Anda di halaman 1dari 69

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang`

Gagal jantung merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia.
Resiko terjadinya gagal jantung semakin meningkat sepanjang waktu. Menurut data WHO
2013, 17,3 juta orang meninggal akibat gangguan kardiovaskular pada tahun 2008 dan lebih
dari 23 juta orang akan meninggal setiap tahun dengan gangguan kardiovaskular (WHO
2013). Lebih dari 80% kematian akibat gangguan kardiovaskular terjadi di negara – negara
berpenghasilan rendah dan menengah (Santa, 2008).

Pada penelitian di Amerika, resiko berkembangnya gagal jantung adalah 20% untuk usia
≥40 tahun, dengan kejadian >650.000 kasus baru yang didiagnosis gagal jantung selama
beberapa dekade terakhir. Kejadian gagal jantung meningkat dengan bertambahnya usia.
Tingkat kematian untuk gagal jantung sekitar 50% dalam waktu 5 tahun.

Dalam Nurhayati (2009), hasil penelitian menunjukkan gambaran dari faktor resiko
penyakit gagaljantung kongestif, yaitu faktor keturunan terdapat 15 orang (50%), pasien yang
berjenis kelamin perempuan 16 orang (53,3%), pasien yang berusia 40-59 tahun 15 orang
(50%), yang memiliki pola makan yang tidak baik 29 orang (96,67%), yang memiliki
kebiasaan merokok 16 orang (53,3%), yang memiliki riwayat obesitas 13 orang, yang
memiliki riwayat DM 15 orang (50%), pasiaen yang kurang melakukan aktifitas fisik 27
orang (90%), yang memiliki riwayat hipertensi 20 orang (66,7%).

Terapi untuk kondisi gagal jantung difokuskan pada komponen akhir sindrom ini, beban
volume berlebih (kongesti) dan disfungsi miokaradial (gagal jantung), dengan strategi
pengobatan diutamakan pada penggunaan diuretik dan glikosida jantung. Selain gejala gagal
jantung, faktor yang mendasari dan faktor presipitasi juga perlu diobati.

Diuretik mengurangi akumulai cairan dengan meningkatkan eksresi garam dan air dari
ginjal, sehingga preload, kongesti pulmonal, dan edema sistemik dapat berkurang.
Penggunaan diuretik dengan cepat menghilangkan sesak nafas dan meningkatkan
kemampuan melakukan aktifitas fisik.

Angiotensin converting enzym inhibitor (ACEI) direkomendasikan untuk semua pasien


dengan gagal jantung sistolik (fraksi ejeksi ventrikel/Left Ventricular Ejection Fraction

1
(LVEF) <40%), dengan gejala ringan, sedang, atau berat, kecuali ada kontraindikasi (Santa.
2008).
Angiotensin II Receptor Blocker (ARBs) digunakan seabgai alternatif pada pasien yang
tidak dapat mentoleransi ACEI. β-bloker dapat ditambahkan dalam dosis yang dinaikkan
secara bertahap. Digoksin dapat digunakan untuk menunjang fungsi jantung dan mengurangi
gejala.
Penyakit jantung dan pembuluh darah merupakan masalah kesehatan masyarakat dan
merupakan penyebab kematian tertinggi di Indonesia, maka perlu dilakukan pengendalian
penyakit jantung dan pembuluh darah secara berkesinambungan.

Kor pulmonal merupakan suatu keadaan timbulnya hipertrofi dan dilatasi ventrikel
kanan akibat hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh penyakit yang menyerang struktur,
fungsi paru, atau pembuluh darah pulmonal yang dapat berlanjut menjadi gagal jantung
kanan. Menurut World Health Organization (WHO), definisi kor pulmonal adalah keadaan
patologis dengan hipertrofi ventrikel kanan yang disebabkan oleh kelainan fungsional dan
struktur paru. Tidak termasuk kelainan karena penyakit jantung primer pada jantung kiri dan
penyakit jantung kongenital (bawaan). Istilah hipertrofi yang bermakna sebaiknya diganti
menjadi perubahan struktur dan fungsi ventrikel kanan.
Dikarenakan paru berkorelasi dalam sirkuit kardiovaskuler antara ventrikel kanan
dengan bagian kiri jantung, perubahan pada struktur atau fungsi paru akan mempengaruhi
secara selektif jantung kanan. Patofisiologi akhir yang umum yang menyebabkan kor
pulmonal adalah peningkatan dari resistensi aliran darah melalui sirkulasi paru dan mengarah
pada hipertensi arteri pulmonal.
Kor pulmonal dapat terjadi secara akut maupun kronik. Penyebab kor pulmonal akut
tersering adalah emboli paru masif sedangkan kor pulmonal kronik sering disebabkan oleh
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Pada kor pulmonal kronik umumnya terjadi
hipertrofi ventrikel kanan sedangkan pada kor-pulmonal akut terjadi dilatasi ventrikel kanan.
Insidens yang tepat dari kor pulmonal tidak diketahui karena seringkali terjadi tanpa
dapat dikenali secara klinis. Diperkirakan insidens kor pulmonal adalah 6% sampai 7% dari
seluruh penyakit jantung.4 Di Inggris terdapat sedikitnya 0,3% populasi dengan resiko
terjadinya kor pulmonal pada populasi usia lebih dari 45 tahun dan sekitar 60.000 populasi
telah mengalami hipertensi pulmonal yang membutuhkan terapi oksigen jangka panjang.
Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan kor pulmonal adalah penyakit yang
secara primer menyerang pembuluh darah paru dan penyakit yang mengganggu aliran darah

2
paru.6 Berdasarkan penelitian lain di Ethiopia, menemukan penyebab terbanyak kor pulmonal
berturut-turut adalah asma bronkial, tuberkulosis paru, bronkitis kronik, emfisema, penyakit
interstisial paru, bronkiektasis, obesitas, dan kifoskoliosis. Menurut penelitian sekitar 80-90%
pasien kor pulmonal mempunyai PPOK dan 25 % pasien dengan PPOK akan berkembang
menjadi kor pulmonal.
Kor pulmonal terjadi ketika hipertensi pulmonal menimbulkan tekanan berlebihan
pada ventrikel kanan. Tekanan yang berlebihan ini meningkatkan kerja ventrikel kanan yang
menyebabkan hipertrofi otot jantung yang normalnya berdinding tipis, yang akhirnya dapat
menyebabkan disfungsi ventrikel dan berlanjut kepada gagal jantung.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana mendiagnosa Right Heart Failure (RHF) pada pasien ini?

2. Bagaimana mendiagnosa Cor Pulmonale Chrocic Decompensated (CPCD) pada

pasien ini?

3. Apa penyebab Cor Pulmonale Chrocic Decompensated (CPCD) pasien ini?

1.3. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui bagaimana mendiagnosa Right Heart Failure (RHF) pada pasien

ini.

2. Untuk mengetahui bagaimana Cor Pulmonale Chrocic Decompensated (CPCD) pada

pasien ini?

3. Untuk mengetahui penyebab Cor Pulmonale Chrocic Decompensated (CPCD) pasien

ini?

3
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. IDENTITAS

Nama : Tn. Nurkhoiri

Jenis kelamin : Laki-laki

Usia : 35 tahun

Tanggal lahir : 13/06/1984

Alamat : Abepura

RM : 413908

Jaminan : BPJS

Ruangan : Ruang Paru

Tanggal masuk RS : 01/03/2019

Tanggal periksa : 01/03/2019

Tanggal Keluar RS : Masih dalam masa perawatan

2.2. ANAMNESIS

1. Keluhan Utama
Pasien mengeluh sesak nafas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien laki-laki usia 35 tahun datang dengan keluhan sesak nafas +1 bulan ini.
Sesak dirasakan memberat sejak seminggu terakhir SMRS dan dirasakan
memberat sejak pagi hari sampai siang hari SMRS. Sesak dirasakan pasien saat
beristirahat maupun beraktivitas, ketika tidur terlentang dan memberat ketika
aktivitas berat dan cuaca bertambah panas. Sejak sesak muncul os sulit tidur
terutama pada malam hari. Os mengaku kalau tidur harus pakai 2-3 bantal untuk
mengganjal agar sesaknya berkurang serta istirahat di atas tempat tidur dan
mengurangi aktivitas yang berlebihan untuk mengurangi keluhan sesak tersebut.
Selain itu sesak juga dirasakan berkurang oleh OS ketika duduk dan menyalakan

4
kipas angin. Keluhan sesak ini disertai dengan keluhan batuk yang hampir
bersamaan dengan keluhan sesaknya, batuk tersebut disertai dengan lendir jernih
tanpa darah. Keluhan lemas dan tidak bisa berjalan juga dirasakan pasien selama
nafas + 3 minggu SMRS. Keluhan lain berupa bengkak pada kedua tungkai
dirasakan sejak 2 minggu SMRS. Keluhan dada berdebar juga dirasakan pasien
serta demam yang hilang timbul. Keluhan nyeri dada, mual-muntah, pingsan dan
keringat dingin serta perasaan tidak nyaman di dada disangkal pasien.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat penyakit jantung ( - )
- Asam urat (-)
- Hipertensi ( - )
- Diabetes mellitus ( - )
- TB (+)
- Alergi ( - )
4. Riwayat Pengobatan
Riwayat pengobatan TB paru kategori 1 selesai 6 bulan (tanpa periksa dahak saat
pengobatan fase intensif dan akhir fase lanjutan) (+)
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Dalam keluarga pasien tidak memiliki riwayat sakit jantung dan riwayat sakit TB
paru, di keluarganya tidak ada riwayat asma, diabetes mellitus, hipertensi, ataupun
alergi.
6. Riwayat Kebiasaan
- Merokok ( + ) sejak SMP sd berhenti sejak 5-6 tahun terakhir rata-rata
rokok yang dihabiskan palig banyak adalah 3 bungkus dalam sehari.
- Meminum alkohol ( + ) , dimulai sejak kuliah dan berhenti sejak 5-6 tahun
terakhir.

