Anda di halaman 1dari 44

PRESENTASI KASUS ONKOLOGI

TUMOR PAROTIS

Pembimbing:

dr. Lopo Triyanto, Sp.B.Onk

Disusun oleh:

Elsya Melinda 1810221016

SMF ILMU BEDAH


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAKARTA
2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS ONKOLOGI

TUMOR PAROTIS

Disusun oleh :

Elsya Melinda 1810221016

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti kepaniteraan klinik di


bagian Ilmu Bedah RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal September 2018

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Lopo Triyanto, Sp.B.Onk

2
BAB I

PENDAHULUAN

IDENTITAS PASIEN

NAMA : Ny. Esti

UMUR : 51 Tahun

ALAMAT : Tembelang Wetan RT02/01 Sudagaran Banyumas

PEKERJAAN : Ibu Rumah Tangga

AGAMA : Islam

JENIS KELAMIN : Perempuan

I. Subjektif

A. Keluhan Utama
Benjolan pada bawah telinga kanan
B. Riwayat Penyakit Sekarang
1. Onset
Kurang lebih 6 tahun yang lalu
2. Kronologi

Pasien mengeluhkan terdapat benjolan pada bagian bawah


telinga kanan sejak 6 tahun yang lalu. Benjolan tersebut hampir
berukuran sebesar telur ayam kampung, teraba keras dan tidak nyeri.
Karena kekhawatiran pasien terhadap benjolan yang ada pada tahun
2013 pasien berobat ke poliklinik bedah onkologi RS BMS dan
dilakukan biopsi pada benjolan tersebut. Selanjutnya pasien di
program untuk melakukan pengangkatan benjolan tersebut hanya saja
diurungkan karena tekanan darah pasien yang tinggi. Selain itu pasien

1
merasa benjolan dibawah telinga besarnya menetap dan juga tidak
nyeri, sehingga pasien tidak melanjutkan untuk program pengobatan.
Setelah beberapa waktu karena pasien merasa benjolan tersebut
menggangu aktivitas dan penampilan, pasien memutuskan datang ke
poliklinik bedah onkologi RSMS untuk dilakukan pemeriksaan
terhadap benjolannya dan dilakukan biopsi ulang pada bulan Juni
2018. Hasil biopsi menunjukkan bahwa pasien terkena tumor parotis.

3. Kuantitas
Rasa mengganjal dan tidak nyaman pada leher dirasakan semakin
lama pasien seiring dengan berjalannya waktu.
4. Kualitas
Rasa mengganjal dirasakan di telinga bawah kanan.
5. Gejala Penyerta
Pasien mengeluhkan sering pegal dan kaku pada leher.
6. Faktor yang memperingan
Gejala berkurang jika pasien tertidur.
7. Faktor yang memperberat
Tidak ada.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien memiliki riwayat hipertensi dan rutin minum obat hipertensi.

D. Riwayat Penyakit Keluarga


Kakak pasien memiliki keluhan yang sama dengan pasien tetapi
sudah sembuh.
E. Keadaan Sosial-Ekonomi
Pasien seorang ibu rumah tangga yang aktif beraktivitas setiap
harinya.
F. Hubungan Antar Keluarga
Hubungan antar keluarga baik dan pasien sering berkumpul
bersama anak dan cucu nya.
G. Riwayat Gizi

2
Pola makan 2-3x sehari dengan lauk tersering ayam, tempe dan tahu.

II. Objektif

A. Status Internus Pasien


1. Keadaan Umum : baik
2. Kesadaran/GCS : E4V5M6
3. Tekanan Darah : 150/80
4. Denyut Nadi : 88x/menit
5. Pernafasan : 22x/menit
6. Berat badan : 75 kg
7. Tinggi Badan : 160 cm

B. Status Generalis

Pemeriksaan kepala
Rambut : warna hitam, tidak mudah dicabut
Mata : SI -/-, CA +/+, pupil isokor, reflex cahaya +/+.
Hidung : tidak ada secret, tidak ada deviasi.
Bibir : mukosa bibir basah, tidak tampak sianosis.
Wajah : terdapat benjolan/massa di regio parotid dextra

Pemeriksaan leher
Tidak ada pembesaran KGB dan thyroid

Pemeriksaan thoraks
a. Paru-paru
Depan
Inspeksi : simetris +/+, tidak ada ketertingaalan nafas, massa (-)
Palpasi : vokal fremitus normal +/+, tidak ada krepitasi.
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru.
Auskultasi : vesikuler +/+. Rh -, wh -.

Belakang

3
Inspeksi : simetris +/+, tidak ada ketertingaalan nafas.
Palpasi : vokal fremitus normal +/+, tidak teraba massa.
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru.
Auskultasi : vesikuler +/+, suara tambahan -/-

b. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : tidak teraba ictus cordis, massa -
Perkusi : batas jantung : normal, tidak ada pembesaran
Batas jantung kanan : ICS IV linea parasternal dextra
Batas jantung kiri : ICS V linea midclavikularissinistra
Batas jantung atas : ICS II linea parasternalsinistra
Pinggang jantung : ICS III parasternal sinistra
Auskultasi : BJ I dan II murni regular

Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus normal, tidak ada bunyi tambahan.
Palpasi : Soepel, tidak teraba massa, defans muscular -, nyeri tekan-, hepar
tidak teraba
Perkusi : Tympani seluruh lapang abdomen

Pemeriksaan ekstrimitas
Kekuatan otot : 5/5//5/5
Sensibilitas : dextra dan sinistra tidak ada kelainan
Refleks fisiologis : (+/+) Refleks patologis : (-/-) Edema : (-/-)

C. Status Lokalis
Pemeriksaan parotid dextra
Inspeksi : Tampak massa sebesar telur ayam kampung pada parotid dextra,
Retraksi-, abses -, darah-, hangat-, kemerahan-.
Palpasi : Teraba massa 3cmx3cm pada bagian bawah telinga dan paroid dextra,

4
terfiksir, konsistensi keras, permukaan rata, dan batas tegas.

D. Pemeriksaan Penunjang
Hasil laboratorium RSMS (03/09/18)
Hemoglobin 15.2
Leukosit 7270
Hematokrit 42
Eritrosit 5.2
Trombosit 267.000
MCV 80.9
MCH 29.3
MCHC 36.3 H
RDW 13.4
MPV 9.6
Basofil 0.0
Eosinofil 0.0 L
Batang 0.5 L
Segmen 70.6 H
Limfosit 21.5 L
Monosit 7.4
Granulosit 5170 H
PT 11.2
APTT 36.4
Albumin 3.76
SGOT 33
SGPT 41
Ureum 22.5
Kreatinin 1.03 H
GDS 184
Na 140
K 3.2 L
Cl 108

5
Ca 8.6
HbSAG Non reaktif
Pemeriksaan Biopsi PA
Pleomorphic adenoma parotis dextra

III. Assesement
Tumor Parotis Dextra

IV. Planning
Pro Parotidektomi

VI. Follow up Pre-parotidektomi (04/09/18)


A. Subjektif
Pasien mengeluhkan rasa mengganjal dan tidak nyaman di telinga bawah dan
leher kanan
B. Objektif
TD : 130/80
Nadi : 80x/menit
RR : 22x/menit
Suhu : 36.5
C. Pemeriksaan Status Generalis: dalam batas normal
D. Status Lokalis :
Pemeriksaan parotid dextra
Inspeksi : Tampak massa sebesar telur ayam kampung pada parotid dextra,
Retraksi-, abses -, darah-, hangat-, kemerahan-.
Palpasi : Teraba massa 3cmx3cm pada bagian bawah telinga dan paroid dextra,
terfiksir, konsistensi keras, permukaan rata, dan batas tegas

6
VII. Follow up Post-parotidektomi (05/09/18)
A. Subjektif
Pasien mengeluhkan sedikit nyeri pada jahitan bekas operasi
Mual (+), Muntah(+), Pusing (+)
B. Objektif
TD : 130/80
Nadi : 82x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 36.6
C. Pemeriksaan Status Generalis: dalam batas normal
D. Status Lokalis :
Pemeriksaan parotid dextra
Parotid kanan bekas operasi terdapat jahitan tertutup kassa, tidak rembes,
tidak terdapat darah.
E. Assesement
Tumor Parotis Dextra H+1 parotidektomi
F. Planning Post-OP
IVFD NaCl 0.9%

7
Po Amlodipin 1x10 mg
Inj. Ceftriakson 2x1
Inj. Ketorolac 3x1

VIII. Follow up Post-parotidektomi (06/09/18)


A. Subjektif
Pasien mengeluhkan nyeri pada bekas jahitan menghilang
Mual (-), Muntah(-) , Pusing (+)

8
B. Objektif
TD : 130/80
Nadi : 80x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 36.8
C. Pemeriksaan Status Generalis: dalam batas normal

D. Status Lokalis :
Pemeriksaan parotid dextra
Parotid kanan bekas operasi terdapat jahitan tertutup kassa, tidak rembes,
tidak terdapat darah.
E. Assesement
Tumor Parotis Dextra H+2 parotidektomi
F. Planning Post-OP
IVFD NaCl 0.9%
Po Amlodipin 1x10 Mg
Inj. Ceftriakson 2x1
Inj. Ketorolac 3x1

Kesimpulan

 Terdapat benjolan pada bagian bawah telinga dan wajah kanan sejak 6
tahun yang lalu dan berukuran telur ayam kampung.
 Benjolan tersebut tidak bertambah besar dan tidak nyeri tekan.
 Pasien mengeluhkan rasa mengganjal, tidak nyaman dan pegal dibagian
telinga dan leher kanan.

