Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

SINDROM HELLP

Disusun oleh:

Deta Hamida

1965050021

Pembimbing:

dr. Eleazar Permana, Sp.An, M.Sc

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI

PERIODE 15 JUNI – 27 JUNI 2020

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

2020
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas penyertaan-Nya, saya

dapat menyelesaikan referat yang berjudul SINDROM HELLP. Case Report ini

dibuat sebagai salah satu persyaratan mengikuti ujian dalam Kepaniteraan Klinik

Ilmu Anestesi.

Mengingat pengetahuan dan pengalaman saya yang terbatas, maka saya sebagai

penyusun Case Report sadar bahwa masih banyak kekurangan dari segi isi, susunan

bahasa, maupun sistematika penulisan. Untuk itu, kami sebagai penyusun Case

Report mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun.

Pada kesempatan yang baik ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih

kepada dr. Eleazar Permana, Sp.An,Msc selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik

Ilmu Anestesi, yang telah memberikan bimbingan dan masukan yang berguna

dalam proses penyusunan Case Report ini.

Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang juga

turut serta dalam upaya penyusunan Case Report ini. Akhir kata saya sebagai

penyusun berharap kiranya Case Report ini dapat menjadi informasi yang berguna

bagi tenaga medis, profesi yang bergerak dalam bidang kesehatan, dan juga kaum

awam khususnya perkembangan terbaru di bidang kesehatan

Jakarta, Juni 2020

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................2

DAFTAR ISI............................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................4

BAB II LAPORAN KASUS....................................................................................7


2.1 Identitas Pasien..............................................................................................7
2.2 Anamnesis.....................................................................................................8
2.3 Pemeriksaan Fisik (ICU, 16 Desember 2017)...............................................9
2.4 Pemeriksaan Penunjang.................................................................................19
2.4.1 Pemeriksaan lab 13 December
2017………………………………....19
2.4.2 Pemeriksaan foto BNO 3
Posisi……………………………………...24
2.4.3 USG
Abdomen……………………………………………………….24
2.5 Diagnosis kerja..............................................................................................24
2.6 Penatalaksanaan.............................................................................................24
2.6.1 Medikamentosa………………………………………………………24
2.6.2 Non Medikamentosa…………………………………………………25
2.7 Prognosis.......................................................................................................25
2.8 Resume..........................................................................................................25
2.9 Follow Up......................................................................................................26

BAB III TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................29


3.1 Definisi..........................................................................................................29
3.2 Epidemologi Sepsis.......................................................................................31
3.3 Etiologi Sepsis...............................................................................................32
3.4 Patofisiologi Sepsis.......................................................................................33
3.5 Penegakan Diagnosis Sepsis..........................................................................37
3.6 Kriteria Sepsis...............................................................................................39
3.7 Diabetes Melitus............................................................................................41
3.8 Tatalaksana....................................................................................................44

BAB IV ANALISIS KASUS...................................................................................56


4.1 Anamnesis.....................................................................................................56
4.2 Pemeriksaan Penunjang.................................................................................57

BAB V KESIMPULAN...........................................................................................63

BAB VI DAFTAR PUSTAKA................................................................................66

3
BAB I

PENDAHULUAN

HELLP merupakan sebuah singkatan diciptakan pada tahun 1982 untuk

menggambarkan sindrom yang terdiri Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low

Platelets Count yang artinya adalah hemolisis dan peningkatan fungsi hepar dan

trombositopenia. Sindrom ini dianggap varian preeklampsia, dapat terjadi sendiri

atau dalam hubungan dengan preeklampsia.

Hemolisis belum diketahui penyebabnya, kemungkinan disebabkan oleh

kerusakan sel hati yang mengakibatkan kenaikan kadar produk penghancuran

fibrin, menyebabkan penurunan kadar dari faktor pembekuan darah di plasma dan

terjadinya trombositopenia ataupun hemolisis disebabkan eritrosit mengalami

trauma sehingga berubah bentuknya dan cepat mengalami hemolisis.

Kenaikan dari kadar enzim hepar akibat dari nekrosis hemoragia periportal

pada bagian lobulus hepar. Perdarahan dari lesi ini dapat meluas ke bawah

kapsula hepar dan membentuk hematoma subkapsuler dapat berlanjut

Trombositopenia akibat dari vasospasme berat menyebabkan pecahnya

lapisan endotel yang disertai dengan perlengketan trombosit dan penimbunan

fibrin ataupun akibat dari proses imunologis. Trombositopenia berat <100.000 per

µl merupakan tanda buruk bagi ibu hamil.

