Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

ASMA BRONKIAL

DISUSUN OLEH :
Elsya Melinda
18102211016

PEMBIMBING :
dr. Endang Prasetyowati, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA
RSUD AMBARAWA
2019
KATA PENGANTAR

Dalam kesempatan ini puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT karena atas rahmat dan nikmat-Nya laporan kasus yang berjudul “Asma
Bronkial” dapat terselesaikan dengan baik.

Penulis ucapkan terima kasih kepada dr. Endang Prasetyowati, Sp.A


selaku pembimbing selama penulis menjalani kepaniteraan klinik anak di
RSUD Ambarawa serta teman-teman seperbimbingan yang saling membantu
dan mendukung.
Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam penulisan laporan kasus
ini, oleh karena itu penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga
laporan kasus yang disusun penulis ini dapat bermanfaat bagi pihak yang
berkepentingan di masa yang akan datang.

Ambarawa, Juni 2019

Penulis
PENGESAHAN

Laporan Kasus diajukan oleh


Nama : Elsya Melinda
NRP : 1810221016
Program studi : Kedokteran umum
Judul : Asma Bronkial
Telah berhasil dipertahankan di hadapan pembimbing dan diterima sebagai syarat
yang diperlukan untuk ujian kepaniteraan klinik anak Program Studi Profesi
Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Jakarta.

Pembimbing

dr. Endang Prasetyowati, Sp.A

Ditetapkan di : Ambarawa
Tanggal : Juni 2019
BAB I
PENDAHULUAN

Asma merupakan penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan


masyarakat di hampir semua negara di dunia, diderita oleh anak-anak sampai
dewasa dengan derajat penyakit yang ringan sampai berat, bahkan dapat
mematikan.Lebih seratus juta penduduk di seluruh dunia menderita asma dengan
peningkatan prevalensi anak-anak. Asma merupakan gangguan saluran nafas yang
sangat kompleks, tidak memiliki sifat yang khas, baik gambaran klinis, faktor
pencetus proses perjalanan penyakit, maupun pola mekanisme terjadinya sangat
bervariasi. Meskipun begitu, asma memiliki ciri klasik berupa mengi,
bronkokontraksi, terjadi sembab mukosa dan hipersekresi (Sulistyo, 2005).

Asma merupakan penyakit yang memiliki karakteristik dengan sesak napas


dan wheezing, dimana keparahan dan frekuensi dari tiap orang berbeda.Kondisi
ini akibat kelainan inflamasi dari jalan napas di paru-paru dan mempengaruhi
sensitivitas saraf pada jalan napas sehingga mudah teriritasi.Pada saat serangan,
alur jalan napas membengkak karena penyempitan jalan napas dan pengurangan
aliran udara yang masuk ke paru-paru (WHO, 2011).

Penelitian epidemiologi diberbagai negara mengenai prevalensi asma


menunjukkan angka yang sangat bervariasi, di Skandinavia 0,7-1,8%; Norwegia
0,9-2,0%; Finlandia 0,7-0,8%; Inggris 1,6-5,1%; Australia 5,4-7,4%, India 0,2%;
Jepang0,7%; Barbados 1,1%. Beberapa survey menunjukkan bahwa penyakit
asma menyebabkan hilangnya 16% hari sekolah pada anak-anak di Asia, 43%
anak-anak di Eropa, dan 40% hari pada anak-anak di Amerika Serikat. Prevalensi
asma pada anak di Indonesia sekitar 6,5% pada anak usia < 14 tahun.
Seranganasma terjadi pada anak-anak tersebut, didiagnosis oleh para ahli sebagai
asma ekstrinsik yang dapat disebabkan oleh alergen.
BAB II
STATUS PASIEN

1.1 Identitas Pasien


 Nama : An. MWM
 Umur : 9 tahun
 Jenis kelamin : Perempuan
 Alamat : Karanganyar
 Nama Ayah : Tn. A
 Pendidikan Ayah : SMA
 Nama Ibu : Ny. D
 Pendidikan Ibu : SMA
 Tanggal Masuk RS : 14 May 2019
 Tanggal Keluar RS : 14 May 2019

