Disusun Oleh:
dr. Lisa Handayani
Dokter Pembimbing:
2023
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
KETUBAN PECAH DINI
Dokter Pembimbing
TTD TTD
PENDAHULUAN
Selaput ketuban yang membatasi rongga amnion terdiri atas amnion dan
korion yang sangat erat kaitannya. Lapisan ini terdiri atas beberapa sel seeprti
sel epitel, sel mesenkim, sel trofoblas yang terikat erat dalam matriks kolagen.
Selaput ketuban berfungsi menghasilkan air ketuban dan melindungi janin
terhadap infeksi.
Dalam keadaan normal, selaput ketuban pecah dalam proses persalinan.
Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan sebagai pecahnya selaput ketuban
sebelum terjadinya persalinan. Ketuban pecah dini dapat terjadi pada atau
setelah usia gestasi 37 minggu dan disebut KPD aterm atau premature rupture
of membranes (PROM) dan sebelum usia gestasi 37 minggu atau KPD preterm
atau preterm premature rupture of membranes (PPROM).
Masalah KPD memerlukan perhatian yang lebih besar, karena
prevalensinya yang cukup besar dan cenderung meningkat. Kejadian KPD
aterm terjadi pada sekitar 6,46-15,6% kehamilan aterm1 dan PPROM terjadi
pada terjadi pada sekitar 2-3% dari semua kehamilan tunggal dan 7,4% dari
kehamilan kembar2 . PPROM merupakan komplikasi pada sekitar 1/3 dari
semua kelahiran prematur, yang telah meningkat sebanyak 38% sejak tahun
19813 .
Pecahnya selaput ketuban berkaitan dengan proses biokimia yang terjadi
dalam kolagen matriks ekstraselular amnion, korion, dan apoptosis membran
janin. Membran janin dan desidua bereaksi terhadap stimuli seperti infeksi dan
peregangan selaput ketuban dengan memproduksi mediator seperti
prostaglandin, sitokin, dan protein hormon yang merangsang aktifitas “matriks
degarding enzym”3.
KPD merupakan masalah penting dalam obstetrik yang berkaitan
dengan penyulit kelahiran prematur dan terjadinya infeksi khorioamnioritis
sampai sepsis, yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas perinatal, dan
menyebabkan infeksi ibu. Ketuban pecah dini disebabkan oleh karena
berkurangnya kekuatan membran atau meningkatnya tekanan intrauterin atau
oleh kedua faktor tersebut. Penatalaksanaan ketuban pecah dini memerlukan
pertimbangan usia gestasi, adanya infeksi pada komplikasi ibu dan janin, dan
adanya tanda-tanda persalinan.4,5
KPD menyebabkan hubungan langsung antara dunia luar dan ruangan
dalam rahim sehingga memudahkan terjadinya infeksi asenden. Salah satu
fungsi selaput ketuban adalah melindungi atau menjadi pembatasan dunia luar
dan ruangan dalam rahim sehingga mengurangi kemungkinan infeksi. Makin
lama periode laten, makin besar kemungkinan infeksi dalam rahim.
Persalinan prematuritas dan selanjutnya meningkatkan kejadian kesakitan dan
kematian ibu dan bayi / janin dalam rahim. 6
Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang baik bagi tenaga
kesehatan mengenai kejadian ketuban pecah dini dan juga memahami tata cara
menolong persalinan preterm untuk meminimalkan dampak yang terjadi pada
bayi maupun ibu sehingga Angka Kematian Ibu dan Anak dapat berkurang.