70% Kejadian HELLP sindrom paling sering terjadi pada saat usia

kehamilan 27 – 35 minggu dan 30% terjadi pasca persalinan. Timbulnya sindroma

4
HELLP pada kehamilan memiliki risiko yang tinggi pada maternal dan perinatal.

Dilaporkan kematian maternal sebesar 24% dan kematian perinatal berkisar 30-

40%. Sindroma HELLP secara signifikan terbanyak pada wanita berkulit putih dan

wanita keturunan eropa. Sindroma HELLP telah terbukti terjadi pada kelompok

usia ibu yang lebih tua, dengan usia rata-rata 25 tahun.

Persalinan merupakan penanganan definitif bagi HELLP syndrome.


HELLP syndrome berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas maternal dan
neonatal. Tatalakasana defintif komplikasi dari penyakit ini dapat mengancam
nyawa seperti kaogulasi intravaskular menyeluruh, plasenta previa, transfusi
darah, efusi pleura, edema parut dan gagal ginjal akut. Namun, di sisi lain
terjadinya kematian perinatal pada sindrom HELLP cukup tinggi disebabkan
persalinan preterm.

5
BAB II

LAPORAN KASUS

1.1. IDENTITAS

Nama : Ny. AN
Umur : 29 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Swasta
Agama : Islam
Alamat : Pasuruan.
Masuk RS : 11 Agustus 2014 pukul 21.53 WIB

1.2. ANAMNESIS
Keluhan utama
Kejang
Riwayat Penyakit Sekarang
Kurang lebih sehari yang lalu sebelum masuk RS pasien yang
tengah hamil merasa pusing tapi tetap dirumah. Kemudian sehari
kemudian pada jam 19.00 pasien mengeluh pusing dan mual namun
pasien tetap di rumah. Pada jam 21.00 pasien tiba-tiba kejang kurang
lebih selama 2 menit. Setelah kejang pasien sadar kembali dan dibawa
ke UGD RSUD BANGIL. Pasien memiliki riwayat pusing + , mual + ,
Muntah + , pandangan kabur - , nyeri ulu hati -. Riwayat tekanan darah
tinggi sebelum dan selama hamil disangkal. Riwayat kedua kaki bengkak
sejak 3 bulan terakhir.

Riwayat Persalinan Lalu :


1. Aterm / 2800 gr / Spt.B / SpOG / P / 4 th / Hidup
2. Hamil ini .

6
Riwayat ANC :
1. SpOG 4x, terakhir kontrol 5 November 2014 . TD normal .
2. HPHT : 4-3-2014
3. TP : 11-12-2014
4. Usia Kehamilan : 37-38 minggu

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak ada riwayat penyakit kencing manis, asma, maupin
ginjal. Sebelum dan selama hamil pasien tidak ada menderita tekanan
darah tinggi. Riwayat kejang sebelumnya tidak ada.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada dalam keluarga yang menderita kencing manis, asma,
hipertensi. Tidak ada anggota keluarga yang pernah menderita penyakit
yang sama.

Riwayat Haid
Menarche pada usia 12 tahun, siklus haid teratur setiap bulan
(kurang lebih 30 hari), lamanya 7 hari. HPHT 43 2014.

Riwayat Perkawinan
Pasien menikah 1 kali, lama perkawinan 5 tahun.

1.3. PEMERIKSAAN FISIK


STATUS PRESENT
1. Keadaan Umum : Lemah
2. GCS : 446
3. Tanda Vital
 Tekanan Darah : 197/108 mmHg
 Nadi : 108 kali/menit
 Respirasi : 20 kali/menit
 Suhu : 36,5 oC
Skor Tanda Vital = 16

7
4. TB = 155 cm
BB= 75 kg
BMI= 31,22 kg/m2
5. Kepala dan Leher :
Edema palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-) sklera ikterik (-/-)
6. Thorax :
Pulmo Ins : Bentuk simetris, gerak nafas simetris
Pal : Fremitus raba simetris
Per : sonor/sonor
Aus : Suara nafas vesikuler, rhonki (-/-) wheezing (-/-).
Cor I : iktus kordis tidak terlihat
P : Thrill (-)
P : Batas kiri ICS IV midclavicular line sinistra
A : S1 dan S2 tunggal
7. Abdomen
- TFU : 29 cm
- Letak bujur U
- DJJ : 164 x/i
- TBJ : 2635 gr
- His (-) neg
8. Genitalia Eksterna
- GE : Flux (-) Fluor (-)
- Dipstick : +3
9. Ekstremitas
Atas : Edema (-/-), parese (-/-), akral dingin (-/-)
Bawah : edema (+/+), parese (-/-), akral dingin (-/-)

Pemeriksaan Dalam (Setelah Pemberiaan SM)


