Anda di halaman 1dari 32

BAGIAN ILMU PENYAKIT BEDAH LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN Juni 2018


UNIVERSITAS PATTIMURA

STRUMA NODOSA NON TOKSIK

Oleh :

NAMA: FATMAWATI
NIM : 2017 – 84 - 003

KONSULEN:
dr. Achmad Tuahuns, Sp. B, FINACS

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN


KLINIK
PADA BAGIAN ILMU PENYAKIT BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2019
BAB II
LAPORAN KASUS

A. Identitas
Nama : Ny. MJI
Umur : 74 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : IRT
Alamat : Benteng
Masuk Rumah Sakit : 27 Agustus 2019
Pengantar : Tenaga Kesehatan RS. GPM
Keluar Rumah Sakit : blm tau pasien belum pulang
No RM : 04.06.57

B. Anamnesis (Autoanamnesis/Alloanamnesis)

Keluhan Utama

Nyeri dan Bengkak di bagian bawah telinga kiri

Keluhan tambahan

Muntah (+), pusing (+), gigi berlubang (+)

Riwayat Penyakit Sekarang


Keluhan dirasakan sejak ±3 hari yang lalu SMRS, nyerinya terus
menerus, dan disertai rasa panas, awalnya terasa gatal dan lama-
kelaman timbul bengkak dan disertai rasa nyeri. Menurut keluarga,
pasien ketika merasakan nyeri pasien langsung menangis, dan ketika
pasien banyak bergerak pasien langsung muntah, disertai rasa pusing.
Pasien juga mengeluh kalau pasien memiliki gigi rahang belakang
bagian bawah yang berlubang, dan kadang pasien merasakan sakit pada
giginya yang berlubang, pasien juga mengeluh di rumah kadang pasien
demam, namun lama-kelaman demamnya turun. Sesak (-), batuk (-),
Makan-minum seperti biasa, BAK_BAB lancar. Pasien juga mengtakan
baru pertama kali mengalami keluhan seperti ini.

Riwayat Penyakit Dahulu


Satu tahun lalu pasien pernah sakit dada dan di rawat di rumah sakit
dengan tumor di bagian paru-paru.

Riwayat Penyakit Keluarga


Keluhan serupa pada keluarga (-), Tumor (-)

Riwayat Sosial
Pasien setiap harinya memakan makanan seperti biasa.

C. Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum

Kesadaran : Compos mentis


GCS : E4 V5 M6 = 15
VAS :7
Tanda-tanda Vital

Tekanan darah : 140/80 mmHg


Heart rate : 86 kali/menit, teraba kuat
Pernapasan : 20 kali/menit
Suhu : 37,5 ° C
Status Generalis

a. Kulit : Warna coklat sawo matang, tidak ikterik, tidak


pucat, tidak tampak ada tanda peradangan, tugor kuit baik.
b. Kepala : Simetris, bentuk mesocephal, tidak tampak adanya
peradangan
1. Rambut : Berwarna hitam, distribusi merata tidak mudah
dicabut.
2. Wajah : tidak simetris, terdapat adanya tanda perdangan dan
massa di bagian pipi kiri
3. Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,
refleks cahaya positif, pupil isokor.
4. Hidung : Simetris, deviasi septum (+) dan deformitas, tidak
ada discharge dari hidung, napas cuping hidung tidak ada.
5. Telinga : Simetris, tidak ada deformitas, tidak keluar
discharge tidak ada sekret dan tidak ada nyeri tekan.
6. Mulut : bibir tak tampak kering, tidak sianosis, tidak ada
stomatitis, lidah tidak kotor, tidak ada atrofi papil lidah, uvula
dan tonsila tidak membesar dan tidak hiperemis, lidah tidak
tremor.
c. Pemeriksaan Leher : Lihat status lokalis

d. Pemeriksaan Paru
1. Inspeksi : Simetris kanan dan kiri, tidak ada deformitas, tidak
ada ketinggalan gerak, tidak ada retraksi dinding dada, tidak
ada jejas.
2. Palpasi : Fokal fremitus seimbang antara paru-paru kanan
dan kiri, tidak ada krepitasi, dan tidak ada nyeri tekan pada
dada.
3. Perkusi : Seluruh lapang paru sonor, batas atas hepar SIC VI
midclavicula kanan.
4. Auskultasi : Suara dasar paru vesikuler meningkat, tidak
terdapat suara tambahan paru (wheezing-/-, rhonki-/-).
e. Pemeriksaan Jantung
1. Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat
2. Palpasi : Ictus Cordis tidak teraba.
3. Perkusi : Batas Jantung
Kanan atas : ICS II Linea Para Sternalis dextra
Kanan bawah : ICS V Linea Para Sternalis dextra
Kiri atas : ICS III Linea Mid Clavicula sinistra
Kiri bawah : ICS VI Linea Axilaris anterior sinistra
4. Auskultasi : S1>S2, irama regular normal, tidak terdapat
bising jantung.
f. Pemeriksaan Genital
Tidak diperiksa.

