PENDAHULUAN
1
Data dari Departemen Kesehatan Indonesia (Depkes RI) pada tahun 2006
menyebutkan bahwa jenis penyakit yang menyumbang angka mortalitas terbanyak
pada kelompok penyakit kardiovaskular adalah penyakit jantung koroner.
Penyakit jantung koroner tersebut menyumbang angka mortalitas sebesar 26,4%
dari total kematian di Indonesia.9 Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
pada tahun 2013 juga menyebutkan bahwa prevalensi penyakit jantung koroner di
Indonesia berdasarkan diagnosis dokter adalah sebesar 0,5%, sedangkan
prevalensi penyakit jantung koroner berdasarkan terdiagnosis dokter atau gejala
sebesar 1,5%.6 Data dari Riskesdas juga menyebutkan bahwa prevalensi penyakit
jantung koroner di Sumatera Selatan pada tahun 2013 berdasarkan diagnosis
dokter adalah sebesar 0,4% , sedangkan prevalensi penyakit jantung koroner di
Sumatera selatan berdasarkan diagnosis dokter atau gejala adalah sebesar 0,7%.6
Gagal jantung dan penyakit jantung koroner menyebabkan permasalahan
yang signifikan bagi masyarakat global dan bukan tidak mungkin dalam kurun
beberapa tahun kedepan angka statistik ini akan bergerak naik. Selain itu juga
gagal jantung dan penyakit jantung koroner adalah penyakit jantung yang paling
sering terjadi terutama di Indonesia, maka perlu adanya penanganan dari segala
aspek baik secara biomedik maupun biopsikososial.
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identifikasi
2
Identitas Pasien
Nama : Tn. A
TTL / Usia : 15 Januari 1960 / 59 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Dusun III desa SP dalam Pemulutan Ogan Ilir
Sumatera Selatan
Pekerjaan : Wirausaha
Pendidikan : Sekolah Menengah Atas
Terakhir
Agama : Islam
MRS : 31 Maret 2019
No. RM : 40.63.09
Ruangan : Non-Infeksi laki-laki bed A
3
ke bahu terasa seperti tertindih benda berat dan terdapat bengkak di kaki
sejak kurang lebih 1 bulan yang lalu.
Mual (-), muntah (-), Batuk (+) dengan darah segar tanpa dahak
berwarna hijau kekuningan, frekuensi batuk kurang lebih 4-5 kali dalam
satu hari. Demam (-), berkeringat pada malam hari (-), penurunan nafsu
makan (-), penurunan berat badan (-), BAB dan BAK biasa. Riwayat
hipertensi (+) sejak 15 tahun yang lalu dan tidak terkontrol. Riwayat DM
(-), riwayat asma (-).Riwayat merokok (+) sejak kurang lebih 30 tahun
yang lalu, kebiasaan mengkonsumsi makanan tinggi kolesterol (+),
makanan tinggi garam (+).
4
E. Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok : ada, 30 tahun, 2-3 bungkus/ hari
Riwayat minum alkohol : disangkal.
Riwayat olahraga : disangkal.
Riwayat makan : 3-4 kali sehari, os mengaku suka mengkonsumsi
makanan tinggi kolesterol dan makanan asin.
5
Hidung : Deviasi septum (-), sekret (-)
Mulut : Sianosis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), JVP 5+2 cmH2O
Thoraks : Simetris, retraksi (-/-)
Paru
- Inspeksi : Simetris, retraksi (-/-)
- Palpasi : Stem fremitus kanan dan kiri simetris
- Perkusi : Sonor pada semua lapang paru
- Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronchi basah kasar(+/+),
wheezing (-/-)
Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat.
6
a. Laboratorium darah (diperiksa tanggal 31/03/2019)
7
b. EKG
(diperiksa tanggal 31/03/2019)
8
c. Rontgen thorax
2.5 Resume
Os mengeluh sesak nafas sejak kurang lebih 1 tahun lalu dan memberat
sejak 1 minggu lalu. Sesak terus menerus pada saat aktivitas maupun
beristirahat, sesak tidak dipengaruhi cuaca maupun debu. Os juga mengeluh
batuk berdarah sejak 3 hari yang lalu, darah yang keluar kurang lebih satu
sendok makan setiap kali batuk, frekuensi batuk 2-3 kali sehari dan tidak
disertai dengan dahak berwarna hijau kekuningan. Keluhan tambahan lainnya
adalah nyeri dada yang hilang timbul, nyeri dada menjalar hingga ke bahu
9
terasa seperti tertindih benda berat dan terdapat bengkak di kaki sejak kurang
lebih 1 bulan yang lalu.
Mual (-), muntah (-), Batuk (+) dengan darah segar tanpa dahak berwarna
hijau kekuningan, frekuensi batuk kurang lebih 4-5 kali dalam satu hari.
Demam (-), berkeringat pada malam hari (-), penurunan nafsu makan (-),
penurunan berat badan (-), BAB dan BAK biasa. Riwayat darah tinggi(+)
sejak 15 tahun yang lalu dan tidak terkontrol. Riwayat DM (-), asma (-).
Riwayat merokok (+) sejak kurang lebih 30 tahun yang lalu, kebiasaan
mengkonsumsi makanan tinggi kolesterol (+), makanan tinggi garam (+).
Pemeriksaan fisik yang didapatkan:
Keadaan umum: Tampak sakit sedang
Tanda vital
- TD: 160/90 mmHg
- HR: 106x/menit
- RR: 28x/menit
- T: 36,9oC
BB: 83 kg
TB: 175 cm
IMT: 27,1 (obese I)
Leher: JVP 5+2 cmH2O
Paru-paru:
Auskultasi: Ronchi (+/+)
Jantung:
Palpasi: Iktus kordis teraba
Perkusi: Kanan atas ICS II Linea Parasternalis Dextra
Kiri atas ICS II Linea Parasternalis Sinistra
Kanan bawah ICS IV Linea Midsternalis Dextra
Auskultasi: Murmur sistolik (+)
Abdomen:
Inspeksi: Cembung
10
Palpasi: Tegang, nyeri tekan (-), hepar/lien sulit dinilai
Perkusi: Redup (+), asites (+), shifting dullness (+), undulasi (+)
Ekstremitas:
Edema (+), CRT >2”
Hasil pemeriksaan laboratorium, EKG dan rontgen thorax terlampir.
