Anda di halaman 1dari 75

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Data dari WHO pada tahun 2014 menyebutkan bahwa angka mortalitas
pada kelompok penyakit tidak menular di dunia akan semakin meningkat dari
tahun ke tahun. Pada tahun 2012, terdapat 38 juta kematian yang diakibatkan
karena berbagai penyakit pada kelompok penyakit tidak menular dari total 56 juta
kematian. Angka mortalitas tersebut tetap meningkat dan diperkirakan akan
mencapai 52 juta kematian pada tahun 2030.1
Jenis penyakit yang menyumbang angka mortalitas terbanyak pada
kelompok penyakit tidak menular adalah penyakit kardiovaskular. Penyakit
kardiovaskular adalah penyakit yang disebabkan karena baik organ jantung
maupun pembuluh darah mengalami gangguan dan tidak dapat berfungsi secara
normal sehingga menyebabkan munculnya penyakit seperti penyakit jantung
koroner, penyakit jantung rematik, penyakit jantung kongenital, stroke, dan
hipertensi.2
Gagal jantung (Heart Failure) adalah sindroma klinis yang didasari oleh
ketidakmampuan jantung memompa keseluruh jaringan secara adekuat
dikarenakan abnormalitas dari struktur dan fungsional jantung yang ditandai
dengan sesak nafas terutama ketika berbaring dan mudah lelah ketika beraktivitas
atau istirahat.3 Pada kondisi ini, jantung tidak dapat memompa cukup darah untuk
metabolisme jaringan.4
Menurut WHO, setidaknya sekitar 26 juta orang di Dunia mengalami
gagal jantung dengan prevalensi yang terus meningkat setiap tahunnya. Kematian
akibat penyakit kardiovaskuler khususnya gagal jantung adalah 27%. Sekitar 3 -
20 per 1000 orang mengalami gagal jantung, angka kejadian gagal jantung
meningkat seiring pertambahan usia (100 per 1000 orang pada usia di atas 60
tahun). Dari hasil penelitian Framingham pada tahun 2000 menunjukkan angka
kematian dalam 5 tahun terakhir sebesar 62% pada pria dan 42% wanita,
berdasarkan data dari di Amerika terdapat 3 juta penderita gagal jantung dan
setiap tahunnya bertambah dengan 400.000 orang.5
Sekitar 530.068 penduduk Indonesia mengalami gejala gagal jantung dan
telah terdiagnosis oleh dokter. Sedangkan prevalensi untuk Sumatera Selatan
sendiri sebesar 10.959.6
Penyakit jantung koroner adalah suatu penyakit jantung yang terutama
disebabkan karena penyempitan arteri koronaria akibat proses aterosklerosis atau
spasme atau kombinasi keduanya. Manifestasi klinik PJK yang klasik adalah
angina pektoris. Angina pektoris ialah suatu sindroma klinis di mana didapatkan
sakit dada yang timbul pada waktu melakukan aktivitas karena adanya iskemik
miokard. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi > 70% penyempitan arteri
koronaria. Angina pektoris dapat muncul sebagai angina pektoris stabil (APS) dan
keadaan ini bisa berkembang menjadi lebih berat dan menimbulkan sindroma
koroner akut (SKA).7
Menurut ESC (European Society Of Cardiology), prevalensi angina pada
kelompok studi populasi meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Untuk
kelompok wanita, prevalensinya 0.1-1 % pada usia 45-54 tahun hingga 10-15%
pada usia 65-74 tahun. Sedangkan pada kelompok laki-laki, prevalensinya 2-5 %
pada usia 45-54 tahun hingga 10-20% pada usia 65-74 tahun. Untuk itu, dapat
diperkirakan bahwa 20.000-40.000 per 1 juta populasi penduduk di Eropa
mengalami angina.7
Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), penyakit kardiovaskular
menyebabkan 17,5 juta kematian di seluruh dunia, tercatat bahwa lebih dari 7 juta
orang meninggal akibat PJK di seluruh dunia pada tahun 2002, angka ini
diperkirakan meningkat hingga 11 juta orang pada tahun 2020. Di Indonesia,
berdasarkan data survei dari Badan Kesehatan Nasional tahun 2001 menunjukkan
tiga dari 1000 penduduk Indonesia menderita PJK, pada tahun 2007 terdapat
sekitar 400 ribu penderita PJK dan pada saat ini penyakit jantung koroner menjadi
pembunuh nomor satu di dalam negeri dengan tingkat kematian mencapai 26%.8

1
Data dari Departemen Kesehatan Indonesia (Depkes RI) pada tahun 2006
menyebutkan bahwa jenis penyakit yang menyumbang angka mortalitas terbanyak
pada kelompok penyakit kardiovaskular adalah penyakit jantung koroner.
Penyakit jantung koroner tersebut menyumbang angka mortalitas sebesar 26,4%
dari total kematian di Indonesia.9 Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
pada tahun 2013 juga menyebutkan bahwa prevalensi penyakit jantung koroner di
Indonesia berdasarkan diagnosis dokter adalah sebesar 0,5%, sedangkan
prevalensi penyakit jantung koroner berdasarkan terdiagnosis dokter atau gejala
sebesar 1,5%.6 Data dari Riskesdas juga menyebutkan bahwa prevalensi penyakit
jantung koroner di Sumatera Selatan pada tahun 2013 berdasarkan diagnosis
dokter adalah sebesar 0,4% , sedangkan prevalensi penyakit jantung koroner di
Sumatera selatan berdasarkan diagnosis dokter atau gejala adalah sebesar 0,7%.6
Gagal jantung dan penyakit jantung koroner menyebabkan permasalahan
yang signifikan bagi masyarakat global dan bukan tidak mungkin dalam kurun
beberapa tahun kedepan angka statistik ini akan bergerak naik. Selain itu juga
gagal jantung dan penyakit jantung koroner adalah penyakit jantung yang paling
sering terjadi terutama di Indonesia, maka perlu adanya penanganan dari segala
aspek baik secara biomedik maupun biopsikososial.

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identifikasi

2
Identitas Pasien
Nama : Tn. A
TTL / Usia : 15 Januari 1960 / 59 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Dusun III desa SP dalam Pemulutan Ogan Ilir
Sumatera Selatan
Pekerjaan : Wirausaha
Pendidikan : Sekolah Menengah Atas
Terakhir
Agama : Islam
MRS : 31 Maret 2019
No. RM : 40.63.09
Ruangan : Non-Infeksi laki-laki bed A

2.2 Anamnesis (Autoanamnesis)


A. Keluhan Utama
Sesak napas

B. Riwayat Perjalanan Penyakit


Os mengeluh sesak nafas sejak kurang lebih 1 minggu yang lalu
pasien mengeluh sesak napas yang semakin memberat dan tidak berkurang
pada saat istirahat, sesak juga tidak dipengaruhi cuaca ataupun debu. Os
mengatakan keluhan sesak sudah pernah dirasakan sebelumnya sejak
kurang lebih 1 tahun yang lalu akan tetapi keluhan hilang timbul, keluhan
sesak hanya datang pada saat Os beraktivitas. Os juga mengeluh batuk
berdarah sejak 3 hari yang lalu, darah yang keluar kurang lebih satu
sendok makan setiap kali batuk, frekuensi batuk 2-3 kali sehari dan tidak
disertai dengan dahak berwarna hijau kekuningan. Keluhan tambahan
lainnya adalah nyeri dada yang hilang timbul, nyeri dada menjalar hingga

3
ke bahu terasa seperti tertindih benda berat dan terdapat bengkak di kaki
sejak kurang lebih 1 bulan yang lalu.
Mual (-), muntah (-), Batuk (+) dengan darah segar tanpa dahak
berwarna hijau kekuningan, frekuensi batuk kurang lebih 4-5 kali dalam
satu hari. Demam (-), berkeringat pada malam hari (-), penurunan nafsu
makan (-), penurunan berat badan (-), BAB dan BAK biasa. Riwayat
hipertensi (+) sejak 15 tahun yang lalu dan tidak terkontrol. Riwayat DM
(-), riwayat asma (-).Riwayat merokok (+) sejak kurang lebih 30 tahun
yang lalu, kebiasaan mengkonsumsi makanan tinggi kolesterol (+),
makanan tinggi garam (+).

C. Riwayat Penyakit Dahulu


 Hipertensi (+)
 Kencing Manis (-)
 Jantung (-)
 Asthma (-)
 Stroke (-)
 Liver (-)
 Ginjal (-)
 TBC Paru (-)

D. Riwayat Penyakit Keluarga


 Hipertensi (+)
 Kencing Manis (-)
 Jantung (-)
 Asthma (-)

4
E. Riwayat Kebiasaan
 Riwayat merokok : ada, 30 tahun, 2-3 bungkus/ hari
 Riwayat minum alkohol : disangkal.
 Riwayat olahraga : disangkal.
 Riwayat makan : 3-4 kali sehari, os mengaku suka mengkonsumsi
makanan tinggi kolesterol dan makanan asin.

F. Riwayat Sosial Ekonomi Keluarga


Riwayat sosial ekonomi termasuk dalam menengah kebawah.

2.3 Pemeriksaan Fisik (31 Maret 2019)


A. Pemeriksaan Fisik Umum
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tekanan Darah : 160/90 mmHg
Nadi : 106 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernapasan : 28 x/menit, reguler, thorakal, kussmaul (-), dispneu
(+)
SuhuAxila : 36,9oC
BB : 83 kg
TB : 175 cm
IMT : 27,1 (Obese I)

B. Pemeriksaan Fisik Khusus


Kepala : Normocephali, deformitas (-)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), hiperemis (-/-),
sklera ikterik (-/-), mata cekung (-/-) ,edema
palpebra (-/-), sekret (-/-), pupil isokor, refleks
cahaya (+/+)
Telinga : Liang telinga luas, sekret (-/-)

5
Hidung : Deviasi septum (-), sekret (-)
Mulut : Sianosis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), JVP 5+2 cmH2O
Thoraks : Simetris, retraksi (-/-)
 Paru
- Inspeksi : Simetris, retraksi (-/-)
- Palpasi : Stem fremitus kanan dan kiri simetris
- Perkusi : Sonor pada semua lapang paru
- Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronchi basah kasar(+/+),
wheezing (-/-)
 Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat.

- Palpasi : Ictus cordis teraba, thrill (-).

