Anda di halaman 1dari 45

CLINICAL REPORT SESSION (CRS)

* Kepaniteraan Klinik Senior / G1A219028


** Pembimbing / dr. Nelila Pasmah Fitriani Siregar, Sp.PD

ENCELOPATI UREMIKUM e.c CKD STAGE 5 ON HD

Amalia Rizkyani S.Ked * / dr. Nelila Pasmah Fitriani Siregar, Sp.PD **

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2021
HALAMAN PENGESAHAN

CLINICAL REPORT SESSION (CRS)

ENCELOPATI UREMIKUM e.c CKD STAGE 5 ON HD

Disusun Oleh :
Amalia Rizkyani, S.Ked
G1A219028

Kepaniteraan Klinik Senior

Bagian/SMF Penyakit Dalam RSUD Raden Mattaher Prov. Jambi

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Pada Agustus 2021

Pembimbing

dr. Nelila Pasmah Fitriani Siregar, Sp.PD


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat membuat Clinical Report Session (CRS) yang
berjudul “Encelopati Uremikum E.C CKD Stage 5 On HD” sebagai salah satu
syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit
Dalam di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Nelila Pasmah Fitriani


Siregar, Sp.PD yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk
membimbing penulis selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian
Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi
Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada laporan kasus ini,
sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan laporan
kasus ini. Penulis mengharapkan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan pembaca.

Jambi, Agustus 2021

Amalia Rizkyani, S.Ked


BAB I
PENDAHULUAN

Gagal Ginjal Kronis (GGK) merupakan suatu keadaan dimana terdapat


penurunan fungsi ginjal karena adanya kerusakan parenkim ginjal yang bersifat
kronik dan irreversible. Seseorang didiagnosis menderita gagal ginjal kronik jika
terjadi kelainan dan kerusakan pada ginjal selama 3 bulan atau lebih yang ditandai
dengan penurunan fungsi ginjal sebesar 78-85% atau laju filtrasi glomerulusnya
(LFG) kurang dari 60 ml/min/1,73m2 dengan atau tanpa kelainan pada ginjal.
Penurunan LFG akan terus berlanjut hingga pada akhirnya terjadi disfungsi organ
pada saat laju filtrasi glomerulus menurun hingga kurang dari 15 ml/min/1,73 m 2
yang dikenal sebagai End-Stage Renal Disease (ESRD) atau penyakit ginjal tahap
akhir, sehingga membutuhkan penanganan lebih lanjut berupa tindakan dialisis
atau pencangkokan ginjal sebagai terapi pengganti ginjal.2
Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan masalah kesehatan dunia dengan
peningkatan insidensi, prevalensi serta tingkat morbiditas dan mortalitas.
Prevalensi global telah meningkat setiap tahunnya. Menurut data World Health
Organization (WHO), penyakit gagal ginjal kronis telah menyebabkan kematian
pada 850.000 orang setiap tahunnya. Angka tersebut menunjukkan bahwa
penyakit gagal ginjal kronis menduduki peringkat ke-12 tertinggi sebagai
penyebab angka kematian dunia.3,4
Kejadian GGK banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor. Usia tua, riwayat
keluarga, etnis, jenis kelamin, diabetes mellitus, sindrom metabolik, status
hiperfiltrasi (tekanan darah > 125/75 mmHg, obesitas, diet tinggi protein, anemia),
dislipidemia, nefrotoxin, penyakit ginjal primer, kelainan urologis (obstruksi dan
infeksi saluran kencing berulang) dan penyakit kardiovaskular merupakan faktor
prediktor inisiasi GGK.4
Pasien dengan gagal ginjal sering mengalami gejala klinis yang berkaitan
dengan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, anemia, malnutrisi dan gangguan
gastrointestinal. Salah satu dari komplikasi tersebut adalah uremic
encephalopathy. Uremic encephalopathy (UE) adalah kelainan otak organik yang
terjadi pada pasien dengan gagal ginjal akut maupun kronik. Biasanya dengan
nilai kadar Creatinine Clearance menurun dan tetap di bawah 15 mL/mnt.
Prevalensi internasional tidak diketahui, namun dengan bertambahnya jumlah
pasien dengan ESRD, diasumsikan jumlah kasus UE juga bertambah.

Patofisiologi dari UE masih belum diketahui pasti namun diduga akibat


peningkatan hormon paratiroid dan akumulasi komponen guanidino yang
mengakibatkan ketidakseimbangan neurotransmitter di dalam otak. Apatis, fatig,
iritabilitas merupakan gejala dini. Selanjutnya, terjadi konfusi, gangguan persepsi
sensoris, halusinasi, kejang dan stupor. Gejala ini dapat berfluktuasi dari hari ke
hari, bahkan dalam hitungan jam. Diagnosis banding UE antara lain ensefalopati
hipertensif, ensefalopati hepatikum, sindrom respons inflamasi sistemik pada
pasien sepsis, vaskulitis sistemik, neurotoksisitas akibat obat (opioid,
benzodiazepin, neuroleptik, antidepresan), cerebral vascular disease, hematom
subdural.

Pemeriksaan pada UE yaitu laboratorium, EEG, Lumbal Pungsi dan


pencitraan otak digunakan terutama untuk menyingkirkan diagnosis.
Penatalaksanaan berupa dialisis dan non dialisis. Dengan pengenalan terhadap
dialisis dan transplantasi ginjal, insidens dan tingkat keparahan dari UE dapat
dikurangi.

Berdasarkan latar belakang diatas serta banyaknya komplikasi yang terjadi


jika tidak didiagnosa segera menjadi dasar penulis untuk mengulas lebih dalam
mengenai chronic kidney disease dan Uremic encephalopathy serta
penanganannya. Pada tulisan ini akan disajikan kasus seorang laki-laki dengan
diagnosa “Encelopati Uremikum E.C CKD Stage 5 On HD” yang mendapatkan
perawatan rawat inap di bangsal penyakit dalam RSUD Raden Mattaher Provinsi
Jambi.
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. P
Umur : 34 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Sangkati Baru, Mersam, Kota Batang Hari
Pekerjaan : Pegawai swasta
MRS : 29/07/2021 pukul 22.52 WIB

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama :
Pasien datang dengan keluhan lemas sejak ± 3 hari SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang :
 ±1 tahun 6 bulan SMRS pasien mengeluhkan nyeri ulu hati, menjalar ke
24belakang. Pasien dibawa ke puskesmas dan diberikan obat maag.
Namun pasien tetap mengalami keluhan yang sama, pasien pergi ke
puskesmas kembali, dan tetap diberikan obat maag. Pasien mengeluhkan
tidak ada perubahan, sehingga pasien datang ke RS.Theresia dan
dilakukan pemeriksaan dan didiagnosa CKD, dan dirawat inap selama 5
hari. Setelahnya, pasien diperbolehkan pulang. Setelah 1 minggu dirumah,
pasien mengalami keluhan yang sama, pasien datang ke RSUD Raden
Mattaher Jambi dan oleh dokter Sp. PD dianjurkan untuk HD 2x
seminggu, dan sudah berjalan sampai sekarang.
 ± 11 bulan SMRS pasien mengeluhkan anggota geraknya melemah,
sehingga menyebabkan pasien sulit beraktivitas secara mandiri. Pasien
juga mengeluhkan penurunan nafsu makan yang disertai mual setiap kali
makan dan frekuensi BAK berkurang.
 ± 1 bulan SMRS menurut penuturan keluarga, keadaan pasien semakin

lemah dan tidak lagi bisa bangun dari tempat tidur. Nafsu makan pasien

juga semakin menurun dan masih mual setiap kali makan. Frekuensi BAK

tetap sedikit. Pasien juga mengalami penurunan berat badan sekitar 8 kg.

 ± 3 hari SMRS pasien masuk IGD dengan keluhan badan lemas dan BAB

cair dengan frekuensi 8x sehari.

