Anda di halaman 1dari 88

PRESENTASI KASUS

CHRONIC KIDNEY DISEASE

Pembimbing:

dr. Elza Febria Sari, Sp.PD

Disusun Oleh:

Muhammad Adib Naufal

41201396100077

KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD CHASBULLAH ABDULMADJID
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PERIODE 29 AGUSTUS – 07 OKTOBER 2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah presentasi kasus yang
berjudul “Chronic Kidney Disease” dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta di RSUD
Chasbullah Abdulmadjid. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW.

Saya mengucapkan terimakasih kepada para pengajar Ilmu Penyakit Dalam


khususnya dr. Elza Febria Sari, Sp.PD yang telah membimbing dan memberi
arahannya, serta kepada semua pihak yang telah membantu hingga tulisan ini dapat
diselesaikan.

Saya menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penyusunan presentasi


kasus ini. Oleh karena itu, saya berharap adanya kritik dan saran yang bersifat
membangun dari semua pihak sehingga makalah ini menjadi lebih baik dan bermanfaat
bagi pembacanya.

Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi penulis dan pembaca, khususnya bagi yang sedang menempuh pendidikan
profesi dokter.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Bekasi, 20 September 2022

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................1
DAFTAR ISI...............................................................................................................................2
PENDAHULUAN.......................................................................................................................3
LAPORAN KASUS....................................................................................................................4
Identitas pasien.......................................................................................................................4
Anamnesis...............................................................................................................................4
Pemeriksaan Fisik..................................................................................................................5
Pemeriksaan Penunjang........................................................................................................5
Resume....................................................................................................................................7
Daftar Masalah.......................................................................................................................7
Kajian Masalah......................................................................................................................7
Hasil Follow Up......................................................................................................................9
Diagnosis kerja.....................................................................................................................14
Prognosis...............................................................................................................................14
TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................................15
3. 1. Penyakit Ginjal Kronik............................................................................................15
3.2 Hemodialisa...............................................................................................................26
DISKUSI...................................................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................30

2
BAB I

PENDAHULUAN

Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronis (PGK) merupakan
suatu keadaan menurunnya fungsi ginjal yang telah berlangsung lama (kronis) yaitu
lebih dari 3 bulan. Keadaan ini terkait dengan berbagai faktor risiko yang kemudian
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal secara progresif, dan biasanya berakhir dengan
gagal ginjal.1 Definisi CKD berdasarkan The Kidney Disease Outcomes Quality
Initiative (KDOQI) of the National Kidney Foundation (NKF) adalah kerusakan ginjal
secara struktural atau fungsional yang berlangsung dalam waktu lebih dari 3 bulan, atau
penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) kurang dari 60 mL/min/1.73 m2 dalam
waktu 3 bulan atau lebih dengan atau tanpa kerusakan struktur ginjal.2

Chronic Kidney Disease dipengaruhi oleh banyak faktor risiko dengan


patofisiologi yang masih belum dimengerti secara sempurna. Penderita CKD memiliki
risiko tinggi untuk mengalami penyakit komplikasi, salah satunya adalah penyakit
kardiovaskular yang seringkali menyebabkan kematian. Insiden dan prevalensi CKD
didapatkan semakin meningkat saat ini dan menjadi masalah kesehatan global.1

Chronic Kidney Disease disebabkan oleh berbagai etiologi yang mendasari, yang
mengakibatkan kerusakan massa ginjal yang ireversibel dan hilangnya nefron sehingga
mengarah ke penurunan progresifitas LFG. Ginjal memiliki kemampuan untuk
mempertahankan LFG ketika menghadapi cidera sehingga meskipun kerusakan nefron
terjadi secara progresif, LFG dipertahankan dengan hiperfiltrasi dan hipertropi nefron
sehat yang tersisa sebagai kompensasi. Kandungan toksin dalam plasma seperti urea
dan kreatinin mulai menunjukkan peningkatan yang signifikan hanya setelah LFG total
menurun hingga 50%, yaitu ketika ginjal sudah tidak mampu mengkompensasi lagi.1

Diagnosis dini CKD sangat penting dilakukan karena prognosisnya akan jauh
lebih baik dan intervensi dapat segera dilakukan untuk memperlambat penurunan
fungsi. Penanganan CKD memerlukan kerjasama tim medis, pasien, serta keluarga dan
lingkungan karena melibatkan modiikasi gaya hidup. Edukasi terhadap pasien dan
keluarganya tentang penyakit dan komplikasi yang memungkinkan akan sangat

3
membantu memperbaiki hasil pengobatan sehingga meskipun CKD merupakan
penyakit yang ireversibel, akan tetapi dengan penangan yang baik akan dapat
mengurangi gejala yang muncul dan memperbaiki kualitas hidup penderitanya.

4
BAB II

LAPORAN KASUS

Identitas pasien

No RM : 018192735

Nama : Ny.M

Usia : 56 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Pondok Ungu

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Anamnesis (31/8/22)

 Keluhan Utama
Pasien datang diantar keluarga ke IGD RSUD Bekasi pada 22/8/22 dengan
keluhan sesak nafas berat sejak pagi hari SMRS.
 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan sesak nafas berat sejak pagi hari SMRS. 2 jam SMRS
saturasi oksigen pasien di rumah 89%. Pasien tidak ada riwayat batuk lama. Batuk
berdarah (-). Pasien tidak mengeluhkan ada nya demam. Pasien juga mengeluhkan mual
sejak 1 hari SMRS. Mual diikuti dengan muntah 2x dalam sehari. Pasien juga menjadi
sulit makan karena mual.
 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat hipertensi sebelumnya sejak lama, pasien minum obat
amlodipin 10mg namun jarang kontrol. Riwayat alergi, operasi, dirawat, dan meminum
obatan rutin disangkal. Riwayat DM sebelumnya disangkal.
 Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga tidak ada yang memiliki keluhan yang serupa. Riwayat DM dan HT
dalam keluarga disangkal.
 Riwayat Personal dan Sosial

5
Riwayat merokok disangkal, tidak ada keluarga pasien yang merokok. Pasien
jarang konsumsi kopi dan teh. Pasien sebagai ibu rumah tangga

Pemeriksaan Fisik (31/8/22)

Keadaan Umum: pasien tampak sakit sedang,

Kesadaran : compos mentis

Tanda Vital :

Tekanan Darah : 140/90mmHg

Frekuensi Nadi : 86x/mn

Frekuensi Nafas : 19x/mnt

Suhu : 36.2

Saturasi : 98 % room air

Antropometri : BB 50 kg ; TB 162 cm IMT : 20,57 kg/m2 (normoweight)

Status Generalis :

Kepala : Normocephali, rambut hitam

Wajah : simetris, bengkak (-)

Mata : Konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-, edema palpebra -/-

Hidung : septum deviasi (-), sekret -/-, nafas cuping hidung -/-

Mulut : Mukosa bibir basah, oral hygiene baik

Tenggorokan : Faring hiperemis (-), tonsil T1/T1

Leher : Trakea terletak di tengah, KGB tidak teraba

Paru :Vesikular +/+, rhonki +/+, wheezing -/-

Abdomen : Datar, supel, Nyeri tekan + epigastrium, Shifting dullness (+), Spider

navi -, hepatomegali -, splenomegali -

6
Ekstremitas : Hangat, CRT < 2 detik, Edema -/-

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium 30/8/2022
Nama Test Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hematologi
Darah Rutin
Leukosit 12.2 ribu/uL 5-10
Hemoglobin 8.7 gr/dl 12-14
Hematokrit 26.7 % 37-47
Trombosit 117 ribu/uL 150-400
Kimia Klinik
Fungsi Hati
AST (SGOT) 145 U/L <37
ALT (SGPT) 177 U/L <41
Fungsi Ginjal
Ureum 163 mg/dl 20-40
Kreatinin + eGFR
Kreatinin 7.36 mg/dl 0.5-1.5
eGFR 6 mL/mnt/1.73 90-120
Diabetes
Gula Darah Sewaktu 33 mg/dl 60-110
Elektrolit
Natrium (Na) 139 mmol/L 135-145
Kalium (K) 3.8 mmol/L 3.5-5
Clorida (Cl) 103 mmol/L 94-111

Pemeriksaan Laboratorium 2/9/2022

Nama Test Hasil Satuan Nilai Rujukan


Hematologi
Darah Rutin
Leukosit 9.0 ribu/uL 5-10
Hemoglobin 8.5 gr/dl 12-14
Hematokrit 26 % 37-47
Trombosit 70 ribu/uL 150-400
Kimia Klinik
Fungsi Hati
AST (SGOT) 84 U/L <37
ALT (SGPT) 28 U/L <41
Fungsi Ginjal
Ureum 110 mg/dl 20-40
Kreatinin + eGFR
Kreatinin 5.16 mg/dl 0.5-1.5
eGFR 9 mL/mnt/1.73 90-120
Elektrolit

7
Natrium (Na) 138 mmol/L 135-145
Kalium (K) 2.9 mmol/L 3.5-5
Clorida (Cl) 101 mmol/L 94-111

Rontgen Thorax PA (23/8/2022)

Cor Membesar

Sinuses dan diafragma normal

Pulmo : Infiltrat di 2/3 medial. Corakan normal

Kesan :

-Cardiomegali dengan bendungan paru

Rontgen Thorax PA (27/8/2022)

Cor membesar

Sinuses dan diafragma normal

Kesuraman di parahiler dan parakardial bilateral

Skeletal intak

Terpasang CVC dengan ujung distal setinggi ICS 8-9 posterior kanan

Kesan :

-Cardiomegali dan edema paru

-Bronchopneumonia duplex

USG Abdomen foto hitam putih (26/8/2022)

Hepar : bentuk dan ukuran normal. Tepi teguler. Echo parenkim homogen. Tidak

tampak pelebaran IHBD/EHBD. Vaskular baik. Tampak asites dan efusi pleura kanan

minimal.

8
Kandung Empedu : Lumen normal. Dinding tidak menebal. Tidak tampak sludge/echo

batu.

Pankreas : Bentuk dan ukuran normal. Echo parenkim homogen.

Aorta : Tidak tampak pembesaran KGB paraaorta

Spleen : bentuk dan ukuran normal. Echo parenkim homogen

Ginjal kanan : bentuk dan ukuran mengecil. Differensiasi kortek medulla tidak jelas.

Tidak tampak pelebaran sistem pelviokalises. Tidak tampak echo batu/ lesi fokal

V. Urinaria : tidak terisi optimal, terpasang balon kateter

Uterus : bentuk dan ukuran normal. Echo parenkim homogen

Adneksa : tidak tampak kelainan

Kesan:

- CKD bilateral

- Asites

- Efusi Pleura kanan minimal

- Hepar pada USG Abdomen masih dalam batas normal

Resume

Ny. M, 56 tahun datang ke IGD RSUD Bekasi dengan keluhan sesak nafas berat sejak

pagi hari SMRS. 2 jam SMRS saturasi oksigen pasien di rumah 89%. Selain itu pasien

juga mengeluhkan mual sejak 1 hari SMRS. Mual diikuti dengan muntah 2x dalam

sehari. Pasien juga menjadi sulit makan karena mual.. Pada pemeriksaan fisik

ditemukan ronkhi +/+, nyeri tekan epigastrium dan shifting dullness (+). Pada

pemeriksaan penunjang didapatkan leukositosis, anemia, trombositopenia, peningkatan

SGOT/SGPT, peningkatan ureum dan kreatinin dengan eGFR < 15, hipokalemia. Pada

9
pemeriksaan thorax PA didapatkan kesan kardiomegali dan edema paru serta

bronchopneumonia duplex. Pada pemeriksaan USG abdomen ditemukan CKD bilateral,

asites, efusi pleura kanan minimal. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang menunjukan bahwa diagnosis pasien yaitu : CKD stage V,

Hepatitis Akut, CHF, Anemia, Bronkopneumonia .

Daftar Masalah

1. CKD stage V
2. Hepatitis Akut
3. CHF
4. Anemia
5. Bronkopneumonia

Kajian Masalah

1. CKD Stage V

Atas dasar lemas, sesak, mual, muntah, tidak nafsu makan, bengkak (-), PF
ronkhi +/+, shifting dullness (+) PP (30/08) ureum 163 mg/dL, kreatinin 7,36
mg/dL, eGFR 6 mL/mnt/1,73, USG Abdomen (26/08) Kesan CKD Bilateral

Dipikirkan suatu CKD Stage V


Diagnosis Banding : -

Rencana diagnostik: -
Rencana terapeutik
Batasi asupan cairan
RL 500cc/8jam
Ondansetron 3x4mg
Omeprazol 2x40mg
Bicnat 3x1
CaCo3 3x1
As folat 1x3

10
Vit B12 3x1
Lasix 2x2
Hemodialisa

2. Hepatitis akut perbaikan

Atas dasar mual, muntah, tidak nafsu makan, PF sklera ikterik -/- PP SGOT 145
U/L SGPT 177 U/L, HbsAg non reaktif
Dipikirkan suatu Hepatitis akut e.c. virus
Diagnosis Banding : Hepatitis akut e.c. autoimun

Rencana diagnostik Anti HAV, Anti HCV

Rencana terapeutik

Bed rest

RL 500cc/8 jam

Pro hepar 3x1

3. CHF

Atas dasar keluhan sesak, lemas, PF TD 140/90mmHg, ronkhi +/+, PP Rontgen


thorax kesan Kardiomegali, dengan bendungan paru
Dipikirkan suatu CHF

Rencana diagnostic -

Rencana terapeutik

Batasi asupan garam <2g/hari

Istirahat yang cukup, hindari stress

Candesartan 1x8mg

4. Anemia

Atas dasar keluhan lemas, PF : konjungtiva anemis -/-, PP Laboratorium

11
(30/08) Hb : 8.7 g/dL Ht 26.7%

Dipikirkan suatu Anemia renal ec CKD

Rencana diagnostik –

Rencana terapeutik
- Atasi penyakit kronik yang mendasar (CKD)

- Medikamentosa : Vit. B12 3x1, Asam folat 3x1


5. Bronkopneumonia

Atas keluhan sesak, lemas, batuk (-), demam (-) PF ronkhi +/+, PP
Laboratorium (30/08) Leukosit 12.200/uL ;Rontgen thorax (27/08) kesan
Bronkopneumonia duplex

Dipikirkan suatu Bronkopneumonia

Rencana diagnostic -

Rencana terapeutik Ceftriakson 1x2 gr IV

Prognosis
 Ad Vitam : Dubia ad malam
 Ad Functionam : Dubia ad malam
 Ad sanationam : Dubia ad malam

12
Hasil Follow Up

01/09/2022 1. CKD Stage V

S: sesak (+), lemas (+), edema (-), pro HD besok

O:kesadaran CM, sakit sedang, TD 119/74 mmHg, HR


90x/menit, RR 19x/mnt, Suhu 36,5OC, ronkhi +/+,
shifting dullness +

PP (30/08) ureum 163 mg/dL, kreatinin 7,36 mg/dL,


eGFR 6 mL/mnt/1,73

A: CKD Stage V
P:
 Batasi asupan cairan
 RL 500cc/8jam
 Ondansetron 3x4mg
 Omeprazol 2x40mg
 Bicnat 3x1
 CaCo3 3x1
 As folat 1x3
 Vit B12 3x1
 Lasix 2x2
 Hemodialisa

2. Hepatitis akut perbaikan

S: mual (+), muntah(-), tidak nafsu makan,

O: sklera ikterik -/-

PP (30/08) SGOT 145 U/L SGPT 177 U/L, HbsAg non


reaktif
A: Hepatitis akut

13
P : Bed rest, RL 500cc/8 jam, pro hepar 3x1
3. CHF

S: sesak (+), lemas (+)

O: PF TD 119/74mmHg, HR 90x/menit, ronkhi +/+

PP Rontgen (27/08) thorax kesan Kardiomegali dan edema


paru
A: CHF

P:

Batasi asupan garam <2g/hari

Istirahat yang cukup, hindari stress

Candesartan 1x8mg

4. Anemia

S: lemas (+)

O: konjungtiva anemis -/-

PP Laboratorium (30/08) Hb : 8.7 g/dL Ht 26.7%

A: Anemia e.c penyakit kronik


P:
Atasi penyakit kronik yang mendasar (CKD)

Medikamentosa : Vit. B12 3x1, Asam folat 3x1


5. Bronkopneumonia

S: sesak (+), lemas (+), batuk (-)

O: RR 19x/mnt, ronkhi +/+

PP Rontgen thorax (27/08) kesan Bronkopneumonia duplex


A: Bronkopneumonia

P: Ceftriakson 1x2 gr IV

14
03/09/2022 1. CKD Stage V

S: sesak (+), lemas (+), edema (-), post HD kemarin

O:kesadaran CM, sakit sedang, TD 100/70 mmHg, HR


80x/menit, RR 17x/mnt, Suhu 36,5OC, ronkhi +/+,
shifting dullness +

PP (30/08) ureum 163 mg/dL, kreatinin 7,36 mg/dL,


eGFR 6 mL/mnt/1,73

A: CKD Stage V
P:
 Batasi asupan cairan
 Hemodialisa
 RL 500cc/8jam
 Ondansetron 3x4mg
 Omeprazol 2x40mg
 Bicnat 3x1
 CaCo3 3x1
 As folat 1x3
 Vit B12 3x1
 Lasix 2x2

2. Hepatitis akut perbaikan

S: mual (+), muntah(-), tidak nafsu makan,

O: sklera ikterik -/-

PP (30/08) SGOT 145 U/L SGPT 177 U/L, HbsAg non


reaktif
A: Hepatitis akut

P : Bed rest, RL 500cc/8 jam, pro hepar 3x1

15
3. CHF

S: sesak (+), lemas (+)

