Anda di halaman 1dari 25

PRESENTASI KASUS

SNAKE BITE DERAJAD 0


AD REGIO DIGITI I PEDIS DEXTRA
(Kasus Medik)

Disusun oleh:
dr. Kukuh Setyopambudi

Pembimbing:
dr. Imam Prasetyo
dr. Siti Hanah

RSUD KAJEN
KABUPATEN PEKALONGAN
2018

1
KASUS 4
Topik: Snake bite derajat 0
Tanggal (Kasus) : Desember 2018 Presenter : dr. Kukuh Setyopambudi
Tanggal Presentasi : Pendamping : dr. Imam Prasetyo
dr. Siti Hanah
Tempat Presentasi : RSUD Kajen
Objektif Presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran
Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah
Istimewa
Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Neonatus
Deskripsi : Wanita, 49 tahun, gigitan ular derajat 0
Tujuan : Tatalaksana gigitan ular
Bahan Tinjauan Riset Kasus Audit
Bahasan : Pustaka
Cara membahas Diskusi Presentasi dan Email Pos
diskusi

Data Nama : Ny.W Umur : 49 tahun Pekerjaan : IRT No. Reg :


Pasien: Alamat : Kebon Agung Agama : Islam Bangsa :
Indonesia
Nama RS: RSUD Kajen Telp : Terdaftar sejak :
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Diagnosis / Gambaran Klinis: Snake bite derajat 0 (Klasifikasi Schwatz) ad
regio digiti I pedis dextra/ Keadaan umum : tampak sakit sedang.
2. Riwayat Pengobatan : -
3. Riwayat Kesehatan / Penyakit :
Sejak 2 jam SMRS os sedang membersihkan halaman rumah, tiba-tiba
digigit ular di kaki sebelah kanan. Os mengatakan bahwa ular berukuran kecil,
bentuk kepala segiempat dan mempunyai taring (os tidak ingat corak ular
tersebut). Os merasa nyeri pada jempol kakinya, os lalu membalut kaki kananya,
lalu os datang ke IGD RSUD Kajen .

4. Riwayat Keluarga : -
5. Riwayat Pekerjaan : pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga.
6. Lain-lain :

2
Riwayat kencing manis disangkal
Riwayat darah tinggi disangkal
Riwayat sakit kuning disangkal.
Riwayat penyakit infeksi lainnya disangkal.
7. Riwayat kebiasaan

 Pasien mengatur pola makan dengan baik.


 Penderita sering makan sayur, buah dan minum air putih.
 Penderita rutin olahraga.

Hasil Pembelajaran
1. Diagnosis gigitan ular derajat 0 ad regio digiti I pedis sinistra
2. Mekanisme terjadinya gejala lokal maupun sistemik akibat gigitan ular
3. Edukasi pada keluarga mengenai penanganan awal gigitan ular
4. Langkah-Langkah Penatalaksanaan gigitan ular
5. Motivasi kepatuhan pencegahan berulang
1. Subjektif :
Sejak 2 jam SMRS os sedang bekerja membersihkan rumah, tiba-tiba
digigit ular di jempol kaki kanan. Os mengatakan bahwa ular berukuran kecil,
bentuk kepala segiempat dan mempunyai taring (os tidak ingat corak ular
tersebut). Os merasa nyeri pada kakinya, os lalu membalut kaki kanannya, lalu os
datang ke IGD RSUD Kajen. Dari keluhan berupa rasa nyeri yang dirasakan
pasien sesaat setelah digigit oleh ular, kita dapat menilai bahwa timbul gejala
lokal di area gigitan tersebut.

2. Objektif :
Dari hasil pemeriksaan fisik dapat ditegakkan diagnosis gigitan ular derajat 0
Gejala Klinis :
Pasien mengaku digigit ular pada bagian jempol kaki kanannya 2 jam sebelum
masuk rumah sakit. pasien merasakan nyeri pada kanan, namun tidak merasa
kakinya bengkak. Pasien juga menyangkal timbul gejala berupa kepala pusing,
mual, muntah, serta lemas.

