OLEH:
PEMBIMBING :
2017
BAB I
PENDAHULUAN
Preeklampsia merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat terjadi ante, intra,
dan postpartum, serta dapat terbagi menjadi preeklampsia ringan dan berat menurut
gejalanya. Preeklampsia ringan berkaitan dengan menurunnya perfusi organ yang berakibat
terjadinya vasospasme pembuluh darah dan aktivasi endotel, serta ditandai dengan
hipertensi (sistolik/diastolik ≥ 140/90 mmHg), proteinuria (≥300 mg/24 jam atau ≥ 1 +
dipstick), dan edema pada lengan, muka, perut, dan generalisata. Preeklampsia berat
ditandai dengan tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110
mmHg disertai proteinuria lebih dari 5g/24 jam. Disebut impending eklampsia bila
preeklampsia berat disertai gejala-gejala subjektif berupa nyeri kepala hebat, gangguan
visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium, dan kenaikan progresif tekanan darah.
Preeklamsia merupakan masalah kesehatan yang memerlukan perhatian khusus
karena preeklamsia adalah penyebab kematian ibu hamil dan perinatal yang tinggi terutama
di negara berkembang. Sampai saat ini preeklamsia masih merupakan ”the disease of
theories”, karena angka kejadian preeklampsia-eklampsia tetap tinggi dan mengakibatkan
angka morbiditas dan mortilitas maternal yang tinggi (Manuaba, 2010). Prevalensi
preeklamsia adalah 2,8% dari kehamilan di negara berkembang, dan 0,6% dari kehamilan di
negara maju (WHO, 2015).
Insiden hipertensi saat kehamilan pada populasi ibu hamil dari tahun 1997 hingga
2007 di Australia, Kanada, Denmark, Norwegia, Skotlandia, Swedia dan Amerika berkisar
antara 3,6% hingga 9,1%, preeklamsia 1,4% hingga 4,0%, dan tanda awal preeklamsia
sebanyak 0,3% hingga 0,7% (Roberts, 2011). Selain itu insiden kejadian preeklamsia di
dunia meningkat sebanyak 25% dari tahun 1987-1988 hingga 2003-2004 (Roberts, 2011).
Penelitian yang dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta mendapatkan
hasil bahwa prevalensi preeklamsia pada tahun 2007–2009 adalah 118 kasus (3,9%) dari
total persalinan (3036 persalinan) (Djannah, 2010). Angka kematian ibu di dunia mencapai
529.000 per tahun, dengan rasio 400 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup dimana 12%
dari kematian ibu disebabkan oleh preeklamsia (WHO, 2005). Preeklamsia juga menjadi
penyebab langsung kematian ibu di Inggris yaitu sebesar 15% (Symonds, 2010). Di
Indonesia, pada tahun 2006 angka kematian ibu (AKI) yang disebabkan oleh preeklamsia
adalah sebanyak 5,8% (Depkes, 2007).
Preeklamsia merupakan merupakan penyebab utama kematian perinatal dan dapat
mengakibatkan retardasi mental pada anak (Knuppel, 1993). Selain itu preeklamsia dapat
mengakibatkan kematian ibu, terjadinya prematuritas, serta dapat mengakibatkan Intra
Uterin Growth Retardation (IUGR) dan kelahiran mati karena pada preeklamsia akan terjadi
perkapuran di plasenta yang menyebabkan makanan dan oksigen yang masuk ke janin
berkurang (Benson, 2009).
1.2 Tujuan
Penulisan laporan kasus ini memilki tujuan untuk mengetahui sebagai berikut.
a. Prosedur penegakan diagnosis preeklamsia berat yang benar.
b. Faktor risiko terjadinya preeklampsia berat
c. Manajemen penatalaksanaan preeklamsia berat.