- Perkusi : Kanan atas ICS II Linea Parasternalis Dextra


: Kiri atas ICS II Linea Parasternalis Sinistra
Kanan bawah ICS IV Linea Midsternalis
Dextra
Kiri bawah ICS VI Linea Midaxillaris
- Auskultasi :
BJ I/II (+) normal, murmur sistolik (+), gallop
(-)
Abdomen
- Inspeksi : Cembung
- Palpasi : Tegang, nyeri tekan (-), hepar/lien sulit dinilai
- Perkusi : Redup (+), asites (+), shifting dullness (+),
Undulasi(+)
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
Genitalia eksterna : Dalam batas normal
Ekstremitas : Akral hangat (+), edema (+), CRT >2”

2.4 Pemeriksaan Penunjang

6
a. Laboratorium darah (diperiksa tanggal 31/03/2019)

Hasil Pemeriksaan Nilai Normal Interpretasi

Hemoglobin 14.3 g/dl L : 14-16 g/dl Normal


P : 12-14 g/dl

Eritrosit 6.620.000 L : 4.500.000-5.500.000 Meningkat

Leukosit 9.000 /ul 5.000-10.000/ul Normal

Trombosit 247.000/ul 150.000-450.000/ul Normal

Hematokrit 46% L : 40-48% Normal


P : 37-43%

Diff. count 0/1/2/65/23/9 0-1/1-3/2-6/50-70/20-40/2- Normal


8

BSS 123 mg/dl < 180 mg/dl Normal

Cholesterol total 211 <200 Meningkat


(hiperkeloesterolemia)

Ureum 32 20-40 mg/dl Normal

Creatinin 0,93 0,9-1,3 mg/dl Normal

CPK 151 <190U/L Meningkat

CKMB 63 <25 ng/mL Meningkat

Tabel 2.1. Hasil Laboratorium

7
b. EKG
(diperiksa tanggal 31/03/2019)

Gambar 2.1. Gambaran EKG Tn. A lead I, II, III

Gambar 2.2. Gambaran EKG Tn. A lead aVR, aVL, aVF

Gambar 2.3. Gambaran EKG Tn. A lead V1, V2, V3,V4,V5,V6

8
c. Rontgen thorax

Gambaran 2.4. Rontgen Thorax Tn. A

Kesan: Kardiomegali + Edema paru

2.5 Resume
Os mengeluh sesak nafas sejak kurang lebih 1 tahun lalu dan memberat
sejak 1 minggu lalu. Sesak terus menerus pada saat aktivitas maupun
beristirahat, sesak tidak dipengaruhi cuaca maupun debu. Os juga mengeluh
batuk berdarah sejak 3 hari yang lalu, darah yang keluar kurang lebih satu
sendok makan setiap kali batuk, frekuensi batuk 2-3 kali sehari dan tidak
disertai dengan dahak berwarna hijau kekuningan. Keluhan tambahan lainnya
adalah nyeri dada yang hilang timbul, nyeri dada menjalar hingga ke bahu

9
terasa seperti tertindih benda berat dan terdapat bengkak di kaki sejak kurang
lebih 1 bulan yang lalu.
Mual (-), muntah (-), Batuk (+) dengan darah segar tanpa dahak berwarna
hijau kekuningan, frekuensi batuk kurang lebih 4-5 kali dalam satu hari.
Demam (-), berkeringat pada malam hari (-), penurunan nafsu makan (-),
penurunan berat badan (-), BAB dan BAK biasa. Riwayat darah tinggi(+)
sejak 15 tahun yang lalu dan tidak terkontrol. Riwayat DM (-), asma (-).
Riwayat merokok (+) sejak kurang lebih 30 tahun yang lalu, kebiasaan
mengkonsumsi makanan tinggi kolesterol (+), makanan tinggi garam (+).
Pemeriksaan fisik yang didapatkan:
Keadaan umum: Tampak sakit sedang
Tanda vital
- TD: 160/90 mmHg
- HR: 106x/menit
- RR: 28x/menit
- T: 36,9oC
BB: 83 kg
TB: 175 cm
IMT: 27,1 (obese I)
Leher: JVP 5+2 cmH2O
Paru-paru:
Auskultasi: Ronchi (+/+)
Jantung:
Palpasi: Iktus kordis teraba
Perkusi: Kanan atas ICS II Linea Parasternalis Dextra
Kiri atas ICS II Linea Parasternalis Sinistra
Kanan bawah ICS IV Linea Midsternalis Dextra
Auskultasi: Murmur sistolik (+)
Abdomen:
Inspeksi: Cembung

10
Palpasi: Tegang, nyeri tekan (-), hepar/lien sulit dinilai
Perkusi: Redup (+), asites (+), shifting dullness (+), undulasi (+)
Ekstremitas:
Edema (+), CRT >2”
Hasil pemeriksaan laboratorium, EKG dan rontgen thorax terlampir.

2.6 Diagnosis Kerja


CHF ec HHD + STEMI anterolateral

Diagnosis banding
CHF ec HHD + STEMI anterolateral
CHF ec CAD (STEMI anterolateral)

2.7 Tatalaksana
Non Farmakologis
1) Edukasi (disarankan untuk membatasi aktivitas)
2) Terapi gizi (diet rendah garam dan kolesterol)
3) Mengurangi aktivitas fisik

Farmakologis
Berikut ini adalah tatalaksana yang diberikan:
 IVFD RL gtt 20x/m (makro)
 Inj. Omeprazole 1x1 vial
 Amlodipine 1x5mg
 Aspilet 1x80mg
 CPG 1x75mg
 ISDN 3x5mg
 Ambroxol Syr 3x1 C
 Artosvastatine 1x20mg

11
2.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam: dubia ad malam

2.9 Follow Up
Hari/Tanggal Senin, 31 Maret 2019
S - Sesak Napas
- Batuk berdarah
- Nyeri dada

O:
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 160/90 mmHg
Nadi 106x/menit,isi-tegangan cukup
Pernapasan 28 x/ menit
Temperatur 36,90C
Keadaan spesifik
Kepala Conjungtiva palpebra anemis (-/-)
Sclera ikterik (-)
Leher JVP (5+2) cmH2O
Pembesaran KGB (-)

Thorax: I : Simetris (+/+), retraksi (-/-)


Paru P : stem fremitus kanan dan kiri normal

12
P : Sonor pada semua lapang paru

A : vesikuler(+/+) wheezing (-/-), ronkhi


basah kasar (+/+)

Jantung
I : ictus cordis tidak terlihat
P : ictus cordis teraba
P : Kanan atas ICS II Linea Parasternalis
Dextra, Kiri atas ICS II Linea
Parasternalis Sinistra, Kanan bawah ICS
IV Linea Midsternalis Dextra, Kiri bawah
ICS VI Linea Midaxillaris
A : BJ I/II (+) normal, murmur
sistolik(+), gallop (-)
Abdomen

I : cembung (+), tegang (+), spider nevi


(-)
A : BU (+) normal
P : tegang (+), hepar/lien sulit dinilai
P : Redup (+), asites (+), shifting dullness
(+), Undulasi(+)

Genitalia

Tidak dilakukan pemeriksaan


Ekstremitas

Edema (+/+)
A CHF ec HHD + STEMI anterolateral
P Non Farmakologi:
1) Edukasi (disarankan untuk membatasi

13
aktivitas)
2) Terapi gizi (diet rendah garam dan
kolesterol)
3) Mengurangi aktivitas fisik

Farmakologi
Berikut ini adalah tatalaksana yang
diberikan:
- IVFD RL gtt 20x/m (makro)
- Inj. Omeprazole 1x1 vial
- Amlodipine 1x5mg
- Aspilet 1x80mg
- CPG 1x75mg
- ISDN 3x5mg
- Ambroxol Syr 3x1 C
- Artosvastatine 1x20mg

Hari/Tanggal Selasa / 1 April 2019


S - Sesak Napas

14
O
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Komposmentis
Tekanan darah 160/90mmHg
Nadi 100x/menit
Pernapasan 26x/menit
Temperatur 36,5oC

Keadaan spesifik
Kepala Conjungtiva palpebra anemis (-/-)
Sclera ikterik (-)

Leher JVP (5+2) cmH2O


Pembesaran KGB (-)
Thorax:
Paru I : Simetris (+/+), retraksi (-/-)
P : stem fremitus kanan dan kiri normal
P : Sonor pada semua lapang paru

A : vesikuler(+/+), wheezing (-/-), ronkhi


basah kasar (+/+)

Jantung I : ictus cordis tidak terlihat


P : ictus cordis teraba
P : Kanan atas ICS II Linea Parasternalis
Dextra, Kiri atas ICS II Linea
Parasternalis Sinistra, Kanan bawah ICS

15
IV Linea Midsternalis Dextra, Kiri bawah
ICS VI Linea Midaxillaris
A : BJ I/II (+) normal, murmur
sistolik(+), gallop (-)

Abdomen I : cembung (+), tegang (+), caput medusa


(-)
A : BU (+) normal
P : Tegang, nyeri tekan (-), hepar/lien sulit
dinilai
P : Redup (+), asites (+), shifting dullness
(+), Undulasi(+)

Genitalia Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas Edema (+/+)


A CHF ec HHD + STEMI anterolateral
P Non Farmakologi:
1) Edukasi (disarankan untuk membatasi
aktivitas)
2) Terapi gizi (diet rendah garam dan
kolesterol)
3) Mengurangi aktivitas fisik

Farmakologi
Berikut ini adalah tatalaksana yang

16
diberikan:
- IVFD RL gtt 20x/m (makro)
- Inj. Omeprazole 1x1 vial
- Amlodipine 1x5mg
- Aspilet 1x80mg
- CPG 1x75mg
- ISDN 3x5mg
- Ambroxol Syr 3x1 C
- Artosvastatine 1x20mg

Hari/Tanggal 2 April 2019


S Sesak napas, tidak bisa tidur
O
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 150/80 mmHg
Nadi 86x/menit, isi-tegangan cukup
Pernapasan 23 x/ menit
Temperatur 36,40C
Keadaan spesifik
Kepala Conjungtiva palpebra anemis (-/-)
Sclera ikterik (-)
Leher JVP (5+2) cmH2O
Pembesaran KGB (-)
Thorax:
Paru I : Simetris (+/+), retraksi (-/-)
P : stem fremitus kanan dan kiri normal

17
P : Sonor pada semua lapang paru

A : vesikuler(+/+) wheezing (-/-), ronkhi


basah kasar (+/+)

Jantung
I : ictus cordis tidak terlihat
P : ictus cordis teraba
P : Kanan atas ICS II Linea Parasternalis
Dextra, Kiri atas ICS II Linea
Parasternalis Sinistra, Kanan bawah ICS
IV Linea Midsternalis Dextra, Kiri bawah
ICS VI Linea Midaxillaris
A : BJ I/II (+) normal, murmur
sistolik(+), gallop (-)

Abdomen
I : cembung (+), tegang (+), caput medusa
(-)
A : BU (+) normal
P : Tegang, nyeri tekan (-), hepar/lien sulit
dinilai
P : Redup (+), asites (+), shifting dullness
(+), Undulasi(+)

Genitalia
Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas
Edema (+/+)
A CHF ec HHD + STEMI anterolateral
P Non Farmakologi:

18
1) Edukasi (disarankan untuk membatasi
aktivitas)
2) Terapi gizi (diet rendah garam dan
kolesterol)
3) Mengurangi aktivitas fisik

Farmakologi
Berikut ini adalah tatalaksana yang
diberikan:
- IVFD RL gtt 20x/m (makro)
- Inj. Omeprazole 1x1 vial
- Amlodipine 1x5mg
- Aspilet 1x80mg
- CPG 1x75mg
- ISDN 3x5mg
- Ambroxol Syr 3x1 C
- Artosvastatine 1x20mg
- Tiaryt 2x100mg
- Furosemid 1x40mg
- Spironolanctone 1x12,5mg
Hari/Tanggal 3 April 2019
S Sesak napas masih ada dan tidak
berkurang
O
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 140/80 mmHg
Nadi 86x/menit, isi-tegangan cukup
Pernapasan 24 x/ menit

19
Temperatur 37oC
Keadaan spesifik
Kepala Conjungtiva palpebra anemis (-/-)
Sclera ikterik (-)
Leher JVP (5+2) cmH2O
Pembesaran KGB (-)
Thorax:
Paru I : Simetris (+/+), retraksi (-/-)
P : stem fremitus kanan dan kiri normal
P : Sonor pada semua lapang paru
A : vesikuler(+/+) wheezing (-/-), ronkhi
basah kasar (+/+)

Jantung I : ictus cordis tidak terlihat

P : ictus cordis teraba

P : Kanan atas ICS II Linea Parasternalis


Dextra, Kiri atas ICS II Linea
Parasternalis Sinistra, Kanan bawah ICS
IV Linea Midsternalis Dextra, Kiri bawah
ICS VI Linea Midaxillaris

A : BJ I/II (+) normal, murmur


sistolik(+), gallop (-)

Abdomen
I : cembung (+), tegang (+), spider nevi

20
(-)
A : BU (+) normal
P : Tegang, nyeri tekan (-), hepar/lien sulit
dinilai
P : Redup (+), asites (+), shifting dullness
(+), Undulasi(+)

Genitalia Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas Edema (+/+)


