Anda di halaman 1dari 29

SMF/Bagian Ilmu Penyakit Dalam LAPORAN KASUS

RSUD Dr. T. C. Hillers April 2021


Fakultas Kedokteran
Universitas Nusa Cendana

SINDROM NEFROTIK

Disusun Oleh:
Jessica Allo, S.Ked
2008020059

Pembimbing:
dr. Angela Merici, Sp.PD

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


SMF/BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA
RSUD DR.T.C.HILLERS MAUMERE
2021

i
DAFTAR ISI

SINDROM NEFROTIK...........................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB 2 LAPORAN KASUS....................................................................................2
2.1 Identitas Pasien..........................................................................................2
2.2 Anamnesis.................................................................................................2
2.3 Pemeriksaan Fisik......................................................................................3
2.4 Pemeriksaan Penunjang.............................................................................4
2.5 Diagnosis...................................................................................................7
2.6 Planning.....................................................................................................7
2.7 Follow Up..................................................................................................8
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA............................................................................13
2.1 Definisi....................................................................................................13
2.2 Etiologi....................................................................................................13
2.3 Epidemiologi...........................................................................................15
2.4 Patofisiologi.............................................................................................15
2.5 Tanda dan Gejala.....................................................................................17
2.6 Diagnosis.................................................................................................17
2.7 Penatalaksanaan.......................................................................................20
2.8 Komplikasi..............................................................................................20
2.9 Prognosis.................................................................................................22
BAB 4 PEMBAHASAN........................................................................................23
BAB 5 KESIMPULAN..........................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................27

ii
1

BAB 1
PENDAHULUAN

Sindrom Nefrotik (SN) adalah kumpulan dari manifestasi renal dan


ekstrarenal yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit sistemik maupun
kerusakan primer pada ginjal.[1] Sindrom ini merupakan manifestasi klinik
glomerulonefritis yang ditandai dengan proteinuria masif (≥ 3 – 3,5 g/hari atau
rasio protein kreatinin pada urin sewaktu > 300-350 mg/mmol), hipoalbuminemia
(<25 g/l), hiperkolesterolnemia (total kolesterol > 10 mmol/L), dan manifestasi
klinis edema periferal. Pada proses awal atau SN ringan tidak semua gejala dapat
ditemukan untuk menegakkan diagnosis.[2]
Prevalensi SN kelainan minimal di negara barat terjadi sekitar 2-3 kasus
per 100.000 anak yang berusia < 16 tahun, di Asia 16 kasus per 100.000 anak dan
di Indonesia sekitar 6 kasus per 100.000 pada anak berusia < 14 tahun. SN dapat
terjadi pada semua usia, dengan perbandingan pria dan wanita 1:1 pada orang
dewasa. Namun, sindrom ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibanding
anak perempuan dengan rasio 2:1. Tetapi, secara keseluruhan sindrom ini lebih
sering terjadi pada laki-laki. Insiden tahunan pada anak-anak sekitar 2-7 kasus per
100.000 anak di bawah usia 18 tahun. Sekitar 90% kasus berumur < 7 tahun
dengan usia rata-rata 2-5 tahun. Pada kebanyakan anak, tanda pertama dari SN
adalah edema pada daerah wajah.[3,4]
Proteinuria masif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN yang berat
yang disertai kadar albumin serum rendah, ekskresi protein dalam urin dapat
berkurang. Proteinuria juga berkontribusi terhadap berbagai komplikasi yang
terjadi pada SN. Hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan lipiduria, gangguan
keseimbangan nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan metabolisme kalsium dan
tulang, serta hormon tiroid sering dijumpai pada SN. Umumnya pada SN fungsi
ginjal normal, kecuali pada sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit
ginjal tahap akhir. Pada beberapa episode SN dapat sembuh sendiri dan
menunjukkan respon yang baik terhadap terapi steroid, tetapi sebagian lagi dapat
berkembang menjadi kronik.[3,5]
2

BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Ny SDK
Umur : 20 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Tidak bekerja
Agama : Katolik
Status Pernikahan : Belum menikah
Ruang : Mawar
Bed : 3A2
Masuk Rumah Sakit : 18 Maret 2021
Keluar Rumah Sakit : 23 Maret 2021

2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis 22 Maret 2021 di Ruang
Mawar kelas 3.

Keluhan Utama : Bengkak pada wajah sejak 1 bulan SMRS


Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke IGD dengan keluhan
bengkak pada wajah sejak 1 bulan SMRS. Kedua kaki serta tangan pasien
juga ikut membengkak setelah wajah. Pasien juga merasa perut mulai
membesar seiring waktu. Rasa berdebar juga dirasakan pasien. Keluhan
disertai dengan pusing sejak 1 bulan SMRS. Pusing terasa berputar hingga
mau jatuh sehingga ke WC pun tidak bisa. Pasien juga mengeluhkan sakit
kepala dari leher naik ke kepala sejak 1 bulan sehingga malam tidak bisa
tidur, mata kabur sehingga sulit melihat dengan jelas. Susah BAB selama
1 bulan dan BAK sedikit.
Riwayat Penyakit Dahulu: Pasien memiliki riwayat anemia karena haid
terlalu banyak dan tekanan darah tinggi. Pada bulan Januari 2020, pasien
3