Pemeriksaan parotid dextra sebelum parotidektomi


Inspeksi : Tampak massa sebesar telur ayam kampung pada parotid dextra,
Retraksi-, abses -, darah-, hangat-, kemerahan-.
Palpasi : Teraba massa 3cmx3cm pada bagian bawah telinga dan paroid dextra,
terfiksir, konsistensi keras, permukaan rata, dan batas tegas

9
Planning
Pro-parotidektomi (04/09/18)

Pemeriksaan parotid dextra setelah parotidektomi


Parotid kanan bekas operasi terdapat jahitan tertutup kassa, tidak rembes,
tidak terdapat darah.

Planning post parotidektomi :


IVFD NaCl 0.9%
Po Amlodipin 1x10mg
Inj. Ceftriakson 2x1
Inj. Ketorolac 3x1

10
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi Kelenjar Parotis


Kelenjar parotis merupakan kelenjar terbesar dibandingkan kelenjar saliva
lainnya dengan berat sekitar 15-30 gram dan bentuknya irregular, berlobus,
berwarna antara hijau dan kuning (yellowish) terletak dibawah meatus akustik
eksternus diantara mandibula dan otot sternokleidomastoideus. Terletak di lateral
wajah, yaitu di preaurikula, sampai ke posterior mandibula. Dilewati oleh nervus
fasialis yang membaginya menjadi dua lobus, yaitu lobus profunda dan
superfisial. Lobus superficial terletak di superficial dari bagian posterior otot
masseter, ke atas, hingga ke arkus zigomatik, ke bawah mencapai margo inferior
os mandibular. Lobus profunda ke atas berbatasan dengan kartilago meatus
akustikus eksternal, terletak antara prosessus mastoideus tulang temporal dan
ramus mandibula.
Kelenjar parotis bentuknya bervariasi, jika dilihat dari lateral 50%
berbentuk segitiga, 30% bagian atas dan bawahnya membulat. Biasanya kelenjar
parotis berbentuk seperti piramida terbalik dengan permukaan-permukaannya
sebagai berikut: permukaan superior yang kecil, superficial, anteromedial, dan
posteromedial. Bentuk konkav pada permukaan superior berhubungan dengan
bagian tulang rawan dari meatus akustik eksternus dan bagian posterior dari sendi
temporomandibular. Disini saraf auriculotemporal mempersarafi kelenjar parotis.
Permukaan superfisialnya ditutup oleh kulit dan fascia superficial yang
mengandung cabang fasial dari saraf aurikuler, nodus limfatikus parotis
superficial, dan batas bawah dari platisma. Bagian anterior kelenjar berbatasan
dengan tepi posterior ramus mandibula dan sedikit melapisi tepi posterior
muskulus masseter. Bagian posterior kelenjar dikelilingi oleh telinga, prosesus
mastoid, dan tepi anterior muskulus stemokleidomastoideus. Bagian dalam yang
merupakan lobus medial meluas ke rongga parafaring, dibatasi oleh prosesus
stiloideus dan ligamentum stilomandibular, muskulus digastrikus, serta selubung

0
karotis. Di bagian anterior lobus ini terletak bersebelahan dengan bagian medial
ptetygoideus. Bagian lateral hanya ditutupi oleh kulit dan jaringan lemak
subkutaneus. Jaringan ikat dan jaringan lemak dari fasia leher dalam membungkus
kelenjar ini.

Gambar 1. Glandula Parotis

Kelenjar parotis berhubungan erat dengan struktur penting di sekitarnya


yaitu vena jugularis interna beserta cabangnya, arteri karotis eksterna beserta
cabangnya, kelenjar limfa, cabang auriculotemporalis dari nervus trigerninus dan
nervus fasialis. Perdarahan kelenjar parotis berasal dari arteri karotis eksterna,
dimana arteri ini berjalan medial dari kelenjar parotis, kemudian
mempercabangkan arteri maksilaris dan arteri temporalis superior. Arteri
temporalis superior mempercabangkan arteri fasialis tranversalis yang berjalan di
anterior zigoma dan saluran parotis, kemudian memperdarahi kelenjar parotis,
saluran parotis dan otot maseter. Vena maksilaris dan vena temporalis superfisialis
bersatu membentuk vena retromandibuler yang berjalan di sebelah dalam saraf
fasialis, kemudian menyatu dengan vena jugularis eksterna.

1
Gambar 2. Regio parotid potongan superfisial
Ada 10 kelenjar limfatik yang terdapat pada kelenjar parotis, sebagian
besar ditemukan pada bagian superficial dari kelenjar diatas bidang yang
berhubungan dengan saraf fasialis. Kelenjar limfe yang berasal dari kelenjar
parotis mengalirkan isinya ke nodus limfatikus servikal atas. Persarafan kelenjar
parotis oleh saraf preganglionic yang berjalan pada cabang petrosus dari saraf
glossopharyngeus dan bersinaps pada ganglion otik. Serabut postganglionic
mencapai kelenjar melalui saraf auriculotemporal.

Kelenjar parotis memiliki saluran untuk mengeluarkan sekresinya yang


dinamakan Stensen’s duct yang akan bermuara di mulut dekat gigi molar 2,
lokasi biasanya ditandai oleh papilla kecil. Duktus Stensen dengan panjang lebih
kurang 4- 7cm, muncul dari anterior kelenjar. Duktus ini keluar dari permukaan
lateral otot maseter, menembus jaringan lemak pipi dan otot businator. Ujung
saluran ini berada di mukosa pipi rongga mulut, berhadapan dengan gigi molar
kedua bagian atas. Kelenjar parotis aksesorius dapat ditemukan di sepanjang
bagian anterior kelenjar dan pada duktus Stensen. Kelenjar ini dijumpai berkisar
20%.
Trunkus nervus fasialis keluar dari foramen stilomastoid, di antara kartilago
meatus akustikus eksternal dan venter posterior otot digastrikus, fasies profunda arteri
aurikularis posterior, 1 cm posterior prosessus mastoideus, melintasi bagian
superfisial radiks prosessus stiloideus, dari bagian posterior kelenjar parotis
memasuki kelenjar parotis. Di dalam parenkim kelenjar tersebut nervus fasialis
bercabang dua menjadi trunkus temporofasialis dan trunkus servikofasialis; trunkus
temporofasialis lebih besar, berjalan ke superior; trunkus servikofasialis lebih halus,

2
berjalan kurang lebih sejajar margo posterior ramus asenden os mandibular, di
posterior vena fasialis posterior berjalan ke inferior. Dari dua trunkus tersebut timbul
lima percabangan, yaitu cabang temporal, cabang zigomatik, cabang bukal, cabang
mandibular marginal, dan cabang servikal.

II.2 Histologi Kelenjar Parotis


Kelenjar ini dibungkus oleh jaringan ikat padat dan mengandung sejumlah
besar enzim antara lain amylase, lisozim, fosfatase asam, aldolase, dan
kolinesterase. Kelenjar parotis adalah kelenjar tubuloasinosa kompleks, yang pada
manusia adalah serosa murni. Kelenjar ini dikelilingi oleh kapsula jaringan ikat
yang tebal, dari sini ada septa jaringan ikat termasuk kelenjar dan membagi
kelenjar menjadi lobulus yang kecil. Kelenjar parotis mempunyai sistem saluran
keluar yang rumit sekali dan hampir semua duktus ontralobularis adalah duktus
striata. Saluran keluar yang utama yaitu duktus parotidikius stensen terdiri dari
epitel berlapis semu, bermuara kedalam vestibulum rongga mulut berhadapan
dengan gigi molar kedua atas.