Pem
g. Pemeriksaan Abdomen
1. Inspeksi : Datar, dinding perut sejajar dengan dinding dada,
tidak tampak adanya massa
2. Auskultasi : Bising usus normal 5-8 x/mnt
3. Perkusi : Timpani.
4. Palpasi : Supel, tidak ada nyeri tekan, hepar dan lien tidak
teraba, tidak ada defence muscular, bising usus (+).
h. Periksaan Ekstremitas
Superior : Bentuk normal anatomis tidak deformitas. Akral hangat
dan tidak udem. Tak tampak adanya jejas dan tak tampak
adanya tanda peradangan.
Inferior : Bentuk normal anatomis tidak deformitas. Akral hangat
dan tidak udem.

Status Lokalis
Regio : region mandibular sinistra
Inspeksi : Tampak benjolan di telinga bawah bagian kir, berbatas
tegas, berukuran + 8 x 10cm, warna kulit pada benjolan berwarna
kemerahan di kulit sekitar.
Palpasi : Benjolan teraba keras, hangat (+), Fluktuasi (+), tidak
mobile (tidak mudah digerakkan). Nyeri tekan (+).

D. Diagnosis
Abses Mandibula + Tumor mandibula Sinistra
E. Diagnosa Banding
1. Tumor Parotitis

5. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan darah rutin dan kimia


2. EKG
3. CT- Scan Thorax

Pemeriksaan darah rutin (27/8/2019)


Pem. Darah Rutin Hasil Nilai Normal
Leukosit 22,4 3,5 – 10,0
Hemoglobin 10,9 11,0 – 16,5
Hematokrit 31,9 35,0 – 50,0
Trombosit 364 150 – 390
Eosinofil 0,1 2.00 - 4.00
Basofil 0,6 0–1
Netrofil 85,4 50 – 70
Limfosit 4,7 25 – 40
Monosit 9,2 2–8
Eritrosit 3,99 4.40 – 5.90
MCV 79,9 80 – 100
MCH 27,3 26 – 34
MCHC 34,2 32 – 36

Pemeriksaan darah kimia (27/08/2019)


Pem. Darah Kimia Hasil Nilai Normal
Gula darah sewaktu 112 <140
Ureum 43 10-50
Keratin 1,3 0,7-1,2

Pemeriksaan CT-Scan Thorax


Kesan: Terdapat gambaran soft tissue massa pada sisi superior mediastinum,
lobulated, meluas ke inferior, berbatas tegas ukuran +7,5x3,5
Obtuse angle, berbatas tegas
Terdapat kalsifikasi pada dinding Aorta Thoracalis Paos Acendens, Arus
Aorta Dan Aorta Desendens
Kesimpulan : massa disisi superior mediastinum yang meluas ke inferior

Pemeriksaan EKG (27/08/2019)


Kesan: Normal EKG

6. Penatalaksanaan

1. IFVD NaCL 0,9% 20 tpm


2. Injek ketorolaks 3x1 amp/IV
3. Injek ceftriaxone 2x1 amp/IV
4. Injek ranitidine 2x1 amp/IV
5. Pro insisi abses + debridement
6. Edukasi pasien

7. Prognosis

1. Ad Vitam: Bonam
2. Ad Sanationam: Bonam
3. Ad Functionam : Bonam

8. Laporan Operasi
(03/08/2019)
(Insisi Abses + Debridement)

TEHNIK OPERASI

1. Posisikan pasien dalam keadaan posisi supine


2. Desinfeksi lapangan operasi dan perkecil lapangan operasi dengan kai doek
3. Insisi langsung pada tumor
4. Insisi pus dan debridement
5. Cuci luka dengan NaCL 0,9%
6. Laporan selesai

TAHAPAN OPERASI

1. Pembiusan dengan endotracheal, posisi kepala penderita hiperekstensi

dengan bantal dibawah pundak penderita


2. Desinfeksi dengan larutan antiseptik kemudian dipersempit dengan linen

steril
3. Insisi kolar dua jari diatas jugulung, diperdalam dengan memotong

muskuluus plastisma sampai fosia koli superfisisalis dibuat flap ke atasa

sampai kartilago tiroid dan ke bawah sampai jugulum, kedua flap di teugel

ke atas dan kebawah pada linen.


4. Fosia koli superfisialis dibuka pada garis tengah dari kartilago hyoid

samapai jugulum.
5. Otot paratrakealis (sternohyoid dan sternotyroid) kanan kiri dipisahkan ke

arah lateraldengan melepasakannya dari katup tyroid.


6. Tonjolan tyroid di luksir keluar dan di evaluasi mengenai ukuran,

konsistensi, nodularitas, dan adanya lobus piramidalis.


