Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

INSECT BITE

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


Stase Ilmu Bedah

Diajukan Kepada :

Pembimbing : dr. Nanang Heru P, SpB

Disusun Oleh :

Anggraeni Putri Pertiwi H2A011007


Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Bedah

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

RSUD TUGUREJO SEMARANG

2016

LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN

ILMU BEDAH

LAPORAN KASUS
INSECT BITE
1
Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
Stase Ilmu Bedah

RSUD Dr.ADHYATMA, MPH

Disusun Oleh:

Anggraeni Putri Pertiwi H2A011007

Telah disetujui oleh Pembimbing:

Tanggal : ...........................................

Pembimbing Klinik

Ilmu Bedah

dr. Nanang Heru P, SpB

2
DAFTAR ISI
3
BAB I .......................................................................................................................5

A. IDENTITAS PENDERITA .....................................................................................6

B. ANAMNESIS ..........................................................................................................6

C. PEMERIKSAAN FISIK ..........................................................................................7

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG ............................................................................8

E. INITIAL PLAN .....................................................................................................10

F. PROGNOSIS .........................................................................................................10

BAB II....................................................................................................................11

A. PENDAHULUAN ............................................. Error! Bookmark not defined.

B. JENIS ULAR ..................................................... Error! Bookmark not defined.

C. PATOFISIOLOGI ........................................... Error! Bookmark not defined.

D. GAMBARAN KLINIS ...................................... Error! Bookmark not defined.

E. DIAGNOSIS ...................................................... Error! Bookmark not defined.

F. DIAGNOSIS BANDING .................................. Error! Bookmark not defined.

G. PENATALAKSANAAN................................... Error! Bookmark not defined.

H. PREVENTIF ...................................................... Error! Bookmark not defined.

I. PROGNOSIS ..................................................... Error! Bookmark not defined.

DAFTAR PUSTAKA ........................................... Error! Bookmark not defined.

4
BAB I
PENDAHULUAN

Insect bite reaction (reaksi gigitan serangga) adalah reaksi yang disebabkan
oleh gigitan yang biasanya berasal dari bagian mulut serangga dan terjadi saat se-
rangga berusaha untuk mempertahankan diri atau saat serangga tersebut mencari
makanannya. Gigitan serangga juga mengakibatkan kemerahan dan bengkak di lo-
kasi yang tersengat. Kebanyakan gigitan dan sengatan dilakukan untuk pertahan-
an. Sebuah gigitan atau sengatan dapat menyuntikkan bisa (racun) yang tersusun
dari protein dan substansi lain yang mungkin memicu reaksi alergi kepada
penderita. Namun pengetahuan ilmiah mengenai alergi terhadap gigitan serangga
masih terbatas. Reaksi paling sering dilaporkan terjadi setelah digigit nyamuk dan
sejenisnya, serta dari golongan serangga Triatoma. Sayangnya, strategi mana-
jemen untuk mengurangi risiko insect bite reaction ke depannya masih kurang
dikembangkan dan kurang efektif bila dibandingkan dengan alergi
terhadap sengatan serangga.1

Insect bite reaction disebabkan oleh artropoda kelas insekta. Insekta


memiliki tahap dewasa dengan karakter eksoskeleton yang keras, 3 pasang kaki,
dan tubuh bersegmen dimana kepala, toraks, dan abdomennya menyatu. Reaksi
paling sering dilaporkan terjadi setelah digigit nyamuk dan sejenisnya. Gigitan
dan sengatan serangga mempunyai prevalensi yang sama diseluruh dunia. Dapat
terjadi pada iklim tertentu dan hal ini juga merupakan fenomena musiman, mes-
kipun tidak menutup kemungkinan kejadian ini dapat terjadi di sekitar kita.
Prevalensi antara pria dan wanita s

5
BAB II
CATATAN MEDIS

A. IDENTITAS PENDERITA
 Nama : An. D.A.P
 Umur : 19 bulan
 Jenis Kelamin: Laki - laki
 Agama : Islam
 Alamat : Rorosari RT6 RW 1 Wonosai,Ngaliyan Semarang
 Pekerjaan :-
 Masuk RS : 16-05-2016
 Bangsal : Amarilis lantai 2
 No. RM : 49-01-05
B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 17 Mei 2016 pada pukul
14.00 WIB
 Keluhan utama: Penis bengkak
 RPS :
Penis membengkak sejak 3 jam sebelum dibawa ke rumah sakit, awalnya
pagi hari (7 jam sebelum masuk rumah sakit ) pasien bermain di pantai, saat mandi
ibu pasien melihat bahwa penis anaknya bengkak dan saat dibawa ke IGD penis
semakin membengkak. Pasien juga merasakan keluhan gatal (+), Nyeri saat BAK
(-).
 RPD :
 Keluhan Serupa : disangkal
 Alergi : disangkal
 Riwayat Sosial Ekonomi
Biaya kesehatan menggunakan asuransi BPJS, kesan ekonomi cukup.

