Anda di halaman 1dari 20

PRESENTASI KASUS UJIAN BEDAH PLASTIK

SEORANG PEREMPUAN USIA 68 TAHUN DENGAN


AMELOBLASTOMA REGIO MANDIBULA SINISTRA

DISUSUN OLEH :
Trisandi Adi P
G991908022

Periode: 16 – 22 September 2019

PEMBIMBING

dr. Amru Sungkar Sp.B, Sp.BP-RE.

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH PLASTIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2019
BAB 1
STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
A. Identitas Pasien
Nama : Ny SR
Umur : 68 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Boyolali, Jawa Tengah
Nomor RM : 01467xxx
Tanggal Masuk: 18 September 2019
Tanggal Periksa: 18 September 2019

B. Keluhan Utama
Benjolan pada rahang bawah kiri

C. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang pada 18 September 2019 dengan keluhan benjolan pada
rahang bawah kiri sejak kurang lebih 5 tahun sebelum masuk rumah sakit.
Menurut pasien saat awal menyadari munculnya benjolan, besarnya hanya
sebesar kelereng tetapi semakin lama semakin membesar dan kadang berdarah.
Karena khawatir akan bertambah parah kemudian pasien datang berobat ke
rumah sakit Pandan Arang Boyolali.
Pasien merupakan rujukan dari rumah sakit Pandan Arang Boyolali
dengan hasil FNAB suspek ameloblastoma. Pasien juga mengatakan bahwa
beliau pernah mengalami keluhan serupa. Ditemukan benjolan kurang lebih 15
tahun lalu dan telah dilakukan operasi untuk melakukan pengangkatan benjolan.

1
Keluhan mual, muntah, sesak, demam, penurunan berat badan disangkal.
BAK dan BAB tidak ada keluhan. Kemudian pasien dirujuk ke RSDM untuk
penatalakanaan selanjutnya.

D. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat penyakit serupa : Pasien memiliki riwayat benjolan serupa
di rahang pada tahun 2004
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat alergi obat dan makanan: disangkal
Riwayat operasi :Pasien memiliki riwayat operasi
pengangkatan benjolan di rahang yang
dilakukan pada tahun 2004

E. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal

F. Riwayat Sosial Ekonomi


Saat ini pasien berobat dengan BPJS.

2
II. PRIMARY DAN SECONDARY SURVEY
A. Primary Survey
1. Airway : Bebas
2. Breathing :
Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri, RR 18x/menit
Palpasi : Krepitasi -/-
Perkusi : Sonor/sonor
Auskultasi : SDV +/+, ST -/-
3. Circulation : TD 140/80 mmHg, nadi 92x/menit
4. Disability : GCS E4V5M6
: Pupil isokor 3mm/3mm
: Refleks cahaya +/+
5. Exposure : T= 36.4oC

B. Secondary Survey
1. Kepala : tak ada kelainan
2. Mata : tak ada kelainan
3. Telinga : tak ada kelainan
4. Hidung : tak ada kelainan
5. Rahang : Pada Regio mandibula sinistra erdapat massa
solid, ukuran 7x5x4 cm, terfiksir, warna dan suhu sama
dengan sekitar, skin intak (+), gigi goyang (+)
6. Leher : tak ada kelainan
7. Thorax : jejas (-)
8. Abdomen : jejas (-)

3
C. Assesment
Ameloblastoma R. Mandibula Sinistra

D. Plan
1. Pro op segmental mandibulektomi
2. Infus NaCl 0,9% 20 tpm
3. Pemeriksaan laboratorium
4. Rontgen panoramik
5. Pemeriksaan PA

A. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
1. Keadaan umum : Baik
2. Derajat kesadaran : Compos mentis
3. Vital Sign : Laju Nadi : 92 kali/menit
Laju Nafas :18 kali/menit
Suhu : 36,4oC per aksiler
Tekanan Darah : 140/80 mmHg

