Anda di halaman 1dari 166

PANDUAN TATALAKSANA

PENYAKIT JANTUNG BAWAAN


DEWASA (PJBD)
KELOMPOK KERJA KARDIOLOGI PEDIATRIK
DAN PENYAKIT JANTUNG BAWAAN
PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS
KARDIOVASKULAR INDONESIA
2020
EDISI PERTAMA
TIM PENYUSUN
PANDUAN TATALAKSANA
PENYAKIT JANTUNG BAWAAN DEWASA (PJBD)

Ketua : Anna Ulfah Rahajoe


Sekretaris : Yovi Kurniawati
Damba Dwisepto Aulia Sakti

Editor : Anna Ulfah Rahajoe


Poppy Surwianti Roebiono
Ganesja Mulia Harimurti

Kontributor : Abdullah Afif Siregar


Aditya Agita Sembiring
Andi Alief Armyn
Anna Ulfah Rahajoe
Ali Nafiah Nasution
Benny T.M. Togatorop
Charlotte Johanna Cool
Damba Dwisepto Aulia Sakti
Heny Martini
Indriwanto Sakidjan Atmosudigdo
Kino
Oktavia Lilyasari
Olfi Lelya
Radityo Prakoso
Sisca Natalia Siagian
Valerinna Yogibuana Swastika Putri
Yovi Kurniawati
Yulius Patymang
Zulfahmi

Panduan Tatalaksana PJBD i


KATA SAMBUTAN
Ketua PP PERKI

A .

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, maka buku
PANDUAN TATALAKSANA PENYAKIT JANTUNG BAWAAN
DEWASA edisi pertama tahun 2020 yang disusun oleh Kelompok Kerja
Kardiologi Pediatrik dan Penyakit Jantung Bawaan, Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskuler Indonesia ini dapat terselesaikan dengan baik.

Kami mengharapkan panduan ini dapat di pergunakan sebagai acuan


khususnya bagi seluruh Dokter SpJP dan umumnya bagi sejawat para
Dokter di Indonesia, dalam memberikan pelayanan kesehatan jantung
dan pembuluh darah pada berbagai tingkat fasilitas pelayanan kesehatan
di seluruh Indonesia.

Kami sampaikan penghargaan yang setinggi tingginya kepada tim


penyusun, yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan keahliannya untuk
menyelesaikan penyusunan panduan ini hingga dapat diterbitkan.

Sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi kardiovaskuler,


panduan ini akan selalu dievaluasi dan disempurnakan agar dapat
digunakan untuk memberikan pelayanan yang terbaik dan berkualitas.

Semoga panduan ini ini bermanfaat untuk kita semua.

Jakarta, 24 Oktober 2020


PP Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia

Dr. dr. Isman Firdaus, SpJP(K), FIHA


Ketua

Panduan Tatalaksana PJBD ii


KATA PENGANTAR

A ,
Salam sejahtera untuk kita semua.

Ilmu tentang penyakit jantung bawaan dewasa (PJBD) kini semakin


berkembang pesat. Hal ini didorong oleh cepatnya akumulasi pasien
PJBD, baik yang belum maupun yang sudah diintervensi bedah atau non
bedah (trans-kateter). Kemajuan ilmu dan teknologi penanganan PJB
memang telah berhasil menyelamatkan banyak kasus PJB, yang
kompleks sekalipun. Namun, ternyata banyak di antaranya yang
membutuhkan perawatan lanjutan jangka panjang, walaupun intervensi
awal sukses. Agar mereka terhindar dari penurunan kualitas hidup atau
kematian dini, maka diperlukan penanganan yang terstruktur dan
evaluasi yang terprogram, setidaknya menyamai penanganan
sebelumnya. Hal inilah yang mendorong Kelompok Kerja (POKJA)
Kardiologi Pediatrik dan Penyakit Jantung Bawaan - Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), untuk menerbitkan panduan
khusus PJBD.
Setelah melalui beberapa kali diskusi dengan para anggota POKJA
Kardiologi Pediatrik dan Penyakit Jantung Bawaan - PERKI, akhirnya
buku PANDUAN TATALAKSANA PENYAKIT JANTUNG BAWAAN
DEWASA edisi pertama dapat diterbitkan.
Panduan ini disusun berdasarkan perkembangan ilmu dan teknologi
mutakhir di bidang PJB, yang terus menerus berkembang dari tahun ke
tahun. Sebagai acuan utama diguna Guideline European Society of
Cardiology (ESC): The Management of Adult Congenital Heart Disease
2020, karena merangkum banyak bukti ilmiah sahih terkini serta
pengalaman yang luas dari para pakar, dengan memperhatikan
kesesuaiannya untuk kondisi di Indonesia.
Tim penyusun terdiri dari para Dokter Spesialis Penyakit Jantung dan
Pembuluh Darah (SpJP) yang sudah memiliki Sertifikat Kompetensi
Tambahan Kardiologi Pediatrik dan Penyakit Jantung Bawaan, dan
bekerja di berbagai rumah sakit tersier rujukan nasional untuk PJB di
seluruh tanah air. Kepada para editor dan seluruh tim penyusun, saya

Panduan Tatalaksana PJBD iii


sampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya disertai ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya atas waktu, tenaga dan pikiran yang telah
disumbangkan untuk terbitnya panduan ini.
Memang, kalau ditelaah lebih mendalam, kondisi pelayanan PJBD di
Indonesia masih jauh dari sempurna, diharapkan panduan ini akan
mengarahkan pada upaya perbaikan yang mendasar. Panduan ini secara
periodik akan dikaji untuk penyempurnaan lebih lanjut, agar pelayanan
kita kepada pasien PJBD tidak jauh tertinggal dari negara negara maju
dan pasien mendapat manfaat sebesar-besarnya.

Semoga panduan ini bermanfaat, khususnya bagi seluruh Dokter SpJP


dan umumnya bagi sejawat para Dokter di Indonesia dalam memberikan
pelayanan yang profesional, cepat, berkualitas, dan berorientasi pada
kebutuhan pasien PJBD.

Wa a a aa aa a a aba a a .
Jakarta, Oktober 2020
Kelompok Kerja Kardiologi Pediatrik dan Penyakit Jantung Bawaan

dr. Yovi Kurniawati, SpJP(K), FIHA


Ketua

Panduan Tatalaksana PJBD iv


DAFTAR ISI

.. i
E . ii
iii
Daftar ... v
D . xi
D G . xii
D . xiii
International Classification of Diseases 10 (ICD-10)-WHO version
2016, kelainan bawaan sistem sirkulasi (Q20-Q28) . xiv
International Classification of Diseases 9CM (ICD-9CM)-WHO
version 2015, Operasi pada penyakit jantung bawaan ............... xvii

BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar belakang 1
1.2 Ketentuan klasifikasi rekomendasi 2

BAB II ASPEK UMUM PENYAKIT JANTUNG BAWAAN DEWASA


(PJBD) .. 3
2.1 Epidemiologi 3
2.2 Klasifikasi penyakit jantung bawaan 4
2.3 Pengorganisasian pelayanan 5
2.4 Diagnostik 8
2.4.1 Ekokardiografi 9
2.4.2 Cardiovascular magnetic resonance (CMR) 10
2.4.3 Cardiovascular computed tomography (CCT) 11
2.4.4 Uji latih kardiopulmoner (cardiopulmonary
exercise testing = CPET) 12
2.4.5 Kateterisasi jantung 12
2.4.6 Biomarker 13
2.5 Pertimbangan Terapi 14
2.5.1 Gagal Jantung 14
2.5.2 Aritmia dan henti jantung mendadak16
2.5.2.1 Substrat aritmia 16
2.5.2.2 Penilaian dan tatalaksana pasien diduga
atau terdokumentasi aritmia 18
2.5.2.3 Disfungsi SAN, blok AV dan keterlambatan konduksi
infra His 19
2.5.2.4 Henti jantung mendadak dan stratifikasi risiko 19
2.5.3 Hipertensi pulmoner (pulmonary hypertension = PH) 22
2.5.3.1 Definisi dan klasifikasi 22
2.5.3.2 Diagnosis 24
2.5.3.2.1 Pemeriksaan diagnostik PH pada PJBD 24
2.5.3.2.2 Penilaian risiko 25
2.5.3.3 Tatalaksana PAH pada PJBD 25

Panduan Tatalaksana PJBD v


2.5.3.3.1 Tim pakar 25
2.5.3.3.2 Penanganan umum 25
2.5.3.3.3 Antikoagulan 25
2.5.3.3.4 Penutupan pirau 26
2.5.3.3.5 Terapi PAH 26
2.5.4 Terapi bedah 28
2.5.5 Intervensi trans-kateter 29
2.5.6 Endokarditis Infektif (infective endocarditis = IE) 29
2.5.7 Terapi antitrombotik 30
2.5.8 Tatalaksana pasien sianotik 30
2.5.8.1 Mekanisme adaptasi 31
2.5.8.2 Gangguan multisistem 31
2.5.8.3 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit 32
2.5.8.4 Komplikasi lanjut 32
2.5.8.5 Aspek diagnostic 33
2.5.8.6 Perhatian khusus pada laboratorium 34
2.5.8.7 Indikasi dan intervensi 34
2.5.8.8 Terapi medis 34
2.5.8.9 Rekomendasi tindak lanjut 35
2.5.8.10 Rekomendasi tambahan 35
2.6 Rekomendasi tambahan 37
2.6.1 Perbedaan jenis kelamin 37
2.6.2 PJBD pada usia yang lebih tua 37
2.6.3 Rencana perawatan lanjutan dan akhir kehidupan 38
2.6.4 Asuransi dan pekerjaan 38
2.6.5 Latihan dan olahraga 39
2.6.6 Operasi non-kardiak 39
2.6.7 Kehamilan, kontrasepsi, dan konseling genetik 40
2.6.7.1 Kehamilan dan kontrasepsi 40
2.6.7.2 Konseling genetik dan risiko menurun 43

BAB III PANDUAN TATALAKSANA LESI SPESIFIK PJBD 44


3.1 Defek septum atrium (atrial septal defect = ASD dan
anomali koneksi vena pulmonalis (anomalous pulmonary
venous connection = APVC 44
3.1.1 Introduksi 44
3.1.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit 45
3.1.3 Diagnostik 45
3.1.4 Intervensi 46
3.1.5 Aspek spesifik isolated anomalous pulmonary
venous connections = APVC 49
3.1.6 Tindak lanjut 49
3.1.7 Perhatian khusus 50
3.2 Defek septum ventrikel (ventricular septal defect = VSD) 50
3.2.1 Introduksi 50
3.2.2 Presentasii klinis dan perjalanan penyakit 51
3.2.3 Diagnotik 52
3.2.4 Intervensi 52
3.2.5 Tindak lanjut 54

Panduan Tatalaksana PJBD vi


3.2.6 Perhatian khusus 55
3.3 Defek septum atrioventricular (atrioventricular septal
defect = AVSD) 55
3.3.1 Introduksi 55
3.3.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit 56
3.3.3 Diagnostik 56
3.3.4 Intervensi 56
3.3.5 Tindak lanjut 58
3.3.6 Perhatian khusus 58
3.4 Duktus arteriosus persisten (Patent ductus arteriosus = PDA 58
3.4.1 Introduksi 58
3.4.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit 59
3.4.3 Diagnostik 59
3.4.4 Intervensi 59
3.4.5 Tindak lanjut 61
3.4.6 Perhatian khusus 61
3.5 Obstruksi alur keluar ventrikel kiri (Left ventricular outflow tract obstruction =
LVOTO) 61
3.5.1 Stenosis katup aorta (aortic valve stenosis = AS valvular) 61
3.5.1.1 Introduksi 61
3.5.1.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit 61
3.5.1.3 Diagnostik 62
3.5.1.4 Terapi 63
3.5.1.5 Intervensi 63
3.5.1.6 Tindak lanjut 65
3.5.1.7 Perhatian khusus 65
3.5.2 Stenosis aorta (aortic stenosis = AS) supravalvular 65
3.5.2.1 Introduksi 65
3.5.2.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit 66
3.5.2.3 Diagnostik 66
3.5.2.4 Intervensi 67
3.5.2.5 Tindak lanjut 67
3.5.2.6 Perhatian khusus 67
3.5.3 Stenosis subaortik (aortic stenosis = AS) subvalvular 68
3.5.3.1 Introduksi 68
3.5.3.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit 68
3.5.3.3 Diagnostik 68
3.5.3.4 Intervensi 69
3.5.3.5 Tindak lanjut 70
3.5.3.6 Perhatian khusus 71
3.6 Koartasio Aorta (coarctatio aorta = CoA) 71
3.6.1 Introduksi 71
3.6.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit 71
3.6.3 Diagnostik 72
3.6.4 Intervensi 73
3.6.5 Tindak lanjut 74
3.6.6 Perhatian khusus 75
3.7 Aortopati 76
3.7.1 Sindrom Marfan, heritable thoracic aortic

Panduan Tatalaksana PJBD vii


diseases (HTAD) 76
3.7.1.1 Introduksi 76
3.7.1.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit 76
3.7.1.3 Diagnostik 77
3.7.1.4 Terapi medikamentosa 78
3.7.1.5 Intervensi 78
3.7.1.6 Tindak lanjut 79
3.7.1.7 Perhatian khusus 79
3.7.2 Penyakit katup aorta bikuspid (bicuspid aortic valve = BAV) 79
3.7.3 Sindrom Turner 80
3.8 Obstruksi alur keluar ventrikel kanan (right ventricular
outflow tract obstruction = RVOTO) 82
3.8.1 Introduksi 82
3.8.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit 83
3.8.3 Diagnostik 84
3.8.4 Intervensi 85
3.8.5 Tindak lanjut 85
3.8.6 Perhatian khusus 87
3.9 Anomali Ebstein 88
3.9.1 Introduksi 88
3.9.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit 88
3.9.3 Diagnostik 88
3.9.4 Intervensi 89
3.9.5 Tindak lanjut 91
3.9.6 Perhatian khusus 91
3.10 Tetralogy of Fallot (TOF) pasca bedah koreksi 91
3.10.1 Introduksi 91
3.10.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit 92
3.10.3 Diagnostik 93
3.10.4 Intervensi 94
3.10.5 Tindak lanjut 97
3.10.6 Perhatian khusus 97
3.11 Atresia pulmonal (pulmonary atresia = PA) dengan VSD 98
3.11.1 Introduksi 98
3.11.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit 98
3.11.3 Diagnostik 99
3.11.4 Intervensi 99
3.11.5 Tindak lanjut 100
3.11.6 Perhatian khusus 100
3.12 Transposisi arteri besar (Transposition of the great arteries = TGA) 101
3.12.1 Introduksi 101
3.12.2 Operasi Atrial Switch 101
3.12.2.1 Presentasi klinis pasca operasi 101
3.12.2.2 Diagnostik 103
3.12.2.3 Tatalaksana medis 104
3.12.2.4 Intervensi 104
3.12.3 Operasi pertukaran arteri (arterial switch operation = ASO) 106
3.12.3.1 Presentasi klinis pasca ASO 106
3.12.3.2 Diagnostik 106

Panduan Tatalaksana PJBD viii


3.12.3.3 Intervensi 107
3.12.4 Operasi Rastelli 107
3.12.4.1 Presentasi klinis setelah operasi Rastelli 107
3.12.4.2 Diagnostik 108
3.12.4.3 Intervensi 109
3.12.5 Tindak lanjut 109
3.12.6 Perhatian khusus 109
3.13 Transposisi arteri besar kongenital terkoreksi (congenitally corrected
transposition of the great arteries = ccTGA) 109
3.13.1 Introduksi 109
3.13.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit 109
3.13.3 Diagnostik 110
3.13.4 Terapi medis 111
3.13.5 Intervensi 111
3.13.6 Tindak lanjut 112
3.13.7 Perhatian khusus 112
3.14 Conduit RV - arteri pulmonalis 113
3.14.1 Introduksi 113
3.14.2 Diagnostik 113
3.14.3 Intervensi 114
3.14.4 Tindak lanjut 114
3.14.5 Perhatian khusus 115
3.15 Jantung univentrikel/ Univentricular Heart (UVH) yang tidak dioperasi
(paliatif) 115
3.15.1 Introduksi 115
3.15.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit 117
3.15.3 Diagnostik 117
3.15.4 Tatalaksana konservatif 120
3.15.5 Tindak lanjut 120
3.15.6 Perhatian khusus 120
3.16 Pasien pasca operasi Fontan
3.16.1 Introduksi 120
3.16.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit 121
3.16.3 Diagnostik 122
3.16.4 Terapi medikamentosa 123
3.16.5 Intervensi 124
3.16.6 Tindak lanjut 124
3.16.7 Rekomendasi tambahan 126
3.17. Anomali arteri Koroner 126
3.17.1 Introduksi 126
3.17.1.1. Anomali arteri koroner berasal dari arteri pulmonal (anomalous
coronary artery from the pulmonary artery = ACAPA) 126
3.17.1.2. Anomali arteri koroner dari aorta
(anomalous aortic origin of a coronary artery = AAOCA) 127
3.17.1.3. Fistula arteri koroner 127
3.17.2 Diagnostik 128
3.17.3 Intervensi bedah 128

Panduan Tatalaksana PJBD ix


BAB IV RINGKASAN . . 130
4.1 Pesan kunci 130
4.1.1 Secara Umum 130
4.1.1.1 Pelayanan dan evaluasi pasien 130
4.1.1.2 Gagal jantung 130
4.1.1.3 Aritmia 131
4.1.1.4 Hipertensi pulmoner (pulmonary hypertension = PH) 131
4.1.1.5 Sianosis 131
4.1.2 Lesi khusus 132
4.1.2.1 Lesi pirau 132
4.1.2.2 Obstruksi alur keluar LV (left ventricle
outflow tract obstruction = LVOTO) 132
4.1.2.3 Koartasio aorta (coarctasio aorta = CoA) 132
4.1.2.4 Aortopati 133
4.1.2.5 Obstruksi alur keluar RV (right ventricle outflow tract
obstruction = RVOTO) 133
4.1.2.6 Anomali Ebstein 133
4.1.2.7 Tetralogi Fallot (tetralogy of Fallot = TOF) 133
4.1.2.8 Transposisi arteri besar (transposition of
the great arteries = TGA) 134
4.1.2.9 Transposisi arteri besar kongenital
terkoreksi (congenitally corrected transposition
of the great arteries = ccTGA) 134
4.1.2.10 Jantung ventrikel tunggal dan operasi Fontan 135
4.1.2.11 Anomali koroner 135
4.2 Hal-hal yang harus dilakukan dan yang harus dihindari
pada pasien PJB dewasa 136

DAF AR P AKA . 144

Panduan Tatalaksana PJBD x


DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Klasifikasi rekomendasi tatalaksana PJBD . 2


Tabel 2.1. Klasifikasi PJB berdasarkan kompleksitasnya .. 4
Tabel 2.2. Staf dan akses pelayanan yang dibutuhan Unit
Khusus PJBD di Indonesia 6
Tabel 2.3. Indikasi cardiovascular magnetic resonance
(CMR) pada pasien PJBD . 11
Tabel 2.4. Estimasi risiko untuk kejadian aritmia dan
B . 17
Tabel 2.5. Rekomendasi terapi aritmia pada penyakit
jantung ( BD) .. 20
Tabel 2.6. Definisi subtipe PH dan kejadiannya pada PJB
( BD) .. 23
Tabel 2.7. Rekomendasi tatalaksana PAH pada pasien PJBD.. 28
Tabel 2.8. Strategi menurunkan risiko pada pasien dengan
PJB . 36
Tabel 2.9. PJB dengan risiko tinggi dan risiko sangat tinggi .. 41
Tabel 2.10. Tingkat rekurensi untuk berbagai PJB .. 43
Tabel 3.1. Rekomendasi untuk intervensi pada ASD (native
) ... 47
Tabel 3.2. Rekomendasi tatalaksana VSD 53
3.3. A D 57
3.4. DA ... 60
Tabel 3.5. Kriteria diagnostik untuk menilai derajat
keparahan AS valvular .. 63
Tabel 3.6. Rekomendasi untuk intervensi pada AS valvular . 64
Tabel 3.7. Rekomendasi untuk intervensi pada AS
supra ... 67
Tabel 3.8. Rekomendasi untuk intervensi pada AS subvalvular 69
Tabel 3.9. Rekomendasi untuk intervensi pada CoA dan re-CoA.. 73
Tabel 3.10. Rekomendasi untuk operasi aorta pada aortopati .. 81
3.11. . 86
Tabel 3.12. Rekomendasi intervensi pada anomali Ebstein . 90
Tabel 3.13. Rekomendasi untuk intervensi setelah perbaikan
F 96
Tabel 3.14. Rekomendasi intervensi pasca atrial switch
GA .. 105
Tabel 3.15. Rekomendasi Intervensi pada pasca operasi
arterial switch GA . 107
3.16. GA 112
Tabel 3.17. Rekomendasi untuk intervensi pada conduit RV-
114

Panduan Tatalaksana PJBD xi


Tabel 3.18. Pertimbangan dan rekomendasi khusus untuk
intervensi pada jantung univentrikel .. 119
Tabel 3.19. Pertimbangan dan rekomendasi pasca operasi Fontan 125
Tabel 3.20. Rekomendasi tatalaksana anomali arteri koroner . 128

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1. Tatalaksana ASD . 48


G 3.2. D .. .. 54
Gambar 3.3. Tatalaksana PDA 60
G 3.4. . 70
Gambar 3.5. Manajemen CoA dan re-C A 76
G 3.6. ... 87

Panduan Tatalaksana PJBD xii


DAFTAR SINGKATAN
3D Three-dimensional LVOTO Left ventricular outflow tract obstruction
6MWT 6-minute walk test MAPCAs Major aortic pulmonary collaterals
AAOCA Anomalous aortic origin of a coronary MCV Mean corpuscular volume
artery mWHO Modified World Health Organization
AAOLCA Anomalous aortic origin of the left NOAC Novel oral anticoagulant
coronary artery NT-pro-BNP N-terminal-pro-B-type natriuretic peptide
ACAPA Anomalous coronary artery from the NYHA New York Heart Association
pulmonary Artery PA Pulmonal atresia
ACE Angiotensin-converting enzyme PAH Pulmonary arterial hypertension
AF Atrial fibrillation PJB Penyakit jantung bawaan
ALCAPA Anomalous left coronary artery from the PAP Pulmonary artery pressure
pulmonary artery PDA Patent ductus arteriosus
AR Aortic regurgitation PDE-5 Phosphodiesterase type 5
ARB Angiotensin II receptor blocker PES Programmed electrical stimulation
ARCAPA Anomalous right coronary artery from the PFO Patent foramen ovale
pulmonary artery PH Pulmonary hypertension
AS Aortic stenosis PJB(D) Penyakit jantung bawaan (dewasa)
ASD Atrial septal defect PM Pacemaker
AT Atrial tachycardia PR Pulmonary regurgitation
AV Atrioventricular PS Pulmonary stenosis
AVA Aortic valve area PVD Pulmonary vascular disease
AVAi Indexed aortic valve area PVR Pulmonary vascular resistance
AVNRT Atrioventricular node reentrant tachycardia Qp:Qs Pulmonary to systemic flow ratio
AVRT Atrioventricular reentrant tachycardia RA Right atrium
AVSD Atrioventricular septal defect R-L Right-to-left
BAV Bicuspid aortic valve RV Right ventricle
BNP B-type natriuretic peptide RVEDVi Right ventricular end diastolic volume
CABG Coronary artery bypass graft indexed
CCT Cardiovascular computed tomography RVEF Right ventricular ejection fraction
ccTGA Congenitally corrected transposition of the RVESVi Right ventricular end systolic volume
great arteries indexed
CMR Cardiovascular magnetic resonance RVH Right ventricular hypertrophy
CoA Coarctation of the aorta RVOT Right ventricular outflow tract
CPET Cardiopulmonary exercise testing RVOTO Right ventricular outflow tract
CRT Cardiac resynchronization therapy obstruction
DCRV Double-chambered right ventricle SVT Supraventricular tachycardia
ECG Electrocardiogram TGA Transposition of the great arteries
EF Ejection fraction TEE Trans-esophageal echocardiography
EP Electrophysiology TOF Tetralogy of Fallot
ERA Endothelin receptor antagonist TPVI Transcatheter pulmonary valve
HLHS Hypoplastic left heart syndrome implantation
HTAD Heritable thoracic aortic disease TR Tricuspid regurgitation
IART Intraatrial reentrant tachycardia TTE Transthoracic echocardiography
ICD Implantable cardioverter defibrillator TV Tricuspid valve
IE Indeks massa tubuh UVH Univentricular heart
IMT Infective endocarditis VCS Vena cava superior
INR International normalized ratio VCI Vena cafa inferior
IVC Inferior vena cava VE/VCO2 Ventilation to carbon dioxide output
LA Left atrium/atrial VF Ventricular fibrillation
L-R Left-to-right VKA Vitamin K antagonist
LV Left ventricle Vmax Maximum Doppler velocity
LVEF Left ventricular ejection fraction VSD Ventricular septal defect
LVESD Left ventricular end systolic diameter VT Ventricular tachycardia
LVH Left ventricular hypertrophy WHO World Health Organization
LVOT Left ventricular outflow tract WU Wood units

Panduan Tatalaksana PJBD xiii


International Classification of Diseases 10 (ICD-10)-WHO Version 2016
Kelainan bawaan sistem sirkulasi (Q20-Q28)
Kode Jenis penyakit jantung bawaan
Q20 Malformasi bawaan ruang jantung dan koneksinya
Q20.0 Truncus arteriosus
Q20.1 Double outlet right ventricle (DORV)
Q20.2 Double outlet left ventricle (DOLV)
Q20.3 Transposition of great vessels (TGA)
Q20.4 Univentrikel
Q20.5 Congenitally Corrected transposition of great vessels (ccTGA)
Q20.6 Situs ambiguous right atrial (RA)/left atrial (LA) isomerism
Q20.8 Malformasi bawaan lain ruang jantung dan koneksinya
Q20.9 Malformasi bawaan ruang jantung dan koneksinya tidak dispesifikasi
Q21 Malformasi septum jantung bawaan
Q21.0 Ventricular septal defect (VSD)
Q21.1 Patent foramen ovale (PFO), atrial septal defect (ASD) secundum, unroofed
coronary sinus, sinus venosus defect (SVD)
Q21.2 Atrioventricular septal defect (AVSD), atrial septal defect (ASD) primum
Q21.3 Tetralogi Fallot (TF), pulmonal atresia dengan ventricular septal defect (PA/VSD)
Q21.4 Aortopulmonary window (APW)
Q21.8 Malformasi bawaan lain dari septum jantung: Eisenmenger defect, Pentalogy of
Fallot. Kecuali: sindrom Eisenmenger (I27.8)
Q21.9 Malformasi bawaan septum jantung yang tidak dispesifikasi
Q22 Malformasi bawaan katup pulmonal dan katup trikuspid
Q22.0 Pulmonal atresia intact ventricular septum (PA/IVS)
Q22.1 Pulmonal stenosis (PS) valvular
Q22.2 Pulmonal regurgitasi (PR) bawaan
Q22.3 Malformasi bawaan katup pulmonal (PV) lainnya/tidak dispesifikasi
Q22.4 Tricuspid atresia (TA)
Q22.5 Anomali Ebstein
Q22.6 Hypoplastic right heart syndrome (HRHS)
Q22.8 Malformasi bawaan katup trikuspid (TV) lainnya
Q22.9 Malformasi bawaan katup trikuspid (TV), tidak dispesifikasi
Q23 Malformasi bawaan katup aorta dan katup mitral
Q23.0 Stenosis katup aorta (AS) valvular/atresia katup aorta bawaan
Kecuali : AS subvalvar (Q24.4)/ AS pada hypoplastic left heart syndrome (Q23.4)
Q23.1 Regurgitasi katup aorta (AR) bawaan / bicuspid aortic valve (BAV)
Q23.2 Mitral stenosis (MS)/mitral atresia (MA) bawaan
Q23.3 Mitral regurgitasi (MR) bawaan
Q23.4 Hypoplastic left heart syndrome (HLHS) : katup aorta atresia/lubang katup
hypoplastik + hypoplasia aorta asendens + hipoplastik LV (dengan MS/MA)
Q23.8 Malformasi bawaan katup aorta dan katup mitral lainnya

Panduan Tatalaksana PJBD xiv


Q23.9 Malformasi bawaan katup aorta dan katup mitral tidak dispesifikasi
Q24 Malformasi bawaan lainnya pada jantung
Q24.0 Dextrocardia.
Kecuali: mirror-image (dextrocardia + situs inversus )(Q89.3), RA/LA isomerism
(Q20.6),
Q24.1 Laevocardia : lokasi di hemitoraks kiri dengan apeks mengarah ke kiri tetapi
visceral lainnya situs inversus dan corrected transposition of great vessels
(ccTGA)
Q24.2 Cor triatriatum
Q24.3 PS infundibular/sub-infundibular
Q24.4 AS subvalvar bawaan
Q24.5 Malformasi pembuluh koroner: anomalous origin, aneurisma arteri koroner
Q24.6 Blok jantung bawaan
Q24.8 Malformasi jantung bawaan lainnya: diverticulum LV, malformasi
miokardium/perikardium bawaan, malposisi jantung, penyakit Uhl
Q24.9 Malformasi jantung bawaan, tidak dispesifikasi
Q25 Malformasi bawaan arteri besar
Q25.0 Patent ductus arteriosus (PDA)
Q25.1 Coarctation of aorta (CoA) (preductal/postductal)
Q25.2 Atresia aorta
Q25.3 Aortic stenosis (AS) supravalvular. Kecuali: AS valvular bawaan (Q23.0)
Q25.4 Malformasi bawaan aorta: aplasia/aneurisma/dilatasi aorta, aneurism (rupture)
sinus Valsalva, double aortic arch (vascular ring aorta), hipoplasia aorta,
persistent convolutions aortic arch, right aortic arch
Kecuali: hipoplasia aorta pada hypoplastic left heart syndrome (Q23.4)
Q25.5 Atresia arteri pulmonalis
Q25.6 Stenosis arteri pulmonalis; PS supravalvular
Q25.7 Malformasi bawaan arteri pulmonalis
Aberrant arteri pulmonalis bawaan: agenesis, aneurism, anomali, hypoplasia
Aneurisma arteriovenous pulmoner
Q25.8 Malformasi bawaan lain arteri besar
Q25.9 Malformasi bawaan lain arteri besar tidak dispesifikasi
Q26 Malformasi bawaan vena besar
Q26.0 Stenisis vena cava bawaan: superior/inferior
Q26.1 Persistent left superior vena cava
Q26.2 Total anomalous pulmonary venous connection (TAPVC)
Q26.3 Partial anomalous pulmonary venous connection (PAPVC)
Q26.4 Anomalous pulmonary venous connection, tidak dispesifikasi
Q26.5 Anomalous portal venous connection
Q26.6 Portal vein-hepatic artery fistula
Q26.8 Malformasi bawaan vena besar lainnya: absence of vena cava inferior/superior,
Azygos continuation of inferior vena cava, persistent left posterior cardinal vein,
sindrom Scimitar

Panduan Tatalaksana PJBD xv


Q26.9 Malformasi bawaan vena besar tidak dispesifikasi: Anomaly of VCS/VCI NOS
Q27 Malformasi bawaan sistem vaskular sistemik lainnya :
Kecuali: anomaly pembuluh darah serebral (Q28.0-Q28.3);koroner (Q24.5);
pulmonal (Q25.5-Q25.7); retinal aneurysm (Q14.1); haemangioma lymphangioma
(D18.-)
Q27.0 Tidak terbentuk atau hipoplasi bawaan arteri umbilicalis
Q27.1 Stenosis arteri renalis bawaan
Q27.2 Malformasi bawaan arteri renalis lain / tidak disebut di tempat lain/multiple
Q27.3 Malformasi bawaan arterivena perifer : Arteriovenous aneurysm
Kecuali: acquired arteriovenous aneurysm (I77.0)
Q27.4 Congenital phlebectasia
Q27.8 Malformasi bawaan sistem vascular perifer lain: Aberrant subclavian artery:
tidak terbentuk/atresia arteri/vena NEC; bawaan aneurysm (peripheral),
stricture, artery, varix
Q27.9 Malformasi bawaan sistem vascular perifer, tidak dispesifikasi: Anomali
arteri/vena tidak ada spesifikasi lain
Q28 Malformasi bawaan sistem sirkulasi
Kecuali : aneurisma bawaan NOS (Q27.8), coronary (Q24.5), peripheral
(Q27.8); pulmonary (Q25.7); retinal (Q14.1) dan ruptured: cerebral
arteriovenous malformation (I60.8); malformation of precerebral vessels (I72.-)
Q28.0 Malformasi arteriovenous pembuluh precerebral;arteriovenous aneurysm
(nonruptured)
Q28.1 Malformasi arteriovenous pembuluh precerebral: malformation of precerebral
vessels NOS; precerebral aneurysm (nonruptured)
Q28.2 Malformasi arteriovenous pembuluh cerebral: arteriovenous malformation otak,
Congenital arteriovenous cerebral aneurysm (nonruptured)
Q28.3 Malformasi bawaan pembuluh cerebral: cerebral aneurysm (nonruptured)
Malformasi pembeluh sereebral tanpa spesifikasi lain
Q28.8 Malformasi arteriovenous bawaan sistem sirkulasi: aneurysm bawaan, specified
site NEC
Q28.9 Malformasi arteriovenous bawaan system sirkulasi tanpa spesifikasi lain

ARITMIA DAN GANGGUAN KONDUKSI


I44.0 Atrioventricular block, first degree
I44.1 Atrioventricular block, second degree Atrioventricular block, type I and II, Möbitz
block, type I and II, Second-degree block, type I and II, Wenckebach block
I44.2 Atrioventricular block, complete Third-degree block
I44.4 Left anterior fascicular block
I44.5 Left posterior fascicular block
I44.7 Left bundle-branch block, unspecified
I45.0 Right fascicular block
I45.1 unspecified right bundle-branch block
I45.2 Bifascicular block
I45.3 Trifascicular block

Panduan Tatalaksana PJBD xvi


I46.1 Kematian mendadak jantung
I47.0 Re-entry ventricular arrhythmia
I47.1 Supraventricular tachycardia
I47.2 Ventricular tachycardia
I48.0 Paroxysmal atrial fibrillation
I48.1 Persistent atrial fibrillation
I48.2 Chronic atrial fibrillation
I48.3 Typical atrial flutter
I48.4 Atypical atrial flutter
I48.9 Atrial fibrillation and atrial flutter, unspecified
I49.0 Ventricular fibrillation and flutter
I49.1 Atrial premature beats/ depolarization
I49.2 Junctional premature depolarization
I49.3 Ventricular premature depolarization
I49.5 Sick sinus syndrome

Lain-lain
I25.41 Coronary artery fistulae
I27 Pulmonary hypertension, unspecified
I50.0 Gagal jantung kanan/kongestif
I50.1 Gagal jantung kiri
I50.9 Gagal jantung
Q87.1 Sindrom Noonan
Q87.40 Sindrom Marfan
Q93.82 Sindrom Williams (Beuren)
Q96 Sindrom Turner
Z86.74 Kematian mendadak / henti jantung mendadak

International Classification of Diseases 9CM (ICD-9CM)-WHO version 2015


Operasi pada penyakit jantung bawaan
Kode Jenis penyakit jantung bawaan
35 Operasi katup dan septum jantung
35.03 Closed Pulmonal valvotomy (Brock procedure)
35.1 Operasi reparasi katup
35.11 Reparasi katup aorta
35.12 Reparasi katup mitral
35.13 Reparasi katup pulmonal
35.14 Reparasi katup tricuspid
35.2 Operasi penggantian katup
35.21 Penggantian katup aorta dengan tissue graft
35.22 Penggantian katup mitral dengan tissue graft;
35.25 Penggantian katup pulmonal dengan tissue graft

Panduan Tatalaksana PJBD xvii


35.27 Penggantian katup tricuspid dengan tissue graft
35.28 Penggantian katup tricuspid
35.24 Penggantian katup mitral
35.26 Penggantian katup pulmonal
35.3 Operasi di sekitar katup
35.31 Operasi pada muskulus papilaris
35.32 Operasi pada Chordae Tendineae
35.34 Operasi infundibulektomi
35.35 Operasi pada trabecula Carneae cordis
35.4 Operasi pada defek septum
35.41 Memperbesar PFO/ASD (septectomy)
35.42 Membuat septal defek di jantung
35.5 Operasi reparasi defek septum dengan prostesa
35.50 Menutup ASD dengan prostesa (terbuka)
35.53 Menutup VSD dengan prostesa (terbuka)
35.54 Menutup AVSD dengan prostesa (terbula)
35.61 Menutup ASD dengan tissue graft
35.62 Menutup VSD dengan tissue graft
35.63 Menutup AVSD dengan tissue graft
35.71 Menutup ASD
35.72 Menutup VSD
35.73 Menutup AVSD

35.8 Operasi reparasi PJB tertentu


35.81 Reparasi tetralogi Fallot (TF)
35.82 Reparasi total anomalous pulmonary venous connection (TAPVC)
35.83 Reparasi truncus arteriosus
35.84 Operasi arterial switch (Jatene)
35.90 Operasi katup dan septum jantung
35.91 Operasi atrial switch (Mustard/Senning)
35.92 Operasi pemasangan conduit RV-PA (Rastelli)
35.94 Operasi Fontan
35.95 Operasi revisi koreksi sebelumnya (penggantian conduit, reparsi lesi residual)
35.96 Percutaneous (balloon) valvuloplasty
39.0 Operasi pada pembuluh darah
39.00 Systemic To Pulmonary Artery Shunt (BT shunt)
39.21 Caval-Pulmonary Artery Anastomosis (BCPS)
39.53 Reparasi fistula arteriovenous
39.59 Ligasi PDA, Reparasi AP window (+ 39,61)
39.65 Extracorporeal Membrane Oxygenation (Ecmo)
39.61 Bedah jantung terbuka dengan cardiopulmonary bypass machine
(kode ini perlu ditambahkan pada setiap prosedur yang menggunakan mesin pintas
jantung paru (bedah jantung terbuka)

Panduan Tatalaksana PJBD xviii


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah kelainan pada struktur dan
fungsi jantung yang sudah ada sejak lahir. PJB merupakan kelainan
bawaan yang paling sering menyebabkan kematian pada bayi. Dengan
berkembangnya penanganan PJB, lebih dari 90% pasien dapat
mencapai usia dewasa (>18 tahun), sehingga di negara maju
populasinya kini mencapai dua kali lipat PJB bayi dan anak.
Tatalaksana PJB dewasa (PJBD) memerlukan diagnosis yang
akurat, pemahaman tentang waktu intervensi, penilaian risiko dan
pemilihan jenis intervensi yang paling sesuai. Selain itu, juga dibutuhkan
pemahaman tentang aspek perawatan medis khusus, seperti gagal
jantung, hipertensi pulmoner (pulmonary hypertension = PH), dan
pemakaian antikoagulan. Hingga saat ini, belum ada panduan
tatalaksana PJBD di Indonesia. Panduan ini merupakan edisi pertama,
disusun oleh Kelompok Kerja Kardiologi Pediatrik dan Penyakit Jantung
Bawaan - Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia
(PERKI). Guideline European Society of Cardiology (ESC): The
Management of Adult Congenital Heart Disease 2020 ditetapkan
sebagai acuan, karena merangkum banyak bukti ilmiah sahih terkini
serta pengalaman yang luas dari para pakar, dengan memperhatikan
kesesuaiannya untuk kondisi di Indonesia.
Panduan ini diharapkan akan menjadi acuan bagi para praktisi
pelayanan PJBD, namun keputusan akhir tentang tindakan yang akan
diambil tetap harus dibuat oleh dokter penanggung jawab pelayanan
(DPJP) setelah berkonsultasi dengan pasien dan keluarganya, serta
memperhatikan ketersediaan sarana dan prasarana. Oleh karena itu,
penyimpangan dari panduan ini dapat saja dilakukan sesuai situasi dan
kondisi, dengan prinsip mengutamakan kebutuhan pasien.

Panduan Tatalaksana PJBD 1


1.2 Ketentuan klasifikasi rekomedasi
Sebagaimana pada tiap panduan tatalaksana pelayanan kedokteran,
rekomendasi dalam panduan ini didasarkan pada klasifikasi seperti
tercantum dalam Tabel 1.1

Tabel 1.1 Klasifikasi rekomendasi tatalaksana PJBD.


Kelas I Bukti dan/atau kesepakatan bersama menyatakan
bahwa, suatu pengobatan/tindakan bermanfaat dan
efektif, sehingga direkomendasikan
Kelas II Bukti dan/atau pendapat yang berbeda tentang manfaat
suatu pengobatan/tindakan
Kelas IIa Bukti dan/atau pendapat lebih mengarah pada manfaat
suatu pengobatan/tindakan sehingga beralasan untuk
dilakukan, dengan demikian maka sebaiknya
dipertimbangkan
Kelas IIb Manfaat suatu pengobatan/tindakan kurang didukung
bukti/pendapat, namun dapat dipertimbangkan untuk
dilakukan
Kelas III Bukti dan/atau kesepakatan bersama menyatakan
bahwa suatu pengobatan/tindakan tidak bermanfaat,
pada beberapa kasus kemungkinan membahayakan,
sehingga tidak direkomendasikan.

Level/Tingkat bukti :
A. Data berasal dari beberapa penelitian klinik acak berganda
atau meta-analisis terkait PJBD
B. Data berasal dari satu penelitian acak berganda/beberapa
penelitian tidak acak terkait PJBD
C. Data berasal dari konsensus opini para pakar PJBD dan/atau
penelitian kecil, studi retrospektif atau registry terkait PJBD

Panduan Tatalaksana PJBD 2


BAB II
ASPEK UMUM
PENYAKIT JANTUNG BAWAAN DEWASA (PJBD)

2.1 Epidemiologi
Berdasarkan studi terakhir, insidens PJB di kawasan Asia mencapai
9,3/1000 bayi lahir hidup. Dengan demikian, maka diperkirakan tidak
kurang dari 40 ribu bayi lahir dengan PJB setiap tahun di Indonesia.
Di negara maju, bayi yang lahir dengan PJB sangat kompleks
sekarang justru berkurang, karena adanya skrining janin dan terminasi
kehamilan; tidak demikian halnya di negara berkembang.
Prevalensi PJBD dikatakan mencapai 6/1000 penduduk, bertambah
5% pertahun, pertumbuhan pasien penyakit jantung yang paling cepat
saat ini. Diperkirakan ada 50 juta pasien PJBD di seluruh dunia, dan
mungkin sekitar 1,5 juta di antaranya hidup di Indonesia.
Populasi PJBD terdiri dari pasien dengan:
• lesi sederhana (contohnya ventricular septal defect = VSD kecil)
atau lesi kompleks yang bertahan hidup dan datang untuk
pertama kali (contohnya tetralogy of Fallot = TOF),
• status pasca prosedur paliatif sebelumnya, menunggu intervensi
bedah paliatif atau korektif berikutnya (contohnya pasca bedah
bidirectional cavopulmonary shunt = BCPS),
• status mengantisipasi prosedur operasi ulang (contohnya
penggantian katup prostetik atau conduit penghubung ventrikel
kanan dan arteri pulmonalis),
• status untuk perbaikan lesi residual setelah operasi terdahulu
(contohnya regurgitasi katup pulmonal pasca reparasi TOF),
• status terdapat kelainan residual setelah operasi terdahulu yang
tidak dapat diperbaiki lagi (contohnya penyakit vaskular paru
yang menetap),
• status dalam terapi penyakit jantung didapat (contohnya penyakit
jantung koroner),
• status menunggu transplantasi jantung.

Panduan Tatalaksana PJBD 3


2.2 Klasifikasi penyakit jantung bawaan
Penyakit jantung bawaan banyak jenisnya dengan kompleksitas yang
bervariasi. Berdasarkan kompleksitasnya, PJB dapat diklasifikasikan
sebagai ringan, sedang, dan berat (lihat Tabel 2.1).

Tabel 2.1. Klasifikasi PJB berdasarkan kompleksitasnya


Ringan : penyakit katup aorta bawaan tanpa kelainan lain dan
katup aorta bikuspid
penyakit katup mitral bawaan tanpa kelainan lain
(kecuali katup parasut, celah/cleft daun katup)
PS (infundibular, valvular, supravalvular)
ASD, VSD, atau PDA kecil tanpa kelainan lain
ASD sekundum, SVD, VSD, PDA yang telah ditutup
tanpa residual/sequelae (misalnya dilatasi ruang
jantung, disfungsi ventrikel) atau PVD/PH
Sedang : Anomali koneksi vena pulmonalis (parsial atau total)
Anomali arteri koroner keluar dari arteri pulmonalis
Anomali arteri koroner keluar dari sinus yang
berlawanan/berseberangan
AS subvalvular atau supravalvular
AVSD parsial/komplit, termasuk ASD primum (tanpa PH)
SVD
ASD sekundum atau PDA ukuran sedang/besar yang
belum ditutup (tanpa PH)
Koartasio aorta
Double chambered right ventricle
Anomali Ebstein
Sindroma Marfan dan HTAD, sindrom Turner
Stenosis pulmonal perifer
PS (infundibular, valvular, supravalvular) sedang/berat
Aneurisma/fistula sinus valsalva
Tetralogy of Fallot yang belum/sudah dioperasi reparasi
TGA pasca operasi switch arterial
VSD dengan kelainan penyerta (tanpa PH) dan/atau
pirau sedang atau besar.

Panduan Tatalaksana PJBD 4


Berat : Semua jenis PJB (yang sudah atau belum direparasi)
dengan PVD (termasuk sindroma Eisenmenger)
Semua jenis PJB sianotik (yang belum dioperasi atau
telah dioperasi paliatif)
Ventrikel alur keluar ganda (Double-outlet ventricle)
Sirkulasi Fontan
Interrupted aortic arch (arkus aorta yang terputus)
Pulmonal atresia (berbagai macam bentuk)
TGA (kecuali yang sudah dioperasi arterial switch)
Univentrikel (termasuk double inlet ventrikel kiri/kanan,
atresia mitral/trikuspid, HLHS, kelainan anatomi lainnya
dengan fungsional ventrikel tunggal)
Trunkus arteriosus
Kelainan katup AV dan koneksi AV yang kompleks
lainnya (antara lain jantung criss-cross, sindrom
heterotaxy, inversi ventrikel).
ASD = atrial septal defect; SVD = sinus venosus defect, VSD = ventricular septal defect,
AVSD = atrioventricular septal defect, PDA = patent ductus arteriosus, AS = aortic
strnosis; PS = pulmonary stenosis; PH = pulmonary hypertension; PVD = pulmonary
vascular disease; TGA = transposition of the great arteries; ToF = tetralogy of Fallot; PA
= pulmonal atresia; HTAD = heritable thoracic aortic disease; AV = atrioventricular; PJB =
penyakit jantung bawaan; HLHS = hypoplastic left heart syndrome

2.3 Pengorganisasian pelayanan


Di negara maju, ketika pasien PJB menginjak usia dewasa, mereka
akan ditransfer ke unit pelayanan PJBD. Pengalihan ini harus diawali
dengan fase transisi sebagai persiapan, yang mungkin berlanjut hingga
dewasa sesuai kebutuhan pasien. Keberadaan pelayanan transisi ini
sangat penting, agar pasien mendapat pelayanan sebaik sebelumnya.
Pelayanan transisi membutuhkan pengorganisasian pelayanan yang
khusus, termasuk ketersediaan perawat spesialis, psikolog, dan pekerja
sosial, mengingat kecemasan dan depresi sering muncul pada pasien
PJBD. Aspek yang harus ditangani umumnya terkait kesehatan mental,
menumbuhkan rasa aman dan menjaga kualitas hidup agar tetap baik.
Unit PJBD dipersiapkan sesuai kebutuhan pasien, termasuk
pelatihan bagi para tenaga dokter, perawat dan teknisi. Untuk dokter
spesialis jantung atau dokter spesialis anak konsultan kardiologi
pediatrik diperlukan pelatihan subspesialistik di bidang PJBD minimal

Panduan Tatalaksana PJBD 5


1 tahun, di senter yang memiliki unit pelayanan tersier PJB pediatrik dan
PJBD lengkap, dengan jumlah kasus yang memadai. Paling sedikit
dibutuhkan 1 senter tersier PJBD untuk setiap 10 juta penduduk, berarti
minimal perlu ada 27 pusat pelayanan PJBD di Indonesia.

