Anda di halaman 1dari 27

I.

Pendahuluan

Hipertensi pulmonal didefinisikan sebagai tekanan arteri pulmonal rata-rata


(mPAP) > 25 mmHg. PH mencakup kelompok penyakit heterogen dengan manifestasi
klinis yang umum.1
Hipertensi pulmonal primer (PPH) adalah penyakit progresif yang ditandai
dengan peningkatan ketahanan vaskular paru, yang berakibat pada berkurangnya fungsi
jantung kanan karena adanya afterload ventrikel kanan yang meningkat. PPH paling
sering terjadi pada wanita muda dan setengah baya, artinya kelangsungan hidup dari
onset gejala adalah 2-3 tahun. Etiologi PPH tidak diketahui, walaupun penyakit familial
menyumbang sekitar 10% kasus, yang menunjukkan predisposisi genetik.2
Kriteria diagnosis untuk hipertensi pulmonal merujuk pada kriteria dari National
Institute of Health (NIH), yaitu bila didapatkan tekanan sistolik arteri pulmonalis lebih
dari 35 mmHg atau "rerata" tekanan arteri pulmonalis lebih besar dari 25 mmHg pada
saat istirahat atau lebih 30 mmHg pada aktivitas, dan tidak didapatkan adanya kelainan
valvular pada jantung kiri, penyakit miokardium, penyakit jantung kongenital, dan tidak
adanya kelainan paru, penyakit jaringan ikat atau penyakit tromboemboli kronik,
sehingga HPP juga disebut sebagai “unexplained pulmonary hypertension”.3 Penyakit
vaskular paru dengan gambaran klinis dan patologis yang serupa dengan hipertensi
pulmonal primer dapat terjadi pada pasien dengan hipertensi portal, infeksi dengan
human immunodeficiency virus (HIV), atau riwayat inhalasi kokain dan pada mereka
yang menggunakan obat penekan nafsu makan.4 Patogenesis PAH adalah kompleks dan
tidak sepenuhnya dipahami, namun mencakup faktor genetik dan lingkungan yang
mengubah struktur dan fungsi vaskular.5
Penyebab hipertensi pulmonal sangat beragam, penting bahwa etiologi yang
mendasari hipertensi pulmonal dapat ditentukan dengan jelas sebelum memulai
pengobatan. Data terbaru menunjukkan bahwa peningkatan ringan pada tekanan arteri
pulmonalis juga terjadi seiring bertambahnya usia karena peredaran pulmonal menjadi
kurang terkontrol.6

1
Dengan adanya gejala nonspecific dan tanda fisik yang halus, terutama pada
tahap awal, indeks kecurigaan klinis yang tinggi diperlukan untuk mendeteksi penyakit
ini sebelum perubahan patofisiologis ireversibel terjadi. Dalam hal ini,
echocardiography transthoracic, dapat memberikan tanda langsung dan / atau tidak
langsung peningkatan tekanan arteri pulmonal (PAP), merupakan tes skrining
noninvasif yang sangat baik untuk pasien dengan gejala atau faktor risiko hipertensi
pulmonal, seperti penyakit jaringan ikat, penggunaan anorexigen, emboli paru, gagal
jantung, dan murmur jantung. Ini juga dapat memberikan informasi penting tentang
etiologi dan prognosis hipertensi pulmonal.7
Polisitemia adalah suatu penyakit kelainan pada sistem mieloproliferatif dimana
terjadi klon abnormal pada hemopoetik sel induk (hematopoietic stem cell) dengan
peningkatan sensitivitas pada growth factors yang berbeda untuk terjadinya maturasi
yang berakibat terjadi peningkatan banyak sel. Polisitemia terbagi dalam polisitemia
primer (Polisitemia Vera dan Polisitemia familia primer) dan Polisitemia yang
dipengaruhi oleh produksi eritropoeitin (Polisitemia Sekunder). Polisitemia sekunder
dapat terjadi oleh karena penurunan oksigenasi pada jaringan.8
Kemajuan terbaru dalam genetika dan biologi sel memberikan wawasan tentang
patogenesis penyakit hipertensi pulmonal dan perawatan baru menawarkan peningkatan
kualitas hidup dan peningkatan kelangsungan hidup. Perbaikan klinis dan hemodinamik
yang berkelanjutan terlihat pada banyak orang dewasa dengan hipertensi pulmonal
primer yang diobati dengan prostasiklin terus menerus, dan data dari berbagai penelitian
eksperimental menunjukkan adanya kemungkinan untuk menghentikan dan bahkan
mungkin membalik proses penyakit. Potensi cenderung lebih besar pada anak muda
dimana vaskulatur masih remodeling.9

2
II. Laporan Kasus

2.1. Identitas
Nama : Masyhadi
Tanggal lahir : 21 September 1984
Alamat : Desa Cot Seutui, kecamatan Kuta makmur, kabupaten Aceh
utara, propinsi Aceh
Pendidikan : S1 STEN Lhokseumawe
Pekerjaan : Karyawan Dinas Pendidikan Dayah Lhokseumawe
Suku : Aceh
Agama : Islam
Status perkawinan : Belum kawin

