Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

KETUBAN PECAH DINI


Disusun Untuk Melaksanakan Tugas Dan Sebagai Persyaratan Menyelesaikan
Program Intership di RS Citra Husada

Disusun Oleh:
dr. Lisa Handayani

Dokter Pembimbing:

dr. Daniel Alexander Suseno , Sp.OG.

Dokter Pendamping Internship:

dr. Ni Putu Dewi Puspawati

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

PROVINSI JAWA TIMUR

DINAS KESEHATAN JEMBER

RUMAH SAKIT CITRA HUSADA

2023
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
KETUBAN PECAH DINI

Laporan kasus ini telah disetujui oleh :

dr. Daniel Alexander Suseno , Sp.OG.

Dokter Pembimbing

TTD TTD

dr. Ni Putu Dewi Puspawati dr. Lisa Handayani


Dokter Pendamping Internship Dokter Internship
BAB I

PENDAHULUAN

Selaput ketuban yang membatasi rongga amnion terdiri atas amnion dan
korion yang sangat erat kaitannya. Lapisan ini terdiri atas beberapa sel seeprti
sel epitel, sel mesenkim, sel trofoblas yang terikat erat dalam matriks kolagen.
Selaput ketuban berfungsi menghasilkan air ketuban dan melindungi janin
terhadap infeksi.
Dalam keadaan normal, selaput ketuban pecah dalam proses persalinan.
Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan sebagai pecahnya selaput ketuban
sebelum terjadinya persalinan. Ketuban pecah dini dapat terjadi pada atau
setelah usia gestasi 37 minggu dan disebut KPD aterm atau premature rupture
of membranes (PROM) dan sebelum usia gestasi 37 minggu atau KPD preterm
atau preterm premature rupture of membranes (PPROM).
Masalah KPD memerlukan perhatian yang lebih besar, karena
prevalensinya yang cukup besar dan cenderung meningkat. Kejadian KPD
aterm terjadi pada sekitar 6,46-15,6% kehamilan aterm1 dan PPROM terjadi
pada terjadi pada sekitar 2-3% dari semua kehamilan tunggal dan 7,4% dari
kehamilan kembar2 . PPROM merupakan komplikasi pada sekitar 1/3 dari
semua kelahiran prematur, yang telah meningkat sebanyak 38% sejak tahun
19813 .
Pecahnya selaput ketuban berkaitan dengan proses biokimia yang terjadi
dalam kolagen matriks ekstraselular amnion, korion, dan apoptosis membran
janin. Membran janin dan desidua bereaksi terhadap stimuli seperti infeksi dan
peregangan selaput ketuban dengan memproduksi mediator seperti
prostaglandin, sitokin, dan protein hormon yang merangsang aktifitas “matriks
degarding enzym”3.
KPD merupakan masalah penting dalam obstetrik yang berkaitan
dengan penyulit kelahiran prematur dan terjadinya infeksi khorioamnioritis
sampai sepsis, yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas perinatal, dan
menyebabkan infeksi ibu. Ketuban pecah dini disebabkan oleh karena
berkurangnya kekuatan membran atau meningkatnya tekanan intrauterin atau
oleh kedua faktor tersebut. Penatalaksanaan ketuban pecah dini memerlukan
pertimbangan usia gestasi, adanya infeksi pada komplikasi ibu dan janin, dan
adanya tanda-tanda persalinan.4,5
KPD menyebabkan hubungan langsung antara dunia luar dan ruangan
dalam rahim sehingga memudahkan terjadinya infeksi asenden. Salah satu
fungsi selaput ketuban adalah melindungi atau menjadi pembatasan dunia luar
dan ruangan dalam rahim sehingga mengurangi kemungkinan infeksi. Makin
lama periode laten, makin besar kemungkinan infeksi dalam rahim.
Persalinan prematuritas dan selanjutnya meningkatkan kejadian kesakitan dan
kematian ibu dan bayi / janin dalam rahim. 6
Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang baik bagi tenaga
kesehatan mengenai kejadian ketuban pecah dini dan juga memahami tata cara
menolong persalinan preterm untuk meminimalkan dampak yang terjadi pada
bayi maupun ibu sehingga Angka Kematian Ibu dan Anak dapat berkurang.
BAB II
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
 Nama : Ny I
 Tanggal Lahir/Umur : 20 Februari 2000 / 23 tahun
 Alamat : Sukorambi
 Agama : Islam
 Pendidikan : SMA
 Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
 MRS : 12 September 2023
 No. RM/ Register : 109318
II. ANAMNESIS
Keluhan
Keluar rembesan cairan dari jalan lahir

Riwayat Perjalanan Penyakit


Pasien datang dengan keluhan keluar cairan bening dari jalan lahir sejak
malam jam 02.00. pasien mengatakan cairan yang keluar langsung banyak
dan langsung merembes sedikit- sedikit . keluhan kenceng- kenceng yang
mulai teratur disangkal. Nyeri kepala disangkal, mual dan muntah
disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak ada

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


R/daratinggi (-) ,R/ kencing manis (-), R/ keganasan (-)
Riwayat Pasien:
Status Sosial ekonomi dan gizi : menengah kebawah
Status Reproduksi : menarche usia 13 tahun, teratur, siklus haid 28
hari,lamanya 5-7 hari.
HPHT : 22 Desember 2022
Status Perkawinan : menikah, 1 kali, lamanya 5 tahun
Status Persalinan: 1. Hamil ini
Riwayat KB : tidak ada
Riwayat Pengobatan : tidak ada
Alergi obat : tidak ada

III. PEMERIKSAAN FISIK


PEMERIKSAAN FISIK UMUM
Keadaan Umum :Tampak sakit sedang
Kesadaran :Compos mentis
BB : 66 kg
TB : 162 cm
Tekanan Darah : 123/87 mmHg
Nadi : 98x/ menit, isi/kualitas cukup, reguler
Respirasi : 20x/menit, reguler
Suhu : 36,5oC

