Disusun oleh :
Pembimbing :
dr. Heru Priyanto Samadi, Sp.OG (K)Onk
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sekitar 50.000 wanita meninggal setiap tahun akibat komplikasi terkait
preeklampsia dan eklampsia (Hezelgrave dkk., 2012). Preeklampsia dan
eklampsia adalah bentuk hipertensi dalam kehamilan yang paling menonjol
sebagai penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada ibu dan bayi (WHO,
2011). Preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi disertai proteinuria,
merupakan suatu gangguan multisistem yang terjadi setelah usia kehamilan
20 minggu. Eklampsia adalah preeklampsia yang disertai dengan kejang.
Preeklampsia dan eklampsia berkontribusi terhadap 10 – 15% dari total
kematian ibu di dunia. Sebagian besar kematian di negara berkembang
diakibatkan oleh eklampsia, sementara di negara maju lebih sering
disebabkan oleh komplikasi dari preeklampsia (Turner, 2010). Eklampsia
menduduki urutan kedua setelah perdarahan sebagai penyebab utama
kematian ibu di Indonesia pada tahun 2010 (Hernawati, 2011).
Etiologi dan patofisiologi preeklampsia masih belum dapat dipahami
dengan jelas sehingga menjadi tantangan dalam pencegahan penyakit
tersebut. Strategi untuk mengatasi preeklampsia dan komplikasinya
difokuskan pada deteksi dini penyakit dan tatalaksana terapi yang tepat.
Tatalaksana terapi preeklampsia dan eklampsia bergantung pada ketersediaan
pelayanan obstetri emergensi termasuk antihipertensi, magnesium sulfat
(antikonvulsan), dan fasilitas yang diperlukan untuk persalinan (Hezelgrave
dkk., 2012). Pengontrolan tekanan darah ibu dengan antihipertensi penting
untuk menurunkan insidensi perdarahan serebral dan mencegah terjadinya
stroke maupun komplikasi serebrovaskular lain akibat preeklampsia dan
eklampsia (Sidani dan Siddik- Sayyid, 2011). Antikonvulsan diberikan untuk
mencegah terjadinya kejang pada preeklampsia dan mengatasi kejang pada
eklampsia (Duley dkk., 2010).
Kejang yang tidak ditangani dengan antikonvulsan secara tepat menjadi
masalah utama pada kasus kematian akibat eklampsia (Duley dkk., 2010).
Terapi antihipertensi yang inadekuat dalam perawatan klinis juga menjadi
masalah serius yang menyebabkan perdarahan intrakranial pada sebagian
besar kasus kematian. Laporan terakhir menunjukkan bahwa guideline-
guideline hipertensi dalam kehamilan harus dapat mengidentifikasi batas
tekanan darah yang memerlukan terapi antihipertensi dan pemilihan
antihipertensi yang efektif serta aman digunakan pada masa kehamilan
(Lewis, 2007).
BAB II
STATUS PASIEN
A. ANAMNESIS
1. Identitas Penderita
Nama : Ny. SM
Umur : 38 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
BB : 65 kg
TB : 160 cm
Alamat : Gadingan, Sukoharjo
Status Perkawinan : Kawin
Agama : Islam
Tanggal Masuk : 3 Maret 2018
No RM : 01410842
2. Keluhan Utama
Kejang
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang G2P1A0, 38 tahun, usia kehamilan: 35 minggu datang
dengan rujukan dari RS Dr. Oen Surakarta dengan keterangan G2P1A0, 38
tahun, UK: 35 minggu dengan keterangan eklampsi hamil 35 minggu.
Pasien merasa hamil 9 bulan. Gerak janin masih dirasakan. Kenceng-
kenceng belum dirasakan. Air kawah belum dirasakan keluar. Lendir darah
(-). Pasien mengalami kejang 3 kali, 1 kali di rumah selama 5 menit, lalu
di perjalanan menuju dr. Oen selama 10 menit dan di RSDM sebanyak
satu kali. Selama dirawat di RS Dr. Oen pasien diterapi dengan pemberian
infus RL 20 tpm, injeksi MgSO4 40% 10cc bokong kiri dan 10cc bokong
kanan, dan dilakukan pemeriksaam EWITZ dengan hasil (+4). Riwayat
ANC rutin kebidan dan ke spesialis obsgyn 2 kali.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat perdarahan saat hamil : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat sakit ginjal : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi obat/ makanan : disangkal
5. Riwayat Haid
Menarche : 13 tahun
Lama menstruasi : 5-7 hari
Siklus menstruasi : 28 hari
6. Riwayat Obstetri
Hamil I : Perempuan, 6 tahun, BBL 2700 gram, lahir spontan
Hamil II : Hamil Sekarang
HPMT : 2 Juli 2017
HPL : 8 April 2018
UK : 35 minggu
7. Riwayat Perkawinan
Menikah 1x, telah menikah sejak berusia 28 tahun, usia pernikahan 10
tahun.
8. Riwayat KB
KB (-)
B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
a. Keadaan Umum : sakit berat, somnolen, gizi kesan cukup
b. Tanda Vital :
Tensi : 190/110 mmHg
Nadi : 97x/menit
Respiratory Rate : 28x/menit
Suhu : 36,50C
c. Kepala : mesocephal
d. Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
e. THT : discharge (-/-)
f. Leher : kelenjar getah bening tidak membesar
g. Thorak :
1) Cor
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : Bunyi Jantung I-II intensitas normal, reguler,
bising (-)
2) Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba dada kanan = kiri
Perkusi : sonor // sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah halus
(+/+), wheezing (-/-)
h. Abdomen
Inspeksi : striae gravidarum (+)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal IU,
memanjang, presentasi kepala, punggung kanan,
kepala belum masuk panggul, HIS (-), DJJ (+) 100x
ireguler.
i. Genital : Vaginal Touche: Vulva dan urethra tenang,
dinding vagina dalam batas normal, portio lunak
mencucu di belakang, Pembukaan 0 cm, kulit
ketuban dan penunjuk belum dapat dinilai, AK (-),
STLD (-).
j. Ekstremitas :
oedema akral dingin
- - - -
- - - -
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. LABORATORIUM (04/03/2018 01:30):
Hb : 12.4 g/dL Cl Darah : 105
Hct : 42 % HbsAg non reaktif
AL : 13,4 x103/uL ( ) HIV non reaktif
AT : 263 x103/uL URINALISIS
AE : 5,87 x106/uL ( ) Protein Kualitatif : +++
Golongan Darah: AB Positif (+3)
Kimia Klinik
GDS : 96 mg/dl Analisa Gas Darah (04/3/2018):
Elektrolit
Na Darah : 133 ( )
K Darah : 4.3
2. Ultrasonografi (USG) tanggal 3 Maret 2018
Tampak janin tunggal intrauterine, presentasi kepala,
punggung di kanan, DJJ (+), dengan Fetal biometri:
BPD : 9.02 cm ~ 36w4d
HL : 302,42 ~ 33w4d
FL : 6,68 cm ~ 33w3d
AC : 29,30 cm ~ 34w3d
EFBW : 2319 gram
AFI : 6,18 cm
Tampak plasenta insersi di corpus grade II
Air ketuban kesan cukup, Tak tampak jelas kelainan kongenital mayor
Kesimpulan: Janin dalam keadaan baik
D. SIMPULAN
G2P1A0, 38 tahun, usia kehamilan: 35 minggu, dengan riwayat
obstetri dan fertilitas buruk, keadaan umum jelek, somnolen, RBH (+/+) di
kedua lapang paru, pemeriksaan tanda vital didapatkan hipertensi (Tekanan
darah: 190/110 mmHg). Dari pemeriksaan fisik abdomen teraba supel, nyeri
tekan (-), teraba janin tunggal IU, memanjang, presentasi kepala, punggung
kanan, kepala belum masuk panggul, HIS (-), DJJ (+) 100x ireguler. Dari
pemeriksaan fisik genital portio lunak mencucu di belakang, pembukaan 0 cm,
AK (-), STLD (-).
Hasil pemeriksaan laboratorium leukositosis, peningkatan SGOT 75,
hipoalbumin 2.5, peningkatan LDH 1353. Protein urin didapatkan positif +3.
E. DIAGNOSIS AWAL
Eklampsia, dengan klinis oedem pulmo, fetal distress, partial HELLP
Syndrome, pada sekundigravida hamil preterm, belum dalam persalinan,
disertai dengan hipoalbumin (2.5).
8
F. PROGNOSIS
Dubia ad malam
G. TERAPI
1. SCTP emergency
2. Inj. MgSO4 2 gr IV blous pelan
3. Inj. Furosemid 20mg/24 jam
4. Protap PEB
a. O2 Nasal NRM 8 lpm
b. Infus RL 12 tpm
c. Injeksi MgSO4 20% initial dose 4 gr secara IV, dilanjutkan dosis
maintenance 1 gr/ jam/ IV selama 24 jam
d. Nifedipine 3x10 mg
e. Awasi KU/VS/BC/DJJ dan eklampsia berulang
5. Infus plasbumin 25% 100 ml
6. KIE keluarga
H. FOLLOW UP
1. Evaluasi tanggal 4 Maret 2018 pukul 01.00 WIB
G2P1A0, 38 tahun UK 35 minggu
Keluhan : tidak ada
Keadaan umum : somnolen, tampak sakit berat
Vital sign : Tekanan darah : 200/120 mmHg RR : 20x/mnt
Nadi : 96x/mnt Suhu : 36,50C
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax :
a. Retraksi (-)
b. Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus Cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Konfigurasi jantung kesan tidak melebar
9
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II intensitas normal, reguler,
bising (-)
c. Paru
Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri, gerakan
paradoksal (-)
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar (vesikuler / vesikuler ), RBH (+/+),
RBK (-)
Abdomen : supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal, intra
uterine, memanjang, punggung kanan, presentasi
kepala, DJJ (+) 100x/menit ireguler, His (-) kepala
belum masuk panggul
Genital : Vaginal Toucher : Vulva dan urethra tenang, dinding
vagina dalam batas normal, portio lunak mencucu di
belakang, OUE tertutup, Pembukaan 0 cm, kulit
ketuban dan penunjuk belum dapat dinilai, AK (-),
STLD (-).
Diagnosis : Eklampsia, dengan klinis oedem pulmo, fetal distress,
partial HELLP Syndrome pada sekundigravida hamil
preterm, belum dalam persalinan, disertai dengan
hipoalbumin (2,5).
