Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN

KASUS MEDIK
SNAKE BITE

Oleh :
dr. Silka Reslia Riswanto

Pendamping :
dr. Dhian Prasetyo Adhiputro

RSU MAGUAN HUSADA


PRACIMANTORO
2021

i
No. ID dan Nama Peserta : Silka Reslia Riswanto
Topik : Snake bite
Tanggal (kasus) : 17 Juli 2021
Nama Pasien : Tn. S (51 th) No. RM : 08.xx.xx
Pendamping : dr. Dhian Prasetyo Adhiputro
Obyek Presentasi :
 Keterampilan  Tinjauan
√ Keilmuan  Penyegaran Pustaka
√ Diagnostik √ Manajemen √ Masalah  Istimewa
 Neonatus  Bayi  Anak  Remaja √ Dewasa √ Lansia Bumil
Deskripsi : Tn. S datang ke IGD RS M pada tanggal 17 Juli pukul 17.00 WIB dengan
keluhan tangan kiri bengkak dan nyeri serta sulit digerakkan terdapat bekas luka gigitan
ular. Pasien menceritakan bahwa hari itu juga sekitar pukul 09.00 pagi jari kedua tangan
kiri pasien tergigit ular dipekarangan rumahnya pada saat memberi makan itik, jenis ular
berwarna hitam corak coklat berdiameter sekitar 4 cm, awalnya gigitan ular tersebut tidak
terasa dan keluar darah sedikit tapi sekitar 15 menit jari kedua tangan kiri pasien mulai
membengak, terdapat bekas gigitan 4 luka, sekitar pukul 12.00 tangan pasien mulai
membengkak sampai bahu dan ada rasa nyeri, mual -, muntah -, pingsan -. penanganan
awal yang dilakukan pasien adalah memanggil pawang ular untuk membantu mengeluarkan
bisa ular, bengkak sempat membaik sampai siku namun pasien merasa keluhan yang
dirasakan tidak membaik pasien mulai merasakan mual, muntah, kepala pusing, badan
menggigil, selanjutnya pasien memeriksakan keluhan ke RS M.
Tujuan : Mengetahui tanda dan gejala, serta kriteria diagnosis dan penatalaksanaan dan
pemeliharaan terhadap pasien Snake bite
Bahan bahasan : √ Tinjauan  Riset √ Kasus  Audit
Pustaka
Cara √ Diskusi  Presentasi  Email  Pos
membahas : dan diskusi
Data utama
1. Diagnosis / gambaran klinis :
Anamnesis
Tn. S datang ke IGD RS M pada tanggal 17 Juli pukul 17.00 WIB dengan keluhan
tangan kiri bengkak dan nyeri serta sulit digerakkan terdapat bekas luka gigitan ular.
Pasien menceritakan bahwa hari itu juga sekitar pukul 09.00 pagi jari kedua tangan kiri
pasien tergigit ular dipekarangan rumahnya pada saat memberi makan itik, jenis ular
berwarna hitam corak coklat berdiameter sekitar 4 cm, awalnya gigitan ular tersebut
tidak terasa dan keluar darah sedikit tapi sekitar 15 menit jari kedua tangan kiri pasien

1
mulai membengak, terdapat bekas gigitan 4 luka, sekitar pukul 12.00 tangan pasien
mulai membengkak sampai bahu dan ada rasa nyeri, mual -, muntah -, pingsan -.
penanganan awal yang dilakukan pasien adalah memanggil pawang ular untuk
membantu mengeluarkan bisa ular, bengkak sempat membaik sampai siku namun
pasien merasa keluhan yang dirasakan tidak membaik pasien mulai merasakan mual,
muntah, kepala pusing, badan menggigil, selanjutnya pasien memeriksakan keluhan ke
RS M.
1.Riwayat Pengobatan : belum diobati
2.Riwayat Kesehatan/Penyakit : HT disangkal, DM disangkal
3.Riwayat Penyakit Keluarga : Disangkal
4.Lain-lain : Tidak ada
Pemeriksaan Fisik
KU  cukup HR: 90 X/M
T: 36,6
GCS E4 V5 M6 (15)  Compos Mentis RR: 20 X/M
TD 140/90 mmhg SpO2: 98%
Kepala : mesosefal. Sklera ikterik (-). Conjunctiva Anemis (-/-)
Thorax :
Jantung :
Inspeksi  Ictus Cordis Palpasi Ictus Cordis kuat angkat di SIC VI
tak Tampak linea mid clavicularis sinistra
Auskultasi  BJ I/II Perkusi Sonor
regular
Paru Paru :
Inspeksi  Simetris ka/ki Palpasi Fremitus kanan = kiri
Auskultasi  SDV (+), RH(-/-), WH(-/-) Perkusi Sonor
Abdomen : Supel, Peristaltik (+) Normal, Nyeri Tekan (+) regio epicondriac. H/L:
Tidak Teraba.
Ekstremitas: akral hangat (+), oedem ext Inferior (-/-)
Daftar Pusaka :
1. RM RSU MAGUAN HUSADA
Hasil Pembelajaran :
1. Mengetahui Gambaran klinis Snake bite
2. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk pasien Snake bite
3. Mengetahui kriteria Diagnosis Snake bite
4. Manajemen Penatalaksanaan Snake bite di IGD
5. Prognosis pada Snake bite