Diagnosis banding
CHF ec HHD + STEMI anterolateral
CHF ec CAD (STEMI anterolateral)
2.7 Tatalaksana
Non Farmakologis
1) Edukasi (disarankan untuk membatasi aktivitas)
2) Terapi gizi (diet rendah garam dan kolesterol)
3) Mengurangi aktivitas fisik
Farmakologis
Berikut ini adalah tatalaksana yang diberikan:
IVFD RL gtt 20x/m (makro)
Inj. Omeprazole 1x1 vial
Amlodipine 1x5mg
Aspilet 1x80mg
CPG 1x75mg
ISDN 3x5mg
Ambroxol Syr 3x1 C
Artosvastatine 1x20mg
11
2.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam: dubia ad malam
2.9 Follow Up
Hari/Tanggal Senin, 31 Maret 2019
S - Sesak Napas
- Batuk berdarah
- Nyeri dada
O:
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 160/90 mmHg
Nadi 106x/menit,isi-tegangan cukup
Pernapasan 28 x/ menit
Temperatur 36,90C
Keadaan spesifik
Kepala Conjungtiva palpebra anemis (-/-)
Sclera ikterik (-)
Leher JVP (5+2) cmH2O
Pembesaran KGB (-)
12
P : Sonor pada semua lapang paru
Jantung
I : ictus cordis tidak terlihat
P : ictus cordis teraba
P : Kanan atas ICS II Linea Parasternalis
Dextra, Kiri atas ICS II Linea
Parasternalis Sinistra, Kanan bawah ICS
IV Linea Midsternalis Dextra, Kiri bawah
ICS VI Linea Midaxillaris
A : BJ I/II (+) normal, murmur
sistolik(+), gallop (-)
Abdomen
Genitalia
Edema (+/+)
A CHF ec HHD + STEMI anterolateral
P Non Farmakologi:
1) Edukasi (disarankan untuk membatasi
13
aktivitas)
2) Terapi gizi (diet rendah garam dan
kolesterol)
3) Mengurangi aktivitas fisik
Farmakologi
Berikut ini adalah tatalaksana yang
diberikan:
- IVFD RL gtt 20x/m (makro)
- Inj. Omeprazole 1x1 vial
- Amlodipine 1x5mg
- Aspilet 1x80mg
- CPG 1x75mg
- ISDN 3x5mg
- Ambroxol Syr 3x1 C
- Artosvastatine 1x20mg
14
O
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Komposmentis
Tekanan darah 160/90mmHg
Nadi 100x/menit
Pernapasan 26x/menit
Temperatur 36,5oC
Keadaan spesifik
Kepala Conjungtiva palpebra anemis (-/-)
Sclera ikterik (-)
15
IV Linea Midsternalis Dextra, Kiri bawah
ICS VI Linea Midaxillaris
A : BJ I/II (+) normal, murmur
sistolik(+), gallop (-)
Farmakologi
Berikut ini adalah tatalaksana yang
16
diberikan:
- IVFD RL gtt 20x/m (makro)
- Inj. Omeprazole 1x1 vial
- Amlodipine 1x5mg
- Aspilet 1x80mg
- CPG 1x75mg
- ISDN 3x5mg
- Ambroxol Syr 3x1 C
- Artosvastatine 1x20mg
17
P : Sonor pada semua lapang paru
Jantung
I : ictus cordis tidak terlihat
P : ictus cordis teraba
P : Kanan atas ICS II Linea Parasternalis
Dextra, Kiri atas ICS II Linea
Parasternalis Sinistra, Kanan bawah ICS
IV Linea Midsternalis Dextra, Kiri bawah
ICS VI Linea Midaxillaris
A : BJ I/II (+) normal, murmur
sistolik(+), gallop (-)
Abdomen
I : cembung (+), tegang (+), caput medusa
(-)
A : BU (+) normal
P : Tegang, nyeri tekan (-), hepar/lien sulit
dinilai
P : Redup (+), asites (+), shifting dullness
(+), Undulasi(+)
Genitalia
Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas
Edema (+/+)
A CHF ec HHD + STEMI anterolateral
P Non Farmakologi:
18
1) Edukasi (disarankan untuk membatasi
aktivitas)
2) Terapi gizi (diet rendah garam dan
kolesterol)
3) Mengurangi aktivitas fisik
Farmakologi
Berikut ini adalah tatalaksana yang
diberikan:
- IVFD RL gtt 20x/m (makro)
- Inj. Omeprazole 1x1 vial
- Amlodipine 1x5mg
- Aspilet 1x80mg
- CPG 1x75mg
- ISDN 3x5mg
- Ambroxol Syr 3x1 C
- Artosvastatine 1x20mg
- Tiaryt 2x100mg
- Furosemid 1x40mg
- Spironolanctone 1x12,5mg
Hari/Tanggal 3 April 2019
S Sesak napas masih ada dan tidak
berkurang
O
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 140/80 mmHg
Nadi 86x/menit, isi-tegangan cukup
Pernapasan 24 x/ menit
19
Temperatur 37oC
Keadaan spesifik
Kepala Conjungtiva palpebra anemis (-/-)
Sclera ikterik (-)
Leher JVP (5+2) cmH2O
Pembesaran KGB (-)
Thorax:
Paru I : Simetris (+/+), retraksi (-/-)
P : stem fremitus kanan dan kiri normal
P : Sonor pada semua lapang paru
A : vesikuler(+/+) wheezing (-/-), ronkhi
basah kasar (+/+)
Abdomen
I : cembung (+), tegang (+), spider nevi
20
(-)
A : BU (+) normal
P : Tegang, nyeri tekan (-), hepar/lien sulit
dinilai
P : Redup (+), asites (+), shifting dullness
(+), Undulasi(+)
Farmakologi
Berikut ini adalah tatalaksana yang
diberikan:
- IVFD RL gtt 20x/m (makro)
