Anda di halaman 1dari 15

PORTOFOLIO DOKTER INTERNSIP RSIM SUMBERREJO

Topik : Tetanus
Presenter :
Tanggal MRS : 15 Agustus 2016
dr. Elizabeth Margareth
Tanggal Periksa : 15 Agustus 2016
Pendamping :
Tanggal Presentasi : 14 Desember 2016
dr. Elvira
Tempat Presentasi : RSI Muhammadiyah Sumberrejo
Objektif Presentasi : Dokter Internsip RSI Muhammadiyah Sumberrejo
□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja √ Dewasa □ Lansia □ Bumil
Pasien laki-laki usia 61 tahun datang dibawa keluarga ke IGD RSIM Sumberrejo
dengan keluhan kaku pada leher dan sulit untuk membuka mulut sejak 2 hari
□ Deskripsi :
yang disertai dengan perut tegang. Pasien dengan riwayat kaki kanan luka terkena
cangkul 2 minggu yang lalu.
□ Tujuan : Menegakkan diagnosis Tetanus dan memberikan penatalaksanaan yang sesuai.
Bahan
 Tinjauan Pustaka  Riset √ Kasus  Audit
Bahasan :
Cara √ Presentasi dan
 Diskusi  E-Mail  Pos
Membahas : Diskusi
Data Pasien : Tn. K / Laki-laki / 61 tahun No. Registrasi : 00.69.64
Nama RS : RSI Muhammadiyah Terdaftar sejak : 15 Agustus
Telp :
Sumberrejo 2016
Data Utama untuk Bahan Diskusi :
1. Diagnosis : Tetanus

Gambaran Klinis:

Pasien laki-laki usia 61 tahun datang dibawa keluarga ke IGD RSIM Sumberrejo dengan
keluhan kaku pada leher dan sulit untuk membuka mulut sejak 2 hari yang disertai dengan
perut tegang. Pasien dengan riwayat kaki kanan luka terkena cangkul 2 minggu yang lalu.

Pemeriksaan fisis :

Kesadaran : Compos Mentis

TD = 120/80 mmHg, N = 100 x/menit, P = 28 x/menit, S = 36,6 °C

2. Riwayat Pengobatan :
Luka hanya dibersihkan sendiri dirumah dengan betadine

2
3. Riwayat Kesehatan/ Penyakit :
-

4. Riwayat Keluarga :
-

5. Riwayat pekerjaan:
Petani

6. Kondisi lingkungan sosial dan fisik :


Pasien berasal dari keluarga yang menengah
7. Riwayat imunisasi:
Tidak jelas
Daftar Pustaka :
 Sumiardi Karakata, Bob Bachsinar; Bedah Minor, edisi 2,J akarta : Hipokrates,1995
 Ismael Chairul ; Pencegahan dan Pengelolaan Tetanus dalam bidang bedah : UNPAD, 2000
 Hendarwanto. llmu Penyakit Dalam, jilid 1, Balai Penerbit FK UI, Jakarta: 2001, 49- 51.
 Mardjono, mahar. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat, Jakarta:2004. 322.
 http://emedicine.medscape.com/article/786414-overview
 BUKU  Ajar Ilmu Bedah . De Jong dkk. Ed 2 , Jakarta, 2004

Hasil Pembelajaran :
1. Diagnosis Tetanus
2. Penatalaksanaan Tetanus
3. Pencegahan Tetanus

2
RANGKUMAN HASIL PEMBELAJARAN PORTOFOLIO

A. Subjective:
 Keluhan Utama: Kaku pada leher dan sulit membuka mulut
 Telaah :
Kekakuan pada leher dan sulit untuk membuka mulut dialami pasien sejak 2 hari
lalu yang disertai dengan perut tegang. Pasien dengan riwayat kaki kanan luka
terkena cangkul 2 minggu yang lalu.
 RPT : -
 Riwayat Penyakit Keluarga: -
 Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik : Pasien berasal dari keluarga menengah
dengan tingkat edukasi yang cukup
 Lain-lain : -