Pemeriksaan Fisik :
Keadaan Umum

3
Keadaan sakit : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis, GCS 15 E4M6V5
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Nadi : 90 kali per menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernafasan : 20 kali per menit, thoracoabdominal
Suhu : 36,7o C (aksila)
Status generalisata
o Kepala :
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), Pupil isokor,
RC (+/+) Ø 3mm/3mm.
Hidung : Nafas cuping hidung (-/-)
Mulut : Gurgling (-), Snoring (-) , atrofi papil lidah (-)

o Leher : JVP(5-2) mmHg, pembesaran KGB (-), kaku kuduk (-)

o Thorak : Bentuk dada normal, retraksi (-), nyeri tekan (-), nyeri ketok(-)
krepitasi (-), penggunaan otot bantu nafas (-)
Paru
Inspeksi : Statis simetris kanan dan kiri, dinamis kanan = kiri, tidak
ada yang tertinggal
Palpasi : Stemfremitus kanan=kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi: Vesikuler (+) normal kanan = kiri, ronkhi (-) kedua
paru, wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba linea axilaris anterior sinistra ICS VI
Perkusi : batas atas ICS II, batas kanan linea parasternalis dextra,
batas kiri linea axilaris anterior sinistra ICSVI
Auskultasi :HR 79 x/menit, reguler, Bunyi Jantung I dan II normal,
Murmur (-), Gallop (-)
o Abdomen
Inspeksi : datar, scar (-)
Palpasi : lemas, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba,lien tidak teraba.

4
Auskultasi: bising usus (+) normal
Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
o Genital (Tidak diperiksa)
o Ekstremitas
Ekstremitas atas : Edema (-/-), jaringan parut (-),
pigmentasi normal, telapak tangan pucat (-), jari
tabuh (-), turgor < 2 detik, sianosis (-).
Ekstremitas bawah : ad regio maleolus dextra tampak luka gigitan
yang sangat halus dan kecil. edema (-), eritema (+) 1cm,darah aktif (-)

Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan darah rutin
Hemoglobin : 14,0 (dbn) Eritrosit 4,3 juta sel (dbn)
Hematokrit 43 vol % (dbn) Leukosit 8500/ mm3 (dbn)
Trombosit 310.000 (dbn).
Pemeriksaan kimia darah
GDS : 130 mg/dl Kolesterol : 180 mg/dl
As.Urat : 5.0 mg/dl

3. Assessment :
Seorang wanita berusia 49 tahun datang dengan keluhan digigit ular di kaki kanan
sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien hanya mengeluh nyeri pada kaki
kananya. Pasien tidak mengeluh kaki kanannya bengkak, pusing, mual dan
muntah. Pasien mengaku ular yang menggigit ular berukuran kecil, corak tidak
ingat, bentuk kepala segiempat dan mempunyai taring yang kecil.
Luka akibat gigitan ular dapat berasal dari gigitan ular tidak berbisa maupun
gigitan ular berbisa. Umumnya ular mengigit pada saat ia aktif, yaitu pada pagi
dan sore hari, apabila ia merasa terancam atau diganggu.
Dari kriteria ular yang disebutkan pasien yaitu berukuran kecil, bentuk kepala

5
segiempat dan mempunyai taring, kita dapat sedikit memprediksi jenis ular
tersebut. Untuk menduga jenis ular yang mengigit adalah ular berbisa atau ular
tidak berbisa dapat dipakai rambu-rambu bertolak dari bentuk kepala ular dan luka
bekas gigitan ular sebagai berikut:
ciri ular berbisa : 1) bentuk kepala segi empat panjang, 2) Gigi taring kecil, 3)
bekas gigitan: luka halus berbentuk lengkungan
ciri ular tidak berbisa: 1) kepala segitiga, 2} dua gigi taring besar di rahang atas,
3) dua luka gigitan utama akibat gigi taring.
Dari yang telah disebutkan oleh pasien, kita dapat asumsikan bahwa ular tersebut
kemungkinan besar ialah ular yang berbisa.
Kemudian, kita tinjau dari keluhan yang pasien sebutkan, yaitu nyeri pada luka
gigitan. Hal ini merupakan gejala lokal yang timbul dalam waktu 30 menit hingga
24 jam setelah gigitan ular. Pasien menyangkal adanya gejala sistemik berupa
keluhan berupa kelemahan otot, berkeringat, menggigil, mual, banyak
mengeluarkan air liur, muntah, sakit kepala, dan pandangan kabur.
Dari pemeriksaan fisik, kesadaran pasien masih baik yaitu compos mentis, tanda –
tanda vital pasien dalam batas normal. Pada pemeriksaan status generalisata, tidak
terdapat tanda – tanda perdarahan yang merupakan salah satu gejala khusus
gigitan ular yaitu gejala hematotoksik. Pada pemeriksaan juga tidak ditemukan
adanya hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernafasan, ptosis, oftalmoplegi
dan paralisa otot laring yang merupakan gejala neurotoksik.
Pemeriksaan lokal pada lokasi luka yang ditemukan ialah pada ad regio maleolus
dextra tampak luka gigitan yang sangat halus dan kecil. edema (-), eritema
(+) 1 cm, darah aktif (-). Menurut klasifikasi Schwartz (Depkes,2001), gigitan
ulat tersebut masuk dalam derajat 0.
Berikut merupakan klasifikasi gigitan ular menurut Schwartz (Depkes,2001).
Deraja Venerasi Luka Nyeri Edema / Sistemik
t Eritema

