Anda di halaman 1dari 41

PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN

INTERVENSI KORONER PERKUTAN

1
TIM PENYUSUN

Ketua : DR. Dr. Doni Firman, SpJP(K), FIHA


Anggota :
1. DR. Dr. Yudi Her Oktaviono, SpJP(K), FIHA
2. Dr. A. Fauzi Yahya, SpJP(K), FIHA
3. Dr. Sunanto Ng, PhD, SpJP(K), FIHA
4. Dr. Siska S. Danny, SpJP(K), FIHA
5. Dr. Arwin Mangkuanom, SpJP, FIHA

2
DAFTAR ISI

1. Pendahuluan
2. Metodologi
3. Hasil dan pembahasan
A. Alat Bantu Diagnostik Sebagi Pemandu Revaskularisasi Miokard
1. Alat Bantu Diagnostik Non-invasif
2. Alat Bantu Diagnostik Invasif
1. FFR
2. IFR
3. IVUS
4. OCT
B. Modalitas Intervensi Perkutan Koroner
1. Baloon angioplasty
2. Pilihan sten
3. Bioreabsorbable scaffold
4. Drug eluting/eluting balloon
5. Modalitas preparasi lesi
C. Intervensi Koroner Perkutan pada Angina Pektoris Stabil
1. Indikasi
2. Intervensi koroner perkutan vs bedah pintas arteri koroner
1. Kriteria dalam menentukan keputusan
3. Kelengkapan revaskularisasi
4. Penyakit arteri koroner left anterior descending proksimal terisolir
5. Penyakit arteri koroner left main
6. Penyakit arteri koroner multivessel
D. Intervensi Koroner Perkutan pada Sindroma koroner akut
1. Intervensi koroner perkutan pada pasien IMA-NEST
1. Strategi revaskularisasi pada pasien IMA-NEST
2. Aspek teknis dan srategi intervensi koroner perkutan pada pasien
IMA-NEST
2. Intervensi koroner perkutan pada IMA-EST
1. Keterlambatan Waktu
2. Pemilihan dari strategi reperfusi
3. Intervensi koroner perkutan primer pada pasien IMA-EST
4. Intervensi koroner perkutan primer setelah trombolisis dan pada
pasien dengan keterlambatan diagnosis
E. Intervensi Koroner Perkutan pada Gagal Jantung
1. Gagal jantung kronik
2. Gagal jantung akut dan syok kardiogenik

3
1. Revaskularisasi
2. Bantuan sirkulasi mekanik
3. Intra-aortic balloon pump
F. Intervensi Koroner Perkutan pada Diabetes Melitus
1. Pemilihan strategi revaskularisasi
2. Pemberian metformin
G. Intervensi Koroner Perkutan pada Penyakit Ginjal Kronik
H. Intervensi Koroner Perkutan pada Aritmia
1. Aritmia ventrikel
2. Aritmia atrium

4
DAFTAR SINGKATAN

ACC American College of Cardiology


ACE angiotensin converting enzyme
ADP adenosine diphosphate
AHA American Heart Assosciation
BMS bare metal stents
BNP brain natriuretic peptide
BPAK Bedah Pintas Arteri Koroner
CABG Coronary Artery Bypass Grafting
CCB Calcium Channel Blockers
CCS Canadian Cardiovascular Society
CRT cardiac resynchronization therapy
CRUSADE Can Rapid risk stratification of Unstable angina patients Suppress
ADverse outcomes with Early implementation of the ACC/AHA guidelines
DAPT dual antiplatelet therapy
DASH dietary approaches to stop hypertension
DES drug-eluting stents
EKG elektrokardiogram
ESC European Society of Cardiology
GRACE global registry of acute coronary events
IABP intra aortic balloon pump
IKP intervensi koroner perkutan
IMA infark miokard akut
JKN Jaminan Kesehatan Nasional
KH karbohidrat
LAD left anterior descending
LBBB Left Bundle Branch Block
LCX left anterior circumflex
LMWH low molecular weight heparin
METs metabolic equivalent
MONACO morfin, oksigen, nitrat, aspirin clopidogrel
MONATICA morfin, oksigen, nitrat, aspirin ticagrelor
MSCT multislice cardiac omputer tomography
NSAID non steroid anti inflammation drug
NSTEMI non ST segment elevation myocardial infarction
ONS oral nutrition support
PTM penyakit tidak menular
PPOK penyakit paru obstruktif kronis
PNPK pedoman nasional pelayanan kedokteran

5
PGK penyakit ginjal kronis
PJK penyakit jantung koroner
RBBB right bundle branch block
Riskesdas riset kesehatan dasar
SHOCK SHould we emergently revascularize Occluded coronaries for Cardiogenic
shoCK
Sk streptokinase
SKA sindroma koroner akut
STEMI ST segment elevation myocardial infarction
S3 suara jantung tiga
STS Society of Thoracic Surgery
TIA transient ischaemic attack
TIMI thrombolysis in myocardial infarction
TLC therapeutic lifestyle changes
tPA Alteplase
UAP unstable angina pectoris
ULN upper limit of normal
WHO World Health Organization

1. Disusun menurut abjad


2. Ditulis dengan huruf awal kecil (lower case) kecuali untuk nama diri (proper
name)

6
DAFTAR TABEL

I. Tabel 1. Klasifikasi rekomendasi Intervensi Koroner Perkutan


II. Tabel 2.Rekomendasi pencitraan non invasif pada pasien gagal jantung karena PJK
III. Tabel 3. Rekomendasi untuk uji fungsi dan pencitraan intravascular untuk penilaian lesi
IV. Tabel 4.Rekomendasi untuk pemilihan stent dan akses IKP
V. Tabel 5. Indikasi revaskularisasi pada PJK stabil.
VI. Tabel 6. Panduan untuk menghitung Skor SYNTAX.
VII. Tabel 7. Rekomendasi Berdasarkan Kompleksitas Anatomi PJK.
VIII. Tabel 8. Karakteristik Klinis, Anatomi, dan Teknis untuk Pertimbangan Pemilihan
Strategi Revaskularisasi.
IX. Tabel 9. Kriteria risiko untuk menentukan strategi invasif pada IMA-NEST
X. Tabel 10. Rekomendasi untuk evaluasi invasif dan revaskularisasi pada pasien IMA-
NEST
XI. Tabel 11. Rekomendasi indikasi untuk IKP pada pasien IMA-EST
XII. Tabel 12. Rekomendasi aspek prosedural IKP primer pada pasien IMA-EST
XIII. Tabel 13. Rekomendasi Revaskularisasi pada Pasien dengan Gagal Jantung Kronik dan
Disfungsi Sistolik Ventrikel Kiri (Fraksi Ejeksi ≤35%)
XIV. Tabel 14. Rekomendasi Penanganan Pasien dengan Syok Kardiogenik
XV. Tabel 15. Rekomendasi intervensi koroner pada pasien dalam konsumsi metformin
XVI. Tabel 16. Rekomendasi pencegahan contrast-induced nephropathy
XVII. Tabel 17. Rekomendasi revaskularisasi untuk pencegahan aritmia ventrikel
XVIII. Tabel 18. Rekomendasi untuk pencegahan dan tata laksana fibrilasi atrium dalam kasus
revaskularisasi miokard

7
DAFTAR GAMBAR

I. Gambar 1. Panduan pemilihan strategi revaskularisasi untuk PJK dengan LM


II. Gambar 2. Panduan pemilihan strategi revaskularisasi untuk PJK tanpa LM.
III. Gambar 3: Pemilihan strategi terapi dan waktu berdasarkan stratifikasi risiko pada IMA –
NEST
IV. Gambar 4:Alur pemilihan strategi reperfusi untuk pasien IMA-EST

8
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Kardiologi merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran yang mengalami kemajuan paling
pesat dalam kurun waktu 70 tahun terakhir. Perkembangan ini erat kaitannya dengan kemajuan
teknologi pencitraan terutama di bidang jantung dan pembuluh darah. Kateterisasi jantung
sebagai wujud inovasi teknologi telah berevolusi dari fungsi diagnostik semata sampai menjadi
pusat intervensi dan pengobatan di bidang jantung dan pembuluh darah. Lebih jauh lagi,
Kateterisasi jantung juga telah menjadi tempat ajang riset dengan tujuan untuk menggeser
batasan ilmu pengetahuan dalam mengidentifikasi dan menguji metode-metode terbaru dalam
tatalaksana penyakit jantung dan pembuluh darah.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia secara
konsisten menunjukkan bahwa penyakit jantung dan pembuluh darah masih merupakan
penyebab utama kematian di negara kita dan seluruh dunia. Prevalensi penyakit jantung di
Indonesia sekitar 7.2% (Riskesdas 2007) dan angka ini diperkirakan akan terus naik seiring
dengan meningkatnya prevalensi faktor risiko, seperti hipertensi dan obesitas. Hal ini
mendorong perhatian besar terhadap penyediaan pelayanan kesehatan di bidang jantung dan
pembuluh darah dan salah satu wujudnya adalah dengan menambah jumlah Kateterisasi jantung
di rumah sakit yang memadai di seluruh Indonesia. Di satu pihak, meningkatnya jumlah
Kateterisasi jantung diharapkan mampu memperbaiki akses masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan jantung dan pembuluh darah yang berkualitas, namun di lain pihak perlu diingat
bahwa teknologi ini perlu dipantau dan diatur dengan baik dan berkesinambungan. Tindakan
kateterisasi yang dilakukan sesuai kaidah dapat menolong nyawa dan memperbaiki kualitas
hidup seseorang yang memiliki penyakit jantung dan pembuluh darah, tetapi tindakan
kateterisasi jantung dan pembuluh darah juga memiliki risiko serius bahkan dapat menyebabkan
kematian. Dengan jaminan kualitas yang baik, angka kejadian risiko dapat ditekan sampai di
bawah 2%. Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah penggunaan sarana radiologi sinar X
sebagai suatu yang tidak dapat dipisahkan dari penyelenggaraan Kateterisasi jantung sehingga
keamanan terhadap radiasi merupakan salah satu pertimbangan utama dalam
penyelenggaraannya.

1.2 Permasalahan
1. Tersedianya pelayanan tindakan berteknologi canggih di Kateterisasi jantung dapat
mendatangkan manfaat besar bagi masyarakat terutama di bidang jantung dan pembuluh
darah, namun apabila tidak dikelola dengan baik maka berpotensi mengakibatkan risiko
dan kerugian yang serius.
2. Semakin tingginya jumlah laboratorium kateterisasi di Indonesia saat ini yang sudah
mencapai lebih dari 200 unit.

9
3. Sebagian besar pelayanan di Kateterisasi jantung berhubungan dengan teknologi yang
canggih dan pasien dengan risiko tinggi sehingga tentu saja memiliki risiko tindakan
yang tinggi pula.
4. Untuk menjamin kualitas pelayanan di Kateterisasi jantung, diperlukan adanya suatu
regulasi yang baik, meliputi aspek mutu pelayanan, sumber daya manusia, fasilitas sarana
dan prasarana, pembiayaan, administrasi manajemen, dan etik medikolegal.
5. Promosi yang berlebihan dari pihak Rumah Sakit berpotensi menimbulkan kerugian pada
masyarakat.