Pembukaan 0-1 cm
Presentasi kepala
Eff 25 %
Hodge I
Ketuban +
Denominator sulit di evaluasi

8
UPD dalam batas normal

1.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Darah Rutin
Hb : 14,6 g/dL
Leukosit : 26,36 x 103/uL
Eritrosis : 5,03 x 106 juta/uL
Hematokrit : 41,20 %
Trombosit : 126.000 x 103/uL

Kimia Darah
GDS : 115 mg/dL
SGOT : 345 U/L
SGPT : 259 U/L
Ureum : 29,60 mg/dL
Kreatinin : 0,70 mg/dL
Asam Urat : 5,6 mg/dL
Natrium : 132 mmol/L
Kalium : 4,03 mmol/L
Chlorida : 110 mmol/L
LDH : 1589 U/L

Urinalisa
Kekeruhan : agak keruh
Warna : kuning
BJ : >=1,030
pH : 6,0
Protein : 3+
Glukosa : negatif
Urobilinogen : 1+
Bilirubin : negatif
Darah Samar : 3+

9
USG
- Tampak janin intrauterin Tunggal Hidup letak bujur kepala di bawah
- BPD : 89,1 (36 wod)
- AC : 817 (35w4d)
- FL : 64,5 (33w2d)
- EFW : 2637 gr
- AFL : 9,2
- Plac. Implantasi di corpus pors maturasi gr II

NST
- NST : patologis
- Baselinerate : 160 bpm
- Variability : <5bpm
- Ace (-) Dece (-)
1.5. DIAGNOSIS
G2P1001Ab000 gr. 37-38 mg T/H
+ Eklampsia
+ HELLP Syndrome
+ Fetal compromised
+ Obesitas
1.6. PENATALAKSANAAN
PDx: Lab DL , FH , SGOT, SGPT, LDH tiap 12 jam
PTx : - Resusitasi intrauterin
- O2 10 lt/1 , NRBM
- tidur miring kiri
Injeksi SM full dose :
SM 20 % 4 gr iv , bolus pelan
SM 40% 10 gr IM, bokong kanan-bokong kiri
Dilanjutkan SM maintenance : sm 40% 5 gr/6 jam jika kontraindikasi (-)
Usul terminasi dengan SC cito + IUD pasca placenta
IVFD : RD5 life line
Persiapan operasi :
 Injeksi Ampicilin 1gr iv (skin test )

10
 Inj ranitidine 1 amp iv
 Inj metoclopramid 1 amp iv
 Nifedipin 3 x 10 mg
 Metildopa 3 x 500 mg
 Dexamethasone rescue 10 mg-10 mg – 5 mg – 5 mg – Jadwal
 Pasang DC
 Daftar OK, sedia darah
 Konsultasi anestesi
 KIE
 Surat Persetujuan (Informed Consent)
Planning Monitoring :
Observasi Vital Sign, Keluhan, His, DJJ, Produksi urine, reflex patella,
balance cairan/6 jam, tanda-tanda impending eklampsia

11
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Defenisi

Sindroma HELLP adalah singakatan dari Hemolysis, Elevated Liver

Enzyme, Low Platelets Count yang artinya adalah hemolisis dan peningkatan

fungsi hepar dan trombositopenia. Kumpul gejala ini disebut sebagai sindrom

yang berpotensi mengancam nyawa yang berhubungan dengan preeklamsi.

3.2 Patofisiologi

Patofisiologi sindrom HELLP tidak jelas. Beberapa berteori bahwa, karena

HELLP adalah varian dari preeklampsia, patofisiologi berasal dari sumber

yang sama. Pada preeklamsia, perbaikan vaskular vaskular yang tidak tepat

selama minggu 16-22 kehamilan dengan gelombang kedua invasi trofoblastik

ke dalam desidua menyebabkan perfusi plasenta tidak adekuat.

Plasenta hipoksia kemudian melepaskan berbagai faktor plasenta seperti

reseptor faktor pertumbuhan endotel vaskular endotel-1 (sVEGFR-1), yang

kemudian mengikat faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF) dan faktor

pertumbuhan plasenta (PGF), yang menyebabkan sel endotel dan disfungsi

plasenta. Hasilnya adalah hipertensi, proteinuria, dan peningkatan aktivasi

platelet dan agregasi. 

12
Selanjutnya, aktivasi kaskade koagulasi menyebabkan konsumsi trombosit

karena adhesi pada endotelium yang rusak dan teraktivasi,

oleh  penurunan eritrosit saat mereka melintasi kapiler yang dilengkapi dengan 

endapan trombosit-fibrin. Cedera mikrovaskular multiorgan dan nekrosis hati

menyebabkan disfungsi hati  berkontribusi pada perkembangan HELLP. 