B. Objective:
1. Pemeriksaan Fisik
 Keadaan Umum: cukup
 Kesadaran: composmentis
 GCS E4V5M6
 Vital sign
o Nadi: 100 x/menit
o RR: 28 x/menit
o Temp: 36,6 C
o Tensi 120/80 mmHg
 Kepala leher:
o Mata : conjunctiva anemis -/-, sklera icterik -/-, diameter pupil 3cm/3cm
o Mulut : trismus (+)
o Leher : kaku kuduk (+), pembesaran KGB (-), JVP R+2cmH2O
 Thorax:
o Pulmo:
 Inspeksi : simetris
 Palpasi : stem fremitus kanan=kiri
 Perkusi : sonor/sonor
 Auskultasi: ves +/+, rh -/-, wh-/-
o Cor:

2
 Inspeksi: hemithorax bulging (-)
 Palpasi: fremisment (-)
 Perkusi: ukuran jantung normal
 Auskultasi: s1 s2 tunggal m(-) g(-)
 Abdomen:
o Inspeksi: Flat, simetris
o Palpasi: rigid, H/L sulit dinilai
o Perkusi: timpani
o Auskultasi: BU (+) normal
 Ekstrimitas : kaku keempat ekstremitas, ekstremitas bawah ekstensi, CRT<2
detik
2. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan Darah Lengkap (15 Agustus 2016)
PEMERIKSAAN HASIL PEMERIKSAAN NILAI NORMAL
L: 13,5-18,0
Hemoglobin 12,8
  P:11,5-16,0g/dL
Lekosit   8.400 4.000 - 11.000/ cmm
Hitung jenis      
  Segmental 73  36 – 66
  Lymphosit 23  22 – 40
  Monosit 4  3 – 8
Trombosit   215.000 150.000 – 450.000/cmm
Hematokrit   43,2 L: 40 - 54% P: 37 – 47%
L: 4,5 – 6,5
Eritrosit 4,67
  P: 3,0 – 6,0 jt/cmm

- Pemeriksaan Elektrolit (15 Agustus 2016)


Natrium 137,95 135-145 mmol/L
Kalium 4,82 3,5-5,5 mmol/L
Chlorida 108,44 96-106 mmol/L

D. Problem List
Subyektif
1. Kaku leher
2. Sulit membuka mulut
3. Kaku anggota gerak
Obyektif

2
1. Kaku leher
2. Spatula test (+)
3. Trismus
4. Rigiditas otot abdomen
5. Spasme extremitas bawah

E. Assesment :
A. Definisi Tetanus
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme,
yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. ( Aru
W, 2007). Tetanus merupakan penyakit infeksi akut dan sering fatal yang dimana basil Clostridium tetani
menghasilkan tetanospasmin neurotoksin, biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka tusuk yang
terkontaminasi (seperti oleh jarum logam, splinter kayu, atau gigitan serangga). (Dorland, 2002)

B. Etiologi
Spora tetanus dapat bertahan hidup beberapa tahun pada beberapa lingkungan dan
resisten terhadap desinfektan dan rebusan selama 20 menit.
1. Sumber infeksi tetanus biasanya luka kecil (65% kasus) dan tidak langsung diterapi
secara medis pada awal terjadi luka. Ekstremitas bawah merupakan tempat yang tersering
terjadinya luka (52% pasien), ekstremitas atas pada 34% pasien, dan kepala atau badan
pada 5% pasien.
2. Ulkus kulit yang kronis didapati pada 5% kasus
3. Infeksi dari luka bakar
4. Frostbite
5. Infeksi telinga tengah
6. Infeksi gigi
7. Pembedahan
8. Abortus
9. Kelahiran
10. Injeksi intravena/subkutan
11. Kasus yang jarang: intranasal, abrasi kornea, corpus alienum (KB implant)
12. Pasien dengan imunisasi tidak lengkap

C. Patofisiologi
Clostridium tetani adalah bakteri anaerob gram positif, tidak berkapsul dan
membentuk spora yang resisten terhadap panas, pengawetan dan desinfektan. Kuman ini
ditemukan di tanah, debu rumah, usus binatang, dan feces manusia. Spora dapat bertahan
pada jaringan normal bulan hingga tahun.