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Terwujudnya pelayanan intervensi koroner perkutan yang bermutu baik dan berorientasi
pada keselamatan / keamanan pasien di Indonesia.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Terbentuk peraturan dan pedoman mengenai kegiatan pelayanan intervensi koroner
perkutan.
2. Terbentuk pedoman untuk menjamin mutu penyelenggaraan pelayanan nintervensi
koroner perkutan.
3. Terbentuk pedoman untuk melakukan pembinaan dan pengawasan sistem
penyelenggaraan pelayanan intervensi koroner perkutan.
1.4 Sasaran
1. Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular dan/atau SMF Jantung dan Pembuluh
Darah di Rumah Sakit.
2. Anggota organisasi profesi yang terkait dengan pelayanan Kateterisasi jantung (PERKI).
3. Profesi Kedokteran dan Kesehatan.
4. Dinas Kesehatan Propinsi/Kabupaten/Kota.
5. Unit Pelayanan Kateterisasi jantung di Rumah Sakit.
6. Lembaga Pendidikan dan Penelitian yang berhubungan dengan penyakit jantung dan
pembuluh darah.
7. Institusi/RS yang ingin membuka Kateterisasi jantung.
8. Masyarakat yang ingin menggunakan fasilitas pelayanan Kateterisasi jantung untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan kardiovaskuler.

10
BAB 2
METODOLOGI

2.1 Penelusuran kepustakaan


Penelusuran kepustakaan dilakukan melalui kepustakaan elektronik pada pusat data:
Pubmed dan Cochrane Systematic Database Review. Kata kunci yang digunakan adalah:
myocardial revascularization, primary percutaneous coronary intervention, coronary artery
bypass graft, fractional flow reserve, instantaneous free wave ratio, intravascular ultrasound,
optical coherence tomography, stable coronary artery disease, acute coronary syndrome,
myocardial infarction, coronary heart disease, ischaemic heart disease, coronary artery disease,
myocardial ischemia, reperfusion therapy, heart failure, diabetes mellitus, chronic kidney
disease, arrhythmia. Batasan artikel adalah yang dipublikasikan dalam 5 tahun terakhir.
2.2 Telaah kritis
Setiap evidence yang diperoleh telah dilakukan telaah kritis oleh pakar dalam bidang
kardiovaskular.
2.3 Peringkat bukti (level of evidence) dan derajat rekomendasi
Azas kemanfaatan yang didukung oleh tingkat bukti penelitian menjadi dasar rekomendasi dalam
penyusunan pedoman tatalaksana ini. Klasifikasi rekomendasi tersebut dapat dilihat pada Tabel
1.
Tabel 1. Klasifikasi rekomendasi Intervensi Koroner Perkutan
Peringkat I Bukti dan/atau kesepakatan bersama bahwa pengobatan tersebut bermanfaat
dan efektif
Peringkat II Bukti dan/atau pendapat yang belum sepakat tentang manfaat pengobatan
tersebut.
Peringkat IIa Bukti dan pendapat lebih mengarah kepada manfaat atau kegunaan, sehingga
beralasan untuk dilakukan.
Peringkat IIb Manfaat atau efektivitas kurang didukung oleh bukti atau pendapat, namun
dapat dipertimbangkan untuk dilakukan.
Peringkat III Bukti atau kesepakatan bersama bahwa pengobatan tersebut tidak berguna
atau tidak efektif, bahkan pada beberapa kasus kemungkinan
membahayakan.
Tingkat bukti A Data berasal dari beberapa penelitian klinik acak berganda atau meta analisis
Tingkat bukti B Data berasal dari satu penelitian acak berganda atau beberapa penelitian
tidak acak
Tingkat bukti C Data berasal dari konsensus opini para ahli dan/atau penelitian kecil, studi
retrospektif, atau registry

11
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Alat Bantu Diagnostik Sebagai Pemandu Revaskularisasi Miokard

A.1. Alat Bantu Diagnostik Non-invasif


A.1.1.Penilaian Iskemia miokard
Pemeriksaan diagnostik non-invasif lebih dipilih untuk menentukan manfaat
revaskularisasi terhadap area iskemi dan viabilitas miokard pada pasien dengan penurunan fungsi
ejeksi fraksi. Uji fungsi arteri koroner sangat penting untuk pemeriksaan pasien APS dengan
tujuan untuk mencari bukti iskemia sebelum prosedur tindakan intervensi koroner perkutan.
Bahkan, kadang uji fungsi ini diperlukan pada sindrom koroner akut (SKA). Karena rendahnya
sensitivitas tes uji latih jantung, maka pemeriksaan pencitraan non invasif jantung adalah pilihan
utama untuk mendeteksi luas area iskemia yang berhubungan dengan prognosis pasien dan
mengidentifikasi pasien mana yang perlu revskularisasi. Pada pasien yang menjalani
pemeriksaan computed tomography(CT) koroner, baik CT-derived fractional flow reserve (CT-
FFR) dan CT perfusi dapat mengidentifikasi lesi penyebab iskemik secara spesifik.1
Sejumlah uji klinis menunjukkan terdapat korelasi yang kuat antara CT-FFR dan FFR
invasif. Studi Prospective Longitudinal Trial of FFRct:Outcome and Resource (PLATFORM)
menunjukkan bahwa pada pasien yang dirujuk untuk angiografi invasif karena nyeri dada
(terutama angina atipikal) dan probabilitas pre-tes PJK menengah, pemeriksaan dengan CT dan
CT- FFR dapat menyaring pasien mana yang harus menjalani koroangiografi invasif.2

A.1.2.Penilaian viablitias miokard pada pasien gagal jantung karena penyakit jantung koroner
Penilaian viabilitas miokard bertujuan untuk melihat pasien mana yang memiliki manfaat
dari revaskularisasi dengan beberapa modalitas pencitraan yaitu: ekokardiografi dengan kontras,
single photon emission CT (SPECT), dan late gadolinium enhancement cardiac magnetic
resonance (LGE-CMR) dengan tujuan menilia integritas seluar, lalu positron emission
tomography (PET) dengan tujuan menilai metabolisme seluler dan dobutamin test untuk menilai
contractile reserve.
Penilaian area iskemia secara speisifik pada lesi koroner ringan-sedang, lebih bermanfaat
dari uji viabilitas secara menyeluruh, sedangkan pada PJK berat dan luas, maka cukup dengan uji
viabilitas. Substudi dari penelitian STICH (Surgical Treatment for Ischemic Heart Failure)
menemukan ada hubungan yang signifikan antara viabilitas miokard dengan hasil operasi dari
hasil analisis univariat, tetapi tidak pada analisis multivariat, sehingga menunjukkan bahwa
strategi ini tidak boleh menjadi satu-satunya pemeriksaan penunjang dalam menentukan strategi
revaskularisasi.3

12
Tabel 2.Rekomendasi pencitraan non invasif pada pasien gagal jantung karena PJK
Rekomendasi Kelas Level
Pencitraan uji latih non invasif (CMR, uji latih ekokardiografi, SPECT
atau PET) perlu dipertimbangkan untuk menilai area iskemia dan
viabilitas miokard pada pasien gagal jantung karena PJK sebelum IIb B
menentukan srategi revaskularisasi (dianggap memiliki manfaat dari
revaskularisasi)

A.2.Alat Bantu Diagnostik Invasif


A.2.1.Fractional Flow reserve (FFR)
FFR adalah standar pelayanan saat ini untuk menilai fungsi koroner terhadap derajat lesi
ringan-sedang (penyempitan 40 - 90%) tanpa bukti iskemia dari non-invasif test atau pada pasien
dengan penyakit koroner multivessel. Pada lesi left main stem(LMS) ringan-sedang, penggunaan
FFR menjadi sulit, karena diperlukan untuk disengagement dari kateter tip dan juga tidak dapat
memasukan adenosine ke dalam koroner. Sehingga FFR pada lesi osteal ataupun prosimal LM
sebaiknya tidak digunakan.
Pada pasien PJK multivessel penggunaan FFR sangat direkomendasikan untuk pemilihan
strategi revaskularisasi. Studi Fractional Flow Reserve versus Angiography for Multivessel
Evaluation(FAME) menunjukkan bahwa nilai cut off <0,80 untuk IKP menunjukan penurunan
angka kematian, IM non-fatal, revaskularisasi berulang dalam 12 bulan dan risiko kematian
kumulatif atau IM dalam 2 tahun secara signifikan, dibandingkan dengan IKP yang dipandu
angiografi dan menggunakan sumber daya yang lebih sedikit. Follow up jangka panjang pada 5
tahun juga menunjukkan hasil yang sama.6 Pada pasien APS yang memiliki setidaknya dengan
satu penyempitan, serta FFR ≤0.80, studi FAME 2 menunjukkan bahwa IKP menggunakan drug
eluting stent(DES) akan memperbaiki mortalitas, IM non-fatal, dan kebutuhan revaskularisasi
segera dalam 2 tahun dibandingkan dengan tatalaksana medis saja dengan hasil yang konsisten
selama 3 tahun.

A.2.2.IFR
Pemeriksaan FFR membutuhkan keadaan hiperemia maksimal dan stabil, yang biasanya
dicapai dengan pemberian adenosin intravena, namun belakangan ini telah ada perkembangan
pemeriksaan resting indices baru menggunakan gelombang( tanpa keadaan hyperemia) yaitu
instantaneous wave-free ratio (iFR). Dua RCT skala besar menunjukkan hasil yang sebanding
antara strategi revaskularisasi yang dipandu FFR dengan iFR pada pasien dengan penyempitan
derajat sedang dengan indikasikan revaskularisasi yaitu FFR ≤0.80 atau iFR ≤0. 89. Studi
pertama DEFINEFLAIR menunjukan MACE dalam 1 tahun pada iFR vs FFR adalah 6.8% vs
7.0%, sedangkan studi kedua iFR-SWEDEHEART dengan luaran klinis yaitu kematian karena
penyebab apapun, IM non-fatal, atau kejadian revaskularisasi ulang, pada iFR vs FFR adalah
6.7% vs 6.1%.7,8
Studi dari Synergy between Percutaneous Coronary Intervention with TAXUS and
Cardiac Surgery (SYNTAX II), pada pasien dengan penyakit multivessel menggunakan strategi

13
pemanduan revaskularsiasi dengan iFR / FFR untuk menilai derajat keparahan sebagai tambahan
stent yang dipandu intravascular ultrasound (IVUS) dan terapi medis, menunjukkan hasil yang
lebih baik.9 Penggunaan iFR pada penyempitan osteal atau proskimal left main stem (LMS)
belum tervalidasi.