6
C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 17 Mei 2016 pukul 14.20 WIB
 Keadaan Umum : Baik
 Kesadaran : Compos mentis
 Tanda vital
o Tekanan darah :120/80 mmHg
o Nadi : 100x/menit, reguler (isi dan tegangan cukup)
o Respiratory rate : 20x/menit, irama reguler
o Suhu : 37oC (aksiler)
 Status Internus
 Kepala : mesochepal, rambut merata, tidak mudah dicabut
 Mata : konjungtiva palpebra pucat (- / -), sklera ikterik (- /- ), pupil isokor
(3 mm/3 mm) , reflek pupil : direct (+/+), indirect (+/+).
 Hidung : napas cuping hidung (-), nyeri tekan (-), krepitasi (-), sekret (-),
septum deviasi (-), konka : hiperemis (-) dan deformitas (-).
 Mulut : sianosis (-), lidah kotor (-), tonsil ( T1/T1), hiperemis (-), kripte
melebar (-), gigi karies (-).
 Telinga : sekret (-/-), serumen (-/-), laserasi (-/-)
 Thoraks
o Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak nampak,
Palapsi : ictus cordis teraba, tidak kuat angkat
Perkusi : Konfigurasi jantung kesan dalam batas normal
Auskultasi : BJ I – II normal, regular, bising (-)
o Pulmo
Inspeksi : dinding dada simetris
Palpasi : nyeri tekan (-) , fremitus taktil simetris
Perkusi : sonor
7
Auskultasi : vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
 Abdomen
Inspeksi : bentuk simetris , permukaan datar, massa (-)
Auskultasi : bising usus (+)
Perkusi : timpani pada lapang abdomen
Palpasi : nyeri tekan (-), benjolan (-), organomegali (-)

 Ekstremitas
SUPERIOR INFERIOR
Akral hangat +/+ +/+

Oedem -/- -/+

Sianosis -/- -/-

CRT <2’ / <2’ <2’/<2’

 Status Lokalis
o Genetalia:
Inspeksi : tampak oedema pada penis, tampak adanya luka gigitan
pada dorsal pedis, warna kulit tampak sama dengan sekitar
Palpasi : nyeri tekan (+)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Laboratorium
Pemeriksaan Nilai NIlai Rujukan Satuan

Hematologi

Darah Rutin

Hemoglobin 10.90 13.2 - 17.3 g/dL

Lekosit 12.66 3.8 – 10.6 ribu

Eritrosit 4.83 4.4 – 5.9 juta

8
Hematokrit L 34.90 40 – 52 %

MCV L 72.30 80 – 100 fL

MCH L 22.60 26 – 34 pg

MCHC 31.20 32 – 36 g/dL

RDW H 14.90 11.5 – 14.5 %

Trombosit H 567 150 – 440 Ribu

Eosinofil absolute H 0.99 0.045 – 0.44 103/ul

Basofil absolute 0.006 0 – 0.2 103/ul

Netrofil absolute 7.54 1.8 – 8 103/ul

Limfosit absolute 3.24 0.9 – 5.2 103/ul

Monosit absolute 1.00 0.16 – 1 103/ul

Eosinofil H 7.70 2–4 %

Basofil 0.50 0–1 %

Netrofil 58.60 50 – 70 %

Limfosit 25.40 25 – 40 %

Monosit H 7.80 2–8 %

Kalium 2.75 3.5 – 5 mmol/L

Natrium 145.1 135 – 145 mmol/L

Chlorida 103.6 95 – 105 mmol/L

GDS 87 <125 mg/dL

9
Ureum 32.2 10 – 50 mg/dL

Kreatinin 1.34 0.7 – 1.1 mg/dL

E. INITIAL PLAN
 Ip Dx:
Insect bite
 Ip Tx
o Medika Mentosa :
Infus RL 15 tpm
Amoxixilin syrup 3 x 1 cth
Hidrocortison salep
CTM, dexamethasone, vit B complex, asamefenamat 3 kali 1 bungkus
o Non Medika Mentosa :
Tirah baring