Terapi :
1. Pro SCTP-Emergency
2. Siapkan resusitasi bayi
LAPORAN OPERASI
Prosedur Pelaksanaan tindakan SCTP-EM :
1. Prosedur operasi rutin
2. Pasien dibaringkan di meja operasi dalam keadaan narkose
3. Dilakukan toilet medan operasi, dipasang duk steril
10
4. Dilakukan insisi secara phanenstile
5. Setelah peritoneum parietale dibuka tampak uterus gravid
6. Plika vesika uterina dibuka bentuk semilunare
7. Segmen bawah rahim di insisi bentuk semilunar diperdalam secara
tumpul , kulit ketuban dipecah
8. Tangan operator memegang kepala janin, dikeluarkan kepala terlebih
dahulu diikuti punggung dan kepala, asisten mendorong fundus uteri
9. Bayi dilahirkan per abdominal jenis kelamin laki-laki, berat lahir 2350
gram, panjang badan 39 cm, anus (+), kelainan kongenital (-), Apgar
skor 3-3-5
10. Plasenta dilahirkan lengkap bentuk cakram ukuran 20x20x20 cm
11. Bloody angle di klem, tidak ada perdarahan
12. Segmen bawah rahim dijahit jelujur, tidak ada perdarahan, dilakukan
reperitonealisasi
13. Dilakukan penjahitan dinding abdomen lapis demi lapis sampai dengan
kutis
14. Operasi selesai
15. Perdarahan durante operasi 200 cc
16. Kondisi ibu sampai dengan selesai operasi baik.
11
6. Injeksi Furosemid 5 mg/jam syringe pump
4. Evaluasi tanggal 4 Maret 2018 pukul 03.15 WIB 2 jam post partus
P2A0, 38 tahun
Keluhan : tidak ada
Keadaan umum : pasien tampak sakit berat, pasien tersedasi
Vital sign : Tekanan darah : 160/90 mmHg RR : 20x/mnt
BC : -785
Nadi : 104 x/mnt Suhu : 36,50C
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax :
a. Retraksi (-)
b. Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus Cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Konfigurasi jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II intensitas normal, reguler,
bising (-)
c. Paru
Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri, gerakan
paradoksal (-)
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar (vesikuler / vesikuler ), RBH (+/+),
RBK (-)
12
Abdomen :
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada, tampak luka bekas
operasi
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : tympani
Palpasi : supel, hepar tidak teraba, bruit (-) dan lien tidak teraba,
TFU teraba 3 jari bawah pusat, Kontraksi (+)
Genital : darah (-), lochia (+)
Diagnosis : Post SCTP-Emergency atas indikasi eklampsia,
dengan klinis oedem pulmo, fetal distress, partial
HELLP Syndrome pada sekundipara hamil preterm,
disertai dengan hipoalbumin (2,6).
Terapi :
1. Inj. Ampicilin sulbactam 1g/8jam
2. Inj. Paracetamol 1g/8jam
3. Infus plasbumin 25% 100 ml
4. Inj. Furosemid 20mg/24jam
5. Protab PEB :
O2 (sesuai TS Anestesi)
Inf. Ringer Laktat 12 tpm
Inj. MgSO4 20% 1g/jam (dalam 24 jam)
Observasi KU/VS/BC/tanda eklampsia berulang
6. Terapi lain sesuai dengan TS Paru/Interna/Jantung
13
Thorax :
14
Inf. Ringer Laktat 12 tpm’
Inj. MgSO4 20% 1g/jam (dalam 24 jam)
Observasi KU/VS/BC
6. Terapi lain sesuai dengan TS Paru/Interna/Jantung
15
Palpasi : supel, nyeri tekan (-)TFU teraba 3 jari bawah pusat,
Kontraksi (+)
Genital : Darah (-), Lochia (+)
Diagnosis : Post SCTP-EM atas indikasi Eklampsia partial
HELLP syndrome, klinis oedem pulmo, fetal distress
pada sekundipara hamil preterm + hipoalbumin (2.7).
Terapi :
1. Inj. Ampicilin sulbactam 1g/8jam
2. Inj. Paracetamol 1g/8jam
3. Infus plasbumin 25% 100 ml
4. Inj. Furosemid 20mg/24jam
5. Protab PEB :
O2 (sesuai TS Anestesi)
Inf. Ringer Laktat 12 tpm
Inj. MgSO4 20% 1g/jam (dalam 24 jam)
Observasi KU/VS/BC dan tanda eklampsia berulang
6. Nifedipin 3x10mg
7. Inj. Alinamin F 1amp/8jam
8. Inj. Ranitidin 1amp/8jam
9. Terapi lain sesuai dengan TS Paru/Interna/Jantung
16
a. Bentuk : normochest, simetris, retraksi (-)
b. Pulmo :
Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi :suara dasar vesikuler (+/+), RBH (-/-), RBK
(-/-), wheezing (-/-)
c. Cor :
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular,
bising (-)
Abdomen :
LABORATORIUM (06/3/2018):
Analisa Gas Darah
PH : 7.491 ( )
BE : 7.5 ( )
PCO2 : 40.3
PO2 : 90.6
Hematokrit : 32 ( )
HCO3 : 31.0 ( )
Total CO2 : 32.3 ( )
O2 Saturasi : 96.6
Laktat Arteri : 2.20 ( )
17
Diagnosis : Post SCTP- atas indikasi Eklampsia partial HELLP
syndrome, klinis oedem pulmo (perbaikan), fetal
distress pada sekundipara hamil preterm + hipoalbumin
(2.7)
Terapi :
1. Inj. Ampicilin sulbactam 1g/8jam
2. Inj. Paracetamol 1g/8jam
3. Inf. Plasbumin 25% dalam 100ml
4. Inj. Furosemid 20mg/24jam
5. Protab PEB :
O2 (sesuai TS Anestesi)
Inf. Ringer Laktat 12 tpm
Inj. MgSO4 20% 1g/jam (selesai)
Observasi KU/VS/BC dan tanda eklampsia berulang
6. Nifedipin 3x10mg
7. Inj. Alinamin F1amp/8jam
8. Inj. Ranitidin 1amp/8jam
9. Terapi lain sesuai dengan TS Paru/Interna/Jantung
10. ACC pindah HCU Mawar 1
18
Thorax :
LABORATORIUM (07/3/2018)
Urinalisis
Protein Kualitatif : +++
Positif (+3)
LABORATORIUM (07/3/2018):
Hb : 11.1
Hct : 39
AL : 6.5
AT : 152
AE : 5.30 ( )
19
Kimia Klinik
GDS : 72 mg/dl
SGOT : 39 u/l ( )
SGPT : 16 u/l
Albumin : 2.5 g/dl ( )
Creatinine : 0.8 mg/dl
Ureum : 49 mg/dl
Elektrolit
Na Darah : 141
K Darah : 3.9
Cl Darah : 109 ( )
20
9. Evaluasi 8 Maret 2018 pukul 06.00 WIB
P2A0, 38 tahun
Keluhan : penglihatan kabur (-), nyeri kepala (-), mual & muntah
(-)
Keadaan umum : pasien tampak sakit berat, compos mentis E4V5M6
Vital sign : Tekanan darah : 140/90 mmHg RR : 20x/mnt
BC: -350
Nadi : 88x/mnt Suhu : 36,30C
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax :
21
Diagnosis : Post SCTP-EM atas indikasi Eklampsia partial
HELLP syndrome, klinis oedem pulmo (perbaikan),
fetal distress pada sekundipara hamil preterm +
hipoalbumin (2.5)
Terapi :
1. Cefadroxil 2x500mg
2. Asam Mefenamat 3x500mg
3. Protab PEB :
O2 3 lpm nasal kanul
Inf. Ringer Laktat 12 tpm
Inj. MgSO4 20% 1g/jam (selesai)
Observasi KU/VS/BC/tanda eklampsia berulang
4. Nifedipin 3x10mg
5. Captopril 3x12,5mg
6. VIP Albumin 3x1capsul
7. Mobilisasi bertahap
8. Medikasi luka
9. Terapi lain sesuai dengan TS Paru/Interna/Jantung
22
b. Pulmo :
Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+),RBH (-/-),RBK (-/-
),wheezing (-/-)
c. Cor :
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular,
bising (-)
Abdomen :
Inspeksi : tampak luka bekas operasi tertutup verban
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), TFU teraba 3 jari bawah
pusat, Kontraksi (+)
Genital : Darah (-), Lochia (+)
23
5. Captopril 3x12,5mg
6. VIP Albumin 3x1capsul
7. Mobilisasi bertahap
8. Medikasi luka
9. Terapi lain sesuai dengan TS Paru/Interna/Jantung
10. Usul BLPL
24
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
25
pertama kali sebelum, selama, atau setelah persalinan. Kejang yang timbul
lebih dari 48 jam setelah persalinan lebih besar kemungkinannya
disebabkan lesi lain yang bukan terdapat pada susunan saraf pusat
(Cunningham, et al., 1995).
Eklampsia yang terjadi dalam kehamilan menyebabkan kelainan
pada susunan saraf. Penyebab eklampsia adalah kurangnya cairan darah ke
otak, hipoksik otak atau edema otak (Rustam Mochtar, 1998).
PEB dapat menjadi impending eclampsia. Impending eclampsia
ditandai dengan adanya hiperrefleksi. Gejala subyektif dari pasien yaitu
jika pasien merasa kepalanya pusing, muntah, atau adanya nyeri epigastrik
(Turn bull, 1995).
2. Etiologi
Menurut Sarwono (2014), penyebab preeklampsia sampai
sekarang belum diketahui dengan jelas. Banyak teori telah dikemukakan
tentang hipertensi dalam kehamilan, tetapi tidak ada satu punteori tersebut
yang dianggap mutlak benar. Teori-teori yang sekarang banyak dianut
adalah sebagi berikut:
a. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Tidak terjadinya invasi tropoblas pada arteri spiralis dan
jaringan matriks di sekitarnya sehingga lumen arteri spiralis tidak
mengalami distensi dan vasodilatasi sehingga terjadi kegagalan
remodelling arteri spiralis. Hal ini menyebabkan aliran darah
uteroplasenta menurun dan tgerjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.
b. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
Iskemia plasenta akan menyebabkan terbentuknya radikal
bebas atau oksidan yang beredar dalam sirkulasi sehingga disebut
toxaemia. Radikal bebas akan mengikat asam lemak tak jenuh menjadi
peroksida lemak yang akan merusak endotel pembuluh darah.