- Inj. Omeprazole 1x1 vial
- Amlodipine 1x5mg
- Aspilet 1x80mg
- CPG 1x75mg
- ISDN 3x5mg
- Ambroxol Syr 3x1 C
21
- Artosvastatine 1x20mg
- Spironolanctone 1x12,5mg
- Furosemide 1x40mg
- Tiaryt 2x100mg
Hari/Tanggal 4 April 2019
S Keluhan sesak napas tidak berkurang,
belum BAB sejak MRS
O
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 130/90 mmHg
Nadi 82x/menit, isi-tegangan cukup
Pernapasan 23 x/ menit
Temperatur 36oC
Keadaan spesifik
Kepala Conjungtiva palpebra anemis (-/-)
Sclera ikterik (-)
Leher JVP (5+2) cmH2O
Pembesaran KGB (-)
Thorax:
Paru I : Simetris (+/+), retraksi (-/-)
P : stem fremitus kanan dan kiri normal
P : Sonor pada semua lapang paru
A : vesikuler(+/+) wheezing (-/-), ronkhi
basah kasar (+/+)
22
Jantung I : ictus cordis tidak terlihat
Abdomen
I : cembung (+), tegang (+), caput medusa
(-)
A : BU (+) normal
P : Tegang, nyeri tekan (-), hepar/lien sulit
dinilai
P : Redup (+), asites (+), shifting dullness
(+), Undulasi(+)
23
Farmakologi
Berikut ini adalah tatalaksana yang
diberikan:
- IVFD RL gtt 20x/m (makro)
- Inj. Omeprazole 1x1 vial
- Amlodipine 1x5mg
- Aspilet 1x80mg
- CPG 1x75mg
- ISDN 3x5mg
- Ambroxol Syr 3x1 C
- Artosvastatine 1x20mg
- NRF 2x1 caps
- Spironolanctone 1x12,5mg
- Furosemide 1x40mg
- Laxadine syr 3x1C
- Retaphyl SR 2x1/2
Hari/Tanggal 5 April 2019
S Sesak napas, tidak bisa tidur
O
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 140/90 mmHg
Nadi 80x/menit, isi-tegangan cukup
Pernapasan 24 x/ menit
Temperatur 36,7oC
Keadaan spesifik
Kepala Conjungtiva palpebra anemis (-/-)
24
Sclera ikterik (-)
Leher JVP (5+2) cmH2O
Pembesaran KGB (-)
Thorax:
Paru I : Simetris (+/+), retraksi (-/-)
P : stem fremitus kanan dan kiri normal
P : Sonor pada semua lapang paru
A : vesikuler(+/+) wheezing (-/-), ronkhi
basah kasar (+/+)
A : BU (+) normal
P : Tegang, nyeri tekan (-), hepar/lien sulit
dinilai
25
P : Redup (+), asites (+), shifting dullness
(+), Undulasi(+)
Genitalia
Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas
Edema (+/+)
A CHF ec HHD + STEMI anterolateral
P Non Farmakologi:
1) Edukasi (disarankan untuk membatasi
aktivitas)
2) Terapi gizi (diet rendah garam dan
kolesterol)
3) Mengurangi aktivitas fisik
Farmakologi
Berikut ini adalah tatalaksana yang
diberikan:
- IVFD RL gtt 20x/m (makro)
- Inj. Omeprazole 1x1 vial
- Amlodipine 1x5mg
- Aspilet 1x80mg
- CPG 1x75mg
- ISDN 3x5mg
- Ambroxol Syr 3x1 C
- Artosvastatine 1x20mg
- NRF 2x1 caps
- Spironolanctone 1x12,5mg
- Furosemide 2x40mg
26
- Tiaryt 2x100mg
- Laxadine syr 3x1C
- Retaphyl SR 2x1/2
Hari/Tanggal 6 April 2019
S Sesak napas berkurang
O
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 130/90 mmHg
Nadi 82x/menit, isi-tegangan cukup
Pernapasan 22 x/ menit
Temperatur 36oC
Keadaan spesifik
Kepala Conjungtiva palpebra anemis (-/-)
Sclera ikterik (-)
Leher JVP (5+2) cmH2O
Pembesaran KGB (-)
Thorax:
Paru I : Simetris (+/+), retraksi (-/-)
P : stem fremitus kanan dan kiri normal
P : Sonor pada semua lapang paru
A : vesikuler(+/+) wheezing (-/-), ronkhi
basah kasar (+/+)
27
P : Kanan atas ICS II Linea Parasternalis
Dextra, Kiri atas ICS II Linea
Parasternalis Sinistra, Kanan bawah ICS
IV Linea Midsternalis Dextra, Kiri bawah
ICS VI Linea Midaxillaris
28
Farmakologi
Berikut ini adalah tatalaksana yang
diberikan:
- IVFD RL gtt 20x/m (makro)
- Inj. Omeprazole 1x1 vial
- Amlodipine 1x5mg
- Aspilet 1x80mg
- CPG 1x75mg
- ISDN 3x5mg
- Ambroxol Syr 3x1 C
- Artosvastatine 1x20mg
- NRF 2x1 caps
- Spironolanctone 1x12,5mg
- Furosemide 2x40mg
- Retaphyl SR 2x1/2
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
29
3.1 Anatomi dan Fisiologi Jantung
30
mediastinum (ruang antar paru),letak jantung condong ke sisi kiri
daripada kanan tubuh. Apeks jantung terletak pada ruang interkosta
ke-5 dan basal berada setinggi iga-2. Ukuran jantung kira-kira
sebesar tinju individu pemiliknya. Ukuran jantung pada orang
dewasa adalah panjang kira-kira 12 cm,lebar dibagian yang paling
lebar 6 cm,dan berat kira-kira 300 gram.10
Vaskularisasi jantung
31
Arteria coronaria dextra berasal dari sinus anterior aorta dan
berjalan ke depan di antara trunkus pulmonalis dan auricula dextra.