 Ip Mx :
o KU/TV
o Perawatan luka
 Ip Ex :
o Menjelaskan mengenai penyakit pasien
o Menjelaskan mengenai tatalaksana dari penyakit pasien
o Menjelaskan mengenai prognosis

F. PROGNOSIS
 Quo ad Vitam : ad bonam
 Quo ad Fungsionam : ad bonam
 Quo ad Sanationam : ad bonam

10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Insect bite ( gigitan serangga) adalah kelainan akibat gigitan atau tusukan
serangga yang disebabkan reaksi terhadap toksin atau allergen yang
dikeluarkan artropoda penyerang.2
Insect bite reaction (reaksi gigitan serangga) adalah reaksi yang disebabkan
oleh gigitan yang biasanya berasal dari bagian mulut serangga dan terjadi saat
serangga berusaha untuk mempertahankan diri atau saat serangga tersebut men-
cari makanannya.1

2.2 Epimediologi
Gigitan dan sengatan serangga mempunyai prevalensi yang sama diseluruh
dunia. Dapat terjadi pada iklim tertentu dan hal ini juga merupakan fenomena
musiman, meskipun tidak menutup kemungkinan kejadian ini dapat terjadi di
sekitar kita. Prevalensi antara pria dan wanita sama. Bayi dan anak-anak lebih
rentan terkena gigitan serangga dibandingkan orang dewasa. Salah satu faktor
yang mempengaruhi timbulnya penyakit ini adalah lingkungan sekitar seperti
tempat mencari mata pencaharian yaitu perkebunan, persawahan dan lain-lain.1

2.3 Etiologi
Insect bite reaction disebabkan oleh artropoda kelas insekta. Insekta mem-
iliki tahap dewasa dengan karakter eksoskeleton yang keras, 3 pasang kaki,
dan tubuh bersegmen dimana kepala, toraks, dan abdomennya menyatu. In-
sekta merupakan golongan hewan yang memiliki jenis paling banyak dan pal-
ing beragam. Oleh karena itu, kontak antara manusia dan serangga sulit
dihindari. Paparan terhadap gigitan atau sengatan serangga dan sejenisnya

11
dapat berakibat ringan atau hampir tidak disadari ataupun dapat mengancam
nyawa.2
Secara sederhana gigitan dan sengatan serangga dibagi menjadi 2 grup yaitu
Venomous (beracun) dan non-venomous (tidak beracun). Serangga yang beracun
biasanya menyerang dengan cara menyengat, misalnya tawon atau lebah. Ini
merupakan salah satu mekanisme pertahanan diri yakni dengan cara menyun-
tikkan racun atau bisa melalui alat penyengatnya. Sedangkan serangga
yang tidak beracun menggigit atau menembus kulit dan masuk
menghisap darah, ini biasanya yang menimbulkan rasa gatal.1
Ada 30 lebih jenis serangga tetapi hanya beberapa saja yang bisa men-
imbulkan kelainan kulit yang signifikan. Kelasa arthopoda yang melakukan
gigitan dan sengatan pada manusia terbagi atas :
1. Kelas Arachnida a.
Acarina
b. Araniae (Laba-laba)
c. Scorpionidae (Kalajengking)
2. Kelas Chilopoda (Lipan) dan Diplopoda (Luing)
3. Kelas Insekta
a. Anoplura (Pthyreus pubis, Pediculus humanus, Capitis et corporis)
b. Coleoptera (Kumbang)
c. Dipthera (Nyamuk dan Lalat)
d. Hemiptera (Kutu busuk)
e. Hymenoptera (Semut, Lebah dan Tawon)
f. Lepidoptera (Kupu-kupu)
5 dari 9 kelas Artropoda yang menyebabkan reaksi lokal dan sistemik terkait

dengan gigitannya yaitu Arachnida, Chilopoda, Diplopoda, Crustacea, dan Insec-

ta.1,3,5,6,7

1. Arachnida (4 pasang kaki): tungau, kutu, laba-laba, kalajengking.

12
• Acarina
a) Tungau: Sarcoptes scabiei menyebabkan skabies; Demodex folliculorum,
tungau folikel rambut manusia; dan lainnya termasuk tungau makanan,
unggas, biji-bijian, jerami, hasil panen, hewan, dan debu rumah.
b) Kutu, menyebabkan Lyme borreliosis, Rocky Mountain spotted fever.