2.3. PEMERIKSAAN FISIK

 Keadaan Umum

Tampak sakit sedang.

 Kesadaran

GCS: E4V5M6, kesadaran: composmentis

5
 TTV

HR : 113x/m Irreguler, kuat angkat

RR : 41x/m

TD :90/60 mmHg

SpO2 : 90 % masker 7 lpm

SB : 36.8 oC

 Kepala :

a. Mata : CA (-/-), SI (-/-)

b. Hidung :Sekret hidung -/-,

c. Telinga : Sekret telinga -/-,

d. Mulut : OC (-/-), tonsil tidak hiperemis,

e. Leher : JVP 5 + 4 cm

 Thoraks : Simetris, ikut gerak nafas

a. Cor : Iktus cordis tampak, kuat angkat, teraba 2 cm lateral linea

midclavicula sinistra. BJ S1/S2 ireguler, murmur sistolik

diastolik(+), murmur sistolik trikuspid.

b. Pulmo : SN Vesikuler (+/+ menurun), rh (+/+) minimal basah halus

dibagian basal, whezing (+/+).

 Abdomen :Datar, BU (+) Normal, timpani, NT (-), Hepar teraba 2 jari

BAC tepi tumpul, permukaan rata, konsistensi kenyal, lien tidak

teraba.

 Ekstremitas atas : akral hangat, CRT < 2”, edema pitting (-/-), clubbing finer (+)

 Ekstremitas atas : akral hangat, CRT < 2”, edema pitting (+/+),clubbing finer (+)

6
2.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Pemeriksaan Laboratorium

Hasil Laboratorium tertanggal (01/03/2019)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

HEMATOLOGI

Hematologi Lengkap (DL)

Kadar Hemoglobin 16.7 g/dL Laki-laki: 13.3-16.6

Perempuan: 11.0-14.7

Hitung Hematokrit 48.5 % Laki-laki: 41.3-52.1

Perempuan: 35.2-46.7

Hitung Jumlah Eritrosit H 5.94 10 ^6/uL 3.69-5.46

MCV L 81.6 fL 86.7-102.3

MCH 28.1 pg 27.1-32.4

MCHC H 34.4 g/L 29.7-33.1

RDW-SD 41.8 fL 41.2-53.6

RDW-CV 14.4 % 12.2-14.8

Hitung Jumlah Leukosit H 10.28 10^3/uL 3.37-8.38

Hitung Jumlah Trombosit 191 10^3/uL 140-400

PDW 12.2 fL 9.6-15.2

MPV 10.5 fL 9.6-15.2

Hitung Jenis Leukosit

Sel Basofil L 0.2 % 0.3-1.4

Sel Eosinofil L 0.1 % 0.6-5.4

Sel Neutrofil H 75.9 % 39.8-70.5

Sel Limsofit L 10.3 % 23.1-49.9

7
Sel Monosit H 13.5 % 4.3-10.0

Malaria (DDR) Negatif

KIMIA DARAH

BUN H 60.1 mg/dL 7-18

Creatinin H 1.04 mg/dL < = 0.95

Hasil laboratorium tertanggal 06/03/2019

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

HEMATOLOGI

Hematologi Rutin

Kadar Hemoglobin 16.1 g/dL Laki-laki: 13.3-16.6

Perempuan: 11.0-14.7

Hitung Hematokrit 49.4 % Laki-laki: 41.3-52.1

Perempuan: 35.2-46.7

Hitung Jumlah Leukosit 6.13 10 ^3/uL 3.37-8.38

Hitung Jumlah Trombosit 145 10^3/uL 140- 400

Hitung Jumlah Eritrosit H 5.73 10^6/uL 3.69- 5.46

Laju Endap Darah !! mm/jam Laki-Laki: 1- 10

Perempuan: 0- 20

‘Pemeriksaan LED darah

kurang’

KIMIA DARAH

Glukosa Darah Sewaktu 107 mg/dL < = 140

SGOT H 181.0 U/L < = 40

SGPT H 333.0 U/L Perempuan: < = 33

8
Laki-Laki: < = 41

BUN H 20.0 mg/dL 7 - 18

Creatinin 0.46 mg/dL < = 0.95

Albumin L 3.2 g/dL 0.3-1.4

Na, K, Cl

Kalium Darah 4.02 mEq/L 3.50 – 5.30

Natrium Darah 138.60 mEq/L 135 - 148

CL Darah 103.90 mEq/L 98 - 106

Calcium Ion L 1.03 mEq/L 1.15 – 1.35

 Pemeriksaan EKG

Tertanggal 08/03/2019

Kesimpulan: Hipertrofi ventrikel kanan ( RVH) ditandai dengan deviasi aksis


kekanan dan rasio R/S di V1 > 1; pembesaran atrium kanan ditandai
dengan P pulmonal pada lead III.

9
 Pemeriksaan echocardiografi

Tertanggal 14/03/2019

Interpretasi:

- Dimensi : RA-RV dilatasi

- LVH negative

- Kontraktilitas LV baik, EF

- Kontraktilitas RV menurun, TAPSE 1,2 cm

- Global (N) kinetic, LV D shape

- TR mild, TR Vmx 3,1 m/s

- E/A <1, DT 137 m/s. Ao Vmx 1,02 m/s

- Lvc < 1,6

Kesimpulan

- F/S sistolik RV menurun

- RA,RV dilatasi

- TR mild, mod probability of PH

- Disfungsi diastolic grade 1

10
 Pemeriksaan Radiologi

Rontgen tertanggal 01/03/2018

A
B
C

CTR = (A+B)/ C

= (5,5+7,5)/ 22
13
Cor: CTR : × 100% = 59,09%
22

Kesan: Kardiomegali dengan CTR = 59,09%

Pulmo: kesan didapatkan peningkatan kepadatan corakan vascular paru terutama

pada lapang paru bagian tengah, fibrosis pada sebagian besar lapang paru dan

tenting pada lapang paru kiri bawah, didapatkan kavitas berdinding tipis tanpa

disertai infiltrasi cairan didalamnya pada lapang paru kanan atas.

2.5. DIAGNOSIS KERJA

 RHF

 PHT

11
 CPCD

2.6. TATALAKSANA AWAL

 Injeksi Furosemid 1 ampul IV/ 12 jam

 Digoxin 1x1 tablet (0,25 mg)

2.7. PROGNOSIS

Quo ad Vitam : Dubia ad Bonam

Quo ad Functionam : Dubia ad Malam

Quo ad Sanationam : Dubia ad Malam

2.8. FOLLOW UP

02-03-2019
S : Sesak (+), Batuk (+), Nyeri dada (- )

O : Ku: Tampak Sakit Sedang


Kesadaran : Compos Mentis
TTV:
TD: 90/60 R: 28x/m SPO 2: 93% 7 lpm
N: 98x/m , SB: 35°c
K/L: Ca (-), SI (-), OC (-) PKGB (–), JVP 5+4 cmH2O
Thorax: simetris, ikut gerak nafas, snvess +/+, Rho +/+, whez(-/-)
Cor: BJl – BJll Reguler, galop (–) mur-mur (-)
Abd: BU + , NT (-)
Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2”, Edema (-/+)
A : -RHF
-PHT
P : -NaCl 0.9% 1000 cc/24 jam
-Furosemid 2x1 Amp (IV)
-Digoxin 1x1 tab (P.O)
-Dorner 2x1 tab

12
Pro Echo

03-03-2019

S : Batuk (+)

O Ku: TSS
Kes: Cm
TD: 100/70 mmHg, R: 30x/m , SpO2:92 % Masker O2 7 Lpm, N:
92 x/m, SB: 36,4 oC
K/L: CA (-/-), SI (-/-), OC (-), P > KGB (-), JVP 5+4 cmH2O

Thorax: Simetris, ikut gerak nafas reaksi (-), SN vesikuler (+/+),

Rho (+/+), Whe (-/-)

Cor: BJ l-ll reguler, gallop (-) mur-mur (-)

Abdomen: datar, supel, BU +Nyeri tekan, Heparllen: ttb

Ext: akral hangat, CRT <2”, Edema (-/+)

A : -RHF

-S.PHT

P : -NaCl 0.9% 1000 cc/24 jam


-Furosemid 2x1 Amp (IV)
-Digoxin 1x1 tab (P.O)
-Dorner 2x1 tab
Pro Echo

04-03-2019

S : Sesak (+), Batuk (+), Nyeri Dada (-)

13
O Ku: TSS

Kes:ComposMentis,

TD: 100/60mmHg, N:98 x /m, R: 28 x/m, SB: 36,02C, SpO2:

92% Masker O2 7 Lpm

K/L: CA (-/-), SI (+/+), OC (-), JVP

Tho: Simetris, ikut gerak nafas, retraksi (-), SNV (+/+), Rho

(+/+)

Cor: BJ I-II reguler, murmur (+)

Abd: Datar, Supel, BU (+), NT (-)

Eks: Akral hangat (+), CRT < 2”, edema (-/+)

Input : 1500 cc

Output: 2075 cc

BC: -575 cc

: -RHF
-S.PHT
A

P : -NaCl 0.9% 1000 cc/24 jam


-Furosemid 2x1 Amp (IV)
-Digoxin 1x1 tab (P.O)
-Dorner 2x1 tab
Pro Echo

05-03-2019

S : Sesak (+), Batuk (+), Nyeri dada (-)

O Kesadaran:compos mentis,

TD: 90/60mmHg, N: 105 x/m, R:30 x/m, SB: 36,5C, SpO2: 92

% dengan masker O2 8 Lpm

14
K/L: CA (-/-), SI (+/+), OC (-), JVP 5+4 cmH2O

Tho: Simetris, ikut gerak nafas, Rho (+/+), SN Vesikuler (+/+)

Cor: BJ I-II reguler, murmur (+)

Abd:Datar, Supel, NT (-),

Eks: Akral hangat (+), CRT < 2”, edema (-/+)