2
Untuk tumbuh, spora memerlukan kondisi yang spesifik anaerob, seperti pada luka
dengan yang rendah oxidase seperti pada jaringan mati atau corpus alienum. Pada kondisi ini,
selama pertumbuhan, kuman ini memproduksi toxin.
Infeksi yang disebabkan oleh kuman tetanus akan memberikan penampakan yang ringan pada
luka masuknya karena bakteri ini tidak mampu untuk merangsang respons inflamasi kecuali
terjadi koinfeksi dengan bakteri lainnya
Ketika kondisi anaerob yang sesuai terjadi, spora bertumbuh dan memproduksi 2 toxin:
 Tetanolysin.
 Tetanospasmin. Toxin inilah yang menyebabkan terjadinya manifestasi klinis pada
tetanus.
Tetanospasmin disintesis sebagai 150-kd protein yang terdiri dari 100-kd rantai panjang
dan 50-kd rantai pendek dihubungkan dengan gugus disulfida. Ranati panjang memediasi
pengikatan tetanospasmin ke presinaptik dari motor neuron dan juga membuat lubang untuk
masuknya rantai pendek kedalam sitosol. Rantai pendek merupakan protease yang dependend
terhadap zink yang membelah sinaptobrevin.
Setelah rantai pendek memasuki motor neuron, kemudia dia akan berjalan secara
transport axonal retrograde dari daerah yang terkontaminasi ke medulla spinalis dalam waktu
2-14 hari. Ketika toxin mencapai medulla spinalis, dia akan masuk ke pusat neuron inhibitor.
Rantai pendek akan membelah sinaptobrevin, yang secara utuh terikat ke neurotransmiter
yang berisi vesikel pada membrane sel.
Hasilnya vesikel yang berisi GABA dan glisin tidak melepaskan neurotransmiternya.
Sehingga kehilangan aksi dari inhibitori pada motor neuron dan neuron autonom. Dengan
kehilangan dari pusat inhibisi, maka terjadi hiperaktivitas dari autonom dan terjadi juga
kontraksi otot yang tidak terkontrol (spasme) sebagai respon terhadap stimulus normal seperti
suara dan cahaya. Ketika toksin menyatu dengan neuron maka tidak bisa lagi dinetralisis
dengan antitoksin. Penyembuhan fungsi saraf dari tetanus memerlukan pertumbuhan terminal
saraf yang baru dan formasi dari sinaps yang baru.
Tetanus yang terlokalisir terjadi ketika hanya terkana satu saraf otot saja. Sedangkan
general tetanus terjadi ketika toxin terkena ke luka dan menyebar melalui pembuluh limpatik
dan darah ke beberapa terminal saraf.

D. Manifestasi Klinis
Masa inkubasi 5-14 hari tetapi dapat lebih singkat ( 1 hari sampai 3 minggu). Tanda
pertama yang umum pada tetanus adalah sakit kepala dan kekakuan otot rahang (lockjaw),
yang diikuti oleh kaku leher, sulit menelan, kaku otot-otot perut, spasme, dan berkeringat.
Pasien biasanya tidak demam. Stimulasi dari dinding posterior faring (spatula test) akan
memicu reflex spasme dari otot masseter yang menyebabkan pasien menggigit, yang
seharusnya terjadi adalah reflex muntah (gag reflex). Pada tetanus berat, dapat terjadi

2
opistotonus, fleksi dari lengan, ekstensi dari tungkai, periode apnoe sebagai hasil dari spasme
otot interkosta dan otot diafragma, dan kekakuan dari otot abdomen. Manifestasi lanjut
adalah berkembangnya disfungsi otonom yang ditandai dengan hipertensi dan takikardi
menjadi hipotensi dan bradikardi, dan dapat terjadi henti jantung.
Ekstremitas bawah adalah tempat paling sering terjadi luka pada 52% pasien,
ekstremitas atas pada 34% pasien, leher dan kepala pada 5% pasien.
 Generalized Tetanus
Trismus yang terus-menerus menjadi karakteristik dari risus
sardonikus dan kejang yang menetap pada otot punggung dapat menyebabkan
opistotonus. Secara progresif, ekstremitas atas dapat menjadi fleksi yang nyeri
dan aduksi, tangan mengepal, dan ekstensi dari ekstremitas bawah.
Suara dan rabaan dapat merangsang spasme dan kejang. Keterlibatan
dari system saraf otonom dapat menyebabkan aritmia, tekanan darah yang
tidak stabil, keringat yang berlebihan, hipertermia, rhabdomiolisis, spasme
laring, dan retensi urin.

