Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

SNAKE BITE

Disusun Oleh :

dr. Siska Fitriyanasari

Pembimbing :

dr. Raynilda

INTERNSIP

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SUBANG

PERIODE AGUSTUS 2020 - MEI


2021
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. A
Umur : 87 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Situsari 17/04 Sitursari, kec. Dawuan
No. RM : 546762
Tanggal masuk : 15 Maret 2021 jam 21.00 WIB

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Digigit ular
B. Riwayat Penyakit Sekarang (Autoanamnesis di IGD)

13 jam SMRS penderita digigit ular berwarna coklat (ular gebuk) saat sedang
membersihkan kebun miliknya sendiri. Os. Tidak langsung dibawa ke RS karena
dilakukan penyedotan racun dan dibawa ke mantri diberikan antibiotic. Lokasi gigitan
di lengan bawah tangan kiri. Terasa nyeri di tempat gigitan sampai lengan atas
tangan kiri, bengkak (+) sampai lengan atas tangan kiri, berwarna biru kehijauan.
perdarahan di tempat gigitan (+) tidak aktif, berdebar-debar (-), lemah anggota
tubuh (-), kencing berwarna merah atau hitam (-), gusi berdarah (-), pendarahan
konjungtiva (-), kemudian os dibawa ke RSUD Subang.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat tergigit ular sebelumnya : disangkal
- Riwayat merokok : disangkal
- Riwayat diabetes : disangkal
- Riwayat asma : disangkal
- Riwayat hipertensi : disangkal
- Riwayat dirawat di RS : disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat sakit serupa : disangkal
 Riwayat diabetes : disangkal
 Riwayat hipertensi : disangkal
 Riwayat merokok : disangkal
E. Riwayat Pekerjaan
Os. Tidak bekerja

III. PEMERIKSAAN FISIK (di IGD tanggal 15 Mei 2021 jam 21.00 WIB)
A. Keadaan Umum : sakit sedang
Kesadaran : composmentis
B. Tanda vital
Tekanan darah : 100/ 70 mmHg
Nadi : 98 kali/ menit, regular, isi cukup, dan kuat angkat
Laju pernafasan : 22 kali/ menit
Suhu : 36,5 ℃
SpO2 : 97 % FA
C. Kulit : warna coklat kehitaman, lembab, kelainan (-), turgor kembali
cepat
D. Kepala : normochepal, rambut hitam dan beruban
E. Mata : conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), air mata (+), reflek cahaya
(+/+) normal, pupil isokor (3mm/ 3mm), mata cekung (-/-), perdarahan konjungtiva
(-/-), ptosis (-/-)
F. Hidung : bentuk normal, secret (-), darah (-), deformitas (-), nafas cuping
hidung (-)
G. Mulut : sianosis (-), mukosa basah (+)
H. Telinga : bentuk normal, secret (-), mastoid pain (-), tragus pain (-)
I. Leher : bentuk normal, kelenjar getah bening tidak membesar, trakea di
tengah, kelenjar thyroid tidak membesar
J. Thorax
Bentuk : kesan normal, tidak ditemukan deformitas maupun kelainan
Cor
Inspeksi : ictus cordis tak tampak
Palpasi : ictus cordis di SIC V linea midclavicularis sinistra
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II, regular, bising (-)
Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri, retraksi (-)
Palpasi : fremitus raba dada kanan = kiri
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+), suara tambahan (-)
K. Abdomen
Inspeksi : dinding perut setinggi dinding dada
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit kembali
cepat, ascites (-)
L. Ekstremitas

akral - - sianosis - - oedema - +


dingin - - - - - -

kekuatan otot 5 5
5 5

capillary refill time < 2 detik


Status lokalis :
 Region manus sinistra
Inspeksi : a/ Region ante brachii sinistra tampak jejas (+), dua buah bekas gigitan luka
halus panjang ± 0,5 cm, tampak edema sampai brachii sinistra.
Palpasi : nyeri (+), capillary refill time < 2 detik
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah rutin

• Hemoglobin : 10,7 gr/dl (N: 12-15,5 g/dl)

• Hematokrit : 28,3% (N: 35-55%)

• Leukosit : 17.070 /ul (N: 4.000-10.000 /uL)

• Trombosit : 5.000 /ul (N: 150.000-400.000 /uL)

• Eritrosit : 3,29 (N: 4-5,4 juta/uL)

• MCV : 85,9 (N: 80-100 fL)

• MCH : 32,5 (N: 26-34 g/dl)

• MCHC : 37,9 (N: 31-35,5 g/dl)

Hitung jenis

Basofil : 0% (N: 0-1)

Eosinofil : 3% (N: 2-4)

Neutrofil batang : 0% (N: 2-6)

Neutrofil segmen : 80% (N: 50-70)

Limfosit : 12% (N 25-40)

Monosit : 5% (N: 2-8)

Kimia klinik

Ureum : 45 (N: 10-50 mg/dL)

Kreatinin : 1.9 (N: 0,6-1,4 mg/dL)

Hemostasis

Masa protombin

PT : >100 (N: 10-16’)

INR : >15

APTT : 33,1 (N: 26-42’)

Rapid Test Antigen

Antigen SARS-CoV-2 : Negatif


V. RESUME
Pasien laki-laki usia 87 tahun, 13 jam SMRS penderita digigit ular berwarna coklat (ular
gebuk) saat sedang membersihkan kebun miliknya sendiri. Os. Tidak langsung dibawa ke
RS karena dilakukan penyedotan racun dan dibawa ke mantri diberikan antibiotic. Lokasi
gigitan di lengan bawah tangan kiri. Terasa nyeri di tempat gigitan sampai lengan atas
tangan kiri, bengkak (+) sampai lengan atas tangan kiri, berwarna biru kehijauan.
perdarahan di tempat gigitan (+) tidak aktif
Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan
Tekanan darah : 100/ 70 mmHg
Nadi : 98 kali/ menit, regular, isi cukup, dan kuat angkat
Laju pernafasan : 22 kali/ menit
Suhu : 36,5℃
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum penderita tampak sakit sedang.
Bentuk thorax tidak didapatkan kelainan. Pengembangan dada kanan = dada kiri, retraksi
intercosta (-). Fremitus raba dada kanan = dada kiri, kualitas normal. Pada ekstremitas
didapatkan bengkak di tangan kiri. Capillary refill time < 2 detik. Status lokalis region
antebrachii manus sinistra tampak jejas (+), dua buah bekas gigitan luka halus
panjang ± 0,5 cm, tampak edema sampai brachii sinistra. Sedangkan pada palpasi
didapatkan nyeri (+), capillary refill time < 2 detik.

