Anda di halaman 1dari 37

Laporan Kasus

G1P0A0 HAMIL ATERM INPARTU KALA 1


FASE LATEN DENGAN PEB JTH PRESKEP

Oleh:
dr. Maya Zulaekha

Pembimbing:
dr. Ibrahim Muhammad

RUMAH SAKIT AR BUNDA LUBUKLINGGAU


2021
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus
G1P0A0 HAMIL ATERM INPARTU KALA 1 FASE LATEN DENGAN
PEB JTH PRESKEP
Oleh:
dr. Maya Zulaekha
Pembimbing:
dr. Ibrahim Muhammad

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat mengikuti kegiatan
program intersip di RS AR Bunda Lubuklinggau.
Lubuklinggau, November 2021

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang


telah menciptakan manusia dengan akal dan budi dan berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini. Shalawat
beriring salam penulis sampaikan kepada nabi besar Muhammad SAW,
atas semangat perjuangan dan panutan bagi umatnya.

Adapun tugas laporan kasus ini berjudul “G1P0A0 HAMIL


ATERM INPARTU KALA 1 FASE LATEN DENGAN PEB JTH
PRESKEP”. sebagai salah satu syarat mengikuti kegiatan program
intersip di RS AR Bunda Lubuklinggau. Penulis menyadari bahwa
laporan kasus ini belum sempurna.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat
dan terima kasih terutama kepada dr. Ibrahim Muhammad yang telah
memberikan bimbingan selama penyusunan laporan kasus ini. Penulis
berharap semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua pihak
dan perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga kita semua
selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin.
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari
kesempurnaan. Saran dan kritik dari dosen pembimbing dan teman-
teman akan penulis terima dengan tangan terbuka, semoga dapat
menjadi bahan pembelajaran dan bekal di masa mendatang.

Lubuk Linggau, November 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN......................................................................................... ii
KATA PENGANTAR...................................................................................................... iii
DAFTAR ISI...................................................................................................................... iv
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................................... 1
BAB II STATUS PASIEN................................................................................................. 2
BAB III TINJAUAN TEORI ............................................................................................ 10
BAB IV ANALISA KASUS............................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................... 35

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia masih merupakan masalah
kesehatan dan merupakan salah satu yang tertinggi di negara Asia Tenggara.
Tingginya AKI mencerminkan kualitas dan aksesibilitas dasilitas pelayanan
kesehatan selama hamil dan nifas. AKI di Indonesia masih jauh dari target
yang ingin dicapai MDG.1 Preeklampsia/eklampsia merupakan penyebab
kedua terbanyak kematian ibu setelah perdarahan. Prevalensi
preeklampsia/eklampsia di negara berkembang jauh lebih tinggi dibandingkan
di negara maju. Belum ada keseragaman dalam melakukan penanganan
preeklampsia/eklampsia. Akibat yang ditimbulkan oleh
preeklampsia/eklampsia bukan hanya masalah kedokteran yang kompleks
baik jangka pendek maupun jangka panjang, namun juga masalah ekonomi
besar.1
Preeklampsia Berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai
dengan timbulnya hipertensi ≥ 160/110 mmHg disertai proteinuria dan edema
pada kehamilan 20 minggu atau lebih. Preeklampsia awitan dini
(PEAD/Early-onset Preeclampsia) dan Preeklampsia Awitan Lambat
(PEAL/Late-onset Preeclampsia). 2,3,4
Kriteria lain preeklampsia berat yaitu
bila ditemukan gejala dan tanda disfungsi organ, seperti kejang, edema paru,
oliguria, trombositopeni, peningkatan enzim hati, nyeri perut epigastrik atau
kuadaran kanan atas dengan mual dan muntah serta gejala serebral menetap
seperti sakit kepala, pandangan kabur, penurunan visus atau kebutaan kortikal
dan penurunan kesadaran; kondisi tersebut disebut impending eclampsia.2,3,4

1
BAB II
STATUS PASIEN

2.1 Identitas Pasien


A. Identifikasi Pasien
Nama :Ny.wenny
Umur :27 tahun
Alamat : lubuk linggau
Agama : Islam
Pendidikan : SLTP
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
MRS : 21/11/2021
No. RM : 21018521

2.2 Anamnesis
A. Keluhan Utama
Mules mau melahirkan dengan darah tinggi.

B. Riwayat Perjalanan Penyakit


Pasien G2P0A0 hamil 37-38 minggu datang dengan keluhan mules mau
melahirkan, hamil cukup bulan dengan darah tinggi, ibu mengeluhan
perut mules seperti mau melahirkan yang menjalar ke pinggang belakang
serta adanya keluar darah, lendir dan pasien menyangkal adanya air-air,
dari jalan lahir. Ibu menyatakan mengalami darah tinggi saat hamil, darah
tinggi didapatkan pada saat hamil bulan ke-8. Ibu menyangkal adanya
darah tinggi pada kehamilan awal, riwayat darah tinggi sebelum hamil
disangkal.

2
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Penyakit jantung (-) Hipertensi (-)
Penyakit Ginjal (-) Diabetes mellitus (-)
Asma (-) Tuberkulosis (-)

D. Riwayat Penyakit Keluarga


Penyakit jantung (-) Hipertensi (-)
Penyakit Ginjal (-) Diabetes mellitus (-)
Asma (-) Tuberkulosis (-)

E. Riwayat Menstruasi
Usia haid Pertama : 13 tahun
Siklus haid : setiap 28 hari, teratur
Lama haid : 4-6 hari
Keluhan saat haid :-
HPHT : 29/08/ 2020
TP : 22/ 11/2021

F. Riwayat Perkawinan
Lama Pernikahan : 2 tahun
Usia Menikah : 25 tahun

G. Riwayat Kontrasepsi
Belum pernah memakai alat kontrasepsi sebelumnya.

H. Riwayat ANC
Pasien melakukan ANC 4 kali di bidan. ANC dilakukan pada usia
kehamilan 12 minggu (Trimester I), usia dan 24 minggu (Trimester II),
dan pada usia kehamilan 28 dan 36 minggu (Trimester III).

3
2.3 Pemeriksaan Fisik
A. Status Present
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4 V5 M6
Tekanan Darah : 160/110 mmHg
Denyut Nadi : 90 x/menit
Pernapasan : 22 x/menit
Suhu Tubuh : 36,5oC
Berat Badan : 74 kg
Tinggi Badan : 158 cm

A. Status General
Kepala : Normocephali
Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Polip (-/-)
Thoraks : BJ I/II Normal (+), reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : Vesikuler (+/+), ronchii (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : Sesuai status obstetri,
Ekstremitas : Akral hangat, edema pretibial dan dorsum pedis (+/+)

B. Status Obstetri
Abdomen
Leopold I : TFU 38 cm, teraba bokong
Leopold II : punggung kanan
Leopold III : Teraba kepala
Leopold IV : Belum masuk pintu atas panggul (PAP)
HIS : (+)
DJJ : DJJ 147 x/menit
TFU : 30 cm

4
TBJ : (30-13)x155 = 2945 gram
Vagina
Inspekulo : Tidak dilakukan
VT
Konsistensi porsio : lunak
Posisi : posterior
Penebalan : tebal
Pembukaan : 2 cm
Pendataran : 25%
Selaput ketuban : tidak dapat di nilai
Bagian terbawah : belum dapat dinilai
Penurunan : 4/5
Penunjuk : belum dapat dinilai
*Bagian terbawah janin adalah kepala diketahui melalui pemeriksaan leopold III