2
Rangkuman hasil pembelajaran :
Subyektif
 Bengkak, nyeri pada tangan sebelah kiri
1. Obyektif
KU  cukup HR:90 X/M
T: 36,6
GCS E4 V5 M6 (15)  Compos mentis RR: 20 X/M
TD: 140/90 mmhg SpO2 : 98%
Kepala : mesosefal. Sklera ikterik (-). Conjunctiva Anemis (+/+)
Thorax :
Jantung :
Inspeksi  Ictus Cordis tak Palpasi Ictus Cordis kuat angkat di SIC VI
Tampak linea mid clavicularis sinistra
Auskultasi  BJ I/II regular Perkusi sonor
Paru Paru :
Inspeksi  Simetris ka/ki Palpasi Fremitus kanan = kiri
Auskultasi  SDV (+), RH(-/-), WH(-/-) Perkusi Sonor
Abdomen : Supel, Bising Usus (+) Normal, Nyeri Tekan (+) regio epicondriac. H/L:
Tidak Teraba.
Ekstremitas: akral hangat (+), oedem extremitas (-/-)
2. Assesment
Snake bite
3. Plan
a. Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hematologi
Leukosit 15.60 4.50 – 11.00 ribu/ul
Eritrosit 4.62 4.50 – 6.50 juta/ul
Hemoglobin 14.5 13 - 18 gr/dL
Hematokrit 40.7 40 - 52 vol%
MCV 88.1 80 - 96 fl
MCH 31.4 28 - 33 pg
MCHC 35.6 33 - 36 gr/dL
Trombosit 167 150 - 450 ribu/ul
Golongan Darah A
PT 13.5 11-18 detik
APTT 34.8 27-42 detik

3
Hitung Jenis
Eosinophil 2.1 2-4 %
Basophil 0.3 0-1 %
Limfosit 13.4 25 - 60 %
Monosit 2.3 2-8 %
Neutrofil 34.8 50 - 70 %
Kimia

Glukosa Darah Sewaktu 86 <140 mg/dl


Ureum 50 10-50 mg/dl
Creatinin 0.8 1.0-1.3 mg/dl
SGOT 20 < 37 U/L
SGPT 17 < 42 U/L
Imuno/ Serologi
HBs Ag negatif negatif

Diagnosis Kerja :
 Snake bite
Penatalaksanaan
a. Tindakan dan pemberian obat 17 Juli 2021 (IGD)
- Infus Nacl 0,9% + ABU 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone 2x1g
- Inj. Ranitidin 2x1 amp
- Inj. Ketorolac 3x1 amp
b. Tindakan dan pemberian obat 18 Juli 2021
- D5% + ABU 1 Amp 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone 2x1g
- Inj. Ranitidin 2x1 amp
- Inj. Ketorolac 3x1 amp
- Inj. Metilprednisolon 125/12 jam
c. Tindakan dan pemberian obat 19 Juli 2021
- D5% + ABU 1 Amp 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone 2x1g

4
- Inj. Ranitidin 2x1 amp
- Inj. Ketorolac 3x1 amp
- Inj. Metilprednisolon 125/12 jam
- Tindakan dan pemberian obat 20 Juli 2021
- D5% + ABU 1 Amp 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone 2x1g
- Inj. Ranitidin 2x1 amp
- Inj. Ketorolac 3x1 amp
- Inj. Metilprednisolon 125/12 jam
4. Prognosis
Ad Vitam  Dubia ad Bonam
Ad Fungsionam  Dubia ad Malam
Ad Sanationam  Dubia ad Bonam

Pracimantoro, 10 Juni 2021

Peserta Pendamping

dr. Silka Reslia Riswanto dr. Dhian Prasetyo Adhiputro

Bagian Komite Medis

5
RSU Maguan Husada

dr Sutarso Kamajaya Sp,PD

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
SNAKE BITE
A. Definisi
Gigitan ular adalah sindrom klinis yang terjadi akibat gigitan ular
berbisa atau ular tak berbisa, bisa ular tersusun dari protein, enzim dan
toksin yang mempunyai efek fisiologik yang luas dan mempengaruhi
sistem multiorgan. Diagnosis definitif keracunan bisa ular memerlukan
identifikasi dari jenis ular dan manifestasi envenomasi, pada penilaian
laporan gigitan dari ular berbisa harus dibedakan dari ular yang tidak
berbisa atau hewan lain.1
B. Epidemiologi
Sebanyak 5 juta orang setiap tahun di gigit ular berbisa sehingga
mengakibat sampai 2,5 juta orang keracunan sedikitnya 100.000 orang
meninggal, dan tiga kali lipat mengalami cacat permanen.2
C. Klasifikasi