BAB II
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny I
Tanggal Lahir/Umur : 20 Februari 2000 / 23 tahun
Alamat : Sukorambi
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
MRS : 12 September 2023
No. RM/ Register : 109318
II. ANAMNESIS
Keluhan
Keluar rembesan cairan dari jalan lahir
PEMERIKSAAN KHUSUS
- Kepala : Normocephali
- Mata : Konjungtiva palpebra pucat (-/-),sklera ikterik (-/-)
- Mulut : Bibir pucat (-), atropi papil (-), cheilitis (-)
- Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
- Thoraks : Bentuk normal, simetris
Paru
- Inspeksi :gerakan dada simetris kanan dan kiri
- Palpasi :stem fremitus kanan = kiri
- Perkusi :sonor di kedua lapang paru
- Auskultasi :vesikuler (+) normal, wheezing (-), ronkhi (-)
Jantung
- Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : ictus cordis tidak teraba
- Perkusi : batas jantung dalam batas normal
- Auskultasi : BJ I-II normal, HR 84x/menit, reguler,
murmur(-),gallop(-)
- Abdomen :
Pemeriksaan luar: FUT 3 jari di bawah procesus xipoideus
(30 cm), memanjang, puka , his (-), DJJ: 142 kali/menit, TBJ
2.945 gram.
- Ekstremitas : Edema pretibia (-/-), akral pucat (-/-)
- Genitalia
Vaginal touche:
Portio lunak, posterior, eff 25%, ø kuncup, kepala
floating
lakmus test (+) merah biru
V. DIAGNOSIS KERJA
G1P0A0 hamil 38 minggu belum inpartu dengan KPD 12 jam janin
tunggal hidup presentasi kepala
VI. TATALAKSANA
Non farmakologi
Observasi TVI, his, denyut jantung janin (DJJ), tanda inpartu selama 4
jam
Tirah baring
Diet TKTP
Farmakologi
IVFD Ringer Laktat 14 TPM
Inj Bifotik 2x1
Operatif
Dilakukan operasi section cesaria
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Pada awal proses implantasi, terbentuk suatu ruang antara massa sel
mudigah dan trofoblas di dekatnya. Sel-sel kecil yang melapisi permukaan
dalam trofoblas ini disebut sel amniogenik, prekursor epitel amnion. Amnion
manusia pertama kali dapat diidentifikasi pada sekitar hari ke-7 atau hari ke-8
perkembangan mudigah. Pada awalnya, sebuah vesikel kecil yaitu amnion,
berkembang menjadi sebuah kantung kecil yang menutupi permukaan dorsal
mudigah. Karena semakin membesar, amnion secara bertahap menelan mudigah
yang sedang tumbuh, yang mengalami prolaps ke dalam rongga amnion9.
Peregangan kantung amnion akhirnya menyebabkan amnion berkontak
dengan permukaan dalam korion leave. Aposisi mesoblas korion leave dan
amnion menjelang akhir trimester pertama kemudian menyebabkan obliterasi
selom ekstraembrionik. Amnion dan korion leave, walaupun sedikit melekat,
tidak pernah berhubungan erat, dan biasanya mudah dipisahkan, bahkan pada
kehamilan aterm7.
KPD Preterm
Ketuban pecah dini preterm adalah pecah ketuban yang terbukti
dengan vaginal pooling, tes nitrazin dan, tes fern atau IGFBP-1 (+) pada
usia < 37 minggu sebelum onset persalinan. KPD sangat preterm adalah
pecah ketuban saat umur kehamilan ibu antara 24 sampai kurang dari
34 minggu, sedangkan KPD preterm saat umur kehamilan ibu antara
34 minggu sampai kurang 37 minggu. Definisi preterm bervariasi pada
berbagai kepustakaan, namun yang paling diterima dan tersering
digunakan adalah persalinan kurang dari 37 minggu.
KPD pada Kehamilan Aterm
Ketuban pecah dini/ premature rupture of membranes (PROM)
adalah pecahnya ketuban sebelum waktunya yang terbukti dengan
vaginal pooling, tes nitrazin dan tes fern (+), IGFBP-1 (+) pada usia
kehamilan ≥ 37 minggu.