Kerusakan endotel pembuluh darah menyebabakna disfungsi
endotel dan berakibat sebagai berikut:
26
- Gangguan metabolisme prostaglandin sehingga protasiklin
sebagai vasodilator kuat menurun
- Agregasi trombosit pada endotel yang rusak dan produksi
tromboksan sebagai vasokonstriktor kuat
- Perubahan endotel glomerolus ginjal
- Peningkatan permeabilitas kapiler
- Peningkatan bahan vasopresor endotelin dan penurunan nitrit
oxide (NO)
- Peningkatan faktor koagulasi
c. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Hasil konsepsi pada kehamilan normal tidak terjadi penolakan
karena adanya HLA-G pada plasenta sehingga melindungi tropoblas
dari lisis oleh sel NK ibu. HLA-G juga akan membantu invasi
tropoblas pada jaringan desidua ibu. Pada penurunan HLA-G, invasi
tropoblas terhambat sehingga tidak terjadi dilatasi arteri spiralis.
d. Teori adaptasi kardiovaskulatori genetik
Pada wanita hamil normal, terjadi refrakter pembuluh darah
terhadap bahan vasopresor sehingga membutuhkan kadar yang tinggi
untuk menyebabkan vasokonstriksi, hal tersebut terjadi karena adanay
perlindungan protasiklin. Pada keadaan menurunnya protasiklin maka
kepekaan terhadap vasokonstriktor meningkat sehingga mudah terjadi
vasokonstriksi.
e. Teori Genetik
Adanya faktor keturunan dan familial dengan gen tunggal. Ibu
dengan preeklamsi memungkinkan 26% anak perempuannya juga
mengalami preeklamsi.
f. Teori defisiensi gizi
Diet yang dianjurkan untuk mengurangi resiko terjadinya
preeklamsi adalah makanan kaya asam lemak tak jenuh yang akan
menghambat terbentuknya tromboksan, aktivasi trombosit dan
27
vasokonstriksi pembuluh darah. Konsumsi kalsium menurut penelitian
juga menurunkan insidensi preeklamsi.
g. Teori inflamasi
Lepasnya debris tropoblas sebagai sisa proses apoptosis dan
nekrotik akibat stres oksidatif dalam peredaran darah akan
mencetuskan terjadinya reaksi inflamasi. Pada kehamilan normal
jumlahnya dalam batas wajar. Sedangkan pada kehamilan dengan
plasenta yang besar, kehamilan ganda, dan mola maka debrisnya juga
semakin banyak dan terjadi reaksi sistemik inflamasi pada ibu.
3. Patofisiologi
Patogenesis terjadinya Preeklamsia dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a. Penurunan kadar angiotensin II dan peningkatan kepekaan vaskuler
Pada preeklamsia terjadi penurunan kadar angiotensin II yang
menyebabkan pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan-
bahan vasoaktif (vasopresor), sehingga pemberian vasoaktif dalam
jumlah sedikit saja sudah dapat menimbulkan vasokonstriksi
pembuluh darah yang menimbulkan hipertensi. Pada kehamilan
normal kadar angiotensin II cukup tinggi. Pada preeklamsia terjadi
penurunan kadar prostacyclin dengan akibat meningkatnya
thromboxane yang mengakibatkan menurunnya sintesis angiotensin II
sehingga peka terhadap rangsangan bahan vasoaktif dan akhirnya
terjadi hipertensi.
b. Hipovolemia Intravaskuler
Pada kehamilan normal terjadi kenaikan volume plasma
hingga mencapai 45%, sebaliknya pada preeklamsia terjadi penyusutan
volume plasma hingga mencapai 30-40% kehamilan normal.
Menurunnya volume plasma menimbulkan hemokonsentrasi dan
peningkatan viskositas darah. Akibatnya perfusi pada jaringan atau
organ penting menjadi menurun (hipoperfusi) sehingga terjadi
28
Faktor Predisposisi Preeklampsia (
imun, genetik, dll )
Perubahan plasentasi
Mediator lain
PGE2/PGI2 Renin/angiotensin II Tromboksan Disfungsi endotel
endotelin, NO
29
gangguan pada pertukaran bahan-bahan metabolik dan
oksigenasi jaringan. Penurunan perfusi ke dalam jaringan utero-
plasenta mengakibatkan oksigenasi janin menurun sehingga sering
terjadi pertumbuhan janin yang terhambat (Intrauterine growth
retardation), gawat janin, bahkan kematian janin intrauterin.
c. Vasokonstriksi pembuluh darah
Pada kehamilan normal tekanan darah dapat diatur tetap
meskipun cardiac output meningkat, karena terjadinya penurunan
tahanan perifer. Pada kehamilan dengan hipertensi terjadi peningkatan
kepekaan terhadap bahan-bahan vasokonstriktor sehingga keluarnya
bahan-bahan vasoaktif dalam tubuh dengan cepat menimbulkan
vasokonstriksi. Adanya vasokonstriksi menyeluruh pada sistem
pembuluh darah artiole dan pra kapiler pada hakekatnya merupakan
suatu sistem kompensasi terhadap terjadinya hipovolemik. Sebab bila
tidak terjadi vasokonstriksi, ibu hamil dengan hipertensi akan berada
dalam syok kronik.
4. Prevalensi
Untuk tiap negara berbeda karena banyak faktor yang
mempengaruhinya; jumlah primigravida, kedaan sosial ekonomi,
perbedaan dalam penentuan diagnosa. Dalam kepustakaan prevalensi di
lapangan berkisar antara 3-10%.
Faktor predisposisi terjadinya preeklamsi adalah sebagai berikut:
a. Primigravida, primipaternitas
b. Hiperplasentosis, misalnya mola hidatidosa, kehamilan multipel, DM,
hidrops fetalis, bayi besar
c. Umur yang ekstrim (<20 tahun atau >35 tahun)
d. Riwayat keluarga preeklamsi-eklamsi
e. Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang didapatkan sebalum
hamil
f. Obesitas
30
5. Klasifikasi
Preeklampsia termasuk kelainan hipertensi dalam kehamilan.
Penggolongan kelainan hipertensi dalam kehamilan antara lain :
hipertensi kronis, Preeklampsia, superimposed eklampsia pada hipertensi
kronis dan hipertensi gestasional.
Hipertensi kronik adalah peningkatan tekanan darah yang timbul
sebelum kehamilan, terjadi sebelum usia kehamilan 20 minggu, atau
menetap setelah 12 minggu post partum. Sebaliknya, Preeklampsia
didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah dan proteinuria yang
muncul setelah usia kehamilan 20 minggu. Eklampsia, komplikasi berat
preeklampsia adalah munculnya kejang pada wanita dengan
preeklampsia. Kejang eklampsia relatif jarang dan muncul <1% wanita
dengan eklampsia.
Superimposed preeclampsia pada hipertensi kronik ditandai
dengan proteinuria (atau dengan peningkatan tiba-tiba level protein jika
sebelumnya sudah ada proteinuria), peningkatan mendadak hipertensi (
dengan asumsi telah ada proteinuria) atau terjadi HELLP Syndroma.
Wanita hamil dengan tekanan darah
>140/90 mmHg
31
Hipertensi gestasional didiagnosa jika terjadi kenaikan tekanan
darah tanpa proteinuria setelah usia kehamilan 20 minggu dan tekanan
darah kembali normal dalam 12 minggu post partum. Seperempat wanita
dengan hipertensi gestasional mengalami proteinuria dan belakangan
berkembang menjadi preeklampsia.
Preeklampsia dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
a. Preeklampsia ringan
- Definisi: Suatu sindroma spesifik kehamilan dengan menurunnya
perfusi organ yang berakibat vasospasme pembuluh darah dan
aktivasi endotel.
- Kriteria diagnostik : hipertensi dan proteinuria dengan atau tanpa
udema setelah usia kehamilan 20 minggu.
Tekanan darah 140/90 mmHg yang diukur pada posisi
terlentang; kenaikan sistolik 30 mmHg; atau kenaikan tekanan
diastolik 15 mmHg tidak dipakai sebagai kriteria preeklamsi.
Cara pengukuran sekurang-kurangnya pada dua kali
pemeriksaan dengan jarak periksa 1 jam, sebaiknya 4 jam.
Proteinuria kuantitatif 300 mg/24 jam ataui ≥ +1 dipstik; pada
urin kateter atau mid stream
Oedema : lokal pada tungkai tidak dimasukkan dalam kriteria
diagnostik kecuali anasarka
b. Preeklampsia berat
- Definisi : preeklamsi dengan tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg
dan tekanan darah diastolik ≥110 mmHg disertai proteinuria lebih
dari 5 gram/24 jam.
- Dibagi menjadi :
Preeklamsi berat dengan impending eclampsia
Preeklamsi berat tanpa impending eclampsia
Menurut Organization Gestosis, impending eclampsia adalah
gejala-gejala oedema, protenuria, hipertensi disertai gejala subyektif
dan obyektif. Gejala subyektif antara lain : nyeri kepala, gangguan
32
visual dan nyeri epigastrium. Sedangkan gejala obyektif antara lain
hiperreflexia, eksitasi motorik dan sianosis (M. Dikman Angsar,
1995).
Preeklampsia digolongkan berat bila terdapat satu atau lebih
gejala:
- Tekanan sistole 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastole 110
mmHg atau lebih dan tidak turun walaupun sudah menjalani
perawatan di RS dan tirah baring
- Proteinuria 5 gr atau lebih per jumlah urin selama 24 jam atau +4
dipstik
- Oliguria, air kencing kurang dari 500 cc dalam 24 jam.
- Kenaikan kreatinin serum
- Gangguan visus dan serebral; penurunan kesadaran, nyeri kepala,
skotoma, dan pandangan kabur
- Nyeri di daerah epigastrium dan nyeri kuadran atas kanan abdomen
karena teregangnya kapsula Glisson
- Terjadi oedema paru-paru dan sianosis
- Hemolisis mikroangiopatik
- Terjadi gangguan fungsi hepar peningkatan SGOT dan SGPT
- Pertumbuhan janin terhambat
- Trombositopenia berat (< 100.000 sel/mm3) atau penurunan
trombosit dengan cepat
- Sindroma Hellp.
(POGI, 2005; Sarwono, 2008; Rustam Mochtar, 1998)
6. Pencegahan
Yang dimaksud pencegahan adalah upaya untuk mencegah
terjadinya preeklampsia pada wanita hamil yang mempunyai resiko
terjadinya preeklampsia (POGI,2005).
Penerangan tentang manfaat istirahat dan diet berguna dalam
pencegahan. Istirahat tidak selalu berarti berbaring di tempat tidur,
33
namun pekerjaan sehari-hari perlu dikurangi dan dianjurkan lebih banyak
duduk dan berbaring. Diet tinggi protein dan rendah lemak, karbohidrat,
garam dan penambahan berat badan yang tidak berlebihan perlu
dianjurkan. Mengenal secara dini preeklamsi dan segera merawat
penderita tanpa memberikan diuretik dan obat antihipertensi. Memang
merupakan kemajuan dari pemeriksaan antenatal yang baik (Sarwono,
2002).