 Localized Tetanus
Pada kasus yang ringan, pasien biasanya lemah keempat ekstremitas,
pada kasus berat biasanya terjadi spasme otot disertai rasa nyeri di sekitar
daerah luka. Gejala ini biasanya menetap selama beberapa minggu dan hilang
dengan sendirinya. Namun ada juga yang berkembang menjadi generalized
tetanus.
 Cephalic Tetanus
2
Cephalic Tetanus merupakan kasus yang jarang terjadi dimana sering
disebabkan oleh otitis media kronik atau trauma kepala. Gejalanya berupa
kelumpuhan nervus cranial dan yang paling sering Nervus VII. Optalmoplegi
tetanus terjadi bila terdapat luka daerah sekitar mata dan terdapat kelumpuhan
Nervus III dan ptosis.
 Neonatal tetanus
Neonatal tetanus mengalami kesulitan untuk menghisap pada 3-10 hari
setelah kelahiran, menangis terus menerus, merintih, kekakuan, dan
opistotonus.

E. Klasifikasi
 Tetatus local (Localized Tetanus)
Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah
tempat dimana luka. Kontraksi otot biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa
bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara bertahap. Lokal tetanus ini
bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan dan
jarang menimbulkan kematian.
 Cephalic Tetanus
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi
berkisar 1 –2 hari, yang berasal dari otitis media kronik, luka pada daerah muka dan
kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung.
 Generalized Tetanus
Bentuk ini yang paling banyak dikenal dan sering menyebabkan komplikasi.
Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai ( 50 %), yang disebabkan oleh
kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang
menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa Risus
Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus (kekakuan otot
punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa
menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianosis, dan asfiksia. Bisa terjadi disuria dan
retensi urine, fraktur kompresi dan pendarahan di dalam otot. Kenaikan temperatur
biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi
ataupun hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan dijumpai takhikardia, penderita
biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis.
 Tetanus Neonatorum
Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat sewaktu
proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses pertolongan
persalinan yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah terkontaminasi
spora C.tetani, maupun penggunaan obat-obatan untuk tali pusat yang telah
2
terkontaminasi. Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat
tradisional yang tidak steril, merupakan faktor yang utama dalam terjadinya neonatal
tetanus.

F. Tatalaksana

Sasaran terapi pada pasien tetanus meliputi:

 Terapi suportif awal

 Debridement luka untuk membuang spora dan menurunkan kondisi


perkembangbiakan kuman

 Memberhentikan produksi racun pada luka

 Menetralisir racun didalam tubuh

 Mengontrol manifestasi klinis yang disebabkan penyakit

 Menangani komplikasi

Terapi suportif awal dan penanganan luka

Pasien harus ditempatkan di ICU. Karena resiko dari refleks spasme, maka
lingkungan tempat pasien haruslah gelap dan sunyi. Prosedur dan manipulasi yang tidak
penting harus dihindarkan.

Intubasi untuk propilaksis harus sangatlah dipertimbangkan pada pasien dengan


manifestasi klinis yang moderat hingga buruk. Intubasi dan bantuan ventilator diperlukan
pada 67% pasien. Sewaktu melakukan tindakan intubasi dapat memicu refleks laringospasme,
sehingga perlu dipersiapkan prosedur untuk tindakan bedah dalam mengamankan jalan nafas
(trakeostomi). Komplikasi ini dapat dicegah dengan menggunakan teknik rapid sequence
intubation.

Trakeostomi haruslah dilakukan pada pasien yang telah diintubasi selama 10 hari.
Trakeostomi juga direkomendasikan jika terjadi kejang umum.

Kemungkinan tetanus berkembang berhubungan lansung dengan karakteristik luka.


Luka oleh benda tajam yang vaskularisasinya tidak terganggu dan juga tidak terkontaminasi
sangat jarang berkembang menjadi tetanus. Luka selain itu dapat diwapadai menjadi tetanus.
Luka terbanyak yang dapat dicurigai berkembang menjadi tetanus adalah luka yang sangat
kotor yang disebabkan luka tumpul atau gigitan. Luka harus dieksplorasi, dibersihkan, dan
didebridement.