Gambar 1. Dermacentor variabilis feeding, merupakan vektor


Rocky Mountain spotted fever (Dikutip dari kepustakaan no.6)
• Aranea: Laba-laba, menyebabkan rhabdomiolisis oleh brown recluse spider.
• Scorpionida, racunnya merupakan neurotoksin yang dapat menyebabkan
reaksi lokal dan sistemik berat.
2. Chilopoda and Diplopoda: lipan, luing
3. Insecta (3 pasang kaki)
• Anoplura: kutu ( Phthirius and Pediculus), dapat menyebabkan pedikulosis.
• Coleoptera: kumbang. Kontak dengan hewan ini dapat menimbulkan vesikel
dan bula karena produksi chantaridin. Selain itu, juga menyebabkan erupsi
pustular dengan halo eritem.
• Diptera: nyamuk dapat menyebabkan malaria dan infeksi Epstein Barr Virus,
lalat hitam menyebabkan black fly fever, midges menyebabkan , Tabandae
menyebabkan tularaemia, botflies dan Callitroga Americana menyebabkan
miasis kutaneus, Dermatobia hominis menyebabkan miasis furunkular,
phlebotomid sand flies, dan lalat tsetse menyebabkan tripanosomiasis.
• Hemiptera: kutu busuk, merupakan vektor virus Hepatitis B dan Chagas
disease.

13
• Hymenoptera: semut, lebah, tawon, langau kerbau, menyebabkan
urtikaria
generalisata, rhabdomiolisis.
• Lepidoptera: ulat bulu, kupu-kupu,caterpillars, ngengat, dapat menyebab-
kan
dermatitis dan nodosa oftalmia.
• Siphonaptera: kutu hewan, chigoe atau sand flea, dapat menyebab-
kan
tungiasis, keratokonjungtivitis, dan leishmaniasis.

Gambar 2. Bedbugs dan telurnya pada matras (A); Skaning elektron mikro-
grafi kutu hewan (B). (Dikutip dari kepustakaan
no. 2)

Arthropod pembawa infeksi, diantaranya:6


• Lyme borreliosis, tularemia, bubonic plague.
• Scrub typhus, endemic (murine) typhus, spotted fever groups, Q fever
• Human granulocytic anaplasmosis
• Tick-borne meningoencephalitis
• Leishmaniasis, tripanosomiasis (sleeping sickness, Chagas disease).
• Malaria, babesiosis.
• Filariasis, onchocerciasis (river blindness), loiasis

2.4 Patogenesis
Gigitan atau serangan serangga akan menyebabkan kerusakan kecil pada
kulit, lewat gigian atau sengatan antigen yang akan masuk langsung direspon
oleh sistem imun tubuh. Racun dari serangga mengandung zat-zat yang kom-
14
pleks. Reaksi terhadap antigen tersebut biasanya akan melepaskan histamin,
serotonin, asam formic atau kinin. Lesi yang timbul disebabkan

15
oleh respon imun tubuh terhadap antigen yang dihasilkan melalui gigitan atau
sengatan serangga. Reaksi yang timbul melibatkan mekanisme imun. Reaksi
yang timbul dapat dibagi dalam dua kelompok : reaksi imediate dan reaksi de-
layed.1,2
Reaksi imediate merupakan reaksi yang sering terjadi dan ditandai dengan
reaksi lokal atau reaksi sistemik. Lesi juga timbul karena adanya toksin yang
dihasilkan oleh gigitan atau sengatan serangga. Nekrosis jaringan yang lebih luas
dapat disebabkan karena trauma endotel yang dimediasi oleh pelepasan neutro-
fil. Spingomyelinase D adalah toksin yang berperan dalam timbulnya reaksi
neutrofilk. Enzim hyluronidase yang juga ada pada racun serangga akan
merusak lapisan dermis sehingga dapat mempercepat penyebaran racun
tersebut.3

Reaksi terhadap gigitan dan sengatan diawali oleh salah satu toksin atau
alergen yang diinjeksikan oleh makhluk yang menyerang. Mekanisme
toksik langsung termasuk kontak dengan racun, iritasi rambut, sekresi saliva,
atau cairan yg menyebabkan bengkak; kontak tidak langsung dapat dakibatkan
dari inhalasi atau