7. Ligasi dan pemotongan vena tyroidea medium, dan arteri tyroidea inferior

sedikit proksimal dari tempat masuk ke tyroid, hati-hati jangan

mengganggu vaskularisasi kelenjar paratyroid


8. Identifikasi nervus rekuren pada sulkus trakeoesopagikus. Saraf ini diikuti

sampai menghilang pada daerah krikotiroid


9. Identifikasi kelenjar paratiroid pada permukaan posterior kelenjar tiroid

berdekatan dengan tempat arteri tiroidea inferior masuk ke tiroid


10. Kutub atas kelenjar tiroid dibebaskan darin kartilago tiroid mulai dari

posterior dengan identifikasi cabang eksterna n.laringkus superior dengan

memisahkan dari artei dan vena tiroidea superior. Kedua pembuluh darah

tersebut diligasi dan dipotong. Kemudiaan lobus tiroid dapat dibebaskan

dari dasarnya dengan meninggalakan intak kel.paratiroiod beserta

vaskularisasinya dan n.rekuren. untuk melakukan prosedur subtotal maka

dengan menggunakan klem lurus dibuat “markering” pada jarinagn tiroid

di atas n.rekuren dan gld.paratiroid atas bawah dan jaringan tiroid

disisakan sebesar satu ruas jari kelingking penderita.


11. Prosedur yang sama dilakukan juga pada satu lobus tiroid kontralateral.

Perdarahan yang masih ada di rawat, kemudian luka pembadahan ditutup

lapis demi lapis dengan meninggalkan drain redon.


9. Follow up
22 Mei 2018
S Nyeri luka operasi, pasien bisa di ajak bicara
O Kesan umum: Tampak sakit sedang
Kesadaran: CM GCS:E4V5M6
TD: 110/80mmHg N: 69x/mnt SpO2: 97% P: 20x/mnt S: 37◦c
VAS: 5-6
Luka operasi tertutup verban
A Post Ismolobektomi
P 1. IFVD Futrolit (1) : Renosan (1): RL (2) 20 tpm
2. Vicilin SX3x1,5gr/iv
3. Metronidazole 3x500 mg drips
4. Transamin 3x1 amp
5. Ketorolac 3x30 mg/ IV
6. Ranitidin 2x50 mg/IV (stop)
7. Omeprazole 2x1
8. Chana cap 3x1
9. Drain terpasang
23/Mei/2018

S/ Nyeri luka operasi berkurang dibanding hari kemarin


O/ Kesan umum: tampak sakit sedang
Kesadaran: CM GCS:E4V5M6
TD: 120/80mmHg N: 80x/mnt SpO2: 98% P: 18x/mnt S: 36,5◦c
VAS: 4 Drain: cairan merah 2ml
Luka operasi tertutup verban
A/ Post Ismolobektomi
P/ 1. IFVD Futrolit (1) : Renosan (1): RL (2) 20 tpm
2. Vicilin SX3x1,5gr/iv
3. Metronidazole 3x500 mg drips
4. Transamin 3x1 amp
5. Ketorolac 3x30 mg/ IV
6. Ranitidin 2x50 mg/IV (stop)
7. Omeprazole 2x1
8. Chana cap 3x1Tyrax 1x100mg
9. Aff drain
24/Mei/2018

S/ Nyeri luka operasi berkurang


O/ Kesan umum: tampak sakit sedang
Kesadaran: CM GCS:E4V5M6
TD: 110/80mmHg N: 78x/mnt SpO2: 98% P: 20x/mnt S: 37◦c
VAS: 4
Luka operasi tertutup verban
A/ Post Ismolobektomi
P/ 1. Terapi lanjut
2. Rawat luka
3. Besok pasien boleh pulang

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit tiroid terjadi bila terdapat gangguan sekresi hormon tiroid,

pembesaran kelenjar tiroid maupun keduanya. Diantara berbagai penyakit

tiroid, salah satunya dikenal dengan struma atau goiter yang merupakan

penyakit tiroid tersering.1 Goiter koloid, difus, nontoksik dan goiter nodular

tiroid merupakan gangguan yang sangat sering dijumpai dan menyerang

16% perempuan dan 4% laki-laki yang berusia antara 20-60 tahun. 2

Penyakit ini endemik pada negara bagian tertentu di dunia dan juga dapat

terjadi secara sporadik. Gondok endemik terjadi di daerah yang tanah, air

dan pasokan makanannya hanya mengandung sedikit yodium. Kata endemik

digunakan jika gondok terdapat pada lebih dari 10% populasi di suatu

tempat. Keadaan ini terutama sering terjadi di daerah pegunungan di dunia.

Dengan meningkatnya suplementasi yodium ke dalam makanan, frekuensi

dan keparahan gondok endemik telah berkurang secara bermakna.

