Anda di halaman 1dari 23

Portofolio

Portofolio
Nama Wahana: RSUD Kabupaten Pacitan
Topik: Snake bite
Tanggal (Kasus): 22 Desember 2015
Tanggal Presentasi:

Presenter: dr. Sarah Zoraya Mirza


Pendamping: dr. Netty Nurnaningtyas, Sp.

EM/dr. M. Wildan
Tempat Presentasi:
Obyektif Presentasi:
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus
Bayi
Anak
Remaja
Dewasa
Lansia
Bumil
Deskripsi: Laki-laki, 16 tahun, nyeri perut kanan bawah
Tujuan: Diagnostik dan tatalaksanapada kasus appendicitis akut
Tinjauan
Bahan Bahasan:
Riset
Kasus
Audit
Pustaka
Presentasi dan
Cara Membahas:
Diskusi
Email
Pos
Diskusi
Data Pasien:
Nama: Tn. S
Nomor Registrasi: 22.42.07
Terdaftar
Sejak:
22
Data Klinik:
Telp:
Desember 2015
Data Utama untuk Bahan Diskusi
1 Diagnosis / Gambaran Klinis:
Telapak kaki kiri digigit ular
2 Riwayat Pengobatan:
Pasien belum pernah menjalani pengobatan sebelumnya.
3 Riwayat Kesehatan / Penyakit:
Pasien datang pukul 11.37 WIB dengan keluhan nyeri pada telapak kaki kiri. Sejak. Nyeri dirasakan
pasien setelah telapak kaki kirinya digigit ular pukul 08.00 WIB saat pasien sedang berjalan di
pinggir jalan yang dekat dengan sawah. Saat kejadian, pasien mengaku telapak kaki kirinya dirasa
sangat nyeri dan dirasa terus-menerus, hingga ia tidak bisa berjalan. Nyeri seperti ditusuk-tusuk dan
menjalar hingga ke betis pasien. Kaki pasien juga terasa panas, baal (kesemutan) dan membengkak
pada luka bekas gigitan hingga betis kiri, luka berdarah. Perdarahan tidak berhenti sejak pasien
digigit ular. Pasien juga mengeluh keluar keringat dingin (+), berdebar-debar (-), sesak nafas (-),
mual (-), muntah (-), nyeri kepala (+), pingsan (-), demam (-), nyeri perut (-). Pasien mengaku tahu
jenis ular yang menggigitnya, yaitu ular bendotan. Saat kejadian pasien mengenakan sandal. Pasien
mengaku BAK dan BAB nya lancer
4 Riwayat Keluarga:
Riwayat asma, penyakit jantung, hipertensi, dan kencing manis keluarga disangkal.
5 Riwayat Pekerjaan dan Sosial:
Pasien adalah seorang petani
6 Lain-lain
Kesadaran: Compos mentis/ tampak sakit sedang

GCS : E4M6V5
Tanda vital:
Tekanan darah: 150/100 mmHg. Nadi: 98x/menit. Pernafasan : 24x/menit. Suhu: 370C
Pemeriksaan Fisik:
Kepala Leher: mata konjunctiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), sianosis bibir(-), JVP 2cmH2O
Thoraks: Inspeksi : simetris,
Palpasi : massa (-), nyeri tekan (-), iktus kordis tidak teraba,
Perkusi : sonor kiri dan kanan,
Auskultasi Jantung

: S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)

Paru
: suara napas Vesikuler +/+ , Rhonki -/- , Wheezing -/Abdomen: Inspeksi : datar
Auskultasi: peristaltik (+) normal
Palpasi : soepel(+), massa (-), hepar lien tidak teraba
Perkusi : timpani (+)
Ekstremitas atas : akral hangat(+/+) edema (-/-)
Ekstremitas bawah: Akral hangat (+/+), edema (+/-), deformitas (-/-), terdapat dua buah luka
pada telapak kaki kiri, bentuk titik ukuran masing-masing 0,2 cm x 0,2 cm dan 0,2 cm x 0,1 cm,
jarak kedua luka 1,2 cm. warna kulit sekitar luka hingga 1/3 distal cruris sinistra berwarna merah
keunguan, edema (+). Nyeri tekan (+). Perdarahan (+)
Status lokalisasi luka :
Terdapat dua buah luka pada telapak kaki kiri,bentuk titik ukuran masing-masing 0,2 cm x
0,2 cm dan 0,2 cm x 0,1 cm, jarak kedua luka 1,2 cm. warna kulit sekitar luka hingga 1/3
distal cruris sinistra berwarna merah keunguan, edema (+),nyeri tekan (+), perdarahan (+)
Pemeriksaan Penunjang:
EKG normal EKG
Laboratorium :
Pemeriksaan
WBC

Hasil
26.1 x 10^3/uL

Nilai Rujukan
5.0 12.0

Lymph

19.1 %

20.0 40.0

Mid

12.1 %

3.0 9.0

Gran

73.3%

50.0 70.0

HGB

14.0 g/dL

12.0 16.0

RBC

4.37 x 10^6/uL

4.00 5.50

HCT

41.1%

40.0 54.0

MCV

94.1%

80.0 100.0

MCH

32.0%

27.0 31.0

MCHC

34.0%

32.0 36.0

RDW-SD

48.8 fL

35.0 56.0

RDW-CV

12.3 %

11.0 16.0

PLT

14 x 10^3/uL

150 450

PPT

Memanjang

11.7-16.8

detik

(>100)