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 21 november 2021
PEMERIKSAAN HASIL RUJUKAN
HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hemoglobin 11 g/dL 12,0-16,0 g/dL
Leukosit 15600 /ul 5000-10000 g/dL
Hitung Jenis
Eosinofil 0% 1-3 %
Basofil 0% 0-1 %
Neutrofil Batang 2% 2-6 %
Neutrofil Segmen 56 % 40-60 %
Limfosit 9% 20,0-50,0 %
Monosit 8% 2-8 %
Golongan Darah 0

5
Rhesus Positif
Glukosa Darah Sewaktu 96 mg/dL 70-140 mg/dL
Ureum 14 mg/dL 10-50 mg/dL
Kreatinin 0,6 mg/dL 0,60-1,50 mg/dL

URIN
Urin Rutin
Makroskopis
Warna Kuning muda Kuning
Kejernihan Jernih Jernih
Berat Jenis 1,025 1,005-1,030
Ph 6,5 4,5-7,5
Protein Urin Positif Negatif
Glukosa Urin Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen Negatif Negatif
Sedimen
Leukosit 3-5/lpb < 5 /lpb
Silinder Negatif
Kristal Negatif
Eritrosit 1-2/LBP <3/LBP
Lain-lain

2.5 Diagnosis Kerja


G1P0A0 Hamil Aterm, Inpartu Kala I fase laten dengan PEB, Janin Tunggal
Hidup Preskep.

6
2.6 Tatalaksana
- Observasi keadaan umum, tanda vital ibu, dan denyut jantung janin
- Rencana rawat inap  OS dipindahkan ke VK (observasi keadaan
umum, tanda vital ibu, dan denyut jantung janin)
- Rencana pemeriksaan penunjang laboratorium (pemeriksaan darah dan
urin)
- Terapi medikamentosa:
 IVFD RL gtt xx x/menit
 Inj MgSO4 40% 10 cc i.m. bokong kanan-kiri dilanjutkan Inj.
MgSO4 40% 10 cc i.m. bokong kanan-kiri tiap 6 jam.
 Inj. Ceftriaxone 2x1 500 mg
 Nifedipine 3x10 mg tab p.o

7
BAB III
TINJAUAN TEORI

3.1 Preeklampsia
Definisi
Preeklampsia ialah suatu sindrom spesifik pada kehamilan yang
terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu, pada wanita yang sebelumnya
normotensi. Keadaan ini ditandai oleh peningkatan tekanan darah yang
disertai oleh proteinuria. 2,3,4 Preeklampsia merupakan sindrom spesifik
kehamilan berupa berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan
aktivasi endotel. Pada kenyataannya, preeklampsia secara klinis mulai
tampak hanya menjelang akhir suatu proses patofisiologi yang mungkin
sudah dimulai pada 3 sampai 4 bulan sebelum timbulnya hipertensi. 2,3,4
Disebut dengan preeklampsia berat pada penderita preeklampsia
bila didapatkan salah satu gejala berikut: Tekanan darah sistolik > 160
mmHg dan tekanan darah diastolik > 110 mmHg; Proteinuria > 5
gr/jumlah urin selama 24 jam; Oliguria; Peningkatan kadar kreatinin
serum (> 1,2 mg/dL); Edema paru dan sianosis; Gangguan visus dan
serebral disertai sakit kepala yang menetap; Nyeri epigastrium yang
menetap; Peningkatan enzim hepar (alanin aminotransferase [ALT] atau
aspartate aminotransferase [AST]); Sindroma HELLP. 2,3,4
Suprimosed preeklampsia atau eklampsia adalah timbulnya
proteinuria pada wanita hamil yang sebelumnya telah mengalami
hipertensi. Proteinuria hanya timbul setelah kehamilan 20 minggu. 2,3,4

Penyakit hipertensi kronis adalah ditemukannya desakan darah >


140/90 mmHg sebelum kehamilan atau sebelum kehamilan 20 minggu
dan tidak menghilang setelah 12 minggu pasca persalinan. 2,3,4

Eklampsia adalah terjadinya kejang pada seorang wanita dengan

8
preeklampsia yang terbukti tidak disebabkan oleh hal yang lain. Kejang
bersifat grand mal dan timbul sebelum, selama, atau setelah persalinan.
Kejang dapat timbul lebih dari 48 jam pascasalin, terutama pada
nulipara dan dapat dijumpai sampai 10 hari pascasalin. 2,3,4
Komplikasi
yang dapat terjadi akibat hipertensi dalam kehamilan antara lain
perubahan kardiovaskular, hematologi, endokrin, metabolik dan aliran
darah regional disertai gangguan berbagai organ. Kebanyakan
komplikasi tersebut diawali dengan munculnya berbagai penanda
biokimiawi dan biofisik yang didudga dapat digunakan untuk
meperkirakan timbulnya preeklampsia pada kehamilan tahap lanjut
sehingga dapat dilakukan upaya prediksi dan pencegahan preeklampsia.
2,3,4

Epidemiologi
Tiga penyebab utama kematian ibu adalah perdarahan (30%),
hipertensi dalam kehamilan (25%), dan infeksi (12%). WHO
memperkirakan kasus preeklampsia tujuh kali lebih tinggi di negara
berkembang daripada di negara maju. Prevalensi preeklampsia di
Negara maju adalah 1,3% - 6%, sedangkan di Negara berkembang
adalah 1,8% - 18%. 5,6 Insiden preeklampsia di Indonesia sendiri
adalah /tahun atau sekitar 5,3%. Kecenderungan yang ada dalam dua
dekade terakhir ini tidak terlihat adanya penurunan yang nyata terhadap
insiden preeklampsia, berbeda dengan insiden infeksi yang semakin
menurun sesuai dengan perkembangan temuan antibiotik. 1
Sekitar delapan juta perempuan/tahun mengalami komplikasi
kehamilan dan lebih dari setengah juta diantaranya meninggal dunia,
dimana 99% terjadi di Negara berkembang. Angka kematian akibat
komplikasi kehamilan dan persalinan di Negara maju yaitu 1 dari 5000
perempuan, dimana angka ini jauh lebih rendah dibandingkan di Negara
berkembang, yaitu 1 dari 11 perempuan meninggal akibat komplikasi
kehamilan dan persalinan. Tingginya angka kematian ibu (AKI) masih

9
merupakan masalah kesehatan di Indonesia dan juga mencerminkan
kualitas pelayanan kesehatan selama kehamilan dan nifas. AKI di
Indonesia masih merupakan salah satu yang tertinggi di negara Asia
Tenggara. 1
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SDKI) tahun 2012, AKI di Indonesia sebesar 359 per kelahiran hidup.
Tren AKI di Indonesia menurun sejak tahun 1991 hingga 2007, yaitu
dari 390 menjadi 228 per kelahiran hidup. Jika dibandingkan kawasan
ASEAN, AKI pada tahun 2007 masih cukup tinggi, AKI di Singapura
hanya 6 per kelahiran hidup, Brunei 33 per kelahiran hidup, Filipina
112 per kelahiran hidup, serta Malaysia dan Vietnam sama-sama
mencapai 160 per kelahiran hidup. 1
Meskipun, Millenium development goal (MDG) menargetkan
penurunan AKI menjadi 102 per kelahiran hidup pada tahun 2015,
namun pada tahun 2012 SDKI mencatat kenaikan AKI yang signifikan
yaitu dari 228 menjadi 359 kematian ibu per kelahiran hidup.
Peningkatan jumlah penduduk dan jumlah kehamilan berisiko turut
mempengaruhi sulitnya pencapaian target ini. 1