Sementara itu, gondok sporadik jauh lebih jarang terjadi daripada gondok

endemik. Keadaan ini lebih sering ditemukan pada perempuan daripada

laki-laki, dengan insidensi puncak pada usia dewasa muda atau pubertas,

saat terjadi peningkatan kebutuhan fisiologis akan tiroksin. Hal lain yang
dapat menyebabkan gondok sporadik yaitu sejumlah penyakit, termasuk

ingesti zat yang mengganggu sintesis hormon tiroid. Namun, pada sebagian

besar kasus, penyebab gondok sporadik tidak jelas. Baik endemik maupun

sporadik, adanya gondok mencerminkan gangguan sintesis hormon tiroid,

yang paling sering disebabkan oleh defisiensi yodium dalam makanan.3

Gangguan sintesis hormon tiroid menyebabkan peningkatan

kompensatorik kadar TSH serum, yang selanjutnya menyebabkan hipertrofi

dan hiperplasia sel folikel tiroid dan terjadi pembesaran makroskopik

kelenjar tiroid.3 Biasanya tidak ada gejala-gejala lain kecuali gangguan


2
kosmetik, tetapi kadang-kadang timbul komplikasi-komplikasi. Selain

kosmetik karena adanya massa yang besar di leher, struma juga dapat

menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia dan penekanan pembuluh

darah besar di leher dan thoraks bagian atas. 3


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Struma bisa diklasifikasikan secara fisiologik menjadi eutiroid,

hipotiroid dan hipertiroid maupun secara klinik menjadi struma toksik dan

non toksik. Kedua tipe struma dapat juga diklasifikasikan berdasarkan

perubahan bentuk anatomi menjadi struma nodosa non toksik, struma

nodosa toksik, struma difusa non toksik dan struma difusa toksik.1

Struma nodosa non toksik ialah suatu pembesaran kelenjar tiroid yang

teraba sebagai nodul tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme. Struma

nodosa non toksik terbagi menjadi4:

1. Berdasarkan jumlah nodul, dibagi menjadi :


a. Struma mononodosa non toksik
b. Struma multinodosa non toksik
2. Berdasarkan kemampuan menangkap iodium radioaktif :
a. Nodul dingin
b. Nodul hangat
c. Nodul panas
3. Berdasarkan konsistensinya :
a. Nodul lunak
b. Nodul kistik
c. Nodul keras
d. Nodul sangat keras
ANATOMI KELENJAR TIROID

Kelenjar tiroid pertama kali terbentuk pada janin berukuran 3,4-4 cm

pada akhir bulan pertama kehamilan. Kelenjar tiroid berasal dari lekukan

faring antara brachial pouch pertama dan kedua. Dari bagian tersebut timbul

divertikulum yang kemudian membesar, tumbuh ke arah bawah mengalami

migrasi ke bawah dan dan terlepas dari faring. Sebelum terlepas kelenjar

tiroid berbentuk sebagai duktus tiroglosus, yang berawal dari foramen

sekum di basis lidah. Sisa ujung kaudal dari duktus tiroglosus ditemukan

pada lobus piramidalis yang melekat pada isthmus tiroid.5

Kelenjar tiroid terletak dibagian bawah leher terdiri atas dua lobus

yang dihubungkan oleh isthmus yang menutupi cincin trakea 2 dan 3.

Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia pratrakea sehingga

pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan gerakan trakea ke arah

kranial yang merupakan ciri khas kelenjar tiroid. Setiap lobus kelenjar tiroid

berukuran panjang 2,5-4 cm, lebar 1,5-2 cm dan tebal 1-1,5 cm. berat

kelenjar tiroid dipengaruhi oleh berat badan masukan yodium. Kelenjar

tiroid divaskularisasi oleh a. thyroidea superior yang berasal dari a. karotis

komunis atau a. karotis eksterna, a. thyroidea inferior cabang dari truncus

thyrocervicalis, dan a. tiroidea ima yang berasal dari a. brachiocephalica

atau arcus aorta. 5-6

Vena-vena dari kelenjar tiroid adalah v. thyroidea superior dan v.

thyroidea media yang bermuara ke v. jugularis interna. v. thyroidea inferior

menampung darah dari isthmus dan kutub bawah kelenjar. kedua v v.

thyroidea inferior akan beranastomosis satu dengan yang lainnya pada saat
mereka turun di depan trachea. Vena ini bermuara ke dalam v.