16
menelan debris, bagian tubuh, atau ekskresi. Setidaknya 30 sampai 50 orang di Amerika

Serikat meninggal setiap tahun dari reaksi sistemik terhadap sengatan. Sekitar 50%

kematian disebabkan hewan berbisa akibat dari sengatan Hymenoptera (lebah atau tawon),

20% dari gigitan ular berbisa, dan 14% dari laba-laba beracun. Laba-laba dan ular

menyuntikkan racun yang mungkin menyebabkan hemolitik, mengganggu sistem

pembekuan, atau bertindak sebagai neurotoksin.7

Black widow spider menginjeksikan suatu neurotoksin yang disebut latrotoxin dalam

racunnya, yang menyebabkan pelepasan asetilkolin dan katekolamin pada neuromuscular

junction. Brown recluse spider menginjeksikan suatu fosfolipase yang disebut

sphingomyelinase D dalam racunnya yang menyebabkan agregasi platelet, trombosis, dan

hemolisis intravaskular yang parah. Reaksi paling serius terhadap gigitan serangga

termasuk lebah, tawon, kutu, nyamuk, semut api, dan kutu busuk, disebabkan oleh

hipersensitivitas yang didapat. Lebih dari 80% kematian akibat dari reaksi anafilaksis dan

terjadi dalam waktu satu jam dari sengatan. Sekitar 1% hingga 3% orang dewasa di

Amerika Serikat memiliki reaksi alergi sistemik terhadap sengatan serangga. Banyak pasien

yang mengalami reaksi umum terhadap sengatan serangga yang tidak memiliki riwayat

reaksi sistemik atau lokal terhadap sengatan sebelumnya.7

Reaksi langsung biasanya terkait dengan histamin, serotonin, asam format atau

kinin. Reaksi tertunda biasanya manifestasi dari respon kekebalan host terhadap alergen

protein. Kira-kira seperempat dari kasus anafilaksis yang dilaporkan terkait dengan

sengatan serangga, khususnya sengatan Hymenopterid. Serangga ini memilik

17
sayap membranous dan racun kompleks yang mengandung asam formiat, kinin

dan alergen protein.1

2.5 Diagnosis
a. Anamnesis
Kebanyakan pasien sadar dengan adanya gigitan serangga ketika terjadi reaksi
atau tepat setelah gigitan, namun paparannya sering tidak diketahui kecuali ter-
jadi reaksi yang berat atau berakibat sistemik. Pasien yang memiliki sejarah tidak
memiliki rumah atau pernah tinggal di tempat penampungan mungkin mengalami
paparan terhadap organisme, seperti serangga kasur. Pasien dengan penyakit
mental juga memungkinkan adanya riwayat paparan dengan parasit serangga.
Paparan dengan binatang liar maupun binatang peliharaan juga dapat me-
nyebabkan paparan terhadap gigitan serangga.3

b. Gejala Klinis

Manifestasi klinik gigitan serangga sebagai berikut:6


1. Masa inkubasi
Reaksi kutan terhadap gigitan serangga dapat muncul dalam hitungan menit
sampai berhari-hari setelah gigitan.
2. Durasi lesi
Dapat berlangsung dalam hitungan hari, minggu dan bulan.
3. Gejala pada kulit berupa pruritus, nyeri pada daerah gigitan. Gejala sistem-
ikdengan reaksi sistemik.
4. Temuan mukokutaneus
a) Macula eritematous, terjadi pada daerah gigitan dan biasanya tran-
sien. b) Papular urtikaria

18
Papul urtikaria persisten (> 48 jam), sering diatasnya terdapat vesikel, biasanya <1 cm;

papul eritem urtikaria berkelompok atau diseminta dengan ukuran 1-4 mm yang

ditandai dengan gatal dan sering ekskoriasi, vesikel; lesi nyeri berkrusta, biasanya

purulen, dapat menggambarkan impetigo, ektima, atau difteria kutan; ekskoriasi atau

lesi

c) Lesi bula
Bula tegang dengan cairan jernih pada sedikit bagian dasar yang terin-

flamasi.

5. Temuan sistemik

Temuan sistemik dapat terjadi terkait dengan toksin atau alergi terhadap sub-

stansi yang diinjeksikan selama gigitan. Banyak variasi infeksi sistemik yang dapat

terinjeksi selama gigitan.