Kontrol PPT : Perbedaan


14,3

kontrol dengan
hasil <3 detik
atau 1 kali
kontrol

APTT

28.9-41.6 detik
Memanjang

(>93,4)

detik

Perbedaan

Kontrol APTT : kontrol dengan


35,2

hasil <7 detik


atau 1 kali
kontrol

Diagnosis: Snake bite derajat II (kriteria Parrish)


Rencana terapi:
Medika mentosa:
-

O2 2-4 l/i
IVFD NS fluid challange 500 cc maintenance 28 tpm
Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam (skin test)
Inj. Antrain 1gr/8 jam
Inj. Ranitidin 50mg/12 jam
Drip SABU 2 vial dalam NS 100cc 60-80 gtt/i
Inj. Morfin 2 mg
Imobilisasi kaki

Edukasi tentang penyakit, menenangkan korban yang cemas; imobilisasi bagian tubuh yang
tergigit dengan cara membalut dengan elastic perban atau menyangga dengan kayu agar tidak
terjadi kontraksi otot, karena pergerakan atau kontraksi otot dapat meningkatkan penyerapan
bisa ke dalam aliran darah dan getah bening, hindari gangguan terhadap luka gigitan karena
dapat meningkatkan penyerapan bisa dan menimbulkan pendarahan lokal

Daftar Pustaka:
1 SMF Bedah RSUD DR. R.M. Djoelham Binjai. 2000. Gigitan Hewan. Availabke from :
www.scribd.com/doc/81272637/Gigitan-Hewan
2 WHO. 2005. Guidelines for The Clinical Management of Snake Bite in The South East Asia
3

Region.
Sentra Informasi Keracunan Nasional Badan POM, 2012. Penatalaksanaan Keracunan

Akibat Gigitan Ular Berbisa. Available from : www.pom.id


Hafid, Abdul, dkk., 1997. Bab 2 : Luka, Trauma, Syok, Bencana : Gigitan Ular. Buku Ajar

Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC : Jakarta. Hal. 99-100


Daley, Brian James MD. 2010. Snake bite : patophysiology. Available from :

http://emedicine.medscape.com/article/168828-overview#a0104
Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM Depkes

RI. Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.


Hasil Pembelajaran:
1 Identifikasi etiologi
2 Diagnosis
3 Identifikasi komplikasi dan faktor penyulit
4 Konseling Informasi dan Edukasi tentang terapi nya

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio


1

Subjektif
Pasien mengeluh telapak kaki kirinya dirasa sangat nyeri dan dirasa terus-menerus,
hingga ia tidak bisa berjalan setelah digigit ular pukul 08.00 WIB dan pasien tiba di
IGD pukul 11.37 WIB. Nyeri seperti ditusuk-tusuk dan menjalar hingga ke betis
pasien. Kaki pasien juga terasa panas, baal (kesemutan) dan membengkak pada luka
bekas gigitan hingga betis kiri, luka berdarah. Perdarahan tidak berhenti sejak pasien
digigit ular. Pasien juga mengeluh keluar keringat dingin (+) dan nyeri kepala(+).
Riwayat pengobatan sebelumnya disangkal pasien

Objektif
Pada pemeriksaan fisik, tanda vital berada dalam batas normal.Tekanan darah :
150/100 mmHg, Pemeriksaan fisik lokalisata : terdapat dua buah luka pada telapak
kaki kiri,bentuk titik ukuran masing-masing 0,2 cm x 0,2 cm dan 0,2 cm x 0,1 cm,
jarak kedua luka 1,2 cm. warna kulit sekitar luka hingga 1/3 distal cruris sinistra
berwarna merah keunguan, edema (+),nyeri tekan (+), perdarahan (+)

Pemeriksaan Penunjang: WBC : 26.1 x 10^3/uL, PLT : 14 x 10^3/uL, PTT dan APTT
memanjang.
3

Assesment
Dari anamnesis didapatkan pasien mengeluh telapak kaki kirinya dirasa sangat nyeri
dan dirasa terus-menerus, hingga ia tidak bisa berjalan setelah digigit ular pukul 08.00
WIB. Keluhan disertai telapak kaki kiri panas, baal (kesemutan) dan membengkak
pada luka bekas gigitan hingga betis kiri. Perdarahan tidak berhenti sejak pasien
digigit ular. Pasien juga mengeluh keluar keringat dingin (+) dan nyeri kepala
(+).Pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah meningkat, pemeriksaan telapak kaki
kiri : terdapat dua buah luka pada telapak kaki kiri,bentuk titik ukuran masing-masing
0,2 cm x 0,2 cm dan 0,2 cm x 0,1 cm, jarak kedua luka 1,2 cm. warna kulit sekitar
luka hingga 1/3 distal cruris sinistra berwarna merah keunguan, edema (+),nyeri
tekan (+), perdarahan (+). Pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil leukositosis,
trombositopeni dan pemeriksaan PTT dan APTT memanjang.