brachiocephalica sinistra di dalam rongga thorax. 5-6

Secara anatomis terdapat dua pasang kelenjar paratiroid. Satu pasang

kelenjar menempel di belakang lobus superior tiroid dan sepasang lagi di

lobus medianus. Sedangkan nervus laringeus rekuren berjalan di sepanjang

trakea di belakang tiroid. 5-6

ETIOLOGI

Etiologi struma nodosa nontoksik antara lain adalah defisiensi

yodium atau gangguan kimia intratiroid yang disebabkan oleh berbagai

faktor. Akibat gangguan ini kapasitas tiroid untuk menseksresi tiroksin

terganggu, mengakibatkan peningkatan kadar TSH dan hiperplasia dan

hipertrofi folikel-folikel tiroid.2,3,7

PATOFISIOLOGI

Kekurangan yodium menyebabkan terhambatnya produksi hormon tiroksin

dan triiodotironin. Akibatnya, tidak tersedia hormon yang dapat dipakai

untuk menghambat produksi TSH oleh hipofisis anterior; hal ini

menyebabkan kelenjar hipofisis mensekresi banyak sekali TSH. Selanjutnya

TSH merangsang sel-sel tiroid menyekresi banyak sekali koloid tiroglobulin

ke dalam folikel, dan kelenjarnya tumbuh semakin besar. Tetapi, karena

kurangnya yodium, produksi tiroksin dan triiodotironin tidak meningkat

dalam molekul tiroglobulin dan oleh karena itu tidak ada penekanan secara

normal pada produksi TSH oleh kelenjar hipofisis. Ukuran folikelnya


menjadi sangat besar dan kelenjat tiroidnya dapat membesar 10 sampai 20

kali ukuran normal.7

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Untuk mendiagnosis struma nodular non toksik, dapat dilakukan melalui

anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang. 4

Anamnesis

Terdapat beberapa hal yang dapat ditanyakan dalam anamnesis pada struma

nodular non toksik, yaitu4 :

a. Sejak kapan benjolan timbul


b. Rasa nyeri spontan atau tidak spontan, berpindah atau menetap
c. Cara membesarnya; cepat atau lambat
d. Pada awalnya berupa satu benjolan yang membesar menjadi

beberapa benjolan atau hanya pembesaran leher saja


e. Riwayat keluarga
f. Riwayat penyinaran daerah leher waktu kecil/muda
g. Perubahan suara
h. Gangguan menelan, sesak nafas
i. Penurunan berat badan
j. Keluhan tirotoksikosis

Pemeriksaan Fisis

Pada pemeriksaan fisis dibagi menjadi pemeriksaan fisis umum dan lokal.

Berikut merupakan pemeriksaan fisis yang dapat dilakukan pada pasien

struma nodular non toksik.4


a. Umum
b. Lokal :
- Nodus tunggal, atau majemuk atau difus
- Nyeri tekan
- Konsistensi
- Perlekatan pada jaringan disekitarnya
- Pendesakan atau pendorongan trakea
- Pembesaran kelenjar getah bening regional
- Pemberton’s sign

Penilaian Resiko Keganasan

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarahkan diagnosis penyakit

tiroid jinak, tetapi tak sepenuhnya menyingkirkan kemungkinan kanker

tiroid. 4

a. Riwayat keluarga dengan struma nodosa atau difusa jinak


b. Riwayat keluarga dengan tiroid Hashimoto atau penyakit tiroid

autoimun
c. Gejala hipo atau hipertiroid
d. Nyeri berhubungan dengan nodul
e. Nodul lunak, mudah digerakan
f. Multinodul tanpa nodul yang dominan dan konsistensi sama

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang meningkatkan kecurigaan ke arah

keganasan tiroid apabila pada pasien terdapat keadaan sebagai berikut4 :

a. Umur < 20 tahun atau > 70 tahun


b. Jenis kelamin laki-laki
c. Nodul disertai disfagi, serak atau obstruksi jalan nafas
d. Pertumbuhan nodul cepat (beberapa minggu-bulan)
e. Riwayat radiasi daerah leher waktu usia anak-anak atau dewasa (juga

meningkatkan kejadian penyakit nodul tiroid jinak)


f. Riwayat keluarga kanker tiroid meduler
g. Nodul yang tunggal, berbatas tegas, keras, iregular dan sulit

digerakan
h. Paralisis pita suara
i. Temuan limfadenopati servikal
j. Metastasis jauh (paru-paru, dll)
Diagnosis Banding

a. Struma nodosa pada4 :


- Peningkatan kebutuhan terhadap tiroksin pada masa

pertumbuhan, pubertas, laktasi, menstruasi, kehamilan,

menopause, infeksi, stres lain.


- Tiroiditis akut
- Tiroiditis subakut
- Tiroiditis kronik : limfositik (hashimoto), fibrous-invasif (riedel)
- Simple goiter
- Struma endemik
- Kista tiroid, kita degenerasi
- Adenoma
- Karsinoma tiroid primer, metastasis
- Limfoma

Pemeriksaan Penunjang

Dewasa ini tersedia berbagai modalitas diagnostik untuk

mengevaluasi nodul tiroid seperti Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJAH;

Fine Needle Aspiration Biopsy = FNAB), ultrasonografi, sidik tiroid

(sintigrafi; thyroid scan) dan CT (computered tomography) scan atau MRI

(Magnetic Resonance Imaging) serta penentuan status fungsi melalui

pemeriksaan TSHs dan hormon tiroid. Langkah-langkah diagnostik yang

akan diambil tergantung pada fasilitas yang tersedia dan pengalaman klinik.8

Walaupun ada upaya untuk mencirikan proses keganasan dari suatu

nodul, namun sampai sekarang belum ada tehnik pencitraan yang spesifik

dan akurat yang dapat memastikan adanya proses keganasan.