O: PF TD 100/70 mmHg, HR 80x/menit, ronkhi +/+

PP Rontgen (27/08) thorax kesan Kardiomegali dan edema


paru
A: CHF

P:

Batasi asupan garam <2g/hari

Istirahat yang cukup, hindari stress

Candesartan 1x8mg

4. Anemia

S: lemas (+)

O: konjungtiva anemis -/-

PP Laboratorium (30/08) Hb : 8.7 g/dL Ht 26.7%

A: Anemia e.c penyakit kronik


P:
Atasi penyakit kronik yang mendasar (CKD)

Medikamentosa : Vit. B12 3x1, Asam folat 3x1

5. Bronkopneumonia

S: sesak (+), lemas (+), batuk (-)

O: RR 17x/mnt, ronkhi +/+

PP Rontgen thorax (27/08) kesan Bronkopneumonia duplex


A: Bronkopneumonia

P: Ceftriakson 1x2 gr IV

16
05/09/2022 1. CKD Stage V

S: sesak (+), lemas (+), edema (-)

O:kesadaran CM, sakit sedang, TD 110/70 mmHg, HR


84x/menit, RR 18x/mnt, Suhu 36,5OC, ronkhi +/+,
shifting dullness +

PP (02/09) ureum 110 mg/dL, kreatinin 5.16 mg/dL,


eGFR 9 mL/mnt/1,73

A: CKD Stage V
P:
 Batasi asupan cairan
 RL 500cc/8jam
 Ondansetron 3x4mg
 Omeprazol 2x40mg
 Bicnat 3x1
 CaCo3 3x1
 As folat 1x3
 Vit B12 3x1
 Lasix 2x2
 Hemodialisa

2. Hepatitis akut perbaikan

S: mual (+), muntah(-), tidak nafsu makan,

O: sklera ikterik -/-

PP (02/09) SGOT 84 U/L SGPT 28 U/L


A: Hepatitis akut perbaikan

P : Bed rest, RL 500cc/8 jam, pro hepar 3x1

17
3. CHF

S: sesak (+), lemas (+)

O: PF TD 110/70 mmHg, HR 84x/menit, ronkhi +/+

PP Rontgen (27/08) thorax kesan Kardiomegali dan edema


paru
A: CHF

P:

Batasi asupan garam <2g/hari

Istirahat yang cukup, hindari stress

Candesartan 1x8mg

4. Anemia

S: lemas (+)

O: konjungtiva anemis -/-

PP Laboratorium (02/09) Hb : 8.5 g/dL Ht 26%

A: Anemia e.c penyakit kronik


P:
Atasi penyakit kronik yang mendasar (CKD)

Medikamentosa : Vit. B12 3x1, Asam folat 3x1

5. Bronkopneumonia

S: sesak (+), lemas (+), batuk (-)

O: RR 18x/mnt, ronkhi +/+

PP Rontgen thorax (27/08) kesan Bronkopneumonia duplex


A: Bronkopneumonia

P: Ceftriakson 1x2 gr IV

18
BAB III

TINJAUAN

PUSTAKA

1. 1. Penyakit Ginjal Kronik

3.1.1 Definisi

Penyakit Ginjal Kronis (Chronic Kidney Disease) merupakan penyakit


ginjal dimana terdapat penurunan fungsi ginjal yang selama periode bulanan
hingga tahunan yang ditandai dengan penurunan glomerulus filtration rate
(GFR) secara perlahan dalam periode yang lama. Fungsi ginjal menandakan
kondisi ginjal dan fungsinya dalam fisiologi ginjal. Glomerular Filtration
Rate (GFR) menandakan jumlah cairan yang di filtrasi oleh ginjal.
Creatinine Cleareance Rate (CrCl) menandakan jumlah kreatinin darah yang
disaring oleh ginjal. CrCl merupakan parameter yang berguna untuk
mengetahui GFR dari ginjal.
Definisi Penyakit Ginjal Kronis adalah penurunan fungsi ginjal secara kronis
yang memerlukan waktu bulanan hingga tahunan yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal (Glomerulus Filtration Rate) 30mg/g tidak terikat
pada umur, tekanan darah, dan apakah teradapat diabetes atau tidak pada
pasien. Penyakit ginjal kronis juga tidak hanya didefinisikan sebagai
penyakit ginjal stase akhir atau End Stage Renal Disease (ESRD), namun
juga diasosiasikan dengan komplikasi-komplikasi penyakit ginjal kronis
seperti: anemia, hiperparatiroid, hiperphospatemia, penyakit jantung, infeksi,
dan fraktur yang khusus terdapat pada CKD-MBD (Chronic Kidney Disease
– Mineral Bone Disorder). Namun penurunan GFR dan albuminuria tidak
merupakan pengukuran yang simptomatis simtomatis namun merupakan
pengukuran langsung dari fungsi ginjal dan kerusakan ginjal.

3.1.2 Epidemiologi
Pada tahun 2016, Penyakit ginjal kronis terdapat pada sekitar 753 juta
orang di seluruh dunia yang meliputi 336 juta pada pasien laki-laki dan 417
juta pada pasien perempuan. Di seluruh dunia terdapat 1,2 juta kematian per

19
tahun akibat penyakit ginjal kronis, Penyebab tersering penyakit ginjal
kronis adalah Hipertensi pada 550 ribu pasien, diabetes melitus pada 418
ribu pasien, dan glomerulonephritis pada 238 ribu pasien.

3.1.3 Etiologi
Penyebab tersering penyakit ginjal kronis yang diketahui adalah diabetes
melitus, selanjutnya diikuti oleh tekanan darah tinggi dan
glomerulonephritis. Penyebab lainnya dapat berupa idiopatik. Namun
penyebab-penyebab dari penyakit ginjal kronis dapat diklasifikasikan
berdasarkan anatomi ginjal yang terlibat :
- Penyakit vaskular, yang dapat melibatkan pembuluh darah besar
seperti bilateral artery stenosis, dan pembuluh darah kecil seperti nefropati
iskemik, hemolytic-uremic syndrome, dan vasculitis.
- Kelainan pada glomerulus yang dapat berupa o Penyakit glomerulus
primer seperti nefritis dan focal segmental glomerulosclerosis o Penyakit
glomerulus sekunder seperti nefropati diabetic dan lupus nefritis - Penyakit
bawaan seperti penyakit ginjal polikistik - Nefropati obstruktif yang dapat
berupa batu ginjal bilateral dan hyperplasia prostate - Infeksi parasite (yang
sering berupa enterobiasis) dapat menginfeksi ginjal dan menyebabkan
nefropati.

Penyakit ginjal kronis juga dapat idiopatik yang mempunyai gejala yang
berupa penuruhnan aliran darah ke ginjal yang menyebabkan sel ginjal
menjadi nekrosis.

3.1.4 Klasifikasi
Kriteria pertama yang digunakan KDIGO untuk menentukan urgensi
penyakit ginjal kronis adalah GFR, GFR (Glomerulus Filtration Rate)
merupakan kemampuan glomerulus ginjal untuk memfiltrasi darah.

Stadiu Deskrips LFG (ml/menit/1,73


m i m 2)
I Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ≥90
meningkat

20
II Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan 60–89
III Penurunan LFG sedang 30–59
IV Penurunan LFG berat 15–29
V Gagal ginjal < 15 atau dialisis

3.1.5 Manifestasi Klinis


Penyakit ginjal kronis secara umum pada stadium awal tidak terdapat
gejala yang khas, namun penyakit ginjal kronis stadium awal hanyak dapat
dideteksi dengan peningkatan serum kreatinin dan proteinuria. Namun jika
fungsi ginjal terus menerus mengalami penurunan akan menimbulkan
gejala-gejala sebagai berikut:
- Peningkatan tekanan darah akibat kelebihan cairan dan produksi dari
hormone vasoaktif yang diekskresikan oleh ginjal melalui sistam Renin-
AngiotensinAldosterone-System (RAAS), menyebabkan resiko penderita
penyakit ginjal kronis menderita hipertensi atau penyakit jantung kongestif
- Akumulasi urea pada darah yang menyebabkan uremia, gejala uremia
dapat berupa pericarditis, ensefalopati, gastropati. Akibat jumlah urea yang
tinggi dalam darah, urea dapat diekskresikan melalui kelenjar keringat dalam
konsentrasi tinggi dan mengkristal pada kulit yang disebut dengan “uremic
frost”
- Kalium terakumulasi dalam darah sehingga menyebabkan hiperkalemi
yang mempunyai gejala-gejala seperti malaise, hingga aritmia jantung.
Hiperkalemi dapat terjadi jika GFR dari ginjal mencapai <25
ml/min/1.73mm3 dimana kemampuan ginjal mengekskresikan kalium
melalui urin berkurang
- Penurunan produksi eritropoietin yang dapat menyebabkan penurunan
produksi sel darah merah yang dapat menyebabkan anemia, eritropoietin
diproduksi di jaringan interstitial ginjal, dalam penyakit ginjal kronis,
jaringan ini mengalami nekrosis sehingga produksi eritropoietin berkurang.
- Overload volume cairan yang disebabkan oleh retensi natrium dan
cairan pada ginjal sehingga dapat menyebabkan edema ringan hingga edema
yang mengancam nyawa misalnya pada edema paru.

21
- Hyperphosphatemia yang disebabkan oleh berkurangnya ekskresi
phosphate oleh ginjal. Hiperphospatemia meningkatkan resiko dari penyakit
kardiovaskular, dimana phosphate merupakan stimulus dari kalsifikasi
vaskular.
- Hipokalsemia yang disebabkan oleh stimulasi pembentukan FGF-23
oleh osteosit dibarengi dengan penurunan masa ginjal. FGF-23 merupakan
inhibitor dari enzim pembentukan vitamin D yang secara kronis akan
menyebabkan hipertropi kelenjar paratiroid, kelainan tulang akibat panyakit
ginjal, dan kalsifikasi vaskular.
- Asidosis metabolic yang disebabkan oleh akumulasi dari fosfat dan
urea. Asidosis juga dapat disebabkan oleh penuruan kemampuan produksi
ammonia pada sel-sel ginjal.
- Anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh beberapa factor yaitu:
peningkatan inflamasi yang disebabkan oleh akumulasi urea, penurunan
eritropoietin dan penurunan fungsi sumsum tulang.

3.1.6 Patofisiologi
Secara umum penyebab dari penyakit ginjal kronis adalah penurunan
aliran darah ke ginjal yang umumnya disebabkan oleh Hipertensi , kerusakan
sel mesangial oleh Diabetes Melitus.
a. Hipertensi
Mekanisme kerusakan ginjal oleh hipertensi disebabkan oleh penebalan sel-
sel tunica intima pada glomerulus ginjal, penebalan sel tunica intima
menyebabkan mengecilnya vaskular yang berujung pada mengecilnya aliran
pembuluh darah ke bagian glomerulus, berkurangnya aliran pembuluh darah
ke glomerulus menyebabkan aktifnya system Renin- 8 Angiotensin-
Aldosteron yang menyebabkan kenaikan tekanan darah lebih lanjut sehingga
terjadi kerusakan ginjal yang permanen.
Awalnya mekanisme aktifasi system Renin-Angiotensin-Aldosterone dapat
mengkompensasi kurangnya aliran darah ke ginjal, namun seiring waktu
akan menyebabkan nekrosis pada sel ginjal. Kerusakan glomerulus ginjal
dapat menyebabkan Global sclerosis dimana terjadi kerusakan yang
permanen dari glomerulus atau Focal segmental necrosis yang merupakan

22
system kompensasi ginjal dimana terjadi pembesaran glomerulus pada suatu
area karena kerusakan nefron pada area lain pada ginjal. Secara kronik
perubahan-perubahan pada glomerulus ginjal akan menyebabkan kematian
nefron yang akan menyebabkan penurunan GFR secara perlahan.

b. Diabetes Melitus
Patofisiologi penyakit ginjal kronis untuk diabetes melitus melibatkan
hiperglikemia yang memicu pembentukan reactive oxygen species (ROS)
dan Advanced Glycosylation End Products (AGE). Pembentukan AGE dan
ROS menyebabkan terjadi stress oxidative pada jaringan nefron ginjal.
Peningkatan stress oxidative pada nefron ginjal menyebabkan kenaikan
permeabilitas ginjal lalu terjadinya proteinuria, efek lain kenaikan
permeabilitas glomerulus juga mengaktifkan system RAAS yang
menyebabkan kenaikan tekanan darah dan lebih jauh meningkatkan
permeabilitas ginjal dan memperparah kerusakan ginjal. Mekanisme lain
dari kerusakan ginjal dimana AGE dan ROS menstimulasi pembentukan

growth factor, growth factor yang terbentuk berupa TGF, VEGF, dan PDGF.
Pembentukan growth factor tersebut dapat menyebabkan terjadinya fibrosis
pada ginjal dan menurunkan GFR.

23
3.1.7 Diagnosis
Secara definisi, penyakit ginjal kronis merupakan penurunan fungsi
ginjal secara kronis yang ditandai dengan penurunan GFR (Glomerulus
Filtration Rate) 3 bulan ( >90hari) maka disebut kronik. Kronisitas ini untuk
membedakan CKD dengan penyakit ginjal akut lainnya seperti akut GN
termasuk AKI yang memerlukan intervensi dan memiliki etiologi dan hasil
yang berbeda. Durasi penyakit ginjal ini dapat didokumentasikan dan
disimpulkan berdasarkan konteks klinis.
Untuk diagnosis yang akurat, dianjurkan untuk pemeriksaan ulang
fungsi ginjal dan kerusakan ginjal. Untuk waktu evaluasi bergantung pada
penilaian klinis, dengan evaluasi awal untuk pasien diduga memiliki AKI
dan evaluasi selanjutnya untuk pasien diduga memiliki CKD.
Pada AKI terjadi peningkatan serum creatinin secara tiba-tiba dengan
jumlah yang tinggi namun pada CKD peningkatan serum creatinin terjadi
secara perlahan dan kronis. Kebanyakan dari penyakit ginjal tidak memiliki
gejala atau temuan dan hanya terdeteksi ketika sudah kronis. Sebagian CKD
tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan seumur hidup hanya untuk
memperlambat perkembangan gagal ginjal.
Tetapi, dalam beberapa kasus dapat sepenuhnya sembuh, baik secara
spontan maupun dengan pengobatan. Pada kasus lain, pengobatan
menyebabkan penyembuhan parsial pada kerusakan ginjal dan peningkatan
fungsi ginjal.
1. Peningkatan GFR
GFR merupakan salah satu komponen dari fungsi eksresi yang dapat
dijadikan acuan sebagai keseluruhan index dari fungsi ginjal. Kerusakan
struktual yang meluas dapat mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang
ditandai dengan berkurangnya GFR. GFR 3 bulan dapat diindikasi dengan
CKD dengan nilai normal GFR yaitu sekitar 125ml/min/1,73m2 . GFR ini
dapat dideteksi secara rutin dengan tes laboratorium. GFR ini dapat dilihat
berdasarkan serum creatinin (SCr) tetapi bukan hanya SCr saja yang
sensitive untuk mendeteksi GFR. Penurunan eGFR menggunakan SCr dapat
di konfirmasi dengan penggunakan penanda filtrasi alternative yaitu Cystatin

24
C.
2. Kerusakan ginjal
Kerusakan ginjal bisa terjadi di dalam parenkim, pembuluh darah besar atau
tubulus collecting duct yang paling sering dipakai sebagai penanda dari
jaringan ginjal. Penanda ini dapat memberikan petunjuk tentang
kemungkinan kerusakan dalam ginjal dan temuan klinis penyebab penyakit
ginjal.
a. Proteinuria
Merupakan istilah yang ditandai dengan adanya peningkatan jumlah protein
dalam urin. Proteinuria menyebabkan hilangnya protein plasma akibat dari
peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein, reabsorpsi protein
pada tubular tidak adekuat dan peningkatan konsentrasi plasma protein.
Proteinuria dapat menunjukan adanya protein hilang pada ginjal dan saluran
kencing bagian bawah.
b. Albuminuria
Albumin merupakan salah satu jenis protein plasma yang ditemukan dalam
urin dengan jumlah sedikit dan jumlah sangat besar pada pasien dengan
penyakit ginjal. Albuminuria mengacu pada peningkatan albumin secara
abnormal dalam urin. Beberapa alasan untuk lebih fokus pada albuminuria
dibanding proteinuria yaitu albumin adalah komponen utama protein urin
pada sebagian besar penyakit ginjal, lalu data epidemiologi penelitian di
seluruh dunia menunjukan bahwa hubungan adanya hubungan kuat dari
jumlah albumi urin dengan resiko penyakit ginjal dan CVD, dan klasifikasi
penyakit ginjal berdasarkan dari tingkat albuminuria. Albuminuria
merupakan temuan umum namun tidak semuanya mengarah ke CKD.
Adanya albuminuria ini menandakan adanya penyakit glomerular dimana
umumnya muncul sebelum terjadi pengurangan GFR. Albuminuria dapat
dikaitkan dengan hipertensi, obesitas dan penyakit pembuluh darah dimana
penyakit ginjal yang mendasari tidak diketahui. Tingkat kehilangan albumin
dan protein umumnya disebut AER ( Albumin Excretion Rate) dan PER
(Protein Excretion Rate). Batas AER ≥30mg/24 jam yang bertahan selama
>3 bulan untuk menunjukkan CKD. Batas ini kira-kira setara dengan ACR
dalam sample urin acak ≥30mg/g atau ≥3mg/mmol.