3.2.2 Patofisiologi
Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh
kontraksi uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena
pada daerah tertentu terjadi perubahan biokimia yang menyebabkan
selaput ketuban inferior rapuh, bukan karena seluruh selaput ketuban
rapuh.4
Terdapat keseimbangan antara sintesis dan degradasi matriks
ekstraselular. Perubahan struktur, jumlah sel dan katabolisme kolagen
menyebabkan aktivitas kolagen berubah dan menyebabkan selaput
ketuban pecah. Degradasi kolagen di mediasi oleh matriks
metalloproteinase (MMP) yang dihambat oleh inhibitor jaringan
spesifik dan inhibitor protease. Mendekati waktu persalinan,
keseimbangan antara MMP dan tissue inhibitors metalloproteinase-1
(TIMP-1) mengarah pada degradasi proteolitik dari matriks ekstraselular
dan membran janin. Aktivitas degradasi proteolitik ini meningkat
menjelang persalinan.4
Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada
trimester ketiga, selaput ketuban mudah pecah. Melemahnya kekuatan
selaput ketuban ada hubungannya dengan pembesaran uterus, kontraksi
rahim, serta gerakan janin. Pada trimester terakhir terjadi perubahan
biokimia pada selaput ketuban sehingga pecahnya ketuban pada
kehamilan aterm merupakan hal fisiologis. Ketuban pecah dini pada
kehamilan preterm disebabkan oleh adanya faktor-faktor eksternal,
misalnya infeksi yang menjalar dari vagina. Di samping itu, ketuban
pecah dini preterm juga sering terjadi pada polihidramnion, inkompeten
serviks, serta solusio plasenta.4
Banyak teori, mulai dari defek kromosom, kelainan
kolagen,sampai infeksi. Pada sebagian besar kasus ternyata berhubungan
dengan infeksi (sampai 65%). Termasuk diantaranya high virulensi yaitu
Bacteroides, dan low virulensi yaitu Lactobacillus. Kolagen terdapat
pada lapisan kompakta ketuban, fibroblast, jaringan retikuler korion dan
trofoblas. Sintesis maupun degradasi jaringan kolagen dikontrol oleh
sistem aktifasi dan inhibisi interleukin-1 (IL-1) dan prostaglandin.
Jika ada infeksi dan inflamasi, terjadi peningkatan aktifitas IL-1 dan
prostaglandin, menghasilkan kolagenase jaringan, sehingga terjadi
depolimerasi kolagen pada selaput korion/amnion, menyebabkan
ketuban tipis, lemah dan mudah pecah spontan.4
3.2.3 Diagnosis11
Penilaian awal dari ibu hamil yang datang dengan keluhan KPD aterm
harus meliputi 3 hal, yaitu konfirmasi diagnosis, konfirmasi usia gestasi dan
presentasi janin, dan penilaian kesejahteraan maternal dan fetal. Tidak semua
pemeriksaan penunjang terbukti signifikan sebagai penanda yang baik dan
dapat memperbaiki luaran. Oleh karena itu, akan dibahas mana pemeriksaan
yang perlu dilakukan dan mana yang tidak cukup bukti untuk perlu dilakukan.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik
KPD aterm didiagnosis secara klinis pada anamnesis pasien dan
visualisasi adanya cairan amnion pada pemeriksaan fisik. Dari anamnesis perlu
diketahui waktu dan kuantitas dari cairan yang keluar, usia gestasi dan taksiran
persalinan, riwayat KPD aterm sebelumnya, dan faktor risikonya. Pemeriksaan
digital vagina yang terlalu sering dan tanpa indikasi sebaiknya dihindari karena
hal ini akan meningkatkan risiko infeksi neonatus. Spekulum yang digunakan
dilubrikasi terlebih dahulu dengan lubrikan yang dilarutkan dengan cairan steril
dan sebaiknya tidak menyentuh serviks. Pemeriksaan spekulum steril digunakan
untuk menilai adanya servisitis, prolaps tali pusat, atau prolaps bagian
terbawah janin (pada presentasi bukan kepala); menilai dilatasi dan pendataran
serviks, mendapatkan sampel dan mendiagnosis KPD aterm secara visual.
Dilatasi serviks dan ada atau tidaknya prolaps tali pusat harus
diperhatikan dengan baik. Jika terdapat kecurigaan adanya sepsis, ambil dua
swab dari serviks (satu sediaan dikeringkan untuk diwarnai dengan pewarnaan
gram, bahan lainnya diletakkan di medium transport untuk dikultur.
