Anda di halaman 1dari 29

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Vulvovaginitis (peradangan pada vulva dan vagina) merupakan infeksi
traktus genitalia yang banyak terjadi pada wanita terutama pada wanita usia
reproduktif. Kebanyakan dari wanita yang datang mencari bantuan medis
mengeluhkan keputihan. Keputihan dapat disertai dengan keluhan gatal, berbau,
bahkan nyeri. Vulvovaginitis sendiri diklasifikasikan dalam 3 kategori, yakni:
Vaginal candidiasis (infeksi karena jamur Candida albicans, Trichomoniasis
(infeksi Trichomonas vaginalis), dan Bacterial Vaginosis (infeksi karena bakteri).
Pada tahun 2002, Donders et al. mendeskripsikan sebuah istilah baru, yakni
Aerobic Vaginitis (AV) berdasarkan karakteristik klinis, bakteri dan imunologikal.

Aerobic vaginitis (AV) adalah suatu kondisi abnormal dari flora vagina.
Aerobic vaginitis (AV) merupakan infeksi yang berbeda dari bacterial vaginosis
(BV). AV disebabkan oleh ketidakseimbangan dari spesies Lctobacillus di vagina
dengan bakteri patogen aerobik seperti E. coli, Streptococcus grup B, S. aureus
dan Enterococcus faecalis yang memicu timbulnya respon imun reaksi inflamasi
lokal di vagina. Tanda dan gejala klinisnya antara lain inflamasi vagina, rasa
gatal, rasa terbakar, rasa nyeri saat koitus (dispareunia), keluarnya sekret
berwarna kekuningan, kenaikan pH vagina > 4.5, pertumbuhan berlebih bakteri
aerobik dan inflamasi dengan infiltrasi leukosit. Bentuk AV yang persisten atau
kronis juga dapat disebut sebagai desquamative inflammatory vaginitis (DIV)
(Sobel et al., 2011).

BV adalah suatu penyakit infeksi vagina yang terkait dengan pertumbuhan


berlebih dari bakteri anaerob. BV sering ditandai dengan keluarnya sekret vagina
yang berbau, namun biasanya tidak berhubungan dengan respon imun reaksi
inflamasi pada vagina. Seperti halnya dengan AV, BV juga menimbulkan
kenaikan pH vagina yaitu > 4.5 dan penurunan dari spesies Lactobacillus vagina.
BV diobati dengan terapi metronidazole untuk target bakteri anaerob. Namun,
sekitar 10-20% wanita yang didiagnosis dengan BV dan diobati dengan
metronidazole gagal merespon terapi yang diberikan dalam satu minggu dan

1
pasien mengalami gejala persisten. Hal ini disebabkan pada beberapa pasien
mengalami salah diagnosis, dan sebenarnya menderita AV yang membutuhkan
terapi antibiotik dengan aktivitas intrinsik terhadap bakteri aerobik tertentu
(Wilson, 2004).

Dalam sebuah penelitian terhadap 631 pasien yang menjalani perawatan


rutin prenatal dari klinik vaginitis, 7,9% memiliki AV sedang sampai berat.
Dalam sebuah penelitian terhadap 3.000 wanita, 4,3% ditemukan memiliki
penyakit AV berat, yang juga disebut DIV. Selanjutnya, 49,5% wanita dengan
DIV adalah wanita dengan postmenopause (Sobel et al., 2011).
Berdasarkan hal tersebut, penulis membuat laporan kasus mengenai
aerobic vaginitis. Harapan penulis adalah dengan adanya tulisan ini para pembaca
dapat lebih memahami bagaimana cara mendiagnosis dan membedakan aerobic
vaginitis dan bacterial vaginosis, sehingga pengobatan untuk pasien akan lebih
optimal dan infeksi pada vagina dapat lebih diminimalisir.

1.2 Tujuan
Tujuan pembahasan laporan kasus ini antara lain :

 Mengetahui etiologi, faktor risiko dan patofisiologi aerobic vaginitis pada


pasien dalam laporan kasus ini.
 Mengetahui cara mendiagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan
prognosis aerobic vaginitis pada pasien dalam laporan kasus ini.
1.3 Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan laporan ini adalah sebagai berikut :

 Menambah informasi dan wawasan mengenai kasus aerobic vaginitis agar


dokter muda mampu mengenali dan mendiagnosis aerobic vaginitis
sehingga dapat memberikan terapi dengan tepat dan tidak terjadi
komplikasi lebih lanjut yang dapat membahayakan pasien.
 Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti
kepaniteraan klinik bagian ilmu kebidanan dan kandungan.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Vulvovaginitis
Keluhan keluarnya sekret vagina pada wanita menyumbangkan jumlah
rawat jalan yang paling banyak dibandingkan dengan keluhan lain. Keluhan
vaginal ini biasanya didiagnosis sebagai “Vaginitis”. Vaginitis adalah istilah
umum dari peradangan pada dinding vagina yang umumnya disebabkan oleh salah
satu dari 3 penyebab gangguan ini, yaitu : infeksi jamur, trikomoniasis, dan
infeksi bakteri (Buyukbayrak et al, 2010).
Bakteri Lactobacillus adalah bakteri predominan pada vagina dan
sekaligus berperan sebagai regulator dari flora normal vagina. Pada vagina juga
dapat ditemui spesies streptokokal, bakteri gram negatif, Gardnerella vaginalis,
Candida albicans, dan bakteri anaerob lainnya. Bakteri Lactobacillus akan
memproduksi asam laktat, yang akan mempertahankan pH pada sekitar 3,8 hingga
4,5, serta menginhibisi perlekatan bakteri dengan sel epitel vagina. Sekitar 60%
bakteri Lactobacillus vagina memproduksi hidrogen peroksida, yang akan
menghambat pertumbuhan bakteri. Hormon estrogen dapat meningkatkan koloni
Lactobacillus dengan meningkatkan produksi glikogen dari sel epitel vagina, yang
akan berubah menjadi glukosa dan bertindak sebagai substrat dari bakteri (Eckert,
2006).