Etiologi
Penyebab preeklampsia sampai sekarang belum bisa diketahui
secara pasti. Namun banyak teori yang telah dikemukakan tentang
terjadinya hipertensi dalam kehamilan tetapi tidak ada satupun teori
tersebut yang dianggap benar-benar mutlak. Beberapa faktor resiko ibu
terjadinya preeclampsia adalah paritas, usia, riwayat hipertensi, sosial
ekonomi, hiperplasentosis, genetik, dan obesitas. 2,5

Patogenesis
Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum
diketahui dengan jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang
terjadinya hipertensi dalam kehamilan, tetapi tidak ada satu pun teori
yang dianggap mutlak benar. Teori-teori yang sekarang banyak dianut

10
adalah 1) Teori kelainan vaskularisasi plasenta; 2) Teori iskemia
plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel; 3) Teori intoleransi
imunologik antara ibu dan janin; dam 4) Teori adaptasi kardiovaskular.
2,3,4,5

Diagnosis
Diagnosis preeklampsia berat ditegakkan bila ditemukan keadaan
hipertensi berat (TD >160/100) dengan proteinuria berat (> 5g/hari atau
tes urin dipstik positif 2) atau disertai dengan keterlibatan organ lain.
Preeklampsia berat menurut waktu terjadinya diklasifikasikan menjadi
Preeklampsia awitan dini (PEAD/Early-onset Preeclampsia) dan
Preeklampsia Awitan Lambat (PEAL/Late-onset Preeclampsia). Early-
onset Preeclampsia merupakan preeklampsia berat yang terjadi dalam
rentan usia kehamilan 20 sampai kurang dari 34 minggu. Late-onset
Preeclampsia merupakan preeklampsia berat yang terjadi sejak usia
kehamilan 34 minggu atau lebih. 3,4
Kriteria lain preeklampsia berat yaitu bila ditemukan gejala dan
tanda disfungsi organ, seperti kejang, edema paru, oliguria,
trombositopeni, peningkatan enzim hati, nyeri perut epigastrik atau
kuadaran kanan atas dengan mual dan muntah serta gejala serebral
menetap seperti sakit kepala, pandangan kabur, penurunan visus atau
kebutaan kortikal dan penurunan kesadaran; kondisi tersebut disebut
impending eclampsia. 2,5
Kriteria Minimal Preeklampsia: 2,3,4,5
a. TD > 140/90 mmHg setelah kehamilan 20 minggu
b. Ekskresi protein dalam urin > 300 mg/24 jam atau > +1 dipstik,
rasio protein: kreatinin > 30 mg/mmol
Kriteria Preeklampsia Berat: 2,3,4,5
a. TD > 160/110 mmHg
b. Proteinuria > 5 g/24 jam atau > +2 dipstik
c. Ada keterlibatan organ lain

11
 Hematologi: Trombositopeni (< 100.000/ul)
 Hepar: Peningkatan SGOT dan SGPT dan nyeri epigastrik
 Neurologis: Sakit kepala persisten
 Janin: Oligohidramnion
 Paru: Edema paru atau gagal jantung kongestif
 Ginjal: Oliguria (< 500 ml/24 jam)

Pengaruh Preeklampsia Berat-Impending Eklampsia terhadap Sistem


Organ
Preeklamsia berat-impending eklamsia mengakibatkan terjadinya
gangguan pada beberapa sistem organ termasuk hematologi, hati, ginjal,
dan sistem kardiovaskular serta sistem saraf pusat. Besarnya kelainan
atau gangguan tersebut sering berkorelasi dengan kondisi kesehatan ibu
(misalnya, adanya penyakit ginjal atau vaskuler) atau faktor obstetrik
(misalnya, kehamilan multifetal atau kehamilan mola). 2,3,5,7

Kardiovaskular dan Hematologi


Perubahan kardiovaskular disebabkan oleh peningkatan cardiac
afterload akibat hipertensi dan penurunan cardiac preload akibat
hipervolemia. 2,3,5,7
Perubahan hematologic disebabkan oleh hipovolemia akibat
vasospasme, hipoalbuminemia hemolisis mikroangiopati akibat spasme
arteriole dan hemolisis akibat kerusakan endotel arteriole. Perubahan
tersebut dapat berupa peningkatan hematocrit akibat hipovolemia,
peningkatan viskositas darah, trombositopenia, dan gejala hemolisis
mikroangiopati. Hemolisis dapat menimbulkan destruksi eritrosit. 2,3,5,7
Kebanyakan pasien dengan preeklampsia memiliki pembekuan
darah yang normal. Perubahan tersamar yang mengarah ke koagulasi
intravaskular dan destruksi eritrosit (lebih jarang) sering dijumpai pada
preeklampsia berat. Trombositopenia merupakan kelainan yang sangat

12
sering, biasanya jumlahnya kurang dari 150.000/μl yang ditemukan
pada 15 - 20% pasien. Level fibrinogen meningkat sangat aktual pada
pasien preeklampsia dibandingkan dengan ibu hamil dengan tekanan
darah normal. Level fibrinogen yang rendah pada pasien preeklampsia
biasanya berhubungan dengan terlepasnya plasenta sebelum waktunya
(placental abruption). 2,3,5,7 Pada 10 % pasien dengan preeklampsia berat
dan eklampsia menunjukan terjadinya HELLP syndrome yang ditandai
dengan adanya anemia hemolitik, peningkatan enzim hati dan jumlah
platelet rendah. Sindrom HELLP biasanya terjadi tidak jauh dengan
waktu kelahiran (sekitar 31 minggu kehamilan) dan tanpa terjadi
peningkatan tekanan darah. Kebanyakan abnormalitas hematologik
kembali ke normal dalam dua hingga tiga hari setelah kelahiran tetapi
trombositopenia bisa menetap selama seminggu. 2,3,5,7

Ginjal
Perubahan fungsi ginjal pada preeklampsia berat-impending
eklampsia dapat disebabkan oleh hal-hal berikut. Menurunnya aliran
darah ke ginjal akibat hipovolemia sehingga terjadi oliguria bahkan
anuria. Kerusakan sel glomerulus mengakibatkan meningkatnya
permeabilitas membrane basalis sehingga terjadi kebocoran dan
mengakibatkan proteinuria. Proteinuria terjadi jauh pada akhir
kehamilan, sehingga sering dijumpai preeklampsia tanpa proteinuria
karena janin lebih dulu lahir. 2,3,5,7
Terjadi Glomerular Capillary
Endotheliosis akibat sel endotel glomerular membengkak disertai
deposit fibril. Gagal ginjal akut terjadi akibat nekrosis tubulus ginjal.
Bila sebagian besar kedua korteks ginjal mengalami nekrosis, maka
terjadi nekrosis korteks ginjal yang bersifat irreversibel. 2,3,5,7
Bila proteinuria timbul sebelum hipertensi, umumnya merupakan
gejala penyakit ginjal. Bila proteinuria timbul tanpa hipertensi, maka
dapat dipertimbangkan sebagai penyulit kehamilan. Bila proteinuria
timbul tanpa kenaikan tekanan darah diastolic ≥90 mmHg, umumnya