Input : 1550 cc

Output: 1350 cc

BC: -200 cc

:  RHF

A  S.PHT

P : -NaCl 0.9% 1000 cc/24 jam


-Furosemid 2x1 Amp (IV)
-Digoxin 1x1 tab (P.O)
-Dorner 2x1 tab
Pro Echo

06-03-2019

S : Batuk (+), Sesak (+), Nyeri dada (-), lemas (+)

O Ku: Tampak Sakit Sedang

Kesadaran:compos mentis,

TD: 110/70 mmHg, N:117x/m, R: 28 x/m, SB: 35,5C, SpO2:

97% dengan masker O2 8 Lpm

K/L: CA (-/-), SI (+/+),OC (-), P>KGB (-), JVP 5+4 cmH2O

Tho: Simetris, ikut gerak nafas , SNV (+/+), Rho (+/+)

Cor: BJ I-II reguler, murmur (+)

15
Abd: Datar, Supel, BU (+), NT (-),

Eks: Akral hangat (+), CRT < 2”, edema (-)

Input : 1330 cc

Output: 2100 cc

BC: -770 cc

:  RHF

A  S.PHT

 S.CPCD

P : -NaCl 0.9% 1000 cc/24 jam


-Furosemid 3x1 Amp (IV)
-Digoxin 2x1 tab (P.O)
-Dorner 2x1 tab
-Spironolacton 2x1 tab

07-03-2019

S : Sesak (+), Batuk (+), Nyeri dada (-), Perut Kembung (+)

O Ku: Tampak Sakit Sedang

Kesadaran:compos mentis,

TD: 100/70mmHg, N: 125 x/m, R: 30 x/m, SB: 36,1C, SpO2:

93% dengan masker O2

K/L: CA (-/-), SI (-/-), CO (-), JVP 5+4 cmH2O

Tho: Simetris, ikut gerak nafas, SNV (+/+), Rho (+/+)

Cor: BJ I-II reguler, murmur (+)

Abd:Datar, Supel, NT (-), BU (+)

Eks: Akral hangat (+), CRT < 2”, edema (-)

:  RHF

16
A  S.PHT

 S.CPCD

P : -NaCl 0.9% 1000 cc/24 jam


-Furosemid 2x1 Amp (IV)
-Digoxin 1x1 tab (P.O)
-Dorner 2x1 tab
-Spironolacton 25 μg 2x1 tab
-Inj. OMZ 1 Vial
Inj. Antraim K/P

08-03-2019

S : Sesak (+), Batuk (+), Lemas (+), Kembung (+), Rasa panas dan

nyeri dada (+)

O Ku: Tampak Sakit Sedang

Kesadaran:compos mentis,

TD: 90/60mmHg, N: 112x/m ireguler , R: 28 x/m, SB: 36,7C,

SpO2: 97% dengan masker O2 10 Lpm

K/L: CA (-/-), SI (-/-), OC (-), JVP 4+4 cmH2O

Tho: Simetris, ikut gerak nafas SN Vesikuler (+/+), Rho (+/+)

Cor: BJ I-II irreguler, murmur (+)

Abd: Datar, Supel, NT (-), BU (+)

Eks: Akral hangat (+), CRT < 2”, edema (-/+)

Input: 1330 cc

Output: 950 cc

BC: +380 cc

:  RHF

17
A  S.PHT

 S.CPCD

P : -Diet Bubur
-Aminofluid 1000 cc/24 jam
-Furosemid 3x1 Amp (IV)
-Digoxin 2x1 tab (P.O)
-Dorner 2x1 tab
-Spironolacton 25 μg 2x1 tab
-Inj. OMZ 1 Vial 2x1 Amp
-Inj. Antraim K/P
-Sildenafil 100 mg 2x1/4 tab

09-03-201

S : Sesak (+), Batuk (+), Kembung (+), nyeri dada (-)

O Ku: Tampak Sakit Sedang

Kesadaran:compos mentis,

TD: 100/60mmHg, N: 111x/m, R: 35 x/m, SB: 35,0C, SpO2:

90% dengan masker O2

K/L: CA (-/-), SI (+/+), OC (-), P>KGB (-), JVP 5+4 cmH2O

Tho: Simetris, ikut gerak nafas, SNV (+/+), Rho (+/+)

Cor: BJ I-II reguler, murmur (+)

Abd: Datar, distens, NT (-), BU (+)

Eks: Akral hangat (+), CRT < 2”, edema (-/+)

Input: 1660 cc

Output: 2100 cc

BC: -440 cc

:  RHF

18
A  S.PHT

 S.CPCD

P : -NaCl 0.9% 1000 cc/24 jam


-Furosemid 3x2 Amp (IV)
-Digoxin 1x1 tab (P.O)
-Dorner 2x1 tab
-Spironolacton 25 μg 2x1 tab
-Inj. OMZ 1 Vial
-Inj. Antraim K/P
-Laxadin 2x2 sdm
-Ca gluconas 1 Amp dalam aminofluid 500 cc

10-03-2019

S : Sesak (+), Batuk (+)

O Ku: Tampak Sakit Sedang

TTV: TD: 90/60 mmHg

N: 109xmnt

RR: 30x/mnt

SPO2: 94%

SB: 36°C

K/L: CA (-/-), SI (+/+), OC (-), P>KGB (-), JVP 5+4 cmH2O

Tho: Simetris, ikut gerak nafas, SNV (+/+), Rho (+/+)

Cor: BJ I-II reguler, murmur (+)

Abd: Datar, distens, NT (-), BU (+)

Eks: Akral hangat (+), CRT < 2”, edema (-/+)

Input: 1660 cc

Output: 2200 cc

19
BC: -540 cc

:  RHF

A  S.PHT

 S.CPCD

P : -Diet Bubur
-Cairan Aminofluid 1000 cc/24 Jam
-Furosemide 3x2 Amn
-Digoksin 2x1 tab
-Dorner 2x1 tab
-Spironolacton 25 mg 2x1 tab
-Inj. OMZ 2x1 Amp
-Inj. Antrain K/P
-Sildenafil 100 mg 2x1/4 tab
-Laxadin 2x2 Sdm
-Ca gluconase Amp di campur dalam Aminofluid

11-03-2019

S : Batuk (+), (Serak) (+)

O Ku: Tampak Sakit Sedang

TTV: TD: 90/60 mmHg

N: 104 x /mnt

RR: 25 x /mnt

SPO2:98%

SB: 35,5°C

20
K/L: CA (-/-), SI (-/-), CO (-), P > KGB (-), JVP 5+4 cmH2O

Thorax: Simetris, Ikut Gerak Nafas, RetraksiI (-), SN Vesikuler

(+/+), Whcez (-/-)

Cor: BJ1 – BJ2 reguler, ganop (-), Mur mur (+)

Abd: Datar, BU (+), Nyeri tekan -

Eks: Akral hangat (+), CRT < 2”, edema (-/+)

Input: 1330 cc

Output: 850 cc

BC: +480 cc

:  RHF

A  S.PHT

 S.CPCD

P : -Diet Bubur
-Cairan Aminofluid 1000 cc / 24 Jam
-Furosemide 3x24 Jam
-Digoksin 2x1 tab
-Dorner 2x1 tab
-Spironolacton 25 mg 2x1 tab
-Inj. OMZ 2x1 Amp
-Inj. Antraim K/P
-Sildonatil 100 mg 2x1/4 tab
-Laxadin 2x2 sdm
-Ca gluconas 1 Amp di campur dalam Aminofluid

12-03-2019

S : Batuk (+), Sesak (+), Nyeri dada (-)

21
O Ku: Tampak Sakit Sedang

Kesadaran : compos mentis,

TTV: TD: 10°/60 mmHg

N: 108x / mnt

SPO2: 97% O2 Marker

SB: 360°C

Res: 23 x / mnt

K/L: CA (-/-), SI (-/-), OC (-), P >KGB (-), JVP 5+3 cmH2O

Tho: Simetris, ikut gerak nafas, retraksi (-), Rhe (+), Whz (-) SN

Vesikular (+/+).

Cor: BJ I – BJ II reguler, ganop (-), murmur (+)

Abd: Datar, Supel, BU (+), NT (-/-)

Ekst: Akral hangat kering merah CRT < 2”, edema (+/+)

Input: 1330 cc

Output: 4050 cc

BC: -2.720 cc

:  RHF

A  S.PHT

 S.CPCD

P : -Diet Bubur
-Cairan Aminofluid 1000 cc/24 Jam
-Furosemide 3x2 Amp
-Digoksin 2x1 tab
-Dorner 3x1 tab
-Spironolacton 25 mg 2x1 tab

22
-Inj. OMZ 2x1 Amp
-Inj. Antrain K/P
-Sildenafil 100 mg 2x4 ¼ tab
-Laxadin 2x2 sdm

13-03-201

S : Batuk (+), Sesak (+), Nyeri dada (-)

O Ku: Tampak Sakit Sedang

TTU: TD: 100/70 mmHg

N: 100xmnt

SB: 36,5°C

RR: 28 x / mnt

SPO2: 96°C

K/L: CA (-/-), SI (+/+), OC (-), P>KGB (-), JVP 5+3 cm H2O

Tho: Simetris, ikut gerak nafas, retraksi (-), Rho (+/-), whz (-/-)

Cor: BJ I – BJ II reguler, ganop (-), murmur (+)

Abd: Cembung, BU (+), NT (-/-)

Eks: Akral hangat (+), CRT < 2”, edema (-/+)

Input: 1330 cc

Output: 3100 cc

BC: -1.770 cc

:  RHF

A  S.PHT

 S.CPCD

23
P : -Diet Bubur
-Cairan Aminofluid 1000 cc/24 Jam
-Furosemid 3x24 Jam
-Digoxin 2x1 tab
-Dorner 3x1 tab
-Spironolacton 25 mg 2x1 tab
-Inj. OMZ 2x1 Amp
-Inj. Antrain (K/P)
-Sildenafil 100 mg 3x1/4 tab
-Laxadin 2x2 sdm