2
Pada beberapa kasus, luka yang menyebabkan tetanus dapat kelihatan bersih,
sehingga tindakan bedah debridement tidak terlalu bermanfaat. Kalau debridement
terindikasi, harus dilakukan jika keadaan pasien telah stabil. Rekomendasi terkini adalah
dengan mengeksisi sekurangnya luka 2 cm melebihi batas jaringan normal luka. Abses harus
diinsisi dan didarainase. Dikarenakan resiko pelepasan dari tetanospasmin ke alairan darah,
maka manipulasi luka harus ditunda hingga beberapa jam setelah dimasukkan antitoxin.

Eliminasi produksi toxin

Antimikroba dipakai untuk menurunkan jumlah dari bentuk vegetatif C tetani (the
toxin source) pada luka. Beberapa tahun, penicillin G telah menjadi drug of choice yang
diterima di seluruh dunia, tetapi sekarang tidaklah lagi. Metronidazole telah dibandingkan
dan mempunyai aktivitas antimikroba yang lebih baik. Sementara penicillin diketahui sebagai
antagonis dari GABA yang sama seperti toxin tetanus. Metronidazole juga menurunkan
angka mortalitas.

Antimikroba yang lain yang dapat dipergunakan adalah klindamisin, eritromisin,


tetrasiklin, dan vancomisin. Meskipun cara kerjanya belum jelas.

Menetralisir toxin tetanus

Tetanus immune globulin (TIG) direkomendasikan untuk terapi tetanus. Harus diingat
bahwa TIG hanya dapat mengangkat toxin tetanus yang bebas (di aliran darah), tapi dia tidak
dapat berefek pada toxin yang telah melekat pada saraf. Diberikan secara dosis tunggal
intramuskular (IM) dengan dosis 3000-5000 unit secara umum direkomendasikan untuk
pengobatan pada anak dan dewasa, dengan sebagian dosis diinjeksikan disekitar luka jika
luka teridentifikasi.

WHO merekomendasikan TIG 500 unit IM atau IV segera mungkin; sebagai


tambahan 0,5 ml tetanus toxoid diinjeksika IM pada daerah yang terpisah dari injeksi TIG.

Penyakit tetanus tidak mempengaruhi imunitas, pasien dengan tanpa riwayat vaksin
tetanus toxoid awal sebaiknya diberikan dosis kedua pada 2-3 bulan setelah dosis pertama
dan dosis ketiga 6-12 bulan selanjutnya.

Mengontrol manifestasi klinis

Terapi utama untuk simptom dari tetanus adalah benzodiazepin. Diazepam merupakan
obat yang paling sering diteliti dan digunakan. Diazepam dapat menurunkan ansietas,
produksi air liur, dan dapat merelaksasi otot. Lorazepam dapat merupakan alternatif lain yang
juga efektif.

Untuk mencegah spasme yang lebih lama dari 5-10 detik, diberikan diazepam IV
dengan dosis 10-40 mg setiap 1-8 jam. Vecuronium atau pancuronium merupakan alternatif

2
lain yang adequat. Midazolam 5-15 mg/jam IV juga digunakan. Jika spasme tidak terkontrol
dengan benzodiazepin, maka diperlukan block neuromuskular untuk jangka panjang.

Phenobarbital merupakan antikonvulsan lain yang dapat dipakai untuk


memperpanjang efek dari diazepam. Phenobarbital juga dipakai untuk mengobati spasme otot
yang parah dan memberikan sedasi ketika obat untuk memblock neuromuskular dipakai. Obat
lainnya yang dipakai untuk mengontrol spasme meliputi baklofen, dantrolen, barbiturat kerja
singkat, dan chlorpromazin. Propofol digunakan untuk sedasi.

Baclofen intratekal, yang bekerja sebagai muscle relaxan secara sentral, telah dipakai
dalam proses weaning pasien dari ventilator dan untuk memberhentikan pemakaian infus
diazepam. Baklofen intratekal 600 kali lebih efektif dibandingkan baklofeen oral. Injeksi
intratekal berulang menyebabkan pembatasan durasi pemakaian ventilator atau mencegah
intubasi. Beberapa laporan kasus dan penelitian telah menetapkan bahwa bakloven intratekal
efektif untuk mengontrol kekakuan otot, meskipun masih banyak yang mempertanyakannya.

Efek dari Baclofen dimulai antara 1-2 jam dan menetap 12-48 jam. Waktu paruh
baklofen pada cairan serebro spinal (CSS) merentang dalam 0,9 – 5 jam. Setelah injeksi
lumbar intratekal, ratio konsentrasi cervical ke lumbal adalah 1:4. Efek samping tersering
adalah penurunan kesadaran dan gangguan pernafasan.