13
ditemukan pada infeksi saluran kencing atau anemia. Jarang ditemukan
proteinuria pada tekanan diastoik ≤90 mmHg. 2,3,5,7
Asam urat serum umumnya meningkat ≥5 mg/cc. Hal ini
disebabkan oleh hipovolemi yang menimbulkan menurunnya aliran
darah ginjal yang mengakibatkan menurunya filtrasi glomerulus,
sehingga menurunnya sekresi asam urat. Peningkatan asam urat dapat
terjadi juga akibat iskemia jaringan. Selama kehamilan normal, aliran
darah dan laju filtrasi glomerulus meningkat cukup besar. Dengan
timbulnya preeklampsia, perfusi ginjal dan filtrasi glomerulus menurun.
Lesi karakteristik dari preeklampsia, glomeruloendoteliosis, adalah
pembengkakan dari kapiler endotel glomerular yang menyebabkan
penurunan perfusi dan laju filtrasi ginjal. Konsentrasi asam urat plasma
biasanya meningkat, terutama pada wanita dengan penyakit berat. 2,3,5,7
Kreatinin serum juga dapat meningkat hingga ≥1 mg/cc. . Hal ini
disebabkan oleh hipovolemia, maka aliran darah ginjal menurun,
mengakibakan menurunnya filtrasi glomerulus, sehingga menurunnya
sekresi kreatinin disertai peningkatan kreatinin plasma. Peningkatan
kreatinin serum biasanya terjadi pada preeklampsia berat dengan
penylulit pada ginjal. 2,3,5,7
Oliguria dan anuria terjadi karena
hipovolemia sehingga aliran darah ke ginjal menurun yang
mengakibatkan produksi urin menurun (oliguria), bahkan dapat terjadi
anuria. Berat ringannya oliguria menggambarkan berat ringannya
hipovolemia. Hal ini berarti menggambarkan pula berat ringannya
preeklampsia. 2,3,5,7

Hepar
Dasar perubahan pada hepar ialah vasospasme, iskemia, dan
perdarahan. Bila terjadi penrdarahan pada sel periportal lobur perifer,
akan terjadi nekrosis sel hepar dan peningkatan enzim hepar.
Perdarahan ini dpat meluas hingga di bawah kapsula hepar dan disebut
subkapsular hematoma. Subkapsular hematoma menimbulkan rasa

14
nyeri di daerah epigastrium dan dapat menimbulkan rupture hepar,
sehingga perlu pembedahan. 2,3,5,7
Sistem Saraf Pusat dan Neurologis
Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan autoregulasi tidak
berfungsi. Pada saat autoregulasi tidak berfungsi sebagaimana
mestinya, jembatan penguat endotel akan terbuka dan dapat
menyebabkan plasma dan sel-sel darah merah keluar ke ruang
ekstravaskular. Hal ini akan menimbulkan perdarahan petekie atau
perdarahan intrakranial yang sangat banyak. Pada penyakit yang belum
berlanjut hanya ditemukan edema dan anemia pada korteks serebri. 2,3,5,7
Resistensi pembuluh darah dalam otak pada pasien hipertensi dalam
kehamilan lebih meninggi pada impending eklampsia-eklampsia. Pada
pasien preeklampsia, aliran darah ke otak dan penggunaan oksigen otak
masih dalam batas normal. Pemakaian oksigen pada otak menurun pada
pasien impending eklampsia-eklampsia. 2,3,5,7
Pada impending eklampsia-eklampsia dapat terjadi beberapa
perubahan neurologis. Nyeri kepala disebabkan hiperperfusi otak,
sehingga menimbulkan vasogenik edema. Akibat spasme arteri retina
dan edema retina dapat terjadi gangguan visus. Gangguan visus dapat
berupa: pandangan kabur, skotomata, amaurosis yaitu kebitaan tanpa
jelas adanya kelainan dan amblasio rentina. Hiperrefleksi sering sering
dijumpai pada preeklampsia berat, tetapi bukan faktor prediksi
terjadinya eklamsia. Dapat timbul kejang eklamtik. Penyebab kejang
eklamtik belum diketahui dengan jelas, faktor-faktor yang
menimbulkan kejang eklamtik adalah edema cerebri, vasospasme
cerebri, dan iskemia cerebri. Perdarahan intracranial meskipun jarang,
dapat terjadi pada preeklampsia berat dan eklampsia. 2,3,5,7

Paru-paru
Penderita preeklampsia berat-impending eklampsia mempunyai
risiko besar terjadinya edema paru. Edema paru dapat disebabkan oleh

15
payah jantung kiri, kerusakan sel endotel pada pembuluh darah kapiler
paru dan menurunnya diuresis. Dalam menangai edema paru,
pemasangan Central Venous Pressure (CVP) tidak menggambarkan
keadaan sebenarnya dari pulmonary capillary wedge pressure. 2,3,5,7

Janin
Preeklampsia berat-impending eklampsia memberi pengaruh
buruk pada kesehatan janin yang disebabkan oleh menurunnya perfusi
utero-plasenta, hipovolemia, vasospasme, dan kerusakan sel endotel
pembuluh darah plasenta. Dampak preeklampsia (berat) dan
(impending) eklampsia pada janin adalah Intra Uterine Growth
Retardation (IUGR) dan oligohidramnion. Selain itu juga dapat
meningkatkan morbiditas dan mortalitas janin secara tidak langsung
akibat IUGR, prematuritas, oligohidramnion dan solusio plasenta. 2,3,5,7

3.2 Tatalaksana

Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit
untuk rawat inap dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi
(kiri). 2,5
Perawatan yang penting pada preeklampsia berat ialah
pengelolahan cairan karena penderita preeklampsia dan
eklampsia mempunyai tinggi untuk terjadinya edema paru dan
oliguria. Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut belum jelas,
tetapi faktor yang sangat menentukan terjadinya edema paru dan
oliguria ialah hipovolemia, vasospasme, keruusakan sel endotel,
penurunan gradien tekanan onkotik kokloid/pulmonary capillary
wedge pressure. 2,5
Oleh karena itu, monitoring input cairan (malalui oral ataupun
infus) dan output cairan (melalui urin) menjadi sangat penting.
Artinya harus dilakukan pengukuran secara tepat berapa jumlah
cairan yang dimasukkan dan dikeluarkan melalui urin. 2,5

16
Bila terjadi tanda-tanda edema paru, segera dilakukan tindakan
koreksi. Cairan yang diberikan dapat berupa (a) 5% Ringer-
dekstore atau cairan garam faali jumlah tetesan < 125 cc/jam
atau (b) infus Dekstrose 5% yang tip 1 liternya diselingi dengan
infus Ringer laktat (60 – 125 cc/jam) 500 cc. 2,5
Dipasang foley catheter untuk mengukur pengeluaran urin.
Oliguria terjadi bila produksi urin < 30 cc/jam dalam 2 – 3 jam
atau < 500 cc/24 jam. Diberikan antasida untuk menetralisir
asam lambung sehingga bila mendadak kejang, dapat
menghindari risiko aspira asam lambung yang sangat asam. Diet
yang cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, dan garam. 2,5

