PENDAHULUAN
Gagal jantung merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia.
Resiko terjadinya gagal jantung semakin meningkat sepanjang waktu. Menurut data WHO
2013, 17,3 juta orang meninggal akibat gangguan kardiovaskular pada tahun 2008 dan lebih
dari 23 juta orang akan meninggal setiap tahun dengan gangguan kardiovaskular (WHO
2013). Lebih dari 80% kematian akibat gangguan kardiovaskular terjadi di negara – negara
berpenghasilan rendah dan menengah (Santa, 2008).
Pada penelitian di Amerika, resiko berkembangnya gagal jantung adalah 20% untuk usia
≥40 tahun, dengan kejadian >650.000 kasus baru yang didiagnosis gagal jantung selama
beberapa dekade terakhir. Kejadian gagal jantung meningkat dengan bertambahnya usia.
Tingkat kematian untuk gagal jantung sekitar 50% dalam waktu 5 tahun.
Dalam Nurhayati (2009), hasil penelitian menunjukkan gambaran dari faktor resiko
penyakit gagaljantung kongestif, yaitu faktor keturunan terdapat 15 orang (50%), pasien yang
berjenis kelamin perempuan 16 orang (53,3%), pasien yang berusia 40-59 tahun 15 orang
(50%), yang memiliki pola makan yang tidak baik 29 orang (96,67%), yang memiliki
kebiasaan merokok 16 orang (53,3%), yang memiliki riwayat obesitas 13 orang, yang
memiliki riwayat DM 15 orang (50%), pasiaen yang kurang melakukan aktifitas fisik 27
orang (90%), yang memiliki riwayat hipertensi 20 orang (66,7%).
Terapi untuk kondisi gagal jantung difokuskan pada komponen akhir sindrom ini, beban
volume berlebih (kongesti) dan disfungsi miokaradial (gagal jantung), dengan strategi
pengobatan diutamakan pada penggunaan diuretik dan glikosida jantung. Selain gejala gagal
jantung, faktor yang mendasari dan faktor presipitasi juga perlu diobati.
Diuretik mengurangi akumulai cairan dengan meningkatkan eksresi garam dan air dari
ginjal, sehingga preload, kongesti pulmonal, dan edema sistemik dapat berkurang.
Penggunaan diuretik dengan cepat menghilangkan sesak nafas dan meningkatkan
kemampuan melakukan aktifitas fisik.
1
(LVEF) <40%), dengan gejala ringan, sedang, atau berat, kecuali ada kontraindikasi (Santa.
2008).
Angiotensin II Receptor Blocker (ARBs) digunakan seabgai alternatif pada pasien yang
tidak dapat mentoleransi ACEI. β-bloker dapat ditambahkan dalam dosis yang dinaikkan
secara bertahap. Digoksin dapat digunakan untuk menunjang fungsi jantung dan mengurangi
gejala.
Penyakit jantung dan pembuluh darah merupakan masalah kesehatan masyarakat dan
merupakan penyebab kematian tertinggi di Indonesia, maka perlu dilakukan pengendalian
penyakit jantung dan pembuluh darah secara berkesinambungan.
Kor pulmonal merupakan suatu keadaan timbulnya hipertrofi dan dilatasi ventrikel
kanan akibat hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh penyakit yang menyerang struktur,
fungsi paru, atau pembuluh darah pulmonal yang dapat berlanjut menjadi gagal jantung
kanan. Menurut World Health Organization (WHO), definisi kor pulmonal adalah keadaan
patologis dengan hipertrofi ventrikel kanan yang disebabkan oleh kelainan fungsional dan
struktur paru. Tidak termasuk kelainan karena penyakit jantung primer pada jantung kiri dan
penyakit jantung kongenital (bawaan). Istilah hipertrofi yang bermakna sebaiknya diganti
menjadi perubahan struktur dan fungsi ventrikel kanan.
Dikarenakan paru berkorelasi dalam sirkuit kardiovaskuler antara ventrikel kanan
dengan bagian kiri jantung, perubahan pada struktur atau fungsi paru akan mempengaruhi
secara selektif jantung kanan. Patofisiologi akhir yang umum yang menyebabkan kor
pulmonal adalah peningkatan dari resistensi aliran darah melalui sirkulasi paru dan mengarah
pada hipertensi arteri pulmonal.
Kor pulmonal dapat terjadi secara akut maupun kronik. Penyebab kor pulmonal akut
tersering adalah emboli paru masif sedangkan kor pulmonal kronik sering disebabkan oleh
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Pada kor pulmonal kronik umumnya terjadi
hipertrofi ventrikel kanan sedangkan pada kor-pulmonal akut terjadi dilatasi ventrikel kanan.
Insidens yang tepat dari kor pulmonal tidak diketahui karena seringkali terjadi tanpa
dapat dikenali secara klinis. Diperkirakan insidens kor pulmonal adalah 6% sampai 7% dari
seluruh penyakit jantung.4 Di Inggris terdapat sedikitnya 0,3% populasi dengan resiko
terjadinya kor pulmonal pada populasi usia lebih dari 45 tahun dan sekitar 60.000 populasi
telah mengalami hipertensi pulmonal yang membutuhkan terapi oksigen jangka panjang.
Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan kor pulmonal adalah penyakit yang
secara primer menyerang pembuluh darah paru dan penyakit yang mengganggu aliran darah
2
paru.6 Berdasarkan penelitian lain di Ethiopia, menemukan penyebab terbanyak kor pulmonal
berturut-turut adalah asma bronkial, tuberkulosis paru, bronkitis kronik, emfisema, penyakit
interstisial paru, bronkiektasis, obesitas, dan kifoskoliosis. Menurut penelitian sekitar 80-90%
pasien kor pulmonal mempunyai PPOK dan 25 % pasien dengan PPOK akan berkembang
menjadi kor pulmonal.
Kor pulmonal terjadi ketika hipertensi pulmonal menimbulkan tekanan berlebihan
pada ventrikel kanan. Tekanan yang berlebihan ini meningkatkan kerja ventrikel kanan yang
menyebabkan hipertrofi otot jantung yang normalnya berdinding tipis, yang akhirnya dapat
menyebabkan disfungsi ventrikel dan berlanjut kepada gagal jantung.
pasien ini?
1. Untuk mengetahui bagaimana mendiagnosa Right Heart Failure (RHF) pada pasien
ini.
pasien ini?
ini?
3
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1. IDENTITAS
Usia : 35 tahun
Alamat : Abepura
RM : 413908
Jaminan : BPJS
2.2. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Pasien mengeluh sesak nafas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien laki-laki usia 35 tahun datang dengan keluhan sesak nafas +1 bulan ini.
Sesak dirasakan memberat sejak seminggu terakhir SMRS dan dirasakan
memberat sejak pagi hari sampai siang hari SMRS. Sesak dirasakan pasien saat
beristirahat maupun beraktivitas, ketika tidur terlentang dan memberat ketika
aktivitas berat dan cuaca bertambah panas. Sejak sesak muncul os sulit tidur
terutama pada malam hari. Os mengaku kalau tidur harus pakai 2-3 bantal untuk
mengganjal agar sesaknya berkurang serta istirahat di atas tempat tidur dan
mengurangi aktivitas yang berlebihan untuk mengurangi keluhan sesak tersebut.
Selain itu sesak juga dirasakan berkurang oleh OS ketika duduk dan menyalakan
4
kipas angin. Keluhan sesak ini disertai dengan keluhan batuk yang hampir
bersamaan dengan keluhan sesaknya, batuk tersebut disertai dengan lendir jernih
tanpa darah. Keluhan lemas dan tidak bisa berjalan juga dirasakan pasien selama
nafas + 3 minggu SMRS. Keluhan lain berupa bengkak pada kedua tungkai
dirasakan sejak 2 minggu SMRS. Keluhan dada berdebar juga dirasakan pasien
serta demam yang hilang timbul. Keluhan nyeri dada, mual-muntah, pingsan dan
keringat dingin serta perasaan tidak nyaman di dada disangkal pasien.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat penyakit jantung ( - )
- Asam urat (-)
- Hipertensi ( - )
- Diabetes mellitus ( - )
- TB (+)
- Alergi ( - )
4. Riwayat Pengobatan
Riwayat pengobatan TB paru kategori 1 selesai 6 bulan (tanpa periksa dahak saat
pengobatan fase intensif dan akhir fase lanjutan) (+)
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Dalam keluarga pasien tidak memiliki riwayat sakit jantung dan riwayat sakit TB
paru, di keluarganya tidak ada riwayat asma, diabetes mellitus, hipertensi, ataupun
alergi.