Gambar 3. Papular urtikaria. Papul edematous merah soliter dengan erosi awal pada area pektoral (A);
papul merah multipel pada kaki penderita dengan HIV/AIDS; bedbug bites: papul ekskoriasi pada leher
posterior (C).
(Dikutip dari kepustakaan
no.6)

19
meningkatkan kemungkinan terjadinya reaksi sistemik serius pada paparan berikutnya.1

Gambar : Papular urtikaria: Bekas gigitan kutu, sangat gatal, urtikaria seperti
papula di lokasi gigitan kutu pada lutut dan kaki seorang anak, papula biasanya
berdiameter <1 cm serta memiliki vesikel di atasnya, Bila tergoreskan mengaki-
batkan erosi maupun krusta.

Gambar : pada bagian tengah lesi tampak ekskoriasi dikelilingi daerah yang
edem dan eritem.

Pada reaksi sistemik atau anafilaktik, pasien bisa mengeluhkan adanya gejala lokal
sebagaimana gejala yang tidak terkait dengan lokasi gigitan. Gejala dapat bervari-
asi dari ringan sampai fatal. Keluhan awal biasanya

20
termasuk ruam yang luas, urtikaria, pruritus, dan angioedema. Gejala ini dapat berkembang
dan pasien dapat mengalami ansietas, disorientasi, kelemahan, gangguan gastrointestinal,
kram perut pada wanita, inkontinensia urin atau alvi, pusing, pingsan, hipotensi, stridor,
sesak, atau batuk. Seiring berkembangnya reaksi, pasien dapat mengalami kegagalan
napas dan kolaps kardiovaskuler.1

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang untuk kelainan akibat gigitan serangga meliputi dermato-

patologi bagian tubuh artropoda, kultur bakteri, dan pemeriksaan

serologi.6
1. Dermatopatologi
Artropoda seperti S. Scabei atau T. Penetrans manggali ke dalam epidermis;

fragmen-fragmen serangga, feses, atau telur dapat dilihat. Bagian mulut yang tertahan

dapat dilihat pada kulit berbulan-bulan setelah gigitan.6

a) Reaksi daerah gigitan


Pada fase akut, terjadi nekrosis epidermal yang berubah-ubah, spongiosis, parakeratosis

dengan eksudat plasma; infiltrat inflamasi dermal meluas ke dalam dermis dalam di da-

lam bentuk wedge-shaped, mengelilingi pembuluh darah dengan beberapa perluasan ke

dalam kolagen dermal. Infiltrat dermal adalah campuran yang tersusun dari eosinofil,

netrofil, limfosit, dan histiosit. Eosinofil biasanya prominen; neutrofil lebih dominan pada

reaksi terhadap kutu hewan (flea), nyamuk, semut api, dan brown recluse spider. Bula ben-

tuk sekunder menandai edema. Bagian serangga jarang terlihat kecuali pada skabies dan

gigitan kutu dimana pengangkatan tidak komplit.6

Pada fase kronik, lesi dihasilkan dari bagian artropoda yang tertinggal atau

hipersensitivitas. Lesi kronik dapat muncul sebagai pseudolymphoma.6

21
b) Infeksi pada daerah gigitan
Patogen dapat ditunjukkan pada spesimen biopsi lesi dengan

pewarnaan khusus, misalnya: Leishmania pada daerah gigitan sandfly dan

Borrelia burgdorferi pada daerah gigitan tick Ixodes.6


2. Kultur Bakteri
Kultur bakteri dimaksudkan untuk menyingkirkan infeksi sekunder

dengan S. Aureus atau GAS, serta untuk menyingkirkan infeksi sistemik.6


3. Serologi
Pemeriksaan serologi juga dimaksudkan untuk menyingkirkan infeksi

sitemik.6
H. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan secara klinis, dikonfirmasi dengan biopsi lesi.6

c. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium jarang dibutuhkan. Pemeriksaan laboratorium
yang sesuai harus dilakukan apabila pasien mengalami reaksi yang berat dan
membutuhkan penanganan di rumah sakit atau dicurigai mengalami kegaga-
lan organ akhir atau membutuhkan evaluasi akibat infeksi sekunder, seperti
sellulitis.
Pemeriksaan mikroskopis dari apusan kulit dapat bermanfaat pada diagno-
sis scabies atau kutu, namun tidak berguna pada kebanyakan gigitan serang-
ga.
Pemeriksaan serologis mungkin berguna dalam menentukan infeksi
yang diakibatkan oleh vektor serangga, namun jarang tersedia dan membu-
tuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya.3

2.6 Diagnosis Banding


Diagnosis banding gigitan serangga yaitu urtikaria, pemfigoid bulosa atau

pemfigus vulgaris. Berikut perbedaan lesi diantara penyakit-penyakit tersebut.

