SINDROM NEFROTIK
Disusun Oleh:
Jessica Allo, S.Ked
2008020059
Pembimbing:
dr. Angela Merici, Sp.PD
i
DAFTAR ISI
SINDROM NEFROTIK...........................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB 2 LAPORAN KASUS....................................................................................2
2.1 Identitas Pasien..........................................................................................2
2.2 Anamnesis.................................................................................................2
2.3 Pemeriksaan Fisik......................................................................................3
2.4 Pemeriksaan Penunjang.............................................................................4
2.5 Diagnosis...................................................................................................7
2.6 Planning.....................................................................................................7
2.7 Follow Up..................................................................................................8
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA............................................................................13
2.1 Definisi....................................................................................................13
2.2 Etiologi....................................................................................................13
2.3 Epidemiologi...........................................................................................15
2.4 Patofisiologi.............................................................................................15
2.5 Tanda dan Gejala.....................................................................................17
2.6 Diagnosis.................................................................................................17
2.7 Penatalaksanaan.......................................................................................20
2.8 Komplikasi..............................................................................................20
2.9 Prognosis.................................................................................................22
BAB 4 PEMBAHASAN........................................................................................23
BAB 5 KESIMPULAN..........................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................27
ii
1
BAB 1
PENDAHULUAN
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis 22 Maret 2021 di Ruang
Mawar kelas 3.
1,003-
BJ Urine 1,010 Dipstick
1,030
Urobilinogen
Negative Negative Dipstick
urine
Lekosit
1+ Negative Dipstick
esterase urine
7
2.5 Diagnosis
1. Sindrom nefrotik
1.1 Hipertensi
1.2 Hiperkolesterolnemia
1.3 Proteinuria
2. Hipoalbuminemia
3. Cystitis akut
4. Anemia hipokrom mikrositer
5. Hiperurisemia
6. Azotemia
7. ODS optic disc swelling ec sindrom nefrotik
2.6 Planning
1. IVFD NaCl 500 cc/24 jam
2. Diet rendah lemak, rendah garam, dan TKTP 1300 kkal/hari + makan
putih telur selama 6 bulan
3. Albumin 20% 100 cc/hari (3 kali)
4. Captopril 2x25 mg PO
5. Furosemid 40-20-0 mg IV
6. Simvastatin 1x20 mg PO
7. Methylprednisolon 2x62,5 mg PO
8. Ceftriaxone 2x1 gr IV (hari 2)
9. SF 3x1 tab PO
10. Allopurinol 1x100 mg PO
11. B complex 3x1 PO terapi dari mata
8
2.7 Follow Up
Mon
+ +
– TTV
– Keluhan
– Cek USG tanggal 22
Maret
– Balance
22/3/2021 Subjective Assessment Planning
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sindrom nefrotik (SN) merupakan sindrom klinik yang ditandai dengan
adanya peningkatan permeabilitas membran glomerulus, manifestasi proteinuri
masif yang menyebabkan hipoalbuminemia dan biasanya disertai edema serta
hiperkolesterolemia. Biasanya pasien datang dengan keluhan edema dan fatigue,
tanpa adanya gagal jantung atau penyakit hati berat.[1]
2.2 Etiologi
Sebagian besar kasus SN disebabkan oleh penyakit ginjal primer.
Nefropati membranosa dan glomerulosklerosis fokal segmental (FSGS)
merupakan jenis yang paling sering ditemukan pada sepertiga dari seluruh kasus
SN primer (idiopatik). FSGS merupakan penyebab tersering dari SN yang
diketahui terjadi pada usia remaja. FSGS tercatat ada pada sekitar 3,3% penyakit
ginjal tahap akhir (ESRD). Sekitar 25% kasus SN idiopatik dibsebabkan oleh
penyakit kelainan minimal dan nefropati IgA. Pada SN sekunder, penyakit yang
paling sering mendasari terjadinya SN adalah diabetes mellitus.[5,6]
Pada SN primer, umumnya tidak diketahui penyebabnya. Namun
berdasarkan gambaran dari histopatologi, dapat terbagi menjadi:[3,5,7,8]
1. GN lesi minimal (GNLM);
2. Glomerulosklerosis fokal segmental (GSF);
3. GN membranosa (GNMN);
4. GN Membranoproliferatif (GNMP);
5 GN proliferatif lain
14
2.4 Patofisiologi
a. Proteinuria
16
tetapi juga akan memperberat edema karena kadar albumin yang tidak mampu
menjaga cairan intravaskuler. Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium
sebagai defek renal utama. Retensi natrium menyebabkan peningkatan cairan
ekstraseluler sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat
kerusakan ginjal akan terus mengaktivasi sistem retensi natrium dan air oleh ginjal
sehingga edema semakin berlanjut.[3,9]
2.5 Tanda dan Gejala
Pada SN dapat ditemukan berbagai tanda, antara lain proteinuria masif >3-
3,5 gr/hari dan serum albumin <25g/l. Gejala yang sering tampak yakni edema
pada kedua tungkai, berat badan meningkat, dan lelah. Pada kasus lain dapat
disertai edema periorbital dan edema genital, asites, atau efusi pleura maupun
efusi perikard.[2]
2.6 Diagnosis
Diagnosis SN didapatkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Tanda pertama SN pada anak-anak biasanya adalah
pembengkakan pada wajah, lalui diikuti dengan pembengkakan di seluruh tubuh.