6. Riwayat Kebiasaan
- Merokok ( + ) sejak SMP sd berhenti sejak 5-6 tahun terakhir rata-rata
rokok yang dihabiskan palig banyak adalah 3 bungkus dalam sehari.
- Meminum alkohol ( + ) , dimulai sejak kuliah dan berhenti sejak 5-6 tahun
terakhir.
Keadaan Umum
Kesadaran
5
TTV
RR : 41x/m
TD :90/60 mmHg
SB : 36.8 oC
Kepala :
e. Leher : JVP 5 + 4 cm
teraba.
Ekstremitas atas : akral hangat, CRT < 2”, edema pitting (-/-), clubbing finer (+)
Ekstremitas atas : akral hangat, CRT < 2”, edema pitting (+/+),clubbing finer (+)
6
2.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
HEMATOLOGI
Perempuan: 11.0-14.7
Perempuan: 35.2-46.7
7
Sel Monosit H 13.5 % 4.3-10.0
KIMIA DARAH
HEMATOLOGI
Hematologi Rutin
Perempuan: 11.0-14.7
Perempuan: 35.2-46.7
Perempuan: 0- 20
kurang’
KIMIA DARAH
8
Laki-Laki: < = 41
Na, K, Cl
Pemeriksaan EKG
Tertanggal 08/03/2019
9
Pemeriksaan echocardiografi
Tertanggal 14/03/2019
Interpretasi:
- LVH negative
- Kontraktilitas LV baik, EF
Kesimpulan
- RA,RV dilatasi
10
Pemeriksaan Radiologi
A
B
C
CTR = (A+B)/ C
= (5,5+7,5)/ 22
13
Cor: CTR : × 100% = 59,09%
22
pada lapang paru bagian tengah, fibrosis pada sebagian besar lapang paru dan
tenting pada lapang paru kiri bawah, didapatkan kavitas berdinding tipis tanpa
RHF
PHT
11
CPCD
2.7. PROGNOSIS
2.8. FOLLOW UP
02-03-2019
S : Sesak (+), Batuk (+), Nyeri dada (- )
12
Pro Echo
03-03-2019
S : Batuk (+)
O Ku: TSS
Kes: Cm
TD: 100/70 mmHg, R: 30x/m , SpO2:92 % Masker O2 7 Lpm, N:
92 x/m, SB: 36,4 oC
K/L: CA (-/-), SI (-/-), OC (-), P > KGB (-), JVP 5+4 cmH2O
A : -RHF
-S.PHT
04-03-2019
13
O Ku: TSS
Kes:ComposMentis,
Tho: Simetris, ikut gerak nafas, retraksi (-), SNV (+/+), Rho
(+/+)
Input : 1500 cc
Output: 2075 cc
BC: -575 cc
: -RHF
-S.PHT
A
05-03-2019
O Kesadaran:compos mentis,
14
K/L: CA (-/-), SI (+/+), OC (-), JVP 5+4 cmH2O
Input : 1550 cc
Output: 1350 cc
BC: -200 cc
: RHF
A S.PHT
06-03-2019
Kesadaran:compos mentis,
15
Abd: Datar, Supel, BU (+), NT (-),
Input : 1330 cc
Output: 2100 cc
BC: -770 cc
: RHF
A S.PHT
S.CPCD
07-03-2019
S : Sesak (+), Batuk (+), Nyeri dada (-), Perut Kembung (+)
Kesadaran:compos mentis,
: RHF
16
A S.PHT
S.CPCD
08-03-2019
S : Sesak (+), Batuk (+), Lemas (+), Kembung (+), Rasa panas dan
Kesadaran:compos mentis,
Input: 1330 cc
Output: 950 cc
BC: +380 cc
: RHF
17
A S.PHT
S.CPCD
P : -Diet Bubur
-Aminofluid 1000 cc/24 jam
-Furosemid 3x1 Amp (IV)
-Digoxin 2x1 tab (P.O)
-Dorner 2x1 tab
-Spironolacton 25 μg 2x1 tab
-Inj. OMZ 1 Vial 2x1 Amp
-Inj. Antraim K/P
-Sildenafil 100 mg 2x1/4 tab
09-03-201
Kesadaran:compos mentis,
Input: 1660 cc
Output: 2100 cc
BC: -440 cc
: RHF
18
A S.PHT
S.CPCD
10-03-2019
N: 109xmnt
RR: 30x/mnt
SPO2: 94%
SB: 36°C
Input: 1660 cc
Output: 2200 cc
19
BC: -540 cc
: RHF
A S.PHT
S.CPCD
P : -Diet Bubur
-Cairan Aminofluid 1000 cc/24 Jam
-Furosemide 3x2 Amn
-Digoksin 2x1 tab
-Dorner 2x1 tab
-Spironolacton 25 mg 2x1 tab
-Inj. OMZ 2x1 Amp
-Inj. Antrain K/P
-Sildenafil 100 mg 2x1/4 tab
-Laxadin 2x2 Sdm
-Ca gluconase Amp di campur dalam Aminofluid
11-03-2019
N: 104 x /mnt
RR: 25 x /mnt
SPO2:98%
SB: 35,5°C
20
K/L: CA (-/-), SI (-/-), CO (-), P > KGB (-), JVP 5+4 cmH2O
Input: 1330 cc
Output: 850 cc
BC: +480 cc
: RHF
A S.PHT
S.CPCD
P : -Diet Bubur
-Cairan Aminofluid 1000 cc / 24 Jam
-Furosemide 3x24 Jam
-Digoksin 2x1 tab
-Dorner 2x1 tab
-Spironolacton 25 mg 2x1 tab
-Inj. OMZ 2x1 Amp
-Inj. Antraim K/P
-Sildonatil 100 mg 2x1/4 tab
-Laxadin 2x2 sdm
-Ca gluconas 1 Amp di campur dalam Aminofluid
12-03-2019
21
O Ku: Tampak Sakit Sedang
N: 108x / mnt
SB: 360°C
Res: 23 x / mnt
Tho: Simetris, ikut gerak nafas, retraksi (-), Rhe (+), Whz (-) SN
Vesikular (+/+).
Ekst: Akral hangat kering merah CRT < 2”, edema (+/+)
Input: 1330 cc
Output: 4050 cc
BC: -2.720 cc
: RHF
A S.PHT
S.CPCD
P : -Diet Bubur
-Cairan Aminofluid 1000 cc/24 Jam
-Furosemide 3x2 Amp
-Digoksin 2x1 tab
-Dorner 3x1 tab
-Spironolacton 25 mg 2x1 tab
22
-Inj. OMZ 2x1 Amp
-Inj. Antrain K/P
-Sildenafil 100 mg 2x4 ¼ tab
-Laxadin 2x2 sdm
13-03-201
N: 100xmnt
SB: 36,5°C
RR: 28 x / mnt
SPO2: 96°C
Tho: Simetris, ikut gerak nafas, retraksi (-), Rho (+/-), whz (-/-)
Input: 1330 cc
Output: 3100 cc
BC: -1.770 cc
: RHF
A S.PHT
S.CPCD
23
P : -Diet Bubur
-Cairan Aminofluid 1000 cc/24 Jam
-Furosemid 3x24 Jam
-Digoxin 2x1 tab
-Dorner 3x1 tab
-Spironolacton 25 mg 2x1 tab
-Inj. OMZ 2x1 Amp
-Inj. Antrain (K/P)
-Sildenafil 100 mg 3x1/4 tab
-Laxadin 2x2 sdm
14-03-2019
S : Batuk (+), Sesak (+), Demam (+), Pusing (+), Pusing (+), Nyeri
O Ku: TSS
N: 122 x/mnt
SB: 37,8 °C
RR: 30x/mnt
K/L: CA (-/-), SI (-/-), °C (-), P > KGB (-), JVP 5+3 cmH2O
Input: 1830 cc
24
Ouput:6000 cc
BC: - 4.170
A : RHF
PHT
CPCD
15-03-2019
S : Batuk (+), Sesak (+), Serak (+), Nyeri dada (-), Demam (-)
O Ku: TSS
N: 112 x/mnt
SB: 36,2 °C
RR: 28x/mnt
K/L: CA (-/-), SI (-/-), OC (-), P > KGB (-), JVP 5+3 cmH2O
25
Cor: BJ I- BJ II reguler, gallop (-), murmur (+)
H/L: ttb/ttb
Input: 1330 cc
Ouput: 3200 cc
BC: - 1870 cc
A : RHF
PHT
CPCD
P : -Diet bubur
-NaCL 1000 cc
-Aminofluid 500 cc/24 jam
-Inj. Furosemid 2x1 Amp
-Digoxin 2x1 tab
-Dorner 3x1 tab
-Spironolacton 2x50 mg
-Inj. Omz 2x1 Amp
-Sildenafil 3x1/4 tab
-Laxadin 2x2 sdm
16-03-2019
Demam
O Ku: TSS
N: 81 x/mnt
26
SPO2: 98%
SB: 36,2 °C
RR: 25x/mnt
K/L: CA (-/-), SI (-/-), OC (-), P > KGB (-), JVP 5+3 cmH2O
Rh (+/-), Wz (-/-)
H/L: ttb/ttb
Input: 1830 cc
Ouput:3100 cc
BC: - 1270 cc
A : RHF
PHT
CPCD
P : -Diet bubur
-NaCL 1000 cc
-Cairan aminofluid 500 cc/24 jam
-Inj. Furosemid 2x1 Amp
-Digoxin 1x1 tab
-Dorner 3x1 tab
-Spironolacton 2x50 mg
-Inj. Omz 2x1 Amp
-Inj. Antrain K/P
-Sildenatil 3x1/4 tab
-Laxadin 2x2 sdm
27
17-03-2019
O Ku: TSS
N: 87xmnt
SB: 36,5 °C
RR: 24x/mnt
K/L: CA (-/-), SI (-/-), °C (-/-), P > KGB (-), JVP 5+4 cmH2O
Input: 1850 cc
Ouput:3200 cc
BC: - 1350
A : RHF
PHT
CPCD
P : -Diet bubur
-NaCL 1000 cc
-Aminofluid 5000 cc/24 jam
-Inj. Furosemid 2x1 Amp
-Digoxin 1x2 tab
-Dorner 3x1 tab
-Spironolacton 2x50 mg
-Inj. Omz 2x1 Amp
28
-Inj. Antrain K/P
-Sildenafil 3x1/4 tab
-Laxadin 2x2 sdm
18-03-2019
S : Sesak (-), Batuk (-), Nyeri dada (-), Lems (+), Nafsu makan (-)
O Ku: TSS
Kes: CM
N: 96x/mnt
SB: 37,3 °C
RR: 28x/mnt
K/L: CA (-/-), SI (-/-), °C (-), P > KGB (-), JVP 5+3 cmH2O
Input: 2160 cc
Ouput:3100 cc
BC: - 940 cc
A : RHF
29
PHT
CPCD
P : -Diet bubur
-NaCL 1000 cc
-Cairan aminofluid 500 cc/24 jam
-Furosemid 2x1 Amp
-Inj. Omz 2x1 Amp
-Inj. Antrain K/P
-Digoxin 1x1 tab
-Dorner 3x1 tab
-Spironolacton 2x50 mg 2x1 tab
-Sildenafil 3x1/4 tab
-Laxadin 2x2 sdm
19-03-2019
O Ku: TSS
N: 83xmnt
SPO2: 98% O2
SB: 36,2 °C
RR: 30x/mnt
K/L: CA (-/-), SI (-/-), OC (-), P > KGB (-), JVP 5+3 cmH2O
30
Ekst: Akral hangat, CRT < 2’’, Edema (-/-)
Input: 2500 cc
Ouput:3100 cc
BC: - 1100
A : RHF
PHT
CPCD
20-03-2019
O Ku: TSS
Kes: CM
N: 108xmnt
SPO2: 93% O2
SB: 56,2 °C
31
RR: 24x/mnt
K/L: CA (-/-), SI (-/-), °C (-), P > KGB (-), JVP 5+3 cmH2O
Input: 1600 cc
Ouput:2100 cc
BC: - 1000 cc
A : RHF
PHT
CPCD
32
21-03-2019
O Ku: TSS
Kes: Cm
N: 122xmnt
SPO2: 88%
SB: 36,5 °C
RR: 28x/mnt
K/L: CA (-/-), SI (-/-), °C (-), P > KGB (-), JVP 5+3 cmH2O
Input: 1800 cc
Ouput:2100 cc
BC: - 300
A : RHF
PHT
CPCD
33
-Inj. Omz 1x1 Amp
-Inj. Antrain K/P
-Digoxin 1x1 tab
-Dorner 3x1 tab
-Spironolacton 2x50 mg
-Sildenafil 3x1/4 tab
-Laxadin 2x2 sdm
-O2 Nasal
-Mobilisasi Jalan
34
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
35
Secara skematis, urutan perjalanan darah dalam sirkulasinya pada manusia, yaitu :
Darah dari seluruh tubuh – bertemu di muaranya pada vena cava superior dan inferior
pada jantung – bergabung di Atrium kanan – masuk ke ventrikel kiri – arteri pulmonalis
ke paru – keluar dari paru melalui vena pulmonalis ke atrium kiri (darah yang kaya O2) –
masuk ke ventrikel kiri, kemudian dipompakan kembali ke seluruh tubuh melalui
aorta.Keluar masuknya darah, ke masing-masing ruangan, dikontrol juga dengan peran 4
buah katup di dalamnya, yaitu :
1. Katup trikuspidal (katup yang terletak antara atrium kanan dan ventrikel kanan).
2. Katup mitral (katup yang terletak antara atrium kiri dan ventrikel kiri).
3. Katup pulmonalis (katup yang terletak antara ventrikel kanan ke arteri pulmonalis).
4. Katup aorta (katup yang terletak antara ventrikel kiri ke aorta).
Arteri koroner adalah arteri yang bertanggung jawab dengan jantung sendiri,karena
darah bersih yang kaya akan oksigen dan elektrolit sangat penting sekali agar jantung
bisa bekerja sebagaimana fungsinya. Apabila arteri koroner mengalami pengurangan
suplainya ke jantung atau yang di sebut dengan ischemia, ini akan menyebabkan
terganggunya fungsi jantung sebagaimana mestinya. Apalagi arteri koroner mengalami
sumbatan total atau yang disebut dengan serangan jantung mendadak atau miokardiac
infarction dan bisa menyebabkan kematian. Begitupun apabila otot jantung dibiarkan
dalam keadaan iskemia, ini juga akan berujung dengan serangan jantung juga atau
miokardiac infarction. Arteri koroner adalah cabang pertama dari sirkulasi sistemik,
dimana muara arteri koroner berada dekat dengan katup aorta atau tepatnya di sinus
valsava. Arteri koroner dibagi dua,yaitu: Arteri koroner kanan dan Arteri koroner kiri
(Guyton & Hall, 2007).
Gagal jantung kiri dapat berkembang menjadi gagal jantung kanan akibat
meningkatnya tekanan vaskular paru hingga membebani ventrikel kanan. Selain secara
tak langsung melalui pembuluh paru tersebut, disfungsi ventrikel kiri juga berpengaruh
langsung terhadap fungsi ventrikel kanan melalui fungsi anatomis dan biokimianya.
Kedua ventrikel mempunyai satu dinding yang sama (yaitu septum interventrikularis)
yang terletak dalam perikardium. Selain itu perubahan – perubahan biokimiawi seperti
berkurangnya cadangan norefinefrin miokardium selama gagal jantung dapat merugikan
kedua ventrikel. Yang terakhir, infark ventrikel kanan dapat timbul bersamaan dengan
infark ventrikel kiri, terutama iinfark dinding inferior. Infark ventrikel kanan jelas
merupakan faktor predisposisi terjadinya gagal jantung kanan. Kongesti vena sistemik
akibat gagal jantung kanan bermanifestasi sebagai pelebaran vena leher, hepatomegali,
dan edema perifer.
37
2.2 Etiologi Gagal Jantung Kanan
Penyebab gagal jantung diklasifikasikan dalam 7 kategori yaitu:
1. Abnormalitas miokardium
Dapat disebabkan oleh hilangnya miosit (infark miokard), kontraksi yang tidak
terkoordinasi (left bundle branch block), dan berkurangnya kontraktilitas miokardium
(kardiomiopati, aterosklerosis koroner, hipertensi arterial, penyakit miokardium
degenaratif, inflamasi).
2. Overload (hipertensi sistemik dan pulmonal).
Peningkatan afterload akibat hipertensi sistemik atau pulmonal meningkatkan beban
kerja jantung dan mengakibatkan hipertropi miokardium. Hipertropi miokardium yang
tidak berfungsi normal akan mengakibatkan gagal jantung.
3. Abnormalitas katup
Dapat disebabkan oleh adanya gangguan aliran darah melalui jantung (stenosis katup
semiluner) dan ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah (stenosis katup
atrioventrikuler).
4. Abnormalitas ritme jantung (takikardi)
5. Abnormalitas perikardium (efusi perikardium dan tamponade)
6. Kelainan kongenital jantung
7. Faktor sistemik
a. Demam dan tirotoksikosis meningkatnya laju metabolisme.
b. Hipoksia dan anemia menurunkan suplai oksigen ke jantung.
c. Asidosis respiratorik dan metabolik.
Abnormalitas elektrolit menurunkan kontraktilitas jantung (Cowie, 2008)
Bendungan sistemik
40
- Hipertrofi jantung kanan - Kongesti vena pulmonalis
- Irama derap/ gallop ventrike kanan - Ronchi basah dan wheezing
- Gallop atrium kanan - Terdapat BJ III dan IV (Gallop)
- Murmur - Cheynes stokes
- Tanda-tanda penyakit paru kronik
- Hidrothorak
Stadium B
Telah terbentuk penyakit struktur jantung yang berhubungan denngan perkembangan
gagal jantung, tidak terdapat tanda atau gejala.
Stadium C
Gagal jantung yang simtomatik berhubungan dengan penyakit struktural jantung yang
mendasari.
Stadium D
Penyakit jantung struktural lanjut serta gejala gagal jantung yang sangat bermakna saat
istirahat walaupun sudah mendapat terapi medis maksimal (refrakter).
41
2.7 Klasifikasi berdasarkan kapasitas fungsional (NYHA).
Kelas I
Tidak terdapat batasan dalam melakukan aktifitas fisik. Aktifitas fisik sehari –hari tidak
menimbulkan kelelahan, palpitasi, atau sesak nafas.
Kelas II
Terdapat batasan aktivitas ringan. Tidak terdapat keluhan saat istirahat, namun aktivitas
fisik sehari – hari menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Kelas III
Terdapat batasan aktifitas bermakna. Tidak terdapat keluhan saat istirahat, tetapi aktifitas
fisik ringan enyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Kelas IV
Tidak dapat melakukan aktifitas fisik tanpa keluhan. Terdapat gejala saat istirahat.
Keluhan meningkat saat melakukan aktifitas.
42
futer/ fibrilasi gagal jantung konduksi AV,
dekompensasi, infark konversi medik,
miokard elektroversi,
ablasi kateter,
antikoagulasi
Aritmia ventrikel Iskemia, infark, Pemeriksaan
kardiomiopati, laboratorium, tes
miokarditis, latihan beban,
hipokalemia, pemeriksaan
hipomagnesemia, perfusi, angiografi
overdosis digitalis koroner, ICD
Iskemia/ infark Penyakit jantung Ekokardiografi,
koroner troponin,
angiografikoroner,
revaskularisasi
Gelombang Q Infark, kardiomiopati Ekokardiografi,
hipertrofi, LBBB, angiografi koroner
preexitasi
Hipertrofi ventrikel Hipertensi, penyakit Ekokardiografi,
kiri katub aorta, doppler
kardiomiopati hipertrofi
Blok Atrioventrikular Infark miokard, Evaluasi
intoksikasi obat, penggunaan obat,
miokarditis, sarkoidosis, pacu jantung,
penyakit Lyme penyakit sistemik
Mikrovoltase Obesitas, emfisema, Ekokardiograf,
efusi, perikard, rontgen thoraks
amiloidosis
Durasi QRS>0,12 detik Disinkroni elektrik dan Ekokardiograf,
dengan morfologi mekanik CRT-P, CRT-D
LBBB
43
2.9.2 Pemeriksaan Laboratorium
44
aldosteron aldosterone), nilai
fungsi ginjal dan pH,
resiko bradikardia
Hiperglikemia Diabetes, resistensi Evaluasi hidrasi,
(>200mg/dL) insulin terapi intoleransi
glukosa
Hiperurisemia Terapi diuretik, gout, Allopurinol, kurangi
(>500µmol/L) keganasan dosis diuretik
BNP <100 pg/mL, NT Tekanan dinding Evaluasi ulang
proBNP<400 pg/mL ventrikel normal diagnosis, bukan
gagal jantung jika
terapi tidak berhasil
BNP >400 pg/mL, NT Tekanan dinding Sangat mungkin
proBNP>2000 pg/mL ventrikel meningkat gagal jantung
Kadar albumin tinggi Dehidrasi, mieloma Rehidrasi
(>45g/L)
Kadar albumin Nutrisi buruk, kehilangan Cari penyebab
rendah (<30g/L) albumin melalui ginjal
Peningkatan Disfungsi hati, gagal Cari penyebab,
transaminase jantung kanan, toksisitas kongesti liver,
obat pertimbangkan
kembali terapi
Peningkatan troponin Nekrosis miosit, iskemia Evaluasi pola
berkepanjangan, gagal peningkatan
jantung berat, (peningkatan ringan
miokarditis, sepsis, gagal sering terjadi pada
ginjal, emboli paru gagal jantung berat),
angiografi koroner,
evaluasi
kemungkinan
revaskularisasi
Tes tiroid abnormal Hiper/hipotiroidisme, Terapii abnormalitas
amiodaron tiroid
45
Urinalisis Proteinuria, glikosuria, Singkirkan
bakteriuria kemungkinan infeksi
INR >2,5 Overdosis antikoagulan, Evaluasi dosis
kongesti hati antikoagulan, nilai
fungsi hati
CRP >10mg/L, Infeksi,inflamasi Cari penyebab
leukositosis
neutroflik
Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi morbiditas dan
mortalitas. Tindakan preventif dan pencegahan perburukan penyakit jantung tetap
merupakan bagian penting dalam tata laksana penyakit jantung. Pada gambar bagan
menyajikan strategi pengobatan menggunakan obat dan alat pada pasien gagal jantung
simtomatik dan disfungsi sistolik. Sangatlah penting untuk mendeteksi dan
mempertimbangkan pengobatan terhadap koorbid kardiovaskular dan non kardiovaskular
yang sering dijumpai.
Pemberian diuretik intravena direkmendasikan pada GJA bila ada simtom atau
kongesti atau volume overload. Pada pasien dengan bukti adanya volume overlad dosis
46
furosemide IV dapat ditingkatkan sesuai dengan fungsi renal dan pemakaian oral diuretik
yang sudah lama sebelumnya. Pemakaian furosemide tidak boleh melebihi 100 mg untuk 6
jam pertama, dan 240 mg pada 24 jam pertama.
1) Prognosis
Menurunkan mortalitas
2) Morbiditas
Meringankan gejala dan tanda
Memperbaiki kualitas hidup
Menghilangkan edema dan retensi cairan
Meningkatkan kapasitas aktifitas fisik
Mengurangi kelelahan dan sesak nafas
Mengurangi kebutuhan rawat inap
Menyediakan perawatan akhir hayat
3) Pencegahan
Timbulnya kerusakan miokard
Perburukan kerusakan miokard
Remodelling miokard
Timbul kembali gejala dan akumulasi cairan
Rawat inap
47
2.10 Diagnosis Banding Gagal Jantung Kanan
Diagnosis banding dari gagal jantung, yaitu:
1. CAD (angina atau miokard infark)
2. Hipertensi kronis
3. Idiopathic dilated cardiomyopathy
4. Valvular heart disease (mitral regurgitation dan aortic stenosis)
5. Cardiomyopathy lainnya (sarcoidosis)
6. Arrhythmia (atrial fibrillation)
7. Anemia
8. Overload volume cairan yang disebabkan oleh kondisi noncardia. Penyakit thyroid
(hypothyroidism dan hyperthyroidism).
48
C. KOR PULMONAL
3.1. Definisi
Kor pulmonal sering disebut sebagai penyakit jantung paru, didefinisikan
sebagai dilatasi dan hipertrofi ventrikel kanan akibat adanya penyakit parenkim paru atau
pembuluh darah paru.
Menurut WHO, definisi kor pulmonal adalah keadaan patologis dengan
ditemukannya hipertrofi ventrikel kanan yang disebabkan oleh kelainan fungsional dan
struktur paru, tidak termasuk kelainan karena penyakit jantung primer pada jantung kiri
dan penyakit jantung kongenital (bawaan).
Menurut Braunwahl, kor pulmonal adalah keadaan patologis akibat hipertrofi atau
dilatasi ventrikel kanan yang disebabkan oleh hipertensi pulmonal. Penyebabnya antara
lain penyakit parenkim paru, kelainan vaskuler paru, dan gangguan fungsi paru karena
kelainan thoraks, tidak termasuk kelainan vaskuler paru yang disebabkan kelainan
ventrikel kiri, penyakit jantung bawaan, penyakit jantung iskemik, dan infark miokard
akut.
3.3. Patogenesis
Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan kor pulmonal adalah penyakit yang
secara primer menyerang pembuluh darah paru-paru, seperti emboli paru-paru berulang,
dan penyakit yang mengganggu aliran darah paru-paru akibat penyakit pernapasan
obstruktif atau restriktif.
Apapun penyakit awalnya, sebelum timbul kor pulmonal biasanya terjadi
peningkatan resistensi vaskuler paru dan hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal pada
akhirnya meningkatkan beban kerja dari ventrikel kanan, sehingga mengakibatkan
hipertrofi dan kemudian gagal jantung. Titik kritis dari rangkaian kejadian ini
nampaknya terletak pada peningkatan resistensi vaskuler paru pada arteri dan arteriola
kecil.
Dua mekanisme dasar yang mengakibatkan peningkatan resistensi vaskuler paru
adalah: (1) vasokontriksi dari pembuluh darah pulmonal akibat adanya hipoksia dan (2)
obstruksi dan/atau obliterasi jaringan vaskular paru-paru. Hipoksia alveolar (jaringan)
memberikan rangsangan yang kuat untuk menimbulkan vasokontriksi pulmonal daripada
hipoksemia. Selain itu, hipoksia alveolar kronik memudahkan terjadinya hipertrofi otot
polos arteriola paru-paru, sehingga timbul respon yang lebih kuat terhadap hipoksia akut.
Asidosis, hiperkapnia, dan hipoksemia bekerja secara sinergistik dalam menimbulkan
vasokontriksi. Viskositas (kekentalan) darah yang meningkat akibat polisitemia dan
peningkatan curah jantung yang dirangsang oleh hipoksia kronik dan hiperkapnia, juga
ikut meningkatkan tekanan arteri paru.
Mekanisme kedua yang turut meningkatkan resistensi vaskuler dan tekanan arteri
paru adalah bentuk anatomisnya. Emfisema ditandai oleh kerusakan bertahap dari
struktur alveolar dengan pembentukan bula dan obliterasi total dari kapiler-kapiler
disekitarnya. Hilangnya pembuluh darah secara permanen menyebabkan berkurangnya
anyaman vaskuler. Selain itu, pada penyakit obstruktif, pembuluh darah paru juga
tertekan dari luar karena efek mekanik dari volume paru yang besar. Tetapi, peranan
obstruksi dan obliterasi anatomik terhadap anyaman vaskuler diperkirakan tidak
sepenting vasokontriksi hipoksik dalam patogenesis kor pulmonal. Kira-kira duapertiga
50
sampai tigaperempat dari anyaman vaskuler harus mengalami obstruksi atau rusak
sebelum terjadi peningkatan tekanan arteri paru yang bermakna. Asidosis respiratorik
kronik terjadi pada beberapa penyakit pernapasan dan penyakit obstruktif sebagai akibat
hipoventilasi alveolar umum atau akibat kelainan perfusi-ventilasi.6 Setiap penyakit paru
memengaruhi pertukaran gas, mekanisme ventilasi, atau jaringan vaskular paru dapat
mengakibatkan kor pulmonal.
Patogenesis kor pulmonal sangat erat kaitannya dengan hipertensi pulmonal dan
tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Adanya gangguan pada parenkim paru,
kinerja paru, maupun sistem peredaran darah paru secara akut maupun kronik dapat
menyebabkan terjadinya hipertensi pulmonal.
Hipertensi pulmonal dapat diartikan sebagai penyakit arteri kecil pada paru yang
ditandai dengan proliferasi vaskuler dan remodeling. Hal ini pada akhirnya dapat
menyebabkan meningkatnya resistensi pembuluh darah paru yang mengakibatkan
terjadinya gagal ventrikel kanan dan kematian. Hipertensi pulmonal dibagi menjadi
primer dan sekunder. Hipertensi pulmonal primer adalah hipertensi pulmonal yang tidak
disebabkan oleh adanya penyakit jantung, parenkim paru, maupun penyakit sistemik
yang melatarbelakanginya. Hipertensi pulmonal lain selain kriteria tersebut disebut
hipertensi pulmonal sekunder.10 Hipertensi pulmonal akibat komplikasi kronis paru
(sekunder) didefinisikan sebagai peningkatan rata-rata tekanan arteri pulmonal (TAP)
istirahat, yakni >20 mmHg. Pada hipertensi pulmonal primer angka ini lebih tinggi yakni
>25 mmHg. Pada pasien muda (<50 tahun) TAP normalnya berada pada kisaran 10-15
mmHg. Dengan bertambahnya usia TAP akan meningkat kurang lebih 1 mmHg setiap 10
tahun. Selain dipengaruhi usia TAP juga dipengaruhi oleh aktivitas. Semakin berat
aktivitas maka TAP akan semakin meningkat. Pada aktivitas ringan TAP dapat
meningkat >30 mmHg. Melihat hal tersebut maka pemeriksaan TAP harus dilakukan saat
pasien dalam keadaan istirahat dan rileks.
Terdapat tiga faktor yang telah diketahui dalam mekanisme terjadinya hipertensi
pulmonal yang menyebabkan meningkatnya resistensi vaskular. Ketiganya adalah
mekanisme vasokonstriksi, remodeling dinding pembuluh darah pulmonal, dan trombosis
in situ. Ketiga mekanisme ini terjadi akibat adanya dua faktor yakni gangguan produksi
zat-zat vasoaktif seperti, nitric oxide dan prostacyclin, serta akibat ekspresi berlebihan
secara kronis dari mediator vasokonstriktor seperti, endothelin- 1. Dengan diketahuinya
mekanisme tersebut maka pengobatan terhadap hipertensi pulmonal menjadi lebih terang
51
yakni dengan pemberian preparat nitric oxide, derivat prostacyclin, antagonis reseptor
endothelin-1, dan inhibitor phosphodiesterase-5.
Fase Deskripsi
Fase 1 Pada fase ini belum nampak gejala
klinis yang jelas, selain ditemukannya
gejala awal penyakit paru obstruktif
kronis (PPOK), bronkitis kronis,
tuberkulosis paru, bronkiektasis dan
sejenisnya. Anamnesa pada pasien 50
tahun biasanya didapatkan kebiasaan
banyak merokok.
52
suara napas berkurang, ekspirasi
memanjang, ronki basah dan kering,
mengi. Letak diafragma rendah dan
denyut jantung lebih redup.
Pemeriksaan radiologi menunjukkan
berkurangnya corakan bronkovaskular,
letak diafragma rendah dan mendatar,
posisi jantung vertikal.
Fase 3
Pada fase ini nampak gejala hipoksemia
yang lebih jelas. Didapatkan pula
berkurangnya nafsu makan, berat badan
berkurang, cepat lelah. Pemeriksaan
fisik nampak sianotik, disertai sesak
dan tanda-tanda emfisema yang lebih
nyata.
53
Penyakit paru kronis
Hipertensi Pulmonal
kronis
Kor pulmonal
3.4. Diagnosis
Diagnosis kor pulmonal dapat ditegakkan jika terbukti terdapat adanya hipertensi
pulmonal akibat dari kelainan fungsi dan atau struktural paru. Untuk menegakkan diagnosis
kor pulmonal secara pasti maka dilakukan prosedur anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang secara tepat. Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik pemeriksa dapat
menemukan data-data yang mendukung ke arah adanya kelainan paru baik secara struktural
maupun fungsional. Adanya hipertensi pulmonal tidak dapat ditegakkan secara pasti dengan
hanya pemeriksaan fisik dan anamnesis tetapi membutuhkan pemeriksaan penunjang.
54
jantung kanan misalnya edema dan nyeri parut kanan atas. Infeksi paru sering
mencetuskan gagal jantung, hipersekresi branchus, edema alveolar, serta bronkospasme
yang menurunkan ventilasi paru lalu timbul gagal jantung kanan.
Dispnea merupakan gejala yang paling umum terjadi, biasanya karena adanya
peningkatan kerja pernapasan akibat adanya perubahan dalam elastisitas paru-paru
(fibrosis penyakit paru) atau adanya over inflasi pada penyakit PPOK). Nyeri dada atau
angina juga dapat terjadi. Hal ini terjadi disebabkan oleh iskemia pada ventrikel kanan
atau teregangnya arteri pulmonalis. Hemoptisis, karena rupturnya arteri pulmonalis yang
sudah mengalami arteroslerotik atau terdilatasi akibat hipertensi pulmonal juga dapat
terjadi. Bisa juga ditemukan variasi gejala-gejala neurologis, akibat menurunnya curah
jantung dan hipoksemia.12
Selanjutnya pada pemeriksaan fisik, kita bisa mendapatkan keadaan sianosis, suara
P2 yang mengeras, ventrikel kanan dapat teraba di parasternal kanan. Terdapatnya
murmur pada daerah pulmonal dan triskuspid dan terabanya ventrikel kanan merupakan
tanda yang lebih lanjut. Bila sudah terjadi fase dekompensasi, maka gallop (S3) mulai
terdengar dan selain itu juga dapat ditemukan murmur akibat insufisiensi trikuspid.
Dilatasi vena jugularis, hepatomegali, splenomegali, asites dan efusi pleura merupakan
tanda-tanda terjadinya overload pada ventrikel kanan.
55
Gambar 2. Foto thoraks anteroposterior dan lateral kor pulmonal
Elektrokardiogram
Gambaran abnormal kor pulmonal pada pemeriksaan EKG dapat berupa:
a. Sumbu gelombang P + 900 atau lebih – Right Axis Deviation
b. Terdapat pola P pulmonal
c. Right bundle branch block
d. RVH dengan rasio amplitude 1.) Q/R rasio di V3 lebih dari 3, 2.) R/S di V1
lebih besar dari sadapan 1
56
Ekokardiografi
Salah satu pencitraan yang bisa digunakan untuk melakukan penegakan
diagnosis kor pulmonal adalah dengan ekokardiografi. Dari hasil ekokardiografi
dapat ditemukan dimensi ruang ventrikel kanan yang membesar, tapi struktur dan
dimensi ventrikel kiri normal. Pada gambaran ekokardiografi katup pulmonal,
gelombang “a” hilang, menunjukkan hipertensi pulmonal. Kadang-kadang dengan
pemeriksaan ekokardiografi susah terlihat katup pulmonal karena “accoustic
window” sempit akibat penyakit paru.
3.5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kor pulmonal dari aspek jantung bertujuan untuk menurunkan
hipertensi pulmonal, mengobati gagal jantung kanan, meningkatkan kelangsungan hidup,
dan mengobati penyakit dasar dan komplikasinya.
Tirah Baring dan Pembatasan Garam
Tirah baring sangat penting untuk mencegah memburuknya hipoksemia, yang
nantinya akan lebih menaikkan lagi tekanan arteri pulmonalis. Garam perlu
dibatasi tetapi tidak secara berlebihan karena klorida serum yang rendah akan
menghalangi usaha untuk menurunkan hiperkapnia.
Terapi Oksigen
Mekanisme bagaimana terapi oksigen dapat menigkatkan kelangsungan
hidup belum diketahui pasti, namun ada 2 hipotesis: (1) terapi oksigen
mengurangi vasokontriksi dan menurunkan resistensi vaskuler paru yang
kemudian meningkatkan isi sekuncup ventrikel kanan, (2) terapi oksigen
57
meningkatkan kadar oksigen arteri dan meningkatkan hantaran oksigen ke
jantung, otak, dan organ vital lainnya.
Pemakaian oksigen secara kontinyu selama 12 jam (National Institute of
Health, USA); 15 jam (British Medical Research Counsil) , dan 24 jam (NIH)
meningkatkan kelangsungan hidup dibanding kan dengan pasien tanpa terapi
oksigen.
Indikasi terapi oksigen adalah PaO2 ≤ 55 mmHg atau SaO2 ≤ 88%, PaO2
55-59 mmHg, dan disertai salah satu dari tanda seperti, edema yang disebabkan
gagal jantung kanan, P pulmonal pada EKG, dan eritrositosis hematokrit > 56%.
Diuretika
Diuretika diberikan untuk mengurangi tanda-tanda gagal jantung kanan.
Namun harus dingat, pemberian diuretika yang berlebihan dapat menimbulkan
alkalosis metabolik yang bisa memicu peningkatan hiperkapnia. Disamping itu,
dengan terapi diuretika dapat terjadi kekurangan cairan yang mengakibatkan
preload ventrikel kanan dan curah jantung menurun.
Vasodilator
Pemakaian vasodilator seperti nitrat, hidralazin, antagonis kalsium, agonis
alfa adrenergik, ACE-I, dan postaglandin belum direkomendasikan pemakaiannya
secara rutin. Vasodilator dapat menurunkan tekanan pulmonal pada kor pulmonal
kronik, meskipun efisiensinya lebih baik pada hipertensi pulmonal yang primer.1
Digitalis
Digitalis hnya digunakan pada pasien kor pulmonal bila disertai gagal
jantung kiri. Digitalis tidak terbukti meningkatkan fungsi ventrikel kanan pada
pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel normal, hanya pada pasien kor
pulmonal dengan fungsi ventrikel kiri yang menurun, digoksin bisa meningkatkan
fungsi ventrikel kanan. Pada pemberian digitalis perlu diwaspadai resiko aritmia.
Antikoagulan
Diberikan untuk menurunkan resiko terjadinya tromboemboli akibat
disfungsi dan pembesaran ventrikel kanan dan adanya faktor imobilisasi pada
pasien.
58
3.6. Komplikasi
Komplikasi dari cor pulmonale adalah bisa terjadi syncope, hypoxia, pedal edema,
passive hepatic congestion dan kematian.
3.7. Prognosis
Prognosis kor pulmonal yang disebabkan oleh PPOK lebih baik dari prognosis kor
pulmonal yang disebabkan oleh penyakit paru lain seperti "restrictive pulmonary
disease", dan kelainan pembuluh darah paru. Forrer mengatakan penderita kor pulmonal
masih dapat hidup antara 5 sampai 17 tahun setelah serangan pertama kegagalan jantung
kanan, asalkan mendapat pengobatan yang baik. Padmavati dkk di India mendapatkan
angka antara 14 tahun. Sadouls di Perancis mendapatkan angka 10 sampai 12 tahun.
59
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien laki-laki usia 35 tahun datang dengan keluhan sesak nafas +1 bulan ini. Sesak
dirasakan memberat sejak seminggu terakhir SMRS dan dirasakan memberat sejak pagi hari
sampai siang hari SMRS. Sesak dirasakan pasien saat beristirahat maupun beraktivitas, ketika
tidur terlentang dan memberat ketika aktivitas berat dan cuaca bertambah panas. Sejak sesak
muncul os sulit tidur terutama pada malam hari. Os mengaku kalau tidur harus pakai 2-3
bantal untuk mengganjal agar sesaknya berkurang serta istirahat di atas tempat tidur dan
mengurangi aktivitas yang berlebihan untuk mengurangi keluhan sesak tersebut. Selain itu
sesak juga dirasakan berkurang oleh OS ketika duduk dan menyalakan kipas angin. Keluhan
sesak ini disertai dengan keluhan batuk yang hampir bersamaan dengan keluhan sesaknya,
batuk tersebut disertai dengan lendir jernih tanpa darah. Keluhan lemas dan tidak bisa
berjalan juga dirasakan pasien selama nafas + 3 minggu SMRS. Keluhan lain berupa bengkak
pada kedua tungkai dirasakan sejak 2 minggu SMRS. Keluhan dada berdebar juga dirasakan
pasien serta demam yang hilang timbul. Keluhan nyeri dada, mual-muntah, pingsan dan
keringat dingin serta perasaan tidak nyaman di dada disangkal pasien.
