Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

PRE-EKLAMPSIA BERAT DENGAN IMPENDING EKLAMPSIA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Dokter Muda


di SMF Obsterik dan Ginekologi
RSUD NGUDI WALUYO WLINGI

OLEH:

Lailatul Evinanta Pertiwi 160070201011100

Khoirul Hakiem 160070201011055

Samuel Prasetyo 160070201011082

Tiara Amalia W. 160070201011091

Yuan Laura P. 160070201011096

PEMBIMBING :

dr. Didik Agus Gunawan, SpOG

SMF/LABORATORIUM OBSTETRI GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

RUMAH SAKIT UMUM DR.SAIFUL ANWAR MALANG

2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Preeklampsia merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat terjadi ante, intra,
dan postpartum, serta dapat terbagi menjadi preeklampsia ringan dan berat menurut
gejalanya. Preeklampsia ringan berkaitan dengan menurunnya perfusi organ yang berakibat
terjadinya vasospasme pembuluh darah dan aktivasi endotel, serta ditandai dengan
hipertensi (sistolik/diastolik ≥ 140/90 mmHg), proteinuria (≥300 mg/24 jam atau ≥ 1 +
dipstick), dan edema pada lengan, muka, perut, dan generalisata. Preeklampsia berat
ditandai dengan tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110
mmHg disertai proteinuria lebih dari 5g/24 jam. Disebut impending eklampsia bila
preeklampsia berat disertai gejala-gejala subjektif berupa nyeri kepala hebat, gangguan
visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium, dan kenaikan progresif tekanan darah.
Preeklamsia merupakan masalah kesehatan yang memerlukan perhatian khusus
karena preeklamsia adalah penyebab kematian ibu hamil dan perinatal yang tinggi terutama
di negara berkembang. Sampai saat ini preeklamsia masih merupakan ”the disease of
theories”, karena angka kejadian preeklampsia-eklampsia tetap tinggi dan mengakibatkan
angka morbiditas dan mortilitas maternal yang tinggi (Manuaba, 2010). Prevalensi
preeklamsia adalah 2,8% dari kehamilan di negara berkembang, dan 0,6% dari kehamilan di
negara maju (WHO, 2015).
Insiden hipertensi saat kehamilan pada populasi ibu hamil dari tahun 1997 hingga
2007 di Australia, Kanada, Denmark, Norwegia, Skotlandia, Swedia dan Amerika berkisar
antara 3,6% hingga 9,1%, preeklamsia 1,4% hingga 4,0%, dan tanda awal preeklamsia
sebanyak 0,3% hingga 0,7% (Roberts, 2011). Selain itu insiden kejadian preeklamsia di
dunia meningkat sebanyak 25% dari tahun 1987-1988 hingga 2003-2004 (Roberts, 2011).
Penelitian yang dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta mendapatkan
hasil bahwa prevalensi preeklamsia pada tahun 2007–2009 adalah 118 kasus (3,9%) dari
total persalinan (3036 persalinan) (Djannah, 2010). Angka kematian ibu di dunia mencapai
529.000 per tahun, dengan rasio 400 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup dimana 12%
dari kematian ibu disebabkan oleh preeklamsia (WHO, 2005). Preeklamsia juga menjadi
penyebab langsung kematian ibu di Inggris yaitu sebesar 15% (Symonds, 2010). Di
Indonesia, pada tahun 2006 angka kematian ibu (AKI) yang disebabkan oleh preeklamsia
adalah sebanyak 5,8% (Depkes, 2007).
Preeklamsia merupakan merupakan penyebab utama kematian perinatal dan dapat
mengakibatkan retardasi mental pada anak (Knuppel, 1993). Selain itu preeklamsia dapat
mengakibatkan kematian ibu, terjadinya prematuritas, serta dapat mengakibatkan Intra
Uterin Growth Retardation (IUGR) dan kelahiran mati karena pada preeklamsia akan terjadi
perkapuran di plasenta yang menyebabkan makanan dan oksigen yang masuk ke janin
berkurang (Benson, 2009).

1.2 Tujuan

Penulisan laporan kasus ini memilki tujuan untuk mengetahui sebagai berikut.
a. Prosedur penegakan diagnosis preeklamsia berat yang benar.
b. Faktor risiko terjadinya preeklampsia berat
c. Manajemen penatalaksanaan preeklamsia berat.

1.3 Manfaat

Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan


pemahaman dokter muda mengenai preeklamsia berat dalam hal pelaksanaan anamnesa
dan diagnosis, penanganan awal, serta merujuk yang benar dan tepat.
BAB II

URAIAN KASUS

2.1 Identitas
No. Register : 099421
Nama : Ny. Yuliana
Umur : 37 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMA
Agama : Islam
Suku : Jawa
Status : Menikah 1x
Lama menikah : 5 tahun
Alamat : Desa Salam RT 01 / RW 02 Nglegok Blitar
Tgl MRS : 3 Juni 2017

2.2 Subyektif
Ny.Y / 37 tahun / menikah 1x, 5 tahun / G2P1001Ab000 / AT: 4 tahun / KB suntik 3 bulan,
berhenti 1 tahun/ HPHT: 01-09-2016 ~ 39-40 minggu / TP: 08-06-2017

2.2.1 Keluhan Utama


Kaki bengkak

2.2.2 Perjalanan Penyakit


Pada tanggal 31 Mei 2017 pasien mengeluh kaki bengkak, namun pasien tetap di rumah.
Pada tanggal 2 Juni 2017 pukul 20.00 pasien periksa ke Sp.OG dan didapatkan tekanan
darah tinggi (170/100 mmHg). Pasien disarankan untuk dirujuk ke RSUD Ngudi Waluyo,
namun pasien tidak berangkat.
Pada tanggal 3 Juni 2017 pukul 10.00 pasien mengeluh bengkak pada kaki tidak berkurang
dan disertai pusing. Kemudian pasien periksa ke poli kandungan RSUD Ngudi Waluyo
karena tekanan darah tinggi dan pusing. Selanjutnya pasien disarankan untuk MRS pro
terminasi
Didapatkan riwayat tekanan darah tinggi sebelum hamil sejak 2 tahun yang lalu, namun
pasien tidak rutin minum obat.
Riwayat tekanan darah tinggi meningkat sejak usia kehamilan 8 bulan menjadi 160/100
mmHg. Pasien disarankan MRS, namun tidak berangkat.
Pasien mengeluh pusing, namun keluhan mual, muntah, nyeri ulu hati, dan pandangan mata
kabur disangkal.

Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT) : 01-09-2016


Taksiran Persalinan : 08-06-2017
Siklus Haid : 28 hari
Lama Haid : 5 hari

ANC : 2x di Sp.OG, 8x di bidan

Alergi Obat dan Makanan : Tidak ada

2.2.3 Riwayat Pernikahan


Perkawinan 1 kali, dengan suami sekarang selama kurang lebih 5 tahun.

2.2.4 Riwayat Kehamilan/Persalinan

At/P/I/ H/
No BBL Cara Lahir Penolong L/P Umur
Ab/E M
SC ai
Sp.OG di RS.
1. At 3400 gr Partus P 4 th H
Syuhada Haji
macet
Hamil
2.
ini

2.2.5 Riwayat Kontrasepsi


Pasien menggunakan kontrasepsi suntik 3 bulan dan berhenti selama 1 tahun.