1.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis kepada Ibu pasien di Bangsal
Anggrek RSUD Ambarawa tanggal 14 May 2019.
Keluhan Utama
Sesak.
Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang anak perempuan usia 9 tahun diantar keluarga datang ke RSUD
Ambarawa dengan keluhan utama sesak selama kurang-lebih 3 hari terakhir.
Keluhan sesak tersebut disertai dengan bunyi mengi. Keluhan tersebut dirasakan
terutama pada malam hari dan terkadang pada siang hari. Sesak tidak membaik
dengan perubahan posisi ataupun dengan penggunaan obat . Sesak tidak disertai
dengan bengkak pada wajah atau kelopak mata, atau bengkak pada kedua tungkai.
Menurut orangtuanya, OS ini bukan sesak yang pertama karena sebelum ini
beberapa kali pernah mengalami sesak nafas sebanyak 3-4 kali dalam sebulan dan
biasanya sering kambuh ketika OS melakukan aktivitas seperti lari-lari dan
kelelahan. Sesak juga tidak disertai dengan kebiruan pada telapak tangan, kaki
atau biru pada mulut. Sesak dirasakan lebih dari satu kali dalam seminggu dan
lebih dari satu kali dalam sehari. Sesak mengganggu aktifitas. Pasien dapat
berbicara dalam penggalan kalimat. Nyeri dada disangkal.
Keluhan tersebut disertai dengan batuk dan pilek yang sudah berlangsung
selam 1 minggu yang sering timbul terutama pada malam hari. Batuk berdahak
dan tidak terdapat darah (-).
Menurut ibu pasien, pasien tidak alergi terhadap makanan seperti susu,
coklat atau seafood.
Demam disangkal oleh ibu pasien (-). Berkeringat di malam hari (-), berat
badan tidak kunjung naik (-). Semenjak sakit pasien menjadi lemas dan tidak
nafsu makan. BAB dan BAK tidak ada keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien pernah dirawat dengan keluhan yang sama, pasien memiliki
riwayat TB paru pada usia 2 tahun dan menjalani pengobatan di RS selama 6
bulan dan dinyatakan sembuh, riwayat rhinitis -.

Anamnesis Sistem
a. Sistem Cerebrospinal
kejang (-), keluhan kaku kuduk (-), nyeri kepala (-), muntah (-).
b. Sistem Kardiovaskular
Bengkak pada tungkai (-), kebiruan (-), dada berdebar (-)
c. Sistem Respirasi
Suara serak (-), sesak (+), sulit bernapas (+), suara ngik-ngik (+),
mengorok(-), pilek (+),
d. Sistem Gastrointestinal
BAB normal, nyeri tekan (-), kembung (-), mual (-), muntah (-), nyeri telan
(-).
e. Sistem Muskuloskeletal
Gerak aktif (+), gerak tidak terbatas, nyeri sendi (-), sendi bengkak (-),
sendi panas (-), nyeri ngilu pada tulang (-), kaku sendi (-), bengkak jari (-).
f. Sistem Integumentum
Tidak ada bercak-bercak kemerahan pada kulit, jaringan adipose kulit
normal.
g. Sistem Urogenital
BAK berwarna kuning jernih, nyeri BAK (-), tidak menahan BAK, BAK
terasa lampias tidak tersendat, nyeri pinggang (-), konsumsi air putih ± 5
gelas/ hari.
h. Sistem Vestibular
Nyeri pada telinga (-), bising pada telinga (-), cairan (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


Di keluarga pasien, kakak dari ibu kandung pasien memiliki keluhan serupa
yang telah didiagnosis oleh dokter memiliki penyakit asma.

Riwayat Kehamilan Ibu :


KEHAMILAN
Morbiditas kehamilan (-)
periksa ke bidan 1 kali/
Perawatan antenatal
bulan
KELAHIRAN
Tempat kelahiran Rumah sakit

Penolong persalinan Bidan

Cara persalinan Partus Normal

Masa gestasi Cukup bulan (37 minggu)


Keadaan bayi Berat lahir 3200 gram
Panjang badan 49 cm
Langsung menangis
Kulit kemerahan
Tidak ada kelainan bawaan
Kesan : Pasien lahir spontan, kehamilan cukup bulan dengan BBLC
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan:
Pertumbuhan gigi pertama : 12 bulan
Perkembangan Usia
Motorik Kasar • Tengkurap 4 bulan
• Merangkak 6 bulan
• Duduk 8 bulan
• Berdiri 10 bulan
• Berjalan 1thn 2bln
Motorik Halus • Menggenggam 2-3 bulan
• Memindahkan benda 6 bulan
Bahasa • Bersuara 2 bulan
• Tertawa/ berteriak 3 bulan
• Berbicara tanpa arti (babbling) 4-5 bulan
• Papa mama 9 bulan
Sosial • Mengenal orang 2 bulan
• Tepuk tangan 9 bulan
Kesan : Tumbuh kembang sesuai usia.
Riwayat Nutrisi
Umur (bulan) ASI Susu Formula Bubur Bayi Nasi Tim
0–2 √
2–4 √
4–6 √ √ √
6–7 √ √ √ √
Kesan: Kebutuhan gizi pasien terpenuhi dengan baik.

Riwayat Imunisasi:

a. 0 bulan : hepatitis B 0
b. 1 bulan : BCG, polio 1
c. 2 bulan : DPT-HB, polio 2
d. 3 bulan : DPT-HB, polio 3
e. 4 bulan : DPT-HB, polio 4
f. 9 bulan : campak
g. 18 bulan : DPT-HB
h. 24 bulan : campak
Kesan : pasien mengikuti imunisasi lengkap yang diadakan puskesmas.