Derajat
0
I
II

Venerasi
0
+/+

Luka gigit
+
+
+

Nyeri
+/+
+++

III

++

+++

IV

+++

+++

Udem/eritema
<3cm/12 jam
<3cm/12 jam
>12cm25cm/12jam
>25cm/12jam
Pada satu
ekstremitas
secara
menyeluruh

Tanda sistemik
0
0
+. Neurotoksik, mual,
pusing, syok
++,syok,
petekie,ekimosis
++, gangguan faal
ginjal, koma,
perdarahan

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, Diagnosis


pasien ini snake bite derajat II.
4
-

Plan
Pengobatan
Medika mentosa:
o O2 2-4 l/i
o IVFD NS fluid challange 500 cc maintenance 28 tpm
o Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam (skin test)
o Inj. Antrain 1gr/8 jam
o Inj. Ranitidin 50mg/12 jam
o Drip SABU 2 vial dalam NS 100cc 60-80 gtt/i
o Inj. Morfin 2 mg

Pembidaian
Tindakan pembidaian dengan menggunakan elastic perban.
Pendidikan
Pasien dengan tanda envenomasi (keracunan) yang berat membutuhkan
perawatan khusus di ICU untuk pemberian produk-produk darah, menyediakan
monitoring yang invasif, dan memastikan proteksi jalan nafas. Observasi untuk
gigitan ular koral minimal selama 24 jam. Buat evaluasi serial untuk penderajatan
lebih lanjut dan untuk menyingkirkan sindroma kompartemen.Tergantung dari derajat
keparahan gigitan, pemeriksaan darah lebih lanjut mungkin dibutuhkan, seperti waktu
pembekuan darah, jumlah trombosit, dan level fibrinogen

Tinjauan Pustaka
Luka Gigitan Ular/ Snake Bite
3.1.

Definisi

Luka gigitan adalah cidera yang disebabkan oleh mulut dan gigi hewan atau manusia.
Hewan mungkin menggigit untuk mempertahankan dirinya, dan pada kesempatan khusus
untuk mencari makanan. Gigitan dan cakaran hewan yang sampai merusak kulit kadang kala
dapat mengakibatkan infeksi. Beberapa luka gigitan perlu ditutup dengan jahitan, sedang
beberapa lainnya cukup dibiarkan saja dan sembuh dengan sendirinya1

3.2.

Etiologi
Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa

yang bermakna medis memiliki sepasang gigi yang melebar, yaitu taring, pada bagian depan
dari rahang atasnya. Taring-taring ini mengandung saluran bisa (seperti jarum hipodermik)
atau alur, dimana bisa dapat dimasukkan jauh ke dalam jaringan dari mangsa alamiahnya.
Bila manusia tergigit, bisa biasanya disuntikkan secara subkutan atau intramuskuler. Ular
kobra yang meludah dapat memeras bisanya keluar dari ujung taringnya dan membentuk
semprotan yang diarahkan terhadap kedua mata penyerang 2,3.
Efek toksik bisa ular pada saat menggigit mangsanya tergantung pada spesies, ukuran
ular, jenis kelamin, usia, dan efisiensi mekanik gigitan (apakah hanya satu atau kedua taring
menusuk kulit), serta banyaknya serangan yang terjadi3.
Ular berbisa kebanyakan termasuk dalam famili Colubridae, tetapi pada umumnya
bisa yang dihasilkannya bersifat lemah. Contoh ular yang termasuk famili ini adalah ular sapi
(Zaocys carinatus), ular tali (Dendrelaphis pictus), ular tikus atau ular jali (Ptyas korros), dan
ular serasah (Sibynophis geminatus).
Ular berbisa kuat yang terdapat di Indonesia biasanya masuk dalam famili Elapidae,
Hydropiidae, atau Viperidae. Elapidae memiliki taring pendek dan tegak permanen.
Beberapa contoh anggota famili ini adalah ular cabai (Maticora intestinalis), ular weling
(Bungarus candidus), ular sendok (Naja sumatrana), dan ular king kobra (Ophiophagus
hannah). Viperidae memiliki taring panjang yang secara normal dapat dilipat ke bagian
rahang atas, tetapi dapat ditegakkan bila sedang menyerang mangsanya. Ada dua subfamili
pada Viperidae, yaitu Viperinae dan Crotalinae. Crotalinae memiliki organ untuk
mendeteksi mangsa berdarah panas (pit organ), yang terletak di antara lubang hidung dan
mata. Beberapa contoh Viperidae adalah ular bandotan (Vipera russelli), ular tanah
(Calloselasma rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus albolabris)3
Tabel 1. Perbedaan Ular Berbisa dan Ular Tidak Berbisa

Bentuk Kepala
Gigi Taring
Bekas Gigitan
Warna

3.3.

Tidak berbisa
Bulat
Gigi Kecil
Lengkung seperti U
Warna-warni

Berbisa
Elips, segitiga
2 gigi taring besar
Terdiri dari 2 titik
Gelap

Bisa ular
Bisa ular mengandung lebih dari 20 unsur penyusun, sebagian besar adalah protein,

termasuk enzim dan racun polipeptida. Berikut beberapa unsur bisa ular yang memiliki
efek klinis2 :
a

Enzim prokoagulan (Viperidae) dapat menstimulasi pembekuan darah namun dapat


pula menyebabkan darah tidak dapat berkoagulasi. Bisa dari ular Russel mengandung
beberapa prokoagulan yang berbeda dan mengaktivasi langkah berbeda dari kaskade
pembekuan darah. Akibatnya adalah terbentuknya fibrin di aliran darah. Sebagian
besar dapat dipecah secara langsung oleh sistem fibrinolitik tubuh. Segera, dan
terkadang antara 30 menit setelah gigitan, tingkat faktor pembekuan darah menjadi

sangan rendah (koagulopati konsumtif) sehingga darah tidak dapat membeku.