Tabel 1. Modalitas diagnostik nodul tiroid8


Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJAH) nodul tiroid merupakan

prosedur diagnostik yang penting dilakukan pada kasus SNNT, dapat

dilakukan tanpa menunggu hasil laboratorium bila klinis eutiroid. Di tangan

ahli, ketepatan diagnosis menggunakan BAJAH berkisar antara 70-80%,

dengan hasil negatif palsu keganasan antara 1-6%. Sekitar 10% hasil

sitologi positif ganas dan sepertiganya (3-6%) positif palsu. Sementara itu,

10-20% dari jumlah tersebut berasal dari nodul ganas. Ketepatan diagnostik

BAJAH akan meningkat bila sebelum biopsi dilakukan penyidikan isotopik

atau ultrasonografi. Hasil sitologi BAJAH dapat dikelompokan menjadi

jinak (negatif), curiga (indeterminate) atau ganas (positif). 8

Tabel 2. Hasil sitologi diagnostik BAJAH tiroid8


Ultrasonografi (USG) memberikan informasi tentang morfologi

kelenjar tiroid dan merupakan modalitas yang andal dalam menentukan

ukuran dan volume kelenjar tiroid serta dapat membedakan apakah nodul

tersebut bersifat kistik, padat atau campuran kistik-padat. USG tiroid baik

digunakan untuk mengukur jumlah, ukuran dan karakteristik sonografi

nodul. Karakteristik sonografi yang curiga keganasan adalah hypoecoic,

mikrokalsifikasi, makrokalsifikasi, intranodular vascularity, taller-than-

wide dimensions dan batas yang sama serta bila ditemukan invasif atau

limfadenopati regional. 4,8


Gambar 1. Gambar ultrasonografi : A. Adenoma tiroid ; B. Kista

Tiroid; C. Karsinoma Tiroid8

Gambaran ultrasonogram atau CT scan dari suatu nodul dapat

diklasifikasikan menjadi nodul padat, kistik atau campuran padat-kistik.

Sedangkan dari penyidikan isotopik, berdasarkan kemampuannya

menangkap (uptake) radiofarmaka, suatu nodul dapat berupa nodul hangat

(warm nodule), panas (hot nodule) atau dingin (cold nodule). Sementara itu,

pemeriksaan laboratorium (T4 atau FT4 dan TSHs) dilakukan sesuai

gambaran klinis. 8
Sidik tiroid (sintigrafi tiroid; Thyroid scan) merupakan pencitraan

isotropik yang akan memberikan gambaran morfologi fungsional, yang

berarti hasil pencitraan merupakan refleksi dari fungsi jaringan tiroid. 8

Gambar 2. Sidik Tiroid : A. Nodul Panas; B. Nodul Dingin Multipel; C.

Nodul Dingin8

Berdasarkan distribusi radioaktivitas pada sidik tiroid dapat dilihat4 :

a. Distribusi difus – rata di kedua lobi  normal


b. Distribusi kurang/tidak menangkap radioaktivitas pada suatu

area/nodul, disebut sebagai nodul dingin (cold nodule)


c. Penangkapan radioaktivitas pada suatu area/nodul lebih tinggi dari

jaringan sekitarnya, disebut sebagai nodul panas (hot nodule)


d. Penangkapan radioaktivitas di suatu daerah/nodul sedikit

meniggi/hampir sama dengan daerah sekitarnya disebut sebagai

nodul hangat (warm nodule/area); nodul hangat disebabkan oleh

hiperplasia jaringan tiroid fungsional di daerah tersebut.

Gambar 3. Evaluasi nodul tiroid berdasarkan hasil BAJAH dan sidik

tiroid8

Algoritma diatas merupakan algoritma evaluasi nodul tiroid

berdasarkan hasil BAJAH dan sidik tiroid. Namun, algoritma ini

memerlukan fasilitas kedokteran nuklir dan dapat dimodifikasi dengan

melakukan BAJAH dengan tuntunan ultrasonografi. 8


Gambar 4. Algoritma pengelolaan nodul tiroid soliter8

Langkah diagnosis I menggunakan pemeriksaan TSHs, FT 4. Jika

hasil klinis ditemukan non-toksik, maka langkah diagnosis II dilakukan

dengan BAJAH nodul tiroid dan tatalaksana dilakukan sesuai hasil

BAJAH.4

Tatalaksana

Sesuai hasil BAJAH, maka tatalaksana yang dapat dilakukan ialah sebagai

berikut :
Gambar 1. Algoritma pendekatan diagnosis nodul tiroid8

a. Ganas
Operasi tiroidektomi near-total/total tiroidektomi4
b. An undeterminate significance (AUS) 4
- Operasi dengan lebih dahulu melakukan potong beku (VC) :
Bila hasil ganas  operasi tiroidektomi near-total
Bila hasil jinak  operasi Lobektomi
- Alternatif : sidik tiroid. Bila hasil cold nodule  operasi