Riwayat Penyakit Dahulu :


 Riwayat Penyakit Jantung (-)
 Riwayat Trauma (-)
 Riwayat Hipertensi (-)
 Riwayat Dispepsia (-)
 Riwayat DM (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :


 Riwayat keluhan yang sama (-)
 Riwayat DM (-)
 Riwayat Hipertensi (-)

Riwayat Sosial Ekonomi :


Pasien sehari hari bekerja sebagai pegawai swasta, tinggal bersama istri dan
anak, sosial ekonomi sedang, pasien sangat sering meminum minuman bersoda
 Merokok (+)
 Alkohol (+)
2.3 Pemeriksaan Fisik
Status Generalisata
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : GCS 9 (E1V3M5)

Vital Sign
TD : 190/110 HR : 84x/menit RR : 20x/menit Suhu : 38,10C
SPO2: 96%
Status Gizi
BB :52 Kg TB : 168 cm IMT : 18,4 (underweight)

Kulit
 Warna : Sawo matang
 Efloresensi : (-)
 Jaringan Parut : (-)
 Pertumbuhan Rambut : Normal
 Pertumbuhan Darah : (-)
 Suhu : 38,10C
 Turgor : Normal, <2detik
 Lainnya : (-)
Kelenjar Getah Bening
 Pembersaran KGB : (-)
Kepala
 Bentuk Kepala : Normocephal
 Rambut : Tidak mudah dicabut
 Ekspresi : Tampak sakit sedang
 Simetris Muka : Simetris
Mata
 Konjungtiva : Konjungtiva pucat (+)
 Sklera : Sklera Ikterik (-)
 Pupil : Isokor
 Lensa : Normal
 Gerakan : Normal
 Lapangan Pandang : Normal
Hidung
 Bentuk : Simetris
 Sekret :(-)
 Septum : Deviasi (-)
 Selaput Lendir :(-)
 Sumbatan :(-)
 Pendarahan :(-)
Mulut
 Bibir : Kering (-), Sianosis (-)
 Lidah : Atrofi papila lidah (-)
 Gusi : Anemis (+)
Telinga
 Bentuk : Simetris
 Sekret :(-)
 Pendengaran : Normal

Leher
 JVP : 5±3 cmH2O
 Kelenjar Tiroid : Tidak teraba
 Kelenjar Limfonodi : Tidak teraba

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis terlihat di ICS V linea midsternalis
Palpasi : Ictus cordis teraba ICS V linea midsternalis
Perkusi : Batas Atas : ICS II Linea parasternal sinistra
Batas Kiri : ICS V Linea midsternalis
Batas Kanan : ICS III Linea parasternal dextra
Batas Bawah : ICS IV Line parasternal dextra
Auskultasi : BJ I/II Reguler, Murmur (-), Gallop (-)

Pulmo
Inspeksi : Hiperekspansi pada dinding dada kiri, dinding dada kiri tertinggal
Palpasi : Nyeri tekan (-), krepitasi (-) fremitus taktil menurun pada sisi kiri
Perkusi : Lapangan paru sonor kanan dan kiri hipersonor
Auskultasi : Suara nafas berkurang pada hemithorax kiri
Abdomen
Inspeksi : Datar,sikatriks (-),bekas operasi (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising Usus (+)
Ekstremitas
Superior : Akral hangat, CRT <2 detik, edem (-)
Inferior : Akral hangat, CRT <2 detik, edem (+)

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Darah Rutin (30/07/21)
WBC : 17,9 x109/L (4-10,0 103/mm3)
RBC : 3,19 x1012/L (3,5-5,5 106/mm3)
HGB : 9,29 g/dL (11,0-16 g/dl)
MCV : 89,2 fL (80-100 fl)
MCH : 29,1 pg (27-34 pg)
MCHC: 32,6 g/L (32-36g/dl)
HCT : 28,5 % (35,0-50,0 %)
Elektrolit (30/07/21)
Natrium : 140,3 (136-146mmol/L)
Kalium : 5,55 (3,34-5,10mmol/L)
Klorida : 107.5 (98-106 mmol/L)
Faal Ginjal (30/07/21)
Ureum : 168 (15-39 mg/dl)
Kreatinin : 19,8 (0,55-1,3 mg/dl)
LFG : 3,87 ml/min/1.73 m2 (Stage V)

Kesan:
- Leukositosis
- Anemia normositik normokrom
- Chronic kidney disease stage V
- Elektrolit imbalance
- Azotemia

Pemeriksaan Radiologi

Kesan
 Trakea deviasi ke kanan
 Jantung tampak terdorong minimal ke sisi kanan
 Tampak lusen avaskular pada hemithorax kiri

2.5 Diagnosa Kerja


Diagnosa Primer : Encelopati Uremikum e.c CKD Stage 5 On HD

Diagnosa Sekunder :
GEA dengan Dehidrasi Sedang/Ringan e.c Uremia

2.6 Diagnosa Banding


 Imbalance Elektrolit e.c CKD on HD
 Encelopati Hipertensi e.c Hipertensi Emergency

2.7 Anjuran Pemeriksaan


- Konsul ke urologi
- HbAlc
- Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, dan
trigliserida)
- Morfologi darah tepi

2.8 Tatalaksana
Farmakologis :
 NaCl 0,9% 500cc/24 jam
 Inj. Ceftriaxone 2gr
 Inj. Omeprazole 80mg
 Po. As.Folat 1200mcg
 Po. CaCo3 1500mg
 Po. Bicnat 1500mg
 Po. Domperidon 30mg
 Po. Loperamid 12mg

Non Farmakologis:
 1. Tirah baring

 Edukasi penyakit, pengobatan, dan komplikasi


 Rehidrasi

2.9 Prognosis
 Quoad Vitam : Dubia ad malam
 Quo ad Functionam : Malam
 Quo ad Sanactionam : Dubia ad malam

2.10 Follow Up

Tabel 2.1 Follow Up Pasien

Tanggal Perkembangan
11/11/20 S: Lemah, sesak
O: TD: 140/70 N : 77x/menit RR: 26x/menit T : 36,7
Pemeriksaan generalisata:
Konjungtiva anemis (+),.
A: ketidak efektifan perfusi jaringan perifer
P:
- Atur posisi tidur os
- IVFD Nacl 0,9% 1 L
- O2 nrm
- R/ Transfusi PRC 1 kolf
- RI 3X10ui

12/11/20 S: Lemah, sesak, batuk kering


O: TD:160/70 N: 95x/menit RR: 30x/menit T : 36,2
Pemeriksaan generalisata:
Konjungtiva anemis (+)
Pemeriksaan abdomen:
Inspeksi : Datar, Simetris.
Palpasi abdomen : Supel, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : BU (+), normal
GDS : 335 mg/dL
A : ketidak efektifan perfusi jaringan perifer

P:
- Monitor vital sign
- Ivfd NaCl 0,3% 500cc/24 jam
- R/ transfuse PRC KOLF II
13/11/20 S: Badan terasa lemah
O: TD:180/80 N: 81x/menit RR: 24x/menit T : 36,5
Pemeriksaan generalisata:
Konjungtiva anemis (+)
Pemeriksaan abdomen:
Inspeksi : Datar, Simetris.
Palpasi abdomen : Supel, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : BU (+), normal

GDS : 154 mg/dL

A : ketidak efektifan perfusi jaringan perifer


P:
- Diet DM
- Ivfd NaCl 0,9 %
- Drip cefriaxone 1x2gr
- novorapil
- RI 3X10iu
14/11/20 S: Lemah, nyeri pada kedua lutut
O: TD:180/90 N: 85x/menit RR: 18x/menit T : 36,4
GDS : 220 mg/dL
WBC : 10,26
RBC : 2,39
HGB :8
PLT : 458
HCT : 23
A : ketidak efektifan perfusi jaringan perifer
P: - RI 3X10ui
- Ivfd NaCl 0,3% 500cc/24 jam
- R prc (post III)
15/11/20 S: nyeri pada kaki, sesak, lemas
O: TD:180/100 N: 102x/menit RR: 23x/menit T : 38,5
A : ketidak efektifan jaringan perifer