Status Generalis
1. Kepala : mesocephal, rambut hitam, rambut rontok (-)
2. Mata : sklera ikterik (-/-), pupil isokor (3mm/3mm), reflek
cahaya (+/+), konjungtiva pucat (-/-)
3. Telinga : normotia, sekret (-/-), darah (-/-)
4. Hidung : sekret (-), darah (-)
5. Mulut : mukosa basah (+)
6. Rahang : Pada Regio mandibula sinistra erdapat massa solid,
ukuran 7x5x4 cm, terfiksir, warna dan suhu sama dengan sekitar, skin
intak (+), gigi goyang (+)
7. Leher : pembesaran limfonodi (-)

4
8. Thorak : bentuk normochest, simetris, gerak pernafasan simetris
9. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat.
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : BJ 1-2 reguler, intensitas normal
10. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri, nyeri tekan -/-
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : SDV +/+ normal, RBH -/-, RBK -/-
11. Abdomen
Inspeksi : luka (-), edema (-)
Auskultasi : Bising usus + normal
Perkusi: timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), pembesaran hepar atau lien (-)
12. Ekstremitas :
akral dingin oedem
- - - -
- - - -

III. Status Lokalis


Inspeksi : Pada Regio mandibula sinistra erdapat massa solid,
ukuran 7x5x4 cm, terfiksir, warna dan suhu sama dengan sekitar, skin
intak (+), gigi goyang (+)
Palpasi : nyeri tekan (+)

5
IV. Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan PA (RSUD Pandan Arang Boyolali, 4 Juli 2019)
Kesimpulan: Sitologi AJH dan scrapping regio ginggiva/rahang
bawah kiri: Lesi proliferatif se-sel basasloid, dapat merupakan
ameloblastoma
B. Pemeriksaan PA (RSDM, 13 Agustus 2019)
Kesimpulan:
Mandibula : Cystic Ameloblastoma
C. Pemeriksan Panoramik (RSDM, 4 September 2019)
Kesimpulan:
1. Sisa radix: 1.2
2. Sisa radix dengan periradikulitis: 2.3
3. Missing: multiple (+)
4. Caries: 1.4, 2.2
5. Missing fragmen pada corpus os mandibula kanan hingga
angulus os mandibula kiri yang terpasang intermandibula wire,
alignment dan aposisi cukup
D. Pemeriksaan Laboratorium (RSDM, 18 September 2019)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
DARAH RUTIN
Hemoglobin 11.1 g/dL 12.3 – 15.3
Hematokrit 35 % 33 – 45
Leukosit 4.9 ribu/µl 4.5 – 11.0
Trombosit 248 ribu/µl 150 – 450
Eritrosit 4.07 juta/µl 4.10 – 5.90
Golongan Darah A
HEMOSTASIS
PT 12.3 Detik 10.0 – 15.0
APTT 27.5 detik 20.0 – 40.0
INR 0.930

6
KIMIA KLINIK
Glukosa Darah 121 mg/dl 60-140
Sewaktu
Albumin 3.3 mg/dl 3,2-4,6
Creatinine 1.1 mg/dl 0.6-1.1
Ureum 50 mg/dl <50
ELEKTROLIT
Natrium 134 mmol/L 136 – 145
Kalium 3.6 mmol/L 3.3 - 5.1
Chlorida 96 mmol/L 98 – 106

V. ASSESMENT
Ameloblastoma R. Mandibula Sinistra
Metal exposed pasca reconstruction mandibular

VI. PLAN
1. Pro op segmental mandibulektomi dan revisi tutup defek
2. Infus NaCl 0,9% 20 tpm
3. Ramipril 10 mg/24 jam
4. Bisoprolol 5 mg/24 jam
5. Inj. Ampicilin Sulbactam 1,5g/8jam
6. Inj. Metamizol 1g/8 jam
7. Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam
8. Inj. Asam Tranexamat 50mg/12jam