PEMERIKSAAN KHUSUS
- Kepala : Normocephali
- Mata : Konjungtiva palpebra pucat (-/-),sklera ikterik (-/-)
- Mulut : Bibir pucat (-), atropi papil (-), cheilitis (-)
- Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
- Thoraks : Bentuk normal, simetris
 Paru
- Inspeksi :gerakan dada simetris kanan dan kiri
- Palpasi :stem fremitus kanan = kiri
- Perkusi :sonor di kedua lapang paru
- Auskultasi :vesikuler (+) normal, wheezing (-), ronkhi (-)
 Jantung
- Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : ictus cordis tidak teraba
- Perkusi : batas jantung dalam batas normal
- Auskultasi : BJ I-II normal, HR 84x/menit, reguler,
murmur(-),gallop(-)

- Abdomen :
 Pemeriksaan luar: FUT 3 jari di bawah procesus xipoideus
(30 cm), memanjang, puka , his (-), DJJ: 142 kali/menit, TBJ
2.945 gram.
- Ekstremitas : Edema pretibia (-/-), akral pucat (-/-)

- Genitalia
 Vaginal touche:
Portio lunak, posterior, eff 25%, ø kuncup, kepala
floating
lakmus test (+) merah  biru

IV. PEMERIKSAAN TAMBAHAN


Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hematologi
Hb 11,5 mg/dl 11,2-15,5 mg/dl
WBC 9,52 x 103/m3 4,5-11 x 103/m3
Ht 34 % 43-49 %
Trombosit 214.000/m3 150-450/m3
Diff. Count 0/4/68/19/9 0-1/1-6//2-6/50-70/25-40/2-8
RDW-CV 13.40 11-15
Faal Hemostasis
Waktu pembekuan (CT) 9 menit 6-15 menit

Waktu perdarahan (BT) 1’ 30” 1-3


Kimia Klinik
Glukosa sewaktu 68 mg/dL 88-132 mg/dL
Fungsi lain
HIV tes metode I Non reaktif
HBs AG Negative

V. DIAGNOSIS KERJA
G1P0A0 hamil 38 minggu belum inpartu dengan KPD 12 jam janin
tunggal hidup presentasi kepala
VI. TATALAKSANA
Non farmakologi
 Observasi TVI, his, denyut jantung janin (DJJ), tanda inpartu selama 4
jam
 Tirah baring
 Diet TKTP
Farmakologi
 IVFD Ringer Laktat 14 TPM
 Inj Bifotik 2x1
Operatif
Dilakukan operasi section cesaria
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi dan Fisiologi Selaput Ketuban/ Amnion


Amnion pada kehamilan aterm merupakan sebuah membran yang
kuat dan ulet tetapi lentur. Amnion adalah membran janin paling dalam
dan berdampingan dengan cairan amnion. Struktur avaskular khusus ini
memiliki peran penting dalam kehamilan pada manusia. Pada banyak kasus
obstetrik, pecahnya selaput ketuban secara dini pada kehamilan dini
merupakan penyebab tersering kelahiran preterm. Amnion adalah jaringan
yang menentukan hampir semua kekuatan regang membran janin. Dengan
demikian, pembentukan komponen- komponen amnion yang mencegah ruptur
atau robekan sangatlah penting bagi keberhasilan kehamilan7

3.1.1 Struktur Selaput Ketuban/ Amnion


Jaringan amnion terdiri dari lima lapisan. Permukaan dalam, yang
dibasahi oleh cairan amnion, adalah selapis rapat sel epitel kuboid yang
diperkirakan berasal dari ektoderm embrionik. Epitel ini melekat erat ke
sebuah membran basal yang dihubungkan ke lapisan padat aselular, yang
terutama terdiri dari kolagen interstisial tipe I, III, dan V. Di sisi luar lapisan
padat, terdapat sederet sel mesenkim mirip fibroblas (yang pada kehamilan
aterm tersebar luas). Sel-sel ini mungkin berasal dari mesoderm diskus
embrionik.
Di amnion juga terdapat beberapa makrofag janin. Lapisan paling luar
amnion adalah zona spongiosa yang relatif aselular yang bersebelahan dengan
membran janin kedua, korion leave. Elemen penting yang “hilang” pada
amnion manusia adalah sel otot polos, saraf, pembuluh limfe, dan yang
penting, pembuluh darah 7.
Gambar 1. Struktur selaput ketuban8

3.1.2 Fisiologi Amnion

Pada awal proses implantasi, terbentuk suatu ruang antara massa sel
mudigah dan trofoblas di dekatnya. Sel-sel kecil yang melapisi permukaan
dalam trofoblas ini disebut sel amniogenik, prekursor epitel amnion. Amnion
manusia pertama kali dapat diidentifikasi pada sekitar hari ke-7 atau hari ke-8
perkembangan mudigah. Pada awalnya, sebuah vesikel kecil yaitu amnion,
berkembang menjadi sebuah kantung kecil yang menutupi permukaan dorsal
mudigah. Karena semakin membesar, amnion secara bertahap menelan mudigah
yang sedang tumbuh, yang mengalami prolaps ke dalam rongga amnion9.
Peregangan kantung amnion akhirnya menyebabkan amnion berkontak
dengan permukaan dalam korion leave. Aposisi mesoblas korion leave dan
amnion menjelang akhir trimester pertama kemudian menyebabkan obliterasi
selom ekstraembrionik. Amnion dan korion leave, walaupun sedikit melekat,
tidak pernah berhubungan erat, dan biasanya mudah dipisahkan, bahkan pada
kehamilan aterm7.

Gambar 2. Perkembangan embrio manusia mulai dari fertilisasi sampai dengan


tertutupnya neural tube10

3.1.3 Fungsi Metabolik Amnion


Amnion jelas lebih dari sekedar membran avaskular yang berfungsi
menampung cairan amnion. Membran ini aktif secara metabolis, terlibat dalam
transpor air dan zat terlarut untuk mempertahankan homeostasis cairan amnion,
dan menghasilkan berbagai senyawa bioaktif menarik, termasuk peptida
vasoaktif, faktor pertumbuhan, dan sitokin7.

3.1.4 Cairan Amnion


Cairan amnion adalah cairan yang normalnya jernih dan menumpuk di
dalam rongga amnion yang akan meningkat jumlahnya seiring dengan
perkembangan kehamilan sampai menjelang aterm, saat terjadi penurunan
volume cairan amnion pada banyak kehamilan normal. Pada kehamilan aterm,
rata-rata terdapat 1.000 ml cairan amnion walaupun jumlah ini dapat sangat
bervariasi dari beberapa mililiter sampai beberapa liter pada keadaan
abnormal (oligohidramnion dan polihidramnion atau hidramnion)7.