Riwayat Pertumbuhan
 BB sekarang : 45 kg
 TB sekarang : 140 cm
 Status Gizi
 BB/TB : presentile -1 SD sampai 0 SD, Normal
 BB/U : presentile 0 SD sampai -2 SD, Normal
 TB/U : presentile -2 SD sampai 0 SD, Normal

Genogram

Kakak

Keadaan Sosial dan Lingkungan


 Keadaan Sosial
Pasien merupakan anak pertama di keluarga. Pasien sudah bersekolah di
sekolah dasar negeri.
 Keadaan Lingkungan
Pasien tinggal bersama kedua orang tua, dengan keadaan rumah sempit dan
jarak antar rumah yang padat. Bapak pasien bekerja sebagai pegawai
swasta, ibu sebagai ibu rumah tangga.

1.3 Pemeriksaan Fisik


Status Pasien tanggal 14 Mei 2019
- Keadaan umum : Tampak sesak
- Kesadaran : Compos Mentis
- Nadi : 150x/menit, regular, equal, isi cukup
- Respirasi : 40 x/menit,
- SpO2 : 98%
- Suhu : 36,8 ºC
- Berat Badan : 45 kg
- Tinggi Badan : 140 cm
Data Antropometri
 Berat badan : 45 kg
 Tinggi badan : 140 cm
Status Gizi
 BB/TB : presentile -1 SD sampai 0 SD, Normal
 BB/U : presentile 0 SD sampai -2 SD, Normal
 TB/U : presentile -2 SD sampai 0 SD, Normal

Status Generalis
 Kelainan mukosa kulit/subkutan yang menyeluruh:
Pucat (+), Sianosis (-), Perdarahan (-), Oedem (-), Turgor cukup,
Lemak bawah kulit cukup
 Kepala :
Normocephal, rambut hitam, terdistribusi merata, tidak mudah
dicabut, kulit kepala tidak ada eritema dan skuama, ubun-ubun menutup
 Mata :
Palpebra tidak edema, tidak cekung, konjungtiva anemis (-/-)dan
sclera tidak ikterik, kornea jernih (+/+), lensa jernih (+/+), refleks cahaya
langsung dan tidak langsung (+/+)
 Telinga
o Daun telinga : Bentuk, besar dan posisinya normal
o Lubang telinga : Tidak ada sekret, serumen (-)
o Gendang telinga : Sedikit cekung dan mengkilat
 Hidung :
bentuk normal, secret (-), pernafasan cuping hidung +/+
 Tenggorokan :
Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1
 Mulut :
Bibir tidak sianosis, mukosa bibir lembab dan pucat, lidah tidak
kotor
 Leher :
Trachea di tengah, tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening
 Thorax :
Bentuk simetris, tidak ada deformitas, retraksi pernafasan
suprasternal
 Paru :
o Inspeksi : Bentuk normal, simetris dalam keadaan statis
dan dinamis, retraksi suprasternal(+)
o Palpasi : Taktil fremitus kanan sama dengan kiri
o Perkusi : sonor dikedua lapang paru
o Auskultasi : suara napas bronkovesikuler (+/+), ronki (+/+),
wheezing (+/+)
 Jantung :
o Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis, thrill (-)
o Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
o Perkusi : redup, batas jantung kasar kesan jantung tidak membesar.
o Auskultasi : SI-II reguler, murmur (-), gallop (-)

 Abdomen :
o Inspeksi : Datar, tidak tampak gambaran vena, tidak tampak gerakan
peristaltik usus
o Auskultasi : Bising usus terdengar normoperistaltik
o Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba, tidak terdapat nyeri
tekan, turgor kulit tidak menurun
o Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
 Ekstremitas :
Petekie (-), purpura(-). Akral normal, CRT <2 detik, tidak edem, sianosis
(-)
Refleks Kanan Kiri
Bisep + +
Trisep + +
Patella + +
Refleks patologis
- Babinsky _ _
Rangsang meningeal
- Kaku kuduk _ _
- Brudzinsky I _ _
- Brudzinsky II _ _
- Kerniq _ _
- Laseq _ _

 Genital : Sulit dinilai


1.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratoium tanggal 14 Mei 2019

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Hemoglobin 13.4 12,8-13,16,8 g/dl
Leukosit 15.4 H 4,5-13,5 ribu
Eritrosit 5.70 3,8-5,8 juta
Hematokrit 41.1 40-52 %
Trombosit 365 150-400 ribu
MCV 72.1 82-98 Fl
MCH 23.5 27-32 pg
MCHC 32.6 32-37 g/dl
RDW 15.7 10-15
MPV 9.9 mm³ 7-11 mm³
Limfosit 1.50 4-10,5
Monosit 0.23 0-0,8
Eosinofil 0.59 0,05-0,7
Basofil 0.07 0-0,2
Neutrofil 13.96 1,5-8,5
GDS 128 H 60-100

1.5 Diagnosis Akhir


Asma persisten sedang-berat  Status asmatikus persisten berat
1.6 Penatalaksanaan
 O2 2 lpm
 Nebu: ventolin 1 amp + flexotide 1 amp diulang 4 jam
 Drip aminofilin 160 mg dalam D5% 100cc selama 6 jam
 Dexametasone inj 3x5 mg
 cek GDS
 Foto Thorax
 Periksaan fungsi paru: Peak Flow Meter, spirometer
 Analisis gas darah