2.1.1 Vulvovaginal Candidiasis


Vulvovaginal Candidiasis (VVC) adalah masalah yang signifikan,
mempengaruhi hingga 75% wanita setidaknya sekali seumur hidup. Candida
albicans adalah agen kausatif dalam 85-90% kasus. Organisme ini berbentuk
dimorfik dan berada di kulit, mukosa, saluran gastrointestinal serta saluran
genitourinari pada 30-50% individu normal yang sehat. Candida albicans
bukanlah patogen, namun pada saat sistem pertahanan lokal ataupun sistemik dari
pasien menurun, organisme ini dapat berkembang dengan pesat. Meningkatnya
pertumbuhan ini pada akhirnya akan menimbulkan gejala (Johal et al, 2014; Fidel,
2007)

3
Gejala yang dirasakan oleh penderita adalah sekret yang tebal, dan seperti
keju. Biasanya keluhan dirasakan dengan pruritus vagina dan vulva, nyeri, rasa
terbakar, eritem, dan edema. Dapat ditemukan keluhan disuria dan dispareunia
(Schalkwyk et al, 2015).
Berikut adalah beberapa faktor risiko yang dapat menimbulkan
ketidakseimbangan pada biota dari vagina adalah (Johal et al, 2014):
 Konsumsi antibiotik
 Kehamilan
 Diabetes melitus
 Supresi imun seperti pada penderita HIV dan AIDS
 Koitus yang sering
 Vaginal douching
 Penggunaan spermisida
 Intra-uterine device (IUD)
Diagnosis dari VVC dapat ditegakkan setelah dilakukan pemeriksaan
pelvis. Adanya eritem serta edema pada vulva dan jaringan vagina disertai dengan
keluarnya cairan yang tebal dan putih dapat membantu diagnosis. Sekret vagina
yang memiliki pH < 4,5 dan ditemukan adanya budding yeast dan pseudohifa
pada pemeriksaan wet mount. Tes whiff negatif. Pewarnaa gram menunjukkan
hasil sel polimorfonuklear, budding yeast dan pseudohifa.
Pengobatan dari VVC memiliki variasi penggunaan obat topikal antifungal
yang digunakan selama 1 sampai 3 hari, dan 1 obat oral yaitu fluconazole. Kedua
jenis obat dapat mengobati 80-90% penyakit tanpa memiliki keunggulan satu
sama lain (Schalkwyk et al, 2015).
Terapi Pengobatan Dosis
Uncomplicated VVC
Anti jamur Clotrimazole cream/ 1%. 1x1, 7 hari, atau
imidazole ointment 2% 1x1, 3 hari, atau
10% 1x.
Insert/ ovule/ supp 200 mg 1x1, 3 hari,
atau
500 mg, 1x
Miconazole 2% 1x1, 7 hari, atau

4
cream/ointment 4% 1x1, 3 hari
Insert/ ovule/ supp 100 mg 1x1,7 hari,
atau
400 mg 1x1, 3 hari,
atau
1200 mg 1x.
Anti jamur Fluconazole (oral) 150 mg 1x.
Triazole
Terconazole cream 0,4% 1x1, 7 hari
(harus dengan resep
dokter)
VVC berulang
Induksi Imidazole cream 10-14 hari
Fluconazole (oral) 150 mg, 3 dosis,
selang 72 jam
Boric acid insert 300-600 mg 1x1, 14
hari
Clotrimazole insert 500 mg, 1x1 bulan, 6
bulan
Maintenance Fluconazole (oral) 150 mg, 1x1 minggu
Boric acid insert 300 mg 1x1, 5 hari
setiap hari pertama
siklus menstruasi
Ketoconazole (oral) 100 mg 1x1
Non-albicans VVC
Boric acid insert 300-600 mg tiap
malam, 14 hari
Flucytosine cream 5 g 1x1, 14 hari
Amphotericin B supp 50 mg 1x1, 14 hari
Nystatin supp 100.000 U, 1x1, 3-6
bulan
2.1.2 Trikomoniasis
Trichomonas vaginalis adalah parasite intraselular yang ditransmisikan
secara seksual. Organisme ini menyebabkan vaginitis akut pada 5-50% kasus.
Secara global, organisme ini termasuk dalam penyebab infeksi menular seksual
non-viral tersering dengan sekitar 170 juta kasus pertahunnya. Penyakit ini
menunjukkan gejala pada 64%-90% orang yang terinfeksi (Schalkwyk et al, 2015;
Eckert, 2006).

5
Laki laki cenderung memiliki gejala yang lebih sedikit dibandingkan
wanita dan dapat menjadi vektor asimtomatis dari infeksi. Laki laki yang
simtomatis dapat merasakan keluhan uretrititis, disuria dan keluarnya sekret
mukopurulen.
Pada wanita, organisme dapat ditemukan pada vagina, serviks, kandung
kemih atau pada kelenjar bartolin, skene, atau periuretral. Gejala yang muncul
biasanya meningkatnya volume sekret vagina. Sekret ini berbau busuk, berwarna
hijau atau kuning dan biasanya berbusa. Sebagai tambahan, terkadan ditemukan
pruritus dengan vulvitis dan vaginitis, dysuria dan dyspareunia.
Diagnosis di bagian Obstetri-Ginekologi RSSA Malang didasarkan pada
anamnesa gejala, pemeriksaan fisik, uji pH discharge, uji KOH, dan Wet Smear
(RSSA, 2008). Namun, dapat dilakukan beberapa pemeriksaan lainnya, yaitu
(Schalkwyk et al, 2015) :
 Wet mount untuk visualisasi mikroskopis untuk parasite motil dengan
sensitivitas hingga 65% dalam waktu 10 menit dari pengambilan
specimen.
 Kultur dari T. vaginalis memiliki spesifitas yang tinggi (hampir
100%) namun sensitivitas yang lebih rendah (75%).
Kultur dapat dilakukan apabila dari keluhan klinis sangat dicurigai
terdapat trikomoniasis, namun pada wet smear tidak didapatkan protozoa tersebut.
(Eschenbach, 2016).
Pilihan terapi yang dapat diberikan untuk infeksi trikomoniasis pada
bagian Obstetri-Ginekologi RSSA Malang adalah (RSSA, 2008):
 Metronidazole 2 x 500 mg PO selama 7 hari
 Tinidazole 2 gram PO
Menurut Eckert, Tinidazole memiliki tingkat penyembuhan yang setara
atau bahkan lebih tinggi dair metronidazole, mencapai hingga 90-95%. Karena
penyakit ini adalah penyakit menular seksual, penyembuhan akan lebih baik jika
pasangan pasien diberikan terapi juga (Eckert, 2006).

