tn S , 23 tahun No. Registrasi : 460xxx
Nama RS : RSU Aisyiyah Ponorogo Telp : - Terdaftar : 2020
Data Utama untuk Bahan Diskusi :
1. Diagnosis/ Gambaran Klinis:
Keluhan utama:
Nyeri
Riwayat Penyakit:
Pasien rujukan puskesmas Pulung dengan nyeri pasca digigit ular. 2 jam yll tergigit ular di
ujung jari manis tangan kiri. Ular berwarna hijau, di sawah. Jari terasa nyeri, menjalar
hingga ke siku. Selain itu, tangan terasa kesemutan. Keluhan disertai dengan Mual (+)
Muntah (+) 1 x, bercak darah (+) (dibawa oleh keluarga pasien dan ditunjukan di IGD), dan
pusing berputar. Setelah tergigit, pasien sempat mengikatkan lengan bagian atas dengan tali,
dengan alasan agar racun tidak menyebar. Di puskesmas, pasien mendapatkan terapi berupa
inf RL 20 tpm dan penutupan luka dengan perban. Perdarahan lain -, kejang-, melena -,
BAB dan BAK dbn.
2. Riwayat Pengobatan :
Tidak memiliki riwayat pengobatan
3. Riwayat Kesehatan/ Penyakit :
 Hipertensi disangkal
 Diabetes mellitus disangkal
 Penyakit jantung disangkal
 Alergi disangkal

1
4. Riwayat Keluarga :
Riwayat keluarga dengan keluhan serupa (-),
riwayat hipertensi (-),
riwayat diabetes mellitus (-),
riwayat keganasan (-).
5. Riwayat Pekerjaan
Belum bekerja
6. Riwayat Sosial
 Merokok +
7. Lain-lain: -

Hasil Pembelajaran :
1. Definisi
2. Epidemiologi
3. Etiologi
4. Patofisiologi
5. Klasifikasi
6. Manifestasi Klinis
7. Diagnosis
8. Penatalaksanaan
9. Komplikasi dan faktor risiko
10. Prognosis
Daftar Pustaka
1. Adiwinata, R. Nelwan, E. 2015. Snakebite in Indonesia. Acta Medica
Indonesiana, 47 (4): 358-365
2. Djunaedi D. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam: Setiati S, Alwi I,
Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, editors. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing; 2014. hlm. 1085-93
3. Tan, C.H., et al., 2016. Assessing SABU (Serum Anti Bisa Ular), the sole
Indonesian antivenom: A proteomic analysis and neutralization efficacy study.
Scientific Reports,Nature . 6: p. 37299
4. Niasari N, Latief A. Gigitan ular berbisa. Sari Pediatri. 2003; 5(3):92-8
5. WHO Regional Office for South East Asia. Guidelines for the Management of
Snakebites. New Delhi : WHO

2
PEMBAHASAN

Subjektif
Pasien rujukan puskesmas Pulung dengan nyeri pasca digigit ular. 2 jam yll tergigit ular di
ujung jari manis tangan kiri. Ular berwarna hijau, di sawah. Jari terasa nyeri, menjalar hingga
ke siku. Selain itu, tangan terasa kesemutan. Keluhan disertai dengan Mual (+) Muntah (+) 1
x, bercak darah (+) (dibawa oleh keluarga pasien dan ditunjukan di IGD), dan pusing
berputar. Setelah tergigit, pasien sempat mengikatkan lengan bagian atas dengan tali, dengan
alasan agar racun tidak menyebar. Di puskesmas, pasien mendapatkan terapi berupa inf RL
20 tpm dan penutupan luka dengan perban. Perdarahan lain -, kejang-, melena -, BAB dan
BAK dbn.
Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum Sedang
Tingkat kesadaran/GCS E4V5M6
Pemeriksaan Tanda Vital
- Tekanan darah 120/70 mmHg
- Nadi 88 x/menit, regular
- Laju nafas 19 x/menit
- Suhu 36,5° C
- SpO2 99%