1.8 Prognosis
Ad Vitam : dubia
Ad Sanationam : dubia
Ad fungsionam : dubia

FOLLOW UP
Tgl S O A P
14/05/19 -sesak KU: gelisah dan Status -Rujuk
bertambah sesak asmatikus -digoxin 2x1/2
N:198x/m, -Demam(-) kes: CM persisiten tab
regular,isi -batuk (+) Kepala: berat -nebulizer
cukup,kuat -Pilek (+) normocephali meptin+flexoti
angkat -Muntah (+) Mata:RC L/TL +/+ de 1 amp/ 4jam
T:36,7 ºC cekung(-/-),CA(-/-) selang-seling
RR:50x /m Hidung: -aminofilin
SpO2: 93% normosepta secret - drip
/-, septum deviasi, -inj.
nafas cuping Dexametasone
hidung (+) 5 mg
Mulut: tonsil T1-
T1, uvula di
tengah,hiperemis(-
),bibir kering(+),
mukosa lembab (+)
Leher: KGB dan
tiroid: ttm, kaku
kuduk (-)
Thorax: P:
retraksi suprastenal
dan sela iga (+)
C/ BJI-II reg, m(-
),g(-)
P/
SNV+/+,rh+/+,wh+
/+
Abdomen:supel,
BU(+)
5x/menit,turgor
baik
Ekstremitas: CRT<
2”
R. Fisiologis: +/+
R. Patologis: -/-
Defisit Neurologis
(-)
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
III. Asma
III.1. Definisi
GINA mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronis saluran
nafas dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T.
Pada orang yang rentan inflamasi tersebut menyebabkan episode mengi berulang,
sesak nafas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari.
Gejala tersebut biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas
namun bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara
spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi tersebut juga berhubungan dengan
hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai rangsangan.1

Selain definisi diatas, untuk mempermudah batasan operasional asma


untuk kepentingan klinis yang lebih praktis, Pedoman Nasional Asma Anak
(PNAA) menggunakan batasan operasional asma yaitu mengi berulang dan/atau
batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut: timbul secara episodik,
cenderung pada malam hari/dini hari (nokturnal), musiman, adanya faktor
pencetus diantaranya aktivitas fisis, dan bersifat reversibel baik secara spontan
maupun dengan pengobatan, serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada
pasien/keluarganya.1
III.2. Epidemiologi
Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10%
pada anak). Prevalensi pada anak menderita asma meningkat 8-10 kali di negara
berkembang dibanding negara maju. Prevalensi tersebut sangat bervariasi. Di
Indonesia, prevalensi asma pada anak berusia 6-7 tahun sebesar 3% dan untuk
usia 13-14 tahun sebesar 5,2%.3 Berdasarkan laporan National Center for Health
Statistics (NCHS), prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57
per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun adalah 38 per
1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Sebelum masa pubertas, prevalensi asma pada
laki-laki 3 kali lebih banyak dibanding perempuan, selama masa remaja
prevalensinya hampir sama dan pada dewasa laki-laki lebih banyak menderita
asma dibanding wanita.4

Secara global, morbiditas dan mortalitas asma meningkat pada 2 dekade


terakhir. Peningkatan ini dapat dihubungkan dengan peningkatan urbanisasi.
WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma.
Berdasarkan laporan NCHS terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100
ribu. Sedangkan, laporan dari CDC menyatakan terdapat 187 pasien asma yang
meninggal pada usia 0-17 tahun atau 0.3 kematian per 100,000 anak. Namun
secara umum kematian pada anak akibat asma jarang.4

III.3. Faktor Resiko

Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya serangan asma, kejadian


asma, berat ringannya penyakit, serta kematian akibat penyakit asma. Beberapa
faktor tersebut sudah disepakati oleh para ahli, sedangkan sebagian lain masih
dalam penelitian. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah jenis kelamin, usia,
sosio-ekonomi, allergen, infeksi, atopi, lingkungan. 5
1. Jenis kelamin
Menurut laporan dari beberapa penelitian didapatkan bahwa prevalens asma
pada anak laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5 sampai 2 kali lipat anak
perempuan. Menurut laporan MMH, prevalens asma pada anak laki-laki lebih
tinggi daripada anak perempuan, dengan rasio 3:2 pada usia 6-11 tahun dan
meningkat menjadi 8:5 pada usia 12-17 tahun. Pada orang dewasa, rasio ini
berubah menjadi sebanding antara laki-laki dan perempuan pada usia 30 tahun. 5
2. Usia
Umumnya, pada kebanyakan kasus asme persisten, gejala seperti asama
pertama kali timbul pada usia muda, yaitu pada beberapa tahun pertama kehidupan.
Dari Australia, dilaporkan bahwa 25% anak dengan asma persisten mendapat
serangan mengi pada usia <6 bulan, dan 75% mendapat serangan mengi pertama
sebelum usia 3 tahun. Hanya 5% anak dengan asma persisten terbebas dari gejala
asma pada usia 28-35 tahun, 60% menetap menunjukkan gejala seperti saat anak-
anak, dan sisanya masih sering mendapat serangan meskipun lebih ringan daripada

saat masa kanak. 5

3. Riwayat atopi
Adanya atopi berhubungan dengan meningkatnya resiko asma persisten dan
beratnya asma. Pada anak usia 16 tahun dengan riwayat asma atau mnegi, akan terjadi
serangan mengi dua kali lipat lebih banyak jika anak pernah megalami hay fever,
rhinitis alergi, eksema. Anak dengan mengi persisten dalam kurun waktu 6 bulan
pertama kehidupan mempunyai kadar IgE lebih tinggi daripada anak yang tidak
pernah mengalami mengi, pada usia 9 bulan5