14-03-2019

S : Batuk (+), Sesak (+), Demam (+), Pusing (+), Pusing (+), Nyeri

dada (-), Kembung (+)

O Ku: TSS

TTV: TD: 90/70 mmHg

N: 122 x/mnt

SPO2: 98% Marker O2

SB: 37,8 °C

RR: 30x/mnt

K/L: CA (-/-), SI (-/-), °C (-), P > KGB (-), JVP 5+3 cmH2O

Thorax: Simetris, ikut gerak nafas, retraksi (-)

SN resikuler, Rho (+/+), Whe (-/-)

Cor: BJ I- BJ II reguler, gallop (-), murmur (+)

Abd: Cembung, BU (+) NT (-/-)

Ekst: Akral hangat, CRT < 2’’, Edema (-/+)

Input: 1830 cc

24
Ouput:6000 cc

BC: - 4.170

A : RHF

PHT

CPCD

P : -Diet bubur NaCL 1000 cc


-Cairan aminofluid 500 cc/24 jam
-Furosemid 2x1(Satu) Amp
-Digoxin 2x1 tab
-Dorner 3x1 tab
-Spironolacton 25 mg 2x1 tab
-Inj. Antrain K/P
-Sildenafil 100 mg 3x1/4 tab
-Laxadin 2x2 sdm
-Ekstra NaCL 500 cc

15-03-2019

S : Batuk (+), Sesak (+), Serak (+), Nyeri dada (-), Demam (-)

O Ku: TSS

TTV: TD: 90/60 mmHg

N: 112 x/mnt

SPO2: 97% Marker O2

SB: 36,2 °C

RR: 28x/mnt

K/L: CA (-/-), SI (-/-), OC (-), P > KGB (-), JVP 5+3 cmH2O

Thorax: Simetris, ikut gerak nafas, SNV (+/+)

Rho (+/-), Whz (-/-)

25
Cor: BJ I- BJ II reguler, gallop (-), murmur (+)

Abd: Datar, Supel, BU (+), NT (-/-)

H/L: ttb/ttb

Ekst: Akral hangat, CRT < 2’’, Edema (-/-)

Input: 1330 cc

Ouput: 3200 cc

BC: - 1870 cc

A : RHF

PHT

CPCD

P : -Diet bubur
-NaCL 1000 cc
-Aminofluid 500 cc/24 jam
-Inj. Furosemid 2x1 Amp
-Digoxin 2x1 tab
-Dorner 3x1 tab
-Spironolacton 2x50 mg
-Inj. Omz 2x1 Amp
-Sildenafil 3x1/4 tab
-Laxadin 2x2 sdm

16-03-2019

S : Sesak (+), berkurang, Batuk (+), berkurang, Nyeri dada (-),

Demam

O Ku: TSS

TTV: TD: 90/60 mmHg

N: 81 x/mnt

26
SPO2: 98%

SB: 36,2 °C

RR: 25x/mnt

K/L: CA (-/-), SI (-/-), OC (-), P > KGB (-), JVP 5+3 cmH2O

Thorax: Simetris, ikut gerak nafas, SNV (+/+),

Rh (+/-), Wz (-/-)

Cor: BJ I- BJ II reguler, gallop (-), murmur (-)

Abd: Datar, Supel, BU (-), NT (-/-)

H/L: ttb/ttb

Ekst: Akral hangat, CRT < 2’’, Edema (-/-)

Input: 1830 cc

Ouput:3100 cc

BC: - 1270 cc

A : RHF

PHT

CPCD

P : -Diet bubur
-NaCL 1000 cc
-Cairan aminofluid 500 cc/24 jam
-Inj. Furosemid 2x1 Amp
-Digoxin 1x1 tab
-Dorner 3x1 tab
-Spironolacton 2x50 mg
-Inj. Omz 2x1 Amp
-Inj. Antrain K/P
-Sildenatil 3x1/4 tab
-Laxadin 2x2 sdm

27
17-03-2019

S : Sesak (+), berkurang, Nyeri dada (-)

O Ku: TSS

TTV: TD: 80/60 mmHg

N: 87xmnt

SPO2: 99% O2 nasal 8 Lpm

SB: 36,5 °C

RR: 24x/mnt

K/L: CA (-/-), SI (-/-), °C (-/-), P > KGB (-), JVP 5+4 cmH2O

Thorax: SN vesikuler, Rho (+/+), Whe (-/-)

Cor: BJ I- BJ II reguler, gallop (-), murmur (-)

Abd: Datar, Supel, BU (+) NT (-)

Ekst: Udem (-/-), Akral hangat

Input: 1850 cc

Ouput:3200 cc

BC: - 1350

A : RHF

PHT

CPCD

P : -Diet bubur
-NaCL 1000 cc
-Aminofluid 5000 cc/24 jam
-Inj. Furosemid 2x1 Amp
-Digoxin 1x2 tab
-Dorner 3x1 tab
-Spironolacton 2x50 mg
-Inj. Omz 2x1 Amp

28
-Inj. Antrain K/P
-Sildenafil 3x1/4 tab
-Laxadin 2x2 sdm

18-03-2019

S : Sesak (-), Batuk (-), Nyeri dada (-), Lems (+), Nafsu makan (-)

O Ku: TSS

Kes: CM

TTV: TD: 90/60 mmHg

N: 96x/mnt

SPO2: 99% Marker O2

SB: 37,3 °C

RR: 28x/mnt

K/L: CA (-/-), SI (-/-), °C (-), P > KGB (-), JVP 5+3 cmH2O

Thorax: Simetris, ikut gerak nafas,

SN vesikuler (-/-), Rho (-/-), Whe (-/-)

Cor: BJ I- BJ II reguler, gallop (+), murmur (-)

Abd: Datar, NT (-/-), H/L: ttb/ttb

Ekst: Akral hangat, CRT < 2’’, Edema (-/-)

Veg: Minum/Makan: +/baik kurang

BAB/BAK: +/+ baik

Input: 2160 cc

Ouput:3100 cc

BC: - 940 cc

A : RHF

29
PHT

CPCD

P : -Diet bubur
-NaCL 1000 cc
-Cairan aminofluid 500 cc/24 jam
-Furosemid 2x1 Amp
-Inj. Omz 2x1 Amp
-Inj. Antrain K/P
-Digoxin 1x1 tab
-Dorner 3x1 tab
-Spironolacton 2x50 mg 2x1 tab
-Sildenafil 3x1/4 tab
-Laxadin 2x2 sdm

19-03-2019

S : Sesak (+), Batuk (-), Nyeri dada (-)

O Ku: TSS

TTV: TD: 90/60 mmHg

N: 83xmnt

SPO2: 98% O2

SB: 36,2 °C

RR: 30x/mnt

K/L: CA (-/-), SI (-/-), OC (-), P > KGB (-), JVP 5+3 cmH2O

Thorax: Simetris, ikut gerak nafas,

SN vesikuler, Rho (-/-), Whe (-/-)

Cor: BJ I- BJ II reguler, gallop (-), murmur (-)

Abd: Datar, Supel, BU (+) NT (-/-), H/L: ttb/ttb

30
Ekst: Akral hangat, CRT < 2’’, Edema (-/-)

Input: 2500 cc

Ouput:3100 cc

BC: - 1100

A : RHF

PHT

CPCD

P : -IVFD NaCL 0,9% 1000 cc


-Cairan aminofluid 500 cc/24 jam
-Furosemid 1x1 Amp
-Inj. Omz 2x1 Amp
-Inj. Antrain K/P
-Digoxin 1x1 tab
-Dorner 3x1 tab
-Spironolacton 2x50 mg
-Sildenafil 3x1/4 tab
-Laxadin 2x2 sdm
-O2 nasal
-Mobilisasi Jalan

20-03-2019

S : Sesak (+), Batuk (+) berkurang, Nyeri dada (-)

O Ku: TSS

Kes: CM

TTV: TD: 100/60 mmHg

N: 108xmnt

SPO2: 93% O2

SB: 56,2 °C

31
RR: 24x/mnt

K/L: CA (-/-), SI (-/-), °C (-), P > KGB (-), JVP 5+3 cmH2O

Thorax: Simetris, ikut gerak nafas

SN vesikuler (+/+), Rho (+/-), Whe (-/-)

Cor: BJ I- BJ II reguler, gallop (-), murmur (+)

Abd: Datar, Supel, BU (+) NT (-/-), H/L: ttb/ttb

Ekst: Akral hangat, CRT < 2’’, Edema (-/-)

Vegetatif: makan/minum +/+ baik

Input: 1600 cc

Ouput:2100 cc

BC: - 1000 cc

A : RHF

PHT

CPCD

P : -IVFD NaCL 0,9% 1000 cc


-Furosemid 1x1Amp
-Inj. Omz 1x1 Amp
-Inj. Antrain K/P
-Digoxin 1x1 tab
-Dorner 3x1 tab
-Spironolacton 2x50 mg
-Sildenafil 3x1/4 tab
-Laxadin 2x2 sdm
-O2 Nasal
-Mobilisasi Jalan

32
21-03-2019

S : Sesak, Batuk, Nyeri dada (-), Demam (-), Muntah (-)

O Ku: TSS

Kes: Cm

TTV: TD: 100/70 mmHg

N: 122xmnt

SPO2: 88%

SB: 36,5 °C

RR: 28x/mnt

K/L: CA (-/-), SI (-/-), °C (-), P > KGB (-), JVP 5+3 cmH2O

Thorax: Simetris (+), ikut gerak nafas (+), retraksi (-)

SN vesikuler (-/-), Rho (+/-), Whe (-/-)

Cor: BJ I- BJ II reguler, gallop (-), murmur (+)

Abd: Datar (+), Supel (+), BU (+) NT (-/-), H/L: ttb/ttb

Ekst: Akral hangat, CRT < 2’’, Edema (-/+)

Input: 1800 cc

Ouput:2100 cc

BC: - 300

A : RHF

PHT

CPCD

P : -IVFD NaCL 0,9% 1000 cc


-Furosemid 1x1Amp

33
-Inj. Omz 1x1 Amp
-Inj. Antrain K/P
-Digoxin 1x1 tab
-Dorner 3x1 tab
-Spironolacton 2x50 mg
-Sildenafil 3x1/4 tab
-Laxadin 2x2 sdm
-O2 Nasal
-Mobilisasi Jalan

34
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Jantung


1. Anatomi dan Fisiologi Jantung
Secara anatomi ukuran jantung sangatlah variatif. Beberapa referensi, ukuran
jantung manusia mendekati ukuran kepalan tangan atau dengan ukuran panjang kira-kira
5" (12cm) dan lebar sekitar 3,5" (9cm). Jantung terletak di belakang tulang sternum,
tepatnya di ruang mediastinum diantara kedua paru-paru dan bersentuhan dengan
diafragma. Bagian atas jantung terletak dibagian bawah sternal notch, 1/3 dari jantung
berada disebelah kanan dari midline sternum, 2/3 nya disebelah kiri dari midline
sternum. Sedangkan bagian apek jantung di interkostal ke-5 atau tepatnya di bawah
puting susu sebelah kiri. Jantung di bungkus oleh sebuah lapisan yang disebut lapisan
perikardium, di mana lapisan perikardium ini di bagi menjadi 3 lapisan, yaitu lapisan
fibrosa, lapisan parietal dan lapisan visceral (Guyton & Hall, 2007).