1.3 Manfaat
URAIAN KASUS
2.1 Identitas
No. Register : 099421
Nama : Ny. Yuliana
Umur : 37 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMA
Agama : Islam
Suku : Jawa
Status : Menikah 1x
Lama menikah : 5 tahun
Alamat : Desa Salam RT 01 / RW 02 Nglegok Blitar
Tgl MRS : 3 Juni 2017
2.2 Subyektif
Ny.Y / 37 tahun / menikah 1x, 5 tahun / G2P1001Ab000 / AT: 4 tahun / KB suntik 3 bulan,
berhenti 1 tahun/ HPHT: 01-09-2016 ~ 39-40 minggu / TP: 08-06-2017
At/P/I/ H/
No BBL Cara Lahir Penolong L/P Umur
Ab/E M
SC ai
Sp.OG di RS.
1. At 3400 gr Partus P 4 th H
Syuhada Haji
macet
Hamil
2.
ini
2.3 Obyektif
Status Generalis
Keadaan umum : Pasien tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis, GCS 456
Berat Badan : 89 kg
Berat Badan sebelum hamil : 72 kg
Tinggi Badan : 150 cm
BMI : 32 kg/m2
Tekanan Darah : 170/100 mmHg
Nadi : 88 x/menit, reguler
Laju Pernapasan : 20 x/menit
Tax : 36,50C
Trect : 36,80C
Kepala dan leher : Anemis -/-, icterus -/-, pembesaran KGB (-)
Thorax : Rongga dada simetris, retraksi (-)
C/ S1S2 tunggal, murmur (-)
P/ v v Rh - - Wh - -
vv -- --
vv -- --
Abdomen :TFU 31 cm, letak janin bujur U, TBJ 2945 g, DJJ:
143x/menit, His (-), scar midline
VT (setelah SM) : pembukaan Ø 0-1 cm, eff 25%, Hodge I, ketuban (+),
presentasi kepala, denominator sulit dievaluasi,
Ukuran Panggul Dalam ~ dalam batas normal.
Hematologi
Hemoglobin 13,8 g/dL 12,0-18,0
Eritrosit 4,57 g/dL 4,0-5,50
Leukosit 14.600 µL 4.500 -11.000
Hematokrit 38,7 % 32-54
Trombosit 165 103/µL 150-450
Faal hemostasis
PPT 10,6 Detik 10-14
APTT 33,3 Detik 25-35
Faal Hati
AST/SGOT 17 U/L L<37/P<31
ALT/SGPT 15 U/L L<41/P<31
Albumin 3,61 g/dL 3,5 – 5,2
Faal Ginjal
Ureum/Creatinin 17/0,92 mg/dL 20-45 / 0,5-1,5
Metabolisme
Karbohidrat
Glukosa Darah
54 mg/dL 70-120
Sewaktu
Elektrolit Serum
Na/K/Cl 135,5/3,59/103,9 mmol/L 135-150/3,4-5,3/98-107
USG (3-6-2017)
Tampak janin intrauterine T/H
- Letak Bujur Kepala Dibawah
- BPD : 9,12 (37w0d)
- AC : 34,82 (38w5d)
- FL : 7,61 (38w6d)
- EFW : 3000 g
- AFI : 13,08
- Implantasi plasenta di corpus anterior
- Maturasi grade 3
- Jenis kelamin laki-laki
2.5 Assessment
G2P1001Ab000 gr 39-40 minggu T/H
(+) Hipertensi Kronis SIPE
(+) Impending Eklampsia
(+) Bekas SC
(+) Riwayat asma bronchiale
(+) usia>= 35 tahun
(+) Obesitas
2.6 Planning
PDx : -
PTx :
- SM full dose bolus 4 g bolus pelan lanjut drip 6 mg dalam 500 cc RD5% habis dalam 6 jam
- Usul terminasi dengan SC Cito + IUD
Premedikasi:
- Injeksi Ceftriaxone 1 g
- Injeksi Metoclopramide 1 amp
PMo : Observasi tanda-tanda vital, DJJ, tanda-tanda impending.