6
Diagnosis definitif keracunan bisa ular memerlukan identifikasi dari
jenis ular dan manifestasi klinis envenomasi. Pada penilaian laporan
gigitan dari ular berbisa, harus dibedakan gigitan dari ular yang tidak
berbisa atau hewan lain. Perbandingan ular berbisa dan ular tidak berbisa
dapat terlihat pada gambar 1 berikut.3

Gambar 1. Perbedaan ular berbisa dan tak berbisa3


1. Elapidae: memiliki gigi taring pendek di depan (proteroglyph). Famili
ini meliputi kobra, raja kobra, kraits, ular koral, ular Australia dan ular
laut. Elapidae secara relatif merupakan ular yang cukup panjang,
kurus, memiliki warna seragam dengan sisik simetrikal besar halus
pada puncak kepala. Beberapa kobra, meninggikan bagian depan
tubuhnya dari tanah dan melebar dan merata dari leher untuk
membentuk kerudung. Beberapa spesies kobra dapat meludahkan
bisanya hingga 1 meter atau lebih terhadap mata korbannya. Ular laut
berbisa memiliki ekor yang lebar seperti padel dan skala ventral
mengecil atau hilang.
2. Viperidae: memiliki gigi taring yang cukup panjang (solenogyph) yang
secara normal terlipat rata terhadap rahang atas, tetapi saat menyerang
akan menjadi tegang. Ada dijumpai dua subfamili, viper tipikal
(Viperinae) dan viper pit (Crotalinae). Crotalinae memiliki organ
khusus untuk mendeteksi korban berdarah panas yang terletak diantara
hidung dan mata. Viperidae merupakan ular yang relatif pendek,

7
bertubuh tebal dengan banyak sisik kasar pada puncak kepala dan pola
warna yang khas pada permukaan dorsal tubuh.
3. Colubridae: dua spesies penting yang telah diidentifikasi pada regional
Asia Tenggara adalah Rhabdophis subminiatus berleher merah dan
Rhabdophis triginus. Piton besar (Boidae), merupakan Python
reticularis di Indonesia, pernah dilaporkan menyerang dan menelan
manusia, yang biasanya petani.3
D. Etiologi
90% komposisi racun adalah protein, setiap racun mengandung lebih
dari seratus protein yang berbeda. Sebagian besar racun mengandung
oksidase asam amino, fosfomono, diesterase, 5’-nucleotidase, DNAase,
NAD-nucleosidase, fosfolipase A2 dan peptidase.4
Zinc metalloproteinase hemorrhagins merusak endothel vaskular
menyebabkan perdarahan. Procoagulant enzymes, enzim ini merangsang
pembekuan darah dengan pembentukan fibrin dalam aliran darah.
Phospholipase A2 (lecithinase), enzim yang merusak mitokondria, sel
darah merah, leukosit, trombosit, ujung saraf perifer, otot rangka,
endothelium dan membran lain serta menyebabkan neurotoksik
presinaptik. Hyaluronidae meningkatkan penyebaran racun melalui
jaringan. Enzim proteolitik (metalloproteinase, endopeptidase atau
hidrolase) dan sitotoksin polipeptida, meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah menyebabkan edema, melepuh, memar dan nekrosis di
lokasi gigitan.4
Bisa ular dapat menimbulkan perubahan lokal seperti edema dan
perdarahan. Daya toksik ular yang telah diketahui ada 2 macam yaitu:2
a. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (Hematoxic)
Bisa ular yag bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang
menyerang dan merusak sel-sel darah merah dengan menghancurkan
stroma lecethine (dinding sel darah merah). Sehingga sel darah merah
menjadi hancur dan larut (hemolysin) dan keluar menembus pembuluh
darah mengakibatkan timbulnya perdarahan pada selaput tipis pada
mulut, hidung, tenggorokan dan lain-lain.
b. Bisa ular yang bersifat saraf (Neurotoxic)