MRS selama 1 minggu dengan Hb 2,2 dan dikoreksi dengan transfusi


sehingga Hb menjadi 10,2. Pasien juga didiagnosa dengan penyakit ginjal
4 tahun yang lalu.
Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang pernah
sakit dengan gejala yang serupa.
2.3 Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum: tampak sakit sedang
2. Tanda vital
– Tekanan darah: 190/140 mmHg
– Nadi : 84 kali/menit
– Pernapasan : 20 kali/menit
– Suhu : 37oC
– SpO2 : 97%
3. Kepala
– Deformitas : tidak ada
– Bentuk : normocephal
– Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, edema
periorbita +/+
– Mulut : lidah kotor (-), karies (-)
4. Leher
– Kelenjar GB : pembengkakan (-)
– Tiroid : pembesaran (-)
– Massa lain : tidak ada
5. Thoraks
– Jantung
– I : iktus kordis tidak tampak
– P : iktus kordis teraba di ICS 5 linea midklavikularis sinistra
– P : pekak, batas-batas jantung dalam batas normal
– A : bunyi jantung 1 & 2 murni regular
– Paru
– I : pengembangan dada simetris bilateral
4

– P : vokal fremitus kiri sama dengan kanan kesan normal


– P : sonor di seluruh lapangan paru
– A :
Vesikuler +/+ Rhonki -/- Wheezing -/-
+/+ -/- -/-
+/+ -/- -/-
6. Abdomen
– I : datar, sikatrik (-)
– A : peristaltik kesan normal, BU (+)
– P : terdapat perubahan dari timpani ke pekak, shifting
dullness (+)
– P : nyeri tekan epigastrium (+), organomegali (-).
7. Ekstremitas
– Akral hangat (+)
– Edema pitting
+ +
+ +
– CRT <2’
– Kekuatan otot 5/5.
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap (18/3/2021)

Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan


WBC 10,65 10^3/uL 4,0 – 11
RBC 3,22 10^6/uL 4,50-6,50
HB 7,7 g/dL 13,0-18,0
MCV 67,7 Fl 76 – 96
MCH 23,9 Pg 27-32
MCHC 35,3 g/dL 30-35
HCT 21,8 % 40-54
5

PLT 234 10^3/L 150-440


Neutrofil 61,8 % 40,0-75,0
Eosinofil 9,1 % 0,0-4,0
Basofil 0,5 % 0,0-1,0
Limfosit 20,4 % 20,0-45,0
Monosit 8,2 % 2,0-8,0

Fungsi Hati (18/3/2021)

Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan


Albumin 1.03 g/dL 3,5-5,5
SGOT 27 U/L 10-40
SGPT 15 U/L 10-40

Fungsi Hati (22/3/2021)

Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan


Albumin 1.92 g/dL 3,5-5,5

Fungsi Ginjal (18/3/2021)

Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan


P : 0,5 – 11 ;
Kreatinin 2.09 mg/dL
L : 0,7 – 1,3
Asam urat 14,37 mg/dL 7 – 21

Fungsi Ginjal (22/3/2021)

Parameter Hasil Satuan Nilai rujukan


Ureum 130 mg/dL 17,1 – 42,8
P : 0,5 – 1,1
Kreatinin 2,38 mg/dL
L : 0,7 – 1,3
BUN 61 mg/dL 7- 21
6

Gula Darah Sewaktu (18/3/2021)

Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan


GDS 103 mg/dL <200

Profil Lemak (18/3/2021)

Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan


Yang diinginkan : <200
Kolesterol
578 mg/dL Batas tinggi : 200-239
total
Tinggi : >239

Analisa Urin Rutin (18/3/2021)

Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan


Warna urin Kuning Kuning Manual

Kejernihan Jernih jernih manual

1,003-
BJ Urine 1,010 Dipstick
1,030

pH Urine 7,5 4,6-8,5 Dipstick

Glukosa urine Negative Negative Dipstick

Protein urine 4+* Negative Dipstick

Keton urine Negative Negative Dipstick

Bilirubin urine Negative Negative Dipstick

Urobilinogen
Negative Negative Dipstick
urine

Nitrit urine Negative Negative Dipstick

Darah urine 3+* Negative Dipstick

Lekosit
1+ Negative Dipstick
esterase urine
7

Mikrobiologi – Imunologi – Parasitologi (18/3/2021)

Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan


SARS CoV-2
Negatif Negatif
Antigen

2.5 Diagnosis
1. Sindrom nefrotik
1.1 Hipertensi
1.2 Hiperkolesterolnemia
1.3 Proteinuria
2. Hipoalbuminemia
3. Cystitis akut
4. Anemia hipokrom mikrositer
5. Hiperurisemia
6. Azotemia
7. ODS optic disc swelling ec sindrom nefrotik
2.6 Planning
1. IVFD NaCl 500 cc/24 jam
2. Diet rendah lemak, rendah garam, dan TKTP 1300 kkal/hari + makan
putih telur selama 6 bulan
3. Albumin 20% 100 cc/hari (3 kali)
4. Captopril 2x25 mg PO
5. Furosemid 40-20-0 mg IV
6. Simvastatin 1x20 mg PO
7. Methylprednisolon 2x62,5 mg PO
8. Ceftriaxone 2x1 gr IV (hari 2)
9. SF 3x1 tab PO
10. Allopurinol 1x100 mg PO
11. B complex 3x1 PO  terapi dari mata
8