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Ameloblastoma ialah tumor yang berasal dari jaringan organ enamel yang
tidak menjalani diferensiasi membentuk enamel. Hal ini telah dijelaskan sangat
tepat oleh Robinson bahwa tumor ini biasanya unisentrik, nonfungsional,
pertumbuhannya bersifat intermiten, secara anatomis jinak dan secara klinis
bersifat persisten.1 Ameloblastoma adalah tumor yang berasal dari epitelial
odontogenik. Ameloblastoma biasanya pertumbuhannnya lambat, secara lokal
invasif dan sebagian besar tumor ini bersifat jinak Etiologi dan Patogenesis Pada
saat ini sebagian penulis mempertimbangkan bahwa tumor ini tumbuh dari
berbagai asal, walaupun rangsangan awal dari proses pembentukan tumor ini
belum diketahui.2 Tumor ini dapat berasal dari: Sisa sel dari enamel organ atau
sisa-sisa dental lamina. Struktur mikroskopis dari beberapa spesimen dijumpai
pada area epitelial sel yang terlihat pada perifer berbentuk kolumnar dan
berhubungan dengan ameloblast yang pada bagian tengah mengalami degenerasi
serta menyerupai retikulum stelata. Terlihat sisa-sisa epitel yang biasanya
terdapat pada membran periodontal dan kadang-kadang dapat terlihat pada tulang
spongiosa yang mungkin menyebabkan pergeseran gigi dan menstimulasi
terbentuknya kista odontogenik Epitelium dari kista odontogenik, terutama kista
dentigerous dan odontoma. Pada kasus yang dilaporkan mengenai
ameloblastoma yang berkembang dari kista periodontal atau kista dentigerous
tapi hal ini sangat jarang terjadi. Setelah perawatan dari kista odontogenik, terjadi
perkembangan dan rekurensi menjadi ameloblastoma. Basal sel dari epitelium
permukaan dari tulang rahang. Pada beberapa kasus ameloblastoma menemukan
adanya hubungan dengan epiteluim oral. 3,4

8
B. Epidemiologi

Ameloblastoma meskipun jarang dijumpai, merupakan tumor


odontogenik yang paling sering terjadi (10%- 11%) dan terhitung sekitar 1% dari
seluruh tumor pada regio kepala dan leher. Ameloblastoma merupakan tumor
odontogenik yang tersering kedua setelah odontoma. Ameloblastoma dapat
terjadi pada kisaran usia yang lebar, dengan puncak kejadian pada dekade ketiga
dan keempat, dan tercatat insidensi tertinggi pada usia 33 tahun. Tumor ini jarang
terjadi pada anak-anak (8,7% - 15%).5 Ameloblastoma maksilar dan
ameloblastoma ekstraosseus terjadi pada kelompok usia yang sedikit lebih tua
daripada kelompok ameloblastoma unikistik, sedangkan granular cell
ameloblastoma terjadi pada kelompok usia yang lebih muda. Kelainan ini
menampakkan predileksi jenis kelamin yang hampir sama dan tidak terdapat ras
yang dominan secara spesifik. Penelitian terkait ameloblastoma sinonasal
memperlihatkan rata-rata usia penderita yaitu dekade 6 ke atas dan hampir
keseluruhan pasien adalah pria. Penjelasan dari hal ini kemungkinan bahwa
ameloblastoma sinonasal memerlukan periode waktu yang lebih lama sebelum
mencapai ukuran tumor yang dapat menimbulkan gejala. Tumor-tumor ini
mungkin telah ada pada usia sebelumnya namun silent secara klinis dan
gejalanya tidak spesifik. Meskipun beberapa penelitian menyatakan bahwa
insidensi meningkat pada individu kulit hitam, namun pada beberapa penelitian
yang luas mengidentifikasi populasi Asia sebagai kelompok dengan jumlah
pasien yang terbanyak. Ameloblastoma paling sering terjadi di mandibula
posterior, terutama pada regio gigi molar ketiga, dan berhubungan dengan kista
folikular atau gigi yang impacted.6,7 Sebagian besar ameloblastoma terjadi di
ramus dan corpus posterior mandibula pada 80% kasus. Pada mandibula, area
ramus angle molar lebih sering terkena 3 kali lipat daripada area pre molar dan
anterior. Sekitar 15-20% kasus dilaporkan berasal dari maxilla dengan hanya
sekitar 2% yang berasal dari anterior dari premolar. Pada maxilla, area yang
paling sering terkena yaitu area molar, namun kadang dapat juga dijumpai pada

