Pembimbing:
Disusun Oleh:
41201396100077
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah presentasi kasus yang
berjudul “Chronic Kidney Disease” dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta di RSUD
Chasbullah Abdulmadjid. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW.
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi penulis dan pembaca, khususnya bagi yang sedang menempuh pendidikan
profesi dokter.
Penulis
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................1
DAFTAR ISI...............................................................................................................................2
PENDAHULUAN.......................................................................................................................3
LAPORAN KASUS....................................................................................................................4
Identitas pasien.......................................................................................................................4
Anamnesis...............................................................................................................................4
Pemeriksaan Fisik..................................................................................................................5
Pemeriksaan Penunjang........................................................................................................5
Resume....................................................................................................................................7
Daftar Masalah.......................................................................................................................7
Kajian Masalah......................................................................................................................7
Hasil Follow Up......................................................................................................................9
Diagnosis kerja.....................................................................................................................14
Prognosis...............................................................................................................................14
TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................................15
3. 1. Penyakit Ginjal Kronik............................................................................................15
3.2 Hemodialisa...............................................................................................................26
DISKUSI...................................................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................30
2
BAB I
PENDAHULUAN
Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronis (PGK) merupakan
suatu keadaan menurunnya fungsi ginjal yang telah berlangsung lama (kronis) yaitu
lebih dari 3 bulan. Keadaan ini terkait dengan berbagai faktor risiko yang kemudian
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal secara progresif, dan biasanya berakhir dengan
gagal ginjal.1 Definisi CKD berdasarkan The Kidney Disease Outcomes Quality
Initiative (KDOQI) of the National Kidney Foundation (NKF) adalah kerusakan ginjal
secara struktural atau fungsional yang berlangsung dalam waktu lebih dari 3 bulan, atau
penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) kurang dari 60 mL/min/1.73 m2 dalam
waktu 3 bulan atau lebih dengan atau tanpa kerusakan struktur ginjal.2
Chronic Kidney Disease disebabkan oleh berbagai etiologi yang mendasari, yang
mengakibatkan kerusakan massa ginjal yang ireversibel dan hilangnya nefron sehingga
mengarah ke penurunan progresifitas LFG. Ginjal memiliki kemampuan untuk
mempertahankan LFG ketika menghadapi cidera sehingga meskipun kerusakan nefron
terjadi secara progresif, LFG dipertahankan dengan hiperfiltrasi dan hipertropi nefron
sehat yang tersisa sebagai kompensasi. Kandungan toksin dalam plasma seperti urea
dan kreatinin mulai menunjukkan peningkatan yang signifikan hanya setelah LFG total
menurun hingga 50%, yaitu ketika ginjal sudah tidak mampu mengkompensasi lagi.1
Diagnosis dini CKD sangat penting dilakukan karena prognosisnya akan jauh
lebih baik dan intervensi dapat segera dilakukan untuk memperlambat penurunan
fungsi. Penanganan CKD memerlukan kerjasama tim medis, pasien, serta keluarga dan
lingkungan karena melibatkan modiikasi gaya hidup. Edukasi terhadap pasien dan
keluarganya tentang penyakit dan komplikasi yang memungkinkan akan sangat
3
membantu memperbaiki hasil pengobatan sehingga meskipun CKD merupakan
penyakit yang ireversibel, akan tetapi dengan penangan yang baik akan dapat
mengurangi gejala yang muncul dan memperbaiki kualitas hidup penderitanya.
4
BAB II
LAPORAN KASUS
Identitas pasien
No RM : 018192735
Nama : Ny.M
Usia : 56 tahun
Anamnesis (31/8/22)
Keluhan Utama
Pasien datang diantar keluarga ke IGD RSUD Bekasi pada 22/8/22 dengan
keluhan sesak nafas berat sejak pagi hari SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan sesak nafas berat sejak pagi hari SMRS. 2 jam SMRS
saturasi oksigen pasien di rumah 89%. Pasien tidak ada riwayat batuk lama. Batuk
berdarah (-). Pasien tidak mengeluhkan ada nya demam. Pasien juga mengeluhkan mual
sejak 1 hari SMRS. Mual diikuti dengan muntah 2x dalam sehari. Pasien juga menjadi
sulit makan karena mual.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat hipertensi sebelumnya sejak lama, pasien minum obat
amlodipin 10mg namun jarang kontrol. Riwayat alergi, operasi, dirawat, dan meminum
obatan rutin disangkal. Riwayat DM sebelumnya disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga tidak ada yang memiliki keluhan yang serupa. Riwayat DM dan HT
dalam keluarga disangkal.
Riwayat Personal dan Sosial
5
Riwayat merokok disangkal, tidak ada keluarga pasien yang merokok. Pasien
jarang konsumsi kopi dan teh. Pasien sebagai ibu rumah tangga
Tanda Vital :
Suhu : 36.2
Status Generalis :
Mata : Konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-, edema palpebra -/-
Hidung : septum deviasi (-), sekret -/-, nafas cuping hidung -/-
Abdomen : Datar, supel, Nyeri tekan + epigastrium, Shifting dullness (+), Spider
6
Ekstremitas : Hangat, CRT < 2 detik, Edema -/-
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium 30/8/2022
Nama Test Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hematologi
Darah Rutin
Leukosit 12.2 ribu/uL 5-10
Hemoglobin 8.7 gr/dl 12-14
Hematokrit 26.7 % 37-47
Trombosit 117 ribu/uL 150-400
Kimia Klinik
Fungsi Hati
AST (SGOT) 145 U/L <37
ALT (SGPT) 177 U/L <41
Fungsi Ginjal
Ureum 163 mg/dl 20-40
Kreatinin + eGFR
Kreatinin 7.36 mg/dl 0.5-1.5
eGFR 6 mL/mnt/1.73 90-120
Diabetes
Gula Darah Sewaktu 33 mg/dl 60-110
Elektrolit
Natrium (Na) 139 mmol/L 135-145
Kalium (K) 3.8 mmol/L 3.5-5
Clorida (Cl) 103 mmol/L 94-111
7
Natrium (Na) 138 mmol/L 135-145
Kalium (K) 2.9 mmol/L 3.5-5
Clorida (Cl) 101 mmol/L 94-111
Cor Membesar
Kesan :
Cor membesar
Skeletal intak
Terpasang CVC dengan ujung distal setinggi ICS 8-9 posterior kanan
Kesan :
-Bronchopneumonia duplex
Hepar : bentuk dan ukuran normal. Tepi teguler. Echo parenkim homogen. Tidak
tampak pelebaran IHBD/EHBD. Vaskular baik. Tampak asites dan efusi pleura kanan
minimal.
8
Kandung Empedu : Lumen normal. Dinding tidak menebal. Tidak tampak sludge/echo
batu.
Ginjal kanan : bentuk dan ukuran mengecil. Differensiasi kortek medulla tidak jelas.
Tidak tampak pelebaran sistem pelviokalises. Tidak tampak echo batu/ lesi fokal
Kesan:
- CKD bilateral
- Asites
Resume
Ny. M, 56 tahun datang ke IGD RSUD Bekasi dengan keluhan sesak nafas berat sejak
pagi hari SMRS. 2 jam SMRS saturasi oksigen pasien di rumah 89%. Selain itu pasien
juga mengeluhkan mual sejak 1 hari SMRS. Mual diikuti dengan muntah 2x dalam
sehari. Pasien juga menjadi sulit makan karena mual.. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan ronkhi +/+, nyeri tekan epigastrium dan shifting dullness (+). Pada
SGOT/SGPT, peningkatan ureum dan kreatinin dengan eGFR < 15, hipokalemia. Pada
9
pemeriksaan thorax PA didapatkan kesan kardiomegali dan edema paru serta
asites, efusi pleura kanan minimal. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
Daftar Masalah
1. CKD stage V
2. Hepatitis Akut
3. CHF
4. Anemia
5. Bronkopneumonia
Kajian Masalah
1. CKD Stage V
Atas dasar lemas, sesak, mual, muntah, tidak nafsu makan, bengkak (-), PF
ronkhi +/+, shifting dullness (+) PP (30/08) ureum 163 mg/dL, kreatinin 7,36
mg/dL, eGFR 6 mL/mnt/1,73, USG Abdomen (26/08) Kesan CKD Bilateral
Rencana diagnostik: -
Rencana terapeutik
Batasi asupan cairan
RL 500cc/8jam
Ondansetron 3x4mg
Omeprazol 2x40mg
Bicnat 3x1
CaCo3 3x1
As folat 1x3
10
Vit B12 3x1
Lasix 2x2
Hemodialisa
Atas dasar mual, muntah, tidak nafsu makan, PF sklera ikterik -/- PP SGOT 145
U/L SGPT 177 U/L, HbsAg non reaktif
Dipikirkan suatu Hepatitis akut e.c. virus
Diagnosis Banding : Hepatitis akut e.c. autoimun
Rencana terapeutik
Bed rest
RL 500cc/8 jam
3. CHF
Rencana diagnostic -
Rencana terapeutik
Candesartan 1x8mg
4. Anemia
11
(30/08) Hb : 8.7 g/dL Ht 26.7%
Rencana diagnostik –
Rencana terapeutik
- Atasi penyakit kronik yang mendasar (CKD)
Atas keluhan sesak, lemas, batuk (-), demam (-) PF ronkhi +/+, PP
Laboratorium (30/08) Leukosit 12.200/uL ;Rontgen thorax (27/08) kesan
Bronkopneumonia duplex
Rencana diagnostic -
Prognosis
Ad Vitam : Dubia ad malam
Ad Functionam : Dubia ad malam
Ad sanationam : Dubia ad malam
12
Hasil Follow Up
A: CKD Stage V
P:
Batasi asupan cairan
RL 500cc/8jam
Ondansetron 3x4mg
Omeprazol 2x40mg
Bicnat 3x1
CaCo3 3x1
As folat 1x3
Vit B12 3x1
Lasix 2x2
Hemodialisa
13
P : Bed rest, RL 500cc/8 jam, pro hepar 3x1
3. CHF
P:
Candesartan 1x8mg
4. Anemia
S: lemas (+)
P: Ceftriakson 1x2 gr IV
14
03/09/2022 1. CKD Stage V
A: CKD Stage V
P:
Batasi asupan cairan
Hemodialisa
RL 500cc/8jam
Ondansetron 3x4mg
Omeprazol 2x40mg
Bicnat 3x1
CaCo3 3x1
As folat 1x3
Vit B12 3x1
Lasix 2x2
15
3. CHF
P:
Candesartan 1x8mg
4. Anemia
S: lemas (+)
5. Bronkopneumonia
P: Ceftriakson 1x2 gr IV
16
05/09/2022 1. CKD Stage V
A: CKD Stage V
P:
Batasi asupan cairan
RL 500cc/8jam
Ondansetron 3x4mg
Omeprazol 2x40mg
Bicnat 3x1
CaCo3 3x1
As folat 1x3
Vit B12 3x1
Lasix 2x2
Hemodialisa
17
3. CHF
P:
Candesartan 1x8mg
4. Anemia
S: lemas (+)
5. Bronkopneumonia
P: Ceftriakson 1x2 gr IV
18
BAB III
TINJAUAN
PUSTAKA
3.1.1 Definisi
3.1.2 Epidemiologi
Pada tahun 2016, Penyakit ginjal kronis terdapat pada sekitar 753 juta
orang di seluruh dunia yang meliputi 336 juta pada pasien laki-laki dan 417
juta pada pasien perempuan. Di seluruh dunia terdapat 1,2 juta kematian per
19
tahun akibat penyakit ginjal kronis, Penyebab tersering penyakit ginjal
kronis adalah Hipertensi pada 550 ribu pasien, diabetes melitus pada 418
ribu pasien, dan glomerulonephritis pada 238 ribu pasien.