P:
- RI 3X10ui
- Ivfd NaCl 0,3% 500cc/24 jam
- Inj. Novorapid
16/11/20 S: sesak, lemas
O: TD:170/80 N: 88x/menit RR: 21x/menit T : 37,9
Hb : 7,7
GDN : 82 mg/dL
GDpp : 220 mg/dl
A : ketidak efektifan perfusi jaringan perifer
P:
- RI 3X10ui
- Ivfd NaCl 0,3% 500cc/24 jam
- R PRC s/d Hb 10 (post v)
17/11/20 S: sesak, badan lemas
O: TD:160/80 N: 112x/menit RR: 18x/menit T : 36,6
GDS : 321 mg/dL
A : ketidak efektifan perfusi jaringan perifer
P:
- RI 3X10ui
- Ivfd NaCl 0,3% 500cc/24 jam
- Transfusi PRC 1 kolf
19/11/20 S: sesak nafas, kaki bengkak
O: TD:200/90 N: 112x/menit RR: 18x/menit T : 36,6
GDS : 308mg/dL
HBA1C : 5.9
WBC : 17,2
HGB : 9,44
Albumin : 1,6
Ur : 129
Cr : 2,4
A : chf ec hhd + melena es gastro erosive + DM Tipe 2
P:
- Captopril 3 x 25 mg
- Amlodipine 1x 10 mg
20/11/20 S: sesak nafas, kaki bengkak
O: TD: 160/100 N: 94x/menit RR: 22x/menit T : 36,2 SPo2: 98
GDS : 202mg/dL
A : chf ec hhd + melena es gastro erosive + DM Tipe 2
P:
- Konsul urologi
Tanggal Plus
20/11/20 S: apneu
O: pupil midriasis
A: cardiac arrest
P: CPR
Cause of death : cardiac arrest
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Chronic Kidney Disease


3.1.1 Definisi
Chronic Kidney Disease atau penyakit ginjal kronik didefinisikan sebagai
keadaan dimana nilai Glomerulus Filtration Rate (GFR) < 60 L / min / 1.73 m2
yang hadir selama ≥ 3 bulan dengan atau tanpa bukti kerusakan atau bukti
kerusakan ginjal dengan atau tanpa penurunan GFR yang hadir ≥ 3 bulan
sebagaimana dibuktikan oleh hal-hal berikut, terlepas dari penyebab yang
mendasari:
- Albuminuria
- Haematuria setelah esklusi penyebab urologi
- Kelainan struktural (misalnya, pada tes pencitraan ginjal)
- Kelainan patologis (misalnya, biopsi ginjal)1

3.1.2 Klasifikasi
Klasifikasi GGK dibagi atas 5 tingkatan derajat yang didasarkan pada LFG
dengan ada atau tidaknya kerusakan ginjal. Pada derajat 1-3 biasanya belum
terdapat gejala apapun (asimptomatik). Manifestasi klinis muncul pada fungsi
ginjal yang rendah yaitu terlihat pada derajat 4 dan 5.
Tabel 1.1. Klasifikasi GGK
3.1.3 Epidemiologi
Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan masalah kesehatan dunia dengan
peningkatan insidensi, prevalensi serta tingkat morbiditas dan mortalitas.
Prevalensi global telah meningkat setiap tahunnya. Menurut data World Health
Organization (WHO), penyakit gagal ginjal kronis telah menyebabkan kematian
pada 850.000 orang setiap tahunnya. Prevalensi GGK di Indonesia dari tahun ke
tahun terus mengalami kenaikan. Perkumpulan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI)
dalam Program Indonesia Renal Registry (IRR) melaporkan jumlah penderita
GGK di Indonesia pada tahun 2011 tercatat 22.304 dengan 68,8% kasus baru dan
pada tahun 2012 meningkat menjadi 28.782 dengan 68,1% kasus baru.
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, prevalensi gagal ginjal kronis
berdasarkan diagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,2% dan penyakit batu ginjal
0,6%. Laporan Indonesian Renal Registry (IRR) menunjukkan 82,4% pasien
GGK di Indonesia menjalani hemodialisis pada tahun 2014 dan jumlah pasien
hemodialisis mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Laporan IRR
mencatat bahwa penyebab gagal ginjal pada pasien yang menjalani hemodialisis
adalah hipertensi (37%), diabetes melitus (27%) dan glomerulopati primer (10%).5

3.1.4 Etiologi
Penyebab penyakit GGK bermacam-macam, dua penyebab utama paling
sering adalah penyakit ginjal hipertensi (35%) dan nefropati diabetika (26%).
Penyakit ginjal hipertensif menduduki peringkat paling atas penyebab GGK.
Penyebab lain dari GGK yang sering ditemukan yaitu glomerulopati primer
(12%), nefropati obstruksi (8%), pielonefritis kronik (7%), nefropati asam urat
(2%), nefropati lupus (1%), ginjal polikistik (1%), tidak diketahui (2%) dan lain-
lain (6%).6

3.1.5 Patofisiologi
Patofisiologi CKD pada awalnya dilihat dari penyakit yang mendasari,
namun perkembangan proses selanjutnya kurang lebih sama. Pengurangan masa
ginjal menyebabkan hipertrofi struktur dan fungsi dari nefron yang sehat.
Kompensasi hipertrofi ini diperantarai oleh molekul vasoaktif sitokin dan growth
factor. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis
nefron yang masih tersisa.
Proses ini akhirnya diikuti oleh penurunan fungsi nefron yang progresif,
walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas
aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi
terhadap terjadinya hiperfiltrasi sklerosis dan progresivitas penyakit tersebut.
Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai
oleh Growth Factor seperti Transforming Growth Factor β (TGF-β). Beberapa
hal yang juga dianggap berperan terhadap progresivitas penyakit ginjal kronik
adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dan dyslipidemia. Terdapat
variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus
maupun tubulointersisial.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya
cadang ginjal, pada keadaan dimana basal LFG masih normal atau malah
meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi
nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin
serum. Sampai pada LDG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan
(asimtomatik), tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti
nokturia, badan lemah, nafsu makan berkurang, dan penurunan berat badan.
Sampai pada LFG di bawah 30%, tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor
dan kalsium, pruritus, mual, muntah, dan sebagainya. Pasien juga mudah terkena
infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga
akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan
keseimbangan elektrolit, antara lain Na+ dan K+. pada LFG di bawah 15%, akan
terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius dan pasien sudah memerlukan
terapi pengganti ginjal (Renal Replacement Therapy) antara lain dialysis atau
transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal
ginjal.
Diabetes melitus (DM) menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam
berbagai bentuk. Nefropati diabetik merupakan istilah yang mencakup semua lesi
yang terjadi di ginjal pada DM. Mekanisme peningkatan GFR yang terjadi pada
keadaan ini masih belum jelas benar, tetapi kemungkinan disebabkan oleh dilatasi
arteriol aferen oleh efek yang tergantung glukosa, yang diperantarai oleh hormon
vasoaktif, Insuline-like Growth Factor (IGF) – 1, nitric oxide, prostaglandin dan
glukagon. Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi
nonenzimatik asam amino dan protein. Proses ini terus berlanjut sampai terjadi
ekspansi mesangium dan pembentukan nodul serta fibrosis tubulointerstisialis.
Hipertensi juga memiliki kaitan yang erat dengan gagal ginjal. Hipertensi yang
berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan-perubahan struktur pada
arteriol di seluruh tubuh, ditnadai dengan fibrosis dan hialinisasi (sklerosis)
dinding pembuluh darah. Salah satu organ sasaran dari keadaan ini adalah ginjal.
Ketika terjadi tekanan darah tinggi, maka sebagai kompensasi, pembuluh darah
akan melebar. Namun di sisi lain, pelebaran ini juga menyebabkan pembuluh
darah menjadi lemah dan akhirnya tidak dapat bekerja dengan baik untuk
membuang kelebihan air serta zat sisa dari dalam tubuh. Kelebihan cairan yang
terjadi di dalam tubuh kemudian dapat menyebabkan tekanan darah menjadi lebih
meningkat, sehingga keadaan ini membentuk suatu siklus yang berbahaya.7