9
regio anterior, sinus maksilaris, cavum nasi, orbita dan kadangkala hingga ke
basis cranii.8

C. Etiologi

Ameloblastoma berasal dari sel pembentuk enamel dari epitel odontogenik


yang gagal mengalami regresi selama perkembangan embrional, misalnya sisa
dari lamina gigi. Bila sisa-sisa ini berada di luar tulang di dalam jaringan lunak
dari gingiva atau mukosa alveolar maka dapat menyebabkan ameloblastoma
periferal. Sumber lain yang mungkin adalah epitel permukaan gingiva dan tepi
kista odontogenik. Faktor penyebab terjadinya ameloblastoma seperti halnya
penyebab neoplasma yang lain pada umumnya belum diketahui dengan jelas.
Namun beberapa ahli beranggapan bahwa beberapa faktor kausatif yang
dianggap sebagai penyebab terjadinya gangguan histodifferensiasi pada
ameloblastoma meliputi (1) faktor iritatif non spesifik seperti tindakan ekstraksi,
karies, trauma, infeksi, inflamasi, atau erupsi gigi, (2) kelainan defisit nutrisi dan
(3) patogenesis viral. Kemungkinan sumber ameloblastoma adalah sebagai
berikut (a) sisa-sisa sel organ enamel, sisa lamina dental atau sisa lapisan
hertwig’s, sisa epitel malases (b) epitel odontogenik, terutama kista dentigerus
dan odontoma, (c) gangguan perkembangan organ enamel, (d) sel-sel basal dari
epitel permukaan rahang, (e) epitel heterotopik dalam bagian lain tubuh,
khususnya glandula pituitary. Pernyataan bahwa sumber ameloblastoma berasal
dari epitel kista odontogenik9,10

D. Klasifikasi

Ameloblastoma dapat dibagi menjadi 3 kelompok secara klinis dan radiologis,


yaitu : (1) solid atau multikistik; (2) unikistik dan (3) periferal. Ameloblastoma
tipe solid merupakan jenis yang paling banyak (86%). Tipe solid ini mempunyai
kecenderungan untuk menjadi lebih agresif daripada tipe lain dan mempunyai
insidensi kekambuhan yang tinggi. Tipe kedua yaitu unikistik (13%) mempunyai

10
kavitas kistik yang besar dengan proliferasi sel ameloblastik luminal, intra
luminal, atau mural, sehingga sering juga disebut sebagai luminal
ameloblastomas, mural ameloblastomas dan ameloblastoma dari kista
dentigerus. Tipe ini kurang agresif dan dan kecepatan kekambuhannya rendah,
meski pada lesi dengan invasi mural sebagai pengecualian dan harus diterapi
lebih agresif. Tipe ketiga yaitu ameloblastoma periferal (sekitar 1%) secara
histologis serupa dengan ameloblastoma solid. Tipe ini tidak umum dan biasanya
nampak sebagai lesi yang tidak terlalu nyeri, non ulcerated sessile atau lesi
gingiva pedunculated pada ridge alveolar. Tipe solid dan unikistik merupakan
amelobastoma intraossesus, sedangkan tipe periferal terjadi pada jaringan
lunak/extraosseus. Pembagian seperti ini penting karena terapi lesi unikistik
dapat lebih konservatif, karena kurang agresif dan ukurannya yang lebih kecil
daripada tipe solid atau multikistik. Berdasarkan histopatologisnya
ameloblastoma dapat dibedakan menjadi tipe follicular, plexiform,
acanthomatous, granular cell, basal cell, desmoplastic, unicystic, peripheral, dan
varian lain yang lebih jarang seperti clear cell variant, papilliferous
keratoameloblastoma.11–14