A.2.3 Intravascular ultrasound (IVUS)


(IVUS) adalah modalitas pencitraan intravascular berbasis ultrasound dengan resolusi aksial
sekitar 150 mm. IVUS memungkinkan penilaian tomografi secara langsung dari ukuran
pembuluh, area lumen, dan komposisi serta volume plak. Dibandingkan dengan optical
coherence tomography (OCT), alat ini memiliki resolusi spasial yang lebih terbatas, tetapi
kedalaman penetrasi yang lebih baik dan dapat lebih bermanfaat dalam hal mengetahui ukuran
pembuluh darah.1Penggunaan IVUS secara klinis untuk pemeriksaan diagnostik pada pasien
yang akan menjalani revaskularisasi, adalah untuk evaluasi tingkat keparahan penyempitan pada
lesi derajat sedang, evaluasi morfologi lesi pada lesi yang ambigu dari angiografi dan menilai
komposisi plak.1
Pada era drug eluting stent DES, meta-analisis dari studi acak dan observasi juga
menunjukkan hasil klinis yang lebih baik dengan IKP yang dipandu IVUS dibanding dengan
angiografi. Dalam kasus kegagalan stent, termasuk repenyempitan dan trombosis stent,
penggunaan IVUS dapat dipertimbangkan untuk mengevaluasi penyebabnya.10,11
Penggunaan IVUS pada pasien LMS derajat sedang yang direncanakan untuk menjalani
operasi bedah pintas atau IKP, didukung oleh berbagai studi. Pada studi prospektif multicenter,
revaskularisasi akan ditunda jika minimal luminal area (MRA) ≥ 6 mm2 dan akan dilakukan jika
MLA <6 mm2. Setelah diikuti selama 2 tahun, angka cardiac death-free survival sebanding
12-15
antara 2 grup . Beberapa studi mmenunjukan bahwa MLA pada orang asia yang memiliki
ukuran jantung relatif lebih kecil, berdasarkan IVUS adalah 4.5-4.8 mm2.15

A.2.4.Optical Coherence Tomography (OCT)


OCT adalah modalitas pencitraan intravaskular berbasis cahaya, dengan resolusi aksial yang
lebih tinggi dibandingkan dengan IVUS, yaitu 15 mm vs 150 mm. Kelemahan dari pencitraan
OCT yaitu membutuhkan complete blood clearance dari lumen dan memiliki kedalaman
penetrasi yang lebih rendah, sehingga OCT tidak dapat menilai beban plak yang luas dan
mungkin penilaian ukuran pembuluh darah tidak akurat.1 Sejumlah penelitian observasional
menunjukan OCT mampu mendeteksi kegagalan stent, dan dapat menampilkan dengan baik stent
thrombosis, in-stent repenyempitan, intrastent neointimal tissue serta mendetekesi
neoatherosklerosis sehingga penggunaan OCT perlu dipertimbangkan pada kasus kegagalan
stent.16-18

Tabel 3. Rekomendasi untuk uji fungsi dan pencitraan intravascular untuk penilaian lesi
Rekomendasi Kelas Level
Ketika bukti iskemia tidak tersedia, FFR atau iFR direkomendasikan untuk

14
menilai relevansi hemodinamik dari penyempitan derajat sedang (40-90%) I A
IKP dengan panduan FFR harus dipertimbangkan pada pasien PJK IIa B
multivessel
IVUS harus dipertimbangkan untuk menilai derajat penyempitan lesi IIa B
unprotected left main

IVUS dan/atau OCT harus dipertimbangkan untuk mendeteksi masalah IIa C


mekanik stent yang dapat menyebabkan restenosis
IVUS atau OCT harus dipertimbangkan untuk optimalisasi pemasangan IIa B
stent pada kondisi tertentu
IVUS harus dipertimbangkan untuk optimalisasi pemasangan stent pada IIa B
lesi unprotected left main
Penggunaan IVUS secara rutin untuk penilaian lesi tidak III C
direkomendasikan ketika keputusan strategi revaskularisasi baik dengan
IKP ataupun BPAK sudah jelas.

B.Modalitas Intervensi Perkutan Koroner


B.1.Balloon angioplasty
Setelah penggunaan stent terbukti menurunkan angka revaskularisasi pada IKP, penggunaan
balloon angioplasty saja hanya dilakukan pada kondisi tertentu. Pada kondisi pembuluh darah
koroner yang dianggap terlalu kecil sehingga pemasangan stent dinilai sulit maka disaat kondisi
ini balloon angioplasty tanpa stent dapat dipertimbangkan.1,19

B.2 Pilihan stent


DES generasi baru memiliki efikasi dan keamanan yang lebih baik bila dibandingkan dari DES
generasi awal dan BMS, karena itu stent ini dapat digunakan pada pasien diabetes, GGK, pasien
multivessel dan LMS, IMA, graft vena, lesi restenotik, dan oklusi total kronis. DES generasi baru
harus dipertimbangkan sebagai tipe stent standar untuk IKP, terlepas dari keadaan klinis, subtipe
lesi, terapi lain, serta penyakit penyerta pada pasien.20-22

B.3.Bioreabsorbable scaffold (BS)


Completely bioresorbable scaffolds (BRS), telah dikembangkan dengan tujuan untuk
mengurangi atau menghilangkan efek samping pada pemantauan jangka panjang. Profil
keamanan dan efikasi dari BVS telah dibandingkan dengan DES dalam beberapa studi serta
meta-analisis, dan hasilnya secara konsisten menunjukkan tingkat efikasi dan keamanan yang
23,24
lebih rendah dibandingkan dengan DES selama masa pemantauan jangka panjang.
ESC/European Association for Percutaneous Cardiovascular Interventions (EAPCI)
menyatakan bahwa BRS tidak boleh digunakan di luar studi klinis yang terkontrol dengan baik.
Pada pasien yang telah diobati dengan BRS, durasi DAPT selama 3 tahun atau lebih dapat
dipertimbangkan.1

B.4 Drug Coated Balloon(DCB)


15
Data uji coba acak yang mendukung penggunaan DCB terbatas pada pengobatan dari restenosis
in-stent. Dalam hal penggunaan DCB untuk PJK yang baru, sejumlah uji acak kecil telah
dilaporkan dengan hasil yang kontroversial.25,26 Saat ini, tidak ada data yang meyakinkan untuk
mendukung penggunaan DCB pada pasien PJK baru.1

B.5.Modalitas persiapan lesi


Persiapan lesi sangat penting agar prosedur IKP berhasil. Selain balloon angioplasty biasa (tipe
standar atau non-compliant), balloon angioplasty tipe cutting atau scoring dan atherektomi
rotasional terkadang diperlukan dalam lesi tertentu, terutama pada lesi kalsifikasi berat, dengan
tujuan untuk melebarkan lesi secara adekuat sebelum prosedur pemasangan stent.1,27

Tabel 4.Rekomendasi untuk pemilihan stent dan akses IKP


Rekomendasi Kelas Level
DES direkomendasikan dibanding BMS untuk semua IKP tanpa
mempertimbangkan:
• Presentasi klinis
• tipe lesi I A
• Rencana operasi non jantung
• Durasi pemberian antiplatelet ganda
• Terapi antikoagulan konkomitan
Akses radial direkomendasikan sebagai pendekatan standar, kecuali
I A
terdapat pertimbangan prosedur lain
BRS saat ini tidak drekomendasikan selain untuk uji klinis III C

C.Intervensi Koroner Perkutan pada Angina Pektoris Stabil


C.1.Indikasi revaskularisasi

Indikasi untuk revaskularisasi pada pasien PJK stabil adalah pasien yang telah mendapat
terapi sesuai rekomendasi dengan gejala yang masih persisten dan / atau untuk peningkatan
prognosis. Dengan pengecualian pada kasus stenosis subtotal pada pembuluh darah utama,
gambaran angiografi saja tidak cukup untuk menentukan indikasi IKP, butuh adanya bukti
iskemia. Tabel 5 memuat indikasi revaskularisasi pada pasien PJK stabil. Ada dua strategi
revaskularisasi yang dapat dipilih dalam menangani PJK stabil, yaitu Intervensi Koroner
Perkutan (IKP) atau Bedah Pintas Arteri Koroner (BPAK). Pemilihan strategi tersebut dilakukan
dengan mempertimbangkan skor SYNTAX .1,28

Tabel 5. Indikasi revaskularisasi pada PJK stabil.


Rekomendasi Kelas
Lesi LM dengan stenosis >50% a I
Stenosis proksimal LAD >50% a I

16
2 atau 3 sumbatan pembuluh darah >50% a dengan penurunan fungsi
I
jantung (LVEF ≤35%)
Area iskemia luas (>10%) yang dideteksi oleh tes fungsional, atau hasil
I
FFR abnormal b
Satu satunya arteri koroner yang paten dengan stenosis >50% a I
Setiap stenosis koroner yang signifikana dengan adanya angina berat atau
angina equivalent yang tidak mendapat respon adekuat dengan terapi I
medikamentosa optimal
Sesak nafas / gejala gagal jantung dengan bukti iskemik > 10% pada area
II
dengan stenosis koroner >50%
stenosis >70% di pembuluh non - LM atau ≥50% di pembuluh LM dengan
bukti iskemia signifikan pada pemeriksaan non invasif; apabila FFR tidak II
tersedia c
Pasien yang stabil dengan terapi optimal dengan lesi pembuluh selain: (1)
Lesi LM atau proksimal LAD (2) Satu satunya arteri koroner paten (3) III
Penyumbatan dengan bukti iskemik miokardium >10%
Penyumbatan dengan FFR ≥0.8 III
a
Dengan bukti iskemia yang didefinisikan dengan FFR < 0.8 atau IFR < 0.89, atau > 90% stenosis di
pembuluh darah utama
b
FFR < 0.75 di pembuluh darah yang stenosis
c
> 10% pada SPECT, atau > 2/16 segment pada CMR, atau > 3 segmen pada dobutamin stress echo atau
pasien dengan resiko tinggi (LVEF< 50% pada pemeriksaan ekokardiografi, mortalitas KV > 3%/tahun
berdasarkan Uji-latih EKG)

C.2.Penilaian kompleksitas anatomi koroner

Skor SYNTAX (Synergy between Percutaneous Coronary Intervention with TAXUS and
Cardiac Surgery) adalah sistem penghitungan yang dikembangkan dalam studi SYNTAX untuk
menilai kompleksitas anatomi dari penyakit jantung koroner pada pasien dengan lesi arteri Left
Main (LM) atau lesi ketiga pembuluh darah koroner (Three vessel disease / TVD).28,29 Pada studi
SYNTAX, populasi terbagi menjadi kelompok skor rendah (0-22), skor menengah (23-32) dan
skor tinggi (≥33) berdasarkan kompleksitas anatomi koroner. Populasi dengan kelompok skor
SYNTAX rendah (0-22) dan menengah (23-32) memiliki luaran klinis sama apabila dilakukan
IKP atau BPAK. Namun, kelompok dengan skor SYNTAX tinggi (≥33) memiliki luaran klinis
yang lebih baik apabila dilakukan BPAK, jika dibandingkan dengan IKP.29 Skor SYNTAX dapat
dihitung secara manual melalui petunjuk yang disediakan di Tabel 6 atau secara online
menggunakan kalkulator yang disediakan di www.syntaxscore.com.1

Tabel 6. Panduan untuk menghitung Skor SYNTAX.