8
Neurotoksin pasca-sinaptik seperti (α) seperti α- bungarotoxin dan
cobrotoxin, mengikat reseptor acetylcholine. Neurotoxin presinaptik (β)
seperti β-bungarotoxin, crotoxin dan taipoxin, melepaskan asetilkolin pada
ujung saraf dan merusak neuromuskuler junction.
Bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf
sekitar luka gigitan yang menyebabkan jaringan sel saraf tersebut mati
dengan tanda-tanda kulit sekitar luka gigitan tampak kebiruan dan hitam
atau nekrosis. Penyebaran mempengaruhi susunan saraf pusat dengan
melumpuhkan fungsinya, seperti terjadi kelumpuhan pada organ
pernafasan, kerusakan pada pusat otak, Sedangkan penyebaran bisa ular
keseluruh tubuh melalui pembuluh limfe.
E. Patofisiologi
Bisa ular bersifat hemotoksik, neurotoksik, nekrotoksik, kardiotoksik
dan nefrotoksik. Setelah digigit, bisa ular akan diaktifkan oleh suhu tubuh
dan PH jaringan. Kandungan enzim hyalurinase pada bisa akan
menghidrolisis jaringan. Meningkatkan permeabilitas jaringan, serta
membantu penyebaran bisa. Selain itu, terdapat juga enzim proteolitik,
yang dapat merusak endotel dan membran basal kapiler sehingga
meningkatkan permeabilitas, kebocoran albumin, peningkatan tekanan
onkotik jaringan yang mengakibatkan edema. Kerusakan jaringan tersebut
akan memicu penyebaran toksin lebih jauh hingga ke paru, miokardium,
ginjal, peritonium, serta sistem saraf pusat.5
Enzim lain, seperti L-arginin esterase mampu memicu pelepasan
bradikinin sehingga timbul rasa nyeri, hipotensi, mual, muntah dan
banyak berkeringat. Pada sebagian jenis bisa, agen vasodilatasi dapat
dilepaskan secara langsung sehingga memperberat vasodilatasi dan
hipotensi yang berujung pada hipovolemia, kolaps, syok, atau tanda-tanda
iskemia miokardium.6
1. Envenoming lokal
Bisa ular terdiri dari campuran beberapa polipeptida, enzim dan
protein. Jumlah bisa, efek letal dan komposisinya bervariasi tergantung
dari spesies dan usia ular. Pembengkakan dan memar merupakan akibat
dari permeabilitas pembuluh darah yang disebabkan venom endopeptidase

9
dan metalloproteinase hemorrhagins. Racun polypeptide merusak
membran, myotoxin dan sitotoksin menyebabkan nekrosis jaringan lokal,
myotoksin merusak sel otot plasma.
2. Hipotensi dan syok
Setelah ular menggigit terjadi kebocoran plasma darah ke dalam
anggota badan yang tergigit dan di tempat lain. Perdarahan gastrointestinal
masif dapat menyebabkan hipovolemia. Vasodilatasi terutama pembuluh
darah splanika dapat memberikan efek pada miokardium dan
menyebabkan hipotensi.
3. Perdarahan dan gangguan pembekuan darah
Venom ular mempengaruhi hemostasis tubuh dengan beberapa cara,
enzim prokoagulan mengaktifkan koagulasi intravaskular, venom memiliki
aksi langsung pada fibrinogen yang menyebabkan defibrinogenasi dengan
mengaktifkan sistem fibrinolitik endogen. Antikoagulan disebabkan oleh
racun fosfolipase. Racun haemorrhagins (Zn metalloproteases) berpotensi
menyebabkan perdarahan sistemik yang spontan dan mematikan. Aktivasi
atau penghambatan trombosit menyebabkan trombositopenia.
4. Neurotoksisitas
Neurotoksik polipeptida dari bisa ular dapat menyebabkan
kelumpuhan dengan memblokir transmisi pada neuromuskular, venom ini
akan menyebabkan pasien paralisis otot bulbar, obstruksi jalan nafas, atau
aspirasi.
5. Myotoxicity
Metalloproteinase merupakan venom yang beredar pada aliran darah
mioglobin, enzim otot, kalium dan pada otot lainnya.
6. Cedera ginjal akut
Berbagai macam perubahan histologis ginjal telah dijelaskan setelah
gigitan ular. Akut tubular nekrosis adalah yang paling umum, tetapi
glomerulonefritis proliferatif, interstisial nefritis, mesangiolisis toksik
dengan aglutinasi trombosit, deposisi fibrin, serta kerusakan tubular distal
merupakan kerusakan ginjal yang disebabkan racun PLA 2 dan
metaloprotease. Efek racun pada ginjal dapat menyebabkan
hemoglobinuria, mioglobinuria, dan hiperkalemia.

10
7. Peningkatan permeabilitas kapiler
Venom juga dapat menyebabkan peningkatan vaskular secara umum
dapat menyebabkan edema paru, efusi serosa,edema wajah dan
albuminuria, kemungkinan penyebabnya adalah metaloprotease yang
merusak pembuluh darah endotelium.
Kematian yang disebabkan gigitan ular adalah penggunaan antivenom
yang tidak adekuat, pengobatan yang tertunda, kegagalan untuk mengobati
hipovolemia pada pasien syok, obstruksi jalan nafas, komplikasi infeksi.
F. Manifestasi klinis
Gejala dan tanda lokal di bagian yang digigit: tanda fang, rasa sakit
lokal, perdarahan lokal, memar, lymphangitis, infeksi lokal (pembentukan
ases), nekrosis dan syok hipovolemik.7