Uremia
Azotemia adalah retensi dari produk sisa nitrogen sebagai perkembangan
insufisiensi ginjal. Uremia adalah tahap yang lebih berat dari progresivitas
insufisiensi ginjal dimana berbagai sistem organ telah terganggu. Meskipun
uremia bukan penyebab utama, urea dapat menimbulkan gejala klinis seperti
anoreksia , malaise, muntah dan sakit kepala. Produk nitrogen lainnya seperti
komponen guanido, urat dan hipurat, hasil akhir metabolisme asam nukleat,
poliamin, mioinosital, fenol, benzoat dan indol dapat tertahan dalam tubuh pada
penyakit ginjal kronik dalam hal ini dipercaya dapat meningkatkan angka
kematian pada uremia. 1
Uremia tidak hanya mempengaruhi kegagalan ekskresi renal saja tetapi
dapat juga menyebabkan gangguan pada fungsi metabolik dan endokrin yang
dapat menyebabkan anemia malnutrisi, gangguan metabolisme karbohidrat,
lemak, protein, gangguan penggunaan energi, dan penyakit tulang metabolik.
Lebih jauh lagi kadar plasma berbagai hormon polipeptida seperti paratiroid
hormon (PTH), insulin, glukagon, luteinizing hormon, dan prolaktin akan
meningkat pada gagal ginjal, bukan hanya karena gangguan katabolisme ginjal
tetapi juga karena meningkatkan sekresi endokrin yang menimbulkan konsekuensi
sekunder dari ekskresi primer atau gangguan sintetik renal. Dilain sisi, produksi
eritropoetin (EPO) dan 1,25-dihidroksikolekalsiferol ginjal terganggu. Jadi
patofisiologi dari sindrom uremia dapat dibagi menjadi dua bagian. Yang pertama
merupakan akumulasi dari produk metabolisme protein, yang kedua merupakan
akibat dari kehilangan dari fungsi ginjal seperti keseimbangan cairan dan
elektrolit, kelainan hormon.

3.1.6 Gambaran Klinis


Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik bisa dibagi atas:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus,
infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi,
hiperurikemia, Lupus Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain
sebagainya.
b. Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual
muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload),
neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang
sampai koma.
c. Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi
renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan
ektrolit (sodium, kalium, klorida).8
Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia
sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan
hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan
kelainan kardiovaskular.
a. Kelainan hemopoesis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU),
sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang
terjadi sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau
bersihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit.
b. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian
pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal.
Patogenesis mual dam muntah masih belum jelas, diduga mempunyai
hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk
amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan
mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini
akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan
antibiotika.
c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian
kecil pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah
beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat,
misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala
nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati)
mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai
pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam
kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome
akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga
dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit
hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.8

d. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas
dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder.
Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah tindakan
paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang
dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea
frost
e. Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering
dijumpai pada gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal.
Kelainan selaput serosa merupakan salah satu indikasi mutlak untuk
segera dilakukan dialisis.
f. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia,
dan depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan
mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala
psikosis juga sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental
ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa
hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas).
g. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik
sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi,
aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien
gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat
menyebabkan kegagalan faal jantung.

3.1.7 Pendekatan Diagnosis


a. Gambaran Klinis (anamnesis dan pemeriksaan fisik)
b. Gambaran Laboratoris
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
1. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
2. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan
kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung
mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum
saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.
Penurunan fungsi ginjal ditandai dengan peningkatan kadar ureum
dan kreatinin serum. Penurunan GFR dapat dihitung dengan
mempergunakan rumus Cockcroft-Gault. Penggunaan rumus ini
dibedakan berdasarkan jenis kelamin.9

3. Kelainan biokimiawi
darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar
asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau
hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik
4. Kelainan urinalisis meliputi, proteinuria, hematuria, leukosituria,
cast, isostenuria.

c. Gambaran radiologis
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi
1. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak
2. Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak
bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran
terjadinya pengaruh toksis oleh kontras terhadap ginjal yang sudah
mengalami kerusakan
3. Pielografi antegrad atau retrofrad dilakukan sesuai dengan indikasi
4. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu
ginjal, kista, massa, kalsifikasi
5. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada
indikasi
d. Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien
dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis
secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini
bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis
dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal
indikasi-kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang
sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang
tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal
napas, dan obesitas.

3.1.8 Komplikasi
Anemia
a. Kurangnya Produksi Eritropoietin (EPO)
Defisiensi relatif eritropoietin (EPO) dianggap menjadi penyebab utama
perkembangan anemia pada CKD. EPO adalah hormon yang diproduksi
oleh fibroblas interstitial tipe I di korteks dan lapisan luar medula ginjal.
EPO merupakan hormon yang mengatur ukuran massa sel darah merah
yang terkait dengan fungsinya dalam sistem transportasi oksigen.
Stimulus utama terhadap sintesis EPO adalah hipoksia jaringan, yang
menghasilkan peningkatan eksponensial EPO dalam serum. Umpan balik
ini terganggu pada pasien dengan kondisi patologis pada ginjal sehingga
anemia tidak terkompensasi dengan baik oleh peningkatan produksi EPO.
b. Gangguan metabolisme zat besi
Defisiensi zat besimerupakan mekanisme patogenetik yang penting
terhadap anemia pada PGK. Hepcidin diyakini memiliki peran penting
dalam regulasi metabolisme besi. Bioaktif hepsidin terdiri dari 25 asam
amino dan disintesis terutama oleh hepatosit. Regulasi penyerapan besi
dan distribusinya ke dalam jaringan dimediasi oleh regulasi ekspresi
reseptornya, ferroportin, yang dikenal sebagai satu-satunya penyalur besi
seluler. Sintesis hepcidin diinduksi oleh kelebihan zat besi atau
peradangan, dan dihambat oleh peningkatan eritropoiesis atau hipoksia.
Peningkatan hepsidin dapat menghambat penyerapan zat besi dari
makanan di usus dan pelepasannya dari iron storage. Aktivasi
eritropoiesis disebabkan oleh berkurangnya produksi hepcidin dan
mobilisasi cadangan besi yang tersimpan. Sintesis hepcidin dirangsang
oleh sitokin proinflamasi, khususnya IL-6.10
Beberapa proses fisiologis dan patologis berperan dalam sintesis hepcidin.
Kadar hepcidin ditentukan oleh beberapa mekanisme. Kondisi di mana
kebutuhan besi di sirkulasi meningkat, menyebabkan penurunan sintesis
hepcidin hepatoselular. Kondisi tersebut meliputi kekurangan zat besi,
hipoksia, dan peningkatan aktivitas eritropoiesis. Penurunan jumlah
hepcidin dalam darah akan menyebabkan pelepasan zat besi yang
tersimpan dan peningkatan penyerapan zat besi. Di sisi lain, infeksi dan
peradangan, menyebabkan peningkatan sintesis hepcidin yang
menyebabkan berkurangnya zat besi yang tersedia untuk eritropoiesis,dan
dianggap sebagai mekanisme yang mendasari sekuestrasi besi pada sistem
retikuloendotel, gangguan penyerapan zat besi pada usus, dan rendahnya
kadar besi serum yang merupakan karakteristik dari anemia pada penyakit
kronis.
Ginjal berperan utama dalam clearance hepcidin. Kadar hepcidin serum
meningkat secara signifikan seiring berkembangnya CKD (Gambar 2).
Penelitian sebelumnya menunjukkan terdapat korelasi positif yang kuat
antara hepcidin serum dan konsentrasi feritin serum pada pasien CKD.
Kadar hepcidin serum pada pasien CKD jugater bukti berhubungan
dengan iron-restricted erythropoiesis, sebagaimana terlihat dari hubungan
antara kadar hepcidin serum dan rendahnya konsentrasi hemoglobin
dan/atau hitung retikulosit. Beberapa peneliti telah melaporkan terdapat
penurunan konsentrasi hepcidin serum setelah administrasi EPO pada
pasien CKD. Temuan ini menunjukkan bahwa kebutuhan eritroid
terhadap zat besi merupakan regulator yang kuat terhadap ekspresi
hepcidin.
Peningkatan kadar serum hepcidin menyebabkan iron-restricted
erythropoiesisdan berperan dalam terjadinya anemia pada pasien CKD.
Peningkatan jangka pendek dalam kadar hepcidin serum mengganggu
pelepasan dari simpanan besi ke sirkulasi, dan peningkatan jangka
panjang serum hepcidin dapat menyebabkan defisiensi besi. Penelitian
menunjukkan bahwa peningkatan kadar hepcidin serum juga dapat
berdampak secara langsung terhadap terjadinya anemia pada pasien CKD
dengan menghambat erythroid colony formation ketika konsentrasi
eritropoietin dalam darah rendah, dan dengan mengganggu kelangsungan
hidup RBC. Pemberian besi parenteral dapat mengatasi anemia akibat
overekspresi hepcidin, tetapi tidak dengan pemberian suplementasi zat
besi oral. Studi pada pasien CKD pra-dialisis dan pasien dialisis telah
menunjukkan bahwa pemberian zat besi intravena memperbaiki kondisi
anemia pada sebagian besar pasien, termasuk pada pasien dengan kadar
hepcidin yang tinggi dan pada pasien dengan peningkatan protein C-
reaktif.
c. Faktor – faktor lain
Secara bertahap, beberapa faktor lain yang dapat memperburuk anemia
pada PGK telah diidentifikasi.Penekanan eritropoiesis terjadi jika
terdapat proses infeksi berat, penyakit radang, dan keganasan. Peradangan
sering disertai dengan malnutrisi dan keduanya memiliki peran penting
dalam terjadinya anemia. Hal ini disebabkan oleh peningkatan produksi
sitokin tertentu, seperti IL-I, IL-6, TNF-alpha, dan interferon-gamma yang
menghalangi pelepasan cadangan besi, mengurangi produksi EPO
endogen, dan menekan eritropoiesis. Peradangan meningkatkan uptake zat
besi di dalam sel dari sistem retikuloendotelial, sehingga semakin
membatasi ketersediaan zat besi untuk sel progenitor erythroid dan
penurunan eritropoiesis secara bertahap. Hal penting pada anemia yang
terkait peradangan kronis adalah hepcidin, yang sintesis dan tingkat
serumnya meningkat hingga 100 kali lipat selama inflamasi.
Pada CKD, penurunan kelangsungan hidup sel darah merah disebabkan
oleh hemolisis kronis, akibat akumulasi toxin uremik dalam darah.
Kelangsungan hidup sel darah merah pada pasien dengan gagal ginjal
kronis dapat diterapi dengan transfusi eritrosit. Toksin uremik yang
berperan dalam patofisiologi anemia pada CKD adalah poliamina, seperti
spermidine, putrescine, dan cadaverine. Poliamina adalah kation organik
yang terlibat dalam pertumbuhan dan pematangan sel yang mengurangi
aktivitas proliferasi sel erythroid di sumsum tulang dengan interaksi
independen terhadap EPO.
Anemia pada CKD juga dapat disebabkan oleh obat-obatan, khususnya
oleh ACE inhibitor. ACE inhibitor menekan sintesis eritropoietin melalui
peningkatan oksigenasi di daerah peritubular untuk mengurangi resistensi
pembuluh darah di arteriol eferen, penurunan konsentrasi serum IGF-1
dan meningkatkan apoptosis sel eritroid progenitor CD 34+.10