2.2.6 Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat hipertensi sebelum kehamilan selama 2 tahun. Riwayat asma sejak kecil (10 tahun).
Riwayat kencing manis disangkal.
Keluarga pasien tidak ada yang menderita hipertensi maupun kencing manis.

2.2.7 Riwayat Pengobatan


Pasien menjalani ANC sebanyak 2 kali di Sp.OG dan 8 kali di bidan. Pasien tidak
pernah minum jamu selama hamil dan tidak ada riwayat abortus sebelumnya. Pasien
mengkonsumsi salbutamol 4 mg tab dari PKM, namun pengobatan tidak rutin. Pasien tidak
rutin minum obat untuk hipertensi selama kehamilan.
2.2.8 Riwayat Sosial
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga yang sehari-hari melakukan pekerjaan rumah
tangga seperti menyapu, memasak, mencuci, dan merawat anak.

2.3 Obyektif
Status Generalis
Keadaan umum : Pasien tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis, GCS 456
Berat Badan : 89 kg
Berat Badan sebelum hamil : 72 kg
Tinggi Badan : 150 cm
BMI : 32 kg/m2
Tekanan Darah : 170/100 mmHg
Nadi : 88 x/menit, reguler
Laju Pernapasan : 20 x/menit
Tax : 36,50C
Trect : 36,80C
Kepala dan leher : Anemis -/-, icterus -/-, pembesaran KGB (-)
Thorax : Rongga dada simetris, retraksi (-)
C/ S1S2 tunggal, murmur (-)
P/ v v Rh - - Wh - -
vv -- --
vv -- --
Abdomen :TFU 31 cm, letak janin bujur U, TBJ 2945 g, DJJ:
143x/menit, His (-), scar midline
VT (setelah SM) : pembukaan Ø 0-1 cm, eff 25%, Hodge I, ketuban (+),
presentasi kepala, denominator sulit dievaluasi,
Ukuran Panggul Dalam ~ dalam batas normal.

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium (03-06-2017 - 22:08)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan

Hematologi
Hemoglobin 13,8 g/dL 12,0-18,0
Eritrosit 4,57 g/dL 4,0-5,50
Leukosit 14.600 µL 4.500 -11.000
Hematokrit 38,7 % 32-54
Trombosit 165 103/µL 150-450
Faal hemostasis
PPT 10,6 Detik 10-14
APTT 33,3 Detik 25-35
Faal Hati
AST/SGOT 17 U/L L<37/P<31
ALT/SGPT 15 U/L L<41/P<31
Albumin 3,61 g/dL 3,5 – 5,2
Faal Ginjal
Ureum/Creatinin 17/0,92 mg/dL 20-45 / 0,5-1,5
Metabolisme
Karbohidrat
Glukosa Darah
54 mg/dL 70-120
Sewaktu
Elektrolit Serum
Na/K/Cl 135,5/3,59/103,9 mmol/L 135-150/3,4-5,3/98-107

Urinalisis: protein dipstick +1, albumin trace

USG (3-6-2017)
Tampak janin intrauterine T/H
- Letak Bujur Kepala Dibawah
- BPD : 9,12 (37w0d)
- AC : 34,82 (38w5d)
- FL : 7,61 (38w6d)
- EFW : 3000 g
- AFI : 13,08
- Implantasi plasenta di corpus anterior
- Maturasi grade 3
- Jenis kelamin laki-laki

Hasil CTG (3-6-2017)


- Baseline: 135x/menit
- Variability: 5-20 x/menit
- Akselerasi (+)
- Deselerasi (-)
- Kategori 1

2.5 Assessment
G2P1001Ab000 gr 39-40 minggu T/H
(+) Hipertensi Kronis SIPE
(+) Impending Eklampsia
(+) Bekas SC
(+) Riwayat asma bronchiale
(+) usia>= 35 tahun
(+) Obesitas

2.6 Planning
PDx : -
PTx :
- SM full dose bolus 4 g bolus pelan lanjut drip 6 mg dalam 500 cc RD5% habis dalam 6 jam
- Usul terminasi dengan SC Cito + IUD
Premedikasi:
- Injeksi Ceftriaxone 1 g
- Injeksi Metoclopramide 1 amp
PMo : Observasi tanda-tanda vital, DJJ, tanda-tanda impending.
PEd : KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi) pasien dan keluarga tentang:
- Kondisi pasien
- Prosedur tindakan medis yang akan dilakukan
- Efek samping dan komplikasi dari tindakan yang dilakukan
- Prognosis

Tindakan
Sectio Secarea
KALA II
Tanggal : 3/6/2017 Pukul 15.30
Cara Kelahiran : SCTP
Indikasi : PEB + Impending Eklampsia
Berat : 2900 gram
Panjang : 48 cm
Jenis kelamin : Laki-laki
AS : 7-8
Kelainan kongenital : (-)

KALA III
Tanggal : 3/6/2017 Pukul 15.32
Cara plasenta lahir : Tarikan ringan
Indikasi : Kala III

PLASENTA
lengkap, sikatrik (-), kalsifikasi (-)
Tali Pusat 50 cm
PERINEUM
Episiotomi (-), robekan jalan lahir (-)

KALA IV (2 Jam PP)


Tanggal : 03/06/2017Pukul17.32
TFU : setinggi pusat
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 90x/menit
Perdarahan : 250 cc
Produksi urin : 400 cc

2.6 Outcome
Bayi lahir dengan jenis kelamin laki-laki pada tanggal 3 Juni 2017, pukul 15.30 WIB
dengan cara SCTP dengan induksi SM atas indikasi PEB dengan Impendin Eklampsia.
Berat bayi 2900 gr, panjang 48 cm, dengan Apgar Score pada menit pertama 7 dan pada
menit kedua 8. Kelainan kongenital (-).

BAB III
PERMASALAHAN

3.1 Diagnosa
Bagaimana penegakan diagnosa pada kasus ini?
3.2 Faktor Risiko
Bagaimana faktor risiko pada kasus ini?
3.2 Penatalaksanaan
Bagaimana penatalaksanaan pada kasus ini?
BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

4.1 Definisi Hipertensi


Hipertensi adalah kondisi dimana tekanan darah sistolik melebihi 140 mmHg atau
melebihi 90 mmHg diastolik pada seseorang yang tidak sedang mengkonsumsi obat
antihipertensi. Fase Korotkoff V digunakan untuk menentukan tekanan diastolik.
Sebelumnya peningkatan 30 mmHg sistolik atau 15 mmHg diastolik dari tekanan darah
selama pertengahan kehamilan telah lama digunakan sebagai kriteria diagnosis meskipun
tekanan darah di bawah 140/90 mmHg. Namun perubahan peningkatan tekanan darah tidak
lagi direkomendasikan sebagai kriteria diagnosis karena berbagai bukti menunjukkan tidak
semua perempuan mengalami peningkatan komplikasi kehamilan (Cunningham et al.,
2014).

4.2 Klasifikasi Hipertensi Dalam Kehamilan


Preeklamsia dan eklamsia dikelompokkan oleh Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia menjadi 4 kelompok yaitu:
a. Preeklamsia ringan
b. Preeklamsia berat
c. Superimposed preeklamsia pada hipertensi kronik
d. Eklamsia

4.2.1 Preeklamsia ringan


Preeklamsia ringan didiagnosa bila tekanan darah maternal > 140/90 mmHg
pada usia kehamilan > 20 minggu dan tes dipstick menunjukkan proteinuria +1 atau
pemeriksaan protein kuantitatif menunjukkan hasil >300 mg/24 jam.