Arteri ini berjalan turun hampir ventrikel di dalam sulcus atrio-
ventrikulare dextra. Cabang –cabangnya:10
32
Gambar 2.3. Vaskularisasi Jantung
33
2. Ramus circumflexus, pembuluh ini melingkari pinggir kiri
jantung di dalam sulkus atrioventrikular. Ramus marginalis
merupakan cabang yang terbesar mendarahi batas kiri ventrikel
sinistra dan turun sampai apeks kordis.10
Fisiologi
34
dari tubuh serta ekstremitas bawah. Yang mana semua darah ini
akan masuk kedalam atrium kanan kemudian dipompa ke ventrikel
kanan melalui katup trikuspid selanjutnya ventrikel kanan melalui
katup a.pulmonal memompa darah tersebut ke dalam trunkus
pulmonalis yang bercabang dua menjari arteri pulmonalis kanan
yang masuk ke paru-paru kanan dan pulmonalis kiri yang masuk ke
paru-paru kiri. diparu-paru CO2 yang banyak dikeluarkan dan
diganti dengan O2. Darah yang kaya O2 ini kemudian
dikembalikan ke jantung melalui vena pulmonalis masuk ke atrium
kanan kemudian dipompakan kedalam ventrikel kanan melalui
katup mitral . selanjutnya melalui katup aorta ventrikel kiri
memompakan darah tersebut ke aorta secara sistemik.11
35
penyakit jantung koroner dan katup sebagai penyebab terbanyak
selanjutnya. 13
Edema
Edema merupakan terkumpulnya cairan di dalam jaringan
interstisial lebih dari jumlah yang biasa atau di dalam berbagai rongga
tubuh mengakibatkan gangguan sirkulasi pertukaran cairan elektrolit
antara plasma dan jaringan interstisial. Jika edema mengumpul di dalam
36
rongga maka dinamakan efusi, misalnya efusi pleura dan pericardium.
Penimbunan cairan di dalam rongga peritoneal dinamakan asites. Pada
jantung terjadinya edema yang disebabkan terjadinya dekompensasi
jantung (pada kasus payah jantung), bendungan bersifat menyeluruh. Hal
ini disebabkan oleh kegagalan venterikel jantung untuk memopakan darah
dengan baik sehingga darah terkumpul di daerah vena atau kapiler, dan
jaringan akan melepaskan cairan ke intestisial . Edema pada tungkai kaki
terjadi karena kegagalan jantung kanan dalam mengosongkan darah
dengan adekuat sehingga tidak dapat mengakomodasi semua darah yang
secara normal kembali dari sirkulasi vena. Edema ini di mulai pada kaki
dan tumit (edema dependen) dan secara bertahap bertambah keatas.11,6
Pada gagal jantung terjadi suatu kelainan multisistem dimana
terjadi gangguan pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi
sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada
disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan
terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi
mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem Renin – Angiotensin –
Aldosteron (system RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide
yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas
jantung dapat terjaga.
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor
menjaga cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung,
meningkatkan kontraktilitas serta vasokons-triksi perifer (peningkatan
katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat menyeababkan
gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat
menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard
fokal.
Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin,
angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan
vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik
37
yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis,
menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron.
Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan
sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta
berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir
sama yang memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan
saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai
respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi.
Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung,
khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic
peptide terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat,
efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial dan brain
natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume
dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada
tonus vaskuler, sekresi aldosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal.
Karena peningkatan natriuretic peptide pada gagal jantung, maka banyak
penelitian yang menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan
prognosis, bahkan telah digunakan sebagai terapi pada penderita gagal
jantung. Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat
kadarnya pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga
didpatkan pada pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia
Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan
merupakan peptide vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek
vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab atas
retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin meningkat
sesuai dengan derajat gagal jantung.
Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard,
dengan kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance
ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat
38
diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit jantung koroner, hipertensi
dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain
penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit jantung amiloid. Walaupun
masih kontroversial, dikatakan 30 – 40 % penderita gagal jantung
memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada penderita gagal
jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolic yang timbul
bersamaan meski dapat timbul sendiri.10,11
39
Tabel 2.1. Klasifikasi Derajat Gagal Jantung berdasarkan NYHA
NYHA I Tidak terdapat batasan dalam melakukan aktivitas fisik. Aktivitas
fisik sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak
NYHA III Keterbatasan aktivitas fisik sehari-hari akibat gejala gagal jantung
pada tingkatan yang lebih ringan, misalnya berjalan 20-100 m. Pasien
hanya merasa nyaman saat istirahat
40
3.2.5 Tatalaksana Gagal Jantung
Tujuan umum penanganan gagal jantung adalah meniadakan tanda
klinik seperti batuk dan dispnea, memperbaiki kinerja jantung sebagai
pompa, menurunkan beban kerja jantung, dan mengontrol kelebihan garam
dan air. Obat yang digunakan untuk penanganan gagal jantung bervariasi
tergantung pada etiologi, keparahan gagal jantung, spesies penderita, dan
faktor lainnya.
41
Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau
hiperkalemia
Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi
meningkatkan secara cepat sangat mungkin pada pasien yang
dimonitoring ketat.
Gambar 2.6. Obat–obat Gagal Jantung dengan Dosis Awal dan Target
Dosis yang diinginkan
42
mg/dL) atau diatasnya stop ACEI secepatnya dan monitor kimia
darah secara erat.
Hiperkalemia – periksa penggunaan agen lain yang dapat
menyebabkan hiperkalemia, misalnya suplementasi kalsium,
diuretik hemat kalsium, dan hentikan penggunaannya. Jika kadar
kalsium meningkat diatas 5.5 mmol/L, turunkan dosis ACEI
setengahnya dan monitor kima darah secara erat. Jika kalisum naik
diatas 6 mmol/L stop penggunaan ACEI secepatnya dan monitor
kimia darah secara erat.
Hipotensi simtomatik (misal : pusing) adalah hal yang umum
terjadi – hal ini seringkali membaik seiring waktu, dan pasien perlu
diyakinkan. Jika mengganggu pertimbangkan untuk mengurangi
dosis diuretik dan agen hipotensif lainnya (kecuali ARB/ β-
bloker/antagonis aldosteron). Hipotensi asimtomatik tidak
memerlukan intervensi.
43
Pengobatan dengan ARB meningkatkan fungsi ventrikel dan kesehatan
pasien dan menurunkan angka masuk rumah sakit akibat perburukan
gagal jantung. Angiotensin Reseptor Blocker direkomendasikan sebagai
pilihan lain pada pasien yang tidak toleran terhadap ACEI.16
44
perawatan, terapi BB harus dimulai secara hati-hati sebelum pasien
dipulangkan.
Kontraindikasi :
Asthma (COPD bukan kontranindikasi).
AV blok derajat II atau III, sick sinus syndrome (tanpa keberadaan
pacemaker), sinus bradikardi (<50 bpm).