6
0 0 + +/- < 3 Jam / 12 0
jam

I +/- + - 3-12 jam / 12 0


jam

II + + +++ >12-25 cm / 12 + neurotoksik,

jam mual, pusing,


syok

III + + +++ >25 jam / 12 ++ ptekhiae,


jam syok, ekhimosis

IV +++ + +++ ++ gagal ginjal


> ekstrimitas
akut, koma,
perdarahan.

dikarenakan dari klasifikasi Schwartz yang didapatkan ialah derajat 0, maka tidak
memerlukan terapi anti bisa ular, namun kondisi pasien harus dipantau 12 jam
kedepan karena efek dari bisa ular dapat berkembang hingga 12 jam kedepan.

4. Plan :

Diagnosis : Snake Bite Derajat 0 ad regio digiti I pedis dextra

Penatalaksanaan :
Non farmakologi :
- edukasi pasien dan keluarga pasien mengenai kondisi pasien
- cuci luka
- EKG
- Periksa laboratorium darah rutin pasien
- pantau perkembangan gigitan luka dan gejala sistemik selama 12 jam
kedepan.

7
Farmakologi :
- IVFD D5% + ABU 20tpm
- Injeksi cefotaxim 2 x 1 gram (iv)
- injeksi ketorolac 3 x 1 ampul (iv)
- injeksi ranitidine 3 x 1 ampul (iv)
- injeksi deksamethason 2 x 1 ampul (iv)

Prognosis
Vitam : dubia ad bonam
Functionam : dubia ad bonam
Edukasi keluarga :
1. Menjelaskan kepada keluarga pasien mengenai penyakit dan tatalaksana
yang akan diberikan
2. Memberikan penjelasan kepada keluarga pasien mengenai kondisi klinis
pasien jika penyakit pasien terulang kembali dan tanda-tanda yang
mengharuskan pasien dibawa secepatnya kerumah sakit.

Edukasi pasien : Jika bekerja melewati hutan dan kebun sebaiknya memakan
sepatu dan celana berkulit sampai sebatas paha, hindari berjalan pada malam hari
terutama pada daerah berumput dan bersemak,
Konsultasi : Jika terjadi komplikasi lebih lanjut, pasien dirujuk ke penyakit dalam.

8
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Jenis Ular


Diagnosis dari spesies ular yang menggigit korban penting untuk diketahui.
Bisa dilakukan dengan mengidentifikasi ular yg sudah mati, ciri-cirinya atau dari
manifestasi klinis yang muncul.1 Dari 2500–3000 spesies ular yang tersebar di dunia
kira-kira ada 500 ular yang beracun. 3 Famili Viperidae (vipers, adders, pit vipers, and
mocassins), Elapidae (cobras, mambas, kraits, coral snakes, Australasian venomous
snakes, and sea snakes), Atractaspididae (burrowing asps) — memiliki kemampuan
untuk menyuntikkan bisa menggunakan gigi yang telah termodifikasi (taring). 2

Viperidae Elapidae Atractaspididae

Gambar 1 : Jenis-jenis ular berbisa

9
Gambar 2 : Spesies Ular berbisa di Indonesia
Kategori 1 : Ular berbisa yang tersebar luas dan mengakibatkan angka kesakitan,
kecacatan dan kematian yang tinggi
Kategori 2 : Ular berbisa yang mengakibatkan angka kesakitan, kecacatan dan
kematian yang tinggi tetapi berdasarkan data epidemiologi jarang terjadi karena
habitat dan perilaku ular yang jauh dari populasi manusia.
Bisa ular dihasilkan dan disimpan pada sepasang kelnjar di bawah mata dan
dihubungkan ke taring oleh Saluran racun menghubungkan kelenjar penghasil racun
sampai dasar taring (fang).