2.1.3 Bacterial Vaginosis


Bacterial vaginosis (BV) adalah penyebab tersering terjadinya akut
vaginitis. BV terjadi pada 15-50% dari kasus wanita dengan keluhan. BV

6
merefleksikan perubahan pada flora vagina dari dominan Lactobacillus menjadi
flora campuran, termasuk mikoplasma genital, G. Vaginalis, dan bakteri anaerob
seperti Pepto streptococci, dan Prevotela dan spesies Mobiluncus. Kultur vagina
tidak dapat merefleksikan dengan baik kompleksitas dari flora vaginal pada BV
(Eckert, 2006).
BV dapat meningkatkan risiko berbagai macam penyakit serta komplikasi.
Di antaranya adalah kelahiran preterm, preterm premature rupture of membranes
(PPRM), aborsi spontan, korioamnionitis, endometriosis postpartum, infeksi luka
pasca kelahiran sectio cesaria, infeksi paska pembedahan, dan pelvic
inflammatory disease (PID) subklinis (Schalkwyk et al., 2015). BV juga dapat
meningkatkan risiko dari aborsi spontan dan berkurangnya kemungkinan
fertilisasi in vitro.
BV dapat meningkatkan risiko kelahiran prematur hingga lebih dari 2 kali
lipat. Sementara, kelahiran prematur sendiri menyumbang 70% kematian
perinatal. Diperkirakan bahwa organisme vagina pada BV naik menuju
choriodecidual space. Lalu kelahiran preterm akan terjadi karena respon maternal
dan fetal dari kolonisasi bakteri pada koriodesidual. Pada beberapa ibu, bakteri
akan menembus membran chorioamniotic yang intak dan menginfeksi cairan
amnion beserta fetus (Leitich et al, 2003)
Biasanya, BV dikaitkan dengan munculnya sekret yang tipis, putih ke abu
abuan dan berbau amis. Penegakan diagnosis dapat didasarkan dari diagnosis
klinis ataupun secara mikrobiologis. Diagnosis secara klinis ditegakkan apabila
ditemukan 3 dari 4 tanda berikut (Schalkwyk et al, 2015):
 Munculnya sekret vagina yang homogen, tipis dan berair.
 PH vagina > 4,5.
 Deteksi clue cell (sel epitel vagina dengan lapisan bakteri sangat tebal
sehingga batas terluar tertutupi) pada pemeriksaan saline wet mount
sebanyak 20% atau lebih.
 Adanya bau amine setelah penambahan potassium hidroksida 10%
(whiff test).
Pengecatan gram adalah cara yang paling banyak digunakan untuk
mengevaluasi dan menegakkan diagnosis dari BV. Kebanyakan laboratorium

7
menggunakan skema diagnostik objektif yang menjumlahkan bakteri
Lactobacillus dan bakteri patogenik, menghasilkan angka yan dapat digunakan
untuk menentukan apakah infeksi sedang berjalan atau tidak (Schalkwyk et al,
2015).
Terapi yang dapat digunakan pada pasien ini adalah terapi oral
metronidazole 500 mg 2x1 selama 7 hari. Tingkat kesembuhan yang didapatkan
dari terapi ini sekitar 75%-85% dan tidak berbeda antara pemberian secara oral
atau vaginal (Schalkwyk et al, 2015). Pemberian klindamisin 2% secara vaginal
selama 7 hari juga memiliki tingkat kesembuhan yang sama dengan metronidazole
oral.

2.1.4 Aerobic vaginitis


Pada tahun 2002, muncul terminologi baru untuk membedakan infeksi
vagina berdasarkan karakteristik klinis, bakteri dan imunologikal. Terminologi ini
adalah Aerobic Vaginitis (AV). AV terjadi karena adanya ketidakseimbangan
populasi flora pada vagina yakni berkurangnya spesies Lactobacillus dan
digantikan oleh patogen-patogen aerobik seperti Escherichia coli, Group B
Streptococcus (GBS), Staphylococcus aureus, dan Enterococcus faecalis yang
akan memicu respon imun inflamasi lokal pada vagina. Sementara BV adalah
pertumbuhan abnormal dari patogen anaerobik. AV dialami oleh 23,74% wanita
yang mengeluh keputihan, sementara BV dialami oleh 31,71% (Fan et al, 2012).
AV terjadi saat pH vagina meningkat (>4,5) akibat berkurangnya koloni
Lactobacillus sehingga menyebabkan peningkatan pertumbuhan bakteri aerobik
atau bakteri aerobik fakultatif. Tingginya konsentrasi dari bakteri aerobik dan
tidak adanya bakteri Lactobacillus vagina akan memicu timbulnya respon imun
yang dibuktikan dengan adanya inflamasi vagina, tingginya produksi sitokin
proinflamasi, terkumpulnya leukosit, dan terbentuknya leukosit toksik serta sel
parabasal.
Gejala yang muncul biasanya sekret kekuningan, sensasi terbakar dan
gatal, nyeri saat kopulasi, tidak ada bau amis (Whiff test negatif) yang biasanya
diasosiasikan dengan BV, inflamasi, infiltrasi leukosit toksik, dan adanya sel
parabasal dan sel epitel vagina bundar. Pada beberapa studi menunjukkan bahwa
pada 65,28% AV memiliki karakteristik sekret kuning-kehijauan, tipis dan