A CHF ec HHD + STEMI anterolateral
P Non Farmakologi:
1) Edukasi (disarankan untuk membatasi
aktivitas)
2) Terapi gizi (diet rendah garam dan
kolesterol)
3) Mengurangi aktivitas fisik

Farmakologi
Berikut ini adalah tatalaksana yang
diberikan:
- IVFD RL gtt 20x/m (makro)
- Inj. Omeprazole 1x1 vial
- Amlodipine 1x5mg
- Aspilet 1x80mg
- CPG 1x75mg
- ISDN 3x5mg
- Ambroxol Syr 3x1 C

21
- Artosvastatine 1x20mg
- Spironolanctone 1x12,5mg
- Furosemide 1x40mg
- Tiaryt 2x100mg
Hari/Tanggal 4 April 2019
S Keluhan sesak napas tidak berkurang,
belum BAB sejak MRS
O
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 130/90 mmHg
Nadi 82x/menit, isi-tegangan cukup
Pernapasan 23 x/ menit
Temperatur 36oC
Keadaan spesifik
Kepala Conjungtiva palpebra anemis (-/-)
Sclera ikterik (-)
Leher JVP (5+2) cmH2O
Pembesaran KGB (-)
Thorax:
Paru I : Simetris (+/+), retraksi (-/-)
P : stem fremitus kanan dan kiri normal
P : Sonor pada semua lapang paru
A : vesikuler(+/+) wheezing (-/-), ronkhi
basah kasar (+/+)

22
Jantung I : ictus cordis tidak terlihat

P : ictus cordis teraba

P : Kanan atas ICS II Linea Parasternalis


Dextra, Kiri atas ICS II Linea
Parasternalis Sinistra, Kanan bawah ICS
IV Linea Midsternalis Dextra, Kiri bawah
ICS VI Linea Midaxillaris

A : BJ I/II (+) normal, murmur


sistolik(+), gallop (-)

Abdomen
I : cembung (+), tegang (+), caput medusa
(-)
A : BU (+) normal
P : Tegang, nyeri tekan (-), hepar/lien sulit
dinilai
P : Redup (+), asites (+), shifting dullness
(+), Undulasi(+)

Genitalia Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas Edema (+/+)

A CHF ec HHD + STEMI anterolateral


P Non Farmakologi:
1) Edukasi (disarankan untuk membatasi
aktivitas)
2) Terapi gizi (diet rendah garam dan
kolesterol)
3) Mengurangi aktivitas fisik

23
Farmakologi
Berikut ini adalah tatalaksana yang
diberikan:
- IVFD RL gtt 20x/m (makro)
- Inj. Omeprazole 1x1 vial
- Amlodipine 1x5mg
- Aspilet 1x80mg
- CPG 1x75mg
- ISDN 3x5mg
- Ambroxol Syr 3x1 C
- Artosvastatine 1x20mg
- NRF 2x1 caps
- Spironolanctone 1x12,5mg
- Furosemide 1x40mg
- Laxadine syr 3x1C
- Retaphyl SR 2x1/2
Hari/Tanggal 5 April 2019
S Sesak napas, tidak bisa tidur
O
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 140/90 mmHg
Nadi 80x/menit, isi-tegangan cukup
Pernapasan 24 x/ menit
Temperatur 36,7oC
Keadaan spesifik
Kepala Conjungtiva palpebra anemis (-/-)

24
Sclera ikterik (-)
Leher JVP (5+2) cmH2O
Pembesaran KGB (-)
Thorax:
Paru I : Simetris (+/+), retraksi (-/-)
P : stem fremitus kanan dan kiri normal
P : Sonor pada semua lapang paru
A : vesikuler(+/+) wheezing (-/-), ronkhi
basah kasar (+/+)

Jantung I : ictus cordis tidak terlihat

P : ictus cordis teraba

P : Kanan atas ICS II Linea Parasternalis


Dextra, Kiri atas ICS II Linea
Parasternalis Sinistra, Kanan bawah ICS
IV Linea Midsternalis Dextra, Kiri bawah
ICS VI Linea Midaxillaris

A : BJ I/II (+) normal, murmur


sistolik(+), gallop (-)

Abdomen I : cembung (+), tegang (+), caput medusa


(-)

A : BU (+) normal
P : Tegang, nyeri tekan (-), hepar/lien sulit
dinilai

25
P : Redup (+), asites (+), shifting dullness
(+), Undulasi(+)

Genitalia
Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas
Edema (+/+)
A CHF ec HHD + STEMI anterolateral
P Non Farmakologi:
1) Edukasi (disarankan untuk membatasi
aktivitas)
2) Terapi gizi (diet rendah garam dan
kolesterol)
3) Mengurangi aktivitas fisik

Farmakologi
Berikut ini adalah tatalaksana yang
diberikan:
- IVFD RL gtt 20x/m (makro)
- Inj. Omeprazole 1x1 vial
- Amlodipine 1x5mg
- Aspilet 1x80mg
- CPG 1x75mg
- ISDN 3x5mg
- Ambroxol Syr 3x1 C
- Artosvastatine 1x20mg
- NRF 2x1 caps
- Spironolanctone 1x12,5mg
- Furosemide 2x40mg

26
- Tiaryt 2x100mg
- Laxadine syr 3x1C
- Retaphyl SR 2x1/2
Hari/Tanggal 6 April 2019
S Sesak napas berkurang
O
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 130/90 mmHg
Nadi 82x/menit, isi-tegangan cukup
Pernapasan 22 x/ menit
Temperatur 36oC
Keadaan spesifik
Kepala Conjungtiva palpebra anemis (-/-)
Sclera ikterik (-)
Leher JVP (5+2) cmH2O
Pembesaran KGB (-)
Thorax:
Paru I : Simetris (+/+), retraksi (-/-)
P : stem fremitus kanan dan kiri normal
P : Sonor pada semua lapang paru
A : vesikuler(+/+) wheezing (-/-), ronkhi
basah kasar (+/+)

Jantung I : ictus cordis tidak terlihat


P : ictus cordis teraba

27
P : Kanan atas ICS II Linea Parasternalis
Dextra, Kiri atas ICS II Linea
Parasternalis Sinistra, Kanan bawah ICS
IV Linea Midsternalis Dextra, Kiri bawah
ICS VI Linea Midaxillaris

A : BJ I/II (+) normal, murmur


sistolik(+), gallop (-)

Abdomen I : cembung (+), tegang (+), caput medusa


(-)
A : BU (+) normal
P : Tegang, nyeri tekan (-), hepar/lien sulit
dinilai
P : Redup (+), asites (+), shifting dullness
(+), Undulasi(+)

Genitalia Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas Edema (+/+)


A CHF ec HHD + STEMI anterolateral
P Non Farmakologi:
1) Edukasi (disarankan untuk membatasi
aktivitas)
2) Terapi gizi (diet rendah garam dan
kolesterol)
3) Mengurangi aktivitas fisik

28
Farmakologi
Berikut ini adalah tatalaksana yang
diberikan:
- IVFD RL gtt 20x/m (makro)
- Inj. Omeprazole 1x1 vial
- Amlodipine 1x5mg
- Aspilet 1x80mg
- CPG 1x75mg
- ISDN 3x5mg
- Ambroxol Syr 3x1 C
- Artosvastatine 1x20mg
- NRF 2x1 caps
- Spironolanctone 1x12,5mg
- Furosemide 2x40mg
- Retaphyl SR 2x1/2

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

29
3.1 Anatomi dan Fisiologi Jantung

Gambar 2.1. Posisi jantung pada rongga thorax

Gambar 2.2. Anatomi Jantung

Jantung merupakan organ muskular berbentuk piramid,terletak


diatas diafragma. Jantung berada dalam rongga toraks diarea

30
mediastinum (ruang antar paru),letak jantung condong ke sisi kiri
daripada kanan tubuh. Apeks jantung terletak pada ruang interkosta
ke-5 dan basal berada setinggi iga-2. Ukuran jantung kira-kira
sebesar tinju individu pemiliknya. Ukuran jantung pada orang
dewasa adalah panjang kira-kira 12 cm,lebar dibagian yang paling
lebar 6 cm,dan berat kira-kira 300 gram.10

Setiap ruang memiliki katup,katup jantung adalah pintu yang


membatasi antar ruang jantung,katup jantung berjumlah 4 buah
yaitu:

1. Katup trikuspid : pintu antara atrium dan ventrikel kanan


2. Katup mitra : pintu antara atrium dan ventrikel kiri
3. Katup pulmonal : pintu antara vemtrikel kanan dan arteri
pulmonal
4. Katup aorta : pintu antara ventrikel kiri dan aorta (sistemik)
Ruang – ruang jantung

Jantung dibagi oleh septa vertikal menjadi empat ruang : atrium


dextra, atrium sinistra, ventrikel dextra dan ventrikel sinistra.
Atrium dextra terletak anterior terhadap atrium sinistrum dan
ventrikel dexter anterior terhadap ventrikel sinistra. Dinding
jantung tersusun atas otot jantung, miokardium, yang di luar
terbungkus oleh perikardium serosum, yang disebut epikardium,
dan di bagian dalam diliputi oleh selapis endotel, disebut
endokardium.10

Vaskularisasi jantung

Jantung mendapat vaskularisasi dari arterie coronaria dextra dan


sinistra, yang berasal dari aorta ascendens tepat diatas valva aortae.
Arteri coronaria dan percabangan utama terdapat dipermukaan
jantung, terrletak di dalam jaring ikat subepicardial.10

31
Arteria coronaria dextra berasal dari sinus anterior aorta dan
berjalan ke depan di antara trunkus pulmonalis dan auricula dextra.
Arteri ini berjalan turun hampir ventrikel di dalam sulcus atrio-
ventrikulare dextra. Cabang –cabangnya:10

1. Ramus coni arteriosis, mendarahi facies anterior konus


pulmonalis (infundibulum ventrikulare dexter) dan bagian atas
dinding anterior ventrikel dextra.

2. Ramus ventriculare anteriores, mendarahi fasies anterior


ventrikel dextra Ramus marginalis dexter adalah cabang yang
terbesar dan berjalan sepanjang pinggir bawah fasies kostalis untuk
mencapai apex cordis.

3. Ramus ventrikulare posterior mendarahi facies diaphragmatica


ventrikulus dexter.

4. Ramus Interventrikulare posterior(desendens), berjalan menuju


apeks pada sulkus interventrikulare posterior. Memberikan cabang
– cabang ke ventrikel dextra dan sinistra termasuk dinding
inferiornya. Memberikan percabangan untuk bagian posterior
septum ventrikulare tetapi tidak untuk bagian apeks yang
menerima pendarahan dari ramus inventrikulus anterior arteria
coronaria sinistra. Sebuah cabang yang besar mendarahi nodus
atrioventrikularis.

5. Ramus atrialis, beberapa cabang mendarahi permukaan anterior


dan lateral atrium dextra. Atria nodus sinuatrialis mendarahi nodus
dan atrium dextra dan sinistra.