Tabel 2. Rekomendasi manajemen sesuai kriteria Bethesda8


c. Tak cukup/sediaan tak representatif4
- Jika nodul solid (saat BAJAH) : ulang BAJAH
Bila klinis curiga ganas tinggi  operasi lobektomi
Bila klinis curiga ganas rendah  observasi
- Jika nodul kistik (saat BAJAH) : aspirasi
Bila kista regresi  observasi
Bila kista rekurens, klinis curiga ganas rendah  observasi
Bila kista rekurens, klinis curiga ganas tinggi  operasi

lobektomi
d. Jinak
Tatalaksana dengan levo-tiroksin (LT4) dosis subtoksis (terapi

supresi) 4
- Dosis dititrasi mulai 2 x 25 ug (3 hari)
- Dilanjutkan 2 x 50 ug (3-4 hari)
- Bila tidak ada efek samping atau tanda toksis : dosis ditingkatkan

menjadi 2 x 100 mg sampai 4-6 minggu, kemudian evaluasi TSH

(target 0,1-0,3 mIU/L)


- Supresi TSH dipertahankan selama 6 bulan
- Evaluasi dengan USG : apakah nodul berhasil mengecil atau

tidak (berhasil bila mengecil >50% dari volume awal)


- Bila nodul mengecil atau tetap4
 L-tiroksin distop dan diobservasi :
Bila setelah itu struma membesar lagi, maka L-tiroksin

dimulai lagi (target TSH 0,1-0,3 mIU/L)


Bila setelah itu struma struma tidak berubah, diobservasi

saja

- Bila nodul membesar dalam 6 bulan atau saat terapi supresi

obat dihentikan dan operasi tiroidektomi dan dilakukan

pemeriksaan histopatologi  hasil PA :


 Jinak : observasi
 Ganas : tatalaksana dengan L-tiroksin
Individu dengan resiko ganas tinggi : target TSH < 0,001

– 0,005 mIU/L
Individu dengan resiko ganas rendah : target TSH 0,005 –

0,1 mIU/L

KOMPLIKASI OPERASI

Komplikasi dini paska bedah

Perdarahan
1. Bila darah di botol redon >300 ml per 1 jam, perlu dilakukan reopen. Jika

perdarahan arterial, drain rendon kurang cepat menampung perdarahan dan

darah mengumpal pada leher dan membentuk hematom dan menekan

trakea sehingga penderita sesak napas.


2. Lakukan intubasi atau tusukkan medicut no. 12 perkutan menembus

membran krikotiroid.
3. Luka operasi dibuka dan evakuasi bekuan darah
4. Penderita dibawah ke kamar pembedahan untuk dicari sumber perdarahan

dan dihentikan dipasangkan drain redon.

Lesi n.Laringeus superior

Cedera pada cabang eksternus mengakibatkan perubahan tonus suara penderita,

bila berbicara agak lama maka penderita merasa capek dan suara makin

menghilang. Cedera pada cabang internus mengakibatkan penderita tersedak bila

minum air.

Kerusakan n.rekuren

Bila waktu pembedahan kedua saraf rekuren diidentifikasi maka kemungkinan

paralise akibat kecelakaan dilaporkan hanya 00,6%. Ganagguan yang sifatnya

transien pada 24% dan akan sembuh sendiri dalam beberapa minggu atau bulan.

Adanya gangguan pada n.rekuren secara awal dapat dilihat dengan laringoskop

direkta pada waktu dilakukan ekstubasi.

Hipoparatiroidism

Hipokalsemia transien dapat terjadi 12 hari pasca pembedahan. Edema pada

paratiroid karena manipulasi dapat menambah terjadinya hipoparatiroidism


transien. Bila timbul gejala klinis seperti parestesi, kram, kejang, perlu diberi

dengan pemberian pelan intravena kalsium glukonat 10% sebanyak 10%, disertai

kalsium peroral, terjadinya hipoparatiroidsm permanen bila ke.paratiroid terambil

sebanyak 2 buah atau lebih, atau terjadi kerusakan vaskularisasinya. Untuk

mencegah hal ini di anjurkan untuk melakukan autotransplantasi kel.paratiroid

pada m.sternokleidomastoideus. Autotransplantasikel.paratiroid ini memiliki daya

hidup yang tinggi.

Hipotiroidism

Hipotiroidism setelah tiroidektomi subtotal terjadi bila jaringan tiroid yang

ditanggalkan kurang banyak.

Hipotiroid rekuren

Krisis tiroid

MORTALITAS

Angka kematian pasca tiroidektomi total yang dilakukan oleh ahli bedah yang

berpengalaman kurang dari 0,2% dan dalam sejumlah banyak seri yang dilaporkan

angka kematiannya adalah 0%.