7. Penanganan
Prinsip penatalaksanaan preeklampsia berat adalah mencegah
timbulnya kejang, mengendalikan hipertensi guna mencegah perdarahan
intrakranial serta kerusakan dari organ-organ vital, pengelolaan cairan dan
saat yang tepat untuk melahirkan bayi dengan selamat (Sarwono, 2008).
Pada preeklampsia, penyembuhan dilakukan dengan ekspulsi yaitu
pengeluaran trofoblast. Pada preeklampsia berat, penundaan merupakan
tindakan yang salah. Karena preeklampsia sendiri bisa membunuh janin
(Cunningham, et al., 1995).
PEB dirawat segera bersama dengan bagian Interna dan
Neurologi, dan kemudian ditentukan jenis perawatan / tindakannya.
Perawatannya dapat meliputi :
a. Sikap terhadap penyakit berupa pemberian terapi medikamentosa
b. Sikap terhadap kehamilan yaitu:
- Perawatan aktif, yang berarti kehamilan segera diakhiri setelah
mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi ibu. Indikasinya
adalah bila didapatkan satu atau lebih dari keadaan berikut ini
Ibu :
o Kegagalan terapi pada perawatan konservatif :
Setelah 6 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa,
terjadi kenaikan tekanan darah yang persisten
Setelah 24 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa,
terjadi kenaikan desakan darah yang persisten
34
o Adanya tanda-tanda terjadinya impending eclampsia
o Gangguan fungsi hepar
o Gangguan fungsi ginjal
o Dicurigai terjadi solutio plasenta
o Timbulnya onset partus, ketuban pecah dini, perdarahan
Janin :
o Umur kehamilan lebih dari 37 minggu
o Adanya tanda-tanda gawat janin (bisa diketahui dari NST
nonreaktif dan profil biofisik abnormal)
o Adanya tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat berat
(IUGR berat) berdasarkan pemeriksaan USG
o Timbulnya oligohidramnion
Laboratorium :
o Tanda-tanda yang menjurus ke HELLP syndrome (POGI,
2005).
Pengobatan Medisinal :
Segera masuk rumah sakit
Tirah baring ke kiri secara intermiten
Infus D5% yang tiap liternya diselingi dengan larutan RL 500 cc
(60-125 cc/jam)
Pemberian obat anti kejang MgSO4 sebagai pencegahan dan
terapi. Pemberian dibagi loading dose (dosis awal) dan dosis
lanjutan.
Anti hipertensi diberikan bila tensi ≥ 180/110
Diuretikum diberikan atas indikasi edema paru, payah jantung
kongestif, edema anasarka
Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam
(POGI, 2005).
- Pengelolaan konservatif, yang berarti kehamilan tetap
dipertahankan sehingga memenuhi syarat janin dapat dilahirkan,
meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi
35
keselamatan ibu. Indikasi dari pengelolaan ini adalah kehamilan
kurang bulan (< 37 minggu) tanpa disertai tanda-tanda impending
eclampsia dengan keadaan janin baik.
Pengobatan Medikamentosa :
Sama dengan perawatan medisinal pada pengelolaan secara aktif.
Hanya dosis awal MgSO4 tidak diberikan i.v. cukup i.m. saja
(MgSO4 40% 8 gr i.m.) (Hidayat W., dkk., 1998).
Sebagai pengobatan untuk mencegah timbulnya kejang-
kejang dapat diberikan:
Larutan sulfas magnesikus 40 % (4 gram) disuntikan IM pada
bokong kiri dan kanan sebagai dosis permulaan, dan dapat
diulang 4 gram tiap 6 jam menurut keadaan. Tambahan sulfas
magnesikus hanya diberikan bila diuresis baik, reflek patella
positif, dan kecepatan pernapasan lebih dari 16 kali per menit
Klorpromazin 50 mg IM
Diazepam 20 mg IM
Penggunaan obat hipotensif pada preeklampsia berat
diperlukan karena dengan menurunkan tekanan darah kemungkinan
kejang dan apopleksia serebri menjadi lebih kecil. Apabila terdapat
oligouria, sebaiknya penderita diberi glukosa 20 % secara
intravena. Obat diuretika tidak diberikan secara rutin.
Untuk penderita preeklampsia diperlukan anestesi dan
sedativa lebih banyak dalam persalinan. Pada kala II, pada
penderita dengan hipertensi, bahaya perdarahan dalam otak lebih
besar, sehingga apabila syarat-syarat telah terpenuhi, hendaknya
persalinan diakhiri dengan cunam atau vakum. Pada gawat janin,
dalam kala I, dilakukan segera seksio sesarea; pada kala II
dilakukan ekstraksi dengan cunam atau ekstraktor vakum
(Budiono, 1999).
36
9. Prognosis
Prognosis PEB dan eklampsia dikatakan jelek karena kematian
ibu antara 9,8 – 20,5%, sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yaitu
42,2 – 48,9%. Kematian ini disebabkan karena kurang sempurnanya
pengawasan antenatal, disamping itu penderita eklampsia biasanya sering
terlambat mendapat pertolongan. Kematian ibu biasanya karena
perdarahan otak, decompensatio cordis, oedem paru, payah ginjal dan
aspirasi cairan lambung. Sebab kematian bayi karena prematuritas dan
hipoksia intra uterin.
B. SINDROMA HELLP
1. Definisi
Sindroma HELLP yang merupakan singkatan dari Hemolysis,
Elevated Liver enzymes and Low Platelet counts, pertama kali dilaporkan
oleh Louis Weinstein tahun 1982 pada penderita PEB. Sindroma ini
merupakan kumpulan gejala multi sistem pada penderita PEB dan
eklampsia yang terutama ditandai dengan adanya hemolisis, peningkatan
kadar enzim hepar dan trombositopeni (Haryono, 2004).
2. Insiden
Insiden sindroma HELLP sampai saat ini belum diketahui dengan
pasti. Hal ini disebabkan karena onset sindroma ini sulit di duga,
gambaran klinisnya sangat bervariasi dan perbedaan dalam kriteria
diagnosis. Insiden sindroma HELLP berkisar antara 2 – 12% dari pasien
dengan PEB, dan berkisar 0,2 – 0, 6% dari seluruh kehamilan (Haryono,
2004).
3. Patogenesis
Karena sindroma HELLP adalah merupakan bagian dari
preeklampsia, maka etiopatogenesisnya sama dengan preeklampsia.
Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti patogenesis preeklampsia
atau sindroma HELLP. Ada perbedaan yang nyata antara kehamilan
normal dan preeklampsia, yaitu pada tekanan darah pada trimester II
37
(kehamilan normal) menurun, sedangkan kadar plasma renin, angiotensin
II, prostasiklin dan volume darah meningkat.
Lain halnya pada preeklampsia, tekanan darah pada trimester II
meningkat, sedangkan kadar plasma renin, angiotensin II dan prostasiklin
menurun. Beberapa ahli menitikberatkan pada gangguan fungsi endotel
atau trofoblast dan teori ini dikenal dengan teori kerusakan endotel.
4. Klasifikasi
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, Martin
mengelompokkan penderita sindroma HELLP dalam 3 kategori, yaitu :
a. Kelas I : jumlah platelet 50.000/mm3.
b. Kelas II : jumlah platelet 50.000 – 100.000/mm3.
c. Kelas III : jumlah platelet 100.000 – 150.000/mm3(7).
Menurut Audibert dkk. (1996), dikatakan sindroma HELLP
partial apabila hanya dijumpai satu atau lebih perubahan parameter
sindroma HELLP seperti hemolisis (H), elevate liver enzymes (EL) dan
low platelets (LP); dan dikatakan sindroma HELLP murni jika dijumpai
perubahan pada ketiga parameter tersebut.
5. Gambaran Klinis
Gejala klinis sindroma HELLP merupakan gambaran adanya
vasospasme pada sistem vaskuler hepar yang menurunkan fungsi hepar.
Oleh karena itu gejala sindroma HELLP memberi gambaran gangguan
fungsi hepar yang dapat berupa : malaise, nausea, kadang-kadang disertai
vomitus dan keluhan nyeri di epigastrium kanan atas (M. Dikman Angsar,
1995).
Karena gejala dan tanda bervariasi maka seringkali terjadi salah
diagnosis, sehingga ada peneliti yang merekomendasikan bahwa semua
ibu hamil yang memiliki salah satu dari gejala tersebut hendaknya
dilakukan pemeriksaan apusan darah, jumlah trombosit dan enzim hepar
serta tekanan darah ibu.
38
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium pada sindroma HELLP sangat
diperlukan karena diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil laboratorium,
walaupun sampai saat ini belum ada batasan yang tegas tentang nilai
batas untuk masing-masing parameter.
a. Hemolisis
Menurut Weinstein (1982) dan Sibai (1986) gambaran ini
merupakan gambaran yang spesifik pada sindroma HELLP.
Hemoglobin bebas dalam sistem retikulo endothelial akan berubah
menjadi bilirubin. Peningkatan kadar bilirubin menunjukkan
terjadinya hemolisis. Hemolisis intravaskuler menyebabkan sumsum
tulang merespon dengan mengaktifkan proses eritropoesis, yang
mengakibatkan beredarnya eritrosit imatur.
b. Peningkatan kadar enzim hepar
Serum aminotransferase yaitu aspartat aminotransferase
(SGOT) dan glutamat piruvat transaminase (SGPT) meningkat pada
kerusakan sel hepar. Pada preeklampsia, SGOT dan SGPT meningkat
1
/5 kasus, dimana 50% diantaranya adalah peningkatan SGOT. Pada
sindroma HELLP peningkatan SGOT lebih tinggi dari SGPT terutama
pada fase akut dan progresivitas sindroma ini. Peningkatan SGOT dan
SGPT dapat juga merupakan tanda terjadinya ruptur hepar.
Laktat dehidrogenase (LDH) adalah enzim katalase yang
bertanggungjawab terhadap proses oksidasi laktat menjadi piruvat.
LDH yang meningkat menggambarkan terjadinya kerusakan sel hepar.
Peningkatan kadar LDH tanpa disertai peningkatan kadar SGOT dan
SGPT menunjukkan terjadinya hemolisis.
c. Jumlah platelet yang rendah (Haryono, 2004).