Teori lain termasuk kesalahan bawaan metabolisme oksidatif asam lemak

sekunder akibat mutasi asam lemak rantai panjang dan menengah, yang

menyebabkan kerusakan hati sekunder akibat oksidasi mitokondria asam lemak

yang tidak mencukupi.

Pada penelitian lain menyebutkan bahwa disfungsi sistem komplemen yang

menyebabkan kerusakan pada endotel sehingga terjadi kerusakan pada

pembuluh darah hepar pada pasien dengan sindrom HELLP.

3.3 Faktor Risiko

Faktor risiko sindroma HELLP berbeda dengan preeklampsi, pasien sindrom

HELLP secara bermakna lebih tua (rata-rata umur 25 tahun) dibandingkan pasien

preeklampsi-eklampsi tanpa sindrom HELLP (rata- rata 19 tahun)

Sindroma HELLP Pre – eklampsi


Multipara Nullipara
Usia ibu >25 tahun Usia ibu < 20 tahun atau >40 tahun
Ras kulit putih Riwayat keluarga pre – eklampsi
Riwayat Obstetri Jelek ANC yang minimal
Diabetes Melitus
Hipertensi Kronik
Kehamilan Multipel

13
Tabel 1. Faktor Resiko Sindroma HELLP

14
3.4 Manifestasi Klinis

Pasien sindroma HELLP dapat mempunyai gejala dan tanda yang sangat

bervariasi, dari yang berniali daignostik sampai semua gejala dan tanda pada

pasien preeklampsi-eklampsi yang tidak menderita sindrom HELLP.

Pasien biasanya muncul dengan keluhan nyeri epigastrium atau nyeri perut kanan atas

(90%), beberapa mengeluh mual dan muntah (50%), yang lain bergejala seperti infeksi

virus. Sebagian besar pasien (90%) mempunyai riwayat malaise selama beberapa hari

sebelum tanda lain. Mual dan atau muntah dan nyeri epigastrium diperkirakan akibat

obstruksi aliran darah di sinusoid hati, yang dihambat oleh deposit fibrin intravaskuler.

Pasien sindrom HELLP biasanya menunjukkan peningkatan berat badan yang bermakna dengan

edema menyeluruh. Hal yang penting adalah bahwa hipertensi berat (sistolik160

mmHg, diastolik 110 mmHg) tidak selalu ditemukan. 2,4,5,6

3.5 Diagnosis

Kriteria diagnosis sindroma HELLP berdasarkan hasil pemeriksaan

laboratorium antara lain klasifikasi Mississippi dan Tennessee. Bila

dikombinasikan kedua klasifikasi ini maka klas 1 termasuk kelompok sindroma

HELLP komplit sedangkan klas 2 dan 3 merupakan sindroma HELLP parsial.

Sistem Mississippi Sistem Tennessee


- Klas 1 Trombosit ≤ 50 K/mm3 Sindrom Komplit:
- Klas 2 Trombosit > 50 - ≤100 - Hemolisis (gambaran sel
K/mm3 abnormal)
- Klas 3 Trombosit >100 - ≤ 150 - AST ≥ 70 IU/L
K/mm3 - Platelet < 100 K/mm3
- LDH ≥ 600 IU/L
- AST dan atau ALT ≥ 40IU/L Sindroma Parsial:
- Hemolisis (gambaran sel
Terdapat satu atau dua tanda diatas
abnormal)

15
- LDH ≥ 600 IU/L
Tabel 2. Kriteria Diagnosis Sindroma HELLP 2

3.6 Penatalaksanaan

a. Diagnosis dini sangat penting mengingat banyaknya penyakit yang mirip

dengan sindroma HELLP

b. Pengobatan sindroma HELLP juga harus memperhatikan cara-cara

perawatan dan pengobatan pada preeklampsia dan eklampsia

c. Pemberian cairan intravena harus sangat hati-hati karena sudah terjadi

vasospasme dan kerusakan sel endotel.

d. Bila hendaknya dilakukan section caesarea dan bila trombosit < 50.000/cc,

maka perlu diberikan transfusi trombosit. Bila trombosit < 40.000/cc, dan

akan dilakukan section caesarea maka perlu diberi transfusi darah segar

e. Dapat pula diberikan “plasma exchange” dengan “fresh frozen plasma”

dengan tujuan menghilangkan sisa-sisa hemolisis mikroangiopati.

f. Pemberian double strength dexamethasone diberikan 10 mg IV tiap 12 jam

segera setelah diagnosis sindroma HELLP ditegakkan. Kegunaan

pemberiannya yaitu untuk meningkatkan pematangan paru pada kehamilan

preterm dan dapat mempercepat perbaikan gejala klinis dan laboratoris.