2.7 Follow Up

19/3/2021 Subjective Assessment Planning

– Sakit kepala hilang timbul (+), 1. Sindrom nefrotik Dx


penglihatan kabur (+), nyeri ulu hati 1.1 Hipertensi
(+), mual (+), muntah (-), susah BAB, 1.2 Hiperkolesterolnemia Tx
BAK lancar 1.3 Proteinuria
2. Hipoalbuminemia – IVFD NaCl 500 cc/24 jam
Objective – Diet rendah lemak, rendah
3. Cystitis akut
4. Anemia hipokrom garam, dan TKTP 1300
– KU : TSS, CM
mikrositer kkal/hari + makan putih
– TD : 160/100 mmHg
5. Hiperurisemia telur selama 6 bulan
– HR : 78x/min
6. Azotemia – Albumin 20% 100 cc/hari
– Suhu : 36,6oC (3 kali)
– RR : 20x/min – Captopril 2x25 mg PO
– SpO2 : 98% – Furosemid 40-20-0 mg IV
– Mata : KA -/- SI -/-, edema periorbita – Simvastatin 1x20 mg PO
+/+ – Methylprednisolon 2x62,5
– Leher : KGB (-), retraksi (-) mg PO
– Thorax : ves +/+, Rh -/-, Wh -/- – Ceftriaxone 2x1 gr IV
– Abd : datar, BU (+), NTE (+), terdapat (hari 2)
perubahan dari timpani ke pekak, – SF 3x1 tab PO
shifting dullness (+) – Allopurinol 1x100 mg PO
– Ext : akral hangat, CRT <2’, edema
pitting Mon
+ +
– TTV
+ + – Keluhan
9

– Cek ureum kreatinin


tanggal 22 Maret
– Balance

20/3/2021 Subjective Assessment Planning

– Sakit kepala hilang timbul (+), 1. Sindrom nefrotik Dx


penglihatan kabur (+), nyeri ulu hati (-), 1.1 Hipertensi
mual (+), muntah (-), susah BAB, BAK 1.2 Hiperkolesterolnemia Tx
lancar 1.3 Proteinuria
2. Hipoalbuminemia – IVFD NaCl 500 cc/24 jam
Objective – Diet rendah lemak, rendah
3. Cystitis akut
4. Anemia hipokrom garam, dan TKTP 1300
– KU : TSS, CM
mikrositer kkal/hari + makan putih
– TD : 130/90 mmHg
5. Hiperurisemia telur selama 6 bulan
– HR : 85x/min
6. Azotemia – Albumin 20% 100 cc/hari
– Suhu : 36,9oC (3 kali)
– RR : 20x/min – Captopril 2x25 mg PO
– SpO2 : 99% – Furosemid 40-20-0 mg IV
– Mata : KA -/- SI -/-, edema periorbita – Simvastatin 1x20 mg PO
+/+ – Methylprednisolon 2x62,5
– Leher : KGB (-), retraksi (-) mg PO
– Thorax : ves +/+, Rh -/-, Wh -/- – Ceftriaxone 2x1 gr IV
– Abd : datar, BU (+), NTE (+),terdapat (hari 2)
perubahan dari timpani ke pekak, – SF 3x1 tab PO
shifting dullness (+) – Allopurinol 1x100 mg PO
– Ext : akral hangat, CRT <2’, edema – B complex 3x1 PO 
pitting terapi dari mata
+ +
10

Mon
+ +
– TTV
– Keluhan
– Cek USG tanggal 22
Maret
– Balance
22/3/2021 Subjective Assessment Planning

– Sakit kepala sejak semalam hilang 1. Sindrom nefrotik Dx


timbul, penglihatan kabur (+), nyeri ulu 1.1 Hipertensi
hati (+), mual (+), muntah (-), susah 1.2 Hiperkolesterolnemia – IVFD NaCl 500 cc/24 jam
BAB, BAK lancar 1.3 Proteinuria – Diet rendah lemak, rendah
2. Hipoalbuminemia garam, dan TKTP 1300
Objective
3. Cystitis akut kkal/hari + makan putih
4. Anemia hipokrom telur selama 6 bulan
– KU : TSS, CM
mikrositer – Captopril 2x50 mg PO
– TD : 190/140 mmHg
5. Hiperurisemia – Furosemid 40-20-0 mg IV
– HR : 84x/min
6. Azotemia – Simvastatin 1x20 mg PO
– Suhu : 37oC
7. ODS optic disc swelling – Methylprednisolon 2x62,5
– RR : 20x/min
ec sindrom nefrotik mg PO
– SpO2 : 97%
– Ceftriaxone 2x1 gr IV
– Mata : KA -/- SI -/-, edema periorbita
(hari 4)
+/+
– SF 3x1 tab PO
– Leher : KGB (-), retraksi (-)
– Allopurinol 1x100 mg PO
– Thorax : ves +/+, Rh -/-, Wh -/-
– B complex 3x1 PO 
– Abd : datar, BU (+), NTE (+),terdapat
terapi dari mata
perubahan dari timpani ke pekak,
11

shifting dullness (+) Mon


– Ext : akral hangat, CRT <2’, edema
pitting – TTV
+ + – Keluhan
– Cek ureum kreatinin =
+ + albumin tanggal 22 Maret
– Balance
23/3/2021 Subjective Assessment Planning