3.1.3 Etiologi
Penyebab tersering penyakit ginjal kronis yang diketahui adalah diabetes
melitus, selanjutnya diikuti oleh tekanan darah tinggi dan
glomerulonephritis. Penyebab lainnya dapat berupa idiopatik. Namun
penyebab-penyebab dari penyakit ginjal kronis dapat diklasifikasikan
berdasarkan anatomi ginjal yang terlibat :
- Penyakit vaskular, yang dapat melibatkan pembuluh darah besar
seperti bilateral artery stenosis, dan pembuluh darah kecil seperti nefropati
iskemik, hemolytic-uremic syndrome, dan vasculitis.
- Kelainan pada glomerulus yang dapat berupa o Penyakit glomerulus
primer seperti nefritis dan focal segmental glomerulosclerosis o Penyakit
glomerulus sekunder seperti nefropati diabetic dan lupus nefritis - Penyakit
bawaan seperti penyakit ginjal polikistik - Nefropati obstruktif yang dapat
berupa batu ginjal bilateral dan hyperplasia prostate - Infeksi parasite (yang
sering berupa enterobiasis) dapat menginfeksi ginjal dan menyebabkan
nefropati.
Penyakit ginjal kronis juga dapat idiopatik yang mempunyai gejala yang
berupa penuruhnan aliran darah ke ginjal yang menyebabkan sel ginjal
menjadi nekrosis.
3.1.4 Klasifikasi
Kriteria pertama yang digunakan KDIGO untuk menentukan urgensi
penyakit ginjal kronis adalah GFR, GFR (Glomerulus Filtration Rate)
merupakan kemampuan glomerulus ginjal untuk memfiltrasi darah.
20
II Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan 60–89
III Penurunan LFG sedang 30–59
IV Penurunan LFG berat 15–29
V Gagal ginjal < 15 atau dialisis
21
- Hyperphosphatemia yang disebabkan oleh berkurangnya ekskresi
phosphate oleh ginjal. Hiperphospatemia meningkatkan resiko dari penyakit
kardiovaskular, dimana phosphate merupakan stimulus dari kalsifikasi
vaskular.
- Hipokalsemia yang disebabkan oleh stimulasi pembentukan FGF-23
oleh osteosit dibarengi dengan penurunan masa ginjal. FGF-23 merupakan
inhibitor dari enzim pembentukan vitamin D yang secara kronis akan
menyebabkan hipertropi kelenjar paratiroid, kelainan tulang akibat panyakit
ginjal, dan kalsifikasi vaskular.
- Asidosis metabolic yang disebabkan oleh akumulasi dari fosfat dan
urea. Asidosis juga dapat disebabkan oleh penuruan kemampuan produksi
ammonia pada sel-sel ginjal.
- Anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh beberapa factor yaitu:
peningkatan inflamasi yang disebabkan oleh akumulasi urea, penurunan
eritropoietin dan penurunan fungsi sumsum tulang.
3.1.6 Patofisiologi
Secara umum penyebab dari penyakit ginjal kronis adalah penurunan
aliran darah ke ginjal yang umumnya disebabkan oleh Hipertensi , kerusakan
sel mesangial oleh Diabetes Melitus.
a. Hipertensi
Mekanisme kerusakan ginjal oleh hipertensi disebabkan oleh penebalan sel-
sel tunica intima pada glomerulus ginjal, penebalan sel tunica intima
menyebabkan mengecilnya vaskular yang berujung pada mengecilnya aliran
pembuluh darah ke bagian glomerulus, berkurangnya aliran pembuluh darah
ke glomerulus menyebabkan aktifnya system Renin- 8 Angiotensin-
Aldosteron yang menyebabkan kenaikan tekanan darah lebih lanjut sehingga
terjadi kerusakan ginjal yang permanen.
Awalnya mekanisme aktifasi system Renin-Angiotensin-Aldosterone dapat
mengkompensasi kurangnya aliran darah ke ginjal, namun seiring waktu
akan menyebabkan nekrosis pada sel ginjal. Kerusakan glomerulus ginjal
dapat menyebabkan Global sclerosis dimana terjadi kerusakan yang
permanen dari glomerulus atau Focal segmental necrosis yang merupakan
22
system kompensasi ginjal dimana terjadi pembesaran glomerulus pada suatu
area karena kerusakan nefron pada area lain pada ginjal. Secara kronik
perubahan-perubahan pada glomerulus ginjal akan menyebabkan kematian
nefron yang akan menyebabkan penurunan GFR secara perlahan.
b. Diabetes Melitus
Patofisiologi penyakit ginjal kronis untuk diabetes melitus melibatkan
hiperglikemia yang memicu pembentukan reactive oxygen species (ROS)
dan Advanced Glycosylation End Products (AGE). Pembentukan AGE dan
ROS menyebabkan terjadi stress oxidative pada jaringan nefron ginjal.
Peningkatan stress oxidative pada nefron ginjal menyebabkan kenaikan
permeabilitas ginjal lalu terjadinya proteinuria, efek lain kenaikan
permeabilitas glomerulus juga mengaktifkan system RAAS yang
menyebabkan kenaikan tekanan darah dan lebih jauh meningkatkan
permeabilitas ginjal dan memperparah kerusakan ginjal. Mekanisme lain
dari kerusakan ginjal dimana AGE dan ROS menstimulasi pembentukan
growth factor, growth factor yang terbentuk berupa TGF, VEGF, dan PDGF.
Pembentukan growth factor tersebut dapat menyebabkan terjadinya fibrosis
pada ginjal dan menurunkan GFR.
23
3.1.7 Diagnosis
Secara definisi, penyakit ginjal kronis merupakan penurunan fungsi
ginjal secara kronis yang ditandai dengan penurunan GFR (Glomerulus
Filtration Rate) 3 bulan ( >90hari) maka disebut kronik. Kronisitas ini untuk
membedakan CKD dengan penyakit ginjal akut lainnya seperti akut GN
termasuk AKI yang memerlukan intervensi dan memiliki etiologi dan hasil
yang berbeda. Durasi penyakit ginjal ini dapat didokumentasikan dan
disimpulkan berdasarkan konteks klinis.
Untuk diagnosis yang akurat, dianjurkan untuk pemeriksaan ulang
fungsi ginjal dan kerusakan ginjal. Untuk waktu evaluasi bergantung pada
penilaian klinis, dengan evaluasi awal untuk pasien diduga memiliki AKI
dan evaluasi selanjutnya untuk pasien diduga memiliki CKD.
Pada AKI terjadi peningkatan serum creatinin secara tiba-tiba dengan
jumlah yang tinggi namun pada CKD peningkatan serum creatinin terjadi
secara perlahan dan kronis. Kebanyakan dari penyakit ginjal tidak memiliki
gejala atau temuan dan hanya terdeteksi ketika sudah kronis. Sebagian CKD
tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan seumur hidup hanya untuk
memperlambat perkembangan gagal ginjal.
Tetapi, dalam beberapa kasus dapat sepenuhnya sembuh, baik secara
spontan maupun dengan pengobatan. Pada kasus lain, pengobatan
menyebabkan penyembuhan parsial pada kerusakan ginjal dan peningkatan
fungsi ginjal.
1. Peningkatan GFR
GFR merupakan salah satu komponen dari fungsi eksresi yang dapat
dijadikan acuan sebagai keseluruhan index dari fungsi ginjal. Kerusakan
struktual yang meluas dapat mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang
ditandai dengan berkurangnya GFR. GFR 3 bulan dapat diindikasi dengan
CKD dengan nilai normal GFR yaitu sekitar 125ml/min/1,73m2 . GFR ini
dapat dideteksi secara rutin dengan tes laboratorium. GFR ini dapat dilihat
berdasarkan serum creatinin (SCr) tetapi bukan hanya SCr saja yang
sensitive untuk mendeteksi GFR. Penurunan eGFR menggunakan SCr dapat
di konfirmasi dengan penggunakan penanda filtrasi alternative yaitu Cystatin
24
C.
2. Kerusakan ginjal
Kerusakan ginjal bisa terjadi di dalam parenkim, pembuluh darah besar atau
tubulus collecting duct yang paling sering dipakai sebagai penanda dari
jaringan ginjal. Penanda ini dapat memberikan petunjuk tentang
kemungkinan kerusakan dalam ginjal dan temuan klinis penyebab penyakit
ginjal.
a. Proteinuria
Merupakan istilah yang ditandai dengan adanya peningkatan jumlah protein
dalam urin. Proteinuria menyebabkan hilangnya protein plasma akibat dari
peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein, reabsorpsi protein
pada tubular tidak adekuat dan peningkatan konsentrasi plasma protein.
Proteinuria dapat menunjukan adanya protein hilang pada ginjal dan saluran
kencing bagian bawah.
b. Albuminuria
Albumin merupakan salah satu jenis protein plasma yang ditemukan dalam
urin dengan jumlah sedikit dan jumlah sangat besar pada pasien dengan
penyakit ginjal. Albuminuria mengacu pada peningkatan albumin secara
abnormal dalam urin. Beberapa alasan untuk lebih fokus pada albuminuria
dibanding proteinuria yaitu albumin adalah komponen utama protein urin
pada sebagian besar penyakit ginjal, lalu data epidemiologi penelitian di
seluruh dunia menunjukan bahwa hubungan adanya hubungan kuat dari
jumlah albumi urin dengan resiko penyakit ginjal dan CVD, dan klasifikasi
penyakit ginjal berdasarkan dari tingkat albuminuria. Albuminuria
merupakan temuan umum namun tidak semuanya mengarah ke CKD.
Adanya albuminuria ini menandakan adanya penyakit glomerular dimana
umumnya muncul sebelum terjadi pengurangan GFR. Albuminuria dapat
dikaitkan dengan hipertensi, obesitas dan penyakit pembuluh darah dimana
penyakit ginjal yang mendasari tidak diketahui. Tingkat kehilangan albumin
dan protein umumnya disebut AER ( Albumin Excretion Rate) dan PER
(Protein Excretion Rate). Batas AER ≥30mg/24 jam yang bertahan selama
>3 bulan untuk menunjukkan CKD. Batas ini kira-kira setara dengan ACR
dalam sample urin acak ≥30mg/g atau ≥3mg/mmol.
25
c. Sedimen Urin Abnormal
Temuan seperti sel, Kristal dan mikroorganisme dapat muncul dalam
endapan urin dalam berbagai gangguan ginjal dan saluran kemih, tetapi
temuan sel tubular ginjal, sel darah merah (RBC), sel darah putih (WBC),
granular kasar, wide cast, dan banyak sel dismorfik sel darah merah adalah
patognomic kerusakan ginjal.
d. Elektrolit dan kelainan lain akibat gangguan tubular Abnormalitas
elektrolit dapat terjadi akibat kelainan reabsopsi dan sekresi tubulus ginjal.