PEd : KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi) pasien dan keluarga tentang:
- Kondisi pasien
- Prosedur tindakan medis yang akan dilakukan
- Efek samping dan komplikasi dari tindakan yang dilakukan
- Prognosis
Tindakan
Sectio Secarea
KALA II
Tanggal : 3/6/2017 Pukul 15.30
Cara Kelahiran : SCTP
Indikasi : PEB + Impending Eklampsia
Berat : 2900 gram
Panjang : 48 cm
Jenis kelamin : Laki-laki
AS : 7-8
Kelainan kongenital : (-)
KALA III
Tanggal : 3/6/2017 Pukul 15.32
Cara plasenta lahir : Tarikan ringan
Indikasi : Kala III
PLASENTA
lengkap, sikatrik (-), kalsifikasi (-)
Tali Pusat 50 cm
PERINEUM
Episiotomi (-), robekan jalan lahir (-)
2.6 Outcome
Bayi lahir dengan jenis kelamin laki-laki pada tanggal 3 Juni 2017, pukul 15.30 WIB
dengan cara SCTP dengan induksi SM atas indikasi PEB dengan Impendin Eklampsia.
Berat bayi 2900 gr, panjang 48 cm, dengan Apgar Score pada menit pertama 7 dan pada
menit kedua 8. Kelainan kongenital (-).
BAB III
PERMASALAHAN
3.1 Diagnosa
Bagaimana penegakan diagnosa pada kasus ini?
3.2 Faktor Risiko
Bagaimana faktor risiko pada kasus ini?
3.2 Penatalaksanaan
Bagaimana penatalaksanaan pada kasus ini?
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
4.2.4 Eklampsia
Eklampsia didiagnosa bila maternal mengalami kejang umum dan/atau koma,
ada gejala preeklamsia, dan tidak ada kemungkinan penyebab lain (misalnya epilepsy,
perdarahan subarachnoid, dan meningitis).
Teori Genetik
Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotipe ibu lebih
menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial jika dibandingkan dengan
genotipe janin. Telah terbukti bahwa pada ibu yang mengalami preeklampsia, 26% anak
perempuannya akan mengalami preeklampsia pula, sedangkan hanya 8% anak menantu
mengalami preeklampsia.
4.7 Penatalaksanaan
4.7.1 Penatalaksanaan Preeklampsia Ringan
Hal yang perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan preeklampsia riangan adalah
keselamatan dari ibu dan janin serta pemilihan cara persalinan. Langkah-langkah
penatalaksanaannya pun tergantung dari hasil evaluasi keadaan ibu dan janin, usia
kehamilan, ada tidaknya pecah ketuban, perdarahan vagina, dan permintaan dari pasien
sendiri (American College of Obstetricians and Gynecology, 2013; Royal College of
Physicians of Ireland, 2013).
Tujuan utama dari penatalakasanaan preeklampsia ringan adalah mencegah kejang,
perdarahan intrakranial, gangguan fungsi organ vital sehingga dapat melahirkan bayi yang
sehat (Sarwono, 2011).
a. Penatalaksanaan Antepartum
Pasien dapat dirawat secara rawat jalan. Ketika pasien mulai terdiagnosis sampai
pasien melahirkan, maka perlu dilakukan monitoring ketat mengenai terhadap keluhan
terutama yang mengarah ke tanda-tanda adanya preeklampsia berat (impending
eclampsia) seperti ada tidaknya nyeri kepala hebat, pengelihatan kabur, nyeri
epigastrik, dan sesak napas. Keluhan mengenai gerakan janin juga perlu ditanyakan.
Pasien diminta melakukan ANC secara rutin untuk mengetahui status janin dan jika
perlu USG untuk mengetahui pertumbuhannya. Pengukuran tekanan darah 2 kali
seminggu dan penghitungan jumlah trombosit, enzim liver, dan ureum/kreatinin secara
mingguan perlu dilakukan (American College of Obstetricians and Gynecology, 2013;
Royal College of Physicians of Ireland, 2013; Sarwono, 2011).