Haemorrhagins (zinc metalloproteinase) dapat merusak endotel yang meliputi
pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan sistemik spontan (spontaneous

systemic haemorrhage).
Racun sitolitik atau nekrotik mencerna hidrolase (enzim proteolitik dan
fosfolipase A) racun polipentida dan faktor lainnya yang meningkatkan permeabilitas
membran sel dan menyebabkan pembengkakan setempat. Racun ini juga dapat

menghancurkan membran sel dan jaringan.


Phospholipase A2 haemolitik and myolitik ennzim ini dapat menghancurkan

membran sel, endotel, otot lurik, syaraf serta sel darah merah.
Phospolipase A2 Neurotoxin pre-synaptik (Elapidae dan beberapa Viperidae)
merupakan phospholipases A2 yang merusak ujung syaraf, pada awalnya melepaskan

transmiter asetilkolin lalu meningkatkan pelepasannya.


Post-synaptic neurotoxins (Elapidae) polipeptida ini bersaing dengan asetilkolin
untuk mendapat reseptor di neuromuscular junction dan menyebabkan paralisis yang
mirip seperti paralisis kuraonium2
Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase,

5 nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim


ini menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan

hemolisis atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis. Hialuronidase


merusak bahan dasar sel sehingga memudahkan penyebaran racun4.

4 Patofisiologi gigitan ular berbisa


Bisa ular diproduksi dan disimpan dalam sepasang kelenjar yang berada di
bawah mata. Bisa dikeluarkan dari taring berongga yang terletak di rahang atasnya.
Taring ular dapat tumbuh hingga 20 mm pada rattlesnake besar. Dosis bisa ular tiap
gigitan bergantung pada waktu yang terlewati sejak gigitan pertama, derajat ancaman
yang diterima ular, serta ukuran mangsanya. Lubang hidung merespon terhadap emisi
panas dari mangsa, yang dapat memungkinkan ular untuk mengubah jumlah bisa yang
dikeluarkan.
Bisa biasanya berupa cairan. Protein enzimatik pada bisa menyalurkan bahanbahan penghancurnya. Protease, kolagenase, dan arginin ester hidrolase telah
diidentifikasi pada bisa pit viper. Efek lokal dari bisa ular merupakan penanda
potensial untuk kerusakan sistemik dari fungsi sistem organ. Salah satu efeknya
adalah perdarahan lokal, koagulopati biasanya tidak terjadi saat venomasi. Efek
lainnya, berupa edema lokal, meningkatkan kebocoran kapiler dan cairan interstitial di
paru-paru.
Mekanisme pulmoner dapat berubah secara signifikan. Efek akhirnya berupa
kematian sel yang dapat meningkatkan konsentrasi asam laktat sekunder terhadap
perubahan status volume dan membutuhkan peningkatan minute ventilasi. Efek
blokade neuromuskuler dapat menyebabkan perburukan pergerakan diafragma. Gagal
jantung dapat disebabkan oleh asidosis dan hipotensi. Myonekrosis disebabkan oleh
myoglobinuria dan gangguan ginjal5

5 Tanda dan gejala gigitan ular


Gigitan Viporidae/Crotalidae (misalnya ular tanah, ular hijau, ular bandotan
puspo)

Gejala lokal timbul dalam 15 menit, setelah beberapa jam berupa bengkak di dekat
gigitan yang menyebar ke seluruh anggota tubuh.

Gejala sistemik muncul setelah 5 menit atau setelah beberapa jam

Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam waktu 2
jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.

Gambar 2. Gejala Umum Gigitan Ular (Sumber : www.doctorsecret.com)

6 .Tatalaksana
Langkah-langkah yang harus diikuti pada penatalaksanaan gigitan ular adalah3
1

Pertolongan pertama, harus dilaksanakan secepatnya setelah terjadi gigitan ular


sebelum korban dibawa ke rumah sakit. Hal ini dapat dilakukan oleh korban sendiri
atau orang lain yang ada di tempat kejadian. Tujuan pertolongan pertama adalah untuk
menghambat penyerapan bisa, mempertahankan hidup korban dan menghindari
komplikasi sebelum mendapatkan perawatan medis di rumah sakit serta mengawasi
gejala dini yang membahayakan. Langkah-langkah pertolongan yang dilakukan
adalah menenangkan korban yang cemas; imobilisasi (membuat tidak bergerak)
bagian tubuh yang tergigit dengan cara mengikat atau menyangga dengan kayu agar
tidak terjadi kontraksi otot, karena pergerakan atau kontraksi otot dapat meningkatkan
penyerapan bisa ke dalam aliran darah dan getah bening; pertimbangkan pressureimmobilisation pada gigitan Elapidae; hindari gangguan terhadap luka gigitan karena
dapat meningkatkan penyerapan bisa dan menimbulkan pendarahan lokal.