VI. DAFTAR MASALAH


1. Digigit ular berwarna coklat (ular gebuk) di lengan bawah tangan kiri
2. Nyeri di tempat gigitan sampai lengan atas tangan kiri
3. Panas di tempat gigitan sampai lengan atas tangan kiri
4. Bengkak sampai lengan atas tangan kiri
5. Pada inspeksi antebrachii sinistra didapatkan jejas, dua buah bekas gigitan luka halus
panjang ± 0,5 cm
6. Pada palpasi antebrachii sinistra didapatkan nyeri (+), capillary refill time < 2 detik.

VII. DIAGNOSIS KERJA


Snake bite
VIII. PENATALAKSANAAN
Tanggal 15 Maret 2021 di IGD :
 IVFD RL 500 cc loading -> bila tensi naik, jadi 20 gtt makro
 D5% 500 cc + SABU 4 ampul drip 20 tpm
 Pasang spalk a/r manus sinistra
 Inj. Ketorolac 2x1 Ampul/ 12 jam (IV)
 Inj. Ranitidine 2x1 ampul/12 jam (IV)
 Inj. Ceftriaxon 2x1 gr/ 12 jam (skin test) (IV)
 Inj. ATS 1 ampul (skin test)
 Inj. Dexamethasone 2x1 Ampul (IV)
 Konsul dokter spesialis penyakit bedah
Jawaban :
- Ruang rawat bedah, Dahlia.
- Perbaikan KU
- Transfusi trombosit

IX. PLANNING
Konsul dokter spesialis penyakit bedah
Edukasi :
 Diagnosis penyakit, komplikasi yang dapat terjadi, dan efek samping obat
dan prognosis
 Motivasi untuk menghindari area yang sekiranya digunakan sebagai tempat
bersarang ular
 Motivasi agar segera dibawa ke rumah sakit jika tergigit ular lagi atau ada
keluarga/ tetangga yang tergigit ular
 Menjelaskan tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien.

X. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad sanam : bonam
Ad fungsional : bonam
XI. FOLLOW UP

16 Maret 2021 17 Maret 2021


SUBYEKTIF Os. Mengeluh nyeri pada tangan kiri Nyeri (+), bengkak (+) sampai lengan atas sebelah
bengkak (+) hingga ke lengan bagian kiri, Os. Turun dari bed, gelisah, dan pasien
atas, berwarna biru kehijauan, mengatakan ingin pulang terus menerus, hingga
jalan keluar ruangan. Setelah itu diberikan
diazepam ½ amp bolus iv. Keluarga pasien tidak
ada saat dipanggil berkali-kali.

OBYEKTIF KU : KU :
Tampak sakit sedang Baik

Vital sign : Vital Sign :


TD: 120/ 80 mmHg TD: 110/ 80 mmHg
N: 92 kali/ menit, regular, isi dan N: 75 kali/ menit, regular, isi dan tegangan cukup
tegangan cukup Rr: 20 kali/ menit
Rr: 24 kali/ menit S: 36,3 ℃
S: 37 ℃ Ekstremitas :
Ekstremitas : - + oedem
- + oedem

CRT < 2 detik


CRT < 2 detik Region manus sinistra
Region manus sinistra Inspeksi : tampak pada antebrachia manus sinistra
Inspeksi : tampak pada antebrachii jejas (+), dua buah bekas gigitan luka halus panjang
manus sinistra jejas (+), dua buah bekas ± 0,5 cm, tampak edema sampai lengan atas tangan
gigitan luka halus panjang ± 0,5 cm, kiri.
tampak edema sampai brachii. Palpasi : nyeri (+), capillary refill time < 2 detik
Palpasi : nyeri (+), capillary refill time <
2 detik

PEMR -Leukosit 17,070 /mm3 (4,000-10,000) -Leukosit 18,510 /mm3 (4,000-10,000)


-Eritrosit 3,29 juta/uL (4.0-5.4) -Eritrosit 2,51 juta/uL (4.0-5.4)
PENUNJANG
-Hemoglobin 10,7 gr/dl (N: 12-15,5 g/dl) -Hemoglobin 8,2 gr/dl (N: 12-15,5 g/dl)
-Trombosit 5.000/ul (N:150.000-400.000 -Trombosit 184.000/ul (N:150.000-400.000 /uL)
/uL) -Hematokrit 21,8% (N: 35-55%)
-MCHC 37,9 (N: 31-35,5 g/dl) -MCHC 37,7 (N: 31-35,5 g/dl)
-Kreatinin 1.9 (N: 0,6-1,4 mg/dL)

Hitung Jenis Leukosit


-Neutrofil Batang 0% (2-6)
-Neutrofil Segmen 80% (50-70)
-Limfosit 12% (25-40)
-PT >100 (N: 10-16’)