4.2.2 Preeklamsia berat


Preeklamsia berat didiagnosa bila tekanan darah maternal > 160/110 mmHg
pada usia kehamilan > 20 minggu, tes dipstick menunjukkan proteinuria > +2 atau
pemeriksaan kuantitatif menunjukkan hasil > 5g/24 jam, atau disertai keterlibatan
organ lain seperti trombositopenia (<100.000 sel/uL), hemolisis mikroangiopati,
peningkatan SGOT/SGPT, nyeri abdomen kuadran atas, nyeri kepala, skotoma
penglihatan, pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion, edema paru/gagal
jantung kongestif, oligouria (<500ml/24 jam), dan kreatinin > 1,2 mg/dL.
4.2.3 Superimposed preeklamsia pada hipertensi kronik
Superimposed preeklamsia pada hipertensi kronik didiagnosa bila maternal
memiliki riwayat hipertensi kronik (sudah ada sebelum usia kehamilan 20 minggu) dan
tes dipstick menunjukkan proteinuria >+1 atau trombosit < 100.000 sel/uL pada usia
kehamilan > 20 minggu.

4.2.4 Eklampsia
Eklampsia didiagnosa bila maternal mengalami kejang umum dan/atau koma,
ada gejala preeklamsia, dan tidak ada kemungkinan penyebab lain (misalnya epilepsy,
perdarahan subarachnoid, dan meningitis).

4.3 Epidemiologi Hipertensi Dalam Kehamilan


Prevalensi hipertensi kronis di Amerika Serikat diperkirakan sebesar 3% dan
semakin meningkat tiap tahunnya. Peningkatan prevalensi ini sebagian besar diakibatkan
karena adanya peningkatan prevalensi obesitas, yang merupakan faktor resiko utama
terhadap terjadinya hipertensi, dan penundaan kehamilan ibu dimana dengan semakin
meningkatnya usia, kemungkinan timbulnya hipertensi kronis menjadi lebih besar. Penelitian
Enns (Survei Kesehatan Gizi Nasional) survei cross-sectional di Perancis antara tahun 2006
dan 2007 mengungkapkan bahwa prevalensi hipertensi kronis sebesar 4,1% pada wanita
berusia antara 18 dan 34 tahun dan 8,3% pada wanita berusia antara 35 dan 44 tahun.
Kehamilan dengan komplikasi hipertensi kronis menyebabkan peningkatan resiko
superimposed preeklampsia, abrupsio plasenta, gangguan pertumbuhan janin, kelahiran
prematur, dan kematian perinatal.
Hipertensi memberikan komplikasi sebesar 5-10% dari semua kehamilan dan
bersama dengan perdarahan dan infeksi, merupakan trias yang memberikan kontribusi
terbesar terhadap mortalitas dan morbiditas maternal. Sindrom preeklampsia, baik yang
timbul sendiri, atau superimposed pada hipertensi kronis, merupakan yang paling
berbahaya. Organisasi kesehatan dunia (WHO) melakukan pengamatan secara sistematis
terhadap kematian maternal di seluruh dunia, dan pada negara berkembang didapatkan
16% dari semua kematian maternal dilaporkan akibat hipertensi. Angka ini lebih besar
daripada ketiga penyebab kematian maternal yang lain, yang terdiri dari perdarahan, yaitu
sebesar 13%, aborsi sebesar 8%, dan sepsis sebesar 2% (Cunningham et al., 2014).

4.4 Faktor Resiko Hipertensi Dalam Kehamilan


Terdapat banyak faktor resiko untuk terjadinya hipertensi dalam kehamilan, yang
dapat dikelompokkan dalam faktor resiko sebagai berikut.
1. Primigravida, primipaternitas
2. Hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidosa, kehamilan multipel, diabetes mellitus,
hidrops fetalis, bayi besar
3. Usia lanjut
4. Riwayat keluarga pernah preeklampsia/eklampsia
5. Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
6. Obesitas

4.5 Patofisiologi Hipertensi Dalam Kehamilan


Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum diketahui dengan jelas.
Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam kehamilan, tetapi tidak
ada satu pun teori tersebut yang dianggap mutlak benar. Teori-teori yang sekarang banyak
dianut adalah:
1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas dan disfungsi endotel
3. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
4. Teori adaptasi kardiovaskulatori genetik
5. Teori defisiensi gizi
6. Teori inflamasi

Teori kelainan vaskularisasi plasenta


Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari cabang-
cabang arteri uterine dan arteria ovarika. Kedua pembuluh darah tersebut menembus
miometrium berupa arteri arkuata dan arteri arkuata memberi cabang arteria radialis. Arteria
radialis menembus endometrium menjadi arteri basalis dan arteri basalis memberi cabang
arteri spiralis.
Pada hamil normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi trofoblas ke dalam
lapisan otot arteria spiralis yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga
terjadi dilatasi arteri. Invasi trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga
jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi
dan dilatasi. Distensi dan vasodilatasi lumen arteri spiralis ini memberi dampak penurunan
tekanan darah, penurunan resistensi vaskuler, dan peningkatan aliran darah pada daerah
utero plasenta. Akibatnya, aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga
meningkat, sehingga menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini dinamakan
“remodeling arteri spiralis”.
Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada lapisan
otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap
kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan
vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis relative mengalami vasokonstriksi, dan terjadi
kegagalan remodeling arteri spiralis, sehingga aliran darah uteroplasenta menurun, dan
terjadilah hipoksia dan iskemi plasenta. Dampak iskemia plasenta akan menimbulkan
perubahan-perubahan yang dapat menjelaskan pathogenesis HDK selanjutnya.
Diameter rata-rata arteri spiralis pada hamil normal adalah 500 mikron, sedangkan
pada preeclampsia rata-rata 200 mikron. Pada hamil normal vasodilatasi lumen arteri
spiralis dapat meningkatkan 10 kali aliran darah ke uteroplasenta.

Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel


a. Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan / radikal bebas
Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas, pada hipertensi dalam
kehamilan terjadi kegagalan “remodeling arteri spiralis”, dengan akibat plasenta mengalami
iskemia. Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidan
(disebut juga radikal bebas). Oksidan dan radikal bebas adalah senyawa penerima elektron
atau atom/molekul yang mempunyai electron yang tidak berpasangan. Salah satu oksidan
penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal hidroksil yang sangat toksis,
khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh darah. Sebenarnya produksi oksidan
pada manusia adalah suatu proses normal, karena oksidan memang dibutuhkan untuk
perlindungan tubuh. Adanya radikal hidroksil dalam darah mungkin dahulu dianggap sebagai
bahan toksin yang beredar dalam darah. Maka dulu hipertensi dalam kehamilan disebut
‘toxaemia’.
Radikal hidroksil akan merusak membran sel yang mengandung banyak asam lemak
tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak selain akan merusak membrane sel,
juga akan merusak nukleus, dan protein sel endotel. Produksi oksidan (radikal bebas) dalam
tubuh yang bersifat toksis, selalu diimbangi dengan produksi antioksidan.

b. Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam kehamilan


Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kadar oksidan, khususnya
peroksida lemak meningkat, sedangkan antioksidan, misal vitamin E pada hipertensi dalam
kehamilan menurun, sehingga terjadi dominasi kadar oksidan peroksida lemak yang relative
tinggi.
Peroksida lemak sebagai oksidan/radikal bebas yang sangat toksis ini akan beredar
di seluruh tubuh dalam aliran darah dan akan merusak membran sel endotel. Membran sel
endotel lebih mudah mengalami kerusakan oleh peroksida lemak, karena letaknya langsung
berhubungan dengan aliran darah dan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh. Asam
lemak tidak jenuh sangat rentan terhadap oksidan radikal hidroksil, yang akan berubah
menjadi peroksida lemak.
c. Disfungsi sel endotel
Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka terjadi kerusakan sel
endotel, yang kerusakannya dimulai dari membran sel endotel. Kerusakan membran sel
endotel mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel
endotel. Keadaan ini disebut ‘disfungsi endotel’ (endothelial dysfunction). Pada waktu terjadi
kerusakan sel endotel yang mengakibatkan disfungsi endotel maka akan terjadi:
- Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salah satu fungsi sel endotel adalah
memproduksi prostaglandin, yaitu menurunnya produksi prostasiklin (PGE2); suatu
vasodilator.
- Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi
sel trombosit ini adalah untuk menutup tempat-tempat di lapisan endotel yang
mengalami kerusakan. Agregasi trombosit memproduksi tromboksan (TXA2); suatu
vasokonstriktor kuat. Dalam keadaan normal perbandingan kadar
prostasiklin/tromboksan lebih tinggi kadar prostasiklin (lebih tinggi vasodilator). Pada
preeclampsia kadar tromboksan lebih tinggi dari kadar prostasiklin sehingga terjadi
vasokonstriksi, dengan terjadi kenaikan tekanan darah.
- Perubahan khas pada sel endotel kapilar glomerulus (glomerular endotheliosis).
- Peningkatan permeabilitas kapiler.
- Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endothelin. Kadar NO
(vasodilator) menurun, sedangkan endothelin (vasokonstriktor) meningkat.
- Peningkatan faktor koagulasi.

Teori Intoleransi Imunologik antara ibu dan janin


Dugaan bahwa faktor imunologik berperan terhadap hipertensi dalam kehamilan
terbukti dengan fakta sebagai berikut:
 Primigravida mempunyai resiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika
dibandingkan dengan multigravida
 Ibu multipara yang kemudian menikah lagi mempunyai resiko lebih besar terjadinya
hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan dengan suami yang sebelumnya
Pada perempuan hamil normal, respons imun tidak menolak adanya ”hasil konsepsi”
yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya human leukocyte antigen protein G (HLA-G),
yang berperan penting dalam modulasi respons imun, sehingga si ibu tidak menolak hasil
konsepsi (plasenta). Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin dari lisis
oleh sel Natural Killer (NK) ibu.
Selain itu, adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel trofoblas ke dalam jaringan
desidua ibu. Jadi HLA-G merupakan prakondisi untuk terjadinya invasi trofoblas ke dalam
jaringan desidua ibu, di samping untuk menghadapi sel Natural Killer. Pada plasenta
hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan ekspresi HLA-G. Berkurangnya HLA-G di
desidua daerah plasenta, menghambat invasi trofoblas ke dalam desidua. Invasi trofoblas
sangat penting agar jaringan desidua menjadi lunak, dan gembur sehingga memudahkan
terjadinya dilatasi arteri spiralis. HLA-G juga merangsang terjadi Immune-Maladaptation
pada preeklampsia.
Pada awal trimester kedua kehamilan perempuan yang mempunyai kecenderungan
terjadinya preeklampsia, ternyata mempunyai proporsi Helper Sel yang lebih rendah
dibanding pada normotensif.

Teori Adaptasi Kardiovaskuler


Pada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-bahan vasopresor.
Refrakter berarti pembuluh darah tidak peka terhadap rangsangan bahan vasopresor atau
dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih tinggi untuk menimbulkan respons vasokontriksi.
Pada kehamilan normal terjadinya refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor
adalah akibat dilindungi oleh adanya sintesis prostaglandin pada sel endotel pembuluh
darah. Hal ini dibuktikan bahwa daya refrakter sintesa inhibitor terhadap bahan vasopresor
akan hilang bila diberi prostaglandin sintesa inhibitor ( bahan yang menghambat produksi
prostaglandin). Prostaglandin ini dikemudian hari ternyata adalah prostasiklin.
Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter terhadap bahan
vasokonstriktor, dan ternyata terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan
vasopressor. Artinya, daya refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopressor hilang
sehingga pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap vasopresor. Banyak peneliti telah
membuktikan bahwa peningkatan kepekaan pada kehamilan yang akan menjadi hipertensi
dalam kehamilan, sudah dapat ditemukan pada kehamilan dua puluh minggu. Fakta ini
dapat dipakai sebagai prediksi akan terjadinya hipertensi dalam kehamilan

Teori Genetik
Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotipe ibu lebih
menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial jika dibandingkan dengan
genotipe janin. Telah terbukti bahwa pada ibu yang mengalami preeklampsia, 26% anak
perempuannya akan mengalami preeklampsia pula, sedangkan hanya 8% anak menantu
mengalami preeklampsia.

Teori Defisiensi Gizi


Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan defisiensi gizi berperan
dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Penilitian terakhir membuktikan bahwa
konsumsi minyak ikan termasuk minyak hati halibut dapat mengurangi risiko preeklampsia.
Minyak ikan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh yang dapat menghambat
produksi tromboksan, menghambat aktivasi trombosit, dan mencegah vasokonstriksi
pembuluh darah.
Beberapa peneliti juga menganggap bahwa defisiensi kalsium pada diet perempuan
hamil mengakibatkan resiko terjadinya preeklampsia/eklampsia. Penelitian di Negara
Equator Andes dengan metode uji klinik, ganda tersamar, dengan membandingkan
pemberian kalsium dan plasebo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu hamil yang diberi
suplemen kalsium cukup, kasus yang mengalami preeklampsia adalah 14% sedang yang
diberi glukosa 17%.

Teori Stimulus Inflamasi


Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam sirkulasi darah
merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada kehamilan normal plasenta
juga melepaskan debris trofoblas, sebagai sisa-sisa proses apoptosis dan nekrotik trofoblas,
akibat reaksi stress oksidatif. Bahan-bahan ini sebagai bahan asing yang kemudian
merangsang timbulnya proses inflamasi. Pada kehamilan normal, jumlah debris trofoblas
masih dalam batas wajar, sehingga reaksi inflamasi juga masih dalam batas normal.
Berbeda dengan proses apoptosis pada preeclampsia, dimana pada preeclampsia terjadi
peningkatan stress oksidatif, sehingga produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas juga
meningkat. Makin banyak sel trofoblas plasenta, misalnya pada plasenta besar, pada hamil
ganda, maka reaksi stress oksidatif akan sangat meningkat, sehingga jumlah sisa debris
trofoblas juga makin meningkat. Keadaan ini menimbulkan beban reaksi inflamasi dalam
darah ibu menjadi jauh lebih besar, dibanding reaksi inflamasi pada kehamilan normal.
Respons inflamasi ini akan mengaktivasi sel endotel dan sel-sel makrofag/granulosit, yang
lebih besar pula, sehingga terjadi reaksi sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala-gejala
preeclampsia pada ibu.
Redman, menyatakan bahwa disfungsi endotel pada preeclampsia akibat produksi
debris trofoblas plasenta berlebihan tersebut di atas, mengakibatkan “aktivitas leukosit yang
sangat tinggi” pada sirkulasi ibu. Peristiwa ini oleh Redman disebut sebagai “kekacauan
adaptasi dari proses inflamasi intravascular pada kehamilan” yang biasanya berlangsung
normal dan menyeluruh.