25
c. Sedimen Urin Abnormal
Temuan seperti sel, Kristal dan mikroorganisme dapat muncul dalam
endapan urin dalam berbagai gangguan ginjal dan saluran kemih, tetapi
temuan sel tubular ginjal, sel darah merah (RBC), sel darah putih (WBC),
granular kasar, wide cast, dan banyak sel dismorfik sel darah merah adalah
patognomic kerusakan ginjal.
d. Elektrolit dan kelainan lain akibat gangguan tubular Abnormalitas
elektrolit dapat terjadi akibat kelainan reabsopsi dan sekresi tubulus ginjal.
Seringkali penyakit yang bersifat genetik tanpa kelainan patologis yang
mendasari. Penyakit lain didapat seperti karena obat atau racun dan biasanya
dengan lesi patologis tubular yang menonjol.
e. Kelainan Imaging
Tes imaging dapat memungkinkan diagnosis penyakit pada struktur ginjal,
pembuluh darah atau tubulus collecting. Pasien dengan kelainan struktural
yang signifikan dianggap memiliki CKD jika kelainan tersebut dapat
bertahan > 3 bulan.
f. Riwayat transplatasi ginjal Penerima transplantasi ginjal didefinisikan
CKD terlepas dari tingkat GFR atau adanya penanda kerusakan ginjal.
Penerima transplantasi ginjal memiliki peningkatan 14 resiko kematian dan
hasil ginjal dibanding dengan populasi umum dan mereka memerlukan
pengobatan medis khusus.

3.1.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan CKD meliputi :


a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
b. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)
c. Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
d. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
e. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal
Perencanaan tatalaksana (action plan) CKD sesuai dengan derajatnya dapat
dilihat pada tabel 3.1 berikut:

26
Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya Waktu yang paling tepat
untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan LFG,
sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang
masih normal secara USG, biopsy, dan pemeriksaan histopatologi ginjal
dapat menetukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya,
bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap
penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
Penting sekali mengikuti kecepatan penurunan LFG pada pasien CKD.
Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk
keadaan pasien. Faktor komorbid tersebut antara lain gangguan
keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus
urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras atau peningkatan
aktivitas penyakit dasarnya.

Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah hiperfiltrasi


glomerulus. Cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah:
1. Restriksi Protein.
Pembatasan protein mulai dilakukan pada LFG< 60 ml/mnt,
sedangkan diatas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu
dianjurkan. Pada penderita CKD konsumsi protein yang direkomendasikan
adalah 0,6-0,8 gr/kgBB/hari (50% protein dianjurkan yang mempunyai nilai
biologi tinggi) dengan kalori 30-35 kkal/kgBB/hari. Sebab kelebihan protein

27
tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi
nitrogen lain yang terutama diekskresikan melalui ginjal.
Oleh karena itu, diet tinggi protein pada pasien CKD akan
mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anoganik lain dan
mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Selain
itu, asupan protein berlebih akan mengakibatkan perubahan hemodinamik
ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus yang
akan meningkatkan perburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein
juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat
selalu berasal dari sumber yang sama. Dibutuhkan pemantauan yang teratur
terhadap status nutrisi pasien. Jika terjadi malnutrisi, jumlah asupan protein
dan kalori dapat ditingkatkan.
Pada pasien dengan terapi hemodialisis (HD), untuk mempertahankan
keadaan klinik stabil, protein yang dianjurkan adalah 1.2 gr/kgBB/hari
karena pada pasien HD kronik sering mengalami malnutrisi. Malnutrisi pada
pasien HD kronik disebabkan oleh intake protein yang tidak adekuat, proses
inflamasi kronik dalam proses dialisis, dialysis reuse, adanya penyakit
komorbid, gangguan gastrointestinal, post dialysis fatigue, dialisis yang
tidak adekuat, overhidrasi interdialitik.
2. Terapi Farmakologis
Pemakaian obat antihipertensi, disamping bermanfaat untuk
memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk
menghambat perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi
hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Di samping itu,
sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria.
Proteinuria merupakan faktor resiko terjadinya perburukan fungsi
ginjal. Beberapa obat antihipertensi terutama penghambat enzim yang
merubah angiotensin (ACE inhibitor) melalui berbagai studi dapat
memperlambat proses perburukan fungsi ginjal lewat mekanismenya
sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.
Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi terhadap
penyakit kardiovaskular adalah pengendalian diabetes, hipertensi,
dislipidemia, anemia, hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan

28
cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait
dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi CKD secara
keseluruhan.
a. Diabetes Mellitus
Pada pasien DM, kontrol gula darah, hindari pemakaian
metformin dan obat-obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang.
Target HbA1C untuk DM tipe 1 0,2 diatas nilai normal tertinggi,
untuk DM tipe 2 adalah 6%.
b. Hipertensi
Penghambat perubahan enzim angiotensin (Angiotensin
Converting Enzyme/ ACE inhibitor) atau antagonis reseptor
Angiotensin II kemudian dilakukan evaluasi kreatinin dan kalium
serum, bila terdapat peningkatan kreatinin > 35% atau timbul
hiperkalemia harus dihentikan. Penghambat kalsium, diuretic,
beberapa obat antihipertensi, terutama penghambat enzim converting
angotensin (ACE inhibitor) dan angiotensin reseptor bloker melalui
berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses perburukan fungsi
ginjal, hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi
dan antiproteinuria. Jika terjadi kontraindikasi atau terjadi efek
samping terhadap obat-obat tersebut dapat diberikan calcium channel
bloker, seperti verapamil dan diltiazem.
c. Dislipidemia
Kontrol dislipidemia dengan target LDL,100 mg/dl dianjurkan
golongan statin.
d. Anemia
Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl. Anemia pada
CKD terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal-hal lain
yang ikut berperan dalam terjadinya anemia, yaitu defisiensi asam
besi, kehilangan darah (perdarahan saluran cerna, hematuria), masa
hidup eritrosit yang pendek akibat hemolisis, defisiensi asam folat,
penekanan pada sumsum tulang, proses inflamasi akut maupun kronik.
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kada Hb ≤ 10 g% atau Hct ≤
30%, meliputi evaluasi terhadap status besi, mencari sumber

29
perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis.
Pemberian transfuse pada CKD harus dilakukan secara hati-hati,
berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat.
Transfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat
mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan
pemburukan fungsi ginjal.
e. Hiperfosfatenemia
Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien
CKD secara umum, yaitu tinggi kalori, rendah protein, dan rendah
garam, karena fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan
produk hewan, seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800
mg.hari. Pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan,
untuk mencegah terjadinya malnutrisi. Pemberian pengikat fosfat
dapat pula diberikan pada pasien CKD dengan hiperfosfatemia.
Pengikat fosfat yang banyak dipakai, adalah garam kalium, aluminium
hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral,
untuk menghambat absorbs fosfat yang berasal dari makanan. Garam
kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan
kalsium asetat. Pemberian bahan kalsium mimetic (calcium mimetic
agent). Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis obat yang dapat
menghambat reseptor Ca pada kalenjar paratiroid, dengan nama
sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut juga calcium mimetic agent.
f. Kelebihan Cairan
Pembatasan cairan dan elektrolit bertujuan mencegah terjadinya
edema dan komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke dalam
tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar dengan asumsi bahwa
air keluar melalui insensible water loss antara 500- 800 ml/hari, maka
air yang dianjurkan masuk 500-800 ml ditambah jumlah urin.
Elektrolit yang harus diawasi adalah Na dan K sebab hiperkalemia
dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal dan hipernatremia
dapat mengakibatkan hipertensi dan edema. Oleh karena itu
pemberian obat-obatan yang mengandung kalium dan makanan yang
tinggi kalium seperti sayur dan buah harus dibatasi. Kadar kalium

30
darah dianjurkan 3.5-5.5 mEq/lt .
g. Keseimbangan Asam Basa
Gangguan keseimbangan elektrolit utama pada CKD adalah
hyperkalemia dan asidosis. Hiperkalemia dapat tetap asimptomatis
walaupun telah mengancam jiwa. Perubahan gambaran EKG kadang
baru terlihat setelah hyperkalemia membahayakan jiwa. Pencegahan
meliputi:1 - Diet rendah kalium, menghindari buah (pisang, jeruk,
tomat) serta sayuran rendah kalium; - Menghindari pemakaian
diuretika K-sparring. Pengobatan hiperkalemia tergantung derajat
kegawatannya, yaitu: 1,2 - Gluconas calcicus IV (10 - 20 ml 10% Ca
gluconate) - Glukosa IV (25-50 ml glukosa 50%) - Insulin-dextrose IV
dengan dosis 2-4 unit aktrapid tiap 10 gram glukosa - Natrium
bikarbonat IV (25-100 ml 8,4% NaHCO3)
h. Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22
mEq/l
Asidosis menyebabkan keluhan mual, lemah, air hunger dan
drowsiness. Pengobatan intravena dengan NaHCO3 hanya diberikan
pada asidosis berat, sedangkan jika tidak gawat dapat diberikan secara
peroral.
Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi
1. Anemia
Penyebab utama terjadinya anemia pada pasien CKD adalah
penurunan produksi eritropoetin oleh ginjal. Disamping itu faktor non
renal yang juga ikut berkontribusi antara lain infeksi, inflamasi, masa
hidup sel darah merahyang pendek pada CKD dan faktor yang
berpotensi menurunkan fungsi sumsum tulang seperti defisiensi besi,
defisiensi asam folat dan toksisitas aluminium. Selain itu adanya
perdarahan saluran cerna tersembunyi dan malnutrisi dapat menambah
beratnya keadaan anemia.
Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan
dan status besi harus diperhatikan karena EPO memerlukan besi dalam
mekanisme kerjanya. Tujuan pemberian EPO adalah untuk
mengoreksi anemia renal sampai target Hb = 10g/dL. Target

31
pencapaian Hb dengan transfusi darah adalah 7-9g/dL.
Pemberian transfusi darah pada pasien CKD harus hati-hati dan
hanya diberikan pada keadaan khusus yaitu:
1. Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik
2. Hb < 7g/dL dan tidak memungkinkan menggunakan
EPO
3. Hb < 8g/dL dengan gangguan hemodinamik

Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram dengan EPO


ataupun yang telah mendapat EPO namun respon tidak adekuat, diberi
preparat besi intravena.
Terapi Pengganti Ginjal berupa Dialisis atau Transplantasi
Ginjal dilakukan pada CKD stadium 5, yaitu pada LFG < dari 15
ml/mnt. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis
atau transplantasi ginjal. Pembuatan akses vaskular sebaiknya sudah
dikerjakan sebelum klirens kreatinin dibawah 15 ml/menit. Dianjurkan
pembuatan akses vaskular jika klirens kreatinin telah dibawah 20
ml/menit.
3.1.9 Prognosis
Pasien dengan CKD secara keseluruhan memiliki kemungkinan untuk
mengalami penurunan fungi ginjal yang progresif dan mencapai derajat
akhir dari penyakit ginjal. Pengobatan yang dilakukan pada CKD pada
umumnya adalah untuk memperlambat progresifitas penurunan fungsi ginjal
dan mencegah terjadinya komplikasi akibat uremia yang dapat menyebabkan
morbiditas dan kematian.
Secara garis besar prognosis dari CKD yang tidak ditangani adalah buruk.
Mortality rate untuk pasien yang menjalani dialisis adalah sebesar 20%.
Apalagi jika disertai dengan gangguan kardiovaskular, mortality rate dapat
meningkat menjadi 30%. Prediksi prognosis dapat dilihat melalui beberapa
parameter seperti penyebab CKD, kategori LFG, kategori albuminuria dan
faktor resiko serta komplikasi yang sudah terjadi.

3.2 Renal Tubular Asidosis

32
3.2.1 Definisi
Renal tubular asidosis adalah suatu sindrom klinik yang disebabkan
gangguan reabsorpsi bikarbonat (HCO3 - ) di tubulus proksimal atau
gangguan pengasaman urine (sekresi ion H+) di tubulus distal dan ditandai
oleh asidosis metabolik hiperkloremik, anion gap plasma yang normal dan
fungsi glomerulus normal.
Renal tubular asidosis dapat digolongkan atas empat pembagian yaitu
renal tubular asidosis tipe I atau dikenal tipe distal akibat kegagalan
pengasaman urine pada tubulus distal, renal tubular asidosis tipe II atau tipe
proksimal akibat kegagalan rearbsorpsi HCO3 - pada tubulus proksimal, renal
tubular asidosis tipe III atau tipe campuran tipe I-II serta renal tubular asidosis
tipe IV yang disebabkan defisiensi aldosteron atau resistensi tubulus distal
terhadap aldosteron (pseudoaldosteronisme).

3.2.2 Klasifikasi
Tabel 3.2 Klasifikasi Asidosis Tubular Renal
Asidosis tubular renal terbagi menjadi 3 tipe utama, yaitu ATR tipe 1 (ATR distal/ATRd),

tipe 2 (ATR proximal/ATRp), dan tipe 4 (ATR hiperkalemia/ATRh).

33
3.3 Hemodialisa

3.3.1 Definisi
Hemodialisis merupakan suatu proses terapi pengganti ginjal dengan
menggunakan selaput membran semi permeabel (dialiser), yang berfungsi
seperti nefron sehingga dapat mengeluarkan produk sisa metabolisme dan
mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien gagal
ginjal.
Hemodialisis digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan
memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa
minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir atau end stage
renal disease (ESRD) yang memerlukan terapi jangka panjang atau
permanen. Hemodialisis bertujuan untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen dan
racun lain yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang
berlebihan. Pada penderita gagal ginjal kronis, hemodialisis akan mencegah
kematian.
Hemodialisis bukan bertujuan untuk menyembuhkan penyakit ginjal
dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin
yang dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal, tetapi terapi
hemodialisa ini bertujuan untuk menggantikan kerja ginjal sebagai alat
filtrasi dan ekskresi serta berdampak terhadap kualitas hidup pasien.

3.3.2 Indikasi Hemodialisa


Absolut atau CITO
1.Asidosis metabolik yang sulit dikoreksi
2.Uremia > 200 mg/dl3.Hiperkalemia > 7 mEq/L
4.Overload
5.Encephalopati uremikum
6.Perikarditis uremikum
Elektif
•LFG < 15 ml/mnt
•Secara ideal semua pasien dengan LFG < 15 ml/mnt dapat mulai menjalani
dialisis. Namun dalam pelaksanaan klinis pedoman yang dapat dipakai

34
sebagai berikut :
1.LFG < 10 ml/ mnt dengan gejala uremia / malnutrisi
2.LFG < 5 ml/mnt walaupun tanpa gejala
3.Indikasi Khusus :
•Terdapat komplikasi akut (edema paru, hiperkalemia, asidosis metabolik
berulang)
•Pada pasien nefropati diabetik dapat dilakukan lebih awal.

3.3.3 Pemberian Obat Pasca Hemodialisa


-CacO3
Kalsium karbonat 500mg kapsul menempati posisi pertama obat yang
banyak digunakan pasien PGK yang menjalani hemodialisis. Kalsium
karbonat merupakan golongan multivitamin atau suplemen, yang digunakan
sebagai tambahan kalsium bagi tubuh. Kalsium karbonat dapat diperoleh
dengan bebas, juga dapat digunakan untuk pengobatan asam lambung dan
untuk terapi hiperfosfatemia (kadar fosfor darah yang tinggi) pada pasien
PGK.
Hiperfosfatemia pada pasien PGK terjadi akibat adanya pelepasan
fosfat dari dalam sel karena kondisi asidosis (kadar asam dalam tubuh sangat
tinggi) dan uremia (kadar urea dalam tubuh sangat tinggi) yang sering
terjadi. Kalsium karbonat bekerja dengan mengikat fosfat (phosphate binder)
pada saluran pencernaan, sehingga mengurangi absorpsi fosfat.
Dengan terpenuhinya kebutuhan tersebut, maka mencegah penderita
dari hiperfosfatemia yang dapat memicu keluarnya kalsium dari tulang
sehingga menyebabkan tulang menjadi rapuh. Hal ini dapat mengakibatkan
penurunan kalsium darah (hipokalsemia).
- Vit. B6 dan B12
Homosistein adalah asam amino sulfur yang merupakan prekursor
langsung dari sintesis l-metionin. Metabolisme homosistein dipengaruhi oleh
beberapa vitamin, meliputi asam folat, vitamin B6, dan vitamin B12. Oleh
karena itu, defisiensi vitamin tersebut dapat memicu Hiperhomosisteinemia.
Pasien GGK dengan hemodialisis rutin sering mengalami defisiensi berbagai
vitamin, termasuk vitamin B. Oleh karena itu, hiperhomosisteinemia sering

35
dijumpai pada pasien GGK. Peningkatan kadar homosistein tersebut
berkorelasi dengan kejadian stroke dan penyakit kardiovaskular lain pada
pasien GGK.
Hiperhomosisteinemia memicu stres oksidatif dan berperan sebagai
antagonis efek vasodilator dari nitrit oksida, sehingga pada akhirnya memicu
disfungsi endotel. Akibat dari stres oksidatif tersebut, sel endotel
memproduksi berbagai sitokin yang berperan dalam reaksi inflamasi. Selain
itu, hiperhomosisteinemia mengaktivasi metaloproteinase dan menginduksi
sintesis kolagen yang menyebabkan penurunan elastisitas pembuluh darah.
Homosistein juga memicu proliferasi sel otot polos yang pada akhirnya
berinteraksi dengan platelet, faktor-faktor pembekuan, dan lipid yang
berperan dalam aterosklerosis.
Hiperhomosisteinemia juga sering disertai dengan kondisi
hiperkoagulabilitas, gangguan fibrinolisis yang memicu abnormalitas
struktur jendalan fibrin dan resisten terhadap lisis. Pada akhirnya, memicu
pembentukkan trombus.
- Bicnat
Penanganan secara farmakologi pada keadaan asidosis metabolik
dapat diberikan natrium sitrat, kalium sitrat, kalium bikarbonat, dan natrium
bikarbonat. Penanganan secara farmakologi pada keadaan alkalosis yaitu
dengan pengobatan untuk memperbaiki faktor yang bertanggung jawab
untuk mempertahankan alkalosis dan tergantung pada apakah kelainan
tersebut responsif atau resisten terhadap natrium klorida.
Terapi farmakologi yang digunakan untuk gagal ginjal kronik dengan
asidosis metabolik adalah pemberian Natrium bikarbonat. Penurunan asupan
protein dapat memperbaiki keadaan asidosis, tetapi bila kadar bikarbonat
serum kurang dari 15 mEq/L, beberapa ahli nefrologi memberikan terapi
alkali, baik natrium bikarbonat maupun natrium sitrat pada dosis 1 mEq/kg/
hari secara oral.Bila asidosis berat maka akan diterapi dengan pemberian
Natrium bikarbonat secara parenteral. Menurut Matzke and Palevsky (2005)
Natrium bikarbonat diberikan secara oral jika kadar bikarbonat darah 12-20
mmol/L dan pH darah 7,20-7,40. Jika kadar bikarbonat darah <12 mmol/L
dan pH darah <7,20 maka natrium bikarbonat diberikan secara infus iv.