PERAWATAN PASCA BEDAH

Pasca-bedah dirawat di ICU 1 malam, lugol di stop, propanolol tapering off, Drain

dilepas bila produksi <10ml/hari dan angkat jahitan hari ke-7

Komplikasi
Umumnya tidak ada, kecuali ada infeksi seperti pada tiroiditis

akut/subakut. Selain kosmetik karena adanya massa yang besar di leher,

komplikasi yang umumnya disebabkan oleh struma yaitu obstruksi saluran

napas, disfagia dan penekanan pembuluh darah besar di leher dan thoraks

bagian atas.4

Prognosis

Prognosis baik. Biasanya SNNT berkembang sangat lambat. Bila ada

pertumbuhan yang cepat harus dievaluasi kemungkinan adanya degenerasi,

perdarahan pada nodul atau adanya neoplasma. 4

DISKUSI

Pasien wanita, berusia 32 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan


adanya benjolan yang muncul di leher depan sisi kanan sejak 10 tahun
yang lalu. Awalnya benjolan dirasakan sebesar kelereng, tapi seiring
berjalannya waktu, benjolan semakin membesar hingga berukuran
kurang lebih sebesar telur ayam. Pasien tidak merasakan adanya nyeri
di daerah leher. Tidak ada keluhan gangguan menelan. Nafsu makan
normal, dan tidak ada penurunan berat badan. Tidak ada keluhan
demam, cepat haus, gangguan buang air besar, gangguan siklus
menstruasi, rasa berdebar-debar, cepat lelah, rasa cemas dan sulit tidur.
Pasien mengaku selalu menggunakan garam beryodium dirumahnya.
Pasien mengaku tidak pernah tinggal didaerah yang penduduknya
banyak menderita penyakit gondok. Sebelumnya pasien pernah periksa
ke dokter THT dan di anjurkan untuk operasi tapi pasien menolak
pasien di beri obat oral tapi tidak di minum alasannya pasien sedang
hamil saat itu dan takut menkonsumsi obat tersebut (pasien lupa nama
obatnya).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan :
Inspeksi : Tampak benjolan di leher sisi kanan, berbatas tegas,
berukuran + 8 x 10cm. Warna kulit pada benjolan sama dengan warna
kulit sekitar. Benjolan ikut bergerak ke atas pada saat menelan.
Palpasi : Benjolan teraba keras, mobile (mudah digerakkan). Nyeri
tekan (-). Pemeriksaan penunjang didapatkan:

Pada Pemeriksaan Patologi Klinik


Endokrinologi Hasil Nilai Rujukan Satuan
FT4 1,5 0,82-1,51 ng/dL
TSHs 3,33 0,27-4,70 µlU/mL
Diagnosis klinik : Struma nodosa non toksik

Struma non toksik sama halnya dengan struma toksik yang dibagi menjadi

struma diffusa non toksik dan struma nodusa non toksik. Struma ini disebut

sebagai simple goiter, struma endemik, atau goiter koloid yang sering

ditemukan didaerah yang air minumnya kurang sekali mengandung iodium

dan goitrogen yyang menghambat sintesa hormon oleh zat kimia. Apabila

dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka pembesaran ini

disebut struma nodusa. Struma nodusa tanpa disertai hipertiroidism dan

hipertiroidism disebut struma nodusa non toksik. Biasanya tiroid sudah

mulai membesar pada usia muda dan perkembang menjadi multinodular

pada saat dewasa. Penatalaksanaan struma nodusa non toksik ialah bed rest,

PTU 100-200mg (profilthyrouracil), dan radioterapi, akan tetapi jika struma

ini menekan atau mengganggu saluran pernapasan dan menelan maka harus

dilakukan pembedahan sesuai pada kasus ini di lakukan ismolobektomi

dengan indikasi adanya penekanan struma pada saluran napas dan kosmetik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Tallane, ST, Monoarfa, Alwin, Wowiling, PAV. Profil Struma Non

Toksik Pada Pasien di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado

Periode Juli 2014-Juni 2016. Jurnal e-clinic (eCI). Volume 4. Nomor

2. Juli-Desember 2016
2. Price, Sylvia. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit.

Editor edisi bahasa Indonesia : Huriawati Hartanto et al. Ed. 6.

Jakarta : EGC, 2005


3. Robins, SL et al. Buku Ajar Patologi Robins. Alih Bahasa :

Huriawati Hartanto, Nurwany Darmaniah, Nanda Wulandari. Ed. 7.

Jakarta : EGC, 2007


4. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam, Panduan Praktik

Klinis. Editor : idrus Alwi, Simon Salim, Rudy Hidayat, Juferdy

Kurniawan, Dicky L. Tahapary. Interna Publishing, 2015

5. Djokomoeljanto R. Kelenjar tiroid, hipotiroidisme dan

hipertiroidisme. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K


Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III.

Edisi 5. Jakarta: Internal Publishing; 2009

6. Snell RS. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. Edisi 6.

Jakarta: EGC;2006

7. Guyton, Arthur C, Hall, JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Alih

Bahasa : Irawati et al. Editor Edisi Bahasa Indonesia. : Luqman

Yanuar Rahman et al. Jakarta : EGC, 2007

8. Masjhur, JS. Nodul Tiroid. . Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi

I, K Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid

III. Edisi 5. Jakarta: Internal Publishing; 2009

Anda mungkin juga menyukai