Seringkali penyakit yang bersifat genetik tanpa kelainan patologis yang
mendasari. Penyakit lain didapat seperti karena obat atau racun dan biasanya
dengan lesi patologis tubular yang menonjol.
e. Kelainan Imaging
Tes imaging dapat memungkinkan diagnosis penyakit pada struktur ginjal,
pembuluh darah atau tubulus collecting. Pasien dengan kelainan struktural
yang signifikan dianggap memiliki CKD jika kelainan tersebut dapat
bertahan > 3 bulan.
f. Riwayat transplatasi ginjal Penerima transplantasi ginjal didefinisikan
CKD terlepas dari tingkat GFR atau adanya penanda kerusakan ginjal.
Penerima transplantasi ginjal memiliki peningkatan 14 resiko kematian dan
hasil ginjal dibanding dengan populasi umum dan mereka memerlukan
pengobatan medis khusus.
3.1.8 Penatalaksanaan
26
Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya Waktu yang paling tepat
untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan LFG,
sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang
masih normal secara USG, biopsy, dan pemeriksaan histopatologi ginjal
dapat menetukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya,
bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap
penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
Penting sekali mengikuti kecepatan penurunan LFG pada pasien CKD.
Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk
keadaan pasien. Faktor komorbid tersebut antara lain gangguan
keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus
urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras atau peningkatan
aktivitas penyakit dasarnya.
27
tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi
nitrogen lain yang terutama diekskresikan melalui ginjal.
Oleh karena itu, diet tinggi protein pada pasien CKD akan
mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anoganik lain dan
mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Selain
itu, asupan protein berlebih akan mengakibatkan perubahan hemodinamik
ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus yang
akan meningkatkan perburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein
juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat
selalu berasal dari sumber yang sama. Dibutuhkan pemantauan yang teratur
terhadap status nutrisi pasien. Jika terjadi malnutrisi, jumlah asupan protein
dan kalori dapat ditingkatkan.
Pada pasien dengan terapi hemodialisis (HD), untuk mempertahankan
keadaan klinik stabil, protein yang dianjurkan adalah 1.2 gr/kgBB/hari
karena pada pasien HD kronik sering mengalami malnutrisi. Malnutrisi pada
pasien HD kronik disebabkan oleh intake protein yang tidak adekuat, proses
inflamasi kronik dalam proses dialisis, dialysis reuse, adanya penyakit
komorbid, gangguan gastrointestinal, post dialysis fatigue, dialisis yang
tidak adekuat, overhidrasi interdialitik.
2. Terapi Farmakologis
Pemakaian obat antihipertensi, disamping bermanfaat untuk
memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk
menghambat perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi
hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Di samping itu,
sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria.
Proteinuria merupakan faktor resiko terjadinya perburukan fungsi
ginjal. Beberapa obat antihipertensi terutama penghambat enzim yang
merubah angiotensin (ACE inhibitor) melalui berbagai studi dapat
memperlambat proses perburukan fungsi ginjal lewat mekanismenya
sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.
Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi terhadap
penyakit kardiovaskular adalah pengendalian diabetes, hipertensi,
dislipidemia, anemia, hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan
28
cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait
dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi CKD secara
keseluruhan.
a. Diabetes Mellitus
Pada pasien DM, kontrol gula darah, hindari pemakaian
metformin dan obat-obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang.
Target HbA1C untuk DM tipe 1 0,2 diatas nilai normal tertinggi,
untuk DM tipe 2 adalah 6%.
b. Hipertensi
Penghambat perubahan enzim angiotensin (Angiotensin
Converting Enzyme/ ACE inhibitor) atau antagonis reseptor
Angiotensin II kemudian dilakukan evaluasi kreatinin dan kalium
serum, bila terdapat peningkatan kreatinin > 35% atau timbul
hiperkalemia harus dihentikan. Penghambat kalsium, diuretic,
beberapa obat antihipertensi, terutama penghambat enzim converting
angotensin (ACE inhibitor) dan angiotensin reseptor bloker melalui
berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses perburukan fungsi
ginjal, hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi
dan antiproteinuria. Jika terjadi kontraindikasi atau terjadi efek
samping terhadap obat-obat tersebut dapat diberikan calcium channel
bloker, seperti verapamil dan diltiazem.
c. Dislipidemia
Kontrol dislipidemia dengan target LDL,100 mg/dl dianjurkan
golongan statin.
d. Anemia
Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl. Anemia pada
CKD terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal-hal lain
yang ikut berperan dalam terjadinya anemia, yaitu defisiensi asam
besi, kehilangan darah (perdarahan saluran cerna, hematuria), masa
hidup eritrosit yang pendek akibat hemolisis, defisiensi asam folat,
penekanan pada sumsum tulang, proses inflamasi akut maupun kronik.
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kada Hb ≤ 10 g% atau Hct ≤
30%, meliputi evaluasi terhadap status besi, mencari sumber
29
perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis.
Pemberian transfuse pada CKD harus dilakukan secara hati-hati,
berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat.
Transfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat
mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan
pemburukan fungsi ginjal.
e. Hiperfosfatenemia
Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien
CKD secara umum, yaitu tinggi kalori, rendah protein, dan rendah
garam, karena fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan
produk hewan, seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800
mg.hari. Pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan,
untuk mencegah terjadinya malnutrisi. Pemberian pengikat fosfat
dapat pula diberikan pada pasien CKD dengan hiperfosfatemia.
Pengikat fosfat yang banyak dipakai, adalah garam kalium, aluminium
hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral,
untuk menghambat absorbs fosfat yang berasal dari makanan. Garam
kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan
kalsium asetat. Pemberian bahan kalsium mimetic (calcium mimetic
agent). Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis obat yang dapat
menghambat reseptor Ca pada kalenjar paratiroid, dengan nama
sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut juga calcium mimetic agent.
f. Kelebihan Cairan
Pembatasan cairan dan elektrolit bertujuan mencegah terjadinya
edema dan komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke dalam
tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar dengan asumsi bahwa
air keluar melalui insensible water loss antara 500- 800 ml/hari, maka
air yang dianjurkan masuk 500-800 ml ditambah jumlah urin.
Elektrolit yang harus diawasi adalah Na dan K sebab hiperkalemia
dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal dan hipernatremia
dapat mengakibatkan hipertensi dan edema. Oleh karena itu
pemberian obat-obatan yang mengandung kalium dan makanan yang
tinggi kalium seperti sayur dan buah harus dibatasi. Kadar kalium
30
darah dianjurkan 3.5-5.5 mEq/lt .
g. Keseimbangan Asam Basa
Gangguan keseimbangan elektrolit utama pada CKD adalah
hyperkalemia dan asidosis. Hiperkalemia dapat tetap asimptomatis
walaupun telah mengancam jiwa. Perubahan gambaran EKG kadang
baru terlihat setelah hyperkalemia membahayakan jiwa. Pencegahan
meliputi:1 - Diet rendah kalium, menghindari buah (pisang, jeruk,
tomat) serta sayuran rendah kalium; - Menghindari pemakaian
diuretika K-sparring. Pengobatan hiperkalemia tergantung derajat
kegawatannya, yaitu: 1,2 - Gluconas calcicus IV (10 - 20 ml 10% Ca
gluconate) - Glukosa IV (25-50 ml glukosa 50%) - Insulin-dextrose IV
dengan dosis 2-4 unit aktrapid tiap 10 gram glukosa - Natrium
bikarbonat IV (25-100 ml 8,4% NaHCO3)
h. Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22
mEq/l
Asidosis menyebabkan keluhan mual, lemah, air hunger dan
drowsiness. Pengobatan intravena dengan NaHCO3 hanya diberikan
pada asidosis berat, sedangkan jika tidak gawat dapat diberikan secara
peroral.
Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi
1. Anemia
Penyebab utama terjadinya anemia pada pasien CKD adalah
penurunan produksi eritropoetin oleh ginjal. Disamping itu faktor non
renal yang juga ikut berkontribusi antara lain infeksi, inflamasi, masa
hidup sel darah merahyang pendek pada CKD dan faktor yang
berpotensi menurunkan fungsi sumsum tulang seperti defisiensi besi,
defisiensi asam folat dan toksisitas aluminium. Selain itu adanya
perdarahan saluran cerna tersembunyi dan malnutrisi dapat menambah
beratnya keadaan anemia.
Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan
dan status besi harus diperhatikan karena EPO memerlukan besi dalam
mekanisme kerjanya. Tujuan pemberian EPO adalah untuk
mengoreksi anemia renal sampai target Hb = 10g/dL. Target
31
pencapaian Hb dengan transfusi darah adalah 7-9g/dL.
Pemberian transfusi darah pada pasien CKD harus hati-hati dan
hanya diberikan pada keadaan khusus yaitu:
1. Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik
2. Hb < 7g/dL dan tidak memungkinkan menggunakan
EPO
3. Hb < 8g/dL dengan gangguan hemodinamik
32
3.2.1 Definisi
Renal tubular asidosis adalah suatu sindrom klinik yang disebabkan
gangguan reabsorpsi bikarbonat (HCO3 - ) di tubulus proksimal atau
gangguan pengasaman urine (sekresi ion H+) di tubulus distal dan ditandai
oleh asidosis metabolik hiperkloremik, anion gap plasma yang normal dan
fungsi glomerulus normal.
Renal tubular asidosis dapat digolongkan atas empat pembagian yaitu
renal tubular asidosis tipe I atau dikenal tipe distal akibat kegagalan
pengasaman urine pada tubulus distal, renal tubular asidosis tipe II atau tipe
proksimal akibat kegagalan rearbsorpsi HCO3 - pada tubulus proksimal, renal
tubular asidosis tipe III atau tipe campuran tipe I-II serta renal tubular asidosis
tipe IV yang disebabkan defisiensi aldosteron atau resistensi tubulus distal
terhadap aldosteron (pseudoaldosteronisme).
3.2.2 Klasifikasi
Tabel 3.2 Klasifikasi Asidosis Tubular Renal
Asidosis tubular renal terbagi menjadi 3 tipe utama, yaitu ATR tipe 1 (ATR distal/ATRd),
33
3.3 Hemodialisa
3.3.1 Definisi
Hemodialisis merupakan suatu proses terapi pengganti ginjal dengan
menggunakan selaput membran semi permeabel (dialiser), yang berfungsi
seperti nefron sehingga dapat mengeluarkan produk sisa metabolisme dan
mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien gagal
ginjal.
Hemodialisis digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan
memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa
minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir atau end stage
renal disease (ESRD) yang memerlukan terapi jangka panjang atau
permanen. Hemodialisis bertujuan untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen dan
racun lain yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang
berlebihan. Pada penderita gagal ginjal kronis, hemodialisis akan mencegah
kematian.
Hemodialisis bukan bertujuan untuk menyembuhkan penyakit ginjal
dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin
yang dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal, tetapi terapi
hemodialisa ini bertujuan untuk menggantikan kerja ginjal sebagai alat
filtrasi dan ekskresi serta berdampak terhadap kualitas hidup pasien.
34
sebagai berikut :
1.LFG < 10 ml/ mnt dengan gejala uremia / malnutrisi
2.LFG < 5 ml/mnt walaupun tanpa gejala
3.Indikasi Khusus :
•Terdapat komplikasi akut (edema paru, hiperkalemia, asidosis metabolik
berulang)
•Pada pasien nefropati diabetik dapat dilakukan lebih awal.