32
Gambar 2.3. Vaskularisasi Jantung

Arteria coronaria sinistra, lebih besar dibandingkan dengan arteria


coronaria dextra, mendarahi sebagian besar jantung, termasuk
sebagian besar atrium sinistra, ventrikel sinistra dan septum
ventrikular. Arteri ini berasal dari posterior kiri sinus aorta
ascendens dan berjalan ke depan di antara trunkus pulmonalis dan
aurikula sinistra. Kemudian pembuluh ini berjalan di sulcus
atrioventrikularis dan bercabang dua menjadi ramus
interventrikular anterior dan ramus circumflexus.10

1. Ramus interventrikularis (descendens) anterior, berjalan ke


bawah di dalam sulcus interventrikularis anterior menuju apex
kordis. Pada kebanyakan orang pembuluh ini kemudian berjalan di
sekitar apeks cordis untuk masuk ke sulkus interventrikular
posterior darn beranastosis dengan cabang – cabang terminal
arteria coronaria dextra.10

33
2. Ramus circumflexus, pembuluh ini melingkari pinggir kiri
jantung di dalam sulkus atrioventrikular. Ramus marginalis
merupakan cabang yang terbesar mendarahi batas kiri ventrikel
sinistra dan turun sampai apeks kordis.10

Fisiologi

Gambar 2.4. Fisiologi jantung

Jantung sebagai pompa

Organ jantung berfungsi sebagai pompa yang menglirkan darah


keseluruh tubuh .sesungguhnya jantung merupakan dua buah
pompa yang menempel menjadi satu ,yang dimana jantung kiri
yang memopa darah yang akan CO2 yang berasal dari vena cava
superior yang membawa darah balik dari ekstremitas atas dan
kepala kemudian vena cava inferior yang membawa darah balik

34
dari tubuh serta ekstremitas bawah. Yang mana semua darah ini
akan masuk kedalam atrium kanan kemudian dipompa ke ventrikel
kanan melalui katup trikuspid selanjutnya ventrikel kanan melalui
katup a.pulmonal memompa darah tersebut ke dalam trunkus
pulmonalis yang bercabang dua menjari arteri pulmonalis kanan
yang masuk ke paru-paru kanan dan pulmonalis kiri yang masuk ke
paru-paru kiri. diparu-paru CO2 yang banyak dikeluarkan dan
diganti dengan O2. Darah yang kaya O2 ini kemudian
dikembalikan ke jantung melalui vena pulmonalis masuk ke atrium
kanan kemudian dipompakan kedalam ventrikel kanan melalui
katup mitral . selanjutnya melalui katup aorta ventrikel kiri
memompakan darah tersebut ke aorta secara sistemik.11

3.2 Gagal Jantung


3.2.1 Definisi Gagal Jantung
Gagal jantung didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak
lagi dapat memompakan cukup darah ke jaringan tubuh. Keadaan ini dapat
timbul dengan atau tanpa penyakit jantung. Gangguan fungsi jantung dapat
berupa gangguan fungsi diastolik atau sistolik, gangguan irama jantung,
atau ketidaksesuaian preload dan afterload. Keadaan ini dapat
menyebabkan kematian pada pasien.4

3.2.2 Etiologi Gagal Jantung


Penyebab dari gagal jantung antara lain disfungsi miokard,
endokard, perikardium, pembuluh darah besar, aritmia, kelainan katup
dan gangguan irama. Di Eropa dan Amerika disfungsi miokard paling
sering terjadi akibat penyakit jantung koroner biasanya akibat infark
miokard yang merupakan penyebab paling sering pada usia kurang dari 75
tahun, disusul dengan hipertensi dan diabetes. Sedangkan di Indonesia
belum ada data yang pasti, sementara data Rumah Sakit di Palembang
menunjukkan hipertensi sebagai penyebab terbanyak, kemudian disusul

35
penyakit jantung koroner dan katup sebagai penyebab terbanyak
selanjutnya. 13

3.2.3 Patofisiologi Gagal Jantung

Penurunan kontraksi venterikel akan diikuti penurunan curah


jantung yang selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah (TD), dan
penurunan volume darah arteri yang efektif. Hal ini akan merangsang
mekanisme kompensasi neurohurmoral. Vasokonteriksi dan retensi air
untuk sementara waktu akan meningkatkan tekanan darah, sedangkan
peningkatan preload akan meningkatkan kontraksi jantung melalui hukum
Starling. Apabila keadaan ini tidak segera diatasi, peninggian afterload,
dan hipertensi disertai dilatasi jantung akan lebih menambah beban
jantung sehingga terjadi gagal jantung yang tidak terkompensasi. Dengan
demikian terapi gagal jantung adalah dengan vasodilator untuk
menurunkan afterload venodilator dan diuretik untuk menurunkan preload,
sedangkan motorik untuk meningkatkan kontraktilitas miokard.

Distensi Vena Jugularis

Bila ventrikel kanan tidak mampu berkompensasi, maka akan


terjadi dilatasi ventrikel dan peningkatan volume curah jantung pada akhir
diastolik dan terjadi peningkatan laju tekanan darah pada atrium kanan.
Peningkatan ini sebaliknya memantau aliran darah dari vena kava yang
diketahui dengan peningkatan vena jugularis, dengan kata lain apabila
terjadi dekompensasi venterikel kanan maka kondisi pasien dapat ditandai
adanya edema tungkai kaki dan distensi vena jugularis pada leher.

Edema
Edema merupakan terkumpulnya cairan di dalam jaringan
interstisial lebih dari jumlah yang biasa atau di dalam berbagai rongga
tubuh mengakibatkan gangguan sirkulasi pertukaran cairan elektrolit
antara plasma dan jaringan interstisial. Jika edema mengumpul di dalam

36
rongga maka dinamakan efusi, misalnya efusi pleura dan pericardium.
Penimbunan cairan di dalam rongga peritoneal dinamakan asites. Pada
jantung terjadinya edema yang disebabkan terjadinya dekompensasi
jantung (pada kasus payah jantung), bendungan bersifat menyeluruh. Hal
ini disebabkan oleh kegagalan venterikel jantung untuk memopakan darah
dengan baik sehingga darah terkumpul di daerah vena atau kapiler, dan
jaringan akan melepaskan cairan ke intestisial . Edema pada tungkai kaki
terjadi karena kegagalan jantung kanan dalam mengosongkan darah
dengan adekuat sehingga tidak dapat mengakomodasi semua darah yang
secara normal kembali dari sirkulasi vena. Edema ini di mulai pada kaki
dan tumit (edema dependen) dan secara bertahap bertambah keatas.11,6
Pada gagal jantung terjadi suatu kelainan multisistem dimana
terjadi gangguan pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi
sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada
disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan
terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi
mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem Renin – Angiotensin –
Aldosteron (system RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide
yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas
jantung dapat terjaga.
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor
menjaga cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung,
meningkatkan kontraktilitas serta vasokons-triksi perifer (peningkatan
katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat menyeababkan
gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat
menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard
fokal.
Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin,
angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan
vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik

37
yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis,
menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron.
Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan
sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta
berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir
sama yang memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan
saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai
respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi.
Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung,
khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic
peptide terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat,
efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial dan brain
natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume
dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada
tonus vaskuler, sekresi aldosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal.
Karena peningkatan natriuretic peptide pada gagal jantung, maka banyak
penelitian yang menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan
prognosis, bahkan telah digunakan sebagai terapi pada penderita gagal
jantung. Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat
kadarnya pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga
didpatkan pada pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia
Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan
merupakan peptide vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek
vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab atas
retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin meningkat
sesuai dengan derajat gagal jantung.
Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard,
dengan kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance
ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat

38
diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit jantung koroner, hipertensi
dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain
penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit jantung amiloid. Walaupun
masih kontroversial, dikatakan 30 – 40 % penderita gagal jantung
memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada penderita gagal
jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolic yang timbul
bersamaan meski dapat timbul sendiri.10,11

3.2.4 Diagnosis Gagal Jantung


Diagnosis gagal jantung dapat ditegakan berdasarkan kriteria klinis
menggunakan kriteria klasik Framingham, yang terdiri dari kriteria mayor
dan kriteria minor. Kriteria mayor dalam Framingham adalah paroksismal
nokturnal dispnea, distensi vena leher, ronchi paru, kardiomegali, edema
paru akut, gallop S3, peningkatan vena jugularis, refluks hepatojugular.
Sedangkan kriteria minor adalah edema ekstremitas, batuk malam hari,
dispnea d’effort, hepatomegali, efusi pleura, penurunan kapasitas vital
paru 1/3 dari normal, dan takikardi. Diagnosis gagal jantung ditegakkan
minimal ada 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor.13
Untuk menilai derajat gangguan kapasitas fungsional dari gagal
jantung, pertama kali diperkenalkan oleh New York Heart Association
(NYHA) pada tahun 1994, yang membagi gagal jantung menjadi 4
klasifikasi, mulai dari kelas 1 sampai dengan 4 tergantung dari tingkat
aktivitas dan timbulnya keluhan. Klasifiasi menurut NYHA lebih banyak
atau pada umumnya berdasarkan keluhan subjektif. 15 Pada gagal jantung
kronik, derajat penyakit secara klinis fungsional dapat dikategorikan
berdasarkan kriteria New York Heart Assosiation (NYHA) Functional
Classification.

39
Tabel 2.1. Klasifikasi Derajat Gagal Jantung berdasarkan NYHA
NYHA I Tidak terdapat batasan dalam melakukan aktivitas fisik. Aktivitas
fisik sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak

NYHA II Keterbatasan dalam aktivitas ringan, tidak terdapat keluhan saat


istirahat namun aktivitas fisik sehari-hari biasa menimbulkan
kelelahan, palpitasi atau sesak

NYHA III Keterbatasan aktivitas fisik sehari-hari akibat gejala gagal jantung
pada tingkatan yang lebih ringan, misalnya berjalan 20-100 m. Pasien
hanya merasa nyaman saat istirahat

NYHA IV Keterbatasan aktivitas yang berat, misalnya gejala muncul saat


istirahat

Diagnosis gagal jantung dapat dilakukan dengan dengan


pemeriksaan fisik dan penunjang. Gejala yang didapatkan pada pasien
dengan gagal jantung antara lain sesak nafas, Edema paru, peningkatan
JVP , hepatomegali, edema tungkai. Pada pemeriksaan foto toraks
seringkali menunjukkan kardiomegali (rasio kardiotorasik (CTR) > 50%),
terutama bila gagal jantung sudah kronik. Kardiomegali dapat disebabkan
oleh dilatasi ventrikel kiri atau kanan, LVH, atau kadang oleh efusi
perikard. Derajat kardiomegali tidak berhubungan dengan fungsi ventrikel
kiri.
Elektrokardiografi (EKG) berguna untuk mengidentifikasi
penyebab lain pada pasien-pasien dengan kecurigaan gagal jantung.15 Pada
pasien gagal jantung kronik pada gambaran EKG biasanya ditemukan
gambaran hipertrofi ventrikel kiri (LVH), gelombang Q patologis,
kelainan gelombang ST-T yang diklasifikasikan sebagai minor
(gelombang T flat atau gelombang T depresi yang dalam), kelainan
konduksi interventikular (Left Bundle Branch Block) atau (right bundle
branch block).17 Atrial fibrilasi dapat diidentifikasi dan mungkin menjamin
investigasi lebih lanjut menggunakan ekokardiografi.15

40
3.2.5 Tatalaksana Gagal Jantung
Tujuan umum penanganan gagal jantung adalah meniadakan tanda
klinik seperti batuk dan dispnea, memperbaiki kinerja jantung sebagai
pompa, menurunkan beban kerja jantung, dan mengontrol kelebihan garam
dan air. Obat yang digunakan untuk penanganan gagal jantung bervariasi
tergantung pada etiologi, keparahan gagal jantung, spesies penderita, dan
faktor lainnya.

1. Angiotensin Converting Enzim Inhibitor (ACEI)


Pasien dengan tidak ada kontra indikasi maupun pasien yang
masih toleran terhadap ACE Inhibitor (ACEI), ACEI harus digunakan
pada semua pasien dengan gagal jantung yang simtomatik dan LVEF <
40%. Terapi dengan ACEI memperbaiki fungsi ventrikel dan
kesejahteraan pasien, menurunkan angka masuk rumah sakit untuk
perburukan gagal jantung dan meningkatkan angka keselamatan. Pada
pasien yang menjalani perawatan terapi dengan ACEI harus dimulai
sebelum pasien pulang rawat.16
Pasien yang harus mendapatkan ACEI :
- LVEF < 40%, walaupun tidak ada gejala.
- Pasien gagal jantung disertai dengan regurgitasi
Kontraindikasi yang patut diingat antara lain :
 Riwayat adanya angioedema
 Stenosis bilateral arteri renalis
 Konsentrasi serum kalsium > 5.0 mmol/L
 Serum kreatinin > 220 mmol/L (>2.5 mg/dl)
 Stenosis aorta berat
Cara pemberian ACEI :
 Periksa fungsi renal dan elektrolit serum.
 Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam

41
 Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau
hiperkalemia
 Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi
meningkatkan secara cepat sangat mungkin pada pasien yang
dimonitoring ketat.