Pemeriksaan Fisik
Kepala/leher
Mata Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) Pupil isokor
3mm/3mm, reflek cahaya (+/+)
Leher Pembesaran KGB (-), Bendungan Vena Leher (-)
Thorax
Pulmo
Inspeksi Normochest, retraksi ICS (-)

Palpasi Fremitus +/+ simetris (dextra & sinistra)

3
Perkusi Sonor +/+
Auskultasi Vesikuler +/+
Cor
Inspeksi Ictus cordis tidak tampak
Palpasi Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi Batas jantung dalam batas normal, tidak ada pembesaran
jantung
Auskultasi S1 S2 normal reguler, murmur (-), gallop (-).
Abdomen
Inspeksi Flat
Auskultasi Bising usus (+) normal
Palpasi Supel, nyeri tekan (-)
Perkusi Timpani (+)
Ekstremitas Akral hangat (+), Akral dingin (-)
Status Lokalis Regio : manus sinistra

Pada digiti 4 manus sinistra, tampak luka bekas gigitan . edem


(+) batas jelas

Hasil laboratorium
Nama Pemeriksaan NILAI NORMAL
Darah Lengkap
HB 13,8 12,5-16,0 g/dL
Leukosit 20,3 4x103 – 11x103 µL

4
Hitung Jenis (E/B,N,L,M) 1/2/77/15/5 1-3/0-1/50-70/20-40/2-8
Trombosit 97.000 150x103 – 450x103 µL
Eritrosit 4,9 juta 4,2 – 5,4 juta/uL
Hematokrit 40 35 – 45 %
Kimia Klinik
GDS 217 <200mg/dL
Kreatinin 1,11 0,70 – 1,20 mg/dL
Ureum 54 15 – 39 mg/dL
BUN 25 7 – 21 mg/dL
Asam Urat 6,2 2,6 – 6,0 mg/dL
SGOT 55 <37 U/L
SGPT 38 <40 U/L

Resume
Diagnosis
Snake Bite
Planning
a. Terapi
o Non medikamentosa :
 Diet TKTP
 Imobilisasi
o Medikamentosa :
Advice dr. Indarjadi Sp. B
- Inf. RL 20 tpm
- Drip SABU 1 amp dalam PZ 100 cc
- Inj Ceftriaxon 2x1
- Inj. Acran 2 x 50 mg
- Inj Santagesic 3x1
a. Monitoring:
 Keluhan pasien
 Vital sign
b. Edukasi:
Menjelaskan kepada Pasien dan keluarga Pasien tentang:

5
 Pasien penyakit snake bite, dimana penting untuk diketahui jenis dan bentuk ular
untuk memberikan antidotum yang sesuai, dimana jika tidak ditangani segera
dapat berakibat kematian.
 Pasien diberikan obat-obatan melalui jalur infus

6
FOLLOW UP
Tgl S O A P
30/3/20 Pasien Kesadaran : CM - Snake bite SABU sudah masuk 70 cc 
11.40 mengeluhk T: 120/70 mmHg SABU dihentikan sementara
an badan N: 88 x/mnt
terasa RR: 18x/mnt
gatal S : 36,5
setelah
pemberian K/L : A/I/C/D : -/-/-/-
SABU Thorax
S1S2 reguler tunggal
SDV +/+ Wh -/- Rh -/-
Abdomen
Supel Bu (+) timpani
NT –
Extremitas
Edema -/-

Tgl S O A P
30/3/20 Pasien Kesadaran : CM - Snake bite Inj Ceftriaxon 2x1 amp
14.00 mengeluhk T: 130/80 mmHg Inj Santagesic 3x1 amp
an badan N: 75 x/mnt Inj Acran 2x1 amp
masih RR: 29x/mnt
terasa S : 36,5 SABU dihentikan sementara
gatal.
Nyeri pada K/L : A/I/C/D : -/-/-/-
tangan Thorax
S1S2 reguler tunggal
SDV +/+ Wh -/- Rh -/-
Abdomen
Supel Bu (+) timpani
NT –
Extremitas
Edema -/-
7
30/3/20 Gatal Kesadaran : CM - Snake bite Inj Ceftriaxon 2x1 amp
20.00 sudah T: 145/79 mmHg Inj Santagesic 3x1 amp
tidak ada, N: 77 x/mnt Inj Acran 2x1 amp
nyeri (+) RR: 18x/mnt Pemberian sisa SABU
S : 36 dilanjutkan hingga habis