35
dijumpai pada pasien GGK. Peningkatan kadar homosistein tersebut
berkorelasi dengan kejadian stroke dan penyakit kardiovaskular lain pada
pasien GGK.
Hiperhomosisteinemia memicu stres oksidatif dan berperan sebagai
antagonis efek vasodilator dari nitrit oksida, sehingga pada akhirnya memicu
disfungsi endotel. Akibat dari stres oksidatif tersebut, sel endotel
memproduksi berbagai sitokin yang berperan dalam reaksi inflamasi. Selain
itu, hiperhomosisteinemia mengaktivasi metaloproteinase dan menginduksi
sintesis kolagen yang menyebabkan penurunan elastisitas pembuluh darah.
Homosistein juga memicu proliferasi sel otot polos yang pada akhirnya
berinteraksi dengan platelet, faktor-faktor pembekuan, dan lipid yang
berperan dalam aterosklerosis.
Hiperhomosisteinemia juga sering disertai dengan kondisi
hiperkoagulabilitas, gangguan fibrinolisis yang memicu abnormalitas
struktur jendalan fibrin dan resisten terhadap lisis. Pada akhirnya, memicu
pembentukkan trombus.
- Bicnat
Penanganan secara farmakologi pada keadaan asidosis metabolik
dapat diberikan natrium sitrat, kalium sitrat, kalium bikarbonat, dan natrium
bikarbonat. Penanganan secara farmakologi pada keadaan alkalosis yaitu
dengan pengobatan untuk memperbaiki faktor yang bertanggung jawab
untuk mempertahankan alkalosis dan tergantung pada apakah kelainan
tersebut responsif atau resisten terhadap natrium klorida.
Terapi farmakologi yang digunakan untuk gagal ginjal kronik dengan
asidosis metabolik adalah pemberian Natrium bikarbonat. Penurunan asupan
protein dapat memperbaiki keadaan asidosis, tetapi bila kadar bikarbonat
serum kurang dari 15 mEq/L, beberapa ahli nefrologi memberikan terapi
alkali, baik natrium bikarbonat maupun natrium sitrat pada dosis 1 mEq/kg/
hari secara oral.Bila asidosis berat maka akan diterapi dengan pemberian
Natrium bikarbonat secara parenteral. Menurut Matzke and Palevsky (2005)
Natrium bikarbonat diberikan secara oral jika kadar bikarbonat darah 12-20
mmol/L dan pH darah 7,20-7,40. Jika kadar bikarbonat darah <12 mmol/L
dan pH darah <7,20 maka natrium bikarbonat diberikan secara infus iv.
36
Terapi alkali dapat melindungi perkembangan gagal ginjal kronik,
terutama pada tahap serum bikarbonat normal. Menurut Ashurst et al
(2009)suplemen Natrium bikarbonat dapat memperlambat progresi dari
gagal ginjal kronik.
3.4 Anemia
3.4.1 Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah
massa eritrosit (red cell mass). Anemia terutama dapat dilihat dengan
minimal salah satu dari parameter berikut, yaitu penurunan konsentrasi
hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit.
Fungsi dari eritrosit sendiri salah satunya adalah mendistribusikan
oksigen dari paru ke jaringan tubuh dan karbon dioksida dari jaringan tubuh
ke paru, sehingga apabila terjadi gangguan pada fungsi tersebut akan
berdampak pada perfusi organ dan jaringan serta menimbulkan gejala.
Menurut WHO, anemia didefinisikan sebagai kadar hemoglobin di bawah 13
g/dL pada pria dan di bawah 12 g/dL pada wanita. Berdasarkan kriteria
National Cancer Institute dan kriteria WHO yang direvisi, kriteria anemia
pada pria berubah menjadi di bawah 14 g/dL, sementara untuk wanita tetap
sama. Namun ada juga sumber yang mengatakan kriteria WHO tersebut
lebih diaplikasikan pada penelitian, sementara untuk pemakaian oleh klinisi
digunakan batas hemoglobin kurang dari 10 g/dL dan hematokrit kurang dari
30%.
3.4.2 Etiologi
Terdapat dua pendekatan untuk menentukan penyebab anemia :
A. Pendekatan kinetik Pendekatan ini didasarkan pada mekanisme yang
berperan dalam turunnya Hb.
B. Pendekatan morfologi Pendekatan ini mengkategorikan anemia
berdasarkan perubahan ukuran eritrosit (Mean corpuscular volume/MCV)
dan res-pons retikulosit.
A. Pendekatan kinetik
Anemia dapat disebabkan oleh 1 atau lebih dari 3 mekanisme independen
yaitu :
37
1. Berkurangnya produksi sel darah merah
Anemia disebabkan karena kecepatan produksi sel darah merah lebih
rendah dari destruksinya. Penyebab berkurangnya produksi sel darah merah :
- Kekurangan nutrisi: Fe, B12, atau folat; dapat disebabkan oleh
kekurangan diet, malaborpsi (anemia pernisiosa, sprue) atau
kehilangan darah (defisiensi Fe)
- Kelainan sumsum tulang (anemia aplastik, pure red cell aplasia,
mielodisplasia, inl itrasi tumor)
- Supresi sumsum tulang (obat, kemoterapi, radiasi)
- Rendahnya trophic hormone untuk sti-mulasi produksi sel darah
merah (eritro- poietin pada gagal ginjal, hormon tiroid
[hipotiroidisme] dan androgen [hipogonadisme])
- Anemia penyakit kronis/anemia inl amasi, yaitu anemia dengan
karakteristik berkurangnya Fe yang efektif untuk eritropoiesis karena
berkurangnya absorpsi Fe dari traktus gastrointestinal dan
berkurangnya pelepasan Fe dari makrofag, berkurangnya kadar
eritropoietin (relatif) dan sedikit berkurangnya masa hidup erirosit.
2. Meningkatnya destruksi sel darah merah
Anemia hemolitik merupakan anemia yang disebabkan karena
berkurangnya masa hidup sel darah merah (kurang dari 100 hari). Pada
keadaan normal, umur sel darah merah 110- 120 hari.2 Anemia hemolitik
terjadi bila sumsum tulang tidak dapat mengatasi kebutuhan untuk
menggganti lebih dari 5% sel darah merah/hari yang berhubungan dengan
masa hidup sel darah merah kira-kira 20 hari.
3. Kehilangan darah
38
Anemia pasca perdarahan akut dan anemia pasca perdarahan kronik.
39
ukuran sel.16
Berdasarkan pendekatan morfologi, anemia diklasifikasikan menjadi:
1. Anemia makrositik
2. Anemia mikrositik
3. Anemia normositik
1. Anemia makrositik
Anemia makrositik merupakan anemia dengan karakteristik MCV di
atas 100 fL. Anemia makrositik dapat disebabkan oleh:
• Peningkatan retikulosit
Peningkatan MCV merupakan karakteristik normal retikulosit. Semua
keadaan yang menyebabkan peningkatan retikulosit akan memberikan
gambaran peningkat-an MCV
• Metabolisme abnormal asam nukleat pada prekursor sel darah merah
(defisiensi folat atau cobalamin, obat-obat yang mengganggu sintesa asam
nukleat: zidovudine, hidroksiurea)
• Gangguan maturasi sel darah merah (sindrom mielodisplasia,
leukemia akut)
• Penggunaan alkohol
• Penyakit hati
• Hipotiroidisme.
2. Anemia mikrositik
Anemia mikrositik merupakan anemia dengan karakteristik sel darah merah
yang kecil (MCV kurang dari 80 fL). Anemia mikrositik biasanya disertai
penurunan hemoglobin dalam eritrosit. Dengan penurunan MCH ( mean
concentration hemoglobin) dan MCV, akan didapatkan gambaran mikrositik
hipokrom pada apusan darah tepi.
Penyebab anemia mikrositik hipokrom:
• Berkurangnya Fe: anemia defisiensi Fe, anemia penyakit
kronis/anemia inflamasi, defisiensi tembaga.
• Berkurangnya sintesis heme: keracunan logam, anemia sideroblastik
kongenital dan didapat.
40
• Berkurangnya sintesis globin: talasemia dan hemoglobinopati.
3. Anemia normositik
Anemia normositik adalah anemia dengan MCV normal (antara 80-100 fL).
Keadaan ini dapat disebabkan oleh:
• Anemia pada penyakit ginjal kronik.
• Sindrom anemia kardiorenal: anemia, gagal jantung, dan penyakit
ginjal kronik.
• Anemia hemolitik:
Anemia hemolitik karena kelainan intrinsik sel darah merah: Kelainan
membran (sferositosis herediter), kelainan enzim (defisiensi G6PD),
kelainan hemoglobin (penyakit sickle cell).
Anemia hemolitik karena kelainan ekstrinsik sel darah merah: imun,
autoimun (obat, virus, berhubungan dengan kelainan limfoid, idiopatik),
alloimun (reaksi transfusi akut dan lambat, anemia hemolitik neonatal),
mikroangiopati (purpura trombositopenia trombotik, sindrom hemolitik
uremik), infeksi (malaria), dan zat kimia (bisa ular).
41
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan etiopatogenesisnya dan
berdasarkan morfologi yang dapat dilihat dari pemeriksaan apusan darah
tepi. Namun, seperti halnya demam, anemia sendiri merupakan suatu tanda
dari penyakit penyebab tersendiri yang perlu diketahui lebih lanjut.
3.4.3 Epidemiologi
Anemia banyak dijumpai terutama pada negara berkembang, hal ini
dipengaruhi oleh budaya dan faktor sosioekonomi yang mempengaruhi
kecukupan nutrisi per individu, sehingga banyak ditemukan anemia
defisiensi zat besi. Selain itu juga akibat dari penyakit kronik dan penyakit
infeksi seperti malaria, tuberkulosis, serta acquired immunodeficiency
syndrome (AIDS), yang tidak ditangani dengan adekuat juga mempengaruhi
prevalensi anemia di negara berkembang.
42
progresivitas terjadinya anemia. Gejala akan lebih ringan pada anemia yang
terjadi perlahan, karena ada kesempatan bagi tubuh untuk melakukan
kompensasi. Gejala anemia disebabkan oleh dua faktor, yaitu berkurangnya
pasokan oksigen ke jaringan dan adanya hipovolemia. Tubuh dapat
melakukan kompensasi dengan meningkatkan volume sekucup (stroke
volume), denyut jantung dan curah jantung (cardiac output) pada kadar Hb
mencapai 5 g/dL (Ht 15%) atau ada juga yang mengatakan Hb 7 g/dL.
Gejala timbul bila Hb turun di bawah 5 g/dL, pada Hb lebih tinggi selama
beraktivitas atau ketika disertai gangguan kompensasi jantung karena
penyakit jantung penyerta.
Berikut ini peta konsep mengenai patofisiologi dan patogenesis pada anemia
secara umum.
3.4.6 Diagnosis
Pendekatan diagnosis anemia terdiri dari anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.
A. Anamnesis
Gejala yang mungkin dikeluhkan oleh pasien pada riwayat penyakit
sekarang dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu:
43
a. Gejala umum
Gejala ini terutama lebih jelas pada kadar hemoglobin di bawah 7 g/dL.