Jantung dibagi menjadi 2 bagian ruang, yaitu :Atrium (serambi)dan Ventrikel


(bilik).Karena atrium hanya memompakan darah dengan jarak yang pendek, yaitu ke
ventrikel, maka otot atrium lebih tipis dibandingkan dengan otot ventrikel.Ruang atrium
dibagi menjadi 2, yaitu atrium kanan dan atrium kiri, demikian halnya dengan ruang
ventrikel, dibagi lagi menjadi 2 yaitu ventrikel kanan dan ventrikel kiri.

35
Secara skematis, urutan perjalanan darah dalam sirkulasinya pada manusia, yaitu :
Darah dari seluruh tubuh – bertemu di muaranya pada vena cava superior dan inferior
pada jantung – bergabung di Atrium kanan – masuk ke ventrikel kiri – arteri pulmonalis
ke paru – keluar dari paru melalui vena pulmonalis ke atrium kiri (darah yang kaya O2) –
masuk ke ventrikel kiri, kemudian dipompakan kembali ke seluruh tubuh melalui
aorta.Keluar masuknya darah, ke masing-masing ruangan, dikontrol juga dengan peran 4
buah katup di dalamnya, yaitu :
1. Katup trikuspidal (katup yang terletak antara atrium kanan dan ventrikel kanan).
2. Katup mitral (katup yang terletak antara atrium kiri dan ventrikel kiri).
3. Katup pulmonalis (katup yang terletak antara ventrikel kanan ke arteri pulmonalis).
4. Katup aorta (katup yang terletak antara ventrikel kiri ke aorta).
Arteri koroner adalah arteri yang bertanggung jawab dengan jantung sendiri,karena
darah bersih yang kaya akan oksigen dan elektrolit sangat penting sekali agar jantung
bisa bekerja sebagaimana fungsinya. Apabila arteri koroner mengalami pengurangan
suplainya ke jantung atau yang di sebut dengan ischemia, ini akan menyebabkan
terganggunya fungsi jantung sebagaimana mestinya. Apalagi arteri koroner mengalami
sumbatan total atau yang disebut dengan serangan jantung mendadak atau miokardiac
infarction dan bisa menyebabkan kematian. Begitupun apabila otot jantung dibiarkan
dalam keadaan iskemia, ini juga akan berujung dengan serangan jantung juga atau
miokardiac infarction. Arteri koroner adalah cabang pertama dari sirkulasi sistemik,
dimana muara arteri koroner berada dekat dengan katup aorta atau tepatnya di sinus
valsava. Arteri koroner dibagi dua,yaitu: Arteri koroner kanan dan Arteri koroner kiri
(Guyton & Hall, 2007).

2. Gagal Jantung Kanan


2.1 Definisi
Gagal jantung yang dalam istilah medisnya disebut dengan “Heart Failure, Cardiac
Failure, atau Decompensatio Cordis” merupakan suatu sindroma klinis kompleks, yang
didasari oleh ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah keseluruh jaringan
tubuh secara adejuat, akibat adanya gangguan structural dan fungsional dari
jantung.Gagal jantung merupakan kongesti sirkulasi akibat disfungsi miokardium.
Tempat kongesti bergantung pada ventrikel yang terlibat.
Berdasarkan bagian jantung yang mengalami kegagalan pemompaan, gagal jantung
terbagi atas 2 jenis yaitu:
36
1. Gagal jantung kiri
Disebabkan oleh penyakit jantung koroner, penyakit katup semiluner, dan hipertensi.
Berdampak pada paru, ginjal, dan otak.

2. Gagal jantung kanan


Disebabkan oleh semua yang menyebabkan gagal jantung kiri. Berdampak pada hati,
ginjal, jaringan subkutis, otak, dan sistem aorta.
Disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kiri menimbulkan kongesti pada vena
pulmonalis, sedangkan disfungsi ventrikel kanan atau gagal jantung kanan
mengakibatkan kongesti vena sistemik. Kegagalan pada kedua ventrikel disebut
kegagalan biventrikular. Gagal jantung kiri merupakan komplikasi mekanis yang paling
sering terjadi setelah infark miokardium.
Manifestasi klinis gagal jantung mencerminkan derajat kerusakan miokardium dan
kemampuan serta besarnya respons kompensasi. Berikut adalah hal – hal yang biasa
ditemukan pada gagal jantung kiri :
1. Gejala dan tanda :dispneua, oliguria, lemah, lelah, pucat, dan berat badan bertambah
2. Auskultasi: ronki basah, bunyi jantung ketiga (akibat dilatasi jantung dan
ketidaklenturan ventrikel waktu pengisian cepat)
3. EKG takikardia
4. Radiografi dada: kardiomegali, kongesti vena pulmonalis, redistribusi vaskular ke
lobus bagian atas

Gagal jantung kiri dapat berkembang menjadi gagal jantung kanan akibat
meningkatnya tekanan vaskular paru hingga membebani ventrikel kanan. Selain secara
tak langsung melalui pembuluh paru tersebut, disfungsi ventrikel kiri juga berpengaruh
langsung terhadap fungsi ventrikel kanan melalui fungsi anatomis dan biokimianya.
Kedua ventrikel mempunyai satu dinding yang sama (yaitu septum interventrikularis)
yang terletak dalam perikardium. Selain itu perubahan – perubahan biokimiawi seperti
berkurangnya cadangan norefinefrin miokardium selama gagal jantung dapat merugikan
kedua ventrikel. Yang terakhir, infark ventrikel kanan dapat timbul bersamaan dengan
infark ventrikel kiri, terutama iinfark dinding inferior. Infark ventrikel kanan jelas
merupakan faktor predisposisi terjadinya gagal jantung kanan. Kongesti vena sistemik
akibat gagal jantung kanan bermanifestasi sebagai pelebaran vena leher, hepatomegali,
dan edema perifer.

37
2.2 Etiologi Gagal Jantung Kanan
Penyebab gagal jantung diklasifikasikan dalam 7 kategori yaitu:
1. Abnormalitas miokardium
Dapat disebabkan oleh hilangnya miosit (infark miokard), kontraksi yang tidak
terkoordinasi (left bundle branch block), dan berkurangnya kontraktilitas miokardium
(kardiomiopati, aterosklerosis koroner, hipertensi arterial, penyakit miokardium
degenaratif, inflamasi).
2. Overload (hipertensi sistemik dan pulmonal).
Peningkatan afterload akibat hipertensi sistemik atau pulmonal meningkatkan beban
kerja jantung dan mengakibatkan hipertropi miokardium. Hipertropi miokardium yang
tidak berfungsi normal akan mengakibatkan gagal jantung.
3. Abnormalitas katup
Dapat disebabkan oleh adanya gangguan aliran darah melalui jantung (stenosis katup
semiluner) dan ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah (stenosis katup
atrioventrikuler).
4. Abnormalitas ritme jantung (takikardi)
5. Abnormalitas perikardium (efusi perikardium dan tamponade)
6. Kelainan kongenital jantung
7. Faktor sistemik
a. Demam dan tirotoksikosis meningkatnya laju metabolisme.
b. Hipoksia dan anemia menurunkan suplai oksigen ke jantung.
c. Asidosis respiratorik dan metabolik.
Abnormalitas elektrolit menurunkan kontraktilitas jantung (Cowie, 2008)

2.3 Patofisiologi Gagal Jantung


Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi gangguan pada jantung,
otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal
yang kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang
menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme
kompensasi neurohormonal, sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron (sistem RAA) serta
kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan
jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga. Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan
pada baroreseptor menjaga cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung,
meningkatkan kontraktilitas serta vasokons-triksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila
38
hal ini timbul berkelanjutan dapat menyebabkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi
simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan
nekrosis miokard fokal. Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin,
angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang
poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari
pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron.
Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi
kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel
pada gagal jantung Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama
yeng memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial
Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan
menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNP) juga
dihasilkan di jantung, khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type
natriureticpeptide terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek
terhadap natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide meningkat
sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis
terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi aldosteron dan reabsorbsi natrium di
tubulus renal.
Karena peningkatan natriuretic peptide pada gagal jantung, maka banyak penelitian yang
menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan telah digunakan
sebagai terapi pada penderita gagal jantung.
Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada gagal
jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didpatkan pada pemberian diuretik yang
akan menyebabkan hiponatremia. Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah
dan merupakan peptide vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada
pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1
plasma akan semakin meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung. Selain itu juga
berhubungan dengan tekanan pulmonary arterycapillary wedge pressure, perlu perawatan
dan kematian. Telah dikembangkan endotelin-1 antagonis sebagai obat kardioprotektor yang
bekerja menghambat terjadinya remodelling vaskular dan miokardial akibat endotelin.
Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan
dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada
pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit jantung koroner,
hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain
39
seperti infiltrasi pada penyakit jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30
– 40 % penderita gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada
penderita gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolic yang timbul
bersamaan meski dapat timbul sendiri (Starry H. Rampengan, Eko Antono).