K/L : A/I/C/D : -/-/-/-


Thorax
S1S2 reguler tunggal
SDV +/+ Wh -/- Rh -/-
Abdomen
Supel Bu (+) timpani
NT –
Extremitas
Edema -/-

31/3/20 Nyeri Kesadaran : CM - Snake bite Inj Ceftriaxon 2x1 amp


06.00 berkurang T: 138/71 mmHg Inj Santagesic 3x1 amp
N: 54 x/mnt Inj Acran 2x1 amp
RR: 18x/mnt
S : 36

K/L : A/I/C/D : -/-/-/-


Thorax
S1S2 reguler tunggal
SDV +/+ Wh -/- Rh -/-
Abdomen
Supel Bu (+) timpani
NT –
Extremitas
Edema -/-

8
31/3/20 Tdak ada Kesadaran : CM - Snake bite Inj Ceftriaxon 2x1 amp
08.00 keluhan T: 114/68 mmHg Inj Santagesic 3x1 amp
N: 70 x/mnt Inj Acran 2x1 amp
RR: 18x/mnt
S : 36,5 ACC KRS

K/L : A/I/C/D : -/-/-/-


Thorax
S1S2 reguler tunggal
SDV +/+ Wh -/- Rh -/-
Abdomen
Supel Bu (+) timpani
NT –
Extremitas
Edema -/-

9
TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi Jenis Ular


Diagnosis dari spesies ular yang menggigit korban penting untuk diketahui. Bisa
dilakukan dengan mengidentifikasi ular yg sudah mati, ciri-cirinya atau dari manifestasi
klinis yang muncul. Famili Viperidae (vipers, adders, pit vipers, and mocassins),
Elapidae (cobras, mambas, kraits, coral snakes, Australasian venomous snakes, and sea
snakes), Atractaspididae (burrowing asps) — memiliki kemampuan untuk menyuntikkan
bisa menggunakan gigi yang telah termodifikasi (taring). Pasien mengatakan ular
berwarna hijau, kemungkinan besar bagian dari Famili Viperidae (viper atau pit viper).

Kategori 1 : Ular berbisa yang tersebar luas dan mengakibatkan angka kesakitan, kecacatan
dan kematian yang tinggi
Kategori 2 : Ular berbisa yang mengakibatkan angka kesakitan, kecacatan dan kematian yang
tinggi tetapi berdasarkan data epidemiologi jarang terjadi karena habitat dan perilaku ular
yang jauh dari populasi manusia.
Sampai saat ini belum ada aturan baku untuk membedakan ular berbisa atau tidak.
Beberapa ular yang tidak berbisa telah berevolusi menyerupai ular beracun begitu pula
sebaliknya sehingga terlihat hampir sama. Meskipun dalam beberapa hal ular berbisa
memiliki ciri-ciri tertentu seperti ukuran dan bentuk tubuhnya, pola kulitnya, perilaku dan
suara jika dalam keadaan terancam. Sebagai contoh ular jenis kobra sudah dikenal luas akan
menegakkan tubuhnya, menyemburkan racun dan secara agresif mematuk lawannya jika
dalam kondisi terancam.

10
Ular penghasil bisa (snake venom) berbahaya, bisa yang dikeluarkannya 90%
merupakan protein sisanya merupakan nonenzim seperti protein nontoksis yang mengandung
karbohidrat dan logam. Bisa tersebut mengandung lebih dari 20 macam enzim yang berbeda
termasuk phospholipases A2, B, C, D hydrolases, phosphatases (asam sampai alkalis),
proteases, esterases, acetylcholinesterase, transaminase, hyaluronidase, phosphodiesterase,
nucleotidase dan ATPase serta nucleosidases (DNA & RNA).
Bisa Ular

Beberapa enzim yang terkandung dalam bisa ular antara lain :