2.2. Anamnesa
2.2.1. Keluhan Utama
Sesak napas sejak 1 minggu SMRS

2.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak 1 minggu SMRS. Sesak napas
semakin memberat bila beraktifitas dan berkurang bila beristirahat. Sesak napas sudah
sering dirasakan berulang sejak pasien masih berusia 10 tahun, dan bila sesak napas
pasien lebih nyaman bila dalam posisi jongkok. Pasien juga mengeluh sering sakit
kepala dalam 1 minggu terakhir. Pasien juga merasakan jantung berdebar – debar bila
beraktifitas dan dada terasa berat yang sudah mulai dirasakan sejak berusia 10 tahun.
Jari tangan dan kaki sering tampak kebiruan sejak 2 tahun terakhir. Riwayat batuk
berdarah pada tahun 2012 dan 2013. Riwayat bengkak kedua kaki tidak ada.
Riwayat phlebotomi sebelumnya tidak ada, dan pada perawatan – perawatan di
RS sebelumnya pasien belum pernah dikatakan memiliki Hb yang lebih tinggi dari
normal dan tidak pernah didiagnosa dengan polisitemia.

3
2.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu
 Tahun 2012 pasien batuk berdarah dan didiagnosa sebagai TB Paru (tanpa
pemeriksaan sputum BTA) dan pasien mendapat terapi OAT selama 9 bulan.
 Tahun 2013 pasien kembali batuk berdarah, tetapi sudah didiagnosa sebagai
penyakit jantung.
 Bulan Mei 2016 pasien dirawat di RS karena sesak napas, tapi belum diketahui
penyebab pastinya.
 Bulan November 2016 pasien dirawat di RS karena sesak napas kembali
kambuh, dan pasien dinyatakan menderita penyakit jantung.
 Bulan Maret 2017 pasien kembali dirawat di RS karena sesak napas, dan pasien
masih dikatakan menderita penyakit jantung, tetapi tidak tahu penyakit jantung
yang bagaimana pastinya.

2.2.4. Riwayat Pengobatan


Pasien pernah mengkonsumsi OAT selama 9 bulan tahun 2012. Riwayat
meminum obat – obatan penekan nafsu makan tidak ada.

2.2.5. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga pasien yang memiliki riwayat penyakit sesak napas atau
gejala seperti pasien. Tidak ada keluarga pasien atau orang disekitar pasien yang
menderita penyakit TBC.

2.2.6. Riwayat Sosial Ekonomi dan Kebiasaan


Pasien jarang berolahraga karena sejak SD pasien cepat kelelahan bila
berolahraga dan bermain dengan teman – temannya. Pasien tidak pernah merokok dan
minum alkohol. Pasien belum menikah dan belum pernah melakukan hubungan seksual.
Pasien tidak pernah ditato.

4
2.3. Pemeriksaan Fisik
2.3.1. Tanda Vital
 Keadaan umum : Baik
 Kesadaran : Compos mentis
 TD : 130/70 mmHg,
 Nadi : 72 x/menit, reguler, isi cukup, kuat angkat
 RR : 24 x/menit
 T : 37,2 °C

2.3.2. Status Umum


 BB : 45 kg, TB: 155 cm, IMT: 18,7 kg/m2
 Kulit : warna sawo matang, sianosis (-), petechiae (-), kulit
kering (-), turgor kembali cepat.
 Kepala : Mesocephal.
 Rambut : hitam, tidak mudah dicabut.
 Mata : konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), sklera ikterik
(-/-).
 Telinga dan hidung : Perdarahan (-), cairan (-)
 Mulut : candidiasis oral (-), bibir kering (-), papil atrofi (-)
 Leher : TVJ R-2 cmH2O. Pembesaran KGB (-)
 Paru-paru ( Thorax Depan):

I : Gerakan dada kanan simetris pada statis dan dinamis,

P: SF kanan = SF kiri

P: Sonor / Sonor

A: Vesikuler (+/+), ronkhi dan wheezing tidak dijumpai.

 Paru-paru ( Thorax Belakang):

5
I : Gerakan dada kanan simetris pada statis dan dinamis

P: SF kanan = SF kiri

P: Sonor / Sonor

A: Vesikular (+/+), ronkhi dan wheezing tidak dijumpai.

 Jantung:

I : iktus kordis terlihat di ICS V linea Mid Clavicula Sinistra

P : iktus kordis teraba pada ICS V linea Mid Clavicula Sinistra

P: Batas atas jantung pada ICS III

Batas jantung kanan pada Linea Para sternalis dextra

Batas jantung kiri pada 3 cm lateral Linea Mid Clavicula Sinistra


A : M1 > M2, P2 > P1 , reguler, bising diastolik mitral
 Abdomen:

I : simetris, distensi (-)

A : Peristaltik 4 - 6 kali per menit

P : Soepel, Organomegali (-), Balotemen ginjal (-/-)

P : Timpani (+), Shifting dullness (-)

 Ekstremitas superior: Udem (-/-), Pucat (-/-), ikterik (-/-), jari tabuh (+/+)
 Ekstremitas inferior : Udem (-/-), Pucat (-/-), ikterik (-/-) , jari tabuh (+/+)
 Anal & Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan

6
7
2.4. Pemeriksaan Penunjang
2.4.1. Laboratorium
Pada laboratorium (tanggal 30 Maret 2017) dari hasil darah rutin didapatkan
Polisitemia dengan Hb 23,1 g/dL, Hematokrit 67%, Eritrosit 7,4 x 106/mm3, Leukosit
9.800/mm3 , Trombosit 212.000 /mm3. MCV 91 fL, MCH 31 pg, MCHC 34 %, RDW
16,7 %, MPV 10,4 fL. Hitung jumlah sel leukosit : Eosinofil 1%, Basofil 0%, Neutrofil
batang 0%, Neutrofil segmen 71%, Limfosit 22%, Monosit 6%.
Elektrolit serum dan fungsi ginjal dalam batas normal (Natrium 129, Kalium 4,0,
Clorida 114, Ureum 38, Creatinin 0,9). Lipid profil dalam batas normal (Kolesterol total
154, HDL 40, LDL 81,4, Trigliserida 163).
Dari hasil morfologi darah tepi didapatkan eritrosit normokrom, anisositosis; leukosit
tidak ada kelainan; trombosit jumlah cukup, tersebar, giant trombosit tidak ada;
kesimpulan normokrom normositer.

2.4.2. EKG

• Irama : Sinus
• Axis : 120 ˚, RAD
• QRS rate : 89 kali/menit
• PR interval : 0,16 detik
• Gel. P : 0,08 detik, 0,25 mV
• ST elevasi : (-)
• ST depresi : (-)

8
• T inverted : (+) di II, III, aVF, V1 dan V2
• Q patologis : (-)
• LVH : (-)
• RVH : (+)
• VES : (-)
• Kesimpulan : sinus ritme dengan HR 89 kali/menit , RAD, dan RVH.

2.4.3. Foto Thorak

Dari hasil foto thoraks (29 Maret 2017) didapatkan:


 Trakea : Letak Medial
 Soft tissue : Swelling (-)
 Tulang : Fraktur (-)
 Paru : Tidak tampak infiltrat

9
 Jantung : CTR = 55 %, jantung membesar ke kiri dengan apeks terangkat dan
segmen pulmonal menonjol

Kesimpulan : Kardiomegali (Hipertrofi ventrikel kanan) dan pulmo tidak tampak


kelainan.

2.4.4. Ekokardiografi

10
Pada hasil ekokardiografi (tanggal 4 April 2017) didapatkan LV dimensi normal,
fungsi sistolik normal dengan EF 60%, TR severe, Pa 78 mmHg, IVS/IAS intake, E/A <
1, dengan kesimpulan Trikuspid regurgitasi primer dan hipertensi pulmonal, saran untuk
dilakukan TEE

2.4.5. Transthorakal ekokardiografi

11
Pada pemeriksaan TEE didapatkan dimensi RV kesan dilatasi, kontraktilitas LV
dan RV kesan baik, tak tampak echogap di IAS, IAS intake, tak tampak thrombus/
vegetasi intracardiac, katup – katup normal, pembuluh aorta tidak terdapat plak
atheroma, dan tidak terdapat aneurisma, tidak didapatkan shunt intracardiac.

2.5. Resume
Pasien seorang pria berusia 32 tahun asal daerah Lhoksemawe, agama Islam,
suku Aceh, belum menikah datang dengan keluhan utama sesak napas yang dirasakan
sejak 1 minggu SMRS, yang dirasakan memberat saat beraktifitas dan berkurang saat
beristirahat. Sesak napas disertai palpitasi dan dada terasa berat saat beraktifitas.
Riwayat sesak napas dan cepat lelah dirasakan sejak berusia 10 tahun.
Dari pemeriksaan fisik, paru – paru tidak didapatkan kelainan, pada jantung
bunyi jantung 2 mengeras di katup pulmonal dan bising diastolik pada katup trikuspid,
serta pada ekstremitas tampak jari seperti jari tabuh.

12
Dari pemeriksaan penunjang didapatkan dari hasil darah dengan polisitemia.
Hasil EKG sinus ritme dengan HR 89 kali/menit , RAD, dan RVH. Hasil rontgen
thoraks Kardiomegali (Hipertrofi ventrikel kanan) dan pulmo tidak tampak kelainan.
Hasil ekokardiografi Trikuspid regurgitasi primer dan hipertensi pulmonal. Serta hasil
TEE didapatkan dimensi RV kesan dilatasi, kontraktilitas LV dan RV kesan baik, tak
tampak echogap di IAS, IAS intake, tak tampak thrombus/ vegetasi intracardiac, katup –
katup normal, pembuluh aorta tidak terdapat plak atheroma, dan tidak terdapat
aneurisma, tidak didapatkan shunt intracardiac.

13
III. Diskusi

3.1 . Tanda dan Gejala.