Alur Skematis Patofisiologi Gagal Jantung Kanan

Gangguan fungsi pompa ventrikel

jantung tidak mampu memindahkan darah


dari sistem venosa ke sistem arteriosa

Curah jantung kanan menurun dan tekanan akhir systole


ventrikel kanan meningkat

sehingga darah menumpuk di atrium kanan dan vena


kava

desakan darah dalam atrium kanan dan vena kava


meninggi

Hambatan arus balik vena

Bendungan sistemik

Takikardi Kardiomegal Takipnea


i

JVP meningkat Asites, edem tungkai

2.4 Manifestasi Klinis Gagal Jantung Kanan


Gagal Jantung Kanan Gagal Jantung Kiri

- Oedema/ pitting oedema - Lemas/ fatigue


- Anoreksia/ perut kembung - Berdebar-debar
- Nausea - Sesak nafas (dyspneu d’effort)
- Asites - Orthopnea
- Jugulare vein pressure meningkat - Dyspnea nocturnal paroxysmal
- Pulsasi vena jugularis - Hipertrofi jantung
- Hepatomegali - Keringat dingin
- Fatigue - Takikardi

40
- Hipertrofi jantung kanan - Kongesti vena pulmonalis
- Irama derap/ gallop ventrike kanan - Ronchi basah dan wheezing
- Gallop atrium kanan - Terdapat BJ III dan IV (Gallop)
- Murmur - Cheynes stokes
- Tanda-tanda penyakit paru kronik
- Hidrothorak

2.5 Gejala khas gagal jantung


1) Gejala khas gagal jantung: sesak nafas saat istirahat atau aktivitas, kelelahan, edema
tungkai.
2) Tanda khas gagal jantung: takikardia, takipneu, ronki paru, efusi pleura, peningkatan
tekanan vena jugularis, edema perifer, hepatomegali.
3) Tanda objektif gangguan struktur atau fungsional jantung saat istirahat, kardiomegali,
suara jantung ketiga, murmur jantung, abnormalitas dalam gambaran ekokardiografi,
kenaikan konsentrasi peptida natriuretik.

2.6 Klasifikasi Gagal jantung


Stadium A
Memiliki risiko tinggi untuk berkembang menjadi gagal jantung. Tidak terdapat
gangguan struktural atau fungsional jantung, tidak terdapat tanda atau gejala.

Stadium B
Telah terbentuk penyakit struktur jantung yang berhubungan denngan perkembangan
gagal jantung, tidak terdapat tanda atau gejala.

Stadium C
Gagal jantung yang simtomatik berhubungan dengan penyakit struktural jantung yang
mendasari.

Stadium D
Penyakit jantung struktural lanjut serta gejala gagal jantung yang sangat bermakna saat
istirahat walaupun sudah mendapat terapi medis maksimal (refrakter).

41
2.7 Klasifikasi berdasarkan kapasitas fungsional (NYHA).
Kelas I

Tidak terdapat batasan dalam melakukan aktifitas fisik. Aktifitas fisik sehari –hari tidak
menimbulkan kelelahan, palpitasi, atau sesak nafas.

Kelas II

Terdapat batasan aktivitas ringan. Tidak terdapat keluhan saat istirahat, namun aktivitas
fisik sehari – hari menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.

Kelas III

Terdapat batasan aktifitas bermakna. Tidak terdapat keluhan saat istirahat, tetapi aktifitas
fisik ringan enyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.

Kelas IV

Tidak dapat melakukan aktifitas fisik tanpa keluhan. Terdapat gejala saat istirahat.
Keluhan meningkat saat melakukan aktifitas.

2.8 Diagnosis Gagal Jantung


2.9.1 Elektrokardiogram
Abnormalitas EKG memiliki nilai prediktif yang kecil dalam mendiagnosis gagal
jantung, jika EKG normal, diagnosis gagal jantung khususnya dengan disfungsi
sistolik sangat kecil(<10%).

Abnormalitas EKG yang umum ditemukan pada gagal jantung:

Abnormalitas Penyebab Implikasi Klinis


Sinus takikardia Gagal jantung Penilaian klinis.
dekompensasi, anemia, Pemeriksaan
demam, hipertiroidisme laboratorium
Sinus bradikaria Obat penyekat β, anti Evaluasi terapi
aritmia, hipotiroidisme, obat.
sindroma sinus sakit Pemeriksaan
laboratoium
Atrial takikarida/ Hipertiroidisme, infeksi, Perlambat

42
futer/ fibrilasi gagal jantung konduksi AV,
dekompensasi, infark konversi medik,
miokard elektroversi,
ablasi kateter,
antikoagulasi
Aritmia ventrikel Iskemia, infark, Pemeriksaan
kardiomiopati, laboratorium, tes
miokarditis, latihan beban,
hipokalemia, pemeriksaan
hipomagnesemia, perfusi, angiografi
overdosis digitalis koroner, ICD
Iskemia/ infark Penyakit jantung Ekokardiografi,
koroner troponin,
angiografikoroner,
revaskularisasi
Gelombang Q Infark, kardiomiopati Ekokardiografi,
hipertrofi, LBBB, angiografi koroner
preexitasi
Hipertrofi ventrikel Hipertensi, penyakit Ekokardiografi,
kiri katub aorta, doppler
kardiomiopati hipertrofi
Blok Atrioventrikular Infark miokard, Evaluasi
intoksikasi obat, penggunaan obat,
miokarditis, sarkoidosis, pacu jantung,
penyakit Lyme penyakit sistemik
Mikrovoltase Obesitas, emfisema, Ekokardiograf,
efusi, perikard, rontgen thoraks
amiloidosis
Durasi QRS>0,12 detik Disinkroni elektrik dan Ekokardiograf,
dengan morfologi mekanik CRT-P, CRT-D
LBBB

43
2.9.2 Pemeriksaan Laboratorium

Abnormalitas pemeriksaan laboratorium yang sering dijumpai pada gagal


jantung:

Abnormalitas Penyebab Implikasi klinis


Peningkatan Penyakit ginjal, ACEI, Hitung GFR,
kreatinin serum ARB, antagonis pertimbangkan
(>150µmol/L) aldosteron mengurangi dosis
ACEI/ARB/antagonis
aldosteron, periksa
kadar kalium dan
BUN
Anemia (Hb<13 Gagal jantung kronik, Telusuri penyebab,
gr/dL pada laki – gagal ginjal, hemodilusi, pertimbangkan terapi
laki, <12gr/dL pada kehilangan zat besi atau
perempuan) penggunaan zat besi
terganggu, penyakit
kronik
Hiponatremia Gagal jantung kronik, Pertimbangkan
(<135mmol/L) hemodilusi, pelepasan restriksi cairan,
AVP (Arginine kurangi dosis
Vasopressin), diuretik diuretik, ultrafiltrasi,
antagonis vasopresin
Hipernatremia (>150 Hiperglikemia, dehidrasi Nilai asupan cairan,
mmol/L) telusuri penyebab
Hipokalemia (<3,5 Diuretik, Resiko aritmia,
mmol/L) hiperaldosteronisme pertimbangkan
sekunder suplemen kalium,
ACEI/ARB,
antagonis aldosteron
Hiperkalemia Gagal ginjal, suplemen Stop obat-obat hemat
(>5,5mmol/L) kalium, penyekat sistem kalium (ACEI/ARB,
renin-angiotensin- antagonis

44
aldosteron aldosterone), nilai
fungsi ginjal dan pH,
resiko bradikardia
Hiperglikemia Diabetes, resistensi Evaluasi hidrasi,
(>200mg/dL) insulin terapi intoleransi
glukosa
Hiperurisemia Terapi diuretik, gout, Allopurinol, kurangi
(>500µmol/L) keganasan dosis diuretik
BNP <100 pg/mL, NT Tekanan dinding Evaluasi ulang
proBNP<400 pg/mL ventrikel normal diagnosis, bukan
gagal jantung jika
terapi tidak berhasil
BNP >400 pg/mL, NT Tekanan dinding Sangat mungkin
proBNP>2000 pg/mL ventrikel meningkat gagal jantung
Kadar albumin tinggi Dehidrasi, mieloma Rehidrasi
(>45g/L)
Kadar albumin Nutrisi buruk, kehilangan Cari penyebab
rendah (<30g/L) albumin melalui ginjal
Peningkatan Disfungsi hati, gagal Cari penyebab,
transaminase jantung kanan, toksisitas kongesti liver,
obat pertimbangkan
kembali terapi
Peningkatan troponin Nekrosis miosit, iskemia Evaluasi pola
berkepanjangan, gagal peningkatan
jantung berat, (peningkatan ringan
miokarditis, sepsis, gagal sering terjadi pada
ginjal, emboli paru gagal jantung berat),
angiografi koroner,
evaluasi
kemungkinan
revaskularisasi
Tes tiroid abnormal Hiper/hipotiroidisme, Terapii abnormalitas
amiodaron tiroid

45
Urinalisis Proteinuria, glikosuria, Singkirkan
bakteriuria kemungkinan infeksi
INR >2,5 Overdosis antikoagulan, Evaluasi dosis
kongesti hati antikoagulan, nilai
fungsi hati
CRP >10mg/L, Infeksi,inflamasi Cari penyebab
leukositosis
neutroflik

2.9 Tatalaksana Farmakologi

Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi morbiditas dan
mortalitas. Tindakan preventif dan pencegahan perburukan penyakit jantung tetap
merupakan bagian penting dalam tata laksana penyakit jantung. Pada gambar bagan
menyajikan strategi pengobatan menggunakan obat dan alat pada pasien gagal jantung
simtomatik dan disfungsi sistolik. Sangatlah penting untuk mendeteksi dan
mempertimbangkan pengobatan terhadap koorbid kardiovaskular dan non kardiovaskular
yang sering dijumpai.