ASSESMENT Snake bite Snake bite


TERAPI  IVFD D5% 500 cc + SABU 2 Obat pulang
ampul drip dalam 24 jam  Cefixim 2x1 tab po
 Inj. Ketorolac 2x1 Ampul/ 12  Vit. C 2x500 mg po
jam (IV)  Kompres luka dengan menggunakan
 Inj. Ceftriaxon 2x1 gr/ 12 jam Nacl 0,9%+Gentamicin
(skin test) (IV)  Pasien pulang paksa
 Inj. Ranitidine 2x1 amp
 Inj. Dexamethasone 2x1
Ampul (IV)
 Transfusi trombosit hingga
≥50.000
PLANNING Rawat Bangsal Bedah - Dahlia
MONITORING KU/ VS KU/VS
EDUKASI  Diagnosis penyakit, komplikasi yang
dapat terjadi, dan efek samping obat
dan prognosis
 Motivasi untuk menghindari area yang
sekiranya digunakan sebagai tempat
bersarang ular
 Motivasi agar segera dibawa ke rumah
sakit jika tergigit ular lagi atau ada
keluarga/ tetangga yang tergigit ular

TINJAUAN PUSTAKA

SNAKE BITE

3.1 Definisi
Gigitan ular adalah cedera yang disebabkan oleh gigitan dari ular baik
ular berbisa ataupun tidak berbisa. Akibat dari gigitan ular tersebut dapat
menyebabkan kondisi medis yang bervariasi, yaitu:
1. Kerusakan jaringan secara umum, akibat dari taring ular.
2. Perdarahan serius bila melukai pembuluh darah besar.
3. Infeksi akibat bakteri sekunder atau patogen lainnya dan peradangan.
4. Pada gigitan ular berbisa, gigitan dapat menyebabkan envenomisasi.
3.2 Epidemiologi
Pria lebih sering digigit dibanding perempuan, kecuali tempat kerja yang lebih
didominasi perempuan. Usia umumnya untuk gigitan adalah anak-anak (WHO
UNICEF, 2008) dan dewasa muda. Ada beberapa bukti bahwa beberapa kasus
kematian pada pada anak-anak dan orang tua. Pada wanita hamil, gigitan ular
membawa risiko untuk ibu dan janin, seperti perdarahan dan aborsi. Kebanyakan
gigitan ular terjadi pada kaki dan pergelangan kaki pada pekerja pertanian.
Di negara-negara Regional SEA, risiko gigitan ular ini sangat terkait dengan
pekerjaan: pertanian (padi), bekerja di perkebunan (karet, kopi), menggiring, berburu,
pemancing dan pertanian, penangkapan dan penanganan ular untuk makanan (di
restoran ular), menampilkan dan tampil dengan ular (ular), kulit manufaktur (terutama
ular laut), dan pembuatan tradisional obat (Cina).

3.3 Etiologi
Tidak semua spesies ular memiliki bisa sehingga pada kasus gigitan ular perlu
dibedakan atas gigitan ular berbisa atau gigitan ular tidak berbisa. Ular berbisa yang
bermakna medis memiliki sepasang gigi yang melebar, yaitu taring, pada bagian
depan dari rahang atasnya. Taring-taring ini mengandung saluran bisa (seperti jarum
hipodermik) atau alur, dimana bisa dapat dimasukkan jauh ke dalam jaringan dari
korban. Selain melalui taring, bisa dapat juga disemburkan seperti pada ular kobra
yang meludah dapat memeras bisanya keluar dari ujung taringnya dan membentuk
semprotan yang diarahkan pada mata korban. Efek toksik bisa ular pada saat
menggigit mangsanya tergantung pada spesies, ukuran ular, jenis kelamin, usia, dan
efisiensi mekanik gigitan (apakah hanya satu atau kedua taring menusuk kulit), serta
banyaknya serangan yang terjadi.
Dari ribuan jenis ular yang diketahui hanya sedikit sekali yang berbisa, dan
dari golongan ini hanya beberapa yang berbahaya bagi manusia. Di seluruh dunia
dikenal lebih dari 2000 spesies ular, namun jenis yang berbisa hanya sekitar 250
spesies. Berdasarkan morfologi, ular dapat diklasifikasikan ke dalam 4 familli utama
yaitu:
1. Familli Colubridae
Kebanyakan ular berbisa masuk dalam famili ini, misalnya ular pohon, ular
sapi (Zaocys carinatus), ular tali (Dendrelaphis pictus), ular tikus atau ular jali
(Ptyas korros), dan ular serasah (Sibynophis geminatus). Pada umumnya bisa
yang dihasilkannya bersifat lemah.

Gambar 1. Contoh jenis ular Famili Colubridae

2. Famili Hydrophidae
Dikenal dengan nama ular laut. Merupakan anak suku dari Elapidae yang
semuanya hidup di dalam laut dengan bisa yang sangat kuat.

Gambar 2. Contoh jenis ular Famili Hydrophidae


3. Famili Elapidae
Memiliki taring pendek dan tegak permanen misalnya ular cabai (Maticora
intestinalis), ular weling (Bungarus candidus), ular sendok (Naja sumatrana),
dan ular king kobra (Ophiophagus hannah).

Gambar 3. Contoh jenis ular Famili Elapidae

4. Familli Crotalidae/ Viperidae


Memiliki taring panjang yang secara normal dapat dilipat ke bagian rahang
atas, tetapi dapat ditegakkan bila sedang menyerang mangsanya. Ada dua
subfamili pada Viperidae, yaitu Viperinae dan Crotalinae. Crotalinae memiliki
organ untuk mendeteksi mangsa berdarah panas (pit organ), yang terletak di
antara lubang hidung dan mata, misalnya ular bandotan (Vipera russelli), ular
tanah (Calloselasma rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus
albolabris).