 Zinc metalloproteinase haemorrhagins: Merusak endotel vaskular, mengakibatkan
perdarahan.
 Procoagulant enzymes: Mengandung serine protease dan enzim prokoagulan yang
merupakan zat pengaktif faktor X, prothrombin dan faktor koagulan yang
menstimulasi pembekuan darah dengan membentuk benang fibrin pada aliran darah.
Ironisnya proses ini membuat darah menjadi sukar membeku karena hampir semua
fibrin rusak dan faktor-faktor pembekuan darah tersebuat akan berkurang dalam
waktu sekitar 30 menit setelah gigitan ular.
 Phospholipase A2 (lecithinase): Merusak mitokondria, Sel darah merah, leukosit,
platelet, saraf tepi, otot skeletal, endotel vaskular, dan membran-membran lain,
menghasilkan aktifitas neurotoksik di presinaps, dan memicu pelepasan histamin dan
antikoagulan.
 Acetylcholinesterase
 Hyaluronidase: meningkatkan penyebaran bisa ke seluruh jaringan.
 Enzim proteolitik : meningkatkan permeabilitas vaskular sehingga menybabkan
edema, munculnya bulla, lebam, dan nekrosis pada tempat gigitan.1

Selain itu ada zat penyusun bisa ular yang bersifat neurotoksik post sinaps yaitu α-
bungarotoxin and cobrotoxin, yang terdiri atas 60-62 atau 66-74 asam aminio dan
subunit fosfolipase A yang melepaskan asetilkolin pada saraf tepi di neuromuscular
junction dan mencegah pelepasan neurotransmiter.
Peningkatan permeabilitas vaskular jika berlangsung terus menerus akan
mengakibatkan renjatan atau syok yang jika tidak tertangani dapat menyebabkan
kematian. Seringkali bisa ular bersifat neurotoksik yang menyebabkan kelumpuhan
(paralysis) dan terhentinya pernapasan, serta pengaruh kardiotoksik menyebabkan denyut
jantung berhenti juga berpengaruh kepada terjadinya miotoksik.2

11
B. Epidemiologi
Pada tahun 1998 angka kematian diperkirakan sekitar 125.000 dari 5 juta kasus per
tahun termasuk 100.000 kematian dari 2 juta kasus di Asia. 1 Di Amerika dilaporkan
4000-7000 kasus gigitan ukar per tahun dengan rata-rata 4 kasus per 100.000 penduduk.
Selama 5 tahun penelitian retrospektif dari sekitar 25 kasus gigitan, 4 diantaranya
memerlukan tindakan fasciotomi dan 2 memerlukan tandur kulit dengan rasio laki-laki :
perempuan = 9 : 1 Dan 50% sering terjadi pada umur 18-28 tahun. Di Indonesia sendiri
dilaporkan sekitar 20 kasus kematian dari ribuan kasus gigitan ular per tahun.

C. Patogenesis
I. Gangguan pembekuan darah
Umumnya ular berbisa, bisanya mengandung serine protease,
metaloproteinase yang mengganggu hemostasis dengan aktivasi atau menghambat
faktor koagulan atau platelet dan merusak endotel vaskular. Enzim dalam bisa ular
akan berikatan dengan reseptor platelet menginduksi atau menghambat agregasi
platelet. Enzim-enzim prokoagulan akan mengaktifkan protrombin, faktor V,X,XIII
dan pasminogen endogen. Kombinasi konsumsi aktivitas antikoagulan,
terganggunya jumlah dan fungsi platelet dan kerusakan dinding endotel pembuluh
darah berakibat perdarahan yang hebat pada pasien,
Penyakit pembekuan darah (koagulopati) ditandai defibrinasi yang berkaitan
dengan jumlah trombosit. Di samping itu dapat mengubah protrombin menjadi
trombin dan mengurangi faktor V,VII, protein C dan plasminogen.Tekanan di
sistem kardiovaskuler menyebabkan DIC atau tekanan di otot jantung.