Gambar 3 : Anatomi kantong bisa ular dan saluran bisa

10
Sampai saat ini belum ada aturan baku untuk membedakan ular berbisa atau
tidak. Beberapa ular yang tidak berbisa telah berevolusi menyerupai ular beracun
begitu pula sebaliknya sehingga terlihat hampir sama. Meskipun dalam beberapa hal
ular berbisa memiliki ciri-ciri tertentu seperti ukuran dan bentuk tubuhnya, pola
kulitnya, perilaku dan suara jika dalam keadaan terancam. 1 Sebagai contoh ular jenis
kobra sudah dikenal luas akan menegakkan tubuhnya, menyemburkan racun dan
secara agresif mematuk lawannya jika dalam kondisi terancam.
Ular penghasil bisa (snake venom) berbahaya, bisa yang dikeluarkannya 90%
merupakan protein sisanya merupakan nonenzim seperti protein nontoksis yang
mengandung karbohidrat dan logam. Bisa tersebut mengandung lebih dari 20 macam
enzim yang berbeda termasuk phospholipases A2, B, C, D hydrolases, phosphatases
(asam sampai alkalis), proteases, esterases, acetylcholinesterase, transaminase,
hyaluronidase, phosphodiesterase, nucleotidase dan ATPase serta nucleosidases
(DNA & RNA).3

2.2 Bisa Ular


Beberapa enzim yang terkandung dalam bisa ular antara lain :
 Zinc metalloproteinase haemorrhagins: Merusak endotel vaskular,
mengakibatkan perdarahan.
 Procoagulant enzymes: Mengandung serine protease dan enzim prokoagulan
yang merupakan zat pengaktif faktor X, prothrombin dan faktor koagulan yang
menstimulasi pembekuan darah dengan membentuk benang fibrin pada aliran
darah. Ironisnya proses ini membuat darah menjadi sukar membeku karena
hampir semua fibrin rusak dan faktor-faktor pembekuan darah tersebuat akan
berkurang dalam waktu sekitar 30 menit setelah gigitan ular.
 Phospholipase A2 (lecithinase): Merusak mitokondria, Sel darah merah,
leukosit, platelet, saraf tepi, otot skeletal, endotel vaskular, dan membran-

11
membran lain, menghasilkan aktifitas neurotoksik di presinaps, dan memicu
pelepasan histamin dan antikoagulan.
 Acetylcholinesterase
 Hyaluronidase: meningkatkan penyebaran bisa ke seluruh jaringan.
 Enzim proteolitik : meningkatkan permeabilitas vaskular sehingga menybabkan
edema, munculnya bulla, lebam, dan nekrosis pada tempat gigitan. 1
Selain itu ada zat penyusun bisa ular yang bersifat neurotoksik post sinaps yaitu
α-bungarotoxin and cobrotoxin, yang terdiri atas 60-62 atau 66-74 asam aminio
dan subunit fosfolipase A yang melepaskan asetilkolin pada saraf tepi di
neuromuscular junction dan mencegah pelepasan neurotransmiter.

Peningkatan permeabilitas vaskular jika berlangsung terus menerus akan


mengakibatkan renjatan atau syok yang jika tidak tertangani dapat menyebabkan
kematian. Seringkali bisa ular bersifat neurotoksik yang menyebabkan
kelumpuhan (paralysis) dan terhentinya pernapasan, serta pengaruh kardiotoksik
menyebabkan denyut jantung berhenti juga berpengaruh kepada terjadinya
miotoksik.2

12
Tabel 1 : Protein pada bisa ular dan kepentingan klinis 1

2.3 Epidemiologi
Pada tahun 1998 angka kematian diperkirakan sekitar 125.000 dari 5 juta
kasus per tahun termasuk 100.000 kematian dari 2 juta kasus di Asia. 1 Di Amerika
dilaporkan 4000-7000 kasus gigitan ukar per tahun dengan rata-rata 4 kasus per
100.000 penduduk. Selama 5 tahun penelitian retrospektif dari sekitar 25 kasus
gigitan, 4 diantaranya memerlukan tindakan fasciotomi dan 2 memerlukan tandur
kulit dengan rasio laki-laki : perempuan = 9 : 1 Dan 50% sering terjadi pada umur 18-
28 tahun.5 Di Indonesia sendiri dilaporkan sekitar 20 kasus kematian dari ribuan
kasus gigitan ular per tahun.1

2.4 Patogenesis
2.4.1. Gangguan pembekuan darah
Umumnya ular berbisa, bisanya mengandung serine protease,
metaloproteinase yang mengganggu hemostasis dengan aktivasi atau menghambat
faktor koagulan atau platelet dan merusak endotel vaskular. Enzim dalam bisa ular
akan berikatan dengan reseptor platelet menginduksi atau menghambat agregasi
platelet. Enzim-enzim prokoagulan akan mengaktifkan protrombin, faktor V,X,XIII