– Sakit kepala hilang timbul (+), 1. Sindrom nefrotik Dx : -


penglihatan kabur (+), nyeri ulu hati 1.1 Hipertensi
(+), mual (-), muntah (-), susah BAB, 1.2 Hiperkolesterolnemia Tx
BAK lancar 1.3 Proteinuria
2. Hipoalbuminemia – IVFD NaCl 500 cc/24 jam
Objective – Diet rendah lemak, rendah
3. Cystitis akut
4. Anemia hipokrom garam, dan TKTP 1300
– KU : TSS, CM
mikrositer kkal/hari + makan putih
– TD : 150/100 mmHg
5. Hiperurisemia telur selama 6 bulan
– HR : 80x/min
6. Azotemia – Captopril 3x50 mg PO
– Suhu : 36,5oC
7. ODS optic disc swelling – Furosemid 2x40 mg PO
– RR : 20x/min
ec sindrom nefrotik – Simvastatin 1x20 mg PO
– SpO2 : 98% – Methylprednisolon 3x16
– Mata : KA -/- SI -/-, edema periorbita mg PO
+/+ – Cefixim 2x200 mg PO
– Leher : KGB (-), retraksi (-) – SF 3x1 tab PO
– Thorax : ves +/+, Rh -/-, Wh -/- – Allopurinol 1x100 mg PO
– Abd : datar, BU (+), NTE (+),terdapat – B complex 3x1 PO 
perubahan dari timpani ke pekak, terapi dari mata
12

shifting dullness (+) Mon


– Ext : akral hangat, CRT <2’, edema
pitting – TTV
+ + – Keluhan
– Balance
+ +
13

BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Sindrom nefrotik (SN) merupakan sindrom klinik yang ditandai dengan
adanya peningkatan permeabilitas membran glomerulus, manifestasi proteinuri
masif yang menyebabkan hipoalbuminemia dan biasanya disertai edema serta
hiperkolesterolemia. Biasanya pasien datang dengan keluhan edema dan fatigue,
tanpa adanya gagal jantung atau penyakit hati berat.[1]
2.2 Etiologi
Sebagian besar kasus SN disebabkan oleh penyakit ginjal primer.
Nefropati membranosa dan glomerulosklerosis fokal segmental (FSGS)
merupakan jenis yang paling sering ditemukan pada sepertiga dari seluruh kasus
SN primer (idiopatik). FSGS merupakan penyebab tersering dari SN yang
diketahui terjadi pada usia remaja. FSGS tercatat ada pada sekitar 3,3% penyakit
ginjal tahap akhir (ESRD). Sekitar 25% kasus SN idiopatik dibsebabkan oleh
penyakit kelainan minimal dan nefropati IgA. Pada SN sekunder, penyakit yang
paling sering mendasari terjadinya SN adalah diabetes mellitus.[5,6]
Pada SN primer, umumnya tidak diketahui penyebabnya. Namun
berdasarkan gambaran dari histopatologi, dapat terbagi menjadi:[3,5,7,8]
1.  GN lesi minimal (GNLM);
2.  Glomerulosklerosis fokal segmental (GSF);
3.  GN membranosa (GNMN);
4.  GN Membranoproliferatif (GNMP);
5   GN proliferatif lain
14

Tabel 2.1 Jenis tersering dari sindrom nefrotik idiopatik.[5]


SN sekunder dapat disebabkan oleh berbagai penyakit yang
mendasarinya, antara lain:[3,5,7,8]
1. Infeksi : malaria, hepatitis B dan C, GNA pasc infeksi, HIV, sifilis, TB,
lepra, skistosoma
2. Keganasan : leukemia, Hodgkin’s disease, adenokarsinoma (paru,
payudara, kolon), multiple myeloma, karsinoma ginjal
3. Jaringan penghubung : Systemic Lupus Erytematous (SLE), Reumatoid
artritis, Mixed Connective Tissue Disease (MCTD)
4. Metabolik : Diabetes melitus, amiloidosis
5. Efek obat dan toksin : OAINS, preparat emas, penisilinami, probenesid,
captopril, heroin
6. Berdasarkan respon steroid, dibedakan respon terhadap steroid (sindrom
nefrotik yang sensitif terhadap steroid (SNSS) yang lazimnya berupa
kelainan minimal, tidak perlu biopsi), dan resisten steroid atau SNRS yang
lazimnya bukan kelainan minimal dan memerlukan biopsi.
15

Tabel 2.2 Penyebab tersering dari sindrom nefrotik sekunder.[5]


2.3 Epidemiologi
Prevalensi SN kelainan minimal di negara barat terjadi sekitar 2-3 kasus
per 100.000 anak yang berusia < 16 tahun, di Asia 16 kasus per 100.000 anak dan
di Indonesia sekitar 6 kasus per 100.000 pada anak berusia < 14 tahun. Sindrom
ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibanding anak perempuan dengan rasio
2:1 pada kelompok usia yang lebih muda, namun setelah masa remaja, tidak ada
perbedaan yang signifikan pada laki-laki dan perempuan. Tetapi, secara
keseluruhan sindrom ini lebih sering terjadi pada laki-laki. Insiden tahunan pada
anak-anak sekitar 2-7 kasus per 100.000 anak di bawah usia 18 tahun. Sekitar
90% kasus berumur < 7 tahun dengan usia rata-rata 2-5 tahun. Pada kebanyakan
anak, tanda pertama dari SN adalah edema pada daerah wajah. Namun, sindrom
ini dapat terjadi pada semua populasi usia.[4,6]

