Pendahuluan
1
Dengan adanya gejala nonspecific dan tanda fisik yang halus, terutama pada
tahap awal, indeks kecurigaan klinis yang tinggi diperlukan untuk mendeteksi penyakit
ini sebelum perubahan patofisiologis ireversibel terjadi. Dalam hal ini,
echocardiography transthoracic, dapat memberikan tanda langsung dan / atau tidak
langsung peningkatan tekanan arteri pulmonal (PAP), merupakan tes skrining
noninvasif yang sangat baik untuk pasien dengan gejala atau faktor risiko hipertensi
pulmonal, seperti penyakit jaringan ikat, penggunaan anorexigen, emboli paru, gagal
jantung, dan murmur jantung. Ini juga dapat memberikan informasi penting tentang
etiologi dan prognosis hipertensi pulmonal.7
Polisitemia adalah suatu penyakit kelainan pada sistem mieloproliferatif dimana
terjadi klon abnormal pada hemopoetik sel induk (hematopoietic stem cell) dengan
peningkatan sensitivitas pada growth factors yang berbeda untuk terjadinya maturasi
yang berakibat terjadi peningkatan banyak sel. Polisitemia terbagi dalam polisitemia
primer (Polisitemia Vera dan Polisitemia familia primer) dan Polisitemia yang
dipengaruhi oleh produksi eritropoeitin (Polisitemia Sekunder). Polisitemia sekunder
dapat terjadi oleh karena penurunan oksigenasi pada jaringan.8
Kemajuan terbaru dalam genetika dan biologi sel memberikan wawasan tentang
patogenesis penyakit hipertensi pulmonal dan perawatan baru menawarkan peningkatan
kualitas hidup dan peningkatan kelangsungan hidup. Perbaikan klinis dan hemodinamik
yang berkelanjutan terlihat pada banyak orang dewasa dengan hipertensi pulmonal
primer yang diobati dengan prostasiklin terus menerus, dan data dari berbagai penelitian
eksperimental menunjukkan adanya kemungkinan untuk menghentikan dan bahkan
mungkin membalik proses penyakit. Potensi cenderung lebih besar pada anak muda
dimana vaskulatur masih remodeling.9
2
II. Laporan Kasus
2.1. Identitas
Nama : Masyhadi
Tanggal lahir : 21 September 1984
Alamat : Desa Cot Seutui, kecamatan Kuta makmur, kabupaten Aceh
utara, propinsi Aceh
Pendidikan : S1 STEN Lhokseumawe
Pekerjaan : Karyawan Dinas Pendidikan Dayah Lhokseumawe
Suku : Aceh
Agama : Islam
Status perkawinan : Belum kawin
2.2. Anamnesa
2.2.1. Keluhan Utama
Sesak napas sejak 1 minggu SMRS
3
2.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu
Tahun 2012 pasien batuk berdarah dan didiagnosa sebagai TB Paru (tanpa
pemeriksaan sputum BTA) dan pasien mendapat terapi OAT selama 9 bulan.
Tahun 2013 pasien kembali batuk berdarah, tetapi sudah didiagnosa sebagai
penyakit jantung.
Bulan Mei 2016 pasien dirawat di RS karena sesak napas, tapi belum diketahui
penyebab pastinya.
Bulan November 2016 pasien dirawat di RS karena sesak napas kembali
kambuh, dan pasien dinyatakan menderita penyakit jantung.
Bulan Maret 2017 pasien kembali dirawat di RS karena sesak napas, dan pasien
masih dikatakan menderita penyakit jantung, tetapi tidak tahu penyakit jantung
yang bagaimana pastinya.
4
2.3. Pemeriksaan Fisik
2.3.1. Tanda Vital
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
TD : 130/70 mmHg,
Nadi : 72 x/menit, reguler, isi cukup, kuat angkat
RR : 24 x/menit
T : 37,2 °C
P: SF kanan = SF kiri
P: Sonor / Sonor
5
I : Gerakan dada kanan simetris pada statis dan dinamis
P: SF kanan = SF kiri
P: Sonor / Sonor
Jantung:
Ekstremitas superior: Udem (-/-), Pucat (-/-), ikterik (-/-), jari tabuh (+/+)
Ekstremitas inferior : Udem (-/-), Pucat (-/-), ikterik (-/-) , jari tabuh (+/+)
Anal & Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan
6
7
2.4. Pemeriksaan Penunjang
2.4.1. Laboratorium
Pada laboratorium (tanggal 30 Maret 2017) dari hasil darah rutin didapatkan
Polisitemia dengan Hb 23,1 g/dL, Hematokrit 67%, Eritrosit 7,4 x 106/mm3, Leukosit
9.800/mm3 , Trombosit 212.000 /mm3. MCV 91 fL, MCH 31 pg, MCHC 34 %, RDW
16,7 %, MPV 10,4 fL. Hitung jumlah sel leukosit : Eosinofil 1%, Basofil 0%, Neutrofil
batang 0%, Neutrofil segmen 71%, Limfosit 22%, Monosit 6%.