Langkah Variabel Deskripsi

17
Langkah 1 Dominansi Poin dari masing-masing segmen pada arteri koroner
bervariasi tergantung dari dominansi arteri koroner
tersebut (kiri atau kanan-dominan). Tidak ada ko-
dominansi pada Skor SYNTAX. Contoh: lesi pada arteri
LM memiliki nilai 6 pada kiri-dominan dan 5 pada
kanan-dominan.
Langkah 2 Segmen Masing-masing segmen arteri koroner memiliki poin
Koroner yang bervariasi, tergantung pada lokasinya, dengan
rentang dari 0.5 (contoh: cabang posterolateral) hingga 6
(contoh: LM pada kiri-dominan).

Kanan-Dominan:
Poin:

Kiri-Dominan:

Langkah 3 Diameter Poin pada masing-masing segmen arteri koroner yang


stenosis memiliki stenosis dikalikan 2 (dua) pada kondisi dengan
stenosis 50 – 99% dan dikalikan dengan 5 (lima) pada
oklusi total.
Pada kasus dengan oklusi total (stenosis 100%), akan
diberikan poin tambahan, apabila:
• Usia oklusi >3 bulan atau tidak diketahui (+1)
• Blunt stump (+1)
• Bridging (+1)
• Visualisasi distal segmen (+1 untuk tiap segmen
yang tak tervisualisasi.
Contoh: proksimal LAD oklusi total (>3 bulan,
dengan blunt stump, bridging, dan tak ada
segmen pada mid LAD atau distal LAD yang
tervisualisasi) pada kiri-dominan = (3.5 x 5) + 1 +
1 + 1 + 2 = 22.5
18
• Side branch (SB) pada tempat oklusi total
o +1 jika diameter SB <1.5mm
o +0 jika diameter SB ≥1.5mm (contoh: lesi
bifurkasi). Karena lesi bifurkasi akan memiliki
poin sendiri. Contoh akan diberikan pada
langkah 5
Langkah 4 Lesi Trifurkasio Adanya lesi trifurkasio akan menambah poin tergantung
dari jumlah segmen yang terpengaruh
• 1 segmen (+3)
• 2 segmen (+4)
• 3 segmen (+5)
• 4 segmen (+6)
Langkah 5 Lesi Bifurkasio Adanya lesi bifurkasio akan menambah skor tergantung
dari klasifikasi Medina
• Medina 1,0,0 - 0,1,0 - 1,1,0 (+1)
• Medina 1,1,1 - 0,0,1 - 0,1,1 (+2)
Contoh: Lesi bifurkasio proksimal LAD stenosis 100%
dan Diagonal 1 stenosis 90% (Medina 1,1,0):
Proksimal LAD stenosis 100% (>3 bulan, tanpa blunt
stump, tanpa bridging, dan mid LAD hingga distal LAD
tak tervisualisasi) dan Diagonal 1 stenosis 90% pada kiri-
dominan = ((3.5 x 5) + 1 + 2) + (2 x 1) + 1= 23.5
Langkah 6 Lesi Aorto- Adanya lesi Aorto-ostial akan menambah 1 skor.
ostial Contoh: Ostial LM 70% dan proksimal LAD 90% pada
kiri-dominan: 6 + 3.5 + 1 = 10.5
Langkah 7 Pembuluh Adanya pembuluh koroner dengan tortuous berat akan
koroner tortuous menambah 2 poin untuk tiap pembuluh darah yang
berat tortuous berat
Langkah 8 Panjang lesi Panjang lesi >20mm akan menambahkan 1 poin
Langkah 9 Kalsifikasi Kalsifikasi berat akan menambahkan 2 poin untuk tiap
pembuluh darah yang memiliki kalsifikasi tersebut
Langkah 10 Trombus Adanya thrombus akan menambahkan 1 poin
Langkah 11 Lesi yang Adanya lesi yang diffuse (luas) distal terhadap lesi
diffuse (setidaknya 75% dari seluruh panjang pembuluh darah,
(luas)/pembuluh dengan diameter <2 mm) akan menambahkan 1 poin per
darah yang kecil segmen

Pada studi SYNTAX, pasien dikelompokan menjadi dua kelompok untuk membedakan
mana kelompok yang (1) mendapatkan manfaat yang besar dari IKP dan BPAK, serta (2)

19
mendapatkan manfaat yang lebih besar dari BPAK.29 Dengan kata lain, salah satu tujuan dari
Skor SYNTAX adalah untuk memilih strategi revaskularisasi terbaik antara IKP dan BPAK.

C.3.Pemilihan strategi revaskularisasi

Tujuan dari revaskularisasi miokardium adalah untuk meminimalisir iskemia residual.


Pada uji SYNTAX, revaskularisasi komplit didefinisikan sebagai IKP atau BPAK dari semua
pembuluh darah epikardium dengan diameter ≥1.5mm dan stenosis ≥50%.29 Disarankan untuk
menggunakan Skor SYNTAX sebagai panduan untuk pemilihan strategi revaskularisasi pada
PJK antara IKP dan BPAK, pada dua kondisi, yaitu PJK dengan LM, atau PJK dengan lesi
koroner multipel (multivessel disease).1 Apabila akan dilakukan intervensi perkutan arteri LM,
sebaiknya dilakukan oleh operator yang berpengalaman (tindakan IKP LM >25 kali per tahun).15
Lebih lanjut lagi, untuk melakukan BPAK pada dua kelompok pasien, yaitu: (1) LM dengan
Skor SYNTAX ≥33, dan (2) PJK dengan ketiga arteri koroner memiliki sumbatan (TVD) yang
memiliki Skor SYNTAX >22. Tabel 10 menunjukkan kelas rekomendasi pada berbagai skenario
PJK dengan mempertimbangkan skor SYNTAX. Gambar 4 dan 5 merangkum cara pemilihan
strategi revaskularisasi antara BPAK atau IKP berdasarkan kompleksitas anatomi koroner.1

Tabel 7. Rekomendasi Berdasarkan Kompleksitas Anatomi PJK.


Jenis PJK BPAK IKP
Lesi di Satu Arteri Koroner (One-vessel disesase)
Tanpa stenosis proksimal LAD II I
Dengan stenosis proksimal LAD I I
Lesi di Dua Arteri Koroner (Two-vessel disesase)
Tanpa stenosis proksimal LAD II I
Dengan stenosis proksimal LAD I I
Lesi di Arteri LM
Dengan Skor SYNTAX rendah (0 – 22) I I
Dengan Skor SYNTAX menengah (23 – 32) I II
Dengan Skor SYNTAX tinggi (≥ 33) I III
Lesi di Tiga Arteri Koroner tanpa Diabetes
Dengan Skor SYNTAX rendah (0 – 22) I I
Dengan Skor SYNTAX menengah atau tinggi (≥ I III
33)
Lesi di Tiga Arteri Koroner dengan Diabetes
Dengan Skor SYNTAX rendah (0 – 22) I II
Dengan Skor SYNTAX menengah atau tinggi (≥ I III
33)

20
Gambar 1. Panduan pemilihan strategi revaskularisasi untuk PJK dengan LM

Gambar 2. Panduan pemilihan strategi revaskularisasi untuk PJK tanpa LM.

Untuk menggabungkan prediksi risiko berdasarkan kompleksitas anatomi PJK dan klinis,
dikembangkanlah Skor SYNTAX II. Lebih lanjut lagi, studi lain yang dilakukan oleh Ying et.al
juga menemukan bahwa Skor SYNTAX II lebih unggul dibandingkan Skor SYNTAX dalam hal
memprediksi risiko mortalitas pada pasien dengan PJK berat yang menjalani IKP.30 Namun, Skor
SYNTAX II kurang bermanfaat dalam hal menentukan strategi revaskularisasi terbaik, apabila

21
dibandingkan dengan Skor SYNTAX. Maka dari itu, Guidelines Myocardial Revascularization
European Society of Cardiology (ESC) menyarankan untuk menggunakan Skor SYNTAX
sebagai panduan untuk pemilihan strategi revaskularisasi pada PJK antara IKP dan BPAK. Lebih
lanjut lagi, ada beberapa aspek klinis dan juga tampilan anatomis lainnya yang bisa dijadikan
pertimbangan dalam menentukan strategi revaskularisasi antara IKP atau BPAK dalam
menangani pasien dengan PJK stabil, seperti ditampilkan di tabel 8.1

Tabel 8. Karakteristik Klinis, Anatomi, dan Teknis untuk Pertimbangan Pemilihan Strategi
Revaskularisasi.
IKP Lebih Dianjurkan BPAK Lebih Dianjurkan
Karakteristik Klinis Karakteristik Klinis
- Terdapat komorbiditas yang berat - Diabetes
- Usia sangat lanjut - Fungsi ventrikel kiri menurun (EF <35%)
- Terbatasnya mobilitas dan kondisi yang - Kontraindikasi obat antiplatelet
mempengaruhi proses rehabilitasi - Diffuse in-stent restenosis yang berulang
Aspek Anatomi Dan Teknis Aspek Anatomi Dan Teknis
- 3 lesi pembuluh darah dengan skor - 3 lesi pembuluh darah dengan skor SYNTAX
SYNTAX 0–22 > 23
- Terdapat anatomi yang membuat - Terdapat anatomi yang membuat
revaskularisasi tidak komplit dengan revaskularisasi tidak komplit dengan IKP
BPAK karena kualitas yang buruk atau - Lesi arteri koroner dengan kalsifikasi berat
saluran pembuluh darah yang hilang
- Deformitas dinding dada yang berat atau Perlu intervensi bersamaan
skoliosis Terdapat penyakit aorta asenden dengan indikasi
- Kalsifikasi Aorta (Porcelain Aorta) untuk operasi bedah jantung secara bersamaan

D .Intervensi Koroner Perkutan pada Sindroma Koroner Akut

D.1..Revaskularisasi pada pasien IMA-NEST


D.1.1.Strategi revaskularisasi pada pasien IMA-NEST
Stategi revaskularisasi invasif pada pasien IMA-NEST berdasrkan stratifikasi risiko
seperti pada tabel 9 . Strategi ini memungkinkan diagnosis PJK, identifikasi lesi culprit, panduan
penggunaan antitrombotik, dan penilaian kelayakan anatomi koroner untuk IKP atau BPAK yang
lebih awal. Penggunaan strategi invasif secara rutin telah menunjukan luaran klinis yang lebih
baik terutama pada pasien dengan peningkatan biomarker dan pasien risiko tinggi.
Rekomendasi saat ini untuk waktu angiografi dan intervensi pada pasien IMA-NEST
dapat dilihat pada gambar 1.Strategi invasif awal ini dapat menurunan kejadian iskemia rekuren
dan refrakter, serta mengurangi durasi rawat inap . Sebuah meta analisis menunjukan penurunan
mortalitas pada strategi invasif yang dilakukan lebih awal pada pasien IMA-NEST.