Orang dewasa bisa datang dengan edema pada extremitas bawah. Edema adalah
ciri yang menonjol dari SN dan pada awalnya terjadi di sekitar mata dan
extremitas bawah. Seiring waktu, edema menjadi edema anasarka, dan mungkin
terjadi peningkatan berat badan, penumpukan cairan pada rongga perut atau asites,
atau efusi pleura. Pada sebagian kecil pasien, dapat terlihat adanya hematuria dan
hipertensi.[4]
Gambaran tambahan pada pemeriksaan akan bervariasi menurut penyebab
dan sebagai akibat dari ada atau tidaknya gangguan fungsi ginjal. Pada kasus
diabetes yang sudah berlangsung lama, pasien mungkin menderita retinopati
diabetik, yang berkorelasi erat dengan nefropati diabetik. Jika fungsi ginjal
berkurang, pasien mungkin mengalami hipertensi, anemia, atau keduanya.
Kelelahan dan kehilangan nafsu makan adalah gejala umum. Komplikasi
trombotik, seperti trombosis vena dalam pada vena betis atau bahkan emboli paru,
mungkin merupakan petunjuk pertama untuk SN.[4] Kriteria diagnostik sindrom
nefrotik meliputi:[2]
18
1. Proteinuria masif >3-3.5 g/24 jam atau rasio protein:kreatinin urin spot
>300-350 mg/mmol
2. Serum albumin <2,5 gr/dl
3. Manifestasi klinis edema perifer
4. Hiperlipidemia (kolesterol total biasanya >350 mg/dL) sering menyertai
Pemeriksaan penunjang pada SN antara lain:[8]
a. Urinalisis
Urinalisis adalah tes awal diagnosis sindrom nefrotik. Proteinuria berkisar
3+ atau 4+ pada pembacaan dipstik, atau melalui tes semikuantitatif dengan asam
sulfosalisilat. 3+ menandakan kandungan protein urin sebesar 300 mg/dL atau
lebih, yang artinya 3g/dL atau lebih yang masuk dalam nephrotic range.[8]
b. Pemeriksaan sedimen urin
Pemeriksaan sedimen akan memberikan gambaran oval fat bodies: epitel
sel yang mengandung butir-butir lemak, kadang-kadang dijumpai eritrosit,
leukosit, torak hialin, dan torak eritrosit.[8]
c. Pengukuran protein urin
Pengukuran protein urin dilakukan melalui timed collection atau single
spot collection. Timed collection dilakukan melalui pengumpulan urin 24 jam,
mulai dari jam 7 pagi hingga waktu yang sama keesokan harinya. Pada individu
sehat, total protein urin ≤150 mg. Adanya proteinuria masif merupakan kriteria
diagnosis. Single spot collection lebih mudah dilakukan. Saat rasio protein urin
dan kreatinin > 2g/mol, ini mengarahkan pada kadar protein urin per hari
sebanyak ≥ 3g.[8]
d. USG renal
Terdapat tanda-tanda glomerulonefritis kronik.[8]
e. Biopsi ginjal
Biopsi ginjal diindikasikan pada anak dengan SN kongenital, onset usia >
8 tahun, resisten steroid, dependen steroid atau frequent relaps, serta terdapat
manifestasi nefritik signifikan. Pada SN dewasa yang tidak diketahui asalnya,
biopsi mungkin diperlukan untuk diagnosis. Penegakan diagnosis patologi penting
dilakukan karena masing-masing tipe memiliki pengobatan dan prognosis yang
19
2.7 Penatalaksanaan
1. Tata Laksana Farmakologis[9]
Kombinasi diuretik: loop diuretic dan tiazid. Biasanya diberikan 2
kali sehari
Penghambat ACE atau ARB sebagai antiproteinuria
Statin untuk hiperlipidemia
2. Tata Laksana Nonfarmakologis[9]
Diet. Pola makan yang dianjurkan untuk pasien SN adalah rendah
garam (Na <2 g/hari), rendah lemak jenuh, serta rendah kolesterol
Asupan protein 0,8 g/KgBB/hari ditambah dengan ekskresi protein
