PREEKLAMPSIA
Disusun Oleh:
dr. Nurul Fildzah K R
Pembimbing:
dr. H. Hariadhi Batriy,Sp.OG
kesempurnaan. Oleh karena itu, kami dengan penuh harap beberapa saran dan kritik
keilmuan baik bagi diri sendiri, institusi terkait, dan masyarakat umum.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
b. Status Obstetri
Mammae : kolostrum (-), hiperpigmentasi areola mammae, penonjolan
glandula mammae (-)
Abdomen :
TFU : 32 cm
LP : 105 cm
TBJ : 3.360 g
Situs : memanjang
Punggung : Kiri
Bagian terbawah : Kepala
Perlimaan : 5/5
HIS : 2x10’ (10-20)
DJJ : 149 x/menit
Anak kesan tunggal
Gerakan anak (+)
Pemeriksaan Dalam:
Portio lunak tebal,
Pembukaan 1 cm,
Penurunan H1,
Bagian terbawah kepala
Pelepasan lendir darah
3.6 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium:
NILAI
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN
RUJUKKAN
Ø Terapi :
• Pasang Infus
• Pasang Kateter Urin
• O2 8 LPM via NRM
• Futrolit + Ketorolac 30mg 8 tpm
• Nifedipine 2x10mg per oral
• Persiapan persalinan sectio cesarea
Monitoring:
• Keluhan pasien
• Tanda vital
• Urine output
• Tanda-tanda intoksikasi MgSO4
3.11 Prognosis
Quo ad vitam: bonam
Quo ad functionam: bonam
BAB III
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Preeklampsia dapat didefinisikan sebagai kumpulan gejala yang spesifik pada
kehamilan yang secara klinis dapat memberikan dampak terhadap berbagai
sistem organ. Preeklampsia merupakan sindrom dengan peningkatan tekanan
darah ≥ 140/90 mmHg yang terjadi setelah 20 minggu masa gestasi yang
disertai dengan gangguan sistem organ lainnya. Awalnya, preeklampsia
didefinisikan sebagai adanya hipertensi dan proteinuri yang baru terjadi pada
kehamilan. Meskipun kedua kriteria ini masih menjadi definisi klasik
preeklampsia, beberapa penderita menunjukkan adanya hipertensi yang
disertai dengan gangguan multisistem lain akan tetapi tidak mengalami
proteinuria.1,2
Selain itu, dikenal pula terminologi lain terkait hipertensi pada kehamilan.
1. Hipertensi gestasional, hipertensi yang pertama kali terjadi setelah 20
minggu kehamilan tanpa adanya proteinuria5
2. Eklampsia, merupakan komplikasi dari preeklampsia yang ditandai dengan
adanya kejang tonik klonik generalisata1
3. Hipertensi kronik, hipertensi yang terjadi sebelum 20 minggu kehamilan
atau yang menetap hingga 12 minggu postpartum.5
4. Superimposed preeklampsia pada hipertensi kronik, perburukan hipertensi
kronik yang telah ada sebelumnya pada saat kehamilan yang ditandai
dengan adanya proteinuria atau bertambah beratnya derajat proteinuria atau
bahkan memberikan dampak pada target organ.5
Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau
diastolik ≥ 90 mmHg pada dua kali pemeriksaan dengan jarak 15 menit pada
lengan yang sama2
B. EPIDEMIOLOGI
Hipertensi dalam kehamilan merupakan salah satu dari tiga penyebab utama
kematian ibu (25%), selain dari perdarahan (30%) dan infeksi (12%).