2.4 Patofisiologi
a. Proteinuria
16

Proteinuria disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler terhadap


protein akibat kerusakan glomerulus (kebocoran glomerulus) yang ditentukan oleh
besarnya molekul dan muatan listrik, dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi
tubulus (proteinuria tubular). Perubahan integritas membrana basalis glomerulus
menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap perotein plasma dan
protein utama yang dieksresikan dalam urin adalah albumin.[3,8]
b. Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan
peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya
meningkat, namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam
urin. Peningkatan permeabilitas glomerulus menyebabkan albuminuria dan
hipoalbuminemia. Sebagai akibatnya hipoalbuminemia menurunkan tekanan
onkotik plasma koloid, meyebabkan peningkatan filtrasi transkapiler cairan keluar
tubuh dan menigkatkan edema.[3,8]
c. Hiperlipidemia
Hiperlipidemia merupakan peningkatan profil lipid dalam darah yang
sering menyertai SN. Kadar kolesterol umumnya meningkat sedangkan trigliserid
bervariasi dari normal sampai sedikit meninggi. Kolesterol serum yang
mengalami peningkatan yakni VLDL (very low density lipoprotein), LDL (low
density lipoprotein), ILDL (intermediate-density lipoprotein), sedangkan HDL
(high density lipoprotein) cenderung normal atau rendah. Hal ini disebabkan
karena adanya peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati dan menurunnya
katabolisme.[3]
d. Edema
Edema pada SN dapat dijelaskan dengan teori underfill dan overfill. Teori
underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya
edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik
plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskuler ke jaringan interstisium dan
terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik dan bergesernya cairan plasma,
terjadi hipovolemia dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan
retensi natrium dan air. Mekanisme ini akan memperbaiki volume intravaskuler
17

tetapi juga akan memperberat edema karena kadar albumin yang tidak mampu
menjaga cairan intravaskuler. Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium
sebagai defek renal utama. Retensi natrium menyebabkan peningkatan cairan
ekstraseluler sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat
kerusakan ginjal akan terus mengaktivasi sistem retensi natrium dan air oleh ginjal
sehingga edema semakin berlanjut.[3,9]
2.5 Tanda dan Gejala
Pada SN dapat ditemukan berbagai tanda, antara lain proteinuria masif >3-
3,5 gr/hari dan serum albumin <25g/l. Gejala yang sering tampak yakni edema
pada kedua tungkai, berat badan meningkat, dan lelah. Pada kasus lain dapat
disertai edema periorbital dan edema genital, asites, atau efusi pleura maupun
efusi perikard.[2]
2.6 Diagnosis
Diagnosis SN didapatkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Tanda pertama SN pada anak-anak biasanya adalah
pembengkakan pada wajah, lalui diikuti dengan pembengkakan di seluruh tubuh.
Orang dewasa bisa datang dengan edema pada extremitas bawah. Edema adalah
ciri yang menonjol dari SN dan pada awalnya terjadi di sekitar mata dan
extremitas bawah. Seiring waktu, edema menjadi edema anasarka, dan mungkin
terjadi peningkatan berat badan, penumpukan cairan pada rongga perut atau asites,
atau efusi pleura. Pada sebagian kecil pasien, dapat terlihat adanya hematuria dan
hipertensi.[4]
Gambaran tambahan pada pemeriksaan akan bervariasi menurut penyebab
dan sebagai akibat dari ada atau tidaknya gangguan fungsi ginjal. Pada kasus
diabetes yang sudah berlangsung lama, pasien mungkin menderita retinopati
diabetik, yang berkorelasi erat dengan nefropati diabetik. Jika fungsi ginjal
berkurang, pasien mungkin mengalami hipertensi, anemia, atau keduanya.
Kelelahan dan kehilangan nafsu makan adalah gejala umum. Komplikasi
trombotik, seperti trombosis vena dalam pada vena betis atau bahkan emboli paru,
mungkin merupakan petunjuk pertama untuk SN.[4] Kriteria diagnostik sindrom
nefrotik meliputi:[2]
18