Gambar 4. Contoh jenis ular Famili Viperidae


Ular tidak berbisa dapat tampak menyerupai ular berbisa. Namun,
beberapa ular berbisa dapat dikenali melalui ukuran, bentuk, warna,
kebiasaan dan suara yang dikeluarkan saat merasa terancam. Beberapa ciri
ular berbisa adalah bentuk kepala segitiga, ukuran gigi taring kecil, dan
pada luka bekas gigitan terdapat bekas taring

Ciri-ciri Tidak berbisa Berbisa


Bentuk kepala Bulat Elips, segitiga
Gigi taring Gigi kecil 2 taring besar
Bekas gigitan Lengkung seperti U Terdiri dari 2 titik
Warna Warna-warni Gelap
Besar ular Sangat bervariasi Sedang
Pupil ular Bulat Elips
Ekor ular Bersisik ganda Bentuk sisik tunggal
Agresifitas Mematuk berulang dan Mematuk 1 atau 2 kali
membelit sampai tidak
berdaya
Tabel.1 Ciri-ciri dan perbedaan ular berbisa dan tidak berbisa
3.4 Bisa Ular

Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa dan
sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah yang
termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa
merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian bawah
sisi kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal,
tetapi merupakan campuran kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas
enzimatik.

Komposisi Bisa Ular

Bisa ular mengandung lebih dari 20 unsur penyusun, sebagian besar adalah
protein, termasuk enzim dan racun polipeptida. Berikut beberapa unsur bisa ular yang
memiliki efek klinis:
1. Enzim prokoagulan (Viperidae)
Dapat menstimulasi pembekuan darah namun dapat pula menyebabkan darah
tidak dapat berkoagulasi. Bisa dari ular Russel mengandung beberapa
prokoagulan yang berbeda dan mengaktivasi langkah berbeda dari kaskade
pembekuan darah. Akibatnya adalah terbentuknya fibrin di aliran darah.
Sebagian besar dapat dipecah secara langsung oleh sistem fibrinolitik tubuh.
Segera, dan terkadang antara 30 menit setelah gigitan, tingkat faktor
pembekuan darah menjadi sangat rendah (koagulopati konsumtif) sehingga
darah tidak dapat membeku.
2. Haemorrhagins (zinc metalloproteinase)
Dapat merusak endotel yang meliputi pembuluh darah dan menyebabkan
perdarahan sistemik spontan (spontaneous systemic haemorrhage).

3. Racun sitolitik atau nekrotik


Mencerna hidrolase (enzim proteolitik dan fosfolipase A) racun polipeptida
dan faktor lainnya yang meningkatkan permeabilitas membran sel dan
menyebabkan pembengkakan setempat. Racun ini juga dapat menghancurkan
membran sel dan jaringan.
4. Phospholipase A2 haemolitik and myolitik
Enzim ini dapat merusak mitokondria, sel darah merah, leukosit, platelet, saraf tepi,
otot skeletal, endotel vaskuler dan membrane-membran lain. Menghasilkan aktifitas
neurotoksik di presinaps dan memicu pelepasan histamin dan antikoagulan.
5. Phospolipase A2 Neurotoxin pre-synaptik (Elapidae dan beberapa Viperidae)
Merupakan phospholipases A2 yang merusak ujung syaraf, pada awalnya
melepaskan transmiter asetilkolin lalu meningkatkan pelepasannya.
6. Post-synaptic neurotoxins (Elapidae)
Polipeptida ini bersaing dengan asetilkolin untuk mendapat reseptor di
neuromuscular junction dan menyebabkan paralisis yang mirip seperti paralisis
kuraonium.

Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase,


ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase,
DNA- ase. Enzim ini menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap
saraf, menyebabkan hemolisis atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi
anafilaksis. Hialuronidase merusak bahan dasar sel sehingga memudahkan
penyebaran racun.

Sifat Bisa Ular

Berdasarkan patofisiologis yang dapat terjadi pada tubuh korban, efek bisa
ular dapat dibedakan menjadi:
1. Bisa hemotoksik
Bisa yang mempengaruhi jantung dan sistem pembuluh darah. Bisa ular yang
bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang dan merusak
(menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan menghancurkan stroma
lecethine (dinding sel darah merah), sehinggga sel darah merah menjadi
hancur dan larut (hemolysis) dan keluar menembus pembuluh-pembuluh
darah, mengakibatkan timbulnya perdarahan pada selaput mukosa (lendir)
pada mulut, hidung, tenggorokan, dan lain-lain.
2. Bisa neurotoksik
Bisa yang mempengaruhi sistem saraf dan otak. Yaitu bisa ular yang merusak
dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf sekitar luka gigitan yang
menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati dengan tanda-tanda
kulit sekitar luka tampak kebiruan dan hitam (nekrotik). Penyebaran dan
peracunan selanjut nya mempengaruhi susunan saraf pusat dengan jalan
melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti saraf pernapasan dan jantung.
Penyebaran bisa ular ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe.
3. Bisa sitotoksik
Bisa yang hanya bekerja pada lokasi gigitan.

Patofisiologi

Bisa ular diproduksi dan disimpan dalam sepasang kelenjar yang berada di
bawah mata. Bisa dikeluarkan dari taring berongga yang terletak di rahang atasnya.
Taring ular dapat tumbuh hingga 20 mm pada rattlesnake besar. Dosis bisa ular tiap
gigitan bergantung pada waktu yang terlewati sejak gigitan pertama, derajat ancaman
yang diterima ular, serta ukuran mangsanya. Lubang hidung merespon terhadap emisi
panas dari mangsa, yang dapat memungkinkan ular untuk mengubah jumlah bisa yang
dikeluarkan.