Elektrolit serum dan fungsi ginjal dalam batas normal (Natrium 129, Kalium 4,0,
Clorida 114, Ureum 38, Creatinin 0,9). Lipid profil dalam batas normal (Kolesterol total
154, HDL 40, LDL 81,4, Trigliserida 163).
Dari hasil morfologi darah tepi didapatkan eritrosit normokrom, anisositosis; leukosit
tidak ada kelainan; trombosit jumlah cukup, tersebar, giant trombosit tidak ada;
kesimpulan normokrom normositer.
2.4.2. EKG
• Irama : Sinus
• Axis : 120 ˚, RAD
• QRS rate : 89 kali/menit
• PR interval : 0,16 detik
• Gel. P : 0,08 detik, 0,25 mV
• ST elevasi : (-)
• ST depresi : (-)
8
• T inverted : (+) di II, III, aVF, V1 dan V2
• Q patologis : (-)
• LVH : (-)
• RVH : (+)
• VES : (-)
• Kesimpulan : sinus ritme dengan HR 89 kali/menit , RAD, dan RVH.
9
Jantung : CTR = 55 %, jantung membesar ke kiri dengan apeks terangkat dan
segmen pulmonal menonjol
2.4.4. Ekokardiografi
10
Pada hasil ekokardiografi (tanggal 4 April 2017) didapatkan LV dimensi normal,
fungsi sistolik normal dengan EF 60%, TR severe, Pa 78 mmHg, IVS/IAS intake, E/A <
1, dengan kesimpulan Trikuspid regurgitasi primer dan hipertensi pulmonal, saran untuk
dilakukan TEE
11
Pada pemeriksaan TEE didapatkan dimensi RV kesan dilatasi, kontraktilitas LV
dan RV kesan baik, tak tampak echogap di IAS, IAS intake, tak tampak thrombus/
vegetasi intracardiac, katup – katup normal, pembuluh aorta tidak terdapat plak
atheroma, dan tidak terdapat aneurisma, tidak didapatkan shunt intracardiac.
2.5. Resume
Pasien seorang pria berusia 32 tahun asal daerah Lhoksemawe, agama Islam,
suku Aceh, belum menikah datang dengan keluhan utama sesak napas yang dirasakan
sejak 1 minggu SMRS, yang dirasakan memberat saat beraktifitas dan berkurang saat
beristirahat. Sesak napas disertai palpitasi dan dada terasa berat saat beraktifitas.
Riwayat sesak napas dan cepat lelah dirasakan sejak berusia 10 tahun.
Dari pemeriksaan fisik, paru – paru tidak didapatkan kelainan, pada jantung
bunyi jantung 2 mengeras di katup pulmonal dan bising diastolik pada katup trikuspid,
serta pada ekstremitas tampak jari seperti jari tabuh.
12
Dari pemeriksaan penunjang didapatkan dari hasil darah dengan polisitemia.
Hasil EKG sinus ritme dengan HR 89 kali/menit , RAD, dan RVH. Hasil rontgen
thoraks Kardiomegali (Hipertrofi ventrikel kanan) dan pulmo tidak tampak kelainan.
Hasil ekokardiografi Trikuspid regurgitasi primer dan hipertensi pulmonal. Serta hasil
TEE didapatkan dimensi RV kesan dilatasi, kontraktilitas LV dan RV kesan baik, tak
tampak echogap di IAS, IAS intake, tak tampak thrombus/ vegetasi intracardiac, katup –
katup normal, pembuluh aorta tidak terdapat plak atheroma, dan tidak terdapat
aneurisma, tidak didapatkan shunt intracardiac.
13
III. Diskusi
14
baik spider nevi, palmar eritem tidak didapatkan. Pada pemeriksaan fisik jantung
didapatkan bunyi jantung 2 mengeras di katup pulmonal, serta ditemukan suara bising
diastolik katup trikuspid. Distensi vena jugularis, hepatomegali dan edema perifer tidak
dijumpai.