Prevalensi preeklampsia di negara maju sebesar 1.3% - 6% sedangkan pada
negara berkembang berkisar antara 1.8% - 18%. Secara umum hipertensi pada
kehamilan dapat terjadi pada 5% - 10% dari seluruh kehamilan. Insidens global
penyakit hipertensi pada kehamilan pada tahun 2002-2012 sebanyak 4.6%,
berkisar antara 2.7% - 8.2% tergantung dari lokasinya dan insidens global dari
preeklampsia sebesar 2.16%. Statistik ini berbeda pada tiap daerahnya sesuai
dengan karakteristik populasi, kriteria dan definisi pada tiap-tiap daerah. 2,3
Menurut data yang tercatat dari Kemenkes RI per 27 Maret 2020, total 1066
wanita hamil mengalami kematian yang disebabkan oleh hipertensi pada
kehamilan dan Sulawesi Selatan menyumbang sebesar 41 kasus.4
C. ETIOLOGI
Invasi trofoblastik abnormal
Implantasi plasenta secara umum memiliki karakteristik berupa remodeling
luas arteriol spiral pada desidua basalis. Trofoblas endovaskular menggantukan
endotel vaskular agar memperlebar diameter pembuluh darah. Pada
preeklampsia, invasi trofoblastik dapat terjadi secara tidak sempurna sehingga
arteriol yang berada lebih profunda tidak mengalami remodeling yang
menyebabkan diameter pada pembuluh darah plasenta penderita preeklampsia
tidak sebesar pada kondisi plasenta normal. Kondisi ini dapat menyebabkan
gangguan pada aliran darah plasenta. Turunnya perfusi dan kondisi hipoksik
akan menimbulkan pelepasan placental debris atau mikropartikel yang
kemudian akan menyebabkan respon inflamasi sistemik1
Faktor imunologi
Pada kehamilan normal, terdapat toleransi imunologi terhadap antigen paternal
dan fetal yang memfasilitasi implantasi plasenta. Sel natural killer pada
desidua dan human leukocyte antigen (HLAs) dari sitotrofoblas mengalami
kontak akan tetapi tidak saling bereaksi dan fetus ditoleransi secara imunologi.
Pada preeklampsia, toleransi imunologi ini mengalami gangguan yang
menyebabkan invasi trofoblastik abnormal. Pada wanita nullipara yang
sebelumnya belum terpapar oleh antigen paternal atau tingkat antigen paternal
tinggi (yang dapat dilihat pada kasus gemelli atau kehamilan mola, kelainan
imunologi ini mungkin mengalami peningkatan sehingga dapat menjelaskan
kondisi diatas sebagai salah satu faktor predisposisi preeklampsia.5
Faktor genetik
Risiko preeklampsia lebih tinggi pada wanita dengan riwayat keluarga dan
riwayat menderita preeklampsia sebelumnya. Beberapa gen telah diamati
menjadi predisposisi herediter seperti gen untuk faktor antiangiogenik pada
kromosom 13 dan gen pada kromosom 12q yang dikaitkan dengan sindrom
HELLP.5
Aktivasi sel endotel
Hipoperfusi plasenta dan hipoksia dapat menyebabkan peningkatan produksi
faktor antiangiogenik dan mengurangi produksi faktor proangiogenik. Hal ini
akan menyebabkan berkurangnya produksi prostaglandin vasodilator (PGI2)
dan nitrit oksida oleh endotelium yang akan menyebabkan kerusakan dan
disfungsi pada endotel. Selain itu, hipoksia plasenta menyebabkan pelepasan
debris sinsitiotrofoblas dan mikropartikel yang akan berujung pada produksi
sitokin, interleukin, dan tumor necrosis alpha (TNF-α) yang kemudian
menginduksi terjadinya stres oksidatif. Stress oksidatif akan menimbulkan
peningkatan radikal bebas yang akan berimplikasi pada terjadinya inflamasi,
kerusakan, dan disfungsi endotel. Disfungsi endotel dapat menyebabkan
koagulasi mikrovaskular sistemik yang bermanifestasi sebagai
trombositopenia dan peningkatan permeabilitas kapiler yang bermanifestasi
sebagai edema dan proteinuria.1,5
E. DIAGNOSIS
Hipertensi didefinisikan pemeriksaan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau
diastolik ≥ 90 mmHg pada dua kali pemeriksaan dengan interval 15 menit pada
lengan yang sama. Hipertensi berat didefinisikan sebagai peningkatan terkanan
darah sistolik ≥ 160 mmHg atau diastolik ≥ 110 mmHg. Preeklampsia
ditegakkan dengan hipertensi yang baru terjadi pada kehamilan diatas 20
minggu yang disertai dengan adanya gangguan target organ. Gangguan target
organ dapat berupa tanda dan gejala ataupun berasal dari pemeriksaan
penunjang. Gangguan tersebut berupa2,5:
1. Proteinuria ≥ 300 mg/24 jam atau rasio protein:kreatinin urin ≥ 0.3 atau
ruin dipstick protein +1
2. Trombosit < 100.000
3. Serum kreatinin > 1.1 mg/dL atau didapatkan peningkatan kadar kreatinin
dua kali lipat baseline tanpa disertai penyakit ginjal sebelumnya
4. Gangguan hepar: peningkatan enzim transaminase 2 kali normal atau
adanya nyeri epigastrik/perut kanan atas
5. Edema paru
6. Gejala neurologis: stroke, nyeri kepala, gangguan visus
7. Gangguan pertumbuhan janin, oligohidramnion
Hipertensi dan proteinuria merupakan kriteria minimal dalam melakukan
diagnosis preeklampsia. Adanya gejala-gejala pada target organ seperti yang
disebutkan diatas serta tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau diastolik ≥ 110
mmHg merupakan tanda-tanda terjadinya preeklampsia berat. 1,2,5
F. TATALAKSANA
Terminasi kehamilan merupakan terapi definiitif dari preeklampsia.