13
dan pasminogen endogen. Kombinasi konsumsi aktivitas antikoagulan, terganggunya
jumlah dan fungsi platelet dan kerusakan dinding endotel pembuluh darah berakibat
perdarahan yang hebat pada pasien,
Penyakit pembekuan darah (koagulopati) ditandai defibrinasi yang berkaitan
dengan jumlah trombosit. Di samping itu dapat mengubah protrombin menjadi
trombin dan mengurangi faktor V,VII, protein C dan plasminogen.Tekanan di sistem
kardiovaskuler menyebabkan DIC atau tekanan di otot jantung. 2

2.4.2 Neurotoksik
Bisa ular yang bersifat neurotoksik akan menghambat eksitasi neuromuskular
junction perifer dengan berbagai cara. Sehingga gejala yang paling sering muncul
adalah mengantuk, menunjukkan bahwa ada kemungkinan pengaruh sedasi sentral
yang terkait dengan molekul kecil non protein yang terdapat dalam bisa ular king
cobra. Hampir sebagian besar neurotoksin akan mengakibatkan pamanjangan efek
dari asetilkolin, sehingga muncul gejala paralisis seperti ptosis, ophtalmoplegia
eksternal, midriasis, dan depresi jalan napas dan total flacid paralysis seperti pada
pasien dengan Myastenia Gravis. Selain itu ada pola paralisis desendens yang sulit
dijelaskan secara patofisiologinya.

14
Gambar 4 : Neuromuscular junction dan protein neurotoksik bisa ular

2.4.3 Hipotensi
Hipotensi yang terjadi pasca gigitan ular disebabkan karena banyak hal terkait
bisa ular itu sendiri. Ada beberapa faktor yang memepngaruhi permeabilitas
pembuluh darah sehingga terjadi ekstravasasi plasma ke jaringan interstisiel.
Selain itu zat-zat dalam bisa ular akan memiliki efek langsung maupun tidak
langsung terhadap otot jantung, otot polos dan jaringan lain. Melalui bradykinin-
potentiating peptide, efek hipotensif dari bradikinin akan semakin meningkat
dengan tidak aktifnya peptidyl peptidase yang berfungsi menghancurkan
bradikinin dan mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II. Penemuan
patofisiologi ini merupakan awal mula sintesis captopril dan ACE inhibitor lain.

2.5 Diagnosis
2.5.1 Anamnesa
Riwayat dan mekanisme kejadian, jenis ular yang menggigit (warna, ukuran, bentuk,
ciri khas) dapat ditanyakan langsung kepada korban gigitan, namun seringkali pasien
tidak tahu. Selain itu perlu ditanyakan waktu kejadian yang dapat mempengaruhi
terapi dan prognosis pasien, gejala yang pasien rasakan saat ini serta riwayat alergi,
pengobatan (antikoagulan) dan penyakit terdahulu (jantung, paru, ginjal).5

15
2.5.2 Manifestasi Klinis
- Gigitan ular tanpa masuknya bisa ular
Pada korban gigitan ular atau yang masih disangka tergigit ular biasanya akan
muncul gejala panik, cemas serta gelisah dikarenakan kerakutan yang biasa sehingga
dapat muncul gejala kaku pada ekstremitas ataupun vasovagal shock. Tekanan darah
dan nadi akan meningkat disertai menggigil dan berkeringat.
- Gigitan ular dengan masuknya bisa ular
o Tanda dan gejala awal
Setelah masuknya taring ular pada kulit akan muncul nyeri yang kemudian
berkembang sensasi terbakar, berdenyut dan nyeri akan bertambah hebat dan
akan meningkat ke bagian proksimal dari bagian yang tergigit. Pembesaran
kelenjar getah bening regional sering dijumpai (KGB ingunalis jika yang
tergigit adalah ekstremitas inferior dan KGB axila jika yang tergigit adalah
ekstremitas superior.
2.5.3 Pemeriksaan Fisik 1,4,5
1. Cek tanda-tanda vital (jalan napas, napas, sirkulasi / ABC)
2. Cek tanda bekas gigitan ular berbentuk 2 titik bekas taring ular
3. Status generalis :
1) lemas, mual, muntah, nyeri perut
2) hipotensi
3) penglihatan terganggu, edema konjungtiva (chemosis)
4) pengeluaran keringat dan hipersalivasi
5) Aritmia, edema paru, shock
6) Tanda perdarahan spontan (petekie, epistaksis, hemoptoe)
7) Parestesia

4. Status lokalis :

16
1) terdapat sepasang lubangan (pungsi) bekas gigitan sebagai tanda luka,
2) bengkak sekitar gigitan dan berwarna kemerahan (tanda-tanda inflamasi) yang
muncul dalam 5 menit sampai 12 jam setelah kejadian
3) daerah sekitar gigitan nyeri,muncul bula
4) mati rasa atau kebas (numbness) atau kesemutan rasa berdenyut-denyut
(tingling) di sekitar wajah atau tungkai dan lengan.