7. Diagnosis
Kriteria diagnosis sindroma HELLP menurut Sibai adalah sebagai
berikut (Cunningham, 1995) :
1. Hemolisis
39
Schistiosit pada apusan darah
Bilirubin 1,2 mg/dl
Haptoglobin plasma tidak ada
2. Peningkatan enzim hepar
SGOT 72 IU/L
LDH 600 IU/L
3. Jumlah trombosit rendah
Trombosit 100.000/mm3
8. Penatalaksanaan
Mengingat kejadian sindroma HELLP pada kehamilan muda, maka
terdapat kontroversi pada penanganan sindroma HELLP. Prioritas utama
adalah menstabilkan kondisi ibu terutama jika terjadi gangguan pembekuan
darah. Tahap berikutnya adalah melihat kesejahteraan janin, kemudian
keputusan segera apakah ada indikasi untuk dilahirkan atau tidak.
Sebagian setuju untuk melakukan perawatan secara konservatif
sampai kematangan paru janin tercapai dalam upaya meningkatkan kualitas
bayi yang dilahirkan. Sebagian lainnya melakukan tindakan agresif untuk
melakukan terminasi secepatnya apabila gangguan fungsi hati dan koagulasi
diketahui. Beberapa peneliti menganjurkan terminasi kehamilan dengan
segera tanpa memperhitungkan usia kehamilan, mengingat besarnya risiko
maternal serta jeleknya luaran perinatal apabila kehamilan diteruskan. Namun
semua peneliti sepakat bahwa terminasi kehamilan merupakan satu-satunya
terapi yang definitif (Haryono, 2004).
Penanganan pertama sesuai dengan penanganan PEB. Kemudian
dilakukan evaluasi dan koreksi kelainan faktor-faktor pembekuan (Haryono,
2004).
Untuk perawatan konservatif dianjurkan tirah baring total dengan
infus plasma albumin 5–25%. Tujuannya untuk menurunkan
hemokonsentrasi, peningkatan jumlah trombosit dan pengurangan beberapa
gejala toksemia. Jika cervix memadai dapat dilakukan induksi oksitosin drip
pada usia kehamilan 32 minggu. Apabila keadaan cervix kurang memadai,
40
dilakukan elektif seksio Caesar. Apabila jumlah trombosit 50.000/mm3
dilakukan tranfusi trombosit.
9. Prognosis
Penderita sindroma HELLP mempunyai kemungkinan 19-27%
untuk mendapat risiko sindrom ini pada kehamilan berikutnya dan
mempunyai risiko sampai 43% untuk mendapat preeklampsia pada
kehamilan berikutnya. Angka morbiditas dan mortalitas pada bayi
tergantung dari keparahan penyakit ibu. Anak yang menderita sindroma
HELLP mengalami perkembangan yang terhambat (IUGR) dan sindroma
kegagalan napas (Haryono, 2004).
C. EDEMA PARU
a. Definisi
Edem paru adalah akumulasi cairan di interstisial dan alveoulus
paru yang terjadi secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh
tekanan intravaskular yang tinggi (edem paru kardiak) atau karena
peningkatan permeabilitas membran kapiler (edem paru non kardiogenik)
yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepaat
sehingga terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli secara progresif
dan mengakibatkan hipoksia. Edem paru didefinisikan sebagai akumulasi
cairan di interstisial dan alveolus.
b. Penyebab edem paru
Kardiogenik atau edem paru hidrostatik atau edem hemodinamik.
Kausa: infark miokars, hipertensi, penyakit jantung katup,
eksaserbasi gagal jantung sistolik/ diastolik dan lainnya.
Nonkardiogenik/ edem paru permeabilitas meningkat. Kausa: ALI
dan ARDS Walaupun penyebab kedua jenis edem paru tersebut
berbeda, namun membedakannya terkadang sulit karena
manifestasi klinisnya yang mirip. Kemampuan membedakan
penyebab edem paru sangat penting karena berimplikasi pada
penanganannya yang berbeda.
41
c. Patofisiologi
Edema paru-paru merupakan penimbunan cairan serosa atau
serosanguinosa secara berlebihan di dalam ruang interstisial dan alveolus
paru-paru. Jika edema timbul akut dan luas, sering disusul kematian
dalam waktu singkat. Edema paru-paru mudah timbul jika terjadi
peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru-paru, penurunan
tekanan osmotik koloid seperti pada nefritis, atau kerusakan dinding
kapiler. Dinding kapiler yang rusak dapat diakibatkan inhalasi gas-gas
yang berbahaya, peradangan seperti pada pneumonia, atau karena
gangguan lokal proses oksigenasi.
Penyebab yang tersering dari edema paru-paru adalah kegagalan
ventrikel kiri akibat penyakit jantung arteriosklerotik atau stenosis
mitralis. Edema paru-paru yang disebabkan kelainan pada jantung ini
disebut juga edemaparukardiogenik, sedangkan edema paru yang
disebabkan selain kelainan jantung disebut edema paru non kardiogenik.
Edema paru nonkardiogenik adalah penimbunan cairan pada jaringan
interstisial paru dan alveolus paru yang disebabkan selain oleh kelainan
jantung.
Edema paru biasanya disebabkan peningkatan tekanan pembuluh
kapiler paru dan akibat peningkatan permeabilitas kapiler alveolar.
Edema paru akibat peningkatan permeabilitas kapiler paru sering juga
disebut acute respiratory distress syndrome (ARDS). Pada keadaan
normal terdapat keseimbangan antara tekanan onkotik (osmotik) dan
hidrostatik antara kapiler paru dan alveoli. Tekanan hidrostatik yang
meningkat pada gagal jantung menyebabkan edema paru. Sedangkan
pada gagal ginjal terjadi retensi cairan yang menyebabkan volume
overload dan diikuti edema paru. Hipoalbuminemia pada sindrom
nefrotik atau malnutrisi menyebabkan tekanan onkotik menurun sehingga
terjadi edema paru. Pada tahap awal terjadinya edema paru terdapat
42
peningkatan kandungan cairan di jaringan interstisial antara kapiler dan
alveoli.
Pada edema paru akibat peningkatan permeabilitas kapiler paru
dipikirkan bahwa kaskade inflamasi timbul beberapa jam kemudian yang
berasal dari suatu fokus kerusakan jaringan tubuh. Neutrofil yang
teraktivasi akan beragregasi dan melekat pada sel endotel yang kemudian
menyebabkan pelepasan berbagai toksin, radikal bebas, dan mediator
inflamasi seperti asam arakidonat, kinin, dan histamin. Proses kompleks
ini dapat diinisiasi oleh berbagai macam keadaan atau penyakit dan
hasilnya adalah kerusakan endotel yang berakibat peningkatan
permeabilitas kapiler alveolar. Alveoli menjadi terisi penuh dengan
eksudat yang kaya protein dan banyak mengandung neutrofil dan sel
inflamasi sehingga terbentuk membran hialin. Karakteristik edema paru
akibat peningkatan permeabilitas kapiler paru adalah tidak adanya
peningkatan tekanan pulmonal (hipertensi pulmonal).
d. Manifestasi Klinis
Gejala paling umum dari pulmonary edem adalah sesak nafas. Ini
mungkin adalah penimbulan yang berangsur-angsur jika prosesnya
berkembang secara perlahan, atau ia dapat mempunyai penimbulan yang
tiba-tiba pada kasus dari pulmonary edem akut. Gejala-gejala umum lain
mungkin termasuk mudah lelah, lebih cepat mengembangkan sesak nafas
daripada normal dengan aktivitas yang biasa (dyspnea on exertion), nafas
yang cepat (takipnea), kepeningan atau kelemahan. Tingkat oksigen
darah yang rendah (hypoxia) mungkin terdeteksi pada pasien-pasien
dengan pulmonary edem. Lebih jauh, atas pemeriksaan paru-paru dengan
stethoscope, dokter mungkin mendengar suara-suara paru yang abnormal,
seperti rales atau crakles (suara-suara mendidih pendek yang terputus-
putus yang berkoresponden pada muncratan cairan dalam alveoli selama
bernafas. Manifestasi klinis edem paru secara spesifik juga dibagi dalam
3 stadium:
43
Stadium 1 Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang
prominen akan memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit
meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini
mungkin hanya berupa adanya sesak nafas saat bekerja. Pemeriksaan
fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi
pada saat inpsirasi karena terbukanya saluran nafas yang tertutup saat
inspirasi.
Stadium 2 Pada stadium ini terjadi edem paru interstisial. Batas
pembuluh darah paru menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi
kabur dan septa interlobularis menebal (garis kerley B). Adanya
penumpukan cairan di jaringan kendor interstisial, akan lebih
memperkecil saluran nafas kecil, terutama di daerah basal oleh karena
pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi.
Sering terdengar takipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan
fungsi ventrikel kiri, tetapi takipnea juga membantu memompa aliran
limfe sehingga penumpukan cairan interstisial diperlambat. Pada
pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit perubahan saja.
Stadium 3 Pada stadium ini terjadi edem alveolar. Pertukaran gas
sangat terganggu, terjadi hipoksemia dan hipokapsia. Penderita nampak
sesak sekali dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan
volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi right to left
intrapulmonary shunt. Penderita biasanya menderita hipokapsia, tetapi
pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory
acidemia. Pada leadaan ini morphin harus digunakan dengan hati-hati.
Edem paru yang terjadi setelah infark miokard akut biasanya akibat
hipertensi kapiler paru. Namun percobaan pada anjing yang dilakukan
ligasi arteriakoronaria, terjadi edem paru walaupun tekanan kapiler paru
normal, yang dapat dicegah dengan pemberian indomethacin
sebelumnya. Diperkirakan bahwa dengan menghambat cyclooxgenase
atau cyclic nucleotide phosphodiesterase akan mengurangi edem paru
sekunder akibat peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler.
44
Pada manusia masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Kadang-
kadang penderita dengan Infark Miokard Akut dan edem paru, tekanan
kapiler parunya normal. Hal ini mungkin disebabkan lambatnya
pembersihan cairan edem secara radiografi meskipun tekanan kapiler
paru sudah turun atau kemungkinan lain pada beberapa penderita terjadi
peningkatan permeabilitas alveolus kapiler parus ekunder oleh karena
adanya isi sekuncup yang reendah seperti pada cardiogenic shock lung.
Edem paru kardiogenik ini merupakan spektrum klinis Acute Heart
Failure Syndrome (AHFS).
e. Tatalaksana
Penatalaksanaan Penatalaksanaan edem paru non kardiogenik :
Supportif Mencari dan menterapi penyebabnya. Yang harus
dilakukan adalah : support kardiovaskular, terapi cairan, renal
support, pengelolaan sepsis
Ventilasi Menggunakan ventlasi protective lung atau protocol
ventilasi ARDS net Pengobatan yang dilakukan di arahkan
terhadap penyakit primer yang menyebabkan terjadinya edema
paru tersebut disertai pengobatan suportif terutama
mempertahankan oksigenasi yang adekuat dan optimalisasi
hemodinamik sehingga diharapkan mekanisme kompensasi tubuh
akan bekerja dengan baik bila terjadi gagal multiorgan.