Pemberian obat antikejang 2,5,7,8
Obat antikejang adalah: MgSO4, Contoh obat yang dipakai
untuk antikejang: 2,5

- Diasepam
- Fenotoin
Difenihidantoin obat antikejang untuk epilepsi telah banyak
dicoba peda penderita eklampsia. Beberapa peneliti telah
memakai bermacam-macam regimen. Fenitoin sodium
mempunyai khasiat stabilisasi membran neuron, cepat masuk
jaringan otak dan efek antikejangterjadi 3 menit setelah injeksi
intravena. Fenitoin sodium diberikan dalam dosis 15 mg/kg
berat badan dengan pemberian intravena 50 mg/menit. Hasilnya
tidak lebih baik magnesium sulfat. Pengalaman pemakaian
fenitoin dibeberapa senter di dunia masih sedikit. Pemberian
magnesium sulfat sebagai antikejang lebih efektif dibandingkan
fenitoin, berdasarkan Cochane Review terhadap enam uji klinik,
yang melibatkan 897 penderita eklmapsia.Obat antikejang yang
banyak dipakai di Indonesia adalah magnesium sulfat
(MgSO47H2O). Magnesium sulfat menghambat atau

17
menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan serat saraf
dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi
neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada
pemberian magnesium sulfat, magnesium akan menggeser
kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak terjadi (terjadi
kompetitif inhibitor antara ion kalsium dan ion magnesium).
Kadar kalsium yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja
magnesium sulfat. Magnesium sulfat sampai saat ini tetap
menjadi pilihan pertama untuk antikejang pada preeklampsia
atau eklampsia. Banyak cara pemberian Magnesium sulfat. 2,5,7,8
Cara pemberian: 2,5,7,8
Magnesium sulfat regimen
- Loading dose: initial dose
4 gram MgSO4: intravena (40% dalam 10 cc) selama 15
menit.

- Maintenence dose
Diberikan infus 6 gram dalam larutan Ringer/6jam; atau
diberikan 4 atau 5 gram i.m. Selanjutnya maintenance dose
diberikan 4 gram i.m. tiap 4 – 6 jam.

- Syarat-syarat pemberian MgSO4:


 Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi
yaitu kalsium glukonas 10% = 1 g (10 % dalam 10 cc)
diberikan i.v. 3 menit.
 Refleks patella (+) kuat.
 Frekuensi pernapasan > 16 kali/menit, tidak ada tanda-
tanda distres napas.

18
- Magnesium sulfat dihentikan bila:
 Ada tanda-tanda intoksikasi
 Setelah 24 jam pascapersalinan atau 24 jam setelah
kejang terakhir
- Dosis terapeutik dan toksis MgSO4
 Dosis terapeutik: 4 – 7 mEq/liter
Toksik: 4,8 – 8,4 mg/dl

 Hilangnya refleks tendon: 10 mEq/liter


Toksik: 12mg/dl

 Terhentinya pernapasan: 14 mEq/liter


Toksik: 18 mg/dl

 Terhentinya jantung: > 30 mEq/liter


Toksik: > 36 mg/dl

Pemberian magnesium sulfat dapat menurunkan risiko kematian


ibu dan didapatkan 50% dari pemberiannya menimbulkan efek
flusbes (rasa panas). 2,5,7,8
Bila terjadi refrakter terhadap pemberian MgSO4 , maka diberikan
salah satu obat berikut: tiopental sodium, sodium amobarbital,
diasepam, atau fenitoin. 2,5

Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada
edema paru-paru, payah jantung kongestif atau anasarka.
Diuretikum yang dipakai ialah furosemida. 2,5,7,8
Pemberian diuretikum dapat merugikan, yaitu memperberat
hipovolemia, memeperburuk perfusi utero-plasenta,
meningkatkan hemokonsentrasi, menimbulkan dehidrasi pada
janin, dan menurunkan berat janin. 2,5,7,8

Pemberian antihipertensi 2,5,7,8
- Antihipertensi lini pertama
Nifedipin

19
Dosis 10 – 20 mg per oral, diulangi setelah 30 menit;
maksimum 120 mg dalam 24 jam.

- Antihipertensi lini kedua


Sodium nitroprusside : 0,25 µg i.v./kg/menit, infus: 10
mg/menit/dititrasi.

- Antihipertensi sedang dalam penelitian


Calcium channel blocker : isradipin, nimodipin

Serotonin reseptor antagonis : ketan serin

Jenis obat antihipertensi yang diberikan di Indonesia adalah:

Nifedipin

Dosis awal: 10 – 20 mg, diulangi 30 menit bila perlu. Dosis


maksimum 120 mg per 24 jam. Nifedipin tidak boleh
diberikan sublingual karena efek vasodilatasi sangat cepat,
sehingga hanya boleh diberikan per oral.


Edema paru
Pada preeklampsia berat, dapat terjadi edema paru akibat
kardiogenik ( payah jantung ventrikel kiri akibat peningkatan
afterload) atau non-kardiogenik (akibat kerusakan sel endotel
pembuluh darah kapiler paru) Prognosis preeklampsia berat
menjadi buruk bila edema paru disertai oliguria. 2,5,7,8

Glukokortikoid
Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak
merugikan ibu. Diberikan pada kehamilan 32 – 34 minggu, 2 x
24 jam. Obat ini juga diberikan pada sindrom HELLP. 2,5,7,8

20
Pengelolaan
Preeklampsia pada usia kehamilan aterm kehamilan dapat
diakhiri. Sangat penting untuk mengetahui bahwa semua modalitas
terapi yang dilakukan hanyalah bersifat paliatif dan penyakit tersebut
bersifat progesif hingga saat persalinan terjadi. Pengelolaan obstetrik
tergantung dari umur kehamilan, berat ringannya penyakit, respon
terhadap terapi dan kemampuan perinatologi. Pada preeklampsia berat,
harus mempertimbangkan umur kehamilan, maturitas paru, respon
terhadap pengobatan, kemampuan perimatologi, serta komplikasi
maternal. 3,4
Penatalaksanaan preeklampsia bertujuan sebagai berikut: 3,4
 Mencegah terjadinya kejang eklampsia
 Persalinan pasien dalam waktu yang tepat
 Mendeteksi dan menangani komplikasi yang menyertai
preeklampsia
 Menurunkan morbiditas dan mortalitas janin dan ibu

Keputusan untuk kapan mengkhiri kehamilan pada preeklampsia


masih menjadi suatu dilema. Persalinan adalah satu-satunya tindakan
definitif. Pengakhiran kehamilan dilakukan saat usia ibu atau janin
berumur 34 minggu. Apabila persalinan pada usia persalinan yang lebih
awal diperlukan, terdapat peningkatan risiko luaran neonatal yang
buruk. Luaran neonatal bergantung pada penggunaan kortikosteroid
untuk perbaikan maturitas paru janin. Dengan adanya perkembangan
hasil luaran neonatal setelah profilaksis neonatus, persalinan ditunda
hingga 48 jam untuk pemberian terapi kortikosteroid. Apabila kondisi
maternal mencapai stabilisasi maka kehamilan dapat dilanjutkan. 3,4
Pengelolaan ekspektatif dapat memperbaiki hasil neonatal, tetapi
dapat memperburuk kondisi maternal. Apabila terdapat pemburukan
kondisi ibu dan janin merupakan indikasi untuk melakukan persalinan.
Manajemen ekspektatif pada preeklampsia berat < 34 minggu usia