45
Dosis awalan : bisoprolol 1 x 1.25 mg, carvedilol2 x 3.125-6.25 mg,
metoprolol CR/XL 1 x 12.5-25 mg, atau nebivolol 1 x 1.25 mg. Dengan supervisi
jika diberikan dalam setting rawat jalan.
Pada pasien yang baru mengalami dekompensasi, BB dapat dimulai
sebelum pasien dipulangkan dengan hati-hati.
Titrasi dosis :
Kunjungan tiap 2-4 minggu dapat digunakan untuk meningkatkan
dosis BB (peningkatan dosis yang lebih lambat mungkin dibutuhkan
pada beberapa pasien degan gagal jantung yang berat). Jangan
tingkatkan dosis bila terdapat perburukan gagal jantung, hipotensi
sistemik, atau bradikardia yang berlebih (<50x/menit).
4. Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung yang
disertai tanda dan gejala kongesti. 16
Diuretik memperbaiki kesejahteraan hidup pasien dengan
mengurangi tanda dan gejala kongesi vena sistemik dan pulmoner pada
pasien dengan gagal jantung. Diuretik mengakibatkan aktivasi sistem
renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) dan biasanya digunakan bersamaan
46
dengan ACEI atau ARB. Dosis diuretik harus disesuaikan dengan
kebutuhan tiap pasien dan membutuhkan monitoring klinis yang cermat.
Secara umum loop diuretik dibutuhkan pada gagal jantung sedang-berat.
Thiazid dapat pula digunakan dengan loop diuretik untuk edema yang
resisten, namun harus diperhatikan secara cermat kemungkinan dehidrasi,
hipovolemia, hiponatremia, atau hipokalemia. Selama terapi diuretik,
sangat penting level kalium, natrium, dan kreatinine dipanantau secara
berkala.16
Hal yang harus dicermati pada pemberian diuretik :
Diuretik dan ACEI/ARB/atau antagonis aldosteron dapat meningkatan
risiko hipotensi dan disfungsi ginjal, terutama jika digunakan
bersamaan.
Pasien dengan menggunakan ACEI/ARB/antagonis aldosteron
digunakan bersamaan dengan diuretik, penggantian kalium biasanya
tidak dibutuhkan.
Hiperkalemia yang berat dapat terjadi jika diuretik hemat kalsium
termasuk antagonis aldosteon digunakan bersamaan dengan
ACEI/ARB. Penggunaan diuretik antagonis non-aldosteron harus
dihindari. Kombinasi dari antagonis aldosteron dan ACEI/ARB hanya
boleh diberikan pada supervisi yang cermat.
Penggunaan diuretik pada gagal jantung :
Periksa selalu fungsi ginjal dan serum elektrolit.
Kebayakan pasien diresepkan loop diuretik dibandingkan thiazid
karena efektivitasnya yang lebih tinggi dalam memicu diuresis dan
natriuresis.
Selalu mulai dengan dosis rendah dan tingkatkan hingga terrdapat
perbaikan klinis dari segi tanda dan gejala gagal jantung.
Dosis harus disesuaikan, terutama setelah berat badan kering normal
telah tercapai, hindari risiko disfungsi ginjal dan dehidrasi. Upayakan
47
untuk mencapai hal ini dengan menggunakan dosis diuretik serendah
mungkin.
Penyesuaian dosis sendiri oleh pasien berdasarkan pengukuran berat
badan harian dan tanda-tanda klinis lainnya dari retensi cairan harus
selalu disokong pada pasien gagal jantung rawat jalan. Untuk
mencapai hal ini diperlukan edukasi pasien.
5. Antagonis Aldosteron
Antagonis aldosteron menurunkan angka masuk rumah sakit untuk
perburukan gagal jantung dan meningkatkan angka keselamatan jika
ditambahkan pada terapi yang sudah ada, termasuk dengan ACEI.16
Pasien yang seharusnya mendapat antagonis aldosteron :
LVEF < 35%
Gejala gagal jantung sedang- berat ( kelas fungsional III-IV NYHA)
Dosis optimal BB dan ACEI atau ARB
48
Gambar 2.7 Obat Diuretik Dosis Awal dan Target Dosis yang diinginkan
49
Kontraindikasinya antara lain hipotensi simtomatik, sindroma lupus, gagal
ginjal berat (pengurangan dosis mungkin dibutuhkan).
50
Glikosida jantung menyebabkan peningkatan kontraktilitas jantung dengan
meningkatkan kontraksi sarkomer jantung melalui peningkatan kadar
kalsium bebas dalam protein kontraktil, yang merupakan hasil dari
peningkatan kadar natrium intrasel akibat penghambatan NaKATPase dan
pengurangan relatif dalam ekspulsi kalsium melalui penggantian Na + Ca2+
akibat peningkatan natrium intrasel.16
Digoksin memberikan keuntungan pada terapi gagal jantung dalam hal :
Memberikan efek inotropik positif yang menghasilkan perbaikan dan
fungsi ventrikel kiri.
Menstimulasi baroreseptor jantung
Meningkatkan penghantaran natrium ke tubulus distal sehingga
menghasilkan penekanan sekresi renin dari ginjal.
Menyebabkan aktivasi parasimpatik sehingga menghasilkan
peningkatan vagal tone.
Pasien atrial fibrilasi dengan irama ventrikular saat istirahat>
80x/menit, dan saat aktivitas > 110-120x/ menit harus mendapatkan
digoksin.
Pasien dengan irama sinus dan disfungsi sistolik ventrikel kiri (LVEF
< 40%) yang mendapatkan dosis optimal diuretik, ACEI atau/ dan
ARB, beta bloker dan antagonis aldosteron jika diindikasikan, yang
tetap simtomatis, digoksin dapat dipertimbangkan.
8. Antikoagulan
Warfarin (atau antikoagulan oral alternatif lainnya)
direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan atrial fibrilasi
permanen, persisten, atau paroksismal tanpa adanya kontraindikasi
terhadap antikoagulasi. Dosis antikoagulan harus disesuaikan dengan
risiko komplikasi tromboembolik termasuk stroke.
51
Antikoagulasi juga direkomendasikan pada pasien dengan trombus
intrakardiak yang terdeteksi pada echocardiography atau bukti adanya
tromboembolisme sistemik.