15
Pada pasien tidak dilakukan pemerikasaan antibodi antinuklear, karena tidak
dicurigai sebagai kelainan autoimun atas dasar klinis yang tidak mendukung sebagai
suatu kelainan autoimun. Pada pasien juga tidak dilakukan pemeriksaan biomarker
khusus atas dasar ketidaksediaan laboratorium RSUZA atas pemeriksaan tersebut. Dari
pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil darah rutin dengan polisitemia (Hb 23,1
g/dL, Hematokrit 67%, Eritrosit 7,4 x 106/mm3, Leukosit 9.800/mm3 , Trombosit
212.000 /mm3) yang sesuai dengan polisitemia sekunder akibat respon tubuh atas
kondisi hipoksemia jaringan.
16
3.2.4. Ekokardiografi.
Jika hipertensi pulmonal dicurigai berdasarkan riwayat, penilaian faktor risiko,
dan pemeriksaan fisik, ekokardiogram adalah studi tepat berikutnya. Dengan
menggunakan teknik Doppler, kecepatan puncak aliran regurgitasi trikuspid dapat
diukur. Dari kecepatan terukur ini, perbedaan tekanan antara ventrikel kanan dan atrium
kanan dapat diperkirakan dengan menggunakan persamaan Bernoulli yang
disederhanakan (ΔP = 4v2). Dengan kondisi tidak ada stenosis katup pulmonal, PASP =
4 x (kecepatan jet regurgitasi trikuspid) 2 + tekanan atrium kanan (RAP). RAP dapat
diperkirakan berdasarkan karakteristik inferior vena cava (IVC). Jika IVC sangat
banyak dan ada bukti klinis distensi vena Jugular (JVD), RAP diperkirakan 10 sampai
15 mm Hg, sedangkan jika temuan normal, biasanya dihitung sebagai 5 mmHg.
Karakteristik ekokardiografi lainnya dapat meningkatkan kecurigaan hipertensi
pulmonal, seperti dilatasi RA atau RV, septum interventrikular yang mendatar dengan
ventrikel kiri berbentuk D, peningkatan ketebalan dinding RV, dilatasi arteri
pulmonalis, dan adanya efusi perikardial. Fitur ini cenderung terjadi kemudian dalam
perjalanan penyakit. Meskipun ekokardiografi adalah alat skrining yang berguna,
estimasi tekanan yang menurun dari Doppler dapat mengabaikan PASP pada pasien
dengan regurgitasi trikuspid parah dan estimasi berlebih PASP pada pasien non-PH.
Konfirmasi maksimal memerlukan kateterisasi jantung kanan (RHC).1
Pada hasil pemeriksaan ekokardiografi pasien didapatkan LV dimensi normal,
fungsi sistolik normal dengan EF 60%, TR severe, IVS/IAS intake, E/A < 1, dengan
kesimpulan Trikuspid regurgitasi primer dan hipertensi pulmonal, saran untuk dilakukan
TEE.
Pada pemeriksaan TEE didapatkan dimensi RV kesan dilatasi, kontraktilitas LV
dan RV kesan baik, tak tampak echogap di IAS, IAS intake, tak tampak thrombus/
vegetasi intracardiac, katup – katup normal, pembuluh aorta tidak terdapat plak
atheroma, dan tidak terdapat aneurisma, tidak didapatkan shunt intracardiac.
17
3.2.5. Kateterisasi Jantung Kanan (RHC).
RHC diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis hipertensi pulmonal, untuk
menilai etiologi dan tingkat keparahannya, dan untuk menguji vasoreaktivitas sirkulasi
paru.1
Di pusat-pusat yang berpengalaman, tingkat kesakitan (1,1%) dan kematian
(0,055%) rendah. Secara berurutan, tekanan atrium kanan (RAP), tekanan ventrikel
kanan (RVP), tekanan arteri pulmonal (PAP), dan PCWP dicatat menggunakan kateter
balon berisi cairan (Tabel 14.2). Curah jantung dapat ditentukan dengan menggunakan
metode termodilusi dan / atau metode Fick. Pengukuran ini sangat penting karena
membantu membedakan hipertensi pulmonal yang terkait dengan penyakit jantung kiri
dari kondisi lain. Namun, hal itu dapat menjadi kesalahan dalam pengukuran dan
interpretasi. Kadang-kadang, mungkin perlu dilakukan kateterisasi jantung kiri untuk
pengukuran tekanan diastolik akhir ventrikel kiri (LVEDP) secara langsung.1
18
bisa memberi kesan perbaikan hemodinamik palsu atau menunjukkan adanya penyakit
ringan sampai sedang. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengukur PVR, yang akan
menjadi tinggi dalam situasi ini. Biasanya, RAP dan PCWP juga meningkat,
menyiratkan kegagalan RV dan disfungsi diastolik ventrikel kiri (LV). Yang terakhir
adalah konsekuensi dari interdependensi ventrikel dan penyesuaian abnormal ventrikel
kiri yang dihasilkan oleh ventrikel kanan yang membesar.1
Pada pasien ini tidak dilakukan kateterisasi jantung sehubungan dengan tidak
terdapatnya pemeriksaan tersebut di RSUDZA tempat pasien dirawat.