Preeklampsia dengan gejala berat merupakan indikasi utama untuk
dilakukannya terminasi terutama jika kehamilan berusia ≥ 34 minggu.
Terminasi kehamilan meminimalkan risiko komplikasi maternal, seperti
perdarahan cerebri, ruptur hepar, gagal ginjal, edema paru, kejang, dan lain-
lain. Kehamilan yang belum mencapai usia minimal viabilitas janin (23-24
minggu), kehamilan < 34 minggu disertai preterm atau premature rupture of
membrane, dan kehamilan dimana kondisi ibu atau janin tidak stabil juga
merupakan kandidat dilakukannya terminasi kehamilan pada kasus
preeklampsia berat. Upaya untuk memperpanjang usia kehamilan pada situasi
ini memiliki keuntungan yang lebih sedikit dibandingkan dengan kemungkinan
risiko yang akan ditimbulkan.6
Manajemen ekspektatif pada kasus preeklampsia berat dapat dipertimbangkan
untuk memperbaiki luaran perinatal dengan mengurangi morbiditas neonatal.
Berikut algoritma manajemen ekspektatif pada preeklampsia berat2
Antikonvulsan
Magnesium sulfat merupakan pilihan utama untuk terapi dan pencegahan dari
eklampsia. Mekanisme antikonvulsan dari magnesium sulfat belum secara
pasti diketahui. Beberapa teori mengemukakan magnesium sulfat
meningkatkan ambang batas kejang melalui mekanisme aksinya pada reseptor
n-methyl d-aspartate (NMDA), sebagai blok kanal kalsium nonspesifik pada
sistem saraf pusat yang berguna untuk stabilisasi membran, serta mengurangi
transmisi asteilkolin pada motor nerve terminal.1,6
Pemberian magnesium sulfat dapat dilakukan melalui intravena ataupun
intramuskular meskipun pemberian intramuskular sudah ditinggalkan pada
beberapa center. Syarat pemberian magnesium sulfat, yaitu (1) frekuensi napas
> 20 x/menit, (2) adanya refleks patella, (3) urin output > 100 mL/4jam, (4)
tersedianya antidotum berupa kalsium glukonas. Pemberian magnesium sulfat
dimulai dengan loading dose sebesar 4 – 6 g dalam 100 mL cairan yang
diberikan selama 15 – 20 menit pertama. Kemudian pemberian dosis rumatan
1 – 2 g dalam 100 mL cairan per jam. Jika kejang terjadi setelah loading dose,
dapat diberikan tambahan magnesium sulfat 2 g, 20% dalam cairan infus habis
dalam 3 – 5 menit. Frekuensi napas dan refleks patella harus diperiksakan
setiap jam untuk mengevaluasi tanda-tanda toksisitas1,5.
Antihipertensi
Tekanan darah harus dipertahankan pada tekanan darah sistol 140 – 160 mmHg
dan diastol 90 – 100 mmHg. Beberapa antihipertensi yang dapat diberikan,
yaitu1,5:
1. Nifedipine, merupakan calcium channel blocker aksi cepat (5 – 10 menit)
Dosis yang diberikan 10 mg setiap 30 menit per oral diikuti dengan 10 – 20
mg setiap 6 – 8 jam.
2. Labetalol, merupakan alpha-beta adrenergic blocker aksi cepat (1 – 2
menit). Dosis yang diberikan 20 – 40 mg IV setiap 10 – 15 menit atau 200
mg dua kali sehari per oral dengan dosis maksimal 220 mg setiap siklus.