4.6 Pendekatan Diagnostik


4.6.1 Anamnesis
Sebagai bagian dari penyaringan prenatal, wanita hamil harus ditelaah dari faktor
resiko yang potensial membahayakan kehamilannya. Maka pada kasus ini ditanyakan
mengenai riwayat obstetri terutama terjadinya hipertensi pada kehamilan sebelumnya.
Riwayat kesehatan keseluruhan mutlak ditelusuri dan diidentifikasi kondisi medis
yang meningkatkan resiko terhadap kejadian preeklampsia antara lain diabetes melitus,
hipertensi, penyakit vaskuler, dan lain-lain.
Pada kunjungan antenatal setelah usia kehamilan 20 minggu, wanita hamil harus
ditanyakan terhadap timbulnya gejala khas seperti gangguan penglihatan, nyeri kepala yang
menetap, nyeri epigastrium atau nyeri perut bagian atas dan edema yang berlebihan.

4.6.2 Pemeriksaan Fisik


Tekanan darah harus diperiksa pada setiap kunjungan antenatal. Tekanan darah
diukur setelah beristirahat 10 menit atau lebih, saat dilakukan pengukuran tekanan darah,
wanita hamil harus berada pada posisi terlentang atau miring kekiri, atau pada posisi
setengan duduk (Alladin,2012). Terdapat kesepakatan bahwa tekanan darah sebesar
140/90 mmHg adalah abnormal, karena tekanan darah arteri istirahat yang normal lebih
rendah pada wanita hamil daripada yang tidak hamil (Cunningham et. al, 2010) .
Tinggi fundus uteri harus diukur pada setiap kunjungan antenatal, karena
pertumbuhan yang tidak sesuai dengan usia kehamilan dapat mengindikasikan terjadinya
IUGR atau Oligohidramnion. Kondisi ini mungkin dapat timbul terlebih dahulu sebelum
diagnosa preeklampsia ditegakkan (Berks, 2009).
Peningkatan edema pada muka serta penambahan berat badan yang berlebihan
harus mendapat perhatian karena retensi cairan seringkali berhubungan dengan
preeklamsia. Apabila ditemukan kondisi ini, dilakukan pemeriksaan terhadap adanya
hipertensi dan proteinuria. Edema yang terjadi pada tungkai bawah merupakan kejadian
yang dapat timbul pada semua kehamilan sehingga tidak begitu penting dalam
mendiagnosa preeklamsia.

4.6.3 Pemeriksaan Laboratorioum


Kadar asam urat dalam serum pernah digunakan sebagai indikator terjadinya
preeklamsia, namun kemudian diketahui memiliki sensitivitas dan spesifikasi yang rendah
(Frishman, 2006). Walaupun demikian peningkatan asam urat dalam serum dapat
digunakan untuk mengidentifikasi wanita hamil dengan hipertensi kronis yang memiliki
kecenderungan mengalami preeklamsia superimposed.
Pemeriksaan laboratorium standar harus dilakukan lebih awal pada kehamilan. Pada
wanita yang beresiko tinggi mengalami preeklamsia. Pemeriksaan tersebut meliputi
pemeriksaan kadar enzym hepar, hitung trombosit, kadar kreatinin serum dan pengumpulan
urine 12 hingga 24 jam untuk pengukuran kadar protein total. Pengukuran kadar protein juga
dilakukan dengan menggunakan ”dipstick”.
Setelah diagnosa preeklamsia ditegakkan, pemeriksaan laboratorium lanjutan harus
dilakukan. Pada preeklamsia yang tidak menunjukkan progresifitas, uji laboratorium dapat
dilakukan per minggu. Pada pre eklamsia yang progresif pemeriksaan tersebut harus
dilakukan lebih sering.

4.6.4 Pemeriksaan Penunjang Lain


Pemeriksaan Sonografi (USG) awal dipertimbangkan dilakukan pada usia kehamilan
25 hingga 28 minggu untuk menilai pertumbuhan janin pada wanita hamil yang berisiko
tinggi mengalami preeklampsia. Pada wanita yang telah di diagnosa mengalami
preeklampsia, uji autepasilum seperti : non stress test, profil biosfarik sebaiknya dilakukan
setiap minggu, dimulai sejak ditegakkannya diagnosa. Jika dicurigai terjadi IUGR atau oligo
hidramnion, uji tersebut sebaiknya dilakukan 2 kali dalam 1 minggu. Terminasi kehamilan
dipertimbangkan untuk dilakukan bila ditemukan kondisi fetal compromise. Terminasi segera
dilakukan juga bila dijumpai kecurigaan solusio plasenta dan kesejahteraan janin yang
terganggu.

4.7 Penatalaksanaan
4.7.1 Penatalaksanaan Preeklampsia Ringan
Hal yang perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan preeklampsia riangan adalah
keselamatan dari ibu dan janin serta pemilihan cara persalinan. Langkah-langkah
penatalaksanaannya pun tergantung dari hasil evaluasi keadaan ibu dan janin, usia
kehamilan, ada tidaknya pecah ketuban, perdarahan vagina, dan permintaan dari pasien
sendiri (American College of Obstetricians and Gynecology, 2013; Royal College of
Physicians of Ireland, 2013).
Tujuan utama dari penatalakasanaan preeklampsia ringan adalah mencegah kejang,
perdarahan intrakranial, gangguan fungsi organ vital sehingga dapat melahirkan bayi yang
sehat (Sarwono, 2011).
a. Penatalaksanaan Antepartum
Pasien dapat dirawat secara rawat jalan. Ketika pasien mulai terdiagnosis sampai
pasien melahirkan, maka perlu dilakukan monitoring ketat mengenai terhadap keluhan
terutama yang mengarah ke tanda-tanda adanya preeklampsia berat (impending
eclampsia) seperti ada tidaknya nyeri kepala hebat, pengelihatan kabur, nyeri
epigastrik, dan sesak napas. Keluhan mengenai gerakan janin juga perlu ditanyakan.
Pasien diminta melakukan ANC secara rutin untuk mengetahui status janin dan jika
perlu USG untuk mengetahui pertumbuhannya. Pengukuran tekanan darah 2 kali
seminggu dan penghitungan jumlah trombosit, enzim liver, dan ureum/kreatinin secara
mingguan perlu dilakukan (American College of Obstetricians and Gynecology, 2013;
Royal College of Physicians of Ireland, 2013; Sarwono, 2011).
Pasien diberikan KIE untuk banyak istirahat dengan tidur miring namun tirah baring
lama tidak dianjurkan karena dapat meningkatkan resiko tromboemboli. Obat anti
hipertensi juga tidak perlu diberikan dan tidak ada batasan jumlah garam dalam
konsumsi makanan selama fungsi ginjalnya masih bagus. Pasien disarankan banyak
makan cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, garam secukupnya dan diberikan
tambahan roboransia pranatal (American College of Obstetricians and Gynecology,
2013; Royal College of Physicians of Ireland, 2013; Sarwono, 2011).
Pada keadaan tertentu, pasien perlu dirawat di rumah sakit. Kriteria untuk rawat inap
antara lain bila tidak ada perbaikan tekanan darah dan kadar proteinuri selama 2
minggu dan adanya satu atau lebih gejala dan tanda-tanda preeklampsia berat.
b. Penatalaksanaan Intrapartum
Jika pasien sudah menunjukkan tanda-tanda in partu dan usia kehamilan memasuki
atau lebih dari 37-38 minggu atau apabila usia kehamilan 34-35 minggu atau lebih
dengan tanda-tanda perburukan maka dapat dilakukan induksi persalinan. Pada
kehamilan aterm (> 37 minggu),persalinan ditunggu sampai terjadi onset persalinan dan
dipertimbangkan untuk melakukan induksi pada taksiran tanggal persalinan. Persalinan
dapat dilakukan secara spontan (American College of Obstetricians and Gynecology,
2013; Sarwono, 2011).
Pada kehamilan preterm (< 37 minggu) apabila tidak didapatkan tanda-tanda
perburukan maka observasi dapat dilanjutkan dan induksi persalinan dapat dilakukan
setelah usia kehamilan aterm (American College of Obstetricians and Gynecology,
2013; Sarwono, 2011)
Pemberian profilaksis magnesium sulfat hanya diberikan apabila ada keluhan seperti
nyeri kepala, perubahan status mental, pandangan kabur, stomata, klonus, dan nyeri
perut di kuadran kanan atas (American College of Obstetricians and Gynecology, 2013)
Gambar 1. Penatalaksanaan Preeklampsia Ringan Intrapartum