Gambar 6. Metode pressure-immobilisation pada gigitan Elapidae1


2

Korban harus segera dibawa ke rumah sakit secepatnya, dengan cara yang aman dan
senyaman mungkin. Hindari pergerakan atau kontraksi otot untuk mencegah
peningkatan penyerapan bisa.Pasien diposisikan miring (recovery posotion) bila ia
muntah dalam perjalanan

Terapi yang dianjurkan meliputi:


a. Bersihkan bagian yang terluka dengan cairan faal atau air steril.
b. Untuk efek lokal dianjurkan imobilisasi menggunakan perban katun elastis dengan
lebar + 10 cm, panjang 45 m, yang dibalutkan kuat di sekeliling bagian tubuh yang
tergigit, mulai dari ujung jari kaki sampai bagian yang terdekat dengan gigitan.
Bungkus rapat dengan perban seperti membungkus kaki yang terkilir, tetapi ikatan
jangan terlalu kencang agar aliran darah tidak terganggu. Penggunaan torniket tidak
dianjurkan karena dapat mengganggu aliran darah dan pelepasan torniket dapat
menyebabkan efek sistemik yang lebih berat.
c. Pemberian tindakan pendukung berupa stabilisasi yang meliputi penatalaksanaan
jalan nafas; penatalaksanaan resusitasi perlu dilaksanakan bila kondisi klinis korban
berupa hipotensi berat dan shock, shock perdarahan, kelumpuhan saraf pernafasan,
kondisi yang tiba-tiba memburuk akibat terlepasnya penekanan perban, hiperkalaemia
akibat rusaknya otot rangka, serta kerusakan ginjal dan komplikasi nekrosis lokal.
d. Pemberian suntikan antitetanus, bila korban pernah mendapatkan toksoid maka
diberikan satu dosis toksoid tetanus.
e. Pemberian suntikan penisilin kristal sebanyak 2 juta unit secara intramuskular.
f. Pemberian analgesik untuk menghilangkan nyeri.
g. Pemberian serum antibisa.

6 Serum Antibisa Ular


Gunannya untuk pengobatan terhadap gigitan ular berbisa. Serum anti bisa ular
merupakan serum polivalen yang dimurnikan dan dipekatkan, berasal dari plasma kuda
yang dikebalkan terhadap bisa ular yang mempunyai efek neurotoksik dan hematotoksik,
yang kebanyakan ada di Indonesia.
Kandungan Serum Anti Bisa Ular
Tiap ml dapat menetralisasi :
Bisa ular Ankystrodon rhodosoma 10-50 LD50
Bisa ular Bungarus fascinatus 25-50 LD50
Bisa Ular Naya sputatrix 25-50 LD50
Mengandung Fenol 0,25% sebagai pengawet
Cara Penyimpanan Serum Anti Bisa Ular
Penyimpanan serum antibisa ular adalah pada suhu 20-80 C dengan waktu kadaluwarsa 2
tahun.
Cara Pemakaian Serum Anti Bisa Ular
Pemilihan antibisa ular tergantung dari spesies ular yang menggigit. Dosis yang tepat
untuk ditentukan karena tergantung dari jumlah bisa ular yang masuk peredaran darah dan

keadaan korban sewaktu menerima anti serum. Dosis pertama sebanyak 2 vial @5 ml sebagai
larutan 2% dalam NaCl dapat diberikan sebagai infus dengan kecepatan 40-80 tetes per
menit, lalu diulang setiap 6 jam. Apabila diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak berkurang
atau bertambah) antiserum dapat diberikan setiap 24 jam sampai maksimal (80-100 ml).
Antiserum yang tidak diencerkan dapat diberikan langsusng sebagai suntikan intravena
dengan sangat perlahan-lahan. Dosis untuk anak-anak sama atau lebih besar daripada dosis
untuk dewasa.Cara lain adalah dengan menyuntikkan 2,5 ml secara infiltrasi di sekitar luka,
2,5 ml diinjeksikan secara intravena. Pada kasus berat dapat diberikan dosis yang lebih tinggi.
Penderita harus diamati selama 24 jam.
Efek Samping Serum Anti Bisa Ular
Meskipun pemberian antiserum akan menimbulkan kekebalan pasif dan memberikan
perlindungan untuk jangka waktu pendek, tapi pemberiannya harus hari-hati, mengingat
kemungkinan terjadinya reaksi sampingan yang dapat berupa :
1 Reaksi anafilaktik (anaphylactic shock)
Dapat timbul dengan segera atau beberapa jam setelah suntikan
2 Penyakit serum (serum sickness)
Dapat timbul 7-10 hari setelah suntikan dan dapat berupa kenaikan suhu, gatal-gatal,
sesak nafas dan lain-lain gejala alergi. Reaksi ini jarang timbul bila digunakan serum
3
4

yang sudah dimurnikan


Kenaikan suhu (demam) dengan menggigil
Biasanya timbul setelah pemberian serum secara intravena
Rasa nyeri pada tempat suantikan
Biasanya timbul pada penyuntikan serum dengan jumlah besar reaksi ini terjadi dalam
pemberian 24 jam.

Hal-hal yang harus diperhatikan bila akan menyuntik serum


1
2

Siapkan alat suntik, adrenalin 1:1000, sediakan kortikosteroid dan antihistamin


Jangan menyuntik serum dalam keadaan dingin, yang baru dikeluarkan dari lemari es,
apalagi dalam jumlah besar. Hangatkan lebih dahulu hingga suhunya sama dengan

3
4

suhu badan
Waktu disuntik penderita harus dalam keadaan relax
Penyuntikan harus perlahan-lahan, sesudahnya amati penderita paling sedikit 30 menit

Tes hipersentivitas subkutan


Untuk mengetahui apakah serum dapat diberikan kepada seseorang, terlebih dahulu
harus dilakukan tes hipersensitifitas subkutan sebagai berikut :
Suntikan 0,2 ml serum encerkan 1: 10, subkutan dan amati 30 menit.