36
Terapi alkali dapat melindungi perkembangan gagal ginjal kronik,
terutama pada tahap serum bikarbonat normal. Menurut Ashurst et al
(2009)suplemen Natrium bikarbonat dapat memperlambat progresi dari
gagal ginjal kronik.
3.4 Anemia
3.4.1 Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah
massa eritrosit (red cell mass). Anemia terutama dapat dilihat dengan
minimal salah satu dari parameter berikut, yaitu penurunan konsentrasi
hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit.
Fungsi dari eritrosit sendiri salah satunya adalah mendistribusikan
oksigen dari paru ke jaringan tubuh dan karbon dioksida dari jaringan tubuh
ke paru, sehingga apabila terjadi gangguan pada fungsi tersebut akan
berdampak pada perfusi organ dan jaringan serta menimbulkan gejala.
Menurut WHO, anemia didefinisikan sebagai kadar hemoglobin di bawah 13
g/dL pada pria dan di bawah 12 g/dL pada wanita. Berdasarkan kriteria
National Cancer Institute dan kriteria WHO yang direvisi, kriteria anemia
pada pria berubah menjadi di bawah 14 g/dL, sementara untuk wanita tetap
sama. Namun ada juga sumber yang mengatakan kriteria WHO tersebut
lebih diaplikasikan pada penelitian, sementara untuk pemakaian oleh klinisi
digunakan batas hemoglobin kurang dari 10 g/dL dan hematokrit kurang dari
30%.

3.4.2 Etiologi
Terdapat dua pendekatan untuk menentukan penyebab anemia :
A. Pendekatan kinetik Pendekatan ini didasarkan pada mekanisme yang
berperan dalam turunnya Hb.
B. Pendekatan morfologi Pendekatan ini mengkategorikan anemia
berdasarkan perubahan ukuran eritrosit (Mean corpuscular volume/MCV)
dan res-pons retikulosit.
A. Pendekatan kinetik
Anemia dapat disebabkan oleh 1 atau lebih dari 3 mekanisme independen
yaitu :

37
1. Berkurangnya produksi sel darah merah
Anemia disebabkan karena kecepatan produksi sel darah merah lebih
rendah dari destruksinya. Penyebab berkurangnya produksi sel darah merah :
- Kekurangan nutrisi: Fe, B12, atau folat; dapat disebabkan oleh
kekurangan diet, malaborpsi (anemia pernisiosa, sprue) atau
kehilangan darah (defisiensi Fe)
- Kelainan sumsum tulang (anemia aplastik, pure red cell aplasia,
mielodisplasia, inl itrasi tumor)
- Supresi sumsum tulang (obat, kemoterapi, radiasi)
- Rendahnya trophic hormone untuk sti-mulasi produksi sel darah
merah (eritro- poietin pada gagal ginjal, hormon tiroid
[hipotiroidisme] dan androgen [hipogonadisme])
- Anemia penyakit kronis/anemia inl amasi, yaitu anemia dengan
karakteristik berkurangnya Fe yang efektif untuk eritropoiesis karena
berkurangnya absorpsi Fe dari traktus gastrointestinal dan
berkurangnya pelepasan Fe dari makrofag, berkurangnya kadar
eritropoietin (relatif) dan sedikit berkurangnya masa hidup erirosit.
2. Meningkatnya destruksi sel darah merah
Anemia hemolitik merupakan anemia yang disebabkan karena
berkurangnya masa hidup sel darah merah (kurang dari 100 hari). Pada
keadaan normal, umur sel darah merah 110- 120 hari.2 Anemia hemolitik
terjadi bila sumsum tulang tidak dapat mengatasi kebutuhan untuk
menggganti lebih dari 5% sel darah merah/hari yang berhubungan dengan
masa hidup sel darah merah kira-kira 20 hari.

3. Kehilangan darah

38
Anemia pasca perdarahan akut dan anemia pasca perdarahan kronik.

Gambar. Klasifikasi Anemia Menurut Etiopatogenesis


B. Pendekatan morfologi
Anemia juga dapat digolongkan berdasarkan morfologi sel darah
merah yang seringkali berkaitan dengan penyebab tertentu. Tanda khas yang
berkaitan dengan penyebab tertentu, dapat dilihat pada ukuran, warna dan
bentuk sel darah merah yang didapatkan dari pemeriksaan apusan darah tepi
dan parameter automatic cell counter. Sel darah merah normal mempunyai
volume 80-96 femtoliter (1 fL = 10-15 liter) dengan diameter kira-kira 7-8
micron, sama dengan inti limfosit kecil. Sel darah merah yang berukuran
lebih besar dari inti limfosit kecil pada apus darah tepi disebut
makrositik.Sel darah merah yang berukuran lebih kecil dari inti limfosit
kecil disebut mikrositik. Peningkatan RDW menunjukkan adanya variasi

39
ukuran sel.16
Berdasarkan pendekatan morfologi, anemia diklasifikasikan menjadi:
1. Anemia makrositik
2. Anemia mikrositik
3. Anemia normositik

1. Anemia makrositik
Anemia makrositik merupakan anemia dengan karakteristik MCV di
atas 100 fL. Anemia makrositik dapat disebabkan oleh:
• Peningkatan retikulosit
Peningkatan MCV merupakan karakteristik normal retikulosit. Semua
keadaan yang menyebabkan peningkatan retikulosit akan memberikan
gambaran peningkat-an MCV
• Metabolisme abnormal asam nukleat pada prekursor sel darah merah
(defisiensi folat atau cobalamin, obat-obat yang mengganggu sintesa asam
nukleat: zidovudine, hidroksiurea)
• Gangguan maturasi sel darah merah (sindrom mielodisplasia,
leukemia akut)
• Penggunaan alkohol
• Penyakit hati
• Hipotiroidisme.

2. Anemia mikrositik
Anemia mikrositik merupakan anemia dengan karakteristik sel darah merah
yang kecil (MCV kurang dari 80 fL). Anemia mikrositik biasanya disertai
penurunan hemoglobin dalam eritrosit. Dengan penurunan MCH ( mean
concentration hemoglobin) dan MCV, akan didapatkan gambaran mikrositik
hipokrom pada apusan darah tepi.
Penyebab anemia mikrositik hipokrom:
• Berkurangnya Fe: anemia defisiensi Fe, anemia penyakit
kronis/anemia inflamasi, defisiensi tembaga.
• Berkurangnya sintesis heme: keracunan logam, anemia sideroblastik
kongenital dan didapat.

40
• Berkurangnya sintesis globin: talasemia dan hemoglobinopati.

3. Anemia normositik
Anemia normositik adalah anemia dengan MCV normal (antara 80-100 fL).
Keadaan ini dapat disebabkan oleh:
• Anemia pada penyakit ginjal kronik.
• Sindrom anemia kardiorenal: anemia, gagal jantung, dan penyakit
ginjal kronik.
• Anemia hemolitik:
 Anemia hemolitik karena kelainan intrinsik sel darah merah: Kelainan
membran (sferositosis herediter), kelainan enzim (defisiensi G6PD),
kelainan hemoglobin (penyakit sickle cell).
 Anemia hemolitik karena kelainan ekstrinsik sel darah merah: imun,
autoimun (obat, virus, berhubungan dengan kelainan limfoid, idiopatik),
alloimun (reaksi transfusi akut dan lambat, anemia hemolitik neonatal),
mikroangiopati (purpura trombositopenia trombotik, sindrom hemolitik
uremik), infeksi (malaria), dan zat kimia (bisa ular).

Tabel Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi dan Etiologi

41
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan etiopatogenesisnya dan
berdasarkan morfologi yang dapat dilihat dari pemeriksaan apusan darah
tepi. Namun, seperti halnya demam, anemia sendiri merupakan suatu tanda
dari penyakit penyebab tersendiri yang perlu diketahui lebih lanjut.

3.4.3 Epidemiologi
Anemia banyak dijumpai terutama pada negara berkembang, hal ini
dipengaruhi oleh budaya dan faktor sosioekonomi yang mempengaruhi
kecukupan nutrisi per individu, sehingga banyak ditemukan anemia
defisiensi zat besi. Selain itu juga akibat dari penyakit kronik dan penyakit
infeksi seperti malaria, tuberkulosis, serta acquired immunodeficiency
syndrome (AIDS), yang tidak ditangani dengan adekuat juga mempengaruhi
prevalensi anemia di negara berkembang.

3.4.4 Faktor risiko


Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya anemia adalah jenis
kelamin, anemia ditemukan lebih banyak terjadi pada wanita dibanding pria
karena adanya blood loss pada siklus menstruasi dan hemodelusi pada
kehamilan. Negara berkembang juga mempengaruhi timbulnya anemia
karena berhubungan dengan sosial budaya dan faktor ekonomi yang
mempengaruhi jenis asupan nutrisi yang cenderung kurang mengkonsumsi
makanan kaya asam folat, vitamin B12 dan zat besi. Penyakit penyerta juga
mempengaruhi keparahan anemia dan mencetuskan anemia itu sendiri,
seperti penyakit infeksi (tuberkulosis, malaria) dan penyakit kronik.
Sementara itu, faktor yang mempengaruhi berat ringannya gejala umum
anemia adalah derajat penurunan hemoglobin, kecepatan penurunan
hemoglobin, usia dan adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya.

3.4.5 Patofisiologi & patogenesis


Gejala dan tanda anemia tergantung pada severitas dan kecepatan

42
progresivitas terjadinya anemia. Gejala akan lebih ringan pada anemia yang
terjadi perlahan, karena ada kesempatan bagi tubuh untuk melakukan
kompensasi. Gejala anemia disebabkan oleh dua faktor, yaitu berkurangnya
pasokan oksigen ke jaringan dan adanya hipovolemia. Tubuh dapat
melakukan kompensasi dengan meningkatkan volume sekucup (stroke
volume), denyut jantung dan curah jantung (cardiac output) pada kadar Hb
mencapai 5 g/dL (Ht 15%) atau ada juga yang mengatakan Hb 7 g/dL.
Gejala timbul bila Hb turun di bawah 5 g/dL, pada Hb lebih tinggi selama
beraktivitas atau ketika disertai gangguan kompensasi jantung karena
penyakit jantung penyerta.
Berikut ini peta konsep mengenai patofisiologi dan patogenesis pada anemia
secara umum.

3.4.6 Diagnosis
Pendekatan diagnosis anemia terdiri dari anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.
A. Anamnesis
Gejala yang mungkin dikeluhkan oleh pasien pada riwayat penyakit
sekarang dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu:

43
a. Gejala umum
Gejala ini terutama lebih jelas pada kadar hemoglobin di bawah 7 g/dL.
Gejalanya terdiri dari rasa lemah, cepat lelah (fatigue), lesu, tinnitus, mata
berkunang- kunang, kaki teraba dingin, sesak napas saat beraktivitas maupun
istirahat, gejala dan tanda keadaan hiperdinamik (denyut nadi meningkat,
jantung berdebar). Pada anemia yang lebih berat, dapat ditemukan keadaan
letargi, penurunan kesadaran, dan komplikasi yang mengancam jiwa (tanda-
tanda gagal jantung, angina, artimia dan infark miokard).
b. Gejala khas masing-masing anemia
Gejala ini muncul sesuai dengan jenis anemianya, seperti:
- Anemia defisiensi besi: sulit menelan, lidah licin (atroi papil), kuku
yang menjadi tipis, mendatar dan melengkung seperti sendok (spooning),
dan sering menggigit atau mengemut es (pagofagia).
- Anemia megaloblastik: glossitis, gangguan neurologik pada defisiensi
vitamin B12
- Anemia hemolitik: ikterus, splenomegali dan hepatomegali
- Anemia aplastik: riwayat perdarahan dan tanda-tanda infeksi.16,20
c. Gejala penyakit dasar
Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat
bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala akibat
infeksi cacing tambang: sakit perut, pembengkakan parotis dan warna
kuning pada telapak tangan. Pada kasus tertentu sering gejala penyakit dasar
lebih mendominasi, seperti misalnya pada anemia akibat penyakit kronik
oleh karena arthritis rematoid.
Tanyakan juga onset terjadinya anemia, apakah akut, subakut atau
kronik. Anemia dengan onset akut biasa disebabkan oleh perdarahan akut,
hemolitik, dan leukemia akut. Sementara anemia yang kronik biasa
disebabkan oleh defisiensi besi, asam folat atau vitamin B12 dan pada
hemolitik kronik kongenital.
Pada riwayat penyakit dahulu perlu ditanyakan apakah ada penyakit
yang menyebabkan pasien mengalami kehilangan darah yang banyak seperti
trauma, kehamilan, aborsi, riwayat menstruasi, riwayat hematemesis dan
melena. Riwayat adanya purpura, ekimosis dan petekie dapat mengarah pada

44
kemungkinan anemia disertai trombositopenia atau gangguan perdarahan
lain, hal ini dapat menandakan sel darah lain yang mungkin juga terganggu.
Perlu ditanyakan juga riwayat penyakit kronik seperti gagal ginjal, penyakit
hepar dan artritis reumatoid. Riwayat transfusi darah juga perlu ditanyakan.
Ditanyakan juga apakah pernah terdapat riwayat penurunan berat badan
yang bermakna, karena hal ini dapat mengarah pada keadaan anemia akibat
infeksi, metabolik hingga keganasan.
Pada riwayat penyakit keluarga perlu ditanyakan apakah terdapat
anemia dan gejala lain yang dapat mencetus anemia seperti riwayat ikterik,
kolelitiasis, splenektomi, gangguan perdarahan dan hemoglobin abnormal.
Pada riwayat penyakit sosial perlu ditanyakan juga pekerjaan pasien
dan lingkungan tempat tinggal yang mungkin terpapar toksin (misal
insektisida, cat, pelarut, cat rambut) atau radiasi, riwayat kemoterapi,
konsumsi obat-obatan (asam asetilsalisilat, antiinflamasi nonsteroid
(OAINS)). Pola makan pasien juga perlu ditanyakan apakah konsumsi
makanan mengandung zat besi, asam folat dan vitamin B12 adekuat atau
tidak, kebiasaan konsumsi zat yang menghambat absorpsi besi seperti tannin
pada teh dan kopi, konsumsi alkohol serta tanda malnutrisi.
B. Pemeriksaan fisik
Tujuan utamanya adalah menemukan tanda keterlibatan organ atau
multisistem dan untuk menilai beratnya kondisi penderita. Tanda yang
ditemukan pada pemeriksaan fisik berupa takikardia, dispnea, hipotensi
postural, sindrom anemia yang meliputi pasien tampak pucat (wajah, tangan,
kuku), anemis pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan
di bawah kuku. Sklera ikterik menunjukkan kemungkinan anemia hemolitik.
Pada talasemia dapat ditemukan penonjolan tulang frontoparietal dan
maksila (facies rodent/chipmunk). Pada anemia defisiensi besi terdapat lidah
licin (atrofi papil), disfagia, stomatitis angularis, kuku rapuh dan cekung
(spoon nail). Pada anemia megaloblastik terdapat glositis dan gangguan
neurologis terutama pada defisiensi vitamin B12.
Pada leher dapat diperiksa apakah ada limfadenopati sebagai tanda
infeksi atau keganasan. Pada jantung dapat ditemukan murmur akibat
kompensasi jantung pada penurunan massa eritrosit, maupun pembesaran

45
jantung yang dapat memberi petunjuk durasi dan severitas anemia. Pada
pemeriksaan abdomen perlu diperiksa apakah ada hepatosplenomegali.
Nyeri tulang dapat disebabkan oleh ekspansi akibat penyakit infiltratif (misal
leukemia mielositik kronik) atau lesi litik (misal mieloma multipel atau
metastasis kanker). Edema bilateral dapat mengarah pada penyakit renal,
hepar maupun jantung, dan edema unilateral dapat terjadi akibat obstruksi
oleh suatu keganasan. Ulkus rekuren di kaki dapat ditemukan pada sickle
cell disease, sferositosis herediter dan anemia sideroblastik familial. Rektal
dan pelvis juga perlu diperiksa karena dapat ditemukan perdarahan, infeksi,
maupun tumor yang menyebabkan anemia. Pemeriksaan neurologis juga
perlu diperiksa meliputi position and vibratory sense, saraf kranial dan
refleks tendon.
Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat
penting pada kasus anemia untuk mengarahkan diagnosis anemia. Tetapi
pada umumnya diagnosis anemia memerlukan pemeriksaan laboratorium.
C. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
1) Hemoglobin (Hb)
Nilai hemoglobin menyatakan kadar konsentrasi hemoglobin dalam darah.
Nilai normal hemoglobin pada pria sebesar 13-18 g/dL dan wanita 12-16
g/dL. Menurut WHO, kriteria anemia adalah nilai hemoglobin di bawah 13
g/dL pada pria, di bawah 12 g/dL pada wanita tidak hamil dan di bawah 11
g/dL pada wanita hamil. Nilai ini dapat digunakan untuk menilai keparahan
anemia dan respons terhadap terapi anemia. Selain itu penurunan Hb juga
dapat terjadi pada keadaan sirosis, hipertiroidisme, perdarahan dan
hipervolemia. Namun pada keadaan normal juga bisa ditemukan hemoglobin
rendah, yaitu pada ibu hamil dan asupan cairan berlebih.
2) Eritrosit (sel darah merah)
Nilai normal jumlah eritrosit pada pria adalah 4,4-5,6 x 106 sel/mm3 dan
wanita 3,8-5 x 106 sel/mm3. Penurunan jumlah eritrosit terjadi pada anemia
akibat leukemia, penurunan fungsi ginjal, talasemia, hemolisis, lupus
eritmatosus sistemik (SLE) dan konsumsi obat seperti sitostatika dan
antiretroviral (ARV).