4.7.2 Penatalaksanaan Preeklampsia Berat


Pada penatalaksanaan preeklampsia berat maka perlu diperhatikan mengenai usia
kehamilannya. Penatalaksanaan preeklampsia mencakup pencegahan kejang, pengobatan
hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan suportif terhadap penyulit organ yang terlibat, dan
saat yang tepat untuk persalinan (Sarwono,2011)
Pasien dengan preeklampsia berat harus segera masuk ke rumah sakit dilanjurkan
tirah baring miring ke kiri. Secara umum perlu dilakukan monitoring ketat terhadap tanda-
tanda vital dan produksi urin serta saturasi oksigen. Keadaan janin dipantau menggunakan
CTG. Pemeriksaan laboratorium diulang setiap 12 jam. Apabila ditemukan hasil yang
abnormal, pemeriksaan dapat diulang setiap 4-8 jam. Pemeriksaan yang diperlukan antara
lain darah lengkap, faal hati, faal hemostasis, dan serum elektrolit. (Royal College of
Physicians of Ireland, 2013).
Untuk mencegah kejang dapat diberikan obat anti kejang. Magnesium sulfat (SM)
sampai saat ini tetap menjadi pilihan pertama. Cara pemberiannya sebagai berikut:
- Loading dose: initial dose
4 gram SM IV (40% dalam 10 cc) selama 15 menit
- Maintenance dose
Diberikan infus 6 gr dalam larutan ringer/6 jam atau diberikan 4 atau 5 gr IM selanjutnya
diberikan 4 gr IM tiap 4-6 jam
- Syarat-syarat pemberian yaitu tersedia Ca glukonas sebagai antidotum, refleks patella
(+) kuat, dan RR > 16 kali/menit
- Dihentikan bila terdapat tanda-tanda intoksikasi atau setelah 24 jam pasca persalinan
atau 24 jam setelah kejang terakhir
- Bila terjadi refrakter dapat diberikan salah satu obat berikut yaitu tiopental sodium,
sodium amobarbital, diazepam, atau fenitoin (Sarwono, 2011).

Pada pasien preeklampsia berat, dianjurkan untuk menggunakan obat antihipertensi.


Tujuan terapi pada wanita tanpa penyakit penyerta sebelumnya adalah sistolik antara 130-
155 mmHg dan diastolik 80-105 mmHg. Pada wanita dengan penyakit penyerta sebelumnya
seperti diabetes atau gangguan ginjal, maka sistolik antara 130-139 mmHg dan diastolik 80-
89 mmHg. Pemberian obat dilakukan satu jenis terlebih dahulu kemudian ditingkatkan
dosisnya hingga dosis maksimal sampai mencapai tujuan tekanan darah yang diinginkan.
Apabila tidak tercapai, dapat diberikan dua jenis obat secara bersamaan (Royal College of
Physicians of Ireland, 2013; Sarwono, 2011).
Rekomendasi obat yang dapat diberikan antara lain:
a. Nifedipin dengan dosis awal 10-20 mg diulangi 30 menit bila perlu. Dosis maksimal 120
mg/ 24 jam. Obat ini merupakan antihipertensi poten dan pemberiannya tidak boleh
dilakukan sublingual karena menyebabkan penurunan darah yang cepat sehingga dapat
menimbulkan fetal distress
b. Labetolol dengan dosis awal 100 mg 2-3x/hari sampai maksimal 2,4 gr (600 mg 4x/hari).
Kontraindikasi pada pasien asma .
c. Metildopa dengan dosis 250mg 3x/hari ditingkatkan sampai maksimal 1 gr 3x/hari. Efek
terapeutik baru muncul setelah 24 jam. Obat ini menimbulkan efek samping berupa
sedasi dan depresi.

Resiko terjadinya edema paru dan oligouria pada pasien preeklampsia berat tinggi
sehingga perlu dilakukan pengelolaan cairan yang tepat dengan memonitoring input dan
output cairan. Cairan yang dapat diberikan RD5 <125 cc/jam atau infus D5 yang setiap 1
liternya diselingi dengan RL 60-125 cc/jam. Untuk memonitorng output cairan dapat
dipasang Foley catheter (Sarwono, 2011).
Pasien dengan preeklampsia beresiko tinggi untuk terkena penyakit tromboemboli.
Oleh karena itu, semua pasien seharusnya mendapatkan heparin baik saat sebelum
maupun setelah pasien mobilisasi penuh pasca melahirkan (Royal College of Physicians of
Ireland, 2013).
Apabila terjadi edema paru atau payah jantung kongestif maupun anasarka dapat
diberikan diuretik furosemid. Pemberian glukokortikoid digunakan untuk pematangan paru
janin. Glukokortikoid diberikan pada kehamilan 32-34 minggu (Sarwono, 2011).
Berdasarkan Williams Obstetrics, ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan
gejala-gejala preeklampsia berat selama perawatan, maka sikap terhadap kehamilannya
dibagi menjadi:
- Aktif (aggresive management) artinya kehamilan segera diakhiri bersamaan dengan
pemberian pengobatan medikamentosa
- Konservatif (ekspektatif) artinya kehamilan tetap dipertahankan bersamaan dengan
pemberian pengobatan medikamentosa (Sarwono, 2011)

Indikasi perawatan aktif ialah bila didapatkan satu/ lebih keadaan di bawah ini:
a. Pada ibu
- Umur kehamilan ≥ 37 minggu
- Adanya tanda/ gejala impending eclampsia
- Kegagalan terapi pada perawatan konservatif antara lain keadaan klinik dan
laboratorium memburuk
- Diduga terjadi solusio plasenta
- Timbul onset persalinan, ketuban pecah, atau perdarahan
b. Pada janin
- Tanda-tanda fetal distress
- Tanda-tanda IUGR
- NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal
- Oligohidroamnion
c. Hasil laboratorik
- Tanda-tanda sindroma HELLP khususnya menurunnya trombosit dengan cepat
(Sarwono, 2011)