Gambar 2.6. Obat–obat Gagal Jantung dengan Dosis Awal dan Target
Dosis yang diinginkan

Kemungkinan yang dihadapi saat memberikan ACEI :


 Perburukan fungsi renal – peningkatan urea dan kreatinin saat
diberikan ACEI adalah sesuatu yang diharapkan, dan tidak
dianggap penting secara klinis kecuali jika peningkatanya cepat
dan bermakna. Periksa obat-obatan nefrotoxic yang mungkin
diberikan bersamaan seperti obat anti inflamasi non steroid
(OAINS). Jika diperlukan turunkan dosis ACEI atau jangan
teruskan. Jika terdapat peningkatan kreatinin lebih dari 50% dari
baseline atau hingga konsentrasi absolut 265 mmol/L (~3 mg/dL).
Jika konsentrasi kreatinine meningkat hingga 310 mmol/L (~3.5

42
mg/dL) atau diatasnya stop ACEI secepatnya dan monitor kimia
darah secara erat.
 Hiperkalemia – periksa penggunaan agen lain yang dapat
menyebabkan hiperkalemia, misalnya suplementasi kalsium,
diuretik hemat kalsium, dan hentikan penggunaannya. Jika kadar
kalsium meningkat diatas 5.5 mmol/L, turunkan dosis ACEI
setengahnya dan monitor kima darah secara erat. Jika kalisum naik
diatas 6 mmol/L stop penggunaan ACEI secepatnya dan monitor
kimia darah secara erat.
 Hipotensi simtomatik (misal : pusing) adalah hal yang umum
terjadi – hal ini seringkali membaik seiring waktu, dan pasien perlu
diyakinkan. Jika mengganggu pertimbangkan untuk mengurangi
dosis diuretik dan agen hipotensif lainnya (kecuali ARB/ β-
bloker/antagonis aldosteron). Hipotensi asimtomatik tidak
memerlukan intervensi.

2. Angiotensin Reseptor Blocker (ARB)


Pada pasien dengan atau tanpa kontraindikasi dan tidak toleran
dengan ACE, ARB direkomendasikan pada pasien dengan gagal
jantung dan LVEF < 40% yang tetap simtomatik walau sudah
mendapatkan terapi optimal dengan ACEI dan BB, kecuali telah
mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki
fungsi ventrikel dan kejahteraan pasien dan mengurangi hospitalisasi
untuk perburukan gagal jantung.16
Pemberian ARB mengurangi risiko kematian karena penyebab
kardiovaskular. ARB direkomendasikan sebagai alternatif pada pasein
yang intoleran terhadap ACEI. Pada pasien-pasien ini pemberian ARB
mengurangi risiko kematian akibat kardiovaskular atau perlunya
perawatan akibat perburukan gagal jantung. Pada pasien yang dirawat,
terapi dengan ARB harus dimulai sebelum pasien dipulangkan.

43
Pengobatan dengan ARB meningkatkan fungsi ventrikel dan kesehatan
pasien dan menurunkan angka masuk rumah sakit akibat perburukan
gagal jantung. Angiotensin Reseptor Blocker direkomendasikan sebagai
pilihan lain pada pasien yang tidak toleran terhadap ACEI.16

Pasien yang harus mendapatkan ARB :


 Left ventrikular ejection fraction (LVEF)< 40%
 Sebagai pilihan lain pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas
fungsional II-IV NYHA) yang tidak toleran terhadap ACEI.
 Pasien dengan gejala menetap (kelas fungsionaal II-IV NYHA) walaupun
sudah mendapatkan pengobatan dengan ACEI dan bete bloker.
Memulai pemberian ARB:
 Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum
 Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam.
 Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau
hiperkalemia
Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi
meningkatkan secara cepat sangat mungkin pada pasien yang
monitoring ketat.16

3. β-bloker / Penghambat Sekat-β


Alasan penggunaan beta bloker (BB) pada pasien gagal jantung
adalah adanya gejala takikardi dan tingginya kadar katekolamin yang
dapat memperburuk kondisi gagal jantung. Pasien dengan
kontraindikasi atau tidak ditoleransi, BB harus diberikan pada pasien
gagal jantung yang simtomatik, dan dengan LVEF < 40%. BB
meningkatkan fungsi ventrikel dan kesejahtraan pasien, mengurangi
kejadian rawat akibat perburukan gagal jantung, dan meningkatkan
keselamatan. Jika memungkinkan pada pasien yang menjalani

44
perawatan, terapi BB harus dimulai secara hati-hati sebelum pasien
dipulangkan.

Manfaat beta bloker dalam gagal jantung melalui:


 Mengurangi detak jantung : memperlambat fase pengisian diastolik
sehingga memperbaiki perfusi miokard.
 Meningkatkan LVEF
 Menurunkan tekanan baji kapiler pulmonal

Pasien yang harus mendapat BB:


 LVEF < 40%
 Gejala gagal jantung sedang-berat (NYHA kelas fungsional II-IV),
pasien dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri setelah kejadian infark
miokard.
 Dosis optimal untuk ACEI dan/atau ARB (dan aldosterone antagonis
jika diindikasikan).
 Pasien harus secara klinis stabil (tidak terdapat perubahan dosis
diuresis). Inisiasi terapi sebelum pulang rawat memungkinkan untuk
diberikan pada pasien yang baru saja masuk rawat karena GJA, selama
pasien telah membaik dengan terapi lainnya, tidak tergantung pada
obat inotropik intravenous, dan dapat diobservasi di rumah sakit
setidaknya 24 jam setelah dimulainya terapi BB.15

Kontraindikasi :
 Asthma (COPD bukan kontranindikasi).
 AV blok derajat II atau III, sick sinus syndrome (tanpa keberadaan
pacemaker), sinus bradikardi (<50 bpm).

Bagaimana menggunakan BB pada gagal jantung :

45
 Dosis awalan : bisoprolol 1 x 1.25 mg, carvedilol2 x 3.125-6.25 mg,
metoprolol CR/XL 1 x 12.5-25 mg, atau nebivolol 1 x 1.25 mg. Dengan supervisi
jika diberikan dalam setting rawat jalan.
 Pada pasien yang baru mengalami dekompensasi, BB dapat dimulai
sebelum pasien dipulangkan dengan hati-hati.
Titrasi dosis :
 Kunjungan tiap 2-4 minggu dapat digunakan untuk meningkatkan
dosis BB (peningkatan dosis yang lebih lambat mungkin dibutuhkan
pada beberapa pasien degan gagal jantung yang berat). Jangan
tingkatkan dosis bila terdapat perburukan gagal jantung, hipotensi
sistemik, atau bradikardia yang berlebih (<50x/menit).

 Pasien dengan tanpa permasalahan diatas, dosis BB dapat ditingkatkan


2x lipat tiap kunjungan hingga dicapai target dosis. (Bisoprolol 10 mg
o.d., carvedilol 25-50 mg b.i.d., metaprolol CR/XL 200 mg o.d., atau
vebivolol 10 mg o.d.-atau dosis yang bisa ditoleransi maksimal.

Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian


penyekat beta:17
 Hipotensi simtomatik
 Perburukan gagal jantung
 Bradikardia

4. Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung yang
disertai tanda dan gejala kongesti. 16
Diuretik memperbaiki kesejahteraan hidup pasien dengan
mengurangi tanda dan gejala kongesi vena sistemik dan pulmoner pada
pasien dengan gagal jantung. Diuretik mengakibatkan aktivasi sistem
renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) dan biasanya digunakan bersamaan

46
dengan ACEI atau ARB. Dosis diuretik harus disesuaikan dengan
kebutuhan tiap pasien dan membutuhkan monitoring klinis yang cermat.
Secara umum loop diuretik dibutuhkan pada gagal jantung sedang-berat.
Thiazid dapat pula digunakan dengan loop diuretik untuk edema yang
resisten, namun harus diperhatikan secara cermat kemungkinan dehidrasi,
hipovolemia, hiponatremia, atau hipokalemia. Selama terapi diuretik,
sangat penting level kalium, natrium, dan kreatinine dipanantau secara
berkala.16
Hal yang harus dicermati pada pemberian diuretik :
 Diuretik dan ACEI/ARB/atau antagonis aldosteron dapat meningkatan
risiko hipotensi dan disfungsi ginjal, terutama jika digunakan
bersamaan.
 Pasien dengan menggunakan ACEI/ARB/antagonis aldosteron
digunakan bersamaan dengan diuretik, penggantian kalium biasanya
tidak dibutuhkan.
 Hiperkalemia yang berat dapat terjadi jika diuretik hemat kalsium
termasuk antagonis aldosteon digunakan bersamaan dengan
ACEI/ARB. Penggunaan diuretik antagonis non-aldosteron harus
dihindari. Kombinasi dari antagonis aldosteron dan ACEI/ARB hanya
boleh diberikan pada supervisi yang cermat.
Penggunaan diuretik pada gagal jantung :
 Periksa selalu fungsi ginjal dan serum elektrolit.
 Kebayakan pasien diresepkan loop diuretik dibandingkan thiazid
karena efektivitasnya yang lebih tinggi dalam memicu diuresis dan
natriuresis.
 Selalu mulai dengan dosis rendah dan tingkatkan hingga terrdapat
perbaikan klinis dari segi tanda dan gejala gagal jantung.
 Dosis harus disesuaikan, terutama setelah berat badan kering normal
telah tercapai, hindari risiko disfungsi ginjal dan dehidrasi. Upayakan

47
untuk mencapai hal ini dengan menggunakan dosis diuretik serendah
mungkin.
 Penyesuaian dosis sendiri oleh pasien berdasarkan pengukuran berat
badan harian dan tanda-tanda klinis lainnya dari retensi cairan harus
selalu disokong pada pasien gagal jantung rawat jalan. Untuk
mencapai hal ini diperlukan edukasi pasien.

5. Antagonis Aldosteron
Antagonis aldosteron menurunkan angka masuk rumah sakit untuk
perburukan gagal jantung dan meningkatkan angka keselamatan jika
ditambahkan pada terapi yang sudah ada, termasuk dengan ACEI.16
Pasien yang seharusnya mendapat antagonis aldosteron :
 LVEF < 35%
 Gejala gagal jantung sedang- berat ( kelas fungsional III-IV NYHA)
 Dosis optimal BB dan ACEI atau ARB

Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron:17


 Konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L
 Serum kreatinin> 2,5 mg/dL
 Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium
 Kombinasi ACEI dan ARB

Memulai pemberian spironolakton :


 Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum
 Pertimbangkan peningkatan dosis setelah 4-8 minggu. Jangan
meningkatkan dosis jika terjadi penurunan fungsi ginjal atau
hiperkalemia.
 Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 dan 4 minggu
setelah menaikan dosis

48
Gambar 2.7 Obat Diuretik Dosis Awal dan Target Dosis yang diinginkan

6. Hydralizin dan Isosorbide dinitrat


Pada pasien simtomatik dengan LVEF < 40%, kombinasi dari
Hidralizine-ISDN dapat digunakan sebagai alternatif jika terdapat
intoleransi baik oleh ACEI dan ARB. Penambahan kombinasi H-ISDN
harus dipertimbangkan pada pasien dengan gejala yang persisten walau
sudah diterapi dengan ACEI, BB, dan ARB atau Aldosteron
Antagonis.Terapi dengan H-ISDN pada pasien-pasien ini dapat
mengurangi risiko kematian.
Pasien yang harus mendapatkan hidralizin dan ISDN berdasarkan banyak
uji klinis adalah :
 Sebagai alternatif ACEI/ARB ketika keduanya tidak dapat ditoleransi.
 Sebagai terapi tambahan terhdap ACEI jika ARB atau antagonis
aldosteron tidak dapat ditoleransi.
 Manfaat pengobatan secara lebih jelas ditemukan pada keturunan
afrika-amerika.