3.2 Ketuban Pecah Dini


Defnisi11

KPD Preterm
Ketuban pecah dini preterm adalah pecah ketuban yang terbukti
dengan vaginal pooling, tes nitrazin dan, tes fern atau IGFBP-1 (+) pada
usia < 37 minggu sebelum onset persalinan. KPD sangat preterm adalah
pecah ketuban saat umur kehamilan ibu antara 24 sampai kurang dari
34 minggu, sedangkan KPD preterm saat umur kehamilan ibu antara
34 minggu sampai kurang 37 minggu. Definisi preterm bervariasi pada
berbagai kepustakaan, namun yang paling diterima dan tersering
digunakan adalah persalinan kurang dari 37 minggu.
KPD pada Kehamilan Aterm
Ketuban pecah dini/ premature rupture of membranes (PROM)
adalah pecahnya ketuban sebelum waktunya yang terbukti dengan
vaginal pooling, tes nitrazin dan tes fern (+), IGFBP-1 (+) pada usia
kehamilan ≥ 37 minggu.

3.2.1 Etiologi dan Faktor Resiko


Sampai sekarang etiologi atau penyebab terjadinya ketuban
pecah dini masih belum diketahui dan tidak dapat ditentukan secara
pasti. Beberapa etiologi yang berhubungan dengan meningkatnya
insiden KPD adalah:

a. Fisiologi selaput ketuban yang abnormal atau bisa juga karena


volume air ketuban yang abnormal, misalnya pada kasus
hidramnion/polihidramnion yaitu jumlah cairan ketuban lebih dari
2000 cc. Pada keadaan normal, jumlah rata-rata cairan ketuban
adalah 1.000 cc. Hidramnion bisa terjadi bila pengaliran air
ketuban bertambah, bisa juga bila pengaliran air ketuban
terganggu atau kedua-duanya. Air ketuban dibentuk dari sel-sel
amnion. Air ketuban yang dibentuk, secara rutin dikeluarkan dan
diganti dengan yang baru. Salah satu cara pengeluaran air ketuban
ialah ditelan oleh janin, diabsorpsi oleh usus kemudian dialirkan
ke plasenta untuk akhirnya masuk peredaran darah ibu. Ekskresi
air ketuban akan terganggu bila janin tidak bisa menelan seperti
pada atresia esophagus atau tumor- tumor plasenta. Hidramnion
dapat memungkinkan ketegangan rahim meningkat, sehingga
membuat selaput ketuban pecah sebelum waktunya.
a. Inkompetensi serviks, yaitu leher rahim yang kelenturannya hilang
sehingga sulit untuk menahan kehamilan yang berakibat terjadinya
ketuban pecah dini karena janin tidak dapat ditahan lagi.
b. Infeksi vagina/serviks, misalnya kasus terbanyak akibat infeksi
kuman Clamidia trachomatis yaitu salah satu bakteri obligat
intraselular yang potensial. Angka prevalensi C. Trachomatis
pada kehamilan bervariasi antara 2-35%.
c. Kehamilan ganda/gemeli, yaitu kehamilan dua janin atau lebih.
Kehamilan kembar dapat memberikan resiko yang lebih tinggi
baik janin maupun ibu. Faktor resiko ketuban pecah dini pada
kembar dua 50% dan kembar tiga 90% (Manuaba, 2008). Hamil
ganda dapat memungkinkan ketegangan rahim meningkat,
sehingga membuat selaput ketuban pecah sebelum waktunya.
d. Trauma, misalnya ibu hamil yang terjatuh atau perutnya
terbentur sesuatu benda keras atau tajam yang menyebabkan
robeknya selaput ketuban.
e. Distensi uteri, terjadi biasanya akibat dari kehamilan gemeli,
trauma, ataupun hidramnion yang dapat menimbulkan adanya
ketegangan rahim secara berlebihan. Karena jumlah janin
berlebihan dan isi rahim yang lebih besar sedangkan kantung
(selaput ketuban) relatif kecil sehingga dibagian bawah tidak ada
yang menahan maka mengakibatkan selaput ketuban tipis dan
mudah pecah.
f. Stres maternal dan stres fetal. Beban psikologik yang ditanggung
oleh ibu dapat mengakibatkan gangguan perkembangan janin.
Stresor yang banyak baik stresor internal maupun stresor eksternal
dapat mengakibatkan depresi pada ibu hamil, maka kemungkinan
besar motivasi ibu untuk menjaga kehamilannya juga akan
merurun.
Perlakuan seperti itu terhadap kehamilan sudah dapat dipastikan
akan menimbulkan banyak masalah dan komplikasi salah satunya
adalah terjadinya persalinan prematur. Stres pada ibu dapat
meningkatkan kadar katekolamin dan kortisol yang akan
mengaktifkan placental corticotrophin releasing hormone dan
mempresipitasi persalinan melalui jalur biologis. Stres juga
mengganggu fungsi imunitas yang dapat menyebabkan reaksi
inflamasi atau infeksi intraamnion dan akhirnya merangsang
proses persalinan.
g. Serviks yang pendek. Resiko terjadinya persalinan preterm akan
meningkat apabila serviks yang pendek (< 30 mm). Semakin
pendek serviks, semakin mudah terjadi infeksi pada amnion.
Prosedur medis yang kurang baik. Tingkat higienitas baik peralatan
medis, tempat bersalin, maupun paramedis yang melakukan tindakan
dalam persalinan harus diperhatikan guna menekan resiko infeksi
yang terjadi.
h. Infeksi pada selaput ketuban (korioamnionitis) dapat
melemahkan selaput ketuban. Bakteri-bakteri patogen di dalam
saluran urogenital dapat meningkatkan frekuensi amnionitis,
endometritis, dan infeksi neonatal sebanyak 10 kali.
Infeksi uterus dapat berlokasi di ruang antara desidua dan
selaput ketuban, selaput ketuban sendiri, cairan amnion, dan janin.
Gambar 3. Lokasi potensial infeksi bakteri ke dalam
uterus.
Sumber: Goldenberg RL et al. N Engl J Med 2000;342:1500-1507.