II. Neurotoksik

12
Bisa ular yang bersifat neurotoksik akan menghambat eksitasi
neuromuskular junction perifer dengan berbagai cara. Sehingga gejala yang paling
sering muncul adalah mengantuk, menunjukkan bahwa ada kemungkinan pengaruh
sedasi sentral yang terkait dengan molekul kecil non protein yang terdapat dalam
bisa ular king cobra. Hampir sebagian besar neurotoksin akan mengakibatkan
pamanjangan efek dari asetilkolin, sehingga muncul gejala paralisis seperti ptosis,
ophtalmoplegia eksternal, midriasis, dan depresi jalan napas dan total flacid
paralysis seperti pada pasien dengan Myastenia Gravis. Selain itu ada pola paralisis
desendens yang sulit dijelaskan secara patofisiologinya.
III. Hipotensi
Hipotensi yang terjadi pasca gigitan ular disebabkan karena banyak hal terkait
bisa ular itu sendiri. Ada beberapa faktor yang memepngaruhi permeabilitas
pembuluh darah sehingga terjadi ekstravasasi plasma ke jaringan interstisiel. Selain
itu zat-zat dalam bisa ular akan memiliki efek langsung maupun tidak langsung
terhadap otot jantung, otot polos dan jaringan lain. Melalui bradykinin-potentiating
peptide, efek hipotensif dari bradikinin akan semakin meningkat dengan tidak
aktifnya peptidyl peptidase yang berfungsi menghancurkan bradikinin dan mengubah
angiotensin I menjadi angiotensin II. Penemuan patofisiologi ini merupakan awal
mula sintesis captopril dan ACE inhibitor lain.

D. Diagnosis
Anamnesa
Riwayat dan mekanisme kejadian, jenis ular yang menggigit (warna, ukuran,
bentuk, ciri khas) dapat ditanyakan langsung kepada korban gigitan, namun seringkali
pasien tidak tahu. Selain itu perlu ditanyakan waktu kejadian yang dapat mempengaruhi
terapi dan prognosis pasien, gejala yang pasien rasakan saat ini serta riwayat alergi,
pengobatan (antikoagulan) dan penyakit terdahulu (jantung, paru, ginjal).

Manifestasi Klinis
 Gigitan ular tanpa masuknya bisa ular
Pada korban gigitan ular atau yang masih disangka tergigit ular biasanya akan
muncul gejala panik, cemas serta gelisah dikarenakan kerakutan yang biasa sehingga
dapat muncul gejala kaku pada ekstremitas ataupun vasovagal shock. Tekanan darah
dan nadi akan meningkat disertai menggigil dan berkeringat.
 Gigitan ular dengan masuknya bisa ular

13
Tanda dan gejala awal
Setelah masuknya taring ular pada kulit akan muncul nyeri yang kemudian
berkembang sensasi terbakar, berdenyut dan nyeri akan bertambah hebat dan akan
meningkat ke bagian proksimal dari bagian yang tergigit. Pembesaran kelenjar getah
bening regional sering dijumpai (KGB ingunalis jika yang tergigit adalah ekstremitas
inferior dan KGB axila jika yang tergigit adalah ekstremitas superior.

Pemeriksaan Fisik
a. Cek tanda-tanda vital (jalan napas, napas, sirkulasi / ABC)
b. Cek tanda bekas gigitan ular berbentuk 2 titik bekas taring ular
c. Status generalis:
a) Lemas, mual, muntah, nyeri perut
b) Hipotensi
c) Penglihatan terganggu, edema konjungtiva (chemosis)
d) Pengeluaran keringat dan hipersalivasi
e) Aritmia, edema paru, shock
f) Tanda perdarahan spontan (petekie, epistaksis, hemoptoe)
g) Parestesia
d. Status lokalis:
a) Terdapat sepasang lubangan (pungsi) bekas gigitan sebagai tanda luka
b) Bengkak sekitar gigitan dan berwarna kemerahan (tanda-tanda inflamasi) yang
muncul dalam 5 menit sampai 12 jam setelah kejadian
c) Daerah sekitar gigitan nyeri,muncul bula
d) Mati rasa atau kebas (numbness) atau kesemutan rasa berdenyut-denyut
(tingling) di sekitar wajah atau tungkai dan lengan.