1. Proteinuria masif >3-3.5 g/24 jam atau rasio protein:kreatinin urin spot
>300-350 mg/mmol
2. Serum albumin <2,5 gr/dl
3. Manifestasi klinis edema perifer
4. Hiperlipidemia (kolesterol total biasanya >350 mg/dL) sering menyertai
Pemeriksaan penunjang pada SN antara lain:[8]
a. Urinalisis
Urinalisis adalah tes awal diagnosis sindrom nefrotik. Proteinuria berkisar
3+ atau 4+ pada pembacaan dipstik, atau melalui tes semikuantitatif dengan asam
sulfosalisilat. 3+ menandakan kandungan protein urin sebesar 300 mg/dL atau
lebih, yang artinya 3g/dL atau lebih yang masuk dalam nephrotic range.[8]
b. Pemeriksaan sedimen urin
Pemeriksaan sedimen akan memberikan gambaran oval fat bodies: epitel
sel yang mengandung butir-butir lemak, kadang-kadang dijumpai eritrosit,
leukosit, torak hialin, dan torak eritrosit.[8]
c. Pengukuran protein urin
Pengukuran protein urin dilakukan melalui timed collection atau single
spot collection. Timed collection dilakukan melalui pengumpulan urin 24 jam,
mulai dari jam 7 pagi hingga waktu yang sama keesokan harinya. Pada individu
sehat, total protein urin ≤150 mg. Adanya proteinuria masif merupakan kriteria
diagnosis. Single spot collection lebih mudah dilakukan. Saat rasio protein urin
dan kreatinin > 2g/mol, ini mengarahkan pada kadar protein urin per hari
sebanyak ≥ 3g.[8]
d. USG renal
Terdapat tanda-tanda glomerulonefritis kronik.[8]
e. Biopsi ginjal
Biopsi ginjal diindikasikan pada anak dengan SN kongenital, onset usia >
8 tahun, resisten steroid, dependen steroid atau frequent relaps, serta terdapat
manifestasi nefritik signifikan. Pada SN dewasa yang tidak diketahui asalnya,
biopsi mungkin diperlukan untuk diagnosis. Penegakan diagnosis patologi penting
dilakukan karena masing-masing tipe memiliki pengobatan dan prognosis yang
19

berbeda. Penting untuk membedakan minimal-change disease pada dewasa


dengan glomerulosklerosis fokal, karena minimal-change disease memiliki respon
yang lebih baik terhadap steroid.[8]
f. Darah
Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai:[8]
 Protein total menurun (N: 6,2-8,1 gr/100ml)
 Albumin menurun (N:4-5,8 gr/100ml)
 Ureum, kreatinin dan klirens kreatinin bisa normal, bisa mengalami
gangguan

Diagnosis sindrom nefrotik[2]


20

2.7 Penatalaksanaan
1. Tata Laksana Farmakologis[9]
 Kombinasi diuretik: loop diuretic dan tiazid. Biasanya diberikan 2
kali sehari
 Penghambat ACE atau ARB sebagai antiproteinuria
 Statin untuk hiperlipidemia
2. Tata Laksana Nonfarmakologis[9]
 Diet. Pola makan yang dianjurkan untuk pasien SN adalah rendah
garam (Na <2 g/hari), rendah lemak jenuh, serta rendah kolesterol
 Asupan protein 0,8 g/KgBB/hari ditambah dengan ekskresi protein
dalam urin selama 24 jam. Apabila fungsi ginjal menurun, asupan
protein diturunkan menjadi 0,6 g/KgBB/ hari ditambah dengan
ekskresi protein dalam urin selama 24 jam
 Restriksi cairan untuk membantu mengurangi edema
 Hindari obat-obatan yang nefrotoksik (OAINS, antibiotik golongan
aminoglikosida, dan sebagainya)
3. Untuk SN dengan penyebab primer, tata laksana bergantung pada etiologi
masing-masing:[9]
a. Glomerulosklerosis fokal segmental
Prednison I mg/ KgBB/ hari (maksimal 80 mg) atau 2 mg/KgBB/2 hari
(maksimal 120 mg). Regimen diberikan minimal 4 minggu, sampai
maksimal 16 minggu, atau sampai remisi komplit tercapai; Setelah
remisi komplit tercapai. Lakukan tapering off kortikosteroid selama 6
bulan.[9]
b. Glomerulonefritis membranosa
Terapi inisial selama 6 bulan dengan memberikan kortikosteroid
(intravena dan oral) dan agen alkil oral (siklofosfamid/klorambusil)
bergantian selang 1 bulan ("Ponticelli Regimen"). Agen alkil yang
lebih disarankan adalah siklofosfamid.[9]
c. Glomerulonefritis lesi minimal
21

Prednison atau prednisolon 1 mg/ KgBB/hari (maksimal 80 mg)


ATAU 2 mg/KgBB/2 hari (maksimal 120 mg). Regimen diberikan
selama minimal 4 minggu apabila remisi komplit tercapai. Apabila
tidak tercapai. diberikan maksimal 16 minggu.
d. Glomerulonefritis membranoproliferatif
Kortikosteroid dosis rendah (harian atau selang sehari) ditambah
dengan siklofosfamid oral atau mycophenolate mofetil oral. Terapi ini
diberikan selama 6 bulan.
4. Untuk SN sekunder. tata laksana penyebab sekunder juga diperlukan.
seperti tata laksana diabetes melitus pada nefropati DM.
2.8 Komplikasi
1. Infeksi
Penderita SN sangat rentan terhadap infeksi, yang paling sering ialah
selulitis dan peritonitis. Infeksi menjadi lebih rentan terjadi karena cairan yang
menumpuk di ruang ekstraseluler merupakan media yang baik untuk tumbuhnya
bakteri. Pada orang dewasa, infeksi yang sering terjadi adalah infeksi gram
negatif.[8]
2. Hipertensi
Hipertensi pada SN dapat ditemukan sejak awal pada 10-15% kasus, atau
terjadi sebagai akibat efek samping steroid.[8]
3. Hipovolemia
Komplikasi hipovolemia dapat terjadi sebagai akibat pemakaian diuretik
yang tidak terkontrol, terutama pada kasus yang disertai dengan sepsis, diare, dan
muntah. Gejala dan tanda hipovolemia ialah hipotensi, takikardia, akral dingin dan
perfusi buruk, peningkatan kadar urea dan asam urat dalam plasma. Hipovalemia
diterapi dengan pemberian cairan fisiologis dan plasma sebanyak 15-20 ml/kg
dengan cepat, atau albumin 1 g/kg berat badan.[8]
4. Tromboemboli
Risiko untuk mengalami tromboemboli disebabkan oleh karena keadaan
hiperkoagulabilitas. Selain disebabkan oleh penurunan volume intravaskular,
keadaan hiperkoagulabilitas juga disebabkan oleh peningkatan faktor pembekuan
22