46
Indeks Eritrosit:
• Mean Corpuscular Volume (MCV)
Volume korpuskuler rerata adalah indeks untuk menentukan ukuran sel
darah merah apakah Normositik (80-100 fL), Mikrositik (ukuran kecil < 80
fL), atau Makrositik (ukuran kecil >100 fL). MCV dihitung dengan rumus
berikut.
MCV (femtoliter) = 10 x Hct (%) : jumlah eritrosit (106 sel/µL)
Penurunan nilai MCV dapat ditemukan pada anemia defisiensi besi, anemia
pernisiosa dan talasemia. Sementara itu, peningkatan nilai MCV dapat
ditemukan pada penyakit hepar, alkoholisme, terapi antimetabolik,
zidovudin (AZT) dan asam valproat, defisiensi asam folat dan vitamin B12.
Pada anemia sel sabit, nilai MCV diragukan karena bentuk eritrosit yang
abnormal.
• Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH)
Hemoglobin korpuskuler rerata adalah indeks berat Hb rata-rata didalam
eritrosit yang menentukan kuantitas warna eritrosit (normokromik,
hipokromik, hiperkromik). Nilai normal MCH adalah 28-34 pg/sel. MCV
dihitung dengan rumus berikut.
MCH (picogram/sel) = Hb/jumlah eritrosit
Peningkatan MCH mengindikasikan anemia makrositik. Sementara itu,
penurunan MCH mengindikasikan anemia mikrositik
• Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC)
Konsentrasi hemoglobin korpuskuler rerata adalah indeks konsentrasi
hemoglobin rerata dalam eritrosit. Semakin kecil sel eritrosit, maka akan
semakin tinggi konsentrasinya. Indeks Hb ini lebih baik dibanding MCH
karena ukuran sel akan mempengaruhi nilai MCHC. Nilai normal MCHC
adalah 32-36 g/dL. MCHC dihitung dengan rumus berikut.
MCHC = hemoglobin/hematokrit
Penurunan nilai MCHC terdapat pada anemia defisiensi besi, anemia
mikrositik, anemia karena piridoksin, talasemia dan anemia hipokromik.
Sementara itu, peningkatan nilai MCHC terjadi pada sferositosis.
• RBC Distribution Width (RDW)

47
Pemeriksaan ini menunjukkan koefisien variasi volume eritrosit, yang
didapatkan dari pemeriksaan apusan darah tepi dengan automatic cell
counter yang akan mengeluarkan angka MCV dan angka dispersi mean
tersebut. Nilai normal RDW berkisar antara 11,5-14,5%. Peningkatan RDW
menunjukkan adanya variasi ukuran sel, seperti pada anemia defisiensi besi.

Tabel Klasifikasi anemia berdasarkan nilai MCV dan RDW.

3) Hapusan darah tepi


Memeriksa apusan darah tepi di bawah mikroskop memungkinkan
memeriksa sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit. Selain itu juga
membantu mendeteksi parasit (misalnya malaria, trypanosomes) atau sel-sel
abnormal dalam darah.

3.4.7 Tatalaksana
Pemberian tatalaksana pada kasus anemia tergantung pada kondisi
klinis pasien dan penyakit penyebab (underlying disease). Beberapa hal yang
perlu menjadi perhatian dalam menatalaksana anemia adalah hendaknya
terapi disesuaikan dengan diagnosis definitif yang telah ditegakkan terlebih
dahulu. Apabila diagnosis definitif tidak dapat ditegakkan, maka dapat
diberikan terapi percobaan (terapi ex juvantivus) dengan pemantauan ketat
terhadap respon terapi dan perubahan klinis pasien serta selalu dievaluasi
kemungkinan perubahan diagnosis.
Terapi yang efektif untuk meningkatkan kadar eritropoetin sampai
saai ini adalah Recombinant Human Erithropoetin. Terapi ini diberikan
secara intravena kepada pasien hemodialisa, telah terbukti meningkatkan
eritropoetin secara drastis. Hal ini memungkinkan untuk meningkatkan
kadar Hb normal setelah tranfusi darah berakhir. Parameter yang perlu

48
dievaluasi pada pemberian terapi EPO adalah hemoglobin, hematokrit,
indeks eritrosit, jumlah retikulosit, parameter status besi tubuh yaitu serum
iron(Fe), ion total iron binding capacity (TIBC), saturasi transferin, dan
ferritin serum.

3.4.8 Komplikasi
Komplikasi tersering dari anemia yang parah berasal dari
ketidakmampuan tubuh mencukupi kebutuhan oksigen sel-sel tubuh,
sehingga terjadi hipoksia jaringan. Dari inilah dapat terjadi komplikasi
berupa syok, hipotensi, hingga kegagalan fungsi jantung dan paru.
Komplikasi ini lebih sering ditemukan pada pasien dengan usia lanjut dan
pasien yang memiliki penyakit komorbid kardiovaskular dan paru.

3.4.9 Prognosis
Prognosis pada anemia bergantung pada penyakit yang mendasari.
Selain itu, juga dipengaruhi oleh keparahan dan kecepatan perkembangan
anemia yang dipengaruhi pula oleh usia dan adanya penyakit komorbid juga
menentukan prognosis pasien.

3.5 Hepatitis
3.5.1 Definisi
Hepatitis adalah proses terjadinya inflamasi dan atau nekrosis jaringan
hati yang dapat disebabkan oleh infeksi, obat-obatan, toksin, gangguan
metabolik, maupun kelainan autoimun. Infeksi yang disebabkan virus,
bakteri, maupun parasit merupakan penyebab terbanyak hepatitis akut.
Terdapat sedikitnya 6 jenis virus hepatotropik penyebab utama infeksi
akut, yaitu virus hepatitis A, B, C, D, E, dan G. Semuanya memberi gejala
klinis hampir sama; bervariasi mulai dari asimtomatis, bentuk klasik, sampai
hepatitis fulminan yang dapat menyebabkan kematian. Kecuali virus
hepatitis G yang memberikan gejala sangat ringan, semua infeksi yang
disebabkan oleh virus hepatitis dapat berlanjut dalam bentuk subklinis atau
penyakit hati yang progresif dengan komplikasi sirosis atau timbulnya

49
karsinoma hepatoselular. Virus hepatitis A, C, D, E, dan G adalah virus
RNA sedang virus hepatitis B adalah virus DNA. Virus hepatitis A dan virus
hepatitis E tidak menyebabkan penyakit kronis sedangkan virus hepatitis B,
D, dan C dapat menyebabkan infeksi kronis.
Hepatitis A
Penyebabnya adalah virus Hepatitis A, dan merupakan penyakit
endemis di beberapa negara berkembang. Selain itu merupakan Hepatitis
yang ringan, bersifat akut, sembuh spontan/sempurna tanpa gejala sisa dan
tidak menyebabkan infeksi kronik. Penularannya melalui fecal oral. Sumber
penularan umumnya terjadi karena pencemaran air minum, makanan yang
tidak dimasak, makanan yangtercemar, sanitasi yang buruk, dan personal
hygiene rendah. Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya IgM antibodi
dalam serum penderita. Gejalanya bersifat akut, tidak khas bisa berupa
demam, sakit kepala, mual dan muntah sampai ikterus, bahkan dapat
menyebabkan pembengkakan hati. Tidak ada pengobatan khusus hanya
pengobatan pendukung dan menjaga keseimbangan nutrisi. Pencegahannya
melalui kebersihan lingkungan, terutama terhadap makanan dan minuman
dan melakukan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).

Hepatitis B
Hepatitis B Akut
Etiologinya virus Hepatitis B dari golongan virus DNA. Masa
inkubasi berkisar antara 60—90 hari. Penularannya vertikal terjadi pada
masa perinatal (saat persalinan) dan intra uterina. Penularan horizontal
melalui transfusi darah, jarum suntik tercemar, pisau cukur, tatto,
transplantasi organ. Gejala tidak khas seperti rasa lesu, nafsu makan
berkurang, demam ringan, nyeri abdomen sebelah kanan, dapat timbul
ikterus, air kencing warna teh. Diagnosis ditegakkan dengan test fungsi hati
serum transaminase (ALT meningkat), serologi HBsAg dan IgM anti HBC
dalam serum. Pengobatan tidak diperlukan antiviral, pengobatan umumnya
bersifat simtomatis. Pencegahannya :Telah dilakukan penapisan darah sejak
tahun 1992 terhadap Bank Darah melalui PMI.Imunisasi yang sudah masuk
dalam program Nasional: HBO («12 jam), DPT/HB1 (2 bulan), DPT/HB2

50
(3bulan), DPT/HB 3 (4 bulan). Menghindari faktor risiko yang
menyebabkan terjadinya penularan.

Hepatitis B kronik
Hepatitis B kronik berkembang dari Hepatitis B akut .Usia saat
terjadinya infeksi mempengaruhi kronisitas penyakit. Bila penularan terjadi
saat bayi maka akan menjadi Hepatitis B kronik. Sedangkan bila penularan
terjadi pada usia balita, maka menjadi penderita Hepatitis B kronik dan bila
penularan saat dewasa maka hanya 5 X yang menjadi penderita Hepatitis B
kronik. Hepatitis B kronik ditandai dengan HBsAg (Hepatitis B surface
Antigen) positif (»6 bln). Selain HBsAg, perlu diperiksa HbeAg (Hepatitis B
E-Antigen, anti-HBe dalam serum, kadar ALT (Alanin Amino Transferase),
HBV-DNA (Hepatitis B Virus — Deoxyribunukleic Acid) serta biopsi hati.
Biasanya tanpa gejala. Sedangkan untuk pengobatannya saat ini telah
tersedia 7 macam obat untuk Hepatitis B (Interferon alfa- 2a,Peginterferon
alfa-2a, Lamivudin, Adefovir, Entecavir, Telbivudin dan Tenofovir). Prinsip
pengobatan tidak perlu terburu-buru tetapi jangan terlambat. Adapun tujuan
pengobatan memperpanjang harapan hidup, menurunkan kemungkinan
terjadinya sirosis hepatis atau hepatoma.

Hepatitis C
Penyebab utamanya adalah sirosis dan kanker hati. Etiologi virus
Hepatitis C termasuk golongan virus RNA (Ribo Nucleic Acid). Masa
inkubasi 2-24 minggu. Penularan Hepatitis C melalui darah dan cairan
tubuh, penularan masa perinatal sangat kecil, melalui jarum suntik (IDUs,
tatto) transplantasi organ, kecelakaan kerja (petugas kesehatan), hubungan
seks dapat menularkan tetapi sangat kecil. Kronisitasnya 80 96 penderita
akan menjadi kronik. Pengobatan Hepatitis C: Kombinasi pegylated
interferon dan ribavirin. Pencegahan Hepatitis C dengan menghindari faktor
risiko karena sampai saat ini belum tersedianya vaksin untuk Hepatitis C.
Hepatitis D
Virus Hepatitis D palingjarang ditemukan tapi paling berbahaya.
Hepatitis D, juga disebut virus delta, virus ini memerlukan virus Hepatitis B

51
untuk berkembang biak sehingga hanya ditemukan pada orang yang telah
terinfeksi virus Hepatitis B.Tidak ada vaksin tetapi otomatis orang akan
terlindungi jika telah diberikan imunisasi Hepatitis B.

Hepatitis E
Dahulu dikenal sebagai Hepatitis Non A-Non B. Etiologi virus
Hepatitis E termasuk virus RNA. Masa inkubasi 2—9 minggu. Penularan
melalui fecal oral seperti Hepatitis A. Diagnosis dengan didapatkannya IgM
dan IgG antiHEV pada penderita yang terinfeksi. Gejalanya ringan
menyerupai gejala flu, sampai ikterus. Pengobatannya belum ada
pengobatan antivirus. Pencegahannya dengan menjaga kebersihan
lingkungan, terutama kebersihan makanan dan minuman. Vaksinasi
Hepatitis E belum tersedia.

3.5.2 Definisi Hepatitis A

Hepatitis A adalah hepatitis yang disebabkan oleh infeksi Hepatitis A


Virus. Hepatitis A merupakan penyakit self-limiting dan memberikan
kekebalan seumur hidup.

Insidensi tinggi banyak didapatkan di negara berkembang seperti Asia,


Afrika, Mediterania, dan Amerika Selatan dimana anak yang berusia sampai
5 tahun mengalami infeksi virus hepatitis A (HAV) dalam bentuk subklinis
sehingga lebih dari 75% memiliki anti HAV (+).

3.5.3 Virologi Hepatitis A


HAV adalah virus RNA 27-nm nonenvelop, termasuk genus
Hepatovirus, famili Picornavirus. Genom terdiri atas 5’NTR-P1-P2-P3-
3’NTR. VHA bersifat termostabil, tahan asam, dan tahan terhadap empedu
sehingga efisien dalam transmisi fekal oral. Terdapat 4 genotipe tapi hanya 1
serotipe. Kerusakan hepar yang terjadi disebabkan karena mekanisme imun
yang diperantarai sel-T. Infeksi HAV tidak menyebabkan terjadinya
hepatitis kronis atau persisten. Infeksi HAV menginduksi proteksi jangka

52
panjang terhadap re-infeksi.
Host infeksi HAV sangat terbatas, hanya manusia dan beberapa
primata yang dapat menjadi host alamiah. Karena tidak ada keadaan karier,
infeksi HAV terjadi melalui transmisi serial dari individu yang terinfeksi ke
individu lain yang rentan. Transmisi HAV pada manusia melalui rute fekal-
oral. Virus yang tertelan bereplikasi di intestinum dan bermigrasi melalui
vena porta ke hepar dengan melekat pada reseptor viral yang ada di
membran hepatosit. HAV matur yg sudah bereplikasi kemudian
diekskresikan bersama empedu dan keluar bersama feses.

3.5.4 Gejala Klinis Hepatitis A


Pada bayi dan balita, gejala-gejala ini sangat ringan dan jarang
dikenali, dan jarang terjadi ikterus (30%). Sebaliknya pada orang dewasa
yang terinfeksi HAV, hampir semuanya (70%) simtomatik dimana gejala
muncul secara mendadak: panas, mual, muntah, tidak mau makan, dan nyeri
perut. dan dapat menjadi berat. Gejala klinis dapat dibedakan menjadi 4
stadium yaitu :
1. Masa inkubasi, berlangsung selama 18-50 hari (rata-rata 28
hari).
2. Masa prodromal, terjadi selama 4 hari sampai 1 minggu atau
lebih. Gejalanya adalah fatigue, malaise, nafsu makan berkurang, mual,
muntah, rasa tidak nyaman di daerah kanan atas, demam (biasanya < 39o C),
merasa dingin, sakit kepala, gejala seperti flu. Tanda yang

ditemukan biasanya hepatomegali ringan dengan nyeri tekan.


3. Fase ikterik, dimulai dengan urin yang berwarna kuning tua,
seperti teh, diikuti oleh feses yang berwarna seperti dempul, kemudian
warna sclera dan kulit perlahan-lahan menjadi kuning. Gejala anoreksia,
lesu, mual dan muntah bertambah berat.
4. Fase penyembuhan, ikterik menghilang dan warna feses
kembali normal dalam 4 minggu setelah onset. Gejala klinis terjadi tidak
lebih dari 1 bulan, sebagian besar penderita sembuh total, tetapi relaps dapat
terjadi dalam beberapa bulan. Tidak dikenal adanya petanda viremia

53
persisten maupun penyakit kronis.

Terdapat 5 macam gejala klinis:


1. Hepatitis A klasik.
Penyakit timbul secara mendadak didahului gejala prodromal sekitar 1
minggu sebelum jaundice. Sekitar 80% dari penderita yang simtomatis
mengalami jenis klasik ini. IgG antiHAV pada bentuk ini mempunyai
aktivitas yang tinggi, dan dapat memisahkan IgA dari kompleks IgA-HAV,
sehingga dapat dieliminasi oleh sistem imun, untuk mencegah terjadinya
relaps.
2. Hepatitis A relaps.
Terjadi pada 4%-20% penderita simtomatis. Timbul 6-10 minggu
setelah sebelumnya dinyatakan sembuh secara klinis. Kebanyakan terjadi
pada umur 20-40 tahun. Gejala klinis dan laboratoris dari serangan pertama
bisa sudah hilang atau masih ada sebagian sebelum timbulnya relaps. Gejala
relaps lebih ringan daripada bentuk pertama.
3. Hepatitis A kolestatik.
Terjadi pada 10% penderita simtomatis. Ditandai dengan
pemanjangan gejala hepatitis dalam beberapa bulan disertai panas, gatal-
gatal, dan jaundice. Pada saat ini kadar AST, ALT, dan ALP secara perlahan
turun ke arah normal tetapi kadar bilirubin serum tetap tinggi.
4. Hepatitis A protracted.
Pada bentuk protracted (8.5%), clearance dari virus terjadi perlahan
sehingga pulihnya fungsi hati memerlukan waktu yang lebih lama, dapat
mencapai 120 hari. Pada biopsi hepar ditemukan adanya inflamasi portal
dengan piecemeal necrosis, periportal fibrosis, dan lobular hepatitis.