Gambar 6. Taring gigi ular berbisa

Bisa biasanya berupa cairan. Protein enzimatik pada bisa menyalurkan bahan-
bahan penghancurnya. Protease, kolagenase, dan arginin ester hidrolase telah
diidentifikasi pada bisa pit viper. Efek lokal dari bisa ular merupakan penanda
potensial untuk kerusakan sistemik dari fungsi sistem organ. Salah satu efeknya
adalah perdarahan lokal, koagulopati biasanya tidak terjadi saat venomasi. Efek
lainnya, berupa edema lokal, meningkatkan kebocoran kapiler dan cairan interstitial di
paru- paru.
Mekanisme pulmoner dapat berubah secara signifikan. Efek akhirnya berupa
kematian sel yang dapat meningkatkan konsentrasi asam laktat sekunder terhadap

perubahan status volume dan membutuhkan peningkatan minute ventilasi. Efek


blokade neuromuskuler dapat menyebabkan perburukan pergerakan diafragma. Gagal
jantung dapat disebabkan oleh asidosis dan hipotensi. Myonekrosis disebabkan oleh
myoglobinuria dan gangguan ginjal.

3.5 Tanda Dan Gejala Gigitan Ular Berdasarkan Jenis Ular


1. Gigitan Elapidae
 Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang
berdenyut, kaku pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut.
 Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit rusak
 Setelah digigit ular
 15 menit : Muncul gejala sistemik
 10 jam : Paralisis otot-otot wajah, bibir, lidah, tenggorokan,
sehingga sukar berbicara, susah menelan, otot lemas, ptosis, sakit
kepala, kulit dingin, muntah, pandangan kabur, parestesia di
sekitar mulut. Kematian dapat terjadi dalam 24 jam.
2. Gigitan Viperidae/Crotalidae
Enzim prokoagulan viperidae dapat menstimulasi pembekuan darah namun
menyebabkan penurunan koagulasi darah. Contohnya racun Russell viper
mengandung beberapa prokoagulan yang mengaktifasi kaskade pembekuan
darah. Hasilnya menyebabkan pembentukan fibrin dalam darah. Yang
kemudian didegradasi oleh system fibrinolitik tubuh, sehingga system
fibrinolitik tubuh jumlahnya berkurang karena konsumsi tersebut atau
consumption coagulopathy. Efek racun viper yang lain menyebabkan efek
lokal yang hebat seperti nyeri, bengkak, bula, bengkak, nekrosis dan
kecenderungan perdarahan sistemik.
 Gejala lokal timbul dalam 15 menit, setelah beberapa jam berupa
bengkak di dekat gigitan yang menyebar ke seluruh anggota tubuh.
 Gejala sistemik muncul setelah 5 menit atau setelah beberapa jam
 Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut
dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.
3. Gigitan Hydropiridae
 Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah.
 Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri
menyeluruh, dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot,
mioglobinuria yang ditandai dengan urin berwarna coklat gelap (penting
untuk diagnosis), kerusakan ginjal, serta henti jantung.
3.6 Derajat gigitan ular
Derajat gigitan ular (Parrish)
1. Derajat 0
- Tidak ada gejala sistemik setelah 12 jam
- Pembengkakan minimal, diameter 1 cm
2. Derajat I
- Bekas gigitan 2 taring
- Bengkak dengan diameter 1 – 5 cm
- Tidak ada tanda-tanda sistemik sampai 12 jam
3. Derajat II
- Sama dengan derajat I
- Petechie, echimosis
- Nyeri hebat dalam 12 jam
4. Derajat III
- Sama dengan derajat I dan II
- Syok dan distres nafas / petechie, echimosis seluruh tubuh
5. Derajat IV
- Sangat cepat memburuk

Derajat gigitan ular (Schwartz)

Gambar 7. Derajat gigitan ular menurut Schwartz


3.7 Diagnosa
1. Anamnesis
Anamnesis yang tepat seputar gigitan ular serta progresifitas gejala dan tanda
baik lokal dan sistemik merupakan hal yang sangat penting. Empat pertanyaan
awal yang bermanfaat:
a. Pada bagian tubuh mana Anda terkena gigitan ular? Dokter dapat
melihat secara cepat bukti bahwa pasien telah digigit ular (misalnya,
adanya bekas taring) serta asal dan perluasan tanda envenomasi lokal.
b. Kapan dan pada saat apa Anda terkena gigitan ular? Perkiraan tingkat
keparahan envenomasi bergantung pada berapa lama waktu berlalu
sejak pasien terkena gigitan ular. Apabila pasien tiba di rumah sakit
segera setelah terkena gigitan ular, bisa didapatkan sebagian kecil tanda
dan gejala walaupun sejumlah besar bisa ular telah diinjeksikan. Bila
pasien digigit ular saat sedang tidur, kemungkinan ular yang menggigit
adalah Kraits (ular berbisa), bila di daerah persawahan, kemungkinan
oleh ular kobra atau russel viper (ular berbisa), bila terjadi saat memetik
buah, pit viper hijau (ular berbisa), bila terjadi saat berenang atau saat
menyebrang sungai, kobra (air tawar), ular laut (laut atau air payau).
c. Perlakuan terhadap ular yang telah menggigit Anda? Ular yang telah
menggigit pasien seringkali langsung dibunuh dan dijauhkan dari pasien.
Apabila ular yang telah menggigit berhasil ditemukan, sebaiknya ular
tersebut dibawa bersama pasien saat datang ke rumah sakit, untuk
memudahkan identifikasi apakah ular tersebut berbisa atau tidak.
Apabila spesies terbukti tidak berbahaya (atau bukan ular sama sekali)
pasien dapat segera ditenangkan dan dipulangkan dari rumah sakit.
d. Apa yang Anda rasakan saat ini? Pertanyaan ini dapat membawa dokter
pada analisis sistem tubuh yang terlibat. Gejala gigitan ular yang biasa
terjadi di awal adalah muntah. Pasien yang mengalami trombositopenia
atau mengalami gangguan pembekuan darah akan mengalami
perdarahan dari luka yang telah terjdi lama. Pasien sebaiknya ditanyakan
produksi urin serta warna urin sejak terkena gigitan ular. Pasien yang
mengeluhkan kantuk, kelopak mata yang serasa terjatuh, pandangan
kabur atau ganda, kemungkinan menandakan telah beredarnya
neurotoksin.