14
Klasifikasi Gigitan ular Berbisa
Derajat Gejala dan Tanda
1 (minor) Terdapat tanda bekas gigitan/ taring, tidak
ada edem, tidak nyeri, tidak ada gejala
sistemik, tidak ada koagulopati
2 (moderate) Terdapat tanda bekas gigita/taring, edem
lokal, tidak ada gejala sistemik, tidak ada
koagulopati
3 ( Severe) Terapat tanda bekas gigitan, edem regional
(2 segmen dari ekstremitas), nyeri tidak
teratasi dengan analgesik, tiada ada tanda
sistemik, terdapat tanda koagulopati
4 (major) Terapat tanda bekas gigitan, edem
yang luas terdapat tanda sistemik
(muntah, sakit kepala, nyeri pada
perut dan dada, syok), trombosis
sistemik

(Niasari , 2003)

Beberapa faktor yang berpengaruh pada kematian akibat gigitan antara lain:
1. Serum Anti Bisa Ular : pemberian dosis yang tidak adekuat atau anti bisa ular yang
hanya spesifik untuk satu jenis spesia ular tertentu
2. Waktu ketika mendapat terapi yang adekuat pada pusat layanan kesehatan memanjang
akibat korban biasanya terlebih dahulu datang pada pengobatan alternatif atau masalah
pada transportasi
3. Adanya kegagalan multifungsi pada sistem organ sebagai contoh syok hemoragik atau
sepsis ,dan obstruksi jalan nafas

Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium

15
Pemeriksaan yang diperlukan adalah pemeriksaan Darah lengkap meliputi
leukosit, trombosit, Hemoglobin, hematokrit dan hitung jenis leukosit. Faal
Hemostasis ( Prothrombin time, Activated Partial Thromboplastin time, International
Normalized Ratio), Cross Match, Serum elektrolit, Faal ginjal (BUN, Kreatinin),
Urinalisis untuk melihat myoglobinuria, dan Anlisis Gas darah.
Pemeriksaan laboratorium biasanya menunjukkan peningkatan jumlah neutrofil,
limfopenia, koagulopati dengan PT dan PTT memanjang, serta penurunan jumlah
fibrinogen. Mioglobin plasma dan kadar kreatinin mempunyai korelasi yang kuat
(Djunaedi, 2014)
b. Pencitraan
Foto rontgen thorax untuk melihat apakah ada edema paru
c. Lain-lain
Mencari tanda-tanda sindrom kompartemen
.
E. Diagnosis Banding
 Anafilaksis
 Deep vein thrombosis (DVT)
 Gigitan kalajengking
 Syok septik
 Sengatan lebah
 Luka terinfeksi

F. Penatalaksanaan
Secara umum tujuan panatalaksanaan pasien dengan gigitan ular adalah untuk
menetralisisr toksin, mengurangi angka kesakitan, dan mencegah komplikasi. Alur yang
harus dilakukan adalah :
Pertolongan pertama
 Rujukan ke rumah sakit
 Penilain klinis dan resusitasi dengan cepat dan tepat
 Mengenali spesies ular jika memungkinkan
 Melakukan pemeriksaan penunjang
 Pemberian Serum Anti Bisa Ular (SABU)
 Observasi respon terhadap pemberian SABU
 Terapi suportif dan perawatan luka gigitan
 Rehabilitasi serta terapi komplikasi
16
Biasanya setelah kejadian tergigit ular akan dilakukan beberapa cara tradisional untuk
penanganan pertama, namun sebaiknya cara- cara tersebut tidak dilakukan :
 Menyedot bisa ular dengan mulut
 Memasang torniquet dengan ketat di sekitar luka gigitan karena bisa mengakibatkan
nyeri, bengkak dan menghambat aliran darah ke ekstremitas perifer
 Melakukan ompres panas, dingin atau penyayatan luka
 Pemberian ramuan herbal atau kompres es