Gejala hipertensi pulmonal tidak spesifik dan bergantung pada onset; Oleh
karena itu, ada jeda waktu sekitar 2 tahun (mulai dari onset gejala hingga diagnosis)
pada 90% pasien dengan PAH. Gejala-gejala ini mungkin termasuk sesak napas saat
aktifitas, kelelahan, kelemahan, nyeri dada, palpitasi, sinkop, distensi abdomen, dan
edema tungkai. Gejala saat istirahat hanya terjadi pada tahap akhir penyakit dan
menimbulkan prognosis buruk.1
Pada pasien didapati gejala berupa sesak napas yang dirasakan kambuh sejak 1
minggu SMRS, sesak semakin memberat bila beraktifitas dan berkurang bila
beristirahat. Pasien juga merasakan jantung berdebar – debar bila beraktifitas dan dada
terasa berat. Sinkop, distensi abdomen dan udem tungkai tidak pernah dialami pasien.
Jari tangan dan kaki sering tampak kebiruan sejak 2 tahun terakhir.
Pemeriksaan fisik bisa memberi petunjuk tentang penyebab hipertensi pulmonal.
Temuan telangiektasia, ulserasi digital, dan sclerodactyly menunjukkan skleroderma,
sementara ronkhi inspirasi mungkin mengarah ke penyakit paru interstisial. Pasien harus
diskrining dengan hati-hati untuk mengetahui adanya stigmata penyakit hati, seperti
spider naevi, atrofi testis, dan eritema palmar. Adanya clubbing menunjukkan penyakit
jantung kongenital atau penyakit veno-oklusif paru. Pemeriksaan kardiovaskular pada
pasien dengan hipertensi pulmonal dapat menunjukkan peningkatan parasternal kiri, P
yang keras pada apex, murmur pansistolik regurgitasi trikuspid yang meningkat dengan
inspirasi, bising diastolik pada insufisiensi paru, dan ventrikel kanan (RV) S. Suara paru
biasanya normal (kecuali pada PH kelas 3). Distensi vena jugularis, hepatomegali
dengan hati yang berdenyut, edema perifer, dan asites merupakan tanda tahap lanjut
dengan gagal jantung sisi kanan.1
Pada pasien tidak ditemukan telangiektasia, ulserasi digital, dan sclerodactyly
dan tidak dicurigai kearah suatu skleroderma. Pada pemeriksaan fisik paru juga tidak
dijumpai kelainan, sehingga kecurigaan kearah suatu penyakit paru interstisial dapat
disingkirkan. Pada pasien juga tidak ditemukannya tanda – tanda stigmata penyakit hati,

14
baik spider nevi, palmar eritem tidak didapatkan. Pada pemeriksaan fisik jantung
didapatkan bunyi jantung 2 mengeras di katup pulmonal, serta ditemukan suara bising
diastolik katup trikuspid. Distensi vena jugularis, hepatomegali dan edema perifer tidak
dijumpai.

3.2. Evaluasi Laboratorium


3.2.1. Analisa Darah
1. Tes biokimia rutin, hematologi, dan tes fungsi tiroid.
2. Tes serologis penting untuk mendeteksi CTD yang mendasarinya, HIV (skrining
wajib), trombofilia (hipertensi pulmonal tromboembolik kronik [CTEPH]), dan hepatitis
(pada pasien dengan dugaan penyakit hati). Lebih dari sepertiga pasien dengan IPAH
memiliki elevasi titer rendah pada antibodi antinuklear. Sklerosis sistemik adalah CTD
yang paling penting untuk dieksklusikan karena tingginya prevalensi PAH pada sindrom
ini. Antibodi anti-sentromer biasanya positif pada skleroderma terbatas seperti juga
antibodi antinuklear lainnya, termasuk dsDNA, anti-Ro, U3-RNP, B23, Th / To, dan
U1-RNP. Dalam berbagai variasi skleroderma, U3-RNP positif. Pada pasien dengan
lupus eritematosus sistemik, antibodi anticardiolipin dapat ditemukan.
3. Biomarker. Beberapa biomarker yang beredar memiliki implikasi prognostik pada
pasien dengan PAH, namun nilai mereka dalam praktik klinis sehari-hari masih belum
ditetapkan. Tingkat asam urat terbukti meningkat pada pasien dengan IPAH, dan
peningkatan kadar troponin T (> 150 pg / mg) telah dikaitkan dengan hasil buruk pada
pasien dengan CTEPH dan PAH. Tingkat BNP juga telah digunakan untuk memantau
respons terhadap terapi atau jalur klinis, karena tingkat yang terus meningkat memiliki
hasil yang lebih buruk. Demikian pula, NT-proBNP di bawah tingkat cutoff <1,400 pg /
mL telah dikaitkan dengan hasil yang lebih baik. Tingkat plasma BNP / NT-proBNP
harus diperiksa untuk stratifikasi risiko awal dan dapat dipertimbangkan untuk
memantau dampak pengobatan, mengingat implikasi prognostiknya. BNP / NT-proBNP
rendah dan stabil atau menurun dapat menjadi penanda pengendalian penyakit yang
berhasil di PAH.1

15
Pada pasien tidak dilakukan pemerikasaan antibodi antinuklear, karena tidak
dicurigai sebagai kelainan autoimun atas dasar klinis yang tidak mendukung sebagai
suatu kelainan autoimun. Pada pasien juga tidak dilakukan pemeriksaan biomarker
khusus atas dasar ketidaksediaan laboratorium RSUZA atas pemeriksaan tersebut. Dari
pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil darah rutin dengan polisitemia (Hb 23,1
g/dL, Hematokrit 67%, Eritrosit 7,4 x 106/mm3, Leukosit 9.800/mm3 , Trombosit
212.000 /mm3) yang sesuai dengan polisitemia sekunder akibat respon tubuh atas
kondisi hipoksemia jaringan.