Tabel 2.2. Staf dan akses pelayanan yang dibutuhan Unit Khusus PJBD
Jenis staf Jumlah
Dokter Sp.JP/Spesialis lain bersertifikat kompeten memberi >2
pelayanan PJBD dengan kemampuan melakukan dan
menginterpretasi TTE, TEE, CT, CMR pada PJB
Dokter Sp.JP Intervensionis PJB >2
Dokter Sp.JP Subspesialis elektrofisologi pengalaman PJB >2
Dokter Sp.BTKV Subspesialis PJB >2
Dokter Sp.An dengan pengalaman anestesi PJB >2
Akses ke layanan
Dokter Sp.KJ
Dokter Sp.OG pengalaman PJB
Dokter Sp.PD konsultan hematologi
Dokter Sp.PD subspesialis nefrologi
Dokter Sp.P berpengalaman penyakit vaskular paru
Dokter Sp.S
Dokter Sp.BS
Dokter Sp.Genetika
Perawat spesialis jantung dengan subspesilisasi PJBD >2
Pekerja sosial >1
Tim perawatan paliatif >1
CMR = cardiovascular magnetic resonance; CCT = cardiovascular computed tomography;
TEE = transesophageal echocardiography; TTE = transthoracic echocardiography; PJB =
penyakit jantung bawaan, SpJP = spesialis jantung dan pembuluh darah; SpBTKV =
spesialis bedah toraks kardiovaskular; SpP = spesialis paru;SpOG = spesialis obstetric
ginekologi, SpPD = spesialis penyakit dalam; SpS = spesialis saraf, SpBS = spesialis
bedah saraf

Hal yang penting diingat adalah, perawatan pasien PJB merupakan


proses yang berlangsung seumur hidup dan kualitas pelayanannya
harus sebaik pelayanan PJB yang mereka terima di masa kanak kanak.
Untuk itu, perlu disusun perencanaan strategi penanganan jangka
panjang secara individual bagi setiap pasien PJBD, sesuai kondisi

Panduan Tatalaksana PJBD 6


pasien dan jenis kelainannya.Berbagai masalah yang mungkin terjadi
antara lain lesi residual atau sequalae yang memerlukan operasi ulang,
lesi yang memerlukan operasi paliatif atau korektif, hipertensi, aritmia,
stroke, gagal jantung, hipertensi pulmoner (pulmonary hypertension =
PH), endokarditis, intoleransi aktifitas fisik, depresi, penurunan kualitas
hidup, masalah kehamilan yang dapat mengancam hidup maternal
maupun janin, komplikasi koroner, sindrom aortik, kematian mendadak,
kebutuhan obat jangka panjang, penurunan harapan hidup, penurunan
fungsi ginjal, hati, dan paru. Mengingat banyaknya permasalahan yang
mungkin terjadi, maka penanganan multidisiplin mutlak diperlukan.
Pelayanan PJBD terbagi atas 3 tingkat berdasarkan kebutuhan/
kondisi pasien, yaitu:
pasien yang harus ditangani oleh dokter subspesialis di pusat
PJBD di rumah sakit tersier
pasien yang bisa ditangani oleh dokter spesialis jantung di rumah
sakit sekunder
pasien yang bisa dikelola di klinik non-spesialis (dengan
kemudahan akses ke pusat PJBD).
Kompleksitas PJB bukan satu-satunya kriteria untuk menetapkan
pasien PJBD perlu mendapat penanganan di tingkat pelayanan
subspesialis. Pasien dengan PJB anatomis sederhana, dalam keadaan
tertentu mungkin memerlukan perawatan subspesialistik (contohnya
pasien ASD dengan PH), kemudahan akses pelayanan perlu
diupayakan. Karena itu, dianjurkan agar setiap pasien PJBD mendapat
kesempatan minimal sekali dievaluasi di pusat PJBD rumah sakit
tersier, untuk kemudian ditentukan tingkat perawatan dan interval tindak
lanjut yang tepat.
Jejaring layanan PJBD perlu dibangun antara layanan pusat PJBD
dengan layanan spesialis jantung yang seyogyanya ada di setiap rumah
sakit sekunder. Dengan semakin meningkatnya populasi PJBD, akan
lebih banyak pasien yang datang ke spesialis jantung untuk kondisi
akut, seperti aritmia, gagal jantung, atau endokarditis. Pada beberapa
kasus, terapi tidak bisa ditunda, karena kondisi hemodinamik pasien
yang tidak stabil (contohnya pasien pasca operasi Fontan dengan
aritmia supraventrikular yang tidak dapat ditoleransi dengan baik).
Kemudahan untuk berkonsultasi dengan dokter pakar di pusat PJBD
untuk mendiskusikan strategi terapi atau transfer pasien, sangat
dibutuhkan. Sepanjang perjalanan hidup pasien PJBD, membutuhkan

Panduan Tatalaksana PJBD 7


berbagai perencanaan strategi perawatan, termasuk perawatan paliatif
untuk akhir kehidupan.

2.4 Diagnostik
Riwayat kesehatan pasien termasuk informasi rinci tentang operasi
paliatif/reparatif dan intervensi trans-kateter yang pernah dilakukan,
sangat penting dalam pemeriksaan pasien PJBD. Tujuan menganalisis
riwayat kesehatan pasien adalah untuk menilai gejala sekarang dan
masa lalu, serta untuk mencari kekambuhan masalah jantung dan
perubahan terapi yang dilakukan.
Gejala yang paling sering dikeluhkan yaitu intoleransi aktifitas
fisik/olahraga dan palpitasi. Kapasitas fisik yang dinilai sendiri oleh
pasien, terbukti kurang sesuai dengan pengukuran obyektif. Oleh
karena itu, untuk tujuan penilaian intoleransi olahraga baik pada pasien
yang asimtomatik maupun simtomatik, uji latih kardiopulmoner
(cardiopulmonary exercise test = CPET) atau minimal uji latih jantung
(ULJ) penting dilakukan. Selain itu, pasien perlu dimintai keterangan
tentang gaya hidupnya, untuk mendeteksi perubahan progresif dalam
aktivitas sehari-hari guna membatasi subjektivitas analisis gejala. Pada
pasien yang simtomatik, penyebab alternatif seperti anemia, depresi,
kenaikan berat badan dan penyebab penurunan kondisi fisik lainnya
yang tidak terkait dengan defek jantungnya, juga harus ditelusuri dan
segera diatasi.
Pemeriksaan klinis berperan penting, mencakup evaluasi cermat
terhadap setiap perubahan auskultasi, tekanan darah, atau timbulnya
tanda tanda gagal jantung. Elektrokardiogram (EKG) dan pengukuran
saturasi oksigen dengan oksimetri nadi rutin dilakukan, bersamaan
dengan pemeriksaan klinis. Foto Rontgen dada memberikan informasi
tentang perubahan ukuran dan konfigurasi jantung, serta vaskularisasi
paru; pencitraan yang juga rutin dilakukan adalah transthoracal
echocardiography (TTE). Transesophageal echocardiography (TEE),
cardiovascular magnetic resonance (CMR) atau cardiovascular
computed tomography (CCT) hanya dilakukan atas indikasi.
Ekokardiografi lebih unggul dari CMR dalam menilai gradien tekanan
dan tekanan arteri pulmonalis (pulmonary artery pressure = PAP) atau
pendeteksian struktur kecil yang mudah bergerak (contohnya vegetasi).
CMR sangat akurat untuk mengukur volume ventrikel, fraksi ejeksi
(ejection fraction = EF), regurgitasi katup, besar aliran darah paru dan

Panduan Tatalaksana PJBD 8


sistemik, serta penilaian fibrosis miokardium. CCT dengan pemindai
modern bersumber tunggal atau ganda yang dilakukan dengan protokol
hemat dosis, mungkin diperlukan pada indikasi khusus (Tabel 2.3).
Kolaborasi antar pakar multidisipliner penting, pakar pencitraan PJB
harus mendapat umpan balik dari dokter bedah PJB dan intervensionis
PJB atau elektrofisiologis, guna meningkatkan dan mengoptimalkan
kontribusi pencitraan dalam talaksana kasus kasus PJB. Pencitraan
multimodalitas lanjutan ini sebaiknya dilakukan di pusat PJBD, untuk
menghindari pemeriksaan berulang.

2.4.1 Ekokardiografi
Hingga saat ini, ekokardiografi tetap menjadi modalitas pencitraan lini
pertama. Ekokardiografi M-mode, dua dimensi (2D), dan tiga dimensi
(3D) digunakan untuk pencitraan struktur, sedangkan tissue Doppler
dan pencitraan deformasi seperti longitudinal strain dan strain rate
digunakan untuk penilaian fungsi.
Ekokardiografi memberikan informasi tentang anatomi jantung, situs
(termasuk orientasi dan posisi jantung), koneksi atrioventrikular (AV),
katup jantung, dan koneksi ventriculo-arterial (VA). Untuk menilai
morfologi dan fungsi katup jantung, TTE dan jika perlu, TEE merupakan
modalitas pencitraan utama. Juga dalam menilai lesi pirau, seperti
ASD/VSD; ekokardiografi (sering dilengkapi 3D) memungkinkan
tampilan kasat mata, yang memudahkan penilaian ukuran dan bentuk
lesi, serta hubungan dengan struktur sekitarnya.
Ukuran, bentuk, volume dan EF ventrikel dapat diukur dengan TTE.
Tanda-tanda kelebihan beban volume (seperti pada kasus pirau atau
regurgitasi katup), atau kelebihan beban tekanan (jika terjadi
peningkatan beban akhir/afterload), juga mudah dideteksi dengan TTE.
Teknik lama M-mode masih terus digunakan, terutama untuk mengukur
ekskursi sistolik bidang annulus katup trikuspid dan mitral, guna menilai
fungsi sistolik ventrikel. Dalam penilaian fungsi sistolik ventrikel kiri (left
ventricle = LV), ekokardiografi 3D, tissue Doppler dan pencitraan
deformasi 2D terbukti bermanfaat dan layak diintegrasikan dalam
praktik klinik. Meskipun muncul modalitas yang lebih baru,
ekokardiografi masih tetap memegang peran kunci, khususnya dalam
tindak lanjut jangka panjang penilaian fungsi sistolik ventrikel kanan
(right ventricle = RV) atau ventrikel tunggal (univentrikel), akan tetapi,
untuk pengukuran yang lebih akurat CMR lebih unggul.

Panduan Tatalaksana PJBD 9


2.4.2 Cardiovascular magnetic resonance (CMR)
CMR merupakan modalitas penting untuk rekonstruksi anatomi dalam
tiga dimensi, tanpa dibatasi oleh ukuran tubuh atau jendela akustik, dan
dengan cepat meningkatkan resolusi spasial dan temporal. Agar
diperoleh kualitas gambar yang optimal, CMR membutuhkan irama
jantung yang teratur. Namun, pemeriksaan CMR tetap dapat dilakukan
walaupun irama jantung tidak teratur (sering ektopi atau fibrilasi atrial
(atrial fibrillation = AF) dan adanya artefak logam.
CMR adalah metode pencitraan baku emas untuk kuantifikasi
volume dan menjadi alternatif pemeriksaan pada saat ekokardiografi
tidak mendapatkan kualitas yang memadai, atau ketika pengukuran
ekokardiografi di ambang batas/meragukan. Selain itu, kurangnya
radiasi menjadikan alat ini berguna ketika evaluasi serial diperlukan
(misalnya untuk memantau dimensi aorta). CMR memungkinkan
penghitungan aliran darah sistemik dan aliran darah paru dari beberapa
sumber suplai; dengan kombinasi kateterisasi dapat ditentukan tinggi
resistensi vaskular paru (pulmonary vascular resistance = PVR).
Kemampuan mengenali karakteristik fibrosis miokardium merupakan
keunikan CMR, late gadolinium enhancement dapat mengenali fibrosis
fokal dan pencitraan pemetaan T1 untuk fibrosis interstisial. Modalitas
ini semakin banyak dipakai pada PJBD, karena mempunyai nilai
diagnostik dan prognostik. Untuk mengurangi risiko fibrosis sistemik
nefrogenik, gadolinium harus dihindari pada pasien dengan filtrasi
glomerulus rendah (<30 mL/menit/1,73 m2). Oleh karena itu, kadar
kreatinin plasma perlu diperiksa sebelum CMR dilakukan. Meski
dampak klinis belum terlihat, akumulasi gadolinium jangka panjang di
otak terlepas dari bagaimana fungsi ginjalnya, menimbulkan
kekhawatiran dosis kumulatif seumur hidup pada pasien PJB yang
menjalani CMR serial sejak usia muda. Pemeriksaan dengan
gadolinium sebaiknya sangat selektif dan dilakukan di pusat PJBD yang
menggunakan kontras gadolinium makrosiklik yang efek sampingnya
lebih rendah dibanding gadolinium linier chelated.
Pasien PJBD yang menggunakan alat pacu jantung dan defibrillator
(implantable cardioverter defibrillator = ICD) dapat menjalani
pemeriksaan CMR sesuai pedoman, di mana tersedia dukungan lokal.
Pencitraan CMR 3D dapat diintegrasikan ke dalam prosedur
elektrofisiologi (EP) dan intervensi.

Panduan Tatalaksana PJBD 10


Tabel 2.3. Indikasi cardiovascular magnetic resonance (CMR)
• Pengukuran volume dan EF ventrikel (RV subpulmonar/
infundibular, sistemik dan univentrikel)
• Evaluasi obstruksi alur keluar RV (right ventricle outflow tract =
RVOT) dan conduit (saluran penghubung) RV - arteri pulmonalis
• Evaluasi regurgitasi pulmonal (pulmonary regurgitation = PR)
• Evaluasi arteri pulmonalis (stenosis, aneurisma) dan aorta
(aneurisma/diseksi/koarktasio)
• Evaluasi vena sistemik dan vena pulmonalis (anomali koneksi,
obstruksi, anatomi vena koroner pra-prosedur, dll.)
• Evaluasi kolateral dan malformasi arterio-venous (CCT mungkin
lebih superior)
• Evaluasi anomali dan stenosis arteri koroner (CCT lebih superior
untuk mengevaluasi arteri koroner: intramural, menikung tajam,
myocardial bridging dll. serta penilaian plak)
• Deteksi dan kualifikasi iskemia miokard (CMR stress perfusion)
• Evaluasi massa intra- dan ekstrakardiak
• Kuantifikasi massa miokard (LV dan RV)
• Deteksi dan kuantifikasi fibrosis/jaringan parut miokardium (late
gadolinium enhancement, T1 mapping) serta karakteristik
miokardium (fibrosis, perlemakan, deposisi zat besi, dll.)
• Kuantifikasi aliran darah paru dan sistemik (menghitung Qp:Qs)
• Kuantifikasi distribusi perfusi paru kanan/kiri
• Pengukuran aliran darah paru yang berasal dari beberapa sumber
(contohnya pada MAPCAs)
CMR = cardiovascular magnetic resonance; CCT = cardiovascular computed tomography;
EF = ejection fraction; LV = left ventricle; RV = right ventricle PA = pulmonary artery; PR
= pulmonary regurgitation; Qp:Qs = pulmonary to systemic flow ratio; RVOTO = right
ventricular outflow tract obstruction, major aorto-pulmonary collateral arteries = MAPCAs

2.4.3 Cardiovascular computed tomography (CCT)


CCT memiliki resolusi spasial yang tinggi dan waktu akuisisi yang
cepat, sehingga sangat relevan untuk pencitraan pembuluh darah
besar, arteri koroner dan arteri kolateral, serta untuk pencitraan penyakit
parenkim paru. Di banyak senter, CCT merupakan modalitas pencitraan
yang disukai dalam perencanaan implantasi katup trans-kateter. Ukuran
dan fungsi ventrikel bisa dinilai, tetapi dengan resolusi temporal yang
lebih rendah dibandingkan CMR, dan biasanya dengan meningkatkan

Panduan Tatalaksana PJBD 11


dosis radiasi. Oleh karena itu, CCT tidak digunakan serial untuk indikasi
ini. Perkembangan teknologi peralatan CCT secara substantial telah
dapat mengurangi jumlah paparan radiasi hingga <5 mSv untuk
gabungan angiogram CCT koroner, paru dan aorta. Keunggulan ini
membuat CCT lebih menarik untuk pasien PJBD, misalnya pada
penilaian patologi arteri koroner dan penilaian kolateral.
CCT sangat berguna dalam keadaan emergensi, misalnya pada
kasus diseksi aorta, emboli paru, dan abses paravalvular pada
endokarditis, karena keunggulannya dibandingkan ekokardiografi dan
CMR yang kurang rentan terhadap artefak katup prostetik. Pada pasien
dengan katup prostetik (in situ > 3 bulan), fluorine-18-fluorodeoxy-
glucose positron emission tomography berguna untuk diagnosis dini
inflamasi dan infeksi pada katup dan sekitarnya.

2.4.4 Uji latih kardiopulmoner (cardiopulmonary exercise testing =


CPET)
Uji latih jantung (ULJ) berperan penting pada populasi PJBD, di mana
kualitas hidup dan kapasitas fungsional merupakan ukuran kunci
keberhasilan intervensi. CPET dapat menilai kapasitas latihan (VO2max),
efisiensi ventilasi melalui kemiringan rasio ventilasi terhadap luaran
karbon dioksida (VE/VCO2), respon kronotropik dan tekanan darah,
serta aritmia dan desaturasi akibat uji latih, sehingga mampu
memberikan evaluasi kapasitas fungsional dan kebugaran fisik yang
lebih luas. Disamping itu, CPET terbukti memiliki titik akhir yang
berkorelasi baik dengan morbiditas dan mortalitas pasien PJBD. Oleh
karena itu, CPET seharusnya menjadi bagian dari protokol tindak lanjut
jangka panjang. Hasil CPET penting untuk menentukan waktu intervensi
dan intervensi ulangan secara akurat. CPET juga merupakan alat yang
berguna untuk merekomendasikan intensitas aktivitas fisik berdasarkan
resep latihan secara individual.
Tes berjalan 6 menit (6 minute walk test = 6MWT) adalah tes
sederhana lainnya untuk mengukur kapasitas latihan. Pada pasien
PJBD, tes ini berkaitan dengan prognosis pasien.

2.4.5 Kateterisasi jantung


Kateterisasi jantung t erutama disiapkan untuk menjawab pertanyaan
spesifik tentang anatomi dan fisiologi yang meragukan dari evaluasi
non-invasif atau untuk intervensi. Indikasinya meliputi penilaian PVR,

Panduan Tatalaksana PJBD 12


fungsi diastolik ventrikel (termasuk fisiologi konstriktif dan restriktif),
gradien tekanan, kuantifikasi besarnya pirau, angiografi koroner, dan
evaluasi pembuluh darah ekstra-kardiak seperti major aorto-pulmonary
collateral arteries (MAPCAs).
Pada lesi pirau dengan gambaran ekokardiografi Doppler
memperlihatkan PH, kateterisasi termasuk uji vasoreaktivitas, penting
dilakukan untuk membuat keputusan apakah pirau masih bisa ditutup
atau tidak. Inhalasi nitrit oksida paling banyak digunakan untuk tujuan
ini, namun di negara berkembang, oksigen lebih banyak dipakai.
Estimasi PVR pada lesi pirau membutuhkan perhitungan aliran darah
paru yang akurat, menggunakan prinsip Fick. Metode ini dengan
pengukuran konsumsi oksigen merupakan cara penghitungan curah
jantung yang paling akurat.
Sebelum operasi, arteri koroner perlu dievaluasi dengan CCT atau
angiografi koroner pada lelaki usia > 40 tahun atau perempuan pasca-
menopause, dan pada pasien dengan gejala penyakit jantung koroner
atau dengan lebih dari satu faktor risikonya.

2.4.6 Biomarker
Berbagai biomarker telah dilaporkan dalam kaitannya dengan kejadian
buruk pada populasi PJB, termasuk neurohormon dan penanda cedera
miokardium (high-sensitivity troponin) atau peradangan (high-sensitivity
C-reactive protein). Di antara neuro-hormon tersebut, peptida natriuretik
(B-type natriuretic peptide= BNP) dan N-terminal-pro-BNP/NT-pro-BNP)
adalah yang terpenting bagi pasien PJBD, karena membawa informasi
prognostik. Tetapi kurang berguna untuk mendiagnosis gagal jantung
pada berbagai jenis PJB, karena variabilitas ambang batas bergantung
pada lesi yang mendasarinya dan jenis operasi reparasi yang dilakukan.
Kegunaannya lebih jelas pada pasien dengan sirkulasi biventrikel, tidak
pada sirkulasi Fontan. Pemeriksaan serial peptida natriuretik berguna
dalam mengidentifikasi pasien yang berisiko mengalami perburukan.
Tetapi pada PJB sianotik, peptida natriuretik dapat meningkat karena
efek hipoksia sekresi peptida.

Panduan Tatalaksana PJBD 13


2.5 Pertimbangan Terapi
2.5.1 Gagal Jantung
Gagal jantung merupakan masalah yang sering ditemukan pada
populasi PJBD (20-50%), dan merupakan penyebab utama kematian.
Insidensnya terus meningkat dan seringkali tidak terdeteksi. Pasien
dengan risiko tinggi gagal jantung, membutuhkan tatalaksana jangka
panjang yang sistematis dan penyaringan diagnosis yang baik, karena
gejala gagal jantung sering muncul terlambat. Setiap kelainan
hemodinamik (termasuk aritmia yang berpotensi menyebabkan gagal
jantung dan dapat diatasi dengan intervensi atau pembedahan) harus
dicari terlebih dahulu, jika memungkinkan diobati lebih awal.
Karena tidak ada panduan tatalaksana khusus, maka untuk terapi
medis gagal jantung dengan penyakit penyerta seperti diabetes mellitus,
AF, defisiensi zat besi dan kakeksia, digunakan panduan tatalaksana
seperti pada penyakit jantung didapat. Namun perlu diingat bahwa,
pada pasien PJB, patofisiologi disfungsi kardiorespirasi seringkali
berbeda dengan penyakit jantung didapat, khususnya pada pasien
dengan RV sistemik, disfungsi ventrikel subpulmonal, atau fisiologi
univentrikel. Patofisiologi gagal jantung pada PJBD dengan disfungsi
sistolik ventrikel memiliki spektrum penyebab yang luas.
Ventrikel sistemik maupun ventrikel subpulmonik baik morfologi RV
atau LV, atau fisiologi univentrikel, dapat mengalami beban volume
ataupun beban tekanan berlebihan secara kronis, sehingga terjadi
disfungsi ventrikel yang progresif. Perubahan struktur miokardium (non-
compaction) dan saling ketergantungan antar ventrikel, dapat
mengganggu fungsi sistolik. Cedera miokardium (akibat kurangnya
proteksi miokardium saat pemakaian mesin pintas jantung-paru,
ventrikulotomi, dan hipoksia kronis) dapat terjadi pada pasien dengan
PJB. Selain itu, penyakit jantung iskemik yang seringkali berhubungan
dengan proses penuaan atau kelainan koroner kongenital, serta
takiaritmia yang berlangsung lama, juga dapat menjadi penyebab
disfungsi sistolik ventrikel sistemik dan ventrikel subpulmonal. Sedikit
data yang tersedia tentang pengobatan gagal jantung pada PJBD, hasil
penelitian seringkali tidak meyakinkan karena sampelnya kecil.
Akibatnya, rekomendasi sebagian besar didasarkan pada pengalaman
klinis atau pendapat para pakar.

Panduan Tatalaksana PJBD 14


Pada sirkulasi biventrikuler, pasien dengan disfungsi LV atau RV
sistemik umumnya diatasi dengan terapi gagal jantung konvensional.
Diuretik dapat diberikan untuk meringankan gejala. Apakah
penggunaan penghambat sistem renin-angiotensin aldosteron atau
penghambat beta (beta blocker) jangka panjang mempengaruhi luaran
klinis, masih belum diketahui pasti. Tatalaksana pasien simtomatik pada
disfungsi univentrikuler (contohnya pada sirkulasi Fontan), atau pada
kasus pirau kanan ke kiri (right to left = R-L) yang menetap, harus
dimulai dengan hati-hati, perhatikan dengan seksama keseimbangan
antara beban awal (preload) dengan beban akhir (afterload) sistemik.
Pada PJBD dengan gagal jantung, penggunaan sacubitril/valsartan
belum dapat diberikan sebagai rekomendasi, walaupun berdasarkan
pedoman ESC dipakai sebagai terapi gagal jantung kronis dan dapat
menurunkan mortalitas dan morbiditas. Gagal jantung dengan fungsi EF
yang baik, juga sering ditemukan pada pasien PJBD. Rekomendasi
terapi mengikuti panduan tatalaksana gagal jantung yang dikeluarkan
oleh PERKI secara umum. Selain terapi medikamentosa, terapi
resinkronisasi jantung (Cardiac Resynchronization Therapy = CRT)
semakin diminati untuk penanganan pasien PJBD dengan gagal
jantung, meskipun bukti ilmiah masih sedikit dalam hal indikasi dan
luaran. Manfaat CRT pada PJB dapat beragam, bergantung pada
substrat struktural dan fungsi yang mendasari, seperti anatomi dari
ventrikel sistemik (RV/LV, atau univentrikuler), keberadaan dan derajat
regurgitasi katup AV pada ventrikel sistemik, penyakit miokardium
primer atau jaringan parut, dan tipe gangguan konduksi pada pasien.
Insidens gagal jantung akut pada PJBD diperkirakan akan meningkat
seiring waktu, karena bertambahnya usia dan penyakit penyerta yang
lebih rumit. Pengetahuan tentang penggunaan inotropik yang tepat,
ketersediaan extra-corporal membrane oxygenation (ECMO), dan
teknik bridging lanjutan, adalah syarat minimal yang diperlukan untuk
secara adekuat mendukung proses merujuk pasien ke pusat PJBD di
negara maju; hal semacam ini agaknya sulit diterapkan di negara
berkembang.
Di negara maju, transplantasi jantung juga menjadi pertimbangan
sebagai pilihan terapi untuk gagal jantung terminal. Luaran setelah
operasi transplantasi terus membaik, terutama pada pasien PJBD,
tetapi angka mortalitas perioperatif masih lebih tinggi dibandingkan
operasi jantung yang lain. Hal ini terutama berhubungan dengan operasi

Panduan Tatalaksana PJBD 15


jantung sebelumnya, anatomi dan fisiologi yang kompleks, dan penyakit
penyerta. Meningkatnya penggunaan alat bantu ventrikel (ventricular
assist device = VAD) dapat menjembatani beberapa kasus ke
transplantasi jantung. Pada pasien dengan anatomi yang sangat rumit
atau memiliki kadar antibodi yang tinggi terhadap human leucocyte
antigen tidak dapat dilakukan transplantasi, maka VAD dapat menjadi
pilihan terapi akhir. Pada beberapa pasien, transplantasi multi-organ
diperlukan, misalnya transplantasi jantung-paru pada PJBD dengan PH
yang ireversibel (sindrom Eissenmenger). Transplantasi jantung-hati
secara simultan dapat dilakukan pada pasien Fontan dengan kegagalan
fungsi hati atau pada pasien dengan peningkatan tekanan vena
hepatika kronis akibat gagal jantung kanan (contohnya pada anomali
Ebstein). Namun, kurangnya donor organ menjadi keterbatasan utama.
Pada semua kasus transplantasi jantung direkomendasikan untuk
menjalani evaluasi tepat waktu, yang dilakukan oleh praktisi di pusat
rujukan transplantasi. Perencanaan tatalaksana lebih lanjut, termasuk
tatalaksana paliatif, harus ditawarkan pada semua pasien dengan gagal
jantung berat.

2.5.2 Aritmia dan henti jantung mendadak


2.5.2.1 Substrat aritmia
Berbagai spektrum aritmia dapat ditemui pada PJBD. Namun, beberapa
substrat aritmia bawaan berhubungan dengan malformasi jantung
(Tabel 2.4). Harapan hidup yang lebih lama (sehubungan dengan
paparan faktor risiko untuk substrat aritmogenik) meningkatkan angka
kejadian aritmia terkait remodeling struktural (contohnya AF), yang
mungkin terjadi pada usia lebih muda dibandingkan populasi normal.
Aritmia lain berhubungan dengan jenis dan waktu reparasi PJB.
Insisi atrium kanan (right atrium = RA) dan remodeling sekunder akibat
beban hemodinamik yang berlebihan, berkontribusi pada tingginya
prevalensi takikardia atrial (atrial tachycardia = AT). Paling sering
ditemui adalah intra-atrial reentrant tachycardia (IART), khususnya
cavotricuspid isthmus-dependent AF. Laju atrial antara 150-250x/menit
dapat menyebabkan konduksi AV yang cepat, gangguan hemodinamik,
dan kematian mendadak. Timbulnya takikardia ventrikel (ventricle
tachycardia = VT) monomorfik juga ditentukan oleh jenis PJB dan tipe
operasi yang dilakukan. Bagian terpenting dari sirkuit macro-reentry

Panduan Tatalaksana PJBD 16


Tabel 2.4. Estimasi risiko untuk kejadian aritmia dan bradikardia.

AF = atrial fibrillation; ASD = atrial septal defect; AV = atrioventricular; AVRT = atrioventricular reentrant
tachycardia; AVSD = atrioventricular septal defect; ccTGA = congenitally corrected transposition of the
great arteries; CHD = congenital heart disease; EAT = ectopic atrial tachycardia; IART = intraatrial
reentrant tachycardia; SCD = sudden cardiac death; SND = sinus node dysfunction; TGA =
transposition of the great arteries; TOF = tetralogy of Fallot; VSD = ventricular septal defect; VT =
ventricular tachycardia .
a
Mempertimbangkan prevalensi VSD yang tinggi, maka risiko keseluruhan pada pasien
VSD yang tidak diseleksi dinyatakan minimal.
b
Kematian mendadak mungkin akibat aritmia supraventrikuler dengan konduksi AV cepat
c
Estimasi risiko VT lebih tinggi pada TGA kompleks
d
Non-aritmik.

yang biasanya terletak di dalam isthmus dapat dikenali dengan baik


secara anatomis, bagian ini diliputi oleh jaringan parut dan bahan patch
operasi. Di sisi lain, dapat terjadi perubahan elektrofisiologi yang lebih
rumit pada pasien dengan disfungsi ventrikel sistemik atau subpulmonar
yang progresif. Perubahan ini mencakup remodeling saluran ion,
gangguan pengaturan kalsium, dan remodeling matriks ekstraseluler

Panduan Tatalaksana PJBD 17


yang menyebabkan aritmia berbeda, termasuk VT polimorfik dan
fibrilasi ventrikel (ventricle fibrillation = VF).

2.5.2.2 Penilaian dan tatalaksana pasien yang diduga atau


terdokumentasi aritmia
Pada pasien simtomatik yang tidak terdokumentasi aritmia saat datang,
evaluasi bergantung pada frekuensi gejala dan kondisi lain (misalnya
hasil CPET).
Pada pasien yang asimtomatik, manfaat evaluasi berkala selain EKG
(seperti Holter berkala) diragukan; karena meskipun prevalensi aritmia
cukup tinggi, namun jarang mengubah tatalaksana pasien.
Pada semua pasien, evaluasi untuk mencari penyebab aritmia yang
reversibel (contohnya hipertiroid, proses inflamasi) dan gangguan
hemodinamik baik baru maupun residual sangat penting. Aritmia yang
menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik perlu ditangani segera,
tanpa peduli durasi aritmia/antikoagulasi sesuai rekomendasi. Pasca
konversi, sinus arrest/bradikardia dapat terjadi, kesiapan pacu jantung
perlu dipertimbangkan pada pasien dengan risiko disfungsi nodus sino-
atrial (SA node = SAN) (Tabel 2.4).
Jika IART/AF ditoleransi dan berlangsung 48 jam, maka sebelum
kardioversi dilakukan, kemungkinan adanya trombus intrakardiak perlu
disingkirkan (dengan TEE) dan/atau pemberian antikoagulan yang
sesuai perlu dimulai (untuk >3 minggu) disertai pemberian obat kontrol
laju nadi seperti beta blocker atau penghambat kanal kalsium (calcium
channel blocker = CCB) bila fungsi ventrikel sistemik normal dan tidak
ada pre-eksitasi.
Pemeliharaan irama sinus adalah tujuan pada semua pasien. Pada
beberapa kasus, ablasi kateter direkomendasikan sebagai terapi lini
pertama dan lebih disukai daripada pengobatan farmakologi jangka
panjang, karena obat antiaritmia sering dikaitkan dengan efek inotropik
dan/atau dromotropik negatif. Obat antiaritmia seperti golongan kelas IC
dapat memperlambat laju IART tanpa menghalangi konduksi AV,
menyebabkan konduksi 1:1 disertai perburukan hemodinamik.
Amiodaron dapat dipertimbangkan untuk mencegah kekambuhan AT/
AF pada pasien PJB dengan disfungsi ventrikel sistemik, hipertrofi
ventrikel sistemik, atau penyakit jantung koroner, apabila ablasi tidak
berhasil atau tidak ada pilihan lainnya. Efek samping amiodaron sering
terjadi, dan harus digunakan dengan hati-hati pada PJB sianotik, berat

Panduan Tatalaksana PJBD 18


badan rendah, penyakit hati, gangguan tiroid, atau paru, atau interval
QT yang memanjang. Terapi amiodaron jangka panjang tidak
disarankan pada pasien PJB usia muda. Untuk tatalaksana aritmia
kronis yang optimal, direkomendasikan merujuk pasien ke pusat PJBD
yang memiliki tim multidisiplin, khususnya pakar aritmia terkait PJB.

2.5.2.3 Disfungsi SAN, blok AV dan kelambatan konduksi infra His


Holter berkala untuk pasien asimtomatik yang berisiko mengalami
disfungsi SAN dan blok AV sebaiknya dipertimbangkan. Disfungsi SAN/
bradikardi kronis dengan hemodinamik atrium yang tidak efektif, dapat
memengaruhi remodeling atrium dan memfasilitasi terjadinya IART.
Pasien dengan blok AV pasca operasi merupakan kelompok risiko tinggi
henti jantung mendadak. Oleh karena itu, disarankan indikasi yang lebih
luas untuk implantasi pacu jantung dibandingkan pasien dengan
struktural jantung yang normal.
Pada pasien PJBD sirkulasi biventrikel dengan LV sistemik, indikasi
pemasangan CRT mengikuti kriteria standar. Sebagai catatan, pacu
jantung ventrikel konvensional adalah penyebab utama disfungsi
ventrikel sistemik bukan blok cabang berkas His. Oleh karena itu, untuk
pasien PJBD, CRT direkomendasikan bila EF sistemik 35% dan QRS
sempit, perlu diantisipasi kebutuhan pacing yang signifikan dan
penggantian CRT di masa yang akan datang. Sebagai alternatif, pacing
pada berkas His dapat dipertimbangkan.
Manfaat CRT pada PJB bervariasi bergantung pada jenis defek dan
mungkin anatominya, serta penyebab disinkroni (misalnya RV sistemik
atau univentrikel, regurgitasi katup AV, jaringan parut). Secara umum,
durasi QRS saja mungkin tidak cukup sebagai prediktor, data tindak
lanjut masih terbatas. Selain itu, torakotomi atau implantasi lead secara
hibrid sering diperlukan, data tentang seberapa lama CRT dapat
bertahan masih kurang.

2.5.2.4 Henti jantung mendadak dan stratifikasi risiko


Henti jantung mendadak terkait aritmia ventrikel pada PJBD adalah hal
yang penting (7-26% dari total kematian mendadak orang dewasa).
Meskipun kejadiannya pada populasi PJB secara umum relatif rendah
(<0,1% per tahun), beberapa defek menempatkan pasien pada risiko
yang lebih tinggi, dengan beberapa substrat penyakit yang spesifik dan

Panduan Tatalaksana PJBD 19


faktor risiko (Tabel 2.4). Mengidentifikasi pasien yang berisiko
mengalami henti jantung mendadak tetap menjadi tantangan.
Penggunaan ICD untuk pencegahan primer dan sekunder henti
jantung mendadak pada pasien fisiologi biventrikel dengan LV sistemik,
mengikuti kriteria standar. Obat antiaritmia dapat digunakan sebagai
tambahan, untuk mengurangi beban aritmia ventrikel. Namun, manfaat
ICD dalam pencegahan primer pada RV sistemik atau univentrikel
belum banyak diketahui.
Dengan demikian, kecuali untuk pasien tetralogy of Fallot (TOF),
pedoman khusus mengenai pemakaian ICD sebagai pencegahan
primer pada PJB tetap sulit disimpulkan. Pemasangan ICD trans-vena
telah banyak digunakan, tetapi pada pasien dengan akses vena yang
terbatas atau pirau intrakardiak, ICD subkutan dapat menjadi alternatif.
Namun perlu diingat bahwa, tidak semua pasien memenuhi syarat, ada
risiko sensing yang tidak tepat dan kurangnya pacing anti-takikardia/
antibradikardia.
Kegunaan programmed electrical stimulation (PES) pada pasien
asimtomatik dengan PJB masih belum jelas. Namun, cukup beralasan
bila digunakan pada pasien dengan insisi ventrikel dan/atau substrat
untuk re-entry ventrikel (misalnya pada TOF yang sudah direparasi).
Penting untuk mengenali penyebab lain dari henti jantung mendadak,
apakah karena bradikardi/blok AV total, aritmia ventrikel yang diinduksi
bradikardia dengan atau tanpa QT yang memanjang, atau karena IART/
AF dengan konduksi cepat.

Tabel 2.5. Rekomendasi terapi aritmia pada PJBD


Rekomendasi Kelas Level
Pasien PJBD sedang/berat (Tabel 2.1) terdokumentasi I C
aritmia, direkomendasikan untuk dirujuk ke pusat PJBD
yang memiliki tim multidisiplin, termasuk pakar PJBD dan
pakar aritmia pada PJBD.
Pasien PJBD terdokumentasi aritmia/berisiko tinggi aritmia I C
bila diintervensi (contoh pasien ASD usia lebih tua yang
akan ditutup trans-kateter/bedah), direkomendasikan
untuk dirujuk ke pusat PJBD yang memiliki tim multidisiplin,
termasuk pakar intervensi dan pakar aritmia pada PJB.

Panduan Tatalaksana PJBD 20


Pasien PJBD ringan dengan SVT (AVNRT/AVRT/AT/ I C
IART) sustained berulang yang simtomatis/SVT berpotensi
henti jantung mendadak (Tabel 2.4), direkomendasikan
untuk ablasi kateter sebagai pilihan dibandingkan terapi
medis jangka panjang.
Pasien PJBD sedang/berat simtomatik dengan SVT IIa C
(AVNRT/AVRT/AT/IART) sustained berulang/berpotensi
henti jantung mendadak (Tabel 2.4), sebaiknya
dipertimbangkan untuk ablasi kateter, asalkan prosedur
dilakukan di rumah sakit yang berpengalaman untuk
tindakan tersebut.
Pasien PJBD dengan VT monomorfik berulang, VT yang I C
menetap, atau mengalami electrical storm yang tidak dapat
diatasi dengan terapi medis atau pemrograman ulang ICD,
direkomendasikan untuk ablasi kateter sebagai terapi
tambahan disamping ICD.
Pasien PJBD dengan VT monomorfik menetap yang IIa C
simtomatik, gagal diterapi dengan obat, ablasi kateter
sebaiknya dipertimbangkan, asalkan dilakukan di rumah
sakit yang berpengalaman untuk tindakan tersebut.
Implantable cardiac defibrillator (ICD)
Pasien PJBD penyintas henti jantung (akibat VF/VT I C
dengan perburukan hemodinamik), setelah dicari
penyebabnya dan diatasi penyebab yang dapat diperbaiki,
direkomendasikan untuk implantasi ICD.
Pasien PJBD dengan VT yang menetap, setelah evaluasi I C
hemodinamik dan perbaikan sesuai indikasi,
direkomendasikan implantasi ICD. Studi EP diperlukan
guna mengidentifikasi pasien yang mungkin mendapat
manfaat dari ablasi kateter/bedah atau terapi alternatif lain
yang rasional.
Pasien PJBD fisiologi biventrikular - LV sistemik dengan IIa C
gejala gagal jantung (NYHA II/III) dan EF <35% meskipun
sudah 3 bulan diterapi medikamentosa yang optimal,
sebaiknya dipertimbangkan untuk implantasi ICD
dengan harapan pasien bertahan hidup >1 tahun dengan
status fungsional yang baik
Pasien PJB dengan sinkop yang tak jelas penyebabnya, IIa C
dicurigai akibat aritmia dan disfungsi ventrikel lanjut atau

Panduan Tatalaksana PJBD 21


VT/VF yang dapat diinduksi pada PES, sebaiknya
dipertimbangkan implantasi ICD
Pasien TOF dengan beberapa faktor risiko henti jantung IIa C
mendadak, seperti disfungsi LV, VT tidak menetap yang
simptomatis, durasi QRS 180ms, jaringan parut RV luas
pada CMR, atau VT yang dapat diinduksi pada PES,
sebaiknya dipertimbangkan implantasi ICD
Pasien dengan disfungsi berat RV sistemik (EF <35%) IIb C
atau univentrikel dengan faktor risiko tambahan, dapat
dipertimbangkan implantasi ICD.
Pacu Jantung (pacemaker = PM)
Pasien PJBD dengan sindrom bradi-takikardia, jika ablasi IIa C
untuk mencegah IART gagal/tidak memungkinkan,
sebaiknya dipertimbangkan untuk implantasi PM
Pasien PJBD berat dengan sinus/junctional bradikardia IIa C
(DJ siang hari <40/menit/ jeda > 3 detik), sebaiknya
dipertimbangkan untuk implantasi PM
Pasien PJBD dengan hemodinamik terganggu akibat sinus IIa C
bradikardia/hilangnya sinkronisasi AV, sebaiknya
dipertimbangkan untuk implantasi PM
Pasien PJBD sedang dengan sinus/junctional bradikardia IIb C
(DJ siang hari <40/menit/jeda > 3 detik), dapat
dipertimbangkan untuk implantasi PM
PJBD = penyakit jantung bawaan dewasa; ASD = atrial septal defect; AT = atrial
tachycardia; AV = atrioventricular; SVT = supraventricular tachycardia;AVNRT =
atrioventricular node reentrant tachycardia; AVRT = atrioventricular reentrant tachycardia;
IART = intra-atrial reentrant tachycardia; CMR = cardio-vascular magnetic resonance; EF
= ejection fraction; EP = electrophysiology ; ICD = implantable cardioverter defibrillator;
PM = pacemaker; LV = left ventricle; RV = right ventricle; NYHA = New York Heart
Association; TGA = transposition of the great arteries; TOF = tetralogy of Fallot; VF =
ventricular fibrillation; VT = ventricular tachycardia; DJ = denyut jantung

2.5.3 Hipertensi pulmoner (pulmonary hypertension = PH)

2.5.3.1 Definisi dan klasifikasi


Definisi PH terbaru adalah: peningkatan tekanan rerata PA >20mmHg.
Diagnosis PH pra-kapiler atau hipertensi arteri pulmonal (pulmonary
arterial hypertension = PAH) ditegakkan dengan adanya peningkatan
pulmonary vascular resistance (PVR) 3 Wood Unit (WU) (Tabel 2.6).

Panduan Tatalaksana PJBD 22


PH merupakan faktor prognostik penting pada pasien PJBD,
khususnya pada kehamilan, atau akan dilakukan operasi reparasi
jantung atau operasi besar lainnya. Peningkatan PVR pada kelompok
ini disebabkan oleh obstruksi vaskular paru yang dipicu oleh latar
belakang genetika, mutasi gen, stres gesekan (shear stress) pembuluh
darah, atau faktor lingkungan.
Penting untuk membedakan PAH yang disebabkan oleh PJB (PAH
pra-kapiler) dengan PAH akibat peningkatan tekanan pengisian LV >15
mmHg (PH pasca-kapiler yang disebabkan oleh transmisi pasif tekanan
pengisian LV); karena terapi PAH tidak akan memberikan manfaat yang
optimal bagi pasien dengan PH pasca-kapiler.

Tabel 2.6. Definisi subtipe PH dan kejadiannya pada PJBD


Definisi Karakteristik Kondisi klinis
hemodinamik
PH Rerata PAP > 20 Semua
mmHg
PH Rerata PAP > 20 - Lesi pirau, sebelum dan
pra-kapiler = mmHg sesudah perbaikan (termasuk
PAH PAWP 15 mmHg sindrom Eisenmenger)
PVR 3 WU - PJB kompleks (misalnya UVH,
PAH segmental)
PH Rerata PAP > 20 - Disfungsi ventrikel sistemik
pasca-kapiler mmHg
- Disfungsi katup AV sistemik
berdiri sendiri PAWP > 15 mmHg
PVR < 3 WU - Obstruksi vena
(isolated)
- Cor triatriatum
PH kombinasi Rerata PAP > 20 - Semua kondisi klinis pada PH
pra + pasca mmHg pasca-kapiler
kapiler PAWP > 15 mmHg - Semua kondisi klinis pada PH
PVR 3 WU pasca-kapiler disertai lesi
pirau/PJB kompleks
PJB = penyakit jantung bawaan; AVV = atrioventricular valve; PAH = pulmonary arterial
hypertension; PAP = pulmonary artery pressure; PAWP = pulmonary artery wedge
pressure; PH = pulmonary hypertension; PVR = pulmonary vascular resistance; UVH =
univentricular heart; WU = Wood units.

Subtipe klinis dari PAH-PJB adalah PAH dengan pirau L-R, sindrom
Eisenmenger, lesi yang telah direparasi, dan PAH yang muncul secara

Panduan Tatalaksana PJBD 23


kebetulan bersamaan dengan PJB defek kecil. Sirkulasi Fontan adalah
kondisi lain dengan penyakit vaskular paru (pulmonary vascular disease
= PVD) yang terkadang meningkatkan PVR. Tetapi PAH pada pasien
Fontan lebih sering disebabkan oleh masalah pasca-kapiler (akibat
peningkatan tekanan pengisian ventrikel dan/atau regurgitasi katup AV).
Pada PJB kompleks, PAH bisa terjadi hanya pada segmen tertentu dari
sistem vaskular paru (PAH segmental), paling sering ditemukan pada
pulmonal atresia (PA) dengan ventricular septal defect (VSD).
Meskipun PAH-PJB dapat terjadi pada semua jenis kelamin dari
berbagai usia, namun penyakit ini lebih sering ditemukan pada
perempuan, meningkat dengan bertambahnya umur biologis dan usia
penutupan defek. Bias jenis kelamin ini menghilang pada PAH-PJBD
setelah defek diperbaiki. Sebuah studi melaporkan bahwa, prevalensi
PAH sebesar 3.2% dari pasien PJB atau 100 per juta populasi dewasa
pada umumnya.