Gambar 5 : Manifestasi klinis pasien dengan gigitan ular


Beberapa faktor yang berpengaruh pada kematian akibat gigitan antara lain 1
1. Serum Anti Bisa Ular : pemberian dosis yang tidak adekuat atau anti bisa ular
yang hanya spesifik untuk satu jenis spesia ular tertentu
2. Waktu ketika mendapat terapi yang adekuat pada pusat layanan kesehatan
memanjang akibat korban biasanya terlebih dahulu datang pada pengobatan
alternatif atau masalah pada transportasi

17
3. Adanya kegagalan multifungsi pada sistem organ sebagai contoh syok
hemoragik atau sepsis ,dan obstruksi jalan nafas

2.5.4 Pemeriksaan Penunjang


- Laboratorium
Pemeriksaan yang diperlukan adalah pemeriksaan Darah lengkap meliputi
leukosit, trombosit, Hemoglobin, hematokrit dan hitung jenis leukosit. Faal
Hemostasis ( Prothrombin time, Activated Partial Thromboplastin time,
International Normalized Ratio), Cross Match, Serum elektrolit, Faal ginjal
(BUN, Kreatinin), Urinalisis untuk melihat myoglobinuria, dan Anlisis Gas darah
 Pencitraan
Foto rontgen thorax untuk melihat apakah ada edema paru
 Lain-lain
Mencari tanda-tanda sindrom kompartemen
.
2.5.5 Diagnosis Banding 5
- Anafilaksis
- Deep vein thrombosis (DVT)
- Gigitan kalajengking
- Syok septik
- Sengatan lebah
- Luka terinfeksi
2.6 Klasifikasi
Derajat gigitan ular
1. Derajat 0
- Bekas gigitan 2 taring -
- Tidak ada gejala sistemik setelah 12 jam
- Pembengkakan dan nyeri minimal

18
2. Derajat I (Minimal)
- Bekas gigitan 2 taring
- Bengkak dan kemerahan dengan diameter 1 – 5 inchi
- Tidak ada tanda-tanda sistemik sampai 12 jam
- Nyeri sedang sampai berat
3. Derajat II (Moderate)
- Bekas gigitan 2 taring
- Nyeri hebat,  Bengkak dan kemerahan dengan diameter 6 – 12 inchi dalam 12
jam
- Petechie, echimosis, perdarah pada bekas gigitan
-  Ada tanda-tanda sistemik (mual, muntah, demam, Pembesaran kelenjar getah
bening)
4. Derajat III (Severe)
- Bekas gigitan 2 taring
- nyeri sangat hebat , Bengkak dan kemerahan lebih dari 12 inchi
- Tanda-tanda derajat I dan II muncul dengan sangat cepat. Ditemukan tanda-
tanda sistemik (gangguan koagulasi, mual, muntah, takikardi, hipotermia,
ekimosis, petekia menyeluruh).
- Syok dan distres nafas
5. Derajat IV (Extremely severe)
- Sangat cepat memburuk
- Bengkak dan kemerahan di seluruh ekstremitas yang terkena gigitan, muncul
ekimosis, nekrosis dan bulla
- Meningkatnya tekanan intrakompartemen yang dapat menghambat aliran darah
vena atau arteri
- Kegagalan multiorgan (ginjal, jantung) bisa sampai koma bahkan meninggal

2.7 Penatalaksanaan

19
Secara umum tujuan panatalaksanaan pasien dengan gigitan ular adalah untuk
menetralisisr toksin, mengurangi angka kesakitan, dan mencegah komplikasi.
Alur yang harus dilakukan adalah :
Pertolongan pertama
 Rujukan ke rumah sakit
 Penilain klinis dan resusitasi dengan cepat dan tepat
 Mengenali spesies ular jika memungkinkan
 Melakukan pemeriksaan penunjang
 Pemberian Serum Anti Bisa Ular (SABU)
 Observasi respon terhadap pemberian SABU
 Terapi suportif dan perawatan luka gigitan
 Rehabilitasi serta terapi komplikasi