g. Pada sindroma HELLP post partum diberikan dexamethasone 10 mg IV

setiap 12 jam disusul pemberian 5 mg dexamethasone 2 kali dalam selang

waktu 12 jam.

h. Perbaikan gejala klinik setelah pemberian dexamethasone dapat diketahui

dengan :

- Meningkatnya produksi urin

16
- Meningkatnya trombosit

- Menurunnya tekanan darah

- Menurunnya kadar LDH dan AST

i. Bila terjadi ruptur hepar, sebaiknya segera dilakukan pembedahan

lobektomi.

j. Sikap terhadap kehamilan pada sindroma HELLP, lahirkan bayi tanpa


memandang usia kehamilan. Disarankan mengunakan general anesthesia
karena anestesi spinal dapat memperburuk trombositopnia

k. 29
l. Sikap terhadap
kehamilan pada
sindroma HELLP, tanpa
memandang umur
m. kehamilan, harus
segera diakhi
n. 29
o. Sikap terhadap
kehamilan pada

17
sindroma HELLP, tanpa
memandang umur
p. kehamilan, harus
segera diakhiri

18
ALGORITMA TATALAKSANA SINDROMA HELLP 5

Umur Umur Umur


kehamilan kehamilan kehamilan
< 32 minggu 32 – 34 < 34 minggu
minggu

Pemberian Pemberian
Kortikosteroid Kortikosteroid

Observasi Penanganan
respon klinik konservatif Terminasi

Konsul pasien untuk mendapatkan


pertolongan jika kehamilan
dilanjutkan 2 minggu untuk
kematangan paru janin

Kondisi pasien Kondisi pasien Transfer pasien kefasilitas pusat


memburuk stabil perawatan tersier yang mempunyai
NICU

Kondisi pasien Kondisi pasien


memburuk membaik

Pantau pasien di fasilitas


pusat perawatan tersier
Terminasi

19
3.7 Prognosis

a. Pada kebanyakan pasien akan stabil dalam waktu 24 – 48 jam dan sebagian

dengan penyakit klas 1 lebih lama waktu pemulihan post partum

b. Tingkat kekambuhannya adalah 2% - 27% pada kehamilan berikutnya

c. Pasien dengan resiko pre – eklampsi atau hipertensi dalam kehamilan dapat

beresiko melahirkan premature, pertumbuhan janin terhambat, dan solusio

plasenta pada kehamilan berikut

20
BAB IV

ANALISA KASUS

4.1. Analisa Kasus

Keluhan pada Ny. S dengan sepsis dan diabetes melitus tipe 2 dapat berupa

demam atau hipotermia, peningkatan laju nadi, takipneu, hiperglikemia. Keluhan

tipikal tersebut didapat pada pasien Ny. S yaitu berupa keluhan penurunan

kesadaran disertai demam tinggi yang memburuk seiring berjalannya waktu dan

sesak napas serta peningkatan laju nadi. Terdapat faktor risiko yang didapat pada

pasien tersebut, yaitu adanya riwayat diabetes mellitus dan riwayat demam yang

berulang sejak 2 bulan terakhir. Diabetes mellitus dikaitkan dengan peningkatan

kerentanan terhadap infeksi dan sepsis. Neutrofil chemotaxis, adhesi dan

intercelullar killing merupakan kelainan respon host yang dikaitkan dengan efek

hiperglikemia dan predisposisi infeksi.19

Selain itu juga beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan sepsis

diantaranya yaitu usia diatas 65 tahun dengan insidensi cenderung meningkat pada

usia tersebut, jenis kelamin juga berhubungan dengan tingkat kejadian sepsis

dimana laki-laki lebih berisiko 2 kali menderita sepsis dibandingkan wanita,

penyakit komorbid, genetik, terapi kortikosteroid, kemoterapi dan obesitas.18

Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien didapatkan kelainan berupa

peningkatan suhu tubuh pasien yaitu 38,9oC disertai peningkatan laju nadi yaitu

110x/menit, sesak nafas, perut kembung, lemas dan penurunan kesadaran.