Jika cairan amnion jelas terlihat mengalir dari serviks, tidak diperlukan
lagi pemeriksaan lainnya untuk mengkonfirmasi diagnosis. Jika diagnosis tidak
dapat dikonfirmasi, lakukan tes pH dari forniks posterior vagina (pH cairan
amnion biasanya ~ 7.1-7.3 sedangkan sekret vagina ~ 4.5
- 6) dan cari arborization of fluid dari forniks posterior vagina. Jika tidak
terlihat adanya aliran cairan amnion, pasien tersebut dapat dipulangkan dari
rumah sakit, kecuali jika terdapat kecurigaan yang kuat ketuban pecah dini.
Semua presentasi bukan kepala yang datang dengan KPD aterm harus
dilakukan pemeriksaan digital vagina untuk menyingkirkan kemungkinaan
adanya prolaps tali pusat.
Pemeriksaan Laboratorium
Untuk menentukan ada atau tidaknya infeksi, kriteria laboratorium yang
digunakan adalah adanya Leukositosis maternal (WBC yang lebih dari
16.000/uL), adanya peningkatan C-reactive protein cairan ketuban dan gas-
liquid chromatography, serta amniosentesis untuk mendapatkan bukti yang kuat
(misalnya cairan ketuban yang mengandung leukosit yang banyak atau bakteri
pada pengecatan gram maupun pada kultur aerob maupun anaerob).
Tes lakmus (tes Nitrazin) digunakan, yaitu jika kertas lakmus merah
berubah menjadi biru menunjukkan adanya air ketuban (alkalis). Normalnya pH
air ketuban berkisar antara 7-7,5. Darah dan infeksi vagina dapat
menghasilkan tes yang positif palsu. Mikroskopik (tes pakis),
yaitu dengan meneteskan air ketuban pada gelas objek dan dibiarkan kering.
Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan gambaran daun pakis.
Pemeriksaan USG
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban
dalam kavum uteri. Dikenal tiga cara pengukuran cairan ketuban, yaitu secara
subyektif, semikuantitatif (pengukuran satu kantong), dan pengukuran empat
kuadran menurut Phelan. Sayangnya, tidak ada satupun metode pengukuran
volume cairan ketuban tersebut yang dapat dijadikan standar baku emas.
Penilaian subyektif oleh seorang pakar dengan menggunakan USG “real-time”
dapat memberikan hasil yang baik.
Penilaian subyektif volume cairan ketuban berdasarkan atas pengalaman
subyektif pemeriksa di dalam menentukan volume tersebut berdasarkan apa
yang dilihatnya pada saat pemeriksaan. Dikatakan normal bila masih ada bagian
janin yang menempel pada dinding uterus, dan bagian lain cukup terisi cairan
ketuban. Bila sedikit, maka sebagian besar tubuh janin akan melekat pada
dinding uterus, sedangkan bila hidramnion, maka tidak ada bagian janin yang
menempel pada dinding uterus.
Pengukuran semikuantitatif dilakukan melalui pengukuran dari satu
kantong (single pocket) ketuban terbesar yang terletak antara dinding uterus dan
tubuh janin, tegak lurus terhadap lantai. Tidak boleh ada bagian janin yang
terletak didalam area pengukuran tersebut. Klasifikasinya dapat dilihat dalam
tabel 1. dibawah ini.
Tabel 1: Pengukuran Semikuantitatif (Satu Kantong) Volume Cairan
Ketuban
3.2.4 Tatalaksana12
Tatalaksana pada kasus ketuban pecah dini dapat dibagi menjadi dua,
yaitu secara konservatif dan secara aktif.
a. Konservatif
Ada beberapa pilihan langkah konservatif pada pasien dengan ketuban pecah
dini berdasarkan usia kehamilannya yaitu sebagai berikut :
1. Rawat di rumah sakit, berikan antibiotik (ampisilin 4x500 mg atau
eritromisin bila tidak tahan ampisilin, dan metronidazol 2x500 mg
selama 7 hari).
2. Jika umur kehamilan < 32-34 minggu, dirawat selama air ketuban
masih keluar, atau sampai air ketuban tidak keluar lagi.
3. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi,
dan tes busa negatif, beri deksametason, observasi tanda- tanda infeksi,
dan kesejahteraan janin.