11
Gambar 2. Manifestasi klinis dari gigitan ular
Gejala dan tanda sistemik seperti mual, muntah, nyeri perut, diare.
Gejala sistemik spesifik
 koagulopati: perdarahan terus dari lokasi gigitan, venipuncture dari
gusi, gross hematuri, hematemesis, melena dan hemoptoe.
 Neurotoksik: tanda pertama yang sering dijumpai pada saraf cranial
seperti ptosis, oftalmoplegia progesif.
 Mitoksisitas: ditemukan pada gigitan ular laut gejala dan tandanya
seperti nyeri otot, tenderness, mioglobinuria dan berpotensi
menyebabkan gagal ginjal, hiperkalemia dan kardiotoksisitas.
 Cardiovascular: syok, hipotensi, aritmia jantung, pingsan.
Tabel . Derajat manifestasi klinis gigitan ular berbisa

Derajat Gejala dan tanda


Minor Terdapat tanda bekas gigitan, tidak ada edema, tidak
nyeri, tidak ada gejala sistemik, tidak ada koagulopati.
Moderate Terdapat tanda bekas gigitan, edema lokal, tidak ada
gejala sistemik, tidak ada koagulopati.
Severe Terdapat tanda bekas gigitan, edema regional (2
segmen dari ekstremitas), nyeri yang tidak teratasi oleh
analgesik, tidak ada tanda sistemik, terdapat tanda
koagulopati.
Major Terdapat tanda bekas gigitan, edema yang luas, terdapat
tanda sistemik, nyeri kepala, nyeri perut, syok,
trombosis sistemik.

G. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium memiliki nilai yang sangat kecil pada
diagnosis envenomasi ular, tetapi sangat berguna dalam menentukan
prognostik. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah:8
1. Uji 20 menit pembekuan darah lengkap
Untuk mendiagnosa envenomasi viper dan menyingkirkan
kemungkinan gigitan elapidae. Adanya koagulopati mengkonfirmasi
pasien telah terigit viper.

12
2. Konsentrasi hemoglobin/hematokrit
Peningkatan mengindikasikan hemokonsentrasi diakibatkan
peningkatan permeabilitas kapiler, penurunan mengindikasikan kehilangan
darah yang diakibatkan hemolisis intravaskular.
3. Hitung leukosit
Leukositosis neutrophil merupakan penanda envenomasi sistemik dari
spesies ular.
4. Abnormalitas biokimiawi
Aminotransferase dan enzim otot (kreatin kinase, aldolase) dapat
meningkat bila dijumpai kerusakan otot lokal yang berat, atau terutama
kerusakan otot menyeluruh. Disfungsi hepar ringan mencerminkan
peningkatan enzim serum lain. Bilirubin meningkat mengikuti ekstravasasi
darah masif. Kalium, kreatinin, urea atau nitrogen urea darah meningkat
pada gangguan ginjal akut. Hiperkalemia dapat dijumpai pada
rhamdomiosis ekstensif pada gigitan ular laut. Bikarbonat dapat rendah
pada asidosis metabolik.
5. Sistem koagulasi darah: PT dan APTT dapat memanjang pada gigitan
viper.
6. Urinalisis: warna urine harus diperhatikan dan urine diperiksa dengan
dipstik untuk darah atau hemoglobin atau ioglobin. Pemeriksaan
mikroskopis dapat mengkonfirmasi adanya eritrosit di urine.
H. Tatalaksana
Pertolongan pertama harus segera dilakukan setelah gigitan ular
adalah:9
1. Jangan menghisap luka gigitan ular apabila dalam 45 menit pasien
dapat ke rumah sakit. Penghisapan dilakukan mengunakan alat tidak
dengan mulut. Jika gigitan ular terjadi dalam waktu kurang dari
setengah jam, buat sayatan silang di tempat gigitan hingga darah
keluar, lalu sedot dengan alat penyedot, jangan sesekali menyedot
dengan mulut. Bila tersedia, suntikkan serum anti ular (ABU)
polivalen intravena sekitar luka. ATS dan penicilin prokain 900.000 IU
dapat dipertimbangkan sebagai profilaksis.

13
2. Intervensi terhadap luka lainnya (menggosok, pemijatan). Penggunaan
tourniket arterial yang ketat tidak direkomendasikan karena dapat
menimbulkan iskemia jaringan.
3. Imobilisasi gigitan ular menggunakan elasticated bandage, dengan
cara sebagai berikut:

Gambar 4. Cara imobilisasi gigitan ular pada pasien


4. Setelah imobilisasi segera rujuk korban ke fasilitas kesehatan terdekat.
5. Bawa ular yang telah mati atau foto ular ke fasilitas kesehatan untuk
menentukan jenis ular sehingga dapat diberikan antivenom atau
penanganan yang tepat.
Management of snake bite
• First-aid treatment
• Transport to hospital
• Rapid clinical assessment and resuscitation
• Detailed clinical assessment and species diagnosis
• Investigations/laboratory tests
 20 minute whole blood clotting test
 Pemeriksaan urin untuk mengidentifikasi
adanya darah, hemoglobin dan mioglobin.
 Foto thorax: untuk mendeteksi adanya oedem
pulmo, perdarahan pulmo, efusi pleura dan
bronchopneumonia.