Yang harus dilakukan sebagai pertolongan pertama pada korban gigitan ular sebelum ke
rumah sakit (pre hospital) :
 Pastikan ABC dan monitor tanda-tanda vital (Nadi, Laju pernafasan, Tekanan Darah,
Suhu) kemudian lakukan resusitasi dengan kristaloid sekitar 500- 1000 cc.
 Pembatasan pergerakan dan imobilisasi pada daerah sekitar gigitan
 Segera rujuk ke tempat pelayanan kesehatan yang memadai
 Jangan berikan SABU terlebih dahulu

Rumah sakit
Selalu periksa Airway Breathing Circulation Disability of nervous system Exposure
(hindari hipotermia) dan evaluasi tanda-tand syok (takipnea, takikardia, hipotensi,
perubahan status mental). Pemberian SABU berdasarkan derajat gigitan ular.1

Keadaan yang memerlukan resusitasi segera jika adanya tanda-tanda syok dari
- Efek bisa ular pada cardiovascular seperti hipovilemia, syok perdarahan, pelepasan
mediator inflamasi dan yang jarang yaitu anafilaksis primer
- Gagal nafas karena paralisis otot pernafasan
- Cardiac arrest karena hiperkalemia akibat rhabdomyolisis

2.6.1 Serum Anti Bisa Ular (SABU)


Terdapat dua jenis antiracun ular yaitu yang pertama terbuat dari serum kuda setelah
kuda diinjeksi dengan dosis racun ular subletal. Antiiracun ini kemudian diproses dan
dimurnikan tetapi masih mengandung protein serum yang mungkin masih memiliki sifat
antigenik. Jenis kedua adalah yang direkomendasikan FDA tahun 2000 yaitu fragmen
imunoglobulin monovalen dari domba yang dimurnikan untuk menghindari protein
antigenik.
17
SABU harus diberikan pada pasien jika memang diperlukan jika memberikan keuntungan
lebih besar. Indikasi pemberian SABU :
- Adanya abnormalitas hemostatis
Secara klinis adanya perdarahan spontan, koagulopati (dilihat dari faal hemostasis),
- Tanda neurotoksis (ptosis, paralisis otot pernapasan)
- Abnormalitas cardiovascular (hipotensi, syok, aritmia, EKG abnormal)
- Acute Kidney Injury (oliguria/anuria, peningkatan serum ureum dan atau creatinin)
- Hemoglobin/myoglobin-uria (ditandai dengan urin yang berwarna coklat gelap dan
adanya tanda rhabdomyolisis yaitu nyeri otot dan hiperkalemia)
Lebih dari seratus tahun, serum antibisa ular telah diterima secara luas dan digunakan
sebagai terapi. Terapi antidotum spesifik untuk bisa ular adalah hyperimmune globulin
dari binatang yang telah diimunisasi dengan bisa ular dan memproduksi antibodi. Pada
pasien gigitan ular yang emngalami gangguan pembekuan darah atau telah terbentuk clot
maka pemberian SABU akan memperbaiki d\an menghilangkan clot dalam waktu 2-28
jam. Dalam suatu penelitian acak terkontrol, 40 dari 46 pasien yang diberikan SABU
akan membaik dalam waktu 6 jam meskipun tanda-tanda perdarahan masih didapatkan
hingga 88 jam kemudian.
SABU yang umum digunakan di Indonesia adalah polyvalent Biosave produksi
BioFarma Pharmaceutical , Bandung, yang didalamnya terdapat fragmen
immunoglobulin untuk racun yang berasal dari Calloselasma rhodostoma (potensi 12.7
mg venom dinetralisir per ml antivenom, or 121.8 mg venom per gram antivenom
protein) and Bungarus fasciatus venom (0.9 mg/ml; 8.5 mg/g) Naja sputatrix (0.3 mg/ml;
2.9 mg/g), Naja sumatrana (0.2 mg/ml; 1.8 mg/g) and Bungarus candidus (0.1 mg/ml; 1.0
mg/g).
SABU diberikan intravena kadang akan memunculkan reaksi alergi mulai dari yang
ringan seperti pruritus atau urtikaria sampai yang berat (syok anafilaksis). Berdasarkan
dosis, rute pemberian dan kulaitas SABU, resiko-resiko tersebut akan muncul pada 3-
30% dan hanya 5-10% diantaranya merupakan gejala sistemik yang berat. Hampir semua
reaksi alergi yang muncul dapat diatasi dengan pemberian epinefrin. Pencegahan
timbulnya reaksi alergi meliputi premedikasi dengan antihistamin atau kortikosteroid
sebelum pemberian SABU dan memperhatikan kepekatan konsentrasi SABU yang akan
diberikan.
Dua cara pemberian anti bisa ular :
- Intravena pelan (tidak lebih dari 2 ml/menit). Cara ini memberikan keuntungan
karena jika muncul reaksi alergi dapat segera dihentikan atau ditangani.