4. Lingkungan
Adanya allergen di lingkungan hidup anak meningkatkan resiko penyakit
asama. Allergen yang sering mencetuskan penyakit asma antara lain adalah serpihan
kulit binatang piaraan, tungau debu rumah, jamur, dan kecoa. 5
5. Ras
Dilaporkan prevalens asma dan kejadian asma pada ras kulit hitam lebih
tinggi daripada kulit putih. 5
6. Asap rokok
Prevalens asma pada anak yang terpajan asap rokok lebih tinggi daripada
anak yang tidak terpajan asap rokok. Resiko asap rokok sudah dimulai sejak janin
dalam kandungan, umumnya berlangsung terus setelah anak di lahirkan. 5
7. Outdoor air pollution
Beberapa partikel halus di udara seperti debu jalan raya, nitrat oksida,
karbon monoksida, atau SO2 diduga berperan pada penyakit asma, meningkatkan
gejala asma, tetapi belum didapatkan bukti yang pasti. 5
8. Infeksi respiratorik
Beberapa penelitian mendapatkan bahwa adanya hubungan terbalik antara
atopi dengan infeksi respiratori. 5
III.4. Patogenesis

Pada sekitar tahun 1970, asma diartikan sebagai sumbatan jalan napas yang
timbul mendadak, dan akan membaik secara spontan atau dengan pengobatan.
Mekanisme utama timbulnya gejala asma diakibatkan hiperreaktivitas bronkus,

sehingga pengobatan utama asma adalah untuk mengatasi bronkospasme.4,5

Konsep terkini yaitu asma merupakan suatu proses inflamasi kronik


yang khas, melibatkan dinding saluran respiratorik, menyebabkan terbatasnya
aliran udara dan peningkatan reaktivitas saluran napas. Gambaran khas adanya
inflamasi saluran respiratorik adalah aktivasi eosinofil, sel mast, makrofag, dan
sel limfosit T pada mukosa dan lumen saluran respiratorik. Proses inflamasi ini
terjadi meskipun asmanya ringan atau tidak bergejala.4,5

Pada banyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma
dihubungkan dengan manifestasi atopi melalui mekanisme IgE-dependent.
Pada populasi diperkirakan faktor atopi memberikan kontribusi pada 40%
penderita asma anak dan dewasa.4,5

Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen pada


awalnya menimbulkan fase sensitisasi. Akibatnya terbentuk IgE spesifik oleh
sel plasma. IgE melekat pada reseptor Fc pada membran sel mast dan basofil.
Bila ada rangsangan berikutnya dari alergen serupa, akan timbul reaksi asma
cepat (immediate asthma reaction). Terjadi degranulasi sel mast dan dilepaskan
mediator-mediator seperti histamin, leukotrien C4 (LTC4), prostaglandin D2
(PGD2), tromboksan A2 dan tryptase. Mediator-mediator tersebut
menimbulkan spasme otot bronkus, hipersekresi kelenjar, edema, peningkatan
permeabilitas kapiler, disusul dengan akumulasi sel eosinofil. Gambaran klinis
yang timbul adalah serangan asma akut. Keadaan ini akan segera pulih kembali
serangan asma hilang dengan pengobatan. 8
Mediator inflamasi yang berperan merupakan mediator inflamasi yang
meningkatkan proses keradangan, mempertahankan proses inflamasi. Mediator
inflamasi tersebut akan membuat kepekaan bronkus berlebihan, sehingga bronkus
mudah konstriksi, kerusakan epitel, penebalan membrana basalis dan terjadi
peningkatan permeabilitas bila ada rangsangan spesifik maupun non spesifik.
Secara klinis, gejala asma menjadi menetap, penderita akan lebih peka terhadap
rangsangan. Kerusakan jaringan akan menjadi irreversibel bila paparan
berlangsung terus dan penatalaksanaan kurang adekuat.1