darah antara lain faktor V, VII, VIII, X serta fibrinogen, serta penurunan
konsentrasi antitrombin III yang keluar melalui urin. Risiko terjadinya
tromboemboli akan meningkat pada kadar albumin plasma < 2 g/dL, kadar
fibrinogen > 6 g/dL, atau kadar antitrombin III < 70%. Pada SN dengan risiko
tinggi, pencegahan komplikasi tromboemboli dapat dilakukan dengan pemberian
asetosal dosis rendah dan dipiridamol. Heparin hanya diberikan bila telah terjadi
tromboemboli, dengan dosis 50 U/kg intravena dan dilanjutkan dengan 100 U/kg
tiap 4 jam secara intravena.[8]
2.9 Prognosis
Prognosis pasien SN yang mendapatkan terapi secara umum baik, namun
tergantung pada penyebab, usia, dan respon terhadap terapi. Pada anak dengan SN
biasanya memiliki prognosis baik. Pada anak dengan usia <5 tahun memiliki
prognosis buruk dan pada orang dewasa dengan usia >30 tahun juga memiliki
risiko gagal ginjal yang tinggi.[10]
23

BAB 4
PEMBAHASAN

Ny. SDK berusia 19 tahun datang ke IGD dengan keluhan bengkak pada
wajah sejak 1 bulan SMRS. Sindrom ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki
dibanding anak perempuan dengan rasio 2:1 pada kelompok usia yang lebih
muda, namun setelah masa remaja, tidak ada perbedaan yang signifikan pada laki-
laki dan perempuan. Tetapi, secara keseluruhan sindrom ini lebih sering terjadi
pada laki-laki. Insiden tahunan pada anak-anak sekitar 2-7 kasus per 100.000 anak
di bawah usia 18 tahun. Sekitar 90% kasus berumur < 7 tahun dengan usia rata-
rata 2-5 tahun.[4,6]
Pada kebanyakan anak, tanda pertama dari SN adalah edema pada daerah
wajah. Sedangkan orang dewasa biasanya datang dengan keluhan edema pada
tungkai bawah serta edema palpebra. Edema adalah ciri yang menonjol dari SN
dan pada awalnya terjadi di sekitar mata dan extremitas bawah. Seiring waktu,
edema dapat menjadi edema anasarka, dan mungkin terjadi peningkatan berat
badan, penumpukan cairan pada rongga perut atau asites, atau efusi pleura. Pada
pemeriksaan fisik, bengkak pada Ny. SDK ditemukan pada kelopak mata dan
edema pitting pada extremitas atas dan bawah serta adanya ascites.[1,2]
Keluhan Ny. SDK disertai dengan pusing sejak 1 bulan SMRS. Pusing
terasa berputar hingga mau jatuh sehingga ke WC pun tidak bisa. Pasien juga
mengeluhkan sakit kepala dari leher naik ke kepala sejak 1 bulan sehingga malam
tidak bisa tidur, mata kabur sehingga sulit melihat dengan jelas dan susah BAB
selama 1 bulan. Pada pemeriksaan fisik, pasien memiliki tekanan darah tinggi
(hipertensi stage II). Hipertensi pada SN dapat ditemukan sejak awal pada 10-15%
kasus, atau terjadi sebagai akibat efek samping steroid.[10]
Pada pasien ini dikonsulkan ke bagian mata mengenai masalah mata
kabur dan didiagnosa ODS optic disc swelling et causa sindrom nefrotik. Edema
saraf optik yang sering kali disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial.
Ketika tekanan intrakranial meningkat tanpa adanya penyebab yang diketahui
maka itu disebut hipertensi intrakranial idiopatik. Pada orang dewasa gejala visual
24