Tabel 9. Kriteria risiko untuk menentukan strategi invasif pada IMA-NEST


22
Risiko sangat tinggi
• Instabilitas hemodinamik atau syok kardiogenik
• Nyeri dada yang rekuren/sedang berlangsung yang refrakter terhadap pengobatan
• Aritmia mengancam nyawa atau henti jantung
• Komplikasi mekanik dari IM
• Gagal jantung akut
• Perubahan gelombang ST-T yang dinamis rekuren, terutama dengan elevasi ST
intermiten
RIisiko tinggi
• Diagnosis infark miokard akut non elevasi ST berdasarkan troponin jantung
• Perubahan gelombang-ST/T( simptomatik atau asimtomatik)
• Skor Grace >140
Risiko sedang
• Diabetes mellitus atau insufisiensi ginjal
• Fraksi ejeksi LV
• Diagnosis infark miokard akut non elevasi ST berdasarkan troponin jantung
• Perubahan gelombang ST/T( simptomatik atau asimtomatik)
• Skor Grace >140
Risiko ringan
• Karakteristik lain yang tidak disebutkan diatas

Gambar 3: Pemilihan strategi terapi dan waktu berdasarkan stratifikasi risiko pada IMA –NEST

23
D.1.2.Aspek teknis dan srategi intervensi koroner perkutan pada pasien IMA-NEST

Penggunaan DES generasi baru dan pendekatan radialis adalah standar pelayanan saat ini.
DAPT. Pemberian terapi antiplatelet ganda direkomendasikan selama 12 bulan terlepas dari jenis
sten, sementara pada pasien dengan risiko iskemik tinggi yang tidak mengalami perdarahan,
durasi pemberian dapat diperpanjang. Tidak ada bukti untuk manfaat tambahan dari trombektomi
pada pasien yang menjalani IKP pada IMA-NEST. Walaupun FFR dianggap sebagai standar
baku emas invasif untuk penilaian fungsional keparahan lesi pada PJK stabil, penggunaannya
pada pasien IMA-NEST multivessel telah terbukti layak, dapat diandalkan, aman, dan efektif,
meskipun nilai prognostiknya belum jelas. Revaskularisasi lengkap dari lesi yang signifikan
harus dicoba pada pasien IMA-NEST multivessel mengingat prognosis yang lebih buruk pada
pasien dengan revaskularisasi yang tidak komplit. Selain itu, revaskularisasi komplit yang
dilakukan satu tahap memiliki hasil klinis yang lebih baik daripada yang dilakukan secara
bertahap. Penatalaksanaan secara rutin lesi non-culprit selama IKP, berbahaya pada pasien IMA-
NEST dengan syok kardiogenik, hal ini ditunjukan dari studi Culprit Lesion Only PCI versus
Multivessel PCI in Cardiogenic Shock (CULPRIT-SHOCK).

D.1.3.Pemilihan strategi revaskularisasi


Sekitar 5-10% pasien IMA-NEST perlu dilakukan prosedur BPAK dan waktu optimal
untuk melakukan BPAK elektif pada pasien harus ditentukan secara individual. Belum ada RCT
yang membandingan antara IKP dan BPAK pada pasien spesifik IMA-NEST.
Bukti yang ada saat ini menunjukkan bahwa kriteria pemilihan modalitas revaskularisasi
yang diterapkan pada pasien dengan PJK stabil, dapat diterapkan pada pasien IMA-NEST yang
telah aman. Untuk kasus yang kompleks, diskusi tim jantung dengan penggunaan skor SYNTAX
direkomendasikan. Pada pasien dengan multivessel dan diabetes, berbagai sumber literatur
menunjukan manfaat yang lebih besar dari revaskularsiasi dengan BPAK dibandingkan dengan
IKP.

Tabel 10. Rekomendasi untuk evaluasi invasif dan revaskularisasi pada pasien IMA-NEST
Rekomendasi Kelas Level
Strategi invasif segera (<2 jam) direkomendasikan pada pasien dengan I C
risiko iskemik yang sangat tinggi
Strategi invasif dini (<24 jam) direkomendasikan pada pasien dengan
I A
setidaknya satu kriteria risiko tinggi
Strategi invasif (<72 jam setelah awitan) diindikasikan pada pasien I A
dengan setidaknya satu kriteria risiko sedang atau gejala berulang

24
Direkomendasikan untuk mendasarkan strategi revaskularisasi (IKP lesi I B
tersangka ad hoc, IKP / BPAK multivessel) berdasarkan status klinis dan
komorbiditas, serta derajat keparahan penyakit. ( distribusi dan
karakteristik lesi secara angiografis, misalnya menggunakan skor
SYNTAX), sesuai dengan prinsip revaskularisasi pada PJK stabil

Strategi invasif selektif, yaitu pada pasien tanpa gejala rekuren dan tidak I A
memiliki kriteria pada tabel 1, dianggap memiliki risiko rendah kejadian
iskemik. Direkomendasikan untuk dilakukan tes stress non-invasif
(dengan pencitraan) untuk identifikasi inducible ischemia
Pada syok kardiogenik, revaskularisasi rutin lesi non-IRA tidak III B
dianjurkan selama IKP primer

D.2.Revaskularisasi pada pasien IMA-EST


D.2.1.Keterlambatan Waktu
Keterlambatan pelaksanaan terapi reperfusi tepat waktu adalah masalah utama dalam tata laksana
pasien STEMI. Berdasarkan hasil studi Feedback Intervention and Treatment Times in ST-
Elevation(FITT-STEMI) pada pasien IMA-EST dalam keadaan syok, setiap keterlambatan 10
menit pada 60-180 menit dari kontak medis pertama menghasilkan 3,3 kematian per 100 pasien
yang di IKP dan 1,3 kematian setelah henti jantung di luar rumah sakit tanpa syok kardiogenik.
Pada pasien STEMI yang stabil 0,3 kematian per 100 pasien yang di IKP untuk setiap 10 menit
keterlambatan, antara 60-180 menit dari kontak medis pertama.31

D.2.2.Pemilihan strategi reperfusi


Strategi reperfusi pada kasus IMA-EST sangat bergantung pada waktu dan dapat dilihat pada
gambar 4.32 Dalam kondisi di mana IKP primer tidak dapat dilakukan tepat waktu, fibrinolisis
harus diberikan sesegera mungkin dalam waktu 10 menit dari diagnosis IMA-EST. Jika kontak
medis pertama di luar rumah sakit, lisis harus dilakukan pra-rumah sakit (misalnya dalam
ambulans) lalu harus diikuti dengan transfer ke pusat-pusat yang mampu IKP untuk angiografi
koroner dan harus dilakukan tanpa penundaan untuk IKP rescue dalam kasus fibrinolisis yang
gaga(resolusi segmen ST<50% dalam waktu 60-90 menit, perburukan iskemia atau nyeri dada
persisten) atau dalam rentang 2-24 jam setelah pemberian bolus.32 BPAK darurat dapat
diindikasikan pada pasien IMA-EST tertentu yang kondisinya tidak layak untuk menjalani IKP.

25
Gambar 4:Alur pemilihan strategi reperfusi untuk pasien IMA-EST

D.2.3 .Intervensi koroner perkutan primer pada pasien IMA-EST


Intervensi koroner perkutan primer merupakan IKP emergensi dengan balloon, stent atau
alat lainnya yang dikerjakan pada arteri yang infark (infarct-related artery IRA) tanpa terapi
fibrinolitik sebelumnya. IKP primer adalah terapi reperfusi pilihan apabila dapat dilakukan
dalam waktu 120 menit dari kontak medis pertama. IKP primer tetap diindikasikan pada pasien
dengan gagal jantung akut yang berat atau syok kardiogenik, kecuali bila diperkirakan pemberian
IKP akan tertunda lama dan apabila pasien datang denganw awitan gejala yang sudah lama.
Tidak disarankan untuk melakukan IKP secara ruti pad aarteri yang telah tersumbat total lebih
dari 24 jam setelah awitan gejala pada pasien stabil tanpa gejala iskemia, baik yang telah maupun
belum mendapatkan terapi fibrinolitik. Bila pasien tidak memiliki kontraindikasi terhadap
terapiantiplatelet ganda dan kemungkinan dapat patuh terhadap pengobatan, lebih disarankan
menggunakan drug-eluting stent(DES) dari pada bare metal stents(BMS).32
Sebagian besar hasil penelitian mendukung dilakukannya revaskularisasi komplit baik
selama masa inap di rumah sakit untuk IMA-EST atau secara admisi bertahap, tetapi masih
harus ditentukan bagaimana cara mengidentifikasi lesi yang harus direvaskularisasi di luar lesi
culprit dan apakah revaskularisasi komplit harus dilakukan satu tahap atau secarabertahap. Saat
ini, IKP multivessel satu tahap pada IMA-EST tanpa syok kardiogenik harus dipertimbangkan
pada pasien dengan penyempitan multipel, penyempitan yang kritis atau lesi yang sangat tidak
stabil (pada angiografis terdapat tanda-tanda kemungkinan disrupsi thrombus atau lesi), dan jika
terdapat iskemia yang persisten setelah IKP dilakukan pada lesi culprit. IKP spesifik lesi culprit
direkomendasikan sebagai strategi utama pada pasien dengan IMA dengan syok kardiogenik.
Masalah keselamatan pasien dari tindakan aspirasi thrombus yaitu adanya peningkatan risiko

26
stroke ditunjukan dalam studi TOTAL (Trial of Routine Aspiration Thrombectomy with PCI
versus PCI Alone in Patients with STEMI), sehingga tindakan aspirasi trombus secara rutin tidak
diindikasikan.1,32

Tabel 11. Rekomendasi indikasi untuk IKP pada pasien IMA-EST


Rekomendasi Kelas Level
Terapi reperfusi diindikasikan pada semua pasien dengan elevasi segmen I A
ST persisten dan waktu dari onset gejala <12 jam
Apabila tidak terdapat peningkatan segmen ST, strategi IKP primer I C
diindikasikan pada pasien dengan dugaan gejala iskemik yang sedang
berlangsung yang mengarah ke IMA dengan setidaknya satu dari kriteria
berikut :
• Instabilitas hemodinamik atau syok kardiogenik
• Nyeri dada yang sedang berlangsung/ rekuren yang refrakter
pengobatan medis
• Aritmia yang mengancam nyawa atau henti jantung
• Komplikasi mekanik dari IM
• Gagal jantung akut
• Perubahan segmen ST atau gelombang T yang dinamis rekuren,
terutama dengan elevasi ST intermiten
Strategi IKP primer lebih diutamakan dari fibrinolitik dalam rentang waktu I A
yang diindikasikan
Pada pasien dengan waktu mulai dari awitan gejala > 12 jam, strategi IKP I C
primer diindikasikan dengan adanya gejala atau tanda yang menunjukkan
iskemia, ketidakstabilan hemodinamik, atau aritmia yang mengancam
nyawa yang sedang berlangsung.
Strategi IKP primer harus dipertimbangkan pada pasien yang datang IIa B
terlambat (12-48 jam) setelah awitan gejala