3. Hidralazine, merupakan vasodilator perifer aksi cepat (10 – 20 menit).
Dosis yang diberikan 5 – 10 mg IV setiap 15 – 20 menit, maksimal 30 mg.
G. PENCEGAHAN
Beberapa pendekatan dan intervensi (diet rendah garam, minyak ikan, diuretik,
antihipertensi, heparin, dan antioksidan) telah diteliti, tetapi belum ada yang
terbukti mencegah preeklampsia. Olahraga ringan teratur juga dikaitkan
dengan penurunan risiko terjadinya preeklampsia. Suplementasi kalsium dosis
tinggi (2g/hari) bermanfaat pada wanita dengan defisiensi kalsium dan wanita
yang memiliki risiko tinggi.5
Identifikasi kehamilan risiko tinggi terjadinya preeklampsia, monitoring
kehamilan ketat, dan intervensi awal pada saat terjadi peningkatan tekanan
darah merupakan cara paling efektif untuk mencegah preeklampsia berat dan
eklampsia.5
Aspirin dosis rendah merupakan salah satu metode pencegahan pada kasus
preeklampsia. Seperti yang telah dijelaskan sebelumunya, agregasi trombosit
dan peningkatan thromboxane merupakan salah satu patogenesis dari
preeklampsia. Pemberian aspirin dosis rendah (60 – 80 mg/hari) dapat
mengurangi sintesis thromboxane. Guideline oleh National Institue for Health
and Care Excellence (NICE) merekomendasikan pemberian aspirin 75
mg/hari, mulai pada kehamilan usia 12 minggu hingga sebelum persalinan.
Indikasi pemberian menrutu NICE sebagai berikut5:
Wanita dengan faktor risiko tinggi preeklampsia:
• Penyakit hipertensi saat kehamilan sebelumnya
• Penyakit ginjal kronis
• Penyakit autoimun seperti SLE
• Sindrom antibodi antifosfolipid
• DM tipe 1 atau 2
• Hipertensi kronik
Wanita dengan dua atau lebih faktor risiko sedang preeklampsia:
• Kehamilan pertama
• Usia ≥ 40 tahun
• Interval kehamilan > 10 tahun
• IMT > 35 kg/m2 pada kunjungan pertama
• Riwayat keluarga preeklampsia
• Kehamilan ganda
H. KOMPLIKASI
Komplikasi dari preeklampsia dapat dibagi menjadi komplikasi maternal dan
komlikasi fetal. Komplikasi maternal meliputi, solusio plasenta, edema paru,
ruptur hepar akibat hematom, gagal ginjal, sindrom HELLP, disseminated
intravascular coagulation (DIC), dan kejang. Komplikasi jangka panjang pada
ibu berupa hipertensi, penyakit kardiovaskular, dan sindrom metabolik.5
Perkembangan janin terhambat merupakan komplikasi yang umum didapatkan
pada preeklampsia. Peningkatan mortalitas dan morbiditas janin pada
preeklampsia disebabkan oleh gangguan pertumbuhan janin dan prematuritas.
Komplikasi jangka pendek pada janin dapat juga berupa kematian intrauterin,
asfiksia intrapartum, hipoksik iskemik ensefalopati, dan peningkatan
mortalitas perinatal. Komplikasi jangka panjang dapat berupa cerebral palsy
dan gangguan neurologis lainnya.5
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham et al. 2018. Willaims obstetrics 25th edition. New York:
McGraw-Hill Education.
2. Wibowo, Noroyono et al. 2016. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran:
Diagnosis dan tatalaksana preeklampsia. Jakarta: Perkumpulan Obstetri dan
Ginekologi Indonesia Himpunan Kedokteran Feto Maternal.
3. Kongwattanakul, Kiattisak. 2018. Incidence, characteristics, maternal
compliactions, and perinatal outcomes associated with preeclampsia with
severe features and HELLP syndrome. Khon Khaen: Dovepress
4. Budijanto, Didik et al. 2019. Data dan Informasik Profil Kesehatan
Indonesia 2019. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
5. Seshadri L, Arjun G. 2015. Essentials of Obstetrics. New Delhi: Wolters
Kluwer Health (India)
6. Uptodate