3.2.2. Elektrokardiogram (EKG).


Pada kasus khas hipertensi pulmonal, EKG menunjukkan dilatasi atrium kanan
(RA), RVH dengan strain, dan deviasi aksis ke kanan (RAD). Pada stadium lanjut
penyakit ini, atrial flutter atau atrial fibrillation sering terjadi, menyebabkan
kemunduran klinis lebih lanjut.1
Pada hasil EKG pasien didapatkan kesimpulan sinus ritme dengan HR 89
kali/menit , RAD, dan RVH.

3.2.3. Radiografi Thorak.


Rontgen thorak awal abnormal pada mayoritas (90%) pasien dengan IPAH pada
saat diagnosis. Sering ada dilatasi arteri paru sentral (paru-paru) dengan "pruning"
(kehilangan) pembuluh darah perifer, lapangan paru-paru yang bersih, dan batas
ventrikel kanan yang menonjol. Rontgen dada mungkin juga menunjukkan kelainan
pada paru-paru dan tanda - tanda penyakit jantung kiri.1
Pada hasil rontgen thoraks pasien didapatkan paru tidak tampak kelainan dan
jantung dengan CTR = 55 %, jantung membesar ke kiri dengan apeks terangkat dan
segmen pulmonal menonjol, dapat disimpulkan sebagai Cardiomegali (Hipertrofi
ventrikel kanan)

16
3.2.4. Ekokardiografi.
Jika hipertensi pulmonal dicurigai berdasarkan riwayat, penilaian faktor risiko,
dan pemeriksaan fisik, ekokardiogram adalah studi tepat berikutnya. Dengan
menggunakan teknik Doppler, kecepatan puncak aliran regurgitasi trikuspid dapat
diukur. Dari kecepatan terukur ini, perbedaan tekanan antara ventrikel kanan dan atrium
kanan dapat diperkirakan dengan menggunakan persamaan Bernoulli yang
disederhanakan (ΔP = 4v2). Dengan kondisi tidak ada stenosis katup pulmonal, PASP =
4 x (kecepatan jet regurgitasi trikuspid) 2 + tekanan atrium kanan (RAP). RAP dapat
diperkirakan berdasarkan karakteristik inferior vena cava (IVC). Jika IVC sangat
banyak dan ada bukti klinis distensi vena Jugular (JVD), RAP diperkirakan 10 sampai
15 mm Hg, sedangkan jika temuan normal, biasanya dihitung sebagai 5 mmHg.
Karakteristik ekokardiografi lainnya dapat meningkatkan kecurigaan hipertensi
pulmonal, seperti dilatasi RA atau RV, septum interventrikular yang mendatar dengan
ventrikel kiri berbentuk D, peningkatan ketebalan dinding RV, dilatasi arteri
pulmonalis, dan adanya efusi perikardial. Fitur ini cenderung terjadi kemudian dalam
perjalanan penyakit. Meskipun ekokardiografi adalah alat skrining yang berguna,
estimasi tekanan yang menurun dari Doppler dapat mengabaikan PASP pada pasien
dengan regurgitasi trikuspid parah dan estimasi berlebih PASP pada pasien non-PH.
Konfirmasi maksimal memerlukan kateterisasi jantung kanan (RHC).1
Pada hasil pemeriksaan ekokardiografi pasien didapatkan LV dimensi normal,
fungsi sistolik normal dengan EF 60%, TR severe, IVS/IAS intake, E/A < 1, dengan
kesimpulan Trikuspid regurgitasi primer dan hipertensi pulmonal, saran untuk dilakukan
TEE.
Pada pemeriksaan TEE didapatkan dimensi RV kesan dilatasi, kontraktilitas LV
dan RV kesan baik, tak tampak echogap di IAS, IAS intake, tak tampak thrombus/
vegetasi intracardiac, katup – katup normal, pembuluh aorta tidak terdapat plak
atheroma, dan tidak terdapat aneurisma, tidak didapatkan shunt intracardiac.

17
3.2.5. Kateterisasi Jantung Kanan (RHC).
RHC diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis hipertensi pulmonal, untuk
menilai etiologi dan tingkat keparahannya, dan untuk menguji vasoreaktivitas sirkulasi
paru.1
Di pusat-pusat yang berpengalaman, tingkat kesakitan (1,1%) dan kematian
(0,055%) rendah. Secara berurutan, tekanan atrium kanan (RAP), tekanan ventrikel
kanan (RVP), tekanan arteri pulmonal (PAP), dan PCWP dicatat menggunakan kateter
balon berisi cairan (Tabel 14.2). Curah jantung dapat ditentukan dengan menggunakan
metode termodilusi dan / atau metode Fick. Pengukuran ini sangat penting karena
membantu membedakan hipertensi pulmonal yang terkait dengan penyakit jantung kiri
dari kondisi lain. Namun, hal itu dapat menjadi kesalahan dalam pengukuran dan
interpretasi. Kadang-kadang, mungkin perlu dilakukan kateterisasi jantung kiri untuk
pengukuran tekanan diastolik akhir ventrikel kiri (LVEDP) secara langsung.1