Pasien diberikan KIE untuk banyak istirahat dengan tidur miring namun tirah baring
lama tidak dianjurkan karena dapat meningkatkan resiko tromboemboli. Obat anti
hipertensi juga tidak perlu diberikan dan tidak ada batasan jumlah garam dalam
konsumsi makanan selama fungsi ginjalnya masih bagus. Pasien disarankan banyak
makan cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, garam secukupnya dan diberikan
tambahan roboransia pranatal (American College of Obstetricians and Gynecology,
2013; Royal College of Physicians of Ireland, 2013; Sarwono, 2011).
Pada keadaan tertentu, pasien perlu dirawat di rumah sakit. Kriteria untuk rawat inap
antara lain bila tidak ada perbaikan tekanan darah dan kadar proteinuri selama 2
minggu dan adanya satu atau lebih gejala dan tanda-tanda preeklampsia berat.
b. Penatalaksanaan Intrapartum
Jika pasien sudah menunjukkan tanda-tanda in partu dan usia kehamilan memasuki
atau lebih dari 37-38 minggu atau apabila usia kehamilan 34-35 minggu atau lebih
dengan tanda-tanda perburukan maka dapat dilakukan induksi persalinan. Pada
kehamilan aterm (> 37 minggu),persalinan ditunggu sampai terjadi onset persalinan dan
dipertimbangkan untuk melakukan induksi pada taksiran tanggal persalinan. Persalinan
dapat dilakukan secara spontan (American College of Obstetricians and Gynecology,
2013; Sarwono, 2011).
Pada kehamilan preterm (< 37 minggu) apabila tidak didapatkan tanda-tanda
perburukan maka observasi dapat dilanjutkan dan induksi persalinan dapat dilakukan
setelah usia kehamilan aterm (American College of Obstetricians and Gynecology,
2013; Sarwono, 2011)
Pemberian profilaksis magnesium sulfat hanya diberikan apabila ada keluhan seperti
nyeri kepala, perubahan status mental, pandangan kabur, stomata, klonus, dan nyeri
perut di kuadran kanan atas (American College of Obstetricians and Gynecology, 2013)
Gambar 1. Penatalaksanaan Preeklampsia Ringan Intrapartum
Resiko terjadinya edema paru dan oligouria pada pasien preeklampsia berat tinggi
sehingga perlu dilakukan pengelolaan cairan yang tepat dengan memonitoring input dan
output cairan. Cairan yang dapat diberikan RD5 <125 cc/jam atau infus D5 yang setiap 1
liternya diselingi dengan RL 60-125 cc/jam. Untuk memonitorng output cairan dapat
dipasang Foley catheter (Sarwono, 2011).
Pasien dengan preeklampsia beresiko tinggi untuk terkena penyakit tromboemboli.
Oleh karena itu, semua pasien seharusnya mendapatkan heparin baik saat sebelum
maupun setelah pasien mobilisasi penuh pasca melahirkan (Royal College of Physicians of
Ireland, 2013).
Apabila terjadi edema paru atau payah jantung kongestif maupun anasarka dapat
diberikan diuretik furosemid. Pemberian glukokortikoid digunakan untuk pematangan paru
janin. Glukokortikoid diberikan pada kehamilan 32-34 minggu (Sarwono, 2011).