49
Kontraindikasinya antara lain hipotensi simtomatik, sindroma lupus, gagal
ginjal berat (pengurangan dosis mungkin dibutuhkan).

Cara pemberian hidralizin dan ISDN pada gagal jantung :


 Dosis awalan : hidralizin 37.5 mg dan ISDN 20 mg tiga kali sehari.
 Pertimbangkan untuk menaikan titrasi setelah 2-4 minggu, jangan
dinaikan bila terdapat hipotensi simtomatik.
 Jika dapat ditoleransi, upayakan untuk mencapai target dosis yang
digunakan pada banyak uji klinis- yaitu hidralizine 75 mg dan ISDN
40 mg tiga kali sehari, atau jika tidak dapat ditoleransi hingga dosis
maksimal tertoleransi.
Kemungkinanan efek samping yang dapat timbul :
 Hipotensi ortostatik (pusing) – seringkali membaik seiring waktu,
pertimbangkan untuk mengurangi dosis obat yang dapat menyebabkan
hipotensi (kecuali ACEI/ARN/BB/Antagonis aldosteron). Hipotensi
yang asimtomatik tidak membutuhkan intervensi.
 Artralgia, nyeri sendi atau bengkak, perikarditis/pleuritis, ruam atau
demam – pikirkan sindroma mirip lupus akibat obat, cek antinuclear
antibodies (ANA), jangan teruskan H-ISDN.

7. Glikosida Jantung (Digoxin)


Pada pasien gagal jantung simtomatik dan atrial fibrilasi, digoxin
dapat digunakn untung mengurangi kecepatan irama ventrikel. Pada pasien
dengan AF dan LVEF < 40% digoxin dapat pula diberikan bersamaan
dengan BB untuk mengontrol tekanan darah.
Pada pasien sinus ritme dengan gagal jantung simtomatik dan
LVEF < 40%, terapi dengan digoxin bersamaan dengan ACEI
meningkatkan fungsi ventrikel dan kesejahteraan pasien, mengurangi
kemungkinan perawatan ulang untuk perburukan gagal jantung, hal ini
walau demikian tidak memiliki dampak terhadap angka mortalitas.

50
Glikosida jantung menyebabkan peningkatan kontraktilitas jantung dengan
meningkatkan kontraksi sarkomer jantung melalui peningkatan kadar
kalsium bebas dalam protein kontraktil, yang merupakan hasil dari
peningkatan kadar natrium intrasel akibat penghambatan NaKATPase dan
pengurangan relatif dalam ekspulsi kalsium melalui penggantian Na + Ca2+
akibat peningkatan natrium intrasel.16
Digoksin memberikan keuntungan pada terapi gagal jantung dalam hal :
 Memberikan efek inotropik positif yang menghasilkan perbaikan dan
fungsi ventrikel kiri.
 Menstimulasi baroreseptor jantung
 Meningkatkan penghantaran natrium ke tubulus distal sehingga
menghasilkan penekanan sekresi renin dari ginjal.
 Menyebabkan aktivasi parasimpatik sehingga menghasilkan
peningkatan vagal tone.
 Pasien atrial fibrilasi dengan irama ventrikular saat istirahat>
80x/menit, dan saat aktivitas > 110-120x/ menit harus mendapatkan
digoksin.
 Pasien dengan irama sinus dan disfungsi sistolik ventrikel kiri (LVEF
< 40%) yang mendapatkan dosis optimal diuretik, ACEI atau/ dan
ARB, beta bloker dan antagonis aldosteron jika diindikasikan, yang
tetap simtomatis, digoksin dapat dipertimbangkan.

8. Antikoagulan
Warfarin (atau antikoagulan oral alternatif lainnya)
direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan atrial fibrilasi
permanen, persisten, atau paroksismal tanpa adanya kontraindikasi
terhadap antikoagulasi. Dosis antikoagulan harus disesuaikan dengan
risiko komplikasi tromboembolik termasuk stroke.

51
Antikoagulasi juga direkomendasikan pada pasien dengan trombus
intrakardiak yang terdeteksi pada echocardiography atau bukti adanya
tromboembolisme sistemik.
Temuan yang perlu diingat :
 Pada pasien atrial fibrilasi yang dilibatkan pada serangkaian uji klinis
acak, termasuk pada pasien dengan gagal jantung, warfarin ditemukan
dapat mengurangi risiko stroke dengan 60-70%.
 Warfarin juga lebih efektif dalam mengurangi risiko stroke dibanding
terapi antiplatelet, dan lebih dipilih pada pasien dengan risiko stroke
yang lebih tinggi, seperti yang ditemukan pada pasien dengan gagal
jantung.
 Tidak terdapat peranan antikoagulan pada pasien gagal lainnya, kecuali
pada mereka yang memiliki katup prostetik.
Pada analisis dua uji klinis skala kecil yang membandingkan efektifitas
warfarin dan aspirin pada pasien dangan gagal jantung, ditemukan bahwa
risiko perawatan kembali secara bermakna lebih besar pada pasien yang
mendapat terapi aspirin, dibandingkan warfarin.

3.3 Hypertensive Heart Disease (HHD)


3.3.1 Definisi
Penyakit jantung hipertensi adalah penyakit jantung yang disebabkan
oleh tidak terkontrolnya tekanan darah tinggi dalam waktu yang lama,
yang ditandai adanya hipertrofi ventrikel kiri (HVK) sebagai akibat
langsung dari tingginya tekanan darah tersebut. Hipertrofi ventrikel kiri
pada penyakit jantung hipertensi juga dipengaruhi oleh faktor
neurohormonal.8
Hipertensi Heart Disease (HHD) atau Penyakit Jantung Hipertensi
adalah suatu penyakit yang berkaitan dengan dampak sekunder pada
jantung karena hipertensi sistemik yang lama dan berkepanjangan. Sampai
saat ini, prevalensi hipertensi di Indonesia sekitar 5-10%. Sejumlah 85-

52
90% hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut sebagai
hipertensi primer (hipertensi esensial atau idiopatik). Hanya sebagian kecil
hipertensi yang dapat ditetapkan penyebabnya (hipertensi sekunder).9
Hipertensi sering berhubungan dengan resiko penyakit kardiovaskular
yang lain, dan resiko itu akan semakin meningkat seiring dengan
bertambahnya faktor resiko yang lain. Jika oleh suatu sebab, jantung tidak
dapat mencukupi jumlah darah yang dibutuhkan, bebarapa mekanisme
kompensasi akan bekerja sehingga jantung dapat mencukupi kebutuhan
jaringan. Bila jantung harus melakukan kerja yang lebih berat maka
mekanisme kompensasi ini tidak cukup lagi. Maka akan timbul gagal
jantung atau disebut dekompensasi cordis.11

3.3.2 Patofisiologi HHD


Patofisiologi dari penyakit jantung hipertensi berjalan cukup
kompleks, karena berhubungan dengan berbagai faktor, seperti
hemodinamik, struktural, neuroendokrin, selular, dan molekuler. Di satu
sisi, faktor-faktor tersebut saling berintegrasi dan akhirnya menyebabkan
perkembangan dan komplikasi dari hipertensi, sementara di sisi lain
tingginya tekanan darah memodulasi faktor-faktor tersebut. Meningkatnya
tekanan darah menyebabkan perubahan struktur dan fungsi jantung
melalui dua cara, yaitu secara langsung oleh peningkatan afterload atau
beban akhir jantung, dan secara tidak langsung oleh perubahan
neurohormonal dan vaskuler terkait. Peningkatan tekanan darah akan
menyebabkan perubahan struktur dan fungsi jantung dengan 2 jalur: secara
langsung melalui peningkatan afterload dan secara tidak langsung melalui
interaksi neurohormonal dan vaskular.
Hipertrofi ventrikel kiri merupakan kompensasi jantung
menghadapi tekanan darah tinggi ditambah dengan faktor neurohormonal
yang ditandai oleh penebalan konsentrik otot jantung (hipertrofi
konsentrik). Fungsi diastolik akan mulai terganggu akibat dari gangguan

53
relaksasi ventrikel kiri, kemudian disusul oleh dilatasi ventrikel kiri
(hipertrofi eksentrik). Rangsangan simpatis dan aktivasi sistem RAA
memacu mekanisme Frank-Starling melalui peningkatan volume diastolik
ventrikel sampai tahap tertentu dan pada akhirnya akan terjadi gangguan
kontraksi miokard (penurunan/gangguan fungsi diastolik) (PAPDI, 2006).

3.4 Penyakit Jantung koroner


3.4.1 Definisi Penyakit Jantung Koroner
Penyakit jantung koroner (PJK) atau penyakit jantung iskemik adalah
penyakit jantung yang timbul akibat penyempitan pada arteri koronaria.
Penyempitan tersebut dapat disebabkan antara lain aterosklerosis, berbagai jenis
arteritis, emboli koronaria, dan spasme. Oleh karena aterosklerosis merupakan
penyebab terbanyak (99%) maka pembahasan tentang PJK pada umumnya
terbatas penyebab tersebut.7

3.4.2 Faktor Resiko22

Faktor Resiko Aterosklerosis Koroner


Tidak Dapat Di ubah
- Usia (laki-laki > 45 tahun; perempuan >55 tahun atau menopause prematur
tanpa terapi pengganti esterogen)
- Riwayat CAD pada keluarga (MI pada ayah atau saudara laki-laki sebelum usia
55 tahun atau pada ibu atau saudara perempuan sebelum usia 65 tahun)
Dapat Diubah
- Hiperlipidemia (LDL-C): batas atas, 130-159 mg/dL; tinggi > 160 mg/dL
- HDL-C rendah: <40 mg/dL
- Hipertensi (> 140/90 mmHg atau pada obat antihipertensi)
- Merokok
- Diabetes melitus (bergantung-insulin atau tidak bergantung-insulin)
- Obesitas, terutama abdominal

54
- Ketidakaktifan fisik
- Hiperhomosisteinemia (> 16 µmol/L
Faktor Resiko Negatif
- HDL-C tinggi

3.4.3 Patogenesis & Patofisiologi


1. Patogenesis
Pembentukan Aterosklerosis Ada beberapa hopotesis yang
menerangkan tentang proses terbentuknya aterosklerosis, seperti
monoclonal hypothesis, lipogenic hypothesis dan response to injure
hypothesis. Namun yang banyak diperbincangkan adalah mengenai
empat stage respon to injure hypothesis sebagai berikut:19

a. Stage A: Endothelial injure


Endotelial yang intake dan licin berfungsi sebagai barrier
yang menjamin aliran darah koroner lancar. Faktor resiko yang
dimiliki pasien akan memudahkan masuknya lipoprotein densitas
rendah yang teroksidasi maupun makrofag ke dalam dinding arteri.
Interaksi antara endotelial injure dengan platelet, monosit dan
jaringan ikat (collagen), menyebabkan terjadinya penempelan
platelet (platelet adherence) dan agregasi trombosit (trombosit
agregation).
b. Stage B: Fatty Streak Formation

55

Gambar 2.8 Pembentukan formasi lapisan lemak dalam ruang subendotel


c. Stage C: Fibrosis Plaque Formation
Formasi plak fibrosis terdiri atas inti atau central
cholesterol dan tutup jaringan ikat (cap fibrous). Formasi ini
memberikan dua gambaran tipe yaitu:
1) Stable fibrous plaque dan
2) Unstable fibrous plaque

Gambar 2.9. Formasi plak fibrous yang terdiri atas tutup dan inti

d. Stage D: Unstable Plaque Formation


Formasi ini akan membentuk plak yang mudah ruptur
(vulnarable plaque), sehingga menyebabkan terbentuknya trombus
dan oklusi pada arteri.