Tabel 1. Perbandingan antara gigitan serangga, urtikaria, pemfigoid bulosa atau pemfigus
vulgaris.

22
(Dikutip dari kepustakaan no.8)

Lesi urtikaria
Gigitan serangga pemfigoid bulosa
Urtikaria atau pemfigus
(Insect Bite)
vulgaris
Wedge-shaped infiltrat, Infiltrat
perivaskuler Infiltrat seperti pita

padat, perivascular dan


Banyak eosinofil
dan interstitial
interstitial

Neutrofil dan
Limfosit dan eosinofil
eosinofil
Spongiosis bagian Tidak ada perbedaan Kadang-kadang

tengah lesi pada epidermis spongiosis eosinofil

23
24
A B C

(Dikutip dari kepustakaan no.9)

Gambar 4. Reaksi urtikaria terhadap serangan artropoda (A); urtikaria (B); pemfigoid bulosa (C)

AA B

Gambar 5. Gambaran histologis pada insect bite (A); urtikaria (B); pemfigoid
bulosa (C) (Dikutip dari kepustakaan no.9)

25
Keadaan yang harus dicurigai adanya reaksi artropoda termasuk papul yang

berkelompok, pola erupsi yang berkorelasi dengan pajanan, dan keadaan histologis

diatas. Ketika seorang dokter mencurigai suatu reaksi artropoda, riwayat detail

pajanan luar rumah, hewan piaraan, pekerjaan, dan hobi mungkin membantu.1\

Diagnosis banding insect bite reaction didasarkan oleh reaksi pada tempat gigitan
(papula eritema, vesikel), organisme yang menggigit serta nekrosis kutaneus yang
menyebabkan timbulnya lesi yang berbeda:
a. Scabies
Scabies adalah infeksi parasit yang umumnya terjadi di dunia. Arthropoda Sarcoptes
scabiei var hominis menyebabkan pruritus berat dan merupakan penyakit kulit yang
sangat menular, dapat menyerang pria dan wanita dari semua tingkat status social
ekonomi dan etnik. Gejala dan tanda biasanya berkembang perlahan sekitar 2-3 minggu
sebelum pasien mencari penanganan medis untuk mengatasinya. Scabies
muncul dalam bentuk cluster, pada individu terlihat sebagai ruam yang gatal dan papul.
Diagnose scabies dapat dipertimbangkan apabila ada riwayat banyak anggota keluarga
yang mengalaminya. Pruritus nocturnal merupakan keluhan utama yang khas pada
scabies. Lesi primer scabies berbentuk liang, papul, nodul, biasanya pustul dan plak
urtikaria yang bertempat di sela-sela jari, area fleksor pergelangan tangan, axilla,
area antecubiti, umbilicus, area genital dan gluteal, serta kaki. Lesi sekunder berbentuk
urtikaria, impetigo, dan plak eksematous.4,5

26
b. Prurigo
Merupakan reaksi kulit yang bersifat residif dengan efloresensi beranekaragam.

Diduga ada pengaruh dari luar seperti gigitan serangga, sinar matahari,

udara dingin, dan pengaruh dari dalam tubuh seperti infeksi kronik. Wanita lebih

banyak dari pria. Biasanya dicetuskan oleh infeksi kronik dan keganasan, keku-

rangan makan protein dan kalori. Dari anamnesis didahului oleh gigitan serangga

(nyamuk,semut), selanjutnya timbul urtikaria papular. Kemudian timbul rasa

gatal, dan karena digaruk timbul bintik-bintik.

bersifat kronik, akibatnya kulit menjadi hitam dan menebal. Penderita mengeluh

selalu gelisah, gatal dan mudah dirangsang.3

Gambar: A. Predileksi. B. papula-papula pada daerah

ekstensor ekstremitas.