dalam urin selama 24 jam. Apabila fungsi ginjal menurun, asupan
protein diturunkan menjadi 0,6 g/KgBB/ hari ditambah dengan
ekskresi protein dalam urin selama 24 jam
Restriksi cairan untuk membantu mengurangi edema
Hindari obat-obatan yang nefrotoksik (OAINS, antibiotik golongan
aminoglikosida, dan sebagainya)
3. Untuk SN dengan penyebab primer, tata laksana bergantung pada etiologi
masing-masing:[9]
a. Glomerulosklerosis fokal segmental
Prednison I mg/ KgBB/ hari (maksimal 80 mg) atau 2 mg/KgBB/2 hari
(maksimal 120 mg). Regimen diberikan minimal 4 minggu, sampai
maksimal 16 minggu, atau sampai remisi komplit tercapai; Setelah
remisi komplit tercapai. Lakukan tapering off kortikosteroid selama 6
bulan.[9]
b. Glomerulonefritis membranosa
Terapi inisial selama 6 bulan dengan memberikan kortikosteroid
(intravena dan oral) dan agen alkil oral (siklofosfamid/klorambusil)
bergantian selang 1 bulan ("Ponticelli Regimen"). Agen alkil yang
lebih disarankan adalah siklofosfamid.[9]
c. Glomerulonefritis lesi minimal
21
darah antara lain faktor V, VII, VIII, X serta fibrinogen, serta penurunan
konsentrasi antitrombin III yang keluar melalui urin. Risiko terjadinya
tromboemboli akan meningkat pada kadar albumin plasma < 2 g/dL, kadar
fibrinogen > 6 g/dL, atau kadar antitrombin III < 70%. Pada SN dengan risiko
tinggi, pencegahan komplikasi tromboemboli dapat dilakukan dengan pemberian
asetosal dosis rendah dan dipiridamol. Heparin hanya diberikan bila telah terjadi
tromboemboli, dengan dosis 50 U/kg intravena dan dilanjutkan dengan 100 U/kg
tiap 4 jam secara intravena.[8]
2.9 Prognosis
Prognosis pasien SN yang mendapatkan terapi secara umum baik, namun
tergantung pada penyebab, usia, dan respon terhadap terapi. Pada anak dengan SN
biasanya memiliki prognosis baik. Pada anak dengan usia <5 tahun memiliki
prognosis buruk dan pada orang dewasa dengan usia >30 tahun juga memiliki
risiko gagal ginjal yang tinggi.[10]
23
BAB 4
PEMBAHASAN
Ny. SDK berusia 19 tahun datang ke IGD dengan keluhan bengkak pada
wajah sejak 1 bulan SMRS. Sindrom ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki
dibanding anak perempuan dengan rasio 2:1 pada kelompok usia yang lebih
muda, namun setelah masa remaja, tidak ada perbedaan yang signifikan pada laki-
laki dan perempuan. Tetapi, secara keseluruhan sindrom ini lebih sering terjadi
pada laki-laki. Insiden tahunan pada anak-anak sekitar 2-7 kasus per 100.000 anak
di bawah usia 18 tahun. Sekitar 90% kasus berumur < 7 tahun dengan usia rata-
rata 2-5 tahun.[4,6]
Pada kebanyakan anak, tanda pertama dari SN adalah edema pada daerah
wajah. Sedangkan orang dewasa biasanya datang dengan keluhan edema pada
tungkai bawah serta edema palpebra. Edema adalah ciri yang menonjol dari SN
dan pada awalnya terjadi di sekitar mata dan extremitas bawah. Seiring waktu,
edema dapat menjadi edema anasarka, dan mungkin terjadi peningkatan berat
badan, penumpukan cairan pada rongga perut atau asites, atau efusi pleura. Pada
pemeriksaan fisik, bengkak pada Ny. SDK ditemukan pada kelopak mata dan
edema pitting pada extremitas atas dan bawah serta adanya ascites.[1,2]
Keluhan Ny. SDK disertai dengan pusing sejak 1 bulan SMRS. Pusing