2.5.3.2 Diagnosis
Tabel 2.6 memperlihatkan definisi dan klasifikasi PH terbaru disertai
kondisi klinis PJBD. Berdasarkan definisi tersebut, disebut PH pra-
kapiler bila rerata PAP > 20 mmHg dengan PVR 3 WU.

2.5.3.2.1 Pemeriksaan diagnostik PH pada PJBD


Pemeriksaan diagnostik meliputi riwayat medis, pemeriksaan fisik,
fungsi paru, analisis gas darah arteri, pemeriksaan laboratorium lainnya
(termasuk hitung jenis total sel darah, kadar besi serum, hematokrit,
skiring penyakit infeksius, dan pengukuran NT-pro-BNP) dan pencitraan
(khususnya ekokardiografi),
Pada umumnya, kateterisasi jantung kanan dengan pengukuran
saturasi oksigen diperlukan, untuk membuat keputusan penting seperti
kapan terapi vasodilator dimulai dan ditindak lanjuti, kehamilan, maupun
pembedahan. Akan tetapi, ambang batas untuk kateterisasi pada
pasien sindrom Eisenmenger lebih tinggi, karena umumnya penilaian
hemodinamik invasif tidak dibutuhkan untuk menentukan intervensi.
Karena kadar hematokrit yang tinggi dapat mengakibatkan peningkatan
PVR, maka hal ini perlu diperhatikan.

Panduan Tatalaksana PJBD 24


2.5.3.2.2 Penilaian risiko
Luaran pasien PAH-PJBD kini membaik dengan perkembangan terapi
medikamentosa, tatalaksana bedah dan perioperatif, serta pendekatan
multidisiplin. Akhir akhir ini dibuktikan bahwa, luaran pasien PAH-PJBD
lebih baik dibandingkan PAH idiopatik, namun tetap bergantung pada
subset PH. PAH yang terjadi pada defek kecil, menunjukan kemiripan
hasil dengan PAH idiopatik, yang kemungkinan disebabkan oleh
kelainan proliferatif. PAH pasca penutupan defek, prognosisnya lebih
buruk.

2.5.3.3 Tatalaksana PAH pada PJBD


2.5.3.3.1 Tim Pakar
Tatalaksana PAH-PJBD yang sukses membutuhkan penangan tim
multidisiplin, yang memiliki keahlian dalam bidang pencitraan PJB,
pulmonologi (penyakit vaskular paru), hematologi, penyakit infeksius,
obstetri, anestesi, neonatologi, bedah toraks kardiovaskular (BTKV)
bidang PJB, spesialis genetika dan tenaga perawat khusus.

2.5.3.3.2 Penanganan umum


Penanganan umum meliputi dukungan sosial dan psikologi, vaksinasi,
serta menghindari stres fisik; tindak lanjut harus direncanakan secara
teratur. Risiko kehamilan pada pasien dengan PAH sangat tinggi, jadi
harus dihindari. Pemberian oksigen terus menerus direkomendasikan
bila tekanan oksigen dalam darah konsisten <60 mmHg, kecuali pada
pasien Eisenmenger yang hanya direkomendasikan bila dibuktikan
dapat meningkatkan saturasi oksigen dan perbaikan simtom secara
bermakna.

2.5.3.3.3 Antikoagulan
Antikoagulan dengan antagonis vitamin K pada PAH-PJB yang tidak
disertai aritmia atrial, katup mekanik, atau prostesis vaskular umumnya
tidak direkomendasikan, dan hanya diputuskan sesuai kondisi spesifik
pasien (misalnya terdapat aneurisma PA disertai trombus atau terdapat
riwayat trombo-emboli). Tidak ada data mengenai penggunaan novel
oral anticoagulants = NOACs).
Pada pasien dengan sindrom Eisenmenger, tidak cukup data yang
mendukung penggunaan antikoagulan, namun antikoagulan oral

Panduan Tatalaksana PJBD 25


beralasan untuk diberikan pada pasien dengan aritmia atrial dan dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan trombosis atau emboli paru yang
mempunyai risiko perdarahan rendah. Karena risiko perdarahan
meningkat pada pasien sianotik, maka penggunaan antikoagulan oral
maupun antiplatelet harus dipertimbangkan secara hati-hati.

2.5.3.3.4 Penutupan pirau


Oleh karena shear stress pada endotel arteri pulmonalis dapat memicu
PH, maka intervensi untuk menutup pirau yang bermakna perlu segera
dilakukan. Ambang batas PVR untuk intervensi menutup pirau L-R
tanpa gagal jantung kanan, berbeda untuk setiap lesi pirau (lihat bagian
3.1-3.4). Meskipun begitu, keputusan untuk menutup pirau dilakukan
dengan mempertimbangkan seluruh aspek, tidak hanya berdasarkan
gambaran hemodinamik yang didapat dari katerisasi jantung, dan
keputusan tersebut hanya dapat ditentukan oleh pakar PJBD.
Tidak ada bukti penelitian prospektif bahwa pendekatan treat-and-
repair pada pasien PAH-PJB memberikan manfaat jangka panjang,
demikian halnya mengenai manfaat tes vasoreaktif, tes penutupan,
maupun biopsi paru untuk penentuan operabilitas.

2.5.3.3.5 Terapi PAH


Terapi terkini memberikan manfaat bagi pasien sindrom Eisenmenger
dan kondisi PAH-PJB lainnya. Menurut guideline ESC/ERS (tahun
2015): PAH (termasuk sindrom Eisenmenger), merupakan kondisi risiko
menengah sampai tinggi, dan membutuhkan pendekatan proaktif
menggunakan kombinasi terapi inisial/sekuensial dan prostasiklin
parenteral, yang memberikan efek terbaik apabila dimulai dini. Namun,
terapi parenteral i.v sentral berisiko emboli paradoksikal dan infeksi
pada pasien sindrom Eisenmenger/pirau R-L lainnya. Pada kondisi ini,
pemberian terapi secara subkutan atau inhalasi lebih umum dipilih.
Pada pasien PAH yang memenuhi kriteria responsif terhadap
vasodilator (penurunan akut PAP rerata >10 mmHg dan tekanan sistolik
<40 mmHg dengan inhalasi nitrit oxida), kemungkinan bisa diterapi
hanya menggunakan CCB. Sayangnya, pasien dengan kriteria ini
sangat jarang pada PJBD. Tes vasoreaktif umum (general) tidak
direkomendasikan pada pasien PAH-PJB.
Penggunaan terapi oksigen jangka panjang di rumah mungkin dapat
mengurangi simptom, namun tidak memperbaiki angka kelangsungan

Panduan Tatalaksana PJBD 26


hidup pasien Eisenmenger. Eritositosis sekunder bermanfaat untuk
transpor dan pengantaran oksigen yang adekuat, dan flebotomi rutin
harus dihindari (lihat bagian 3.4.8.).
Antagonis reseptor endotelin (endothelin receptor antagonist = ERA
misalnya bosentan) telah menunjukan perbaikan 6MWT dan
menurunkan PVR setelah 16 minggu pengobatan pada pasien sindrom
Eisenmenger kelas fungsional III kriteria World Health Organization
(WHO). Walaupun manfaat bosentan terbukti memperbaiki kapasitas
latihan dan kualitas hidup untuk jangka yang lama, namun efek terhadap
mortalitas belum terdokumentasi. Pengalaman lain penggunaan ERAs
yang disertai penghambat fosfodiestrase tipe 5 (PDE-5), sildenafil dan
tadalafil, menunjukkan perbaikan fungsional dan hemodinamik pada
pasien dengan PAH-PJB dan sindrom Eisenmenger, walaupun bukti
yang ada saat ini masih kurang kuat. Pengalaman pemakaian obat-
obatan PAH terbaru (macitentan, selexipag, atau riociguat) pada pasien
PJB masih sangat terbatas. Meski pasien dengan lesi sederhana yang
telah direparasi menunjukan benefit serupa dengan pasien PAH
idiopatik, namun untuk pasien sindrom Eisenmenger data masih sangat
terbatas. Randomized controlled trial (RCT) terbaru yang menilai efikasi
macitentan dalam memperbaiki 6MWT pada sindrom Eisenmenger,
hasilnya netral.
Kebanyakan pusat PJBD menerapkan pendekatan terapi sekuensial
untuk sindrom Eisenmenger, dimulai dengan ERA oral atau
penghambat PDE-5 yang kemudian ditingkatkan apabila simtom
bertahan atau memburuk. Apabila target perbaikan simtom tidak
tercapai dengan terapi oral, pemberian terapi parenteral dapat
dipertimbangkan. Terapi pada PAH segmental masih menjadi
perdebatan, walaupun pada beberapa studi menunjukan hasil yang
memuaskan, tetapi pada beberapa kasus terapi tersebut tidak dapat
ditoleransi.
Di negara maju transplantasi jantung-paru atau transplantasi paru
dengan pembedahan jantung menjadi pilihan pada kasus tertentu yang
tidak responsif terhadap terapi obat. Tetapi opsi ini terbatas, karena
kompleksitas teknis dan ketersediaan organ donor yang terbatas.

Panduan Tatalaksana PJBD 27


Tabel 2.7. Rekomendasi tatalaksana PAH pada pasien PJBD
Rekomendasi Kelas Level
Pasien PJBD terkonfirmasi PAH, direkomendasikan I C
untuk diedukasi agar menghindari kehamilan.
Semua pasien PAH-PJB direkomendasikan untuk dinilai I C
risikonya
Pasien dengan lesi sederhana pasca koreksi dengan I A
PAH risiko rendah dan menengah, direkomendasikan
terapi awal kombinasi/kombinasi sekuensial peroral,
sedangkan pada risiko tinggi harus diberikan terapi awal
kombinasi termasuk prostanoid parenteral.
Pasien Eisenmenger dengan kapasitas fungsional turun IIa B
(6MWT <450m), sebaiknya dipertimbangkan terapi
awal tunggal dengan ERA atau penghambat PDE-5,
kemudian ditambahkan obat golongan lain bila tidak
membaik.
6MWT = 6-minute walk test; PAH = pulmonary arterial hypertension; PH = pulmonary
hypertension; ERA = endothelin receptor antagonist

2.5.4 Terapi bedah


Operasi jantung pada pasien PJBD membutuhkan perhatian khusus,
operasi kecil sekalipun dapat berisiko tinggi, menimbulkan gangguan
pada regulasi keseimbangan yang terbentuk dalam tubuh pasien. Risiko
ini tidak dapat dikalkulasi dengan menggunakan skor risiko bedah
konvensional, karena komorbiditas individu mungkin lebih berperan
dalam menentukan luaran pasien. Skor yang memperhitungkan
komorbiditas, dapat dipertimbangkan untuk mengevaluasi risiko operasi
jantung pada PJBD.
Terlepas dari kebutuhan untuk penilaian risiko, pemahaman tentang
anatomi dan hemodinamik, pengalaman bedah ulang, dan persyaratan
khusus di unit perawatan intensif merupakan faktor yang menentukan
luaran jangka pendek dan jangka panjang. Ketika pasien PJBD
dioperasi oleh dokter bedah PJB, terbukti hasilnya lebih baik. Oleh
karena itu, direkomendasikan agar semua pasien PJBD dioperasi oleh
dokter bedah PJB di pusat PJBD. Hal ini berlaku untuk semua operasi
jantung PJBD, kecuali untuk operasi katup aorta bikuspid sederhana
(bicuspid aortic valve = BAV), heritable thoracic aortic diseases (HTAD)

Panduan Tatalaksana PJBD 28


seperti sindrom Marfan, dan ASD sekundum tanpa kelainan koneksi
vena pulmonalis atau tanpa PVD. Lingkungan multidisiplin di pusat
PJBD juga dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan prosedur hibrid,
di mana dokter bedah PJB, bedah vaskular, intervensionis PJB dan
elektrofisiologis berkolaborasi pada saat menghadapi kasus kompleks.

2.5.5 Intervensi trans-kateter


Intervensi trans-kateter, baik sebagai prosedur yang berdiri sendiri atau
hibrid, merupakan alternatif menarik, karena tidak memerlukan
sternotomi/torakotomi dan mesin pintas kardiopulmoner. Intervensi
trans-kateter yang paling sering dilakukan adalah penutupan lesi pirau
(terutama ASD sekundum, VSD, dan PDA), fistula atau kolateral; balon
dilatasi katup pulmonal (ballon pulmonal valvulotomy = BPV) dan
implantasi katup (trans-catheter pulmonary valve implantation = TPVI);
dilatasi balon dan/atau stenting dari pembuluh besar yang menyempit
(misalnya coarctation aorta = CoA) dan stenosis arteri pulmonalis.
Diagnosis dan intervensi PJBD harus dilakukan di pusat PJBD di
mana setiap prosedur kompleks didiskusikan bersama para pakar
multidisiplin yang mengusai masalah PJBD, termasuk perawat.
Penting diingat bahwa intervensi trans-kateter pasien PJBD
hendaknya dikerjakan di pusat dengan fasilitas bedah PJB, yang dapat
cepat mengatasi masalah bila terjadi penyulit. Di beberapa rumah sakit
umum tersier, juga terdapat kolaborasi erat dengan dokter spesialis
anak konsultan kardiologi pediatrik.

2.5.6 Endokarditis Infektif (infective endocarditis = IE)


Risiko IE pada pasien PJBD lebih tinggi dibandingkan populasi umum,
dengan variasi signifikan untuk tiap jenis lesi. Pedoman ESC 2015
tentang IE membatasi profilaksis antibiotik bagi pasien berisiko tinggi IE
yang menjalani prosedur berisiko pada perawatan gigi, hingga 6 bulan
pasca prosedur atau seumur hidup jika ada pirau residual /regurgitasi
katup.
Kondisi berisiko tinggi meliputi: katup prostetik (contohnya katup
®Melodi yang diimplantasi trans-kateter), reparasi katup menggunakan
cincin prostetik, riwayat IE sebelumnya, PJB sianotik dan PJB lain yang
direparasi menggunakan bahan prostetik. Studi terbaru mengkonfirmasi
risiko IE yang relatif tinggi pada pasien pasca operasi katup dan
penggunaan saluran (conduit) vena jugularis sapi (®Contegra conduit),

Panduan Tatalaksana PJBD 29


terutama bila ada riwayat IE sebelumnya.
Edukasi tentang tindakan higienis harus diberikan pada semua
pasien PJBD, seperti menjaga kebersihan mulut dan kulit dengan baik,
menghindari tindik dan tato (bila dikerjakan harus dalam kondisi higienis
optimal) dan penerapan tindakan aseptik selama perawatan kesehatan
atau prosedur invasif. Semua pasien perlu diedukasi tentang gejala IE
dan tindakan yang dapat dilakukan saat timbulnya gejala tersebut
(misalnya mencari pendapat medis, pentingnya kultur darah sebelum
memulai terapi antibiotik).

2.5.7 Terapi antitrombotik


Pasien PJBD memiliki risiko kejadian tromboemboli yang tinggi, tetapi
bukti tentang pencegahannya masih terbatas. Pada pasien dewasa
dengan penyakit jantung didapat dan IART atau AF, skor CHA2DS2-
VASc (prediktor tromboemboli) dan HAS-BLED (prediktor perdarahan)
terbukti bermanfaat. Namun, karena validitasnya pada populasi PJB
tidak pasti, skor hanya boleh digunakan dalam kombinasi dengan risiko
yang dinilai secara individual.
VKA digunakan untuk pencegahan tromboemboli, tetapi pada praktik
kardiovaskular umumnya, saat ini NOAC lebih direkomendasikan
daripada VKA. Juga, pada populasi penyakit jantung koroner tanpa
disertai katup mekanis atau stenosis katup mitral yang berat, NOAC
tampaknya sama aman dan efektifnya.
Terapi antikoagulan direkomendasikan pada AF/IART paroksismal
dan persisten pada pasien penyakit jantung koroner dengan gejala
sedang atau berat, tetapi pendekatan individual tetap diperlukan. Pada
pasien dengan penyakit jantung koroner ringan, skor CHA2DS2-VASc
dan HAS-BLED digunakan sesuai rekomendasi umum. Apakah semua
pasien PJBD dengan sirkulasi Fontan mendapatkan manfaat dari
antikoagulan, tidak jelas saat ini. Risiko perdarahan juga harus
dipertimbangkan dan dibandingkan dengan risiko trombogenik,
terutama pada pasien sianotik. Untuk pencegahan sekunder,
antikoagulan dianjurkan pada pasien dengan kejadian tromboemboli
atau trombus intrakardiak atau intravaskuler.

2.5.8 Tatalaksana pasien sianotik


Sianosis terjadi akibat adanya pirau R-L di tingkat atrium, ventrikel atau
arteri besar.

Panduan Tatalaksana PJBD 30


PJB sianotik terdiri dari kelompok lesi heterogen dengan anatomi
dan patofisiologi yang berbeda: aliran darah paru normal atau kurang
akibat adanya obstruksi di alur keluar ke arteri pulmonalis atau
peningkatan aliran darah paru tanpa obstruksi yang menyebabkan PVD/
PAH dan akhirnya sindrom Eisenmenger. Pasien mungkin datang
dengan atau tanpa intervensi paliatif sebelumnya. Pasien sianotik
bersifat kompleks dan harus diobservasi oleh pakar PJBD.

2.5.8.1 Mekanisme adaptasi


Sianosis memicu mekanisme adaptif untuk meningkatkan transportasi
oksigen ke jaringan, meliputi: eritrositosis sekunder, pergeseran kurva
disosiasi oksihemoglobin ke kanan, dan peningkatan curah jantung.
Eritrositosis sekunder timbul akibat stimulus eritropoietin, merupakan
respons fisiologis saat hipoksemia kronis. Eritrositosis terkompensasi
mencerminkan keseimbangan sedangkan eritrositosis dekompensasi
menunjukkan kegagalan keseimbangan (sel darah merah berlebihan/
peningkatan haemoglobin dan tidak stabil, hematokrit meningkat
dengan gejala hiperviskositas mayor).

2.5.8.2 Gangguan multisistem


Sianosis dan eritrositosis sekunder berdampak besar terhadap seluruh
sistem organ tubuh:
• Viskositas darah meningkat dan berhubungan langsung dengan
massa sel darah merah.
• Kelainan hemostatik kompleks sering terjadi, berupa kelainan
trombosit (trombositopenia dan trombastenia), gangguan jalur
koagulasi dan mekanisme koagulasi lainnya. Faktor pembekuan
yang bergantung pada vitamin K dan faktor V berkurang, aktivitas
fibrinolitik meningkat, dan multimer von Willebrand habis.
• Peningkatan pergantian sel darah merah/hemoglobin dan
gangguan filtrasi urat menyebabkan hiperurisemia.
• Peningkatan konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi menempatkan
pasien sianotik pada risiko batu empedu calcium bilirubinate.
• Disfungsi endotel yang berat dibuktikan dengan gangguan
vasodilatasi yang mencolok.
• Hipoksemia kronis, peningkatan viskositas darah, dan disfungsi
endotel yang mempengaruhi sirkulasi mikro, fungsi miokardium,
dan fungsi sistem organ lainnya.

Panduan Tatalaksana PJBD 31


2.5.8.3 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit
Presentasi klinis meliputi sianosis sentral, akibat peningkatan jumlah
reduced hemoglobin (>5g/100 mL darah), jari tabuh, dan seringkali
skoliosis. Kematian secara signifikan lebih tinggi pada pasien sianotik
dibandingkan pasien asianotik. Luaran ditentukan oleh anatomi yang
mendasari, patofisiologi, prosedur paliatif, komplikasi sianosis dan
upaya pencegahannya.
Trombosit yang rendah, hipoksia berat, kardiomegali, dan hematokrit
yang meningkat selama masa kanak-kanak adalah parameter untuk
memprediksi kematian dini dan kejadian yang tak diharapkan pada
pasien dengan atau tanpa PVD. Defisiensi zat besi dikaitkan dengan
luaran yang buruk. BNP bisa memprediksi luaran pasien Eisenmenger.
Namun, pada sebuah studi multisenter, hanya usia, pirau pra-trikuspid,
irama non-sinus, saturasi oksigen yang lebih rendah saat istirahat, dan
adanya efusi perikard, yang merupakan prediktor terkuat untuk
kematian, dan bukan BNP.

2.5.8.4 Komplikasi lanjut


• Gejala hiperviskositas meliputi sakit kepala, pingsan, pusing, rasa
lelah, tinitus, penglihatan kabur, parestesia jari tangan/kaki dan
bibir, nyeri otot, serta rasa lemah (tergolong sedang jika
mengganggu beberapa aktivitas, parah jika mengganggu
sebagian besar aktivitas). Gejala hiperviskositas biasanya tidak
terjadi pada pasien dengan kadar besi yang cukup, dengan
hematokrit <65%.
• Perdarahan dan diatesis trombotik dapat terjadi; keduanya
menyebabkan dilema terapeutik (risiko trombosis dan
perdarahan). Perdarahan spontan biasanya ringan, sembuh
sendiri (misalnya perdarahan gigi, epistaksis, mudah memar,
menoragia). Hemoptisis merupakan perdarahan mayor yang
paling sering (hingga 100% pada Eisenmenger), merupakan
manifestasi eksternal dari perdarahan intra-pulmoner, namun
tidak mencerminkan luasnya perdarahan parenkim.
Trombosis disebabkan oleh kelainan koagulasi, stasis darah di
ruang jantung dan pembuluh yang melebar, aterosklerosis
dan/atau disfungsi endotel, bahan trombogenik (contoh conduit),
dan aritmia. Kelainan hemostatik tidak menjadi pelindung dari

Panduan Tatalaksana PJBD 32


komplikasi trombotik. Trombus melapisi lumen arteri pulmonalis
yang sebagian mengalami kalsifikasi dan aneurismatik (hingga
30% kasus). Jenis kelamin perempuan, saturasi oksigen rendah,
usia lebih tua, disfungsi biventrikel, dan dilatasi arteri pulmonalis
diidentifikasi sebagai faktor risiko kejadian ini.
• Infark serebrovaskular sering terjadi, tetapi jarang dilaporkan.
Infark ini mungkin disebabkan oleh tromboemboli (emboli
paradoks, aritmia supraventrikular), faktor reologi (mikrositosis),
disfungsi endotel, dan faktor risiko aterosklerotik tradisional.
Tingkat keparahan eritrositosis sekunder tidak serta merta
menjadi faktor risiko. Dalam satu penelitian didapat temuan
bahwa, mikrositosis yang disebabkan oleh defisiensi zat besi,
akibat flebotomi yang tidak tepat, adalah prediktor independen
terkuat untuk kejadian serebrovaskular. Sedangkan keparahan
sianosis dan kompleksitas PJB adalah faktor risiko lainnya.
• Emboli paradoks dapat disebabkan oleh lead trans-vena atau
kateter.
• Kekurangan zat besi sering disebabkan dan diperberat oleh
flebotomi yang tidak tepat atau menstruasi berlebihan.
• Aritmia supraventrikular dan ventrikular.
• Komplikasi infeksi meliputi endokarditis, abses serebral, dan
pneumonia. Demam disertai sakit kepala baru atau bertambah
berat dari biasa, patut dicurigai abses otak.
• Disfungsi ginjal sering terjadi, disebabkan oleh kelainan
fungsional dan struktural ginjal.
• Batu empedu juga sering dan dipersulit oleh kolesistitis/
koledokolitiasis
• Komplikasi rematologis (contohnya artritis gout, osteoartropati
hipertrofik, dan kifoskoliosis).

2.5.8.5 Aspek diagnostik


Perhatian khusus diperlukan bila ada gejala hiperviskositas dan
komplikasi perdarahan/iskemik. Saturasi oksigen harus diukur dengan
oksimetri nadi saat istirahat setidaknya selama 5 menit, dan kapasitas
latihan harus dinilai secara teratur, sebaiknya dengan 6MWT.
Pemeriksaan darah mencakup hitung darah seluler, mean
corpuscular volume (MCV), serum ferritin (serum besi, saturasi besi,
transferin, dan saturasi transferin mungkin diperlukan untuk deteksi dini

Panduan Tatalaksana PJBD 33


defisiensi zat besi), kreatinin, asam urat serum, profil pembekuan , BNP/
NT-pro-BNP, asam folat, dan vitamin B12 bila MCV meningkat atau
normal dan feritin serum rendah.

2.5.8.6 Perhatian khusus pada laboratorium


• Parameter koagulasi: volume plasma berkurang karena
eritrositosis sekunder; jumlah natrium sitrat harus disesuaikan
jika hematokrit >55%.
• Hematokrit yang diukur dengan penghitungan jumlah partikel
elektronik otomatis (sentrifugasi hematokrit mikro) menghasilkan
nilai sangat tinggi namun salah, karena plasma trapping.
• Kadar glukosa dapat turun (akibat peningkatan glikolisis in vitro,
yang disebabkan oleh peningkatan jumlah eritrosit).

2.5.8.7 Indikasi dan intervensi


Risiko dan manfaat intervensi harus dipertimbangkan dengan cermat,
ini membutuhkan keahlian khusus. Pasien sianotik tanpa PAH/sindrom
Eisenmenger, harus dievaluasi reguler untuk kemungkinan intervensi
yang dapat meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi morbiditas,
atau untuk kemungkinan reparasi fisiologis (lihat bagian 3.15).

2.5.8.8 Terapi medis


• Terapi spesifik PAH (lihat bagian 2.5.3.3)
• Terapi aritmia: bila memungkinkan, irama sinus hendaknya
dicapai dan dipertahankan. Terapi antiaritmia sangat sulit dan
individualistis (obat-obatan, ablasi, pacu jantung epikardial atau
ICD); memulai terapi obat hendaknya dilakukan di rumah sakit.
• Flebotomi hanya boleh dilakukan bila ada gejala hiperviskositas
sedang/berat akibat eritrositosis sekunder (hematokrit minimal
>65%), dan tidak ada dehidrasi atau defisiensi zat besi. Caranya:
infus cairan isotonik (saline isotonik 750-1000 mL) sambil
mengeluarkan 400-500 mL darah.
• Transfusi darah mungkin diperlukan, jika terjadi anemia dengan
zat besi normal (hemoglobin tidak memadai untuk saturasi
oksigen) dan tidak berdasarkan indikasi konvensional.
• Suplementasi zat besi dilakukan jika ada kekurangan (MCV <80
fL, simpanan zat besi rendah) dan hendaknya diikuti dengan
seksama (waspadai efek rebound).

Panduan Tatalaksana PJBD 34


• Antikoagulan/antiplatelet (aspirin) rutin: tidak bermanfaat untuk
mencegah tromboemboli, justru meningkatkan risiko perdarahan.
• Indikasi antikoagulasi: atrial flutter/AF (target INR 2-2,5; target
INR lebih tinggi bila ada faktor risiko lain). Ingat: nilai INR tinggi
palsu bisa karena hematokrit tinggi. Tidak ada data tentang
penggunaan NOAC.
• Haemoptisis: perlu CT-scan thorax jika ada infiltrat pada foto
Rontgen dada. Bronkoskopi berisiko dan jarang memberikan
informasi yang berguna.
Terapi: hentikan konsumsi obat aspirin/antiinflamasi nonsteroid/
antikoagulan; atasi hipovolemia dan anemia; kurangi aktivitas
fisik; dan penekanan batuk non produktif. Embolisasi selektif dari
arteri bronkial mungkin diperlukan untuk perdarahan/hemoptisis
intrapulmonal yang refrakter. Obat antifibrinolitik (misalnya asam
traneksamat inhalasi) sedang diselidiki dan mungkin merupakan
pendekatan baru untuk mengobati hemoptisis.
• Hiperurisemia: tidak ada indikasi untuk mengobati hiperurisemia
asimtomatik.
• Artritis gout akut (presentasi atipikal) diobati dengan kolkisin oral/
i.v, probenesid, dan obat antiinflamasi, awasi risiko gagal ginjal
dan perdarahan. Uricosuric (contohnya probenecid) atau
uricostatic (contohnya allopurinol) dapat mencegah kekambuhan.

2.5.8.9 Rekomendasi tindak lanjut


Semua pasien sianotik memerlukan evaluasi di pusat PJBD setiap 6-12
bulan - seumur hidup, perlu ada kolaborasi erat dengan dokter keluarga.
Evaluasi meliputi:
• Evaluasi komprehensif dan sistematis potensi komplikasi.
• Tes darah (lihat bagian 2.4.8.8)
• Edukasi tentang strategi pengurangan risiko (Tabel 2.8).

2.5.8.10 Rekomendasi tambahan


Penerbangan: perjalanan udara komersial dapat ditoleransi
dengan baik. Strategi mengurangi risiko: hindari stres terkait
perjalanan/non-perjalanan, dehidrasi, minuman beralkohol, dan
lakukan tindakan pencegah trombosis vena dalam.

Panduan Tatalaksana PJBD 35


Paparan ketinggian: paparan akut ke ketinggian > 2500 m harus
dihindari, pendakian bertahap hingga 2500 m dapat ditoleransi.
Kehamilan: kehamilan pada pasien sianosis tanpa PH,
menyebabkan komplikasi ibu dan janin yang signifikan dan
memerlukan tindak lanjut oleh Tim Jantung - Kehamilan.
Saturasi O2 (>85%) dan Hb (<20 g/dL) sebelum kehamilan
merupakan prediktor terkuat kelahiran hidup. Kehamilan sangat
tidak dianjurkan pada sindrom Eisenmenger dan pasien sianotik
tanpa PH dengan saturasi O2 <90%.
Profilaksis IE: direkomendasikan pada semua pasien

Tabel 2.8. Strategi menurunkan risiko pada pasien dengan PJB sianotik
Tindakan profilaksis adalah inti upaya untuk menghindari komplikasi
Hal-hal berikut harus dihindari: Strategi lainnya:

- Hamil: pada pasien sindrom - Pasang filter udara intra-


Eisenmenger/sianotik tanpa PH vena untuk mencegah
saturasi oksigen arteri < 90% emboli udara
- Defisiensi besi dan anemia: - Konsultasi dengan pakar
jangan lakukan flebotomi rutin PJBD sebelum terapi obat
atasi defisiensi zat besi dan atau intervensi trans-
anemia defisiensi zat besi kateter/bedah apapun
- Antikoagulasi yang tidak tepat
- Terapi antibiotik segera
- Dehidrasi
untuk infeksi saluran nafas
- Penyakit menular: berikan vaksin bagian atas
influenza dan pneumokokus
- Merokok, narkoba, alkohol - Penggunaan dengan hati-
- Pacu jantung/ICD yang trans-vena hati atau hindari agen/obat
- Olahraga berat yang dapat mengganggu
fungsi ginjal
- Paparan panas yang akut (sauna,
bak mandi air panas, pancuran air - Anjuran kontrasepsi pada
panas)/dingin ekstrim setiap kunjungan klinik
- Kontrasepsi mengandung estrogen

PJBD = penyakit jantung bawaan dewasa; Hb = hemoglobin; PH = hipertensi pulmoner;


ICD = implantable cardioverter defibrillator

Panduan Tatalaksana PJBD 36


2.6 Rekomendasi tambahan
2.6.1 Perbedaan jenis kelamin
Data mengenai perbedaan jenis kelamin pada prevalensi, morbiditas,
dan mortalitas pasien PJBD, saling bertentangan. Meski tidak ada
perbedaan dalam mortalitas menurut penelitian CONgenital CORvitia
(CONCOR), namun terdapat perbedaan morbiditas yang signifikan
berdasarkan jenis kelamin. Pada perempuan terdapat peningkatan
risiko PH, risiko lebih rendah untuk IE, komplikasi aorta, dan implantasi
ICD. Apakah perbedaan ini terkait dengan perbedaan genetik dan
biologis yang melekat, ukuran tubuh yang lebih kecil, atau perbedaan
lainnya, belum dipastikan dan perlu penelitian lebih lanjut.
Perbedaan jenis kelamin penting untuk evaluasi diagnostik dan
pengambilan keputusan klinis. Meskipun rekomendasi biasanya tidak
spesifik berdasarkan jenis kelamin, namun batasan dimensi aorta,
ruang jantung dan lain-lain yang disesuaikan dengan indeks massa
tubuh (IMT) cukup mengoreksi kondisi pada perempuan yang umumnya
memiliki IMT lebih kecil. Konseling pribadi sangat penting pada
perempuan yang sedang mempertimbangkan kehamilan, karena
indikasi intervensi operasi aorta (herediter/aortopati terkait PJB) atau
untuk penggantian katup pulmonal pasca reparasi TOF pada
perempuan, dapat menggunakan nilai patokan lebih rendah.
Ada data yang menunjukkan dampak yang berbeda antara lelaki dan
perempuan untuk pekerjaan, kesenjangan perawatan medis, dan
aktivitas fisik. Evaluasi klinis, pengambilan keputusan, dan konseling
mungkin memerlukan penyesuaian bagi individu untuk memastikan
kesetaraan hasil.

2.6.2 PJBD pada usia yang lebih tua


Sampai saat ini, 90% pasien PJB ringan, 75% PJB sedang, dan 40%
PJB kompleks mencapai usia 60 tahun. Proporsi ini diperkirakan akan
terus meningkat dalam beberapa dekade mendatang, sehingga
dibutuhkan lebih banyak fasilitas perawatan PJBD lansia.
Pasien PJBD kelompok tua ini ditandai dengan lebih banyak
komorbiditas, seperti aritmia (terutama AF), penuaan lebih cepat,
penyakit didapat, perubahan respons terapi, onset sindrom geriatri lebih
dini (misalnya penurunan kognitif, imobilitas/jatuh, gagal tumbuh,
perubahan sensorik), dan profil psikososial yang berubah. Panduan

Panduan Tatalaksana PJBD 37


penanganan harus dikonsultasikan ke pakar PJBD dan pakar geriatrik,
untuk menjamin perawatan yang memadai pada populasi pasien yang
lebih rentan ini. Penyakit didapat dimulai sejak awal kehidupan, oleh
karena itu, strategi pencegahan harus diterapkan sejak dekade pertama
kehidupan (di kardiologi pediatrik).

2.6.3 Rencana perawatan lanjutan dan akhir kehidupan


Kebanyakan pasien, terlepas dari kompleksitas defeknya, ingin
mendiskusikan harapan hidup sebelum dihadapkan pada komplikasi
yang mengancam nyawa. Komplikasi tersebut dapat terjadi saat
intervensi yang berisiko tinggi atau selama perjalanan penyakitnya.
Diskusi tepat waktu tentang perencanaan perawatan di masa depan
merupakan komponen penting dari perawatan komprehensif yang
berpusat pada pasien. Memulai percakapan ini tentu sulit. Perawatan
rumah sakit, pemasangan ICD, atau penurunan fungsi, dapat menjadi
pemicu untuk memulai percakapan semacam itu. Kebanyakan pasien
tidak memulainya sendiri, mereka menunggu inisiatif DPJP.
Isi diskusi perencanaan perawatan bergantung pada kesehatan dan
kondisi fisik dan psikologis pasien. Awalnya, diskusi tentang preferensi
pengobatan dan harapan hidup mungkin menjadi hal utama yang
diinginkan pasien. Dengan kesehatan yang memburuk, diperlukan
penilaian holistik terhadap keinginan dan nilai-nilai pasien, arahan
tentang pilihan siapa pengganti pembuat keputusan dan keputusan
terkait penggunaan alat pada pasien ICD.
Selama proses perawatan, pengobatan khusus secara progresif
dapat dilakukan, namun pada akhirnya, mungkin perlu digantikan oleh
perawatan paliatif oleh pakar di bidang tersebut. Penting untuk
ditekankan sejak awal bahwa, perawatan khusus akan berlangsung
terus selama proses perawatan, hingga mendekati akhir kehidupan,
namun dengan tetap mengutamakan preferensi dan tujuan pasien.
Peran perawatan paliatif dan dukungan keluarga berlanjut setelah
kematian pasien, sesuai tatalaksana setelah kematian. Jika
memungkinkan, anggota keluarga harus dilibatkan dalam setiap tahap
perawatan. Keinginan pasien dapat berubah seiring waktu, maka
diperlukan evaluasi ulang secara berkala.

2.6.4 Asuransi dan pekerjaan


Pasien PJBD sering mengalami kesulitan untuk mendapatkan asuransi

Panduan Tatalaksana PJBD 38


jiwa, kesehatan, atau perjalanan, dan hipotek. Jika asuransi disetujui,
pasien harus membayar premi tambahan yang tinggi atau PJB sebagai
kondisi yang dikecualikan dari asuransi. Umumnya keputusan tersebut
tidak didasarkan atas kompleksitas PJB, status fungsional pasien atau
prognosisnya, tetapi lebih merupakan fungsi dari kebijakan perusahaan
asuransi atau negara yang variasinya luas. Demikian halnya urusan
pekerjaan, khususnya persyaratan untuk profesi tertentu. Kesemuanya
ini perlu diperhatikan. Sejak remaja, pilihan pendidikan harus dibuat
dengan mempertimbangkan kemungkinan melakukan olahraga berat,
kerja giliran dinas malam, dan penggunaan obat-obatan khusus seperti
antikoagulasi oral.

2.6.5 Latihan dan olahraga


Rekomendasi untuk latihan dan olah raga harus berdasarkan pada PJB
yang mendasari dan potensi komplikasi, status hemodinamik dan
elektrofisiologis pasien, serta tingkat kebugarannya. Konseling harus
mempertimbangkan jenis olah raga dan tenaga yang dibutuhkan untuk
kegiatan itu. Umumnya dokter terlalu konservatif dalam memberikan
nasihat, padahal aktivitas fisik bermanfaat untuk menjaga kebugaran,
kesejahteraan psikologis, dan interaksi sosial, serta berdampak positif
terhadap risiko penyakit jantung didapat di kelak kemudian hari. Adanya
gejala, bukan berarti harus menghindari aktivitas fisik. Latihan dinamis
lebih cocok daripada latihan statis. Selain itu, pada pasien dengan
kondisi jantung yang diketahui, komplikasi selama latihan, termasuk
henti jantung, jarang terjadi. Khusus untuk atlet dengan PJB, terdapat
rekomendasi Guideline Sport Cardiology ESC 2020. Penilaian
kapasitas latihan fisik harus dilakukan sebelum merekomendasikan
latihan atau olahraga, untuk menghindari latihan intensif pada pasien
yang tidak terlatih. Kebanyakan pasien PJB dapat dengan aman
melakukan aktivitas fisik sedang dan teratur. Beberapa kondisi, seperti
disfungsi sistolik ventrikel sistemik, obstruksi alur keluar ventrikel
sistemik, PH, aritmia yang signifikan secara hemodinamik, atau dilatasi
aorta, memerlukan perhatian khusus.

2.6.6 Operasi non-kardiak


Evaluasi dan tatalaksana pasien PJBD yang akan menjalani operasi
non-kardiak hendaknya mempertimbangkan kekhususan PJB dan
sesuai dengan panduan yang ada. Faktor-faktor yang terkait dengan

Panduan Tatalaksana PJBD 39


peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas perioperatif adalah:
sianosis, gagal jantung kongestif, kesehatan umum yang buruk, usia
lebih muda, PH, operasi pada sistem pernapasan dan saraf, PJB
kompleks, dan prosedur gawat/darurat.
Pada pasien dengan PJB kompleks (Fontan, sindrom Eisenmenger,
pasien sianotik), prosedur bedah dan intervensi non-kardiak harus
dilakukan di pusat PJBD. Masalah yang perlu dipertimbangkan adalah
profilaksis endokarditis, komplikasi terkait hemodinamik PJB yang
mendasari, abnormalitas anatomi vena dan/atau arteri yang
memengaruhi akses vena dan arteri, penanganan pirau persisten,
penyakit katup, aritmia termasuk bradiaritmia, eritrositosis, PVD,
pencegahan trombosis vena, pemantauan fungsi ginjal dan hati,
antikoagulasi periprosedural, kemungkinan kebutuhan dan dosis untuk
obat non-konvensional, peningkatan prevalensi infeksi hepatitis C
karena prosedur/transfusi darah sebelumnya dan akhirnya, gangguan
perkembangan tubuh pasien.

2.6.7 Kehamilan, kontrasepsi, dan konseling genetik


2.6.7.1 Kehamilan dan kontrasepsi
Mayoritas perempuan dengan PJB dapat mentolerir kehamilan dengan
baik, tetapi bila lesinya kompleks risikonya lebih tinggi. Guidelines for
the management of cardiovascular diseases during pregnancy ESC
2018 menjadi acuan. Dibutuhkan perawatan oleh tim multidisiplin yang
dimotori oleh tim jantung - kehamilan. Tim ini harus mendapat masukan
dari pakar PJBD, kebidanan, anestesi, dan jika perlu dari spesialis
lainnya, termasuk spesialis genetika klinik. Tim harus terlibat dalam
penanganan semua pasien PJBD kompleksitas sedang hingga berat
sejak sebelum kehamilan, untuk konseling yang tepat waktu dan nasihat
selama kehamilan, membuat perencanaan perawatan antenatal,
persalinan dan tindak lanjut pasca melahirkan, serta kebutuhan
pemantauan jantung. Estimasi risiko harus bersifat individual dan
berdasarkan klasifikasi modifikasi WHO (mWHO) (Tabel 2.9)
Status fungsional sebelum kehamilan, fungsi ventrikel, beratnya lesi,
dan riwayat kejadian jantung sebelumnya juga memiliki nilai prognostik.
CPET yang dilakukan sebelum konsepsi dapat memprediksi hasil luaran
ibu dan bayi. Respons detak jantung yang kurang saat latihan dikaitkan
dengan risiko kejadian jantung yang lebih tinggi pada ibu dan neonatus.

Panduan Tatalaksana PJBD 40


Angka kematian ibu 0-1% dan kejadian gagal jantung yang
mempersulit kehamilan terjadi pada 11% perempuan dengan penyakit
jantung, PH dikaitkan dengan risiko tertinggi. Sianosis berisiko signifikan
pada janin, dengan kematian hingga 12% jika saturasi oksigen <85%.
Risiko komplikasi kebidanan pada perempuan dengan PJB juga
meningkat, meliputi persalinan prematur, preeklamsia, dan perdarahan
postpartum.

Tabel 2.9. PJB dengan risiko hamil yang tinggi dan sangat tinggi
Peningkatan signifikan risiko Risiko kematian atau morbiditas
kematian atau morbiditas berat berat ibu sangat tinggi (mWHO
ibu (mWHO kelas III) (frekuensi kelas IV) (frekuensi kejadian
kejadian jantung 19-27%) jantung 40-100%)

- PJB sianotik belum dikoreksi - PAH


- disfungsi LV sedang (EF 30 - - disfungsi LV berat (EF<30%/
45%) NYHA III, IV)
- RV sistemik dengan fungsi - RV sistemik dengan disfungsi
ventrikel baik atau sedikit turun ventrikel sedang atau berat
- Sirkulasi Fontan: pasien sehat, - Sirkulasi Fontan: dengan
jantung tanpa komplikasi komplikasi apapun
- AS berat asimtomatik - AS dengan gejala berat
- MS sedang - MS berat
- Dilatasi aorta sedang (40-45 mm - Dilatasi aorta berat (>45 mm
pada sindrom Marfan atau HTAD pada sindrom Marfan atau
lainnya; 45-50 mm pada BAV, HTAD lainnya; >50 mm pada
20-25 mm/m2 pada sindrom BAV; > 25 mm/m2 pada sindrom
Turner) Turner)
- Katup mekanis - Koarktasio (ulang) yang berat
AS = aortic stenosis; MS = mitral stenosis; BAV = bicuspid aortic valve; PJB = penyakit
jantung bawaan; PAH = pulmonary arterial hypertension EF = ejection fraction; HTAD =
heritable thoracic aortic disease; LV = left ventricle; RV = right ventricle; mWHO = modified
World Health Organization; NYHA = New York Heart Association ;

Potensi obat yang memengaruhi janin harus selalu dipertimbangkan;


ACEi dan ARB tidak boleh digunakan. Perempuan pengguna
antikoagulan oral membutuhkan perhatian khusus. VKA bersifat
teratogenik, terutama pada dosis yang lebih tinggi. Algoritma
pengobatan yang disesuaikan dengan dosis tercantum dalam panduan
ESC 2018. Durasi kehamilan dan cara persalinan harus diputuskan
oleh tim jantung-kehamilan, dengan mempertimbangkan beratnya PJB.

Panduan Tatalaksana PJBD 41


Kontrasepsi harus dibahas tepat waktu, dengan perhatian khusus
pada efektivitas dan keamanan. Metode penghalang (barrier) terbukti
aman dan dapat mencegah penyakit menular seksual, tetapi hanya
efektivitas pada pasangan yang patuh. Kontrasepsi hormonal sangat
efektif, tetapi sedikit data tentang keamanannya pada populasi PJBD.
Kontrasepsi oral kombinasi sangat efektif (99,9%), tetapi sebaiknya
dihindari pada pasien dengan risiko trombosis (sianosis, fisiologi
Fontan, katup mekanik, riwayat tromboemboli, PH), terutama karena
sedikit data bahwa kombinasi terapi antikoagulasi oral aman.
Sebaliknya, kontrasepsi progesteron tidak menimbulkan risiko
trombosis yang tinggi. Preparat baru yang tersedia dapat diberikan oral
atau dengan implan intra-uterine, memiliki kemanjuran tinggi (>95%).
Risiko endokarditis setelah pemasangan alat kontrasepsi dalam rahim
mungkin rendah, tetapi ada risiko reaksi vaso-vagal (5%) saat
pemasangan atau pengangkatan alat. Untuk pasien dengan fisiologi
yang rentan (misalnya sirkulasi Fontan, PH, sindrom Eisenmenger, PJB
sianotik), pemasangan atau pengeluaran alat kontrasepsi harus
dilakukan di lingkungan yang aman (ada pakar PJBD). Sterilisasi
perempuan/pasangannya hanya dipertimbangkan setelah diskusi yang
cermat, dengan referensi khusus pada prognosis jangka panjang.
Reproduksi dengan bantuan, dapat menambah risiko kehamilan,
perlu dikonsultasikan dahulu dengan pakar PJBD. Superovulasi bersifat
protrombotik dan dapat dipersulit oleh sindrom hiperstimulasi ovarium,
akan terjadi pergeseran cairan yang nyata dan risiko trombosis yang
bahkan lebih besar lagi. Risiko sindrom hiperstimulasi ovarium dapat
dikurangi dengan pemantauan siklus yang cermat, penggunaan hormon
perangsang folikel dosis rendah yang dikombinasi dengan antagonis
hormon pelepas gonadotropin, membekukan semua embrio, dan hanya
mentransfer satu embrio. Pilihan terakhir sangat disarankan pada
perempuan dengan penyakit jantung, karena kehamilan multipel
dikaitkan dengan perubahan kardiovaskular yang lebih besar dan lebih
banyak komplikasi pada ibu dan janin.
Kehamilan dan fertilitas merupakan kontraindikasi pada perempuan
dengan klasifikasi mWHO kelas IV. Pada perempuan dengan mWHO
kelas III atau pemakai antikoagulan, risiko superovulasi sangat tinggi
dan alternatif fertilisasi in vitro siklus alami harus dipertimbangkan.
Masalah seks merupakan elemen penting dalam kualitas hidup,
sehingga perlu didiskusikan lebih sering.