Bila timbul reaksi : serum jangan diberikan.


Reaksi yang mungkin timbul dapat berupa tanda-tanda reaksi anafilaktik yang dini
seperti pucat, kepala pusing, perasaan panas, batuk-batuk, kenaikan suhu, mual atau
muntah-muntah, pembengkakan lidah atau bibir, denyut nadi cepat, tekanan darah
menurun, gatal-gatal, rasa tidak nyaman di perut, sesak nafas, kesadaran menurun
atau kejang. Reaksi tersebut biasanya ringan dan mudah diatasi dengan adrenalin

1:1000.
Bila tidak timbul reaksi : suntikkan serum yang tidak diencerkan 0,2 ml subkutan dan

amati selama 30 menit.


Bila timbul reaksi : serum jangan diberikan
Bila tidak timbul reaksi, suntikkan serum dalam dosis penuh secara perlahan-lahan
dan amati 30 menit.

Syarat-syarat pemberian serum secara intravena


1 Pada penderita harus dilakukan tes hipersensitivitas subkutan lebih dahulu, kemudian
dicoba dengan suntikan intravena.
2 Pemberiannya harus perlahan-lahan, dan siapkan adrenalin 1:1000.
3 Setelah dsuntik intravena penderita harus diamati sedikitnya selama satu jam
Tindakan terhadap reaksi sampingan
1 Reaksi anafilaktik (anaphyilactic shock)
Penderita harus dibaringkan dengan kepala lebih rendah, jangan diberi selimut atau
botol berisi air panas. Suntikkan 0,3-0,5 ml adrenalin 1:1000 intramuskuler.
Periksa tekanan darah secara teratur. Bila tekanan darah tetap rendah, beri lagi 0,3-0,5

adrenalin 1:100 intravena, bila perlu sediaan kortikosteroid intramuskuler.


Bila keadaan belum teratasi, segera kirim ke rumah sakit.
Penyakit serum (serum sickness)
Beri antihistamin selama beberapa hari dan penderita sebaiknya istirahat. Bila sangat

mengganggu dapat diberikan sediaan kortikosteroid.


Kenaikan suhu (demam) dengan menggigil
Keadaaan ini tidak memerlukan tindakan apa-apa, karena akan cepat menghilang

dalam 24 jam.
Rasa nyeri pada tempat suntikan
Keadaan ini tidak memerlukan tindakan apa-apa, karena akan menghilang dengan
sendirinya.

INDIKASI PEMBERIAN SERUM ANTI BISA ULAR1 :


Pemberian serum anti bisa ular direkomendasikan bila dan saat pasien terbukti atau
dicurigai mengalami gigitan ular berbisa dengan munculnya satu atau lebih tanda berikut :

Gejala venerasi sistemik


a

Kelainan hemostatik : perdarahan spontan (klinis), koagulopati, atau


trombositopenia.

Gejala neurotoksik : ptosis, oftalmoplegia eksternal, paralisis, dan lainnya.

Kelainan kardiovaskuler : hipotensi, syok, arritmia (klinis), kelainan EKG.

Cidera ginjal akut (gagal ginjal) : oligouria/anuria (klinis), peningkatan


kreatinin/urea urin (hasil laboratorium). Hemoglobinuria/mioglobinuria : urin
coklat gelap (klinis), dipstik urin atau bukti lain akan adanya hemolisis
intravaskuler atatu rabdomiolisis generalisata (nyeri otot, hiperkalemia) (klinis,
hasil laboratorium). Serta adanya bukti laboratorium lainnya terhadap tanda
venerasi.

Gejala venerasi lokal :


Pembengkakan lokal yang melibatkan lebih dari separuh bagian tubuh yang terkena

gigitan (tanpa adanya turniket) dalam 48 jam setelah gigitan. Pembengkakan setelah
tergigit pada jari-jari. Pembengkakan yang meluas dan pembesaran kelenjar getah bening
pada kelenjar getah bening pada ekstremitas yang terkena gigitan.
Pemberian anti bisa ular dapat menggunakan pedoman dari Parrish, seperti tabel di
bawah ini :
Derajat
0
I
II

Venerasi
0
+/+

Luka gigit
+
+
+

Nyeri
+/+
+++

III

++

+++

IV

+++

+++

Udem/eritema
<3cm/12 jam
<3cm/12 jam
>12cm25cm/12jam
>25cm/12jam
Pada satu
ekstremitas

Tanda sistemik
0
0
+. Neurotoksik, mual,
pusing, syok
++,syok,
petekie,ekimosis
++, gangguan faal
ginjal, koma,

secara
menyeluruh

perdarahan

Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way 6:

Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam, jika derajat
meningkat maka diberikan SABU

Derajat II: 3-4 vial SABU

Derajat III: 5-15 vial SABU

Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU

PEMBERIAN SABU (SERUM ANTI BISA ULAR)


Derajat parrish
0-1
2
3-4

SABU (serum antibisa ular)


Tidak perlu
5-20 cc
40-100 cc

Anti bisa ular harus diberikan segera setelah memenuhi indikasi. Anti bisa ular dapat
melawan envenomasi (keracunan) sistemik walaupun gejala telah menetap selama beberapa
hari, atau pada kasus kelainan haemostasis, yang dapat belangsung dua minggu atau lebih.
Untuk itu, pemberian anti bisa tepat diberikan selama terdapat bukti terjadi koagulopati
persisten.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium :
1