terasa berputar hingga mau jatuh sehingga ke WC pun tidak bisa. Pasien juga
mengeluhkan sakit kepala dari leher naik ke kepala sejak 1 bulan sehingga malam
tidak bisa tidur, mata kabur sehingga sulit melihat dengan jelas dan susah BAB
selama 1 bulan. Pada pemeriksaan fisik, pasien memiliki tekanan darah tinggi
(hipertensi stage II). Hipertensi pada SN dapat ditemukan sejak awal pada 10-15%
kasus, atau terjadi sebagai akibat efek samping steroid.[10]
Pada pasien ini dikonsulkan ke bagian mata mengenai masalah mata
kabur dan didiagnosa ODS optic disc swelling et causa sindrom nefrotik. Edema
saraf optik yang sering kali disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial.
Ketika tekanan intrakranial meningkat tanpa adanya penyebab yang diketahui
maka itu disebut hipertensi intrakranial idiopatik. Pada orang dewasa gejala visual
24
terjadi pada hampir semua pasien meskipun ini mungkin ringan dan tidak
diperhatikan oleh pasien. Namun, hilangnya ketajaman visual, penyempitan
lapang pandang, peningkatan titik buta dan penglihatan warna berkurang
merupakan komplikasi permanen serius yang berhubungan dengan hipertensi
intrakranial idiopatik. Peningkatan tekanan ini dapat menimbulkan gejala seperti
sakit kepala, tinnitus, muntah, dan penglihatan ganda. Pasien dengan gagal ginjal
dengan komorbid hipertensi serta diabetes melitus meningkatkan faktor resiko
terjadinya edema optik. Hipertensi maligna, uremia dan sindrom dialisis
dysequilibrium juga diketahui menyebabkan edema saraf optik.[11]
Untuk membantu menegakkan diagnosis maka dibutuhkan pemeriksaan
penunjang berupa pemeriksaan laboratorium darah lengkap, fungsi ginjal, dan
analisa urin, profil lemak, dan fungsi hati. Dari hasil pemeriksaan laboratorium
didapatkan protein urin 4+ (sekitar 1.000 mg/dL), albumin 1,92 g/dl, ureum 130
mg/dl, kreatinin 2,38 mg/dl, kolesterol total 578 mg/dl, asam urat 14,37 mg/dL.
Selain itu, pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan anemia hipokromik
mikrositer dimana Hb pasien 7,7 dan termasuk dalam anemia berat berdasarkan
kriteria WHO. Sebelumnya, pasien memiliki riwayat anemia karena haid terlalu
banyak dan tekanan darah tinggi pada bulan Januari 2020. Pasien MRS selama 1
minggu dengan Hb 2,2 dan dikoreksi dengan transfusi sehingga Hb menjadi 10,2.
Anemia ringan kadang terjadi pada pasien SN. Anemia biasanya bersifat
mikrositik dan hipokromik, khas defisiensi zat besi, tetapi resisten terhadap terapi
dengan zat besi karena hilangnya banyak transferin serum dalam urin pada
beberapa pasien nefrotik.[10]
Berdasarkan hasil laboratorium, pada pasien didapatkan azotemia yang
merupakan kerusakan fugsi ginjal sehingga kadar nitrogen urea dalam darah dan
kreatinin meningkat dalam tubuh. Ini merupakan tanda yang jarang terjadi dan
merupakan tanda alarm dari komplikasi SN. Ketika proteinuria terjadi masif dan
kadar albumin dalam darah sangat menurun, volume sirkulasi dalam plasma
semakin berurang sehingga sirkulasi darah di ginjal menjadi tidak lancar.
Biasanya dalam derajat ringan ringan. Selain itu, didapatkan juga hiperurisemia
dimana ketika terjadi hipoalbuminemia maka akan terjadi perpindahan cairan dari
25
BAB 5
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA