Disusun Oleh:
Arden Joewondo
00000007569
Pembimbing:
JAKARTA
1
Pendahuluan
Gagal jantung kongestif atau congestive heart failure merupakan sebuah kondisi
dimana jantung tidak lagi mampu memompa darah ke seluruh tubuh dalam jumlah yang
adekuat. Gagal jantung adalah manifestasi akhir yang timbul akibat penyakit jantung lainnya
seperti infark miokard, penyakit katup jantung, penyakit jantung kongenital dan
kardiomiopati. Gagal jantung dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu gagal jantung sistolik
dan diastolik. Berdasarkkan data dari Riskesdas 2013, prevalensi gagal jantung berdasarkan
pernah didiagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,13% dan berdasarkan diagnosis dokter atau
gejala sebesar 0,3%
Gejala dari gagal jantung dibagi berdasarkan gagal jantung kiri atau gagal jantung
kanan. Pada gagal jantung kiri akan ditemukan gejala seperti sesak nafas saat beraktifitas,
ortopnea, paraksosimal nokturnal dyspnea, fatik dan akan ditemukan
diaphoresis,takikardia,takipnea,ronki paru, S3 dan S4 gallop pada pemeriksaan fisik.
Sedangkan pada gagal jantung kanan akan ditemukan gejala seperti edema perifer dan rasa
tidak nyaman di kanan atas, serta ditemukan peningkatan JVP, hepatomegali dan edema
perifer pada pemeriksaan fisik. Klasifikasi NYHA digunakan untuk menilai adanya
perburukan gejala pada pasien dengan gagal jantung kronik.
Acute decompensated heart failure (ADHF) merupakan sebuha kondisi dimana terjadi
perburukan secara klinis dari pasien dengan gagal jantung kronik. Kondisi ini dapat dipicu
oleh beberapa hal seperti contohnya infeksi, ketidakpatuhan minum obat-obatan, efek
samping dari obat, miokard infark, gagal ginjal, hipertensi tidak terkontrol dan lain-lain.
Pada laporan kasus ini akan membahas pasien dengan inisial Tn.H berusia 43 tahun
yang dirawat dengan keluhan sesak nafas yang timbul saat berjalan atau beraktifitas sehari-
hari. Sesak yang dirasakan membaik saat istirahat. Pasien mempunyai keluhan sesak jika
tidur terlentang dan membaik saat duduk. Selain itu pasein juga sering terbangun saat malam
hari karena sesak. Ketiga keluhan ini merupakan sesak yang khas pada penyakit gagal
jantung.
2
3
BAB I
LAPORAN KASUS
i. Identitas Pasien
Nama : Tn. H
Usia : 43 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 04-05-1974
Alamat : Jl. Madrasah no 13 pancoran, Jakarta selatan
Agama : Katolik
Status Perkawinan : Menikah
No. Rekam Medis : 40-71-xx
ii. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 14 Maret 2018,
pukul 16.00 WIB, di bangsal Cempaka atas, Rumah Sakit TNI AL Marinir Cilandak.
Keluhan Utama:
Sesak nafas saat beraktivitas sejak 2 jam SMRS
4
bunyi mengi. Batuk tidak disertai dengan dahak dan darah. Selain sesak nafas
saat beraktivitas, pasien juga merasa cepat lelah ketika berjalan. Pasien juga
mengeluhkan kakinya bengkak yang timbul sejak bulan januari 2018. Pasien
mengatakan berat badannya bertambah sejak kaki bengkak, awalnya berat
badan pasien 106kg dan dalam waktu 1.5 bulan berat badan pasien bertambah
menjadi 125kg. Pasien sering terbangun saat malam untuk buang air kecil.
Pasien tidak memiliki keluhan nyeri dada dan rasa berdebar-debar. Pasien
menyangkal adanya demam, mual, muntah dan keringat dingin.
TANDA-TANDA VITAL
Tekanan Darah : 180/100 mmHg
Nadi : 104x/menit
Suhu : 36.0oC
Laju Nafas : 30x/menit
SpO2 : 98% (setelah diberikan O2 nasal canul 2Lpm)
5
STATUS GENERALIS
Kepala : Normocephaly
Paru
Inspeksi : Pernafasan statis dinamis simetris, spider navy -
Palpasi : Pengembangan dada simetris kiri dan kanan
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : ronchi +/+, wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-), heave (-)
Perkusi :
Batas atas : SIC II linea mid clavicula sinistra
Batas kanan : SIC IV linea para sternalis dextra
Batas kiri : SIC IV linea anterior axilla sinistra
6
Abdomen
Inspeksi : Bentuk datar, caput medusa (-), luka post op (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Extremitas : Akral hangat, CRT <2 detik, pitting edema +/+ pada
tungkai bawah
7
EKG 20 januari 2018
Rate : 107x/menit
P wave : normal
PR interval : 0,18 s
ST segment : isoelektrik
8
Rontgen Toraks PA (6 Maret 2018)
Paru : tidak tampak infiltrat di kedua lapang baru. Corakan bronkovaskuler tampak
bertambah.
Tulang-tulang intak.
9
v. Resume
Tn H, usia 43 tahun datang ke poliklinik jantung Rumah Sakit TNI AL Marinir
Cilandak pada tanggal 14 Maret 2018 pukul 14:00 dengan keluhan sesak nafas yang
memberat saat beraktivitas sejak 2 jam SMRS. Pasien merasakan sesak nafas saat
beraktivitas sejak bulan Januari namun pasien tidak berobat ke dokter. Sesak nafas yang
dirasakan pasien timbul saat pasien berjalan sekitar 15 meter dan hilang saat beristirahat.
Pasien merasa sesak nafas ketika tidur dengan 1 bantal dan sering terbangun saat malam
hari karena sesak serta batuk. Saat sesak, pasien masih dapat berbicara dalam kalimat dan
tidak disertai dengan bunyi mengi. Batuk tidak disertai dengan dahak dan darah. Selain
sesak nafas saat beraktivitas, pasien juga merasa cepat lelah ketika berjalan. Pasien juga
mengeluhkan kakinya bengkak yang timbul sejak bulan januari 2018. Pasien mengatakan
berat badannya bertambah sejak kaki bengkak, awalnya berat badan pasien 106kg dan
dalam waktu 1.5 bulan berat badan pasien bertambah menjadi 125kg. Pasien sering
terbangun saat malam untuk buang air kecil. Dari riwayat penyakit keluarga ditemukan
bahwa ayah dan ibu pasien memiliki riwayat hipertensi dan stroke.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan bahwa tekanan darah 180/100mmgHg, nadi
104x/menit, peningkatan laju nafas 30x/menit, perkusi batas jantung melebar dan
auskultasi pada kedua lapang paru ditemukan adanya ronki paru. Dari pemeriksaan
laboratorium ditemukan creatinine meningkat (1.24 mg/dl). Dari EKG tanggal 20 januari
2018 ditemukan adanya hipertrofi dari ventrikel kanan. Dari rontgen toraks ditemukan
adanya kardiomegali dengan awal bendungan paru.
vi. Diagnosis
Captopril 3x12.5mg
10
Spironolakton 0-25-0
viii. Prognosis
ix. Follow Up
Tanggal/Waktu Follow up
Perawatan S:
Hari ke-1
Sesak (+) sudah berkurang dibandingkan kemarin
15 Maret 2018
08.00 WIB Kaki edema +/+
O:
TSS/CM
RR : 20x/menit
T : 36oC
11
Abdomen : BU (+), datar, supel, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, edema +/+ tungkai bawah
A:
Pulmonary edema et causa ADHF mulai
terkontrol+Hipertensi
P:
Inj Furosemide 40-40-40
Concor (bisoprolol) 1x2.5mg
O2 via nasal canule 2L/menit (K/P)
Captopril 3x12.5mg
Spironolakton 0-25-0
KSR (potassium chloride) 2x1
HCT 25-0-0
Diet Jantung III 1900 kkal
Total cairan: 2000cc (IVFD 500cc, PO
1500cc). Balans -500 sd -1000cc
Tanggal/Waktu Follow up
Perawatan S:
Hari ke-2
Sesak (-). Kaki edema +/+
16 Maret 2018
08.30 WIB
O:
TSS/CM
RR : 20x/menit
12
T : 36.4oC
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, edema +/+ tungkai bawah
A:
ADHF terkontrol CHF, Hipertensi grade 2
P:
Inj Furosemide 40-40-40
Concor (bisoprolol) 1x2.5mg
O2 via nasal canule 2L/menit (K/P)
Captopril 3x12.5mg
Spironolakton 0-25-0
KSR (potassium chloride) 2x1
HCT 25-0-0
Diet Jantung III 1900 kkal
Tanggal/Waktu Follow up
Perawatan S:
Hari ke-3 Sesak (-)
13
17 Maret 2018
Kaki edema +/+ berkurang
07.00 WIB
O:
TSS/CM
RR : 22x/menit
T : 36.0oC
Na: 140mmol/ L
K: 3.3 mmol/L
Cl: 97mmol/L
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, pitting edema +/+ tungkai
bawah
14
Rhytm: Sinus rhytm
Rate: 83x/menit
Axis: Normoaxis
PR interval: 280ms
QRS:114ms
QT interval: normal
A:
Tidak ada keluhan sesak. Pitting Edema di kedua
tungkai bawah berkurang namun belum tuntas.
15
P:
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
i. Definisi
Gagal jantung merupakan kondisi dimana jantung tidak lagi mampu memompa
volume darah yang adekuat keseluruh jaringan tubuh. Gagal jantung dapat timbul
akibat adanya gangguan struktural dan fungsional dari jantung Gangguan fungsi
jantung dapat berupa gangguan fungsi diastolik atau sistolik, gangguan irama jantung,
atau ketidaksesuaian preload dan afterload. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian
pada pasien. Gagal jantung dapat dibagi menjadi tipe sistolik dengan penurunan
ejection fraction (reduced ejection fraction/rEF) dan tipe diastolik dengan ejection
fraction baik (preserved ejection fraction/pEF).1
Acute decompensated heart failure (ADHF) adalah suatu kondsi dimana terjadi
perburukan klinis dari gagal jantung antara lain adalah sesak nafas (dyspnea), edema
dan cepat lelah. Gejala klinis yang timbul dapat timbul secara tiba-tiba ataupun secara
perlahan. ADHF merupakan penyebab gagal nafas akut paling sering dan dapat
berakibat fatal. Penyebab dari kondisi ini karena adanya kongesti dari multipel organ
yang menyebabkan cairan tidak dapat disirkulasikan oleh jantung yang fungsinya
sudah menurun Penyebab dekompensasi antara lain adalah volume overload,
ketidakpatuhan minum obat (poor compliance),adanya infark miokard, ritme jantung
yang irreguler, infeksi dan penyakit tiroid.1,2
ii. Epidemiologi
Menurut data dari riskesdas 2013, prevalensi gagal jantung berdasarkan yang pernah
didiagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,13 persen, dan berdasarkan diagnosis dokter atau
gejala sebesar 0,3 persen. Prevalensi gagal jantung meningkat seiring dengan pertambahan
usia, tertinggi pada umur 65 – 74 tahun sebesar 0.5%. Prevalensi gagal jantung lebih tinggi
pada masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah dan masyarakat yang tinggal di
perkotaan.3
17
iii. Etiologi dan Faktor Risiko
Faktor risiko dari terjadinya gagal jantung adalalah perokok, hipertensi, obesitas,
diabetes melitus, kelainan katup jantung dan penyakit jantung koroner. Sedangkan
faktor pencetus dan penyebab dari ADHF dapat dibagi menjadi dua kelompok besar
yaitu:
1. Keadaan yang membuat perburukan secara cepat : sindrom koroner
akut, emboli pulmonal akut, krisis hipertensi, tamponad jantung,
diseksi aorta, kardiomiopati peripertum.
2. Keadaan yang membuat perburukan secara perlahan : infeksi, ppok
eksaserbasi, asma, anemia, disfungsi ginjal. Ketidakpatuhan terhadap
obat dan diet : aritmia,bradikardia, hipertensi tidak terkontrol,
hipertiroid atau hipotiroid.1,4
18
iv. Klasifikasi
Klasifikasi dari gagal jantung dapat dibagi menjadi dua yaitu klasifikasi berdasarkan
kelainan struktural jantung dan klasifikasi berdasarkan kapasitas fungsional (klasifikasi
NYHA).6
v. Manifestasi klinis
Gejala tipikal yang timbul pada pasien dengan penyakit gagal jantung adalah sesak,
cepat lelah, bengkak pada ekstremitas bawah dan toleransi aktifitas yang berkurang.
Yang termasuk dalam sesak adalah dyspnea on exertion,orthopnea,paroxysmal
nocturnal dyspnea. Dyspnea on exertion adalah sesak nafas yang timbul saat
beraktivitas. Orthopnea adalah sesak yang dipengaruhi posisi tidur, sesak timbul saat
pasien tidur terlentang, karena itu pasien biasa tidur lebih nyaman dengan bantal
yang jumlahnya lebih dari 1. Paroxysmal nocturnal dyspnea adalah sesak yang
timbul saat malam hari. Sesak pada malam hari ini timbul setelah pasien rebahan 1-3
jam . Sesak dapat disertai dengan batuk dan bunyi mengi. Tanda yang dapat muncul
saat dilakukan pemeriksaan fisik antara lain adanya peningkatan JVP,refluks
hepatojugular, suara jantung tambahan (S3 gallop), ronki pada lapang paru.1,6
19
Gambar 1. Gejala dan tanda gagal jantung6
vi. Patofisiologi4
20
Skema 1. Patofisiologi gagal jantung
Apabila gagal jantung telah terjadi, maka jantung akan melakukan serangkaian
kompensasi terhadap keadaan yang terjadi. Kompensasi jantung berupa 1) Mekanisme
Frank-Starling, 2) Penyesuaian kerja neurohormonal, dan 3) hipertrofi dan remodeling
ventrikel. Mekanisme Frank-Starling berjalan pada keadaan ventrikel jantung yang terisi
volume darah melebihi biasanya (akibat pengosongan ventrikel tidak komplit,
peningkatan tekanan diastolik, peningkatan preload), menyebabkan peregangan otot
jantung. Hal ini menstimulasi otot jantung untuk berkontraksi lebih hebat dalam upaya
untuk meningkatkan volume darah yang dikeluarkan jantung setiap kali ventrikel
berkontraksi (Stroke volume).
Penyesuaian kerja neurohormonal terjadi lewat sistem saraf adrenergic, sistem renin-
21
angiotensin-aldosteron (RAAS), dan produksi hormon antidiuretic (ADH) / vasopressor.
Sistem saraf adrenergik bekerja saat baroreseptor pada sinus carotid dan lengkung aorta
menrasakan adanya penurunan curah jantung. Baroreseptor akan mengirimkan signal ke
pusat kardiovaskuler di medulla agar efek simpatis pada otot jantung dan vaskular
meningkat, sedangkan efek parasimpatis menurun. Efek yang terjadi adalah peningkatan
frekuensi nadi, kontraktilitas jantung dan konstriksi vaskular sistemik. Sistem renin-
angiotensin-aldosteron terstimulasi saat ada penurunan perfusi ginjal, penurunan
hantaran garam ke makula densa akibat turunnya hemodinamik ginjal dan stimulasi
langsung dari sistem saraf adrenergik. Aparatus juxtaglomerular ginjal akan
memperoduksi renin, masuk ke sirkulasi darah, dan melewati hepar agar hepar
menghasilkan angiotensin I. Angiotensin I masuk sirkulasi darah akan melewati paru
yang menghasilkan ACE (Angiotensin converting enzyme), mengubah angiotensin I
menjadi angiotensin II. Angiotensin II adalah vasokonstriktor kuat vaskular sistemik
dan senyawa yang merangsang hipotalamus untuk memberikan rangsang haus.
Angiotensin II masuk sirkulasi darah dan melewati kelenjar adrenal. Kelenjar adrenal
akan mengeluarkan aldosteron yang mempunyai efek retensi garam dan air. Hal ini
meningkatkan volume darah yang kembali ke jantung sehingga preload jantung akan
bertambah. Hormon antidiuretik / vasopressin dikeluarkan dari pituitari posterior dan
memiliki efek retensi air pada bagian distal nefron serta vasokonstriksi sistemik.
22
Apabila mekanisme kompensasi ini terus terjadi, maka akan ada suatu masa dimana
serangkaian mekanisme ini tidak dapat menangani keadaan gagal jantung lagi
(dekompensasi gagal jantung akut), sehingga timbul kembali gejala gagal jantung yang
lebih parah dan membutuhkan tatalaksana intensif segera.
vii. Diagnosa
Diagnosis dapat dibuat berdasarkan anamnesis,pemeriksaan fisik, elektrokardiografi,
foto rontgen toraks, ekokardiografi-doppler dan kateterisasi. Untuk menegakkan
diagnosis dapat juga menggunakan kriteria Framingham yang memerlukan minimal 1
kriteria major dan 2 kriteria minor.
Kriteria mayor:1
Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND)
Distensi vena leher
Ronki paru
Kardiomegali
Edema paru akut
23
Gallop S3
Peninggian tekanan vena jugularis
Refluks hepatojugular
Kriteria minor:1
Edema ekstremitas
Batuk malam hari
Dyspnea on effort
Hepatomegali
Efusi pleura
Takikardia (> 120x / menit)
24
Gambar 3. Alur diagnosis gagal jantung.7
25
4. Ekokardiogram
Pemeriksaan ekokardiogram adalah pemeriksaan yang paling berguna untuk menentukan
gagal jantung. Ekokardiogram dapat menilai ukuran dan fungsi ventrikel kiri, kondisi
katup serta gerakan dinding jantung. Indeks fungsi ventrikel yang paling berguna adalah
ejeksi fraksi.
5. Pemeriksaan biomarker
Brain Natriuretic Peptide (BNP) dan pro-BNP sensitif untuk mendeteksi gagal jantung.
Dikatakan gagal jantung apabila nilai BNP 100 pg/mL atau NT-proBNP 300 pg/mL.
a. Non akut
1. Diuretik
Diuretik adalah pengobatan pada pasien HFrEF dengan tanda dan gejala klinis kongesti.
Diuretik sendri terdiri dari beberapa golongan, namun golongan yang sering dipakai pada
pegobatan HFrEF adalah loop diuretic dan thiazide. Dosis pemberian loop atau thiazide
dapat dilihat pada tabel 9. Apabila terdapat hipokalemia, terutama disertai dengan
pemakaian ACEI/ARB, maka diuretic segera diganti ke golongan K- sparring dengan
dosis seperti di tabel 10. Efek samping pemakaian diuretic adalah hypokalemia,
hiperkalemia (pada K-sparring diuretic), hiponatremia, hipotensi, nyeri kepala, pusing,
haus, ruam kulit, gout, diare, spasme otot, alergi, gagal ginjal, nadi iregular, ototoksik.
Kontraindikasi pemberian diuretic adalah pasien gagal ginjal, gangguan elektrolit
terutama kalium. Apabila pemberian antidiuretic tidak menunjukkan perbaikan gejala,
maka harus dilakuakn plasmapharesis.
26
Kontraindikasi pemberian ACEI adalah riwayat angioedema dengan pengobatan ACEI
sebelumnya, stenosis arteri renal (bilateral / unilateral dengan fungsi ginjal soliter),
hipersensitivitas terhadap ACEI. Pemberian ACEI harus diawasi pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal, stenosis katup aorta, obstruksi outflow jantung, hypovolemia,
dehidrasi, hemodialisa dengan kadar membran polyacrylonitrile tinggi, serum kalsium >5
mmol/L, serum kreatinin >2,5 mg/dL. Jangan meningkatkan dosis ACEI apabila
dtemukan perburukan fungsi ginjal dan hyperkalemia. Efek berkelabalikan yang dapat
ditimbulkan dari pemakaian ACEI adalah hipotensi, disfungsi renalm hyperkalemia,
batuk, ruam kulit, gangguan indera perasa, angioneurotic edema. Apabila pasien tidak
dapat mentoleransi ACEI, maka dapat diganti dengan Angiotensin Receptor Neprilysin
Inhibitor (ARNI) / Angiotensin Receptor Blocker (ARB). Jika pemberian ACEI / ARB
tidak membuat perbaikan gejala, maka dapat diberikan aldosterone antagonist.
3. -blocker (BB)
BB diberikan sebagai terapi inisial pasien gagal jantung setelah keadaan pasien stabil. BB
seperti ACEI meningkarkan angka survival, menurunkan resiko rawat inap akibat gagal
jantung, dan memperbaiki gejala. BB bekerja dengan mem-blok reseptor 1 pada otot
jantung. Dosis pemberian BB dapat dilihat pada tabel 11, dan ditingkatkan sampai
mencapai osis target. Indikasi pemberian BB adalah pasien dengan riwayat infark
miokardium, LVEF <40%, NYHA II-III, dosis kuat ACEI/ARB. Kontraindikasi
pemberian BB adalah derajat 2-3 AV blok, iskemia, asma, alergi pada pemberian
sebelumnya. Pemakaian BB perlu diawasi pada pasien dengan gagal jantung NYHA IV,
eksaserbasi gagal jantung, AV blok, bradikardi dalam 4 minggu terakhir, dan gagal
jantung akut. Efek berkebalikan pada pemakaian BB adalah perasaan lemas berlebihan,
bradicardia, hipotensi, jalur napas reaktif, gangguan mood, depresi, claudicatio
intermitternt, impotensi.
27
dengan ACEI dan BB. Pemberian dosis MRA dapat dilihat pada tabel 11. Efek samping
penggunaan MRA adalah hiperkalemia, gynecomastia, disfungsi erektil pada laki-laki
kaena menurunka kadar testosteron (spironolactone). MRA dalam pengobatan HFrEF
juga ikut menurunkan angka mortalitas dan resiko rawat inap akibat gagal jantung.