Selain itu, terjadinya ketuban pecah dini dapat disebabkan oleh


faktor keturunan, malposisi atau malpresentasi janin, riwayat KPD
sebelumnya dua kali atau lebih sebelumnya, faktor yang berhubungan
dengan berat badan sebelum dan selama hamil, merokok selama
kehamilan, usia ibu yang lebih tua, riwayat hubungan seksual baru-
baru ini, multiparitas, anemia, dan keadaan sosial ekonomi.
Faktor-faktor resiko terjadinya ketuban pecah dini yang
didapatkan secara klinis adalah13:
a. Mempunyai riwayat ketuban pecah dini sebelumnya.
Ibu yang telah mengalami KPD sebelumnya akan beresiko 2-4 kali
mengalami ketuban pecah dini kembali. Patogenesis terjadinya
KPD secara singkat ialah akibat penurunan kandungan kolagen
dalam membran sehingga memicu terjadinya ketuban pecah dini/
ketuban pecah preterm. Wanita yang pernah mengalami KPD pada
kehamilan atau menjelang persalinan, pada kehamilan berikutnya
akan lebih beresiko daripada wanita yang tidak pernah mengalami
KPD sebelumnya. Hal ini terjadi karena komposisi membran yang
menjadi rapuh dan kandungan kolagen yang semakin menurun
pada kehamilan berikutnya.
b. Kebiasaan merokok. Merokok dapat menyebabkan vaskulopati
pada desidua sehingga mengakibatkan iskemik dan nekrosis.
Perokok memiliki asam amino, glukosa, asam lemak, vitamin
B12, dan asam askorbat rendah yang mungkin menghambat α1
antitripsin sebagai protease inhibitor.
c. Hubungan seks, diduga mempengaruhi hormon atau perubahan
infeksius pada segmen bawah rahim yang dapat menjadi
predisposisi kontraksi uterus dan ketuban pecah dini.
d. Defisiensi trace elements dan vitamin C yang berperan dalam
biosintesis kolagen. Ketuban pecah dini dan preterm dikaitkan
dengan penurunan kadar serum asam askorbat dan tembaga,
keduanya penting untuk pembentukan dan stabilitas kolagen.
e. Kelainan jaringan ikat. Kelainan ini berhubungan dengan
melemahnya selaput membran ketuban. Salah satu contoh
kasusnya adalah sindrom Ehler Danlos. Pada sindrom ini,
didapatkan adanya kelainan kongenital jaringan ikat yang
terjadi karena adanya kelainan sintesis kolagen . Hal ini juga
berhubungan dengan ketidakseimbangan dari aktivitas Matrik
Metalloproteinase (MMP) dan Tissue Inhibitor of Matrik
Metalloproteinase (TIMP), yang secara fisiologi akan bergeser
kearah degradasi proteolitik dari matrik ekstraseluler selaput
membran ketuban pada saat mendekati persalinan.
f. Riwayat operasi saluran genitalia misalnya dilatasi dan kuretase.
g. Peradangan pelvis dalam kehamilan.

3.2.2 Patofisiologi
Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh
kontraksi uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena
pada daerah tertentu terjadi perubahan biokimia yang menyebabkan
selaput ketuban inferior rapuh, bukan karena seluruh selaput ketuban
rapuh.4
Terdapat keseimbangan antara sintesis dan degradasi matriks
ekstraselular. Perubahan struktur, jumlah sel dan katabolisme kolagen
menyebabkan aktivitas kolagen berubah dan menyebabkan selaput
ketuban pecah. Degradasi kolagen di mediasi oleh matriks
metalloproteinase (MMP) yang dihambat oleh inhibitor jaringan
spesifik dan inhibitor protease. Mendekati waktu persalinan,
keseimbangan antara MMP dan tissue inhibitors metalloproteinase-1
(TIMP-1) mengarah pada degradasi proteolitik dari matriks ekstraselular
dan membran janin. Aktivitas degradasi proteolitik ini meningkat
menjelang persalinan.4
Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada
trimester ketiga, selaput ketuban mudah pecah. Melemahnya kekuatan
selaput ketuban ada hubungannya dengan pembesaran uterus, kontraksi
rahim, serta gerakan janin. Pada trimester terakhir terjadi perubahan
biokimia pada selaput ketuban sehingga pecahnya ketuban pada
kehamilan aterm merupakan hal fisiologis. Ketuban pecah dini pada
kehamilan preterm disebabkan oleh adanya faktor-faktor eksternal,
misalnya infeksi yang menjalar dari vagina. Di samping itu, ketuban
pecah dini preterm juga sering terjadi pada polihidramnion, inkompeten
serviks, serta solusio plasenta.4
Banyak teori, mulai dari defek kromosom, kelainan
kolagen,sampai infeksi. Pada sebagian besar kasus ternyata berhubungan
dengan infeksi (sampai 65%). Termasuk diantaranya high virulensi yaitu
Bacteroides, dan low virulensi yaitu Lactobacillus. Kolagen terdapat
pada lapisan kompakta ketuban, fibroblast, jaringan retikuler korion dan
trofoblas. Sintesis maupun degradasi jaringan kolagen dikontrol oleh
sistem aktifasi dan inhibisi interleukin-1 (IL-1) dan prostaglandin.
Jika ada infeksi dan inflamasi, terjadi peningkatan aktifitas IL-1 dan
prostaglandin, menghasilkan kolagenase jaringan, sehingga terjadi
depolimerasi kolagen pada selaput korion/amnion, menyebabkan
ketuban tipis, lemah dan mudah pecah spontan.4

Gambar 2. Ketuban Pecah Dini

Pada sebuah penelitian disimpulkan bahwa progesteron dan estradiol


dapat menurunkan konsentrasi MMP-1 dan MMP-3 serta dapat meningkatkan
konsentrasi TIMP pada fibroblas kelinci. Hormon progesteron dalam
konsentrasi yang tinggi dapat menurunkan produksi fibroblas babi tetapi
progesteron dan estradiol dalam konsentrasi rendah dapat merangsang
pembentukan kolagen pada babi yang hamil.14