E. Gambaran Klinis

Secara klinis ameloblastoma biasanya asimtomatik dan tidak


menyebabkan perubahan fungsi nervus sensorik. Tumor ini berkembang dengan
lambat, hingga dapat menampakkan pembengkakan. Sebagian besar pasien
secara khas datang dengan keluhan utama bengkak dan asimetris pada wajah.
Terkadang tumor yang kecil dapat teridentifikasi pada foto radiografi rutin.
Seiring dengan pembesaran tumor, tumor membentuk pembengkakan yang keras
dan kemudian dapat menyebabkan penipisan korteks yang menghasilkan egg
shell crackling.15 Pertumbuhan yang lambat juga memungkinkan formasi tulang
reaktif yang mengarah pada pembesaran masif dan distorsi rahang. Apabila
tumor ini diabaikan, maka dapat menimbulkan perforasi tulang dan menyebar ke

11
jaringan lunak yang menyulitkan tindakan eksisi. Nyeri adakalanya dilaporkan
dan terkait dengan infeksi sekunder. Efek yang lain meliputi pergerakan dan
pergeseran gigi, resorpsi akar gigi, paraestesia bila canalis alveolar inferior
terkena, kegagalan erupsi gigi, dan sangat jarang ameloblastoma dapat
mengulserasi mukosa. Secara umum ameloblastoma adalah jinak namun invasif
lokal, sedangkan ameloblastoma maksilar nampak sebagai lesi yang lebih agresif
dan persisten. Hal ini kemungkinan disebabkan tulang maxilla yang tipis dan
rapuh, tidak seperti tulang mandibula yang tebal, yang memungkinkan
penyebaran tumor tanpa halangan pada struktur di sekitarnya. Suplai darah yang
baik ke maxilla bila dibandingkan dengan mandibula juga berkontribusi terhadap
percepatan penyebaran neoplasma lokal ini. Sedangkan pada pasien-pasien
dengan ameloblastoma sinonasal primer pada sebuah penelitian menampakkan
adanya lesi massa dan obstruksi nasal, sinusitis, epistaksis, bengkak pada wajah,
dizziness, dan nyeri kepala.16–18

F. Penatalaksanaan

Pertimbangan utama dalam menentukan tipe perawatan adalah macam atau tipe
lesi yang meliputi solidmultikistik, unikistik atau lesi extraoseus. Lesi solid
multikistik memerlukan setidaknya eksisi bedah. Lesi unikistik pada kasus yang
berukuran kecil dibutuhkan hanya enukleasi dan tidak dilakukan perawatan
lanjut. Ameloblastoma umumnya dianggap tidak radiosensitif, bahkan sangat
radioresisten.19 Beberapa peneliti menyetujui tindakan perawatan konservatif
terhadap lesi kecil awal yang terjadi antara usia kelahiran sampai 9-10 tahun.
Namun pendapat lain menyatakan bahwa perawatan yang bersifat konservatif
seperti enukleasi dan kuretase memperlihatkan adanya nilai rata-rata
kekambuhan 90% pada mandibula dan 100% pada maksila. Terapi radiasi,
radium, kuretase atau bahkan sklerosan kurang tepat. Ameloblastoma memiliki
angka kekambuhan yang tinggi bila dilakukan terapi selain reseksi mandibula.
Karena ameloblastoma bersifat invasif, tumor maligna secara klinik, maka