Berdasarkan Williams Obstetrics, ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan
gejala-gejala preeklampsia berat selama perawatan, maka sikap terhadap kehamilannya
dibagi menjadi:
- Aktif (aggresive management) artinya kehamilan segera diakhiri bersamaan dengan
pemberian pengobatan medikamentosa
- Konservatif (ekspektatif) artinya kehamilan tetap dipertahankan bersamaan dengan
pemberian pengobatan medikamentosa (Sarwono, 2011)
Indikasi perawatan aktif ialah bila didapatkan satu/ lebih keadaan di bawah ini:
a. Pada ibu
- Umur kehamilan ≥ 37 minggu
- Adanya tanda/ gejala impending eclampsia
- Kegagalan terapi pada perawatan konservatif antara lain keadaan klinik dan
laboratorium memburuk
- Diduga terjadi solusio plasenta
- Timbul onset persalinan, ketuban pecah, atau perdarahan
b. Pada janin
- Tanda-tanda fetal distress
- Tanda-tanda IUGR
- NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal
- Oligohidroamnion
c. Hasil laboratorik
- Tanda-tanda sindroma HELLP khususnya menurunnya trombosit dengan cepat
(Sarwono, 2011)
4.8 Komplikasi
4.8.1 Komplikasi pada Ibu
- Eklampsia
Eklampsia merupakan kasus akut pada penderita eklampsia yang disertai dengan kejang
menyeluruh dan koma. Komplikasi ini dapat timbul pada ante, intra, maupun post partum.
Eklampsia post partum umumnya hanya terjadi 24 jam pertama setelah persalinan.
Eklampsia selalu didahului oleh preeklampsia.
Kejang dimulai dengan kejang tonik selama 15-30 detik kemudian disusul dengan kejang
klonik kurang lebih 1 menit. Kontraksi kemudian berangsur-angsur melemah dan
akhirnya berhenti serta penderita jatuh ke dalam keadaan koma (Sarwono, 2011).
- Sindrom HELLP
Sindroma HELLP ialah preeklampsia-eklampsia disertai timbulnya hemolisis, peningkatan
enzim hepar, disfungsi hepar, dan trombositopenia. Hemolisis ditandai dengan kenaikan
LDH, AST, dan bilirubin indirek. Disfungsi hepar ditandai dengan kenaikan ALT, AST, dan
LDH. Trombositopenia apabila trombosit ≤ 150.000/ml (Sarwono, 2011).
Berdasarkan kadar trombositnya maka sindroma HELLP diklasifikasi dengan nama
Klasifikasi Mississippi
1. Klas 1: Kadar trombosit ≤ 50.000/ml
LDH ≥ 600 IU/l
AST dan/atau ALT ≥ 40 IU/l
2. Klas 2: Kadar trombosit > 50.000/ml dan ≤ 100.000/ml
LDH ≥ 600 IU/l
AST dan/atau ALT ≥ 40 IU/l
3. Klas 2: Kadar trombosit > 100.000/ml dan ≤ 150.000/ml
LDH ≥ 600 IU/l
AST dan/atau ALT ≥ 40 IU/l
- Gangguan pada organ lain
Gangguan sistem saraf pusat: perdarahan intrakranial, trombosis vena sentral, hipertensi
ensefalopati, edema serebri, edema retina, makular atau retina detachment dan kebutaan
korteks
Gangguan gastrointestinal-hepatik: subskapular hematoma hepar, ruptur kapsul hepar
Gangguan ginjal: gagal ginjal akut, nekrosis tubular akut.
Gangguan hematologi: DIC, trombositopeni, dan hematoma luka operasi
Gangguan kardiopulmonar: edema paru kardiogenik atau nonkardiogenik, depresi atau
arrest pernapasan, henti jantung, dan iskemia miokardium
Lain-lain: asites, edema laring, hipertensi yang tidak terkendalikan (Laura A et al, 2014;
Sarwono,2011).