Gejalanya terdiri dari rasa lemah, cepat lelah (fatigue), lesu, tinnitus, mata
berkunang- kunang, kaki teraba dingin, sesak napas saat beraktivitas maupun
istirahat, gejala dan tanda keadaan hiperdinamik (denyut nadi meningkat,
jantung berdebar). Pada anemia yang lebih berat, dapat ditemukan keadaan
letargi, penurunan kesadaran, dan komplikasi yang mengancam jiwa (tanda-
tanda gagal jantung, angina, artimia dan infark miokard).
b. Gejala khas masing-masing anemia
Gejala ini muncul sesuai dengan jenis anemianya, seperti:
- Anemia defisiensi besi: sulit menelan, lidah licin (atroi papil), kuku
yang menjadi tipis, mendatar dan melengkung seperti sendok (spooning),
dan sering menggigit atau mengemut es (pagofagia).
- Anemia megaloblastik: glossitis, gangguan neurologik pada defisiensi
vitamin B12
- Anemia hemolitik: ikterus, splenomegali dan hepatomegali
- Anemia aplastik: riwayat perdarahan dan tanda-tanda infeksi.16,20
c. Gejala penyakit dasar
Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat
bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala akibat
infeksi cacing tambang: sakit perut, pembengkakan parotis dan warna
kuning pada telapak tangan. Pada kasus tertentu sering gejala penyakit dasar
lebih mendominasi, seperti misalnya pada anemia akibat penyakit kronik
oleh karena arthritis rematoid.
Tanyakan juga onset terjadinya anemia, apakah akut, subakut atau
kronik. Anemia dengan onset akut biasa disebabkan oleh perdarahan akut,
hemolitik, dan leukemia akut. Sementara anemia yang kronik biasa
disebabkan oleh defisiensi besi, asam folat atau vitamin B12 dan pada
hemolitik kronik kongenital.
Pada riwayat penyakit dahulu perlu ditanyakan apakah ada penyakit
yang menyebabkan pasien mengalami kehilangan darah yang banyak seperti
trauma, kehamilan, aborsi, riwayat menstruasi, riwayat hematemesis dan
melena. Riwayat adanya purpura, ekimosis dan petekie dapat mengarah pada
44
kemungkinan anemia disertai trombositopenia atau gangguan perdarahan
lain, hal ini dapat menandakan sel darah lain yang mungkin juga terganggu.
Perlu ditanyakan juga riwayat penyakit kronik seperti gagal ginjal, penyakit
hepar dan artritis reumatoid. Riwayat transfusi darah juga perlu ditanyakan.
Ditanyakan juga apakah pernah terdapat riwayat penurunan berat badan
yang bermakna, karena hal ini dapat mengarah pada keadaan anemia akibat
infeksi, metabolik hingga keganasan.
Pada riwayat penyakit keluarga perlu ditanyakan apakah terdapat
anemia dan gejala lain yang dapat mencetus anemia seperti riwayat ikterik,
kolelitiasis, splenektomi, gangguan perdarahan dan hemoglobin abnormal.
Pada riwayat penyakit sosial perlu ditanyakan juga pekerjaan pasien
dan lingkungan tempat tinggal yang mungkin terpapar toksin (misal
insektisida, cat, pelarut, cat rambut) atau radiasi, riwayat kemoterapi,
konsumsi obat-obatan (asam asetilsalisilat, antiinflamasi nonsteroid
(OAINS)). Pola makan pasien juga perlu ditanyakan apakah konsumsi
makanan mengandung zat besi, asam folat dan vitamin B12 adekuat atau
tidak, kebiasaan konsumsi zat yang menghambat absorpsi besi seperti tannin
pada teh dan kopi, konsumsi alkohol serta tanda malnutrisi.
B. Pemeriksaan fisik
Tujuan utamanya adalah menemukan tanda keterlibatan organ atau
multisistem dan untuk menilai beratnya kondisi penderita. Tanda yang
ditemukan pada pemeriksaan fisik berupa takikardia, dispnea, hipotensi
postural, sindrom anemia yang meliputi pasien tampak pucat (wajah, tangan,
kuku), anemis pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan
di bawah kuku. Sklera ikterik menunjukkan kemungkinan anemia hemolitik.
Pada talasemia dapat ditemukan penonjolan tulang frontoparietal dan
maksila (facies rodent/chipmunk). Pada anemia defisiensi besi terdapat lidah
licin (atrofi papil), disfagia, stomatitis angularis, kuku rapuh dan cekung
(spoon nail). Pada anemia megaloblastik terdapat glositis dan gangguan
neurologis terutama pada defisiensi vitamin B12.
Pada leher dapat diperiksa apakah ada limfadenopati sebagai tanda
infeksi atau keganasan. Pada jantung dapat ditemukan murmur akibat
kompensasi jantung pada penurunan massa eritrosit, maupun pembesaran
45
jantung yang dapat memberi petunjuk durasi dan severitas anemia. Pada
pemeriksaan abdomen perlu diperiksa apakah ada hepatosplenomegali.
Nyeri tulang dapat disebabkan oleh ekspansi akibat penyakit infiltratif (misal
leukemia mielositik kronik) atau lesi litik (misal mieloma multipel atau
metastasis kanker). Edema bilateral dapat mengarah pada penyakit renal,
hepar maupun jantung, dan edema unilateral dapat terjadi akibat obstruksi
oleh suatu keganasan. Ulkus rekuren di kaki dapat ditemukan pada sickle
cell disease, sferositosis herediter dan anemia sideroblastik familial. Rektal
dan pelvis juga perlu diperiksa karena dapat ditemukan perdarahan, infeksi,
maupun tumor yang menyebabkan anemia. Pemeriksaan neurologis juga
perlu diperiksa meliputi position and vibratory sense, saraf kranial dan
refleks tendon.
Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat
penting pada kasus anemia untuk mengarahkan diagnosis anemia. Tetapi
pada umumnya diagnosis anemia memerlukan pemeriksaan laboratorium.
C. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
1) Hemoglobin (Hb)
Nilai hemoglobin menyatakan kadar konsentrasi hemoglobin dalam darah.
Nilai normal hemoglobin pada pria sebesar 13-18 g/dL dan wanita 12-16
g/dL. Menurut WHO, kriteria anemia adalah nilai hemoglobin di bawah 13
g/dL pada pria, di bawah 12 g/dL pada wanita tidak hamil dan di bawah 11
g/dL pada wanita hamil. Nilai ini dapat digunakan untuk menilai keparahan
anemia dan respons terhadap terapi anemia. Selain itu penurunan Hb juga
dapat terjadi pada keadaan sirosis, hipertiroidisme, perdarahan dan
hipervolemia. Namun pada keadaan normal juga bisa ditemukan hemoglobin
rendah, yaitu pada ibu hamil dan asupan cairan berlebih.
2) Eritrosit (sel darah merah)
Nilai normal jumlah eritrosit pada pria adalah 4,4-5,6 x 106 sel/mm3 dan
wanita 3,8-5 x 106 sel/mm3. Penurunan jumlah eritrosit terjadi pada anemia
akibat leukemia, penurunan fungsi ginjal, talasemia, hemolisis, lupus
eritmatosus sistemik (SLE) dan konsumsi obat seperti sitostatika dan
antiretroviral (ARV).
46
Indeks Eritrosit:
• Mean Corpuscular Volume (MCV)
Volume korpuskuler rerata adalah indeks untuk menentukan ukuran sel
darah merah apakah Normositik (80-100 fL), Mikrositik (ukuran kecil < 80
fL), atau Makrositik (ukuran kecil >100 fL). MCV dihitung dengan rumus
berikut.
MCV (femtoliter) = 10 x Hct (%) : jumlah eritrosit (106 sel/µL)
Penurunan nilai MCV dapat ditemukan pada anemia defisiensi besi, anemia
pernisiosa dan talasemia. Sementara itu, peningkatan nilai MCV dapat
ditemukan pada penyakit hepar, alkoholisme, terapi antimetabolik,
zidovudin (AZT) dan asam valproat, defisiensi asam folat dan vitamin B12.
Pada anemia sel sabit, nilai MCV diragukan karena bentuk eritrosit yang
abnormal.
• Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH)
Hemoglobin korpuskuler rerata adalah indeks berat Hb rata-rata didalam
eritrosit yang menentukan kuantitas warna eritrosit (normokromik,
hipokromik, hiperkromik). Nilai normal MCH adalah 28-34 pg/sel. MCV
dihitung dengan rumus berikut.
MCH (picogram/sel) = Hb/jumlah eritrosit
Peningkatan MCH mengindikasikan anemia makrositik. Sementara itu,
penurunan MCH mengindikasikan anemia mikrositik
• Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC)
Konsentrasi hemoglobin korpuskuler rerata adalah indeks konsentrasi
hemoglobin rerata dalam eritrosit. Semakin kecil sel eritrosit, maka akan
semakin tinggi konsentrasinya. Indeks Hb ini lebih baik dibanding MCH
karena ukuran sel akan mempengaruhi nilai MCHC. Nilai normal MCHC
adalah 32-36 g/dL. MCHC dihitung dengan rumus berikut.
MCHC = hemoglobin/hematokrit
Penurunan nilai MCHC terdapat pada anemia defisiensi besi, anemia
mikrositik, anemia karena piridoksin, talasemia dan anemia hipokromik.
Sementara itu, peningkatan nilai MCHC terjadi pada sferositosis.
• RBC Distribution Width (RDW)
47
Pemeriksaan ini menunjukkan koefisien variasi volume eritrosit, yang
didapatkan dari pemeriksaan apusan darah tepi dengan automatic cell
counter yang akan mengeluarkan angka MCV dan angka dispersi mean
tersebut. Nilai normal RDW berkisar antara 11,5-14,5%. Peningkatan RDW
menunjukkan adanya variasi ukuran sel, seperti pada anemia defisiensi besi.
3.4.7 Tatalaksana
Pemberian tatalaksana pada kasus anemia tergantung pada kondisi
klinis pasien dan penyakit penyebab (underlying disease). Beberapa hal yang
perlu menjadi perhatian dalam menatalaksana anemia adalah hendaknya
terapi disesuaikan dengan diagnosis definitif yang telah ditegakkan terlebih
dahulu. Apabila diagnosis definitif tidak dapat ditegakkan, maka dapat
diberikan terapi percobaan (terapi ex juvantivus) dengan pemantauan ketat
terhadap respon terapi dan perubahan klinis pasien serta selalu dievaluasi
kemungkinan perubahan diagnosis.
Terapi yang efektif untuk meningkatkan kadar eritropoetin sampai
saai ini adalah Recombinant Human Erithropoetin. Terapi ini diberikan
secara intravena kepada pasien hemodialisa, telah terbukti meningkatkan
eritropoetin secara drastis. Hal ini memungkinkan untuk meningkatkan
kadar Hb normal setelah tranfusi darah berakhir. Parameter yang perlu
48
dievaluasi pada pemberian terapi EPO adalah hemoglobin, hematokrit,
indeks eritrosit, jumlah retikulosit, parameter status besi tubuh yaitu serum
iron(Fe), ion total iron binding capacity (TIBC), saturasi transferin, dan
ferritin serum.