14
 USG pada local envenoming: deep vein
trombosis, pericardial efussion.
 Echocardiography: left ventricular ejection
fraction.
 CT scan dan MRI untuk mengetahui perdarahan
dan iskemik.
• Antivenom treatment
Indikasi pemberian serum ABU
 Gejala awal keracunan sistemik +
 Segera setelah gigitan terjadi pembengkakan hebat
(terjadi kerusakan jaringan yang luas).
Cara pemberian serum ABU
 Dosis pertama: 2 vial @ 5 ml drips dalam 500 ml Nacl
0,9 % atau dextrose 5% diberikan sebagai infus dengan
kecepatan 40-80 tetes permenit. Kemudian diulang tiap
6 jam. Apabila diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak
berkurang atau bertambah) anti serum dapat terus
diberikan setiap 24 jam sampai maksimum (80-100
ml). Anti serum yang tidak diencerkan dapat diberikan
langsung sebagai suntikan intravena dengan sangat
perlahan-lahan.
Cara lain: penyuntikan serum ABU polivalen
sebanyak 2,5 ml IM atau IV dan 2,5 ml suntikan
infiltrasi sekitar luka. Serum ABU disimpan pada suhu
2-8°C dalam lemari es, jangan dalam freezer.
• Observing the response to antivenom ( 3 jam setelah
pemberian)
• Deciding whether further dose of antivenom are needed
• Supportive/ancillary treatment
Injeksi intavena toksoid tetanus (TT) 0,5 ml, pemberian
antibiotik penisilin 900.000 IU, pemberian antihistamin IV/
steroid IV, terapi suportif lainny sesuai indikasi seperti
transfusi darah.

15
• Treatment of the bitten part
• Rehabilitation
• Treatment of chronic complications
• Advising how to avoid future bites
TENANGKAN KORBAN, BERI
SERUM ANTITETANUS,
PASIEN DATANG DENGAN
PULANGKAN KORBAN
RIWAYAT GIGITAN ULAR
TERDAPAT TANDA TERDAPAT TANDA
ULAR DITETAPKAN
ENVENOMASI ENVENOMASI TIDAK BERBISA
YA
TIDAK ULAR DIBAWA KE YA
RUMAH SAKIT

TIDAK ULAR DAPAT


TERIDENTIFIKASI

RAWAT TIDAK YA

OBSERVASI DI YA
RUMAH SAKIT
SELAMA 24 JAM
OBSERVASI DI TIDAK YA
RUMAH SAKIT RAWAT
SELAMATERDAPAT
24 JAM TANDA DIAGNOSTIK
DARI ENVENOMASI DARI ULAR
YANG UMUM BERADA DI AREA
GEOGRAFIS YANG SAMA YA TIDAK
YA
(LIHATALGORITMA 2) RAWAT
TANDA MEMENUHI
KRITERIA PEMBERIAN OBSERVASI DI
TIDAK ANTIBISA RUMAH SAKIT
SELAMA 24 JAM
YA
TANDA MEMENUHI
KRITERIA PEMBERIAN TERSEDIA ANTIBISA
ANTIBISA MONOSPESIFIK / TIDAK
POLISPESIFIK
TIDAK YA
RAWAT YA RAWAT
BERIKAN ANTIBISA BERIKAN ANTIBISA TERAPI KONSERVATIF
POLISPESIFIK UNTUK MONOSPESIFIK /
SPESIES ULAR YANG POLISPESIFIK
BERADA DI AREA
GEOGRAFIS YANG
SAMA