Penghitungan jumlah sel darah

Pro trombine time dan activated partial tromboplastin time

Fibrinogen dan produk pemisahan darah

Tipe dan jenis golongan darah

Kimia darah, termasuk elektrolit, BUN dan Kreatinin

Urinalisis untuk myoglobinuria

Analisis gas darah untuk pasien dengan gejala sistemik

8 Penatalaksanaan
DIAGRAM PENANGANAN GIGITAN ULAR
PASIEN DG RIWAYAT
GIGITAN ULAR

PERTOLONGAN PERTAMA:
- TENANGKAN PASIEN
- IMMOBILISASI DAERAH GIGITAN
- TRANSPOR PASIEN KE RS
YA
TIDA
K
TIDA
K

YA

ULAR DIBAWA KE
TIDA
RS
K

TERDAPAT
TANDA
ENVENOMASI
(KERACUNAN)

TIDA
K
RAWAT

OBSERVASI* DI
RS SELAMA 24
JAM

YA

YA
TIDA
K

TERDAPAT TANDA DIAGNOSTIK


DARI ENVENOMASI
(KERACUNAN) ULAR YANG
UMUM BERADA DI AREA
GEOGRAFIS YANG SAMA

TERDAPAT TANDA
ENVENOMASI
((KERACUNAN)
TANDA MEMENUHI
KRITERIA
PEMBERIAN
ANTIBISA

TANDA MEMENUHI
KRITERIA
PEMBERIAN
ANTIBISA1
TIDA
K

YA

TERSEDIA
ANTIBISA
MONOSPESIFIK /
POLISPESIFIK

YA

OBSERVASI* DI
RS SELAMA 24
JAM

BERIKAN
ANTIBISA
POLISPESIFIK
UNTUK SPESIES
ULAR YANG
BERADA DI AREA
forGEOGRAFIS
The Clinical

Disadur dari WHO Guidelines


Management of Snake Bite in The South East
Asia Region 2005OBSERVASI* DI
RAWAT

RS

TIDA

YA

YA

TIDA
K

RAWAT

ULAR DAPAT
TERIDENTIFIKASI

YA

BERIKAN
ANTIBISA
MONOSPESIFIK /
POLISPESIFIK

ULAR
DITETAPKAN
TIDAK BERBISA

YA

RAWAT

TENANGKAN KORBAN,
BERI SERUM
ANTITETANUS,
PULANGKAN KORBAN

TIDA
K

RAWAT

OBSERVASI* DI
RS SELAMA 24
JAM

TIDA
K
RAWAT

TERAPI
KONSERVATIF**

LIHAT RESPON2
ULANGI DOSIS INISIASI
ADA PERBAIKAN :
TANDA
TIDAK ADA PERBAIKAN :
ANTIBISA (MAX 80-100
OBSERVASI*
DI RS
ENVENOMASI RUJUK YA
RAWAT
SEGERA
ml)

CARA PENYUNTIKAN SERUM ANTIBISA ULAR

injeksi 0,2 ml serum


encerkan 1: 10
(subkutan)
Amati 30 menit
Reaksi
hipersensitivitas (+)
Injeksi adrenalin
1:1000

Reaksi
hipersensitivitas (-)
Injeksi serum yang
tidak diencerkan 0,2 ml
(subkutan)
Amati 30 menit

Reaksi
hipersensitivitas (+)

Reaksi
hipersensitivitas (-)

Serum jangan
diberikan

suntikkan serum dalam


dosis penuh secara
perlahan-lahan

KETERANGAN :
Reaksi Hipersensitivitas (anafilaktik) dini : pucat, kepala pusing,
perasaan panas, batuk-batuk, kenaikan suhu, mual atau muntahmuntah, pembengkakan lidah atau bibir, denyut nadi cepat,
tekanan darah menurun, gatal-gatal, rasa tidak nyaman di perut,
sesak nafas, kesadaran menurun atau kejang

Amati respon
terhadap serum
antibisa ular

(Disadur dari Serum Anti Bisa Ular Biofarma, Bandung)

KRITERIA PENGULANGAN DOSIS INISIASI ANTI BISA ULAR :


a

Koagulopati menetap atau berulang setelah 6 jam atau perdarahan setelah 1-2 jam,
terdapat perburukan gejala neurotoksik atau gejala kardiovaskuler setelah 1-2 jam.

Bila darah tetap tidak koagulasi, 6 jam setelah pemberian dosis awal antibisa, dosis
yang sama harus diulang. Hal ini berdasarkan observasi bahwa, bila dosis besar
antibisa diberikan (lebih dari cukup untuk menetralisasi enzim pro koagulan bisa ular)
diberikan pada awal, waktu yang dibutuhkan oleh hepar untuk memperbaiki tingkat
koagulasi fibrinogen dan faktor pembekuan lainnya adalah 3-9 jam.

Pada pasien yang tetap mengalami perdarahan cepat, dosis antibisa harus diulang
antara 1-2 jam.