21
kehamilan dapat memperbaiki hasil bayi baru lahir tetapi memperlukan
pengawasan ibu dan bayi di rumah sakit. 3,4
A. Manajemen Aktif 2,3,4,5
Tujuan utama dari manajemen ekspektatif dan aktif adalah
untuk memperbaiki luaran perinatal dengan mengurangi
morbiditas neonatal serta memperpanjang usia kehamilan tanpa
membahayakan ibu. Perjalanan klinis preeklampsia berat sering
ditandai dengan penurunan kondisi ibu dan janin yang progesif
jika persalinan tidak disegerakan. Dalam kepentingan ibu hamil
dan janinnya, persalinan direkomendasikan ketika usia
kehamilan 34 minggu atau lebih. Selain itu, persalinan segera
merupakan pilihan yang paling aman bagi ibu dan janinnya
ketika terdapat bukti adanya edema paru, gagal ginjal, abruptio
plasenta, trombositopenia berat, gejala serebral persisten, status
kesejahteraan janin tidak terjamin atau kematian janin tanpa
memandang usia kehamilan pada ibu hamil dengan
preeklampsia berat yang usia kehamilannya kurang dari 34
minggu.2,3,4,5
Bagi ibu hamil dengan preeklampsia berat pada usia
kehamilan 34 minggu atau lebih, dan dengan kondisi ibu-janin
yang tidak stabil tanpa memandang usia kehamilan,
direkomendasikan untuk dilakukan persalinan segera setelah
stabilisai ibu.2,3,4,5

B. Manajemen Ekspektatif
Manajemen ekspektatif adalah semua usaha menunda
persalinan untuk pemberian kortikosteroid antenatal bertujuan
untuk memperbaiki luaran perinatal dengan mengurangi
morbiditas neonatal serta memperpanjang kehamilan tanpa
membahayakan ibu. Perawatan ekspektatif meliputu perawatan
dalam rumah sakit dengan kortikosteroid untuk pematangan

22
paru janin, MgSO4, obat antihipertensi serta pemantauan ketat
ibu dan janin untuk mengidentifikasi indikasi persalinan. 2,3,4,5

Terapi ekspektatif pada pasien dengan preeklampsia berat tidak


meningkatkan komplikasi maternal, sebaliknya dapat
memperpanjang usia kehamilan, mengurangi kebutuhan
ventilator pada neonatus dan mengurangi komplikasi pada
neonatus. 2,3,4,5
Terapi ekspektatif pada pasien dengan
preeklampsia berat juga tidak meningkatkan komplikasi
maternal, sebaliknya dapat memperpanjang usia kehamilan,
berkurangnya lama perawatan neonatus di perawatan intensif
dang mengurangi insiden sindrom gawat nafas. 2,3,4,5
Manajemen ekspektatif dapat dipertimbangkan pada kasus
preeklampsia pada usia kehamilan 26-34 minggu yang bertujuan
untuk meningkatkan usia kehamilan saat melahirkan dan berat
lahir, serta mengurangi komplikasi neonatus. Pemberian
kortikosteroid berguna untuk mengurangi morbiditas serta
mortalitas perinatal. 2,3,4,5
Preeklampsia berat pada usia
kehamilan 34 minggu dengan kondisi ibu dan janin yang stabil,
direkomendasikan agar upaya mempertahankan kehamilan
dilaksanakan hanya di fasilitas kesehatan yang memiliki sarana
perawatan instensif maternal dan neonatal yang memadai. 2,3,4,5
Adanya proteinuria berat pada ibu hamil dengan
preeklampsia berat yang menjalani penatalaksanaan ekspektatif
tidak dikaitkan dengan luaran yang lebih buruk. Pada sebuah
penelitian yang melibatkan 42 ibu hamil dengan proteinuria
dengan proteinuria berat yang dikelola secara ekspektatif
(didefinisikan 5gr/24 jam atau lebih), terjadi perpanjangan
kehamilan yang signifikan dan terjadi perbaikan disfungsi ginjal
pada semua ibu hamil dalam 3 bulan setelah melahirkan. 2,3,4,5
Penelitian kedua mengelompokkan ibu hamil dengan
preeklampsia menurut derajat keparahan proteinuria menjadi

23
ringan (kurang dari 5 gr/24 jam), berat (5-9,9 gr/24 jam) atau
masif (lebih dari 10 gr/24 jam). Tidak terdapat perbedaan pada
angka kejadian eklampsia, abruptio plasenta, edema paru,
sindrom HELLP, kematian neonatal atau morbiditas neonatal
yang ditemukan pada kedua kelompok. Meskipun jumlah
proteinuria meningkat seiring dengan waktu pelaksanaan
ekspektatif, perubahan ini tidak memprediksikan perpanjangan
kehamilan ataupun luaran perinatal. Bagi ibu hamil dengan
preeklampsia, dianjurklan agar dalam memutuskan persalinan
tidak berdasarkan jumlah proteinuria atau perubahan jumlah
proteinuria. 2,3,4

Pengelolaan kehamilannya menurut HKFM (Himpunan


Kedokteran Fetomaternal): 1, 2,3,7
Sikap terhadap kehamilan dibagi 2, yaitu:
1. Ekspektatif/konservatif
Bila umur kehamilan < 37 minggu, kehamilan
dipertahankan selama mungkin dengan memberikan terapi
medikamentosa
2. Aktif/agresif
Bila umur kehamilan > 37 minggu, kehamilan diakhiri
setelah mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi ibu.
Indikasi:
 Indikasi ibu:
a. Umur kehamilan > 37 minggu
b. Adanya tanda-tanda Impending Eclampia
c. Kegagalan terapi medikamentosa:
Setelah 6 jam sejak dimulai pengobatan
medikamentosa, terjadi kenaikan darah yang
persisten.

24
Setelah 24 jam sejak dimulainya pengobatan
medikamentosa terjadi kenaikan darah, desakan
darah yang persisten.
d. Gangguan fungsi ginjal
e. Gangguan fungsi hepar
f. Timbulnya ketuban pecah dini dan perdarahan
 Indikasi janin:
a. Adanya tanda-tanda fetal distress
b. IUGR (intrauterine growth restriction) berat
berdasarkan pemeriksaan USG
c. Timbulnya oligohidramnion

Cara pengakhiran kehamilan/persalinan: 2,3,4


1. Belum inpartu:
a. Induksi persalinan:
o amniotomi
o drip oksitosin dengan syarat skor bishop ≤ 5
b. Sectio Caesarea bila:
o syarat drip oksitosin tidak terpenuhi
o 12 jam sejak drip oksitosin belum masuk fase aktif
o pada primipara cenderung Sectio Caesarea
2. Inpartu:
a. Kala I:
o Fase laten: tunggu 6 jam, jika tetap fase laten maka
dilakukan Sectio Caesarea
o Fase aktif: amniotomi, tetes pitosin, 6 jam
pembukaan tidak lengkap maka dilakukan Sectio
Caesarea
b. Kala II: Tindakan dipercepat sesuai dengan syarat yang
dipenuhi.