Pemberian oksigen sering berguna untuk meringankan dan
menghilangkan rasa nyeri dada dan bila memungkinkan dapat
dicapai paling baik dengan memberikan tekanan positif
terputusputus. Kebutuhan untuk intubasi dan ventilasi mekanik
mungkin akan semakin besar sehingga pasien harus dirawat di unit
perawatan intensif (ICU).
Optimalisasi fungsi hemodinamik dilakukan dengan berbagai cara.
Dengan menurunkan tekanan arteri pulmonal berarti dapat
membantu mengurangi kebocoran kapiler paru. Caranya ialah
dengan retriksi cairan, penggunaan diuretik dan obat vasodilator
45
pulmonal (nitric oxide/NO). Pada prinsipnya penatalaksanaan
hemodinamik yang penting yaitu mempertahankan keseimbangan
yang optimal antara tekanan pulmoner yang rendah untuk
mengurangi kebocoran ke dalam alveoli, tekanan darah yang
adekuat untuk mempertahankan perfusi jaringan dan transport
oksigen yang optimal.
Kebanyakan obat vasodilator arteri pulmonal seperti nitrat dan
antagonis kalsium juga dapat menyebabkan vasodilatasi sistemik
sehingga dapat sekaligus menyebabkan hipotensi dan perfusi organ
yang terganggu, untuk itu penggunaanya harus hati-hati.
Obat-obat inotropik dan vasopresor seperti dobutamin dan
noradrenalin mungin diperlukan untuk mempertahankan tekanan
darah sistemik dan curah jantung yang cukup terutama pada pasien
dengan sepsis (vasodilatasi sistemik).
Inhalasi NO telah digunakan sebagai vasodilator arteri pulmonal
yang selektif. Karena diberikan secara inhalasi sehingga
terdistribusi pada daerah di paru-paru yang menyebabkan
vasodilatasi. Vasodilatasi yang terjadi pada alveoli yang
terventilasi akan memperbaiki disfungsi ventilasi/perfusi sehingga
dengan demikian fungsi pertukaran gas membaik. NO secara cepat
diinaktivasi oleh hemoglobin sehingga mencegah reaksi sistemik.
46
persalinan (Prawirohardjo, 2009). Gawat janin merupakan suatu reaksi
ketika janin tidak memperoleh oksigen yang cukup (Dewi.A.h.,
Cristine.C.P., 2010).
b. Penyebab Gawat Janin
Menurut Prawirohardjo (2007) penyebab gawat janin sebagai berikut :
Persalinan berlangsung lama
Persalinan lama adalah persalinan yang terjadi lebih dari 24 jam
pada primigravida dan lebih dari 18 jam pada multigravida
(Nugrahaeni, 2010). Persalinan lama dapat mengakibatkan ibu
menjadi Gelisah, letih, suhu badan meningkat, berkeringat, nadi
cepat, pernapasan cepat dan meteorismus. Di daerah lokal sering
dijumpai: Bandle Ring, oedema serviks, cairan ketuban berbau,
terdapat mekonium.
Induksi persalinan dengan oksitosin
Induksi persalinan ialah suatu tindakan terhadap ibu hamil
belum inpartu baik secara operatif maupun mesinal, untuk
merangsang timbulnya kontraksi rahim sehingga terjadi
persalinan. Akibat pemberian oksitosin yang berlebih-lebihan
dalam persalinan dapat mengakibatkan relaksasi uterus tidak
cukup memberikan pengisian plasenta.
Ada perdarahan
Perdarahan yang dapat mengakibatkan gawat janin yaitu karena
solusio plasenta. Terjadinya solusio plasenta dipicu oleh
perdarahan kedalam desidua basalis. Desidua tersebut kemudian
terbelah sehingga meninggalkan lapisan tipis yang melekat pada
miometrium. Sebagai akibatnya, proses tersebut dalam stadium
awal akan terdiri dari pembentukan hematoma desidua yang
menyebabkan pelepasan, kompresi dan akhirnya penghancuran
plasenta yang berdekatan dengan bagian tersebut.
Infeksi
47
Infeksi, yang disebabkan oleh pecahnya ketuban pada partus
lama dapat membahayakan ibu dan janin,karena bakteri didalam
amnion menembus amnion dan menginvasi desidua serta
pembuluh korion sehingga terjadi bakteremia dan sepsis pada
ibu dan janin. Pneomonia pada janin, akibat aspirasi cairan
amnion yang terinfeksi, adalah konsekuensi serius lainnya
(Prawirohadjo, 2009).
Insufisiensi plasenta
Insufisiensi uteroplasenter akut
Hal ini terjadi karena akibat berkurangnya aliran darah
uterus-plasenta dalam waktu singkat, berupa: aktivitas
uterus yang berlebihan, hipertonika uterus, dapat
dihubungkan dengan pemberian oksitosin, hipotensi ibu,
kompresi vena kava, posisi terlentang, perdarahan ibu
karena solusio plasenta atau solusio plasenta.
Insufisiensi uteroplasenter kronis
Hal ini terjadi karena kurangnya aliran darah dalam
uterus-plasenta dalam waktu yang lama. Misalnya :
pada ibu dengan riwayat penyakit hipertensi.
Kehamilan Postterm
Meningkatnya resiko pada janin postterm adalah bahwa dengan
diameter tali pusat yang mengecil, diukur dengan USG, bersifat
prediktif terhadap gawat janin pada intrapartum, terutama bila
disertai dengan oligohidramnion. Penurunan cairan amnion
biasanya terjadi ketika usia kehamilan telah melewati 42
minggu, mingkin juga pengeluaran mekonium oleh janin ke
dalam volume cairan amnion yang sudah berkurang merupakan
penyebabnya terbentuknya mekonium kental yang terjadi pada
sindrom aspirasi mekonium.
Preeklamsia
48
Menurut Prawirohardjo (2009), Preeklamsia dapat menyebabkan
kegawatan janin seperti sindroma distres napas. Hal tersebut
dapat terjadi karena vasopasme yang merupakan akibat dari
kegagalan invasi trofoblas kedalam lapisan otot pembuluh darah
sehingga pembuluh darah mengalami kerusakan dan
menyebabkan aliran darah dalam plasenta menjadi terhambat
dan menimbulkan hipoksia pada janin yang akan menjadian
gawat janin.
c. Penilaian Klinik Gawat Janin
Menurut Prawirohardjo (2007) tanda gejala gawat janin dapat
diketahui dengan :
1) DJJ Abnormal
Dibawah ini dijelaskan denyut jantung janin abnormal adalah
sebagai berikut :
Denyut jantung janinirreguller dalam persalinan sangat
bervariasi dan dapat kembali setelah beberapa watu.
Bila DJJ tidak kembali normal setelah kontraksi, hal ini
menunjukan adanya hipoksia.
Bradikardi yang terjadi diluar saat kontraksi, atau tidak
menghilang setelah kontraksi menunjukan adanya gawat
janin.
Takikardi dapat merupakan reaksi terhadap adanya :
demam pada ibu, obat-obat yang menyebabkan
takhikardi (misal: obat tokolitik). Bila ibu tidak
mengalami takhikardi, DJJ yang lebih dari 160 per
menit menunjukan adanya anval hipoksia.
49
Pemeriksaan fisik pada fetus menggunakan USG parameter yang
digunakan untuk menilai meliputi: gerakan pernafasan fetus, gerakan
fetus, tonus fetusindeks cairan amnion dan NST.
(3) Non Stress Tes (NST)
Eksternal kardiotokograf (CTG), Kriteria yang seharusnya diamati
meliputi 2 hal atau lebih, yaitu : denyut jantung janin, mengalami
penurunan sedikitnya 15 denyutan permenit, menetap sedikitnya 15
detik dalam 20 menit.
(4) Doppler
Menurut Marmi, Retno A.M.S., Fatmawaty.E (2010) tanda fetal
distress dalam persalinan, sebagai berikut :
(a) Denyut jantung
a.1. Takikardi diatas 160 kali perdetik atau brakikardi dibawah
120 kali perdetik.
a.2. Deselerasi dini
Ketika denyut jantung turun lebih dari 15 kali permenit pada saat
kontraksi, kontraksi deselarasi menggambarkan kontraksi dan
biasanya dianggap masalah serius.
a.3. Deselerasi yang berubah-ubah
Deselerasi yang berubah-ubah hal ini sangat sulit dijelaskan Ini
dapat terjadi pada awal atau akhir penurunan denyut jantung dan
bentuknya tidak sama. Hubungan antar peningkatan asidosis fetus
dengan dalam dan lamanya deselerasi adalah adanya abnormalitas
denyut jantung janin.
a.4. Deselerasi lambat
Penurunan denyut jantung janin menunjukan tingkat deselerasi
paling rendah tetapi menunjukan kontraksi pada saat tingkat yang
paling tinggi. Deselerasi yang lambat menyebabkan penurunan
aliran darah fetus dan pengurangan transfer oksigen selama
kontraksi. Penurunan tersebut mempengaruhi oksigenasi serebral
fetus. Jika pola tersebut terjadi disertai dengan abnormalitas
50
denyut jantung janin harus dipikirkan untuk ancaman yang serius
dalam kesejahteraan fetus.
a.5. Tidak adanya denyut jantung
Ini mungkin disebabkan oleh karena hipoksia kronis atau berat
dimana sistem syaraf otonom tidak dapat merespon stress.
a.6. Mekonium bercampur air ketuban.
(b) Mekonium
Cairan amnion yang hijau kental menunjukkan bahwa air
ketuban jumlahnya sedikit. Kondisi ini mengharuskan adanya
intervensi. Intervensi ini tidak perlu dilakukan bila air ketuban
kehijauan tanpa tanda kegawatan lainnya, atau pada fase akhir
suatu persalinan letak bokong.
51
(e) Kecepatan infus cairan-cairan intravaskular hendaknya dinaikkan
untuk meningkatkan aliran darah dalam arteri uterina.
3) Untuk memperbaiki aliran darah umbilikus
a)Pasien dibaringkan miring ke kiri, untuk memperbaiki sirkulasi
plasenta.
b) Berikan ibu oksigen 6-8 L/menit
c) Perlu kehadirkan dokter spesialis anak
Biasanya resusitasi intrauterin tersebut diatas dilakukan selama 20
menit.
4) Tergantung terpenuhinya syarat-syarat, melahirkan janin dapat
pervaginam atau perabdominal.
52
Gambar 4. Penatalaksanaan gawat janin dalam persalinan
E. HIPOALBUMINEMIA
a. Definisi
Hipoalbuminemia adalah kadar albumin yang rendah/dibawah nilai
normal atau keadaan dimana kadar albumin serum < 3,5 g/dL.