5. Hepatitis A fulminan.
Terjadi pada 0,35% kasus. Bentuk ini paling berat dan dapat
menyebabkan kematian. Ditandai dengan memberatnya ikterus, ensefalopati,
dan pemanjangan waktu protrombin. Biasanya terjadi pada minggu pertama
saat mulai timbulnya gejala. Penderita berusia tua yang menderita penyakit
hati kronis (HBV dan HCV) berisiko tinggi untuk terjadinya bentuk

54
fulminan ini.1

3.5.5 Diagnosis Hepatitis A


Diagnosis hepatitis A dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan IgM anti-
HAV. Antibodi ini ditemukan 1-2 minggu setelah terinfeksi HAV dan
bertahan dalam waktu 3-6 bulan. Sedangkan IgG anti-HAV dapat dideteksi
5-6 minggu setelah terinfeksi, bertahan sampai beberapa dekade, memberi
proteksi terhadap HAV seumur hidup. RNA HAV dapat dideteksi dalam
cairan tubuh dan serum menggunakan polymerase chain reaction (PCR)
tetapi biayanya mahal dan biasanya hanya dilakukan untuk penelitian.1

Gambar 2. 7 Diagnosis Serologi Hepatitis A

Pemeriksaan ALT dan AST tidak spesifik untuk hepatitis A. Kadar


ALT dapat mencapai 5000 U/l, tetapi kenaikan ini tidak berhubungan
dengan derajat beratnya penyakit maupun prognosisnya. Pemanjangan
waktu (masa) protrombin mencerminkan nekrosis sel yang luas seperti pada
bentuk fulminan. Biopsi hati tidak diperlukan untuk menegakkan diagnosis

55
hepatitis A.
3.5.6 Patogenesis Hepatitis A
HAV didapat melalui transmisi fecal-oral; setelah itu orofaring dan
traktus gastrointestinal merupakan situs virus ber-replikasi. Virus HAV
kemudian di transport menuju hepar yang merupakan situs primer replikasi,
dimana pelepasan virus menuju empedu terjadi yang disusul dengan
transportasi virus menuju usus dan feses. Viremia singkat terjadi mendahului
munculnya virus didalam feses dan hepar. Pada individu yang terinfeksi
HAV, konsentrasi terbesar virus yang di ekskresi kedalam feses terjadi pada
2 minggu sebelum onset ikterus, dan akan menurun setelah ikterus jelas
terlihat. Anak-anak dan bayi dapat terus mengeluarkan virus selama 4-5
bulan setelah onset dari gejala klinis.

Gambar 2. 8 Patogenesis Hepatitis Virus

3.5.7 Penatalaksanaan Hepatitis A


Penatalaksanaan hepatitis A virus sebagian besar adalah terapi
suportif, yang terdiri dari bed rest sampai dengan ikterus mereda, diet tinggi

56
kalori, penghentian dari pengobatan yang beresiko hepatotoxic, dan
pembatasan dari konsumsi alkohol. Sebagian besar dari kasus hepatitis A
virus tidak memerlukan rawat inap. Rawat inap direkomendasikan untuk
pasien dengan usia lanjut, malnutrisi, kehamilan, terapi imunosupresif,
pengobatan yang mengandung obat hepatotoxic, pasien muntah berlebih
tanpa diimbangi dengan asupan cairan yang adekuat, penyakit hati
kronis/didasari oleh kondisi medis yang serius, dan apabila pada
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan gejala-gejala dari
hepatitis fulminan. Pasien dengan gagal hati fulminant, didefinisikan dengan
onset dari encephalopathy dalam waktu 8 minggu sejak timbulnya gejala.
Pasien dengan gagal hati fulminant harus dirujuk untuk pertimbangan
melakukan transplantasi hati.

3.6. Keseimbangan Asam-Basa


Dalam keadaan normal tubuh manusia memproduksi asam dari hasil
metabolisme sel (protein, karbohidrat, lemak) dalam bentuk asam volatile
(asam karbonat) dan nonvolatile (metabolic acids, laktat, keton, sulfat,
fosfat, dll). Untuk mempertahankan keseimbangan asam- basa
(homeostasis), kelebihan asam karbonat akan dikeluarkan melalui paru-paru
dalam bentuk karbondioksida, dan kelebihan asam nonvolatile akan
dinetralisasikan oleh sistem dapar (buffer).
Fungsi sel manusia akan berlangsung dengan baik di lingkungan pH
normal (pH 7,35 – 7,45) atau kadar ion hidrogen (H+) sekitar 40 nmol/L,
suatu kadar yang sangat kecil sekali. Oleh karena itu tubuh mengaturnya
dengan sangat ketat melalui proses yang sangat kompleks.
Untuk mempertahankan pH (ion hidrogen), tubuh mempunyai tiga
sistem utama pengatur keseimbangan asam-basa, yaitu sistem dapar (buffer),
paru, dan ginjal (difasilitasi oleh hati). Sistem dapar hanya untuk
meminimalisir perubahan pH, sedangkan paru dan ginjal yang mempunyai
peran penting dalam pengaturan keseimbangan asam-basa. Pengaturan
keseimbangan asam basa oleh paru dilakukan dengat sangat cepat (menit)
melalui pengaturan PaCO2, dan ginjal bekerja lebih lambat (jam) untuk
mengatur kelebihan asam/basa melalui sekresi/reabsorbsi klor dalam bentuk

57
amonium klorida dengan bantuan ion NH + yang difasilitasi oleh hati
melalui sekresi/produksi glutamine (Stewart approach) dan atau
sekresi/reabsorbsi bikarbonat (traditional approach). Bila mekanisme
homeostasis ini tidak bekerja dengan sempurna maka akan terjadi gangguan
keseimbangan asam-basa.

Analisis Keseimbangan Asam-Basa.


Secara klinis gangguan keseimbangan asam-basa yang disebabkan
karena asam volatile disebut respiratorik (asidosis/alkalosis respiratorik) dan
asam nonvolatile disebut metabolik (asidosis/alkalosis metabolik). Penilaian
terhadap gangguan asam-basa respiratorik didasarkan pada kadar
karbondioksida (PaCO2).Sedangkan untuk gangguan asam-basa metabolik,
terdapat tiga cara penilaian, yaitu dengan menilai [HCO3-], SBE
(standardized base excess), dan SID (strong ions difference).

A. Karbondioksida (PaCO2).

Dalam keadaan normal tubuh mempertahankan kadar karbondioksida


darah antara 35- 45mmHg (sekitar 40mmHg) dengan mengatur ventilasi
alveolar. Bila peningkatan atau penurunan ventilasi alveolar tidak sebanding
dengan produksi karbondioksida, maka akan terjadi gangguan keseimbangan
asam-basa respiratorik. Di dalam darah karbondioksida akan bereaksi
dengan molekul air membentuk H2CO3 yang kemudian berdisosiasi
menjadi ion hidrogen (H+) dan ion bikarbonat (HCO3-) reaksi tersebut
dikatalisasi oleh enzim karbonat anhidrase.
Dari reaksi kimia tersebut diatas, peningkatan PaCO2 akan menaikkan
kadar ion hidrogen dengan demikian menurunkan pH (asidosis). Sebaliknya
bila terjadi penurunan PaCO2 akan menurunkan ion hidrogen (pH naik,
alkalosis).

B. Ion bikarbonat (HCO3-)


Secara tradisional berdasarkan persamaan Henderson-Hasselbalch (H-
H) di bawah ini, pH = pK x log [HCO3-/(0,03 x PaCO2)]

58
ion bikarbonat dapat dipakai sebagai penafsir asidosis/alkalosis
metabolik. Bila kadar ion bikarbonat menurun dari normal menandakan
asidosis dan bila kadar ion bikarbonat meningkat adalah alkalosis. Kadar ion
bikarbonat normal antara 22 – 26 mEq/L (sekitar 24 mEq/L). Sebenarnya
penggunaan ion bikarbonat (HCO3-) sebagai petanda asidosis/alkalosis
tidaklah begitu tepat karena ion bikarbonat tidak saja dipengaruhi oleh asam
metabolik tetapi juga oleh asam volatile (PaCO2, respiratorik). Meskipun
demikian hubungan antara kadar ion bikarbonat dan PaCO2 dapat dipakai
untuk memperkirakan besarnya kompensasi tubuh. Perhitungan didasari atas
asumsi sistem buffer bikarbonat akan menetralisir kelebihan asam
nonvolatine (asam metabolik), satu ion bikarbonat akan mengikat satu ion
hidrogen asam nonvolatile, ion bikarbonat akan menurun sebanding dengan
ion hidrogen, jumlah total kelebihan asam nonvolatile sama dengan jumlah
penurunan ion bikarbonat dari nilai normal. Kelainan asam-basa yang terjadi
dapat disimpulkan berdasarkan perbandingan bikarbonat atau PaCO2 yang
terukur dengan yang diharapkan dari proses kompensasi.
C. Standardized Base Excess (SBE)

Karena persamaan H-H tidak dapat menentukan beratnya gangguan


keseimbangan asam- basa maka beberapa ahli telah menemukan cara untuk
mengukur derajat kelainan asam-basa, yaitu dengan menghitung buffer base
(Singer dan Hasting, 1948), base excess/deficit (Siggard- Anderson, 1958),
dan standardized base excess/defisit (SBE).

Buffer base (BB) adalah jumlah ion bikarbonat dan ion nonvolatile
buffer (terutama albumin, fosfat dan hemoglobin). BB secara tidak langsung
dihitung dari selisih jumlah seluruh kation dan anion kuat di dalam darah
(pada saat itu yang dapat diperiksa hanya ion natrium, kalium dan klor),
karena menurut kaidah elektronetralitas selisih jumlah kation dan anion kuat
tersebut sama dengan jumlah anion lemah (bikarbonat, protein, fosfat).
Peningkatan BB terjadi pada alkalosis metabolik dan penurunan BB terjadi
pada asidosis metabolik. Kadar BB normal sama dengan Na+ + K+ - Cl-.
Base excess/deficit (BE/D) adalah cara praktis untuk mengetahui

59
berapa besar kelainan asam-basa metabolik, yaitu dengan melakukan titrasi
invitro pada sediaan darah dengan asam/basa kuat untuk mengembalikan pH
menjadi normal (pH 7.4) dengan syarat faktor respiratorik ditiadakan (PCO2
contoh darah dibuat 40 mmHg dan suhu 37oC). Perdefinisi BE/D adalah
jumlah asam/basa kuat yang dibutuhkan untuk menaikkan/menurunkan pH
menjadi 7.4 pada PaCO2 40 mmHg dan suhu 37oC. Dengan perkataan lain
BE/D adalah besarnya penyimpangan kadar BB dari nilai normal. Kadar
normal BE antara -2 s/d 2mEq/L. Asidosis terjadi pada BE < -2 mEq/L dan
alkalosis BE > 2mEq/L.
Karena perhitungan BE/D menggunakan darah lengkap yang kurang
menggambarkan cairan ekstraseluler/interstitial maka dilakukan standarisasi
BE/BD yang sesuai dengan cairan ekstrasel/interstitial yaitu pada Hb 5 g/dL
disebut SBE. SBE dapat dihitung dengan persamaan Van Slyke. Perubahan
SBE pada gangguan keseimbangan asam-basa primer dapat dilihat pada
Tabel 1.
Kombinasi hasil pemeriksaan PaCO2, bikarbonat dan SBE belum
dapat menentukan penyebab asidosis metabolik. Untuk maksud tersebut
diperlukan pemeriksaan kesenjangan anion (anion gap, AG) yang
diperkenalkan oleh Emmett dan Narin pada tahun 1975. Pada saat itu tidak
semua elektrolit diperiksa secara rutin, oleh karena itu bila dipadankan
antara jumlah hasil pemeriksaan kation akan berbeda dengan anion,
perbedaan tersebut disebut AG (Gambar 1.). Anion gap dapat dihitung
dengan rumus: AG = (Na+ + K+) – (Cl- + HCO3-) mEq/L, atau bila kalium
diabaikan karena nilainya kecil , menjadi AG = Na+ - (Cl- + HCO3-)
mEq/L. Nilai normal AG antara 8 – 16 mEq/L. Berdasarkan AG asidosis
metabolik dibagi menjadi asidosis metabolik dengan peningkatan AG dan
tanpa peningkatan AG (Tabel 2.) Meningkatnya AG menandakan adanya
anion (unmeasured anions) sebagai penyebab metabolik asidosis.
D. Strong Ions Difference (SID).

Tubuh manusia sebagian besar terdiri dari air. Oleh karena itu sifat
fisik dan kimiawi air berperan penting dalam mempertahankan homeostasis
normal. Air murni pada suhu 25oC bersifat netral mempunyai kandungan

60
ion hidrogen (H+) dan hidroksil (OH-) sama besar yaitu 1 x 10-7 mmol/L
(pH 7.0). Suatu larutan disebut asam bila kandungan ion hidrogen melebihi 1
x 10-7 mmol/L, dan ion hidroksil kurang dari 1 x 10-7 mmol/L (pH <7.0),
dan sebaliknya disebut basa. Beberapa keadaan seperti suhu, dan kandungan
elektrolit dapat mempengaruhi proses disosiasi air yang akan merubah
kandungan ion hidrogen maupun hidroksil.
Cairan ekstrasel merupakan suatu “ionic soup” yang berisi sel,
partikel, gas terlarut (karbondioksida, oksigen), ion kuat , ion lemah (asam
lemah, weak acids). Sebagian besar isi “sup” tersebut akan mempengaruhi
disosiasi air (pelarut), perubahan pada salah satu kadar isi “sup” tersebut
dapat mempengaruhi kadar ion hidrogen. pH normal untuk cairan ekstrasel
antara 7,35 – 7,45, artinya pH < 7,35 disebut “asam” dan pH > 7,45 disebut
“basa”.
Untuk mengetahui kadar ion hidrogen dari cairan ekstrasel dapat
dilakukan dengan cara kuantitatif, yaitu dengan menghitung semua
komponen yang mengisi cairan ekstrasel melalui reaksi keseimbangan
kimiawi masing-masing komponen dan menerapkan kaidah-kaidah
kimiafisik, yaitu: hukum kenetralan listrik (electrical neutrality), reaksi
keseimbangan disosiasi (dissociation equilibria) dan hukum konservasi masa
(mass conservation). Pendekatan kuantitatif ini disebut pendekatan Stewart
(1981) atau pendekatan “modern”.
Ada tiga faktor determinan yang menentukan konsentrasi ion hidrogen
dalam cairan tubuh yaitu PaCO2, SID, dan asam lemah total
(ATOT,terutama protein), ketiga determinan itu disebut faktor independen,
sedangkan ion hidrogen, ion bikarbonat dan ion asam lemah lainnya
merupakan faktor dependen. Perubahan pada faktor independen akan
mempengaruhi faktor dependen, sedangkan perubahan pada faktor dependen
tidak akan mempengaruhi faktor independen.
Cairan ekstrasel (plasma) dan intrasel mengandung bermacam-macam
ion (elektrolit), berdasarkan muatan listrik dibedakan menjadi kation
(positif) dan anion (negatif). Didalam larutan, ion mempunyai
kecenderungan untuk berdisosiasi, beberapa ion berdisosiasi sempurna
dalam air (seperti, Na+,K+,Ca++,Mg++, dan Cl-) disebut sebagai ion kuat

61
(strong ions) dan sebagian ion berdisosiasi tidak sempurna (seperti, albumin,
fosfat, karbonat, hidrogen, hidroksil). Ion yang dihasilkan dari disosiasi tidak
sempurna disebut ion lemah (weak ions). Selisih jumlah seluruh kation kuat
dengan jumlah seluruh anion kuat disebut strong ions difference (SID).
SID mempunyai pengaruh elektrokimiawi yang besar terhadap
disosiasi molekul air yaitu untuk mempertahankan larutan dalam keadaan
netral (elektronetralitas). Bila nilai SID melebar (lebih positif) akan
menyebabkan penurunan kadar ion hidrogen (kation lemah) akan terjadi
alkalosis (pH meningkat), demikian sebaliknya (Gambar 2). Dalam keadaan
normal nilai SID berkisar antara 40 – 42 mEq/L. Sebenarnya dalam cairan
tubuh SID tersebut adalah jumlah karbondioksida (dalam hal ini HCO3-)
dan ion asam lemah (protein, fosfat) serta ion hidroksil dalam jumlah yang
sangat kecil (Gambar 3). Bila kadar protein dan fosfat normal penyimpangan

nilai SID dari normal ( SID) menggambarkan SBE. Konsep analisis


SID adalah sama dengan konsep BB dari Singer dan Hasting .
Secara teoritis dalam keadaan normal nilai SIDa adalah sama dengan
SIDe, jadi tidak terdapat kesenjangan (gap) antara SIDa dan SIDe; SIDa –
SIDe = SIG (strong ion gap) = 0. Bila terdapat SIG maka terdapat
anion/kation lain yang tidak diperiksa (terukur, unmeasured anions) sebagai
penyebab asidosis/alkalosis (Gambar 4).Meskipun penilaian SIG akurat
tetapi menyulitkan karena memerlukan pemeriksaan ion lengkap dengan
kalkulasi yang rumit. Cara lain yang lebih mudah untuk mengetahui adanya
penyebab asam nonvolatile (asam metabolik) maupun asam anorganik
sebagai penyebab gangguan keseimbangan asam-basa metabolik adalah
dengan menghitung pengaruh alkalinisasi/asidifikasi dari SID (natrium dan
klor) dan protein (albumin) terhadap perubahan BE/SBE (calculated base
excess, CBE). Selisih antara CBE dengan BE/SBE disebut base excess gap
(BEG). BEG menunjukkan adanya anion penyebab asidosis/alkalosis
(unmeasured anion). BEG dapat dihitung dengan rumus Story (2004)
berikut:

BEG = SBE – [(Na-Cl) – 38] - [0,25 x (42 – albumin(g/dL)]

62
Gangguan keseimbangan asam-basa metabolik menurut Stewart dapat
terjadi pada setiap gangguan faktor determinan (independen) dalam sistem
asam-basa tubuh, berbeda dengan cara Henderson-Hasselbalch yaitu
bikarbonat sebagai titik sentral analisis.