2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan tanda vital harus selalu dilakukan. Kemudian dicari tanda
bekas gigitas oleh ular berbisa. Tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit
menginjeksikan bisa pada korbannya. Orang yang digigit ular, meskipun tidak ada
bisa yang diinjeksikan ke tubuhnya dapat menjadi panik, nafas menjadi cepat,
tangan dan kaki menjadi kaku, dan kepala menjadi pening. Gejala dan tanda-tanda
gigitan ular akan bervariasi sesuai spesies ular yang menggigit dan banyaknya bisa
yang diinjeksikan pada korban. Gejala dan tanda-tanda tersebut antara lain adalah
tanda gigitan taring (fang marks), nyeri lokal, pendarahan lokal, memar,
pembengkakan kelenjar getah bening, radang, melepuh, infeksi lokal, dan nekrosis
jaringan (terutama akibat gigitan ular dari famili Viperidae).

Gambar 7. Gambaran klinis snakebite

Tanda dan gejala sistemik :


a. Umum (general)
Mual, muntah, nyeri perut, lemah, mengantuk, lemas.
b. Kardiovaskuler (Viperidae)
Gangguan penglihatan, pusing, pingsan, syok, hipotensi, aritmia jantung,
edema paru, edema konjunctiva (chemosis)

c. Perdarahan dan gangguan pembekuan darah (Viperidae)


Perdarahan yang berasal dari luka yang baru saja terjadi (termasuk perdarahan
yang terus-menerus dari bekas gigitan (fang marks) dan dari luka yang telah
menyembuh sebagian (oldrus-mene partly-healed wounds), perdarahan
sistemik spontan – dari gusi, epistaksis, perdarahan intrakranial (meningism,
berasal dari perdarahan subdura, dengan tanda lateralisasi dan atau koma oleh
perdarahan cerebral), hemoptisis, perdarahan perrektal (melena), hematuria,
perdarahan pervaginam, perdarahan antepartum pada wanita hamil,
perdarahan mukosa (misalnya konjunctiva), kulit (petekie, purpura, perdarahan
diskoid, ekimosis), serta perdarahan retina.
d. Neurologis (Elapidae, Russel viper)
Mengantuk, parestesia, abnormalitas pengecapan dan pembauan, ptosis,
oftalmoplegia eksternal, paralisis otot wajah dan otot lainnya yang dipersarafi
nervus kranialis, suara sengau atau afonia, regurgitasi cairan melaui hidung,
kesulitan untuk menelan sekret, paralisis otot pernafasan dan flasid
generalisata.
e. Destruksi otot Skeletal (sea snake, beberapa spesies kraits, Bungarus niger and
B. candidus, western Russell’s viper Daboia russelii)

Nyeri seluruh tubuh, kaku dan nyeri pada otot, trismus, myoglobinuria,
hiperkalemia, henti jantung, gagal ginjal akut.
f. Sistem Perkemihan
Nyeri punggung bawah, hematuria, hemoglobinuria, myoglobinuria,
oligouria/anuria, tanda dan gejala uremia (pernapasan asidosis, hiccups, mual,
nyeri pleura, dan lain-lain)
g. Gejala endokrin
Insufisiensi hipofisis/kelenjar adrenal yang disebabkan infark hipofisis
anterior. Pada fase akut: syok, hipoglikemia. Fase kronik (beberapa bulan
hingga tahun setelah gigitan): kelemahan, kehilangan rambut seksual
sekunder, kehilangan libido, amenorea, atrofi testis, hipotiroidism.

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Pemeriksaan yang diperlukan adalah pemeriksaan darah lengkap, faal
hemostasis, cross match, serum elektrolit, faal ginjal dan urinalisis.
b. Pencitraan
Foto rontgen thorax untuk melihat apakah ada edema paru.

3.8 Tatalaksana
1. Pertolongan pertama
Tujuan dari pertolongan pertama ini adalah untuk mengurangi penyerapan
racun (bisa ular), bantuan hidup dasar, dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
Hal-hal yang harus dilakukan antara lain:
a. Tenangkan korban, karena panik akan membuat racun lebih cepat terserap.
b. Imobilisasi ekstremitas yang terkena gigitan dengan bidai atau ikat
dengan kain (untuk memperlambat penyerapan racun).
c. Gunakan balut yang kuat, hal tersebut akan mengurangi penyerapan
racun yang bersifat neurotoksin, namun jangan gunakan pada gigitan
yang menyebabkan nekrosis.
d. Jangan melakukan intervensi apapun pada luka, termasuk menginsisi,
kompres dengan es, ataupun pemberian obat apapun.
e. Tidak direkomendasikan untuk mengikat arteri (pembuluh darah di
proksimal lesi).
f. Selalu utamakan keselamatan diri. Jangan mencoba membunuh ular yang
menggigit. Bila sudah mati, bawa ular ke RS untuk identifikasi.