Mengatasi komplikasi

Terapi spesifik untuk komplikasi sistem autonom dan mengontrol spasme haruslah
dilakukan sedini mungkin. Magnesium sulfat dapat dipakai sendiri ataupun dikombinasikan
dengan benzodiazepin untuk mengatasi komplikasi ini. Diberikan secara IV dengan loading
dose 5 g (75mg/kg), dilanjutkan dengan melalui infus ysng kontinius dengsn dosis 2-3 g/jam
sampai spasme terkontrol.

Refleks patellar harus selalu dimonitor, arefleksia ditemukan pada dosis terapi yang
terlalu tinggi (4mmol/l). Jika terjadi arefleksia maka dosis harus diturunkan. Infus
magnesium sulfat tidak menurunkan tingkat kebutuhan mesin ventilator pada orang dewasa
dengan tetanus yang buruk, tetapi dapat menurunkan kebutuhan pemakaian obat pengontrol
spasme otot dan juga menurunkan instabilitas cardiovaskular.

Pada meta analisis dari 3 penelitian yang membandingkan magnesium sulfat dengan
placebo atau diazepam untuk penatalaksanaan tetanus, magnesium sulfat tidak menurunkan
angka mortalitas dan resiko relatif. Investigator menyimpulkan perlu untuk dilakukan
penelitian trial control lanjutan untuk mengevaluasi efek poten dari terapi ini pada disfungsi
autonom, spasme, lamanya waktu rawat inap, dan kebutuhan mesin ventilator.

2
Morfin dapat juga sebagai pilihan. Dahulu, dipakai beta bloker, tetapi dapat
menyebabkan hipotensi dan kematian tiba-tiba. Hanya esmolol yang saat ini
direkomendasikan.

Hipotensi memerlukan fluid replacement dan pemberian dopamin atau norepinefrin.


Overaktivitas parasimpatis jarang terjadi, tetapi jika terjadi bradikardia, maka memerlukan
pacemaker. Tetanus tidak menyebabkan kekebalan terhadap serangan selanjutnya. Maka dari
itu, seluruh pasien harus diberikan imunisasi yang lengkap dengan tetanus toxoid selama
periode pemulihan.

Diet dan aktivitas

Nutrisi yang adekuat sangatlah penting. Karena resiko tinggi terjadinya aspirasi,
pasien tidak boleh dikasi makan melalui mulut. Nutrisi dapat diberikan melalui NGT,
gastrostomi, atau parenteral. Dan nutrisi harus dikonsultasikan dengan ahli gizi.

Pasien tirah baring pada kamar yang gelap dan sunyi. Dikarenakan dengan stimulus
yang sangat kecil saja dapat menyebabkan siklus spasme.

G. Pencegahan tetanus

Pencegahan tetanus dicapai melalui tahapan primer dan sekunder. Pencegahan primer
pada tetanus dilakukan dengan memberikan vaksinasi DTP atau DtaP pada usia 2 bulan, 4
bulan, 6 bulan, 12-18 bulan, dan 4-6 tahun. Pada tahun 2006 Advisory Commite on
Immunization Practices (ACIP) mengeluarkan rekomendasi penggunaan Tdap.

Untuk pasien dengan usia 7 tahun atau lebih yang belum pernah divaksinasi tetanus,
difteri dan pertusis, diberikan vaksinasi serial 3 dosis yang berisi toxoid tetanus dan difteri.
Serial 3 dosis yang dianjurkan adalah dosis tunggal Tdap, diikuti Td pada 4 minggu setelah
pemberian Tdap dan pemberian Td lagi 6-12 bulan berikutnya.

Alternatif lain, pada situasi dimana seseorang mungkin telah mendapat vaksinasi
terhadap tetanus dan difteri tetapi tidak dapat menunjukkan rekaman medisnya. Provider
vaksin dapat mempertimbangkan test serologi untuk antibody tetanus dan difteri dengan
tujuan untuk menghindari vaksinasi yang tidak perlu. Jika kadar anti toxin tetanus dan difteri
lebih tinggi dari 0,1 IU/ml, maka dapat disangkakan bahwa dia telah mendapat vaksinasi
tetanus difteri. Maka hanya diberi 1 dosis tunggal Tdap.