3.4.8 Komplikasi
Komplikasi tersering dari anemia yang parah berasal dari
ketidakmampuan tubuh mencukupi kebutuhan oksigen sel-sel tubuh,
sehingga terjadi hipoksia jaringan. Dari inilah dapat terjadi komplikasi
berupa syok, hipotensi, hingga kegagalan fungsi jantung dan paru.
Komplikasi ini lebih sering ditemukan pada pasien dengan usia lanjut dan
pasien yang memiliki penyakit komorbid kardiovaskular dan paru.
3.4.9 Prognosis
Prognosis pada anemia bergantung pada penyakit yang mendasari.
Selain itu, juga dipengaruhi oleh keparahan dan kecepatan perkembangan
anemia yang dipengaruhi pula oleh usia dan adanya penyakit komorbid juga
menentukan prognosis pasien.
3.5 Hepatitis
3.5.1 Definisi
Hepatitis adalah proses terjadinya inflamasi dan atau nekrosis jaringan
hati yang dapat disebabkan oleh infeksi, obat-obatan, toksin, gangguan
metabolik, maupun kelainan autoimun. Infeksi yang disebabkan virus,
bakteri, maupun parasit merupakan penyebab terbanyak hepatitis akut.
Terdapat sedikitnya 6 jenis virus hepatotropik penyebab utama infeksi
akut, yaitu virus hepatitis A, B, C, D, E, dan G. Semuanya memberi gejala
klinis hampir sama; bervariasi mulai dari asimtomatis, bentuk klasik, sampai
hepatitis fulminan yang dapat menyebabkan kematian. Kecuali virus
hepatitis G yang memberikan gejala sangat ringan, semua infeksi yang
disebabkan oleh virus hepatitis dapat berlanjut dalam bentuk subklinis atau
penyakit hati yang progresif dengan komplikasi sirosis atau timbulnya
49
karsinoma hepatoselular. Virus hepatitis A, C, D, E, dan G adalah virus
RNA sedang virus hepatitis B adalah virus DNA. Virus hepatitis A dan virus
hepatitis E tidak menyebabkan penyakit kronis sedangkan virus hepatitis B,
D, dan C dapat menyebabkan infeksi kronis.
Hepatitis A
Penyebabnya adalah virus Hepatitis A, dan merupakan penyakit
endemis di beberapa negara berkembang. Selain itu merupakan Hepatitis
yang ringan, bersifat akut, sembuh spontan/sempurna tanpa gejala sisa dan
tidak menyebabkan infeksi kronik. Penularannya melalui fecal oral. Sumber
penularan umumnya terjadi karena pencemaran air minum, makanan yang
tidak dimasak, makanan yangtercemar, sanitasi yang buruk, dan personal
hygiene rendah. Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya IgM antibodi
dalam serum penderita. Gejalanya bersifat akut, tidak khas bisa berupa
demam, sakit kepala, mual dan muntah sampai ikterus, bahkan dapat
menyebabkan pembengkakan hati. Tidak ada pengobatan khusus hanya
pengobatan pendukung dan menjaga keseimbangan nutrisi. Pencegahannya
melalui kebersihan lingkungan, terutama terhadap makanan dan minuman
dan melakukan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
Hepatitis B
Hepatitis B Akut
Etiologinya virus Hepatitis B dari golongan virus DNA. Masa
inkubasi berkisar antara 60—90 hari. Penularannya vertikal terjadi pada
masa perinatal (saat persalinan) dan intra uterina. Penularan horizontal
melalui transfusi darah, jarum suntik tercemar, pisau cukur, tatto,
transplantasi organ. Gejala tidak khas seperti rasa lesu, nafsu makan
berkurang, demam ringan, nyeri abdomen sebelah kanan, dapat timbul
ikterus, air kencing warna teh. Diagnosis ditegakkan dengan test fungsi hati
serum transaminase (ALT meningkat), serologi HBsAg dan IgM anti HBC
dalam serum. Pengobatan tidak diperlukan antiviral, pengobatan umumnya
bersifat simtomatis. Pencegahannya :Telah dilakukan penapisan darah sejak
tahun 1992 terhadap Bank Darah melalui PMI.Imunisasi yang sudah masuk
dalam program Nasional: HBO («12 jam), DPT/HB1 (2 bulan), DPT/HB2
50
(3bulan), DPT/HB 3 (4 bulan). Menghindari faktor risiko yang
menyebabkan terjadinya penularan.
Hepatitis B kronik
Hepatitis B kronik berkembang dari Hepatitis B akut .Usia saat
terjadinya infeksi mempengaruhi kronisitas penyakit. Bila penularan terjadi
saat bayi maka akan menjadi Hepatitis B kronik. Sedangkan bila penularan
terjadi pada usia balita, maka menjadi penderita Hepatitis B kronik dan bila
penularan saat dewasa maka hanya 5 X yang menjadi penderita Hepatitis B
kronik. Hepatitis B kronik ditandai dengan HBsAg (Hepatitis B surface
Antigen) positif (»6 bln). Selain HBsAg, perlu diperiksa HbeAg (Hepatitis B
E-Antigen, anti-HBe dalam serum, kadar ALT (Alanin Amino Transferase),
HBV-DNA (Hepatitis B Virus — Deoxyribunukleic Acid) serta biopsi hati.
Biasanya tanpa gejala. Sedangkan untuk pengobatannya saat ini telah
tersedia 7 macam obat untuk Hepatitis B (Interferon alfa- 2a,Peginterferon
alfa-2a, Lamivudin, Adefovir, Entecavir, Telbivudin dan Tenofovir). Prinsip
pengobatan tidak perlu terburu-buru tetapi jangan terlambat. Adapun tujuan
pengobatan memperpanjang harapan hidup, menurunkan kemungkinan
terjadinya sirosis hepatis atau hepatoma.
Hepatitis C
Penyebab utamanya adalah sirosis dan kanker hati. Etiologi virus
Hepatitis C termasuk golongan virus RNA (Ribo Nucleic Acid). Masa
inkubasi 2-24 minggu. Penularan Hepatitis C melalui darah dan cairan
tubuh, penularan masa perinatal sangat kecil, melalui jarum suntik (IDUs,
tatto) transplantasi organ, kecelakaan kerja (petugas kesehatan), hubungan
seks dapat menularkan tetapi sangat kecil. Kronisitasnya 80 96 penderita
akan menjadi kronik. Pengobatan Hepatitis C: Kombinasi pegylated
interferon dan ribavirin. Pencegahan Hepatitis C dengan menghindari faktor
risiko karena sampai saat ini belum tersedianya vaksin untuk Hepatitis C.
Hepatitis D
Virus Hepatitis D palingjarang ditemukan tapi paling berbahaya.
Hepatitis D, juga disebut virus delta, virus ini memerlukan virus Hepatitis B
51
untuk berkembang biak sehingga hanya ditemukan pada orang yang telah
terinfeksi virus Hepatitis B.Tidak ada vaksin tetapi otomatis orang akan
terlindungi jika telah diberikan imunisasi Hepatitis B.
Hepatitis E
Dahulu dikenal sebagai Hepatitis Non A-Non B. Etiologi virus
Hepatitis E termasuk virus RNA. Masa inkubasi 2—9 minggu. Penularan
melalui fecal oral seperti Hepatitis A. Diagnosis dengan didapatkannya IgM
dan IgG antiHEV pada penderita yang terinfeksi. Gejalanya ringan
menyerupai gejala flu, sampai ikterus. Pengobatannya belum ada
pengobatan antivirus. Pencegahannya dengan menjaga kebersihan
lingkungan, terutama kebersihan makanan dan minuman. Vaksinasi
Hepatitis E belum tersedia.
52
panjang terhadap re-infeksi.
Host infeksi HAV sangat terbatas, hanya manusia dan beberapa
primata yang dapat menjadi host alamiah. Karena tidak ada keadaan karier,
infeksi HAV terjadi melalui transmisi serial dari individu yang terinfeksi ke
individu lain yang rentan. Transmisi HAV pada manusia melalui rute fekal-
oral. Virus yang tertelan bereplikasi di intestinum dan bermigrasi melalui
vena porta ke hepar dengan melekat pada reseptor viral yang ada di
membran hepatosit. HAV matur yg sudah bereplikasi kemudian
diekskresikan bersama empedu dan keluar bersama feses.
53
persisten maupun penyakit kronis.
5. Hepatitis A fulminan.
Terjadi pada 0,35% kasus. Bentuk ini paling berat dan dapat
menyebabkan kematian. Ditandai dengan memberatnya ikterus, ensefalopati,
dan pemanjangan waktu protrombin. Biasanya terjadi pada minggu pertama
saat mulai timbulnya gejala. Penderita berusia tua yang menderita penyakit
hati kronis (HBV dan HCV) berisiko tinggi untuk terjadinya bentuk
54
fulminan ini.1
55
hepatitis A.
3.5.6 Patogenesis Hepatitis A
HAV didapat melalui transmisi fecal-oral; setelah itu orofaring dan
traktus gastrointestinal merupakan situs virus ber-replikasi. Virus HAV
kemudian di transport menuju hepar yang merupakan situs primer replikasi,
dimana pelepasan virus menuju empedu terjadi yang disusul dengan
transportasi virus menuju usus dan feses. Viremia singkat terjadi mendahului
munculnya virus didalam feses dan hepar. Pada individu yang terinfeksi
HAV, konsentrasi terbesar virus yang di ekskresi kedalam feses terjadi pada
2 minggu sebelum onset ikterus, dan akan menurun setelah ikterus jelas
terlihat. Anak-anak dan bayi dapat terus mengeluarkan virus selama 4-5
bulan setelah onset dari gejala klinis.
56
kalori, penghentian dari pengobatan yang beresiko hepatotoxic, dan
pembatasan dari konsumsi alkohol. Sebagian besar dari kasus hepatitis A
virus tidak memerlukan rawat inap. Rawat inap direkomendasikan untuk
pasien dengan usia lanjut, malnutrisi, kehamilan, terapi imunosupresif,
pengobatan yang mengandung obat hepatotoxic, pasien muntah berlebih
tanpa diimbangi dengan asupan cairan yang adekuat, penyakit hati
kronis/didasari oleh kondisi medis yang serius, dan apabila pada
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan gejala-gejala dari
hepatitis fulminan. Pasien dengan gagal hati fulminant, didefinisikan dengan
onset dari encephalopathy dalam waktu 8 minggu sejak timbulnya gejala.
Pasien dengan gagal hati fulminant harus dirujuk untuk pertimbangan
melakukan transplantasi hati.
57
amonium klorida dengan bantuan ion NH + yang difasilitasi oleh hati
melalui sekresi/produksi glutamine (Stewart approach) dan atau
sekresi/reabsorbsi bikarbonat (traditional approach). Bila mekanisme
homeostasis ini tidak bekerja dengan sempurna maka akan terjadi gangguan
keseimbangan asam-basa.