Sejalan dengan proses inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus


merangsang proses reparasi saluran respiratorik yang menghasilkan perubahan
struktural dan fungsional yang menyimpang pada saluran respiratorik yang
dikenal dengan istilah remodeling atau repair. Pada proses remodeling yang
berperan adalah sitokin IL4, TGF beta dan Eosinophil Growth Factor (EGF). TGF
beta merangsang sel fibroblast berproliferasi, epitel mengalami hiperplasia,
pembentukan kolagen bertambah. Akibat proses remodeling tersebut terjadi
pelepasan epitel yang rusak, jaringan membrana basalis mukosa menebal
(pseudothickening), hiperplasia kelenjar, edema submukosa, infiltrasi sel radang
dan hiperplasia otot. Perubahan semacam ini tidak memberikan perbaikan klinis,
tetapi mengakibatkan penyempitan lumen bronkus yang persisten dan
memberikan gambaran klinis asma kronis.8
Menurut paradigma yang lampau, proses remodeling terjadi akibat kerusakan
epitel bronkus yang disebabkan oleh proses inflamasi kronis. Sehingga apabila obat
antiinflamasi tidak diberikan sedini mungkin sebagai profilaksis, maka inflamasi
berlangsung terus dan obstruksi saluran napas menjadi irreversibel dan proses
remodeling bertambah hebat. Pada penelitian terhadap anak dengan riwayat keluarga
atopi yang belum bermanifestasi sebagai asma ternyata ditemukan infiltrasi eosinofil
dan penebalan lamina retikularis. Hal ini mencurigakan bahwa proses remodeling

telah terjadi sebelum atau bersamaan dengan proses inflamasi.8


III.5. Manifestasi klinis dan Diagnosis

Batuk kering berulang dan mengi adalah gejala utama asma pada anak.
Pada anak yang lebih besar dan dewasa, gejala juga dapat berupa sesak napas,
dada terasa berat gejala biasanya akan memburuk pada malam hari yang dipicu
dengan infeksi pernapasan dan inhalasi alergen. Gejala lainnya dapat
tersembunyi dan tidak spesifik seperti keterbatasan aktivitas dan cepat lelah.
Riwayat penggunaan bronkodilator dan atopi pada pasien atau keluarganya
dapat menunjang penegakan diagnosis.1

GINA, konsensus Internasional dan PNAA menekankan diagnosis asma


didahului batuk dan atau mengi. Gejala awal tersebut ditelusuri dengan
algoritme kemungkinan diagnosis asma. Pada algoritme tampak bahwa batuk
dan/atau mengi yang berulang (episodik), nokturnal, musiman, setelah
melakukan aktivitas, dan adanya riwayat atopi pada penderita maupun
keluarganya merupakan gejala atau tanda yang patut diduga suatu asma.1,8

Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil.,


khususnya anak di bawah 3 tahun, respons yang baik terhadap obat
bronkodilator dan steroid sistemik (5 hari) dan dengan penyingkiran penyakit
lain diagnosis asma menjadi lebih definitif. Untuk anak yang sudah besar (>6
tahun) pemeriksaan faal paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang
sederhana dengan peak flow meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer.
Uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, latihan (exercise), udara
kering dan dingin atau dengan NaCl hipertonis, sangat menunjang diagnosis. 6

alur diagnosis asma PNAA, 20158


Klasifikasi asma pada anak 5 – 11 tahun (NHLBI, 2018)11

klasifikasi asma (PNAA, 2015)8


klasifikasi serangan asma (PNAA, 2015)8

II.6. Pemeriksaan Penunjang

a.Pemeriksaan fungsi paru


Ada banyak cara yang digunakan untuk mengukur fungsi paru, tetapi tidak
banyak yang dapat dilakukan dengan mudah. Pemeriksaan fungsi paru mulai dari
pengukuran sederhana, yaitu peak expiratory flow rate (PEFR) atau arus puncak
ekspirasi (APE), pulse, oximetry,spirometry, sampai pengukuran kompleks yaitu
muscle strength testing, volume para absolut, serta kapasitas difusi. Pemeriksaan
paru yang objektif dan lengkap dapat bermanfaat dalam evaluasi diagnostic anak
dengan batuk, mengi rekuren, aktifitas terbatas, dan keadaan lain yang berkaitan
dengan system respiratorik. Pemeriksaan fungsi paru ini terutama bermanfaat
apabila ada manifestasi gejala asma yang tidak khas. Kebanyakan uji fungsi paru
mengevaluasi satu atau lebih aspek fungsi paru, yaitu: 1) volume paru, 2) fungsi
jalan napas, 3) pertukaran gas. Pengukuran volume paru bermanfaat pada penyakit
paru restriktif seperti kelemahan otot nafas, deformitas dinding dada, atau penyakit

interstitial paru, serta pada beberapa anak dengan kelainan obstruktif jalan nafas.5

Walau pemeriksaan analisis gas darah merupakan baku emas untuk


menilai parameter pertukaran gas, pulse oximetry masih merupakan
pemeriksaan yang berguna dan efisien. Pada uji fungsi jalan nafas, hal yang
paling penting adalah melakukan maneuver ekspirasi paksa secara maksimal.
Hal ini tertutama berguna pada penyakit dengan obstruksi jalan nafas, misalnya
asma dan fibrosis kistik. Pengukuran dengan maneuver ini yang dapat
dilakukan pada anak di atas 6 tahun adalah forced expiratory volume in 1

second (FEV1) dan vital capacity (VC) dengan alat spirometer serta

pengukuran peak expiratory flow (PEF) atau arus puncak ekspirasi (APE)
dengan peak flow meter. Pengukuran variabilitas dan reversibilitas fungsi paru
dalam 24 jam sangat penting untuk mendignosis asma, melalui derajar berat

penyakit asma dan menjadi acuan dalam strategi pedoman pengelolaan asma. 5.