Gambar 8. Cara melakukan pressure immobilitation


2. Perawatan Di Rumah Sakit
Hal-hal yang harus dilakukan di RS antara lain:
a. Lakukan pemeriksaan klinis secara cepat dan resusitasi termasuk ABC
(airway, breathing, circulation), penilaian kesadaran, dan monitoring
tanda vital.
b. Buat akses intravena, beri oksigen dan resusitasi lain jika diperlukan.
c. Lakukan anamnesa yang meliputi bagian tubuh mana yang tergigit, waktu
terjadinya gigitan dan jenis ular.
d. Lakukan pemeriksaan fisik:
 Bagian yang digigit untuk mencari bekas gigitan (fang marks),
walaupun terkadang bekas tersebut tidak tampak, bengkak ataupun
nekrosis.
 Palpasi arteri di distal lesi (untuk mengetahui ada tidaknya
kompartemen sindrom).
 Cari tanda-tanda perdarahan (gusi berdarah, perdarahan
konjungtiva, perdarahan di tempat gigitan).
 Cari tanda-tanda neurotoksisitas seperti ptosis, oftalmoplegi,
paralisis bulbar, hingga paralisis dari otot-otot pernapasan.
 Khusus untuk ular laut terdapat tanda rigiditas pada otot.
 Pemeriksaan urin untuk mioglobinuri.
e. Lakukan pemeriksaan darah yang meliputi pemeriksaan darah rutin, tes
fungsi ginjal, PPT/PTTK, tes golongan darah dan cross match.
f. Anamnesa ulang mengenai riwayat imunisasi, beri anti tetanus toksoid
jika merupakan indikasi.
g. Rawat inap paling tidak selama 24 jam (kecuali jika ular yang menggigit
adalah jenis ular yang tidak berbisa).
3. Terapi Dengan Anti Venom
Satu satunya terapi spesifik terhadap bisa ular adalah dengan anti venom.
Pemberian seawal mungkin akan memberikan hasil yang lebih baik. Terapi ini
dapat diberikan jika tanda tanda penyebaran bisa secara sistemik ada.
Untuk efek lokal, anti venom biasanya tidak efektif jika diberikan lebih dari 1
jam. Indikasi pemberian anti venom antara lain:

a. Abnormalitas hemostatik, misalnya perdarahan sistemik spontan dan


trombositopeni (<100000).

b. Neurotoksisitas.
c. Gangguan kardiovaskuler (hipotensi atau syok).
d. Rhabdomiolisis generalisata (rasa nyeri pada otot).
e. Gagal ginjal akut.
f. Efek lokal yang signifikan, seperti misalnya pembengkakan lokal lebih dari
setengah besar ekstremitas yang terkena, nekrosis atau hematom yang
luas, atau bengkak yang membesar dengan cepat.
g. Temuan laboratorium seperti anemia, trombositopeni, leukositosis,
peningkatan enzim hepar, hiperkalemia, dan mioglobinuri.
Pilihan Anti Venom:

a. Jika jenis ular diketahui, usahakan pemberian anti venom yang spesifik
(monovalen) karena akan lebih efektif dan efek samping yang lebih
sedikit
b. Jika jenis ular tidak diketahui, manifestasi klinis mungkin dapat digunakan
untuk memperkirakan jenis ular:
 Pembengkakan lokal dengan tanda kelainan neurologis = ular
kobra/elapidae
 Pembengkakan lokal yang ekstensif dengan perdarahan = ular tanah/
viperidae
c. Anti venom polivalen jika belum jelas

Dosis Dan Cara Pemberian

Jumlah pemberian biasanya berdasar empirik. Rekomendasi pemberian dari


pabrik yang ada biasanya berdasarkan uji pada binatang
a. Ulang pemberian anti venom hingga tanda tandanya hilang
b. Pemberian melalui rute intra vena. Larutkan anti venom pada cairan
isotonik (5-10 ml/kgBB, pada anak yang lebih besar atau orang dewasa
larutkan dalam 500 ml) dan infus seluruhnya dalam 1 jam
c. Infus dapat dihentikan bila gejala menghilang walaupun dosis yang
direkomendasikan belum habis
d. Jangan lakukan uji sensitivitas
e. Jangan lakukan injeksi di tempat lesi
f. Persiapkan adrenalin, kortikosteroid, antihistamin, dan peralatan
resusitasi jika terjadi reaksi alergi

g. Dosis pertama sebanyak 2 vial @5 ml sebagai larutan 2% dalam NaCl


dapat diberikan sebagai infus dengan kecepatan 40-80 tetes per menit,
lalu diulang setiap 6 jam. Apabila diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak
berkurang atau bertambah) antiserum dapat diberikan setiap 24 jam
sampai maksimal (80-100 ml). Antiserum yang tidak diencerkan dapat
diberikan langsung sebagai suntikan intravena dengan sangat perlahan-
lahan. Dosis untuk anak-anak sama dengan dosis untuk dewasa. Cara lain
adalah dengan menyuntikkan 2,5 ml secara infiltrasi di sekitar luka dan
2,5 ml diinjeksikan secara intramuskuler atau intravena. Pada kasus berat
dapat diberikan dosis yang lebih tinggi. Penderita harus diamati selama
24 jam untuk reaksi anafilaktik.
Reaksi Anti Venom

Terdapat 3 tipe reaksi terhadap pemberian anti venom yang mungkin terjadi:
a. Reaksi anafilaktik tipe cepat
 Terjadi 10-180 menit setelah pemberian anti venom
 Gejala meliputi: gatal, urtikaria, nausea, muntah, dan palpitasi
hingga reaksi anafilaktik yang berat seperti hipotensi, bronkospasme
dan udema laring
 Jika terjadi hal seperti itu, hentikan pemberian anti venom, berikan
adrenalin IM (0,01 ml/kgBB), antihistamin (misal klorfeniramin 0,2
mg/kg), dan cairan resusitasi
 Jika reaksinya ringan, pemberian anti venom dapat dilanjutkan
namun dengan dosis dan kecepatan yang lebih rendah
b. Reaksi pirogenik
 Terjadi 1-2 jam setelah pemberian, dikarenakan endotoksin dalam
anti venom
 Gejala meliputi demam, kaku, muntah, takikardia dan hipotensi
 Tatalaksana seperti pada kasus diatas
 Bila demam dapat diberikan parasetamol
c. Reaksi tipe lambat
 Terjadi kurang lebih seminggu kemudian
 Gejala serum like illness: demam, atralgia, limfadenopati
 Atasi dengan pemberian antihistamin (klorfeniramin 0,2
mg/kgBB/hari dibagi dalam 5 dosis)
 Jika berat, beri prednisolon oral (0,7-1 mg/kgBB/hari) selam 5-7 hari