Orang dewasa yang mendapat vaksinasi serial tetanus dan difteri yang tidak lengkap
harus divaksinasi dengan serial 3 dosis primer tetanus difteri. 1 dosis Tdap harus dipakai
menggantikan Td jika pasien tidak pernah mendapat dosis Tdap.

2
Pemberian Tdap pada kehamilan trismester kedua dan ketiga tidak merupakan
kontraindikasi.

Pencegahan tetanus sekunder dicapai setelah pemaparan luka, pembersihan luka, dan
debridement yang disertai pemberian tetanus toxoid (Td, Tdap, DT, dll) dan TIG, ketika
terindikasi. Formulasi untuk anak jumlahnya sama dengan dewasa untuk toxoid tetanus tetapi
3-4 x lebih banyak untuk toxoid difteri.

Berikut merupakan luka-luka yang harus dicurigai dapat menyebabkan tetanus:

1. Luka yang terbuka lebih dari 6 jam.


2. Luka yang dalam (> 1 cm).
3. Luka yang sangat kotor.
4. Luka yang terkena ludah, feces, atau luka iskemik atau infeksi (abses).
5. Luka avulsi, tusukan ataupun crush injury.

Tidak perlu menunggu 10 tahun untuk mendapat dosis Tdap setelah pemberian Tdap
terahir. Interval yang pendek, seperti 2 tahun, dapat menurunkan tingkat reaktivitas tetanus,
bahkan dapat lebih singkat jika pasien merupakan resiko tinggi terkena pertusis. Provider
harus mengetahui bahwa interval pendek bukan merupakan kontrindikasi, keamanan vaksin
telah teruji dan tidak dapat mengganggu sistem imun dengan memendekkan interval.

Orang dewasa tanpa luka yang dapat menyebabkan tetanus harus diberikan Td atau Tdap
jika dia mendapat vaksinasi kurang dari 3 dosis serial primer atau lebih dari 10 tahun dari
pemberian toksoid tetanus yang terakhir.

Tdap lebih dianjurkan daripada Td untuk orang dewasa yang telah divaksinasi lebih dari
lebih dari 5 tahun yang memerlukan toksoid tetanus sebagai bagian dari tatalaksana lukanya
dan juga untuk orang dewasa yang belum pernah diberikan Tdap. Tdap diindikasikan hanya 1
kali, maka dari itu untuk orang dewasa yang telah divaksinasi menggunakan Tdap (setelah
usia 7 tahun), maka tetanus toxoid yang dipakai adalah Td jika terindikasi pemberian tetanus
toxoid pada penatalaksanaan luka.

Peninjauan ulang status immunisasi seluruh pasien yang datang ke IGD adalah penting.
Imunisasi harus diberikan jika booster terahir lebih dari 10 tahun. Jika pasien tidak dapat
mengingat atau memberikan riwayat imunisasi, maka dapat dilakukan
Immunochromatographic Dipstick Test untuk mengetahui status imunitas tetanus.

ACIP merekomendasikan vaksinasi pada remaja dengan usia 11-12 tahun dan untuk
dewasa pada usia 50 tahun, meninjau ulang riwayat vaksinasi dan memperbaharui status
vaksinasi tetanus. Ini sebagai tambahan untuk rekomendasi booster setiap 10 tahun.