D.2.4.Intervensi Koroner Perkutan primer setelah trombolisis dan pada pasien dengan
keterlambatan diagnosis
Manfaat dari IKP dini secara rutin setelah trombolisis yaitu tidak adanya peningkatan
risiko efek samping seperti stroke atau perdarahan hebat. Berdasarkan data dari empat penelitian
terbaru, yang semuanya memiliki median keterlambatan antara awal trombolisis dan angiografi
2–6 jam, dalam rentang waktu 2–24 jam, setelah terapi lisis yang berhasil, revaskularisasi dengan
IKP dapat direkomendasikan. Pada kasus fibrinolisis yang gagal, atau jika ada bukti re-oklusi
atau re-infark dengan peningkatan segmen ST rekuren, pasien harus segera menjalani angiografi
koroner dan IKP rescue. Pasien yang datang antara 12 - 48 jam setelah timbulnya gejala,
meskipun sudah bebas nyeri dan dengan kondisi hemodinamik yang stabil, masih mungkin
mendapatkan manfaat dari angiografi koroner dan IKP.32 Pada pasien yang datang beberapa hari
27
setelah kejadian IMA, hanya pasien dengan angina berulang atau iskemia residual dan dengan
area miokard yang viabel luas dari hasil pencitraan non-invasif, dapat dipertimbangkan untuk
revaskularisasi ketika arteri yang infark oklusi. IKP akhir secara rutin dari infarct related artery
IRA yang oklusi setelah IMA pada pasien yang stabil , tidak memiliki tambahan manfaat
dibandingkan terapi medis.1

Tabel 12. Rekomendasi aspek prosedural IKP primer pada pasien IMA-EST
Rekomendasi Kelas Level
IKP primer dilakukan pada lesi IRA I A
Pemasangan stent direkomendasikan untuk IKP primer I A
Akses radial merupakan pendekatan IKP yang dipilih I A
Revaskularisasi rutin lesi non-IRA harus dipertimbangkan pada pasien IIa A
dengan penyakit multivessel sebelum pulang dari rumah sakit.
BPAK harus dipertimbangkan pada pasien dengan iskemia yang sedang IIa C
berlangsung dan area yang luas dari miokardium yang terancam jika IKP
dari IRA tidak dapat dilakukan.
Pada syok kardiogenik, revaskularisasi rutin lesi non-IRA tidak dianjurkan III B
selama IKP primer.
Penggunaan rutin dari aspirasi thrombus tidak direkomendasikan III A

E. Intervensi Koroner Perkurtan Pada Pasien Gagal Jantung


E.1. Gagal Jantung Kronik
Ketika dibandingkan dengan terapi medikamentosa saja, revaskularisasi koroner memberikan
manfaat lebih baik dalam meningkatkan kesintasan pasien gagal jantung akibat iskemia.33 Pilihan
strategi revaskularisasi antara IKP dan BPAK harus diputuskan oleh tim dokter, berdasarkan
keadaan klinis dan anatomi koroner pasien. IKP lebih dipertimbangkan pada pasien yang lebih
tua tanpa diabetes dan revaskularisasi komplit dapat dicapai. BPAK lebih dipilih pada pasien
muda dengan PJK ekstensif atau pada pasien diabetes. Pada pasien diabtetes dengan penurunan
fraksi ejeksi sedang-berat(EF <50%) dimana BPAK memberikan kesintasan yang lebih baik dan
memiliki insidensi MACCE yang lebih rendah.34-36

Tabel 13. Rekomendasi Revaskularisasi pada Pasien dengan Gagal Jantung Kronik dan
Disfungsi Sistolik Ventrikel Kiri (Fraksi Ejeksi ≤35%)
Rekomendasi Kelas Level
Revaskularisasi miokard direkomendasikan pada pasien dengan I B
disfungsi sistolik ventrikel kiri berat dan penyakit jantung koroner
yang memenuhi kriteria intervensi
BPAK direkomendasikan sebagai strategi revaskularisasi utama pada I B
pasien multivessel disease dengan risiko operasi yang dapat diterima

28
Pada pasien dengan satu atau dua lesi arteri koroner, IKP dapat IIa C
dipertimbangkan sebagai alternatif dari BPAK apabila revaskulariasi
komplit dapat dicapai
Pada pasien dengan tiga lesi arteri koroner, IKP harus IIa C
dipertimbangkan berdasarkan evaluasi tim dokter, anatomi koroner,
kemungkinan revaskularisasi secara komplit, status diabetes, dan
komorbiditas lain.

E.2 Gagal Jantung Akut dan Syok Kardiogenik


E.2.1 Strategi Revaskularisasi
Studi SHOCK (Should We Emergently Revascularize Occluded Coronaries for
Cardiogenic Shock) menunjukan bahwa pasien SKA dengan komplikasi syok kardiogenik,
revaskularisasi emergensi dengan IKP atau BPAK meningkatkan kesintasan jangka panjang
dibandingkan dengan terapi medikamentosa intensif. All cause mortality setelah 6 bulan lebih
rendah pada kelompok yang mendapat revaskularisasi dibandingkan dengan pasien yang hanya
mendapatkan medikamentosa (50,3% vs 63,1%)37 Subanalisis dari studi ini juga meunjukan
strategi revaskularisasi BPAK pada pasien dengan syok kardiogenik dan memiliki anatomi yang
memnuhi kriteria intervensi, terutama apabila IKP tidak akan memiliki hasil optimal.38

E.2.2 Bantuan Sirkulasi Mekanis (Intra-aortic balloon pump (IABP))


Alat Bantuan Sirkulasi Mekanis (Mechanical Circulatory Support, MCS) dalam jangka pendek
dapat dipertimbangkan pada pasien syok kardiogenik tergantung umur pasien, komorbiditas,
fungsi neurologis, dan angka harapan hidup jangka panjang serta kualitas hidup. Salah satu alat
MCS yang digunakan di Indonesia adalah intraaortic balloon pump (IABP). IABP berguna
untuk meningkatkan cardiac output, perfusi koroner dan serebral serta menurunkan beban
jantung.1 Review Cochrane terbaru terhadap 7 studi (790 pasien) menunjukan bahwa IABP
memiliki manfaat terhadap beberapa parameter hemodinamik namun tidak memiliki manfaat
terhadap kesintasan.39 Oleh karena itu, pemakaian IABP secara rutin pada pasien dengan syok
kardiogenik pada infark miokard tidak direkomendasikan.

Tabel 14. Rekomendasi Penanganan Pasien dengan Syok Kardiogenik


Rekomendasi Kelas Level
Angiografi koroner emergensi merupakan indikasi pada pasien
I B
SKA dengan komplikasi gagal jantung akut atau syok kardiogenik
Jika anatomi koroner memenuhi kriteria revaskularisasi, maka IKP I B
emergensi terhadap lesi culprit merupakan indikasi pada pasien
syok kardiogenik akibat IMA-EST atau IMA-NEST tanpa melihat
waktu dari awitan gejala.
BPAK direkomendasikan untuk pasien dengan syok kardiogenik I B
apabila anatomi arteri koroner tidak sesuai kriteria untuk IKP

29
Pada pasien SKA tertentu dan syok kardiogenik, MCS jangka IIb C
pendek dapat dipertimbangkan berdasarkan umur pasien,
komorbiditas, fungsi neurologis, dan kesintasan jangka panjang
serta kualitas hidup.
Penggunaan IABP secara rutin pada pasien syok kardiogenik akibat III B
SKA tidak direkomendasikan.

F. Intervensi Koroner Perkutan pada Diabetes Mellitus


F.1.Pemilihan strategi revakularisasi
Prevalensi diabetes mellitus pada pasien SKA adalah sebesar 25-30% dan 40% pada
pasien yang menjalani BPAK. Pasien diabetes cenderung memiliki lesi LM, PJK multivessel ,
lesi lebih panjang dan sering melibatkan pembuluh darah arteri koroner kecil secara
angiografis.40 Bahkan, beberapa pasien diabetes memiliki atherosklerosis luas dan peningkatan
lipid-rich plaque, sehingga mudah ruptur dan terbentuk thrombus. Risiko gagal ginjal akut akan
lebih tinggi pada pasien diabetes mellitus yang menjalani strategi revaskularisasi baik dengan
BPAK ataupun IKP.1
Penelitian SYNTAX menunjukkan bahwa kebutuhan untuk revaskularisasi ulang lebih
sering pada pasien dengan diabetes yang diiakukan IKP dibandingkan kelompok yang menjalani
BPAK. Pasien dengan diabetes memiliki tingkat revaskularisasi ulang yang lebih tinggi setelah
IKP dibandingkan BPAK, sebanyak (38,5 vs 18,5%) pada skor SYNTAX rendah dan (27 vs
13,4%), pada SYNTAX skor ringan-sedang.41 Sebuah meta analisis yang terdiri dari 4 RCT
dengan total 3052 pasien, membandingkan IKP dengan DES generasi awal dengan BPAK pada
pasien diabetes dan PJK multivessel, menunjukan risiko kematian dan kejadian IM lebih tinggi
(RR:1.51, 95% CI:1.09-2.10), namun kejadian stroke lebih rendah(2.3 vs 3.8%) pada kelompok
IKP dengan DES generasi awal.42 Berbagai studi terbaru yang ada menunjukan BPAK adalah
pilihan utama strategi revaskularisasi pada pasien diabetes mellitus dan multivessel. Ketika
pasien memiliki penyakit penyerta yang dapat meningkatkan resiko operasi, maka keputusan
pemilihan strategi revaskularisasi harus diputuskan oleh tim dokter.1
F.2.Pemberian metformin
Penggunaan metformin pada pasien yang akan menjalani IKP elektif, perlu ditunda
selama 48 jam sebelum IKP dan diberikan setelah 48 jam, karena adanya risiko asidosis laktat
dan penurunan fungsi ginjal akibat interaksi dengan kontras.1,43 Penegakan diagnosis untuk
asidosis laktat terkait metformin yaitu berdasarkan pH arteri <7,35, kadar laktat darah > 5 mmol /
L (45 mg / dL), serta konsentrasi metformin plasma yang terdeteksi, dan kondisi ini merupakan
indikasi untuk hemodialisa.