Asidosis Metabolik
Untuk menjaga keseimbangan asam-basa normal, setiap hari tubulus ginjal
harus absorpsi HCO3 yang difiltrasi (~ 4.500 mmol) dan mensintesis HCO3 yang
cukup untuk menetralisir beban asam endogen. Mekanismenya adalah gangguan
pembentukan bikarbonat ginjal dengan dan tanpa penurunan absorpsi bikarbonat
yang terjadi bersamaan dan retensi ion H+ . Total ekskresi amonium (NH4 + )
mulai menurun ketika GFR < 40 sampai 50 mL/min. Penyakit ginjal dikaitkan
dengan kerusakan tubulointerstitial yang parah dapat disertai dengan asidosis yang
lebih berat pada tahap awal gagal ginjal. Ginjal menyerap kembali semua HCO3 -
yang terfiltrasi dan menghasilkan HCO3 baru - dalam collecting duct. Reabsorpsi
HCO3 - yang terfiltrasi terjadi di tubulus proksimal (85-90%), dalam ascending
loop of Henle tebal (10%) dan sisanya di nefron distal. Reabsorpsi HCO3 - yang
terfiltrasi sangat penting untuk pemeliharaan keseimbangan asam-basa, mengingat
bahwa hilangnya HCO3 - dalam urin setara dengan retensi H+ (baik H+ dan
HCO3 - yang berasal dari disosiasi H2CO3). 4 Diet normal menghasilkan H+
sebanyak 50–100 mEq per hari sebagai asam sulfur non-volatile dari katabolisme
asam amino, asam organic yang tidak termetabolisme, dan fosfor dan asam-asam
lainnya. Ion H+ ini diseimbangkan oleh HCO3 - dan selular dan buffer tulang
untuk meminimalisasi turunnya pH ekstrasel.
Asidosis metabolik berkembang karena berkurangnya massa ginjal dan
ketidakmampuan dari nefron yang tersisa untuk mengeluarkan beban asam harian
melalui ammoniagenesis. produksi NH3 di tubulus ginjal dirangsang oleh asidosis
intraseluler. Ketika beban asam sistemik meningkat sedikit, keseimbangan dijaga
oleh peningkatan produksi dan ekskresi dari NH4 + . Kegagalan untuk
mengeluarkan NH4 + sehingga menyebabkan retensi ion H+ dan menyebabkan
metabolik asidosis. ketidakmampuan untuk mengeluarkan NH4 + (Proksimal
tubulus) atau ion H+ (tubulus distal), akan diterjemahkan menjadi asidosis tubular
melalui mekanisme dependen pH. Hiperkalemia, di sisi lain, dapat menginduksi
intraseluler alkalosis dan juga bersaing dengan kalium dalam pompa Na+ /K+
/2Cl yang terletak di loop henle ascending tebal, mengurangi NH4 + di collecting
tubulus. Seperti yang dinyatakan sebelumnya meningkatnya ammoniagenesis dari
nefron meningkat sebagai kompensasi atas penurunan fungsi dari nefron itu
sendiri.
Kadar NH3 pada vaskular dan kortikal meningkat ketika diproduksi secara
maksimal oleh tubulus ginjal. Faktor yang mempengaruhi produksi NH3 di ginjal
adalah angiotensin II, kalium dan aldosteron, yang kadarnya meningkat seperti
pada hipertensi renovaskular. Peningkatan konsentrasi angiotensin II merangsang
ammoniagenesis sama seperti glukoneogenesis. Deplesi kalium dan pemberian
aldosteron juga dapat meningkatkan ammoniagenesis.

3.1.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada penyakit ginjal kronik bisa dibagi atas terapi untuk
penyakit penyebab, memperlambat progresivitas penyakit ginjal kronik, dan
penanganan komplikasi. Terapi untuk penyakit penyebab tentu sesuai dengan
patofisiologi masing-masing penyakit. Pencegahan progresivitas penyakit ginjal
kronik bisa dilakukan dengan beberapa cara, antara lain restriksi protein, kontrol
glukosa, kontrol tekanan darah dan proteinuria, penyesuaian dosis obat-obatan,
dan edukasi. Pada pasien yang sudah gagal ginjal dan terdapat gejala uremia,
hemodialisis atau terapi pengganti lain bisa dilakukan.Perencanaan tatalaksana
(action plan) penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya, dapat dilihat pada
tabel 3.11
Tabel 2. Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya

Derajat LFG (mlmnt/1,73m2) Rencana tatalaksana


1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi
komorbid, evaluasi pemburukan
fungsi ginjal, memperkecil risiko
kardiovaskular
2 60 – 89 Menghambat pemburukan fungsi
ginjal
3 30 – 59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15 – 29 Persiapan untuk terapi pengganti
ginjal
5 < 15 Terapi pengganti ginjal

3.2 Uremic encephalopathy


3.2.1 Definisi
Uremic encephalopathy (UE) adalah kelainan otak organik akut maupun
subakut yang terjadi pada pasien dengan gagal ginjal akut maupun kronik.
Biasanya dengan nilai kadar Creatinine Clearance menurun dan tetap di bawah 15
mL/mnt. Sebutan “uremic encephalopathy sendiri memiliki arti gejala neurologis
non spesifik pada uremia. 2,3 Uremic encephalopathy merupakan salah satu bentuk
dari ensefalopati metabolik. Ensefalopati metabolik merupakan suatu kondisi
disfungsi otak yang global yang menyebabkan terjadi perubahan kesadaran,
perubahan tingkah laku dan kejang yang disebabkan oleh kelainan pada otak
maupun diluar otak.