LIHAT RESPON

RAWAT RAWAT

OBSERVASI DI TIDAK TANDA ENVENOMASI YA ULANGI DOSIS


RUMAH SAKIT SISTEMIK MENETAP INISIASI ANTIBISA

16
Derajat keparahan akibat gigitan ular berdasarkan klasifikasi PARRISH10

Derajat 0 Tidak terdapat keracunan


Bekas taring / gigi+
Rasa sakit minimal
Edema, eritem kurang 2,5-15cm dalam 12 jam pertama
Gejala sistemik -
Derajat I Tanda keracunan minimal
Bekas taring/gigi +
Nyeri hebat
Edema, eritem antara 2,5 cm dalam 15 cm dalam 12 jam pertama
Gejala sistemik belum jelas
Derajat II Tanda keracunan sedang
Bekas taring/gigi +
Nyeri hebat
Edema, eritem antara 15-30 cm dalam 12 jam pertama
Gejala sistemik +
Derajat III Keracunan berat
Bekas taring/gigi +
Edema eritem lebih dari 30 cm dalam 12 jam pertama
Gejala sistemik hebat sampai syok
Derajat Keracunan berat
IV Bekas taring/gigi +
Edema, eritem melewati ekstremitas yang terkena
Gejala sistemik hebat, gagal ginjal sampai koma
Adapun pedoman lain dari terapi pemberian antivenom dapat mengacu pada
Schwartz dan Way:11
 Derajat 0 dan I: tidak diperlukan antivenom, dilakukan evaluasi dalam 12
jam, bila derajat meningkat maka diberikan antivenom.
 Derajat II: 3-4 vial ativenom

17
 Derajat III: 5-15 vial antivenom
 Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial antivenom

Pasien yang diberikan antivenom harus secara ketat dipantau


setidaknya selama 1 jam setelah dimulai pemberian antivenom intravena,
sehingga reaksi anafilaksis antivenom dapat dideteksi dan diobati segera
dengan epinefrin. Beberapa reaksi terhadap antivenom adalah:
1. Reaksi anafilaksis awal: muncul dalam 10-180 menit setelah
pemberian antivenom, pasien mulai gatal dan urtikaria, batuk
kering, demam, nausea, muntah, kolik abdomen, diare, dan
takikardi.
2. Reaksi pirogenik: muncul dalam 1-2 jam setelah pengobatan gejala
meliputi kekakuan, demam, vasodilatasi dan penurunan tekanan
darah, reaksi ini diakibatkan oleh kontaminasi pirogen selama
proses produksi antivenom.
3. Reaksi terlambat: muncul dalam 1-12 hari setelah pengobatan,
gejala meliputi nausea, demam, muntah, diare, gatal, urtikaria,
myalgia, limfadenopati, pembengkakan periartikular. Pasien
dengan reaksi awal diobati dengan antihistamin dan kortikosteroid
lebih jarang mengalami reaksi terlambat.
Pemantauan respons antivenom:
Bila dosis antivenom diberikan secara adekuat, maka respons terhadap
antivenom dapat dipantau adalah:
1. Umum: pasien mengalami perbaikan, nausea sakit kepala, nyeri
berkurang secara cepat.
2. Perdarahan sistemik berhenti dalam 15-30 menit
3. Koagulopati darah biiasanya kembali normal dalam 3-9 jam
4. Pada pasien syok tekanan darah meningkat dalam 30-60 menit
pertama dan aritmia mengalami perbaikan.
5. Envenomasi neurotoksis pada tipe post sinaptik dapat diumpai
perbaikan dalam 30 menit
6. Hemolisis dan rhabdomiolisis aktif, dalam beberapa jam urine
kembali menjadi warna normal.

18
Menentukan apakah dosis lanjutan antivenom diperlukan, kriteria
pemberian antivenom dosis lanjutan diberikan:
1. Inkoagulabilitas: darah menetap atau timbul setelah 6 jam atau
perdarahan 1-2 jam
2. Perburukan tanda-tanda neurotoksik atau kardiovaskular setelah 1-
2 jam.
3. Koagulopati menetap atau berulang setelah 6 jam atau perdarahan
setelah 1-2 jam, terdapat perburukan gejala neurotoksik atau gejala
kardiovaskuler setelah 1-2 jam.
4. Bila darah tetap tidak koagulasi, 6 jam setelah pemberian dosis
awal antibisa, dosis yang sama harus diulang, hal ini berdasarkan
bservasi bahwa, bila dosis besar antibisa diberikan, waktu yang
dibutuhkan oleh hepar untuk memperbaiki tingkat koagulasi
fibrinogen dan faktor pembekuan lainny adalah 3-9 jam.
5. Pasien tetap mengalami perdarahan cepat, dosis antibisa harus
diulang antara 1-2 jam.
Perawatan konservatif yakni bed rest, perawatan luka dengan
iodine, akses intravena, pemberian obat-obatan sedative, pemberian obat-
obatan analgesik, pemberian antibiotik profilaksis, pemberian toxoid
tetanus, pemberian steroid.
I. Komplikasi12
- Syok hipovolemik
- Edem paru
- Kematian
- Gagal nafas