Evolusi temporal dari variabel hemodinamik dengan perkembangan PAH digambarkan


pada Gambar 14.1. Seiring perkembangan penyakit, ventrikel kanan mulai gagal,
menyebabkan pengurangan CO2. Akibatnya, PAP dapat menurun lagi. Penurunan ini

18
bisa memberi kesan perbaikan hemodinamik palsu atau menunjukkan adanya penyakit
ringan sampai sedang. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengukur PVR, yang akan
menjadi tinggi dalam situasi ini. Biasanya, RAP dan PCWP juga meningkat,
menyiratkan kegagalan RV dan disfungsi diastolik ventrikel kiri (LV). Yang terakhir
adalah konsekuensi dari interdependensi ventrikel dan penyesuaian abnormal ventrikel
kiri yang dihasilkan oleh ventrikel kanan yang membesar.1
Pada pasien ini tidak dilakukan kateterisasi jantung sehubungan dengan tidak
terdapatnya pemeriksaan tersebut di RSUDZA tempat pasien dirawat.

3.2.6. Uji Pulmonal dan Gas Darah Arterial (ABG).


Tes fungsi paru dan ABG digunakan untuk mengidentifikasi jalan napas yang mendasar
atau penyakit paru parenkim. Pasien dengan PAH biasanya memiliki penurunan
kapasitas difusi paru untuk karbon monoksida (diperkirakan berkisar antara 40% sampai
80%) dan pengurangan volume paru-paru yang ringan sampai sedang. Tekanan parsial
oksigen arterial normal atau hanya sedikit lebih rendah dari biasanya saat istirahat dan
tekanan parsial karbon dioksida turun karena hiperventilasi alveolar. Tingkat keparahan
emfisema dan penyakit paru interstisial dapat didiagnosis dengan menggunakan
computed tomography (CT) resolusi tinggi. Jika dicurigai secara klinis, skrining
polysomnography larut malam dapat mendiagnosis henti napas obstruksi saat tidur yang
signifikan.1
Pada pasien tidak dilakukan tes fungsi paru dan ABG karena tidak sesuai dengan
klinis pasien, dimana pada pemeriksaan fisik paru dan hasil rontgen thoraks tidak
ditemukan adanya kelainan pada parenkim paru.

3.3. Penatalaksanaan
Tatalaksana pada hipertensi pulmonal primer terutama dalam bentuk terapi
vasodilator spesifik paru, sedangkan pengobatan pada hipertensi pulmonal lainnya
terutama berorientasi pada penanganan kondisi mendasar (seperti penyakit jantung kiri
dan penyakit paru-paru kronis).1

19
3.3.1. Tindakan Umum.
Beberapa tindakan umum berlaku untuk semua hipertensi pulmonal:
(1) Aktivitas fisik ringan, mungkin melalui latihan rehabilitasi, sangat bermanfaat.
(2) Dianjurkan vaksinasi influenza dan pneumokokus secara rutin.
(3) Kontrasepsi harus didiskusikan dengan wanita usia subur, karena kehamilan
mengandung 30% sampai 50% risiko kematian dan dikontraindikasikan.
(4) Suplemen oksigen disarankan untuk menjaga saturasi di atas 90%.
(5) Paparan ketinggian tinggi harus dihindari. Jika terbang, oksigen tambahan harus
digunakan jika saturasi oksigen sebelum penerbangan pasien kurang dari 92%.
(6) Terapi diuretik diindikasikan untuk mengatasi kegagalan RV dengan volume
overload.
(7) Digoksin dapat dipertimbangkan dalam kasus atrial takiaritmia.
(8) Antikoagulan oral direkomendasikan di CTEPH, di IPAH, dan pada penyakit lanjut
(mis., Terapi i.v. terus menerus). Pada PAH, pada umumnya ditargetkan nilai terapeutik
yang rendah dari rasio normalisasi internasional (INR) (antara 1,5 dan 2); Namun, ini
belum dievaluasi dalam uji coba terkontrol secara acak.1

3.3.2. Vasodilator Paru.


Pilihan pengobatan awal pada PAH dipandu oleh pengujian vasoreaktivitas. Bagi
responden (sekitar 10% sampai 15% populasi IPAH), CCB adalah lini pengobatan
pertama. Penilaian ulang yang hati-hati untuk keamanan dan kemanjuran adalah wajib,
karena hanya separuh dari pasien ini akan terbukti sebagai penanggap jangka panjang
dan banyak lagi memerlukan vasodilator tambahan. Algoritma pengobatan saat ini
untuk PAH seperti yang disarankan oleh dokumen konsensus ahli ACCF / AHA 2009
ditunjukkan pada Gambar 14.3.1