3.3. Penatalaksanaan
Tatalaksana pada hipertensi pulmonal primer terutama dalam bentuk terapi
vasodilator spesifik paru, sedangkan pengobatan pada hipertensi pulmonal lainnya
terutama berorientasi pada penanganan kondisi mendasar (seperti penyakit jantung kiri
dan penyakit paru-paru kronis).1
19
3.3.1. Tindakan Umum.
Beberapa tindakan umum berlaku untuk semua hipertensi pulmonal:
(1) Aktivitas fisik ringan, mungkin melalui latihan rehabilitasi, sangat bermanfaat.
(2) Dianjurkan vaksinasi influenza dan pneumokokus secara rutin.
(3) Kontrasepsi harus didiskusikan dengan wanita usia subur, karena kehamilan
mengandung 30% sampai 50% risiko kematian dan dikontraindikasikan.
(4) Suplemen oksigen disarankan untuk menjaga saturasi di atas 90%.
(5) Paparan ketinggian tinggi harus dihindari. Jika terbang, oksigen tambahan harus
digunakan jika saturasi oksigen sebelum penerbangan pasien kurang dari 92%.
(6) Terapi diuretik diindikasikan untuk mengatasi kegagalan RV dengan volume
overload.
(7) Digoksin dapat dipertimbangkan dalam kasus atrial takiaritmia.
(8) Antikoagulan oral direkomendasikan di CTEPH, di IPAH, dan pada penyakit lanjut
(mis., Terapi i.v. terus menerus). Pada PAH, pada umumnya ditargetkan nilai terapeutik
yang rendah dari rasio normalisasi internasional (INR) (antara 1,5 dan 2); Namun, ini
belum dievaluasi dalam uji coba terkontrol secara acak.1
20
1. Analog prostacyclin: Prostacyclin adalah vasodilator endogen yang kuat dan
penghambat agregasi platelet dan juga tampaknya memiliki aktivitas antiproliferatif. Ini
mungkin menjelaskan mengapa epoprostenol (Flolan) dapat digunakan untuk
menurunkan PAP secara akut (seperti yang digunakan dalam pengujian vasoreaktivitas)
dan juga untuk mencapai perbaikan hemodinamik jangka panjang pada pasien dengan
hipertensi pulmonal yang bukan responden. Pada RCT, epoprostenol telah terbukti
memperbaiki kelas fungsional, toleransi latihan, hemodinamika, dan kelangsungan
hidup pada pasien dengan IPAH. Epoprostenol harus diberikan secara terus menerus.
Infus, dan titrasi awal sering menyebabkan efek samping mual, muntah, sakit kepala,
nyeri rahang dan kaki, dan diare yang tak tertahankan. Kejadian buruk yang terkait
dengan sistem persalinan meliputi kerusakan pompa, infeksi lokal, penyumbatan
kateter, dan sepsis. Treprostinil (Remodulin) adalah analog prostasiklin lain yang dapat
diberikan melalui inhalasi, oral, atau melalui pompa subkutan kontinyu. Telah
ditunjukkan untuk memperbaiki kapasitas latihan, hemodinamika, dan gejalanya. Nyeri
21
di tempat pemasangan infus adalah efek samping yang paling umum. Iloprost
(Ventavis) tersedia sebagai pemberian aerosol dan memiliki efek menguntungkan yang
terbukti pada pasien dengan PAH dan CTEPH.
2. Antagonis reseptor endothelin (ERA): Bosentan (Tracleer) adalah antagonis
reseptor ETA / ETB aktif oral yang telah terbukti dapat meningkatkan kapasitas latihan,
kelas fungsional, hemodinamika, dan kinerja jantung yang diukur dengan
ekokardiografi dan hasil klinis. Sitaxsentan dan ambrisentan adalah antagonis reseptor
ETA yang selektif dengan manfaat yang sama seperti bosentan. Cedera hati dan
teratogenisitas adalah masalah utama dan memerlukan pemantauan bulanan.