4. Jika pada kehamilan 37 minggu, maka lakukan terminasi.
5. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah inpartu, dan tidak ada infeksi,
berikan tokolitik (salbutamol), deksametason, dan induksi setelah 24
jam.
6. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, dan ada infeksi, beri antibiotik,
lakukan induksi, dan nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-
tanda infeksi intrauterin).
7. Pada usia kehamilan 32-37 minggu berikan steroid untuk memacu
kematangan paru janin, dan bila memungkinkan periksa kadar lesitin
dan spingomielin tiap minggu. Dosis betametason 12 mg/ hari dosis
tunggal selama 2 hari, deksametason IM 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4
kali.
b. Aktif
Kehamilan >37 minggu, induksi dengan oksitosin. Bila gagal lakukan
seksio sesaria. Dapat juga diberikan misoprostol 25µg-50µg intravaginal setiap
6 jam maksimal 4 kali. Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotik dosis
tinggi dan persalinan diakhiri.
1. Bila skor Bishop/ skor pelvik <5, lakukan pematangan serviks,
kemudian induksi. Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio
sesaria.
2. Bila skor Bishop/ skor pelvik >5 dilakukan induksi persalinan.
3.2.6. Komplikasi11
a. Pada janin
Salah satu komplikasi yang paling sering terjadi adalah persalinan lebih
awal. Periode laten, yang merupakan masa dari pecahnya selaput amnion
sampai persalinan secara umum bersifat proporsional secara terbalik dengan
usia gestasi pada saat KPD terjadi. Sebagai contoh, pada sebuah studi besar
pada pasien aterm menunjukkan bahwa 95% pasien akan mengalami persalinan
dalam 1 hari sesudah kejadian. Sedangkan analisis terhadap studi yang
mengevaluasi pasien dengan preterm 1 minggu, dengan sebanyak 22 persen
memiliki periode laten 4 minggu. Bila KPD terjadi sangat cepat, neonatus yang
lahir hidup dapat mengalami sekuele seperti malpresentasi, kompresi tali pusat,
oligohidramnion, necrotizing enterocolitis, gangguan neurologi, perdarahan
intraventrikel, dan sindrom distress pernapasan.
b. Pada ibu
Komplikasi pada ibu yang terjadi biasanya berupa infeksi intrauterin.
Infeksi tersebut dapat berupa endomyometritis, maupun korioamnionitis yang
berujung pada sepsis. Pada sebuah penelitian, didapatkan 6,8% ibu hamil
dengan KPD mengalami endomyometritis purpural, 1,2% mengalami sepsis,
namun tidak ada yang meninggal dunia.
Diketahui bahwa yang mengalami sepsis pada penelitian ini
mendapatkan terapi antibiotik spektrum luas, dan sembuh tanpa sekuele.
Sehingga angka mortalitas belum diketahui secara pasti. 40,9% pasien yang
melahirkan setelah mengalami KPD harus dikuret untuk mengeluarkan sisa
plasenta,, 4% perlu mendapatkan transfusi darah karena kehilangan darah
secara signifikan. Tidak ada kasus terlapor mengenai kematian ibu ataupun
morbiditas dalam waktu lama.
c. Penatalaksanaan Komplikasi
Pengenalan tanda infeksi intrauterin, tatalaksana infeksi intrauterin.
Infeksi intrauterin sering kronik dan asimptomatik sampai melahirkan atau
sampai pecah ketuban. Bahkan setelah melahirkan, kebanyakan wanita yang
telah terlihat menderita korioamnionitis dari kultur tidak memliki gejala lain
selain kelahiran preterm: tidak ada demam, tidak ada nyeri perut, tidak ada
leukositosis, maupun takikardia janin. Jadi, mengidentifikasi wanita dengan
infeksi intrauterin adalah sebuah tantangan besar.
Tempat terbaik untuk mengetahui infeksi adalah cairan amnion. Selain
mengandung bakteri, cairan amnion pada wanita dengan infeksi intrauterin
memiliki konsentrasi glukosa tinggi, sel darah putih lebih banyak, komplemen
C3 lebih banyak, dan beberapa sitokin. Mengukur hal di atas diperlukan
amniosentesis, namun belum jelas apakah amniosentesis memperbaiki keluaran
darikehamilan, bahkan pada wanita hamil dengan gejala persalinan prematur.