Gambar 3. Histologi kelenjar parotis

II.3 Fisiologi Kelenjat liur


Saliva mengandung dua tipe sekresi protein yang utama:
1. Sekresi serous yang mengandung ptyalin (suatu α-amilase), yang
merupakan enzim untuk mencernakan serat, dan
2. Sekresi mucus yang mengandung musin untuk tujuan pelumasan dan
perlindungan permukaan.

3
Kelenjar parotis seluruhnya menyekresi tipe serous, dan kelenjar sublingualis dan
submandibularis menyekresi tipe mucus maupun serous. Kelenjar bukalis hanya
menyekresi mucus. Saliva mempunyai pH antara 6,0 dan 7,4, suatu kisaran yang
menguntungkan untuk kerja pencernaan dan ptyalin.
Pada kondisi basal, sekitar 0,5 mililiter saliva, hampir seluruhnya dari tipe
mucus, disekresikan setiap detik sepanjang waktu kecuali selama tidur, saat
sekresi menjadi sangat sedikit. Sekresi ini sangat berperan penting dalam
mempertahankan kesehatan jaringan rongga mulut. Saliva membantu mencegah
proses kerusakan jaringan mulut yang dapat disebabkan oleh bakteri dengan cara
membantu membuang bakteri pathogen juga partikel-partikel makanan yang
memberi dukungan metabolic bagi bakteri dan saliva juga mengandung beberapa
factor yang menghancurkan bakteri, salah satunya adalah ion tiosianat dan lainnya
adalah enzim proteolitik terutama lizozim. Terakhir, saliva juga mengandung
sejumlah besar antibodi protein yang dapat menghancurkan bakteri rongga mulut,
termasuk yang menyebabkan karies gigi. Setiap hari satu sampai dua liter air liur
diproduksi dan hampir semuanya ditelan dan direabsorbsi. Proses sekresi dibawah
kendali saraf otonom. Makanan dalam mulut merangsang serabut saraf yang
berakhir pada nukleus pada traktus solitaries dan pada akhirnya merangsang
nukleus saliva pada otak tengah. Pengeluaran air liur juga dirangsang oleh
penglihatan, penciuman melalui impuls dari kerja korteks pada nukleus saliva
batang otak. Aktivitas simpatis yang terus menerus menghambat produksi air liur
seperti pada kecemasan yang menyebabkan mulut kering. Obat-obatan yang
menghambat aktivitas parasimpatis juga menghambat produksi air liur seperti obat
antidepresan, tranquillizers, dan obat analgesik opiate dapat menyebabkan mulut
kering (Xerostomia). Saluran air liur relatif impermeabel terhadap air dan
mensekresi kalium, bikarbonat, kalsium, magnesium, ion fosfat dan air. Jadi
produk akhir dari kelenjar air liur adalah hipotonik, cairan yang bersifat basa yang
kaya akan kalsium dan fosfat. Komposisi ini penting untuk mencegah
demineralisasi enamel gigi. Kelenjar parotis menghasilkan suatu sekret yang kaya
akan air yaitu serous. Saliva pada manusia terdiri atas 25% sekresi kelenjar
parotis.

4
Gambar 4. Aktivitas saraf saliva

II.4 Definisi Tumor Parotis


Tumor adalah jaringan baru (neoplasma) yang timbul dalam tubuh akibat
pengaruh berbagai faktor penyebab tumor yang menyebabkan jaringan setempat
pada tingkat gen kehilangan kendali normal atas pertumbuhannya.Sesuai definisi
Willis, neoplasma adalah massa abnormal jaringan yang pertumbuhannya
berlebihan dan tidak terkoordinasi dengan pertumbuhan jaringan normal serta
terus demikian walaupun rangsangan yang memicu perubahan tersebut telah
berhenti. Hal mendasar tentang asal neoplasma adalah hilangnya responsivitas
terhadap faktor pengendali pertumbuhan yang normal. Kelenjar Parotis adalah
kelenjar air liur terbesar yang terletak di depan telinga.
II.5 Epidemiologi
Insiden dari tumor kelenjar saliva diperkirakan sekitar 1,5 kasus per
100.000 orang di Amerika Serikat. Diperkirakan terdapat 700 kematian (0,4 per
100.000 untuk laki-laki dan 0,2 per 100.000 untuk perempuan) akibat tumor
kelenjar saliva tiap tahunnya.(1)
Tumor kelenjar saliva sering muncul pada dekade keenam kehidupan.
Tumor ganas biasa dijumpai pada usia di atas 60 tahun, dan tumor jinak biasa
dijumpai pada usia lebih dari 40 tahun. Kecuali untuk Warthin tumor, Tumor
jinak lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki, tetapi tumor ganas
perbandingannya sama. Tumor parotis lebih sering terjadi pada ras Kaukasian.(1, 4)
Tumor kelenjar saliva sangat jarang terjadi pada anak -anak. Sebagian
besar tumor (65%) adalah jinak, dengan hemangioma yang paling sering
dijumpai, diikuti adenoma pleomorfik. Pada anak-anak, 35% tumor kelenjar saliva

5
merupakan tumor ganas. Karsinoma mukoepidermoid adalah keganasan kelenjar
saliva yang tersering pada anak-anak.(1)
II.6 Etiologi
Etiologi dari tumor kelenjar saliva belum sepenuhnya dipahami. Ada dua
teori yang utama: teori bicellular stem cell dan teori multicellular. Teori bicellular
stem cell mengatakan bahwa tumor muncul dari 1 dari 2 stem cells tak
terdiferensiasi, yaitu excretory duct reserve cell atau intercalated duct reserve
cell. Excretory stem cells akan menjadi sel skuamosa dan karsinoma
mukoepidermoid, sementara intercalated stem cells akan menjadi adenoma
pleomorfik, onkositoma, karsinoma adenoid kistik, adenokarsinoma, dan
karsinoma sel asinus.(1)
Pada teori multicellular, setiap tipe tumor berasal dari sel terdiferensiasi
yang spesifik dari kelenjar saliva. Karsinoma sel skuamosa berasal dari sel-sel
duktus ekskretorius, adenoma pleomorfik berasal dari sel-sel duktus interkalatus,
onkositoma berasal dari sel-sel duktus striatus, dan karsinoma sel asinus berasal
dari sel-sel asinus.(1)

II.7 Faktor Resiko


Terapi radiasi dosis rendah berhubungan dengan perkembangan tumor
parotis 15-20 tahun setelah terapi. Insiden adenoma pleomorfik, karsinoma
mukoepidermoid, dan karsinoma sel skuamosa juga meningkat.(1)
Tembakau dan alkohol, yang sangat berkaitan dengan karsinoma sel
skuamosa kepala dan leher, tidak menunjukkan peranannya dalam perkembangan
dari keganasan kelenjar saliva. Tetapi rokok tembakau telah dikaitkan dengan
perkembangan Warthin tumors (papillary cystadenoma lymphomatosum). Walau
merokok sangat berkaitan dengan karsinoma sel skuamosa kepala dan leher, ia
tampaknya tidak berkaitan dengan keganasan kelenjar saliva. Tetapi beberapa
studi menunjukkan adanya hubungan antara keganasan kelenjar saliva dan
paparan terhadap debu silika dan nitrosamin.(1)

II.8 Patofisiologi
Seperti kebanyakan kanker, mekanisme molekuler yang tepat dari
tumorigenesis pada tumor kelenjar saliva belum sepenuhnya dipahami. Berbagai