8
purulen. Terkadang beberapa sekret memiliki bau yang busuk, tidak seperti BV
yang memiliki bau amis. AV juga diasosiasikan dengan abortus serta kelahiran
preterm.
Terapi yang digunakan pada AV adalah antibiotik dengan aktivitas
intrinsik terhadap mayoritas bakteri fekalis. Pengobatan yang optimal dapat
dicapai dengan menggunakan antibiotik yang memiliki efek kecil terhadap flora
normal, terutama spesies Lactobacillus, tetapi dapat mengeridekasi bakteri
patogen gram negatif seperti E.coli, gram-positif GBS, S. aureus, dan E. faecalis.
Kanamycin topikal memiliki tingkat kesuksesan klinis paling baik.
Sementara golongan fluoroquinolone, seperti ciprofloxacin dan ofloxacin,
memiliki efek yang kecil terhadap flora normal vagina seperti spesies
Lactobacillus (L. crispastus, L. gasseri, and L. jensenii) namun tetap memiliki
efek yang bagus terhadap bakteri lain (Tempera et al., 2004; Backer, 2006).
Berikut ini adalah terapi yang telah terbukti efektif dalam mengobati AV,
yaitu (Tempera dan Furneri, 2010):
 Ovul kanamycin (100mg, mengandung 83 mg komponen aktif) satu
ovul satu hari selama 6 hari.
 2% klindamicin topical. 4 sampai dengan 5 gram 2% klindamikin krim
setiap hari selama 4 sampai 6 minggu
 Ciprofloxacin atau ofloxacin
 Fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin dan levofloxacin)
kontraindikasi pada wanita hamil
 Streptococus grup B memiliki kerentanan yang sama terhadap
penicillin, ampicillin, amoxicillin, amoxicillin asam clavulanic, dan
asetil cefuroxime. Alternatifnya adalah clindamycin dan levofloxacin
 E. faecalis diobati menggunakan ampicillin. Kombinasi dari ampisilin
dan aminoglikosida (gentamisin atau spectinomisin) digunakan untuk
infeksi berat.
2.2 Vulvovaginal Preparat
Vulvovaginal Preparat (VVP) adalah salah satu prosedur yang dapat
dilakukan untuk memeriksa abnormalitas pada discharge vagina dan

9
penyebabnya. Berikut adalah prosedur pengoleksian sampel untuk pemeriksaan
VVP:
1. Persiapan alat dan bahan: sarung tangan steril, lidi kapas, air garam
fisiologis, spekulum vagina, object glass dan cover glass yang telah diberi
label identitas pasien.
2. Masukkan spekulum vagina secara perlahan ke dalam vagina sampai
terlihat cairan keputihan di dalam vagina.
3. Ambil lidi kapas steril kemudian masukkan ke dalam vagina perlahan
tanpa menyentuh daerah vulva.
4. Putar lidi kapas dan tekan sekitar 10 sampai 30 detik untuk mengambil
discharge.
5. Oles discharge pada 2 object glass yang telah didesinfeksi.
6. Teteskan cairan garam fisiologis (NaCl 0,9%) pada salah satu object glass
tutup dengan cover glass (untuk sediaan basah), biarkan object glass
satunya mongering tanpa ditambahkan apapun (untuk sediaan kering).
7. Buanglah lidi kapas ke dalam tempat sampah medis.
8. Lepaskan spekulum dan masukkan dalam larutan desinfektan.
9. Kirim preparat ke laboratorium untuk dilakukan pengecatan dan
pengamatan di bawah mikroskop.
Dari hasil VVP akan dapat diketahui morfologi patogen penyebab
keputihan yang dapat dipertimbangkan dalam menegakkan diagnosis. Dari hasil
preparat basah dapat dilihat keberadaan Trichomonas vaginalis, jamur, epitel,
leukosit, eritrosit, sperma. Sedangkan dari preparat kering dapat ditemukan
bentukan diplococcus gram negatif, batang gram positif, coccus gram negatif,
batang gram positif, coccobacil, dan clue cell.

2.3 Pap Smear


Pap smear atau yang juga disebut sebagai Pap test merupakan prosedur
pemeriksaan untuk mendeteksi kanker serviks secara dini. Pemeriksaan ini dapat
mendeteksi lesi prakanker sehingga dapat diterapi lebih dini agar tidak berujung
pada kondisi kanker serviks. Pengambilan sample dilakukan di daerah perbatasan
antara ectocervix dan endocervix (squamocolumnar junction) karena pada daerah

10
itulah paling banyak ditemukan perubahan sel epitel serviks yang menuju
keganasan. Perubahan abnormal pada sel epitel serviks jarang menimbulkan
gejala. Namun sebagian orang dapat mengalami gejala-gejala berikut (Pretorius et
al., 1991):
 Perdarahan abnormal dari vagina (misalnya di luar siklus menstruasi,
setelah senggama, atau setelah menopause)
 Nyeri di perut bagian bawah atau pelvis
 Nyeri saat bersenggama
 Dan keluarnya cairan/ sekret abnormal dari vagina
Pada pasien yang sudah aktif melakukan hubungan seksual dengan
keluhan keluar sekret abnormal dari vagina perlu dilakukan pemeriksaan Pap
smear untuk segera mengetahui apakah terdapat kelainan yang menunjukkan
adanya kanker atau lesi prakanker.
Hasil pemeriksaan Pap smear dapat dinyatakan dalam klasifikasi Bethesda
dan klasifikasi Papanicolaou. Berikut adalah klasifikasi menggunakan sistem
Papanicolaou:
Class I Tidak ada sel atipikal atau abnormal
Class II Sitologi atipikal namun tidak terbukti adanya keganasan
Class III Sitologi mengarah namun tidak mutlak keganasan
Class IV Sitologi mengarah kuat ke keganasan
Class V Sitologi dengan pasti menunjukkan keganasan