Biasanya setelah kejadian tergigit ular akan dilakukan beberapa cara tradisional
untuk penanganan pertama, namun sebaiknya cara- cara tersebut tidak
dilakukan :
 Menyedot bisa ular dengan mulut
 Memasang torniquet dengan ketat di sekitar luka gigitan karena bisa
mengakibatkan nyeri, bengkak dan menghambat aliran darah ke ekstremitas
perifer
 Melakukan ompres panas, dingin atau penyayatan luka
 Pemberian ramuan herbal atau kompres es 1,5

Yang harus dilakukan sebagai pertolongan pertama pada korban gigitan ular
sebelum ke rumah sakit (pre hospital) :
 Pastikan ABC dan monitor tanda-tanda vital (Nadi, Laju pernafasan, Tekanan
Darah, Suhu) kemudian lakukan resusitasi dengan kristaloid sekitar 500- 1000
cc.

20
 Pembatasan pergerakan dan imobilisasi pada daerah sekitar gigitan
 Segera rujuk ke tempat pelayanan kesehatan yang memadai
 Jangan berikan SABU terlebih dahulu 1,2,5

Rumah sakit
Selalu periksa Airway Breathing Circulation Disability of nervous system
Exposure (hindari hipotermia) dan evaluasi tanda-tand syok (takipnea,
takikardia, hipotensi, perubahan status mental). Pemberian SABU berdasarkan
derajat gigitan ular.1

Keadaan yang memerlukan resusitasi segera jika adanya tanda-tanda syok dari
- Efek bisa ular pada cardiovascular seperti hipovilemia, syok perdarahan,
pelepasan mediator inflamasi dan yang jarang yaitu anafilaksis primer
- Gagal nafas karena paralisis otot pernafasan
- Cardiac arrest karena hiperkalemia akibat rhabdomyolisis

2.7.1 Serum Anti Bisa Ular (SABU)


Terapi anti bisa ular pertama kali diperkenalkan oleh Albert Calmette dari Institut
Pasteur di Saigon pada 1890.1 Terdapat dua jenis antiracun ular yaitu yang
pertama terbuat dari serum kuda setelah kuda diinjeksi dengan dosis racun ular
subletal. Antiracun ini kemudian diproses dan dimurnikan tetapi masih
mengandung protein serum yang mungkin masih memiliki sifat antigenik. Jenis
kedua adalah yang direkomendasikan FDA tahun 2000 yaitu fragmen
imunoglobulin monovalen dari domba yang dimurnikan untuk menghindari
protein antigenik. 5
SABU harus diberikan pada pasien jika memang diperlukan jika memberikan
keuntungan lebih besar. Indikasi pemberian SABU :
- Adanya abnormalitas hemostatis

21
Secara klinis adanya perdarahan spontan, koagulopati (dilihat dari faal
hemostasis),
- Tanda neurotoksis (ptosis, paralisis otot pernapasan)
- Abnormalitas cardiovascular (hipotensi, syok, aritmia, EKG abnormal)
- Acute Kidney Injury (oliguria/anuria, peningkatan serum ureum dan atau
creatinin)
- Hemoglobin/myoglobin-uria (ditandai dengan urin yang berwarna coklat
gelap dan adanya tanda rhabdomyolisis yaitu nyeri otot dan hiperkalemia)
Lebih dari seratus tahun, serum antibisa ular telah diterima secara luas dan
digunakan sebagai terapi. Terapi antidotum spesifik untuk bisa ular adalah
hyperimmune globulin dari binatang yang telah diimunisasi dengan bisa ular dan
memproduksi antibodi. Pada pasien gigitan ular yang emngalami gangguan
pembekuan darah atau telah terbentuk clot maka pemberian SABU akan
memperbaiki d\an menghilangkan clot dalam waktu 2-28 jam. Dalam suatu
penelitian acak terkontrol, 40 dari 46 pasien yang diberikan SABU akan membaik
dalam waktu 6 jam meskipun tanda-tanda perdarahan masih didapatkan hingga 88
jam kemudian.
SABU diberikan intravena kadang akan memunculkan reaksi alergi mulai dari
yang ringan seperti pruritus atau urtikaria sampai yang berat (syok anafilaksis).
Berdasarkan dosis, rute pemberian dan kulaitas SABU, resiko-resiko tersebut
akan muncul pada 3-30% dan hanya 5-10% diantaranya merupakan gejala
sistemik yang berat. Hampir semua reaksi alergi yang muncul dapat diatasi
dengan pemberian epinefrin. Pencegahan timbulnya reaksi alergi meliputi
premedikasi dengan antihistamin atau kortikosteroid sebelum pemberian SABU
dan memperhatikan kepekatan konsentrasi SABU yang akan diberikan.1,2,4
Dua cara pemberian anti bisa ular :