Kematian sel yang terprogram (apoptosis)


Kematian sel yang terprogram atau apoptosis telah diimplikasikan
pada pembentukan kembali jaringan reproduksi termasuk serviks dan
uterus. Pada tikus yang hamil 21 hari, sel-sel epitel amniotik mengalami
apoptosis pada awal persalinan. Kematian sel ini timbul mengikuti awal
terjadinya degradasi matriks ekstraselular. Hal ini menunjukkan bahwa
apoptosis merupakan akibat dan bukan merupakan sebab terjadinya
katabolisme matriks ekstraselular. Pada kehamilan aterm dengan KPD,
amnion dan korion banyak mengandung sel-sel apoptosis terutama di
daerah yang berdekatan dengan tempat ruptur dibandingkan daerah
membran yang lain. Respon imun dapat mempercepat terjadinya
kematian sel pada membran janin (Menon, 2007).
Pada ketuban pecah dini aterm ditemukan sel-sel yang
mengalami kematian sel terpogram (apoptosis) di amnion dan korion
terutama disekitar robekan selaput ketuban. Pada korioamnionitis telihat
sel yang mengalami apoptosis melekat dengan granulosit, yang
menunjukkan respon imunologis mempercepat terjadinya kematian sel.
Kematian sel yang terprogram ini terjadi setelah proses degradasi matriks
ekstraseluler dimulai yang menunjukkan bahwa apoptosis merupakan
akibat dan bukan penyebab degradasi tersebut. Namun, mekanisme
regulasi dari apoptosis ini belum diketahui dengan jelas (Garite, 2004).
Dari penelitian yang dilakukan oleh Prabantoro dkk (2011)
menunjukkan bahwa peningkatan apoptosis sel amnion pada ibu hamil
yang menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini kemungkinan besar
disebabkan oleh adanya infeksi dan berhubungan dengan endonuclease-G
karena adanya hambatan pada jalur caspade dependent. Pada keadaan sel
yang mengalami infeksi atau stres, biasanya jalur apoptosis klasik atau
caspade dependent pathway tidak berjalan, sehingga diduga mekanisme
apoptosis yang terjadi melalui jalur yang lain yang disebut caspade
independent pathway (Numazaki dkk, 2003; Burdon dkk, 2002).
Parameter yang digunakan untuk mengetahui terjadinya peningkatan
apoptosis melalui jalur caspade independent pathway adalah
endonuclease-G , hal ini disebabkan faktor endonuclease-G ini muncul
paling awal dan dominan sebagai bentuk respon adanya apoptosis melalui
caspade independent (Zhang dkk, 2003).
Keregangan membran
Overdistensi uterus terutama pada polihidramnion dan kehamilan
multifetus menyebabkan keregangan membran serta meningkatkan resiko
ketuban pecah dini. Mekanisme keregangan membran janin mengatur
beberapa faktor amniotik termasuk PGE2 dan IL-8. Keregangan ini juga
dapat meningkatkan aktivitas MMP-1 pada membran. Prostaglandin E2
meningkatkan iritabilitas uterus, mengurangi sintesa kolagen membran
janin, dan meningkatkan produksi MMP-1 dan MMP-3. Interleukin-8
dihambat oleh progesteron pada trimester kedua kehamilan. Produksinya
dalam cairan amnion akan meningkat selama trimester ketiga. Produksi
kedua substrat ini diakibatkan oleh perubahan biokimia pada membran
janin yang dimulai oleh keregangan membran (Menon, 2007).
Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada
trimester ketiga selaput ketuban mudah pecah. Melemahnya kekuatan
selaput ketuban ada hubungannya dengan pembesaran uterus, kontraksi
rahim, dan gerakan janin. Pada trimester terakhir terjadi perubahan
biokimia pada selaput ketuban. Pecahnya ketuban pada kehamilan aterm
merupakan hal fisiologis12.

3.2.3 Diagnosis11
Penilaian awal dari ibu hamil yang datang dengan keluhan KPD aterm
harus meliputi 3 hal, yaitu konfirmasi diagnosis, konfirmasi usia gestasi dan
presentasi janin, dan penilaian kesejahteraan maternal dan fetal. Tidak semua
pemeriksaan penunjang terbukti signifikan sebagai penanda yang baik dan
dapat memperbaiki luaran. Oleh karena itu, akan dibahas mana pemeriksaan
yang perlu dilakukan dan mana yang tidak cukup bukti untuk perlu dilakukan.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik
KPD aterm didiagnosis secara klinis pada anamnesis pasien dan
visualisasi adanya cairan amnion pada pemeriksaan fisik. Dari anamnesis perlu
diketahui waktu dan kuantitas dari cairan yang keluar, usia gestasi dan taksiran
persalinan, riwayat KPD aterm sebelumnya, dan faktor risikonya. Pemeriksaan
digital vagina yang terlalu sering dan tanpa indikasi sebaiknya dihindari karena
hal ini akan meningkatkan risiko infeksi neonatus. Spekulum yang digunakan
dilubrikasi terlebih dahulu dengan lubrikan yang dilarutkan dengan cairan steril
dan sebaiknya tidak menyentuh serviks. Pemeriksaan spekulum steril digunakan
untuk menilai adanya servisitis, prolaps tali pusat, atau prolaps bagian
terbawah janin (pada presentasi bukan kepala); menilai dilatasi dan pendataran
serviks, mendapatkan sampel dan mendiagnosis KPD aterm secara visual.
Dilatasi serviks dan ada atau tidaknya prolaps tali pusat harus
diperhatikan dengan baik. Jika terdapat kecurigaan adanya sepsis, ambil dua
swab dari serviks (satu sediaan dikeringkan untuk diwarnai dengan pewarnaan
gram, bahan lainnya diletakkan di medium transport untuk dikultur.
Jika cairan amnion jelas terlihat mengalir dari serviks, tidak diperlukan
lagi pemeriksaan lainnya untuk mengkonfirmasi diagnosis. Jika diagnosis tidak
dapat dikonfirmasi, lakukan tes pH dari forniks posterior vagina (pH cairan
amnion biasanya ~ 7.1-7.3 sedangkan sekret vagina ~ 4.5
- 6) dan cari arborization of fluid dari forniks posterior vagina. Jika tidak
terlihat adanya aliran cairan amnion, pasien tersebut dapat dipulangkan dari
rumah sakit, kecuali jika terdapat kecurigaan yang kuat ketuban pecah dini.
Semua presentasi bukan kepala yang datang dengan KPD aterm harus
dilakukan pemeriksaan digital vagina untuk menyingkirkan kemungkinaan
adanya prolaps tali pusat.