19
BAB III
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
A. Pembahasan
: Tn. S datang ke IGD RS M pada tanggal 17 Juli pukul 17.00
WIB dengan keluhan tangan kiri bengkak dan nyeri serta sulit digerakkan
terdapat bekas luka gigitan ular. Pasien menceritakan bahwa hari itu juga
sekitar pukul 09.00 pagi jari kedua tangan kiri pasien tergigit ular
dipekarangan rumahnya pada saat memberi makan itik, jenis ular berwarna
hitam corak coklat berdiameter sekitar 4 cm, awalnya gigitan ular tersebut
tidak terasa dan keluar darah sedikit tapi sekitar 15 menit jari kedua tangan
kiri pasien mulai membengak, terdapat bekas gigitan 4 luka, sekitar pukul
12.00 tangan pasien mulai membengkak sampai bahu dan ada rasa nyeri,
mual -, muntah -, pingsan -. penanganan awal yang dilakukan pasien
adalah memanggil pawang ular untuk membantu mengeluarkan bisa ular,
bengkak sempat membaik sampai siku namun pasien merasa keluhan yang
dirasakan tidak membaik pasien mulai merasakan mual, muntah, kepala
pusing, badan menggigil, selanjutnya pasien memeriksakan keluhan ke RS
M.Pada pemeriksaan lokalis tampak 4 luka gigitan ular pada jari kedua
tangan kiri pasien, keluhan yang dirasakan nyeri, memar, bengkak lokal
dan nyeri lokal. Manifestasi tersebut merupakan manifestasi lokal yang
terjadi setelah gigitan ular envenoming lokal.
Bisa ular terdiri dari campuran beberapa polipeptida, enzim dan
protein. Jumlah bisa, efek letal dan komposisinya bervariasi tergantung
dari spesies dan usia ular. Pembengkakan dan memar merupakan akibat
dari permeabilitas pembuluh darah yang disebabkan venom endopeptidase
dan metalloproteinase hemorrhagins. Racun polypeptide merusak
membran, myotoxin dan sitotoksin menyebabkan nekrosis jaringan lokal,
myotoksin merusak sel otot plasma. Nyeri, rasa terbakar dan gatal
merupakan manifestasi yang disebabkan karena reaksi imunologi dimana
tubuh mengeluarkan sitokin.

20
Pusing, keringat dingin, muntah dan keluar air liur terus menerus.
Manifestasi sistemik yang muncul pada gigitan ular. Perdarahan pada gusi
dapat diakibatkan oleh Venom ular mempengaruhi hemostasis tubuh
dengan beberapa cara, enzim prokoagulan mengaktifkan koagulasi
intravaskular, venom memiliki aksi langsung pada fibrinogen yang
menyebabkan defibrinogenasi dengan mengaktifkan sistem fibrinolitik
endogen. Antikoagulan disebabkan oleh racun fosfolipase. Racun
haemorrhagins (Zn metalloproteases) berpotensi menyebabkan perdarahan
sistemik yang spontan dan mematikan. Aktivasi atau penghambatan
trombosit menyebabkan trombositopenia.
B. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan penanganan pasien maka dapat
diambil keputusan secara umum penanganan pasien sesuai teori yang ada.
Pasien membaik merupakan tanda ketepatan dalam tatalaksana.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Adiwinata Randy, Nelwan j. Erni (2015), Snakebite In Indonesia.


Departement of Internal Medicine, Faculty of Medicine Universitas
Indonesia, Jakarta: Indonesia.
2. World Health Organization (WHO). 2016. Guidelines for The Management
of Snake-Bites, 2nd Edition. New Delhi: World Health Organization, Regional
Office for South-East ASIA.
3. Gold BS, Dart RC & Barish RA. (2002) Bites of venomous snake. N Engl J
Med.
4. Ahmed SM, Ahmed M, Nadeem A, Mahajan J, Choudhary A & Pal J. (2008)
Emergency treatment of a snake bite: Pearls from literature. J Emer Trauma
Shock.
5. Sajevic T, Leonardi A & Krizaj I. (2011) Haemostatically active proteins in
snake venoms. Toxicon 57:627-645.
6. Warrell DA. (2010). Guidelines for the management of snake bites. World
Health Organization Regional Office for South-East Asia. India.
7. Sawai Y. Clinical problem of snakebites in Southeast Asia. In: AT Tu. Ed.
Toxin-related diseases. New Delhi: Oxford and IBH Publishing Co, 1993.
8. Punguyire D, Iserson KV, Stotz U & Apanga S. (2012) Bedside whole blood
clotting times: Validity after snakebites. J Emerg Med.
9. Fadare JO & Afolabi OA. (2012) Management of snake bite in resource-
challenged setting: A review of 18 months experience in a Nigerian hospital.
J Clin Med Res.
10. Williams DJ, Jensen SD, O’Shea M. Snake bite management in Cambodia:
towards improved prevention, clinical treatment and rehabilitation. Manila:
WHO Regional Office for the Western Pacific, 2009.
11. Djunaedi D. (2009) Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam, penyunting Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I,
Simadibrata MK, Setiati S. Edisi ke-5. InternaPublishing: Jakarta.
12. Jorge MT et al. Failure of chloramphenicol prophylaxis to reduce the
frequency of abscess formation as a complication of envenoming by Bothrops
snakes in Brazil: a double-blind randomized controlled trial. Trans R Soc
Trop Med Hyg. 2007.

22

Anda mungkin juga menyukai