22
- Intravena pelan (tidak lebih dari 2 ml/menit). Cara ini memberikan
keuntungan karena jika muncul reaksi alergi dapat segera dihentikan atau
ditangani.
- Infus intravena dengan pengenceran Antibisa ular dengan cairan isotonik 5-
10 ml/kg dan habis dalam waktu 1 jam
- Intramuskular, namun cara ini memiliki kelemahan karena bioavailibiltasnya
rendah dan sulit untuk mencapai kadar yang diinginkan dalam darah, serta
resiko hematom pada tempat injeksi pada pasien dengan abnormalitas
hemostasis.
Dipertimbangkan pemberian secara intramuskular jika jarak ke tempat
layanan kesehatan yang lebih memadai sangat jauh atau akses intravena sulit.
Jika terjadi reaksi alergi setelah pemberian SABU maka diberikan epinefrin
intramuskular pada sepertiga atas paha 0,5 mg untuk dewasa atau 0,01 mg/kg
untuk anak-anak dan dapat diulang 5-10 menit.
Penatalaksanaan terkait pembedahan biasanya jika ditemukan kompartemen
sindrom yang ditandai dengan 5 P (pain, pallor, paresthesia, paralysis,
pulselesness. Jika ditemukan tanda-tanda tersebut dicurgai ada komparten
sindrom sehingga dilakukan fasciotomi (diindikasikan pada pasien yang terbukti
mengalami peningkatan tekanan intrakompartemen) 5

2.7.2 Antibiotik
Antibiotik profilaksis spektrum luas masih direkomendasikan yaitu
cephalosporin generasi tiga dengan spektrum luas gram negatif (Ceftriaxone)
akan menekan pertumbuhan bakteri yang mengakibatkan infeksi sekunder.

2.7.3 Analgesik

23
Jika diperlukan dapat diberikan analgetik kuat seperti golongan opioid :
petidin dengan dosis dewasa 50-100 mg, anak-anak 1-1,5 kg/kgBB atau
morfin dengan dosis dewasa 5-10 mg dan anak-anak 0,03-0,05 mg/kg

2.8 Komplikasi
Hal utama penyebab kecacatan adalah nekrosis lokal dan sindrom kompartemen.
Nekrosis yang luas mungkin memerlukan tindakan debridemen atau amputasi
karena kerusakan pada jaringan yang lebih dalam. Di kemudian hari dapat saja
timbul osteomyelitis, dan ulkus kronis. Jika setelah gigitan ular sempat terjadi
paralisis otot pernapasan yang mengakibatkan hipoksia otak dan bisa
mengakibatkan defisit neurologis menetap.

2.9 Monitoring
Pada pasien dengan gagal nafas dapat diberikan oksigen, intubasi atau bagging
manual dan biasanya akan membaiki dalam 1 bulan. Dapat juga diberikan
anticholinesterase. Tirah baring dan pembatasan gerak untuk menghindari trauma
diperlukan pada pasien dengan gangguan hemostasis, dapat diberikan transfusi
FFP (fresh Frozen Plasma) dan Cryoprecipitate dengan konsentrat platelet, namun
jika tidak ada dapat diebrikan Whole Blood. Kadang diperlukan vasopressor
sejenis dopamin atau norepinefrin pada pasien dengan syok atau kerusakan
miokardium dan dialisi jika terjadi AKI.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Warrell, David A. 2010. Guidelines for the management of snake-bites. WHO


Regional Office for South-East Asia

2. Warrel, David A. 2010. Snake Bite. Department of Clinical Medicine,


University of Oxford,

3. Prihatini, Trisnaningsih, Muchdor, U.N. Rachman. 2007. Penyebaran


gumpalan dalam pembuluh darah (disseminated intravascular coagulation)
akibat racun gigitan ular. Indonesian Journal of Clinical Pathology and
Medical Laboratory, Vol. 14, No. 1, November 2007.

4. Cribari, Cris. 2004. Management of Poisonous Snakebites. American College


of Surgeons Committee on Trauma.

5. Snake Bite. Daley, Brian James. 2011 .


http://emedicine.medscape.com/article/168828-overview

25

Anda mungkin juga menyukai