Pada kasus perburukan gejala neurotoksik atau gejala kardiovaskuler, dosis awal
antibisa harus diulang setelah 1-2 jam dan perawatan pendukung harus dipertimbangkan
OBSERVASI

Keadaan umum dan vital sign, tanda envenomasi (keracunan) bisa ular, pemeriksaan
penunjang. Untuk kasus gigitan kering (bisa tidak diinjeksikan) dari ular viper,
observasi di Instalasi gawat Darurat selama 8-10 jam, dilanjutkan observasi di
ruangan

Pasien dengan tanda envenomasi (keracunan) yang berat membutuhkan perawatan


khusus di ICU untuk pemberian produk-produk darah, menyediakan monitoring yang
invasif, dan memastikan proteksi jalan nafas.

Observasi untuk gigitan ular koral minimal selama 24 jam.

Evaluasi serial untuk penderajatan lebih lanjut dan untuk menyingkirkan sindroma
kompartemen.
- Ukur tekanan kompartemen setiap 30-120 menit.
- Fasciotomi diindikasikan untuk tekanan yang lebih dari 30-40 mmHg. Tergantung
dari derajat keparahan gigitan, pemeriksaan darah lebih lanjut mungkin dibutuhkan,
seperti waktu pembekuan darah, jumlah trombosit, dan level fibrinogen

** PERAWATAN KONSERVATIF
1

Bed rest

Perawatan luka dengan iodine, hibitane

Akses intravena (cairan dan obat-obatan)

Pemberian obat-obatan sedatif (Diazepam, Promethazine)

Pemberian obat-obatan analgesik (ASA, Paracetamol, Ibuprofen, Indomethacin,


Petidine)

Pemerian Antibiotika profilaksis (PPF, Amoxicillin, Ampicillin, Gentamicin)

Pemberian toxoid Tetanus

Pemberian Steroid (Hidrocortison, Dexamethasone)

Komplikasi
Sindrom kompartemen adalah komplikasi tersering dari gigitan ular. Komplikasi luka
lokal dapat meliputi infeksi dan hilangnya kulit. Komplikasi kardiovaskuler, komplikasi
hematologis, dan kolaps paru dapat terjadi. Jarang terjadi kematian. Anak-anak
mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadinya kematian atau komplikasi serius karena

ukuran tubuh mereka yang lebih kecil. Perpanjangan blokade neuromuskuler timbul dari
envenomasi ular koral.
Komplikasi yang terkait dengan antivenin termasuk reaksi hipersensitivitas tipe cepat
(anafilaksis, tipe I) dan tipe lambat (serum sickness, tipe III). Anafilaksis terjadi
dimediasi oleh immunoglobulin E (IgE), berkaitan dengan degranulasi sel mast yang
dapat berakibat laryngospasme, vasodilatasi, dan kebocoran kapiler. Kematian umumnya
pada korban tanpa intervensi farmakologis. Serum sickness dengan gejala demam, sakit
kepala, bersin, pembengkakan kelenjar lymph, dan penurunan daya tahan, muncul 1 2
minggu setelah pemberian antivenin. Presipitasi dari kompleks antigen-immunoglobulin
G (IgG) pada kulit, sendi, dan ginjal bertanggung jawab atas timbulnya arthralgia,
urtikaria, dan glomerulonephritis (jarang). Biasanya lebih dari 8 vial antivenin harus
diberikan pada sindrom ini. Terapi suportif terdiri dari antihistamin dan steroid4.
PROGNOSIS GIGITAN ULAR
Meskipun kebanyakan korban gigitan ular berbisa dapat tertolong dengan baik,
memprediksi prognosis pada tiap kasus individu dapat menjadi sulit. Jika tergigit oleh
ular tidak berbisa, korban akan pulih. Komplikasi yang mungkin dari gigitan ular tak
berbisa meliputi gigi yang tertahan pada luka gigitan atau infeksi luka.
Tidak semua gigitan oleh ular berbisa menghasilkan racun berbisa. Pada lebih dari
20% gigitan oleh rattlesnake dan moccasin, sebagai contoh, tidak ada bisa yang
disuntikan. Hal ini disebut gigitan kering yang bahkan lebih umum pada gigitan yang
diakibatkan oleh elapid. Gigitan kering (tanpa injeksi bisa ular) memiliki komplikasi
yang sama dengan gigitan ular tidak berbisa.
Seorang korban yang masih sangat muda, tua, atau memiliki penyakit sistemik lain
sebagian besar tidak mampu mentoleransi jumlah injeksi bisa yang sama dengan orang
dewasa yang sehat. Ketersediaan perawatan medis darurat dan, yang paling penting,
antibisa ular, dapat mempengaruhi bagaimana keadaan korban.

Daftar Pustaka
1

SMF Bedah RSUD DR. R.M. Djoelham Binjai. 2000. Gigitan Hewan. Availabke

from : www.scribd.com/doc/81272637/Gigitan-Hewan
WHO. 2005. Guidelines for The Clinical Management of Snake Bite in The South

East Asia Region.


Sentra Informasi Keracunan Nasional Badan POM, 2012. Penatalaksanaan
Keracunan Akibat Gigitan Ular Berbisa. Available from : www.pom.id

Hafid, Abdul, dkk., 1997. Bab 2 : Luka, Trauma, Syok, Bencana : Gigitan Ular. Buku

Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC : Jakarta. Hal. 99-100


Daley, Brian James MD. 2010. Snake bite : patophysiology. Available from :

http://emedicine.medscape.com/article/168828-overview#a0104
Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM
Depkes RI. Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.

Anda mungkin juga menyukai