6
jalur dan onkogen telah diimplikasikan, termasuk onkogen yang diketahui
berhubungan dengan berbagai kanker pada manusia. Ini termasuk p53, Bcl-2,
PI3K/Akt, MDM2, dan ras.(1)
Mutasi p53 ditemukan pada kedua tumor kelenjar saliva jinak dan ganas
dan beberapa bukti mengatakan bahwa adanya mutasi p53 berhubungan dengan
tingginya tingkat rekurensi tumor. Mutasi H-Ras telah menunjukkan proporsi
yang signifikan pada adenoma pleomorfik, adenokarsinoma, dan karsinoma
mukoepidermoid.(1)
Tujuh puluh persen dari adenoma pleomorfik berhubungan dengan
susunan ulang kromosom. Yang paling sering adalah susunan ulang 8q12, terjadi
pada 39% dari adenoma pleomorfik. Gen target pada lokus ini adalah PLAG1.
Gen target yang lain adalah HMGA2, terletak pada 12q13-15. Karena susunan
ulang ini unik untuk adenoma pleomorfik di antara tumor kelenjar saliva,
interogasi susunan ulang ini oleh RT-PCR atau FISH dapat membantu dalam
diagnosis.(1)
Pada karsinoma mukoepidermoid, translokasi kromosom
t(11;19)(q21;p13) telah teridentifikasi pada 70% kasus. Translokasi ini
membentuk fusi protein MECT1-MAML2 yang mengganggu jalur sinyal Notch.
Fusi protein ini ditunjukkan oleh semua tipe sel mukoepidermoid ketika ada
translokasi.(1)
Tumor kelenjar saliva lain telah dihubungkan dengan ekspresi berlebihan
beta-catenin melalui signal Wnt yang abnormal. Karsinoma adenoid kistik dengan
mutasi pada CTNNB1 (gen b-catenin), AXIN1 (axis inhibition protein 1), dan APC
(adenomatosis polyposis coli tumor suppressor) menunjukkan tumorigenesis
melalui proses ini.(1)
Kehilangan kromosom telah menunjukkan sebagai penyebab penting dari
mutasi dan tumorigenesis pada tumor kelenjar saliva. Kehilangan alel dari lengan
kromosom 19q telah dilaporkan akan membentuk karsinoma adenoid kistik.
Karsinoma mukoepidermoid juga menunjukkan kehilangan lengan kromosom 2q,
5p, 12p, dan 16q lebih dari 50% seluruh waktu.(1)

7
II.9 Klasifikasi
Tumor Jinak Tumor Ganas
Adenoma Pleomorfik (mixed tumor) Karsinoma Mukoepidermoid
Warthin’s Tumor (papillary cystadenoma Karsinoma Adenoid Kistik
lymphomatosum)
Onkositoma Karsinoma Sel Asinus
Monomorfik Karsinoma Ex-Adenoma
Pleomorfik
Karsinoma Sel Skuamosa
Adenokarsinoma
Tabel 1. Tipe-Tipe Tumor Kelenjar Saliva(1)
a. TUMOR JINAK
 Adenoma Pleomorfik Jinak atau Benign Mixed Tumor(4, 5)
o Tumor parotis yang paling sering (80%)
o Proliferasi sel-sel epitel dan myoepitel dari duktus dan peningkatan
komponen stroma
o Tampakan langsung adalah halus dan lobuler dengan kapsul yang
jelas. Secara mikroskopis, tumor terdiri dari elemen epitelial dan
mesenkimal
o Tingkat rekurensi 1-5% dengan eksisi yang memadai
(parotidektomi), rekurensi mungkin sekunder akibat gangguan
pada kapsula selama operasi
o Keganasan terjadi pada 2-10% adenoma yang diobservasi jangka
panjang, dengan karsinoma ex-adenoma pleomorfik sering terjadi
sebagai adenokarsinoma

8
Gambar 5. Adenoma pleomorfik. Gambar 6. Adenoma pleomorfik
Gambaran histologik pada spasia parafaringeal.
menunjukkan elemen epitelial dan Tampak deviasi uvula ke arah
mesenkimal.(5) berlawanan.(5)

 Warthin Tumor (papillary cystadenoma lymphomatosum atau


adenolimfoma)(4, 5)
o Tumor parotis yang kedua tersering (5%)
o Tumor parotis jinak bilateral yang paling sering
o Laki-laki lebih sering dibanding perempuan
o Terjadi pada usia lanjut (dekade keenam atau ketujuh)
o Tampakan langsung tumor halus dengan kapsul yang jelas.
Potongan memperlihatkan ruang kistik yang multipel dengan
ukuran berbeda-beda terisi dengan bahan mukus yang tebal
o Insidensi bilateral dan multisentrisitas 10%
o Transformasi ke ganas sangat jarang
 Onkositoma(1, 4)
o Onkositoma adalah tumor jinak yang jarang ditemukan, berasal
dari onkosit granular dalam kelenjar saliva. Tumor ini hanya
sekitar 1% dari tumor kelenjar saliva. Lebih sering terjadi pada
pasien usia lanjut
o Onkositoma jinak memiliki konsistensi padat kenyal dengan
permukaan rata. Tumor ini seluler, mengandung sel eosinofilik
bulat dengan sitoplasma granular. Tampakan granular sel ini adalah
hasil dari tingginya jumlah mitokondria yang terdapat dalam
sitoplasma

9
o Tumor ini umumnya muncul pada bagian superfisial dari kelenjar
parotis. Paling baik diterapi dengan parotidektomi superfisial dan
mempertahankan nervus fasialis

Gambar 7. Onkositoma. Gambar 8. Warthin tumor. Stroma


Gambaran histologik yaitu khas limfoid dan epitelium dua lapis
sel-sel eosinofilik granuler yang mengelilingi ruang kistik.(5)
bulat(5)

 Adenoma Monomorfik(1, 4)
o Adenoma monomorfik sering disamakan dengan adenoma
pleomorfik. Ini adalah tumor yang berbeda secara histologi, tetapi
tanpa pleomorfik. Adenoma sel basal dan adenoma sel bening
(clear cell adenomas) dikelompokkan dalam grup ini. Adenoma
monomorfik bersifat jinak, tumbuh lambat, dan tumor kelenjar
saliva yang paling tidak agresif. Tumor ini hanya berkisar kurang
dari 2% dari tumor kelenjar saliva
o Jenis yang paling sering dari adenoma monomorfik adalah
adenoma sel basal. Adenoma sel basal paling sering terjadi pada
kelenjar saliva minor, biasanya pada bibir atas. Untuk kelenjar
saliva mayor, umumnya terjadi di kelenjar parotis
o Secara kasat mata, tumor terkapsulasi dan rata. Secara
mikroskopis, tumor mengandung parenkim epitelial, yang dibatasi
dengan jelas dari stroma skantum oleh membran dasar prominen
yang tebal. Penampakannya dapat dipusingkan dengan karsinoma
adenoid kistik, tetapi perbedaannya cukup jelas, karena sifat
biologis dari kedua tumor ini berbeda

10
o Terapinya dengan operasi eksisi dengan batas luar jaringan yang
normal dari tumor

b. TUMOR GANAS
 Karsinoma Mukoepidermoid(5, 6)
o Karsinoma mukoepidermoid merupakan tumor ganas terbanyak
dari kelenjar parotis, terhitung 30% dari keganasan parotis
o Tumor derajat rendah biasa kecil dan terkapsul sebagian. Tumor
derajat tinggi biasa lebih besar dan invasif secara lokal. Pada
potongan, tumor derajat rendah dapat mengandung cairan musin,
dimana tumor derajat tinggi padat. Secara mikroskopis, tumor
derajat rendah menunjukkan agregasi sel mukoid dipisah oleh sekat
sel-sel epidermal. Tumor derajat tinggi memiliki elemen mukoid
lebih sedikit dan didominasi sel-sel epidermoid
o Tiga tipe sel ditemukan dalan jumlah berbeda, mucous,
intermediate, dan epidermoid.
o Invasif lokal yang terbatas dan potensi metastases rendah
merupakan ciri tumor ini, terutama ketika secara sitologi derajatnya
rendah. Jika metastases, sering ke basis nodus regional daripada
lokasi yang jauh
o Untuk pasien dengan low-grade tumor tanpa metastases nodus atau
jauh, angka ketahanan hidup 5 tahun adalah 75-95%, sedangkan
pasien dengan high-grade tumor dengan metastases limfonodus
saat terdiagnosis memiliki angka ketahanan hidup 5 tahun hanya
5%. Rata-rata ketahanan hidup 10 tahun adalah 50%
o Diagnosis banding antara lain sialodenitis kronik, necrotizing
sialometaplasia, dan karsinoma lain

11
Skor
Gambaran Histologi AFIP (1998) Brandwein
(2001)
Komponen kistik < 25% 2 2
Invasi neural 3 3
Nekrosis 3 3
Mitosis > 4/10 hpf 3 3
Anaplasia (nuclear atypia) 4 2
Invasi pada small nests and island NI 2
Invasi limfatik atau vaskuler NI 3
Invasi tulang NI 3