25
3.3 Komplikasi
Preeklampsia berat yang disertai gejala-gejala subjektif berupa
nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium,
dan kenaikan progresif tekanan darah disebut impending eklampsia.
Impending eklampsia dapat berkembang menimbulkan komplikasi
lebih lanjut menjadi eklampsia maupun sindroma HELLP. 2,3,5,7
1) Eklampsia
Eklampsia merupakan kasus akut pada penderita preeklampsia,
yang disertai dengan kejang menyeluruh dan koma. Pada
penderita preeklampsia yang akan kejang, umumnya memberi
gejala-gejala atau tanda-tanda yang khas, yang dapat dianggap
sebagai tanda prodorma akan terjadinya kejang. Kejang pada
eklampsia harus dipikirkan kemungkinan kejang akibat penyakit
lain. Eklampsia didahului oleh preeklampsia. 2,3,5,7
2) Sindroma HELLP
Sindroma HELLP adalah preeklampsia-eklampsia disertai
timbulnya hemolisis, peningkatan enzim hepar, dan
trombositopenia (Hemolysis, Elevated Liver enzymes, Low
Platelet count). 2,3,5,7
Diagnosis 2,3,5,7
 Didahului tanda dan gejala yang tidak khas seperti malaise,
lemah, nyeri kepala, mual, muntah (semuanya ini mirip
tanda dan gejala infeksi virus)
 Adanya tanda dan gejala preeklampsia
 Tanda-tanda hemolysis intravascular, khususnya kenaikan
LDH, AST (SGOT), dan bilirubin indirek
 Tanda kerusakan/disfungsi sel hepatosit hepar: kenaikan
ALT (SGPT), AST (SGOT), LDH
 Trombositopenia (Trombosit ≤ 150.000/ml)

26
Semua perempuan hamil dengan keluhan nyeri pada kuadran
atas abdomen, tanpa memandang ada tidaknya tanda dan gejala
preeklampsia, harus dipertimbangkan sindroma HELLP. 2,3,5,7

Sindroma HELLP
Sindroma HELLP merupakan kumpulan gejala multisistem pada
penderita preeklampsia berat dan eklampsia yang terutama ditandai
dengan adanya hemolisis, peningkatan kadar enzym hepar dan
penurunan jumlah trombosit (trombositopenia). 2,6,9
Terjadinya sindroma HELLP merupakan manifestasi akhir
kerusakan endotel mikrovaskular dan aktivasi platelet intravaskular.
Pada sindrom HELLP terjadi anemia hemolitik mikroangiopati. Akibat
fragmentasi, sel darah merah akan lebih mudah keluar dari pembuluh
darah yang telah mengalami kebocoran akibat kerusakan endotel dan
adanya deposit fibrin. Pada gambaran darah tepi akan terlihat gambaran
spherocytes, schistocytes, triangular cell dan burr cell.1,11,12
Pada sindroma HELLP terjadi perubahan pada hepar. Pada
gambaran histopatologisnya terlihat nekrosis parenkhim periportal atau
fokal yang disertai dengan deposit hialin dari bahan seperti fibrin yang
terdapat pada sinusoid. Adanya mikrotrombi dan deposit fibrin pada
sinusoid tersebut menyebabkan obstruksi aliran darah di hepar yang
akan merupakan dasar terjadinya peningkatan enzim hepar dan
terdapatnya nyeri perut kwadran kanan atas. Gambaran nekrosis selular
dan perdarahan dapat terlihat dengan MRI. Pada kasus yang berat dapat
dijumpai adanya perdarahan intrahepatik dan hematom subkapsular
atau ruptur hepar. 2,5,10,11
Penurunan jumlah platelet pada sindroma HELLP disebabkan
oleh meningkatnya konsumsi atau destruksi platelet. Meningkatnya
konsumsi platelet terjadi kerena agregasi platelet yang diakibatkan
karena kerusakan sel endotel, penurunan produksi prostasiklin, proses
imunologis maupun peningkatan jumlah radikal bebas. Beberapa

27
peneliti beranggapan bahwa DIC merupakan proses primer yang terjadi
pada sindroma HELLP. Walaupun gambaran histologis mikrotrombi
yang mirip antara sindroma HELLP dan DIC tetapi pada sindroma
HELLP tidak dijumpai koagulopati intravaskular. Pada sindroma
HELLP terjadi mikroangiopati dengan kadar fibrinogen yang normal.
2,5,10,11

Sindroma HELLP lebih banyak ditemukan pada nullipara dan


pada usia kehamilan yang belum aterm. Gejala dapat muncul
antepartum dan postpartum. gejala yang menonjol adalah rasa nyeri
pada daerah epigastrium kanan, nyeri kepala, mual, muntah, ikterus dan
gangguan penglihatan. Sering dijumpai tanda-tanda hemolisis berupa
perdarahan gastrointestinal dan gusi, gangguan fungsi hepar dan fungsi
ginjal dan tanda-tanda koagulopati. 2,5,10,11
Berdasarkan kadar trombosit darah, maka sindroma HELLP
diklasifikasikan dengan nama “Klasifikasi Mississippi”. 2,3,5,7
Klasifikasi Mississippi
Kelas 1
Trombosit ≤ 50.000/ml
LDH ≥ 600 IU/l
AST (SGOT) dan/atau ALT (SGPT) ≥ 40 IU/l
Kelas 2
Trombosit > 50.000/ml, ≤ 100.000/ml
LDH ≥ 600 IU/l
AST (SGOT) dan/atau ALT (SGPT) ≥ 40 IU/l
Kelas 3
Trombosit > 100.000/ml, ≤ 150.000/ml
LDH ≥ 600 IU/l
AST (SGOT) dan/atau ALT (SGPT) ≥ 40 IU/l

28
BAB IV
ANALISA KASUS

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pada kasus ini


pasien mengaku hamil cukup bulan darah tinggi dengan tekanan darah
160/110 mmHg dan terdapat edema pada kedua ekstremitas bawah.. Hasil
pemeriksaan penunjang dari pemeriksaan urin lengkap menunjukkan bahwa
terdapat hasil protein (+++). Hal ini sesuai dengan kriteria penegakan
diagnosis preeklampsia berat. Preeklampsia Berat adalah suatu komplikasi
kehamilan yang ditandai dengan timbulnya hipertensi ≥ 160/110 mmHg
disertai proteinuria (+++) dan edema pada kehamilan 20 minggu atau lebih.
2,3,4,5

Dilihat dari usia gestasi menggunakan perhitungan neagel diketahui


bahwa usia kehamilan 37- 38 minggu. Dengan hal tersebut, dapat diketahui
bahwa ibu hamil pada kasus dinyatakan hamil aterm. Ibu mengeluhan perut
mules seperti mau melahirkan yang menjalar ke pinggang belakang serta
adanya keluar darah, lendir dan ibu menyangkal adanya air-air, dari jalan
lahir. Dengan hal tersebut, dapat diketahui bahwa ibu pada kasus sudah
inpartu. Dari pemeriksaan leopold I-IV menunjukkan bahwa terdapat 1 janin
hidup pada ibu hamil ini, bagian terbawah (presentasi) janin adalah kepala,
teraba punggung janin di kanan ibu. Dari data diatas bahwa ibu dapat
melahirkan secara pervaginam.6
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pada kasus ini maka
penulisan diagnosis awal pada kasus ini adalah G1P0A0 Hamil Aterm, Inpartu
Kala I fase laten dengan PEB, Janin Tunggal Hidup Preskep.