Indikasi perawatan konservatif ialah bila kehamilan preterm ≤ 37 minggu tanpa


disertai tanda-tanda impending eclampsia dengan keadaan janin baik. Pada perawatan ini,
pengobatan yang diberikan sama saat pengelolaan secara aktif. Loading dose SM cukup
diberikan IM saja. Observasi dan evaluasi tetap dilakukan. SM dihentikan bila ibu sudah
mencapai tanda-tanda preeklampsia ringan selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Bila
setelah 24 jam tidak ada perbaikan, maka dianggap sebagai kegagalan dan harus dilakukan
terminasi. Pasien boleh dipulangkan jika penderita kembali ke gejala atau tanda
preeklampsia ringan (Sarwono, 2011).
Gambar 2. Penatalaksanaan Preeklampsia Berat

4.8 Komplikasi
4.8.1 Komplikasi pada Ibu
- Eklampsia
Eklampsia merupakan kasus akut pada penderita eklampsia yang disertai dengan kejang
menyeluruh dan koma. Komplikasi ini dapat timbul pada ante, intra, maupun post partum.
Eklampsia post partum umumnya hanya terjadi 24 jam pertama setelah persalinan.
Eklampsia selalu didahului oleh preeklampsia.
Kejang dimulai dengan kejang tonik selama 15-30 detik kemudian disusul dengan kejang
klonik kurang lebih 1 menit. Kontraksi kemudian berangsur-angsur melemah dan
akhirnya berhenti serta penderita jatuh ke dalam keadaan koma (Sarwono, 2011).
- Sindrom HELLP
Sindroma HELLP ialah preeklampsia-eklampsia disertai timbulnya hemolisis, peningkatan
enzim hepar, disfungsi hepar, dan trombositopenia. Hemolisis ditandai dengan kenaikan
LDH, AST, dan bilirubin indirek. Disfungsi hepar ditandai dengan kenaikan ALT, AST, dan
LDH. Trombositopenia apabila trombosit ≤ 150.000/ml (Sarwono, 2011).
Berdasarkan kadar trombositnya maka sindroma HELLP diklasifikasi dengan nama
Klasifikasi Mississippi
1. Klas 1: Kadar trombosit ≤ 50.000/ml
LDH ≥ 600 IU/l
AST dan/atau ALT ≥ 40 IU/l
2. Klas 2: Kadar trombosit > 50.000/ml dan ≤ 100.000/ml
LDH ≥ 600 IU/l
AST dan/atau ALT ≥ 40 IU/l
3. Klas 2: Kadar trombosit > 100.000/ml dan ≤ 150.000/ml
LDH ≥ 600 IU/l
AST dan/atau ALT ≥ 40 IU/l
- Gangguan pada organ lain
 Gangguan sistem saraf pusat: perdarahan intrakranial, trombosis vena sentral, hipertensi
ensefalopati, edema serebri, edema retina, makular atau retina detachment dan kebutaan
korteks
 Gangguan gastrointestinal-hepatik: subskapular hematoma hepar, ruptur kapsul hepar
 Gangguan ginjal: gagal ginjal akut, nekrosis tubular akut.
 Gangguan hematologi: DIC, trombositopeni, dan hematoma luka operasi
 Gangguan kardiopulmonar: edema paru kardiogenik atau nonkardiogenik, depresi atau
arrest pernapasan, henti jantung, dan iskemia miokardium
 Lain-lain: asites, edema laring, hipertensi yang tidak terkendalikan (Laura A et al, 2014;
Sarwono,2011).

4.8.2 Komplikasi pada Janin


Komplikasi pada janin berupa abnormalitas pada fetal heart rate, oligohidroamnion,
intrauterine fetal growth restriction (IUGR), sindroma distres napas, kematian janin
intrauterin, kematian neonatal perdarahan intraventrikular, necrotizing enterocolitis, sepsis,
dan cerebral palsy (Laura A et al, 2014; Sarwono, 2011).
4.9 Prognosis
Bila penderita tidak terlambat dalam pemberian pengobatan maka gejala perbaikan
akan tampak jelas setelah kehamilannya diakhiri. Segera setelah persalinan berakhir
perubahan patofisiologik akan segera pula mengalami perbaikan. Diuresis terjadi 12 jam
kemudian setelah persalinan. Keadaan ini merupakan tanda prognosis yang baik karena hal
ini merupakan gejala pertama penyembuhan. Tekanan darah kembali normal dalam
beberapa jam kemudian (Sarwono, 2011).
Eklampsia tidak mempengaruhi kehamilan berikutnya kecuali pada janin dari ibu
yang sudah mempunyai hipertensi kronik. Prognosis janin pada penderita eklampsia juga
tergolong buruk. Seringkali janin mati intrauterin atau mati pada fase neonatal karena
memang kondisi bayi sudah sangat inferior (Sarwono, 2011)
BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Diagnosa
Diagnosis dari kasus ini didapat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis, didapatkan pasien berusia 37 tahun dengan
status obstetri G2P1001Ab000 dengan umur kehamilan sekitar 39-40 minggu datang dengan
keluhan kaki bengkak, disertai pusing dan tekanan darah 170/100. Pasien memiliki riwayat
tekanan darah tinggi sejak 2 tahun yang lalu, tetap tidak rutin minum obat. Pada
pemeriksaan fisik, didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit sedang dengan derajat
kesadaran compos mentis, GCS 456. Pasien memiliki berat badan 72kg dengan tinggi
badan 150cm, BMI sebesar 32kg/m2, sehingga pasien dikategorikan dalam berat badan
obesitas. Pada kepala, leher, thoraks, dan ekstremitas tidak ditemukan kelainan. Pada
pemeriksaan abdomen didapatkan tinggi fundus uteri 31cm dengan bayi pada letak bujur
kepala di bawah. Dari pemeriksaan penunjang menggunakan dipstick, didapatkan protein +1
dan albumin trace. Hasil tersebut menandakan adanya peningkatan permeabilitas membran
basalis glomerulus sehingga terjadi kebocoran dan mengakibatkan proteinuria. Proteinuria
merupakan syarat untuk diagnosis preeklampsia.
Dapat disimpulkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, pasien didiagnosis pre eklampsia berat dengan impending eklampsia, karena
pasien memiliki tekanan darah tinggi, yaitu 170/100 disertai proteinuria. Pasien didiagnosis
dengan impending eklampsia karena pasien mengeluh pusing.

5.2 Faktor Risiko


Faktor resiko hipertensi dalam kehamilan di antaranya adalah:
1. Primigravida, primipaternitas
2. Hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidosa, kehamilan multipel, diabetes mellitus,
hidrops fetalis, bayi besar
3. Usia lanjut
4. Riwayat keluarga pernah preeklampsia/eklampsia
5. Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
6. Obesitas

Faktor resiko hipertensi dalam kehamilan yang diketahui pada pasien ini adalah usia
lanjut, penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil, dan obesitas.
Kehamilan pasien saat ini merupakan kehamilan yang kedua dengan suaminya (menikah
1x, lama menikah 5 tahun), sehingga faktor resiko primigravida dan primipaternitas dapat
disingkirkan. Usia pasien ini adalah 37 tahun, yang secara teori kandungan merupakan usia
yang ekstrem untuk hamil. Tidak didapatkan riwayat keluarga maupun riwayat kehamilan
sebelumnya pernah preeklampsia/eklampsia. Berat badan pasien adalah 72kg dengan tinggi
badan 150cm, sehingga didapatkan BMI pasien sebesar 32kg/m2 dan termasuk dalam
obesitas. Pasien mengaku memiliki riwayat tekanan darah tinggi 2 tahun sebelum kehamilan
ini dan tidak teratur minum obat.