terjadi pada hampir semua pasien meskipun ini mungkin ringan dan tidak
diperhatikan oleh pasien. Namun, hilangnya ketajaman visual, penyempitan
lapang pandang, peningkatan titik buta dan penglihatan warna berkurang
merupakan komplikasi permanen serius yang berhubungan dengan hipertensi
intrakranial idiopatik. Peningkatan tekanan ini dapat menimbulkan gejala seperti
sakit kepala, tinnitus, muntah, dan penglihatan ganda. Pasien dengan gagal ginjal
dengan komorbid hipertensi serta diabetes melitus meningkatkan faktor resiko
terjadinya edema optik. Hipertensi maligna, uremia dan sindrom dialisis
dysequilibrium juga diketahui menyebabkan edema saraf optik.[11]
Untuk membantu menegakkan diagnosis maka dibutuhkan pemeriksaan
penunjang berupa pemeriksaan laboratorium darah lengkap, fungsi ginjal, dan
analisa urin, profil lemak, dan fungsi hati. Dari hasil pemeriksaan laboratorium
didapatkan protein urin 4+ (sekitar 1.000 mg/dL), albumin 1,92 g/dl, ureum 130
mg/dl, kreatinin 2,38 mg/dl, kolesterol total 578 mg/dl, asam urat 14,37 mg/dL.
Selain itu, pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan anemia hipokromik
mikrositer dimana Hb pasien 7,7 dan termasuk dalam anemia berat berdasarkan
kriteria WHO. Sebelumnya, pasien memiliki riwayat anemia karena haid terlalu
banyak dan tekanan darah tinggi pada bulan Januari 2020. Pasien MRS selama 1
minggu dengan Hb 2,2 dan dikoreksi dengan transfusi sehingga Hb menjadi 10,2.
Anemia ringan kadang terjadi pada pasien SN. Anemia biasanya bersifat
mikrositik dan hipokromik, khas defisiensi zat besi, tetapi resisten terhadap terapi
dengan zat besi karena hilangnya banyak transferin serum dalam urin pada
beberapa pasien nefrotik.[10]
Berdasarkan hasil laboratorium, pada pasien didapatkan azotemia yang
merupakan kerusakan fugsi ginjal sehingga kadar nitrogen urea dalam darah dan
kreatinin meningkat dalam tubuh. Ini merupakan tanda yang jarang terjadi dan
merupakan tanda alarm dari komplikasi SN. Ketika proteinuria terjadi masif dan
kadar albumin dalam darah sangat menurun, volume sirkulasi dalam plasma
semakin berurang sehingga sirkulasi darah di ginjal menjadi tidak lancar.
Biasanya dalam derajat ringan ringan. Selain itu, didapatkan juga hiperurisemia
dimana ketika terjadi hipoalbuminemia maka akan terjadi perpindahan cairan dari
25

intrasel ke cairan interstisial sehingga volume intravaskuler akan mengalami


penurunan. Hal ini menyebabkan terjadinya hipovolemia dan hasil laboratorium
mungkin menunjukkan peningkatan kadar hematokrit dan asam urat.[10]
Pada pasien juga didapatkan cystitis akut. Pada pasien SN, sering terjadi
infeksi oportunistik, yaitu infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang biasanya
tidak berbahaya. Kemungkinan terjadinya infeksi yang lebih tinggi pada SN
disebabkan karena antibodi yang biasanya sebagai pertahanan tubuh dalam
menangani infeksi diekskresikan dalam urin atau tidak diproduksi dalam jumlah
yang normal.[10]
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium,
pasien ini didapatkan edema anasarka, hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia, dan
proteinuria masif. Maka pasien ini didiagnosis Sindrom Nefrotik karena
memenuhi semua kriteria diagnosis. Pada pasien ini, diberikan diuretik furosemid
40 mg pada pagi hari dan 20 mg pada siang hari secara intravena; captopril 3x25
mg PO, lalu dinaikkan menjadi 3x50 mg PO; simvastatin 1x20 mg PO;
methylprednisolon 2x62,5 mg PO; ceftriaxone 2x1 gram secara intravena; SF 3x1
tab PO; allopurinol 1x100 mg PO; dan vitamin B kompleks 3x1 untuk terapi mata.
26

BAB 5
KESIMPULAN

Telah dilaporkan pasien perempuan, usia 20 tahun dengan diagnosis


sindrom nefrotik dengan keluhan bengkak pada wajah dan extremitas. Pada
pemeriksaan penunjang didapatkan proteinuria masif, hipoalbuminemia, dan
hipokolesterolnemia. Didapatkan juga beberapa penyakit penyerta seperti sistitis
akut, anemia mikrositik hipokromik, hipertensi, hiperurisemua, dan azotemia.
Pasien telah mendapat pengobatan untuk SN serta penyakit penyertanya.
27

DAFTAR PUSTAKA

1. Fauci, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. Harrison’s Principles of Internal


Medicine. 19th ed. 2015.
2. Kodner C. Diagnosis and management of nephrotic syndrome in adults.
Am Fam Physician 2016;93(6):479–85.
3. Hull RP, Goldsmith DJA. Nephrotic syndrome in adults. Bmj
2008;336(7654):1185–9.
4. Sinnakirouchenan R. Nephrotic Syndrome. Medscape Drugs Dis 2020;
5. Kodner C. Nephrotic syndrome in adults: Diagnosis and management. Am
Fam Physician 2009;80(10).
6. Tapia C, Bashir K. Nephrotic Syndrome. [Updated 2020 Jul 26]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470444/.
7. Davin JC.,Rutjes NW., Nephrotic syndrome in children: From bench to
treatment. International Journal of Nephrology, 2011;1-6.
8. Prodjosudjadi W., SindromNefrotik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed
VI. 2006;999-1003.
9. Tanto C, Hustrini NM. Sindrom Nefrotik. In: Kapita Selekta Kedokteran
Jilid II. Jakarta: Media Aesculapius; 2014.
10. Park SJ, Shin J Il. Complications of The Nephrotic Syndrome. Korean
Pediatr Sch 2011;20(1):49–60.
11. Barnett M, Sinha MD, Morrison D, Lim M. Intracranial Hypertension
Presenting with Severe Visual failure, without Concurrent Headache, in a
child with nephrotic syndrome. BMC Pediatr 2013;13(1).

Anda mungkin juga menyukai