Penanganan GJ selama perawatan memerlukan strategi yang sudah terbukti


manfaatnya, dan dipertimbangkan dengan realitas objektif, dan sebelum di pulangkan
harus direncanakan tentang pengobatan lanjutan. Walaupun tidak semua tatalaksana
memiliki evidencebased yang sama, tetapi terapi yang penting adalah oksigen, diuretik dan
vasodilator. Opiate dan inotropik merupakan pilihan dan alat bantu mekanis juga
dibutuhkan namun jarang digunakan. Tekanan darah sistolik, frekuensi nadi dan irama
jantung, saturasi oksigen perifer dan output urin harus dipantau secara regular sampai
kondisi pasien stabil.

Oksigen diberikan secepat mungkin pada pasien hipoksemia untuk memperoleh


saturasi O2 arterial >95% . harus hati-hati pada pasien obstruksi saluran nafas berat untuk
mencegah hiperkapnia. Tidak diberikan rutin pada pasien yang non hipoksemia karena
efek vasokontriksi dan penurunan curah jantung.

Pemberian diuretik intravena direkmendasikan pada GJA bila ada simtom atau
kongesti atau volume overload. Pada pasien dengan bukti adanya volume overlad dosis

46
furosemide IV dapat ditingkatkan sesuai dengan fungsi renal dan pemakaian oral diuretik
yang sudah lama sebelumnya. Pemakaian furosemide tidak boleh melebihi 100 mg untuk 6
jam pertama, dan 240 mg pada 24 jam pertama.

Vasodilator dapat berupa nitrogliserin isosorbid dirutrat nitroprusside dan nesiritid.


Vasodilator direkomendasikan pda tahap awal dari GJA apabila tidak ada tanda-tanda
hipotensi yang simtomatik, tekanan darah <110 mmHg atau penyakit valvular obstruktif
yang serius. Vasodilator juga digunakan secara hati-hati pada pasien dengan stenosis
mitral atau aorta.

1) Prognosis
Menurunkan mortalitas
2) Morbiditas
 Meringankan gejala dan tanda
 Memperbaiki kualitas hidup
 Menghilangkan edema dan retensi cairan
 Meningkatkan kapasitas aktifitas fisik
 Mengurangi kelelahan dan sesak nafas
 Mengurangi kebutuhan rawat inap
 Menyediakan perawatan akhir hayat
3) Pencegahan
 Timbulnya kerusakan miokard
 Perburukan kerusakan miokard
 Remodelling miokard
 Timbul kembali gejala dan akumulasi cairan
 Rawat inap

47
2.10 Diagnosis Banding Gagal Jantung Kanan
Diagnosis banding dari gagal jantung, yaitu:
1. CAD (angina atau miokard infark)
2. Hipertensi kronis
3. Idiopathic dilated cardiomyopathy
4. Valvular heart disease (mitral regurgitation dan aortic stenosis)
5. Cardiomyopathy lainnya (sarcoidosis)
6. Arrhythmia (atrial fibrillation)
7. Anemia
8. Overload volume cairan yang disebabkan oleh kondisi noncardia. Penyakit thyroid
(hypothyroidism dan hyperthyroidism).

48
C. KOR PULMONAL
3.1. Definisi
Kor pulmonal sering disebut sebagai penyakit jantung paru, didefinisikan
sebagai dilatasi dan hipertrofi ventrikel kanan akibat adanya penyakit parenkim paru atau
pembuluh darah paru.
Menurut WHO, definisi kor pulmonal adalah keadaan patologis dengan
ditemukannya hipertrofi ventrikel kanan yang disebabkan oleh kelainan fungsional dan
struktur paru, tidak termasuk kelainan karena penyakit jantung primer pada jantung kiri
dan penyakit jantung kongenital (bawaan).
Menurut Braunwahl, kor pulmonal adalah keadaan patologis akibat hipertrofi atau
dilatasi ventrikel kanan yang disebabkan oleh hipertensi pulmonal. Penyebabnya antara
lain penyakit parenkim paru, kelainan vaskuler paru, dan gangguan fungsi paru karena
kelainan thoraks, tidak termasuk kelainan vaskuler paru yang disebabkan kelainan
ventrikel kiri, penyakit jantung bawaan, penyakit jantung iskemik, dan infark miokard
akut.

3.2. Etiologi dan Epidemiologi


Kor pulmonal terjadi akibat adanya perubahan akut atau kronis pada pembuluh
darah paru dan atau parenkim paru yang dapat menyebabkan terjadinya hipertensi
pulmonal.
Prevalensi pasti kor pulmonal sulit dipastikan karena dua alasan. Pertama, tidak
semua kasus penyakit paru kronis menjadi kor pulmonal, dan kedua, kemampuan kita
untuk mendiagnosa hipertensi pulmonal dan kor pulmonal dengan pemeriksaan fisik dan
hasil laboratorium tidaklah sensitif. Namun, kemajuan terbaru dalam 2-D echo/Doppler
memberikan kemudahan untuk mendeteksi dan mendiagnosis suatu kor pulmonal.2
Diperkirakan prevalensi kor pulmonal adalah 6% sampai 7% dari seluruh penyakit
jantung berdasarkan hasil penyelidikan yang memakai kriteria ketebalan dinding
ventrikel post mortem.
Penyakit yang mendasari terjadinya kor pulmonal dapat digolongkan menjadi 4
kelompok :
1. Penyakit pembuluh darah paru.
2. Penekanan pada arteri pulmonal oleh tumor mediastinum, aneurisma, granuloma atau
fibrosis.
3. Penyakit neuro muskular dan dinding dada.
49
4. Penyakit yang mengenai aliran udara paru, alveoli, termasuk Penyakit Paru Obstruktif
Kronis (PPOK), penyakit paru interstisial dan gangguan pernafasaan saat tidur.
Penyakit yang menjadi penyebab utama dari kor pulmonal kronis adalah PPOK,
diperkirakan 80-90% kasus.

3.3. Patogenesis
Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan kor pulmonal adalah penyakit yang
secara primer menyerang pembuluh darah paru-paru, seperti emboli paru-paru berulang,
dan penyakit yang mengganggu aliran darah paru-paru akibat penyakit pernapasan
obstruktif atau restriktif.
Apapun penyakit awalnya, sebelum timbul kor pulmonal biasanya terjadi
peningkatan resistensi vaskuler paru dan hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal pada
akhirnya meningkatkan beban kerja dari ventrikel kanan, sehingga mengakibatkan
hipertrofi dan kemudian gagal jantung. Titik kritis dari rangkaian kejadian ini
nampaknya terletak pada peningkatan resistensi vaskuler paru pada arteri dan arteriola
kecil.
Dua mekanisme dasar yang mengakibatkan peningkatan resistensi vaskuler paru
adalah: (1) vasokontriksi dari pembuluh darah pulmonal akibat adanya hipoksia dan (2)
obstruksi dan/atau obliterasi jaringan vaskular paru-paru. Hipoksia alveolar (jaringan)
memberikan rangsangan yang kuat untuk menimbulkan vasokontriksi pulmonal daripada
hipoksemia. Selain itu, hipoksia alveolar kronik memudahkan terjadinya hipertrofi otot
polos arteriola paru-paru, sehingga timbul respon yang lebih kuat terhadap hipoksia akut.
Asidosis, hiperkapnia, dan hipoksemia bekerja secara sinergistik dalam menimbulkan
vasokontriksi. Viskositas (kekentalan) darah yang meningkat akibat polisitemia dan
peningkatan curah jantung yang dirangsang oleh hipoksia kronik dan hiperkapnia, juga
ikut meningkatkan tekanan arteri paru.
Mekanisme kedua yang turut meningkatkan resistensi vaskuler dan tekanan arteri
paru adalah bentuk anatomisnya. Emfisema ditandai oleh kerusakan bertahap dari
struktur alveolar dengan pembentukan bula dan obliterasi total dari kapiler-kapiler
disekitarnya. Hilangnya pembuluh darah secara permanen menyebabkan berkurangnya
anyaman vaskuler. Selain itu, pada penyakit obstruktif, pembuluh darah paru juga
tertekan dari luar karena efek mekanik dari volume paru yang besar. Tetapi, peranan
obstruksi dan obliterasi anatomik terhadap anyaman vaskuler diperkirakan tidak
sepenting vasokontriksi hipoksik dalam patogenesis kor pulmonal. Kira-kira duapertiga
50
sampai tigaperempat dari anyaman vaskuler harus mengalami obstruksi atau rusak
sebelum terjadi peningkatan tekanan arteri paru yang bermakna. Asidosis respiratorik
kronik terjadi pada beberapa penyakit pernapasan dan penyakit obstruktif sebagai akibat
hipoventilasi alveolar umum atau akibat kelainan perfusi-ventilasi.6 Setiap penyakit paru
memengaruhi pertukaran gas, mekanisme ventilasi, atau jaringan vaskular paru dapat
mengakibatkan kor pulmonal.
Patogenesis kor pulmonal sangat erat kaitannya dengan hipertensi pulmonal dan
tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Adanya gangguan pada parenkim paru,
kinerja paru, maupun sistem peredaran darah paru secara akut maupun kronik dapat
menyebabkan terjadinya hipertensi pulmonal.