Derajat I (Derajat rendah) 0-4 0


Derajat II (Derajat sedang) 5-6 2-3
Derajat III (Derajat tinggi) 7-14 4 atau lebih
Tabel 2. Grading untuk karsinoma mukoepidermoid. NI=not included, tidak
termasuk.(7)

Gambar 9. Karsinoma Gambar 10. Karsinoma


mukoepidermoid derajat rendah. mukoepidermoid derajat tinggi.
Tampak elemen epitelial dan Tampak elemen glandular yang
glandular.(5) kurang.(5)

 Karsinoma adenoid kistik(5, 6)


o Karsinoma adenoid kistik ditandai dengan sifatnya yang tak
terduga dan cenderung menyebar ke nervus. Memiliki sifat invasif
yang tinggi tetapi dapat tetap diam untuk waktu yang lama
o Tumor ini dapat bertahan 10 tahun dan hanya sedikit perubahan
lalu tiba-tiba menginfiltrasi jaringan sekitarnya secara luas
o Tumor memiliki afinitas untuk tumbuh sepanjang bidang
perineural dan dapat menunjukkan tumor terputus sepanjang

12
nervus tersebut. Batas yang bersih belum berarti tumor telah
dieradikasi
o Metastases lebih sering ke tempat jauh dibanding nodus regional,
paru-paru yang tersering. Tumor ini punya insidensi tertinggi
dalam metastases jauh, terjadi pada 30-50% pasien
o Tampak langsung, tumor umumnya monolobuler dan dapat tak
berkapsul atau berkapsul sebagian. Massa biasa menunjukkan
infiltrasi ke jaringan normal sekitar. Secara mikroskopis,
karsinoma adenoid kistik memiliki epitelium basaloid yang
tersusun dalam bentuk silindris dalam stroma hialin eosinofilik
o Tiga tipe histologi telah teridentifikasi, cribrose, tubular, dan solid.
Prognosis terburuk pada tipe solid, bentuk cribrose memiliki sifat
jinak dan prognosis terbaik. Tumor ini memerlukan reseksi awal
yang agresif. Rata-rata ketahanan hidup 5 tahun adalah 35%, dan
ketahanan hidup 10 tahun sekitar 20%

Gambar 11. Karsinoma adenoid Gambar 12. Karsinoma sel asinus.


kistik, tampak ciri histologik Tampak sel serupa dengan sel
dengan stroma hialin eosinofilik asinus serosa dan sel dengan
dan invasi perineural.(5) sitoplasma bening.(5)

13
 Karsinoma sel asinus(1, 6)
o Karsinoma sel asinus merupakan tumor tingkat rendah yang terjadi
1% dari semua tumor kelenjar saliva. Hampir semua (95%) muncul
di kelenjar parotis, dan sisanya di kelenjar submandibula
o Tumor ini dibentuk oleh sel-sel serosa, menjelaskan
kecenderungannya pada kelenjar parotis. Secara kasat mata, tumor
ini terkapsulasi, keras, berwarna abu-abu sampai putih. Tumor ini
terdiri dari lobulus-lobulus dari sel yang tampak bulat dengan
sitoplasma abundan yang tersusun dalam nests.
o Walau tumor ini sangat jarang bermetastases, kadang lambat laun
metastases jauh terjadi. Tumor ini juga dapat menyebar sepanjang
bidang perineural. Rata-rata ketahanan hidup 5 tahun adalah 82%
dan ketahanan hidup 10 tahun adalah 68%
 Karsinoma ex-Adenoma Pleomorfik (Malignant Mixed Tumors)(1, 6)
o Malignant mixed tumors biasa terjadi sebagai fokus keganasan
dengan menetapnya adenoma pleomorfik jinak (karsinoma ex-
adenoma pleomorfik)
o Tumor ini juga dapat berkembang de novo (karsinosarkoma).
Semakin lama adenoma pleomorfik tinggal, semakin mudah
degenerasi karsinomatosa itu terjadi
o Tumor terlihat padat, tak terkapsulasi, dan bernodul dengan area
nekrosis sentral dan hemoragik. Secara mikroskopis, diagnosis
didasarkan proses keganasan yang menginfiltrasi tumor, dimana
terdapat fitur histologis dari adenoma pleomorfik
o Karsinosarkoma, malignant mixed tumor sejati, sangat jarang
terjadi. Rata-rata ketahanan hidup 5 tahun adalah 56% dan
ketahanan hidup 10 tahun adalah 31%

14
Gambar 13. Karsinoma ex-Adenoma Pleomorfik(5)

 Karsinoma Sel Skuamosa Primer(6)


o Karsinoma sel skuamosa primer dari parotis sangat jarang, dan
metastases dari area lain harus disingkirkan
o Tumor ini umumnya tampak massa indurasi padat dan terjadi lebih
sering pada laki-laki, biasa pada dekade ketujuh. Secara histologik,
tumor ini menunjukkan keratinisasi intraseluler, jembatan
intraseluler, dan susunan kristal keratin
 Adenokarsinoma(5, 6)
o Adenokarsinoma dari parotis berkembang dari elemen sekretorius
dari kelenjar. Ini adalah tumor agresif dengan potensi untuk kedua
metastases baik limfatik lokal maupun metastases jauh
o Tampak langsung tumor ini padat keras dan terpasang pada
jaringan sekitar. Secara mikroskopis, sel-sel silindri dengan tinggi
bervariasi membentuk papilla, asinus, atau massa padat

15
Kemungkinan Keganasan
Jinak Ganas
Meningkat

1.Parotis 1. Submandibula 1. Kelenjar liur minor

2.Usia Muda 2. Paresis 2. Lebih tua

3.Wanita 3. Keras 3. Pria

4.Fungsi saraf fasialis utuh 4. tumbuh cepat 4. Paralisis

5.Kistik 5. Rasa tidak enak 5. Keras seperti batu

6.Durasinya lama (>2 tahun) 6. Onset cepat (<>

7.Asimptomatik 7. Nyeri

8.Tidak adenopati 8. Adenopati servikal


Tabel 3.Perbedaan massa-massa pada kelenjar liur

II.10 Stadium

Tumor primer
(T)
TX Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 Tidak ada bukti tumor primer
T1 Tumor 2 cm atau kurang tanpa perluasan ekstraparenkim
T2 Tumor lebih dari 2 cm sampai 4 cm tanpa perluasan
ekstraparenkim
T3 Tumor lebih dari 4 cm dan/atau tumor dengan perluasan
ekstraparenkim
T4a Tumor menginvasi kulit, mandibula, kanalis aurikularis,
dan/atau nervus fasialis
T4b Tumor menginvasi basis kranii dan/atau ptyergoid plates
dan/atau menutup arteri karotis
Limfonodus
regional (N)
NX Limfonodus regional tidak dapat dinilai
N0 Tidak ada metastases limfonodus
N1 Metastases pada satu limfonodus ipsilateral, 3 cm atau kurang
N2 Metastases pada satu limfonodus ipsilateral, lebih dari 3 cm
sampai 6 cm, atau pada beberapa limfonodus ipsilateral yang
tidak lebih dari 6 cm, atau pada limfonodus bilateral atau
kontralateral yang tidak lebih dari 6 cm

16
N2a Metastases pada satu limfonodus ipsilateral, lebih dari 3 cm
sampai 6 cm
N2b Metastases pada beberapa limfonodus ipsilateral yang tidak
lebih dari 6 cm
N2c Metastases pada limfonodus bilateral atau kontralateral yang
tidak lebih dari 6 cm
N3 Metastases pada limfonodus yang lebih dari 6 cm
Metastases
jauh (M)
MX Metastases jauh tidak dapat dinilai
M0 Tidak ada metastases jauh
M1 Terdapat metastases jauh
Tabel 4. Klasifikasi TNM menurut AJCC 2002 untuk tumor kelenjar saliva
mayor(1, 5)

Stadium
I T1 N0 M0
II T2 N0 M0
III T1 N1 M0
T2 N1 M0
T3 N1 M0
IVA T4a N0 M0
T4a N1 M0
T1 N2 M0
T2 N2 M0
T3 N2 M0
T4a N2 M0
IVB T4b Any N M0
Any T N3 M0
IVC Any T Any N M1
Tabel 5. Penentuan stadium menurut AJCC 2002 untuk tumor kelenjar
saliva mayor(1, 5)
II.11 Diagnosis

II.11.1 Anamnesa
Anamnesa dengan cara menanyakan kepada penderita atau keluarganya
tentang :