11
Berikut adalah klasifikasi menggunakan sistem Bethesda:

12
13
BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas
3.1.1 Pasien
No. RM : 113235xx
Nama : Ny. A
Umur : 40 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Suku : Jawa
Bangsa : Indonesia
Alamat : Jl. HM Sariah SH 3/2 Penarukan Kepanjen
Status : Menikah 1x

3.1.2 Pasangan
Nama : Tn. U
Usia : 41 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pegawai pabrik rokok
Alamat : Penarukan, Kepanjen

3.2 Subjektif (12 Mei 2017)


3.2.1 Keluhan utama
Keputihan disertai gatal.
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan keputihan sejak kurang lebih 1 tahun, keputihan
disertai gatal-gatal di kemaluan, terasa panas, dan terkadang nyeri. Keputihan
dirasakan kadang berbau dan kadang tidak. Keputihan berwarna kuning
kehijauan. Tidak didapatkan busa atau darah. Cairan keputihan cenderung kering
sehingga tidak sampai membasahi pakaian dalam. Pasien juga mengeluhkan

14
terkadang mengalami nyeri saat kencing dan perasaan kencing tidak tuntas Tidak
terdapat keluhan sistemik lainnya.
Siklus menstruasi pasien teratur tiap bulan sekali. Hari pertama haid
terakhir pada 2 Mei 2017. Lama tiap menstruasi rata-rata 7 hari sampai habis
tuntas. Tiap menstruasi pasien dapat berganti pembalut sebanyak 2-3 kali. Tidak
didapatkan nyeri saat haid. Pasien berusia sekitar 13 tahun saat menstruasi
pertama kalinya.
3.2.3 Riwayat Pernikahan
Pasien menikah 1 kali kurang lebih 16 tahun yang lalu (saat berusia 24
tahun). Memiliki 2 orang anak yang saat ini berusia 15 tahun dan 10 tahun.

3.2.4 Riwayat Kehamilan dan Persalinan


Pasien pernah hamil 3 kali, melahirkan anak 2 kali dengan normal di
bidan, dan mengalami abortus 1 kali.

3.2.5 Riwayat Kontrasepsi


Pasien pernah menggunakan KB suntik dan kemudian beralih
menggunakan pil KB kombinasi sejak Desember 2016. Saat ini pasien masih
mengonsumsi pil KB.

3.2.6 Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien pernah merasakan keluhan yang sama sebelumnya dan mendapat
terapi antibiotik. Pasien juga pernah didiagnosis mengalami erosi porsio dan
mendapat terapi abotil tutul setiap 3 hari sekali selama 3 bulan. Riwayat alergi dan
penyakit lain disangkal.

3.2.7 Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga yang mengeluhkan penyakit yang sama. Ayah pasien
meninggal karena penyakit jantung.

3.2.8 Riwayat Ginekologi


29 Desember 2016
Pasien dirujuk oleh SpOG di RS Hasta Husada Kepanjen ke Poli
Ginekologi RSSA dengan erosi porsio kronis dan riwayat pengobatan tutul abotil

15
berulang. Pasien mengeluhkan keluar darah dari kemaluan setelah bersenggama
dan saat bersenggama terasa perih  disarankan untuk melakukan tes Pap Smear.
6 Januari 2016
Pasien datang membawa hasil pemeriksaan Pap Smear  Tidak
ditemukan sel ganas dengan adanya peradangan non spesifik, pasien disarankan
kontrol ulang dalam 3 bulan
19 April 2017
Pasien datang kembali ke Poli Ginekologi RSSA untuk kontrol Pap smear
ulang dan mengeluhkan keputihan dan nyeri di kemaluan serta perdarahan saat
koitus  disarankan melakukan tes VVP dan Pap smear.
26 April 2017
Pasien kontrol ke Poli Ginekologi RSSA untuk menyerahkan hasil Pap
smear dan VVP  didiagnosis vulvovaginitis, diterapi dengan antibiotik dan
asam mefenamat untuk mengurangi nyerinya. Pasien disarankan Pap smear ulang
dalam 6 bulan.
12 Mei 2017
Pasien datang ke Poli Ginekologi untuk kontrol dan mengeluhkan masih
mengalami keputihan disertai gatal di daerah kemaluan, terasa panas dan kadang
nyeri  diterapi dan disarankan memeriksakan darah lengkap karena
dikhawatirkan pasien menderita diabetes mellitus (DM).
3.2.9 Riwayat Sosial
Pasien seorang ibu rumah tangga dan tinggal dengan suami dan dua orang
anaknya. Suami pasien bekerja sebagai pegawai di sebuah pabrik rokok.
Hubungan dengan suami baik, pasien terbiasa berhubungan suami istri tanpa
kondom.
Tempat tinggal pasien berada di daerah Kepanjen. Sanitasi rumah dan
sekitarnya baik. Pasien mengaku mengganti pakaian dalam sebanyak 2-3 kali
sehari. Pasien mengaku tidak memperhatikan cara ceboknya, terkadang dari depan
ke belakang terkadang dari depan ke depan. Sehari-hari pasien juga menggunakan
cairan antiseptik untuk membersihkan vagina. Terkadang jika sedang di rumah
pasien lebih suka tidak mengenakan celana dalam.