21
Penurunan kesadaran pada pasien menunjukan bahwa terjadi perburukan keadaan

pasien adanya infeski dari tubuhnya.19

Pada pasien dilakukan pemeriksaan darah rutin dan didapatkan bahwa terjadi

peningkatan leukosit (leukositosis) yaitu 22,12 x 10 3/uL (H) yang menunjukkan

adanya respon inflamasi terhadap infeksi dari tubuh pasien. Peningkatan cepat ini

dipacu oleh adanya infeksi yang menyebabkan pelepasan leukosit khususnya

neutrofil dari sumsum tulang dan juga karena kontrol granulosit - macrophage

colony stimulating factor (GCSF) yang dikeluarkan oleh limfosit dan monosit pada

saat terjadi infeksi.19

Didapatkan kadar hemoglobin yang tidak normal yaitu 4,0 g/dL (L)

menunjukkan bahwa adanya gangguan pada perfusi jaringan. Untuk memiliki

kapasitas pembawa oksigen yang cukup pasien membutuhkan jumlah sel darah

merah yang cukup. Pada pasien dengan sepsis kadar hematokrit dan hemoglobin

akan bervariasi karena pergesaran cairan antara kompartemen dalam tubuh, dan

seiring waktu nilai sel darah merah akan lebih rendah karena produksi sel darah

merah dan kelangsungan hidupnya akan menurun selama sepsis18,19.

Terjadi penurunan trombosit pada pasien ini yaitu 60 x 10 3/uL (L) yang

menunjukkan disfungsi organ dimana respon tubuh terhadap inflamasi sistemik

adalah meningkatkan jumlah trombosit sebagai kompensasi terhadap kebocoran

vaskular akibat inflamasi sistemik tersebut yang pada akhirnya dapat

mengakibatkan penurunan jumlah trombosit secara keseluruhan. Mediator

inflamasi menyebabkan ekspresi tissue factor (TF) yang secara langsung

mengaktifkan jalur koagulasi ekstrinsik dan melalui lengkung umpan balik secara

22
tidak langsung juga akan mengaktifkan jalur instrinsik. Hasil akhir aktivasi kedua

jalur tersebut saling berkaitan dan sama, yaitu protrombin diubah menjadi trombin

dan fibrinogen diubah menjadi fibrin. Akibat konsumsi berlebihan faktor-faktor

koagulasi ini maka sepsis sering menyebabkan komplikasi yang disebut

Disseminated Intravascular Coagulation (DIC). Trombosit akhirnya dipakai

secara berlebihan dalam proses DIC tersebut sehingga menyebabkan jumlahnya

berlebihan dalam proses DIC tersebut sehingga menyebabkan jumlahnya

berkurang dalam sirkulasi. Trombositopenia juga terjadi akibat proses destruksi

yang berlebihan, serta penekanan pada sumsum tulang sehingga terjadi kegagalan

produksi trombosit. Trombositopenia ini sering merupakan petanda awal dari

sepsis.18

Penurunan albumin pada pasien ini yaitu 1,79 mg/dL (L) menunjukkan bahwa

kadar albumin yang abnormal merupakan faktor risiko terjadinya sepsis. Albumin

serum yang rendah merupakan penanda non spesifik penyakit. Penyakit kritis

mengubah distribusi albumin antara kompartemen intravaskular dan

ekstravaskular. Ada juga perubahan dalam tingkat sintesis dan degradasi protein.

Konsentrasi serum albumin akan menurun sering kali dari awal perjalanan penyakit

kritis.

Penatalaksanaan sepsis meliputi resusitasi inisial, terapi antimikroba yang

sesuai, mengontrol sumber infeksi dengan tindakan drainase atau bedah bila

diperlukan.4

a. Resusitasi Inisial

23
Resusitasi harus segera dilakukan bila didapatkan keadaan hipoperfusi.

Selama 6 jam pertama resusitasi, tujuan dari resusitasi pada pasien sepsis

induced hypoperfusion adalah :

a) CVP 8 – 12 mm Hg

Pasien yang menggunakan ventilasi dengan diketahui komplians

ventrikular yang menurun dan pasien dengan tekanan abdominal tinggi,

target CVP nya lebih tinggi yaitu 12-15 mmHg.

b) MAP ≥ 65 mm Hg

c) Urine output ≥ 0.5 mL·kg·hr

d) Saturasi oksigenisasi superior vena cava (Scvo2) atau mixed venous

oxygen saturation

(SvO2) 70% or 65%,

Target resusitasi adalah untuk menormalkan laktat pada pasien dengan level

laktat meningkat yang merupakan marker dari hipoperfusi jaringan. Terapi cairan

(kristaloid dan/atau koloid), vasopresor/inotropik, dan transfusi bila diperlukan.