Ensefalopati Metabolik adalah pengertian umum keadaan klinis yang


ditandai dengan:

1. Penurunan kesadaran sedang sampai berat

2. Gangguan neuropsikiatrik : kejang, lateralisasi

3. Kelainan fungsi neurotransmitter otak

4. Tanpa di sertai tanda – tanda infeksi bacterial yang jelas

Urea berasal dari hasil katabolisme protein. Protein dari makanan akan
mengalami perombakan di saluran pencernaan (duodenum) menjadi molekul
sederhana yaitu asam amino. Selain asam amino, hasil perombakan protein juga
menghasilkan senyawa yang mengandung unsur nitrogen (N), yaitu amonia
(NH3). Asam amino tersebut merupakan produk dari perombakan protein yang
dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Sedangkan amonia merupakan senyawa toksik
yang bersifat basa dan akan mengalami proses detoksifikasi di hati menjadi
senyawa yang tidak toksik, yaitu urea melalui siklus urea. Selain itu, urea juga
disintesis di hati melalui siklus urea yang berasal dari oksidasi asam amino. Pada
siklus urea, kelompok asam amino (amonia dan L-aspartat) akan diubah menjadi
urea. Produksi urea di hati diatur oleh N-acetylglutamate. Urea kemudian
mempunyai sifat yang mudah berdifusi dalam darah dan diekskresi melalui ginjal
sebagai komponen urin, serta sejumlah kecil urea diekskresikan melalui keringat.
Sedangkan uremia adalah suatu sindrom klinis yang berhubungan dengan
ketidakseimbangan cairan, elektrolit dan hormon serta abnormalitas metabolik
yang berkembang secara paralel dengan menurunnya fungsi ginjal. Uremia sendiri
berarti ureum di dalam darah. Uremia lebih sering terjadi pada chronic kidney
disease (CKD), tetapi dapat juga terjadi pada acute renal failure (ARF) jika
penurunan fungsi ginjal terjadi secara cepat. Hingga sekarang, belum ditemukan
satu toksin uremik yang ditetapkan sebagai penyebab segala manifestasi klinik
pada uremia. 1

Gambar 1. Gejala klinis pada Uremia


3.2.2 Epidemiologi4

Prevalensi internasional tidak diketahui. Di Amerika Serikat, prevalensi


UE sulit ditentukan. UE dapat terjadi pada pasien manapun dengan end-stage
renal disease (ESRD),dan secara langsung tergantung pada jumlah pasien
tersebut. Pada 1990an, lebih dari 165,000 orang diobati untuk ESRD. Pada tahun
1970an, jumlahnya 40,000. Dengan bertambahnya jumlah pasien dengan ESRD,
diasumsikan jumlah kasus UE juga bertambah.

Mortalitas

Gagal ginjal fatal jika tidak ditangani

 UE menunjukkan fungsi ginjal yang memburuk. Jika tidak ditangani, UE


dapat menyebabkan koma dan kematian.
 Pasien memerlukan penanganan agresif untuk mencegah komplikasi dan
menjaga homeostasis yang tergantung pada intensive care dan dialisis. Di
AS, lebih dari 200.000 pasien menjalani hemodialisa.

Ras

Gagal ginjal lebih sering pada ras Afrika Amerika dibandingkan ras lainnya.

Jenis Kelamin

Insidens pada pria dan wanita sama banyak.

Usia

Pasien pada berbagai usia dapat mengalami gagal ginjal, namun lebih
progresif pada usia lanjut, yaitu pasien di atas 65 tahun.

3.2.3 Patofisiologi
Patofisiologi dari UE belum diketahui secara jelas. Urea menembus sawar
darah otak melalui sel endotel dari kapiler otak. Urea sendiri tidak bisa dijadikan
satu-satunya penyebab dalam terjadinya ensefalopati, karena jumlah ureum dan
kreatinin tidak berhubungan dengan tingkat penurunan kesadaran ataupun adanya
asterixis dan myoclonus.5
Perubahan yang ditemukan pada mayat pasien dengan chronic kidney
disease biasanya ringan, tidak spesifik dan lebih berhubungan dengan penyakit
yang menyertainya. Jumlah kalsium pada korteks serebri hampir dua kali lipat
dari nilai normal. Peningkatan jumlah kalsium ini mungkin diperantarai oleh
aktivitas hormon Paratiroid. Hal ini didukung oleh hasil penelitian pada anjing
yang mengalami gagal ginjal akut maupun kronik, EEG dan abnormalitas kalsium
dapat dicegah dengan dilakukannya paratiroidektomi. Pada manusia dengan gagal
ginjal, EEG dan gangguan psikologik juga dapat membaik dengan
paratiroidektomi.6
Pada gangguan ginjal, metabolisme otak menurun sehingga menyebabkan
rendahnya konsumsi oksigen serebri. Penjelasan yang memungkinkan pada
perubahan ini adalah reduksi neurotransmitter, menyebabkan aktivitas metabolik
berkurang. Pompa Na/K ATPase mengeluarkan kalsium dari sel eksitabel dan
penting dalam menjaga gradien kalsium 10 000:1 (di luar−di dalam sel). Dengan
adanya uremia, terdapat peningkatan kalsium transpor akibat PTH. Beberapa studi
menyatakan bahwa aktivitas pompa Na/K ATPase ouabain-sensitif menurun pada
keadaan uremik akut maupun kronik. Karena pompa ini penting dalam pelepasan
neurotransmitter seperti biogenic amines, hal ini dapat membantu menjelaskan
gangguan fungsi sinaps dan menurunnya konsentrasi neurotransmitter yang
ditemukan pada tikus yang mengalami uremi. 6
Pada tahap awal UE, plasma dan LCS menunjukkan peningkatan jumlah
glisin dan glutamin serta menurunnya GABA, sehingga terjadi perubahan
metabolisme dopamin dan serotonin di dalam otak, menyebabkan gejala awal
berupa clouded sensorium. Bukti selanjutnya bahwa terdapat gangguan fungsi
sinaps yaitu adanya studi bahwa dengan memburuknya uremia, terjadi akumulasi
komponen guanidino, terutama guanidinosuccinic acid, yang meningkat pada otak
dan LCS pada gagal ginjal, memiliki efek inhibisi pada pelepasan ã-aminobutyric
acid (GABA) dan glisin pada binatang percobaan, juga mengaktivasi reseptor N-
methyl-D-aspartate (NMDA). Toksin ini kemungkinan menganggu pelepasan
neurotransmitter dengan cara menghambat channel klorida pada membran
neuronal. Hal ini dapat menyebabkan myoklonus dan kejang. Sebagai tambahan,
methylguanidine terbukti menghambat aktivitas pompa Na/K ATPase.6,7,8

Gambar 2. Ilustrasi efek neurotoksik dari uremia pada sistem saraf pusat

Kontribusi aluminium pada UE kronik masih belum jelas diketahui.