3.7 Asidosis
Metabolik

3.7.1 Definisi
Asidosis metabolik didefinisikan sebagai penurunan konsentrasi
serum bikarbonat (HCO3) sering dikaitkan dengan penurunan pH darah,
sering bersamaan dengan penyakit ginjal kronis yang progresif (CKD).1,7
Ini berasal dari kapasitas ginjal yang berkurang dalam mensintesis amonia
(NH3) dan mengeluarkan ion hidrogen (H +).1 Kompensasi umumnya terdiri
dari kombinasi mekanisme resporatorik dan ginjal, ion hidrogen
berinteraksi dengan ion bikarbonat membentuk molekul CO2 yang
dieliminasi di paru, sementara itu ginjal mengupayakan ekskresi ion
hidrogen ke urin dan memproduksi ion bikarbonat yang dilepaskan ke
cairan ekstrasel. Kadar ion HCO3- normal adalah 24 mEq/L dan kadar normal
pCO2 adalah 40 mmHg dengan kadar ion hidrogen 40 nanomol/L.
Asidosis metabolik sering terjadi sebagai bagian dari campuran
gangguan asam-basa, terutama pada critical ill. Asidosis metabolik dapat
bersifat akut (berlangsung beberapa menit - hari) atau kronis (berlangsung
minggu ke tahun) menurut durasinya. Metabolik asidosis akut atau kronis
adapat menyebabkan efek yang buruk terhadap fungsi sel dan dapat
meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Tingkat keparahan asidosis
metabolik dapat sangat bervariasi antara pasien uremik dengan pasien
dengan gangguan ginjal. Setidaknya dua studi menunjukkan bahwa untuk
gangguan fungsi ginjal tertentu, pasien dengan diabetes mungkin memiliki
tingkat metabolisme asidosis yang tidak parah. Salah satu tujuan terapi
dialisis adalah untuk mengoreksi kelainan metabolik uremia, termasuk
asidosis metabolik.
3.7.2 Epidemiologi

63
Prevalensi asidosis metabolik pada pasien dengan CKD tidak
diketahui dengan pasti. The Third National Health dan Nutrition
Examination Survey (NHANES III) analisis menemukan penurunan
plasma konsentrasi HCO3 dengan perkiraan laju filtrasi glomerulus (eGFR)
kurang dari 20 mL/min/1.73m2. Jika hipobikarbonatemia disebabkan
oleh asidosis metabolik terjadi

64
ketika eGFR kurang dari 25% parameter normal, akan
diperkirakan bahwa 300.000 hingga

400.000 individu di Amerika Serikat mungkin memiliki asidosis


metabolik yang berhubungan dengan CKD.1
Asidosis metabolik akut relatif umum pada pasien critical ill, dengan
satu studi yang menunjukkan bahwa gangguan tersebut dapat mengenai
sekitar 64% dari pasien dalam unit perawatan intensif. Asidosis metabolik
kronis di US jarang terjadi, hanya 1,9% dari lebih dari
15.01 orang disurvei pada study NHANES III memiliki konsentrasi
serum HCO3 di bawah 22 mmol/l, meskipun nilai ini meningkat sampai
19% pada pasien dengan filtrasi glomerulus rate (eGFR) dalam kisaran 15-
29 mL/min/1.73 m2.2
Serum HCO3 yang lebih rendah - berhubungan dengan tingginya
semua penyebab mortalitas pada pasien dengan moderat dan tingkat
lanjut dari CKD.1 Pada 1094 pasien, dari the African American Study of
Kidney Disease and Hypertension (AASK) percobaan studi kohort, setiap
peningkatan 1 mmol/L serum HCO3 dikaitkan dengan penurunan risiko
kematian (HR 0,942).

3.7.3 Etiologi
Kehilangan Bikarbonat5,6,7

1. Fistula pancreas, bilier, atau usus. Hilangnya sekresi


pankreas atau empedu dapat menyebabkan asidosis metabolik

2. Kehilangan HCO3- renal dapat disebabkan RTA (proksimal)


tipe 2
3. Ureterosigmoidostomy
4. Cholestyramine
5. Diare, contohnya Kolera

Peningkatan beban asam (H+)5,6,7


1. Asidosis asam laktat

65
2. Ketoasidosis diabetik, alkohol, dan starvasi
3. Ingestions - Salisilat, metanol, etilen glikol, isoniazid, besi,
Paraldehid, sulfur, toluena, amonium klorida, phenformin / metformin, dan
cairan hiperalimentasi.
Ketidakmampuan untuk mengekskresikan beban H+ 6,7

 Gagal ginjal - Hilangnya produksi NH +


4

 Hipoaldosteronism - RTA Tipe 4

 Hilangnya sekresi H+ - RTA (distal) Tipe 1

Berdasarkan anion gap, penyebab dari asidosis metabolik dapat


dibagi menjadi : Tingginya AG dapat terjadi hal-hal berikut:
 Asidosis laktat - Laktat, D-laktat

 Ketoasidosis - Beta-hidroksibutirat, acetoacetate

 Gagal ginjal - Sulfat, fosfat, urat, dan hippurate

 Ingestions - salisilat, metanol atau formaldehida (format),


etilen glikol (glikolat, oksalat)
 Paraldehid (anion organik), sulfur (SO -),
4
phenformin/metformin

 Asidemia Pyroglutamic (5-oxoprolinemia)

 Rhabdomyolysis masif (pelepasan H+ dan anion organik dari


otot yang rusak)
Normal AG (yaitu, asidosis hiperkloremik) menunjukkan sebagai
berikut:
 Kehilangan
3 GI HCO -, diare
 Fistula pankreas

66
 Kehilangan HCO3- dari ginjal - RTA (proksimal) Type 2
 Beberapa kasus gagal ginjal
 Hypoaldosteronism (yaitu, RTA tipe 4)
 Hiperventilasi
 Ingestions - Amonium klorida, acetazolamide, cairan
hiperalimentasi, beberapa kasus ketoasidosis, terutama selama pengobatan
dengan cairan dan insulin

Tabel 15

3.7.4 PATOFISIOLOGI

Persamaan Henderson-Hasselbalch menjelaskan hubungan antara pH


darah dan komponen system buffer H2CO3. Deskripsi kualitatif dari
fisiologi asam/basa memisahkan komponen metabolic dari komponen
respiratori dari keseimbangan asam/basa.6
pH = 6.1 + log (HCO3/ H2 CO3)

Bikarbonat (HCO3) merupakan komponen metabolik

 Bikarbonat dihasilkan di ginjal

 Produksi asam dari sumber endogen atau eksogen

67
Asam karbonat (H2 CO3) merupakan komponen resporatori, seperti
yang ditunjukkan oleh persamaan dibawah ini :6

H2CO3 = PCO2 (mm Hg) X 0.03

Mempertahankan pH arteri sistemik antara 7.35 – 7.45 dibutuhkan


fungsi sel yang normal, walaupun fluktuasi sedikit dari konsentrasi H +
mempunyai efek yang penting dalam aktivitas enzim selular. Hal ini
dicapai oleh buffer ekstrasel dan intrasel, bersamaan dengan mekanisme
regulasi respiratori dan renal. kontrol kedua pCO 2 dan HCO3 menstabilkan
pH arteri dengan ekskresi atau retensi dari asam atau basa. pCO2 diregulasi
oleh ventilasi alveolar. Hiperventilasi meningkatkankan ekskresi CO2 dan
menurunkan pCO2.4
Untuk menjaga keseimbangan asam-basa normal, setiap hari tubulus
ginjal harus absorpsi HCO3 yang difiltrasi (~ 4.500 mmol) dan mensintesis
HCO3 yang cukup untuk menetralisir beban asam endogen.2
Mekanismenya adalah gangguan pembentukan bikarbonat ginjal dengan
dan tanpa penurunan absorpsi bikarbonat yang terjadi bersamaan dan
retensi ion H+. Total ekskresi amonium (NH4+) mulai menurun ketika GFR
< 40 sampai 50 mL/min. Penyakit ginjal dikaitkan dengan kerusakan
tubulointerstitial yang parah dapat disertai dengan asidosis yang lebih berat
pada tahap awal gagal ginjal.1
Ginjal menyerap kembali semua HCO3- yang terfiltrasi dan
menghasilkan HCO3 baru - dalam collecting duct. Reabsorpsi HCO3- yang
terfiltrasi terjadi di tubulus proksimal (85-90%), dalam ascending loop of
Henle tebal (10%) dan sisanya di nefron distal. Reabsorpsi HCO3- yang
terfiltrasi sangat penting untuk pemeliharaan keseimbangan asam-basa,
mengingat bahwa hilangnya HCO3- dalam urin setara dengan retensi H+
(baik H+ dan HCO3- yang berasal dari disosiasi H2CO3).4 Diet normal
menghasilkan H+ sebanyak 50–100 mEq per hari sebagai asam sulfur non-
volatile dari katabolisme asam amino, asam organic yang tidak
termetabolisme, dan fosfor dan asam-asam lainnya. Ion H+ ini
diseimbangkan oleh HCO3- dan selular dan buffer tulang untuk

68
meminimalisasi turunnya pH ekstrasel.4
Asidosis metabolik berkembang karena berkurangnya massa ginjal
dan ketidakmampuan dari nefron yang tersisa untuk mengeluarkan beban
asam harian melalui ammoniagenesis. produksi NH3 di tubulus ginjal
dirangsang oleh asidosis intraseluler. Ketika beban asam sistemik
meningkat sedikit, keseimbangan dijaga oleh peningkatan produksi dan
ekskresi dari NH4+. Kegagalan untuk mengeluarkan NH4+ sehingga
menyebabkan retensi ion H+ dan menyebabkan metabolik asidosis.
ketidakmampuan untuk mengeluarkan NH 4+ (Proksimal tubulus) atau ion
H+ (tubulus distal), akan diterjemahkan menjadi asidosis tubular melalui
mekanisme dependen pH. Hiperkalemia, di sisi lain, dapat menginduksi
intraseluler alkalosis dan juga bersaing dengan kalium dalam pompa
Na+/K+/2Cl yang terletak di loop henle ascending tebal, mengurangi NH4+
di collecting tubulus.1 Seperti yang dinyatakan sebelumnya meningkatnya
ammoniagenesis dari nefron meningkat sebagai kompensasi atas
penurunan fungsi dari nefron itu sendiri.1
Kadar NH3 pada vaskular dan kortikal meningkat ketika diproduksi
secara maksimal oleh tubulus ginjal. Faktor yang mempengaruhi produksi
NH3 di ginjal adalah angiotensin II, kalium dan aldosteron, yang kadarnya
meningkat seperti pada hipertensi renovaskular. Peningkatan konsentrasi
angiotensin II merangsang ammoniagenesis sama seperti glukoneogenesis.
Deplesi kalium dan pemberian aldosteron juga dapat meningkatkan
ammoniagenesis.1

3.7.5 DIAGNOSIS

69
Sebuah pendekatan terhadap asidosis metabolik termasuk anamnesis
rinci, pemeriksaan fisik dan analisis gas darah arteri, serum gap anion dan,
dalam beberapa keadaan, serum osmolar gap [didefinisikan sebagai
perbedaan antara serum osmolalitas yang terukur dan yang dihitung]

(Figur 1 dan 2).4

3.7.6 TANDA DAN GEJALA

Gejala asidosis metabolik terutama hiperventilasi kompensasi (yakni

70
pernapasan Kussmaul) merupakan tanda klinis yang penting dan sering
disalahartikan sebagai kelainan respirasi yang primer. Jadi, ketika seorang
pasien datang dengan dispnoe (sesak napas) dan temuan pemeriksaan
cardiopulmonar normal, kecuali untuk takipnea dan takikardi, asidosis
sistemik harus dipertimbangkan. Obat tidak jarang merupakan penyebab
metabolik asidosis dan memainkan peran penting dalam presentasi klinis,
evolusi penyakit dan terapi intervensi.4

Gejala Neurologi6

- Kelumpuhan saraf kranial dapat terjadi pada keracunan


etilena glikol.

- Edema retina dapat dilihat pada keracunan metanol.

- Kelesuan, pingsan, dan koma dapat terjadi pada asidosis


metabolik yang berat, terutama jika dikaitkan dengan konsumsi zat
beracun.

Gejala Kardiovaskular6

Asidemia berat (yaitu, pH <7.10) dapat mempengaruhi pasien untuk


terjadinya aritmia ventrikel yang fatal, dan dapat mengurangi kontraktilitas
jantung dan respon inotropik katekolamin, mengakibatkan hipotensi dan
gagal jantung kongestif.

Gejala Pulmonal6
Pasien dengan asidosis metabolik akut menunjukkan takipnea dan
hiperpnea (pernapasan kussmaul) sebagai tanda-tanda fisik yang menonjol.
Hiperventilasi, tanpa adanya penyakit paru- paru yang jelas, dokter harus
waspada untuk kemungkinan adanya asidosis metabolik yang mendasari.

Gejala Gastrointestinal5
Mual, muntah, sakit perut, dan diare (terutama dalam ketoasidosis
diabetik dan uremik asidosis)

3.7.7 Laboratorium

71
Analisis Gas Darah Arteri6,9

Analisis gas darah arteri digunakan untuk evaluasi gangguan


keseimbangan asam-basa dan oksigenasi. Awalnya, ketahui pH untuk
menentukan apakah darah masih dalam batas normal, alkalosis atau
asidosis. Jika diatas 7.45 dikatakan alkalosis, dan jika dibawah 7.35
disebut asidosis. Setelah mengetahui apakah darah alkalosis atau asidosis,
selanjutnya tentukan penyebab primer berasal dari masalah respiratori atau
3

metabolic. Ukur PaCO2, jika berada arah yang berlawanan dengan pH

maka masalah respiratori yang utama. Dan ukur kadar HCO -, jika berada
disisi yang sama dengan pH maka masalah metabolik yang utama.

Kadar HCO3 yang rendah sering menjadi petunjuk pertama adanya


asidosis metabolik, namun tidak bisa menjadi satu-satunya pertimbangan
dalam mendiagnosis asidosis metabolik. Kadar HCO3 yang rendah dapat
disebabkan oleh asidosis metabolik, kompensasi metabolik dari alkalosis
respiratori, atau kesalahan laboratorium.
Kadar HCO3 yang dihitung oleh mesin gas darah arteri, yang
menggunakan persamaan Henderson-Hasselbalch, merupakan ukuran
yang lebih akurat. Pengukuran pH dan PCO2 pada pasien dengan kadar
HCO3 rendah memungkinkan untuk membedakan kompensasi metabolik
dari alkalosis respiratori dari asidosis metabolik primer.
Oksigenasi tidak mempengaruhi status asam-basa pasien kecuali
hipoksia yang parah sehingga menyebabkan iskemia. Dalam hal ini,
pengukuran PO2 dapat mengidentifikasi hipoksia berat sebagai endapan
asidosis laktat.
AGDA juga mengukur base excess/base defisit (BE/BD), yang
merupakan indikator terbaik untuk menentukan asidosis/alkalosis.

72
a. Pemeriksaan Penunjang

Darah Lengkap6

Meningkatnya leukosit merupakan penemuan yang nonspesifik,


tetapi harus dipertimbangkan adanya septikemia, yang menyebabkan
asidosis laktat. Anemia berat dengan berkurangnya delivery O2 dapat
menyebabkan asidosis laktat.

Urinalisa6

Pengukuran pH urine dengan adanya hipobikarbonatemia sering


digunakan untuk menilai asidifikasi ginjal.2 pH urine biasanya asam < 5.0.
Dalam asidemia, urine biasanya menjadi lebih asam. Jika pH urine di atas
5,5 pada kondisi asidemia, temuan ini merupakan tipe I RTA. Urin yang
alkali khas pada keracunan salisilat. Toksisitas terhadap Ethylene glycol
dapat ditemukan kristal kalsium oksalat, yang muncul berbentuk jarum,
dalam urin.

Serum Kimia6

Kadar natrium, kalium, klorida, dan bikarbonat yang digunakan


dalam perhitungan serum anion gap (SIG). Fosfat, magnesium, serta kadar
serum albumin juga digunakan untuk menghitung SIG.

Hiperkalemia sering mempersulit asidosis metabolik. Ini biasanya


terlihat pada asidosis anorganik (yaitu, non - AG). Diabetik ketoasidosis
(DKA) sering terjadi hiperkalemia yang merupakan akibat dari defisiensi
insulin dan efek hiperosmolalitas. Asidosis laktat dan bentuk lain dari
asidosis organik umumnya tidak muncul dengan pergeseran kalium
secara signifikan.

Kadar glukosa umumnya meningkat pada DKA, dan mungkin


rendah, normal, atau sedikit meningkat pada alkohol ketoasidosis. BUN

73
dan kadar kreatinin meningkat pada asidosis uremik.