4. Terapi Suportif
a. Bersihkan luka dengan antiseptik
b. Analgesik
c. Antibiotik bila luka terkontaminasi atau nekrosis
d. Pemberian Anti Tetanus
e. Awasi kejadian kompartemen syndrome—nyeri, bengkak, perabaan
distal dingin, dan paresis
f. Buang jaringan nekrosis

3.9 Monitoring
a. Keadaan umum dan vital sign, tanda envenomasi (keracunan) bisa ular,
pemeriksaan penunjang. Untuk kasus gigitan kering (bisa tidak diinjeksikan)
dari ular viper, observasi di Instalasi Gawat Darurat selama 8-10 jam,
dilanjutkan observasi di ruangan.
b. Pasien dengan tanda envenomasi (keracunan) yang berat membutuhkan
perawatan khusus di ICU untuk pemberian produk-produk darah,
menyediakan monitoring yang invasif, dan memastikan proteksi jalan nafas.
c. Observasi untuk gigitan ular koral minimal selama 24 jam.
d. Evaluasi serial untuk penderajatan lebih lanjut dan untuk menyingkirkan
sindroma kompartemen.
e. Ukur tekanan kompartemen setiap 30-120 menit.
f. Fasciotomi diindikasikan untuk tekanan yang lebih dari 30-40 mmHg.
Tergantung dari derajat keparahan gigitan, pemeriksaan darah lebih lanjut
mungkin dibutuhkan, seperti waktu pembekuan darah, jumlah trombosit, dan
level fibrinogen.

g.

Gambar 9. Diagram Penanganan Gigitan Ul


BAB 4
PEMBAHASAN

Penegakan diagnosis pada pasien ini didasarkan pada anamnesis dan


pemeriksaan fisik. Untuk penegakan diagnosis cukup berdasarkan klinis. Pemeriksaan
laboratorium dapat dilakukan untuk melihat komplikasi yang terjadi. Pasien
didiagnosis dengan snake bite.
Dari anamnesa didapatkan data pasien laki-laki, usia 87 tahun dengan keluhan
nyeri pada lengan bagian bawah tangan kiri setelah digigit ular sejak setengah 13 jam
yang lalu saat sedang membersihkan kebun miliknya sendiri. Pasien mengatakan ular
yang menggigitnya adalah ular gebuk, berwarna coklat. Anak pasien bercerita,
sebelum dibawa ke IGD RS, pasien dilakukan penyedotan racun dan dibawa ke
mantri kemudian diberikan obat antibiotik, setelah itu baru dibawa ke IGD RSUD
Subang.
Pada pemeriksaan fisik pasien didapatkan tekanan darah 100/70 mmHg, nadi
98x/menit, laju pernapasan 22x/menit, suhu 36,50 C, dan SpO2 97 % FA. Pada lengan
bawah tangan kiri tampak edema, berwarna biru kehijauan dan bercak darah. Bekas
gigitan ular tampak jelas. Hal ini sesuai dengan manifestasi klinis pada gigitan ular
berbisa, yaitu tanda gigitan taring (fang marks), nyeri lokal dan inflamasi.
Pada pasien ini tatalaksana yang diberikan adalah imobilisasi dengan spalk
wound toilet, ATS 1500 IU 1amp IM (skin test dahulu), SABU 4 amp + D5% 500cc
drip 20 tpm, IVFD RL 500cc loading, lalu maintenance bila tensi naik 20 tpm makro,
Ceftriaxone 2 x 1 gram iv (skin test dahulu), Keterolac inj. 2x1 amp iv, Ranitidine inj.
2x1 amp iv, Dexamethason inj. 2x1 amp iv, kemudian dikonsulkan ke dokter spesialis
bedah. Pada pasien ini tatalaksana yang diberikan sudah sesuai dengan teori.
Pada pasien juga dilakukan edukasi yaitu menjelaskan kepada pasien tentang
penyakit yang diderita, rencana pemeriksaan dan rencana terapi yang akan dilakukan,
tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien dan komplikasi yang dapat terjadi jika
tidak dilakukan penanganan dengan segera dan dengan baik.
BAB 5
KESIMPULAN

Gigitan ular adalah cedera yang disebabkan oleh gigitan dari ular baik ular
berbisa ataupun tidak berbisa. Gigitan ular dapat menjadi keadaan yang mengancam
jiwa jika tidak ditangani dengan benar. Korban dapat mengalami reaksi yang ekstrim
terhadap racun (bisa ular) dan hanya dalam hitungan menit saja, dapat menyebabkan
kematian.
Diagnosis gigitan ular dapat ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Akan tetapi tetap dibutuhkan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium
untuk mengetahui komplikasi lain yang terjadi akibat gigitan ular.
Pemberian serum anti bisa ular harus diberikan dengan cepat dan tepat.
Pengobatan serum anti bisa ular merupakan terapi yang paling efektif untuk kasus
gigitan ular berbisa karena penggunaan serum anti bisa ular mampu menurunkan tingkat
mortalitas korban gigitan ular.
DAFTAR PUSTAKA

Daley.B.J. Snakebite. Department of Surgery, Division of Trauma and Critical Care.


USA: University of Tennessee School of Medicine; 2006.

De Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 1998.

Depkes. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM Pedoman
pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit. Jakarta: Depkes RI; 2001.

Sudoyo, A.W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.

Warrel, David A. Guidelines for the management of snake bites. WHO Regional Office
for South East Asia; 2010.

WHO. Guidelines for The Clinical Management of Snake Bite in The South East Asia
Region; 2008.

Anda mungkin juga menyukai