Panduan Tatalaksana PJBD 42


2.6.7.2 Konseling genetik dan risiko menurun
Konseling genetik, baik yang dilengkapi dengan tes genetika lebih lanjut
atau tidak, dapat dipertimbangkan untuk setiap pasien PJBD.
Pembuktian adanya kelainan genetik penting untuk pengaturan diri
pasien dan untuk perencanaan keluarga. Diperkirakan 10-30% dari
semua PJB memiliki dasar genetik, angka ini lebih tinggi pada kasus
yang disertai kelainan organ lain dan kejadian dalam keluarga. Kelainan
genetik harus ditangani secara multidisiplin, dengan mengintegrasikan
berbagai data klinis agar dicapai interpretasi yang memadai dan
tatalaksana yang baik.
Salah satu aspek penting dan spesifik dari konseling genetik pada
pasien PJBD adalah penilaian risiko kekambuhan. Tingkat kekambuhan
PJB pada keturunan berkisar 2-50% dan lebih tinggi pada perempuan
dibandingkan lelaki. Risiko kekambuhan tertinggi ditemukan pada
kelainan gen tunggal dan/atau kelainan kromosom seperti Marfan,
Noonan, sindrom delesi 22q11, dan sindrom Holt-Oram (Tabel 2.10). Di
antara pasien dengan PJB non-familial, tingkat kekambuhan bervariasi
dari 1-21%, tergantung lesi dasar. Fetal ekokardiografi dianjurkan pada
usia kehamilan 19-22 minggu dan dapat dilakukan pada usia kehamilan
15-16 minggu.

Tabel 2.10. Tingkat rekurensi berbagai PJB


Keterangan.
PDA = patent ductus arteriosus;
ASD = atrial septal defect; VSD =
ventricular septal defect; AVSD =
atrioventricular septal defect;
ccTGA = congenitally corrected
transposition of the great arteries;
CoA = coarctation of the aorta;
HTAD = heritable thoracic aortic
disease; LVOTO = left ventricular
outflow tract obstruction; RVOTO
= right ventricular outflow tract
obstruction; PS = pulmonary
stenosis; TGA = transposition of
the great arteries; TOF = tetralogy
of Fallot; UVH = univentricular
heart; HLHS = hypoplastic left
heart syndrome; NR = tak ada
laporan;
(dimodifikasi dari Pierpont et al.
Circ. 2018;138:e653-e711)

Panduan Tatalaksana PJBD 43


BAB III
PANDUAN TATALAKSANA LESI SPESIFIK PJBD

3.1 Defek septum atrium (atrial septal defect = ASD) dan anomali
koneksi vena pulmonalis (anomalous pulmonary venous
connection = APVC)

3.1.1 Introduksi
ASD mempunyai 5 bentuk, yaitu:
• ASD sekundum (80%) - terletak di regio fossa ovalis dan
sekitarnya
• ASD primum/defek septum atrioventrikuler (atrioventricular septal
defect = AVSD) parsial (15%) - komunikasinya di tingkat atrial,
defek terletak dekat crux, katup AV mengalami malformasi,
sehingga menimbulkan regurgitasi katup
• SVD (sinus venosus defect) superior (5%) - terletak dekat alur
masuk vena cava superior (VCS), berhubungan dengan koneksi
vena pulmonalis ke VCS/RA.
• SVD Inferior (<1%) terletak dekat masuknya vena cava inferior
(VCI)
• Unroofed coronary sinus (1%) pemisah sinus koronarius dari
LA hilang sebagian atau seluruhnya.

Lesi yang sering menyertai ASD termasuk: anomali koneksi vena


pulmonalis (anomalous pulmonary venous connection = APVC), VCS
kiri persisten, pulmonal stenosis (PS) valvular, regurgitasi katup
trikuspid (tricuspid regurgitation = TV) dan prolaps katup mitral (mitral
valve = MV). ASD paling sering ditemukan pada anomali Ebstein,
keputusan terapi pada kondisi ini lebih kompleks.
Besar volume pirau bergantung pada komplians LV dan RV, ukuran
defek, dan tekanan LA dan RA. Oleh karena RV lebih komplians
dibandingkan LV, maka ASD sederhana menyebabkan aliran pirau L-R,
dan terjadilah penambahan beban volume pada RV diikuti penambahan
aliran ke sirkulasi pulmoner. Berkurangnya komplians LV, atau kondisi
apapun yang menyebabkan peningkatan tekanan LA (misalnya akibat

Panduan Tatalaksana PJBD 44


hipertensi, penyakit jantung iskemik, kardiomiopati, kelainan katup
mitral/aortik), akan meningkatkan pirau L-R. Jadi, ASD dapat
berdampak hemodinamik yang lebih besar seiring bertambahnya umur.
Berkurangnya komplians RV (misalnya pada PS, PAH, TR, atau
gangguan RV lainnya), akan menyebabkan kenaikan tekanan RA dan
mengurangi pirau L-R, bahkan dapat menyebabkan berbaliknya arah
pirau menjadi R-L dan bermanifestasi sebagai sianosis.

3.1.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit


Pasien umumnya asimptomatik sampai dewasa, sebagian besar baru
bergejala setelah dekade keempat. Keluhan yang paling sering adalah
penurunan kapasitas fungsional, sesak nafas saat aktivitas, palpitasi
(takikardia supraventrikular), infeksi paru berulang dan gagal jantung
kanan.
Angka harapan hidup secara umum berkurang, tetapi sekarang
kesintasannya lebih baik dibandingkan sebelumnya. PAP bisa normal,
namun akan meningkat seiring berjalannya waktu. PAH berat sangat
jarang (<5%) dan perkembangannya membutuhkan faktor lain selain
adanya ASD semata. Seiring dengan pertambahan usia, PAP semakin
meningkat, dan takiaritmia lebih sering terjadi (atrial flutter/AF). Emboli
sistemik dapat disebabkan oleh emboli paradoksikal atau aritmia atrial.

3.1.3 Diagnostik
Terdengar bunyi jantung kedua (S2) terpisah menetap (fixed splitting),
dan bising sistolik di area pulmonal. EKG menunjukkan deviasi aksis ke
kanan atau superior kiri pada ASD primum/AVSD parsial, dan right
bundle branch block = RBBB. Pada foto toraks tampak dilatasi RV dan
peningkatan vaskular paru (plethora).
Ekokardiografi memperlihatkan penambahan beban volume di RV,
ditandai oleh RA dan RV dilatasi. PAP dan TR juga dapat dievaluasi
dengan ekokardiografi. SVD umumnya perlu pemeriksaan TEE untuk
diagnosis yang akurat atau CMR/CCT yang hasilnya lebih baik
dibandingkan TEE khususnya pada SVD inferior. TEE juga diperlukan
untuk evaluasi ASD sekundum sebelum penutupan trans-kateter,
meliputi ukuran, morfologi rim dan kelainan penyerta, misalnya anomali
koneksi vena pulmonalis; serta evaluasi ASD residual. Dengan
ekokardiografi 3D visualisasi morfologi ASD menjadi lebih jelas lagi.

Panduan Tatalaksana PJBD 45


ULJ harus dilakukan pada pasien dengan PAH, untuk mengeksklusi
adanya desaturasi.
CMR jarang dibutuhkan, tetapi bisa digunakan untuk menilai
penambahan beban volume di RV, identifikasi SVD inferior, kuantifikasi
rasio aliran darah pulmoner terhadap sitemik (Qp:Qs) dan evaluasi
koneksi vena pulmonalis.
Kateterisasi jantung diperlukan untuk menentukan PVR, bila dari
pemeriksaan non-invasif terdapat tanda peningkatan PAP (PAP sistolik
>40 mmHg atau ada tanda tidak langsung).

3.1.4 Intervensi
Penutupan trans-kateter kini menjadi pilihan utama untuk ASD, jika
mo fologin a mem ngkinkan (diame e 38 mm, dan im 5 mm kec ali
pada rim dekat aorta). Angka mortalitas hampir 0%, dan beberapa studi
melaporkan tidak ada kematian pasca tindakan. Komplikasi serius
e jadi pada 1% pa ien, melip i: akia i mia atrial yang terjadi segera
setelah penutupan dan biasanya transien, erosi dinding atrium/daun
anterior katup mitral/aorta atau tromboemboli.
Terapi antiplatelet dibutuhkan setidaknya selama 6 bulan (minimal
aspirin 80-100 mg sekali sehari). Insidensi aritmia awitan lambat atau
efek yang tidak diinginkan lainnya, masih membutuhkan penelitian lebih
lanjut. Penelitian yang membandingkan intervensi trans-kateter dengan
bedah, melaporkan angka kesuksesan dan mortalitas yang sama, tetapi
morbiditas dan durasi perawatan lebih rendah pada intervensi perkutan.
Angka mortalitas penutupan dengan bedah <1% bila tanpa komorbid
bermakna, luaran jangka panjang juga baik, bila dilakukan dini (sebelum
PH). Pada pasien usia tua, komorbid yang dapat memengaruhi risiko
operasi harus dideteksi dan ditangani terlebih dahulu.
Luaran pasca penutupan ASD paling baik bila intervensi dilakukan
pada usia <25 tahun. Intervensi setelah usia 40 tahun tidak mengurangi
kejadian aritmia selama evaluasi jangka panjang. Akan tetapi,
morbiditas (seperti penurunan kapasitas fungsional, sesak nafas, gagal
jantung kanan) berkurang dengan penutupan, pada semua umur,
terutama jika ditutup dengan intervensi perkutan.
Penutupan defek akan meningkatkan tekanan pengisian LV,
sehingga pada pasien dengan disfungsi LV, gejala gagal jantung
bertambah berat dan memperburuk luaran. Pasien ini harus dievaluasi

Panduan Tatalaksana PJBD 46


dengan hati-hati dan mungkin membutuhkan uji pra-intervensi
(misalnya dengan oklusi balon dan dinilai perubahan hemodinamiknya),
untuk memutuskan apakah defek ditutup seluruhnya, ditutup sebagian/
dengan fenestrasi, atau tidak dilakukan penutupan. Pasien dengan PH
harus dievaluasi secara khusus, terutama nilai PVR.
• Bila PVR <5 WU, penutupan defek aman, PAP akan turun dan gejala
membaik.
• Bila PVR 5 WU, gejala jarang berkurang dan biasanya mempunyai
luaran lebih buruk bila ASD ditutup.
Tes vasoreaktif tidak direkomendasikan untuk pengambilan keputusan
penutupan defek pada pasien dengan PVR >5 WU. Lebih aman pasien
diberi terapi PH terlebih dahulu, kemudian dilakukan kateterisasi ulang.
Keputusan menutup defek sebagian/dengan fenestrasi dibuat hanya
setelah PVR turun < 5 WU disertai bukti pirau L-R yang signifikan.
Apabila pirau tidak signifikan, penutupan defek tidak dianjurkan.

Tabel 3.1. Rekomendasi intervensi pada ASD (native atau residual)


Rekomendasi Kelas Level
Pasien ASD dengan bukti kelebihan beban volume RVa I B
tanpa PH atau disfungsi LV direkomendasikan untuk
penutupan defek, tanpa memandang gejala
Pasien ASD sekundum direkomendasikan intervensi I C
trans-kateter, apabila secara teknis memungkinkan
Pasien ASD usia lanjut yang tidak memungkinkan I C
dilakukan intervensi perkutan, direkomendasikan untuk
menimbang risiko - manfaat pembedahan
Pasien ASD dengan tanda PH pada pemeriksaan non I C
invasif, direkomendasikan untuk dilakukan penilaian
PVR secara invasif
Pasien ASD dengan disfungsi LV, direkomendasikan I C
untuk dilakukan uji balon dan menimbang antara risiko
dan manfaat penutupan defek (fokus: efek peningkatan
tekanan pengisian LV pasca penutupan)
Pasien ASD tanpa PH/disfungsi LV dengan kecurigaan IIa C
emboli paradoksikal, sebaiknya dipertimbangkan untuk
penutupan, tanpa memandang ukuran defek.

Panduan Tatalaksana PJBD 47


Pasien ASD dengan PVR 3 - <5 WU, Qp:Qs >1.5 IIa C
sebaiknya dipertimbangkan untuk penutupan defek.
Pasien ASD dengan PVR >5 WU yang turun menjadi <5 IIb C
WU setelah terapi PH dan Qp:Qs >1.5 dapat
dipertimbangkan untuk penutupan defek berfenestrasi.
Pasien ASD dengan fisiologi Eisenmenger atau PVR >5 III C
WU setelah terapi PH atau terjadi desaturasi saat ULJ,
tidak direkomendasikan penutupan defek.
ASD = atrial septal defect; LV = left ventricle; RV =right ventricle; PVR = pulmonary
vascular resistance; PH = pulmonary hypertension; Qp:Qs = flow pulmonal : flow systemic;
L-R = left to right; ULJ = uji latih jantung
a
RV dilatasi dengan peningkatan isi sekuncup.

Gambar 3.1. Tatalaksana ASD.

ASD = atrial septal defect; L-R = left-to-right; LV = left ventricler; RV = right ventricle; PH
= pulmonary hypertension; PVR = pulmonary vascular resistance; Qp:Qs = pulmonary to
systemic flow ratio;;WU=Wood units.
a
RV dilatasi dengan peningkatan isi sekuncup.
b
Asalkan tidak ada penyakit vaskular paru atau disfungsi ventrikel kiri
c
Pada pasien tua yang tidak bisa ditutup perkutan, pertimbangkan benar manfaat dan
risiko operasi
d
Pertimbangkan dengan seksama manfaat dan risiko antara mengurangi pirau kiri ke
kanan dan penambahan tekanan pengisian LV pasca penutupan ASD (tutup seluruhnya,
tutup sebagaian/fenestrasi atau tidak ditutup)

Panduan Tatalaksana PJBD 48


Pada pasien dengan atrial flutter/AF, ablasi krio atau radiofrekuensi
beralasan untuk dilakukan bersamaan dengan penutupan defek.
Karena pasca penutupan trans-kateter, akses ke LA akan sulit.
Pada pasien ASD yang lebih tua, bila tidak dapat dilakukan
penutupan trans-kateter, risiko pembedahan akibat adanya komorbid
harus dipertimbangkan dengan cermat

3.1.5 Aspek spesifik isolated anomalous pulmonary venous


connections = APVC
APVC bisa bersamaan dengan ASD (paling sering SVD), tetapi bisa
juga berdiri sendiri (isolated). Kelainan ini menyebabkan penambahan
beban volume pada jantung kanan, dengan efek fisiologis mirip ASD.
Bila berdiri sendiri, maka tidak ada pirau R-L ataupun L-R ketika ada
disfungsi LV. Sequela yang ditimbulkan akan berlanjut jangka panjang.
Bentuk APVC paling sering adalah vena pulmonalis kanan atas
masuk ke VCS. Yang lebih jarang, vena pulmonalis kanan masuk ke
VCI ( ena cimi a , dapat disertai sekuestrasi lobus kanan bawah),
bisa juga vena pulmonalis kiri atas masuk ke vena innominata kiri
sementara vena pulmonalis kanan atas ke VCS.
Penutupan bedah cukup menantang, karena aliran vena dengan
kecepatan rendah berisiko trombosis pada vena, terutama pada
sindroma scimitar. Indikasi pembedahan mengikuti rekomendasi
penutupan ASD, tetapi aspek teknis untuk penutupan dan risiko operasi
harus dipertimbangkan. Kalau hanya satu vena pulmonalis yang
menyimpang alirannya, penambahan beban pada RV tidak signifikan,
sehingga tidak beralasan untuk direparasi.

3.1.6 Tindak lanjut


Evaluasi tindak lanjut harus meliputi penilaian pirau residual, fungsi dan
ukuran RV, TR, dan PAP dengan ekokardiografi. Evaluasi kemungkinan
aritmia dilakukan melalui anamnesis, EKG dan pemantauan Holter.
Pasien ASD yang dilakukan penutupan pada usia <25 tahun tanpa
residual atau sequelae yang relevan (tidak ada pirau residual, PAP
normal, RV normal, dan tanpa aritmia), tidak membutuhkan evaluasi
reguler. Namun, pasien dan dokter perujuk harus diinformasikan
mengenai kemungkinan terjadinya aritmia awitan lambat.

Panduan Tatalaksana PJBD 49


Pasien dengan pirau residual, PH, atau aritmia (sebelum/sesudah
penutupan) dan pasien yang dilakukan penutupan pada usia dewasa
>40 tahun, harus dievaluasi berkala, termasuk evaluasi di pusat PJBD.
Setelah penutupan trans-kateter, evaluasi reguler selama 2 tahun
dan kemudian, bergantung pada hasil evaluasi terakhir, setiap 3-5 tahun
jika hasilnya baik.
Pada pasien yang dioperasi usia <40 tahun, aritmia awitan lambat
pasca-operatif paling sering adalah IART/atrial flutter, yang umumnya
dapat diatasi dengan radiofrekuensi atau krioablasi.
Pasien yang tidak ditutup atau yang ditutup usia >40 tahun, aritmia
yang paling sering timbul adalah AF. Angka kejadian aritmia bila
dioperasi usia > 40 tahun mencapai 40-60%. Akses ke atrium kiri
terkendala pasca penutupan ASD trans-kateter.
Pasca bedah koreksi SVD, dapat terjadi stenosis VCS atau vena
pulmonalis.

3.1.7 Perhatian khusus


Latihan/olahraga: tidak ada limitasi bila pasien asimptomatik
sebelum/setelah penutupan ASD tanpa PH/aritmia signifikan/
disfungsi RV. Pembatasan olahraga rekreasional berintensitas
rendah dinasehatkan kepada pasien dengan PH.
Kehamilan: risiko rendah pada pasien tanpa PH, walaupun ada
risiko emboli paradoksikal. Pasien dengan PH pra-kapiler harus
diedukasi untuk menghindari kehamilan.
Profilaksis IE: direkomendasikan selama 6 bulan pasca intervensi
trans-kateter.

3.2 Defek septum ventrikel (ventricular septal defect = VSD)

3.2.1 Introduksi
VSD dikategorikan dalam 4 golongan, yaitu:
VSD perimembran/subaortik (+ 80%) - terletak pada septum
membranosa dengan kemungkinan ekstensi ke septum inlet,
trabekula, outlet. Dekat katup trikuspid dan aorta, terdapat
aneurisma septum membranosa (membranous septal aneurysm
= MSA), yaitu jaringan bagian dari daun septal katup trikuspid TV

Panduan Tatalaksana PJBD 50


yang dapat dan sering menyebabkan penutupan VSD sebagian
atau seluruhnya.
VSD muskular/trabekular (15-20%) dikelilingi otot, lokasinya
bervariasi, bisa multipel, dan sering menutup spontan
VSD outlet/ suprakristal/ subarterial/ subpulmonar/ infundibular
dengan atau tanpa deviasi septum outlet (+ 5%) - terletak di
bawah katup semilunar di septum conal atau outlet; biasanya
disertai AR akibat prolaps kuspis aorta dan aneurisma sinus
Valsalva
VSD inlet/AVSD (inlet septum ventrikel tepat di bawah katup AV,
sering terjadi bersamaan dengan katup AV yang menyatu, dapat
terjadi bersamaan dengan deviasi septum AV dan katup trikuspid
yang mengangkang (straddling)
Biasanya hanya terdapat satu jenis VSD, tetapi bisa juga multipel.
VSD sering menjadi bagian dari PJB kompleks (misalnya TOF dan
TGA). Penutupan spontan sering terjadi, tetapi jarang pada VSD outlet
dan umumnya terjadi pada masa kanak-kanak.
Arah dan besar pirau ditentukan oleh PVR dan resistensi vaskular
sistemik (SVR), ukuran defek, fungsi sistolik dan diastolik LV dan RV,
serta adanya obstruksi di RVOT/LVOT.

3.2.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit


Presentasi klinis VSD pada orang dewasa meliputi:
VSD yang telah ditutup pada masa kanak-kanak, tanpa lesi
residual atau PH
VSD yang ditutup pada masa kanak-kanak, dengan lesi residual
(besarnya menentukan derajat beban volume di LV dan PH).
VSD dengan pirau L-R yang tidak signifikan, tidak menimbulkan
beban volume di LV atau PH, sehingga tidak dipertimbangkan
untuk penutupan pada masa kanak-kanak.
VSD dengan pirau L-R yang signifikan, mengakibatkan
pembebanan volume LV dan PH dengan derajat bervariasi.
VSD dengan pirau R-L (sindrom Eisenmenger); awalnya VSD
besar, pirau L-R deras, kemudian terjadi PVD berat, dan
menyebabkan pirau berbalik arah R-L (dapat timbul sianosis)
Pasien VSD yang telah tertutup sempurna (spontan/dengan intervensi),
atau VSD kecil yang belum pernah diintervensi, atau VSD residual

Panduan Tatalaksana PJBD 51


pasca intervensi, tanpa pembebanan volume LV pada ekokardiografi,
umumnya asimtomatik dan tidak membutuhkan intervensi lebih lanjut.
Namun, sebagian kecil pasien dengan VSD kecil atau defek residual
bermasalah, seiring bertambahnya usia.
Masalah yang mungkin muncul seiring bertambahnya usia:
Double-chambered RV (DCRV) atau PS infundibular - terjadi
akibat rangsang benturan aliran darah pada endotel RV.
Pada VSD outlet (dan sebagian kecil VSD perimembran),
terdapat risiko prolaps kuspis koroner kanan atau kuspis non-
koroner katup aorta, sehingga terjadi AR progresif dan
pembentukan aneurisma sinus valsalva.
Aritmia dapat terjadi dengan angka kejadian yang lebih kecil
dibandingkan PJB lainnya.
Blok AV komplit dapat terjadi pasca operasi (sekarang jarang).
Disfungsi LV dan gagal jantung
Endokarditis

3.2.3 Diagnotik
Temuan klinis spesifik: bising holosistolik pada rongga interkostal 3-4
dan thrill di prekordial.
Ekokardiografi dapat menegakkan diagnosis dan menentukan
lokasi, jumlah, ukuran defek, besarnya beban volume di LV, dan
estimasi PAP. AR akibat prolaps kuspis harus dicermati, terutama pada
VSD outlet dan perimembran. DCRV, PS infundibular dan aneurisma
sinus valsalva juga harus disingkirkan.
Uji latih jantung harus dilakukan pada pasien dengan PH untuk
mengeksklusikan desaturasi.
CMR dapat dilakukan apabila hasil ekokardiografi meragukan,
terutama dalam menilai beban volume LV dan kuantifikasi besar pirau.
Kateterisasi jantung diperlukan untuk kasus VSD dengan dugaan PH
secara non invasif, untuk menentukan tingginya PVR.

3.2.4 Intervensi
Penutupan trans-kateter dapat menjadi alternatif, terutama pada VSD
residual, defek sulit dijangkau dengan pembedahan, dan VSD muskular
di tengah septum interventrikular, tanpa riwayat IE. Penutupan secara
bedah dapat dilakukan dengan mortalitas 1-2%, dan hasil jangka

Panduan Tatalaksana PJBD 52


panjang yang baik. Kesintasan 40 tahun pasca penutupan VSD sedikit
lebih rendah dibandingkan populasi umum.
Jarang ada pasien dewasa yang memenuhi kriteria untuk penutupan
VSD, umumnya defek kecil dengan pirau tidak signifikan, atau telah
mengalami PH yang memerlukan penilaian khusus. Pasien VSD yang
telah ditutup tetapi mengalami PH persisten atau progresif,
prognosisnya buruk.

Tabel 3.2. Rekomendasi tatalaksana VSD


Rekomendasi Kelas Level
Pasien VSD dengan bukti kelebihan beban volume di LVa I C
tanpa PH (non-invasif PAP <40 mmHg/tanpa tanda PH
atau PVR <3WU), direkomendasikan untuk penutupan
VSD tanpa melihat gejala.
Pasien VSD tanpa pirau L-R yang signifikan dengan IIa C
riwayat IE berulang, sebaiknya dipertimbangkan untuk
penutupan VSD.
Pasien VSD dengan prolaps kuspis katup aorta terkait IIa C
VSD dan menyebabkan AR progresif, sebaiknya
dipertimbangkan untuk pembedahan.
Pasien VSD dengan PVR 3-5 WU dan Qp:Qs >1.5, IIa C
sebaiknya dipertimbangkan penutupan VSD.
Pa ien VSD dengan PVR 5 WU dan Qp:Q >1.5 IIb C
sebaiknya dipertimbangkan penutupan defek di pusat
PJBD.
Pa ien VSD dengan fi iologi Ei enmenge , PVR 5 WU III C
desaturasi saat ULJ, tidak direkomendasikan untuk
penutupan VSD.
VSD = ventricle septal defect; LV = left ventricle; AR =aortic regurgitation; PVR =
pulmonary vascular resistance; PH = pulmonary hypertension; Qp:Qs = flow pulmonal :
flow systemic; L-R = left to right; IE = infective endocarditis.
a
LV dilatasi dengan peningkatan isi sekuncup.

Panduan Tatalaksana PJBD 53


Gambar 3.2. Tatalaksana VSD.

AR = aortic regurgitation; AVP = aortic valve prolaps; IE = infective endocarditis; LV = left


ventricle/ventricular; Qp:Qs = alran darah ke paru : aliran darah sistemik; PH = pulmonary
hypertension; PVR = pulmonary vascular resistance; VSD = ventricular septal defect;WU
=Wood units.
a
LV dilatasi dengan peningkatan isi sekuncup
b
Termasuk semua pasien dengan desaturasi saat istirahat (Eisenmenger physiology) atau
saat aktifitas fisik
c
Keputusan individual yang berhati-hati oleh pakar PJBD

3.2.5 Tindak lanjut


Bila terdapat AR, TR, pirau residual, disfungsi LV, PH, PS infundibular
atau DCRV, pasien harus dievaluasi rutin dengan ekokardiografi, untuk
kemungkinan intervensi. Adanya kemungkinan terjadinya blok AV
komplit harus diperhatikan (pasien dengan blok bifasikular atau
trifasikular transien pasca penutupan VSD berisiko untuk mengalami
blok AV komplit).
Pasien dengan VSD yang lebih besar, lesi valvular atau gangguan
hemodinamik, harus kontrol setiap tahun dan dievaluasi di pusat PJBD.
Pasien dengan VSD kecil (defek residual, fungsi LV normal, tanpa PH,
asimptomatik) tanpa lesi lain, cukup dievaluasi 3-5 tahun sekali. Setelah

Panduan Tatalaksana PJBD 54


penutupan trans-kateter, evaluasi teratur selama 2 tahun pertama perlu
dilakukan, kemudian bergantung pada hasil evaluasi terakhir, dapat
dievaluasi kembali dalam waktu 2-5 tahun. Setelah penutupan bedah
tanpa defek residual, pasien dapat dievaluasi 5 tahun kemudian.

3.2.6 Perhatian khusus


• Latihan/olahraga: tidak ada pembatasan untuk pasien pasca
penutupan VSD, defek kecil tanpa PH/aritmia signifikan/disfungsi
LV. Pasien dengan PH harus membatasi aktivitas (maksimal
hanya olahraga rekreasional intensitas rendah)
• Kehamilan: pasien dengan PH pra-kapiler sebaiknya disarankan
untuk tidak hamil. Risiko kehamilan rendah pada pasien
asimptomatik, fungsi LV normal, tanpa PH
Profilaksis IE: hanya direkomendasikan pada pasien risiko tinggi

3.3 Defek septum atrioventricular (atrioventricular septal defect =


AVSD)
3.3.1 Introduksi
AVSD ditandai dengan adanya AV junction yang menyatu.
AVSD parsial biasanya hanya memiliki defek di tingkat atrium (ASD
primum, jarang hanya pada tingkat ventrikel). Katup anterior dan
posterior (bridging leaflets) terhubung di tengah menjadi satu level,
menghasilkan dua orifisium kiri dan kanan.
Pada AVSD komplit, fusi sentral tidak ada, sehingga hanya terdapat
satu orifisium saja. AVSD komplit memiliki defek septum di crux jantung
yang meluas ke septum interatrial dan interventrikular (non-restriktif inlet
VSD). Nodus AV terletak di posteroinferior dari sinus koronarius. Berkas
His dan cabang kirinya berpindah ke posterior. Ini menjelaskan
abnormalitas aktivasi ventrikel (perpanjangan waktu konduksi AV dan
deviasi sumbu ke kiri), hal yang yang penting untuk di nilai saat uji
elektrofisilogi dan ablasi kateter. Kebanyakan AVSD komplit terjadi pada
pasien sindrom Down (>75%), sedangkan AVSD parsial >90% bukan
sindrom Down
AVSD mungkin terjadi bersamaan dengan TOF atau PJB kompleks
lainnya. AVSD dengan katup AV tunggal (common atrioventricular
valve) yang tidak balans di atas ventrikel, biasanya disertai dengan

Panduan Tatalaksana PJBD 55


berbagai derajat hipoplasia ventrikel (unbalanced ventricle).
Rekomendasi berikut hanya ditujukan untuk AVSD yang berimbang
(balanced ventricle).

3.3.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit


Presentasi klinis AVSD tidak spesifik, bergantung pada letak dan besar
pirau intra kardiak (L-R, R-L, bidirectional melalui ASD/VSD),
keterlibatan katup AV kiri (regurgitasi katup mitral dan katup aorta), PH,
disfungsi ventrikel atau LVOTO. Presentasi klinis berupa penurunan
kapasitas fungsional, sesak nafas, aritmia, dan sianosis. LVOTO dapat
terjadi dan berkembang seiring waktu. Blok AV komplit bisa terjadi
namun lebih lambat.
AVSD parsial (ASD primum) yang belum dikoreksi tidak jarang
dijumpai pada orang dewasa, dengan presentasi klinis seperti ASD dan/
atau seperti MR. Pasien mungkin asimptomatik, namun gejalanya akan
memburuk seiring bertambahnya usia, kebanyakan menjelang usia 40
tahun. AVSD dengan pirau L-R besar yang tidak dioperasi, dapat
mengakibatkan sindrom Eisenmenger.

3.3.3 Diagnotik
Lihat bagian 2.3 untuk prinsip secara umum. Temuan klinis bergantung
pada varian individu (lihat bagian 3.3.1 dan 3.3.2)
Ekokardiografi dapat menilai semua bagian dari AVSD, katup AV
dan koneksinya, severitas regurgitasi katup AV dan penyebabnya,
besar dan arah pirau, fungsi LV dan RV, serta ada/ tidaknya LVOTO.
ULJ dilakukan pada pasien PH untuk mengekslusi desaturasi.
CMR diindikasikan untuk menilai secara kuantitatif fungsi dan
volume ventrikel, derajat regurgitasi katup AV atau pirau intrakardiak.
Kateterisasi jantung diperlukan jika terdapat tanda-tanda noninvasif
peningkatan PAP (sistolik > 40 mmHg atau ada tanda tidak langsung
PH), untuk menentukan nilai PVR.

3.3.4 Intervensi
Intervensi bedah menjadi satu-satunya upaya koreksi AVSD, meliputi
penutupan defek dan reparasi/penggantian katup, sebaiknya dikerjakan
oleh dokter bedah PJB. Penggunaan pacu jantung endokardial pada
ASD/VSD residual berisiko menyebabkan emboli paradoksikal,
sehingga pacu jantung epikardial menjadi pertimbangan bila diperlukan.

Panduan Tatalaksana PJBD 56


Tabel 3.3. Rekomendasi intervensi AVSD
Rekomendasi Kelas Level
AVSD komplit
Pasien AVSD komplit dengan fisiologi Eisenmenger/PVR III C
>5WU yang mengalami desaturasi (saturasi O2 <90%) saat
ULJ, tidak direkomendasikan penutupan defek.
Untuk rekomendasi intervensi lihat intervensi VSD (Tabel 3.2 )
AVSD parsial (ASD primum)
Pasien AVSD parsial dengan peningkatan signifikan beban I C
volume di RV direkomendasikan untuk ditutup, sebaiknya
dilakukan oleh dokter bedah PJB.
Untuk detail, lihat rekomendasi intervensi ASD (Tabel 3.1)
Regurgitasi katup AV
Pasien AVSD simtomatik dengan regurgitasi katup AV I C
sedang-berat, direkomendasikan operasi penutupan
defek dan reparasi (prioritas) katup AV, sebaiknya oleh
dokter bedah PJB
Pasien AVSD asimtomatik dengan regurgitasi berat katup I C
AV kiri, direkomendasikan operasi penutupan defek dan
reparasi katup AV saat LV ESD >45mmb dan/atau EF<60%
setelah penyebab lain disfungsi LV disingkirkan.
Pasien AVSD asimtomatik dengan regurgitasi berat katup IIa C
AV kiri, LV normal (LV ESD <45mm dan/atau LV EF
>60%) dan risiko reparasi katup AV rendah, sebaiknya
dipertimbangkan untuk intervensi bedah saat terjadi AF
atau PAP sistol >50mmHg.
Untuk AVSD + LVOTO lihat rekomendasi intervensi pada AS Subvalvar
(bagian 3.5.3)

ASD = atrial septal defect; VSD = ventricular septal defect; RV = right ventricle; AV =
atrioventricular; AVV = atrioventricular valve; AVSD = atrioventricular septal defect; LV =
left ventricle; LVEF = left ventricular ejection fraction; LVESD = left ventricular end systolic
diameter; LVOTO = left ventricular outflow tract obstruction; PAH = pulmonary artery
hypertension; PAP = pulmonary artery pressure; PVR = pulmonary vascular resistance;
WU =Wood units.
a
berdasarkan pengalaman klinis penurunan saturasi oxygen arterial <90%.
b
Digunakan untuk ukuran orang dewasa umumnya, bisa disesuaikan kalau ukuran badan
kecil sekali.

Panduan Tatalaksana PJBD 57


3.3.5 Tindak lanjut
Tindak lanjut regular seumur hidup direkomendasikan pada semua
pasien dengan AVSD yang dioperasi atau tidak, termasuk evaluasi di
pusat PJBD. Perhatian khusus ditujukan pada pirau residual, malfungsi
katup AV, dilatasi dan disfungsi LV dan RV, peningkatan PAP, LVOTO
dan aritmia. Frekuensi evaluasi bergantung pada ukuran dan severitas
masalah. Pasien dengan AVSD yang telah dilakukan reparasi tanpa lesi
residual yang signifikan, sebaiknya dievaluasi tiap 2-3 tahun. Pada
kasus dengan lesi residual signifikan, interval evaluasi lebih pendek.
Indikasi untuk operasi ulang sama dengan indikasi operasi awal,
paling sering karena regurgitasi katup AV kiri; stenosis katup juga bisa
terjadi dan sering menyebabkan gejala, sehingga harus dioperasi.
Reparasi katup ini lebih sulit dibandingkan reparasi katup mitral.

3.3.6 Perhatian khusus


Latihan/olahraga: untuk kebanyakan pasien pasca reparasi
AVSD tanpa komplikasi, aktifitas fisik tidak perlu dibatasi. Namun
umumnya bila diukur secara obyektif, kemampuannya menurun.
Pasien dengan lesi residual, perlu rekomendasi individualistis.
Kehamilan : dapat ditoleransi oleh pasien AVSD pasca reparasi
komplit yang sempurna. Pada AVSD parsial yang tidak dioperasi,
kehamilan akan meningkatkan risiko emboli. Pasien dengan PH
pra-kapiler, seharusnya dilarang untuk hamil. Pasien dengan
regurgitasi katup AV yang tidak ada indikasi operasi, biasanya
memiliki toleransi baik untuk hamil, namun mungkin akan terjadi
aritmia dan progresifitas regurgitasi.
Profilaksis IE: hanya bagi pasien berisiko sangat tinggi.

3.4 Duktus arteriosus persisten (Patent ductus arteriosus = PDA)


3.4.1 Introduksi
PDA adalah hubungan antara proksimal LPA dan aorta desendens yang
persisten, tepat di distal arteri subklavia kiri. PDA biasanya berdiri
sendiri, tetapi dapat menyertai beragam jenis PJB.
Awalnya PDA akan menyebabkan pirau L-R yang mengakibatkan
pembebanan volume LV dan LA, PAP akan meningkat bila besar pirau

Panduan Tatalaksana PJBD 58


bermakna. Pasien dewasa dengan PDA besar, umumnya mengalami
sindrom Eisenmenger.

3.4.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit


Presentasi klinis pasien PDA dewasa meliputi :
PDA kecil: tanpa beban volume LV dan PAP normal (biasanya
asimtomatik)
PDA sedang dengan predominan beban volume LV: terjadi
dilatasi LV dengan fungsi LV normal/berkurang (timbul gejala
gagal jantung kiri)
PDA sedang dengan predominan PH pra-kapiler: beban tekanan
di RV (timbul gejala gagal jantung kanan)
PDA besar: fisiologi Eisenmenger dengan hipoksemia dan
sianosis yang berbeda (ekstremitas bawah kadang juga lengan
kiri mengalami sianosis, sedangkan lengan kanan tidak).
Aneurisma pada duktus merupakan komplikasi yang sangat jarang.

3.4.3 Diagnosis
Temuan klinis yang spesifik adalah bising kontinu, yang menghilang
saat terjadi PH, dan sindrom Eisenmenger (dengan sianosis berbeda;
saturasi oksigen harus diperiksa pada ekstremitas atas dan bawah)
Ekokardiografi untuk menilai derajat beban volume LV, PAP, ukuran
arteri pulmonalis dan perubahan jantung kanan (mungkin sulit pada
fisiologi Eisenmenger). ULJ sebaiknya dilakukan pada pasien PDA
dengan PH untuk mengekslusi desaturasi di ekstremitas bawah.
CMR: terutama untuk quantifikasi beban volume LV dan Qp:Qs.
CMR/CCT dapat digunakan untuk mengevaluasi anatomi bila perlu.
Kateterisasi dibutuhkan untuk menentukan PVR, bila ada tanda non
invasif PH (sistolik PAP > 40mmHg/tanda tidak langsung PH).

3.4.4 Intervensi
Penutupan PDA trans-kateter menjadi pilihan utama, keberhasilannya
tinggi dan komplikasinya sangat rendah. Intervensi bedah diindikasikan
jika ada lesi jantung lain, anatomi PDA tidak ideal (terlalu besar untuk
ditutup dengan alat atau duktus mengalami aneurisma). Pada orang
dewasa, kalsifikasi PDA dapat menyebabkan masalah saat bedah ligasi
PDA.

Panduan Tatalaksana PJBD 59


Tabel 3.4. Rekomendasi intervensi PDA
Rekomendasi Kelas Level
Pasien PDA dengan bukti kelebihan beban volume LV I C
tanpa PH direkomendasikan untuk penutupan PDA
terlepas dari adanya gejala.
Penutupan PDA trans-kateter direkomendasikan I C
sebagai pilihan, jika memungkinkan
Pasien PDA dengan PH, PVR 3-5 WU, Qp:Qs >1,5 Iia C
sebaiknya dipertimbangkan untuk ditutup.
Pasien PDA dengan PH, PVR 5 WU, Qp:Q >1,5 IIb C
penutupan PDA dapat dipertimbangkan, setelah ada
keputusan bersama dari tim di pusat PJBD
Pasien PDA dengan fisiologi Eisenmenger/desaturasi di III C
ekstremitas bawah saat ULJ, tidak direkomendasikan
penutupan PDA
L-R = left-to-right; LV = left ventricle/ventricular; PAH = pulmonary arterial hypertension;
PAP = pulmonary artery pressure; PDA = patent ductus arteriosus; PVR = pulmonary
vascular resistance; Qp:Qs = pulmonary to systemic flow ratio; WU = Wood units. ULJ =
uji latih jantung

Gambar 3.3. Tatalaksana PDA


LV = left ventricle; Qp:Qs = pulmonary to systemic flow ratio; PAH = pulmonary artery
hypertension; PDA = patent ductus arteriosus; PVR = pulmonary vascular resistance;WU
=Wood units.
a
LV dilatasi dengan peningkatan isi sekuncup.
b
Semua pasien dengan desaturasi ekstrimitas bawah saat istirahat (fisiologi Eisenmenger)
atau saat ULJ
c
Dibutuhkan keputusan para pakar di pusat PJBD

Panduan Tatalaksana PJBD 60


3.4.5 Tindak lanjut
Evaluasi ekokardiografi harus mencakup pengukuran LA, LV, fungsi LV,
PAP, pirau residual, dan lesi terkait.
Pasien PDA tanpa pirau residual pasca penutupan, LV dan PAP
normal, tidak membutuhkan tindak lanjut rutin setelah 6 bulan.
Pasien dengan disfungsi LV dan PH harus diikuti dengan interval 1-
3 tahun, tergantung tingkat keparahannya, termasuk evaluasi di pusat
PJBD.

3.4.6 Perhatian khusus


• Latihan/olahraga: tidak ada pantangan bagi pasien asimtomatik/
tanpa PH sebelum atau setelah intervensi. Bila ada PH, batasi
pada latihan intensitas rendah.
• Kehamilan: tidak ada peningkatan risiko yang signifikan pada
pasien tanpa PH. Pasien dengan PH pra-kapiler harus diberi
konseling untuk menghindari kehamilan.
• Profilaksis IE: hanya bagi pasien berisiko tinggi

3.5 Obstruksi alur keluar ventrikel kiri (Left ventricular outflow tract
obstruction = LVOTO)

3.5.1 Stenosis katup aorta (aortic valve stenosis = AS) valvular


3.5.1.1 Introduksi
Penyebab paling sering AS valvular adalah katup aorta bicuspid
(bicuspid aortic valve = BAV). Hingga 80% pasien BAV akan mengalami
dilatasi aorta desendens (lihat 3.7.2.).

3.5.1.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit


Seringkali pasien asimtomatis selama bertahun-tahun. Perburukan
derajat stenosis bervariasi, bergantung pada severitas awal, derajat
kalsifikasi, usia dan faktor-faktor risiko aterosklerosis. Perburukan lebih
cepat terjadi bila garis penutupan katup eksentrik atau berorientasi
antero-posterior.
Pada pasien AS valvular yang asimtomatis dengan toleransi latihan
yang baik, prognosisnya baik dan kematian mendadak jarang terjadi,
walaupun stenosisnya sudah berat.

Panduan Tatalaksana PJBD 61


Ketika gejala mulai muncul (angina pektoris, dispnea atau sinkop),
maka prognosisnya menurun drastis. Pada pasien BAV, mortalitas
dilaporkan 0,3% perpasien-pertahun, frekuensi diseksi aorta sebesar
0,03% dan endokarditis 0,3%. Dilatasi sinus aorta dan/atau aorta
desendens ditemukan pada 45% pasien setelah tindak lanjut 9 tahun

3.5.1.3 Diagnostik
Kriteria diagnostik untuk menilai derajat AS valvular dirangkum pada
Table 3.5 Tanda klinis spesifik adalah bising ejeksi sistolik di area katup
aorta yang menjalar ke arteri karotis. Klik ejeksi juga dapat terdengar
dan thrill dapat teraba. Kemungkinan CoA juga harus disingkirkan.
Gambaran EKG dapat menunjukkan LVH dengan atau tanpa strain.
Ekokardiografi merupakan baku emas untuk diagnosis AS valvular,
juga untuk menilai derajat kalsifikasi, fungsi LV, LVH dan kelainan-
kelainan lain yang berhubungan, termasuk dilatasi aorta asendens dan
CoA. Dengan ekokardiografi Doppler derajat keparahan AS valvular
dapat ditentukan dari transaortic maximal velocity (Vmax), perbedaan
tekanan rerata (mean gradient) dan continuity equation-calculated aortic
valve area (AVA). Untuk lebih detail, lihat rekomendasi penilaian
ekokardiografi AS (Tabel 3.5). TEE terkadang dapat memberikan
gambaran lebih detail tentang anatomi dan disfungsi katup atau menilai
AVA planimetri pada katup yang mengalami kalsifikasi. Ekokardiografi
dobutamin dosis rendah atau uji stres dapat membantu pada pasien AS
valvular dengan volume sekuncup yang berkurang dan disfungsi LV (AS
valvular dengan aliran rendah atau gradien tekanan yang rendah)
ULJ direkomendasikan pada pasien AS valvular yang asimtomatis,
terutama bila derajat stenosis sedang/berat, untuk memastikan status
simtom dan toleransi latihan, respon tekanan darah dan aritmia untuk
stratifikasi risiko serta penentuan waktu operasi yang tepat.
Walaupun CMR/CCT memiliki potensi untuk menilai derajat AS
valvular, tetapi lebih diutamakan untuk keperluan menilai dilatasi aorta
desendens, ketika pengukuran ekokardiografi meragukan. CCT penting
untuk menilai derajat AS valvular melalui kuantifikasi kalsifikasi katup
bila gradien tekanan trans-valvular rendah; tetapi pada pasien muda AS
valvular tidak harus dikaitkan dengan kalsifikasi yang signifikan.
Kateterisasi jantung hanya diperlukan jika evaluasi non invasif
meragukan dan untuk mengevaluasi arteri coroner, atau ketika akan
dilakukan tindakan angioplasti balon trans-kateter.

Panduan Tatalaksana PJBD 62


Tabel 3.5. Kriteria diagnostik untuk menilai keparahan AS valvular
Derajat keparahan AS valvular
Parameter penilaian
Ringan sedang Berat
Vmax (m/s) 2,6-2,9 3,0-3,9 4,0
Mean gradient < 20 20 - 39 40
AVA (cm2) >1,5 1,0 1,5 < 1,0
AVAi (cm2/m2 BSA) >0,85 0,60 0,85 <0,60
LVOT velocity/aortic valve velocity >0,50 0,25 0,50 <0,25

3.5.1.4 Terapi
Pasien yang simtomatis memerlukan operasi segera. Terapi obat-
obatan untuk gagal jantung akibat AS valvular diberikan pada pasien
yang tidak dapat dilakukan intervensi. Pengobatan dengan statin/obat
lain tidak terbukti dapat menghambat perburukannya.

3.5.1.5 Intervensi
Pada pasien remaja dan dewasa muda dengan katup non kalsifikasi,
valvuloplasti balon dapat dipertimbangkan. Prosedur ini dapat dilakukan
pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil, sebagai jembatan
menuju operasi atau untuk menunda penggantian katup (aortic valve
replacement = AVR) pada perempuan yang berkeinginan untuk hamil.
Pada pasien dengan katup yang mengalami kalsifikasi, terapi pilihan
adalah penggantian katup. Katup mekanik lebih tahan lama
dibandingkan katup biologis/homograf, tetapi memerlukan antikoagulan
seumur hidup. Prosedur Ross (two-valve operation) disarankan bagi
pasien usia subur dan pasien yang ingin menghindari antikoagulan.
Degenerasi progresif homograf pasca prosedur Ross merupakan
penyebab paling sering re-intervensi. Transcatheter pulmonal valve
implantation (TPVI) menjadi teknik alternatif pada kondisi ini, selain
bedah penggantian katup pulmonal. Transcatheter aortic valve
implantation (TAVI) saat ini tidak direkomendasikan untuk AS valvular
kongenital, kecuali bila risiko operasi sangat tinggi dan secara teknik
memungkinkan untuk dilakukan.