53
Hipoalbuminemia mencerminkan pasokan asam amino yang tidak
memadai dari protein, sehingga mengganggu sintesis albumin serta protein
lain oleh hati. Di Indonesia, data hospital malnutrition menunjukkan 40-
50% pasien mengalami hipoalbuminemia atau berisiko hipoalbuminemia,
12% diantaranya hipoalbuminemia berat, serta masa rawat inap pasien
dengan hospital malnutrition menunjukkan 90% lebih lama daripada
pasien dengan gizi baik (Murray, 2007).
b. Klasifikasi
Defisiensi albumin atau hipoalbuminemia dibedakan berdasarkan
selisih atau jarak dari nilai normal kadar albumin serum, yaitu 3,5–5 g/dl
atau total kandungan albumin dalam tubuh adalah 300-500 gram.
Klasifikasi hipoalbuminemia adalah sebagai berikut:
1. Hipoalbuminemia ringan : 3,5–3,9 g/dl
2. Hipoalbuminemia sedang : 2,5–3,5 g/dl
3. Hipoalbuminemia berat : < 2,5 g/dl
c. Etiologi
Hipoalbuminemia adalah suatu masalah umum yang terjadi pada pasien.
Hipoalbuminemia dapat disebabkan oleh masukan protein yang rendah,
pencernaan atau absorbsi protein yang tak adekuat dan peningkatan
kehilangan protein yang dapat ditemukan pada pasien dengan kondisi
medis kronis dan akut:
Kurang Energi Protein,
Kanker,
Peritonitis,
Luka bakar,
Sepsis,
Luka akibat Pre dan Post pembedahan (penurunan albumin plasma
yang terjadi setelah trauma),
Penyakit hati akut yang berat atau penyakit hati kronis (sintesa
albumin menurun),
Penyakit ginjal (hemodialisa),
54
Penyakit saluran cerna kronik,
Radang atau Infeksi tertentu (akut dan kronis),
Diabetes mellitus dengan gangren, dan
TBC paru.
d. Tatalaksana
Hipoalbuminemia dapat dikoreksi dengan Albumin intravena dan
diet tinggi albumin, dapat dilakukan dengan pemberian diet ekstra putih
telur, atau ekstrak albumin dari bahan makanan yang mengandung
albumin dalam kadar yang cukup tinggi. Penanganan pasien
hipoalbuminemia dari segi gizi dengan cara pemberian bahan makanan
seperti estrak ikan gabus, putih telur dan tempe kedelai.
55
BAB IV
ANALISIS KASUS
56
eklampsia. Penyebabnya adalah pengurangan dari tekanan osmotik koloid plasma,
perubahan permeabilitas endotel, dan pengurangan tekanan osmmotik koloid ke
gradien tekanan end-diastolic ventrikel kiri (Dennis dan Solnordal, 2012).
Pemeriksaan fisik dari palpasi abdomen teraba supel, nyeri tekan (-), teraba
janin tunggal, intrauterine, memanjang, presentasi kepala, punggung kanan, his (-
), DJJ (+) 100 x/menit ireguler, kepala belum masuk panggul. Pemeriksaan
vaginal toucher didapatkan vulva dan urethra tenang, dinding vagina dalam batas
normal, portio lunak mencucu di belakang, pembukaan 0 cm, efficement: 10%,
kulit ketuban dan penunjuk belum dapat dinilai, air ketuban (-), lendir darah (+).
Dari hasil pemeriksaan abdomen dan genital diketahui bahwa pasien belum dalam
persalinan. Dari hasil DJJ dicurigai janin pasien mengalami fetal distress.
Hasil pemeriksaan laboratorium darah didapatkan Hb (12,4 g/dl),
hematokrit (42%), kenaikan eritrosit (5,87 x106/uL), kenaikan leukosit (13,4
x103/uL), trombosit (263 x103), kenaikan SGOT (75 u/l), penurunan natrium
darah 133 mmol/L, albumin 2,6 g/dL(↓) dan LDH 1353 u/l (↑). Pemeriksaan
protein urin didapatkan hasil +3. Pemeriksaan USG didapatkan janin tunggal,
intrauterurine, presentasi kepala, punggung di kanan, DJJ (+), FB: BPD: 9,02,
AC: 29,30, FL: 6,68, EFW: 2319 gram, air ketuban kesan cukup, dan tidak
tampak jelas kelainan kongenital mayor, kesan janin dalam keadaan baik. Dari
hasil pemeriksaan laboratorium darah diketahui hasil urinalisis Ewitz pada pasien
ini +3. Selain itu, ditemukan kenaikan enzim hati (SGOT). Hal ini dapat
menegakkan diagnosis partial HELLP syndrome.
Definisi preeklampsia adalah ditemukan adanya hipertensi pada kehamilan
dengan usia kehamilan lebih dari 20 minggu dengan adanya proteinuria pada tes
laboratroium. Preeklampsia berat dapat ditegakkan diagnosisnya menurut
National Institute for Clinical Excellence (2010) dengan kriteria sebagai berikut:
Gejala Nyeri kepala atau pusing
Gangguan pengelihatan
Muntah
Nyeri pada daerah epigastrium
57
Tanda Papilloedema
Clonus
Nyeri tekan daerah hepar
Hipertensi Hipertensi berat dan proteinuria
Gangguan laboratorik Sindrom HELLP
Angka trombosit <100 x 109/L
SGOT/SGPT > 70
Jika terdapat salah satu dari gejala atau tanda diatas dengan adanya hipertensi
berat dan proteinuria, maka diagnosis PEB dapat ditegakkan. Dari pemeriksaan
fisik didapatkan tekanan darah 200/120 mmHg. Tekanan darah pasien yang tinggi
masuk ke kriteria diagnosa Preeklampsia Berat (PEB) yaitu tekanan darah ≥
160/110 mmHg. Sebelumnya pasien mengaku tekanan darahnya tidak pernah
tinggi. Dalam preeklampsi berat menurut onsetnya dibedakan menjadi 2 yaitu
early onset dan late onset. PEB early onset biasanya terjadi pada usia kehamilan
sebelum 34 minggu sedangkan late onset biasanya terjadi pasa usia kehamilan
setelah 34 minggu. Pada kasus ini, pasien diduga mengalami PEB early onset
karena tekanan darahnya ≥ 200/120 mmHg, baru terjadi pada usia kehamilan
pasien 34 minggu (Townsend et al., 2016).
Pada pasien preeklampsia, keluhan pusing dapat terjadi karena pengaruh
dari tekanan darah tinggi yang merusak integritas sawar darah otak. Integritas
yang menurun akan menyebabkan hiperperfusi darah ke jaringan otak, dan
menyebabkan edema pada jaringan otak. Umumnya, hiperperfusi darah ini
dapat diatasi melalui mekanisme yang dapat menghambat darah melewati sawar
darah otak. Mekanisme ini hanya aktif ketika mean arterial pressure (MAP) ada
pada jarak 50-150 mmHg. Pada pasien yang menderita hipertensi kronis, tubuh
akan berusaha beradaptasi meningkatkan jarak mengikuti MAP agar mekanisme
penghambat ini tetap aktif. Namun pada preeklampsia, MAP akan meningkat
secara cepat dan terjadi kebocoran ortostatik dari plasma menuju kapiler.
(Assarzadegan, et al., 2013).
Setelah itu, pasien mengalami keluhan kejang. Terjadinya kejang pada
preeklampsia belum diketahui, namun pada beberapa kasus ditemukan adanya
58
perdarahan pada otak, edema cerebri, dan gangguan pembuluh darah. Dari temuan
ini dapat ditarik dua hipotesis penyebab terjadinya eklampsia, yang memfokuskan
pada vaskularisasi pembuluh darah otak dan regulasi dari aliran darah otak saat
naiknya tekanan darah. Sirkulasi pada otak telah berubah menjadi
“overautoregulasi”, hal ini terjadi karena meningkatnya perfusi jaringan ke otak
saat preeklampsia. Jika terus berlanjut, darah akan mengenai jaringan otak,
menyebabkan iskemia, dan berlanjut menjadi kejang. Edema pada pasien
preeklampsia berat bersifat vasogenik (disebabkan murni karena gangguan
pembuluh darah), karena reversibilitas status neurologis pasien jika kejang sudah
teratasi. Pada pemeriksaan radiologis, dapat ditemukan adanya gambaran
hipodens pada CT scan, dan hiperintens pada T2-MRI. Hal ini khas dalam
menentukan edema vasogenik, bukan sitotoksik (Cipolla dan Kraig, 2011).
Hipotesis kedua mekanisme kejang pada preeklampsia adalah merupakan
sebuah ensefalopati hipertensi, dimana tekanan darah yang cepat naik akan
menggerus konstriksi endotel dari arteri dan arteriol cerebri, merusak sawar darah
otak, dan menyebabkan edema vasogenik. Ensefalopati ini dinamakan PRES
(posterior reversible encephalopathy syndrome). Penyebab utama sering
terjadinya edema pada bagian posterior otak masih belum sepenuhnya diketahui,
namun dicurigai karena penurunan inervasi sistem saraf simpatik dari arteri
cerebral posterior, dan densitas pembuluh darah yang tinggi di bagian posterior
cerebri. Kerusakan sawar darah otak dan substansi dalam pembuluh darah (seperti
albumin) yang masuk ke parenkim otak ini akan menyebabkan kejang, seperti
pada hipotesis mekanisme sebelumnya (Cipolla dan Kraig, 2011).
Mekanisme terjadinya HELLP syndrome pada pasien ibu hamil dengan
preeklampsia masih belum diketahui. Beberapa mekanisme dicurigai berpengaruh
dalam pembentukan penyakit ini, seperti remodelling pembuluh darah, iskemia
pada uterus dan plasenta, defek pembentukan plasenta, dan mekanisme terkait
imun. Perubahan dan mutasi pada gen GCCR, TLR4,VEGF, FAS, CD95, dan
faktor koagulasi V merupakan faktor risiko seseorang dapat terkena HELLP
syndrome. Sejauh ini, mekanisme utama yang dapat diterima adalah invasi
plasenta dan pembuluh darah yang kurang adekuat, menyebabkan tekanan darah
59
tinggi pada ibu dan terjadi mikroangiopati trombotik pada daerah hepar.
Mikroangiopati ini akan menyebabkan anemia hemolitik, dan kerusakan pada
daerah hepar akan melepaskan enzim hepar seperti SGOT dan SGPT ke dalam
darah, menyebabkan kenaikannya yang akan terlihat pada hasil laboratorium
darah (Hammoud dan Ibdah, 2014).