Akan tetapi tidak layak untuk mengambil cairan amnion secara rutin pada
wanita yang tidak dalam proses melahirkan.
Pada awal 1970, penggunaan jangka panjang tetrasiklin, dimulai dari
trimester tengah, terbukti mengurangi frekuensi persalinan preterm pada wanita
dengan bakteriuria asimtomatik maupun tidak. Tetapi penanganan ini menjadi
salah karena adanya displasia tulang dan gigi pada bayi. Pada tahun-tahun
terakhir, penelitian menunjukkan bahwa tatalaksana dengan metronidazol dan
eritromisin oral dapat secara signifikan mengurangi insiden persalinan preterm
apabila diberlikan secara oral, bukan vaginal. Ada pula penelitian yang
menunjukkan efikasi metronidazol dan ampisilin yang menunda kelahiran,
meningkatkan rerata berat bayi lahir, mengurangi persalinan preterm dan
morbiditas neonatal.
Sekitar 70-80% perempuan yang mengalami persalinan prematur tidak
melahirkan prematur. Perempuan yang tidak mengalami perubahan serviks
tidak mengalami persalinan prematur sehingga sebaiknya tidak diberikan
tokolisis. Perempuan dengan kehamilan kembar sebaiknya tidak diterapi secara
berbeda dibandingkan kehamilan tunggal, kecuali jika risiko edema paru lebih
besar saat diberikan betamimetik atau magnesium sulfat. Belum ada bukti yang
cukup untuk menilai penggunaan steroid untuk maturitas paru-paru janin dan
tokolisis sebelum gestasi 23 minggu dan setelah 33 6/7 minggu. Amniosentesis
dapat dipertimbangkan untuk menilai infeksi intra amnion (IIA) (insidens
sekitar 5-15%) dan maturitas paruparu (khususnya antara 33-35 minggu). IIA
dapat diperkirakan berdasarkan status kehamilan dan panjang serviks.
Kortikosteroid (betametason 12 mg IM 2x 24 jam) diberikan kepada
perempuan dengan persalinan prematur sebelumnya pada 24-< 34 minggu
efektif dalam mencegah sindrom distres pernapasan, perdarahan intraventrikel,
enterokolitis nekrotikans dan mortalitas neonatal.
Satu tahap kortikosteroid ekstra sebaiknya dipertimbangkan jika
beberapa minggu telah berlalu sejak pemberian awal kortikosteroid dan
adanya episode baru dari KPD preterm atau
ancaman persalinan prematur pada usia gestasi awal. Satu tahapan
tambahan betametason terdiri dari 2x12 mg selang 24 jam, diterima pada usia
gestasi < 30 minggu, minimal 14 hari setelah terapi pertama, yaitu saat usia
gestasi < 30 minggu, berhubungan dengan penurunan sindrom distres pernapasan,
bantuan ventilasi, penggunaan surfaktan, dan morbiditas neonatal. Akan tetapi,
pemberian kortikosteroid lebih dari dua tahap harus dihindari.
Pemberian magnesium sulfat intravena (dosis awal 6 gram selama 20-30
menit, diikuti dosis pemeliharaan 2 gram/ jam) pada 24-< 32 minggu segera
dalam 12 jam sebelum persalinan prematur berhubungan dengan penurunan
insidens serebral palsi secara signifikan.
Tokolitik sebaiknya tidak digunakan tanpa penggunaan yang serentak
dengan kortikosteroid untuk maturasi paru-paru. Semua intervensi lain untuk
mencegah persalinan prematur, meliputi istirahat total, hidrasi, sedasi dan lain-
lain tidak menunjukkan keuntungan dalam manajemen persalinan prematur.
Pada neonatus prematur, penundaan klem tali pusar selama 30-60 detik
(maksimal 120 detik) berhubungan dengan angka transfusi untuk anemia,
hipotensi, dan perdarahan intraventrikel yang lebih sedikit dibandingkan
dengan klem segera (< 30 detik)
BAB IV
ANALISIS KASUS