Pada ibu hamil di kasus, penatalaksanaan usia kehamilan yang Aterm


yaitu untuk mencegah kejang. Pemberian tokolitik pada pasien ini berupa
MgSO4. Hal ini sesuai dengan teori bahwa jenis-jenis agen tokolitik yang

29
dapat digunakan adalah kalsium antagonis, obat ß-mimetik, MgSO 4, dan
penghambat produksi prostaglandin.3,4,6
Tatalaksana preeklampsia berat pada ibu hamil diberikan kombinasi
nifedipine dan dopamet (metildopa) per oral. Hal ini sesuai dengan teori
bahwa untuk terapi tekanan darah tinggi pada kasus preeklampsia berat
diberikan obat antihipertensi lini pertama untuk ibu hamil yaitu Nifedipine,
diberikan secara oral. Kombinasi metildopa dan nifedipin dapat mengatasi
hipertensi pada kehamilan dengan stage sedang sampai parah serta efektif
dalam mencegah eklamsia. 2,3,4,7
Mekanisme aksi dari Calcium Channel Blockers (nifedipine, dll) yaitu
mencegah masuknya kalsium ke dalam sel, sehingga akan terjadi vasodilatasi.
Aksi ini dapat menurunkan tekanan darah karena pada pasien yang menderita
hipertensi terjadi peningkatan resistensi perifer dikarenakan tingginya
calcium intracellular yang menyebabkan peningkatan tekanan otot polos
arterial. Metildopa merupakan terapi utama dari hipertensi pada ibu hamil
karena dinilai paling aman dan tidak menimbulkan efek samping pada ibu dan
janin. Metildopa mempunyai efek vasodilatasi dengan menghalangi
peningkatan norepinefrin pada reseptor otot polos. 3,4,7,8
Dalam
penatalaksanaannya, pasien dipasang IVFD RL dan dipasang kateter urin. Hal
ini sesuai dengan teori bahwa dalam pengobatan medikamentosa, pasien
preeklampsia berat dapat diberikan resusitasi cairan dengan Ringer Laktat
(RL) dan disertai pemasangan kateter urin untuk pemantauan output urin
untuk memantau keseimbangan cairan, output cairan serta mencegah
kemungkinan adanya edema paru akibat pemasukan cairan tambahan. 2,3,5

Perawatan stabilisasi tekanan darah pasien dilakukan sectio caesarea elektif.


Hal ini sesuai dengan teori bahwa sectio caesarea dapat dilakukan jika
kondisi fisik pasien telah membaik/stabil, kondisi preeclampsia dari berat
telah menjadi ringan serta tekanan darah arteri rata-rata (MAP) dihitung telah
>60.3,4
Post operasi sectio caesarea, Observasi KU, TVI, dan nyeri post
operasi, IVFD RL + induksi gtt xx x/menit, Inj Ceftriaxone 2x1 500 mg, Inf.

30
Metronidazole 2x1 fls, Pronalges sup. 2x100 mg, Nifedipine 3x1 500 mg. Hal
ini sesuai dengan teori bahwa post operasi sectio caesarea pasien mengalami
kekurangan darah/cairan sehingga diperlukan resusitasi cairan untuk
penambahan cairan yang cepat (dalam hal ini adalah dengan pemberian IVFD
Ringer Laktat). Antibiotika profilaksis juga perlu diberikan untuk mencegah
kemungkinan infeksi khususnya dengan fokus infeksi pascaoperasi.
Antibiotik profilaksis yang baik untuk ibu hamil dengan efek minimal disertai
spektrum yang luas adalah dengan kombinasi sefalosporin generasi ke-3 atau
ke-4 (cefuroxime, dll) dengan metronidazole. Untuk mencegah perdarahan
dan mengurangi rasa nyeri pasca operasi juga perlu diberikan terapi
medikamentosa berupa analgetik (pronalges suppositoria, penyerapan lebih
baik dan cepat dan tramadol sebagai analgetik intravena) dan untuk
menghantikan perdarahan seperti asam traneksamat. 2,3,4

31
Simpulan
Diagnosis pada kasus ini G3P2A0 Hamil Aterm, Inpartu Kala I Fase Aktif
memanjang dengan PEB, Janin Tunggal Hidup Preskep. Diangnosis post SC
yaitu P3A0 post SC atas indikasi PEB+ tubektomi.
Tatalaksana pada kasus preeklampsia juga sudah sesuai dengan
mengikuti protokol tatalaksana yaitu menghentikan dan mencegah kejang
menggunakan MgSO4 dan menurunkan tekanan darah menggunakan
kombinasi antihipertensi (nifedipine). Output kasus juga sesuai, dilakukan
terminasi kehamilan perabdominam (sectio caesarea).
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa:
1. Dalam mendiagnosis dan penatalaksanaan kasus preeklampsia dengan
haruslah tepat agar kondisi pasien tidak lebih memburuk hingga dapat
timbul kejang/eklampsia.
2. Dapat dilakukan edukasi kepada penderita untuk menjaga aktifitas dan
rutin kontrol untuk memantau luka bekas operasi agar dapat sembuh
dan tidak terjadi komplikasi luka seperti dehisensi luka, dsb.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Himpunan Kedokteran Feto Maternal. 2016. Pedoman Nasional Pelayanan


Kedokteran Diagnosis dan Tatalaksana Preeklampsia. Dalam Perkumpulan
Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Jakarta.
2. Winkjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T., Preeklampsia dan
eklampsia. Dalam : Ilmu kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2007.
3. American College of Obstetricians and Gynecologists. 2013. Hypertension in
Pregnancy. USA: Washington D.C.
4. California Department of Public Health. 2013. Preeclampsia Tool Guidelines.
California.
5. Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Hipertensi Dalam Kehamilan. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka
6. Cunningham, F.G., et al. 2010. Obstetri Williams 23rd ed. Preterm Birth.
USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.
7. Satgas Gestosis POGI, 2012. “Panduan pengelolaan hypertensi dalam
kehamilan di Indonesia”.
8. Myrtha, Risalina. 2015. Penatalaksanaan Tekanan Darah pada Preeklampsia.
Jakarta. CDK-227/ vol. 42 no. 4.
9. Lindheimer MD., Taler SJ, Cunningham FG. 2008. Hipertension in
pregnancy. In: Journal of the American Society of Hypertension.
10. Pokharel SM, Chattopadhyay SK. 2008. HELLP Syndrome – a pregnancy
disorder with poor diagnosis.
11. Witlin AG, Sibai BM. 2000. Diagnosis and Management of Women with
HELLP syndrome.
12. Prawirohardjo, S. 2010. Ilmu Kebidanan . Jakarta : PT. Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo
13. Manuwaba, Ida Bagus Gde. 2010 . Ilmu kebidanan Penyakit Kandungan dan
Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC
14. Rustam, mochtar. 1998. Sinopsis Obstetri Jilid I. Jakarta : EGC

33

Anda mungkin juga menyukai