3. Penghambat PDE-5: Penghambat PDE-5 aktif secara oral mencegah degradasi
cGMP, menyebabkan vasorelaksi. Sildenafil (Revatio) memiliki efek yang
menguntungkan pada kapasitas olahraga, gejala, dan hemodinamika. Tadalafil (Adcirca)
memiliki efek yang sama, juga menunda waktu untuk perburukan secara klinis. Sakit
kepala, muntah, dispepsia, dan epistaksis adalah efek samping yang biasa. Pada pasien
dengan risiko rendah, terapi oral dengan antagonis reseptor ET atau penghambat PDE-5
adalah pilihan pertama, sedangkan i.v. Epoprostenol dicadangkan untuk populasi
highrisk. Terapi kombinasi dipraktekkan secara rutin jika tujuan pengobatan tidak
tercapai dengan satu senyawa ("terapi tujuan-terarah"). Alasannya didasarkan pada
menyerang berbagai proses patologis dengan agen yang berbeda.1
22
Pada pasien selama perawatan dianjurkan untuk tetap beraktifitas fisik ringan,
mendapat suplemen oksigen 2 – 4 liter/ menit via nasal kanul, aspilet 2 x 80 mg, dan
digoxin 1 x 0,125 mg, sildenafil 1 x 25 mg, serta dilakukan phlebotomi sebanyak 3 kali
dalam 3 hari berturut – turut dengan volume masing – masing 150 cc, 200 cc, dan 250
cc.
23
3.4.2. Tindak Lanjut
1. Frekuensi
Follow up/ tindak lanjut secara longitudinal pada pasien dengan PAH harus
dilakukan di pusat yang mengkhususkan pada pengelolaan PAH dengan populasi pasien
yang cukup besar. Pusat tersebut memiliki perawat, dokter, dan pendukung tambahan
yang berpengalaman dalam mengelola penyakit dan komplikasinya. Frekuensi tindak
lanjut tergantung pada jalur klinis. Mereka yang memiliki program klinis yang stabil
(yaitu, tanpa bukti gagal jantung, ukuran / fungsi RV normal, kelas fungsional I-II,
6MWT> 400 m, hemodinamika normal / dekat normal, dan tingkat BNP stabil, dan
yang dipertahankan secara oral Terapi) harus memiliki kunjungan klinis setiap 3 sampai
6 bulan. Pasien tidak stabil - mereka yang memiliki tanda gagal jantung kanan, 6MWT
<300 m, hemodinamika abnormal, BNP yang meningkat, dan pada terapi injeksi
intravena atau terapi kombinasi - harus dievaluasi setiap 1 sampai 3 bulan.
24
2. Evaluasi rutin
Penilaian pada setiap kunjungan harus mencakup pemeriksaan fisik, penilaian
kelas fungsional, 6MWT pada setiap kunjungan, dan ekokardiogram pada 6 sampai 12
bulan, dan pemeriksaan darah termasuk biomarker biasanya dilakukan pada setiap
kunjungan atau dengan perubahan status klinis atau terapi; RHC dilakukan setiap 6
sampai 12 bulan pada pasien yang tidak stabil dan pada pasien stabil dilakukan bila
terjadi kemunduran klinis atau perubahan terapi. 1
25
IV. Kesimpulan
Pasien seorang pria berusia 32 tahun dengan keluhan utama sesak napas yang
memberat saat beraktifitas. Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin awal masuk
rumah sakit, pasien didapati dengan polisitemia, yang pada perjalanan rawatan setelah
dilakukan pemeriksaan penunjang berupa EKG, rontgen thoraks dan ekokardiografi
dengan peningkatan tekanan di atrium kanan disimpulkan sebagai polisitemia sekunder
akibat penyakit hipertensi pulmonal. Pada hasil pemeriksaan Transthorakal
ekokardiografi tidak ditemukan adanya kelainan katup – katup jantung, dan pada
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang lain tidak didapatkan adanya tanda/
kelainan penyakit miokardium, penyakit jantung kongenital, dan tidak adanya kelainan
paru, penyakit jaringan ikat atau penyakit tromboemboli kronik, maka pasien dapat
disimpulkan sebagai suatu hipertensi pulmonal primer atau unexplained pulmonary
hypertension. Kemudian selama perawatan di rumah sakit, pasien dianjurkan untuk
tetap beraktifitas fisik ringan, mendapat suplemen oksigen 2 – 4 liter/ menit via nasal
kanul, aspilet 2 x 80 mg, dan digoxin 1 x 0,125 mg, sildenafil 1 x 25 mg, serta
dilakukan phlebotomi sebanyak 3 kali dalam 3 hari berturut – turut dengan volume
masing – masing 150 cc, 200 cc, dan 250 cc. Pasien pulang dengan kondisi baik dan
sudah tidak merasakan sesak napas. Selanjutnya butuh evaluasi lebih lanjut untuk
menilai keberhasilan pengobatan dan kondisi penyakit.
26
Daftar Pustaka
27