20
1. Analog prostacyclin: Prostacyclin adalah vasodilator endogen yang kuat dan
penghambat agregasi platelet dan juga tampaknya memiliki aktivitas antiproliferatif. Ini
mungkin menjelaskan mengapa epoprostenol (Flolan) dapat digunakan untuk
menurunkan PAP secara akut (seperti yang digunakan dalam pengujian vasoreaktivitas)
dan juga untuk mencapai perbaikan hemodinamik jangka panjang pada pasien dengan
hipertensi pulmonal yang bukan responden. Pada RCT, epoprostenol telah terbukti
memperbaiki kelas fungsional, toleransi latihan, hemodinamika, dan kelangsungan
hidup pada pasien dengan IPAH. Epoprostenol harus diberikan secara terus menerus.
Infus, dan titrasi awal sering menyebabkan efek samping mual, muntah, sakit kepala,
nyeri rahang dan kaki, dan diare yang tak tertahankan. Kejadian buruk yang terkait
dengan sistem persalinan meliputi kerusakan pompa, infeksi lokal, penyumbatan
kateter, dan sepsis. Treprostinil (Remodulin) adalah analog prostasiklin lain yang dapat
diberikan melalui inhalasi, oral, atau melalui pompa subkutan kontinyu. Telah
ditunjukkan untuk memperbaiki kapasitas latihan, hemodinamika, dan gejalanya. Nyeri

21
di tempat pemasangan infus adalah efek samping yang paling umum. Iloprost
(Ventavis) tersedia sebagai pemberian aerosol dan memiliki efek menguntungkan yang
terbukti pada pasien dengan PAH dan CTEPH.
2. Antagonis reseptor endothelin (ERA): Bosentan (Tracleer) adalah antagonis
reseptor ETA / ETB aktif oral yang telah terbukti dapat meningkatkan kapasitas latihan,
kelas fungsional, hemodinamika, dan kinerja jantung yang diukur dengan
ekokardiografi dan hasil klinis. Sitaxsentan dan ambrisentan adalah antagonis reseptor
ETA yang selektif dengan manfaat yang sama seperti bosentan. Cedera hati dan
teratogenisitas adalah masalah utama dan memerlukan pemantauan bulanan.
3. Penghambat PDE-5: Penghambat PDE-5 aktif secara oral mencegah degradasi
cGMP, menyebabkan vasorelaksi. Sildenafil (Revatio) memiliki efek yang
menguntungkan pada kapasitas olahraga, gejala, dan hemodinamika. Tadalafil (Adcirca)
memiliki efek yang sama, juga menunda waktu untuk perburukan secara klinis. Sakit
kepala, muntah, dispepsia, dan epistaksis adalah efek samping yang biasa. Pada pasien
dengan risiko rendah, terapi oral dengan antagonis reseptor ET atau penghambat PDE-5
adalah pilihan pertama, sedangkan i.v. Epoprostenol dicadangkan untuk populasi
highrisk. Terapi kombinasi dipraktekkan secara rutin jika tujuan pengobatan tidak
tercapai dengan satu senyawa ("terapi tujuan-terarah"). Alasannya didasarkan pada
menyerang berbagai proses patologis dengan agen yang berbeda.1

3.3.3. Tatalaksana pada Polisitemia Sekunder Akibat Hipertensi


Pulmonal
Prinsip pengobatan menurunkan viskositas darah sampai ke tingkat normal
kasus (individual) dan mengontrol eritropoesis dengan flebotomi. Indikasi flebotomi
pada polisitemia sekunder fisiologis, hanya dilakukan jika (Ht >55 %). Prosedur
flebotomi pada permulaan, 250 – 500 cc darah dapat dikeluarkan dengan blood donor
collectionsetstondord setiap 2 hari. Pada pasien dengan usia >55 tahun atau dengan
penyakit vaskular aterosklerotik yang serius, Flebotomi hanya boleh dilakukan dengan
prinsip isovolemik yaitu mengganti plasma darah yang dikeluarkan dengan cairan
pengganti plasma (colloid/ plasma expander) setiap kali, untuk mencegah timbulnya
bahaya iskemia serebral atau jantung karena hipovolemik. 8

22
Pada pasien selama perawatan dianjurkan untuk tetap beraktifitas fisik ringan,
mendapat suplemen oksigen 2 – 4 liter/ menit via nasal kanul, aspilet 2 x 80 mg, dan
digoxin 1 x 0,125 mg, sildenafil 1 x 25 mg, serta dilakukan phlebotomi sebanyak 3 kali
dalam 3 hari berturut – turut dengan volume masing – masing 150 cc, 200 cc, dan 250
cc.

3.4 Prognosis dan Tindak Lanjut


3.4.1. Prognosis.
Kelangsungan hidup pada pasien dengan PH berbeda antara kelompok PH dan
juga dengan setiap kelompok bergantung pada etiologi. Sebagai contoh, prognosis pada
pasien dengan stenosis aorta berat dengan PH akan berbeda dengan pasien dengan gagal
jantung diastolik dan PH. Demikian pula, sangat berbeda antara PH idiopatik dan
skleroderma. Mengevaluasi tingkat keparahan penyakit dan memprediksi kelangsungan
hidup adalah penting karena dapat memandu manajemen klinis. Data terbaik tentang
prognosis tersedia untuk populasi subset IPAH. Riwayat alami kelompok ini
menunjukkan tingkat ketahanan hidup masing-masing 68%, 48%, dan 34% setelah 1, 3,
dan 5 tahun. Ada bukti bahwa prognosis telah membaik dengan terapi vasodilator
pulmonal. Tabel 14.3 menguraikan fitur klinis, ekokardiografi, dan hemodinamik yang
dapat memprediksi prognosis pada pasien dengan PAH. Sekali lagi, data ini terutama
berasal dari populasi IPAH, dan tidak diketahui apakah data ini dapat
dipindahtangankan ke populasi P(A)H lainnya.1