Panduan Tatalaksana PJBD 63


Tabel 3.6. Rekomendasi untuk intervensi pada AS valvular

Rekomendasi Kelas Level


Pasien simtomatis dengan AS valvular berat
Pasien simtomatis dengan AS valvular berat (gradien I B
e a a 40 mmHg/Vmax >4 m/s), direkomendasikan
intervensi
Pasien simtomatis dengan AS valvular berat tetapi aliran I C
rendah (gradien rerata < 40 mmHg, EF dan cadangan
aliran (kontraktil) menurun), setelah diyakini tidak ada
AS pseudosevere, direkomendasikan intervensi.
Pasien asimtomatis dengan AS valvular berat
Pasien asimtomatis dengan AS valvular berat dan ULJ I C
menunjukkan abnormalitas yang sesuai dengan AS,
direkomendasikan intervensi.
Pasien asimtomatis dengan AS valvular berat dan LV EF I C
<50%, bukan oleh sebab lain, direkomendasikan
intervensi.
Pasien asimtomatis dengan AS valvular berat dan saat IIa C
ULJ terjadi penurunan TD < nilai sebelum tes dimulai,
sebaiknya dipertimbangkan intervensi
Pasien asimtomatis dengan AS valvular berat dan EF IIa C
normal, ULJ normal, sebaiknya dipertimbangkan
operasi katup aorta jika risiko operasi rendah dan ada
satu dari kriteria dibawah ini:
- AS sangat berat (Vmax > 5,5 m/detik)
- Kalsifikasi katup berat dan laju perkembangan
Vma 0,3 m/de / ah n
- Nilai BNP naik > 3x nilai normal (sesuai umur, jenis
kelamin, dengan pengukuran berulang), dan bukan
karena sebab lain yang diketahui
- PH berat (PAP sistolik istirahat >60 mmHg secara
invasif) tanpa sebab lain yang diketahui
Operasi katup aorta bersamaan dengan operasi kardiovaskular lain
Pasien AS valvular berat yang akan menjalani operasi I C
aorta asendens/ CABG/katup lain, direkomendasikan
untuk operasi katup aorta juga

Panduan Tatalaksana PJBD 64


Pasien AS valvular sedang yang menjalani operasi IIa C
pada aorta asendens/CABG/katup lain, sebaiknya
dipertimbangkan untuk AVR
AS = aortic stenosis; BNP = B-type natriuretic peptide; CABG = coronary artery bypass
graft; EF = ejection fraction; LV = left ventricle; PAP = pulmonary artery pressure; PH =
pulmonary hypertension; Vmax = maximum Doppler velocity; AVR = aortic valve
replacement

3.5.1.6 Tindak lanjut


Tindak lanjut teratur dan seumur hidup diperlukan, dengan interval
sesuai derajat AS valvular; pasca intervensi trans-kateter minimal
setahun sekali.
Ekokardiografi digunakan untuk menentukan perburukan AS valvular
dan dilatasi aorta. CMR atau CCT aorta direkomendasikan pada pasien
BAV, pasca AVR, yang aorta ascendens tidak tervisualisasi jelas
dengan TEE atau bila diameter akar aorta/aorta desendens > 40 mm.

3.5.1.7 Perhatian khusus


Latihan/olahraga: pasien AS valvular berat yang simtomatis/
asimtomatis dan AS valvular sedang karena BAV yang disertai
dilatasi aorta, harus menghindari olahraga isometris dan olahraga
intensitas berat. Pada AS valvular ringan dan sedang tanpa
dilatasi aorta, aktifitas fisik lebih berat diperbolehkan.
Kehamilan: kontra indikasi pada pasien AS valvular berat yang
simtomatis. Intervensi seharusnya dilakukan sebelum kehamilan.
Pada pasien yang asimtomatis dengan AS valvular berat dan ULJ
normal, kehamilan dimungkinkan pada kasus tertentu. Aorta
memerlukan perhatian khusus, karena dilatasi aorta pada BAV
dapat dipicu dan berkembang selama dan sesudah kehamilan,
juga terdapat risiko diseksi aorta.
Profilaksis IE: hanya direkomendasikan bila pasien berisiko tinggi

3.5.2 Stenosis aorta (aortic stenosis = AS) supravalvular


3.5.2.1 Introduksi
AS supravalvular dapat terjadi sebagai bagian dan merupakan ciri khas
dari sindrom Williams-Beuren, atau berdiri sendiri/familial akibat delesi
atau mutasi gen elastin pada kromosom 7q11.23. Defek genetik ini
menyebabkan arteriopati obstruktif dengan keparahan bervariasi, yang

Panduan Tatalaksana PJBD 65


paling nyata terdapat pada sinotubular junction. Pasien sindrom William-
Beuran dan mutasi gen elastin memiliki risiko transmisi 50%. AS
supravalvular juga dapat ditemukan pada hiperkolesterolemia
homozygous familial.
AS supravalvular berbentuk diafragma fibrosa yang terlokalisir distal
dari ostium koroner atau paling umum deformitas seperti bagian luar
gelas jam tangan (hourglass) yang menyebabkan penyempitan lumen
atau stenosis difus aorta ascendens. AS supravalvular bisa juga
menyertai abnormalitas katup aorta, hypoplasia seluruh aorta, stenosis
ostium koroner atau stenosis cabang utama aorta atau arteri pulmonalis.

3.5.2.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit


Sebagian besar gejala muncul pada saat masa kanak-kanak baik akibat
obstruksi alur keluar atau iskemia miokardium. Meskipun perburukan
AS supravalvular jarang terjadi pada usia dewasa, namun tetap ada
risiko komplikasi kardiak. Kematian mendadak jarang terjadi, tetapi
umum terjadi pada AS supravalvular dengan sindrom William-Beuren,
stenosis arteri pulmonalis perifer yang difus, penyakit jantung koroner,
khususnya ketika dilakukan prosedur anestesi.

3.5.2.3 Diagnostik
Pada auskultasi terdengar bising ejeksi sistolik yang keras, paling jelas
di batas sternum kiri bawah, tanpa klik ejeksi atau bising diastolik AR.
Ekokardiografi memungkinkan diagnosis anatomis AS supra-
valvular. Dengan Doppler dapat diukur gradien tekanan, tetapi hasilnya
bisa lebih/kurang dari nilai sebenarnya. TEE dapat memvisualisasi
ostium koroner dengan baik, apalagi kalau digunakan TEE 3D. Uji latih
jantung: lihat AS valvular
CMR/CCT: berguna untuk evaluasi lebih detail anatomi AS supra-
valvular, khususnya jika ada LVOTO multilevel atau untuk evaluasi (pra-
operasi) anatomi arteri koroner dan lesi aorta/cabang aorta (misalnya
stenosis arteri karotis dan renal), juga arteri pulmonalis utama dan
cabang-cabangnya. Kateterisasi jantung: hanya direkomendasikan bila
hasil non invasif meragukan.
Evaluasi genetik dengan konseling dan tes lanjutan teknik micro
array dapat digunakan untuk mendiagnosis sindrom William-Beuren
dan pengurutan gen elastin pada presentasi non sindrom.

Panduan Tatalaksana PJBD 66


3.5.2.4 Intervensi
Operasi merupakan pilihan utama untuk AS supravalvular, angka
kematiannya < 5% baik pada tipe diafragma fibrosa maupun stenosis
yang panjang. Karena arteri koroner terpapar pada area bertekanan
yang tinggi, maka beralasan untuk dilakukan operasi AS supravalvular
lebih awal, khususnya jika tidak perlu penggantian katup. Angka
bertahan hidup pasca operasi dilaporkan 80-85% pada 20 tahun. AR
dapat timbul pada sekitar 25% pasien, tetapi biasanya tidak progresif
setelah dilakukan operasi AS supravalvular.

Tabel 3.7. Rekomendasi untuk intervensi pada AS supravalvular


Rekomendasi Kelas Level
Pasien AS supravalvular simtomatik (saat istirahat/ saat I C
ULJ) dengan g adien ekanan Dopple e a a 40 mmHg,
direkomendasikan untuk operasi
Pasien AS supravalvular dengan gradien tekanan Doppler I C
rerata < 40 mmHg, operasi direkomendasikan jika ada
satu/lebih temuan dibawah ini:
Simtomatik akibat LVOTO (dispnea saat aktifitas,
angina atau sinkop)
Disfungsi sistolik LV (EF <50 % tanpa sebab lain)
Operasi diperlukan karena penyakit kardiovaskular lain
Pasien AS supravalvular asimtomatik dengan gradien IIb C
ekanan Dopple e a a 40 mmHg, di f ng i i olik LV,
LVH atau ULJ abnormal - dapat dipertimbangkan untuk
operasi reparasi, jika risiko operasi rendah
AS = aortic stenosis; EF = ejection fraction; LV = left ventricle; LVEF = left ventricular
ejection; LVOTO = left ventricle outflow tract obstruction.

3.5.2.5 Tindak lanjut


Evaluasi regular diperlukan seumur hidup, termasuk evaluasi di pusat
PJBD.. Perkembangan gejala diamati. Ekokardiografi digunakan untuk
mengevaluasi progresifitas stenosis, ukuran dan fungsi LV, mendeteksi
restenosis pasca operasi, aneurisma aorta (mungkin perlu dipastikan
dengan CMR/CCT), dan terjadi/berkembangnya stenosis arteri koroner.

3.5.2.6 Perhatian khusus


Latihan/olahraga: lihat AS valvular

Panduan Tatalaksana PJBD 67


Kehamilan: lihat AS valvular. Pasien sindrom William-Beuran dan
mutasi gen elastin skrining keluarga direkomendasikan.
Profilaksis IE: direkomendasikan hanya untuk pasien risiko tinggi.

3.5.3 Stenosis aorta (aortic stenosis = AS) subvalvular


3.5.3.1 Introduksi
AS subvalvular bisa berdiri sendiri, tetapi seringkali menyertai kelainan
katup aorta, VSD, AVSD, kompleks Shone (obstruksi multilevel jantung
kiri) atau timbul pasca bedah reparasi lesi-lesi tersebut. AS subvalvular
dapat berupa cincin fibrosa atau penyempitan fibromuskular Panjang di
LVOT proksimal dari katup aorta, kelainan ini perlu dibedakan dengan
kardiomiopati hipertrofi obstruktif

3.5.3.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit


Perjalanan klinis sangat bervariasi. Adanya lesi lain, khususnya VSD
berhubungan dengan perkembangan AS subvalvular; umur sepertinya
tidak berperan pada kelainan ini. AR sering dijumpai, tetapi jarang
signifikan atau progresif. Walaupun tidak sering, kematian mendadak
telah dilaporkan pada pasien AS subvalvular.

3.5.3.3 Diagnostik
Temuan klinis utama yaitu bising ejeksi sistolik pada batas sternum kiri,
tanpa klik ejeksi, dan bising diastolik (bila ada AR).
Ekokardiografi dapat melihat anatomi LVOT, abnormalitas katup
aorta, derajat AR, fungsi LV, LVH dan kelainan-kelainan yang
berhubungan. Dengan Doppler, keparahan obstruksi subvalvular dapat
ditentukan, tetapi mungkin didapat estimasi berlebih dalam menentukan
gradien tekanan, sehingga perlu konfirmasi kateterisasi jantung.
Terkadang, TEE diperlukan untuk menunjukkan bentuk obstruksi lebih
detail, apalagi bila digunakan TEE 3D, maka anatomi LVOT yang
kompleks akan lebih jelas dan area obstruksi dapat diukur secara
planimetri.
CMR dipakai untuk menentukan anatomi LVOT yang kompleks,
terutama pada pasien dengan jendela akustik yang buruk.

Panduan Tatalaksana PJBD 68


3.5.3.4 Intervensi
Operasi merupakan satu-satunya intervensi yang efektif, karena dapat
mereseksi keseluruhan cincin fibrosa dan sebagian otot di bawah katup
sepanjang permukaaan septal kiri. AS subvalvular yang disebabkan
oleh jaringan fibromuskular panjang, memerlukan reseksi yang lebih
ekstensif atau prosedur Konno. Hasil operasi umumnya baik, tetapi
restenosis dapat terjadi. Pada pasien dengan risiko operasi rendah dan
secara morfologi cocok untuk dilakukan reparasi, ambang batas untuk
melakukan intervensi lebih rendah dibanding AS valvular, karena tidak
diperlukan implantasi katup aorta. Pada kasus AS subvalvular dengan
AR yang sedang atau berat, katup aorta harus direparasi atau diganti.

Tabel 3.8. Rekomendasi untuk intervensi pada AS subvalvular

Rekomendasi Kelas Level

Pasien AS subvalvular simtomatik (saat istirahat atau I C


aa ULJ) dan g adien ekanan Dopple e a a 40 mmHg
atau dengan AR berat, direkomendasikan operasi.

Pasien AS subvalvular asimtomatik sebaiknya IIa C


dipertimbangkan operasi jika ada satu/lebih temuan:
Gradien tekanan rerata <40 mmHg, LV EF <50 %
AR yang berat dan LV ESD > 50 mm
Gradien tekanan rerata 40mmHg, LVH signifikan
G adien ekanan e a a 40 mmHg dan e dapa
penurunan TD saat ULJ dibawah TD sebelum ULJ.
Pasien AS subvalvular asimtomatik dapat IIb C
dipertimbangkan operasi jika ada satu/lebih temuan:
Gradien tekanan Doppler rerata 40 mmHg, LV
normal (EF>50% dan tidak ada LVH), ULJ normal
dan risiko operasi rendah
Perburukan AR yang terdokumentasi dan derajat
AR bertambah menjadi lebih dari ringan (untuk
mencegah perburukan lebih lanjut)
AR = aortic regurgitation; EF = ejection fraction; LV = left ventricle; LVEF = left ventricular
ejection fraction; LVESD = left ventricular end systolic diameter; LVH = left ventricular
hypertrophy. ULJ = uji latih jantung; TD = tekanan darah.

Panduan Tatalaksana PJBD 69


Gambar 3.4. Tatalaksana LVOTO berat
AS = aortic stenosis; LVEF = left ventricular ejection fraction; LVOTO = left ventricular
outflow tract obstruction; PAP = pulmonary artery pressure; PH = pulmonary hypertension;
SubAS = subaortic stenosis SupraAS = supravalvular aortic stenosis.
a
Lihat bagian 3.5. Ada perbedaan mendasar dalam tatalaksana dibandingkan AS valvular,
khususnya karena ada unsur penggantian katup
b
Vmax >5.5m/s; kalsifikasi berat + peak velocity progression >0.3 m/s/y; peningkatan
neurohormone menonjol (>3x lipat disesuaikan umur, jenis kelamin nilai normal); PH berat
(tekanan systolik PAP >60mmHg tanpa sebab kain).

3.5.3.5 Tindak lanjut


TIndak lanjut perlu dilakukan regular - seumur hidup, termasuk evaluasi
di pusat PJBD. Pada pasien yang tidak dioperasi, dengan ekokardiografi
diikuti perkembangan obstruksi, AR, LVH, fungsi dan ukuran LV. Pada
pasien pasca operasi, evaluasi ditujukan terhadap kemungkinan re-
stenosis, progresifitas AR atau komplikasi lain seperti aritmia, blok AV
atau VSD iatrogenik.

Panduan Tatalaksana PJBD 70


3.5.3.6 Perhatian khusus
• Latihan/olahraga: lihat AS valvular (lihat bagian 3.5.1)
• Kehamilan: hanya dikontraindikasikan pada AS subvalvular yang
berat dan simtomatis, di mana operasi seharusnya dilakukan
sebelum kehamilan (bahkan pasien AS subvalvular berat yang
asimtomatis pun, operasi seharusnya dapat dipertimbangkan)
• Profilaksis IE: direkomendasikan hanya untuk pasien risiko tinggi

3.6 Koartasio Aorta (coarctatio aorta = CoA)


3.6.1 Introduksi
CoA seharusnya dianggap sebagai bagian dari arteriopati umum, dan
tidak hanya berupa penyempitan aorta saja. Bentuknya bisa diskrit, atau
sebagai area hipoplastik panjang di segmen aorta (arkus). Umumnya
CoA terjadi di area duktus arteriosus, jarang terjadi secara ektopik (di
aorta asendens, desendens, atau abdominal).
Lesi penyerta termasuk: BAV (85%), aneurisma aorta asendens, AS
subvalvular atau supravalvular, stenosis (di atas) katup mitral (termasuk
katup mitral parasut), kompleks Shone, atau PJB kompleks lainnya.
CoA dapat dikaitkan dengan sindrom Turner dan sindrom Williams
Beuren. Kelainan vaskular ekstrakardiak yang menyertai CoA termasuk
anomali pangkal arteri subklavia kanan (45%), sirkulasi arteri kolateral,
dan aneurisma intraserebral (10%).

3.6.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit


Pasien dengan CoA berat, biasanya muncul dengan tanda dan gejala
dini, sementara kasus yang sangat ringan tanpa gejala sampai usia
dewasa; biasanya CoA terdeteksi karena adanya hipertensi arterial.
Gejala utama termasuk sakit kepala, sering mimisan, pusing, tinnitus,
sesak napas, angina abdominal, klaudikasio, dan kaki dingin.
Pasien CoA yang mencapai usia remaja menunjukkan luaran yang
sangat baik, dengan kelangsungan hidup jangka panjang hingga usia
60 tahun. Morbiditas jangka panjang sebagian besar terkait dengan
komplikasi aorta dan hipertensi yang berlangsung lama. Perjalanan
penyakit mungkin dipersulit oleh gagal jantung kiri, perdarahan
intrakranial (dari aneurisma Berry), endokarditis, diseksi/ruptur aorta,
penyakit arteri koroner/serebral yang prematur, serta PJB penyerta.

Panduan Tatalaksana PJBD 71


3.6.3 Diagnostik
Pengukuran tekanan darah ekstremitas atas dan bawah adalah
pemeriksaan utama yang dibutuhkan pada semua kasus koarktasio.
Gradien tekanan darah sistolik >20 mmHg antara ekstremitas atas dan
bawah menunjukkan CoA yang signifikan. Denyut nadi lemah atau tidak
teraba di ekstremitas bawah atau keterlambatan denyut radio-femoral
juga menandai CoA yang signifikan. Pengukuran tekanan darah lengan
kanan secara ambulatori direkomendasikan untuk mendeteksi/
mengkonfirmasi hipertensi arterial (rerata 24 jam sistolik >130 mmHg
dan/atau diastolik >80 mmHg).
Temuan lain adalah thrill yang teraba di suprasternal (obstruksi
proksimal), bising interskapular (sistolik), atau bising kontinu (karena
pembuluh darah kolateral). Pada CoA yang berat, bising mungkin sama
sekali tidak terdengar. Foto Rontgen dada mungkin tampak lekukan di
tulang rusuk ketiga dan keempat (sampai kedelapan) karena kolateral.
Ekokardiografi memberikan informasi mengenai situs, struktur, dan
panjang CoA, fungsi LV, dan LVH, lesi jantung penyerta, diameter aorta
dan pembuluh supra-aorta. Gradien Doppler tidak berguna untuk
kuantifikasi (re-)CoA; karena adanya arteri kolateral yang ekstensif,
membuat gradien berkurang. Pasca bedah reparasi atau stenting,
terjadi peningkatan laju aliran sistolik, meskipun penyempitan tidak
signifikan, karena penurunan/hilangnya komplians aorta dan Doppler-
related pressure recovery; maka bisa terjadi peningkatan gradien
tekanan yang melebihi kondisi sebenarnya. Diastolic tail di aorta
desendens dan aliran diastolik di aorta abdominal merupakan tanda
adanya (re-)CoA yang signifikan.
CMR dan CCT, termasuk rekonstruksi 3D, merupakan teknik non-
invasif yang lebih dipilih untuk mengevaluasi seluruh aorta pada usia
remaja dan orang dewasa. Keduanya menggambarkan situs, luas, dan
derajat penyempitan aorta, arkus aorta dan pembuluh darah kepala/
leher, aorta sebelum dan sesudah area stenosis, dan kolateral. Kedua
metode mendeteksi komplikasi seperti aneurisma, aneurisma palsu,
restenosis, atau stenosis residual. Pencitraan pembuluh darah
intraserebral diindikasikan jika ada gejala dan/atau manifestasi klinis
aneurisma/ruptur pembuluh darah otak.
Kateterisasi jantung: jika tidak ada kolateral, gradien puncak ke
p ncak 20 mmHg menandai CoA signifikan. Kateterisasi dilakukan

Panduan Tatalaksana PJBD 72


saat akan dikerjakan intervensi. Perlu dicatat bahwa, dalam anestesi
umum, pengukuran gradien bisa lebih rendah dari nilai sebenarnya.

3.6.4 Intervensi
Pada CoA/re-CoA, stenting trans-kateter menjadi terapi pilihan pertama,
bila anatomi memungkinkan dan sebaiknya dilakukan di pusat PJBD.
Penggunaan covered stent lebih disukai, karena komplikasi jangka
pendek dan jangka panjang yang lebih rendah. Stent biodegradable
sedang dalam pengembangan, utamanya pada anak-anak, ketika aorta
sedang berkembang dan masih diharapkan untuk tumbuh. Balon
angioplasti pada CoA dewasa hanya diindikasikan untuk dilatasi ulang
stent aorta yang dipasang sebelumnya.

Tabel 3.9. Rekomendasi untuk intervensi pada CoA dan re-CoA


Rekomendasi Kelas Level
Pasien CoA/re-CoA dengan hipertensia dan terdapat I C
peningkatan gradien non-invasif antara ekstrimitas atas
dan bawah yang diperkuat dengan pengukuran invasif
puncak-ke-puncak > 20 mmHg, direkomendasikan
intervensi dengan pilihan pertama trans-kateter (stenting),
jika memungkinkan secara teknis.
Pasien CoA dengan hipertensia dan penyempitan relatif IIa C
>50% terhadap diameter aorta setinggi diafragma,
sebaiknya dipertimbangkan intervensi trans-kateter
(stenting) bila teknis memungkinkan, walaupun gradien
(puncak-ke-puncak < 20 mmHg)
Pasien CoA normotensi dengan peningkatan gradien IIa C
non-invasif yang dikonfirmasi pada pengukuran invasif
(p ncak ke p ncak 20mmHg), sebaiknya
dipertimbangkan intervensi trans-kateter (stenting) bila
teknis memungkinkan.
Pasien CoA normotensia dengan penyempitan relatif IIb C
50% e hadap diame e ao a e inggi diaf agma, dapat
dipertimbangkan intervensi trans-kateter (stenting) jika
teknis memungkinkan, walaupun gradien invasif puncak
ke puncak <20 mmHg,
a
Pengukuran tekanan darah ambulatori lengan kanan harus dipertimbangkan untuk
diagnosis hipertensi.

Panduan Tatalaksana PJBD 73


Karena CoA bukan penyakit yang terlokalisasi hanya pada aorta,
maka lesi penyerta yang mungkin juga memerlukan intervensi, harus
dipertimbangkan misalnya:
• Stenosis atau regurgitasi katup aorta bermakna (BAV).
• Aneurisma aorta asendens dengan diameter > 50 mm atau
penambahan diameter yang cepat.
• Aneurisma dan aneurisma palsu di lokasi CoA sebelumnya.
• Aneurisma sirkulus Willis yang bergejala atau besar.
Sedangkan untuk intervensi bedah, ada beberapa pilihan, yaitu
reseksi dan penyambungan ujung ke ujung yang diperluas (extended
end-to-end anastomosis), prosthetic patch aortoplasty, subclavian flap
aortoplasty, interposisi saluran graft, dan pemasangan saluran graft
pintas, hanya dua teknik terakhir yang sering digunakan pada CoA
dewasa.

3.6.5 Tindak lanjut


Evaluasi ditujukan untuk mengatasi komplikasi atau gejalan residual
yang mungkin terjadi:
• Hipertensi arterial saat istirahat atau selama olahraga sering
terjadi setelah intervensi berhasil, dan merupakan faktor risiko
penting untuk penyakit jantung koroner prematur, disfungsi LV,
dan ruptur aorta atau aneurisma serebri.
• Geometri arkus aorta (gothic, crenel, normal) dan ukuran aorta di
daerah stent yang lebih kecil mungkin berperan dalam
perkembangan hipertensi. Pengukuran tekanan darah lengan
kanan secara ambulatori 24 jam lebih baik untuk mendeteksi
hipertensi daripada pengukuran satu kali. Signifikansi dari
hipertensi yang diinduksi oleh olahraga masih diperdebatkan.
• G adien ekanan ang meningka ( i olik 20 mmHg) pada
ekstremitas atas dan bawah menunjukkan CoA ulang, dan perlu
penilaian invasif untuk tatalaksana.
• Perawatan medis untuk hipertensi arteri harus mengikuti
Pedoman PERKI
• CoA ulang atau CoA residual, dapat menyebabkan atau
memperburuk hipertensi dan komplikasinya.
• Aneurisma aorta asendens atau di tempat intervensi
menyebabkan risiko ruptur dan kematian (misalnya penggunaan

Panduan Tatalaksana PJBD 74


patch Dacron), sedangkan interposisi graft dapat menyebabkan
risiko aneurisma palsu.
• Perhatian diperlukan untuk BAV, penyakit katup mitral, penyakit
koroner prematur, dan aneurisma berry dari sirkulus Willis
(pemeriksaan rutin pada pasien asimtomatik tidak dianjurkan).
• Semua pasien CoA memerlukan tindak lanjut rutin setidaknya
setiap tahun. Pencitraan aorta (sebaiknya dengan CMR)
diperlukan untuk mendokumentasikan anatomi pasca-perbaikan
atau pasca-intervensi dan komplikasinya (restenosis, aneurisma,
pembentukan aneurisma palsu). Interval pencitraan yang
direkomendasikan biasanya setiap 3-5 tahun tetapi juga
tergantung pada patologi dasar.

3.6.6 Perhatian khusus


• Latihan/olahraga : pasien tanpa obstruksi residual, yang
normotensif saat istirahat dan olahraga, biasanya dapat hidup
normal tanpa batasan. Pasien dengan hipertensi, obstruksi
residual, atau komplikasi lain harus menghindari latihan isometrik
berat sesuai dengan tingkat keparahannya.
• Kehamilan: setelah intervensi CoA yang berhasil, umumnya
kehamilan berlangsung tanpa masalah besar. Sedangkan
perempuan dengan CoA yang belum diintervensi (tapi bisa juga
pada yang sudah diintervensi tetapi terdapat hipertensi arterial,
CoA residual, atau aneurisma aorta) berisiko mengalami ruptur
aorta atau ruptur aneurysma serebral selama kehamilan dan
persalinan. Keguguran yang berulang dan hipertensi juga telah
dilaporkan.
• Pencegahan IE: direkomendasikan untuk pasien resiko tinggi.

Panduan Tatalaksana PJBD 75


Gambar 3.5. Manajemen CoA dan Re-CoA
a
Pengukuran tekanan darah lengan kanan ambolatori sebaiknya diperrtimbangkan untuk
dilakukan sebagai dasar diagnosis
b
Diukur secara invasive
c
Dibandingkan dengan diameter aorta setinggi diafragma

3.7 Aortopati

3.7.1 Sindrom Marfan, heritable thoracic aortic diseases (HTAD)


3.7.1.1 Introduksi
Sindrom Marfan adalah prototipe entitas sindrom HTAD yang ditandai
dengan kelainan klinis dan genetik yang heterogen, dengan aneurisma
atau diseksi aorta torakalis sebagai denominator.

3.7.1.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit


Meskipun penyakit aorta torakalis dapat terdeteksi melalui skrining
aneurisma atau diseksi pada kondisi darurat, adalah prinsip pada
sindrom Marfan/HTAD untuk memahami karakteristiknya, dengan
mengenali gambaran sistem organ ekstra-aorta sebagai bagian dari

Panduan Tatalaksana PJBD 76


sindrom ini, seperti skeletal/okular yang mungkin justru menjadi kunci
diagnosis.
Prognosis semua entitas HTAD terutama ditentukan oleh pelebaran
aorta yang progresif, yang bisa menyebabkan diseksi/ruptur aorta.
Prognosis bervariasi sesuai kelainan genetik yang mendasarinya. Usia
rerata kematian pasien sindrom Marfan yang tidak diobati <40 tahun,
tetapi dapat mendekati populasi umum, bila diagnosis tepat waktu dan
diterapi dengan benar. Penyebab kematian lainnya yang lebih jarang
termasuk gagal jantung dan kematian mendadak.
Pada sindrom Marfan, penentu utama diseksi aorta tipe A adalah
diameter pangkal aorta, bila 50 mm maka risiko ruptur meningkat.
Faktor risiko lain termasuk riwayat keluarga yang mengalami diseksi
pada diameter aorta rendah, laju penambahan ukuran pangkal aorta,
kehamilan, dan hipertensi. Kini semakin banyak bukti tentang
perbedaan risiko diseksi aorta berbasis genetika yang perlu
dipertimbangkan. Bagian lain dari aorta atau cabang-cabang utamanya
juga dapat melebar atau diseksi.
Adanya AR, TR atau MR yang signifikan, biasanya terkait dengan
prolaps katup, yang dapat menyebabkan kelebihan volume ventrikel.
Namun, disfungsi LV juga bisa terjadi secara independen, mungkin
berhubungan dengan aritmia. Prolaps katup mitral pada pasien dengan
sindrom Marfan timbul lebih awal dan berkembang menjadi MR berat,
sehingga memerlukan pembedahan. IE juga lebih awal terjadi
dibandingkan pada prolaps katup mitral idiopatik.

3.7.1.3 Diagnostik
Identifikasi dini dan penegakan diagnosis yang benar sangat penting
karena profilaksis bedah dapat mencegah diseksi dan ruptur aorta. Ini
membutuhkan pendekatan multidisiplin dengan mengintegrasikan
temuan klinis dan genetika. Diagnosis sindrom Marfan didasarkan pada
kriteria Ghent, di mana aneurisma/diseksi aortic root dan ectopia lentis
sebagai gambaran utama.
Pemeriksaan genetika berguna untuk konfirmasi diagnosis dan
menentukan tatalaksana. Derajat peningkatan mutasi dalam bentuk
sindrom lebih tinggi (> 90%) dibandingkan pada entitas non-sindrom (20
- 30%). Setelah varian patogen teridentifikasi, skrining genetik anggota
keluarga yang tidak bergejala wajib dilakukan, untuk memungkinkan
penatalaksanaan dini dan tepat.

Panduan Tatalaksana PJBD 77


Pemantauan Holter harus dilakukan pada pasien bergejala, sebab
aritmia ventrikel, gangguan konduksi, dan henti jantung mendadak
dapat terjadi.
Penilaian ekokardiografi dari pangkal aorta harus meliputi
pengukuran anulus, sinus, sinotubular junction, aorta asendens, arkus,
dan aorta desendens torakalis. Pada orang dewasa, direkomendasikan
pengukuran pada fase diastol akhir. Nilai yang diperoleh harus dikoreksi
sesuai usia, jenis kelamin, dan ukuran tubuh menggunakan nomogram
standar. Morfologi katup (prolaps katup mitral, BAV) dan fungsinya
harus dinilai, demikian halnya dengan PDA. Dimensi dan fungsi LV
harus ditangani sesuai dengan rekomendasi yang standar.
CMR/angiografi CCT dari kepala ke pelvis harus dilakukan pada
setiap pemeriksaan awal pasien, agar didapat pencitraan seluruh aorta
dan percabangannya. Selain mengukur diameter aorta, informasi
tentang tortuositas aorta dan arteri vertebralis penting untuk diagnostik
dan prognostik.

3.7.1.4 Terapi Medikamentosa


Meskipun tidak ada bukti penurunan angka kematian atau diseksi, beta
blocker tetap menjadi andalan untuk terapi medis pasien Marfan/HTAD,
karena dapat mengurangi stres pada dinding pembuluh darah dan
menghambat dilatasi aorta.
Pengendalian hipertensi yang ketat diperlukan, untuk mencapai
tekanan darah sistolik ambulatori 24 jam < 130 mmHg (110 mmHg pada
pasien dengan diseksi aorta). Dalam beberapa penelitian, ARB tidak
terbukti memiliki efek yang lebih baik daripada beta blocker atau
sebagai tambahan beta blocker. Tetapi ARB dapat dipertimbangkan
sebagai alternatif, pada pasien yang tidak toleran terhadap beta blocker.
Terapi medikamentosa harus tetap dilanjutkan setelah operasi.

3.7.1.5 Intervensi
Bedah profilaksis pada pangkal aorta adalah satu-satunya terapi definitif
untuk mencegah diseksi aorta pada sindrom Marfan dan HTAD. Pada
pasien aortopati dengan katup aorta normal/AR ringan, penggantian
pangkal aorta dengan prostesa Dacron disertai implantasi ulang arteri
koroner ke prostesa dan mempertahankan katup asli (prosedur David),
menjadi prosedur pilihan dengan hasil jangka panjang yang baik,
termasuk pada pasien Marfan.

Panduan Tatalaksana PJBD 78


Penggantian graft komposit, biasanya menggunakan katup mekanis,
jadi lebih tahan lama, tetapi membutuhkan antikoagulan seumur hidup.
Keputusan tentang teknik yang akan digunakan harus dibuat
berdasarkan kondisi pasien dengan memperhatikan preferensi pasien
serta pengalaman dokter bedah PJB.
Sindrom Marfan dan HTAD lainnya dikaitkan dengan risiko diseksi
dan aneurisma berulang di aorta distal, terutama pasca pembedahan.
Dengan peningkatan harapan hidup, komplikasi ini lebih sering terjadi.
Operasi aorta terbuka tetap menjadi metode referensi pada kondisi ini,
meskipun prosedur hibrida dengan stenting endovaskular dan
implantasi conduit Dacron pada bagian proksimal dan distal dapat
dipertimbangkan pada kasus-kasus tertentu.

3.7.1.6 Tindak lanjut


Tindak lanjut multidisiplin yang regular - seumur hidup di pusat PJBD
sangat dibutuhkan. Ekokardiografi, CCT/CMR adalah modalitas utama.

3.7.1.7 Perhatian khusus


• Olahraga: hindari olahraga kontak, kompetitif, dan isometrik.
• Kehamilan: pada semua gender yang dikonfirmasi secara genetik
menderita sindrom Marfan/HTAD, terdapat 50% risiko transmisi,
oleh karena itu konseling genetika penting.
Perempuan dengan diameter pangkal aorta >45 mm tanpa
intervensi sebelumnya, direkomendasikan untuk tidak hamil,
karena peningkatan risiko diseksi pada kehamilan. Bila diameter
pangkal aorta <40 mm, jarang ada masalah, meskipun diameter
yang benar-benar aman tidak ada. Bila diameter pangkal aorta
40-45 mm, progresifitas dilatasi pangkal aorta dan riwayat
keluarga menjadi faktor penting sebagai bahan pertimbangan
kehamilan. Setelah operasi aorta asendens, pasien Marfan tetap
berisiko untuk terjadinya diseksi aorta.
• Profilaksis IE: hanya untuk pasien dengan risiko tinggi

3.7.2 Penyakit katup aorta bikuspid (bicuspid aortic valve = BAV)


Berdasarkan beberapa laporan kasus, 20-84% pasien dengan BAV
akan mengalami dilatasi aorta asendens. Hal ini membuktikan bahwa,
BAV merupakani bagian dari spektrum valvulo-aortopati, sehingga
istilah penyakit aorta bikuspid lebih tepat. Meskipun kontribusi

Panduan Tatalaksana PJBD 79


abnormalitas dinding intrinsik/genetik dan perubahan hemodinamik
dalam progresifitas dilatasi aorta masih diperdebatkan, namun kedua
faktor tersebut agaknya ikut terlibat.
Tanpa adanya disfungsi katup yang signifikan, dilatasi aorta pada
penyakit BAV biasanya berkembang tanpa gejala, namun risiko diseksi
aorta akut meningkat. Angka kejadian diseksi aorta delapan kali lipat
populasi umum, namun dalam jumlah absolut masih terhitung rendah
(31/100.000 orang/tahun) dan jauh lebih rendah daripada sindrom
Marfan/HTAD. Studi observasional menunjukkan bahwa, luaran klinis
pasien penyakit BAV lebih mirip dengan populasi umum dengan
aneurisma, dan merupakan aortopati yang lebih jinak daripada Marfan/
HTAD.
Untuk pemeriksaan diagnostik yang diperlukan, lihat bagian 3.7.1.3.
Sampai saat ini, tidak ada bukti pengobatan medis untuk dilatasi
aorta pada penyakit BAV, tetapi beta blocker atau ARB perlu diberikan
sebagai pengobatan lini pertama bila ada hipertensi. Indikasi intervensi
dirangkum dalam tabel rekomendasi untuk operasi aorta pada aortopati.
Kejadian BAV dalam keluarga sebesar 5-10% pada kerabat tingkat
pertama, oleh karena itu, skrining ekokardiografi dianjurkan, terutama
pada anak lelaki, pada atlet, dan jika ada hipertensi. Varian patogenik
gen terdapat pada <5% dari semua kasus penyakit BAV, sehingga
pemeriksaan genetik rutin dalam kondisi ini tidak diindikasikan, tetapi
dapat dipertimbangkan pada kasus familial.
Tidak ada data tentang risiko diseksi terkait kehamilan pada
perempuan dengan penyakit BAV, namun dalam konseling kehamilan
dianjurkan untuk tidak hamil bila diameter aorta > 50 mm. Untuk
pengobatan AR, lihat pedoman tatalaksana penyakit katup jantung.

3.7.3 Sindrom Turner


Sindrom Turner disebabkan oleh monosomi parsial atau lengkap
kromosom X, yang terjadi pada 1 dari 2.500 perempuan yang lahir
hidup. Sindrom Turner dikaitkan dengan perawakan pendek, pubertas
tertunda, disgenesis ovarium, hipogonadisme hipergonadotropik,
infertilitas, PJB, diabetes mellitus, osteoporosis, dan gangguan
autoimun.
PJB menyertai sekitar 50% perempuan dengan sindrom Turner,
paling sering yaitu: BAV, CoA, APVC partial, VCS kiri, elongasi arkus
aorta transversal, dilatasi arteri brakiosefalika, dan dilatasi aorta. Oleh

Panduan Tatalaksana PJBD 80


karena itu, maka setiap perempuan dengan sindrom Turner harus
diperiksa oleh pakar PJBD setidaknya sekali dalam setahun. Meskipun
tanpa PJB, semua individu dengan sindrom Turner memiliki arteriopati
umum, sehingga sindrom Turner saja sudah merupakan faktor risiko
independen untuk dilatasi aorta torakalis. Diseksi aorta (tipe A dan tipe
B) terjadi pada sekitar 40/100.000 orang/tahun dibandingkan dengan
6/100.000 orang/tahun pada populasi umum.
Untuk pemeriksaan diagnostik, lihat bagian 3.7.1.3.
Dengan kemajuan teknologi reproduksi dan donasi oosit, jumlah
perempuan dengan sindrom Turner yang bisa hamil sekarang
meningkat. Adanya dilatasi aorta dan PJB akan meningkatkan risiko
kehamilan, disamping itu perempuan dengan sindrom Turner juga
berisiko tinggi mengalami gangguan hipertensi, termasuk pre-eklamsia.
Semua perempuan dengan sindrom Turner harus diberi konseling
tentang peningkatan risiko kardiovaskular pada kehamilan dan
perawatan kesuburan.

Tabel 3.10. Rekomendasi untuk operasi aorta pada aortopati


Rekomendasi Kelas Level
Sindrom Marfan dan HTAD
Pasien sindrom Marfan/HTAD usia muda yang mengalami I C
dilatasi pangkal aorta dan memiliki katup aorta trikuspid,
direkomendasikan reparasi katup aorta menggunakan
teknik reimplantasi atau annuloplasti aorta oleh dokter
bedah yang berpengalaman.
Pasien sindrom Marfan yang memiliki penyakit pangkal I C
aorta dengan diame e mak imal in ao a 50 mm. a
direkomendasikan pembedahan.
Pasien sindrom Marfan yang memiliki penyakit pangkal IIa C
aorta dengan diame e mak imal in ao a 45 mma dan
faktor risiko tambahan,b sebaiknya dipertimbangkan
pembedahan
Pasien sindrom Marfan dengan mutasi TGFBR1 atau IIa C
TGFBR2 (termasuk sindrom Loeys-Dietz) yang memiliki
pangkal ao a dengan diame e mak imal in ao a 45
mm.a sebaiknya dipertimbangkan pembedahan.

Panduan Tatalaksana PJBD 81


Penyakit katup aorta bicuspid (BAV)
Pembedahan aorta sebaiknya dipertimbangkan bila IIa C
diameter Ao asendens:
• 50 mm dan ada BAV dengan fak o i iko ambahan
atau CoA.c
• 55 mm n k em a pa ien lainn a
Sindrom Turner
Operasi elektif untuk aneurisma pangkal aorta dan/atau IIa C
aorta asendens sebaiknya dipertimbangkan pada
perempuan dengan sindrom Turner usia >16 tahun,
memiliki indeks ukuran aorta asendens > 25 mm/m2 dan
mempunyai faktor risiko untuk diseksi aorta. d
Operasi elektif untuk aneurisma pangkal aorta dan/atau IIb C
aorta asendens dapat dipertimbangkan pada
perempuan dengan sindrom Turner usia > 16 tahun,
memiliki indeks ukuran aorta asendens > 25 mm/m2, dan
tidak memiliki faktor risiko diseksi aorta. d
AR = aortic regurgitation; BAV = bicuspid aortic valve; CoA = coarctatio aorta; HTAD =
heritable thoracic aortic disease.
a
Di angka ekstrem kisaran BSA, batas waktu yang disarankan mungkin perlu penyesuaian
yang tepat.
b
Riwayat keluarga diseksi aorta pada diameter rendah (atau riwayat pribadi diseksi
vaskular spontan), AR progresif, keinginan untuk hamil, pingsan, hipertensi terkontrol,
dan/atau peningkatan ukuran aorta > 3mm/tahun (pada pengukuran berulang
menggunakan teknik pencitraan ECG gated yang diukur pada level aorta yang sama
dengan perbandingan dan dikonfirmasi oleh teknik yang lain).
c
Riwayat keluarga diseksi dengan diameter rendah, keinginan untuk hamil, hipertensi
sistemik, dan/atau peningkatan ukuran > 3 mm/tahun (pada pengukuran berulang
menggunakan teknik pencitraan ECG gated yang diukur pada level aorta yang sama
dengan perbandingan dan dikonfirmasi oleh teknik yang lain).
d
BAV, elongasi aorta transversal, CoA, dan / atau hipertensi.

3.8 Obstruksi alur keluar ventrikel kanan (right ventricular outflow tract
obstruction = RVOTO)

3.8.1 Introduksi
RVOTO dapat terjadi pada berbagai level, yaitu stenosis sub-
infundibular, infundibular, valvular, atau supravalvular.
Stenosis sub-infundibular atau double chamber RV (DCRV) -
seringkali dihubungkan dengan adanya VSD. Kondisi ini bisa

Panduan Tatalaksana PJBD 82


terjadi akibat adanya penyempitan yang ditimbulkan oleh
penonjolan otot yang hipertrofik atau tonjolan yang memisahkan
bagian inlet dan apeks yang hipertrofi dan bertekanan tinggi,
dengan bagian infundibular RV yang tidak hipertrofi, non-
obstruktif dan bertekanan rendah.
Stenosis infundibular - biasanya ditemukan bersama lesi lainnya,
terutama VSD, TOF, dan PS sekunder (hipertrofik reaktif
miokardium). Pada beberapa kasus stenosis infundibular atau
sub-infundibular, merupakan obstruksi yang bersifat dinamis
(penyempitan hanya terjadi saat sistol).
PS valvular - biasanya ditemukan sebagai lesi tunggal, yang
terjadi terutama karena abnormalitas dinding intrinsik dan dapat
menyebabkan dilatasi arteri pulmonalis. Biasanya katup pulmonal
(pulmonary valve = PV) berbentuk kubah dengan bukaan katup
yang kecil di tengah, sedangkan mobilitas bagian basis PV tetap
baik. PV yang displastik, mempunyai kuspis yang tebal dan
myxomatous dengan mobilitas yang buruk (15 20%), seringkali
merupakan bagian dari sindrom Noonan. Pada orang dewasa
dengan PS valvular, PV dapat mengalami kalsifikasi.
PS supravalvular/stenosis arteri pulmonalis disebabkan oleh
penyempitan arteri pulmonalis utama, bifurkasio, atau cabang-
cabangnya. Kondisi ini jarang ditemukan tunggal, biasanya
merupakan bagian dari sindrom William - Beuren, sindrom
Noonan, atau sindrom Alagille. Stenosis dapat terjadi di satu
lokasi atau lebih dan bisa di perifer, bentuk penyempitan bisa
pendek atau panjang (mengakibatkan arteri pulmonalis
hipoplastik). Stenosis dapat terjadi sekunder (misalnya pasca
operasi banding arteri pulmonalis atau di lokasi pemasangan
shunt sebelumnya). Stenosis signifikan bila diameter
penyempitan 50% dan menyebabkan terjadinya gradien
tekanan bermakna yang berakibat pada hipertensi bagian
proksimal arteri pulmonalis.

3.8.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit


PS subinfundibular/infundibular: pasien dewasa dengan DCRV
dapat asimptomatik atau datang dengan keluhan sesak nafas,

Panduan Tatalaksana PJBD 83


rasa tidak nyaman di dada, pusing, atau sinkop saat aktivitas.
Derajat obstruksi bertambah seiring dengan berjalannya waktu.
PS valvular: bila stenosis ringan hingga sedang umumnya
asimptomatik, dan bila tetap ringan tanpa intervensi sampai
dewasa, biasanya tidak progresif. PS valvular sedang dapat
mengalami proses kalsifikasi di level katup hingga subvalvular,
mengakibatkan hipertrofi miokardium reaktif. Pasien PS valvular
berat yang datang dengan keluhan sesak nafas dan penurunan
kapasitas fungsional, prognosisnya lebih buruk.
PS supravalvular: pasien asimptomatik atau datang dengan
keluhan sesak nafas disertai penurunan kapasitas fungsional.
Kelompok pasien ini biasanya dikenali awalnya sebagai pasien
dengan sindrom penyakit atau dirujuk dengan kecurigaan PH.
Stenosis arteri pulmonalis perifer dapat bersifat progresif.