Sumber alumunium diperkirakan dari diet dan obat-obatan terikat fosfat. Transpor
aluminium menuju otak hampir pasti melalui reseptor transferin pada permukaan
luminal pada sel endotel kapiler otak. Jika sudah melewati otak, aluminium dapat
mempengaruhi ekspresi âA4 protein prekursor yang melalui proses kaskade
menyebabkan deposisi ekstraselular dari âA4 protein. Secara ringkas,
patofisiologi dari UE adalah kompleks dan mungkin multifaktorial.6

3.2.4 Gejala klinis


Apatis, fatig, iritabilitas merupakan gejala dini. Selanjutnya, terjadi
konfusi, gangguan persepsi sensoris, halusinasi, dan stupor. Gejala ini dapat
berfluktuasi dari hari ke hari, bahkan dalam hitungan jam. Pada beberapa pasien,
terutama pada pasien anuria, gejala ini dapat berlanjut secara cepat hingga koma.
Pada pasien lain, halusinasi visual ringan dan gangguan konsentrasi dapat
berlanjut selama beberapa minggu.

Pada gagal ginjal akut, clouded sensorium selalu disertai berbagai


gangguan motorik, yang biasanya terjadi pada awal ensefalopati. Pasien mulai
kedutan, jerk dan dapat kejang. Twitch dapat meliputi satu bagian otot, seluruh
otot, atau ekstremitas,aritmik, asinkron pada kedua sisi tubuh pada saat bangun
ataupun tidur. Pada beberapa waktu bisa terdapat fasikulasi, tremor aritmik,
mioklonus, khorea, asterixis, atau kejang. Dapat juga terjadi phenomena motorik
yang tidak terklasifikasi, yang disebut uremic twitch-convulsive syndrome.

Gambar 3. Asterixis
Jika keadaan uremia memburuk, pasien dapat jatuh dalam keadaan koma.
Jika asidosis metabolik yang mengikuti tidak dikoreksi, akan terjadi pernapasan
Kussmaul yang berubah sebelum kematian, menjadi pernapasan Cheyne-Stokes.9

Tabel 2. Gejala dan Tanda Ensefalopati Uremikum10


Ringan Sedang Berat
Anoreksia Muntah Gatal
Mual Lamban Gangguan
orientasi
Insomnia Mudah lelah Kebingungan
“restlessness” Mengantuk Tingkah laku aneh
Kurang atensi Perubahan pola tidur Bicara pelo
Tidak mampu Emosional Hipotermia
menyalurkan ide
Penurunan libido Paranoia Mioklonus
Penurunan kognitif Asterixis
Penurunan abstraksi Kejang
Penurunan Stupor
kemampuan seksual
Koma

3.2.5 Diagnosis

Diagnosis ensefalopati uremik biasanya berdasarkan gejala klinis dan


kemajuannya setelah dilakukan terapi yang adekuat. Pemeriksaan laboratorium
pada UE antara lain darah lengkap, elektrolit, glukosa, ureum, kreatinin, fungsi
hati dan amonia. Pada UE terdapat nilai kreatinin yang tinggi. Darah lengkap
diperiksa untuk melihat adanya anemia karena dapat berperan dalam beratnya
perubahan status mental. Sementara jika ditemukan leukositosis menunjukkan
adanya proses infeksi. Elektrolit, dan glukosa diperiksa untuk menyingkirkan
penyebab ensefalopati lainnya.

Pemeriksaan lumbal pungsi dilakukan untuk menyingkirkan dugaan


infeksi. Pada ensefalopati uremik, LCS sering abnormal, kadangkala menunjukan
pleositosis ringan (biasanya <25 sel/mm3) dan meningkatnya konsentrasi protein
(biasanya <100mg/dl).

EEG biasanya abnormal, tetapi tidak spesifik namun berhubungan dengan


gejala klinis. Selain itu, EEG dapat berguna untuk menyingkirkan penyebab lain
dari konfusi seperti infeksi dan abnormalitas struktural. Gambaran EEG yang
sering ditemukan adalah perlambatan secara general. Ritme tetha pada frontal
yang intermiten dan paroksisimal, bilateral, high voltage gelombang delta juga
sering ditemukan. Kadangkala kompleks spike-wave bilateral atau gelombang
trifasik pada regio frontal dapat terlihat. 3,11,12

Gambar 3. Hasil elektroensefalografi pada pasien uremic encephalopathy,

didapatkan perlambatan general dengan gelombang delta dan theta dan spikes

bilateral12

Pencitraan otak seperti CT scan atau MRI dilakukan untuk


menyingkirkan adanya hematom subdural, stroke iskemik. Namun biasanya
menunjukkan atrofi serebri dan pelebaran ventrikel pada pasien dengan
chronic kidney disease.11

Pemeriksaan Laboratorium

1. Pemeriksaan jumlah sel darah lengkap untuk mendeteksi leukositosis,


yang mungkin menunjukkan penyebab infeksi dan menentukan apakah
terdapat anemia. (Anemia dapat berkontribusi pada keparahan perubahan
mental.)
2. Pemeriksaan kalsium serum, fosfat, dan kadar PTH untuk menentukan
adanya hiperkalsemia, hipofosfatemia, dan hiperparatiroidisme yang
parah, yang menyebabkan ensefalopati metabolik.
3. Kadar magnesium serum mungkin meningkat pada pasien dengan
insufisiensi ginjal, terutama jika pasien mengkonsumsi magnesium yang
mengandung antasida. Hipermagnesemia mungkin bermanifestasi sebagai
ensefalopati.
4. Elektrolit, BUN, kreatinin, dan glukosa
a. Peningkatan kadar BUN dan kreatinin terlihat pada ensefalopati
uremik.
b. Pemeriksaan elektrolit serum dan pengukuran glukosa untuk
menyingkirkan hiponatremia, hipernatremia, hiperglikemia, dan
sindrom hiperosmolar sebagai penyebab ensefalopati.7
5. Kadar obat dalam darah
a. Menentukan kadar obat karena obat dapat terakumulasi pada
pasien dengan gagal ginjal dan berkontribusi untuk ensefalopati
(misalnya, digoxin, lithium).
b. Beberapa obat tidak dapat dideteksi dan diekskresikan oleh ginjal.
Ini juga dapat terakumulasi pada pasien dengan gagal ginjal,
sehingga terjadinya ensefalopati (misalnya, penisilin, cimetidine,
meperidin, baclofen).
Pemeriksaan Radiologi
1. Pasien dengan gejala ringan, awalnya pasien diobati dengan dialisis dan
diamati untuk perbaikan neurologis.
2. Pasien dengan gejala parah
a. Pemeriksaan MRI atau CT scan kepala untuk pasien uremik
dengan gejala neurologis yang parah untuk menyingkirkan
kelainan struktural (misalnya, trauma serebrovaskular, massa
intrakranial).
b. CT scan tidak menunjukkan adanya temuan karakteristik
ensefalopati uremik.7
Pemeriksaan Lain

1. Elektroensefalogram
a. Pemeriksaan EEG biasanya dilakukan pada pasien dengan
ensefalopati metabolik. Temuan biasanya meliputi:
i. Perlambatan dan hilangnya gelombang frekuensi alpha
ii. Disorganisasi
iii. Semburan intermiten gelombang theta dan delta dengan
aktivitas latar belakang lambat.
b. Pengurangan frekuensi gelombang EEG berkorelasi dengan
penurunan fungsi ginjal dan perubahan dalam fungsi otak. Setelah
periode awal dialisis, stabilisasi klinis mungkin terjadi saat temuan
EEG tidak membaik. Akhirnya, hasil EEG bergerak ke arah
normal.
c. Selain dari EEG rutin, evoked potentials (EP) (yaitu, sinyal EEG
yang terjadi pada waktu reproduksi setelah otak menerima stimulus
sensorik [misalnya, visual, auditori, somatosensorik]) dapat
membantu dalam mengevaluasi ensefalopati uremik.
d. Gagal ginjal kronis memperpanjang waktu dari respon visual-
evoked kortikal. Respon auditory-evoked umumnya tidak berubah
dalam uremia, tapi keterlambatan dalam potensi kortikal dari
respon somatosensory-evoked memang terjadi.
2. Tes fungsi kognitif: Beberapa tes fungsi kognitif yang digunakan untuk
mengevaluasi ensefalopati uremik.
a. Uremia dapat mengakibatkan hasil buruk pada tes membuat-
keputusan, yang mengukur kecepatan psikomotor, tes memori terus
menerus, yang mengukur rekognisi jangka pendek, dan tes waktu
reaksi pilihan, yang mengukur membuat keputusan sederhana.
b. Perubahan dalam waktu reaksi pilihan tampaknya berkorelasi baik
dengan gagal ginjal.7
3. Punksi lumbal
a. Pungsi lumbal tidak rutin dilakukan, namun dapat diindikasikan
untuk menemukan penyebab lain dari ensefalopati jika status
mental pasien tidak membaik setelah dialisis dimulai.
b. Tidak ada temuan CSF spesifik menunjukkan ensefalopati uremik.