Pemeriksaan Laboratorium
Untuk menentukan ada atau tidaknya infeksi, kriteria laboratorium yang
digunakan adalah adanya Leukositosis maternal (WBC yang lebih dari
16.000/uL), adanya peningkatan C-reactive protein cairan ketuban dan gas-
liquid chromatography, serta amniosentesis untuk mendapatkan bukti yang kuat
(misalnya cairan ketuban yang mengandung leukosit yang banyak atau bakteri
pada pengecatan gram maupun pada kultur aerob maupun anaerob).
Tes lakmus (tes Nitrazin) digunakan, yaitu jika kertas lakmus merah
berubah menjadi biru menunjukkan adanya air ketuban (alkalis). Normalnya pH
air ketuban berkisar antara 7-7,5. Darah dan infeksi vagina dapat
menghasilkan tes yang positif palsu. Mikroskopik (tes pakis),

yaitu dengan meneteskan air ketuban pada gelas objek dan dibiarkan kering.
Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan gambaran daun pakis.

Pemeriksaan USG
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban
dalam kavum uteri. Dikenal tiga cara pengukuran cairan ketuban, yaitu secara
subyektif, semikuantitatif (pengukuran satu kantong), dan pengukuran empat
kuadran menurut Phelan. Sayangnya, tidak ada satupun metode pengukuran
volume cairan ketuban tersebut yang dapat dijadikan standar baku emas.
Penilaian subyektif oleh seorang pakar dengan menggunakan USG “real-time”
dapat memberikan hasil yang baik.
Penilaian subyektif volume cairan ketuban berdasarkan atas pengalaman
subyektif pemeriksa di dalam menentukan volume tersebut berdasarkan apa
yang dilihatnya pada saat pemeriksaan. Dikatakan normal bila masih ada bagian
janin yang menempel pada dinding uterus, dan bagian lain cukup terisi cairan
ketuban. Bila sedikit, maka sebagian besar tubuh janin akan melekat pada
dinding uterus, sedangkan bila hidramnion, maka tidak ada bagian janin yang
menempel pada dinding uterus.
Pengukuran semikuantitatif dilakukan melalui pengukuran dari satu
kantong (single pocket) ketuban terbesar yang terletak antara dinding uterus dan
tubuh janin, tegak lurus terhadap lantai. Tidak boleh ada bagian janin yang
terletak didalam area pengukuran tersebut. Klasifikasinya dapat dilihat dalam
tabel 1. dibawah ini.
Tabel 1: Pengukuran Semikuantitatif (Satu Kantong) Volume Cairan
Ketuban

Pengukuran volume cairan ketuban empat kuadran atau indeks cairan


amnion (ICA) / amnion fluid index (AFI) diajukan oleh Phelan, dkk (1987)
lebih akurat dibandingkan cara lainnya. Pada pengukuran ini, abdomen ibu
dibagi atas empat kuadran. Garis yang dibuat melalui umbilikus vertikal ke
bawah dan transversal. Kemudian transduser ditempatkan secara vertikal tegak
lurus lantai dan cari diameter terbesar dari kantong ketuban, tidak boleh ada
bagian janin atau umbilikus didalam kantong tersebut. Setelah diperoleh empat
pengukuran, kemudian dijumlahkan dan hasilnya ditulis dalam millimeter atau
sentimeter.6

Tabel 2. Indeks Cairan Ketuban Berdasarkan Pengukuran Empat Kuadran


(Phelan)
HASIL PENGUKURAN INTERPRETASI
50 – 250 mm Normal
>250 mm Polihidramnion
< 50 mm Oligohidramnion

3.2.4 Tatalaksana12
Tatalaksana pada kasus ketuban pecah dini dapat dibagi menjadi dua,
yaitu secara konservatif dan secara aktif.
a. Konservatif
Ada beberapa pilihan langkah konservatif pada pasien dengan ketuban pecah
dini berdasarkan usia kehamilannya yaitu sebagai berikut :
1. Rawat di rumah sakit, berikan antibiotik (ampisilin 4x500 mg atau
eritromisin bila tidak tahan ampisilin, dan metronidazol 2x500 mg
selama 7 hari).
2. Jika umur kehamilan < 32-34 minggu, dirawat selama air ketuban
masih keluar, atau sampai air ketuban tidak keluar lagi.
3. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi,
dan tes busa negatif, beri deksametason, observasi tanda- tanda infeksi,
dan kesejahteraan janin.
4. Jika pada kehamilan 37 minggu, maka lakukan terminasi.
5. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah inpartu, dan tidak ada infeksi,
berikan tokolitik (salbutamol), deksametason, dan induksi setelah 24
jam.
6. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, dan ada infeksi, beri antibiotik,
lakukan induksi, dan nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-
tanda infeksi intrauterin).
7. Pada usia kehamilan 32-37 minggu berikan steroid untuk memacu
kematangan paru janin, dan bila memungkinkan periksa kadar lesitin
dan spingomielin tiap minggu. Dosis betametason 12 mg/ hari dosis
tunggal selama 2 hari, deksametason IM 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4
kali.