Temuan yang perlu diingat :
Pada pasien atrial fibrilasi yang dilibatkan pada serangkaian uji klinis
acak, termasuk pada pasien dengan gagal jantung, warfarin ditemukan
dapat mengurangi risiko stroke dengan 60-70%.
Warfarin juga lebih efektif dalam mengurangi risiko stroke dibanding
terapi antiplatelet, dan lebih dipilih pada pasien dengan risiko stroke
yang lebih tinggi, seperti yang ditemukan pada pasien dengan gagal
jantung.
Tidak terdapat peranan antikoagulan pada pasien gagal lainnya, kecuali
pada mereka yang memiliki katup prostetik.
Pada analisis dua uji klinis skala kecil yang membandingkan efektifitas
warfarin dan aspirin pada pasien dangan gagal jantung, ditemukan bahwa
risiko perawatan kembali secara bermakna lebih besar pada pasien yang
mendapat terapi aspirin, dibandingkan warfarin.
52
90% hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut sebagai
hipertensi primer (hipertensi esensial atau idiopatik). Hanya sebagian kecil
hipertensi yang dapat ditetapkan penyebabnya (hipertensi sekunder).9
Hipertensi sering berhubungan dengan resiko penyakit kardiovaskular
yang lain, dan resiko itu akan semakin meningkat seiring dengan
bertambahnya faktor resiko yang lain. Jika oleh suatu sebab, jantung tidak
dapat mencukupi jumlah darah yang dibutuhkan, bebarapa mekanisme
kompensasi akan bekerja sehingga jantung dapat mencukupi kebutuhan
jaringan. Bila jantung harus melakukan kerja yang lebih berat maka
mekanisme kompensasi ini tidak cukup lagi. Maka akan timbul gagal
jantung atau disebut dekompensasi cordis.11
53
relaksasi ventrikel kiri, kemudian disusul oleh dilatasi ventrikel kiri
(hipertrofi eksentrik). Rangsangan simpatis dan aktivasi sistem RAA
memacu mekanisme Frank-Starling melalui peningkatan volume diastolik
ventrikel sampai tahap tertentu dan pada akhirnya akan terjadi gangguan
kontraksi miokard (penurunan/gangguan fungsi diastolik) (PAPDI, 2006).
54
- Ketidakaktifan fisik
- Hiperhomosisteinemia (> 16 µmol/L
Faktor Resiko Negatif
- HDL-C tinggi
55
Gambar 2.9. Formasi plak fibrous yang terdiri atas tutup dan inti
56
3.4.4 Klasifikasi
Angina Pektoris Stabil
Definisi
Sindroma klinis berupa rasa tidak nyaman di dada, rahang, bahu,
punggung, atau lengan yang dipicu oleh aktifitas atau stress emosional yang
berangsur menurun intensitas dan kuantitasnya dengan atau tanpa pengobatan.20
57
gelombang Q atau infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST elevation
myocardial infarction/STEMI). APTS dan NSTEMI mempunyai patogenesis dan
presentasi klinik yang sama, hanya berbeda dalam derajatnya. Bila ditemui
petanda biokimia nekrosis miokard (peningkatan troponin I, troponin T, atau CK-
MB) maka diagnosis adalah NSTEMI; sedangkan bila petanda biokimia ini tidak
meninggi, maka diagnosis adalah APTS.20
Klasifikasi
Ketiga jenis kejadian koroner itu sesungguhnya merupakan suatu proses
berjenjang: dari fenomena yang ringan sampai yang terberat. Dan jenjang itu
terutama dipengaruhi oleh kolateralisasi, tingkat oklusinya, akut tidaknya dan
lamanya iskemia miokard berlangsung.20
58
menunjukkan bukti adanya nekrosis miokard berupa peningkatan biomarker
jantung .20
59
segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina pectoris tak stabil atau
Non STEMI. Pada sebagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa
menunjukkan gelombang Q disebut infark non Q. sbelumnya istilah infark
miokard transmural digunakan jika EKG menunjukkan gelombang Q atau
hilangnya gelombang R dan infark miokard non transmural jika EKG hanya
menunjukkan perubahan sementara segmen ST dan gelombang T, namun ternyata
tidak selalu ada korelasi gambaran patologisi EKG dengan lokasi infark (mural/
transmural) sehingga terminology IMA gelombang Q dan non Q menggantikan
IMA mural/ nontransmural.20
Laboratorium
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinine kinase (CK)MB dan cardiac
specific troponin (cTn)T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus
digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan
otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuto peningkatan CKMB, pada
pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan segera
mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. 20
Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan ada
nekrosis jantung (infark miokard).
o CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10- 24 jam dan kembali normal dalam 2- 4 hari. Operasi jantung,
miokarditis dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
o cTn (cardiac spesific troponin): ada 2 jenis cTn T dan cTn I. enzim ini
meningkat setelah 2jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam
10- 24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5- 14 hari, sedangkan cTnI
setelah 5- 10 hari.
60
o Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam
4- 8 jam.
o Creatinine kinasi (CK): meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10- 36 jam dan kembali normal dalam 3- 4 hari.
o Latic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24- 48 jam bila ada infark
miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8- 14 hari.20
Ekokardiogram
Dilakukan untuk menentukan dimensi serambi, gerakan katup atau dinding
ventrikuler dan konfigurasi atau fungsi katup. Dapat pula digunakan untuk
melihat luasnya iskemia bila dilakukan waktu dada sedang berlangsung.20
3.9 Tatalaksana
Yang dimaksud dengan terapi awal adalah terapi yang diberikan pada
pasien dengan diagnosis kerja kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan
angina di ruang gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau
61
marka jantung. Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat,
Aspirin (disingkat MONA), yang tidak harus diberikan semua atau bersamaan.
62
Terapi Medika Mentosa
1. Obat anti-iskemia9
a) Nitrat : dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol perifer,
dengan efek mengurangi preload dan afterload sehingga dapat mengurangi
wall stress dan kebutuhan oksigen (Oxygen demand). Nitrat juga menambah
oksigen suplay dengan vasodilatsai pembuluh koroner dan memperbaiki
aliran darah kolateral. Dalam keadaan akut nitrogliserin atau isosorbid
dinitrat diberikan secara sublingual atau infus intravena.