3.8.3 Diagnostik
Temuan klinis yang umum didapatkan pada RVOTO adalah bising
sistolik yang kasar sepanjang lokasi obstruksi dan suara jantung kedua
yang terpisah lebar (wide-splitting). Pada stenosis arteri pulmonalis
perifer, bising sistolik biasanya terdengar di seluruh lapang paru.
Ekokardiografi digunakan untuk menilai ukuran, bentuk, dan fungsi
RV, serta lokasi obstruksi, katup pulmonal dan arteri pulmonalis utama
bersama cabang-cabangnya. Penilaian RV ini lebih akurat bila
dilakukan dengan pemeriksaan CMR. Pemeriksaan Doppler digunakan
untuk mengukur Vmax melewati obstruksi, untuk menilai beratnya
stenosis. Hubungan antara Vmax dengan gradien tekanan cukup baik
hanya pada kasus stenosis tunggal (contohnya PS valvular). Pada
keadaan fungsi RV dan aliran transvalvular normal, RVOTO dikatakan
ringan ketika gradien tekanan puncak melewati obstruksi < 36 mmHg,
sedang bila 36 64 mmHg, dan berat bila > 64 mmHg. Jika lokasi
penyempitan memanjang, atau di lebih dari satu lokasi (misalnya
subvalvular dan valvular), penerapan hukum persamaan Bernoulli akan
bias (menghasilkan gradien tekanan yang lebih tinggi dari nilai
sebenarnya). Pemeriksaan Doppler dengan mengukur Vmax pada TR
memberikan perkiraan tekanan RV yang lebih terpercaya dalam
menggambarkan derajat RVOTO dibandingkan pengukuran Vmax di
sepanjang lokasi obstruksi. Penilaian beratnya RVOTO dengan
pengukuran gradien tekanan hanya dapat dipercaya bila fungsi sistolik

Panduan Tatalaksana PJBD 84


RV baik. Pada fungsi sistolik RV yang buruk, aliran yang melewati katup
pulmonal rendah dan gradien trans stenosis juga rendah, sehingga
sangat sulit untuk menilai derajat RVOTO.
CMR dan CCT seringkali memberikan informasi tambahan yang
penting dalam menentukan lokasi obstruksi termasuk DCRV, conduit,
dimensi arteri pulmonalis dan cabang-cabangnya, anulus pulmonal,
RVOT, volume RV, serta menentukan besar aliran darah paru.
Kateterisasi jantung mungkin diperlukan untuk memastikan lokasi
dan luas serta beratnya obstruksi.

3.8.4 Intervensi
BPV direkomendasikan untuk pasien PS valvular non-displastik dan
stenosis perifer (seringkali disertai pemasangan stent). Pembedahan
direkomendasikan pada PS infundibular, sub-infundibular, bila anulus
pulmonal hipoplastik dan PV displastik, atau bila ada lesi lain yang perlu
dikoreksi, seperti PR atau TR yang berat. PS perifer jarang
membutuhkan intervensi bedah. Semua tindakan invasif ini sebaiknya
hanya dilakukan di pusat PJBD.
Pasien PS subvalvular, valvular, dan supravalvular dapat disertai
dengan dilatasi arteri pulmonalis bermakna, yang biasanya tidak
membutuhkan intervensi. Ruptur arteri pulmonalis jarang terjadi, karena
sangat elastis dan bertekanan rendah, dan aneurisma arteri pulmonalis
umumnya tidak memerlukan intervensi.

3.8.5 Tindak lanjut


Pasien dengan RVOTO membutuhkan evaluasi reguler seumur hidup
dengan pemeriksaan ekokardiografi. Frekuensi evaluasi tergantung
beratnya lesi. Kebanyakan pasien membutuhkan evaluasi sedikitnya
setahun sekali, kecuali stenosis ringan atau yang telah dilakukan
intervensi dengan hasil baik.
Setelah intervensi transkateter atau bedah, adanya PR residual
mungkin membutuhkan intervensi ulang di kemudian hari, yaitu bila
pasien menjadi simtomatik atau ketika terjadi dilatasi atau disfungsi RV
yang progresif. Pasien dengan stenosis valvular ringan atau residual
stenosis ringan perlu dievaluasi satu kali setiap 5 tahun.

Panduan Tatalaksana PJBD 85


Tabel 3.11. Rekomendasi intervensi pada RVOTO
Rekomendasi Kelas Level
Untuk PS valvular, BPV direkomendasikan sebagai I C
intervensi pilihan, jika secara anatomis sesuai.
Pasien PS berata (gradien tekanan puncak Doppler > 64 I C
mmHg) dimanapun lokasi stenosisnya, asal tidak
memerlukan penggantian katup, direkomendasikan
intervensi, terlepas dari ada tidaknya gejala.
Pasien PS beratb (gradien puncak Doppler > 64 mmHg), I C
yang membutuhkan penggantian PV, direkomendasikan
intervensi hanya bila simptomatik.
Pasien PS beratb asimptomatik yang membutuhkan I C
penggantian PV, direkomendasikan intervensi hanya bila
ada salah satu atau lebih kriteria:
- Secara obyektif ada penurunan kapasitas latihan
- Penurunan fungsi RV dan/atau TR minimal sedang
- Tekanan sistolik RV > 80 mmHg.
- Terdapat pirau R-L melalui ASD/VSD.
Pasien PS dengan gradien puncak Doppler <64 mmHg IIa C
sebaiknya dipertimbangkan untuk intervensi, bila ada
salah satu atau lebih kriteria:
- Secara obyektif ada penurunan kapasitas latihan
- Penurunan fungsi RV dan/atau TR minimal sedang
- Terdapat pirau R-L melalui ASD/VSD.
Pasien dengan PS perifer, tanpa memandang simtom, jika IIa C
terdapat stenosis >50% diameter, dan tekanan sistolik RV
>50 mmHg, dan/atau terjadi penurunan perfusi paru
sebaiknya dipertimbangkan intervensi trans-kateter.
PS = Pulmonary Stenosis; R L = right-to-left; RV = right ventricle; RVSP = right
ventricular systolic pressure; TR = tricuspid regurgitation; PVR = pulmonary vave
replacement; ASD = Atrial Septal Defect; VSD = ventricular septal defect. BPV = balloon
pulmonary valvuloplasty
a
Perkiraan tekanan sistolik RV (dari pengukuran Vmax TR), lebih akuran mengonfirmasi
stenosis berat.
b
Batas ambang untuk intervensi lebih tinggi ketika diperlukan tindakan penggantian katup
karena risiko jangka panjang seperti endokarditis dan re-intervensi pada kegagalan katup
prostetik
.

Panduan Tatalaksana PJBD 86


Gambar 3.6. Tata laksana obstruksi RVOT
a
Pada stenosis perifer, tanpa memperhatikan keluhan, tatalaksana dengan intervensi
transkateter harus dipertimbangkan jika terjadi penyempitan diameter > 50% dan tekanan
sistolik RV > 50 mmHg dan/atau terjadi penurunan perfusi paru
b
Pada PS valvular, BPV menjadi pilihan utama bila anatomi katup memenuhi kriteria.

3.8.6 Perhatian khusus


Latihan fisik/olah raga: pasien dengan stenosis ringan tidak perlu
membatasi aktivitas fisik. Pasien dengan stenosis sedang harus
menghindari olahraga statis dan berintensitas tinggi. Pasien
dengan stenosis berat harus membatasi aktivitas dan hanya
melakukan olahraga dengan intensitas rendah.
Kehamilan: biasanya dapat ditoleransi dengan baik, kecuali bila
stenosis sangat berat atau terjadi disfungsi RV. BPV dapat
dilakukan dalam masa kehamilan.
Profilaksis IE: hanya pada pasien yang berisiko tinggi.

Panduan Tatalaksana PJBD 87


3.9 Anomali Ebstein

3.9.1 Introduksi
Anomali Ebstein ditandai dengan kelainan bentuk dan letak TV, yang
bergeser lebih ke apeks. Daun anterior TV biasanya berasal dari area
anulus, mengalami pembesaran sehingga berbentuk seperti layar (sail-
like), sementara daun septal dan posterior berpindah posisi ke arah
apeks RV dan seringkali menempel erat pada endokardium.
Perubahan letak TV ini membuat jantung kanan terdiri dari morfologi
RA dan bagian RV yang mengalami atrialisasi (sebagai penampung
darah vena sistemik), dan RV fungsional tersisa sebagai pemompa
sirkulasi pulmoner; TR sering terjadi.
Lesi penyerta yang sering adalah ASD/PFO dan jalur aksesoris
termasuk jalur tipe Mahaim. Jalur aksesoris multipel bersama AT dan
AF berhubungan erat dengan kematian mendadak. Anomali TV yang
mirip Ebstein dapat terjadi pada sepertiga kasus ccTGA.
Perubahan hemodinamik bergantung pada beratnya disfungsi TV,
besarnya atrialisasi RV, kontraktilitas RV fungsional yang tersisa, fungsi
LV, serta keberadaan dan keparahan kelainan penyerta termasuk
aritmia. TR akan menyebabkan dilatasi RA semakin parah. Adanya
ASD/PFO memungkinkan aliran L-R atau R-L terutama pada saat
latihan fisik. Anomali Ebstein dapat menyebabkan penurunan curah
jantung (cardiac output = CO) secara kronik.

3.9.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit


Presentasi klinis anomali Ebstein bervariasi, dari keluhan ringan hingga
sianosis berat. Pasien dengan kelainan yang ringan dapat asimptomatik
selama puluhan tahun, hingga terdiagnosis. Komplikasi yang mungkin
terjadi antara lain: TR berat, disfungsi RV, kegagalan RV, sirosis
hepatis, abses serebral, emboli paradoksikal, emboli paru, takiaritmia,
IE dan kematian mendadak. Keluhan yang sering ditemukan yaitu:
palpitasi akibat aritmia (paling sering AVRT), sesak nafas, mudah lelah,
toleransi latihan rendah, nyeri dada, sianosis perifer dan/atau sentral.

3.9.3 Diagnostik
Temuan klinis dapat berupa sianosis dan hepatomegali. S1 dan S2
masing-masing komponennya terpisah lebar (quadriple rhythm),
terdengar juga klik, S3 dan S4, serta bising sistolik TR.

Panduan Tatalaksana PJBD 88


EKG dapat menunjukkan hipertrofi RA, pemanjangan interval PR,
RBBB, gelombang Q yang dalam di sandapan II, III, aVF, dan V1-V4,
pre-eksitasi, voltase yang rendah, jalur multiple (AVRT), serta aritmia
supraventrikel dan ventrikel. Foto toraks cukup membantu untuk
evaluasi perubahan ukuran jantung
Pemeriksaan ekokardiografi memberikan informasi mengenai
anatomi dan fungsi TV: pergeseran posisi daun katup septal dan
posterior ke arah apeks (pada dewasa 0.8 cm/m2 IMT), ukuran daun
katup anterior, penempelan daun katup septal atau posterior ke septum
atau dinding ventrikel; ukuran dan fungsi ruang jantung (RA, RV yang
mengalami atrialisasi, RV fungsional yang tersisa, dan LV); adanya
RVOTO maupun lesi lainnya.
Pemeriksaan CMR sangat diperlukan dalam penilaian prognostik
dan untuk evaluasi pra maupun pasca pembedahan, karena
pemeriksaan ini dapat memberikan sudut pandang yang tidak terbatas
dalam menilai pembesaran jantung kanan, fungsi RV dan TV.

3.9.4 Intervensi
Terapi medikamentosa dapat meringankan gejala dan memberikan
manfaat untuk persiapan operasi. Antikoagulan oral direkomendasikan
pada pasien dengan riwayat emboli paradoksikal atau berisiko
tromboemboli (misalnya ada pirau R-L, AF). Gangguan irama jantung
yang simtomatik dapat diatasi dengan obat atau intervensi EP. Akses
transkateter menuju jalur aksesoris di sisi kanan dan jalur lambat pada
re-entry AV nodal mungkin terhalang oleh TV pasca pembedahan, jika
perlu ablasi kateter sebaiknya dilakukan sebelum operasi.
Terkadang ada indikasi untuk menutup komunikasi interatrial tanpa
tindakan lain. Keputusan ini membutuhkan pertimbangan yang matang,
karena dapat menyebabkan peningkatan tekanan RA dan penurunan
CO sistemik. Reparasi TV lebih disarankan, dibandingkan penggantian
katup, dan sebaiknya dikerjakan oleh dokter bedah PJB yang
berpengalaman dalam reparasi anomali Ebstein. Jika ukuran RV terlalu
kecil untuk direparasi atau didapatkan disfungsi RV, bedah bidirectional
cavopulmonary shunt (BCPS) dapat dipertimbangkan, sejauh fungsi LV
baik, tekanan LA dan tekanan diastolik akhir LV normal. Pasien yang
gagal dilakukan reparasi atau mengalami disfungsi biventrikel yang
berat, transplantasi jantung menjadi pilihan terakhir.

Panduan Tatalaksana PJBD 89


Angka mortalitas bedah di senter maju kini < 6%. Lebih dari 90%
pasien pasca reparasi yang berhasil, bertahan hidup >10 tahun dengan
kelas fungsional I atau II. Kondisi fatal biasanya terjadi akibat aritmia.
Pada sebuah studi besar didapatkan bahwa, persentase reoperasi 86%,
74%, 62%, dan 46% dalam 5, 10, 15, dan 20 tahun.

Tabel 3.12. Rekomendasi intervensi pada anomali Ebstein


Rekomendasi Kelas Level
Indikasi Operasi
Pasien anomali Ebstein dengan TR berat dan simtomatik I C
atau secara objektif ada kemunduran kapasitas latihan,
direkomendasikan bedah reparasi oleh dokter bedah
PJB berpengalaman dalam reparasi anomali Ebstein.
Pasien anomali Ebstein yang diindikasikan perlu I C
perbaikan katup trikuspid, maka direkomendasikan
untuk menutup ASD/PFO secara bersamaan, jika secara
hemodinamik ditoleransi.
Pasien anomali Ebstein dengan dilatasi jantung kanan IIa C
progresif atau penurunan fungsi sistolik RV sebaiknya
dipertimbangkan reparasi bedah, meski asimtomatik
Indikasi intervensi trans-kateter
Pasien anomali Ebstein dengan aritmia simtomatik, atau I C
pra-eksitasi pada EKG, direkomendasikan untuk studi
elektrofisologi diikuti dengan terapi ablasi bila
memungkinkan, atau bedah aritmia saat operasi jantung.
Pasien anomali Ebstein yang terdokumentasi mengalami IIa C
emboli sistemik diduga akibat emboli paradoks,
sebaiknya dipertimbangkan penutupan ASD/PFO
trans-kateter (tanpa tindakan lain), tetapi harus
disingkirkan dahulu kemungkinan peningkatan tekanan
RA dan penurunan curah jantung,
Pasien anomali Ebstein yang mengalami masalah utama IIb
sianosis (saturasi O2 saat istirahat <90%), sebaiknya
dipertimbangkan penutupan ASD/PFO trans-kateter
(tanpa tindakan lain), tetapi harus disingkirkan dahulu
kemungkinan terjadi peningkatan tekanan RA dan
penurunan curah jantung,

ASD = atrial septal defect; PFO = patent foramen ovale; RA = right atrium; RV = right
ventricleTR = tricuspid regurgitation; TV = tricuspid valve.

Panduan Tatalaksana PJBD 90


3.9.5 Tindak lanjut
Evaluasi berkala seumur hidup bagi semua pasien, setidaknya satu kali
per tahun di pusat PJBD.
Lesi residual yang sering adalah TR, baik yang baru timbul atau
menetap sejak sebelum operasi.
Komplikasi yang biasa terjadi setelah penggantian katup trikuspid
meliputi: gagal fungsi RV atau LV, koneksi interatrial residual, aritmia,
dan blok AV derajat tinggi. Tindakan intervensi ulang mungkin
diperlukan pada TR berulang dan kegagalan fungsi katup prostetik.

3.9.6 Perhatian khusus


Latihan/olah raga: pasien tanpa lesi residual biasanya dapat
hidup dan menjalani aktivitas normal tanpa pembatasan, kecuali
olahraga statis yang lama. Pasien dengan TR sedang atau berat,
disfungsi ventrikel, adanya koneksi interatrial, aritmia, atau
komplikasi lain harus menghindari latihan isometrik yang berat.
Kehamilan: bila asimptomatik dan fungsi ventrikel normal,
kehamilan dapat ditoleransi dengan baik. Kehamilan dapat
meningkatkan risiko kegagalan fungsi RV, aritmia, dan emboli
paradoksikal. Risiko kehamilan akan lebih tinggi lagi bila terdapat
sianosis, aritmia serius dan gagal jantung kanan.
Pencegahan IE: hanya pada pasien dengan risiko tinggi

3.10 Tetralogy of Fallot (TOF)

3.10.1 I d k i
TOF di andai oleh 4 kelainan, ai : VSD non- e ik if; o e iding ao a
(<50%); inf ndib la , al la , p a al la RVOTO dan/a a eno i
cabang a e i p lmonali ; e a RVH ebagai kon ek en in a.
Pop la i TOF dapa dibagi menjadi 2 kelompok: 1) pa ien TOF
dengan ind om - mencapai eki a 20% (mi aln a mik odele i 22q11,
i omi 21, Alagille, Noonan, William , dan Klippel Feil) dan 2) pa ien
TOF non- ind om ( ang me akili ebagian be a ka TOF).
Angka kema ian pa ien TOF ang di epa a i hampi d a kali lebih
inggi dibandingkan pa ien PJB ede hana (ASD dan VSD).

Panduan Tatalaksana PJBD 91


3.10.2 P e e a i kli i da e jala a e aki
Tindakan bedah epa a i TOF melip i: e ek i RVOTO bia an a
meliba kan inf ndib lo omi, e ek i o o ang menimb lkan ob k i,
kadang di e ai peleba an ann l PV dengan memb a in i i dan
men pn a mengg nakan pa ch ( an ann la a ch = TAP). Pada
bebe apa ka , ebel m epa a i, dilak kan p o ed palia if e lebih
dah l dengan mema ang al an pengh b ng ebagai pi a an a a
ao a/cabangn a ke a e i p lmonali , aga ali an da ah pa meningka .
Komplika i ang bi a e jadi pa ca bedah epa a i TOF adalah:
PR ignifikan ( e ama pada TAP): PR m mn a di ole an i baik
be ah n- ah n, nam n pada akhi n a akan men ebabkan
dila a i dan di f ng i RV ang be gejala, e ama bila ada
eno i di di al a e i p lmonali a a PH.
RVOTO e id al: dapa e jadi di inf ndib l m, PV, a e i
p lmonali ama a a cabang ki i dan kanan. Peningka an
ekanan RV dan RVH ang di imb lkann a, me pakan fak o
i iko independen n k l a an ang k ang baik dan pen nan
kapa i a f ng ional, me kip n ol me RV lebih kecil.
VSD e id al: dapa di ebabkan oleh lepa n a jahi an ebagian
pa ch pen p VSD a a kegagalan pen pan o al aa ope a i,
akiba n a LV akan mene ima beban ol me ang be lebihan.
Komplika i ao a: dila a i ao a p og e if (ja ang menimb lkan
di ek i) dan AR, ang bi a e jadi bebe apa ah n pa ca bedah
epa a i (bel m jela mekani men a).
Di f ng i a a gagal jan ng RV dan LV: dila a i RV bia an a
di ebabkan oleh PR e id al +/- RVOTO ang be lang ng lama,
men ebabkan TR ignifikan ang akhi n a memb a dila a i RV
emakin pa ah. Dila a i LV dapa e jadi akiba bedah palia if
( h n ) ang be lang ng lama, VSD e id al, dan/a a AR.
Di f ng i RV dan/a a LV bi a j ga di ebabkan oleh hipok ia
lama p a bedah, p o ek i mioka di m ang idak adek a elama
ope a i epa a i, a a akiba in e ak i an a en ikel, di ink oni
elek omekani , a a kelainan a e i ko one . Pen nan ain
longi dinal dinding beba LV elah e liha , me kip n LV EF
no mal. In iden gagal jan ng meningka eca a ignifikan ei ing
be ambahn a ia.

Panduan Tatalaksana PJBD 92


A i mia a ial/ en ik la dan kema ian mendadak: p e alen i
a i mia a ial dipe ki akan 20%. IART dih b ngkan dengan in i i
bedah di bagian i hm ca o ik pid dan RA, ang kem dian
men ebabkan dila a i RA; edangkan AF dih b ngkan dengan
dila a i LA. A i mia en ik la melip i VT polimo fik/VF ang
bia an a dikai kan dengan gangg an f ng i RV dan LV ang
be a dan VT monomo fik ained dikai kan dengan epa a i
TOF. Me kip n ked an a ama- ama dapa men ebabkan
kema ian mendadak pada 1-3,5% pa ien, nam n pe bedaan
b a a i mian a pe l dikenali n k a ifika i i iko dan
pengoba an.
Fak o i iko ang m ngkin e kai dengan a i mia en ik la
dan kema ian mendadak pa ca epa a i TOF adalah d a i
QRS > 180 m , di f ng i i olik a a dia olik LV, dan VT ang
diind k i pada aa EP. U ia lebih a, RVH dan di f ng i RV aa
penggan ian ka p p lmonal me pakan p edik o ke ahanan
hid p ang lebih pendek dan a i mia en ic la ang ained.
S b a dominan n k VT monomo fik adalah i hm ang
diba a i oleh ja ingan ang idak dapa diek i a i. Dimen i
i hm dan ifa kond k in a dapa die al a i dengan
peme aan ka e e , n k menen kan ke en anan e jadin a
a i mia. Abla i pada i hm anga efek if n k mengon ol VT.
Un k menge ah i apakah peme aan ka e e dapa be kon ib i
pada a ifika i i iko, ma ih pe l pen elidikan lebih lanj .
Endoka di i dapa di em kan pa ca penggan ian ka p p lmonal
eca a bedah a a an -ka e e . P o e a be ka p me pakan
fak o i iko independen pen ing n k IE dalam jangka pendek
dan jangka panjang, edangkan p o e a anpa ka p i ikon a
han a pada 6 b lan pe ama e elah implan a i.

3.10.3 Diagnostik
Tem an klini ang m m pa ca bedah epa a i TOF adalah:
komponen S2 e pi ah leba , bi ing fa e akhi dia olik be nada endah
menandai PR be a . Bi ing i olik ejek i ang panjang dan ke a
mengindika ikan adan a RVOTO, bi ing dia olik be nada inggi akiba
AR, dan bi ing pan i olik men nj kkan adan a VSD e id al. EKG
e ing men nj kkan RBBB kompli be gan ng pada pendeka an
bedah. Leba QRS j ga dapa dipenga hi oleh de aja dila a i RV.

Panduan Tatalaksana PJBD 93


Ekoka diog afi membe ikan penilaian RVOTO, PR dan VSD e id al,
f ng i dan k an RV dan LV, TR, ekanan RV, k an ao a dan AR.
Peng k an ain pen ing n k menilai di ik oni elek omekani .
CMR adalah me ode pilihan n k meng k ol me dan f ng i RV;
de aja PR; k an, ben k, dan ek pan i a e i p lmonali ;
inf ndib l m; ao a a enden ; po i i pemb l h a a cond i e hadap
lang dada dan e al a i ali an melal i pi a e id al (Qp:Q ).
Peningka an gadolini m ang e lamba men nj kkan adan a fib o i ,
ang l a n a be h b ngan dengan fak o i iko n k kejadian VT dan
kema ian mendadak; peme aan T1 m ngkin nan in a j ga be pe an.
CCT membe ikan info ma i en ang a e i ko one ( e ama dalam
kai an h b ngan pa ial dengan RVOT ebel m TPVI a a ope a i),
ingka kal ifika i cond i (penahan ka p pe k an), dan MAPCA . CCT
j ga dapa dig nakan n k k an ifika i RV pada pa ien ang idak
dapa dilak kan CMR.
Ca dio lmona e e ci e e ing (CPET) memban menen kan
ak in e en i lang dan membe ikan info ma i p ogno ik.
Peman a an Hol e , penca a kejadian, dan e al a i EP dipe l kan
n k pa ien e en ( i iko inggi, d gaan a a e b k i a i mia,
dan/a a ebel m ope a i lang RVOT). VT be kelanj an ang dapa
diind k i, memp n ai nilai p ogno ik VT dan kema ian mendadak.
Ka e e i a i di amakan bagi pa ien ang menjalani in e en i an -
ka e e ( ai menga a i eno i a e i p lmonali di al, TPVI) dan bila
e al a i non-in a if idak me akinkan. Angiog afi ko one dapa
mem i ali a ikan a e i ko one , ang pen ing n k menilai h b ngan
pa ial dengan RVOT ebel m TPVI.

3.10.4 I e e i.
PR me pakan ala an paling e ing n k pe imbangan in e en i
lang pa ca epa a i TOF. Penggan ian PV dan/a a epa a i RVOTO
dapa dilak kan dengan i iko kema ian ang endah pada pa ien anpa
gagal jan ng dan/a a di f ng i en ik la ang lanj . No mali a i
k an RV pa ca in e en i lang li dicapai bila RV ESVi >80 mL/m 2
dan EDVi >160 mL/m2, e api ba a n k in e en i lang n k
kelang ngan hid p ma ih pe l di eli i lebih lanj .
S eno i a e i p lmonali di al ha di angani, baik pada aa
ope a i ( e ma k pema angan en in aope a if) a a aa in e en i
an -ka e e . PV biologi ( enog af a a homog af ) memiliki m

Panduan Tatalaksana PJBD 94


e a a 10-20 ah n, dan penggan ian nan in a dapa dilak kan dengan
p o ed an ca he e al e-in- al e. Ma ih ediki pengalaman
pema angan ka p mekanik an -ka e e , dan pada bebe apa ka
ada ke li an pengg naan an ikoag lan ang adek a .
Indika i n k ann lopla i TV, pen pan VSD e id al, dan/a a
dila a i ao a/ope a i AR j ga ha dipe imbangkan aa ope a i
lang. Indika i ope a i ao a idak be beda dengan pop la i m m.
TPVI menjadi al e na if e ama pada pa ien eno i / eg gi a i
cond i RVOT, a a pa ien dengan eg gi a i/ eno i RVOT ang
bel m pe nah diin e en i. TPVI membe ikan ha il ang ebanding
dengan bedah penggan ian PV dalam mempe panjang ma a pakai
cond i , ehingga meng angi j mlah e-ope a i elama ma a hid p
pa ien. F ak en me pakan alah a komplika i. Ha il jangka
panjang e baik dilapo kan ke ika g adien e id al <15 mmHg.
Komplika i ang ja ang e jadi (<2%), e ma k p cond i dan
komp e i a e i ko one . Ri iko endoka di i e elah TPVI e ap menjadi
pe ha ian dengan ingka kejadian ah nan ebe a 2-3%. Ka ena
komp e i a e i ko one dapa mengancam ji a, e dengan balon
ebel m TPVI pe l dilak kan, eca a be ha i-ha i ka ena be i iko
pecahn a cond i . Bila kal ifika i cond i be a , TPVI han a boleh
dilak kan jika CCT men nj kkan ja ak ang c k p an a a cond i dan
a e i ko one .
Ko ela i ang k a an a a ana omi i hm kond k i lamba dan
VT monomo fik ained, e a po en i hilangn a ak e abla i ka e e
men j ana omi i hm pa ca penggan ian PV/TPVI e elah
peleba an RVOT, be implika i pen ing bagi pa ien ang hendak
menjalani in e en i lang. Apakah peme aan p a-in e en i dan abla i
p e en if i hm ana omi ebel m a a aa in e en i pada pa ien
anpa e dok men a i VT ained pon an be manfaa , ma ih pe l
peneli ian lebih lanj .
Pema angan ICD di ekomenda ikan n k pencegahan ek nde
kema ian mendadak (pada pa ien e angan jan ng/VT ained).
Implan a i ICD n k pencegahan p ime ma ih kon o e ial, dan
eja h ini bel m ada kema a ifika i i iko ang ideal. Pa ien
dengan inkop ang idak dapa dijela kan dan di f ng i en ikel a a
fak o i iko lain n k kema ian mendadak, ha menjalani e al a i
hemodinamik dan EP. Jika idak ada pen ebab ang be ifa e e ibel,
implan a i ICD be ala an n k dilak kan.

Panduan Tatalaksana PJBD 95


Tabel 3.13. Rekomenda i pa ca epa a i TOF

Rek e da i Kela Le el
Pa ien pa ca epa a i TOF ang im oma ik dengan PR
be a (f ak i eg gi a i pada CMR >30-40%) dan/a a
I C
RVOTO e idakn a de aja edang (Vma > 3 m/ )
di ek e da ika penggan ian PV
Pa ien pa ca epa a i TOF ang memakai homog af ,
cangkok ena j g la i api, biop o e a/ cond i , bila
I C
meme l kan penggan ian PV di ek e da ika TPVI
(jika eca a ana omi dan ekni mem ngkinkan).
Pa ien pa ca epa a i TOF, a im oma ik dengan PR
be a dan/a a RVOTO, ebaik a di e i ba gka
penggan ian PV jika e dapa alah a be ik :
• Pen nan kapa i a la ihan eca a ob ek if.
• Dila a i RV p og e if: ESVi > 80 mL/ m2 dan/a a IIa C
EDVi >160mL/m2 (peng k an be lang) dan/a a
pe b kan TR menjadi e idakn a de aja edang
• Di f ng i i olik RV p og e if.
• RVOTO dengan ekanan i olik RV > 80 mmHg.
Pa ien pa ca epa a i TOF dengan VSD e id al
ebaik a di e i ba gka n k men p VSD bila
IIa C
e dapa kelebihan beban ol me LV ignifikan a a bila
pa ien akan menjalani ope a i PV.
Pa ien pa ca epa a i TOF dengan VT ained ang
akan menjalani penggan ian PV a a TPVI, ebaik a
di e i ba gka n k peme aan ka e e p a-ope a i IIa C
dan an ek i da i ana omi i hm ang be h b ngan
dengan VT ebel m a a oada aa in e en i.
Pa ien pa ca epa a i TOF dengan fak o i iko
ambahan (di f ng i LV/RV; VT non- ained ang
imp oma ik; d a i QRS > 180 m , ja ingan pa RV
IIa C
l a pada CMR), ebaik a di e i ba gka
e al a i EP, e ma k im la i li ik e p og am,
ebagai pa a a ifika i i iko kema ian mendadak

Panduan Tatalaksana PJBD 96


Pa ien pa ca epa a i TOF ang be i iko meninggal
mendadak ( e ma k: di f ng i LV, non- ained VT
ang im oma ik, d a i QRS > 180 m , ja ingan pa
IIa C
RV l a pada CMR, a a VT e ind k i pada im la i
li ik e p og am), ebaik a di e i ba gka n k
implan a i ICD
Abla i ka e e a a abla i bedah be amaan n k VT
monomo fik ained ang imp oma ik da a
di e i ba gka bila f ng i ked a en ikel no mal,
ebagai al e na if e api ICD, a alkan p o ed n a IIb C
ama dengan ang dilak kan di en e be pengalaman
dan j an akhi abla i ang di e apkan e capai ( ai
non-ind ibili a , blok kond k i melin a i ga i abla i).
CMR = ca dio a c la magne ic e onance; ICD = im lan able ca dio e e defib illa o ;
LV = lef en icle; PR = lmona eg gi a ion; PV = lmona al e; RV = igh
en icle; RVESVi = igh en ic la end olic ol me inde ed; RVEDVi = igh
en ic la end dia olic ol me inde ed; RVOT = igh en ic la o flo ac ; RVOTO =
igh en ic la o flo ac ob c ion; RVSP = igh en ic la olic e e; TF =
e alog of Fallo ; TPVI = an ca he e lmona al e im lan a ion; TR = ic id
eg gi a ion; VSD = en ic la e al defec ; VT = en ic la ach ca dia.

3.10.5 Ti dak la j
Sem a pa ien TOF ha menjalani peme ik aan jan ng be kala
( m mn a e ah n ekali) di p a PJBD. E al a i lanj an di j kan
n k menca i komplika i. CMR be kala dilak kan e ai pa ologi ang
di em kan.

3.10.6 Pe ha ia kh
• La ihan/olah aga: idak ada ba a an pada pa ien ang elah
di epa a i dan a im oma ik dengan hemodinamik ang baik.
Pa ien dengan i iko inggi a i mia/meninggal mendadak,
di f ng i bi en ikel lanj , dan ao opa i a enden , ak i i a /
olah aga ha diba a i pada in en i a endah dan menghinda i
la ihan i ome ik.
• Kehamilan: pada pa ien ang bel m di epa a i - i iko komplika i
dan kema ian ib dan janin c k p be a . Ri iko kehamilan pada
pa ien ang elah di epa a i be gan ng pada a
hemodinamikn a ( endah bila hemodinamik baik). Pa ien dengan
le i e id al ignifikan, be i iko a i mia dan gagal jan ng kanan.
• P ofilak i IE: han a n k pa ien be i iko inggi

Panduan Tatalaksana PJBD 97


3.11 A e ia l al ( lmona a e ia = PA) de ga VSD

3.11.1 I d k i
P lmona a e ia dengan VSD (PA/VSD) memiliki kemi ipan dengan
TF, han a aja idak ada kom nika i lang ng an a a RV dan a e i
p lmonali . Se ing e jadi pada ind om mik odele i 22q11.2 (anomali
ajah, bica a enga dan ke e lamba an pe kembangan). Pa okan
a e i p lmonali be a ia i, dan menen kan p e en a i klini e a
a alak anan a (komplek i a a k la pa dapa memb a epa a i
li dan idak dapa dilak kan). Ada iga ben k/pola a e i p lmonali :
Unifokal - a e i p lmonali konfl en, k ann a memadai,
di plai oleh PDA
M l ifokal - a e i p lmonali konfl en e api hipopla ik (mi ip
' eag ll'), di plai oleh bebe apa MAPCA .
M l ifokal - a e i p lmonali idak konfl en a a idak e ben k,
ali an da ah pa di plai oleh MAPCA .
Pa ien PA/VSD de a a me pakan pop la i ang he e ogen dalam hal
ana omi, fi iologi dan in e en i ebel mn a.

3.11.2 P e e a i kli i da e jala a e aki


Pa ien PA/VSD ang bel m diko ek i, da ang dengan kel han di pnea
aa be ak i i a , kelelahan, dan iano i k oni p og e if, ang
di ebabkan oleh pen nan ali an da ah pa akiba eno i a e i
kola e al, eno i a e i p lmonali , peningka an PVR, a a
peningka an ekanan dia olik akhi en ikel. Hipok ia k oni pada
akhi n a akan men ebabkan ke e liba an m l io gan, an a a lain:
• Hemop i i - akiba pecahn a pemb l h da ah kola e al kecil
dan/a a ombo i a e i p lmonali kecil.
• Gagal jan ng k oni - pen ebabn a m l ifak o : hipok ia
mioka di m k oni , ali an da ah pa be lebihan, peningka an
PVR, di f ng i RV, AR dan lain-lainn a.
• Dila a i p og e if ao a a enden - m ngkin di e ai AR (ja ang
di ek i ao a).
• IE - membaha akan e ama bagi pa ien dengan cadangan
ka dio a k la e ba a dan iano i ignifikan.
• A i mia dan kema ian mendadak - e ing e jadi.
• PH egmen al

Panduan Tatalaksana PJBD 98


P e en a i klini o ang de a a dengan PA/VSD ang elah diko ek i,
mi ip pa ien TOF (liha bagian 3.10 dan 3.14).

3.11.3 Diag ik
Tem an klini : iano i pada pa ien ang bel m di epa a i m ngkin
anga be a , e liha aa i i aha a a ak i i a fi ik ingan. Bi ing
kon in ang e denga di p ngg ng mengindika ikan adan a MAPCA .
Pada EKG ampak de ia i mb ke kanan dan RVH. Fo o Ron gen
dada men nj kkan kon jan ng be ben k epa bo ( egmen a e i
p lmonali cek ng) dan pen nan co okan a k la pa (oligemi),
m ngkin bebe apa a ea mengalami peningka an a k la i a i akiba
MAPCA be a .
Ekoka diog afi: em an pada pa ien ang diko ek i be gan ng pada
jeni epa a i (liha bagian 3.10 dan 3.14). Un k pa ien ang bel m
di epa a i, pada colo Dopple idak ampak ali an lang ng da i RV ke
a e i p lmonali , e liha ali an kon in da i PDA a a bebe apa mbe
MAPCA. Ekoka diog afi 3D dapa memban menggamba kan pa ologi
ana omi e a k an dan f ng i LV dan RV. TEE be g na pada pa ien
e en n k menge al a i ana omi ka p pada TTE ang li , a a
menca i ege a i bila dic igai IE.
CMR, CCT dan ka e e i a i jan ng dipe l kan n k menen kan
mbe plai da ah pa e ma k menilai kebe adaan MAPCA,
k an a e i p lmonali , dan mempe oleh da a hemodinamik. Pada
pa ien ang elah diko ek i, CMR dig nakan n k pe a a an ang
mi ip dengan pa ien TOF, akni n k menilai ol me dan f ng i RV,
PR, k an dan ben k dila a i a e i p lmonali , k an ao a
a enden , e a menilai be a n a pi a e id al dengan menghi ng
Qp:Q . Angiog afi o a i 3D dan penci aan o e la 3D, ama baikn a
dengan ina -X dan MRI f ion dalam memban penilaian ang p e i i.

3.11.4 I e e i
In e en i bedah di en kan be da a kan ana omi a e i p lmonali :
• Pa ien dengan a e i p lmonali ang konfl en dan k an a e i
p lmonali ama e a cabang-cabang ang memadai (bia an a
di e ai ka p p lmonal ang a e ik), cocok n k pe baikan
epe i TOF mengg nakan TAP.
• Pa ien dengan k an a e i p lmonali ang baik e api idak
memp n ai a e i p lmonali ama, ha menjalani pe baikan

Panduan Tatalaksana PJBD 99


dengan mema ang al an (cond i ) RV ke a e i p lmonali .
• Pa ien dengan a e i p lmonali ang konfl en e api hipopla ik,
dipe l kan ope a i palia if epe i Blalock Ta ig h n (BTS)
aa ekon k i RVOT anpa pen pan VSD, g na
meningka kan pe mb han a e i p lmonali ; n k elanj n a
dilak kan bedah epa a i mengg nakan cond i apabila k an
a e i p lmonali dah memadai.
• Pa ien ba i dengan a e i p lmonali non-konfl en dan ali an
da ah pa ang adek a ( idak be lebihan), dapa be ahan hid p
hingga de a a anpa ope a i. Unifokali a i MAPCA be ahap
dapa dilak kan ebel m bedah epa a i mengg nakan cond i .
In e en i ka e e ang m m dilak kan an a a lain en ing PDA,
dila a i balon/ en ing MAPCA, n k meningka kan ali an da ah pa .
Di i i lain, pa ien dengan hemop i i be a , m ngkin meme l kan
coiling pada MAPCA ang pecah.
Kelang ngan hid p be gan ng pada komplek i a malfo ma i
a e i p lmonali dan ha il bedah epa a i. Me kip n ope a i jan ng
dapa meningka kan a klini a a p ogno i , nam n bi a j ga
me pakan pen ebab ama kema ian. Kelang ngan hid p pada
pa ien palia if eca a ignifikan lebih endah (60% pada e al a i 20
ah n). T an plan a i jan ng-pa menjadi al e na if akhi .

3.11.5 Ti dak la j
Pa ien PA/VSD ha menjalani peman a an be kala di p a PJBD,
e idakn a e ah n ekali, e m hid p, n k a alak ana ke e liba an
m l io gan akiba iano i k oni . Pa ien dengan PH egmen al, dapa
dipe imbangkan n k e api PH.
Gejala epe i di pnea, peningka an iano i , pe bahan bi ing
pi a , gagal jan ng, a a a i mia meme l kan pe ha ian kh dan
penilaian dini n k in e en i.

3.11.6 Pe ha ia kh
• La ihan/olah aga: pa ien dengan hemodinamik ang baik
dianj kan n k la ihan fi ik eca a e a , nam n hinda i la ihan
i ome ik ang ek im. Pa ien dengan hemodinamik ang
k ang op imal, kapa i a f ng ionaln a e ba a , bagi me eka

Panduan Tatalaksana PJBD 100


dianj kan la ihan ang e a dengan in en i a endah
(be jalan kaki, be enang, be epeda).
• Kehamilan: i iko kehamilan endah bagi pa ien ang di epa a i
dengan hemodinamik baik dan idak ada i a a a i mia. Ri iko
meningka dengan hipok emia, PH, di f ng i en ikel, gagal
jan ng, dan a i mia. Pada pa ien dengan mik o-dele i 22q11
ha dipe ik a gene ik ebel m hamil.
• P ofilak i IE: han a n k pa ien be i iko inggi ( e ma k
em a pa ien ang idak dipe baiki).

3.12 Transposisi arteri besar (Transposition of the great arteries= TGA)

3.12.1 Introduksi
TGA ditandai dengan koneksi atrio-ventrikuler konkordan dan
ventrikulo-arterial diskordan; dengan demikian maka aorta berasal dari
RV dan arteri pulmonalis dari LV. Disebut TGA sederhana/simpel jika
tidak disertai PJB lainnya; TGA kompleks jika disertai dengan PJB
lainnya, seperti VSD (45%), LVOTO (25%), dan CoA (5%). Luaran
jangka panjang TGA kompleks lebih buruk dibandingkan yang simpel.
Etiologi pasti dan patogenesis TGA masih kontroversi. Angka
kejadian dalam keluarga ada, tetapi sangat jarang. Kejadian pada lelaki
dua kali lipat lebih sering dibandingkan perempuan.
TGA yang tidak dioperasi mempunyai angka kesintasan buruk.
Teknik pembedahan telah berkembang dari prosedur atrial switch
(pertukaran atrium) menjadi arteria switch (pertukaran arteri). Pada TGA
kompleks kadang dilakukan operasi Rastelli.

3.12.2 Operasi Atrial Switch


3.12.2.1 Presentasi klinis pasca operasi
Prosedur atrial switch (Mustard atau Senning) dikerjakan pada pasien
TGA sederhana yang datang pada usia lebih tua. Komplikasi yang perlu
diantisipasi adalah :
• Disfungsi RV sistemik dan gagal jantung kanan
• TR sekunder yang progresif (katup AV sistemik)

Panduan Tatalaksana PJBD 101


• Inkompetens kronotropik dan bradikardi akibat hilangnya irama
sinus; konduksi AV umumnya normal.
• Takiaritmia supraventrikular: umumnya berupa cavotricuspid
isthmus-dependent flutter, diikuti oleh jalur re-entry makro, yang
berhubungan dengan sayatan/jaringan parut bekas operasi; AF
dapat terjadi pada usia yang lebih tua. Denyut jantung yang tinggi,
seringkali mengganggu hemodinamik, karena ketidakmampuan
meningkatkan preload sebagai konsekuensi dari baffle atrial yang
restriktif. Bradikardia karena disfungsi SA node dapat memicu
takikardia atrial.
• Takiaritmia ventrikular: biasanya berupa VT polimorfik atau VF
akibat fungsi ventrikel yang buruk dan gagal jantung, atau VT
monomorfik akibat jaringan parut bekas sayatan/ tambalan patch,
yang menimbulkan jalur re-entry. VT/VF kadang terjadi sekunder
akibat SVT dengan konduksi cepat, yang bisa menimbulkan
iskemia miokardium akibat rendahnya isi sekuncup saat SVT.
• Stenosis baffle: umumnya obstruksi terjadi pada baffle superior,
kadang di baffle inferior.
• Kebocoran baffle, bisa mengakibatkan pirau L-R sehingga aliran
darah paru meningkat atau pirau R-L akibat adanya obstruksi
aliran distal, yang menyebabkan sianosis/emboli paradoksikal.
• Obstruksi vena pulmonalis, paling sering di koneksi vena
pulmonalis - RA.
• LVOTO dapat terjadi karena pergesaran septum interventrikel ke
arah LV subpulmonal yang bertekanan lebih rendah; pada
ekokardiografi tampak gerakan anterior katup mitral saat sistolik
(systolic anterior motion = SAM).
• PH dapat menjadi manifestasi pada beberapa dekade setelah
atrial switch; biasanya berupa PH pasca-kapiler, tetapi dapat pula
terjadi PH pra-kapiler.
• Kematian akibat gagal jantung atau kematian mendadak mungkin
akibat aritmia.
Dilaporkan angka kesintasan 40 tahun pasca atrial switch mencapai 60-
75%, bebas dari masalah jantung cukup rendah yaitu 20%.
Kapasitas latihan umumnya berkurang, karena curah jantung kurang
memadai akibat inkompetensi kronotropik, berkurangnya preload akibat
stenosis baffle atau baffle yang restriktif dan disfungsi RV.
.

Panduan Tatalaksana PJBD 102


3.12.2.2 Diagnostik
Gejala: edema kepala dan leher menandai obstruksi baffle superior,
edema kaki, varises, hepatomegali, dan sirosis hati merupakan tanda
obstruksi baffle inferior. Pasien mungkin asimptomatik, bahkan ketika
terjadi obstruksi total, karena adanya sirkulasi pintas yang efektif oleh
vena azygos atau hemiazygos. Bising ejeksi sistolik menunjukkan
obstruksi LVOT/subpulmonal, dan bising sistolik karena TR sistemik.
EKG: RVH dan escape rhythm QRS yang sempit, tanpa terlihat
gelombang P.
Ekokardiografi: memperlihatkan ukuran dan fungsi sistolik LV
(subpulmonik) dan RV sistemik, LVOTO, TR, kebocoran atau obstruksi
baffle atrium, dan penilaian aliran balik vena pulmonalis. Tanda-tanda
PH (mendatarnya septum interventrikel saat sistolik dan arteri
pulmonalis yang melebar) jarang terlihat atau kadang sulit dikenali; perlu
konfirmasi kateterisasi jantung. Ekokardiografi kontras mampu
menunjukkan adanya kebocoran atau obstruksi baffle hingga 50% pada
pasien asimtomatik. Injeksi kontras di ekstremitas atas sering tidak
dapat mendiagnosis kebocoran baffle vena sistemik inferior; perlu
injeksi kontras di salah satu vena femoralis. TEE bermanfaat untuk
evaluasi baffle.
CMR memberikan penilaian kuantitatif yang lebih akurat tentang
fungsi sistolik RV sistemik dan patensi baffle atrium dibandingkan
ekokardiografi. Ukuran aorta dan arteri pulmonalis dapat dinilai dengan
tepat. Dilatasi arteri pulmonalis dan/atau LV subpulmonal merupakan
tanda PH. Pirau terkait kebocoran baffle juga dapat dihitung (Qp:Qs).
Kebocoran baffle yang kecil kadang sulit dideteksi dengan CMR
(ekokardiografi kontras lebih baik). Late gadolinium enhancement di RV
sistemik dapat memprediksi luaran klinis. Kepastian stenosis/kebocoran
baffle superior (dan penanganannya) penting sebelum dilakukan
implantasi pacu jantung atau ICD atau pemasangan wire pacu jantung
tambahan melalui baffle superior. Alternatif cara penilaian baffle
superior adalah dengan injeksi kontras di lengan kanan dan melalui
fluoroskopi.
CPET penting untuk penilaian serial kapasitas latihan dan
inkompetensi kronotropik. Bisa juga untuk mengetahui adanya
kebocoran baffle yang kecil dan asimtomatik pada saat istirahat, dengan
terdeteksinya desaturasi.

Panduan Tatalaksana PJBD 103


Pemantauan Holter, event recorder, dan studi EP diindikasikan untuk
pasien tertentu jika diduga ada bradikardia dan/atau takiaritmia.
Kateterisasi jantung diindikasikan ketika penilaian non-invasif
hasilnya inkonklusif atau jika dicurigai PH yang memerlukan evaluasi.