A. Karbondioksida (PaCO2).
58
ion bikarbonat dapat dipakai sebagai penafsir asidosis/alkalosis
metabolik. Bila kadar ion bikarbonat menurun dari normal menandakan
asidosis dan bila kadar ion bikarbonat meningkat adalah alkalosis. Kadar ion
bikarbonat normal antara 22 – 26 mEq/L (sekitar 24 mEq/L). Sebenarnya
penggunaan ion bikarbonat (HCO3-) sebagai petanda asidosis/alkalosis
tidaklah begitu tepat karena ion bikarbonat tidak saja dipengaruhi oleh asam
metabolik tetapi juga oleh asam volatile (PaCO2, respiratorik). Meskipun
demikian hubungan antara kadar ion bikarbonat dan PaCO2 dapat dipakai
untuk memperkirakan besarnya kompensasi tubuh. Perhitungan didasari atas
asumsi sistem buffer bikarbonat akan menetralisir kelebihan asam
nonvolatine (asam metabolik), satu ion bikarbonat akan mengikat satu ion
hidrogen asam nonvolatile, ion bikarbonat akan menurun sebanding dengan
ion hidrogen, jumlah total kelebihan asam nonvolatile sama dengan jumlah
penurunan ion bikarbonat dari nilai normal. Kelainan asam-basa yang terjadi
dapat disimpulkan berdasarkan perbandingan bikarbonat atau PaCO2 yang
terukur dengan yang diharapkan dari proses kompensasi.
C. Standardized Base Excess (SBE)
Buffer base (BB) adalah jumlah ion bikarbonat dan ion nonvolatile
buffer (terutama albumin, fosfat dan hemoglobin). BB secara tidak langsung
dihitung dari selisih jumlah seluruh kation dan anion kuat di dalam darah
(pada saat itu yang dapat diperiksa hanya ion natrium, kalium dan klor),
karena menurut kaidah elektronetralitas selisih jumlah kation dan anion kuat
tersebut sama dengan jumlah anion lemah (bikarbonat, protein, fosfat).
Peningkatan BB terjadi pada alkalosis metabolik dan penurunan BB terjadi
pada asidosis metabolik. Kadar BB normal sama dengan Na+ + K+ - Cl-.
Base excess/deficit (BE/D) adalah cara praktis untuk mengetahui
59
berapa besar kelainan asam-basa metabolik, yaitu dengan melakukan titrasi
invitro pada sediaan darah dengan asam/basa kuat untuk mengembalikan pH
menjadi normal (pH 7.4) dengan syarat faktor respiratorik ditiadakan (PCO2
contoh darah dibuat 40 mmHg dan suhu 37oC). Perdefinisi BE/D adalah
jumlah asam/basa kuat yang dibutuhkan untuk menaikkan/menurunkan pH
menjadi 7.4 pada PaCO2 40 mmHg dan suhu 37oC. Dengan perkataan lain
BE/D adalah besarnya penyimpangan kadar BB dari nilai normal. Kadar
normal BE antara -2 s/d 2mEq/L. Asidosis terjadi pada BE < -2 mEq/L dan
alkalosis BE > 2mEq/L.
Karena perhitungan BE/D menggunakan darah lengkap yang kurang
menggambarkan cairan ekstraseluler/interstitial maka dilakukan standarisasi
BE/BD yang sesuai dengan cairan ekstrasel/interstitial yaitu pada Hb 5 g/dL
disebut SBE. SBE dapat dihitung dengan persamaan Van Slyke. Perubahan
SBE pada gangguan keseimbangan asam-basa primer dapat dilihat pada
Tabel 1.
Kombinasi hasil pemeriksaan PaCO2, bikarbonat dan SBE belum
dapat menentukan penyebab asidosis metabolik. Untuk maksud tersebut
diperlukan pemeriksaan kesenjangan anion (anion gap, AG) yang
diperkenalkan oleh Emmett dan Narin pada tahun 1975. Pada saat itu tidak
semua elektrolit diperiksa secara rutin, oleh karena itu bila dipadankan
antara jumlah hasil pemeriksaan kation akan berbeda dengan anion,
perbedaan tersebut disebut AG (Gambar 1.). Anion gap dapat dihitung
dengan rumus: AG = (Na+ + K+) – (Cl- + HCO3-) mEq/L, atau bila kalium
diabaikan karena nilainya kecil , menjadi AG = Na+ - (Cl- + HCO3-)
mEq/L. Nilai normal AG antara 8 – 16 mEq/L. Berdasarkan AG asidosis
metabolik dibagi menjadi asidosis metabolik dengan peningkatan AG dan
tanpa peningkatan AG (Tabel 2.) Meningkatnya AG menandakan adanya
anion (unmeasured anions) sebagai penyebab metabolik asidosis.
D. Strong Ions Difference (SID).
Tubuh manusia sebagian besar terdiri dari air. Oleh karena itu sifat
fisik dan kimiawi air berperan penting dalam mempertahankan homeostasis
normal. Air murni pada suhu 25oC bersifat netral mempunyai kandungan
60
ion hidrogen (H+) dan hidroksil (OH-) sama besar yaitu 1 x 10-7 mmol/L
(pH 7.0). Suatu larutan disebut asam bila kandungan ion hidrogen melebihi 1
x 10-7 mmol/L, dan ion hidroksil kurang dari 1 x 10-7 mmol/L (pH <7.0),
dan sebaliknya disebut basa. Beberapa keadaan seperti suhu, dan kandungan
elektrolit dapat mempengaruhi proses disosiasi air yang akan merubah
kandungan ion hidrogen maupun hidroksil.
Cairan ekstrasel merupakan suatu “ionic soup” yang berisi sel,
partikel, gas terlarut (karbondioksida, oksigen), ion kuat , ion lemah (asam
lemah, weak acids). Sebagian besar isi “sup” tersebut akan mempengaruhi
disosiasi air (pelarut), perubahan pada salah satu kadar isi “sup” tersebut
dapat mempengaruhi kadar ion hidrogen. pH normal untuk cairan ekstrasel
antara 7,35 – 7,45, artinya pH < 7,35 disebut “asam” dan pH > 7,45 disebut
“basa”.
Untuk mengetahui kadar ion hidrogen dari cairan ekstrasel dapat
dilakukan dengan cara kuantitatif, yaitu dengan menghitung semua
komponen yang mengisi cairan ekstrasel melalui reaksi keseimbangan
kimiawi masing-masing komponen dan menerapkan kaidah-kaidah
kimiafisik, yaitu: hukum kenetralan listrik (electrical neutrality), reaksi
keseimbangan disosiasi (dissociation equilibria) dan hukum konservasi masa
(mass conservation). Pendekatan kuantitatif ini disebut pendekatan Stewart
(1981) atau pendekatan “modern”.
Ada tiga faktor determinan yang menentukan konsentrasi ion hidrogen
dalam cairan tubuh yaitu PaCO2, SID, dan asam lemah total
(ATOT,terutama protein), ketiga determinan itu disebut faktor independen,
sedangkan ion hidrogen, ion bikarbonat dan ion asam lemah lainnya
merupakan faktor dependen. Perubahan pada faktor independen akan
mempengaruhi faktor dependen, sedangkan perubahan pada faktor dependen
tidak akan mempengaruhi faktor independen.
Cairan ekstrasel (plasma) dan intrasel mengandung bermacam-macam
ion (elektrolit), berdasarkan muatan listrik dibedakan menjadi kation
(positif) dan anion (negatif). Didalam larutan, ion mempunyai
kecenderungan untuk berdisosiasi, beberapa ion berdisosiasi sempurna
dalam air (seperti, Na+,K+,Ca++,Mg++, dan Cl-) disebut sebagai ion kuat
61
(strong ions) dan sebagian ion berdisosiasi tidak sempurna (seperti, albumin,
fosfat, karbonat, hidrogen, hidroksil). Ion yang dihasilkan dari disosiasi tidak
sempurna disebut ion lemah (weak ions). Selisih jumlah seluruh kation kuat
dengan jumlah seluruh anion kuat disebut strong ions difference (SID).
SID mempunyai pengaruh elektrokimiawi yang besar terhadap
disosiasi molekul air yaitu untuk mempertahankan larutan dalam keadaan
netral (elektronetralitas). Bila nilai SID melebar (lebih positif) akan
menyebabkan penurunan kadar ion hidrogen (kation lemah) akan terjadi
alkalosis (pH meningkat), demikian sebaliknya (Gambar 2). Dalam keadaan
normal nilai SID berkisar antara 40 – 42 mEq/L. Sebenarnya dalam cairan
tubuh SID tersebut adalah jumlah karbondioksida (dalam hal ini HCO3-)
dan ion asam lemah (protein, fosfat) serta ion hidroksil dalam jumlah yang
sangat kecil (Gambar 3). Bila kadar protein dan fosfat normal penyimpangan
62
Gangguan keseimbangan asam-basa metabolik menurut Stewart dapat
terjadi pada setiap gangguan faktor determinan (independen) dalam sistem
asam-basa tubuh, berbeda dengan cara Henderson-Hasselbalch yaitu
bikarbonat sebagai titik sentral analisis.
3.7 Asidosis
Metabolik
3.7.1 Definisi
Asidosis metabolik didefinisikan sebagai penurunan konsentrasi
serum bikarbonat (HCO3) sering dikaitkan dengan penurunan pH darah,
sering bersamaan dengan penyakit ginjal kronis yang progresif (CKD).1,7
Ini berasal dari kapasitas ginjal yang berkurang dalam mensintesis amonia
(NH3) dan mengeluarkan ion hidrogen (H +).1 Kompensasi umumnya terdiri
dari kombinasi mekanisme resporatorik dan ginjal, ion hidrogen
berinteraksi dengan ion bikarbonat membentuk molekul CO2 yang
dieliminasi di paru, sementara itu ginjal mengupayakan ekskresi ion
hidrogen ke urin dan memproduksi ion bikarbonat yang dilepaskan ke
cairan ekstrasel. Kadar ion HCO3- normal adalah 24 mEq/L dan kadar normal
pCO2 adalah 40 mmHg dengan kadar ion hidrogen 40 nanomol/L.
Asidosis metabolik sering terjadi sebagai bagian dari campuran
gangguan asam-basa, terutama pada critical ill. Asidosis metabolik dapat
bersifat akut (berlangsung beberapa menit - hari) atau kronis (berlangsung
minggu ke tahun) menurut durasinya. Metabolik asidosis akut atau kronis
adapat menyebabkan efek yang buruk terhadap fungsi sel dan dapat
meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Tingkat keparahan asidosis
metabolik dapat sangat bervariasi antara pasien uremik dengan pasien
dengan gangguan ginjal. Setidaknya dua studi menunjukkan bahwa untuk
gangguan fungsi ginjal tertentu, pasien dengan diabetes mungkin memiliki
tingkat metabolisme asidosis yang tidak parah. Salah satu tujuan terapi
dialisis adalah untuk mengoreksi kelainan metabolik uremia, termasuk
asidosis metabolik.
3.7.2 Epidemiologi
63
Prevalensi asidosis metabolik pada pasien dengan CKD tidak
diketahui dengan pasti. The Third National Health dan Nutrition
Examination Survey (NHANES III) analisis menemukan penurunan
plasma konsentrasi HCO3 dengan perkiraan laju filtrasi glomerulus (eGFR)
kurang dari 20 mL/min/1.73m2. Jika hipobikarbonatemia disebabkan
oleh asidosis metabolik terjadi
64
ketika eGFR kurang dari 25% parameter normal, akan
diperkirakan bahwa 300.000 hingga
3.7.3 Etiologi
Kehilangan Bikarbonat5,6,7
65
2. Ketoasidosis diabetik, alkohol, dan starvasi
3. Ingestions - Salisilat, metanol, etilen glikol, isoniazid, besi,
Paraldehid, sulfur, toluena, amonium klorida, phenformin / metformin, dan
cairan hiperalimentasi.