Dosis pemberian intravena: 1-4 mg/jam. Bila keluhan sudah terkendali
maka dapat diganti dengan per oral.
63
c) Antagonis kalsium : dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan
menurunkan tekanan darah. Ada 2 golongan besar pada antagonis kalsium
(Depkes, 2006):
- Golongan dihidropiridin : efeknya sebagai vasodilatasi lebih kuat dan
penghambatan nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit dan efek
inotropik negatif juga kecil (Contoh: nifedipin).
- Golongan nondihidropiridin : golongan ini dapat memperbaiki survival dan
mengurangi infark pada pasien dengan sindrom koroner akut dan fraksi
ejeksi normal. Denyut jantung yang berkurang, pengurangan afterload
memberikan keutungan pada golongan nondihidropiridin pada sindrom
koroner akut dengan faal jantung normal (Contoh : verapamil dan
diltiazem).
64
2. Obat anti-platelet
Obat antiplatelet merupakan salah satu dasar dalam pengobatan angina tidak
stabil maupun infark tanpa elevasi ST segmen. Tiga gologan obat anti platelet
yang terbukti bermanfaat seperti aspirin, tienopiridin dan inhibitor GP Iib/IIIa.
a) Aspirin : banyak studi telah membuktikan bahwa aspirin dapat mengurangi
kematian jantung dan mengurangi infark fatal maupun non fatal dari 51%
sampai 72% pada pasien dengan angina tidak stabil. Oleh karena itu aspirin
dianjurkan untuk diberikan seumur hidup dengan dosis awal 160mg/ hari
dan dosis selanjutnya 80 sampai 325 mg/hari.9
b) Tiklopidin : obat ini merupakan suatu derivat tienopiridin yang merupakan
obat kedua dalam pengobatan angina tidak stabil bila pasien tidak tahan
aspirin. Dalam pemberian tiklopidin harus diperhatikan efek samping
granulositopenia.
c) Klopidogrel : obat ini juga merupakan derivat tienopiridin yang dapat
menghambat agregasi platelet. Efek samping lebih kecil dari tiklopidin .
Klopidogrel terbukti juga dapat mengurangi strok, infark dan kematian
kardiovaskular. Dosis klopidogrel dimulai 300 mg/hari dan selanjutnya75
mg/hari.
d) Inhibitor glikoprotein IIb/IIIa
Ikatan fibrinogen dengan reseptor GP IIb/IIIa pada platelet ialah ikatan
terakhir pada proses agregasi platelet. Karena inhibitor GP IIb/IIIa
menduduki reseptor tadi maka ikatan platelet dengan fibrinogen dapat
dihalangi dan agregasi platelet tidak terjadi. Pada saat ini ada 3 macam obat
golongan ini yang telah disetujui :
- Absiksimab suatu antibodi mooklonal
- Eptifibatid suatu siklik heptapeptid
- Tirofiban suatu nonpeptid mimetik
65
3. Obat anti-trombin 9
a) Unfractionated Heparin
Heparin ialah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari pelbagi rantai
polisakarida yang berbeda panjangnya dengan aktivitas antikoagulan yang
berbeda-beda. Antitrombin III, bila terikat dengan heparin akan bekerja
menghambat trombin dan dan faktor Xa. Heparin juga mengikat protein
plasma, sel darah, sel endotel yang mempengaruhi bioavaibilitas. Pada
penggunaan obat ini juga diperlukan pemeriksaan trombosit untuk
mendeteksi adanya kemungkinan heparin induced thrombocytopenia (HIT).
b) Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
LMWH dibuat dengan melakukan depolimerisasi rantai plisakarida heparin.
Dibandingkan dengan unfractionated heparin, LMWH mempuyai ikatan
terhadap protein plasma kurang, bioavaibilitas lebih besar. LMWH yang ada
di Indonesia ialah dalteparin, nadroparin, enoksaparin dan fondaparinux.
Keuntungan pemberian LMWH karena cara pemberian mudah yaitu dapat
disuntikkan secara subkutan dan tidak membutuhkan pemeriksaan
laboratorium.
66
oleh plasma protein maupun platelet factor 4. Hirudin dapat menurunkan
angka kematian dan infark miokard, tetapi komplikasi perdarahan
bertambah.
Bivalirudin telah disetujui untuk menggantikan heparin pada pasien angina
tak stabil yang menjalani PCI. Hirudin maupun bivalirudin dapat
menggantikan heparin bila ada efek samping trombositopenia akibat heparin
(HIT)
Pencegahan
a. Perubahan life style (termasuk berhenti merokok dan lain-lain),
penurunan BB, penyesuaian diet, olahraga teratur dan lain-lain.
b. Mengobati faktor predisposisi dan faktor pencetus : stress, emosi,
hipertensi, penyakit DM, hiperlipidemia, obesitas, anemia.
c. Menghindari bekerja pada keadaan dingin atau stres lain yang diketahui
mencetuskan serangan angina klasik pada seseorang.
d. Memberikan penjelasan perlunya melatih aktivitas sehari-hari sehingga
untuk meningkatkan kemampuan jantung agar dapat mengurangi
serangan jantung.3
67
BAB IV
ANALISIS KASUS
68
EKG. Terdapat bengkak di kaki sejak kurang lebih 1 bulan yang lalu gagal
jantung kanan yang meyebabkan aliran darah balik ke vena cava inferior
yang bermanifestasi sebagai edema ekstremitas. Hal ini dapat menjadi
landasan pikir bahwa kemungkinan sesak nafas yang berhubungan dengan
jantung ini disebabkan oleh hipertensi yang sudah dideritanya sejak 15
tahun lalu tersebut. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan adanya
peningkatan tekanan vena jugularis, ronki basah kasar pada kedua paru,
adanya pelebaran batas jantung kiri, murmur sistolik pada katup mitral,
trikuspid dan pulmonal serta adanya ascites. Berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik diatas, dapat disimpulkan bahwa pada pasien ini dapat
ditegakkan diagnosis gagal jantung kongestif, karena kriteria framingham
sudah terpenuhi.