16
3.3 Objektif (12 Mei 2017)
3.3.1 Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis (GCS 456)
Tinggi badan : 162 cm
Berat badan : 61 kg
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 87x/menit, regular
RR : 16x/menit, dyspnea (-)
Suhu : 36,8°C
Kepala dan leher : Anemis - / -, ikterik - / -
Pembesaran kelenjar getah bening - / -
Thorax
Jantung : S1 S2 tunggal, murmur (-)
Paru :v/v Rhonki - / - Wheezing - / -
v/v -/- -/-
v/v -/- -/-
Abdomen : Flat, soefl, BU (+), bekas luka bedah (-), nyeri (-),
shifting dullness (-)
Ekstremitas : Simetris, anemis (-), edema (-)

Status Ginekologi
Genitalia eksterna : flux (-), fluor (+)
Inspekulo : flux (-), fluor (+) warna kuning kehijauan, tidak
berbau, POMP tertutup, licin
VT : flux (-), fluor (+), potio arah jam 06.00, POMP
tertutup, licin
CUAF ~ dbn
AP D/S  Massa - / -, nyeri - / -
CD ~ dbn

17
3.3.2 Pemeriksaan Penunjang
Hasil VVP pada tanggal 19 April 2017

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan


dewasa normal
Preparat Basah
Trichomonas V Negatif /LPB Negatif
Jamur Negatif /LPB Negatif
Epitel ++ /LPB Positif
Leukosit + /LPB 1-3
Eritrosit Negatif /LPB Negatif
Sperma Negatif /LPB Positif/ negatif
Lain-lain Negatif /LPB
Preparat Kering
Diplococcus gram negatif Tidak ditemukan /LPB
Batang gram negatif Positif (++) /LPB
Coccus gram positif Tidak ditemukan /LPB
Batang gram positif Tidak ditemukan /LPB
Coccobacil Tidak ditemukan /LPB > 30
Clue Cell Tidak ditemukan /LPB Negatif
Lain-lain - /LPB

Hasil Pap smear tanggal 25 April 2017


Kesimpulan:
Kl. Bethesda : - Radang non spesifik
- Tidak ditemukan sel ganas
Kl. Papaniculao : - Class II
3.3.3 Assessment
Aerobic Vaginitis
3.3.4 Planning
Planning diagnosis :-
Planning treatment : Kanamycin topical.
Loratadine
Asam mefenamat
Planning monitoring : Keluhan subjektif dan status ginekologi
Planning edukasi : KIE tentang kondisi pasien saat ini, dan rencana terapi
yang diberikan. Edukasi: hygiene daerah genitalia, tidak
menggunakan sabun antiseptic untuk membersihkan

18
vagina, mengonsumsi antibiotik sampai habis meskipun
keluhan sudah berkurang.

19
BAB 4
PERMASALAHAN
1. Bagaimana penegakan diagnosis pada kasus ini?
2. Apakah etiologi yang mungkin menyebabkan kasus ini dan bagaimana
patogenesisnya?
3. Bagaimana penatalaksanaan dan prognosis pada kasus ini?
4. Apakah komplikasi yang mungkin timbul pada kasus ini?
5. Apakah kemungkinan penyebab tidak membaiknya keluhan keputihan pasien
sebelumnya?

20
BAB 5
PEMBAHASAN
5.1 Penegakan Diagnosis
5.1.1 Anamnesis
Berdasarkan anamnesis ditemukan keluhan keputihan sejak kurang lebih 1
tahun, keputihan disertai gatal-gatal di kemaluan, terasa panas, dan terkadang
nyeri. Keputihan dirasakan kadang berbau dan kadang tidak. Keputihan berwarna
kuning kehijauan. Tidak didapatkan busa atau darah. Cairan keputihan cenderung
kering sehingga tidak sampai membasahi pakaian dalam. Terdapat keluhan nyeri
saat kencing dan perasaan kencing tidak tuntas Tidak terdapat keluhan sistemik
lainnya.
Pada kunjungan sebelumnya pasien mengeluhkan keputihan dan nyeri
serta perdarahan saat koitus. Pasien juga pernah didiagnosis mengalami erosi
porsio dan mendapat terapi abotil tutul setiap 3 hari sekali selama 3 bulan.
Pasien seorang ibu rumah tangga dan tinggal dengan suami dan dua orang
anaknya. Suami pasien bekerja sebagai pegawai di sebuah pabrik rokok.
Hubungan dengan suami baik, pasien terbiasa berhubungan suami istri tanpa
kondom.
Pasien mengaku tidak memperhatikan cara ceboknya, terkadang dari
depan ke belakang terkadang dari depan ke depan. Sehari-hari pasien juga
menggunakan cairan antiseptik untuk membersihkan vagina. Terkadang jika
sedang di rumah pasien lebih suka tidak mengenakan celana dalam.
5.1.2 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik ginekologi didapatkan fluor warna kuning
kehijauan, tidak berbau, tidak didapatkan adanya darah.
5.1.3 Pemeriksaan Penunjang
Dari hasil pemeriksaan penunjang VVP didapatkan epitel (++), leukosit
(+), batang gram negatif (++), tidak ditemukan batang gram positif, coccobacil,
dan clue cell.
Dari pemeriksaan pap smear didapatkan hasil dengan kesimpulan
klasifikasi Bethesda radang non spesifik dan tidak ditemukan sel ganas, klasifikasi
Papanicolaou Class II.