Pada pemeriksaan spirometry, adanya perbaikan FEV1 sebanyak

minimal 12% setelah pemberian bronkodilator inhalasi dengan atau tanpa

glukokortikoid mendukung diagnosis asma. 5

b.Pemeriksaan hiperreaktivitas saluran nafas

Uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, olahraga, udara


kering dan dingin, atau dengan salin hipertonik sangat menunjang diagnosis.
Pada pasien yang mempunyai gejala asma tetapi fungsi parunya tampak
normal, penilaian respons saluran nafas terhadap metakolin, histamine, atau
olahraga dapat membantu menegakkan diagnosis asma. Artinya hasil yang
negative dapat membantu menyingkirkan diagnosis asma persisten, sedangkan
hasi positif tidak selalu berarti bahwa pasien tersebut memiliki asma. Hal ini
disebabkan Karena hiperreaktivitas saluran nafas juga terdapat pada pasien
rhinitis alergi dan kondisi lain seperti fibrosis kistik, bronkieltasis, dan penyakit
paru obstruksi menahun. 5
c.Penilaian status alergi

Penilaian status alergi dengan uji kulit atau pemeriksaan IgE spesifik
dalam serum tidak banyak membantu diagnosis asma, tetapi pemeriksaan ini
dapat membantu menentukan faktor resiko atau pencetus asma.
III.7. Penatalaksanaan
1.Non medika mentosa (edukasi)

Komunikasi, Informasi dan Edukasi terhadap pasien dan keluarga 8


Yang paling penting pada penatalaksanaan asma yaitu komunikasi,
informasi dan edukasi pada keluarga dalam mencegah, menilai, dan mengobati
asma merupakan kunci keberhasilan mengontrol asama:

 Komunikasi antara pasien dan dokter untuk mengetahui keluhan pasien.


 Pengertian terntang kenyataan yang mendasar, penyebab, dan pencetus
asma.
 Mengidentifikasi dan mengontrol faktor-faktor yang memperburuk gejala
asma dan pencetus serangan.
 Pengertian tentang pentingnya penggunaank obat yang tepat dan benar dari
spacer dan inhaler untuk kontrol jangka panjang dan ketaatan pemakaian.
 Mengevaluasi klasifikasi/keparahan asma
 Menghindari pajanan terhadap faktor risiko
 Tatalaksana asma jangka panjang

Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin


tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci
tujuan yang ingin dicapai adalah :

 Pasien dapat menjalani aktivitas normalnya, termasuk bermain dan


berolahraga.
 Sesedikit mungkin angka absensi sekolah.
 Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari.
 Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang
mencolok.
 Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.
 Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin
timbul, terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.

2. Medikamentosa

tata laksana asma (NHLBI, 2015)11

 Serangan ringan-sedang

Pada pasien yang memenuhi kriteria gejala klinis untuk serangan asma ringan
sedang, sebagai tindakan awal pasien diberikan agonis β2 kerja pendek lewat
nebulisasi atau MDI dengan spacer, yang dapat diulang hingga 2 kali dalam 1 jam,
dengan pertimbangan untuk menambahkan ipratropium bromida pada nebulisasi
ketiga. Pasien diobservasi, jika tetap baik pasien dapat dipulangkan. Walaupun
mungkin tidak diperlukan, tetapi untuk persiapan keadaan darurat, sejak di UGD
pasien yang diobservasi sebaiknya langsung dipasangkan jalur parenteral. 
 Pasien
dibekali dengan obat agonis β2 (hirupan atau oral) yang diberikan setiap 4-6 jam.
Inhalasi bronkodilator diberikan dalam bentuk MDI dengan spacer atau nebulisasi
yang sama keefektifannya. Penambahan ipratropium bromida selain agonis β2 dapat
diberikan apabila pasien dapat diedukasi untuk menggunakan kombinasi tersebut
pada serangan yang lebih berat. Pada serangan asma ringan sedang
diberikan steroid sistemik (oral) berupa prednison atau prednisolon dengan
dosis 1-2 mg/kgBB/hari selama 3-5 hari, tanpa tappering off, maksimal pemberian
1 kali dalam 1 bulan. Pemberian steroid ini harus dilakukan dengan cermat untuk
mencegah pengulangan lebih dari 1 kali per bulan dan pada saat penulisan resep

 tambahkan keterangan 'do not iter'. Pasien kemudian dianjurkan untuk kontrol
ke klinik rawat jalan dalam waktu 3H5 hari untuk direevaluasi tata laksananya.
Selain itu, jika sebelum serangan pasien sudah mendapat obat pengendali, obat
pengendali dilanjutkan. 8

 Serangan asma berat

Pasien dengan gejala dan tanda klinis yang memenuhi kriteria serangan asma
berat harus dirawat di ruang rawat inap. Nebulisasi yang diberikan pertama kali
adalah agonis β2 dengan penambahan ipratropium bromida. Oksigen 2-4 liter per
menit diberikan sejak awal termasuk pada saat nebulisasi.Pasang jalur parenteral
pada pasien dan lakukan pemeriksaan rontgen toraks. Steroid sebaiknya diberikan
secara parenteral. Apabila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti
napas, pasien harus langsung dirawat di ruang rawat intensif. Pemeriksaan
rontgen toraks dilakukan untuk mendeteksi adanya komplikasi pneumotoraks
dan/atau pneumomediastinum. 8