Dalam diagnosis HELLP syndrome, terdapat dua kriteria yang sering
digunakan untuk diagnosis, yaitu kriteria Mississippi dan Tennessee. Kriteria
Tennessee lebih digunakan untuk menegakkan diagnosis pada HELLP syndrome,
sedangkan Kriteria Mississippi lebih digunakan untuk menilai derajat keparahan
penyakit HELLP. Kelas 1 pada Kriteria Mississippi dinilai lebih intensif dalam
penatalaksanaan dan lebih buruk dalam prognosis. Semakin naik nilai kelasnya,
maka prognosis akan semakin lebih baik (Hammoud dan Ibdah, 2014).
Kriteria Tennessee Kriteria Mississippi
Sindrom Trombosit <100 x Kelas 1: Trombosit < 50 x 109 l
komplit/total 109 l SGOT/SGPT > 70 u/l
SGOT > 70 u/l LDH > 600 u/l
Kelas 2: Trombosit 50-100 x
109 l
LDH > 600 u/l SGOT/SGPT > 70 u/l
LDH > 600 u/l
Sindrom Salah satu atau dua Kelas 3: Trombosit 100-150 x
inkomplit/partial dari kriteria di atas 109 l
SGOT/SGPT > 40 u/l
LDH > 600 u/l
Terapi utama pada pasien ini adalah dilakukannya terminasi kehamilan,
dengan cara persalinan per abdominal emergensi karena pasien tidak
diperkenankan mengejan saat melahirkan, dikarenakan dapat meningkatkan
tekanan darah lebih lagi. Meskipun usia kehamilan pasien belum cukup, pada
pasien sangat dianjurkan untuk dilakukan terminasi kehamilan karena sudah
terjadi komplikasi (partial HELLP syndrome dan eklampsia), dan sebelum
terjadinya perburukan penyakit, baik pada ibu maupun janin.
60
Sebelum itu, pasien terlebih dahulu diberi tatalaksana sesuai dengan protab
PEB yaitu oksigenasi dengan nasal kanul 3 liter per menit, infus ringer laktat 12
tetes per menit, injeksi MgSO4 20% 4 gr dalam 15 menit (initial dose) dan
injeksi MgSO4 20% 1 gr/jam selama 24 jam (maintenance dose), serta pemberian
nifedipin 10mg/8 jam jika tekanan darah pasien ≥ 160/110 mmHg.
Oksigenasi diberikan pada pasien agar mengurangi rasa sesak, serta
memastikan oksigenasi jaringan pada tubuh memadai. Infus Ringer Laktat
diberikan dengan tiga tujuan: maintenance, resusitasi, dan pencegahan komplikasi
(Anthony dan Schoeman, 2013). Sebagai maintenance, infus RL diberikan untuk
meningkatkan preload jantung. Pada preeklampsia berat, sering ditemukan
vasopasme pada pembuluh darah perifer dan peningkatan tekanan pembuluh darah
perifer. Pemberian infus RL akan menurunkan tekanan darah perifer, peningkatan
cardiac output, dan peningkatan perfusi oksigen ke jaringan. Selain itu,
pemasangan infus dapat memberi akses langsung ke intravena agar dapat
memberikan obat secara cepat.
Sebagai resusitasi, infus RL diberikan karena pasien dengan preeklampsia
berat dapat berisiko terjadinya hipovolemia karena abruptio placenta dan
komorbiditas lain yang dapat menyebabkan perdarahan masif pada pasien. Selain
itu, efek resusitasi yang ingin dicapai meliputi perbaikan gangguan pembekuan,
dan perbaikan kapasitas perfusi oksigen ke jaringan.
Sebagai pencegah komplikasi, infus RL diberikan untuk mencegah
komplikasi preeklampsia berat, salah satunya adalah gangguan ginjal. Pada pasien
dengan preeklampsia berat, sering ditemukan adanya oligouria karena berbagai
faktor (prerenal dan renal). Pemberian cairan RL akan mengatasi oliguria tersebut,
dan dengan pemberian infus RL, dapat diamati balance cairan lebih ketat, karena
umumnya pasien dengan preeklampsia berat ditatalaksana pula dengan
magnesium sulfat (Anthony dan Schoeman, 2013).
Pemberian obat hipertensi kerja cepat diberikan ketika terdapat hipertensi
berat pada pasien (tekanan darah >160-170/100-110 mmHg). Pemberian obat
hipertensi harus diberikan secara intravena jika ditemukan tekanan darah sistolik
melebihi 180 mmHg. Target penurunan tekanan darah pada pasien dengan
61
preeklampsia berat adalah <150/100 mmHg, atau 25% penurunan dari MAP saat
itu. Obat yang menjadi pilihan terapi adalah nifedipin oral, hidralazin intravena,
dan labetalol (Townsend et al., 2016).
Syarat pemberian MgSO4 adalah refleks patella (+), laju nafas 16-20x per
menit, dan jumlah urin minimal 30 cc dalam 4 jam. Selama pemberian MgSO4,
urine output pasien harus dikontrol dengan cara pemasangan kateter dan dihitung
balance cairannya. Hal ini dimaksudkan agar pada pasien ini keseimbangan
elektrolit tetap terjaga dan tidak terjadi hipermagnesia. MgSO4 yang diberikan
berfungsi sebagai profilaksis kejang, tokolitik, antihipertensi dan diuretik. Apabila
pasien mengalami keracunan MgSO4 maka dapat diberikan antidotum seperti
kalsium glukonas.
62
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Bari S., George andriaanzs, Gulardi HW, Djoko W, 2000, Buku Acuan
Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.
63
Barut F, Barut A, Gun BD, Kandemir NO, Harma MI, Harma M, Aktun E,
Ozdamar SO. 2010. Intrauterine growth restriction and placental
angiogenesis. Diagnostic Pathology, 5 (24): 5-7.
Benson R. C and Pernoll M.L. 2008. Buku Saku Obstetri dan Ginekologi. Edisi 9.
Clark MK, Dillon IS, Sowers M, Nicholas S. Weight, fat mass, and central
distribution of fat incerase when women use depot medroxyprogesterone.
International Journal of Obesity. 2005: 29(10): 1252-8.
Cousens, N.E., Gaff, C.L., Metcalfe, S.A., Delatycki, M.B. 2010. Carrier
screening for Beta-thalassaemia:a review of International practice.
European Journal of Human Genetics, 18: 1077-1083.
Cunningham, F.G., Leveno, K.J., Bloom, S.L., Hauth, J. C., Gillstrap III, L. C.,
Wenstrom, K. D. (Eds) (2005) Williams Obstetrics, 22nd Edition. New
York: MC Graw Hill.
64
Dennis A, Solnordal C. Acute pulmonary oedema in pregnant women.
Association of Anaesthetists of Great Britain and Ireland. 2012: 67(6): 646-
659.
Fatimah, Hadju et al. Pola Konsumsi dan Kadar Hemoglobin Pada Ibu Hamil di
Kabupaten
Galanello, R., Cao, A. 2011. Alpha-thalassemia. Genetics in Medicine, 13(2): 83-
88
Gandasoebrata R. 2007. Penuntun Lanoraturium Klinik. Jakarta: Dian Rakyat.
Guyton AC dan Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC; 1179.
65
Hammoud G. dan Ibdah J. Preeclampsia‐induced Liver Dysfunction, HELLP
syndrome, and acute fatty liver of pregnancy. American Association for the
Study of Liver Diseases. 2014: 4(3): 69-73.
Hatcher RA, Trussel J, Nelson AL. Contraceptive technology USA: Ardent Media
Inc: 2009. 835
Hidayat W., 1998. Pedoman Diagnosis dan Terapi Obstetri dan Ginekologi,
RSUP dr.Hasan Sadikin. Edisi ke-2. Penerbit: SMF Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran Univ. Padjajaran, RSUP dr.Hasan Sadikin, Bandung.
Ifan PS, Wahiduddin, Dian S. 2013. Faktor Risiko Kejadian Pradiabetes/ Diabetes
Mellitus Gestasional di RSIA Sitti Khadijah I Kota Makassar. Makassar:
Unibersitas Hasanuddin.
Kilpatrick, S.J. 2014. Anemia and Pregnancy. In : Creasy, R.K., Resnik, R. Iams,
J.D., Lockwood, C.J, Moore, T.R., Greene, M.F. Creasy & Resnik’s
Maternal-Fetal Medicine Principles and Practice. 7th edition. Elsevier.
Loekmono Hadi, 2003. Preeklampsia. Catatan kulih Obgyn. UNS.
66
Murray, R.K., Granner, D.K., Rodwell, V.W., 2006. Plasma Proteins &
Immunoglobulins. In: Harper’s Illustrated Biochemistry 27th ed, pp. 588-606.
New York: McGrawHill.
Neville, F. Hacker, J. George Moore. 2001. Esensial Obstetri dan Ginekologi.
Hipokrates, Jakarta.
Ojofeitimi EO, Ogunjuyigbe PO, Sanusi, et al. Poor Dietary Intake of Energy and
Retinol among Pregnant Women: Implications for Pregnancy Outcome in
Southwest Nigeria. Pak. J. Nutr. 2008; 7(3):480-484.
Old, J. 2013. Hemoglobinopathies and Thalassemias. In: Rimoin, D.L., Pyeritz,
R.E., Korf, I. Emery and Rimoin’s Essential Medical Genetics. Elsevier.
Persis mary. 1995. “Dasar -dasar keperawatanmaternitas”. Jakarta : EGC.
67
Riset Kesehatan Dasar 2007. 2008. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Rode L., Hegaard H.K., Kjaergaard H., Moller L.F., Tabor A., Ottesen B. 2007.
Assosiation Between Maternal Weight Gain and Birth Weight. The
American College of Obstetricians an Gynecologists. Vol. 109, No. 6, June.
Ross MG, Monsano RZ, Smith CV, Talavera F, Gaupp FB. 2013. Fetal growth
restriction. http://emedicine.medscape.com/article/261226overview#showall
Ruangvutilert, P. 2007. Thalassemia is a Preventable Gen Disease. Siriraj Med J,
59: 330-333.
Rund, D., Rachmileweitz, E. 2005. β-Thalassemia. N Engl J Med, 353: 1135-
1146.
Rustam Mochtar. 1998. Sinopsis Obstetri : Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi.
Editor: Delfi Lutan, EGC, Jakarta.
68
Strong, J., Rutherford, J.M. 2011. Anemia and White Blood Cell Disorders. In:
James, D. High Risk Pregnancy Management. 4th edition. Elsevier.
Sulistyawati A. Pelayanan keluarga berencana.jakarta: Salemba Medika: 2012.
244.
69