18
- Infus intravena dengan pengenceran Antibisa ular dengan cairan isotonik 5-10 ml/kg
dan habis dalam waktu 1 jam
- Intramuskular, namun cara ini memiliki kelemahan karena bioavailibiltasnya rendah
dan sulit untuk mencapai kadar yang diinginkan dalam darah, serta resiko hematom
pada tempat injeksi pada pasien dengan abnormalitas hemostasis.
Dipertimbangkan pemberian secara intramuskular jika jarak ke tempat layanan
kesehatan yang lebih memadai sangat jauh atau akses intravena sulit.
Jika terjadi reaksi alergi setelah pemberian SABU maka diberikan epinefrin
intramuskular pada sepertiga atas paha 0,5 mg untuk dewasa atau 0,01 mg/kg untuk
anak-anak dan dapat diulang 5-10 menit.
Penatalaksanaan terkait pembedahan biasanya jika ditemukan kompartemen sindrom
yang ditandai dengan 5 P (pain, pallor, paresthesia, paralysis, pulselesness. Jika
ditemukan tanda-tanda tersebut dicurgai ada komparten sindrom sehingga dilakukan
fasciotomi (diindikasikan pada pasien yang terbukti mengalami peningkatan tekanan
intrakompartemen) .

2.6.2 Antibiotik
Antibiotik profilaksis spektrum luas masih direkomendasikan yaitu cephalosporin
generasi tiga dengan spektrum luas gram negatif (Ceftriaxone) akan menekan
pertumbuhan bakteri yang mengakibatkan infeksi sekunder.

2.6.3 Analgesik
Jika diperlukan dapat diberikan analgetik kuat seperti golongan opioid : petidin
dengan dosis dewasa 50-100 mg, anak-anak 1-1,5 kg/kgBB atau morfin dengan dosis
dewasa 5-10 mg dan anak-anak 0,03-0,05 mg/kg.

2.7 Komplikasi
Hal utama penyebab kecacatan adalah nekrosis lokal dan sindrom kompartemen.
Nekrosis yang luas mungkin memerlukan tindakan debridemen atau amputasi karena
kerusakan pada jaringan yang lebih dalam. Di kemudian hari dapat saja timbul
osteomyelitis, dan ulkus kronis. Jika setelah gigitan ular sempat terjadi paralisis otot
pernapasan yang mengakibatkan hipoksia otak dan bisa mengakibatkan defisit neurologis
menetap.

2.8 Monitoring

19
Pada pasien dengan gagal nafas dapat diberikan oksigen, intubasi atau bagging manual
dan biasanya akan membaiki dalam 1 bulan. Dapat juga diberikan anticholinesterase. Tirah
baring dan pembatasan gerak untuk menghindari trauma diperlukan pada pasien
dengangangguan hemostasis, dapat diberikan transfusi FFP (fresh Frozen Plasma) dan
Cryoprecipitate dengan konsentrat platelet, namun jika tidak ada dapat diebrikan Whole
Blood. Kadang diperlukan vasopressor sejenis dopamin atau norepinefrin pada pasien dengan
syok atau kerusakan miokardium dan dialisi jika terjadi AKI. Adanya rhabdomyolisis
mengakibatkan asidosis metabolik seperti pada crush injury dapat dikoreksi dengan natrium
bicarbonat sesuai doss.i

20

Anda mungkin juga menyukai