21
Berdasarkan anamnesis, gambaran klinis, pemeriksaan fisik, dan hasil
pemeriksaan penunjang VVP dan pap smear, dapat ditegakkan bahwa diagnosis
untuk Ny. A adalah aerobic vaginitis (AV).
AV seringkali salah didiagnosis dengan bacterial vaginosis (BV), padahal
keduanya memiliki faktor etiologi yang berbeda, sehingga harus mendapat terapi
yang berbeda pula. Pada kasus ini, gambaran klinis dan dari hasil pemeriksaan
penunjang lebih mengarah ke AV. Berikut perbedaan AV dan BV (Donders et al.,
2002):

Karakteristik Klinis Bacterial Vaginosis Aerobic Vaginitis


Lactobacillus Sedikit Sedikit
Inflamasi epitel vagina Tidak ada Ada
Sel epitel vagina Clue cells Parabasal cells
Karakteristik cairan Putih, homogen Kekuningan
keputihan
Bau Amis Tidak berbau

Pada pasien ini dijumpai gejala nyeri saat koitus dan juga keluhan
perdarahan saat koitus, hal ini dapat dikarenakan adanya inflamasi pada daerah
vagina pasien. Hal tersebut lebih mengarahkan diagnosis pasien ke AV. Keluhan
perdarahan saat koitus pada pasien ini tidak mengarah ke keganasan, karena hasil
pap smear tidak menunjukkan adanya keganasan.
5.2 Etiologi dan Patogenesis
5.2.1 Etiologi
Penyebab infeksi yang paling mungkin pada pasien ini adalah Escherechia
coli. Aerobic Vaginitis sering disebabkan oleh 1 atau 2 populasi flora normal usus
seperti Escherechia coli, Enterococcus faecalis, Staphylococcus epidermidis,
Streptococcus viridans, dan Staphylococcus aureus (Fan et al., 2013). Pada AV,
terkadang juga terjadi mixed infection dengan vaginosis bakterial, vaginal
candidiasis, ataupun vaginal trichomoniasis. Berdasarkan hasil VVP yang
didapatkan hanya didapatkan kuman batang gram negatif positif 2 (++), tidak
didapatkan trichomonas ataupun jamur.

22
Tabel Flora Normal Vagina.
5.2.2 Patogenesis

Berkurangnya koloni Lactobacillus → pH vagina >4,5

Pertumbuhan patogen-patogen aerobik dan aerobik fakultatif.

Timbul respon imun untuk mengeradikasi bakteri patogen

Inflamasi vagina: produksi sitokin proinflamasi,


terkumpulnya leukosit, terbentuknya leukosit toksik serta sel
parabasal

Timbul gejala: sekret vagina kekuningan, sensasi terbakar


dan gatal, nyeri saat kopulasi (dispareunia), dll.

5.3 Penatalaksanaan dan Prognosis


5.3.1 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan AV dapat berupa pemberian advis, terapi non
farmakologis dan terapi farmakologis.

23
Advis yang diberikan pada pasien, antara lain:
 Hilangkan faktor risiko seperti penggunaan antibiotik dan cairan antiseptik
untuk membersihkan vagina sembaranga karena hal ini dapat
menyebabkan keseimbangan flora normal vagina terganggu.
 Perbaikan personal hygiene, terutama pada daerah kewanitaan. Bagaimana
cara membersihkan daerah genitalia seperti tata cara cebok yang benar.
 Menghindari lingkungan lembab pada daerah kewanitaan, salah satunya
menghindari penggunaan pakaian dalam yang basah, menggunakan
pakaian dalam berbahan katun, dan hindari penggunaan pakaian dalam
serta celana ketat.
 Penggunaan kondom saat berhubungan seksual pada pasien yang aktif
berhubungan seksual dengan pasangan serta membersihkan genitalia
setelah senggama.

Terapi farmakologi pada pasien ini berupa:

 Antibiotik: kanamycin ovules 100mg 1x1 selama 6 hari.


Kanamycin merupakan antibiotik broad-spectrum golongan
aminoglikosida. Obat ini menjadi drug of choice pada kasus aerobic
vaginitis karena bekerja efektif pada kuman-kuman aerob dan telah
dibuktikan efektif mengobati aerobic vaginitis serta aman karena tidak
mengganggu Lactobacillus. Selain itu kanamycin juga dapat diberikan
bersama metronidazole jika infeksi yang terjadi merupakan mixed-
infection dengan kuman-kuman anaerob (penyebab bacterial vaginosis)
(Zarbo et. al., 2013).
 Loratadine 10 mg 1x1
Merupakan antihistamine yang berfungsi untuk mengurangi rasa gatal
pada pasien.
 Asam mefenamat 3x500 mg untuk mengurangi keluhan nyeri dan juga
untuk mengatasi inflamasi yang terjadi.
 Probiotik (Lactobacillus sp.).
Probiotik dapat diberikan untuk mengembalikan keseimbangan normal
flora di daerah vagina yang bersifat protektif terhadap bakteri-bakteri

24
patogen oportunistik. Pada pasien ini tidak diberikan probiotik karena
harga probiotik relatif mahal.
5.3.2 Prognosis
Prognosis vulvovaginitis yang diterapi: bonam (baik).
5.4 Komplikasi
Komplikasi pada vulvovaginitis dapat terjadi jika pengobatan yang
diberikan tidak adekuat sehingga akan muncul infeksi berulang dan berat.
Vaginitis berulang didefinisikan sebagai 3 atau lebih episode vaginitis dalam 1
tahun. Pada kasus ini, komplikasi yang mungkin terjadi adalah UTI. Komplikasi
aerobic vaginitis sering dikaitkan pada kondisi kehamilan. Aerobic vaginitis dapat
memicu terjadinya premature rupture of membrane (PRM) dan juga kelahiran
preterm spontan. Selain itu, infeksi vulvovaginitis yang tidak diterapi dapat
menyebar mengakibatkan pelvic inflammatory disease (PID).
5.5 Faktor Penyebab Keluhan Tidak Membaik Setelah Terapi
Sebelumnya
Pasien Ny. A tidak memperhatikan cara ceboknya, terkadang dari depan
ke belakang dan terkadang dari belakang ke depan. Pasien mengeluhkan nyeri saat
berkemih dan perasaan tidak tuntas yang dimungkinkan karena adanya urinary
tract infection. Pasien sudah menikah dan aktif berhubungan seksual dengan
suami, kebersihan daerah genitalia saat kopulasi dan setelah kopulasi dapat
menjadi faktor risiko terjadinya infeksi di daerah genitalia.
Kesalahan diagnosis dengan BV juga menyebabkan treatment yang diberikan
menjadi kurang tepat sehingga tidak efektif mengobati keluhan pasien. Selain itu
faktor predisposisi seperti adanya diabetes mellitus yang belum diketahui pada
pasien ini juga perlu disingkirkan salah satunya dengan memastikan bahwa pasien
memang tidak menderita diabetes mellitus melalui pemeriksaan laboratorium.