Tabel 15. Rekomendasi intervensi koroner pada pasien dalam konsumsi metformin
Rekomendasi Kelas Level
Direkomendasikan untuk mengecek fungsi ginjal jika pasien telah
mengonsumsi menformin sebelum angiografi dan pemberian I C

30
metforim ditunda jika fungsi ginjal memburuk

G. Intervensi Koroner Perkutan pada Pasien dengan Penyakit Ginjal Kronis


Pada tindakan IKP pasien gagal ginjal kronik (PGK) terutama pada PGK stadium 3 atau
lebih tinggi, pencegahan nefropati akibat penggunaan zat kontras (contrast-induced
nephropathy/CIN) adalah prioritas utama.1 Faktor risiko CIN yaitu PGK, diabetes mellitus,
penyakit jantung kongesti, instabilitas hemodinamik, perempuan, penurunan volume plasma,
anemia, usia lanjut, perdarahan periprosedur, dan tipe serta volume kontras yang digunakan. 44-50
Risiko CIN meningkat signifikan apabila rasio volume total kontras dengan laju filtrasi
glomerulus (GFR, dalam ml/min) melebih 3,7.49,50
Berdasarkan pedoman revaskularisasi ESC/EACTS 2018 pencegahan utama terhadap
CIN adalah pemberian cairan yang adekuat. Statin dosis tinggi juga memiliki manfaat dalam
pencegahan CIN. Sedangkan strategi lain masih belum memiliki bukti kuat untuk mencegah
CIN.1
Tabel 16. Rekomendasi pencegahan contrast-induced nephropathy
Rekomendasi Dosis Kelas Level
Pasien yang menjalani angiografi koroner atau MSCT
Penilaian risiko nefropati akibat zat kontras I C
direkomendasikan
Pemberian cairan adekuat direkomendasikan I C

Pasien dengan gangguan ginjal sedang atau berat (National Kidney Foundation stadium 3b
dan 4)
Direkomendasikan untuk menggunakan zat I A
kontras hipo-osmolar atau iso-osmolar
Direkomendasikan untuk menggunakan volume (Total volume I B
media kontras seminimal mungkin kontras/GFR <3.7)
Pada pasien dalam pengobatan statin, pemberian Dosis Rosuvastatin IIa A
dosis tinggi sebelum tindakan harus 40/20 mg atau
dipertimbangkan atorvastatin 80 mg

Pemberian cairan sebelum dan setelah tindakan 1 mL/kg/jam selama IIa C


menggunakan larutan NaCL isotonik intravena 12 jam sebelum dan
harus dipertimbangkan jika volume kontras dilanjutkan 24 jam
diperkirakan melebihi 100mL setelah prosedur (0,5
mL/kg/jam jika
LVEF≤35% atau
NYHA>2)

Pasien dengan PGK berat (National Kidney Foundation stadium 4)


Hemodialisis profilaksis 6 jam sebelum IKP yang Penggantian cairan IIb B
kompleks dapat dipertimbangkan dengan laju 1L/jam
31
dengan balans cairan
seimbang dan
pemberian NaCL
dilanjutkan sampai
24 jam setelah
prosedur
Hemodialisis rutin sebagai tindakan preventif III B
tidak direkomendasikan

H. Intervensi Koroner Perkutan pada Aritmia


H.1 Arimita ventrikular
Revaskularisasi pada pasien dengan fungsi ventrikel normal atau sedikit berkurang dapat
mengurangi kejadian aritmia ventrikel. Sedangkan pada pasien PJK dan fraksi ejeksi ≤35%,
revaskularisasi dapat menurunkan risiko henti jantung mendadak. Semua manfaat tersebut
ditunjukkan dari hasil studi MADIT II (Multicenter Automatic Defibrillator Implantation Trial
II) dan studi SCDHEFT (Sudden Cardiac Death in Heart Failure Trial).51,52
Electrical storm adalah sindrom yang mengancam nyawa yang berkaitan dengan aritmia
ventrikel yang terjadi terus menerus, dan paling sering pada pasien dengan penyakit jantung
iskemik, gagal jantung sistolik lanjut, penyakit katup, penyakit jantung bawaan terkoreksi serta
kelainan genetik seperti sindrom Brugada, early repolarization dan long QT syndrome.53
Angiografi koroner dan revaskularisasi segera, harus dipertimbangkan pada kelompok pasien ini
disertai terapi obat antiaritmia dan / atau ablasi.
Diperkirakan sekitar 70% yang selamat dari henti jantung mendadak di luar rumah sakit
menderita PJK dan setengahnya memilki oklusi koroner akut.54 Angiografi emergensi dan
dilanjutkan dengan IKP jika diperlukan, dari berbagai studi non RCT dan studi observasional
menunjukkan penurunan mortalitas pada pasien henti jantung mendadak di luar rumah sakit,
terlepas dari pola EKG jika tidak ada penyebab aritmia non jantung yang jelas.55

Tabel 17. Rekomendasi revaskularisasi untuk pencegahan aritmia ventrikel


Rekomendasi (ESC) Kelas Level
Strategi IKP primer direkomendasikan untuk pasien IMA-EST dengan henti I B
jantung
Pada pasien henti jantung tanpa elevasi segmen ST diagnostik, Angiografi IIa C
segera (dan IKP jika indikasi) harus dipertimbangkan jika kecurigaan iskemi
miokard tinggi.
Pada pasien dengan electrical storm angiografi koroner segera dan IIa C
revaskularisasi(sesuai kebutuhan) harus dipertimbangkan.

H.2 Aritmia Atrial


AF onset baru pada pasien yang menjalani IKP terjadi pada 2-6% dan meningkat dengan
kondisi bertambahnya usia, gagal jantung sebelumnya, IMA, dan hipertensi.56 AF onset baru
32
didefinisikan sebagai perubahan dari irama sinus saat masuk, menjadi AF selama / setelah IKP
dan biasanya terjadi selama 4 hari pertama setelah IMA serta berhubungan dengan perburukan
prognosis dan peningkatan risiko dua kali lipat terhadap kematian, gagal jantung kongesti, dan
stroke.57 Penggunaan obat antikoagulan oral untuk mencegah stroke pada pasien yang mengalami
AF selama/setelah IKP mengikuti Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium dari PERKI tahun
2014. Kombinasi dan durasi penggunaan antikoagulan dan antiplatelet perlu dievaluasi
berdasarkan kondisi klinis mengikuti panduan ESC 2017 tentang pemberian terapi antiplalet
ganda.1

Tabel 18. Rekomendasi untuk pencegahan dan tata laksana fibrilasi atrium dalam kasus
revaskularisasi miokard
Rekomendasi Kelas Level
Pemberian antikoagulan jangka panjang pada pasien AF pasca IKP diberikan IIa B
dengan pertimbangan risiko stroke dan risiko perdarahan
Obat antiaritmia harus diberikan pada pasien simtomatik AF pasca IKP dengan IIa C
tujuan untuk mengembalikan irama sinus

33
BAB 4
SIMPULAN DAN REKOMENDASI

Demikian pedoman ini dibuat dengan harapan dapat dijadikan penuntun dalam praktek
klinik sehari-hari. Hal-hal yang masih memerlukan perbaikan atau pemutakhiran berdasarkan
hasil penelitian yang terbaru akan terus dilakukan. Konsultasi di antara teman sejawat akan lebih
mempermudah penerapan pedoman ini.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Neumann F-J, Sousa-Uva M, Ahlsson A, et al. 2018 ESC/EACTS Guidelines on myocardial


revascularization. Eur Heart J. 2018:1-96.

2. Douglas PS, Pontone G, Hlatky MA, et al: PLATFORM Investigators. Clinical outcomes of
fractional flow reserve by computed tomographic angiography-guided diagnostic strategies vs.
usual care in patients with suspected coronary artery disease: The prospective longitudinal trial
of FFR(CT): Outcome and resource impacts study. Eur Heart J 2015;36:3359–3367

3. Bonow RO, Maurer G, Lee KL, Holly TA, et al ; STICH Trial Investigators. Myocardial
viability and survival in ischemic left ventricular dysfunction. N Engl J Med 2011;364: 1617–
1625.

4.Davies JE, Sen S, Dehbi HM, Al-Lamee R, et al. Use of the instantaneous wave-free ratio or
fractional flow reserve in PCI. N Engl J Med 2017;376:1824–1834.

5. Gotberg M, Christiansen EH, Gudmundsdottir IJ, et al, iFRSWEDEHEART. Investigators.


Instantaneous wave-free ratio versus fractional flow reserve to guide PCI. N Engl J Med
2017;376:1813–1823.

6.Tonino PA, De Bruyne B, Pijls NH, et al ; FAME Study Investigators. Fractional flow reserve
versus angiography for guiding percutaneous coronary intervention. N Engl J Med 2009;
360:213–224.

7.Davies JE, Sen S, Dehbi HM, et al. Use of the instantaneous wave-free ratio or fractional flow
reserve in PCI. N Engl J Med 2017;376:1824–1834.

8.Gotberg M, Christiansen EH, Gudmundsdottir IJ, et al, iFRSWEDEHEART Investigators.


Instantaneous wave-free ratio versus fractional flow reserve to guide PCI. N Engl J Med
2017;376:1813–1823.

9.Waksman R, Legutko J, Singh J, et al. FIRST: Fractional Flow Reserve and Intravascular
Ultrasound Relationship Study. J Am Coll Cardiol 2013;61:917–923.

10. Nerlekar N, Cheshire CJ, Verma KP,et al. Intravascular ultrasound guidance improves
clinical outcomes during implantation of both first- and second-generation drug-eluting stents: A
meta-analysis. EuroIntervention 2017;12:1632–1642.

35
11. Buccheri S, Franchina G, Romano S, et al. Clinical outcomes following intravascular
imaging-guided versus coronary angiography-guided percutaneous coronary intervention with
stent implantation: A systematic review and Bayesian network meta-analysis of 31 studies and
17,882 patients. JACC Cardiovasc Interv 2017;10:2488–2498.

12.Park SJ, Kim YH, Park DW, Lee SW,et al; MAIN-COMPARE Investigators. Impact of
intravascular ultrasound guidance on long-term mortality in stenting for unprotected left main
coronary artery stenosis. Circ Cardiovasc Interv 2009;2:167–177.

13. Fassa AA, Wagatsuma K, Higano ST, et al. Intravascular ultrasound-guided treatment for
angiographically indeterminate left main coronary artery disease: A long-term followup study. J
Am Coll Cardiol 2005;45:204–211.

14. de la Torre Hernandez JM, Hernandez Hernandez F, Alfonso F, et al. LITRO Study Group.
Prospective application of pre-defined intravascular ultrasound criteria for assessment of
intermediate left main coronary artery lesions results from the multicenter LITRO study. J Am
Coll Cardiol 2011; 58:351–358.

15. Park SJ, Ahn JM, Kang SJ, et al. Intravascular ultrasound-derived minimal lumen area
criteria for functionally significant left main coronary artery stenosis. JACC Cardiovasc Interv
2014;7:868–874.

16. Alfonso F, Dutary J, Paulo M, et al. Combined use of optical coherence tomography and
intravascular ultrasound imaging in patients undergoing coronary interventions for stent
thrombosis. Heart 2012;98: 1213–1220.

17. Kang SJ, Mintz GS, Akasaka T, et al. Optical coherence tomographic analysis of instent
neoatherosclerosis after drug-eluting stent implantation. Circulation 2011;123:2954–2963.

18. Malle C, Tada T, Steigerwald K, et al. Tissue characterization after drug-eluting stent
implantation using optical coherence tomography. Arterioscler Thromb Vasc Biol
2013;33:1376–1383.