Pada tahun 2011 dan 2012, ACIP memperbaharui rekomendasi untuk penggunaan Tdap.
Bagian pentingnya meliputi:
2
1. Waktu pemberian Tdap setelah Td – Vaksinasi pertusis, ketika terindikasi, tidak boleh
ditunda. Tdap harus diberikan tanpa memperhatikan interval kapan terahir vaksin
toksoid tetanus dan difteri diberikan.
2. Tdap pada orang dewasa – Semua orang dewasa (19 tahun keatas) yang belum
mendapat dosis Tdap harus mendapat dosis tunggal Tdap tanpa memperhatikan
interval kapan terahir diberikan vaksinasi toksoid tetanus dan difteri, kemudian harus
dituntaskan mendapatkan Td untuk imunisasi booster rutin.
3. Penatalaksanaan luka untuk orang dewasa – Vaksin toksoid tetanus dapat
direkomendasikan sebagai bagian dari standar penatalksanaan luka pada orang
dewasa usia 19 tahun atau lebih jika dia terahir kali mendapat Td lebih dari 5 tahun.
Jika tetanus booster terindikasi, Tdap lebih baik dari Td untuk penatalaksanaan luka
pada orang dewasa jika belum pernah mendapatkan Tdap sebelumnya.
4. Dewasa usia 65 tahun dan lebih – Mereka yang ada riwayat kontak dekat dengan bayi
usia kecil dari 12 bulan atau yang terindikasi memiliki kontak dekat dengan bayi kecil
12 bulan dan belum pernah mendapat Tdap harus diberikan dosis tunggal Tdap. Tdap
dapat diberikan tanpa memperhatikan terahir kali diberikan vaksin toksoid tetanus
difteri. Td diberikan sebagai imunisasi booster rutin.
5. Jika mungkin dapat dikerjakan, booster juga diberikan untuk orang dewasa usia 65
tahun atau lebih, namun, kedua jenis vakasin tersebut (Tdap dan Td) yang diberikan
kepada orang usia 65 tahun atau lebih bersifat immunogenik (dapat merangsang
terjadinya autoimun), sehingga diperlukan proteksi dengan dosis yang sangat valid.
6. Wanita hamil yang belum pernah mendapat Tdap – Tdap yang diberikan selama
hamil, lebih baik diberikan pada trimester ketiga atau pada ahir trimester kedua
(setelah 20 minggu gestasi). Jika tidak diberikan selama hamil, harus diberikan segera
sesudah melahirkan. Jika booster diperlukan juga diberikan pada saat hamil, maka
diberikan pada waktu-waktu seperti diatas.
7. Wanita hamil dengan riwayat vaksinasi tetanus yang tidak diketahui atau tidak
lengkap – Untuk memastikan proteksi, diberikan 3 vaksinasi toksoid tetanus dengan
mengurangi toxoid difteri, idealnya pada 0 minggu, 4 minggu, 6-12 bulan, Tdap yang
menggantikan 1 dosis Td, sebaiknya diberikan pada ahir trimester kedua dan trimester
ketiga.
8. Anak-anak usia 7-10 tahun yang kurang vaksinasi – Jika tidak ada kontraindikasi
untuk vaksin pertusis, diindikasikan dosis tunggal Tdap. Jika dosis tambahan vaksin
toksoid tetanus dan difteri dibutuhkan, vaksinasi diberikan sesuai pedoman yang
berlaku dengan Tdap lebih baik diberikan pada dosis awal.

Diseluruh dunia, tetanus neonatal dapat dihilangkan dengan meningkatkan imunisasi


wanita usia produktif, khususnya wanita hamil, dan dengan meningkatkan perawatan setelah
melahirkan. Pemberian tetanus toxoid 2 kali selama hamil (4-6 minggu terpisah, terutama
2
pada ahir trimester 2) dan kemudian paling sedikit 4 minggu sebelum melahirkan
direkomendasikan bagi wanita hamil yang belum mendapat imunisasi sebelumnya. Antibodi
antitetanus ibu akan dialirkan ke fetus, dan imunisasi pasif ini efektif untuk beberapa bulan.

F. Planning:
Diagnosis :
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik dan penunjang, ditemukan gejala dan tanda yang
mengarah ke diagnosis Tetanus.
Planning therapy :
o MRS  Ruangan gelap dan hening
o IVFD PZ 1000cc/24 jam
o 02 masker 10 lpm
o Drip Diazepam 2ampul dalam 500cc PZ
o Inj intravena Penicillin G 3.000,000 IU
o Inj intravena ATS 20.000 IU/hari selama 3 hari
o Drip Sanmol Infus 3x500mg
o Inj Ceftriaxone 2x1 gram

Planning monitoring :
o Keluhan subyektif
o Jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi
o Keadaan umum, kesadaran.

Edukasi : dilakukan pada pasien dan keluarga mengenai kondisi terkini pasien,
tatalaksana apa yang akan dilakukan, komplikasi yang mungkin terjadi.

Konsultasi : Konsultasi diperlukan untuk penatalaksanaan lebih lanjut bagi pasien. Oleh
karena itu dilakukan konsultasi untuk penatalaksanaan dan perawatan lebih lanjut oleh
Spesialis Penyakit Dalam.

Anda mungkin juga menyukai