b. Aktif
Kehamilan >37 minggu, induksi dengan oksitosin. Bila gagal lakukan
seksio sesaria. Dapat juga diberikan misoprostol 25µg-50µg intravaginal setiap
6 jam maksimal 4 kali. Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotik dosis
tinggi dan persalinan diakhiri.
1. Bila skor Bishop/ skor pelvik <5, lakukan pematangan serviks,
kemudian induksi. Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio
sesaria.
2. Bila skor Bishop/ skor pelvik >5 dilakukan induksi persalinan.
3.2.6. Komplikasi11
a. Pada janin
Salah satu komplikasi yang paling sering terjadi adalah persalinan lebih
awal. Periode laten, yang merupakan masa dari pecahnya selaput amnion
sampai persalinan secara umum bersifat proporsional secara terbalik dengan
usia gestasi pada saat KPD terjadi. Sebagai contoh, pada sebuah studi besar
pada pasien aterm menunjukkan bahwa 95% pasien akan mengalami persalinan
dalam 1 hari sesudah kejadian. Sedangkan analisis terhadap studi yang
mengevaluasi pasien dengan preterm 1 minggu, dengan sebanyak 22 persen
memiliki periode laten 4 minggu. Bila KPD terjadi sangat cepat, neonatus yang
lahir hidup dapat mengalami sekuele seperti malpresentasi, kompresi tali pusat,
oligohidramnion, necrotizing enterocolitis, gangguan neurologi, perdarahan
intraventrikel, dan sindrom distress pernapasan.
b. Pada ibu
Komplikasi pada ibu yang terjadi biasanya berupa infeksi intrauterin.
Infeksi tersebut dapat berupa endomyometritis, maupun korioamnionitis yang
berujung pada sepsis. Pada sebuah penelitian, didapatkan 6,8% ibu hamil
dengan KPD mengalami endomyometritis purpural, 1,2% mengalami sepsis,
namun tidak ada yang meninggal dunia.
Diketahui bahwa yang mengalami sepsis pada penelitian ini
mendapatkan terapi antibiotik spektrum luas, dan sembuh tanpa sekuele.
Sehingga angka mortalitas belum diketahui secara pasti. 40,9% pasien yang
melahirkan setelah mengalami KPD harus dikuret untuk mengeluarkan sisa
plasenta,, 4% perlu mendapatkan transfusi darah karena kehilangan darah
secara signifikan. Tidak ada kasus terlapor mengenai kematian ibu ataupun
morbiditas dalam waktu lama.

c. Penatalaksanaan Komplikasi
Pengenalan tanda infeksi intrauterin, tatalaksana infeksi intrauterin.
Infeksi intrauterin sering kronik dan asimptomatik sampai melahirkan atau
sampai pecah ketuban. Bahkan setelah melahirkan, kebanyakan wanita yang
telah terlihat menderita korioamnionitis dari kultur tidak memliki gejala lain
selain kelahiran preterm: tidak ada demam, tidak ada nyeri perut, tidak ada
leukositosis, maupun takikardia janin. Jadi, mengidentifikasi wanita dengan
infeksi intrauterin adalah sebuah tantangan besar.
Tempat terbaik untuk mengetahui infeksi adalah cairan amnion. Selain
mengandung bakteri, cairan amnion pada wanita dengan infeksi intrauterin
memiliki konsentrasi glukosa tinggi, sel darah putih lebih banyak, komplemen
C3 lebih banyak, dan beberapa sitokin. Mengukur hal di atas diperlukan
amniosentesis, namun belum jelas apakah amniosentesis memperbaiki keluaran
darikehamilan, bahkan pada wanita hamil dengan gejala persalinan prematur.
Akan tetapi tidak layak untuk mengambil cairan amnion secara rutin pada
wanita yang tidak dalam proses melahirkan.
Pada awal 1970, penggunaan jangka panjang tetrasiklin, dimulai dari
trimester tengah, terbukti mengurangi frekuensi persalinan preterm pada wanita
dengan bakteriuria asimtomatik maupun tidak. Tetapi penanganan ini menjadi
salah karena adanya displasia tulang dan gigi pada bayi. Pada tahun-tahun
terakhir, penelitian menunjukkan bahwa tatalaksana dengan metronidazol dan
eritromisin oral dapat secara signifikan mengurangi insiden persalinan preterm
apabila diberlikan secara oral, bukan vaginal. Ada pula penelitian yang
menunjukkan efikasi metronidazol dan ampisilin yang menunda kelahiran,
meningkatkan rerata berat bayi lahir, mengurangi persalinan preterm dan
morbiditas neonatal.
Sekitar 70-80% perempuan yang mengalami persalinan prematur tidak
melahirkan prematur. Perempuan yang tidak mengalami perubahan serviks
tidak mengalami persalinan prematur sehingga sebaiknya tidak diberikan
tokolisis. Perempuan dengan kehamilan kembar sebaiknya tidak diterapi secara
berbeda dibandingkan kehamilan tunggal, kecuali jika risiko edema paru lebih
besar saat diberikan betamimetik atau magnesium sulfat. Belum ada bukti yang
cukup untuk menilai penggunaan steroid untuk maturitas paru-paru janin dan
tokolisis sebelum gestasi 23 minggu dan setelah 33 6/7 minggu. Amniosentesis
dapat dipertimbangkan untuk menilai infeksi intra amnion (IIA) (insidens
sekitar 5-15%) dan maturitas paruparu (khususnya antara 33-35 minggu). IIA
dapat diperkirakan berdasarkan status kehamilan dan panjang serviks.
Kortikosteroid (betametason 12 mg IM 2x 24 jam) diberikan kepada
perempuan dengan persalinan prematur sebelumnya pada 24-< 34 minggu
efektif dalam mencegah sindrom distres pernapasan, perdarahan intraventrikel,
enterokolitis nekrotikans dan mortalitas neonatal.
Satu tahap kortikosteroid ekstra sebaiknya dipertimbangkan jika
beberapa minggu telah berlalu sejak pemberian awal kortikosteroid dan
adanya episode baru dari KPD preterm atau
ancaman persalinan prematur pada usia gestasi awal. Satu tahapan
tambahan betametason terdiri dari 2x12 mg selang 24 jam, diterima pada usia
gestasi < 30 minggu, minimal 14 hari setelah terapi pertama, yaitu saat usia
gestasi < 30 minggu, berhubungan dengan penurunan sindrom distres pernapasan,
bantuan ventilasi, penggunaan surfaktan, dan morbiditas neonatal. Akan tetapi,
pemberian kortikosteroid lebih dari dua tahap harus dihindari.
Pemberian magnesium sulfat intravena (dosis awal 6 gram selama 20-30
menit, diikuti dosis pemeliharaan 2 gram/ jam) pada 24-< 32 minggu segera
dalam 12 jam sebelum persalinan prematur berhubungan dengan penurunan
insidens serebral palsi secara signifikan.
Tokolitik sebaiknya tidak digunakan tanpa penggunaan yang serentak
dengan kortikosteroid untuk maturasi paru-paru. Semua intervensi lain untuk
mencegah persalinan prematur, meliputi istirahat total, hidrasi, sedasi dan lain-
lain tidak menunjukkan keuntungan dalam manajemen persalinan prematur.
Pada neonatus prematur, penundaan klem tali pusar selama 30-60 detik
(maksimal 120 detik) berhubungan dengan angka transfusi untuk anemia,
hipotensi, dan perdarahan intraventrikel yang lebih sedikit dibandingkan
dengan klem segera (< 30 detik)
BAB IV