Bila dalam 6 jam resusitasi, saturasi oksigen tidak mencapai 70% atau mixed

venous oxygen saturation (SvO2) kurang dari 70% dengan resusitasi cairan,

transfusi PRC untuk mencapai hematokrit >30% dan/atau pemberian dobutamin

(sampai maksimal 20 μg/kg/menit)4,17

Pada pasien diberikan terapi cairan diantaranya :

24
1. Larutan Ringer Laktat atau NaCL 0,9%

2. Transfusi PRC 2 kolf kurang lebih 500 cc

3. Pemberian raivas dengan dosis 6,5 mcg diencerkan dalam 50cc

b. Terapi mikroba

Terapi antibiotik intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak

diketahui sepsis berat tanpa syok septik dan syok septik, setelah kultur

diambil. Penundaan terapi antimikroba berhubungan dengan peningkatan

mortalitas. Terapi empirik inisial berupa satu atau lebih obat yang memiliki

aktivitas melawan patogen bakteri atau jamur atau virus dan dapat penetrasi

ke tempat yang diduga sumber sepsis. Terapi antimikroba empiris

tergantung pada riwayat penyakit pasien meliputi intoleransi obat,

penggunaan antibiotik sebelumnya (3 bulan), penyakit penyerta, sindrom

klinis, dan patogen berdasarkan komunitas dan rumah sakit. Meropenem 3

x 1 Menghambat aktivitas bakteri dengan menghambat sintesis dinding sel

gram- positif and gram-negatif. Meropenem adalah salah satu jenis

antibiotik yang digunakan untuk mengobati berbagai jenis infeksi yang

khusus disebabkan oleh bakteri. Obat ini dapat digunakan untuk mengobati

kondisi neutropenia febril, yaitu kondisi demam yang disertai dengan

penurunan jumlah sel darah putih jenis netrofil. Golongan: Antibiotik, Beta-

Lactam, Carbapenem.

Indikasi: Bacterial Meningitis, infeksi kulit dan/atau Jaringan Subkutan

(Parah), Infeksi abdomen (Parah). Kontra Indikasi: Reaksi anafilaksis dari

penggunaan antibiotik beta laktam, hipersensitif terhadap meropenem atau

25
pada komponen lain produk atau obat lain pada kelas yang sama (seperti

karbapenem).

c. Terapi suportif

1. Oksigenasi

Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan

penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik

segera dilakukan.

2. Terapi cairan

Kristaloid adalah cairan pertama yang sebagai pilihan untuk resusitasi

pada sepsis berat dan syok septik. Oksigenasi pada keadaan hipoksemia

berat dan gagal napas bila disertai dengan penurunan kesadaran atau

kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera dilakukan.

1. Kontrol gula darah

Hipergilkemia seperti yang terjadi pada diabetes melitus dapat

merusak performa Polymorphonuclear (PMN). Seperti diketahui

bahwa PMN ini berperan besar dalam innate immune system. Pada

pasien diabetes melitus telah diteliti bahwa terjadi penurunan fungsi

sel PMN, aderens ke endotel, kemotaksis, dan fagositosis dan

kemampuan bakterisid. Hiperglikemia terbukti memperpanjang

durasi respon sitokin. Hal ini diperkirakan berhubungan diabetes

tipe 2 yaitu ditemukan perpanjangan waktu dalam produksi sitokin.

Diabetes melitus berdampak langsung terhadap adaptive immune

26
system, terjadi penurunan proliferasi dan gangguan fungsi sel T

yang berpengaruh terhadap produksi antiinflamasi dan proinflamasi

serta defek pada Antigen Presenting Cell (APC). Mekanisme lain

yang diduga berkaitan dengan perkembangan sepsis pada pasien

diabetes melitus adalah bahwa diabetes melitus memicu disfungsi

endotel dan procoagulant state.4,18

BAB V

KESIMPULAN

Sepsis adalah sindroma penyakit akibat infeksi yang mengancam jiwa, ditandai

dengan gangguan fungsi organ akibat regulasi respon tubuh terganggu. Sindrom ini

merupakan suatu kelanjutan dari inflamasi yang memburuk dimulai dari SIRS

menjadi sepsis, sepsis berat dan septik syok. Sepsis adalah adanya respon sistemik

terhadap infeksi di dalam tubuh yang dapat berkembang menjadi sepsis berat dan

syok septik. Sepsis berat dan syok septik adalah masalah kesehatan utama dan

menyebabkan kematian terhadap jutaan orang setiap tahunnya. Sepsis Berat adalah

sepsis disertai dengan kondisi disfungsi organ, yang disebabkan karena inflamasi

sistemik dan respon prokoagulan terhadap infeksi. Syok Septik didefinisikan

27
sebagai kondisi sepsis dengan hipotensi refrakter (tekanan darah sistolik <90

mmHg, mean arterial pressure < 65 mmHg, atau penurunan > 40 mmHg dari

ambang dasar tekanan darah sistolik yang tidak responsif setelah diberikan cairan