2.7 Penatalaksanaan
a. Perawatan Pra Rumah Sakit
Kebanyakan gigitan serangga dapat dirawat pada saat akut
dengan memberikan kompres setelah perawatan luka rutin dengan
sabun dan air untuk meminimalisasi kemungkinan infeksi. Untuk
reaksi lokal yang luas, kompres es dapat meminimalisasi pem-

27
bengkakan. Pemberian kompres es tidak boleh dilakukan lebih dari
15 menit dan harus diberikan dengan pembatas baju antara es dan
kulit untuk mencegah luka langsung akibat suhu dingin pada kulit.
Epinefrin merupakan kunci utama untuk penanganan pra rumah
sakit pada reaksi sistemik. Antihistamin sistemik dan
kortikosteroid, bila tersedia, dapat membantu mengatasi reaksi sistem-
ik.1

b. Medikamentosa
- Topikal : Jika reaksi lokal ringan, dikompres dengan larutan asam
borat
3%, atau kortikosteroid topikal seperti krim hidro-
kortison 1-
2%. Jika reaksi berat dengan gejala sistemik, lakukan
pemasangan torniket proksimal dari tempat gigitan dan
diberi obat sistemik.
- Sistemik : Injeksi antihistamin seperti klorfeniramin 10 mg atau
difenhidramin 50mg. Adrenalin 1% 0,3-0,5 ml subku-
tan. Kortikosteroid sistemik diberikan pada penderita
yang tak tertolong dengan antihistamin atau adrenalin.
c. Perawatan Unit Gawat Darurat (keadaan berat)
Intubasi endotrakeal dan ventilator mungkin diperlukan untuk
menangani anafilaksis berat atau angioedema yang melibatkan jalan
napas. Penanganan anafilaksis emergensi pada individu yang atopik
dapat diberikan dengan injeksi awal intramuskular 0,3-0,5 ml
epinefrin dengan perbandingan
1:1000. Dapat diulang setiap 10 menit apabila dibutuhkan. Bolus in-
travena epinefrin (1:10.000) juga dapat dipertimbangkan pada kasus
berat. Begitu didapatkan respon positif, bolus tadi dapat dilanjut-
kan dengan infus dicampur epinefrin yang kontinu dan termonitor.
Eritema yang tidak diketahui penyebabnya dan pembengkakan
mungkin sulit dibedakan dengan sellulitis. Sebagai aturan umum,
infeksi jarang terjadi dan antibiotik

28
profilaksis tidak direkomendasikan untuk
digunakan.1

2.8 Prognosis
Prognosis dari insect bite reaction bergantung pada jenis insekta yang ter-
libat dan seberapa besar reaksi yang terjadi. Pemberian topikal berbagai jenis
analgetik, antibiotik, dan pemberian oral antihistamin cukup membantu, be-
gitupun dengan kortikosteroid oral maupun topikal. Pemberian insektisida,
mencegah pajanan ulang, dan menjaga higienitas lingkungan juga perlu diper-
hatikan. Sedangkan untuk reaksi sistemik berat, penanganan medis
darurat yang tepat memberikan prognosis baik.3

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Moffitt, John E. MD. Allergic Reactions to Insect Bites and Stings on Southern
Medical Journal, November 2003.

2. Insect Bites and Infestations. In : Freedberg IM at al, eds, Fitzpatrick’s


Dermatology in General Medicine 5th. 2007. USA: McGrawHill.

5. Chosidow O. Scabies. New England J Med. 2006. P. 1718-27


Elston DM. Bites and Stings. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP.

Dermatology. 2nd edition. US: Mosby Elsevier; 2008.

2. Singh S, Mann BK. Insect Bite Reactions. IJDVL. 2013; 79(2): 151-64.

3. Wolff K, Johnson RA, Suurmond D. Fitzpatrick’s The Color Atlas and Syn-

opsis of Clinical Dermatology. 5th edition. USA: The McGraw-Hill Companies;

2007.

4. Raza N, Lodhi MS, Ahmed S, Dar NR, Ali L. A Clinical Study of Papu-
lar

Urticaria. J Coll Physicians Surg Pak. 2008; 18(3): 147-50.

5. Diaz JH. Hymenopterid Bites, Stings, Allergic Reaction, and theImpact of

Hurricanes on Hymenopterid-Inflicted Injuries. J La State Med Soc. 2007


May;

159: 149-56.

6. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clini-


cal

Dermatology. 6th edition. USA: The McGraw-Hill Companies; 2009. p. 852-


9.

30
31
32

Anda mungkin juga menyukai