56

Gambar 2.10Timeline dari Aterosklerosis


2. Patofisiologi

3.4.4 Klasifikasi
 Angina Pektoris Stabil
Definisi
Sindroma klinis berupa rasa tidak nyaman di dada, rahang, bahu,
punggung, atau lengan yang dipicu oleh aktifitas atau stress emosional yang
berangsur menurun intensitas dan kuantitasnya dengan atau tanpa pengobatan.20

 Sindrom Koroner Akut (Acute Coronary Syndrome / ACS)


SKA merupakan salah satu bentuk manifestasi klinis dari PJK akibat utama
dari proses aterotrombosis selain stroke iskemik serta peripheral arterial disease
(PAD). Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah suatu istilah atau terminologi yang
digunakan untuk menggambarkan spektrum keadaan atau kumpulan proses
penyakit yang meliputi angina pektoris tidak stabil/APTS (unstable angina/UA),
infark miokard gelombang non-Q atau infark miokard tanpa elevasi segmen ST
(Non-ST elevation myocardial infarction/ NSTEMI), dan infark miokard

57
gelombang Q atau infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST elevation
myocardial infarction/STEMI). APTS dan NSTEMI mempunyai patogenesis dan
presentasi klinik yang sama, hanya berbeda dalam derajatnya. Bila ditemui
petanda biokimia nekrosis miokard (peningkatan troponin I, troponin T, atau CK-
MB) maka diagnosis adalah NSTEMI; sedangkan bila petanda biokimia ini tidak
meninggi, maka diagnosis adalah APTS.20

Klasifikasi
Ketiga jenis kejadian koroner itu sesungguhnya merupakan suatu proses
berjenjang: dari fenomena yang ringan sampai yang terberat. Dan jenjang itu
terutama dipengaruhi oleh kolateralisasi, tingkat oklusinya, akut tidaknya dan
lamanya iskemia miokard berlangsung.20

Angina Pektoris Tidak Stabil


Definisi
Angina pektoris tak stabil adalah suatu spektrum dari sindroma iskemik
miokard akut yang berada di antara angina pektoris stabil dan infark miokard
akut. Yang dimasukan ke dalam angina tak stabil yaitu: (1) Pasien dengan angina
yang masih baru dalam 2 bulan, dimana angina cukup berat dan frekuensi cukup
sering, lebih dari 3 kali perhari; (2) Pasien dengan angina yang bertambah berat,
sebelumnya angina stabil, lalu serangan angina timbul lebih sering, dan lebih berat
sakit dadanya, sedangkan faktor presipitasi makin ringan; (3) Pasien dengan
serangan angina pada waktu istirahat.20

Infark Miokard Akut Non ST-Elevasi (NSTEMI)


Definisi
Angina pektoris tak stabil dan infark miokard akut tanpa ST elevasi
diketahui merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan patofisiologis dan
gambaran klinis sehingga pada prinsipnya penatalaksanaan keduanya tidak
berbeda. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika pasien dengan manifestasi klinis UA

58
menunjukkan bukti adanya nekrosis miokard berupa peningkatan biomarker
jantung .20

Infark Miokard Akut ST-Elevasi (STEMI)


Definisi
Infark Miokard Akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung
yang menyebabkan sel otot jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah terhenti
setelah terjadi sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari
pembuluh darah di sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak
mendapat aliran darah atau alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat
mempertahankan fungsi otot jantung, dikatakan mengalami infark.
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST Elevation Myocardial
Infarct) merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang
terdiri atas angina pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan
elevasi ST.20

3.8 Pemeriksaan Penunjang


Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan
nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan
segera dalam 10 menit sejak kedatangan IGD. Jika pemeriksaan EKG awal tidak
diagnostic untuk STEMI tetapi pasien tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan
kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12
sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi
perkembangan elevasi segmen ST. pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi
kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST
mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis
infark miokard gelombang Q. sebagian kecil menetap menjadi infark miokard
gelombang non Q. Jika obstruksi thrombus tidak total, obstruksi bersifat
sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi

59
segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina pectoris tak stabil atau
Non STEMI. Pada sebagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa
menunjukkan gelombang Q disebut infark non Q. sbelumnya istilah infark
miokard transmural digunakan jika EKG menunjukkan gelombang Q atau
hilangnya gelombang R dan infark miokard non transmural jika EKG hanya
menunjukkan perubahan sementara segmen ST dan gelombang T, namun ternyata
tidak selalu ada korelasi gambaran patologisi EKG dengan lokasi infark (mural/
transmural) sehingga terminology IMA gelombang Q dan non Q menggantikan
IMA mural/ nontransmural.20

Laboratorium
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinine kinase (CK)MB dan cardiac
specific troponin (cTn)T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus
digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan
otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuto peningkatan CKMB, pada
pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan segera
mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. 20
Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan ada
nekrosis jantung (infark miokard).
o CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10- 24 jam dan kembali normal dalam 2- 4 hari. Operasi jantung,
miokarditis dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
o cTn (cardiac spesific troponin): ada 2 jenis cTn T dan cTn I. enzim ini
meningkat setelah 2jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam
10- 24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5- 14 hari, sedangkan cTnI
setelah 5- 10 hari.

Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu:

60
o Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam
4- 8 jam.
o Creatinine kinasi (CK): meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10- 36 jam dan kembali normal dalam 3- 4 hari.
o Latic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24- 48 jam bila ada infark
miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8- 14 hari.20

Ekokardiogram
Dilakukan untuk menentukan dimensi serambi, gerakan katup atau dinding
ventrikuler dan konfigurasi atau fungsi katup. Dapat pula digunakan untuk
melihat luasnya iskemia bila dilakukan waktu dada sedang berlangsung.20

3.9 Tatalaksana

Yang dimaksud dengan terapi awal adalah terapi yang diberikan pada
pasien dengan diagnosis kerja kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan
angina di ruang gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau

61
marka jantung. Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat,
Aspirin (disingkat MONA), yang tidak harus diberikan semua atau bersamaan.

1. Tirah baring (Kelas I-C)


2. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2
arteri <95% atau yang mengalami distres respirasi
3. Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA pada 6 jam
pertama, tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri (Kelas IIa-C)
4. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak
diketahui intoleransinya terhadap aspirin (Kelas I-A). Aspirin tidak bersalut
lebih terpilih mengingat absorpsi sublingual (di bawah lidah) yang lebih
cepat (Kelas I-C)
5. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate) a.Dosis awal ticagrelor
yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2 x
90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang direncanakan untuk reperfusi
menggunakan agen fibrinolitik (Kelas I-B) atau b.Dosis awal clopidogrel
adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75 mg/hari (pada
pasien yang direncanakan untuk terapi reperfusi menggunakan agen
fibrinolitik, penghambat reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel)
(Kelas I-C).
6. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada
yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat (Kelas I-C). jika
nyeri dada tidak hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap
lima menit sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin intravena diberikan
pada pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual
(kelas I-C). dalam keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN)
dapat dipakai sebagai pengganti
7. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi
pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual (kelas
IIa-B).

62
Terapi Medika Mentosa
1. Obat anti-iskemia9
a) Nitrat : dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol perifer,
dengan efek mengurangi preload dan afterload sehingga dapat mengurangi
wall stress dan kebutuhan oksigen (Oxygen demand). Nitrat juga menambah
oksigen suplay dengan vasodilatsai pembuluh koroner dan memperbaiki
aliran darah kolateral. Dalam keadaan akut nitrogliserin atau isosorbid
dinitrat diberikan secara sublingual atau infus intravena.
Dosis pemberian intravena: 1-4 mg/jam. Bila keluhan sudah terkendali
maka dapat diganti dengan per oral.

b) β-blocker : dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokardium melalui efek


penurunan denyut jantung dan daya kontraksi miokardium. Berbagai macam
beta-blocker seperti propanolol, metoprolol, dan atenolol.

63
c) Antagonis kalsium : dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan
menurunkan tekanan darah. Ada 2 golongan besar pada antagonis kalsium
(Depkes, 2006):
- Golongan dihidropiridin : efeknya sebagai vasodilatasi lebih kuat dan
penghambatan nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit dan efek
inotropik negatif juga kecil (Contoh: nifedipin).
- Golongan nondihidropiridin : golongan ini dapat memperbaiki survival dan
mengurangi infark pada pasien dengan sindrom koroner akut dan fraksi
ejeksi normal. Denyut jantung yang berkurang, pengurangan afterload
memberikan keutungan pada golongan nondihidropiridin pada sindrom
koroner akut dengan faal jantung normal (Contoh : verapamil dan
diltiazem).

64
2. Obat anti-platelet
Obat antiplatelet merupakan salah satu dasar dalam pengobatan angina tidak
stabil maupun infark tanpa elevasi ST segmen. Tiga gologan obat anti platelet
yang terbukti bermanfaat seperti aspirin, tienopiridin dan inhibitor GP Iib/IIIa.
a) Aspirin : banyak studi telah membuktikan bahwa aspirin dapat mengurangi
kematian jantung dan mengurangi infark fatal maupun non fatal dari 51%
sampai 72% pada pasien dengan angina tidak stabil. Oleh karena itu aspirin
dianjurkan untuk diberikan seumur hidup dengan dosis awal 160mg/ hari
dan dosis selanjutnya 80 sampai 325 mg/hari.9
b) Tiklopidin : obat ini merupakan suatu derivat tienopiridin yang merupakan
obat kedua dalam pengobatan angina tidak stabil bila pasien tidak tahan
aspirin. Dalam pemberian tiklopidin harus diperhatikan efek samping
granulositopenia.
c) Klopidogrel : obat ini juga merupakan derivat tienopiridin yang dapat
menghambat agregasi platelet. Efek samping lebih kecil dari tiklopidin .
Klopidogrel terbukti juga dapat mengurangi strok, infark dan kematian
kardiovaskular. Dosis klopidogrel dimulai 300 mg/hari dan selanjutnya75
mg/hari.
d) Inhibitor glikoprotein IIb/IIIa
Ikatan fibrinogen dengan reseptor GP IIb/IIIa pada platelet ialah ikatan
terakhir pada proses agregasi platelet. Karena inhibitor GP IIb/IIIa
menduduki reseptor tadi maka ikatan platelet dengan fibrinogen dapat
dihalangi dan agregasi platelet tidak terjadi. Pada saat ini ada 3 macam obat
golongan ini yang telah disetujui :
- Absiksimab suatu antibodi mooklonal
- Eptifibatid suatu siklik heptapeptid
- Tirofiban suatu nonpeptid mimetik

65
3. Obat anti-trombin 9
a) Unfractionated Heparin
Heparin ialah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari pelbagi rantai
polisakarida yang berbeda panjangnya dengan aktivitas antikoagulan yang
berbeda-beda. Antitrombin III, bila terikat dengan heparin akan bekerja
menghambat trombin dan dan faktor Xa. Heparin juga mengikat protein
plasma, sel darah, sel endotel yang mempengaruhi bioavaibilitas. Pada
penggunaan obat ini juga diperlukan pemeriksaan trombosit untuk
mendeteksi adanya kemungkinan heparin induced thrombocytopenia (HIT).
b) Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
LMWH dibuat dengan melakukan depolimerisasi rantai plisakarida heparin.
Dibandingkan dengan unfractionated heparin, LMWH mempuyai ikatan
terhadap protein plasma kurang, bioavaibilitas lebih besar. LMWH yang ada
di Indonesia ialah dalteparin, nadroparin, enoksaparin dan fondaparinux.
Keuntungan pemberian LMWH karena cara pemberian mudah yaitu dapat
disuntikkan secara subkutan dan tidak membutuhkan pemeriksaan
laboratorium.