PEMBAHASAN
5.1 Diagnosa
Diagnosis dari kasus ini didapat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis, didapatkan pasien berusia 37 tahun dengan
status obstetri G2P1001Ab000 dengan umur kehamilan sekitar 39-40 minggu datang dengan
keluhan kaki bengkak, disertai pusing dan tekanan darah 170/100. Pasien memiliki riwayat
tekanan darah tinggi sejak 2 tahun yang lalu, tetap tidak rutin minum obat. Pada
pemeriksaan fisik, didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit sedang dengan derajat
kesadaran compos mentis, GCS 456. Pasien memiliki berat badan 72kg dengan tinggi
badan 150cm, BMI sebesar 32kg/m2, sehingga pasien dikategorikan dalam berat badan
obesitas. Pada kepala, leher, thoraks, dan ekstremitas tidak ditemukan kelainan. Pada
pemeriksaan abdomen didapatkan tinggi fundus uteri 31cm dengan bayi pada letak bujur
kepala di bawah. Dari pemeriksaan penunjang menggunakan dipstick, didapatkan protein +1
dan albumin trace. Hasil tersebut menandakan adanya peningkatan permeabilitas membran
basalis glomerulus sehingga terjadi kebocoran dan mengakibatkan proteinuria. Proteinuria
merupakan syarat untuk diagnosis preeklampsia.
Dapat disimpulkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, pasien didiagnosis pre eklampsia berat dengan impending eklampsia, karena
pasien memiliki tekanan darah tinggi, yaitu 170/100 disertai proteinuria. Pasien didiagnosis
dengan impending eklampsia karena pasien mengeluh pusing.
Faktor resiko hipertensi dalam kehamilan yang diketahui pada pasien ini adalah usia
lanjut, penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil, dan obesitas.
Kehamilan pasien saat ini merupakan kehamilan yang kedua dengan suaminya (menikah
1x, lama menikah 5 tahun), sehingga faktor resiko primigravida dan primipaternitas dapat
disingkirkan. Usia pasien ini adalah 37 tahun, yang secara teori kandungan merupakan usia
yang ekstrem untuk hamil. Tidak didapatkan riwayat keluarga maupun riwayat kehamilan
sebelumnya pernah preeklampsia/eklampsia. Berat badan pasien adalah 72kg dengan tinggi
badan 150cm, sehingga didapatkan BMI pasien sebesar 32kg/m2 dan termasuk dalam
obesitas. Pasien mengaku memiliki riwayat tekanan darah tinggi 2 tahun sebelum kehamilan
ini dan tidak teratur minum obat.
5.3 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada preeklampsia berat tergantung pada usia kehamilannya.
Tujuan pengelolaan pre eklampsia berat mencakup pencegahan kejang, pengobatan
hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan suportif terhadap penyulit organ yang terlibat, dan
mengetahui saat yang tepat untuk persalinan (Sarwono,2011).
Pasien dengan preeklampsia berat harus segera masuk ke rumah sakit dilanjurkan
tirah baring miring ke kiri. Secara umum perlu dilakukan monitoring ketat terhadap tanda-
tanda vital dan produksi urin serta saturasi oksigen. Keadaan janin dipantau menggunakan
CTG. Pemeriksaan laboratorium diulang setiap 12 jam. Apabila ditemukan hasil yang
abnormal, pemeriksaan dapat diulang setiap 4-8 jam. Pemeriksaan yang diperlukan antara
lain darah lengkap, faal hati, faal hemostasis, dan serum elektrolit. (Royal College of
Physicians of Ireland, 2013).
Untuk mencegah kejang dapat diberikan obat anti kejang. SM diberikan sebanyak
dua kali, yaitu initial dose dan maintenance dose. Menurut Sarwono, initial dose diberikan 4
gram SM IV (40% dalam 10 cc) selama 15 menit. Untuk maintenance dosenya dapat
diberikan berupa infus 6 gr dalam larutan ringer/ 6 jam atau diberikan 4 atau 5 gr secara IM
kemudian selanjutnya 4 gr IM tiap 6 jam. Pemberian SM dilanjutkan hingga 24 jam pasca
persalinan. Pasien ini diberi SM full dose bolus 4 gr bolus pelan lanjut drip 6 mg dalam 500
cc RD5% habis dalam 6 jam.