28
Diuretik
Loop diuretic
furosemide 20-40
bumetanide 0.5-1
torasemide 5-10
Thiazide
bendroflumethiazide 2.5
hydrochlorothiazide 25
metolazone 2.5
indapamide 2.5
Potasium sparring diuretic w/ ACEI/ W/o
ARB ACEI/ARB
Spironolactone/eplenerone 12.5-25 50
amloride 2.5 5
triamterene 25 50
MRA
Eplenerone 25 o.d 50 o.d
spironolactone 25 o.d 150 o.d
ARB
Candesartan 4-8 o.d 32 o.d
Valsartan 40 b.i.d 160 b.i.d
Losartan 50 o.d 150 o.d
ARNI
Sacubitril / valsartan 49/51 b.i.d 97/103 b.i.d
If-channel blocker
Ivabradine 5 b.i.d 7.5 b.i.d
Tabel 11. Dosis obat HFrEF
2. Olahraga
Olahraga (treadmill / bicycle) 30-45 menit 3-5x/ minggu (termasuk pemanasan dan
pendinginan) – disesuaikan dengan kemampuan pasien
4. Edukasi tentang gagal jantung, bahaya, gejala yang dirasakan, kapan harus datang ke
fasilitas kesehatan, pentingnya konsumsi obat-obatan dan melakukan terapi non
farmakologi secara disiplin
5. Stop merokok
b. Akut
1. Lasix (furosemide IV) mengurangi preload ventrikel kiri dan tekanan hidrostatik
kapiler paru
2. Morphin sulfate (IV) 2-8 mg, boleh diulang setiap 2-4 jam mengurangi rasa
cemas. Monitor: respirasi
3. Nitrogliserin (vasodilator) membantu pengumpulan darah pada perifer,
menurunkan tekanan darah, tekanan pengisian ventrikel kiri. (IV untuk edema paru
berat, sublingual utuk edema paru ringan.)
4. Oksigenasi (NRM) pada pasien hipoksemia dengan saturasi 94%. Ventilasi
menggunakan PEEP (tekanan akhir respirasi positif) 5-7.5 cmH2O dititrasi sampai 10
cmH2O hingga mendapatkan respon adekuat, dan pengiriman FIO2 >0.4. pemberian
tiap 30 menit/ jam atau sampai sesak hilang dan saturasi oksigen meningkat tanpa
30
tekanan airway positif kontinyu (CPAP). Tidak ada perbaikan maka diperlukan
intubasi dan ventilasi mekanis.
5. Posisikan duduk tegak (posisi Fowler) menurunkan venous return ke jantung dan
mengumpulkan darah pada bagian tungkai bawah.
B. HIPERTENSI
i. Definisi
Hipertensi adalah kondisi dimana tekanan darah sistolik melebihi 140 mmHg dan tekanan
darah diastolik melebihi 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima
menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang.11
Penyebab dari hipertensi primer atau essensial sampai sekarang masih belum diketahui
sampai saat ini. Faktor genetik merupakan faktor pencetus terjadinya hipertensi primer pada
seseorang. Sedangkan hipertensi sekunder disebabkan oleh faktor yang sudah diketahui yaitu
seperti jika adanya gagal ginjal kronik, tumor adrenal, penyakit tiroid, penggunaan obat-
obatan tertentu seperti dekongestan, NSAID, kortikosteroid. 11
Faktor-faktor yang tidak dapat dimodifikasi antara lain faktor genetik, usia, jenis kelamin,
dan etnis. Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi antara lain seperti stress psikologik,
obesitas dan diet makanan.11
iii. Klasifikasi
Tekanan darah diklasifikasikan berdasarkan hasil rata-rata dua kali atau lebih pengukuran
tekanan darah pada dua kali atau lebih kunjungan ke tenaga medis. Jika tekanan darah
sistolik dan diastolik jatuh ke dalam pengelompokkan yang berbeda, klasifikasi dibuat
berdasarkan hasil tertinggi dari dua tekanan darah tersebut.11
31
Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi pada Dewasa11
Hipertensi dapat timbul tanpa disertai dengan gejala atau tanda yang membuat pasien sadar
akan penyakit tersebut. Beberapa pasien dengan hipertensi mengeluhkan adanya nyeri kepala
yang sifatnya tumpul, mual, muntah, pusing berputar, epistaxis, pandangan kabur, hingga
kerusakan organ-organ lain seperti ginjal. Diagnosis pasti dari hipertensi adalah melalui
kunjungan ke para tenaga medis.11
v. Tata Laksana
Tata laksana hipertensi meliputi aspek non-farmakologi (perubahan pola hidup) dan terapi
farmakologi (menggunakan obat-obatan) untuk menurunkan tekanan darah dan mengurangi
risiko terjadi serangan jantung. Menurut guideline dari JNC-8, pemberian obat antihipertensi
dapat dimulai pada pasien berumur kurang dari 60 tahun dengan tekanan darah sistolik tetap
≥ 160mmHg dan tekanan darah diastolik tetap ≥ 90mmHg walaupun terapi non farmakologi