Ketidakmampuan untuk mengekskresikan beban H+ 6,7
66
Kehilangan HCO3- dari ginjal - RTA (proksimal) Type 2
Beberapa kasus gagal ginjal
Hypoaldosteronism (yaitu, RTA tipe 4)
Hiperventilasi
Ingestions - Amonium klorida, acetazolamide, cairan
hiperalimentasi, beberapa kasus ketoasidosis, terutama selama pengobatan
dengan cairan dan insulin
Tabel 15
3.7.4 PATOFISIOLOGI
67
Asam karbonat (H2 CO3) merupakan komponen resporatori, seperti
yang ditunjukkan oleh persamaan dibawah ini :6
68
meminimalisasi turunnya pH ekstrasel.4
Asidosis metabolik berkembang karena berkurangnya massa ginjal
dan ketidakmampuan dari nefron yang tersisa untuk mengeluarkan beban
asam harian melalui ammoniagenesis. produksi NH3 di tubulus ginjal
dirangsang oleh asidosis intraseluler. Ketika beban asam sistemik
meningkat sedikit, keseimbangan dijaga oleh peningkatan produksi dan
ekskresi dari NH4+. Kegagalan untuk mengeluarkan NH4+ sehingga
menyebabkan retensi ion H+ dan menyebabkan metabolik asidosis.
ketidakmampuan untuk mengeluarkan NH 4+ (Proksimal tubulus) atau ion
H+ (tubulus distal), akan diterjemahkan menjadi asidosis tubular melalui
mekanisme dependen pH. Hiperkalemia, di sisi lain, dapat menginduksi
intraseluler alkalosis dan juga bersaing dengan kalium dalam pompa
Na+/K+/2Cl yang terletak di loop henle ascending tebal, mengurangi NH4+
di collecting tubulus.1 Seperti yang dinyatakan sebelumnya meningkatnya
ammoniagenesis dari nefron meningkat sebagai kompensasi atas
penurunan fungsi dari nefron itu sendiri.1
Kadar NH3 pada vaskular dan kortikal meningkat ketika diproduksi
secara maksimal oleh tubulus ginjal. Faktor yang mempengaruhi produksi
NH3 di ginjal adalah angiotensin II, kalium dan aldosteron, yang kadarnya
meningkat seperti pada hipertensi renovaskular. Peningkatan konsentrasi
angiotensin II merangsang ammoniagenesis sama seperti glukoneogenesis.
Deplesi kalium dan pemberian aldosteron juga dapat meningkatkan
ammoniagenesis.1
3.7.5 DIAGNOSIS
69
Sebuah pendekatan terhadap asidosis metabolik termasuk anamnesis
rinci, pemeriksaan fisik dan analisis gas darah arteri, serum gap anion dan,
dalam beberapa keadaan, serum osmolar gap [didefinisikan sebagai
perbedaan antara serum osmolalitas yang terukur dan yang dihitung]
70
pernapasan Kussmaul) merupakan tanda klinis yang penting dan sering
disalahartikan sebagai kelainan respirasi yang primer. Jadi, ketika seorang
pasien datang dengan dispnoe (sesak napas) dan temuan pemeriksaan
cardiopulmonar normal, kecuali untuk takipnea dan takikardi, asidosis
sistemik harus dipertimbangkan. Obat tidak jarang merupakan penyebab
metabolik asidosis dan memainkan peran penting dalam presentasi klinis,
evolusi penyakit dan terapi intervensi.4
Gejala Neurologi6
Gejala Kardiovaskular6
Gejala Pulmonal6
Pasien dengan asidosis metabolik akut menunjukkan takipnea dan
hiperpnea (pernapasan kussmaul) sebagai tanda-tanda fisik yang menonjol.
Hiperventilasi, tanpa adanya penyakit paru- paru yang jelas, dokter harus
waspada untuk kemungkinan adanya asidosis metabolik yang mendasari.
Gejala Gastrointestinal5
Mual, muntah, sakit perut, dan diare (terutama dalam ketoasidosis
diabetik dan uremik asidosis)
3.7.7 Laboratorium
71
Analisis Gas Darah Arteri6,9
maka masalah respiratori yang utama. Dan ukur kadar HCO -, jika berada
disisi yang sama dengan pH maka masalah metabolik yang utama.
72
a. Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap6
Urinalisa6
Serum Kimia6
73
dan kadar kreatinin meningkat pada asidosis uremik.
74
osmolal tinggi menunjukkan keracunan metanol dan etilena glikol. 6
Tidak adanya kenaikan pada serum osmolalitas tidak mengeksklusikan
keracunan alkohol. Kenaikan osmolal gap juga dapat dilihat pada
ketoasidosis, asidosis laktat, dan gagal ginjal kronis.2
75
Kadar Keton6
Assay untuk BOH tidak tersedia di beberapa rumah sakit. Sebuah metode
tidak langsung untuk menghindari masalah ini adalah dengan menambahkan
beberapa tetes hidrogen peroksida untuk spesimen urin. Secara enzimatis akan
mengkonversi BOH menjadi asetoasetat, yang akan terdeteksi oleh tes
nitroprusside.
Konsentrasi laktat plasma normal adalah 0,5 - 1,5 mEq/L. Asidosis laktat
dapat dipertimbangkan jika kadar laktat plasma melebihi 4 - 5 mEq/L pada pasien
asidemia.
76
3.7.9 PENATALAKSANAAN
77
Jika akan memberikan natrium bicarbonat, harus diberikan sebagai larutan
isoosmotik untuk mencegah hiperosmolar) dan dengan infus yang lebih lambat
daripada bolus intravena (untuk mengurangi pembentukan CO2).2 Sulit untuk
menentukan target pH atau [H+] dikaitkan dengan hasil yang lebih baik, meskipun
ada konsensus menyatakan bahwa pH > 7,20-7,25 lebih baik.8 Surviving Sepsis
Campaign hanya merekomendasikan pengobatan asidosis metabolik akut dengan
natrium bikarbonat jika pH <7,1 pada keadaan sepsis berat dan pasien syok
septik.9 Banyaknya bicarbonat dapat dihitung dengan persamaan :2
78
asidosis metabolik akut, terutama pasien dengan retensi CO2.2 THAM ini efektif
untuk asidosis metabolik dan respiratorik. Agen ini diekskresikan oleh ginjal dan
tidak meningkatkan produksi CO2.9 Terapi selain pemberian basa mungkin
diindikasikan pada pasien asidosis dengan anion gap tinggi. 2 Sebagai contoh,
pemberian fomepizole, inhibitor selektif dehidrogenase alkohol, akan mengurangi
pembentukan asam organik dari metabolisme metanol, etilen glikol, atau
dietilenglikol.2,8 Diuresis paksa alkali atau dialisis diindikasikan pada pasien
dengan intoksikasi salisilat.2
79
a. Algoritma Penatalaksanaan8
80
3.8 Chronic Heart Failure
3.8.1 Definisi
Gagal jantung didefinisikan sebagai abnormalitas dari struktur jantung atau fungsi
yang menyebabkan kegagalan dari jantung untuk mendistribusikan oksigen ke seluruh tubuh.
Secara klinis, gagal jantung merupakan kumpulan gejala yang kompleks dimana seseorang
memiliki tampilan berupa: gejala gagal jantung; tanda khas gagal jantung dan adanya bukti
obyektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat istrahat. Gagal jantung ditandai dengan
3.8.2 Klasifikasi
klasifikasi gagal jantung dapat di jabarkan dua kategori yakni kelainan struktural jantung atau
berdasarkan gejala yang berkaitan dengan kapasitas fungsional dari New York Heart
Association (NYHA).
81
3.8.3 Penatalaksanaan
1. Non Farmakologi
a. CHF Kronik
82
3) Menghentikan obat-obatan yang mempengaruhi NSAID karena efek prostaglandin pada
b. CHF Akut
2. Farmakologi
Tujuan : Mengurangi afterload pada disfungsi sistolik dan mengurangi kongesti pulmonal pada
disfungsi diastolic. Obatnya adalah : thiazide diurestics untuk CHF sedang, loop diuretic,
Obatnya adalah :
1) Digoxin : meningkatkan kontraktilitas. Obat ini tidak digunakan unutk kegagalan diastic yang
3) Isobarbide dinitrat : mengurangi preload dan afterload untuk disfungsi sistolik, hindari
83
4) Calsium Chanel Blocker : untuk kegagalan diastolic, meningkatkan relaksasi dan pengisisan
5) Beta Blocker : sering dikontraindikasikan karena menekan respon miokard. Digunakan pada
disfungsi diatolic untuk mengurangi HR,mencegah iskemi miokard, menurunkan TD, hipertofi
ventrikel kiri.
84
BAB IV
DISKUSI
Dari hasil pemeriksaan darah lengkap pada kasus ini, dijumpai adanya anemia
(hemoglobin 8,7 g/dL). Pada pemeriksaan kimia klinik ditemukan adanya
peningkatan kadar ureum (163 mg/dl), peningkatan kreatinin (7,36 mg/dl) dan
penurunan LFG (6 ml/menit/1,73 m2). Pemeriksaan USG Abdomen menunjukkan
kesan Chronic Renal Disease Bilateral.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, maka pasien ini
didiagnosis dengan CKD Stage V.
85
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (faktor komorbid tersebut
antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, obat-
obat nefrotoksik, bahan radiokontras atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya),
3. Memperlambat perburukan fungsi ginjal (restriksi protein dan terapi
farmakologis),
4. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi (anemia, osteodistrofi renal,
pembatasan cairan dan elektrolit) dan
5. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
Pada pasien-pasien yang penurunan fungsi ginjalnya berjalan terus, maka saat laju
filtrasi glomerulus mencapai 10 - 12 ml/menit (setara dengan klirens kreatinin
kurang dari 15 ml/menit atau serum kreatinin lebih dari 6 mg/dl) dianjurkan untuk
memulai dialisis (hemodialisis atau peritoneal dialisis), walaupun masih ada
perbedaan pendapat mengenai kapan sebaiknya terapi pengganti ginjal ini dimulai.
Pilihan pengobatan gagal ginjal terminal yang lain adalah trasnplantasi ginjal.
Pada pasien ini diindikasikan untuk inisial HD untuk memperbaiki kondisi klinis.
Pasien juga diberikan diet CKD 1881 kkal/hari dengan 40 gram protein, diberikan
anti hipertensi golongan Calsium Chanel Blocker dan Angiotensin2 reseptor
blocker (Amlodipine 10mg tiap 8 jam & Candesartan 16mg tiap 24 jam). Pada
pasien ini juga disarankan untuk rutin melakukan hemodialisis reguler 2 kali dalam
seminggu, kemudian pemeriksaan monitoring dan evaluasi dari kadar hemoglobin
selanjutnya ditentukan status anemia dan diberikan asupan eritropoietin jika perlu,
tujuannya mencegah perburukan klinis akibat hipoksia karena kadar Hb menurun.
86
DAFTAR PUSTAKA
1. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
IV Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
1035-1040.
5. Johnson CA, Levey AS, Coresh J. Clinical Practices Guidelines for Chronic
Kidney Disease in Adults. Carolina: American Family Physician; 2004. Hal
870- 876.
87