Riwayat penyakit jantung disangkal, riwayat penyakit TB (+) dengan riwayat
pengobatan TB paru kategori 1 selesai 6 bulan (tanpa periksa dahak saat pengobatan fase
intensif dan akhir fase lanjutan) (+). Riwayat penyakit dalam keluarga pasien tidak memiliki
riwayat sakit jantung dan riwayat sakit TB paru, di keluarganya tidak ada riwayat asma,
diabetes mellitus, hipertensi, ataupun alergi. Merokok ( + ) sejak SMP sd berhenti sejak 5-6
tahun terakhir rata-rata rokok yang dihabiskan palig banyak adalah 3 bungkus dalam sehari.
Meminum alkohol ( + ) , dimulai sejak kuliah dan berhenti sejak 5-6 tahun terakhir.
Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis, gizi baik, tekanan darah 90/60 mmHg, nadi 113x/menit irregular,
isi dan tegangan cukup, pernapasan 41 kali per menit, suhu 36,8ºC, SpO2 90% masker 7 lpm.
Pada leher, ditemukan JVP (5+4) cm H2O, pada pemeriksaan pulmo ditemukan suara nafas
vesikuler pada kedua lapang paru dan menurun pada paru kiri, adanya ronkhi basah halus
minimal pada kedua basal paru dan wheezing pada kedua lapang paru. .Pada pemeriksaan
jantung Iktus cordis tampak, kuat angkat, teraba 2 cm lateral linea midclavicula sinistra. BJ
S1/S2 ireguler, murmur sistolik diastolik(+), murmur sistolik trikuspid. Pada pemeriksaan
60
abdomen, abdomen terlihat datar, hepar teraba 2 jari BAC, tepi tumpul, permukaan rata,
konsistensi kenyal, lien tidak teraba.Tidak ditemukan nyeri tekan pada seluruh abdomen.
Pada pemeriksaan ektremitas didapatkan adanya edema tungkai pitting bilateral dan clubbing
finger positif.
Pada pemeriksaan laboratorium tanggal 1/3/2019 didapatkan adanya penigkatan kadar
Hb 16,7 g/dl, dan jumlah eritrosit 5,94 x 106 uL, leukosit 10.280/uL, peningkatan BUN 60,1
mg/dl dan creatinin 1,04 mg/dl dan pada pemeriksaan ulangan tanggal 6/3/2019 didapatkan
nilai LED darah kurang, peningkatan SGOT 181 U/L dan SGPT 333 U/L dan peningkatan
Diagnosis pasien
RHF
PHT
CPCD
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien ini didapatkan
diagnosis gagal jantung kanan dengan gejala khas berupa sesak nafas saat istirahat atau
aktivitas, kelelahan, edema tungkai. Tanda khas gagal jantung takikardia dengan nadi
113x/menit, takipnea pernapasan 41 kali per menit, ronki basal pada kedua lapang paru,
peningkatan tekanan vena jugularis 5+ 4cm, dan hepatomegali hepar teraba 2 jari BAC tepi
tumpul, permukaan rata, konsistensi kenyal dan pada pasien ini didapatkan tanda objectif
gangguan struktur dan fungsional jantung berupa kardiomegali dibuktikan dari CXR dengan
CTR, didapatkan adanya bunyi jantung murmur sistolik pada area tricuspid dan abnormalitas
61
Gangguan fungsi pompa ventrikel
Curah jantung kanan menurun dan tekanan akhir systole ventrikel kanan meningkat
Bendungan sistemik
62
dengan adanya riwayat bekas TB yang dialami pasien dan kemungkinan adanya kerusakan
parenkim paru pada pasien yang mengarah kepada PPOK terkait kebiasaan merokok pasien
sesuai indeks Brinkman (derajat berat > 600) pada pasien ini indeks brinkman yang didapat
17x36= 612 walaupun perlu penegakan pasti diagnosisnya melalui pemeriksaan spirometri
dengan bronkodilator. Kemungkinan Hipertensi Pulmonal ini yang lama kelamaan akan
menyebabkan Cor pulmonale Chronic Decompensated (CPCD) bila tubuh pasien tidak
mampu mengkompensasi kelainan yang ada yang pada akhirnya berakhir dengan gagal
jatung kanan (Right Heart Failure).
Menurut WHO, definisi kor pulmonal adalah keadaan patologis dengan ditemukannya
hipertrofi ventrikel kanan yang disebabkan oleh kelainan fungsional dan struktur paru, tidak
termasuk kelainan karena penyakit jantung primer pada jantung kiri dan penyakit jantung
kongenital (bawaan). Penyakit yang mendasari terjadinya kor pulmonal dapat digolongkan
menjadi 4 kelompok :penyakit pembuluh darah paru, penekanan pada arteri pulmonal oleh
tumor mediastinum, aneurisma, granuloma atau fibrosis, penyakit neuro muskular dan
dinding dada, penyakit yang mengenai aliran udara paru, alveoli, termasuk Penyakit Paru
Obstruktif Kronis (PPOK), penyakit paru interstisial dan gangguan pernafasaan saat tidur.
Hipertensi pulmonal menyebabkan meningkatnya kinerja ventrikel kanan dan dapat
mengakibatkan dilatasi atau hipertropi bilik kanan jantung. Timbulnya keadaan ini diperberat
dengan adanya polisitemia akibat hipoksia jaringan, hipervolemia akibat adanya retensi air
dan natrium, serta meningkatnya cardiac output. Ketika jantung kanan tidak lagi dapat
melakukan adaptasi dan kompensasi maka akhirnya timbul kegagalan jantung kanan yang
ditandai dengan adanya edema perifer. Jangka waktu terjadinya hipertropi atau dilatasi
ventrikel kanan maupun gagal jantung kanan pada masing-masing orang berbeda-beda.
Berdasarkan anamnesis pemeriksaan fisik dan penunjang diagnosis kemungkinan Cor
Pulmonale Chronic Decompensated didapatkan dari keluhan utama berupa sesak nafas
biasanya karena adanya peningkatan kerja pernapasan akibat adanya perubahan dalam
elastisitas paru-paru (fibrosis penyakit paru dalam hal ini terkai bekas TB yang diderita
pasien ) atau adanya over inflasi terkait kemungkinan PPOK. Berdasarkan sebuah penelitian
di India dengan total pasien kor pulmonal kronik 60 pasien ( 52 laki-laki dan 8 perempuan)
sebanyak 63% penderita berusia diats 50 tahun dan 40 % diantaranya dengan bronchitis
kronik dan 30 % diantaranya dengan tuberculosis dan sebanyak 16,7% dengan asma
bronchial dan pada ECG dengan P pulmonal sebanyak 99,66% kasus serta 80 % kasus
dengan right ventricular dilatation dan right atrial dilatation sebanyak 50%.
63
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda khas sianosis perifer berupa clubbing
finger, menurut literatur bisa didapatkan , suara P2 yang mengeras, ventrikel kanan dapat
teraba di parasternal kanan. Terdapatnya murmur pada daerah pulmonal dan triskuspid (pada
pasien ini positf) dan terabanya ventrikel kanan merupakan tanda yang lebih lanjut. Bila
sudah terjadi fase dekompensasi, maka gallop (S3) mulai terdengar dan selain itu juga dapat
ditemukan murmur akibat insufisiensi trikuspid. Dilatasi vena jugularis (JVP pada pasien
meningkat 5+ 4 cm), hepatomegali (2 jari BAC), splenomegali, asites dan efusi pleura
merupakan tanda-tanda terjadinya overload pada ventrikel kanan.
Pada pemeriksaan penunjang radiologi didukung oleh adanya kardiomegali yang
dibuktikan dengan angka CTR 59,09 %, dan kesan pembesaran jantung bagian kanan (tbatas
jantung kanan tampak prominen) dan adamya gambaran radiologi hipertensi pulmonal adalah
dilatasi arteri pulmonalis utama dan cabang-cabangnya, meruncing ke perifer, dan lapang
paru perifer tampak relatif oligemia(avaskular perifer). Pada pemeriksaan EKG didapatkan
gambaran kesimpulan hipertrofi ventrikel kanan ( RVH) ditandai dengan deviasi aksis
kekanan dan rasio R/S di V1 > 1; pembesaran atrium kanan ditandai dengan P pulmonal pada
lead III. Selain pemeriksaan radiologi dan EKG diatas juga didukung oleh pemeriksaan
ekokardiografi pada tanggal 14/3/2019 didapatkan kesimpulan F/S sistolik RV menurun,
RA,RV dilatasi, TR mild, mod probability of PH, Disfungsi diastolic grade 1.