12
perawatan rasional adalah pembedahan secara komplit. 20 Terapi konservatif
dengan metode dredging untuk mempertahankan bentuk wajah dan mencegah
kekambuhan. Metode ini dilakukan dengan cara setelah dilakukan deflasi dan
enukleasi terhadap massa tumornya akan terjadi ruang kosong yang akan segera
terisi oleh jaringan parut. Kemudian dilakukan pengambilan jaringan parut yang
terbentuk secara berulang-ulang dengan selang waktu dua hingga tiga bulan
sampai terbentuk tulang baru yang mengisi ruang secara sempurna. Bedah eksisi
merupakan pilihan penanganan pada ameloblastoma pada sinonasal. Tipe dan
perluasan pembedahan bervariasi tergantung kasus dan mencakup pembedahan
konservatif (seperti polipektomi) dan prosedur yang lebih agresif seperti reseksi
Caldwell-Luc, rhinotomi lateral dan maksilektomi parsial atau radikal. 21
Rekontruksi pasca bedah. Pemasangan protesa palatal secara imidiate
telah menjadi perawatan standard setelah dilakukan maksilektomi atau
palatektomi, kecuali digunakan rekonstruksi free flap. Cacat bedah dapat
memberikan efek samping terhadap kesehatan fungsional dan psikologis pasien.
Tujuan dari rekonstruksi adalah untuk mengembalikan fungsi bicara, fungsi
pencernaan, menyediakan dukungan terhadap bibir dan pipi dan membangun
kembali proyeksi midfacial. Pasien yang menjalani reseksi maksila akan
direhabilitasi dalam tiga fase masng-masing fase memerlukan protesa obturator
yang akan mendukung kesembuhan pasien. Ketiga obturator protesa ini adalah
obturator bedah, obturator interim, dan obturator definitif Obturator Bedah
Rehabilitasi prostodontik dimulai dengan obturator bedah yang mana
dimasukkan pada waktu bedah untuk membantu mempertahankan packing,
mencegah kontaminasi oral dari luka bedah dan skin graft dan memungkinkan
pasien untuk berbicara dan menelan selama periode postoperasi inisial. Protesa
ini akan digunakan kira-kira 5 sampai 10 hari Obturator Interim Obturator bedah
akan dikonversi menjadi obturator interim dengan penambahan bahan-bahan
lining untuk adaptasi terhadap defek. Protesa interim ini secara periodik akan
direadaptasi dan direline kembali untuk menyesuaikan terhadap perubahan
dimensional selama proses penyembuhan jaringan defek. 22,23 Proses ini akan

13
meningkatkan kenyamanan dan fungsional pasien. Tujuan dari obturator ini
adalah mengembalikan fungsi bicara dengan mengembalikan kontur palatal.
Protesa ini akan digunakan sekitar dua sampai enam bulan Obturator Defenitif
Obturator defenitif akan dibuat ketika penyembuhan jaringan dan kontraksi telah
selesai. Pembuatan protesa defenitif sebelum kontur jaringan stabil memerlukan
penyesuaian termasuk perubahan posisi gigi atau penyesuaian terhadap bagian
perifer protesa.

Tujuan dari rekonstruksi mandibula adalah membangun kontinuitas


mandibula, membangun osseus alvelolar bases dan koreksi terhadap defek
jaringan lunak. Pada umumnya kehilangan mandibula yang diakibatkan karena
proses patologis akan meninggalkan jaringan lunak yang akan sembuh. Bila
dilakukan mandibulektomi akan menghasilkan defek tulang yang besar dan
jaringan lunak. Defek pada mandibula bagian lateral lebih dapat ditoleransi dan
tidak membutuhkan rekonstruksi. Kebalikannya defek pada anterior mandibula
akan menimbulkan kecacatan fungsional dan kosmetik yang parah. Waktu yang
tepat untuk melakukan rekonstruksi masih diperdebatkan. Pada literatur
disebutkan ada berbagai macam metode yang digunakan untuk mengembalikan
defek pada mandibula. Metode ini dapat diklasifikasikan dalam 3 kategori dasar
yaitu bahan alloplastik, bahan alloplastik dengan tulang dan tulang autogenous.
Bahan alloplastik telah digunakan secara luas pada rekonstruksi mandibula
dalam bentuk kawat atau plat, material organik (kalsium aluminat, kalsium apatit,
kalsium sulfat) dan bahan sintetik (metilmetakrilat, proplas dan teflon). Dari
semuanya, plat rekonstruksi biasanya dibuat dari stainless steel, AO Plates
(Arbeitsgemeinschaft fur Ostheosynthefragen Plate), vitallium dan titanium
(titorp plates). Komplikasi yang umum terjadi meliputi ekstrusi/ekspose plat,
kehilangan sekrup, dan fraktur plat. Plat rekonstruksi mandibula memiliki
keuntungan dari segi: Tidak membutuhkan donor Pengeluaran Kontur yang baik
Kemampuan untuk membentuk kondilus.22,24