Mual (-), muntah (-), Batuk (+) dengan darah segar tanpa dahak
berwarna hijau kekuningan, frekuensi batuk kurang lebih 4-5 kali dalam
satu hari. Demam (-), berkeringat pada malam hari (-), penurunan nafsu
makan (-), penurunan berat badan (-), hal ini menyingkirkan diagnosis
banding batuk berdarah yang disebabkan oleh tuberculosis paru. BAB dan
BAK biasa. Riwayat hipertensi (+) sejak 15 tahun yang lalu dan tidak
terkontrol. Riwayat DM (-), riwayat asma (-).Riwayat merokok (+) sejak
kurang lebih 30 tahun yang lalu, kebiasaan mengkonsumsi makanan tinggi
kolesterol (+), makanan tinggi garam (+). Riwayat keluarga yang memiliki
hipertensi (+) dialami Ibu pasien, riwayat asma dalam keluarga (-), riwayat
diabetes melitus (-).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 160/90 mmHg,
nadi 106 kali/menit, RR 28x/menit, suhu 36,9oC, BB 83 kg, TB 175 cm,
dan IMT 27,1 (obese 1).
Pemeriksaan fisik khusus leher: JVP 5+2 cmH2O. Pada
pemeriksaan paru-paru didapatkan auskultasi: Ronchi (+/+). Pemeriksaan
jantung palpasi: Iktus kordis teraba, perkusi: Kanan atas ICS II linea
parasternalis dextra kiri atas ICS II linea parasternalis sinistra, kanan
69
bawah ICS IV Linea Midsternalis Dextra, Auskultasi: Murmur sistolik (+).
Pemeriksaan abdomen: Inspeksi: Cembung, palpasi: Tegang, nyeri
tekan(-), hepar/lien sulit dinilai, perkusi: Redup (+), asites (+), shifting
dullness (+), undulasi (+). Pada ekstremitas: Edema tungkai (+/+), CRT
>2”
Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan enzim jantung yang
meningkat, EKG terdapat ST-Elevasi, dan juga terdapat kesan
kardiomegali dan edema paru pada rontgen thorax pasien.
70
BAB V
KESIMPULAN
5.1. Kesimpulan
Gagal jantung didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak lagi
dapat memompakan cukup darah ke jaringan tubuh. Keadaan ini dapat timbul
dengan atau tanpa penyakit jantung. Gangguan fungsi jantung dapat berupa
gangguan fungsi diastolik atau sistolik, gangguan irama jantung, atau
ketidaksesuaian preload dan afterload. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian
pada pasien. Diagnosis gagal jantung dapat ditegakan berdasarkan kriteria klinis
menggunakan kriteria klasik Framingham, yang terdiri dari kriteria mayor dan
kriteria minor. Kriteria mayor dalam Framingham adalah paroksismal nokturnal
dispnea, distensi vena leher, ronchi paru, kardiomegali, edema paru akut, gallop
S3, peningkatan vena jugularis, refluks hepatojugular. Sedangkan kriteria minor
adalah edema ekstremitas, batuk malam hari, dispnea d’effort, hepatomegali, efusi
pleura, penurunan kapasitas vital paru 1/3 dari normal, dan takikardi. Diagnosis
gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor.
Penyakit jantung hipertensi adalah penyakit jantung yang disebabkan oleh
tidak terkontrolnya tekanan darah tinggi dalam waktu yang lama, yang ditandai
adanya hipertrofi ventrikel kiri (HVK) sebagai akibat langsung dari tingginya
tekanan darah tersebut. Hipertrofi ventrikel kiri pada penyakit jantung hipertensi
juga dipengaruhi oleh faktor neurohormonal.
Penyakit jantung koroner (PJK) atau penyakit jantung iskemik adalah
penyakit jantung yang timbul akibat penyempitan pada arteri koronaria.
Penyempitan tersebut dapat disebabkan antara lain aterosklerosis, berbagai jenis
71
arteritis, emboli koronaria, dan spasme. Oleh karena aterosklerosis merupakan
penyebab terbanyak (99%)
DAFTAR PUSTAKA
72
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas
%20 2013.pdf.
7. Europen Society of Cardiology. 2012. ESC Guidelines For The
Management Of Acute Coronary Syndromes In Patient Presenting Without
Persistent ST-Segment Elevation Majid A. Penyakit Jantung Koroner :
Patofisiologi, Pencegahan, dan Pengobatan Terkini. 2008.
8. Nerrida S. Karakteristik penderita Penyakit Jantung Koroner Rawat Inap
di RSUP H. Adam Malik. 2009.
9. Departemen Kesehatan. 2006. Pharmaceutical Care Untuk Pasien
Penyakit Jantung Koroner: Fokus Sindrom Koroner Akut. Jakarta:
Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik
10. Snell, Richard. S. 2012. Anatomi Klinis untuk Mahasiswa Edisi 6. EGC.
Jakarta. hal. 101-111
11. Sherwood, Laura Iee. 2012. Fisiologi Manusia. Jakarta : EGC.
12. Guyton, AC, dan Hall, J.E . 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi
11. EGC. Jakarta
13. Ghanie, A. 2014. Gagal Jantung Kronik. Dalam Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi Kelima Jilid I. Jakarta: Interna Publishing h.1148
14. Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Mitchell R. Robbins basic pathology, 8th
edition.; 2007:578-82.
15. Manurung, D. 2014. Gagal Jantung Akut. Dalam Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi Kelima Jilid I. Jakarta: Interna Publishing h.1136-1137
16. Redfield MM, Jacobsen SJ, Burnett JC, Mahoney DW, Bailey KR,
Rodeheffer RJ, et al. Burden of systolic and diastolic ventricular
dysfunction in the community: appreciating the scope of the heart failure
epidemic. JAMA. 2003;289(2):194-202.
17. PERKI. (2015). Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung, edisi pert.,
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, Jakarta.
73
18. Watson RD, Gibbs CR, Lip GY. ABC of heart failure. Clinical features
and complications. BMJ. 2000;320(7229):236-39.
19. Coughlin, DeBeasi. (2006). Gangguan Sistem Kardiovaskuler.
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit (6th ed.). Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC
20. Sudoyo AW, et al.2014.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna
Publishing
21. PERKI. (2015). Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut edisi pert.,
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, Jakarta.
22. Prince & Wilson, 2014. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Edisi 6. Vol.2 Jakarta: EGC
74