 Tata laksana di Ruang Rawat Inap


Berikut tata laksana yang diberikan setelah pasien masuk ke ruang rawat
8
inap:
o Pemberian oksigen diteruskan. 

o Jika ada dehidrasi dan asidosis maka berikan cairan intravena dan


 koreksi asidosisnya. 
 

o Steroid intravena diberikan secara bolus, setiap 6-8 jam. Dosis steroid
intravena adalah 0,5-1 mg/kgBB/hari.
o Nebulisasi agonis β2 kerja pendek kombinasi dengan ipratropium bromida
dengan oksigen dilanjutkan setiap 1-2 jam. Jika dalam 4-6 kali pemberian
mulai terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian dapat diperlebar menjadi

tiap 4-6 jam. 


o Aminofilin diberikan secara intravena dengan dosis:

o Bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, aminofilin


dosis awal (inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB, yang dilarutkan dalam
dekstrosa atau garam fisiologis sebanyak 20 ml, dan diberikan
selama 30 menit, dengan infusion pump atau mikroburet. 


o Bila, respons belum optimal dilanjutkan dengan pemberian


aminofilin dosis rumatan sebanyak 0,5-1 mg/kgBB/jam. 


o Jika pasien telah mendapat aminofilin (kurang dari 8 jam), dosis


diberikan separuhnya, baik dosis awal (3-4 mg/kgBB) maupun
rumatan (0,25-0,5 mg/kg/jam). 


o Bila memungkinkan, sebaiknya kadar aminofilin diukur dan


dipertahankan 10-20 mcg/ml.

o Pantau gejala-gejala intoksikasi aminofilin, efek samping yang


sering adalah mual, muntah, takikarsi dan agitasi. Toksisitas
yang berat dapat menyebabkan aritmia, hipotensi, dan kejang.
o Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6 jam
hingga mencapai 24 jam, dan steroid serta aminofilin diganti 
 dengan

pemberian peroral.
o Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan 
 dengan

dibekali obat agonis β2 (hirupan atau oral) yang diberikan setiap 4-6 jam
selama 24-48 jam. Selain itu, steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol
ke klinik rawat jalan dalam 3-5 hari untuk reevaluasi tata laksana. 


III.8. Prognosis

Pada umumnya bila segera di tangani dan adekuat, prognosis asma adalah
baik. Mortalitas akibat asma sedikit nilainnya. Gambaran yang paling akhir
menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang
berjumlah kira-kira 10 juta. Informasi mengenai perjalanan klinis asma
mengatakan bahwa prognosis baik ditemukan pada 50 sampai 80 persen pasien,
khususnya pasien yang penyakitnya ringan timbul pada masa kanak-kanak.

DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative for Asthma (GINA), Pocket guide management


and prevention asthma , 2018. https://ginasthma.org/wp-
content/uploads/2018/04/wms-GINA-2018-report-
tracked_v1.3.pdf

2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, You Can Control


Your Asthma, 2017.
3. Mirzaei, M, Karimi, M, Beheshti, S, Prevelance Of Asthma
Among Middle Eastern Children : A systematic Review, 2017.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5473014/
4. Supriyatno B. Tatalaksana Serangan Asma Pada Anak. Bagian
Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, Jakarta.
5. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrhman RE. Nelson
ilmu kesehatan anak esensial. Singapore: Elsevier; 2011. 339-49.
6. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku ajar respirologi
anak. Edisi pertama. Jakarta: ikatan dokter anak Indonesia; 2012.
71- 158.
7. Hendarto A, Trihono P, Oswari H, Gunardi H. State of
art:common problems in hospitalized children. Jakarta: Ikatan
dokter anak Indonesia cabang DKI Jakarta; 2011.32-9.
8. Ikatan Dokter Anak Indonesia, Pedoman Nasional Asma Pada
Anak, UKK respirologi, 2016.
https://kupdf.net/download/pedoman-nasional-asma-anak-
idai_5a03eeede2b6f5d405496a8f_pdf
9. World Health Organization, Revised WHO Classification And
Treatment of Childhood Pneumonia At Health Facilities, 2014.
http://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/137319/97892415
07813_e
ng.pdf;jsessionid=5D13A4DAE847EB479C273CC17E66414D?s
equence =1
10. Uwaezuoke, SN, Ayuk, AC, Eze, JN, Asthma In Childhood : Current
Perspective On Diagnosis And Treatment, 2018.https://emj.europeanmedical-
group.com/wp-content/uploads/sites/2/2018/11/Editors-Pick-Asthma-in-
Childhood....pdf
11. National Health Lung and Blood Institute, Clinical Practice Guideline
Diagnosing And Managing Asthma in Children, 2018.
https://www.bcbsnm.com/pdf/cpg_asthma.pdf

Anda mungkin juga menyukai