3.12.2.3 Tatalaksana medis


Tatalaksana medis ditujukan untuk mengatasi komplikasi, yaitu:
• Disfungsi sistolik RV sistemik: tidak ada data yang mendukung
hipotesis bahwa ACEi, ARB, beta blocker, atau antagonis
aldosterone sendiri-sendiri atau kombinasi, dapat memperbaiki
luaran; sehingga tidak ada rekomendasi yang dibuat.
• Kegagalan RV sistemik: diuretik dapat mengurangi gejala. Meski
belum ada bukti manfaat terapi medis gagal jantung pada pasien
dengan RV sistemik, akan tetapi pasien yang bergejala bisa
mendapat manfaat dari terapi obat-obatan gagal jantung 'klasik'.
• Aritmia: obat yang menurunkan denyut jantung harus digunakan
dengan hati-hati, karena setelah operasi atrial switch, pasien
rentan terhadap bradikardia dan disfungsi SA node.
• PH: mekanisme yang mendasari terjadinya PH harus dievaluasi
sebelum memberikan terapi. Penyebab paling sering adalah PH
pasca-kapiler yang merupakan komplikasi lanjut atrial switch,
sehingga terapi vasodilator pulmonal yang spesifik merupakan
kontraindikasi, tetapi kadang disertai dengan PH pra-kapiler juga.
Oleh karena itu, evaluasi hemodinamik yang cermat sangat
penting.

3.12.2.4 Intervensi
Prinsip umum studi EP, ablasi, CRT dan ICD juga berlaku untuk pasien
pasca atrial switch:
• Studi EP dan intervensi menjadi rumit, karena adanya baffle yang
menyulitkan akses ke atrium. Mekanisme dominan aritmia
supraventrikular adalah cavotrikuspid isthmus atrial flutter,
seringkali diperlukan pungsi baffle dengan panduan TEE untuk
dapat melakukan blok isthmus. Remote magnetic navigation
merupakan alternatif yang dapat digunakan untuk akses
retrograde ke atrium tempat masuknya vena pulmonalis. Akses
retrograde trans-aorta yang konvensional pada orang dewasa

Panduan Tatalaksana PJBD 104


biasanya tidak berhasil untuk melakukan blok isthmus. Stimulasi
listrik terprogram untuk stratifikasi risiko tidak bermanfaat.
• Alat pacu jantung: lihat bagian 2.5.2.

Tabel 3.14. Rekomendasi intervensi pasca atrial switch pada TGA


Rekomendasi Kelas Level
Indikasi intervensi kateter
Pasien simptomatis akibat stenosis baffle, direkomen- I C
dasikan pemasangan stent bila teknis memungkinkan.
Pasien simptomatis (sianosis saat istirahat atau aktifitas, I C
kecurigaan emboli paradoks) akibat kebocoran baffle,
direkomendasikan untuk menutup kebocoran dengan
stenting (covered)/device bila teknis memungkinkan
Pasien simptomatis (gejala pirau L-R signifikan) akibat I C
kebocoran baffle, direkomendasikan penutupan dgn
stenting (covered)/device bila teknis memungkinkan.
Pasien asimtomatis tetapt terdapat kebocoran baffle IIa C
disertai beban volume ventrikel akibat pirau L-R,
sebaiknya dipertimbangkan penutupan dgn stenting
(covered)/device bila teknis memungkinkan
Pasien dengan kebocoran baffle yang membutuhkan IIa C
pacu jantung/ICD, sebaiknya dipertimbangkan
penutupan kebocoran baffle dengan stent (covered)/
device jika secara teknis memungkinkan, sebelum
pemasangan lead transvena.
Pasien asimtomatik dengan stenosis baffle dapat IIb C
dipertimbangkan stenting, jika teknis memungkinkan
Indikasi intervensi bedah
Pasien yang simptomatik akibat obstruksi di atrium vena I C
pulmonalis, direkomendasikan reparasi bedah.
Pasien yang simptomatik akibat stenosis baffle yang I C
tidak dapat diintervensi transkateter, direkomendasikan
reparasi bedah.
Pasien yang simptomatik akibat kebocoran baffle yang I C
tidak dapat diintervensi transkateter, direkomendasikan
reparasi bedah
Pasien dengan regurgitasi katup AV sistemik (TV) berat IIa C
tanpa disfungsi sistolik ventrikel yang signifikan (EF
>40%), sebaiknya dipertimbangkan reparasi atau
penggantian katup, terlepas dari ada/tidaknya gejalanya.
Banding arteri pulmonalis pada orang dewasa, untuk III C
melatih LV pra arterial switch tidak direkomendasikan.
AV = atrioventricular; EF = fraksi ejeksi; ICD = implantable cardioverter defibrillator;

Panduan Tatalaksana PJBD 105


3.12.3 Operasi pertukaran arteri (arterial switch operation = ASO)
3.12.3.1 Presentasi klinis pasca ASO
Komplikasi yang paling umum pasca ASO adalah:
• Dilatasi neo-aorta, menyebabkan AR.
• PS supravalvuler atau stenosis cabang arteri pulmonalis
(unilateral/bilateral), akibat posisi percabangan arteri pulmonalis
di anterior aorta asendens pasca penerapan teknik Lecompte,
dan dilatasi neo-aorta.
• Disfungsi LV dan aritmia ventrikel jarang terjadi; keduanya
mungkin berhubungan dengan gangguan aliran darah ke arteri
koroner yang ditanam kembali di neo-aorta.
• Sudut angulasi arkus aorta tajam, sehingga terjadi obstruksi
fungsional dan hipertensi.
Angka kesintasan hidup 30 tahun >90% dan bebas dari masalah
jantung 60-80%, sebagian besar pasien asimtomatik, walaupun
kapasitas latihan sedikit berkurang. Insiden terkait masalah arteri
koroner dilaporkan sangat rendah, skrining rutin arteri koroner masih
menjadi pertanyaan.

3.12.3.2 Diagnostik
Temuan klinis seperti AR atau PS.
Ekokardiografi untuk menilai: fungsi sistolik LV (global dan regional);
stenosis di area anastomosis arteri (paling sering PS); regurgitasi katup
neo-aorta; dimensi neo-aorta dan aorta asendens proksimal; dan
angulasi akut arkus aorta. Juga dapat dinilai: fungsi sistolik RV, tekanan
sistolik RV (bila ada TR). Karena posisinya jauh di anterior, tepat di
belakang sternum, maka visualisasi bifurkasi arteri pulmonalis dan
kedua cabangnya sulit. Ekokardiografi juga digunakan untuk menilai
abnormalitas gerakan dinding ventrikel pasca stres (aktifitas).
CMR lebih akurat dalam menentukan volume ventrikel, EF, dan
dilatasi atau regurgitasi neo-aorta. Arteri pulmonalis dan cabangnya
juga dapat divisualisasikan dengan baik, demikian halnya neo-aorta
yang mengalami dilatasi. Distribusi aliran antara paru kiri dan kanan bisa
dihitung. Stress CMR adalah teknik alternatif untuk menilai perfusi
miokardium dan gangguan arteri koroner, jika diindikasikan secara
klinis. CCT adalah teknik yang dipilih untuk pencitraan stenosis arteri
koroner, termasuk ostianya. Rendahnya insidensi masalah koroner

Panduan Tatalaksana PJBD 106


meragukan perlunya skrining rutin patologi arteri koroner. Teknik nuklir
bukan pilihan pertama, tetapi masih diperlukan jika teknik lain tidak
tersedia atau ada keraguan hasil.
Kateterisasi jantung, termasuk angiografi koroner, diindikasikan jika
terjadi disfungsi LV dan kecurigaan iskemia miokardium atau jika ada
kecurigaan stenosis cabang arteri pulmonalis yang berat atau PH, ketika
hasil pemeriksaan non-invasif meragukan,

3.12.3.3 Intervensi
Tabel 3.15. Rekomendasi intervensi pasca arterial switch pada TGA
Rekomendasi Kelas Level

Bila terdapat iskemia miokardium akibat stenosis arteri I C


coroner, direkomendasikan untuk stenting/ pembedahan
(tergantung substrat)
Bila diameter neo-aorta >55 mm (pada perawakan badan IIa C
rerata orang dewasa), sebaiknya dipertimbangkan untuk
intervensi bedah pangkal neo-aorta (indikasi AVR pada AR
neo-aorta berat seperti AR umumnya, namun perlu
dipertimbangkan risiko terkait kesulitan re-operasi).
Bila terdapat stenosis cabang arteri pulmonalis >50%, dan/ IIa C
atau tekanan sistolik RV > 50 mmHg dan/atau ada
penurunan perfusi paru, sebaiknya dipertimbangkan
stenting, tanpa memandang gejala.
AR = aortic regurgitation; RV = right ventricle; AVR = aortic valve replacement

RVOTO supravalvular paling umum, sedangkan subvalvular dan


valvular jarang. Indikasi terapi serupa dengan yang dijelaskan dalam
bagian 3.8, tetapi anatomi yang berbeda mungkin memerlukan
perbedaan pendekatan.

3.12.4 Operasi Rastelli

3.12.4.1 Presentasi klinis pasca operasi Rastelli


Operasi Rastelli sering dilakukan pada pasien dewasa dengan
TGA/VSD yang disertai PS. VSD ditutup patch yang mengarahkan
aliran darah dari LV ke aorta, dan RV disambungkan ke arteri

Panduan Tatalaksana PJBD 107


pulmonalis dengan conduit berkatup. Tindakan ini menyebabkan
penurunan kapasitas latihan ringan sampai berat bergantung pada lesi
residual. Variasi lain dari operasi Rastelli adalah e a a ion a l e age
ventriculaire dan operasi Nikaidoh
Komplikasi pasca operasi Rastelli adalah: stenosis atau regugitasi
katup conduit penghubung RV-arteri pulmonalis, LVOTO, VSD residual,
AR, disfungsi LV, artimia ventrikular/supraventrikular, endokarditis pada
katup conduit, kematian (mendadak) karena gagal jantung.
Luaran jangka panjang: dilaporkan angka kesintasan 20 tahun
<60% dan bebas masalah jantung 20-30%. Operasi ulang pada
umumnya untuk penggantian conduit RV-arteri pulmonalis. Penyebab
yang lain adalah perbaikan LVOTO dan penutupan VSD residual.
Endokarditis pada katup conduit relatif sering terjadi.
Pada umumnya tindakan intervensi ulangan, baik itu operasi atau
transkateter terjadi pada hampir semua pasien yang menjalani operasi
Rastelli.

3.12.4.2 Diagnostik
Lihat bagian prinsip umum.
Temuan klinis mungkin mengarahkan pada stenosis conduit, VSD
residual, TR, MR, atau AR.
Ekokardiografi digunakan untuk menilai :
hubungan antara LV yang berada di posterior dan katup aorta
yang berada di anterior (karena TGA), fungsi katup aorta, dan
diameter pangkal aorta.
anatomi dan fungsi conduit RV - arteri pulmonalis (dengan
ekokardiografi Doppler), estimasi tekanan RV penting (dinilai
dengan Doppler kecepatan jet TR), karena sering terjadi
estimasi berlebihan pengukuran gradien tekanan conduit RV-
arteri pulmonalis.
CMR dapat menilai volume LV dan RV, diameter aorta, dan EF lebih
akurat. Conduit RV - arteri pulmonalis dan stenosis arteri pulmonalis
perifer sering sulit divisualisasikan dengan ekokardiografi, Untuk itu,
CMR membantu, sekaligus untuk menghitung Qp:Qs jika ada VSD
residual.
Kateterisasi jantung kadang diperlukan untuk penilaian stenosis
RV - arteri pulmonalis dan arteri pulmonalis perifer.

Panduan Tatalaksana PJBD 108


3.12.4.3 Intervensi
Untuk indikasi terapi stenosis conduit, lihat bagian 3.14.
Jika pirau L-R melalui VSD residual menyebabkan gejala atau beban
volume LV yang substansial, intervensi penutupan VSD trans-kateter
atau bedah direkomendasikan.

3.12.5 Tindak lanjut


Semua pasien dengan TGA, apa pun jenis operasinya, harus kontrol
setidaknya setiap tahun di pusat PJBD. Perhatian terutama diberikan
untuk masalah khusus yang dijelaskan sebelumnya (lihat bagian
3.12.2.1, 3.12.3.1 dan 3.12.4.1).

3.12.6 Perhatian khusus


Pertimbangan mengenai latihan/kehamilan/profilaksis IE: lihat bagian
2.5.5, 2.5.6 dan 2.5.7

3.13 Transposisi arteri besar kongenital terkoreksi (congenitally


corrected transposition of the great arteries = ccTGA)

3.13.1 Introduksi
ccTGA (koneksi atrio-ventrikuler dan ventrikulo-arterial diskordan),
merupakan PJB yang jarang.
Letak ventrikel terbalik, dengan aorta keluar dari RV di anterior
(biasanya di sebelah kiri) dan arteri pulmonalis keluar dari LV di
posterior (biasanya di sebelah kanan). Koneksi diskordan ganda ini,
dapat dijumpai pada jantung dengan situs atrium normal (solitus) atau
terbalik (inversus/mirror image). Kelainan penyerta lainnya:
dextrocardia (20%), VSD (70%), PS (40%), struktur TV yang displastik
(misalnya anomali Ebstein).
Letak AV node (kadang AV node multipel) dan jalur/bundle of His
seringkali tidak normal, sehingga menyebabkan kelainan konduksi AV.
Pergeseran His bundle ke anterior dan lateral sangat penting untuk
dikenali ketika melakukan pemeriksaan EP dan intervensi kateter.

3.13.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit


Presentasi klinis dan perjalanan penyakit pada ccTGA ditentukan oleh
kelainan penyerta. Pasien dengan lesi penyerta yang dapat mencapai

Panduan Tatalaksana PJBD 109


usia dewasa, biasanya adalah pasien yang telah dilakukan operasi
(tutup VSD, reseksi PS, atau penggantian/reparasi TV) atau yang
memiliki fisiologi balans.
Pasien ccTGA tanpa lesi penyerta, jarang menimbulkan komplikasi
sebelum usia dewasa. Komplikasi lanjut yang mungkin timbul antara
lain: disfungsi dan kegagalan RV sistemik, TR progresif, LVOTO, blok
AV total (hilangnya konduksi AV 2% pertahun, lebih sering terjadi pasca
bedah penutupan VSD dan/atau TVR, dan dapat muncul ketika hamil),
VT (sangat jarang).
Harapan hidup sampai usia 40 tahun 50% pada pasien dengan lesi
penyerta, sedangkan tanpa lesi penyerta, harapan hidup sampai usia
60 tahun 50%. Pasien umumnya meninggal akibat gagal jantung
kongestif atau kematian mendadak, kemungkinan akibat VT/VF dengan
atau tanpa gagal jantung lanjut.

3.13.3 Diagnostik
Lihat bagian 2.4 untuk prinsip umum
Temuan klinis: dapat berupa bising akibat TR, VSD, dan/atau PS.
EKG: pemanjangan interval PR atau blok AV total. Aktivasi septal
dini dari kanan ke kiri dapat menimbulkan gelombang Q yang dalam
pada sadapan II, III, aVF, dan V1-V3. Progresi sadapan prekordial yang
terbalik dapat dilihat sebagai QR pada sadapan V1 dan rS pada
sadapan V6. Sindrom Wolff-Parkinson-White dijumpai pada 2-4%
pasien. Foto Rontgen dada memperlihatkan batas jantung kiri yang
lurus akibat posisi aorta ascending ke kiri-anterior, dekstrokardia atau
mesokardia (cukup sering).
Ekokardiografi: untuk membuktikan diskordan ganda (diskordan AV,
VA), mengidentifikasi anomali penyerta (malformasi TV menyerupai
anomali Ebstein dan TR, VSD, LVOTO dan PS), dan menilai fungsi
sistolik RV/LV serta derajat TR.
CMR: untuk menilai anatomi intrakardiak dan pembuluh darah
utama, pengukuran volume, massa, dan EF RV, yang secara
ekokardiografi sulit dilakukan/kurang akurat.
Pemeriksaan Holter, perekam kejadian, dan EP diindikasikan untuk
deteksi aritmia, blok AV progresif dan untuk penilaian resiko kematian
mendadak.

Panduan Tatalaksana PJBD 110


Kateterisasi jantung diindikasikan ketika pemeriksaan non-invasif
inkonklusif, atau adanya PH yang memerlukan evaluasi lanjutan.

3.13.4 Terapi medis


Tidak ada data yang mendukung hipotesa bahwa ACEi, ARB, dan beta
blocker atau antagonis aldosteron, baik sendiri atau kombinasi,
memperbaiki luaran klinis. Pemberian obat-obat ini secara rutin untuk
mencegah gagal jantung/memperbaiki luaran klinis tidak
direkomendasikan. Diuretik dapat mengurangi gejala jika terdapat gagal
jantung kongestif. Meski tidak ada bukti manfaat dari obat gagal jantung
terhadap luaran klinis pasien dengan RV sistemik, namun obat-obat
klasik gagal jantung atau ARB mungkin bermanfaat pada pasien-pasien
yang simtomatik.
Morfologi RV sistemik bukan kontraindikasi untuk pemasangan
ventricular assist device (VAD) akan tetapi trabekulasi kasar apex RV
memerlukan perhatian khusus, karena dapat menghambat aliran masuk
kanula VAD. Pada kondisi demikian, myomektomi selektif dapat
dipertimbangkan.

3.13.5 Intervensi
Intervensi kateter dapat direkomendasikan pada stenosis arteri
pulmonalis atau stenosis conduit, yang mungkin dapat dilebarkan atau
dipasang stent. Namun, residual LVOTO dapat bermanfaat bagi RV
yang dilatasi dan bagi regurgitasi katup AV (TV) karena pergeseran
septum.
Jika terjadi blok AV total, pacu sekuensial AV merupakan
tatalaksana standar. Fiksasi kabel pacu jantung pada dinding LV yang
mulus cukup sulit dan memerlukan elektroda screw-in. Beberapa data
mengarah pada manfaat pacu biventrikel dengan kabel pacu ventrikel
kedua diletakkan pada sinus koronarius dibelakang RV, karena dapat
mempertahankan fungsi RV lebih baik bila dibandingkan pacu LV saja.
Pertanyaan paling menantang adalah mengenai TR, disfungsi RV,
dan kapan melakukan TVR dan/atau memasang ICD. Berbeda dengan
kelompok pediatrik, di mana tindakan double switch merupakan
intervensi pilihan, pada pasien ccTGA dewasa yang mengalami
kegagalan RV sistemik, pendekatan ini jarang berhasil. TR seringkali
menjadi fokus pembedahan. Reparasi TV jarang membawa manfaat,
sehingga penggantian katup menjadi terapi pilihan. EF RV sistemik pra-

Panduan Tatalaksana PJBD 111


operatif 40%, PAP >50 mmHg, AF, dan NYHA kelas III sampai IV
berhubungan dengan mortalitas jangka panjang.

Tabel 3.16. Rekomendasi untuk intervensi pada ccTGA


Rekomendasi Kelas Level
Pasien ccTGA simtomatik dengan TR berat dan fungsi I C
sistolik RV yang baik atau sedikit menurun (EF >40%),
direkomendasikan untuk TVR
Pasien ccTGA asimtomatik dengan TR berat dan dilatasi IIa C
progresif RV dan/atau EF >40%, sebaiknya
dipertimbangkan untuk TVR
Pasien ccTGA dengan blok AV total/>40% kemungkinan IIa C
memerlukan pacu jantung, sebaiknya dipertimbangkan
untuk implantasi pacu jantung biventrikel
Pasien ccTGA simtomatik dengan TR berat dan RV EF IIb C
40%, dapat dipertimbangkan untuk TVR
TR = tricuspid regurgitation; RV = right ventricle; EF = ejection fraction; TVR = tricuspid
valve replacement; AV = atrioventricular

3.13.6 Tindak lanjut


Pasien dengan dengan ccTGA memerlukan evaluasi setiap tahun -
seumur hidup, di pusat PJBD, terutama untuk gangguan konduksi,
disfungsi RV dan TVR. Untuk aritmia, lihat bagian 2.5.2.

3.13.7 Perhatian khusus


Olahraga: pasien ccTGA simtomatik dengan EF RV normal harus
menghindari olahraga intensitas tinggi dan dianjurkan untuk tidak
melebihi olahraga moderate-static dan intensitas menengah.
Kehamilan: risiko bergantung status fungsional, fungsi RV,
kondisi TV, dan ada tidaknya aritmia (terutama blok AV), dan lesi
terkait (lihat bagian 2.6.7).

Panduan Tatalaksana PJBD 112


3.14 Conduit RV - arteri pulmonalis

3.14.1 Introduksi
Conduit RV- arteri pulmonalis digunakan pada defek kompleks, bila alur
keluar native tidak dapat direkonstruksi, misalnya pada atresia
pulmonalis, trunkus arteriosus, dan operasi Ross.
Tipe conduit dapat berkatup seperti homograft pulmonal/aortik, katup
bioprostetik, conduit vena jugular sapi (®Contegra); atau tanpa katup.
Tidak ada conduit yang ideal, durabilitas yang terbatas mengharuskan
operasi ulang dini. Prediktor untuk kegagalan conduit ialah proses
sterilisasi/preservasi, stenosis arteri pulmonalis, dan diagnosis
transposisi. Angka 20 tahun bebas operasi ulang untuk kegagalan
conduit berkisar 32%-40%.
Komplikasi termasuk: ketidak sesuaian antara ukuran conduit
dengan pertumbuhan badan, obstruksi progresif dengan/tanpa
regurgitasi, endokarditis, dan aneurisma/pesudoaneurisma.

3.14.2 Diagnostik
Presentasi klinis disfungsi conduit RV- arteri pulmonalis termasuk: cepat
lelah ketika aktivitas, palpitasi, sinkop, dan kematian mendadak.
Temuan klinis termasuk gelombang A prominen pada vena jugular, thrill
dan bising sistolik di prekordial. Kalsifikasi pada conduit dapat dilihat
pada foto Rontgen dada.
Ekokardiografi: untuk melihat ukuran, bentuk, dan fungsi kedua
ventrikel, PR, TR dan lesi penyerta. Gradien melalui conduit kadang sulit
diukur dan kurang dapat dipercaya. Pengukuran tekanan RV
menggunakan velocity TR sebaiknya digunakan untuk menilai stenosis
conduit.
CMR berguna untuk menghitung stenosis conduit dan/atau
regurgitasi, volume dan massa RV, serta untuk menilai arteri
pulmonalis. CMR/CCT sangat menolong untuk menilai anatomi arteri
koroner dan jaraknya ke RV/conduit, serta mengevaluasi struktur lain di
balik sternum.
Kateterisasi untuk penilaian hemodinamik selalu diperlukan jika akan
dilakukan intervensi. Angiografi menyediakan informasi tingkat stenosis,
stenosis perifer arteri pulmonalis, dan anatomi koroner (anomali/jalur
abnormal).

Panduan Tatalaksana PJBD 113


3.14.3 Intervensi
Dilatasi menggunakan balon atau implantasi stent telah dilaporkan
aman dan memperpanjang usia conduit yang disfungsi. TPVI kini
menjadi terapi pilihan untuk katup yang disfungsi, jika secara teknis
memungkinkan. Yang bukan merupakan kandidat TPVI meliputi oklusi
vena sistemik, infeksi aktif, morfologi jalur keluar yang tidak cocok, dan
anatomi koroner yang tidak mendukung (kompresi akibat implant).
Pembedahan lebih dipilih ketika intervensi tambahan diperlukan
(misalnya annuloplasti TV). Data longitudinal lebih penting untuk
menentukan waktu intervensi ulang, dibandingkan pengukuran tunggal.

Tabel 3.17. Rekomendasi intervensi pada conduit RV-arteri pulmonalis


Rekomendasi Kelas Level
Pasien simtomatik dengan tekanan sistolik RV >60 mmHg I C
(atau lebih rendah jika aliran berkurang) dan/atau PR
berat (fraksi regurgitan pada CMR > 30-40%),
direkomendasikan intervensi, diutamakan TPVI jika
memungkinkan
Pasien asimtomatik dengan RVOTO berat dan/atau PR IIa C
berat, sebaiknya dipertimbangkan untuk intervensi,
diutamakan TPVI jika memungkinkan, bila setidaknya
terdapat satu kondisi berikut:
• Secara obyektif (CPET) kapasitas latihan turun
• Dilatasi RV progresif hingga ESVi 80 mL/m2,
dan/atau EDVi 160 mL/m2, dan/atau TR menjadi
setidaknya moderat.
• Disfungsi sistolik RV progresif
• Tekanan sistolik RV > 80 mmHg
CPET = cardiopulmonary exercise testing; CMR = cardiovascular magnetic resonance;
PR = pulmonary regurgitation; TR = tricuspid regurgitation; RV = right ventricle/ventricular;
EDVi = end diastolic volume indexed; ESVI = end systolic volume indexed; TPVI =
transcatheter pulmonary valve implantation.

3.14.4 Tindak lanjut


Direkomendasikan untuk melakukan evaluasi rutin setiap tahun di pusat
PJBD. Perhatian khusus harus diberikan kepada kapasitas fungsional
(dengan CPET), tekanan sistolik RV, gradien trans conduit, fungsi RV
dan aritmia.

Panduan Tatalaksana PJBD 114


3.14.5 Perhatian khusus
Olahraga: tidak ada restriksi pada pasien asimtomatik dengan
obstruksi ringan. Pasien risiko tinggi dengan tekanan RV yang
tinggi harus membatasi diri hanya olahraga intensitas rendah dan
menghindari olahraga isometrik. Pasien lain harus membatasi diri
mereka sesuai gejala.
Kehamilan: risiko ibu dan janin bergantung pada defek PJB yang
mendasarinya dan keparahan obstruksi alur keluar RV, aritmia,
dan gagal jantung (lihat bagian 2.6.7).
Profilaksis IE: direkomendasikan untuk seluruh pasien (lihat
bagian 2.5.6).

3.15 Jantung univentrikel/ Univentricular Heart (UVH) yang tidak


dioperasi (paliatif)

3.15.1 Introduksi
Istilah UVH merangkum berbagai kelainan di mana RV atau LV tidak
terbentuk atau hipoplastik, sehingga tidak memungkinkan untuk
dilakukan operasi biventrikel, seperti:
• Trikuspid atresia
• Varian sindrom hipoplastik jantung kanan, misalnya pulmonary
atresia dengan intact ventricular sepum
• Varian hypoplastic left heart syndrome (HLHS), termasuk mitral
atresia.
• Double-Inlet LV
• Double-Inlet RV
• Bentuk ekstrim dari AVSD komplit dengan salah satu ventrikel
yang tidak berkembang
• Univentrikel dengan morfologi tidak jelas.
Malformasi tersebut dikaitkan dengan lesi intra- dan/atau ekstrakardiak
tambahan seperti:
• ASD, VSD, AVSD, PDA
• AS valvular, subvalvular
• Anomali arkus aorta: hipoplasia, interupsi, koarktasio.
• PS valvular, subvalvular, pulmonary atresia.
• Anomali arteri pulmonalis: PS perifer, hipoplasia, hanya satu sisi.

Panduan Tatalaksana PJBD 115


• Koneksi yang diskordan, malposisi arteri besar.
• Stenosis/regurgitasi, overriding, straddling katup AV
• Isomerism LA/RA, koneksi vena sistemik atau vena pulmonalis
yang abnormal.
• VCS kiri, vena innominata tidak ada, VCS kanan tidak ada, VCI
infra-hepatik tidak ada dengan kontinuitas vena azygos atau vena
hemiazygos.
• MAPCA
• Polisplenia atau asplenia.
Karena kurangnya data, rekomendasi terutama didasarkan atas
konsensus para pakar. Sebagian besar pasien datang dengan kondisi
telah menjalani intervensi paliatif sebelumnya, (misalnya BTS, BCPS,
operasi Fontan/modifikasinya (lihat bagian 3.16).
Terdapat 2 situasi hemodinamik berbeda yang dapat dipaparkan:
• Tanpa obstruksi aliran darah pulmonal.
- Tanpa operasi, umumnya pasien akan meninggal di masa
kanak-kanak karena gagal jantung yang tidak dapat diatasi.
Mereka yang bertahan hidup akan mengalami penyakit PVD
yang memberat dengan berjalannya waktu. Ini akan menjadi
penentu utama kelangsungan hidup jangka panjang.
- Telah menjalani operasi PAB untuk mengurangi aliran darah
paru pada usia dini. PAB yang dapat efektif mencegah PVD,
sekaligus menjamin aliran darah paru cukup, agar pasien
tidak terlalu sianosis.
• Dengan obstruksi aliran darah paru: karena adanya PS valvular
dan/atau subvalvular atau atresia pulmonal. Bila obstruksi cukup,
maka PVD tidak berkembang dan sianosis tidak berat. Situasi
yang seimbang ini memungkinkan kelangsungan hidup hingga
dewasa tanpa operasi. Kebanyakan pasien dengan obstruksi
yang berat, sehingga memerlukan operasi pirau sistemik ke arteri
pulmonalis dini. Operasi yang paling sering dikerjakan saat ini
adalah modifikasi Blalock Taussig shunt (mBTS) yakni
memasang saluran penghubung (goretex) antara arteri subklavia
ke arteri pulmonalis. Jika ukuran pirau ini terlalu besar, aliran
darah ke paru berlebih dan menyebabkan PVD pada usia
dewasa. Jika pirau terlalu kecil, pasien akan menjadi sangat
sianosis. Selanjutnya, bila sudah memungkinkan, BTS akan

Panduan Tatalaksana PJBD 116


diganti dengan anastomosis antara VCS dan arteri pulmonalis
(paling sering dilakukan saat ini adalah BCPS).

3.15.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit


Pasien datang dengan berbagai variasi derajat sianosis dan gagal
jantung kongestif, bergantung pada besar aliran darah paru, ada/tidak
adanya PVD, dan fungsi ventrikel. Saturasi oksigen arteri biasanya
berkisar antara 75-85%, tetapi pada beberapa kasus dengan sirkulasi
yang ideal, saturasinya bisa mencapai nilai > 90%.
Kemampuan latihan umumnya berkurang secara substansial
(dengan beberapa pengecualian). Blok AV komplit, aritmia
(supraventrikuler/ventrikuler), walaupun jarang bisa menyebabkan
kematian mendadak. Tromboemboli, stroke, dan abses otak dapat
terjadi, demikian halnya endokarditis.
Pasien mungkin datang dengan obstruksi progresif di aliran yang
menuju aorta. Hal ini akan menyebabkan hipertrofi ventrikel dan pada
akhirnya menurunkan curah jantung. Obstruksi progresif ke arteri
pulmonalis akan menyebabkan sianosis yang progresif. Pada pasien
dengan BCPS, derajat sianosis bisa bertambah berat, karena
terbentuknya fistula arterio-venosa pulmonalis atau kolateral dari VCI ke
VCS.
UVH harus mengakomodasi aliran balik vena sistemik dan paru.
Kelebihan volume yang kronis, kemungkinan besar akan menyebabkan
kegagalan fungsi ventrikel yang dini serta penambahan regurgitasi
katup AV yang akan semakin memperburuk disfungsi ventrikel/gagal
jantung; kapasitas fungsional semakin rendah.
Pada beberapa kasus dengan kondisi hemodinamik yang seimbang,
disfungsi ventrikel tidak berkembang, dan pasien hidup sampai melebihi
dekade kelima.

3.15.3 Diagnostik
Temuan klinis: sianosis sentral, jari tabuh di semua ekstrimitas, dan
seringkali dada asimetris dengan heave prekordial pada sisi di mana
jantung berada; skoliosis sering terjadi. S2 biasanya tunggal, temuan
auskultasi lainnya bergantung pada lesi penyerta. EKG dapat
menunjukkan gangguan irama atau konduksi. Takikardia atrial re-entry
dengan blok 2:1 dan takikardia ringan dapat dengan mudah terlewatkan.

Panduan Tatalaksana PJBD 117


Ekokardiografi: TTE mampu memberikan informasi tentang anatomi
dan fungsi jantung, diperlukan pendekatan segmental; UVH selalu
kompleks dan dapat muncul dengan berbagai variasi kelainan pada
situs, orientasi, dan koneksi. Untuk mendiagnosis UVH, TEE
diindikasikan jika gambar TTE tidak memadai. TTE diharapkan dapat
memperlihatkan:
Situs abdomen dan atrium.
Posisi jantung di dada dan posisi apex.
Koneksi veno-atrium, AV, dan VA
Informasi morfologis dan hemodinamik seluruh bagian jantung.
Anatomi yang tepat dari hubungan VA dan fungsionalnya, dengan
fokus pada obstruksi ke aorta atau arteri pulmonalis.
Fungsi katup AV, dengan fokus khusus pada regurgitasi.
Fungsi ventrikel/hipertrofi.
Jenis, ukuran, jumlah, lokasi ASD/VSD.
Aorta asendens, arkus dan aorta desendens; menyingkirkan
CoA/interrupted aortic arch (IAA)
Arteri pulmonalis cabang utama, cabang kiri/kanan, dan sumber
darah ke paru lainnya.
Visualisasi pirau yang dibuat (Blalock Taussig, Waterston, dll.).
CMR/CCT merupakan modalitas pencitraan pilihan untuk anatomi
ekstra-kardiak, termasuk koneksi veno-atrial dan VA. Informasi
morfologi rinci dari anatomi intrakardiak dapat diperoleh. CMR juga
merupakan metode pilihan untuk menghitung volume ventrikel, dan EF,
dan distribusi relatif aliran darah ke paru-paru kiri dan kanan.
Kateterisasi jantung diperlukan bila intervensi akan dilakukan,
khususnya PAP dan gradien PV. PVR seringkali sulit untuk dinilai pada
keadaan ini. Pemeriksaan ini wajib dilakukan ketika pasien akan
menjalani operasi Fontan. Evaluasi pirau sistemik ke arteri pulmonalis
atau BCPS - dan lesi residual (stenosis cabang - cabang arteri
pulmonalis) dan anomali vaskular lainnya (MAPCAs, kolateral
arteriovenosus, fistula, dll.) menjadi bagian dari pemeriksaan.

Panduan Tatalaksana PJBD 118


Tabel 3.18. Rekomendasi untuk intervensi UVH dewasa
Rekomendasi Kelas Level
Pasien UVH dewasa, baik yang belum dioperasi atau I C
telah dioperasi paliatif, direkomendasikan untuk
dievaluasi di pusat PJBD, dan dilakukan pencitraan
multimodalitas serta pemeriksaan invasif, guna
memutuskan apakah ada manfaat untuk dilakukan
intervensi bedah/ transkateter
Pasien UVH dewasa dengan aliran darah paru yang IIa C
meningkat (jarang ada) sebaiknya dipertimbangkan
untuk bedah PAB/pengencangan PAB sebelumnya.
Pasien UVH dewasa dengan sianosis berat dan aliran IIa C
darah paru kurang, PVR dan PAP rendah, sebaiknya
dipertimbangkan untuk BCPS.
Pasien UVH dewasa pasca BCPS, dengan PVR dan PAP IIa
rendah, fungsi katup AV dan ventrikel sistemik baik, C
sebaiknya dipertimbangkan untuk operasi Fontan
Pasien UVH dewasa dengan sianosis berat dan IIb C
penurunan aliran darah paru yang tidak memenuhi syarat
untuk BCPS, dapat dipertimbangkan untuk dibuatkan
pirau sistemik ke arteri pulmonalis (perhitungkan dampak
peningkatan beban volume ke ventrikel sistemik).
Transplantasi jantung atau transplantasi jantung-paru IIa C
sebaiknya dipertimbangkan, jika tidak ada pilihan
bedah konvensional pada pasien dengan status klinis
yang buruk.
AVV = atrioventricular valve; PA = arteri pulmonal/ pulmonary artery; PAP = tekanan arteri
pulmonal/ pulmonary artery pressure; PVR = resistensi vakular paru/ pulmonary vascular
resistance; UVH = jantung univentrikel/ univentricular heart. BCPS = bidirectional
cavopulmonary shunt.

Intervensi lain seperti valvotomi pulmonal untuk meningkatkan aliran


darah paru pada kasus PS berat, masih diperdebatkan. Apabila klinis
pasien stabil, risiko (lebih sering risiko tinggi) dan manfaat dari semua
jenis intervensi bedah harus dipertimbangkan dengan sangat hati-hati.
Untuk transplantasi, sternotomi/torakotomi sebelumnya, kolateral
aorta-arteri pulmonalis, dan dampak alami PJB sianotik terhadap
multisistem merupakan tantangan teknis dan medis, yang membatasi
hasil akhirnya.

Panduan Tatalaksana PJBD 119


3.15.4 Tatalaksana konservatif
Lihat bagian 2.5.3 dan 2.5.8 untuk tatalaksana hematologi dan PH.

3.15.5 Tindak lanjut


Evaluasi rutin diperlukan pada pusat PJBD. Frekuensi evaluasinya
bersifat individual, tetapi setidaknya setiap tahun, untuk dilakukan
pemeriksaan fisik, saturasi oksigen, tes laboratorium (pemeriksaan
hematologi, status zat besi, fungsi hati, fungsi ginjal, dll.), EKG, foto
Rontgen dada, dan ekokardiografi (lihat juga bagian 2.5.8). CMR dan uji
latih jantung diperlukan setidaknya sekali pada usia dewasa dan pada
interval waktu lebih lanjut sesuai temuan awal.

3.15.6 Perhatian khusus


Latihan/olahraga: pasien tidak berisiko kematian tinggi saat
latihan, tetapi mereka memiliki keterbatasan kapasitas
fungsional. Olahraga rekreasi dapat dilakukan, dengan dibatasi
oleh gejala.
Kehamilan: dikontraindikasikan pada pasien dengan aliran darah
paru yang sangat rendah atau dengan PVD berat, atau jika fungsi
ventrikel buruk. Sianosis menimbulkan risiko signifikan pada
janin, dengan kemungkinan kelahiran hidup (<12%) bila saturasi
oksigen <85% (lihat bagian 2.6.7).
Kontrasepsi: pil kontrasepsi kombinasi oral harus dihindari
karena meningkatkan risiko tromboemboli. Pil progestogen dan
alat kontrasepsi intrauterin atau implan yang mengandung
progestogen merupakan kontrasepsi yang aman, dan
mempunyai risiko kardiovaskular yang lebih kecil.
Profilaksis endokarditis: diindikasikan pada semua pasien (lihat
bagian 2.5.6).

3.16 Pasien pasca operasi Fontan

3.16.1 Introduksi
Operasi Fontan diperkenalkan pada tahun 1968 dan telah menjadi
pengobatan definitif untuk pasien yang memiliki berbagai kelainan
jantung dengan fungsi ventrikel tunggal (lihat bagian 3.15).
Pembedahan terdiri dari pemisahan aliran balik vena pulmonal dan

Panduan Tatalaksana PJBD 120


sistemik tanpa ventrikel subpulmonal dan mengembalikannya menjadi
'serial'. Sejak diperkenalkan, sejumlah modifikasi telah dilakukan, yang
dirancang untuk merampingkan aliran balik vena sistemik ke arteri
pulmonalis. Saat ini, koneksi cavopulmonal total telah menggantikan
koneksi atriopulmonal (appendiks RA ke arteri pulmonalis), dengan
saluran intrakardiak atau ekstrakardiak antara IVC dan arteri
pulmonalis, bersama dengan anastomosis SVC ke arteri pulmonalis
(BCPS/Glenn shunt). Prosedur ini biasanya dikerjakan dua tahap.
Orang dewasa dengan HLHS yang dioperasi Fontan merupakan
kelompok pasien yang kecil, namun angkanya terus bertambah; mereka
lebih berisiko mengalami komplikasi daripada pasien Fontan umumnya,
sehingga memerlukan tindak lanjut dan penilaian yang lebih ketat.
Persyaratan untuk operasi Fontan agar diperoleh hasil awal dan
akhir yang terbaik, serta mortalitas operasi <5%, termasuk: PVR rendah
(<3 WU), PAP rendah (rerata <15 mmHg), fungsi ventrikel yang baik
(LVEDP <12 mmHg), ukuran arteri pulmonalis yang memadai, tidak ada
regurgitasi katup AV yang signifikan, dan irama jantung normal.
Fenestrasi (menyisakan lubang kecil di septum atrium) umum dilakukan,
dengan tujuan untuk meningkatkan curah jantung meskipun pasien
agak sianosis (akibat pirau R-L).

3.16.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit


Hilangnya pompa ventrikel subpulmonal, menyebabkan peningkatan
tekanan vena sistemik kronis, perubahan hemodinamik paru, dan
penurunan fungsi ventrikel secara kronis. Walaupun kelangsungan
hidup 10 tahun mungkin mendekati 90%, namun harus disadari bahwa
penurunan fungsi kardiovaskular dan penurunan kesintasan tidak dapat
dihindari, pada pasien Fontan paling baik sekalipun. Masalah
hemodinamik yang berkontribusi pada kegagalan Fontan termasuk:
penurunan progresif fungsi ventrikel sistemik, regurgitasi katup AV,
peningkatan PVR, pembesaran atrium, obstruksi vena pulmonalis, VSD
subaortik yang semakin restriktif, dan konsekuensi dari hipertensi vena
sistemik kronis termasuk kongesti dan disfungsi hati. Komplikasi lebih
lanjut termasuk pembentukan trombus di atrium dan arteri pulmonalis,
berkembangnya malformasi arterio-venosa pulmonalis, koneksi dari
arteri sistemik ke vena atau arteri pulmonalis, dan kolateral dari sistemik
ke vena pulmonalis.

Panduan Tatalaksana PJBD 121


Setelah operasi Fontan, sebagian besar pasien mempunyai kualitas
hidup cukup baik hingga remaja, walaupun kapasitas fungsionalnya
berkurang jika diukur secara objektif. Namun, komplikasi klinis yang
muncul kemudian, dapat memberat seiring berjalannya waktu, yaitu:
penurunan progresif kemampuan latihan, gagal jantung, sianosis,
insufisiensi vena kronis, dan perkembangan aritmia, terutama pada
pasien dengan operasi Fontan yang klasik. Pada 10 tahun pasca
operasi Fontan, sekitar 20% pasien mengalami takiaritmia
supraventrikular (biasanya IART dan atrial flutter atau AF dan AT.
Bradikardia akibat disfungsi SA node dapat memfasilitasi terjadinya AT.
Insiden AT berkurang setelah diterapkan metoda koneksi cavo-
pulmonal total dibandingkan koneksi atrio-pulmonal, dan lebih rendah
lagi dengan penggunaan conduit ekstrakardiak dibandingkan conduit
intrakardiak. Takiaritmia atrium dengan konduksi yang cepat dapat
menyebabkan kematian mendadak..
Spektrum penyakit hati terkait Fontan sangat luas, mulai dari
kongesti hati, fibrosis berat dengan tanda-tanda hipertensi portal hingga
karsinoma hepatoseluler.
Protein losing enteropathy (PLE) merupakan komplikasi yang jarang,
tetapi penting, karena menyebabkan edema perifer, efusi pleura, dan
asites berkepanjangan. PLE bisa didiagnosis dengan adanya kadar
serum albumin yang rendah dan meningkat kadar a1-antitripsin dalam
feses. Timbulnya PLE dikaitkan dengan prognosis yang buruk. Plastic
bronchitis dan disfungsi sistem limfatik dapat memperumit kondisi
pasien dan prognosis lebih lanjut.

3.16.3 Diagnostik
Temuan klinis biasanya ringan, distensi vena jugularis non-pulsatil.
Distensi vena jugularis yang signifikan dan hepatomegali meningkatkan
kecurigaan obstruksi Fontan atau kegagalan ventrikel. EKG sering
menunjukkan irama junctional atau aritmia atrium. Efusi pleura pada foto
toraks meningkatkan kecurigaan akan adanya PLE. Tes darah tahunan
harus mencakup hematologi, albumin serum, dan fungsi hati dan ginjal.
Jika did ga PLE, kli en 1-antitripsin harus diukur.
Ekokardiografi memberikan informasi penting tentang fungsi
ventrikel dan fungsi katup. Untuk menggambarkan jalur Fontan, TEE
atau modalitas pencitraan lainnya biasanya diperlukan.

Panduan Tatalaksana PJBD 122


CMR dilakukan untuk mengukur volume ventrikel, patensi dan aliran
Fontan, evaluasi regurgitasi katup AV, obstruksi subaortik, obstruksi
vena pulmonalis (akibat RA yang dilatasi), fibrosis miokardium, dan
untuk mendeteksi trombus. CCT bisa dikerjakan bila tidak ada CMR,
tetapi dibutuhkan pengalaman untuk mengurangi artefak dan diagnosis
trombus palsu. Pencitraan hati (ultrasound, CT, MRI) dan pemeriksaan
laboratorium teratur untuk mendeteksi dini gangguan fungsi hati penting
dilakukan..
Kateterisasi jantung harus dilakukan pada pasien yang berisiko
rendah, bila terdapat edema, penurunan aktivitas fisik, aritmia awitan
baru, sianosis, dan hemoptisis yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya. Pemeriksaan ini memberikan informasi tentang fungsi
ventrikel dan katup, hemodinamik termasuk PVR, obstruksi Fontan dan
koneksi anomali vaskular (lihat bagian 3.16.2). Integrasi dengan CMR
untuk aliran (curah jantung) memungkinkan pengukuran PVR yang lebih
akurat.

3.16.4 Terapi medikamentosa


Antikoagulan: stasis darah di atrium kanan dan gangguan koagulasi
dapat menjadi faktor predisposisi thrombosis yang akhirnya
menyebabkan peningkatan PVR pada sirkulasi Fontan. Antikoagulan
diindikasikan jika ada/atau mempunyai riwayat trombus atrium, aritmia
atrial, atau kejadian tromboemboli. Penggunaan NOACs belum
direkomendasikan sebagai terapi standar.
Terapi antiaritmia: hilangnya irama sinus dapat memicu penurunan
hemodinamik yang cepat dan aritmia atrial. Aritmia atrial yang
berkelanjutan dengan konduksi AV yang cepat harus dianggap sebagai
keadaan darurat medis, karena berpotensi menimbulkan kematian
mendadak. Kardioversi elektrik adalah pengobatan utama, karena
terapi obat seringkali tidak efektif. Amiodarone mungkin efektif dalam
mencegah kekambuhan, tetapi memiliki banyak efek samping jangka
panjang. Sotalol bisa jadi alternatif. Harus ada ambang batas yang
rendah untuk ablasi, walaupun teknis sulit. Pacu jantung antitakikardia
atrial dapat membantu. Jika pacing AV diperlukan, maka dibutuhkan
pendekatan epikardial. Apabila terjadi aritmia, evaluasi hemodinamik
harus segera dilakukan. Pendekatan proaktif dengan evaluasi EP dan
terapi ablasi (jika sesuai) harus dipertimbangkan, termasuk konversi

Panduan Tatalaksana PJBD 123


Fontan dengan operasi aritmia bersamaan. ICD dapat dipertimbangkan
pada pasien tertentu. Lihat bagian 2.5.2.
Terapi PLE (setelah pengecualian masalah hemodinamik) meliputi:
pembatasan garam, diet protein tinggi, diuretik, ACEi (mungkin
ditoleransi dengan buruk), steroid, infus albumin, heparin subkutan
kronis, pembuatan fenestration (dengan kateter intervensi), dan
akhirnya pertimbangan transplantasi.
Vasodilator pulmoner: ERA (bosentan) dan penghambat PDE-5
(sildenafil) dapat dipertimbangkan pada pasien tertentu dengan
peningkatan PAP/PVR jika tidak ada peningkatan tekanan diastolik
akhir ventrikel. Data tentang penggunaan rutin obat-obatan ini pada
pasien Fontan masih terbatas. Uji coba acak ERA menunjukkan
peningkatan kapasitas aktivitas fisik kardiopulmonal secara signifikan.