c) Direct Thrombin Inhibitors 9

Direct Thrombin Inhibitors secara teoritis mempunyai kelebihan karena


bekerja langsung mencegah pembentukan bekuan darah, tanpa dihambat

66
oleh plasma protein maupun platelet factor 4. Hirudin dapat menurunkan
angka kematian dan infark miokard, tetapi komplikasi perdarahan
bertambah.
Bivalirudin telah disetujui untuk menggantikan heparin pada pasien angina
tak stabil yang menjalani PCI. Hirudin maupun bivalirudin dapat
menggantikan heparin bila ada efek samping trombositopenia akibat heparin
(HIT)

Pencegahan
a. Perubahan life style (termasuk berhenti merokok dan lain-lain),
penurunan BB, penyesuaian diet, olahraga teratur dan lain-lain.
b. Mengobati faktor predisposisi dan faktor pencetus : stress, emosi,
hipertensi, penyakit DM, hiperlipidemia, obesitas, anemia.
c. Menghindari bekerja pada keadaan dingin atau stres lain yang diketahui
mencetuskan serangan angina klasik pada seseorang.
d. Memberikan penjelasan perlunya melatih aktivitas sehari-hari sehingga
untuk meningkatkan kemampuan jantung agar dapat mengurangi
serangan jantung.3

67
BAB IV
ANALISIS KASUS

Os mengeluh sesak nafas sejak kurang lebih 1 minggu yang lalu


pasien mengeluh sesak napas yang semakin memberat dan tidak berkurang
pada saat istirahat, sesak juga tidak dipengaruhi cuaca ataupun debu.
Berarti keluhan sesak Os disebabkan karena causa kardiogenik, bukan
karena asma. Dan juga derajat fungsional dari keluhan yang dialami Os
adalah gagal jantung NYHA IV. Os mengatakan keluhan sesak sudah
pernah dirasakan sebelumnya sejak kurang lebih 1 tahun yang lalu akan
tetapi keluhan hilang timbul, keluhan sesak hanya datang pada saat Os
beraktivitas. Os juga mengeluh batuk berdarah sejak 3 hari yang lalu,
darah yang keluar kurang lebih satu sendok makan setiap kali batuk,
frekuensi batuk 2-3 kali sehari dan tidak disertai dengan dahak berwarna
hijau kekuningan. Batuk berdarah disebabkan edema paru, akibat dari
ventrikel kiri jantung tidak dapat lagi memompa dengan baik sehingga
menurunkan aliran darah keseluruh tubuh. Akibatnya terjadi aliran balik
ke vena pulmonalis. Akibatnya terjadi peningkatan tekanan kapiler paru
>10mmHg, yang melebihi tekanna osmotik sehingga menyebabkan
perpindahan cairan intravaskular ke interstisial paru. Keluhan tambahan
lainnya adalah nyeri dada yang hilang timbul, nyeri dada menjalar hingga
ke bahu terasa seperti tertindih benda berat, hal ini menunjukkan telah
terjadi gejala khas dari infark miokard, yang untuk klasifikasinya akan
lebih diperjelas melalui hasil pemeriksaan penunjang seperti contohnya

68
EKG. Terdapat bengkak di kaki sejak kurang lebih 1 bulan yang lalu gagal
jantung kanan yang meyebabkan aliran darah balik ke vena cava inferior
yang bermanifestasi sebagai edema ekstremitas. Hal ini dapat menjadi
landasan pikir bahwa kemungkinan sesak nafas yang berhubungan dengan
jantung ini disebabkan oleh hipertensi yang sudah dideritanya sejak 15
tahun lalu tersebut. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan adanya
peningkatan tekanan vena jugularis, ronki basah kasar pada kedua paru,
adanya pelebaran batas jantung kiri, murmur sistolik pada katup mitral,
trikuspid dan pulmonal serta adanya ascites. Berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik diatas, dapat disimpulkan bahwa pada pasien ini dapat
ditegakkan diagnosis gagal jantung kongestif, karena kriteria framingham
sudah terpenuhi.
Mual (-), muntah (-), Batuk (+) dengan darah segar tanpa dahak
berwarna hijau kekuningan, frekuensi batuk kurang lebih 4-5 kali dalam
satu hari. Demam (-), berkeringat pada malam hari (-), penurunan nafsu
makan (-), penurunan berat badan (-), hal ini menyingkirkan diagnosis
banding batuk berdarah yang disebabkan oleh tuberculosis paru. BAB dan
BAK biasa. Riwayat hipertensi (+) sejak 15 tahun yang lalu dan tidak
terkontrol. Riwayat DM (-), riwayat asma (-).Riwayat merokok (+) sejak
kurang lebih 30 tahun yang lalu, kebiasaan mengkonsumsi makanan tinggi
kolesterol (+), makanan tinggi garam (+). Riwayat keluarga yang memiliki
hipertensi (+) dialami Ibu pasien, riwayat asma dalam keluarga (-), riwayat
diabetes melitus (-).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 160/90 mmHg,
nadi 106 kali/menit, RR 28x/menit, suhu 36,9oC, BB 83 kg, TB 175 cm,
dan IMT 27,1 (obese 1).
Pemeriksaan fisik khusus leher: JVP 5+2 cmH2O. Pada
pemeriksaan paru-paru didapatkan auskultasi: Ronchi (+/+). Pemeriksaan
jantung palpasi: Iktus kordis teraba, perkusi: Kanan atas ICS II linea
parasternalis dextra kiri atas ICS II linea parasternalis sinistra, kanan

69
bawah ICS IV Linea Midsternalis Dextra, Auskultasi: Murmur sistolik (+).
Pemeriksaan abdomen: Inspeksi: Cembung, palpasi: Tegang, nyeri
tekan(-), hepar/lien sulit dinilai, perkusi: Redup (+), asites (+), shifting
dullness (+), undulasi (+). Pada ekstremitas: Edema tungkai (+/+), CRT
>2”
Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan enzim jantung yang
meningkat, EKG terdapat ST-Elevasi, dan juga terdapat kesan
kardiomegali dan edema paru pada rontgen thorax pasien.

70
BAB V
KESIMPULAN

5.1. Kesimpulan
Gagal jantung didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak lagi
dapat memompakan cukup darah ke jaringan tubuh. Keadaan ini dapat timbul
dengan atau tanpa penyakit jantung. Gangguan fungsi jantung dapat berupa
gangguan fungsi diastolik atau sistolik, gangguan irama jantung, atau
ketidaksesuaian preload dan afterload. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian
pada pasien. Diagnosis gagal jantung dapat ditegakan berdasarkan kriteria klinis
menggunakan kriteria klasik Framingham, yang terdiri dari kriteria mayor dan
kriteria minor. Kriteria mayor dalam Framingham adalah paroksismal nokturnal
dispnea, distensi vena leher, ronchi paru, kardiomegali, edema paru akut, gallop
S3, peningkatan vena jugularis, refluks hepatojugular. Sedangkan kriteria minor
adalah edema ekstremitas, batuk malam hari, dispnea d’effort, hepatomegali, efusi
pleura, penurunan kapasitas vital paru 1/3 dari normal, dan takikardi. Diagnosis
gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor.
Penyakit jantung hipertensi adalah penyakit jantung yang disebabkan oleh
tidak terkontrolnya tekanan darah tinggi dalam waktu yang lama, yang ditandai
adanya hipertrofi ventrikel kiri (HVK) sebagai akibat langsung dari tingginya
tekanan darah tersebut. Hipertrofi ventrikel kiri pada penyakit jantung hipertensi
juga dipengaruhi oleh faktor neurohormonal.
Penyakit jantung koroner (PJK) atau penyakit jantung iskemik adalah
penyakit jantung yang timbul akibat penyempitan pada arteri koronaria.
Penyempitan tersebut dapat disebabkan antara lain aterosklerosis, berbagai jenis

71
arteritis, emboli koronaria, dan spasme. Oleh karena aterosklerosis merupakan
penyebab terbanyak (99%)

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. 2014. G l o b a l S t a t u s R e p o r t o n Noncommunicable


Diseases 2014. [pdf] Geneva: WHO Press. Tersedia di:
http://apps.who.int/iris/ bitstream/10665/148114/1/9789241564852_eng.
pdf [Diakses tanggal 4 April 2019].
2. Action on Smoking and Health. 2014. Action on Smoking and Health.
[Online] Tersedia di: http:// www.ash.org.uk/fi
les/documents/ASH_117.pdf [Diakses tanggal 4 April 2019].
3. Panggabean MM. 2014. Gagal Jantung. Dalam Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi Kelima Jilid I. Jakarta: Interna Publishing h.1132
4. Kasper, Braunwald, Fauci, Hauser, Longo, Jameson. 2005. Congestive
Heart Failure and Cor Pulmonale. Harrison’s Manual of Medicine.
Boston: McGraw-Hill;16:p. 648-50
5. Grossman S. Congestive Heart Failure and Pulmonary Edema. In Chiang
WK, Talavera F, Setnik G, Halamka JD, Brenner BE (eds.). eMedicine,
June 2008. Available from: URL:
http://www.emedicine.com/emerg/TOPIC108.HTM, cited on April 6,
2019.
6. Riset Kesehatan Dasar(Riskesdas). (2018). Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian RI tahun 2013. Diakses: 29 Mei
2018, Tersedia di

72
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas
%20 2013.pdf.
7. Europen Society of Cardiology. 2012. ESC Guidelines For The
Management Of Acute Coronary Syndromes In Patient Presenting Without
Persistent ST-Segment Elevation Majid A. Penyakit Jantung Koroner :
Patofisiologi, Pencegahan, dan Pengobatan Terkini. 2008.
8. Nerrida S. Karakteristik penderita Penyakit Jantung Koroner Rawat Inap
di RSUP H. Adam Malik. 2009.
9. Departemen Kesehatan. 2006. Pharmaceutical Care Untuk Pasien
Penyakit Jantung Koroner: Fokus Sindrom Koroner Akut. Jakarta:
Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik
10. Snell, Richard. S. 2012. Anatomi Klinis untuk Mahasiswa Edisi 6. EGC.
Jakarta.  hal. 101-111
11. Sherwood, Laura Iee. 2012. Fisiologi Manusia. Jakarta : EGC.
12. Guyton, AC, dan Hall, J.E . 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi
11. EGC. Jakarta
13. Ghanie, A. 2014. Gagal Jantung Kronik. Dalam Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi Kelima Jilid I. Jakarta: Interna Publishing h.1148
14. Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Mitchell R. Robbins basic pathology, 8th
edition.; 2007:578-82.
15. Manurung, D. 2014. Gagal Jantung Akut. Dalam Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi Kelima Jilid I. Jakarta: Interna Publishing h.1136-1137
16. Redfield MM, Jacobsen SJ, Burnett JC, Mahoney DW, Bailey KR,
Rodeheffer RJ, et al. Burden of systolic and diastolic ventricular
dysfunction in the community: appreciating the scope of the heart failure
epidemic. JAMA. 2003;289(2):194-202.
17. PERKI. (2015). Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung, edisi pert.,
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, Jakarta.

73
18. Watson RD, Gibbs CR, Lip GY. ABC of heart failure. Clinical features
and complications. BMJ. 2000;320(7229):236-39.
19. Coughlin, DeBeasi. (2006). Gangguan Sistem Kardiovaskuler.
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit (6th ed.). Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC
20. Sudoyo AW, et al.2014.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna
Publishing
21. PERKI. (2015). Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut edisi pert.,
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, Jakarta.
22. Prince & Wilson, 2014. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Edisi 6. Vol.2 Jakarta: EGC

74

Anda mungkin juga menyukai