ANALISIS KASUS

Penegakaan diagnosis pada pasien ini dapat diketahui dari anamnesis,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari hasil anamnesis
didapatkan pasien yang bernama Ny. I usia 20 tahun G1P0A0, datang dengan
keluhan utama keluar air-air dari kemaluan. Keluarnya air-air dari jalan lahir
saat kehamilan terdapat dua kemungkinan, apakah cairan tersebut berupa urine
yang berasal dari vesica urinaria atau berupa cairan ketuban yang berasal dari
OUE (Orifisium Uteri Eksternum). Untuk membedakan kedua cairan ini bisa
dilakukan dengan menggunakan tes lakmus, dimana jika di dapatkan perubahan
warna kertas lakmus dari merah menjadi biru, hal tersebut menandakan cairan
tersebut mempunyai pH basa, yakni cairan ketuban. Sedangkan jika tidak
didapatkan perubahan kertas lakmus dari warna merah tetap berwarna merah,
hal tersebut menandakan kalau cairan tersebut adalah urine.
Pada kasus ini, setelah dilakukan tes lakmus, didapatkan perubahan
warna kertas lakmus dari warna merah menjadi biru, berarti cairan tersebut
adalah cairan ketuban. Berdasarkan anamnesis, didapatkan HPHT pasien adalah
22 desember 2023, sehingga diperkirakan usia kehamilannya adalah 38 minggu.
Usia kehamilan 38 minggu termasuk ke dalam kategori hamil cukup bulan
karena usia kehamilan dikatakan cukup bulan jika berada di dalam rentang 37-
42 minggu, sedangkan jika usia kehamilan < 20 minggu disebut hamil muda.
Berdasarkan literatur, keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum proses
persalinan atau pecahnya selaput ketuban secara spontan pada saat belum
inpartu disebut ketuban pecah dini. Dari anamnesis, dapat disimpulkan pasien
belum menunjukkan tanda-tanda inpartu saat ada gejala keluar air sejak ± 12
jam SMRS. memanjang, puka, kepala, his(-), DJJ: 154 kali/menit. Berdasarkan
hasil pemeriksaan lakmus test (+) merah  biru (basa:cairan ketuban). Vaginal
touche: Portio lunak, posterior, eff 25%, ø kuncup, kepala floating, ketuban dan
Pada pasien ini dilakukan juga pemeriksaan penunjang berupa
pemeriksaan laboratorium. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
leukosit dalam batas normal yang menandakan tidak terdapat infeksi.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang, pada pasien ini dapat ditegakkan diagnosis G1P0A0 hamil 39 minggu
belum inpartu dengan KPD 12 jam janin tunggal hidup presentasi kepala. Pada
pasien ini tatalaksana awalnya berupa IVFD RL 20 tpm , Inj. Bifotik setiap 12
jam sebagai antibiotik. Kemudian monitoring Observasi His, DJJ, TTV, dan
tanda inpartu. Pada pasien ini di rencanakan untuk tatalaksana operatif.
DAFTAR PUSTAKA

1. Skinner SJM, Campos GA, Liggins GC. Collagen Content of Human


Amniotic Membranes: Effect of Gestation Length and Premature
Rupture. Obstet Gynecol 1981; 57: 487-9
2. Capeless EL, MEAD PB. Management of Preterm Premature
Membranes. Lack Of National Consensus. Am J Obstet Gynecol 1987;
11: 157
3. Vadillo-Ortega F, Gonzalez-Avila G, Karchmer S, Cruz NM, Ayala-
Ruiz A, Lama MS. Collagen Metabolism in Premature Rupture on
Amniotics Membranes. Obstet Gynecol 1990; 98: 1971-8
4. Wilkes, P.T, “Premature Ruptur of Membrane”, 2014 available at www.
emedicine. com / med/med/topic.3246.htm
5. Antonius BM (ed), “Ketuban Pecah Dini dan Infeksi Intrapartum”,
Kuliah ObstetriGinekologi FKUI,
www.geocities.com/yosemite/rapids
http://www.geocities.com/Yosemite/Rapids/1744/cklobpt11.html
6. Svigos, J.M, Robinson, J.S, Vigneswaran,R. “Premature Rupture of
the Membranes”, High Risk Pregnancy Management Options, W.B
Saunders Company, London, 2012, h.163-171
7. Cunningham FG, editor. Williams obstetrics. 25th edition. New
York: McGraw-Hill; 2018.
8. Parry S, Strauss JF, 3rd (1998) Premature rupture of the fetal
membranes. N Eng J Med 338: 663-670.
9. Benirshcke K, Kaufman P. 2000. Pathology of the Human Placenta,
4th ed. New York, Springer.
10. Gray’s Anatomy (diakses dari
www.britannica.com/EBchecked/topic/275660/human- embryology
stages 2-6 from Gray’s Anatomy plate 9).
11. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia Himpunan
Kedokteran Feto Maternal. 2016. Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran: Ketuban Pecah Dini.
12. Prawirohardjo, S. 2013. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Penerbit Bina
Pustaka. Hal: 213; 678; 680.
13. Romero R, Ghidini A, Bahado-Singh R. Premature rupture of
membranes; In: Mc Allister L,ed. Medicine of the fetus and mother.
Philadelphia: J.B. Lippincott Company; 1992.p.1430-50.
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov)
14. Karat, C., Madhivanan, P., Krupp, K., et al. 2006. The clinical and
microbiological correlates of premature rupture of membranes. Indian J
Med Micro, 24 (4): 283-5) (http://www.ncbi.nlm.nih.gov)

Anda mungkin juga menyukai