Pada pasien ini diberikan terapi oksigen dengan masker 7 lpm untuk menhidari
terjadinya hipoksia dan mempertahankan saturasi peripheral dalam batas normal. Mekanisme
bagaimana terapi oksigen dapat menigkatkan kelangsungan hidup belum diketahui pasti,
namun ada 2 hipotesis: (1) terapi oksigen mengurangi vasokontriksi dan menurunkan
resistensi vaskuler paru yang kemudian meningkatkan isi sekuncup ventrikel kanan, (2) terapi
oksigen meningkatkan kadar oksigen arteri dan meningkatkan hantaran oksigen ke jantung,
otak, dan organ vital lainnya.
Selain terapi oksigen pada pasien ini juga mendapatkan terapi diuretik furosemid 2x
20 mg (iv) untuk mengurangi edema dan tanda-tanda gagal jantung kanan. Namun harus
dingat, pemberian diuretika yang berlebihan dapat menimbulkan alkalosis metabolik yang
bisa memicu peningkatan hiperkapnia. Disamping itu, dengan terapi diuretika dapat terjadi
kekurangan cairan yang mengakibatkan preload ventrikel kanan dan curah jantung menurun.
Perlu diperhatikan pula efek samping penggunaan diuretic furosemid yang tergolong dalam
loop diuretic yang mula kerjanya lebih cepat dan efek diuretiknya lebih kuat dibandingkan
golongan thiazid dan cepat sekali menguras cairan tubuh dan elektrolit maka diberikan juga
64
spironolacton 2x25 mg (golongan diuretic hemat kalium). Terapi diuretic kombinasi ini
diberikan untuk mencegah hipokalemia.
Pada pasien ini juga diberikan digoksin 1 x 1(0,25 mg) tab. Digitalis hanya
digunakan pada pasien kor pulmonal bila disertai gagal jantung kiri. Digitalis tidak terbukti
meningkatkan fungsi ventrikel kanan pada pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel
normal, hanya pada pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel kiri yang menurun, digoksin
bisa meningkatkan fungsi ventrikel kanan. Pada pemberian digitalis perlu diwaspadai resiko
aritmia. Selain itu juga diberikan Dorner 2x 1 (20mcg) tab yang merubakan obat golongan
obat anti platelet beraprost sodium dan kombinasi dengan sildenafil 2 x ¼ tab (25mg) untuk
penatalaksaan hipertensi pulmonal yang ada. Sejalan dengan terapi yang diberikan gejala
gagal jantung kanan terutama edema tungkai sudah menghilang dan sesak yang dikeluhan
pasien mulai berkurang. . Pemberian obat-obat tersebut sudah tepat, sesuai dengan penjelasan
diatas. Edukasi tirah baring sangat penting untuk mencegah memburuknya hipoksemia, yang
nantinya akan lebih menaikkan lagi tekanan arteri pulmonalis. Garam perlu dibatasi tetapi
tidak secara berlebihan karena klorida serum yang rendah akan menghalangi usaha untuk
menurunkan hiperkapnia.
65
BAB V
KESIMPULAN
Diagnosis gagal jantung kanan dengan gejala khas berupa sesak nafas saat istirahat atau
aktivitas, kelelahan, edema tungkai. Tanda khas gagal jantung takikardia dengan nadi
113x/menit, takipnea pernapasan 41 kali per menit, ronki basal pada kedua lapang paru,
peningkatan tekanan vena jugularis 5+ 4cm, dan hepatomegali hepar teraba 2 jari BAC tepi
tumpul, permukaan rata, konsistensi kenyal dan pada pasien ini didapatkan tanda objectif
gangguan struktur dan fungsional jantung berupa kardiomegali dibuktikan dari CXR dengan
CTR, didapatkan adanya bunyi jantung murmur sistolik pada area tricuspid dan abnormalitas
keluhan utama berupa sesak nafas biasanya karena adanya peningkatan kerja pernapasan
akibat adanya perubahan dalam elastisitas paru-paru (fibrosis penyakit paru dalam hal ini
terkait bekas TB yang diderita pasien ) yang didapat dari anamnesis Riwayat pengobatan TB
paru kategori 1 selesai 6 bulan (tanpa periksa dahak saat pengobatan fase intensif dan akhir
fase lanjutan) (+) atau adanya over inflasi terkait kemungkinan PPOK perlu penegakan pasti
melalui spirometri dan bronkodilator meskipun didukung oleh ingeks brinkman riwayat
merokok lama 612. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda khas sianosis perifer
berupa clubbing finger, terdapatnya murmur triskuspid akibat insufisiensi trikuspid. Dilatasi
vena jugularis (JVP pada pasien meningkat 5+ 4 cm), hepatomegali (2 jari BAC). Pada
dengan angka CTR 59,09 %, dan kesan pembesaran jantung bagian kanan (terbatas jantung
kanan tampak prominen) dan adamya gambaran radiologi hipertensi pulmonal adalah dilatasi
arteri pulmonalis utama dan cabang-cabangnya, meruncing ke perifer, dan lapang paru perifer
66
tampak relatif oligemia(avaskular perifer). Pada pemeriksaan EKG didapatkan gambaran
kesimpulan hipertrofi ventrikel kanan ( RVH) ditandai dengan deviasi aksis kekanan dan
rasio R/S di V1 > 1; pembesaran atrium kanan ditandai dengan P pulmonal pada lead III.
Selain pemeriksaan radiologi dan EKG diatas juga didukung oleh pemeriksaan
Pengobatan yang telah diberikan pada pasien ini menunjukan respon yang baik setelah
dilakukan evaluasi selama perawatan yang ditandai dengan menghilangnya edema tungkai
dan keluhan sesak nafas yang berkurang bila dibandingkan pertama kali masuk rumah sakit,
selain itu pasien juga sudah mulai latihan duduk dan berjalan secara bertahap.
67
DAFTAR PUSTAKA
Dines DE, Parkin TW. Some Observation on the Value of the Electrocardiogram in Patient
with Chronic Cor Pulmonale. Mayo Clinic-Proc 2005; 40: 745-750
Fauci AS, Dennis LK, dkk. Heart Failure and Cor Pulmonale. Dalam Harrison’s Principles
of Internal Medicine 17th ed. United States of America. The McGraw-Hill Companies,
Inc. 2008; 217-244
Guyton & Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran: Fisiologi Jantung. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC pp. 107-119
Harun S, Ika PW. Kor Pulmonal Kronik. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Ed 4.
Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2006; 1680-81
Jota, Santa. 2008. Diagnosis Penyakit Jantung: Gagal Jantung. Jakarta: Penerbit Widya
Medika pp. 303-310
Kumar, Clark. Cardiovascular Disease. Dalam Clinical Medicine 6th ed. Philadelphia.
Elsevier Saunders. 2005; 725-872
Laksono. 2009. Cermin Dunia Kedokteran (CDK): Patofisiologi Payah Jantung Kronik.
Jakarta: IDI pp.172-175
68
Nidal A Yunis, MD , Cardiovascular Medicine Fellow, St Elizabeth's Medical Center of
Boston; Department of Medicine, Brown University, 2004
Palevsky H, Fishman. A.P. The Management of Primary Pulmonary Hypertension. JAMA.
2006; 265:1014-20.
Price & Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit: Gagal Jantung
Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC pp. 200-211
Price SA, LM Wilson. Gangguan Sistem Pernapasan. Dalam Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 2006; 736-866
Rakhman, Otte. 2006. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik pada Penyakit Jantung. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI pp. 312-318
Rich S et al. Pulmonary Hypertension. Dalam Braunwald E, Heart Disease: A Text Book of
Cardiovascular Medicine 7th ed. Philadelphia. Elsevier Saunders. 2005; 1807-42
Silbernag S, Lang F. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Alih bahasa oleh : Setiawan I, et
al. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006; 214-15.
Six Abnormal ECGs — Not All Are Cases of the Heart: Slideshow Available from :
http://reference.medscape.com/features/slideshow/abnormal-ecg. Diakses tanggal 20
Oktober 2011.
Starry H. Rampengan, Eko Antono. Infark Miokard Ventrikel Kanan. Jurnal
Sugeng & Sitompul. 2003. Buku Ajar Kardiologi: Pengobatan pada Penyakit Gagal
Jantung. Jakarta: Balai Penerbit FKUI pp. 223-226
69