17
a.) Keluhan
1. Pada umumnya hanya berupa benjolan soliter, tidak nyeri, di
pre/infra/retro aurikula (tumor parotis), atau di submandibula (tumor
sumandibula), atau intraoral (tumor kelenjar liur minor)
2. Rasa nyeri sedang sampai hebat (pada keganasan parotis atau
submandibula)
3. Paralisis n. fasialis, 2-3% (pada keganasan parotis)
4. Disfagia, sakit tenggorok, gangguan pendengaran (lobus profundus
parotis terlibat)
5. Paralisis n.glosofaringeus, vagus, asesorius, hipoglosus, pleksus
simpatikus (pada karsinoma parotis lanjut)
6. Pembesaran kelenjar getah bening leher (metastase)
b.) Perjalanan penyakit ( progresivitas penyakit)
c.) Faktor etiologi dan resiko (radioterapi kepala leher, ekspos radiasi)
d.) Pengobatan yang telah diberikan serta bagaimana hasil pengobatannya
e.) Berapa lama kelambatan
Pada penelitian retrospective yang dilakukan pada 104 pasien dengan
tumor kelenjar parotis yang diterapi di ENT clinic timisoara pada tahun 2001-
2009 didapatkan gejala-gejala yang paling sering dikeluhkan pasien, yaitu paling
sering adalah konsistensi keras, tumbuh cepat, fiksasi dalam, nyeri, nodus yang
terpalpasi, keterlibatan nervus fasialis, pembengkakan dinding faring lateral, dan
keterlibatan perubahan kulit.
II.11.2 Pemeriksaan Fisik
a.) Status general
Pemeriksaan umum dari kepala sampai kaki, tentukan :
1. penampilan (Karnofski / WHO)
2. keadaan umum
adakah anemia, ikterus, periksa T,N,R,t, kepala, toraks, abdomen,
ekstremitas,vertebra, pelvis
3. apakah ada tanda dan gejala ke arah metastase jauh (paru, tulang
tengkorak, dll)

18
b.) Status lokal
1. Inspeksi (termasuk inraoral, adakah pedesakan tonsil/uvula)
2. Palpasi (termasuk palpasi bimanual, untuk menilai konsistensi,
permukaan, mobilitas terhadap jaringan sekitar)
3. Pemeriksaan fungsi n.VII,VIII,IX,X,XI,XII karena lintasan nervusnervus
tersebut dekat dengan kelenjar parotis.
c.) Status regional
Palpasi apakah ada pembesaran kelenjar getah bening leher ipsilateral
dankontralaeral. Bila ada pembesaran tentukan lokasinya, jumlahnya, ukuran
terbesar, dan mobilitasnya. Pemeriksaan nervus fasialis:
1. Dalam keadaan diam, perhatikan :
a. Asimetri muka (lipatan nasolabial)
b. gerakan-gerakan abnormal (tic fasialis, grimacing, kejang tetanus/rhesus
c. sardonicus, tremor, dsb)

2. Atas perintah pemeriksa


a. Mengangkat alis, bandingkan kanan dengan kiri.
b. Menutup mata sekuatnya (perhatikan asimetri), kemudian pemeriksa
mencoba
c. membuka kedua mata tersebut (bandingkan kekuatan kanan dan kiri).
d. Memperlihatkan gigi (asimetri).
e. Bersiul dan mencucu (asimetri/deviasi ujung bibir).
f. Meniup sekuatnya (bandingkan kekuatan udara dari pipi masing-masing).
g. Menarik sudut mulut ke bawah (bandingkan konsistensi otot platisma
kanan
h. dan kiri). Pada kelemahan ringan, kadang-kadang tes ini dapat untuk
i. mendeteksi kelemahan saraf fasialis pada stadium dini.

19
II.11.2 Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologi
1. Ct Scan
 CT sangat berguna dalam mendeteksi kalsifikasi atau kalkulus kecil dan
mengevaluasi lesi tumor. Densitas lemak sangat berbeda dari otot-otot
sekitar sehingga CT dapat menunjukkan anatomi kelenjar saliva dan
jaringan lunak sekitarnya. Bidang lemak di sekitar kelenjar memungkinkan
definisi tumor, dan juga menunjukkan ekstensi tumor di luar kelenjar.
Informasi ini penting dalam penatalaksanaan keganasan yang agresif,
terutama untuk tumor dengan penyebaran perineural(10)
 Tetapi pada beberapa keadaan tumor dapat tidak terlihat pada CT sehingga
MRI lebih disukai dalam penatalaksanaan tumor. CT memiliki keuntungan
dalam kecepatan pemeriksaan dibanding MRI. Hasil CT dapat selesai
dalam waktu kurang dari tiga puluh detik pada alat yang terbaru dibanding
MRI yang membutuhkan waktu minimal dua puluh sampai tiga puluh
menit(10)

Gambar 14. Adenoma pleomorfik. CT menunjukkan perubahan gradual setelah


injeksi kontras. (a) Gambar aksial awal. Gambar ini diambil langsung setelah
injeksi kontras. Tumor (panah) terlihat pada kelenjar parotis superfisial. Letak
nervus lingualis (kepala panah). (b) Gambar tunda. Setelah beberapa menit
terdapat peningkatan gradual dari tumor (panah). Ini khas dari pleomorfik
adenoma. Vena retromandibularis (kepala panah)(10)

20
Gambar 15. Adenoma pleomorfik pada spasia prestyloideus parafangealis, MRI. (a)
Gambar tumor T1 tanpa kontras. Tumor mengisi spasia prestyloideus
parafaringealis. Tumor menekan lemak parafaringeal ke anteromedial (kepala
panah putih). Ke lateral, lesi menekan ke sebelah bidang dari terowongan
stylomandibularis (garis putus). Batas lateral (kepala panah hitam) menutup vena
retromandibularis. Tanda kunci untuk mengidentifikasi lesi yang muncul di spasia
prestyloideus adalah arteri karotis (C), prosesus styloideus (panah), muskulus
pterygoideus medialis (MP), dan batas posterior dari mandibula. Perhatikan
gambaran normal kelenjar parotis (P) pada sisi kiri. (b). Gambar axial tumor T1
post kontras. Lesi menunjukkan peningkatan khas pleomorfik adenoma. Carotis
(C), prosesus styloideus (panah), tertekan dan tertutup oleh muskulus pterygoideus
medialis (MP)(10)
2. MRI
 MRI lebih dipilih oleh ahli radiologi untuk evaluasi tumor kelenjar saliva.
Rangkaian yang bervariasi hampir selalu menentukan dengan tepat batas-
batas tumor. Rangkaian tumor T1 misalnya menunjukkan sinyal kuat atau
terang dari lemak dimana rangkaian tumor T2 menunjukkan sinyal kuat
dari cairan. Perbedaan rangkaian tertentu dapat mengindikasikan aliran
atau dapat memisahkan kista dari massa padat(10)
 Penyebaran perineural menuju atau ke dalam basis cranii lebih baik
dengan MRI dengan gadolinium(10)
 Beberapa pasien tidak dapat mentoleransi MRI karena klaustrofobia atau
lamanya waktu periksa. Ada juga kontraindikasi seperti pacemaker dan
beberapa jenis implan(10)

21
3. Sialografi
 Sejak ditemukan CT dan MRI, sialografi tinggal sedikit peranannya.
Terutama untuk massa tumor kelenjar saliva, dimana CT dan MRI
memiliki sensitivitas dan resolusi yang lebih baik dibanding sialografi(11)
 Walau sialografi dapat memberi indikasi apakah massa berada intrinsik
atau ekstrinsik dari kelenjar, tetapi akurasinya rendah dibanding CT dan
MRI(11)
 Sialografi digital dan sialografi subtraksi digital tetap merupakan teknik
yang dipilih dalam mendeteksi sialolitiasis pada duktus Stensen dan
Warthon(11)
4. USG
 Dapat menggambarkan lokasi, homogenitas atau heterogenitas, bentuk,
vaskularisasi, dan batas-batas tumor saliva pada daerah periaurikula,
bukal, dan submandibula.(1)
 USG dapat menunjukkan tipe tumor, bahkan USG baru menggunakan
medium kontras dapat menunjukkan vaskularisasi dari tumor sebelum
operasi.(1)
5. Pencitraan Nuklir
 F-18 fluorodeoxyglucose (FDG)-PET dapat dipakai untuk merencanakan
terapi dari keganasan kelenjar saliva dengan mendeteksi metastases
limfonodus yang memerluka diseksi leher atau dengan menemukan
metastases jauh yang tidak menunjukkan abnormalitas pada pemeriksaan
darah rutin. Ini sangat berguna ketika dikombinasikan dengan CT-Scan.(1)
 Technetium-99m (Tc-99m) pertechnetate scintigraphy dengan simulasi jus
lemon dapat dipakai untuk mendiagnosis Warthin tumor dengan korelasi
antara ukuran tumor dan uptake Tc-99m.(1)

b. Histopatologi
1. Biopsi Aspirasi Jarum Halus (Fine-needle aspiration biopsy (FNAB))