5.3 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada preeklampsia berat tergantung pada usia kehamilannya.
Tujuan pengelolaan pre eklampsia berat mencakup pencegahan kejang, pengobatan
hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan suportif terhadap penyulit organ yang terlibat, dan
mengetahui saat yang tepat untuk persalinan (Sarwono,2011).
Pasien dengan preeklampsia berat harus segera masuk ke rumah sakit dilanjurkan
tirah baring miring ke kiri. Secara umum perlu dilakukan monitoring ketat terhadap tanda-
tanda vital dan produksi urin serta saturasi oksigen. Keadaan janin dipantau menggunakan
CTG. Pemeriksaan laboratorium diulang setiap 12 jam. Apabila ditemukan hasil yang
abnormal, pemeriksaan dapat diulang setiap 4-8 jam. Pemeriksaan yang diperlukan antara
lain darah lengkap, faal hati, faal hemostasis, dan serum elektrolit. (Royal College of
Physicians of Ireland, 2013).
Untuk mencegah kejang dapat diberikan obat anti kejang. SM diberikan sebanyak
dua kali, yaitu initial dose dan maintenance dose. Menurut Sarwono, initial dose diberikan 4
gram SM IV (40% dalam 10 cc) selama 15 menit. Untuk maintenance dosenya dapat
diberikan berupa infus 6 gr dalam larutan ringer/ 6 jam atau diberikan 4 atau 5 gr secara IM
kemudian selanjutnya 4 gr IM tiap 6 jam. Pemberian SM dilanjutkan hingga 24 jam pasca
persalinan. Pasien ini diberi SM full dose bolus 4 gr bolus pelan lanjut drip 6 mg dalam 500
cc RD5% habis dalam 6 jam.
Sikap terhadap persalinan ditentukan oleh derajat tekanan darah dan perjalanan
klinik. Bila didapatkan tekanan darah yang terkendali, perjalanan kehamilan normal, maka
dapat diteruskan sampe aterm (Parkland Memorial Hospital, Dallas). Bila terjadi komplikasi
dan kesehatan janin bertambah buruk, maka segera diterminasi dengan induksi persalinan,
tanpa memandang umur kehamilan. Pasien ini dilakukan SC dengan indikasi PEB disertai
impending eklampsia.
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Preeklampsia merupakan penyakit yang masih sering ditemukan pada wanita hamil.
Penegakan diagnosis yang baik melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang dapat
membantu pemilihan tatalaksana. Tatalaksana yang cepat dan tepat dapat mencegah
komplikasi penyakit serta kematian ibu dan anak.
 
5.2  Saran
1. Pentingnya KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) tentang pentingnya
pencegahan terjadinya preeklampsia pada wanita hamil meliputi menghindari makanan
yang asin dan banyak lemak, mengkonsumsi makanan yang mengandungi banyak
serat dan menjaga berat badan ideal.
2. Pentingnya KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) tentang pentingnya ANC untuk
mendeteksi dini preeklampsia supaya perencanaan tatalaksana yang efektif dapat
dilakukan.
3. Pentingya KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) pada pasien yang mempunyai
faktor resiko yang tinggi dan edukasi cara melahirkan bayi dengan lebih awal secara
normal atau SC untuk mencegah terjadinya komplikasi dan mortalitas ibu dan anak.
DAFTAR PUSTAKA

American College of Obstetrician and Gynecologists (ACOG) Committee on Obstetric


Practice.2014. Hypertension in Pregnancy. Obstet Gynecol. 2:17–18

Alladin AA, Harrison M. Preeclampsia systemic endothelial damage leading to increased


activation of the blood coagulation cascade. Journal of Biotech Research. 2012; 4:26-
43

Berks D, Steegers EA, Molas M, et al. Resolution of Hypertension and Proteinuria After
Preeclampsia. Obstet Gynecol. 2009 Dec; 114 (6): 1307-14 :
10.1097/AOG.0b013e3181c14e3e.

Benson, Ralph C and Martin L. Pernoll. Buku Saku Obstetri dan Ginekologi. 9th ed. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2009.

Djannah, Sitti Nur and Ika Sukma Arianti. Gambaran Epidemiologi Kejadian
Preeklampsia/Eklampsia di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2007–2009.
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. 2010. Vol. 13 No. 4. : 378– 385.

Depkes RI. Profil Kesehatan Indonesia 2006. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. 2007.

F. Gary, Cunningham et al., 2010. Williams Obstetrics: 23rd Edition. New York: McGraw-Hill.

Frishman, WH et al., 2006. Pathophysiology and Medical Management of Systemic


Hypertension in Preeclampsia. Current Hypertension Reports 2006, 8:502–511

Henderson, JT et al. 2014. Low Dose Aspirin for Prevention of Morbidity and Mortality from
Preeclampsia: A Systematic Evidence Review for the U.S. Preventive Service Task
Force. Annals of Internal Medicine.160:695-703

Kementerian Kesehatan Indonesia. 2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas
Kesehatan Dasar dan Rujukan. Edisi 1. 4: 109-117

Knuppel, Robert A. High Risk Pregnancy Second Edition. Mexico : W.B. Saunders
Company. 1993.

Manuaba, Ida Bagus Gde. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan Keluarga Berencana
Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2010.
Opitasari, C. Andayasari, L. 2014. Parity, education level and risk for (pre-) eclampsia in
selected hospitals in Jakarta. Volume 5.pp 35-36

Osungbade, KO. Ige, OK. 2011. Public Health Perspectives of Preeclampsia in Developing
Countries: Implication for Health System Strengthening. Journal of Pregnancy. Hindawi
Publishing Corporation. p: 1-4

Prawirohardjo, Sarwono. 2011. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT. Bina Pustaka

Redman CW, Sargent IL. 2005. Science. Jun 10:308(5728):1592-4

Roberts, Christine L, Jane B Ford, Charles S Algert, Sussie Antonse, and James Chalmers.
Population-based Trends in Pregnancy Hypertension and Preeclampsia : an
International Comparative Study. BMJ Open 2011 (1):1-9.

Royal College of Physicians of Ireland. 2013. The Diagnosis and Management of Pre-
eclampsia and Eclampsia. Clinical Practice Guideline.

Symonds, Michael E, and Margaret M. Ramsay. Maternal-Fetal Nutrition During Pregnancy


and Lactation. Cambridge : Cambridge University. 2010.

Uzan, J. et al. 2011. Pre-eclampsia: pathophysiology,diagnosis, and management.Dove


Medical Press. 7: 467-474

World Health Organization. The World Health Report : 2005. Switzerland : WHO Press.
2005.

WHO. 2011. WHO Recommendations for Prevention and Treatment of Pre-eclampsia and
Eclampsia. Geneva.

Anda mungkin juga menyukai