Serum Anion Gap (AG)2,4,6

Perhitungan AG sering membantu dalam diagnosis diferensial


asidosis metabolik. AG adalah perbedaan antara konsentrasi plasma dari
kation plasma yang diukur 3 (yaitu, Na +) dan anion yang diukur (yaitu,
klorida [Cl-], HCO -).

Perhitungan : AG = (Na +) - ([Cl-] + [HCO3-])

AG yang normal adalah 8 - 16 mEq/L, dengan nilai rata-rata 12.


Beberapa penulis menambahkan K+ pada pengukuran kation, dengan nilai
normal AG adalah 12 - 20 mEq/L.

Asidosis metabolik dengan AG yang tinggi dikaitkan dengan


penambahan asam endogen atau eksogen yang dihasilkan. Asidosis
metabolik dengan AG normal dihubungkan dengan hilangnya HCO3 atau
kegagalan untuk mengeluarkan H+ dari tubuh.

Kesalahan laboratorium juga dapat mempengaruhi AG.


Hiperproteinemia, hiperlipidemia, dan hiperglikemia mengakibatkan
penghitungan kadar natrium serum palsu sehingga dapat menekan AG.6
Beberapa faktor yang dapat mengubah gap serum anion. Parameter ini
dikurangi dengan ~ 2,3 mmol/l untuk setiap 10 g/l penurunan konsentrasi
albumin serum.2

Osmolal gap adalah osmolalitas plasma yang diukur dikurangi


osmolalitas plasma yang dihitung. Serum osmolalitas terdiri dari semua zat
osmotik aktif termasuk zat ionik dan non-ionik seperti ion serum, glukosa,
dan BUN. Zat lain seperti alkohol, serum lipid dan protein yang
berlebihan, dan manitol semua berkontribusi terhadap osmolalitas serum.
Osmolalitas yang dihitung adalah 2 X plasma [Na +] + [glukosa] / 18 +
BUN/2.8.

Osmolal gap normal adalah 10 - 15. Asidosis metabolik dengan gap

74
osmolal tinggi menunjukkan keracunan metanol dan etilena glikol. 6
Tidak adanya kenaikan pada serum osmolalitas tidak mengeksklusikan
keracunan alkohol. Kenaikan osmolal gap juga dapat dilihat pada
ketoasidosis, asidosis laktat, dan gagal ginjal kronis.2

75
Kadar Keton6

Peningkatan keton menunjukkan diabetes, alkohol, dan ketoasidosis


starvation.

Tes nitroprusside digunakan untuk mendeteksi keberadaan asamketo dalam


darah dan urin.6 Tes ini hanya mengukur acetoacetate dan aseton, karena itu,
mungkin tidak bisa mengukur kadar ketonemia dan ketonuria karena tidak dapat
mendeteksi keberadaan beta-hidroksibutirat (BOH).2,6 Keterbatasan tes ini dapat
sangat bermasalah pada pasien dengan ketoasidosis yang tidak dapat
mengkonversi BOH menjadi asetoasetat karena syok berat atau gagal hati.

Assay untuk BOH tidak tersedia di beberapa rumah sakit. Sebuah metode
tidak langsung untuk menghindari masalah ini adalah dengan menambahkan
beberapa tetes hidrogen peroksida untuk spesimen urin. Secara enzimatis akan
mengkonversi BOH menjadi asetoasetat, yang akan terdeteksi oleh tes
nitroprusside.

Kadar serum laktat6

Konsentrasi laktat plasma normal adalah 0,5 - 1,5 mEq/L. Asidosis laktat
dapat dipertimbangkan jika kadar laktat plasma melebihi 4 - 5 mEq/L pada pasien
asidemia.

3.7.8 DIAGNOSA BANDING8


Penyebab atau etiologi asidosis metabolik dapat diprediksi melalui
penghitungan AG. Bila terjadi peningkatan uncountable anion atau AG
meningkat, etiologi yang mungkin adalah asidosis laktat, ketoasidosis (diabetes
mellitus, starvasi, alkohol), intoksikasi methanol, intoksikasi etilen glikol, dan
3
intoksikasi salisilat. Bila terjadi pengurangan HCO -
atau AG normal, etiologi
yang mungkin adalah enteritis, RTA tipe 2, pasca pengobatan ketoasidosis, dan
pemakaian penghambat karbonik anhidrase. Bila terjadi retensi H+ di ginjal
dengan AG meningkat, etiologi yang mungkin adalah penyakit ginjal kronik.8

76
3.7.9 PENATALAKSANAAN

Asidosis metabolik akut

Sebagai perubahan pH ekstraseluler dan intraseluler sebagai efek samping


yang mendasari dari asidosis metabolik akut, pemberian basa - terutama dalam
bentuk natrium bikarbonat - telah menjadi terapi andalan. Namun, studi mengenai
asidosis laktat dan studi acak- terkontrol dari ketoasidosis, penyebab yang paling
sering dari asidosis metabolik akut, dengan pemberian bicnat tidak menunjukkan
penurunan morbiditas atau mortalitas. Studi selanjutnya, pemberian natrium
bikarbonat tidak terbukti meningkatkan disfungsi kardiovaskular pada pasien
dengan asidosis laktat. Pemberian natrium bikarbonat juga telah menjadi faktor
yang mencetuskan edema serebral pada anak-anak dengan ketoacidosis.2
Efek samping pemberian bicnat termasuk eksaserbasi dari asidosis
intraseluler yang disebabkan oleh generasi dari CO2 gas permeable dalam proses
buffering, hipertonisitas cairan ekstraselular ketika bicarbonat diberikan sebagai
cairan hipertonik, kelebihan cairan, alkalosis metabolik, dan percepatan
pertukaran Na+ - H+ menyebabkan peningkatan Na+ dan Ca2+ di sel.2
Untuk menghindari beberapa komplikasi ini, basa alternatif telah
dikembangkan dan diuji. Trishydroxymethyl aminomethane (THAM), agen yang
diperkenalkan pada akhir 1950-an, dapat meningkatkan pH ekstraseluler tanpa
mengurangi pH intraseluler dan bahkan mungkin meningkatkannya. Studi pada
manusia telah menunjukkan bahwa THAM sama efektifnya dengan bikarbonat
dalam meningkatkan pH ekstraseluler.2 THAM lebih jarang digunakan
dibandingkan dengan bikarbonat, namun, karena kasus yang jarang toksisitas di
hati telah dilaporkan pada bayi baru lahir, hiperkalemia dan disfungsi paru telah
dilaporkan, dan agen ini membutuhkan fungsi ginjal yang baik untuk memastikan
ekskresi urin dan dengan demikian, efektivitasnya.2 Rekomendasi kami saat ini
untuk pengobatan asidosis metabolik akut dirangkum dalam Kotak 3.2

77
Jika akan memberikan natrium bicarbonat, harus diberikan sebagai larutan
isoosmotik untuk mencegah hiperosmolar) dan dengan infus yang lebih lambat
daripada bolus intravena (untuk mengurangi pembentukan CO2).2 Sulit untuk
menentukan target pH atau [H+] dikaitkan dengan hasil yang lebih baik, meskipun
ada konsensus menyatakan bahwa pH > 7,20-7,25 lebih baik.8 Surviving Sepsis
Campaign hanya merekomendasikan pengobatan asidosis metabolik akut dengan
natrium bikarbonat jika pH <7,1 pada keadaan sepsis berat dan pasien syok
septik.9 Banyaknya bicarbonat dapat dihitung dengan persamaan :2

Bikarbonat = [HCO3-] yang diinginkan - [HCO


3
-
] yang diukur × space HCO
3
-

THAM mungkin dapat menjadi pilihan pada beberapa pasien dengan

78
asidosis metabolik akut, terutama pasien dengan retensi CO2.2 THAM ini efektif
untuk asidosis metabolik dan respiratorik. Agen ini diekskresikan oleh ginjal dan
tidak meningkatkan produksi CO2.9 Terapi selain pemberian basa mungkin
diindikasikan pada pasien asidosis dengan anion gap tinggi. 2 Sebagai contoh,
pemberian fomepizole, inhibitor selektif dehidrogenase alkohol, akan mengurangi
pembentukan asam organik dari metabolisme metanol, etilen glikol, atau
dietilenglikol.2,8 Diuresis paksa alkali atau dialisis diindikasikan pada pasien
dengan intoksikasi salisilat.2

Metabolik Asidosis Kronik


Beberapa, tetapi tidak semua, studi pasien dengan metabolik asidosis kronis
dengan dan tanpa gangguan ginjal telah menunjukkan bahwa pemberian basa
dapat meningkatkan atau mengurangi perkembangan bone disease, menormalkan
pertumbuhan, mengurangi degradasi otot, meningkatkan sintesis albumin, dan
menghambat perkembangan yang dari CKD. Saat ini, kebanyakan ahli
3
merekomendasikan bahwa konsentrasi serum HCO -
dinaikkan menjadi
setidaknya 22-23 mmol/l, meskipun normalisasi lengkap mungkin lebih
menguntungkan. Basa dapat diberikan secara oral pada pasien dengan fungsi
ginjal normal atau pasien dengan CKD tidak dialisis.

Pada pasien hemodialisis, penggunaan dialisat dengan konsentrasi HCO 3


tinggi (~ 40 mmol/l) biasanya cukup untuk memperbaiki asidosis metabolik. Bagi
pasien dengan peritoneal dialisis, dialisat dengan konsentrasi basa yang tinggi
biasanya akan efektif.

79
a. Algoritma Penatalaksanaan8

80
3.8 Chronic Heart Failure

3.8.1 Definisi

Gagal jantung didefinisikan sebagai abnormalitas dari struktur jantung atau fungsi

yang menyebabkan kegagalan dari jantung untuk mendistribusikan oksigen ke seluruh tubuh.

Secara klinis, gagal jantung merupakan kumpulan gejala yang kompleks dimana seseorang

memiliki tampilan berupa: gejala gagal jantung; tanda khas gagal jantung dan adanya bukti

obyektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat istrahat. Gagal jantung ditandai dengan

3.8.2 Klasifikasi

klasifikasi gagal jantung dapat di jabarkan dua kategori yakni kelainan struktural jantung atau

berdasarkan gejala yang berkaitan dengan kapasitas fungsional dari New York Heart

Association (NYHA).

81
3.8.3 Penatalaksanaan

Menurut kasron (2012), penatalaksanaan CHF meliputi:

1. Non Farmakologi

a. CHF Kronik

1) Meningkatkan oksigenasi dengan pemberian oksigen dan menurunkan konsumsi oksigen

melalui istirahat atau pembatasan aktivitas.

2) Diet pembatasan natrium (<4 gr/hari) untuk menurunkan edema.

82
3) Menghentikan obat-obatan yang mempengaruhi NSAID karena efek prostaglandin pada

ginjal menyebabkan retensi air dan natrium.

4) Pembatasan cairan (± 1200-1500 cc/hari).

5) Olahraga secara teratur.

b. CHF Akut

1) Oksigenasi (ventilasi mekanik)

2) Pembatasan cairan (1,5 liter/hari)

2. Farmakologi

Tujuan : Untuk mengurangi afterload dan preload

a. First line drgs; diuretic.

Tujuan : Mengurangi afterload pada disfungsi sistolik dan mengurangi kongesti pulmonal pada

disfungsi diastolic. Obatnya adalah : thiazide diurestics untuk CHF sedang, loop diuretic,

metolazon (kombinasi dari

loop diuretic untuk meningkatkan pengeluarn cairan), kalium-sparing diuretic.

b. Second line drugs; ACE inhibitor.

Tujuan : membantu meningkatan COP dan menurunkan kerja jantung.

Obatnya adalah :

1) Digoxin : meningkatkan kontraktilitas. Obat ini tidak digunakan unutk kegagalan diastic yang

mana dibutuhkan pengembangan ventrikel untuk relaksasi.

2) Hidralazin : menururnkan afterload pada disfungsi sitolik.

3) Isobarbide dinitrat : mengurangi preload dan afterload untuk disfungsi sistolik, hindari

vasodilator pada disfungsi sistolik.

83
4) Calsium Chanel Blocker : untuk kegagalan diastolic, meningkatkan relaksasi dan pengisisan

ventrikel (jangan dipakai pada CHF kronik).

5) Beta Blocker : sering dikontraindikasikan karena menekan respon miokard. Digunakan pada

disfungsi diatolic untuk mengurangi HR,mencegah iskemi miokard, menurunkan TD, hipertofi

ventrikel kiri.

84
BAB IV

DISKUSI

Pasien perempuan berusia 56 tahun, datang ke IGD RSUD Bekasi dengan


keluhan sesak nafas berat sejak pagi hari SMRS. 2 jam SMRS saturasi oksigen
pasien di rumah 89%. Pasien tidak ada riwayat batuk lama. Batuk berdarah (-).
Pasien tidak mengeluhkan ada nya demam. Pasien juga mengeluhkan mual sejak 1
hari SMRS. Mual diikuti dengan muntah 2x dalam sehari. Pasien juga menjadi sulit
makan karena mual.

Pasien menyangkal memiliki riwayat penyakit ginjal, DM dan hipertensi. Pada


pemeriksaan paru, didapatkan ronkhi +/+, dan nyeri tekan epigastrium.

Gambaran laboratorium CKD meliputi1:

1. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya yakni riwayat hipertensi.


2. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum
serta penurunan LFG
3. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin
(anemia), hipokalemia, dan asidosis metabolic

Dari hasil pemeriksaan darah lengkap pada kasus ini, dijumpai adanya anemia
(hemoglobin 8,7 g/dL). Pada pemeriksaan kimia klinik ditemukan adanya
peningkatan kadar ureum (163 mg/dl), peningkatan kreatinin (7,36 mg/dl) dan
penurunan LFG (6 ml/menit/1,73 m2). Pemeriksaan USG Abdomen menunjukkan
kesan Chronic Renal Disease Bilateral.

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, maka pasien ini
didiagnosis dengan CKD Stage V.

Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien CKD disesuaikan dengan stadium


penyakit pasien tersebut (National Kidney Foundation, 2010). Selain itu diperlukan
penatalaksanaan yang komprehensif meliputi:

85
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (faktor komorbid tersebut
antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, obat-
obat nefrotoksik, bahan radiokontras atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya),
3. Memperlambat perburukan fungsi ginjal (restriksi protein dan terapi
farmakologis),
4. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi (anemia, osteodistrofi renal,
pembatasan cairan dan elektrolit) dan
5. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.

Pada pasien-pasien yang penurunan fungsi ginjalnya berjalan terus, maka saat laju
filtrasi glomerulus mencapai 10 - 12 ml/menit (setara dengan klirens kreatinin
kurang dari 15 ml/menit atau serum kreatinin lebih dari 6 mg/dl) dianjurkan untuk
memulai dialisis (hemodialisis atau peritoneal dialisis), walaupun masih ada
perbedaan pendapat mengenai kapan sebaiknya terapi pengganti ginjal ini dimulai.
Pilihan pengobatan gagal ginjal terminal yang lain adalah trasnplantasi ginjal.

Pada pasien ini diindikasikan untuk inisial HD untuk memperbaiki kondisi klinis.
Pasien juga diberikan diet CKD 1881 kkal/hari dengan 40 gram protein, diberikan
anti hipertensi golongan Calsium Chanel Blocker dan Angiotensin2 reseptor
blocker (Amlodipine 10mg tiap 8 jam & Candesartan 16mg tiap 24 jam). Pada
pasien ini juga disarankan untuk rutin melakukan hemodialisis reguler 2 kali dalam
seminggu, kemudian pemeriksaan monitoring dan evaluasi dari kadar hemoglobin
selanjutnya ditentukan status anemia dan diberikan asupan eritropoietin jika perlu,
tujuannya mencegah perburukan klinis akibat hipoksia karena kadar Hb menurun.

86
DAFTAR PUSTAKA

1. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
IV Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
1035-1040.

2. Eknoyan G, Lameire N, Kasiske BL, dkk. Official Journal of The international


Society Of Nephrology. KDIGO 2012 clinical practice guideline for evaluation
and management of CKD. 2013;3(1).

3. Indonesian Renal Registry (IRR). 7th Report Of Indonesian Renal


Registry. 2014. Terdapat di: http://www.indonesianrenalregistry.org/

4. Suhardjono. Penyakit ginjal kronik, suatu epidemiologi global baru: protect


your kidney save your heart. Perhimpunan Nefrologi Indonesia
(PERNEFRI); 2010.

5. Johnson CA, Levey AS, Coresh J. Clinical Practices Guidelines for Chronic
Kidney Disease in Adults. Carolina: American Family Physician; 2004. Hal
870- 876.

6. Kerr M, Bray B, Medcalf J. Chronic Kidney Disease in Adults: Assestment and


Management. England: National Institute for Health and Care Excellence;
2014. hal 1-63.

7. National Kidney Foundation. Diabetes and Chronic Kidney Disease Stage 5.


New York. 2012. Terdapat di: www.kidney.org

8. Guideline American Diabetes Association. Standards of Medical Care in


Diabetes-2016:Abridged for Primary Care Providers. Clinical
Diabetes.2016

9. Wheeler DC. Clinical evaluation and management of chronic kidney disease.


Dalam: Feehaly J, Floege J, Johnson RJ, penyunting. Comprehensice clinical
nephrology. St. Loius: Elsevier Saunders; 2010

10. Kresnawan, T, Ferina. Penatalaksanaan Diet Pada Nefropati


Diabetik. Surabaya: Gizi Indonesia; 2004.

11. PERNEFRI, 2011. Konsensus Manajemen Anemia Pada Penyakit


Ginjal Kronik. Jakarta; PB PERNEFRI.

87

Anda mungkin juga menyukai