22
 FNAB berguna untuk diagnosis pada penilaian massa kepala dan leher.
Tetapi perannya pada tumor kelenjar saliva masih kontroversi.(1)
 Sensitivitas keseluruhan FNAB dalam memisahkan antara tumor kelenjar
saliva jinak dan ganas diperkirakan 95%. Spesifisitasnya diperkirakan
98%. FNAB memiliki nilai prediktif positif rata-rata 84% dan nilai
prediktif negatif rata-rata 77%.(1)
 Hasil yang menunjukkan limfosit yang predominan adalah indikasi untuk
penanganan lebih lanjut bagi limfoma, tetapi tumor saliva masih harus
diperhitungkan. Walau hasil FNAB negatif, tes ini tidak menutup pendapat
dokter dalam manajemen dari kecurigaan tumor kelenjar saliva.(1)
2. Bedah Diagnostik
 Biopsi eksisi dari tumor kelenjar parotis sebaiknya dihindari. Biopsi eksisi
atau enukleasi dari tumor parotis berhubungan dengan tingginya rekurensi
tumor, terutama untuk adenoma pleomorfik. Pendekatan bedah yang
sesuai untuk tumor parotis adalah melakukan bedah reseksi komplit
dengan parotidektomi dan mempertahankan nervus fasialis. Ini menjamin
batas luar yang cukup dari jaringan di sekeliling tumor. Nervus fasialis
diidentifikasi pada semua kasus untuk membuat eksisi tumor yang cukup
dan menghindari kerusakan nervus fasialis(5)
 Biopsi terbuka (open biopsy) sangat jarang dilakukan dan biasanya hanya
untuk keganasan tertentu pada pasien yang tidak dapat dibedah dan FNAB
tidak dapat menentukan diagnosis. Pada keadaan ini, biopsi insisi terbuka
berguna untuk diagnosis histopatologi dan mengarahkan jenis terapi
paliatif yang sesuai(5)
 Biopsi intraoral dari tumor spasia parafaringealis sebaiknya tidak
dilakukan. Ini membawa resiko rusaknya arteri karotis, tumpahan tumor,
dan kontaminasi oleh flora mulut. FNAB transoral atau dibantu pencitraan
dapat memberikan diagnosis tanpa resiko tersebut(5)
3. Flow cytometry
 Nilai dari flow cytometry pada tumor kelenjar saliva adalah mendukung
histopatologi dengan mendeteksi kemungkinan tumor ganas.(1)

23
 Flow cytometry juga telah membantu dalam prognosis karsinoma adenoid
kistik dengan menentukan DNA ploidy dari sel tumor. Informasi ini telah
menunjukkan korelasi dengan prognosis keseluruhan dan periode hidup
bebas penyakit jangka panjang.(1)
 Menentukan aneuploidy dan diploidy dengan flow cytometry ditemukan
membantu derajat mukoepidermoid karsinoma pada satu studi, yang
menemukan bahwa kanker derajat tinggi merupakan aneuploidy 89%
keseluruhan waktu dan kanker diploid merupakan derajat rendah atau
sedang 88% dari keseluruhan waktu.(1)

II.12 Tata Laksana


Terapi pilihan utama untuk tumor kelenjar liur ialah pembedahan.
Radioterapi sebagai terapi ajuvan pasca bedah diberikan hanya atas indikasi, atau
diberikan pada karsinoma kelenjar liur yang inoperabel. Kemoterapi hanya
diberikan sebagai ajuvan, meskipun masih dalam penelitian, dan hasilnya masih
belum memuaskan.
1. Tumor operabel
a. Terapi utama ( pembedahan). Pilihan pengobatan untuk neoplasma
kelenjar parotis adalah melalui pembedahan. Sebagian besar tumor parotis
jinak dan ganas dapat diatasi dengan parotidektomi superfisial atau total
sesuai dengan lokasi tumor dengan preservasi nervus fasilis.
1. Parotidektomi superfisial. Parotidektomi superfisial adalah tindakan
pengangkatan massa tumor dengan kelenjar parotis lobus superfisial.
Dilakukan pada tumor jinak parotis lobus superfisialis.
2. Parotidektomi total. Parotidektomi total adalah pengangkatan massa tumor
dengan seluruh bagian kelenjar parotis dilakukan pada:
a. Tumor ganas parotis yang belum ada ekstensi ekstraparenkim dan
n.VII
b. Tumor jinak parotis yang mengenai lobus profundus
1. Parotidektomi total diperluas, dilakukan pada: Tumor ganas parotis
yang sudah ada ekstensi ekstraparenkim atau n.VII

24
2. Deseksi leher radikal (RND), dikerjakan pada: Ada metastase kgb
leher yang masih operabel

b. Terapi tambahan
Meskipun terapi primer tumor ganas kelenjar liur adalah dengan
pembedahan, terapi radiasi juga dianjurkan karena memiliki efek
menguntungkan jika digabungkan dengan pembedahan yaitu
meningkatkan hasil terapi. Selain itu berperan sebagai terapi primer untuk
tumor yang sudah tidak dapat direseksi. Ada keadaan di mana terapi
radiasi merupakan indikasi, yaitu:
1. high grade malignancy
2. masih ada residu makroskopis atau mikroskopis
3. tumor menempel pada syaraf ( n.fasialis, n.lingualis, n.hipoglosus, n.
asesorius )
4. setiap T3,T4
5. karsinoma residif
6. karsinoma parotis lobus profundus

Radioterapi sebaiknya dimulai 4-6 minggu setelah pembedahan untuk


memberikan penyembuhan luka operasi yang adekwat, terutama bila telah
dikerjakan alih tandur syaraf. Radioterapi lokal diberikan pada lapangan
operasi meliputi bekas insisi sebanyak 50 Gy dalam 5 minggu. Radioterapi
regional/leher ipsilateral diberikan pada T3,T4, atau high grade
malignancy. Baik konvensional dan neutron-beam terapi radiasi telah
dianjurkan sebagai single-modalitas pengobatan untuk T1 dan T2
neoplasma ganas kelenjar ludah. Pendekatan ini kontroversial, tetapi dapat
dipertimbangkan jika ada kontraindikasi nyata untuk operasi.

2. Tumor inoperabel
a. Terapi utama
Radioterapi : 65 – 70 Gy dalam 7-8 minggu
b. Terapi tambahan

25
Kemoterapi : Indikasi untuk kemoterapi adalah pasien dengan tumor yang
inoperable. Respon parsial atau lengkap telah dicapai pada hingga 50%
pasien, yang biasanya berlangsung 5-8 bulan dan mungkin termasuk
kontrol nyeri yang signifikan. Sebagian besar pasien memiliki karsinoma
adenoid kistik, karsinoma mucoepidermoid, atau adenokarsinoma. Saat
ini, paclitaxel adalah agen yang paling sering digunakan. Meskipun
kemoterapi saja tidak meningkatkan tingkat ketahanan hidup, integrasi
radiasi dan kemoterapi telah terbukti meningkatkan kontrol lokal dan
menunjukkan perbaikan dalam pengelolaan keganasan kelenjar ludah.
a. Untuk jenis adenokarsinoma (adenoid cystic carcinoma, adenocarcinoma,
malignant mixed tumor, acinic cell carcinoma)
1. adriamisin 50mg/m2 iv pada hari 1
2. 5 fluorourasil 500mg/m2 iv pada hari 1 diulang tiap 3minggu sisplatin
100mg/m2 iv pada hari ke 2
b. Untuk jenis karsinoma sel skuamous (squamous cell carcinoma,
mucoepidermoid carcinoma)
1. methotrexate 50mg/m2 iv pada hari ke 1 dan 7
2. sisplatin 100mg/m2 iv pada hari ke 2
3. Metastase Kelenjar Getah Bening (N)
a. Terapi utama
1. Operabel : deseksi leher radikal (RND)
2. Inoperabel : radioterapi 40 Gy/+kemoterapi preoperatif, kemudian
dievaluasi
 menjadi operabel RND
 tetap inoperabel radioterapi dilanjutkan sampai 70Gy
b. Terapi tambahan
1. Radioterapi leher ipsilateral 40 Gy
4. Metastase Jauh (M)
Terapi paliatif : kemoterapi
a. Untuk jenis adenokarsinoma (adenoid cystic carcinoma,
adenocarcinoma,malignant mixed tumor, acinic cell carcinoma)
1. adriamisin 50mg/m2 iv pada hari 1