berpua perubahan pola hidup telah dijalankan. Sementara untuk pasien dengan umur 60
tahun atau lebih, obat antihipertensi dapat dimulai ketika tekanan darah sistolik ≥ 150
mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg.11
Menurut rekomendasi dari American Heart Association (AHA), jumlah konsumsi sodium
untuk orang dengan hipertensi dibatasi agar tidak melebihi 1.5g gram per harinya. Dietary
Approaches to Stop Hypertension atau DASH diet diperuntukkan untuk diet yang kaya akan
buah-buahan, sayur-sayuran, gandum utuh, daging ayam dan ikan. Diet ini membatasi
32
intake gula, minuman yang manis dan daging merah. Diet DASH juga merekomendasikan
agar minuman alkohol dibatasi. Selain modifikasi diet sehari-hari, olahraga seperti
berenang, jogging, bersepeda, juga terbukti dapat mengurangi tekanan darah dan
memperbaiki kondisi kesehatan jantung secara menyeluruh. Olahraga sebaiknya dilakukan
dengan intensitas sedang hingga tinggi selama 40 menit dan sebanyak tiga hingga empat
kali dalam seminggu untuk menurunkan tekanan darah .11
Jika perubahan pola hidup belum efektif mengontrol tekanan darah, terapi antihipertensi
harus diberikan. Terapi farmakologis untuk hipertensi mencakup diuretik golongan thiazide,
long acting calcium channel blocker (CCB), angiotensin converting enzyme inhibitors
(ACEI), dan angiotensin II receptor blocker (ARB). Berbeda dengan JNC-7, pada JNC-8
golongan beta blocker tidak diinisiasikan sebagai terapi awal. Pada populasi dengan kulit
hitam, terapi awal harus mencakup diuretik golongan thiazide atau calcium channel
blocker.11
Apabila target tekanan darah tidak tercapai setelah satu bulan mendapatkan terapi
farmakologis, dosis obat dapat ditambah atau menambah obat dari golongan lain (terapi
kombinasi). Terapi kombinasi ini dapat dimulai apabila tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg
dan/atau tekanan darah diastolik > 100 mmHg, atau jika tekanan darah sistolik > 20 mmHg
diatas target dan/atau tekanan darah diastolik > 10 diatas target. Jika target tekanan darah
belum juga tercapai, pemberian obat dari golongan lain yang direkomendasikan dapat
ditambahkan.11
Obat lini kedua untuk hipertensi mencakup beta blockers, aldosterone antagonists, alpha-
blockers, dan direct renin inhibitors. Obat golongan beta-blocker tidak lagi menjadi lini
pertama pengobatan hipertensi karena menurut studi yang ada penggunaan obat golongan
ini meningkatkan insiden serangan jantung dan stroke11
33
Tabel 2. Target Tekanan Darah11
34
BAB III
ANALISA KASUS
Pada anamnesis ditemukan bahwa keluhan utama Tn H yaitu adanya sesak nafas saat
beraktivitas sejak 2 jam SMRS. Sesak nafas yang dirasakan timbul saat beraktivitas dan
membaik saat istirahat. Keluhan ini merupakan dyspnea on exertion. Selain itu pasien juga
merasakan sesak saat tidur terlentang (ortopnea) dan sering terbangun saat malam hari karena
sesak yang disertai dengan batuk (paroxysmal nocturnal dyspnea). Ketiga keluhan sesak ini
merupa gejala yang khas pada penyakit gagal jantung. Pasien juga mengeluhkan cepat lelah,
keluhan ini timbul karena jantung tidak mampu memompa jumlah darah yang cukup ke seluruh
tubuh. Pada gagal jantung, ventrikel tidak mampu untuk memompa darah secara adekuat,
sehingga akan terjadi back-flow yang menyebabkan pulmonary edema. Pasien juga mengatakan
adanya penambahan berat badan dari 106kg menjadi 125kg dalam waktu 1.5 bulan. Penambahan
berat badan dari pasien disebabkan karena akumulasi dari cairan interstisial.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya ronki di kedua lapang paru dan pitting edema
di tungkai bawah. Ronki pada paru-paru terjadi karena adanya pulmonary edema yang
disebabkan gagal jantung kiri. Sedangkan pitting edema menandakan bahwa adanya gagal
jantung kanan. Pitting edema ini terjadi karena adanya peningkatan tekanan hidrostatic vena
Pada foto rontgen toraks ditemukan adanya kardiomegali (CTR 69%) dan pulmonary edema.
Pada EKG ditemukan adanya Right Ventricular hypertrophy (gelombang S dalam di lead V5-6
>7mm).