14
G. Diagnosis Banding

Diagnosis banding untuk lesi pada antral maksilar meliputi lesi sinonasal,
tumor odontogenik, dan tumor berasal dari glandula salivarius minor,
pseudokista antral. Diagnosis banding tumor odontogenik pada kasus ini meliputi
: ameloblastoma, dentigerous cyst, odontogenic keratocyst, adenomatoid
odontogenic tumor, radicular cyst, ameloblastic fibroma. Sedangkan diagnosis
banding untuk lesi non odontogenik yaitu mucocele. Diagnosis yang pasti tidak
dapat ditegakkan berdasarkan klinis dan radiografis namun diperlukan
konfirmasi histopatologis.25

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Temporale H, Zatoński T, Roszkowska A, Kręcicki T. Ameloblastoma of


the Nasal Septum Origin: A Case Report. Case Rep Otolaryngol.
2013;2013:1-3. doi:10.1155/2013/280509.

2. Chehal A, Naim A, Lobo R, Azinovic I. Ameloblastoma of the maxillary


sinus treated with radiation therapy. Pan Afr Med J. 2017;26.
doi:10.11604/pamj.2017.26.169.8992.

3. Siar CH, Nakano K, Chelvanayagam PI, Ng KH, Nagatsuka H,


Kawakami T. An unsuspected ameloblastoma in the subpontic region of
the mandible with consideration of pathogenesis from the radiographic
course. Eur J Med Res. 2010;15(3):135-138.

4. Hao F, Liu J, Zhong M, Wang J, Liu J. Association between


clincopathological characteristics and hTERT expression as well as
telomere length in ameloblastoma. Int J Clin Exp Pathol.
2017;10(8):8647-8653.

5. Shakya H, Khare V, Pardhe N, Mathur E, Chouhan M. Basal Cell


Ameloblastoma of Mandible: A Rare Case Report with Review. Case
Rep Dent. 2013;2013:1-4. doi:10.1155/2013/187820.

6. Anandani C, Metgud R, Singh K. Calretinin as a diagnostic adjunct for


ameloblastoma. Patholog Res Int. 2014;2014. doi:10.1155/2014/308240.

7. Masloub SM, Abdel-Azim AM, Abd Elhamid ES. CD10 and osteopontin
expression in dentigerous cyst and ameloblastoma. Diagn Pathol.
2011;6(1). doi:10.1186/1746-1596-6-44.

8. P. L, G. Z, X. L, W. Z, Q. T. Clinical and pathological features of


desmoplastic ameloblastoma: A literature review with three case reports.

16
Int J Clin Exp Med. 2017;10(4):7204-7212.
http://www.embase.com/search/results?subaction=viewrecord&from=ex
port&id=L615804765.

9. Adebiyi KE, Ugboko VI, Omoniyi-Esan GO, Ndukwe KC, Oginni FO.
Clinicopathological analysis of histological variants of ameloblastoma in
a suburban Nigerian population. Head Face Med. 2006;2:42.

10. Chae MP, Smoll NR, Hunter-Smith DJ, Rozen WM. Establishing the
natural history and growth rate of ameloblastoma with implications for
management: Systematic review and meta-analysis. PLoS One.
2015;10(2). doi:10.1371/journal.pone.0117241.

11. B. Z, J. Z, Z.-Y. X, H.-L. X. Expression of RECK and matrix


metalloproteinase-2 in ameloblastoma. BMC Cancer. 2009;9.
doi:10.1186/1471-2407-9-427 LK -
http://limo.libis.be/resolver?&sid=EMBASE&issn=14712407&id=doi:1
0.1186%2F1471-2407-9-
427&atitle=Expression+of+RECK+and+matrix+metalloproteinase-
2+in+ameloblastoma&stitle=BMC+Cancer&title=BMC+Cancer&volum
e=9&issue=&spage=&epage=&aulast=Zhang&aufirst=Bin&auinit=B.&
aufull=Zhang+B.&coden=BCMAC&isbn=&pages=-
&date=2009&auinit1=B&auinitm=.