26
2. 5 fluorourasil 500mg/m2 iv pada hari 1
3. sisplatin 100mg/m2 iv pada hari ke 2
b. Untuk jenis karsinoma sel skuamous (squamous cell
carcinoma,mucoepidermoid carcinoma)
1. methotrexate 50mg/m2 iv pd hari ke 1 dan 7
2. sisplatin 100mg/m2 iv pada hari ke 2

II.13 Komplikasi
a. Nervus Fasialis
Nervus fasialis adalah nervus yang melintasi kelenjar parotis dan
membaginya menjadi lobus superfisialis dan profunda. Sekitar 15-20%
kasus (15-20 dalam 100 pasien) nervus fasialisnya mengalami trauma
sehingga terjadi kelemahan pada otot-otot fasialis. Ini biasanya sembuh
dalam 14 hari sampai 3 bulan setelah operasi dan penyembuhan bisa lebih
cepat dengan latihan terapi bicara dan bahasa. Sebanyak 1% kasus terjadi
kelemahan permanen dari nervus fasialis. Beberapa pasien mengalami
kelemahan nervus fasialis cabang-cabang tertentu saja.
b. Frey’s Syndrome
Nama lain Frey’s syndrome adalah Baillarger’s syndrome, Dupuy’s
syndrome, auriculotemporal syndrome, atau Frey-Baillarger syndrome
Merupakan komplikasi tersering pada pasien pasca operasi parotidektomi
yaitu sebanyak 6 orang dari 26 pasien. Frey’s syndrome adalah manifestasi
klinik berupa kemerahan dan berkeringat pada hemifasial setelah stimulus
kelenjar saliva dan mengunyah. Frey’s Syndrome ini biasanya terjadi
setelah cedera traumatik regio parotis seperti parotidektomi, fraktur
kondilar, trauma tumpul, insisi dan drainase abses. Sindrom ini bisa
muncul setelah beberapa minggu sampai beberapa tahun setelah trauma.
Pemeriksaan dilakukan dengan cara tes pati-iodine. Iodine cair dioleskan
di atas kulit area preaurikular, tunggu sampai kering, kemudian setelah itu
ditaburkan pati jangung di atasnya. Minta pasien untuk mengunyah
makanan selama 5 menit untuk merangsang gustatori. Akan tampak

27
gambaran bercak biru kehitaman yang berarti hasilnya positif, karena
adanya kompleks iodine-pati yang terdilusi oleh keringat.
Patofisiologi Frey’s syndrome adalah karena regenerasi saraf otonom yang
salah arah setelah cedera area parotis. Setelah cedera, serat saraf
parasimpatis sekretomotor post ganglionik yang seharusnyaberinervasi
dengan kelenjar parotis, menjadi bergabung dengan reseptor simpatis, dan
berinervasi dengan kelenjar keringat sehingga menyebabkan
berkeringatnya gustatori. Dengan demikian, seharusnya makanan
merangsang kelenjar saliva, menjadi merangsang kelenjar keringat.
Meskipun Frey’s syndrome tidak menyebabkan gangguan fisiologis yang
berbahaya, namun gejala kemerahan dan keringat berlebihan menyebabkan
stres psikologis dan sosial.
c. Hematoma
Hematoma mengenai 3 dari 26 pasien. Terjadi karena blokade drainase
sehingga pada pasien post parotidektomi dipasang drain untuk
mencegahterjadinya hematoma.

II.15 Prognosis
Prognosis pada tumor maligna sangat tergantung pada histologi, perluasan
lokal dan besarnya tumor dan jumlah metastasis kelenjar leher. Jika sebelum
penanganan tumor maligna telah ada kehilangan fungsi saraf, maka prognosisnya
lebih buruk. Untuk tumor maligna, pengobatan dengan eksisi dan radiasi
menghasilkan tingkat kesembuhan sekitar 50%, bahkan pada keganasan dengan
derajat tertinggi. Ketahanan hidup 5 tahun kira-kira 5%, namun hal ini masih tetap
tergantung kepada histologinya. Faktor prognostik rendah termasuk keganasan
kelas tinggi, keterlibatan saraf, penyakit stadium lanjut, usia lanjut, rasa sakit yang
terkait, metastasis getah bening regional node, metastasis jauh, dan akumulasi p53
atau-erbB2 concoproteins. Meskipun pernyataan menyangkut kelangsungan hidup
sulit dibuat karena berbagai macam jenis histologis, 20% dari semua pasien akan
berkembang menjadi metastasis jauh. Metastasis jauh menandakan prognosis
buruk, dengan kelangsungan hidup rata-rata 4,3-7,3 bulan.

28
Secara keseluruhan 5-tahun kelangsungan hidup untuk semua tahap dan
jenis histologis adalah sekitar 62%-72%. Kelangsungan hidup 5 tahun secara
keseluruhan untuk penyakit berulang adalah sekitar 37%. Karena risiko
kekambuhan, semua pasien yang menderita tumor kelenjar ludah histologi yang
terbukti ganas harus di kontrol seumur hidup.

II.16 Kontrol
Pengawasan harus terus tanpa batas waktu, sebagai kekambuhan lokal atau
metastasis jauh dapat menjadi jelas bertahun-tahun setelah pengobatan awal.
Pasien harus menjalani pemeriksaan fisik secara menyeluruh setiap 3 bulan
selama 2 tahun, setiap 6 selama 3 tahun, kemudian setiap tahun setelahnya. Tes
fungsi hati dan rontgen dada harus diperoleh setiap tahun

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Lee SC. Salivary Gland Neoplasms. Medscape Reference; [updated


28/07/2011; cited 14/07/2012]; Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/852373-overview#showall.
2. Holsinger FC, Bui DT. Anatomy, Function, and Evaluation of the Salivary
Glands. In: Myers EN, Ferris RL, editors. Salivary Gland Disorders.
Germany: Springer; 2007. p. 2-6.
3. Elluru RG, Kumar M. Physiology of the Salivary Glands. In: Cummings
CW, Flint PW, Harker LA, Haughey BH, Richardson MA, Schuller
KTRDE, et al., editors. Cummings: Otolaryngology: Head & Neck
Surgery. 4th ed. USA: Elsevier; 2007.
4. Dubner S. Benign Parotid Tumors. Medscape Reference; [updated
15/12/2011; cited 14/07/2012]; Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1289560-overview#showall.
5. Oh YS, Eisele DW. Salivary Gland Neoplasms. In: Bailey BJ, Johnson JT,
Newlands SD, editors. Head & Neck Surgery - Otolaryngology. 4th ed.
Texas: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p. 151-3.
6. Amirlak B. Malignant Parotid Tumors. Medscape Reference; [updated
15/12/2011; cited 14/07/2012]; Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1289616-overview#showall.
7. Speight PM, Barrett AW. Salivary Gland Tumours. Oral Diseases.
2002;8:229-37.
8. Shaha AR. Parotid Mass. In: Souba WW, Fink MP, Jurkovich GJ, Kaiser
LR, Pearce WH, Pemberton JH, et al., editors. ACS Surgery: Principles &
Practice. 6th ed: WebMD Inc; 2007.
9. Bull TR. Color Atlas of ENT Diagnosis. 4th ed. New York: Thieme; 2003.
10. Curtin HD. Imaging of the Salivary Glands. In: Myers EN, Ferris RL,
editors. Salivary Gland Disorders. Germany: Springer; 2007. p. 17-24.
11. Go JL, Hoang P, Becker TS. Salivary Gland Imaging. In: Bailey BJ,
Johnson JT, Newlands SD, editors. Head & Neck Surgery -
Otolaryngology. 4th ed. Texas: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p.
528-30.

30
12. Borton C. Salivary Gland Disorders. Patient UK; 2011 [updated
24/08/2011; cited 20/07/2012]; Available from:
http://www.patient.co.uk/printer.asp?doc=40000981.

31

Anda mungkin juga menyukai