Diagnosis hipertensi ditegakkan karena pengukuran tekanan darah pasien selama 3 hari di
rumah sakit yang melebihi dari 140/90 mmHg. Menurut JNC8, hipertensi pada pasien ini dapat
digolongkan ke dalam hipertensi derajat II karena adanya peningkatan tekanan darah yang
mencapai 180/100mmHg sewaktu pasien tiba di IGD dan 160/100mmHg selama pasien dirawat
di bangsal. Hipertensi pada pasien ini dapat digolongkan ke dalam hipertensi primer/esensial
karena kedua orang tua pasien juga memiliki kondisi serupa yang memungkinkan adanya
peranan dari faktor genetik. Akan tetapi pasien tidak pernah melakukan checkup untuk
memeriksa tekanan darah sehingga pasien tidak tahu bahwa dirinya memiliki riwayat hipertensi.
Maka dari itu hipertensi yang tidak terkontrol ini dapat memicu terjadinya kagagalan jantung.
35
Jika dilihat dari faktor risiko terjadinya gagal jantung, pasien ini memiliki faktor risiko
antar a lain obesitas dan hipertensi yang tidak terkontrol. Menurut kriteria Framingham, gagal
jantung pada pasien ini bisa ditegakkan karena adanya 4 kriteria mayor berupa paroxysmal
nocturnal dyspnea, ronki paru, kardiomegali pada x-ray dan adanya edema paru akut , serta 3
kriteria minor yaitu edema ekstremitas, batuk malam hari dan dyspnea on exertion . Berdasarkan
keluhan dan kondisi pasien saat hari pertama masuk bangsal, pasien termasuk dalam NYHA
kelas 3 yaitu adanya limitasi aktifitas pada aktifitas normal dan keluhan membaik saat istirahat.
Saran pemeriksaan diagnostik gagal jantung yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan BNP dan
NT-pro BNP. Dapat dikatakan gagal jantung apabila BNP 100 pg/mL atau NT-proBNP 300
pg/mL.
Selama perawatan pasien di bangsal, asupan cairan pasien di restriksi dan urin outputnya
di monitor. Intake cairan dibatasi maksimal 2000cc per harinya. Obat-obatan yang diberikan
pada pasien antara lain injeksi furosemid 3x40mg, spironolactone 1x25mg (siang), HCT
1x25mg(pagi), captopril 3x12.5mg, concor 1x2.5mg, Setelah hari ke 4 dirawat, pasien diijinkan
untuk rawat jalan karena keluhan sesak sudah tidak ada dan edema di tungkai bawah sudah
berkurang banyak. Pasien diberikan obat rawat jalan sebagai berikut: furosemide oral 2x40mg
(40-40-0), captopril 3x25mg, concor 1x5mg (5-0-0), spironolactone 1x25mg (0-25-0), HCT
1x25mg (25-0-0), KSR 2x1. Pasien diminta untuk datang 1 minggu lagi untuk kontrol.
Saran Pemeriksaan selanjutnya yang dapat dilakukan adalah echocardiogram untuk
melihat tipe gagal jantung dari pasien tersebut dengan cara melihat ejection fraction.
36
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata K M, Setiyohadi B, Syam AF, editors. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV ed. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
2. Joseph SM, Cedars AM, Ewald GA, Geltman EM, Mann DL. Acute Decompensated
2009;36(6):510-520.
4. Lilly LS. Pathophysiology of Heart Disease. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2011.
5. Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrisons
principles of internal medicine. 19th ed. New York: McGraw Hill Education; 2015.
7. The Task Force for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure of the
European Society of Cardiology (ESC). Eur Heart J (2016) 37 (27): 2129-2200.
8. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta ES. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi IV ed.
Jakarta: Media Aesculapius; 2014.
37
9. Ponikowski, P., Voors, A., Anker, S., Bueno, H., Cleland, J., Coats, A., Falk, V.,
González-Juanatey, J., Harjola, V., Jankowska, E., Jessup, M., Linde, C.,
Nihoyannopoulos, P., Parissis, J., Pieske, B., Riley, J., Rosano, G., Ruilope, L.,
Ruschitzka, F., Rutten, F. and van der Meer, P. (2016). 2016 ESC Guidelines for the
diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure. European Heart Journal,
37(27), pp.2129-2200.
10. Yancy, C., Jessup, M., Bozkurt, B., Butler, J., Casey, D., Drazner, M., Fonarow, G.,
Geraci, S., Horwich, T., Januzzi, J., Johnson, M., Kasper, E., Levy, W., Masoudi, F.,
McBride, P., McMurray, J., Mitchell, J., Peterson, P., Riegel, B., Sam, F., Stevenson, L.,
Tang, W., Tsai, E. and Wilkoff, B. (2013). 2013 ACCF/AHA Guideline for the
Management of Heart Failure: A Report of the American College of Cardiology
Foundation/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines. Circulation,
128(16), pp.e240-e327.
11. Bell K, Twiggs J, Olin BR. Hypertension: the silent killer: updated JNC 8 guideline
recommendations. 2015.
38