Sikap terhadap persalinan ditentukan oleh derajat tekanan darah dan perjalanan
klinik. Bila didapatkan tekanan darah yang terkendali, perjalanan kehamilan normal, maka
dapat diteruskan sampe aterm (Parkland Memorial Hospital, Dallas). Bila terjadi komplikasi
dan kesehatan janin bertambah buruk, maka segera diterminasi dengan induksi persalinan,
tanpa memandang umur kehamilan. Pasien ini dilakukan SC dengan indikasi PEB disertai
impending eklampsia.
BAB VI
5.1 Kesimpulan
Preeklampsia merupakan penyakit yang masih sering ditemukan pada wanita hamil.
Penegakan diagnosis yang baik melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang dapat
membantu pemilihan tatalaksana. Tatalaksana yang cepat dan tepat dapat mencegah
komplikasi penyakit serta kematian ibu dan anak.
5.2 Saran
1. Pentingnya KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) tentang pentingnya
pencegahan terjadinya preeklampsia pada wanita hamil meliputi menghindari makanan
yang asin dan banyak lemak, mengkonsumsi makanan yang mengandungi banyak
serat dan menjaga berat badan ideal.
2. Pentingnya KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) tentang pentingnya ANC untuk
mendeteksi dini preeklampsia supaya perencanaan tatalaksana yang efektif dapat
dilakukan.
3. Pentingya KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) pada pasien yang mempunyai
faktor resiko yang tinggi dan edukasi cara melahirkan bayi dengan lebih awal secara
normal atau SC untuk mencegah terjadinya komplikasi dan mortalitas ibu dan anak.
DAFTAR PUSTAKA
Berks D, Steegers EA, Molas M, et al. Resolution of Hypertension and Proteinuria After
Preeclampsia. Obstet Gynecol. 2009 Dec; 114 (6): 1307-14 :
10.1097/AOG.0b013e3181c14e3e.
Benson, Ralph C and Martin L. Pernoll. Buku Saku Obstetri dan Ginekologi. 9th ed. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2009.
Djannah, Sitti Nur and Ika Sukma Arianti. Gambaran Epidemiologi Kejadian
Preeklampsia/Eklampsia di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2007–2009.
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. 2010. Vol. 13 No. 4. : 378– 385.
Depkes RI. Profil Kesehatan Indonesia 2006. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. 2007.
F. Gary, Cunningham et al., 2010. Williams Obstetrics: 23rd Edition. New York: McGraw-Hill.
Henderson, JT et al. 2014. Low Dose Aspirin for Prevention of Morbidity and Mortality from
Preeclampsia: A Systematic Evidence Review for the U.S. Preventive Service Task
Force. Annals of Internal Medicine.160:695-703
Kementerian Kesehatan Indonesia. 2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas
Kesehatan Dasar dan Rujukan. Edisi 1. 4: 109-117
Knuppel, Robert A. High Risk Pregnancy Second Edition. Mexico : W.B. Saunders
Company. 1993.
Manuaba, Ida Bagus Gde. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan Keluarga Berencana
Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2010.
Opitasari, C. Andayasari, L. 2014. Parity, education level and risk for (pre-) eclampsia in
selected hospitals in Jakarta. Volume 5.pp 35-36
Osungbade, KO. Ige, OK. 2011. Public Health Perspectives of Preeclampsia in Developing
Countries: Implication for Health System Strengthening. Journal of Pregnancy. Hindawi
Publishing Corporation. p: 1-4
Roberts, Christine L, Jane B Ford, Charles S Algert, Sussie Antonse, and James Chalmers.
Population-based Trends in Pregnancy Hypertension and Preeclampsia : an
International Comparative Study. BMJ Open 2011 (1):1-9.
Royal College of Physicians of Ireland. 2013. The Diagnosis and Management of Pre-
eclampsia and Eclampsia. Clinical Practice Guideline.
World Health Organization. The World Health Report : 2005. Switzerland : WHO Press.
2005.
WHO. 2011. WHO Recommendations for Prevention and Treatment of Pre-eclampsia and
Eclampsia. Geneva.