kristaloid sebesar 20 sampai 40 mL/kg).6,7

Mayoritas kasus sepsis disebabkan oleh infeksi bakteri, penyebab dari sepsis

terbesar adalah bakteri gram (-) dengan presentase 60 -70 % kasus, yang

menghasilkan berbagai produk dapat menstimulasi sel imun. Sel tersebut akan

terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi.Mediator inflamasi merupakan

mekanisme pertahanan pejamu terhadap infeksi dan invasi mikroorganisme. Pada

sepsis terjadi pelepasan dan aktivasi mediator inflamasi yang berlebih, yang

mencakup sitokin yang  bekerja lokal maupun sistemik, aktivasi netrofil, monosit,

makrofag, sel endotel, trombosit dan sel lainnya, aktivasi kaskade protein plasma

seperti komplemen, pelepasan proteinase dan mediator lipid, oksigen dan nitrogen

radikal.13,14 

Kriteria klinis pasien sepsis dapat diketahui dengan menggunakan skor

Sequential (Sepsis-Related) Organ Failure Assessment (SOFA). Apabila pasien

yang mengalami infeksi didapatkan skor SOFA > 2 atau 2 maka sudah tegak

diagnosis dari sepsis. Ketika mendapatkan pasien infeksi perlu dilakukan skrining

kemungkinan terjadinya sepsis. Metodenya menggunakan quick SOFA (qSOFA).

Skoring ini lebih sederhana serta tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium.

Skor qSOFA dinyatakan positif apabila terdapat 2 dari 3 kriteria.20 

Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai

oleh tingginya kadar gula (glukosa) dalam darah yang disebabkan kelainan dalam

28
sekresi insulin, aksi insulin atau keduanya. Diabetes mellitus sering disertai dengan

infeksi dan tidak jarang dengan infeksi berat atau sepsis. Diabetes mellitus (DM)

menginduksi defisiensi imun melalui beberapa mekanisme. Salah satunya yaitu

peningkatan kadar gula darah akan mengganggu fungsi fagosit dalam chemotaxis

dan imigrasi sel-sel inflamasi yang akan terakumulasi di tempat peradangan.4

Penatalaksanaan sepsis meliputi resusitasi inisial, terapi antimikroba yang

sesuai,  mengontrol  sumber  infeksi  dengan  tindakan  drainase  atau bedah bila

diperlukan. Diperlukan pula terapi suportif, seperti bila terjadi respons imun

maladaptif host terhadap infeksi dapat diberikan vasopresor dan inotropik, terapi

suportif terhadap kegagalan  organ, gangguan  koagulasi dan  terapi  imunologi. 

Skrining  sumber  infeksi  menjadi  esensial  dalam penanganan pasien sepsis,

diperlukan ketelitian  dalam menduga mikroorganisme patogen yang    

menjadi penyebab (berdasarkan pengalaman klinis dan pola kuman di

RS setempat), sebagai panduan  dalam memberikan terapi antimikroba empirik.18

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Aloizos.S et al, 2012, HELLP syndrome: Understanding and management of


a pregnancy-specifi c disease, Jonal of Obstetrics and Gynaecology. Informa
UK: 331–337 Diunduh dari:
http://web.a.ebscohost.com/ehost/detail/detail?vid=21&sid=f56b5ffd-ad7c-
4142-9fc5-744418dd12ce
%40sessionmgr4004&hid=4214&bdata=JnNpdGU9ZWhvc3QtbGl2ZQ%3d
%3d#AN=23654309&db=mdc
2. Angsar, M. Hipertensi Dalam Kehamilan Edisi II. FK-UNAIR. 2010: 10-19
3. Bailis A, Witter F. Hypertensive Disorders of Pregnancy. In: The Jhons
Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics, 3rd Ed. 2012
4. Clinical Guidlines Obstetrics and midwifery, 2014, Complication of
Pregnancy Hypertention in Pregnancy, King Edward Memorial Hospital
diunduh dari:www.kemh.health.wa.gov.au/.../O&G_guidelines/.../5146.pdf
5. Haram.K, Einar.S and Ulrich.A, 2013, The HELLP syndrome: Clinical
issues and management. A Review, BMC Pregnancy and Childbirth. Oslo:
1471-2393-9
Diunduh dari:
http://web.a.ebscohost.com/ehost/detail/detail?vid=23&sid=f56b5ffd-ad7c-
4142-9fc5-744418dd12ce
%40sessionmgr4004&hid=4214&bdata=JnNpdGU9ZWhvc3QtbGl2ZQ%3d
%3d#AN=19245695&db=mdc
6. Mao.M et al, 2014, Corticosteroid Therapy for Management of Hemolysis,
Elevated Liver Enzymes, and Low Platelet Count (HELLP) Syndrome, Biomed
central. Oslo Di unduh dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4672720/

30
31

Anda mungkin juga menyukai