25
BAB 6
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
1. Pasien didiagnosis aerobic vaginitis berdasarkan:
 Anamnesis: keputihan warna kuning kehijauan, disertai gatal, tidak
berbau, terkadang nyeri. Saat koitus terkadang berdarah dan terasa
nyeri.
 Pemeriksaan fisik: fluor kuning kehijauan tidak berbau pada vulva dan
di dalam vagina
 Pemeriksaan penunjang: VVP menunjukkan infeksi bakteri dan Pap
smear tidak menunjukkan keganasan
2. Etiologi yang paling mungkin: E. coli. Patogenesis terjadi karena
ketidakseimbangan flora normal vagina sehingga pH vagina meningkat
dan terjadi pertumbuhan patogen aerobik dan aerobik fakultatif.
3. Terapi pada pasien ini berupa advis mengenai gaya hidup dan personal
hygiene dan terapi farmakologi berupa kanamycin ovules 100 mg 1x1
selama 6 hari, loratadine 10 mg 1x1 jika terasa gatal dan asam mefenamat
3 x 500 mg jika terasa nyeri. Selanjutnya monitoring dilakukan dengan
melihat keluhan subjektif pasien beserta status ginekologinya. Prognosis
baik jika diterapi dengan benar.
4. Komplikasi: PID, PRM dan kelahiran preterm pada ibu hamil.
5. Penyebab gagal terapi sebelumnya karena pengobatan belum disertai
perubahan pola hidup pasien dan ketidaktepatan pemberian terapi.

6.2 Saran
Penegakan diagnosis infeksi bakteri pada daerah genitalia harus dilakukan
secara hati-hati dengan dilakukan pemeriksaan lengkap mulai dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, hingga pemeriksaan penunjangnya. Pemberian terapi antibiotik
harus disesuaikan dengan kuman penyebab bakterinya agar tidak menambah
fenomena resistensi antibiotik, dan dengan pengobatan yang tepat pasien akan
merasa sangat terbantu.

26
Pemeriksaan terhadap kondisi penyerta pada pasien perlu dilakukan jika
dengan terapi yang ada tidak kunjung memberi hasil. Perlu dipertimbangkan
untuk menggali lebih dalam faktor predisposisi yang dimiliki pasien.

27
DAFTAR PUSTAKA

Backer, De E, Verhelst R, Verstraelen H, Claeys G, Verschraegen G, Temmerman


M, Vaneechoutte M. 2006. Antibiotic susceptibility of Atopobium
vaginae. BMC Infect Dis 6: 51.
BuyukBayrak, E. E. et al., 2010. Diagnosis of Vulvovaginitis: Comparison of
Clinical and Microbiological diagnosis. Volume 282, pp. 515-519.
Donders GGG, Vereecken A, Bosmans E, Dekeersmaecker A, Salembier G,
Spitz B. 2002. Definition of a type of abnormal vaginal flora that is
distinct from bacterial vaginosis: aerobic vaginitis. Br J Obstet Gynecol
109: 34-43.
Eckert, L. O., 2006. Acute Vulvovaginitis. pp. 1244-1252.
Fan A, Yue Y, Geng N, Zhang H, Wang Y, Xue F. 2013. Aerobic vaginitis and
mixed infections: comparison of clinical and laboratory findings. Arch
Gynecol Obstet Vol 287(2):329-35.
Fan, A. et al., 2012. Aerobic vaginitis and Mixed Infections: Comparison of
Clinical and Laboratory Findings.
Johal, H. S., Garg, T., Rath, G. & Goyal, A. K., 2014. Advanced Topical Drug
Delivery System for the Management of Vagina Candidiasis. pp. 1-14.
Leitich, H. et al., 2003. Bacterial Vaginosis as a Risk Factor for Preterm
Delivery : A Meta-Analysis. 189(1), pp. 139-147.
mdlab, 2012. Aerobic Vaginitis: Abnormal Vaginal Flora that is Distinct from
Bacterial Vaginosis.
Pretorius R., N Semrad, W. Watring, N. Fotheringham. 1991. Presentation of
cervical cancer. Gynecologic Oncology Vol 42(1): 48-53.
Schalkwyk, J. V. et al., 2015. Vulvovaginitis : screening for and management of
Triochomoniasis, Vulvovaginal Candidiasis, and Bacterial Vaginosis. pp.
266-274.
Sobel JD, Reichman O, Misra D, Yoo W. 2011. Prognosis and Treatment of
Desquamative Inflammatory Vaginitis. Obstet Gynecol 117: 850-855.
Tempera G, Furneri PM. 2010. Management of Aerobic Vaginitis. Gynecol
Obstet Invest Vol 70: 244-249.

28
Tempera, G, Bonfiglio G, Comparata E, Corsello S, Cianci A. 2004.
Microbiological/clinical characteristics and validation of topical therapy
with kanamycin in aerobic vaginitis: a pilot study. Int J Antimicrob Agents
Vol 24: 85-88.
Wilson, J. 2004. Managing recurrent bacterial vaginosis. Sex Transm Infect 80: 8-
11.
Zarbo G., Coco L., Leanza V., Genovese F, Leanza G, D’ Agati A, et al. 2013.
Aerobic Vaginitis during Pregnancy. Research in Obstetrics and
Gynecology Vol 2(2): 7-11.

29

Anda mungkin juga menyukai