12. Bologna-Molina R, Takeda Y, Kuga T, et al. Expression of Wilms’


tumor 1 (WT1) in ameloblastomas. J Oral Sci. 2016;58(3):407-413.
doi:10.2334/josnusd.15-0546.

13. Seno S, Kitajima K, Inokuchi G, et al. FDG-PET findings of


Ameloblastoma: a case report. Springerplus. 2015;4(1).
doi:10.1186/s40064-015-0998-3.

14. Fuchigami T, Koyama H, Kishida M, et al. Fibroblasts promote the

17
collective invasion of ameloblastoma tumor cells in a 3D coculture
model. FEBS Open Bio. 2017;7(12):2000-2007. doi:10.1002/2211-
5463.12313.

15. Verisqa F, Sulistyani LD, Pradono, Tofani I. Genetic role in


ameloblastoma: A systematic review. J Int Dent Med Res.
2016;9(Specialissue):436-440.

16. Effiom OA, James O, Akeju OT, Salami AS, Odukoya O. Hybrid
ameloblastoma in a nigerian: Report of a case and review of literature.
Open J Stomatol. 2013;3(7):347-353. doi:10.4236/ojst.2013.37059.

17. Rizzitelli A, Smoll NR, Chae MP, Rozen WM, Hunter-Smith DJ.
Incidence and overall survival of malignant ameloblastoma. PLoS One.
2015;10(2). doi:10.1371/journal.pone.0117789.

18. R.-N. Y, X.-S. W, J. R, et al. Mandible ameloblastoma with lung


metastasis: a rare case report. Int J Clin Exp Pathol. 2015;8(6):6793-
6799.
http://www.embase.com/search/results?subaction=viewrecord&from=ex
port&id=L615754244.

19. Bertossi D, Favero V, Albanese M, et al. Peripheral ameloblastoma of


the upper gingiva: Report of a case and literature review. J Clin Exp
Dent. 2014;6(2). doi:10.4317/jced.51124.

20. Lascane NA da S, Sedassari BT, de Abreu Alves F, Helena Cury


Gallottini M, De Sousa SCOM. Peripheral ameloblastoma with
dystrophic calcification: An unusual feature in non-calcifying
odontogenic tumors. Braz Dent J. 2014;25(3):253-256.
doi:10.1590/0103-6440201300024.

21. Barboza CAG, Pereira Pinto L, Freitas RDA, Costa ADLL, De Souza

18
LB. Proliferating cell nuclear antigen (PCNA) and p53 protein
expression in ameloblastoma and adenomatoid odontogenic tumor. Braz
Dent J. 2005;16(1):56-61.

22. Delacure M. Reconstruction of the mandible. Indian J Plast Surg.


2007;40(12 SUPPLEMENT).

23. Saravanakumar B, Parthiban J, Aarthi Nisha V, Sarumathi T, Prakash


CA. Unicystic ameloblastoma of the mandible - report of two cases with
review of literature. J Clin Diagnostic Res. 2014;8(5):7-9.
doi:10.7860/JCDR/2014/8921.4238.

24. R. Figueiredo N, Meena M, D. Dinkar A, Malik S, Khorate M. Unicystic


Ameloblastoma Presenting as a Multilocular Radiolucency in the
Anterior Mandible: A Case Report. J Dent Res Dent Clin Dent
Prospects. 2015;9(3):199-204. doi:10.15171/joddd.2015.036.

25. Nagalaxmi V, Sangmesh M, Maloth KN, Kodangal S, Chappidi V,


Goyal S. Unicystic Mural Ameloblastoma: An Unusual Case Report.
Case Rep Dent. 2013;2013:1-6. doi:10.1155/2013/957418.

19

Anda mungkin juga menyukai