3.16.5 intervensi
Intervensi kateter mungkin bermanfaat pada kasus obstruksi
aliran/hambatan koneksi vaskular. Pasien dengan 'gagal Fontan'
(dengan kombinasi aritmia menetap, dilatasi RA, regurgitasi katup AV
yang memburuk, penurunan fungsi ventrikel, dan/atau trombus atrium)
sebaiknya dipertimbangkan untuk operasi ulang. Pada pasien dengan
fungsi ventrikel sistemik yang baik, aritmia atrium, dan gangguan aliran
dinamis di sirkuit Fontan, konversi ke BCPS bisa membantu, mungkin
dengan krioablasi secara bersamaan. Jika dilakukan terlambat,
konversi sangat kecil kemungkinannya akan memberikan hasil akhir
yang baik. Pada pasien dengan gagal fungsi ventrikel sistemik, pilihan
akhir adalah transplantasi jantung. Pada pasien dewasa tertentu,
mungkin tepat untuk mempertimbangkan penutupan fenestrasi secara
perkutan jika terdapat sianosis yang signifikan, tetapi ini juga dapat
memperburuk kondisi pasien.

3.16.6 Tindak lanjut


Semua pasien pasca operasi Fontan harus dievaluasi di pusat PJBD,
setidaknya setiap tahun, dengan ekokardiografi, EKG, tes darah, dan uji
latih jantung. Interval pemeriksaan CMR dan ultrasonografi hati (atau
CT) harus diputuskan secara individual. Untuk orang dewasa, beralasan
dilakukan penilaian organ hati secara mendasar dengan MRI pada
kunjungan pertama, isuntuk menentukan frekuensi dan rencana tindak
lanjut berdasarkan derajat perubahan organ hati yang sudah ada

Panduan Tatalaksana PJBD 124


sebelumnya. Selain pengukuran ultrasonografi organ hati, kadar alfa-
fetoprotein juga harus diukur, perlu dipertimbangkan untuk
berkonsultasi dengan dokter konsultan hepatologi.
Penilaian komprehensif wajib bila ada manifestasi kompleks 'gagal
Fontan', dengan perhatian khusus untuk menyingkirkan obstruksi
sekecil apapun pada aliran cavo-pulmonal dan aliran balik vena
pulmonal, yang mungkin berdampak terhadap hemodinamik.

Tabel 3.19. Pertimbangan dan rekomendasi pasca operasi Fontan


Rekomendasi Kelas Level
Pasien sirkulasi Fontan yang mengalami aritmia atrial I C
sustained dan konduksi AV yang cepat, merupakan
kondisi kedaruratan medis, sehingga direkomendasikan
untuk segera ditangani dengan kardioversi elektrik
Pasien sirkulasi Fontan dengan trombus/riwayat I C
thrombus, tromboemboli, aritmia atrial, direkomendasi-
kan terapi antikoagulan.
Pasien sirkulasi Fontan yang disertai komplikasi apapun, I C
direkomendasikan untuk tidak boleh hamil.
Pasien sirkulasi Fontan yang mengalami edema tidak I C
dapat dijelaskan penyebabnya, penurunan aktivitas fisik,
aritmia awitan baru, sianosis, dan hemoptisis,
direkomendasikan untuk kateterisasi jantung
Pasien sirkulasi Fontan dengan aritmia, sebaiknya IIa C
dipertimbangkan untuk EP, ablasi proaktif (jika sesuai)
Pasien sirkulasi Fontan sebaiknya dipertimbangkan IIa C
untuk dilakukan pencitraan organ hati secara teratur
(ultrasound, CT, MRI)
Pasien sirkulasi Fontan dengan peningkatan PAP/PVR, IIb C
terapi ERA/penghambat PDE-5 dapat dipertimbangkan
jika tidak ada peningkatan EDP ventrikel.
Pasien sirkulasi Fontan dengan sianosis signifikan, dapat IIb C
dipertimbangkan untuk penutupan fenestrasi perkutan,
tetapi pastikan terlebih dahulu bahwa intervensi ini tidak
akan menyebabkan peningkatan tekanan vena sistemik
atau penurunan curah jantung.

AVV = atrioventricular valve; EP = electrophysiology; EDP = end diastolic pressure; PAP


= pulmonary artery pressure; PVR = pulmonary vascular resistance; CT = computed
tomograpgy; MRI magnetic resonance imaging.

Panduan Tatalaksana PJBD 125


3.16.7 Rekomendasi tambahan
Aktivitas fisik/olahraga: setelah operasi Fontan, pasien secara
signifikan mengurangi aktivitas fisik sesuai kemampuannya yang
memang dibawah normal. Namun, latihan aerobik tingkat sedang
harus direkomendasikan untuk meningkatkan kekuatan otot dan
kualitas hidup.
Kehamilan: pasien dengan sirkulasi Fontan dengan jenis
komplikasi apapun, harus disarankan untuk tidak hamil.
Kehamilan yang berhasil masih mungkin pada pasien tertentu,
walaupun dengan morbiditas ibu yang signifikan, terutama gagal
jantung, aritmia, dan komplikasi tromboemboli. Antikoagulan
terapeutik harus dipertimbangkan, dengan mempertimbangkan
risiko perdarahan yang juga tinggi. Pemantauan intensif,
termasuk setelah melahirkan, adalah wajib. Tingkat keguguran
tinggi (27 55%), demikian halnya tingkat prematuritas dan
restriksi pertumbuhan intra-uterine. Pengaruh kehamilan yang
menyebabkan peningkatan beban volume terhadap luaran
jangka panjang belum diketahui.
IE: profilaksis IE hanya direkomendasikan pada pasien dengan
Fontan ulang (<6 bulan), sianosis, katup prostetik, kebocoran
patch, atau terdapat endokarditis sebelumnya.

3.17. Anomali arteri Koroner

3.17.1. Introduksi
Anomali arteri koroner kongenital antara lain anomali arteri koroner
keluar dari arteri pulmonal (anomalous coronary artery from the
pulmonary artery = ACAPA), anomali arteri koroner keluar dari aorta
(anomalous aortic origin of a coronary artery = AAOCA), dan fistula
koroner

3.17.1.1. Anomali arteri koroner berasal dari arteri pulmonal


(anomalous coronary artery from the pulmonary artery = ACAPA)
Berbeda dengan kebanyakan anomali arteri coroner yang umumnya
tidak menimbulkan masalah berat, ACAPA mempunyai prognosis yang
buruk bila tidak dilakukan tindakan pembedahan. Pada ACAPA kadar

Panduan Tatalaksana PJBD 126


oksigen di arteri koroner rendah, disamping itu, juga dapat terjadi
sindrom coronary steal yang mengakibatkan iskemia miokardium.
Tampilan klinis ALCAPA dapat dimulai tanpa gejala, atau angina
karena iskemia/infark miokardium dengan disfungsi LV, bahkan VT
sampai kematian mendadak. Pasien juga dapat mempunyai
penampilan klinis seperti kelebihan beban volume akibat pirau L-R yang
dapat menyebabkan gagal jantung. Namun ARCAPA, biasanya
terdiagnosis secara kebetulan. Direkomendasikan bedah korektif pada
kedua anomali koroner ini, dengan cara memindahkan ke aorta, baik
dengan atau tanpa graft. Bila tidak memungkin untuk dipindahkan, maka
pilihannya adalah bedah pintas koroner (coronary artery bypass graft =
CABG)

3.17.1.2. Anomali arteri koroner dari aorta (anomalous aortic origin


of a coronary artery = AAOCA)
Penelitian tentang perjalanan penyakit AAOCA yang tidak dikoreksi
sangat kurang, sehingga tatalaksananya masih diperdebatkan,
khususnya pada pasien dengan interarterial AAOCA. Penilaian risiko
kematian mendadak pun sangat sulit, karena kurangnya data. Hasil
autopsi memperlihatkan pada pasien muda (< 35 tahun) yang
meninggal selama atau segera setelah latihan fisik, memperlihatkan
adanya fibrosis miokard, kemungkinan iskemia miokardium berperan
dalam patofisiologinya.
Arteri koroner kiri yang keluar dari sinus kanan lebih jarang, tetapi
lebih berbahaya dibandingkan dengan arteri koroner kanan yang keluar
dari sinus kiri. Ostium yang tinggi, stenosis, slit-like/fish-mouth osteum,
acute angle takeoff, intramural, interarterial dan hipoplastik arteri
koroner proksimal terbukti berhubungan dengan iskemia miokardium
dan semua itu merupakan faktor risiko.
Stratifikasi risiko juga termasuk usia < 35 tahun dan tingkat aktifitas
fisik (misalnya atlit/olahraga kompetitif). Sedikit sekali bukti bahwa
operasi pada pasien yang asimptomatik akan memperbaiki kesintasan
dan mengurangi risiko kematian mendadak.

3.17.1.3. Fistula arteri koroner


Fistula koroner adalah kelainan di mana arteri koroner berhubungan
dengan ruang jantung atau pembuluh darah lainnya; anomali ini bisa
bawaan lahir atau didapat. Fistula yang kecil biasanya mempunyai

Panduan Tatalaksana PJBD 127


prognosis baik tanpa pengobatan, fistula sedang atau besar
berhubungan dengan komplikasi jangka panjang (angina, infark
miokardium, aritmia, gagal jantung, dan endokarditis). Adanya gejala,
komplikasi dan pirau yang bermakna merupakan indikasi untuk
penutupan, baik secara trans-kateter maupun bedah.

3.17.2 Diagnostik
CCT merupakan modalitas pilihan untuk mengevaluasi anatomi arteri
koroner yang berisiko tinggi, seperti intramural dan kelainan orifisium
(misalnya
orifisium > 1 cm di atas junction sinotubular).
Penilaian dengan physical stress induced ischemia menggunakan
modalitas pencitraan merupakan kunci untuk membuat keputusan.

3.17.3 Intervensi bedah


Indikasi intervensi bedah pada anomali koroner tercantum dalam tabel
rekomendasi berikut ini.

Tabel 3.20. Rekomendasi tatalaksana anomali arteri koroner

Rekomendasi Kelas Level


Pencitraan non farmakologi (ekokardiografi, pemeriksaan I C
nuklir atau CMR dengan stres fisik) direkomendasikan
pada pasien dengan anomali koroner, untuk konfirmasi
diagnosis/menyingkirkan iskemia miokardium.
Anomali arteri koroner dari arteri pulmonalis (ACAPA)
Bedah koreksi direkomendasikan pada pasien ALCAPA I C
Bedah koreksi direkomendasikan pada pasien ARCAPA I
bila ada simtom yang sesuai untuk anomali koroner.
Bedah koreksi sebaiknya dipertimbangkan pada pasien IIa C
ARCAPA yang asimptomatik, tetapi memperlihatkan
disfungsi ventrikel/iskemia miokardium yang disebabkan
oleh kelainan arteri koroner.
Anomali arteri koroner berasal dari aorta (AAOCA)
Bedah koreksi direkomendasikan pada pasien AAOCA 1 C
dengan keluhan angina tipikal, yang disertai bukti iskemia

Panduan Tatalaksana PJBD 128


miokardium sesuai area/anatomi yang berisiko saat
dilakukan uji stres.
Bedah koreksi sebaiknya dipertimbangkan pada pasien IIa C
AAOLCA atau AAORCA asimtomatik, yang disertai bukti
iskemia miokardium.
Bedah koreksi sebaiknya dipertimbangkan pada pasien IIa C
AAOLCA asimtomatik dengan tanpa bukti iskemia
miokardium, tetapi secara anatomi berisiko tinggia
Bedah koreksi dapat dipertimbangkan pada pasien IIb C
AAOCA asimtomatis dan tidak ada bukti iskemia
miokardum, tetapi secara anatomi berisiko tinggi. a
Bedah koreksi dapat dipertimbangkan pada pasien IIb C
AAOLCA asimtomatis usia muda (<35 tahun) tanpa bukti
iskemi miokardium, tetapi secara anatomi berisiko tinggia.
Bedah koreksi tidak direkomendasikan pada pasien III C
AAORCA yang asimptomatik tidak ada bukti iskemia
miokardium dan secara anatomi tidak berisiko tinggia.

AAOCA: anomalous aortic origin of coronary artery; AAOLCA: anomalous aortic origin of
the left coronary artery; AAORCA; anomalous aortic origin of right coronary artery;
ALCAPA: anomalous left coronary artery from the pulmonary artery; ARCAPA: anomalous
right coronary artery from the pulmonary artery.
a
Anatomi koroner berisiko tinggi meliputi: arteri coroner intramural, kelainan orifisium
misalnya slit-like orifice, acute angle take off, orifisium > 1 cm diatas sino tubular junction)

Panduan Tatalaksana PJBD 129


BAB IV
RINGKASAN

Dalam ringkasan ini akan dicantumkan beberapa pesan kunci secara umum
dan spesifik sesui jenis PJB, serta tentang hal-hal yang harus dilakukan dan
yang harus dihindari.

4.1 Pesan kunci

4.1.1 Secara Umum


4.1.1.1 Pelayanan dan evaluasi pasien
Pelayanan kesehatan yang khusus dan terstruktur dibutuhkan
untuk memenuhi kebutuhan pasien PJBD
Pencitraan multimodalitas adalah kunci untuk mendapatkan
penilaian yang adekuat akan anatomi jantung keseluruhan, fungsi
ventrikel dan katup, serta kuantifikasi aliran darah paru, termasuk
di dalamnya distribusi perfusi.
Uji latih jantung yang mampu memberikan penilaian objektif
kapasitas fungsional, merupakan modalitas penting untuk
menentukan waktu yang tepat untuk intervensi dan intervensi
ulang
Kateterisasi jantung tetap berperan utama dalam penilaian
hemodinamik, khususnya PAP dan PVR

4.1.1.2 Gagal jantung


Kunci dari terapi gagal jantung pasien PJBD adalah upaya
pencegahan, dengan cara optimalisasi hemodinamik dan irama
jantung. Oleh karena itu, dibutuhkan kunjungan lanjutan yang
regular dan sistematis di pusat PJBD, untuk memfasilitasi
intervensi atau intervensi ulang yang tepat waktu.
Untuk sirkulasi biventrikel, terapi gagal jantung standar dapat
diaplikasikan pada pasien PJBD dengan LV sistemik, mungkin
juga dapat diaplikasikan pada pasien dengan RV sistemik,
meskipun belum banyak bukti manfaatnya seperti pada gagal LV

Panduan Tatalaksana PJBD 130


sistemik. Patofisiologi pasien pasca bedah atrial switch,
univentrikel dan bedah paliasi Fontan, berbeda bermakna
dengan i k la i eg le , maka e api anda n k gagal
jantung harus diaplikasikan dengan hati-hati.
Rujukan tepat waktu dan konsultasi di unit khusus PJBD
direkomendasikan, khususnya bagi pasien PJB dengan
kompleksitas sedang hingga berat.

4.1.1.3 Aritmia
Untuk semua pasien PJBD dengan aritmia, perlu dilakukan
evaluasi guna mencari penyebab aritmia yang kemungkinan
reversibel dan abnormalitas hemodinamik baru atau residual.
Tujuan terapi adalah mempertahankan irama sinus.
Untuk optimalisasi terapi aritmia kronis, rujukan ke pusat PJBD
yang memiliki tim multidisiplin termasuk pakar aritmia pada PJBD,
mutlak diperlukan.
Pasien dengan riwayat aritmia atau dengan risiko tinggi aritmia
pasca intervensi perkutan atau bedah, harus ditangani oleh tim
multidisiplin, termasuk pakar intervensi dan terapi invasif aritmia
khusus PJB.

4.1.1.4 Hipertensi pulmoner (pulmonary hypertension = PH)


PH pada PJB merupakan penyakit progresif dengan prognosis
buruk.
Perlu kewaspadaan terhadap kemungkinan PH pre-kapiler (PAP
tinggi) pasca penutupan lesi pirau, dengan melakukan penilaian
ekokardiografi berkala.
Terapi proaktif dibutuhkan untuk semua pasien dengan PH,
termasuk pasien dengan sindrom Eisenmenger.
Perempuan dengan PJB dan terkonfirmasi PH pre-kapiler harus
diedukasi untuk tidak hamil.

4.1.1.5 Sianosis
Pasien sianosis dengan gangguan multisistem, berisiko tinggi
untuk komplikasi perdarahan dan trombosis, sehingga dapat
menjadi dilema terapi.

Panduan Tatalaksana PJBD 131


Flebotomi rutin harus dihindari karena dapat menyebabkan
anemia defisiensi besi dan komplikasi serebrovaskular.
Flebotomi terapeutik hanya diindikasikan bila ada gejala
hiperviskositas moderat hingga parah.
Pasien sianosis memiliki patofisiologi yang seimbang namun
rentan, sehingga segala intervensi akan berisiko tinggi, dan harus
dilakukan di pusat PJBD
Upaya profilaksis merupakan inti perawatan PJBD, agar terhindar
dari komplikasi.

4.1.2 Lesi khusus


4.1.2.1 Lesi pirau
Keputusan terapi membutuhkan evaluasi yang teliti terhadap
kemungkinan adanya beban volume ventrikel berlebihan dan
kondisi sirkulasi pulmoner.
Pada pasien dengan tanda peningkatan PAP, wajib dilakukan
kateterisasi jantung untuk menilai PVR.
Jika PVR > 5 WU, penutupan ASD harus dihindari. Penutupan
VSD dan PDA hanya dipertimbangkan pada pasien tertentu
dengan pirau signifikan setelah evaluasi teliti di pusat PJBD
bersama tim PH.
Penutupan dengan alat adalah terapi pilihan, bila teknis
memungkinkan.

4.1.2.2 Obstruksi alur keluar LV (left ventricle outflow tract


obstruction = LVOTO)
Indikasi utama untuk operasi adalah gejala dan disfungsi LV.
Uji latihan jantung perlu dilakukan pada pasien dengan LVOTO
berat tanpa gejala, untuk mengonfirmasi status asimtomatik.
Pada AS kongenital, perlu dieksklusi adanya penyakit aorta
terkait (dilatasi aorta asendens dan/atau CoA).

4.1.2.3 Koartasio aorta (coarctasio aorta = CoA)


Pengukuran tekanan darah yang tepat (lengan kanan,
ambulatori) sangat penting dalam penilaian lanjutan pasien
dengan CoA.

Panduan Tatalaksana PJBD 132


Keputusan untuk melakukan intervensi/intervensi ulang
bergantung pada tekanan darah, gradien, dan morfologi stenosis.
Pemasangan stent adalah terapi pilihan, bila memungkinkan
secara teknis.

4.1.2.4 Aortopati
Surveilans seumur hidup diperlukan pada seluruh pasien
penyakit aorta torakalis herediter (HTAD) dan perlu dilakukan
pencitraan pada seluruh aorta, sekaligus penilaian fungsi katup
dan kondisi miokardium.
Diameter aorta sebagai prasyarat bedah bergantung pada
penyakit dasar dan ada tidaknya faktor risiko

4.1.2.5 Obstruksi alur keluar RV (right ventricle outflow tract


obstruction = RVOTO)
Dapat terjadi estimasi berlebihan penilaian RVOTO akibat
kecepatan aliran darah melalui area obstruksi, khususnya jika
area penyempitan memanjang atau adanya stenosis berturutan
(contoh: subvalvular dan valvular). Oleh karena itu, perlu
dilakukan pengecekan ulang tekanan RV menggunakan
kecepatan aliran maksimal (Vmax) dari TR.
Intervensi kateter (balloon valvuloplasty) adalah terapi pilihan
untuk pasien PS valvular non-displastik dan PS perifer (seringkali
disertai implantasi stent).
Indikasi untuk intervensi lebih dibatasi bila dibutuhkan
penggantian katup, karena implikasinya jangka panjang pada
komplikasi dan kebutuhan intervensi ulang.

4.1.2.6 Anomali Ebstein


Waktu pembedahan yang tepat masih diperdebatkan. Operasi
harus dilakukan oleh dokter bedah PJB dengan pengalaman
spesifik menangani lesi ini.
Perbaikan/reparasi katup adalah teknik yang dipilih, apabila
memungkinkan

Panduan Tatalaksana PJBD 133


4.1.2.7 Tetralogi Fallot (tetralogy of Fallot = TOF)
PR dan/atau RVOTO residual yang signifikan, disfungsi LV, dan
aritmia adalah komplikasi jangka panjang yang umum ditemukan.
Faktor risiko yang mungkin diasosiasikan dengan aritmia
ventrikel dan kematian mendadak pasca reparasi TOF adalah
durasi QRS > 180 ms, disfungsi sistolik atau diastolik LV,
disfungsi RV, VT terinduksi dengan stimulasi listrik terprogram,
dan riwayat aritmia atrial.
Waktu optimal untuk intervensi pada PR berat yang asimtomatik
masih menjadi perdebatan. Normalisasi ukuran RV kurang
memungkinkan bila indeks volume diastolik akhir (RV EDVi) >
160 mL/m2, namun batasan untuk intervensi ulang mungkin tidak
berkorelasi dengan keuntungan klinisnya
TPVI menjadi terapi pilihan untuk intervensi ulang RVOT, bila
memungkinkan secara anatomis.

4.1.2.8 Transposisi arteri besar (transposition of the great arteries


= TGA)
Gagal ventrikel sistemik, regurgitasi katup AV sistemik sekunder,
dan penyempitan/ kebocoran baffle adalah komplikasi jangka
panjang yang umum ditemukan pasca operasi atrial switch
Luaran untuk morbiditas semakin baik dengan adanya operasi
arterial switch. Dilatasi akar neo-aorta dengan atau tanpa
regurgitasi signifikan dari katup neo-aorta, PS supravalvar, dan
stenosis cabang PA umumnya muncul saat bayi, dan mungkin
membutuhkan intervensi ulang saat dewasa
Disfungsi sistolik LV (baru) dan/atau aritmia pasca bedah arterial
switch perlu dievaluasi reguler, termasuk eksklusi penyempitan
ostial/proksimal dari arteri koroner yang telah diimplantasi ulang.
Gagal conduit RV-PA (stenosis, regurgitasi, atau keduanya)
adalah komplikasi jangka panjang predominan pasca bedah
Rastelli, yang membutuhkan intervensi ulang.

4.1.2.9 Transposisi arteri besar kongenital terkoreksi (congenitally


corrected transposition of the great arteries = ccTGA)
Gagal RV sistemik, regurgitasi katup AV sistemik, blok AV, dan
aritmia atrial adalah komplikasi yang umum ditemui.

Panduan Tatalaksana PJBD 134


Regurgitasi katup AV sistemik merupakan penentu luaran,
apabila derajatnya berat maka harus diintervensi sebelum fungsi
RV sistemik turun.

4.1.2.10 Jantung ventrikel tunggal dan operasi Fontan


Meskipun pada kebanyakan pasien Fontan kualitas hidupnya
terjaga, namun mereka membutuhkan kunjungan lanjutan
berkala yang intensif di pusat PJBD, karena potensi komplikasi
berat termasuk aritmia, gagal jantung, penyakit hepar, dan protein
losing enteropathy (PLE).
Dibutuhkan PAP rendah untuk mempertahankan fungsi sirkulasi
Fontan yang baik. Kateterisasi jantung perlu segera dilakukan,
bila dicurigai ada disfungsi ventrikel atau muncul komplikasi.
Aritmia sulit ditoleransi oleh pasien dan dibutuhkan terapi segera
Kehamilan dimungkinkan pada kelompok pasien tertentu dengan
sirkulasi Fontan yang baik, namun terdapat risiko tinggi
keguguran sehingga kehamilan harus dipantau di pusat PJBD.
Surveilans masalah hepar diwajibkan bagi seluruh pasien pasca
bedah Fontan.

4.1.2.11 Anomali koroner


CCT adalah teknik yang dipilih untuk evaluasi pasien dengan
anatomi berisiko tinggi, termasuk evaluasi jalur koroner
intramural dan anomali orifisium (orifisium yang berbentuk
irisan/slit-like, orifisium dengan sudut lancip, orifisium > 1 cm di
atas sudut sinotubular)
Penilaian untuk iskemia yang dipicu stres, dengan modalitas
pencitraan menggunakan stres fisik, adalah kunci dalam
menentukan keputusan
Pada pasien dengan fistula koroner, adanya gejala, komplikasi,
dan pirau yang signifikan merupakan indikasi utama penutupan
defek secara perkutan atau bedah.

Panduan Tatalaksana PJBD 135


4.2 Hal-hal yang harus dilakukan dan yang harus dihindari pada pasien
PJB dewasa
Rekomendasi Kelas Level
Terapi aritmia
Pasien PJBD derajat sedang dan berat (Tabel 2.1) dengan I C
riwayat aritmia, direkomendasikan untuk dirujuk ke pusat
PJBD dengan pakar aritmia PJB.
Pasien PJBD dengan riwayat aritmia/berisiko tinggi aritmia I C
pasca intervensi (misalnya pasca penutupan ASD usia
lebih tua), yang akan dilakukan intervensi/ intervensi ulang
trans-kateter/bedah, direkomendasikan untuk dirujuk ke
pusat PJBD yang memiliki tim multidisiplin termasuk
intervensionis PJB dan pakar aritmia terkait PJB
Pasien PJBD ringan dengan SVT sustained berulang I C
(AVNRT, AVRT, AT, dan IART) yang simtomatik, atau SVT
berpotensi menyebabkan kematian mendadak (Tabel 2.4),
direkomendasikan ablasi kateter daripada terapi medis.
Pasien PJBD pengguna ICD yang datang dengan VT I C
monomorfik berulang, VT berkelanjutan, atau electrical
storm yang tidak dapat ditangani dengan terapi medis atau
pemrograman ulang ICD, direkomendasikan untuk ablasi
kateter sebagai terapi tambahan.
Pasien PJBD penyintas henti jantung (akibat VF/VT yang I C
tidak dapat ditoleransi secara hemodimanik) setelah dicari
penyebabnya dan dieksklusi penyebab yang reversibel,
direkomendasikan untuk implantasi ICD.
Pasien PJBD dengan VT sustained setelah evaluasi I C
hemodinamik dan direparasi sesuai indikasi,
direkomendasikan untuk implantasi ICD. Studi EP
diperlukan sebelumnya, untuk mengidentifikasi pasien
yang mungkin mendapat manfaat bila dilakukan ablasi
kateter/bedah sebagai terapi tambahan atau pada pasien
di mana hal ini akan menjadi terapi alternatif.
Terapi PH pra-kapiler akibat PJB
Pasien PJBD dengan PAH direkomendasikan untuk I C
diedukasi agar menghindari kehamilan.
Pasien PJBD dengan PAH direkomendasikan untuk I C
menjalani penilaian risiko

Panduan Tatalaksana PJBD 136


Pasien PJBD risiko rendah/sedang pasca reparasi lesi I A
sederhana yang mengalami PAH, direkomendasikan
terapi awal kombinasi atau kombinasi sekwensial obat
PAH peroral; sedangkan untuk pasien risiko tinggi terapi
awal dikombinasi dengan prostanoid parenteral.
Atrial Septal Defect (ASD) native dan residual
Pasien ASD dengan tanda-tanda PAH secara non invasif, I C
direkomendasikan untuk dilakukan kateterisasi guna
mengukur PVR
Pasien ASD dengan bukti kelebihan volume RV tanpa PH I B
(non invasif: PAP rendah atau konfirmasi invasif PVR <3
WU) atau tanpa disfungsi LV, penutupan ASD
direkomendasikan terlepas dari gejalanya.
Pasien ASD sekundum direkomendasikan penutupan I C
ASD trans-kateter, bila teknis memungkinkan
Pasien ASD lansia yang tidak bisa ditutup trans-kateter, I C
direkomendasikan untuk secara teliti menimbang risiko
dan manfaat bedah penutupan ASD
Pasien ASD dengan disfungsi LV, direkomendasikan I C
untuk dilakukan tes penutupan dengan balon, kemudian
secara teliti menimbang manfaat penutupan ASD dan
kemungkinan efek negatif peningkatan tekanan pengisian
LV (keputusan: ditutup sempurna, ditutup sebagian/
fenestrasi, atau tidak boleh ditutup).
Pasien ASD dengan fisiologi Eisenmenger atau PAP tinggi III C
dan PVR > 5 WU dalam terapi PH, atau terjadi desaturasi
saat uji latih jantung (ULJ), tidak direkomendasikan
untuk penutupan ASD
Ventricular septal defect (VSD) native dan residual
Pasien VSD dengan kelebihan volume LV tanpa PH (non I C
invasif PAP rendah atau konfirmasi invasif PVR <3 WU),
direkomendasikan penutupan VSD terlepas dari gejala
Pasien VSD dengan fisiologi Eisenmenger atau PAP III C
tinggi, PVR > 5 WU yang desaturasi saat ULJ, tidak
direkomendasikan untuk penutupan VSD
Atrio-Ventricular Septal Defect (AVSD)
Pasien AVSD dengan kelebihan volume RV signifikan, I C
direkomendasikan untuk reparasi oleh dokter bedah PJB

Panduan Tatalaksana PJBD 137


Pasien AVSD simtomatik dengan regurgitasi katup AV I C
derajat sedang/berat, direkomendasikan untuk reparasi
(pilihan utama) katup AV oleh dokter bedah PJB.
Pasien AVSD asimtomatik dengan regurgitasi katup AV I C
kiri berat, bedah reparasi katup AV direkomendasikan
bila LVESD > 45 mm dan/atau LVEF < 60%, setelah
penyebab lain disfungsi LV telah dieksklusi.
Pasien AVSD dengan fisiologi Eisenmenger atau PAP III C
tinggi, PVR > 5 WU yang mengalami desaturasi saat ULJ,
tidak direkomendasikan untuk bedah reparasi AVSD.
Patent ductus arteriosus (PDA)
Pasien PDA dengan kelebihan volume LV tanpa PH (non I C
invasif PAP rendah atau konfirmasi invasif PVR <3 WU),
direkomendasikan penutupan PDA, terlepas dari gejala
Penutupan PDA trans-kateter direkomendasikan I C
sebagai pilihan utama bila memungkinkan secara teknis
Pasien PDA dengan fisiologi Eisenmenger dan pasien III C
PDA dengan desaturasi tungkai saat ULJ, tidak
direkomendasikan untuk penutupan PDA
Aortic stenosis (AS) valvular
Pasien AS valvular simtomatik dengan gradien tekanan I B
Doppler rerata >40 mmHg, direkomendasikan intervensi
Pasien AS valvular dengan aliran yang kecil sekali dan I C
gradien tekanan Doppler rerata <40 mmHg dengan EF
rendah, setelah AS pseudosevere disingkirkan (dengan
tes dobutamine), direkomendasikan intervensi.
Pasien AS valvular berat asimtomatik yang saat ULJ I C
timbul gejala sesuai AS, direkomendasikan intervensi
Pasien AS valvular berat asimtomatik dengan LV EF < I C
50%, tanpa penyebab lain, direkomendasikan intervensi
Pasien AS valvular berat yang akan menjalani operasi I C
aorta asendens/katup lain/CABG, direkomendasikan
untuk sekaligus bedah katup aorta
Aortic stenosis (AS) supravalvular
Pasien AS supravalvular simtomatik (spontan atau dipicu I C
ULJ) dengan gradien tekanan Doppler rerata > 40 mmHg,
direkomendasikan operasi

Panduan Tatalaksana PJBD 138


Pasien AS supravalvular dengan gradien tekanan Doppler I C
rerata < 40 mmHg, direkomendasikan operasi bila ada
salah satu temuan berikut:
• Simtom sesuai dengan AS (sesak nafas saat aktivitas,
angina, sinkop)
• Disfungsi sistolik LV (EF <50% tanpa penyebab lain)
• Perlu menjalani bedah CABG/aorta atau penyakit
katup lainnya
Aortic stenosis (AS) subaorta
Pasien simtomatik (spontan/dengan ULJ) dengan gradien I C
tekanan Doppler rerata >40 mmHg atau disertai AR berat,
direkomendasikan operasi
Coarctation aorta (CoA) dan re-CoA
Pasien CoA/re-CoA dengan hipertensi dan peningkatan I C
gradien tekanan darah antara ekstremitas atas dan bawah
(invasif: peak to peak > 20 mmHg), direkomendasikan
intervensi, dengan preferensi trans-kateter (stenting) bila
teknis memungkinkan
Bedah aorta pada aortopati
Pasien sindrom Margan/HTAD usia muda dengan dilatasi I C
pangkal aorta, katup aorta trikuspid, direkomendasikan
untuk reparasi katup aorta, menggunakan teknik
reimplantasi atau remodeling dengan annuloplasti aorta,
bila dilakukan oleh dokter bedah yang berpengalaman.
Pasien sindrom Marfan yang mengalami dilatasi pangkal I C
aorta dengan diameter terbesar sinus aorta > 50 mm,
direkomendasikan untuk pembedahan
Right ventricle outflow tract obstruction = RVOTO
Pasien PS valvular, direkomendasikan untuk BPV I C
sebagai terapi pilihan bila anatomis memungkinkan
Pasien PS berat (Doppler gradien tekanan puncak > 64 I C
mmHg), asimtomatik/simtomatik, bila tidak dibutuhkan
penggantian katup pulmonal direkomendasikan operasi
Pasien PS berat (Doppler gradien tekanan puncak > 64 I C
mmHg) yang simtomatik, dan penggantian katup pulmonal
satu-satunya alternatif, direkomendasikan untuk operasi
Pasien PS berat asimtomatik, bila penggantian katup I C
pulmonal secara bedah adalah satu-satunya pilihan, maka

Panduan Tatalaksana PJBD 139


bedah penggantian katup pulmonal direkomendasikan
bila ditemukan setidaknya satu hal berikut:
• Bukti objektif penurunan kemampuan latihan
• Penurunan fungsi RV dan/atau perburukan TR
setidaknya moderat
• Tekanan sistolik RV > 80 mmHg
• Pirau R-L melalui ASD atau VSD
Anomali Ebstein
Pasien anomali Ebstein dengan TR berat yang simtomatik I C
atau ada penurunan kemampuan latihan secara objektif,
direkomendasikan reparasi bedah
Bedah reparasi anomali Ebstein direkomendasikan I C
untuk dilakukan oleh dokter bedah PJB dengan
pengalaman khusus operasi Ebstein
Pasien anomali Ebstein yang menjalani reparasi TV, I C
direkomendasikan penutupan ASD/PFO sekaligus, bila
secara hemodinamik dapat ditoleransi.
Pasien anomali Ebstein dengan aritmia yang simtomatis I C
atau pra-eksitasi pada EKG, direkomendasikan untuk
EP, diikuti ablasi trans-kateter bila memungkinkan atau
bedah aritmia pada kasus yang direncanakan operasi TV
Pasca reparasi tetralogy of Fallot = TOF
Pasien pasca reparasi TOF yang simtomatis akibat PR I C
residual derajat berat dan/atau RVOTO setidaknya
sedang, direkomendasikan PVR
Pasien pasca reparasi TOF tanpa RVOT native, I C
direkomendasikan TPVI bila anatomi memungkinkan
Pasca atrial switch pada transposition of the great arteries (TGA)
Pasien pasca atrial switch yang simtomatis akibat I C
obstruksi pulmonary veinous atrium, direkomendasikan
bedah reparasi (trans-kateter jarang berhasil).
Pasien pasca atrial switch yang simtomatis akibat I C
penyempitan baffle direkomendasikan untuk
pemasangan stent bila secara teknis memungkinkan
Pasien pasca atrial switch yang simtomatis akibat I C
penyempitan baffle, tidak dapat dilakukan intervensi
kateter, direkomendasikan bedah reparasi.

Panduan Tatalaksana PJBD 140


Pasien pasca atrial switch yang simtomatis akibat I C
kebocoran baffle (pirau R-L: sianosis saat istirahat,
penurunan aktivitas fisik, kecurigaan emboli paradoks atau
pirau L-R: tanda-tanda aliran darah paru berlebihan),
direkomendasikan pemasangan covered stenting atau
alat lainnya trans kateter, bila secara teknis
memungkinkan.
Pasien pasca atrial switch yang simtomatis akibat I C
kebocoran baffle yang tidak dapat ditutup trans kateter,
direkomendasikan untuk dilakukan bedah reparasi
Banding arteri pulmonalis pada pasien dewasa, sebagai III C
upaya melatih LV sebelum prosedur arterial switch, tidak
direkomendasikan.
Pasca operasi arterial switch pada transposition of the great
arteries (TGA)
Pasien pasca arterial switch dengan iskemia miokardium I C
akibat stenosis arteri koroner direkomendasikan stenting
atau bedah (bergantung pada subtratnya)
Congenitally corrected transposition of the great arteries (ccTGA)
Pasien ccTGA simtomatik akibat TR berat, dengan RV EF I C
>40%, direkomendasikan untuk TVR
Pasca operasi pemasangan Conduit RV ke arteri pulmonalis
Pasien pemakai conduit RV-arteri pulmonalis yang I C
simtomatik dengan tekanan sistolik RV > 60 mmHg (atau
lebih rendah bila ada penurunan aliran darah) dan/atau PR
berat, direkomendasikan intervensi dengan preferensi
TPVI bila secara anatomis memungkinkan
Jantung ventrikel tunggal/univentrikel (univentricle)
Pasien dewasa dengan fisiologi univentrikel yang tidak I C
dilakukan operasi/telah menjalani bedah paliatif,
direkomendasikan untuk evaluasi menyeluruh di pusat
PJBD, dengan menjalani pencitraan multimodalitas dan
diagnostik invasif, untuk menentukan intervensi bedah/
non bedah yang bermanfaat.
Pasca operasi Fontan
Pasien pasca operasi Fontan yang mengalami aritmia I C
atrial sustained dengan konduksi AV cepat merupakan

Panduan Tatalaksana PJBD 141


kegawatdaruratan medis, maka direkomendasikan untuk
segera diterapi dengan kardioversi elektrik.
Pasien pasca operasi Fontan, antikoagulan I C
direkomendasikan apabila terjadi/ada riwayat trombus di
atrium, aritmia atrial, atau kejadian tromboemboli.
Pasien pasca operasi Fontan dengan komplikasi, I C
direkomendasikan untuk tidak hamil.
Pasien pasca operasi Fontan yang mengalami edema, I C
penurunan kapasitas fisik, aritmia awitan baru, sianosis,
dan hemoptisis yang tidak diketahui penyebabnya,
direkomendasikan untuk kateterisasi jantung.
Anomali arteri koroner, anomali muara arteri coroner
Pasien dengan dugaan anomali arteri koroner I C
direkomendasikan untuk pencitraan fungsional non-
farmakologis (misalnya studi nuklir, ekokardiografi atau
CMR dengan stres fisik) untuk mengonfirmasi atau
menyingkirkan iskemia miokardium
Pasien dengan ALCAPA direkomendasikan untuk bedah I C
koreksi
Pasien dengan ARCAPA dengan simtom yang sesuai I C
dengan anomali arteri koroner, direkomendasikan untuk
bedah koreksi
Pasien dengan anomali muara arteri koroner di aorta I C
(anomalous aortic origin of the coronary artery = AAOCA)
yang simtomatik (angina tipikal) disertai bukti iskemia
miokardium di area yang sesuai saat ULJ/dengan anatomi
berisiko tinggi direkomendasikan untuk bedah koreksi
Pasien dengan anomali muara arteri koroner kanan di III C
aorta (anomalous aortic origin of the right coronary artery
= AAORCA) yang asimtomatik, tanpa bukti iskemia
miokardium pada ULJ dan tanpa anatomi yang berisiko
tinggi tidak direkomendasikan bedah koreksi.
AAOCA = anomalous aortic origin of a coronary artery; AAORCA anomalous aortic origin
of the right coronary artery; ACHD = adult congenital heart disease; ALCAPA = anomalous
left coronary artery from the pulmonary artery; ARCAPA = anomalous right coronary artery
from the pulmonary artery; AR = aortic regurgitation; AS = aortic stenosis; ASD = atrial
septal defect; AT = atrial tachycardia; AV = atrioventricular; AVNRT = atrioventricular node
reentrant tachycardia; AVRT = atrioventricular reentrant tachycardia; AVSD = atrio-
ventricular septal defect; BPV = balloon pulmonal valvulotomy; CABG = coronary artery
bypass graft; CMR = cardiovascular magnetic resonance; EKG = electrokardiogram; EF
= ejection fraction; EP = electrophysiology; HTAD = heritable thoracic aortic disease;

Panduan Tatalaksana PJBD 142


IART= intraatrial reentrant tachycardia; ICD = implantable cardioverter defibrillator; L-R =
left-to-right; LV = left ventricle/ventricular; LV = left ventricular; ESD = end systolic
diameter; PAH = pulmonary arterial hypertension; PAP = pulmonary arterial pressure;
PDA = patent ductus arteriosus; PFO = patent foramen ovale; PH = pulmonary
hypertension; PJB = penyakit jantung bawaan; PR = pulmonary regurgitation; PS =
pulmonary stenosis; PVR = pulmonary vascular resistance; R-L = right-to-left; RV = right
ventricler; RVOTO = right ventricular outflow tract obstruction; SVT = supraventricular
tachycardia; TPVI = transcatheter pulmonary valve implantation; TR = tricuspid
regurgitation; TV = tricuspid valve; UVH = univentricular heart; ULJ = uji latih jantung; VF
= ventricular fibrillation; VSD = ventricular septal defect; VT = ventricular tachycardia; WU
= Wood units;

Panduan Tatalaksana PJBD 143


DAFTAR PUSTAKA

1. Baumgartner H, Backer JD, Babu-Narayan SV, Budts W, Chessa M,


Diller G-P, et al. 2020 ESC Guidelines for the management of adult
congenital heart disease. European Heart Journal. 2020;00:1 83.
2. Hagen IMV, Roos-Hesselink JW. Pregnancy in congenital heart
disease: risk prediction and counselling. Heart. 2020;0:1 9.
3. Sliwa K, Baris L, Sinning C, Zengin-Sahm E, Gumbiene L, Yaseen IF,
et al. Pregnant Women With Uncorrected Congenital Heart Disease.
JACC: Heart Failure. 2020;8(2):100 10.
4. Abarbanell G, Tepper NK, Farr SL. Safety of contraceptive use among
women with congenital heart disease: A systematic review. Congenital
Heart Disease. 2019;14(3):331 40.
5. Perloff JK. Congenital heart disease in adults. A new cardiovascular
subspecialty. Circulation. 1991;84(5):1881 90.
6. Regitz-Zagrosek V, Roos-Hesselink JW, Bauersachs J, Blomström-
Lundqvist C, Cífková R, Bonis MD, et al. 2018 ESC Guidelines for the
management of cardiovascular diseases during pregnancy. European
Heart Journal. 2018;39(34):3165 241.
7. Perloff JK, Warnes CA. Challenges Posed by Adults With Repaired
Congenital Heart Disease. Circulation. 2001;103(21):2637 43.
8. Camm AJ, Lu scher TF, Maurer G, Serruys PW, European Society of
Cardiology. The ESC Textbook of Cardiovascular Medicine. 3rd ed.
Oxford/New York: Oxford University Press; 2019.
9. van der Linde D, Konings EE, Slager MA, Witsenburg M, Helbing WA,
Takkenberg JJ, Roos-Hesselink JW. Birth prevalence of congenital
heart disease worldwide: a systematic review and meta-analysis. J Am
Coll Cardiol 2011;58:2241-2247.
10. Liu Y, Chen S, Zuhlke L, Black GC, Choy MK, Li N, Keavney BD. Global
birthprevalence of congenital heart defects 1970-2017: updated
systematic review and meta-analysis of 260 studies. Int J Epidemiol
2019;48:455-463.
11. Lytzen R, Vejlstrup N, Bjerre J, Petersen OB, Leenskjold S, Dodd JK,
Jorgensen FS, Sondergaard L. Live-born major congenital heart
disease in Denmark: incidence, detection rate, and termination of
pregnancy rate from 1996 to 2013. JAMA Cardiol 2018;3:829-837.
12. Moons P, Bovijn L, Budts W, Belmans A, Gewillig M. Temporal trends
in survival to adulthood among patients born with congenital heart
disease from 1970 to 1992 in Belgium. Circulation 2010;122:2264-
2272.

Panduan Tatalaksana PJBD 144


13. Marelli AJ, Ionescu-Ittu R, Mackie AS, Guo L, Dendukuri N, Kaouache
M. Lifetime prevalence of congenital heart disease in the general
population from 2000 to 2010. Circulation 2014;130:749-756.
14. Moons P, Meijboom FJ, Baumgartner H, Trindade PT, Huyghe E,
Kaemmerer H, Working ESC Group on Grown-up Congenital Heart
Disease. Structure and activities of adult congenital heart disease
programmes in Europe. Eur Heart J 2010;31:1305-1310.
15. Baumgartner H, Budts W, Chessa M, Deanfield J, Eicken A, Holm J,
Iserin L, Meijboom F, Stein J, Szatmari A, Trindade PT, Walker F,
Working Group on Grown-up Congenital Heart Disease of the
European Society of Cardiology. Recommendations for organization of
care for adults with congenital heart disease and for training in the
b ecial f G n- C ngeni al Hea Di ea e in E e: a
position paper of the Working Group on Grown-up Congenital Heart
Disease of the European Society of Cardiology. Eur Heart J
2014;35:686-690.
16. Deanfield J, Thaulow E, Warnes C, Webb G, Kolbel F, Hoffman A,
Sorenson K, Kaemmer H, Thilen U, Bink-Boelkens M, Iserin L, Daliento
L, Silove E, Redington A, Vouhe P, Priori S, Alonso MA, Blanc JJ, Budaj
A, Cowie M, Deckers J, Fernandez BE, Lekakis J, Lindahl B, Mazzotta
G, Morais J, Oto A, Smiseth O, Trappe HJ, Klein W, Blomstrom-
Lundqvist C, de Backer G, Hradec J, Mazzotta G, Parkhomenko A,
Presbitero P, Torbicki A. Management of grown up congenital heart
disease. Eur Heart J 2003;24:1035-1084.
17. Chessa M, Baumgartner H, Michel-Behnke I, Berger F, Budts W,
Eicken A, Sondergaard L, Stein J, Wiztsemburg M, Thomson J. ESC
Working Group Position Paper: transcatheter adult congenital heart
disease interventions: organ- ization of care - recommendations from a
Joint Working Group of the European Society of Cardiology (ESC),
European Association of Pediatric and Congenital Cardiology (AEPC),
and the European Association of Percutaneous Cardiac Intervention
(EAPCI). Eur Heart J 2019;40:1042-1048.
18. Oster M, Bhatt AB, Zaragoza-Macias E, Dendukuri N, Marelli A.
Interventional therapy versus medical therapy for secundum atrial
septal defect: a systematic review (part 2) for the 2018 AHA/ACC
Guideline for the management of adults with congenital heart disease:
a report of the American College of Cardiology/American Heart
Association Task Force on Clinical Practice Guidelines. Circulation
2019;139:e814-e830.

Panduan Tatalaksana PJBD 145

Anda mungkin juga menyukai