19. Brophy JM, Belisle P, Joseph L. Evidence for use of coronary stents. A hierarchical bayesian
meta-analysis. Ann Intern Med 2003;138:7777–7786.

20. Tada T, Byrne RA, Simunovic I, et al. Risk of stent thrombosis among bare-metal stents,
first-generation drug-eluting stents, and second-generation drug-eluting stents: Results from a
registry of 18,334 patients. JACC Cardiovasc Interv 2013;6:1267–1274.

36
21. Raber L, Magro M, Stefanini GG, et al. Very late coronary stent thrombosis of a newer-
generation everolimus-eluting stent compared with early-generation drug-eluting stents: A
prospective cohort study. Circulation 2012;125:1110–1121.

22 .Byrne RA, Serruys PW, Baumbach A, et al. Report of a European Society of Cardiology
European Association of Percutaneous Cardiovascular Interventions task force on the evaluation
of coronary stents in Europe: Executive summary. Eur Heart J 2015;36:2608–2620.

23. Sorrentino S, Giustino G, Mehran R, Kini AS, Sharma SK, Faggioni M, Farhan S, Vogel B,
Indolfi C, Dangas GD. Everolimus-eluting bioresorbable scaffolds versus everolimus-eluting
metallic stents. J Am Coll Cardiol 2017;69:3055–3066.

24. Montone RA, Niccoli G, De Marco F, Minelli S, D’Ascenzo F, Testa L, Bedogni F, Crea F.
Temporal trends in adverse events after everolimus-eluting bioresorbablem vascular scaffold
versus everolimus-eluting metallic stent implantation: A meta-analysis of randomized controlled
trials. Circulation 2017;135: 2145–2154.

25. Latib A, Colombo A, Castriota F,et al. A randomized multicenter study comparing a
paclitaxel drug-eluting balloon with a paclitaxel-eluting stent in small coronary vessels: The
BELLO (Balloon Elution and Late Loss Optimization) study. J Am Coll Cardiol 2012;60:2473 -
80.

26. Cortese B, Micheli A, Picchi A, Coppolaro A, Bandinelli L, Severi S, Limbruno U.


Paclitaxel-coated balloon versus drug-eluting stent during PCI of small coronary vessels, a
prospective randomised clinical trial. The PICCOLETO study. Heart 2010;96:1291-6.

27. Abdel-Wahab M, Richardt G, Joachim Buttner H Toelg, et al. High-speed rotational


atherectomy before paclitaxel-eluting stent implantation in complex calcified coronary lesions:
The randomized ROTAXUS (Rotational Atherectomy Prior to Taxus Stent Treatment for
Complex Native Coronary Artery Disease) trial. JACC Cardiovasc Interv 2013;6:10–19.

28. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. Panduan Evaluasi dan Kriteria
Revaskularisasi pada Angina Pektoralis Stabil.2018

29.Sianos G, Morel M-A, Kappetein AP, et al. The SYNTAX Score: an angiographic tool
grading the complexity of coronary artery disease. EuroIntervention. 2005.

30.Song Y, Gao Z, Tang X, et al. Usefulness of the SYNTAX score II to validate 2-year
outcomes in patients with complex coronary artery disease undergoing percutaneous coronary
intervention: A large single-center study. Catheter Cardiovasc Interv. 2017;(July 2017):40-47.

37
31. Scholz KH, Maier SKG, Maier LS, et al. Impact of treatment delay on mortality in ST-
segment elevation myocardial infarction (STEMI) patients presenting with and without
haemodynamic instability: Results from the German prospective, multicentre FITT-STEMI trial.
Eur Heart J 2018;39:1065–1074.

32.Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. Pedoman Tata Laksana Sindrom


Koroner Akut.2018

33. Velazquez EJ, Lee KL, Jones RH, et al; STICHES Investigators. Coronary-artery bypass
surgery in patients with ischemic cardiomyopathy. N Engl J Med 2016;374:1511–20.

34.Wolff G, Dimitroulis D, Andreotti F. Survival benefits of invasive versus conservative


strategies in heart failure in patients with reduced ejection fraction and coronary artery disease: A
meta-analysis. Circ Heart Fail 2017;10:e003255.

35. Wrobel K, Stevens SR, Jones RH. Influence of baseline characteristics, operative conduct,
and postoperative course on 30-day outcomes of coronary artery bypass grafting among patients
with left ventricular dysfunction: Results from the Surgical Treatment for Ischemic Heart Failure
(STICH) Trial. Circulation 2015;132:720–730.

36. Bangalore S, Guo Y, Samadashvili Z, Blecker S, Hannan EL. Revascularization in patients


with multivessel coronary artery disease and severe left ventricular systolic dysfunction:
Everolimus-eluting stents versus coronary artery bypass graft surgery. Circulation
2016;133:2132-40.

37. Hochman JS, Sleeper LA, Webb JG. Early revascularization in acute myocardial infarction
complicated by cardiogenic shock. SHOCK Investigators. Should We Emergently Revascularize
Occluded Coronaries for Cardiogenic Shock. N Engl J Med 1999;341:625–634.

38. White HD, Assmann SF, Sanborn TA, et al. Comparison of percutaneous coronary
intervention and coronary artery bypass grafting after acute myocardial infarction complicated
by cardiogenic shock: Results from the Should We Emergently Revascularize Occluded
Coronaries for Cardiogenic Shock (SHOCK) trial. Circulation 2005;112:1992–2001

39. Unverzagt S, Buerke M, de Waha A, et al. Intra-aortic balloon pump counterpulsation


(IABP) for myocardial infarction complicated by cardiogenic shock. Cochrane Database Syst
Rev 2015;3:CD007398.

40. Ledru F, Ducimetiere P, Battaglia S, Courbon D, Beverelli F, Guize L, Guermonprez JL,


Diebold B. New diagnostic criteria for diabetes and coronary artery disease: Insights from an
angiographic study. J Am Coll Cardiol 2001;37:1543–1550.

38
41. Kappetein AP, Head SJ, Morice MC, Banning AP, Serruys PW, Mohr FW, Dawkins KD,
Mack MJ, Investigators S. Treatment of complex coronary artery disease in patients with
diabetes: 5-year results comparing outcomes of bypass surgery and percutaneous coronary
intervention in the SYNTAX trial. Eur J Cardiothorac Surg 2013;43:1006–1013.

42. Hakeem A, Garg N, Bhatti S, Rajpurohit N, Ahmed Z, Uretsky BF. Effectiveness of


percutaneous coronary intervention with drug-eluting stents compared with bypass surgery in
diabetics with multivessel coronary disease: Comprehensive systematic review and meta analysis
of randomized clinical data. J Am Heart Assoc 2013;2:e000354.

43. Goergen SK, Rumbold G, Compton G, Harris C. Systematic review of current guidelines,
and their evidence base, on risk of lactic acidosis after administration of contrast medium for
patients receiving metformin. Radiology 2010;254:261–269.

44. Mehran R, Aymong ED, Nikolsky E, et al. A simple risk score for prediction of contrast-
induced nephropathy after percutaneous coronary intervention: Development and initial
validation. J Am Coll Cardiol 2004;44:1393–1399.

45. Ohno Y, Maekawa Y, Miyata H, et al. Impact of periprocedural bleeding on incidence


of contrast-induced acute kidney injury in patients treated with percutaneous coronary
intervention. J Am Coll Cardiol 2013;62:1260–1266.

46. Aspelin P, Aubry P, Fransson SG, Strasser R, Willenbrock R, Berg KJ, Nephrotoxicity in
High-Risk Patients Study of I-O, Low-Osmolar Non-Ionic Contrast Media Study Investigators.
Nephrotoxic effects in high-risk patients undergoing angiography. N Engl J Med 2003;348:491–
499

47. Jo SH, Youn TJ, Koo BK. Renal toxicity evaluation and comparison between visipaque
(iodixanol) and hexabrix (ioxaglate) in patients with renal insufficiency undergoing coronary
angiography: The RECOVER study: A randomized controlled trial. J Am Coll Cardiol
2006;48:924–930.

48. Solomon RJ, Natarajan MK, Doucet S, et al; Investigators of the CARE Study. Cardiac
Angiography in Renally Impaired Patients (CARE) study: A randomized doubleblind trial of
contrast-induced nephropathy in patients with chronic kidney disease. Circulation
2007;115:3189–3196.

49. Marenzi G, Assanelli E, Campodonico J, et al. Contrast volume during primary percutaneous
coronary intervention and subsequent contrast-induced nephropathy and mortality. Ann Intern
Med 2009;150:170–177.

39
50. Laskey WK, Jenkins C, Selzer F, et al. Investigators NDR. Volume-to-creatinine clearance
ratio: A pharmacokinetically based risk factor for prediction of early creatinine increase after
percutaneous coronary intervention. J Am Coll Cardiol 2007;50:584–590.

51. Moss AJ, Zareba W, Hall WJ, Klein H, Wilber DJ, Cannom DS, Daubert JP, Higgins SL,
Brown MW, Andrews ML; Multicenter Automatic Defibrillator Implantation Trial II
Investigators. Prophylactic implantation of a defibrillator in patients with myocardial infarction
and reduced ejection fraction. N Engl J Med 2002;346:877–883.

52.Al-Khatib SM, Hellkamp AS, Lee KL, Anderson J, Poole JE, Mark DB, Bardy GH; SCD-
HeFT Investigators. Implantable cardioverter defibrillator therapy in patients with prior coronary
revascularization in the Sudden Cardiac Death in Heart Failure Trial (SCD-HeFT). J Cardiovasc
Electrophysiol 2008;19:1059–106

53.Sesselberg HW, Moss AJ, McNitt S, Zareba W, Daubert JP, Andrews ML, Hall
WJ, McClinitic B, Huang DT; MADIT II Research Group. Ventricular arrhythmia
storms in postinfarction patients with implantable defibrillators for primary prevention
indications: A MADIT-II substudy. Heart Rhythm 2007;4:1395–1402.

54. Spaulding CM, Joly LM, Rosenberg A, Monchi M, Weber SN, Dhainaut JF, Carli
P. Immediate coronary angiography in survivors of out-of-hospital cardiac
arrest. N Engl J Med 1997;336:1629–1633

55. Noc M, Fajadet J, Lassen JF, Kala P, MacCarthy P, Olivecrona GK, Windecker S,
Spaulding C. Invasive coronary treatment strategies for out-of-hospital cardiac
arrest: A consensus statement from the European Association for
Percutaneous Cardiovascular Interventions (EAPCI)/Stent for Life (SFL) groups.
EuroIntervention 2014;10:31–37.

56. Vyas A, Chan PS, Cram P, Nallamothu BK, McNally B, Girotra S. Early coronary
angiography and survival after out-of-hospital cardiac arrest. Circ Cardiovasc Interv
2015;8:e002321.

57. Chan W, Ajani AE, Clark DJ, Stub D. Melbourne Interventional Group Investigators. Impact
of periprocedural atrial fibrillation on short-term clinical outcomes following percutaneous
coronary intervention. Am J Cardiol 2012;109:471–477.

40

Anda mungkin juga menyukai