3.2.6 Diagnosis Banding

Diagnosis banding UE antara lain ensefalopati hipertensif, ensefalopati


hepatikum, sindrom respons inflamasi sistemik pada pasien sepsis, vaskulitis
sistemik, neurotoksisitas akibat obat (opioid, benzodiazepin, neuroleptik,
antidepresan), cerebral vascular disease, hematom subdural. Kejang dapat terjadi
pada UE, ensefalopati hipertensif, emboli serebral, gangguan elektrolit dan asam-
basa, tetanus.9,11

3.2.7 Penatalaksanaan

Pada penatalaksanaan uremic encephalopathy, penyakit ginjal yang terjadi


sangat penting, karena pada keadaan irreversibel dan progresif, prognosis buruk
tanpa dialisis dan transplantasi renal. UE akut ditatalaksana dengan hemodialisis
atau peritoneal dialisis, walaupun biasanya dibutuhkan waktu 1 sampai 2 hari
dibutuhkan untuk mengembalikan status mental. Kelainan kognitif dapatmenetap
meskipun setelah dialisis. Kerugian dari dialisis adalah sifat non-spesifik sehingga
dialisis juga dapat menghilangkan komponen esensial. Transplantasi ginjal juga
dapat dipertimbangkan.12
Eliminasi toksin uremik juga dipengaruhi oleh uptake intestinal dan fungsi
renal. Uptake intestinal bisa dikurangi dengan mengatur diet atau dengan
pemberian absorbent secara oral. Studi menunjukkan untuk menurunkan toksin
uremik dengan diet rendah protein, atau pemberian prebiotik.atau probiotik seperti
bifidobacterium. Menjaga sisa fungsi ginjal juga penting untuk eliminasi toksin
uremik.12
Dalam praktek klinis, obat antikonvulsan yang sering digunakan dalam
menangani kejang yang berhubungan dengan uremia adalah benzodiazepine untuk
kejang myoklonus, konvulsif atau non-konvulsif parsial kompleks atau absens;
ethosuximide, untuk status epileptikus absens; Fenobarbital, untuk status
epileptikus konvulsif.13 Sementara itu, gabapentin dapat memperburuk kejang
myoklonik pada end stage renal disease. 14

Benzodiazepin (BZD) dan Fenobarbital bekerja meningkatkan aktivitas


GABA dengan berikatan pada kompleks reseptor GABA A, sehingga
memfasilitasi GABA untuk berikatan dengan reseptor spesifiknya. Terikatnya
BZD menyebabkan peningkatan frekuensi terbukanya channel klorida,
menghasilkan hiperpolarisasi membran yang menghambat eksitasi selular.15
Gambar 3.4. Mekanisme kerja Benzodiazepine15

Koreksi anemia dengan eritropoetin rekombinan pada pasien dialisis


dengan target Hb 11 sampai 12 g/dl dapat berhubungan dengan meningkatnya
fungsi kognitif dan menurunkan perlambatan pada EEG.11
BAB V
KESIMPULAN

Chronic Kidney Disease atau penyakit ginjal kronik didefinisikan sebagai


keadaan dimana nilai Glomerulus Filtration Rate (GFR) < 60 L / min / 1.73 m2
yang hadir selama ≥ 3 bulan dengan atau tanpa bukti kerusakan. Klasifikasi GGK
dibagi atas 5 tingkatan derajat yang didasarkan pada LFG dengan ada atau
tidaknya kerusakan ginjal. Pada derajat 1-3 biasanya belum terdapat gejala apapun
(asimptomatik).Laporan Indonesian Renal Registry (IRR) menunjukkan 82,4%
pasien GGK di Indonesia menjalani hemodialisis pada tahun 2014 dan jumlah
pasien hemodialisis mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Laporan IRR
mencatat bahwa penyebab gagal ginjal pada pasien yang menjalani hemodialisis
adalah hipertensi (37%), diabetes melitus (27%) dan glomerulopati primer (10%).
Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat
kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan
hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan
kelainan kardiovaskular.
Penatalaksanaan pada penyakit ginjal kronik bisa dibagi atas terapi untuk
penyakit penyebab, memperlambat progresivitas penyakit ginjal kronik, dan
penanganan komplikasi. Terapi untuk penyakit penyebab tentu sesuai dengan
patofisiologi masing-masing penyakit. Pencegahan progresivitas penyakit ginjal
kronik bisa dilakukan dengan beberapa cara, antara lain restriksi protein, kontrol
glukosa, kontrol tekanan darah dan proteinuria, penyesuaian dosis obat-obatan,
dan edukasi. Pada pasien yang sudah gagal ginjal dan terdapat gejala uremia,
hemodialisis atau terapi pengganti lain bisa dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu
penyakit dalam Edisi VI. Jakarta: InternaPublishing; 2014.
2. Pongsibidang GS. Risiko Hipertensi, Diabetes, dan Konsumsi Minuman
Herbal Pada Kejadian Gagal Ginjal Kronik di RSUP DR. Wahidin
Sudirohusono Makassar 2015. Jurnal Wijayata. 2016;3(2).
3. Dharma PS, dkk,. Penyakit Ginjal Deteksi Dini dan Pencegahan.
Yogjakarta: CV Solusi Distribusi; 2015.
4. Arora, P. 2015. Chronic Kidney Disease. Medscape Reference. Diakses
pada tanggal 27 November 2018. Tersedia
dari:http://emedicine.medscape.com
5. Pongsibidang GS. Risiko Hipertensi, Diabetes, dan Konsumsi Minuman
Herbal Pada Kejadian Gagal Ginjal Kronik di RSUP DR. Wahidin
Sudirohusono Makassar 2015. Jurnal Wijayata. 2016;3(2).
6. Chris T, et al. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media aeskulapius;
2016.
7. Simon, D. Tom, B. Chronic kidney disease : identification and
management in primary care. NCBI; 2016.
8. Evi, N. Rachael, L. Chronic kidney disease. The lancet; 2016.
9. Daphne, H. Morgan, E. Chronic kidney disease diagnosis and
management. Jama Network; 2019.
10. Razmaria, M. Chronic kidney disease. Jama Nework; 2016.
11. PERKENI. Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di
Indonesia. Jakarta: 2015; Hal 12-69.
12. Wenjun, Fan. Epidemiology in diabetes mellitus and cardiovascular
disease. Cardiovascular Endocrinology & Metabolism; 2017.
13. Fatimah RN. Diabetes Melitus tipe 2, dalam J Majority vol 4 no 5 p 93-
101. Semarang: 2015.
14. Harrison. Principles of internal medicine. Volume 1. 20th edition.
Mcgraw-hill education; 2018.
15. Infodatin. Situasi dan Analisis Diabetes Melitus. Pusat Data dan Informasi
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2014.
16. WHO. Guidelines for prevention, management and care of diabetes
mellitus; 2006.
17. Alwi, Idrus. Salim, S. Hidayat, R. Paduan praktik klinis di bidang ilmu
penyakit dalam. PAPDI;2015.
18. American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes;
2018.
19. Gang, W. Jian, Q. The analysis of risk factors for diabetic nephropathy
progression and the construction of a prognostic database for chronic
kidney diseases. BMC; 2019.
20. Kaustik, U. Julia, B. Update on Diabetic Nephropathy: Core Curriculum
2018. National kidney foundation; 2018.

Anda mungkin juga menyukai