23
3.4.2. Tindak Lanjut
1. Frekuensi
Follow up/ tindak lanjut secara longitudinal pada pasien dengan PAH harus
dilakukan di pusat yang mengkhususkan pada pengelolaan PAH dengan populasi pasien
yang cukup besar. Pusat tersebut memiliki perawat, dokter, dan pendukung tambahan
yang berpengalaman dalam mengelola penyakit dan komplikasinya. Frekuensi tindak
lanjut tergantung pada jalur klinis. Mereka yang memiliki program klinis yang stabil
(yaitu, tanpa bukti gagal jantung, ukuran / fungsi RV normal, kelas fungsional I-II,
6MWT> 400 m, hemodinamika normal / dekat normal, dan tingkat BNP stabil, dan
yang dipertahankan secara oral Terapi) harus memiliki kunjungan klinis setiap 3 sampai
6 bulan. Pasien tidak stabil - mereka yang memiliki tanda gagal jantung kanan, 6MWT
<300 m, hemodinamika abnormal, BNP yang meningkat, dan pada terapi injeksi
intravena atau terapi kombinasi - harus dievaluasi setiap 1 sampai 3 bulan.

24
2. Evaluasi rutin
Penilaian pada setiap kunjungan harus mencakup pemeriksaan fisik, penilaian
kelas fungsional, 6MWT pada setiap kunjungan, dan ekokardiogram pada 6 sampai 12
bulan, dan pemeriksaan darah termasuk biomarker biasanya dilakukan pada setiap
kunjungan atau dengan perubahan status klinis atau terapi; RHC dilakukan setiap 6
sampai 12 bulan pada pasien yang tidak stabil dan pada pasien stabil dilakukan bila
terjadi kemunduran klinis atau perubahan terapi. 1

25
IV. Kesimpulan

Pasien seorang pria berusia 32 tahun dengan keluhan utama sesak napas yang
memberat saat beraktifitas. Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin awal masuk
rumah sakit, pasien didapati dengan polisitemia, yang pada perjalanan rawatan setelah
dilakukan pemeriksaan penunjang berupa EKG, rontgen thoraks dan ekokardiografi
dengan peningkatan tekanan di atrium kanan disimpulkan sebagai polisitemia sekunder
akibat penyakit hipertensi pulmonal. Pada hasil pemeriksaan Transthorakal
ekokardiografi tidak ditemukan adanya kelainan katup – katup jantung, dan pada
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang lain tidak didapatkan adanya tanda/
kelainan penyakit miokardium, penyakit jantung kongenital, dan tidak adanya kelainan
paru, penyakit jaringan ikat atau penyakit tromboemboli kronik, maka pasien dapat
disimpulkan sebagai suatu hipertensi pulmonal primer atau unexplained pulmonary
hypertension. Kemudian selama perawatan di rumah sakit, pasien dianjurkan untuk
tetap beraktifitas fisik ringan, mendapat suplemen oksigen 2 – 4 liter/ menit via nasal
kanul, aspilet 2 x 80 mg, dan digoxin 1 x 0,125 mg, sildenafil 1 x 25 mg, serta
dilakukan phlebotomi sebanyak 3 kali dalam 3 hari berturut – turut dengan volume
masing – masing 150 cc, 200 cc, dan 250 cc. Pasien pulang dengan kondisi baik dan
sudah tidak merasakan sesak napas. Selanjutnya butuh evaluasi lebih lanjut untuk
menilai keberhasilan pengobatan dan kondisi penyakit.

26
Daftar Pustaka

1. Kumar P, Tong WHW. Pulmonary Hypertension. In : Griffin BP (Ed). Manual of


Cardiovascular Medicine. 4th edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, a
Wolters Kluwer Business; 2013.h. 224-35.
2. Gaine SP, Rubin LJ. Primary Pulmonary Hypertension. Lancet 1998; 352: 719-25
3. Diah M. Ghanie A. Hipertensi Pulmonal Primer. In: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, at al
(ed). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th edition. Jakarta : InternaPublishing. 2014. h.
1241-50.
4. Rubin LJ. Primary Pulmonary. Hypertension. N Engl J Med 1997;336:111-117
5. Badesch DB, Abman SH, Simonneau G, at al. Medical Therapy For Pulmonary
Arterial Hypertension' Update ACCP Evidence-Based Clinical Practice Guidelines,
Chest. 2007;131:1917-28.
6. Rich S. Pulmonary Hipertension. In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS. Harrison's
principles of internal medicine, 161h ed, McGraw-Hilt, New York. 2005: 1403-1406
7. Bossone E, D’Andrea A, D’Alto M, at al. Echocardiography in Pulmonary Arterial
Hypertension:
8. from Diagnosis to Prognosis. J Am Soc Echocardiogr. 2013;26:1-14.
9. Prenggono MD. Polisitemia Vera. In: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, at al (ed). Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th edition. Jakarta : InternaPublishing. 2014. h . 2663-70.
10. Haworth SG. Pulmonary Hipertension in The Young. Heart. 2002 Dec; 88(6): 658–664.

27

Anda mungkin juga menyukai