Hipertensi pulmonal dapat diartikan sebagai penyakit arteri kecil pada paru yang
ditandai dengan proliferasi vaskuler dan remodeling. Hal ini pada akhirnya dapat
menyebabkan meningkatnya resistensi pembuluh darah paru yang mengakibatkan
terjadinya gagal ventrikel kanan dan kematian. Hipertensi pulmonal dibagi menjadi
primer dan sekunder. Hipertensi pulmonal primer adalah hipertensi pulmonal yang tidak
disebabkan oleh adanya penyakit jantung, parenkim paru, maupun penyakit sistemik
yang melatarbelakanginya. Hipertensi pulmonal lain selain kriteria tersebut disebut
hipertensi pulmonal sekunder.10 Hipertensi pulmonal akibat komplikasi kronis paru
(sekunder) didefinisikan sebagai peningkatan rata-rata tekanan arteri pulmonal (TAP)
istirahat, yakni >20 mmHg. Pada hipertensi pulmonal primer angka ini lebih tinggi yakni
>25 mmHg. Pada pasien muda (<50 tahun) TAP normalnya berada pada kisaran 10-15
mmHg. Dengan bertambahnya usia TAP akan meningkat kurang lebih 1 mmHg setiap 10
tahun. Selain dipengaruhi usia TAP juga dipengaruhi oleh aktivitas. Semakin berat
aktivitas maka TAP akan semakin meningkat. Pada aktivitas ringan TAP dapat
meningkat >30 mmHg. Melihat hal tersebut maka pemeriksaan TAP harus dilakukan saat
pasien dalam keadaan istirahat dan rileks.
Terdapat tiga faktor yang telah diketahui dalam mekanisme terjadinya hipertensi
pulmonal yang menyebabkan meningkatnya resistensi vaskular. Ketiganya adalah
mekanisme vasokonstriksi, remodeling dinding pembuluh darah pulmonal, dan trombosis
in situ. Ketiga mekanisme ini terjadi akibat adanya dua faktor yakni gangguan produksi
zat-zat vasoaktif seperti, nitric oxide dan prostacyclin, serta akibat ekspresi berlebihan
secara kronis dari mediator vasokonstriktor seperti, endothelin- 1. Dengan diketahuinya
mekanisme tersebut maka pengobatan terhadap hipertensi pulmonal menjadi lebih terang

51
yakni dengan pemberian preparat nitric oxide, derivat prostacyclin, antagonis reseptor
endothelin-1, dan inhibitor phosphodiesterase-5.

Hipertensi pulmonal menyebabkan meningkatnya kinerja ventrikel kanan dan


dapat mengakibatkan dilatasi atau hipertropi bilik kanan jantung. Timbulnya keadaan ini
diperberat dengan adanya polisitemia akibat hipoksia jaringan, hipervolemia akibat
adanya retensi air dan natrium, serta meningkatnya cardiac output. Ketika jantung kanan
tidak lagi dapat melakukan adaptasi dan kompensasi maka akhirnya timbul kegagalan
jantung kanan yang ditandai dengan adanya edema perifer. Jangka waktu terjadinya
hipertropi atau dilatasi ventrikel kanan maupun gagal jantung kanan pada masing-masing
orang berbeda-beda.
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, kor pulmonal dibagi menjadi 5 fase (tabel
1).

Tabel 1. Fase perjalanan penyakit kor pulmonal

Fase Deskripsi
Fase 1 Pada fase ini belum nampak gejala
klinis yang jelas, selain ditemukannya
gejala awal penyakit paru obstruktif
kronis (PPOK), bronkitis kronis,
tuberkulosis paru, bronkiektasis dan
sejenisnya. Anamnesa pada pasien 50
tahun biasanya didapatkan kebiasaan
banyak merokok.

Fase 2 Pada fase ini mulai ditemukan tanda-


tanda berkurangnya ventilasi paru.
Gejalanya antara lain, batuk lama yang
berdahak (terutama bronkiektasis),
sesak napas, mengi, sesak napas ketika
berjalan menanjak atau setelah banyak
bicara. Sedangkan sianosis masih
belum nampak. Pemeriksaan fisik
ditemukan kelainan berupa, hipersonor,

52
suara napas berkurang, ekspirasi
memanjang, ronki basah dan kering,
mengi. Letak diafragma rendah dan
denyut jantung lebih redup.
Pemeriksaan radiologi menunjukkan
berkurangnya corakan bronkovaskular,
letak diafragma rendah dan mendatar,
posisi jantung vertikal.
Fase 3
Pada fase ini nampak gejala hipoksemia
yang lebih jelas. Didapatkan pula
berkurangnya nafsu makan, berat badan
berkurang, cepat lelah. Pemeriksaan
fisik nampak sianotik, disertai sesak
dan tanda-tanda emfisema yang lebih
nyata.

Fase 4 Ditandai dengan hiperkapnia, gelisah,


mudah tersinggung kadang somnolen.
Pada keadaan yang berat dapat terjadi
koma dan kehilangan kesadaran.

Pada fase ini nampak kelainan jantung,

Fase 5 dan tekanan arteri pulmonal meningkat.


Tanda-tanda peningkatan kerja
ventrikel, namun fungsi ventrikel kanan
masih dapat kompensasi. Selanjutnya
terjadi hipertrofi ventrikel kanan
kemudian terjadi gagal jantung kanan.
Pemeriksaan fisik nampak sianotik,
bendungan vena jugularis,
hepatomegali, edema tungkai dan
kadang asites.

53
Penyakit paru kronis

Kerusakan paru & semakin Asidosis dan Hipoksia Polisitemia dan


terdesaknya pembuluh darah hiperkapnia alveolar hiperviskositas
oleh paru yang darah
mengembang

Berkurangnya vascular bed Vasokonstriksi


paru

Hipertensi Pulmonal

kronis

Hipertrofi dan dilatasi


ventrikel kanan

Kor pulmonal

Gambar 1. Patogenesis Kor Pulmonal

3.4. Diagnosis
Diagnosis kor pulmonal dapat ditegakkan jika terbukti terdapat adanya hipertensi
pulmonal akibat dari kelainan fungsi dan atau struktural paru. Untuk menegakkan diagnosis
kor pulmonal secara pasti maka dilakukan prosedur anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang secara tepat. Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik pemeriksa dapat
menemukan data-data yang mendukung ke arah adanya kelainan paru baik secara struktural
maupun fungsional. Adanya hipertensi pulmonal tidak dapat ditegakkan secara pasti dengan
hanya pemeriksaan fisik dan anamnesis tetapi membutuhkan pemeriksaan penunjang.

3.4.1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Perlu dilakukan anamnesis yang teliti ada tidaknya penyakit paru yang mendasari
dan jenis kelainan paru seperti batuk kronik yang produktif, sesak nafas waktu
beraktifitas, nafas yang berbunyi, mudah lelah. Pada fase awal berupa pembesaran
ventrikel kanan, tidak menimbulkan keluhan jadi lebih banyak keluhan akibat penyakit
parunya. Keluhan akibat pembesaran ventrikel kanan baru timbul bila sudah ada gagal

54
jantung kanan misalnya edema dan nyeri parut kanan atas. Infeksi paru sering
mencetuskan gagal jantung, hipersekresi branchus, edema alveolar, serta bronkospasme
yang menurunkan ventilasi paru lalu timbul gagal jantung kanan.
Dispnea merupakan gejala yang paling umum terjadi, biasanya karena adanya
peningkatan kerja pernapasan akibat adanya perubahan dalam elastisitas paru-paru
(fibrosis penyakit paru) atau adanya over inflasi pada penyakit PPOK). Nyeri dada atau
angina juga dapat terjadi. Hal ini terjadi disebabkan oleh iskemia pada ventrikel kanan
atau teregangnya arteri pulmonalis. Hemoptisis, karena rupturnya arteri pulmonalis yang
sudah mengalami arteroslerotik atau terdilatasi akibat hipertensi pulmonal juga dapat
terjadi. Bisa juga ditemukan variasi gejala-gejala neurologis, akibat menurunnya curah
jantung dan hipoksemia.12
Selanjutnya pada pemeriksaan fisik, kita bisa mendapatkan keadaan sianosis, suara
P2 yang mengeras, ventrikel kanan dapat teraba di parasternal kanan. Terdapatnya
murmur pada daerah pulmonal dan triskuspid dan terabanya ventrikel kanan merupakan
tanda yang lebih lanjut. Bila sudah terjadi fase dekompensasi, maka gallop (S3) mulai
terdengar dan selain itu juga dapat ditemukan murmur akibat insufisiensi trikuspid.
Dilatasi vena jugularis, hepatomegali, splenomegali, asites dan efusi pleura merupakan
tanda-tanda terjadinya overload pada ventrikel kanan.

3.4.2. Pemeriksaan Penunjang


Radiologi
Etiologi cor pulmonal kronis amat banyak dan semua etiologi itu akan
menyebabkan berbagai gambaran parenkim dan pleura yang mungkin dapat
menunjukkan penyakit primernya. Gambaran radiologi hipertensi pulmonal adalah
dilatasi arteri pulmonalis utama dan cabang-cabangnya, meruncing ke perifer, dan
lapang paru perifer tampak relatif oligemia. Pada hipertensi pulmonal, diameter
arteri pulmonalis kanan >16mm dan diameter arteri pulmonalis kiri >18mm pada
93% penderita. Hipertrofi ventrikel kanan terlihat pada rontgen thoraks PA
sebagai pembesaran batas kanan jantung, pergeseran kearah lateral batas jantung
kiri dan pembesaran bayangan jantung ke anterior, ke daerah retrosternal pada foto
dada lateral.

55
Gambar 2. Foto thoraks anteroposterior dan lateral kor pulmonal

Elektrokardiogram
Gambaran abnormal kor pulmonal pada pemeriksaan EKG dapat berupa:
a. Sumbu gelombang P + 900 atau lebih – Right Axis Deviation
b. Terdapat pola P pulmonal
c. Right bundle branch block
d. RVH dengan rasio amplitude 1.) Q/R rasio di V3 lebih dari 3, 2.) R/S di V1
lebih besar dari sadapan 1

Gambar 3. Elektrokardiografi Kor Pulmonal

56
Ekokardiografi
Salah satu pencitraan yang bisa digunakan untuk melakukan penegakan
diagnosis kor pulmonal adalah dengan ekokardiografi. Dari hasil ekokardiografi
dapat ditemukan dimensi ruang ventrikel kanan yang membesar, tapi struktur dan
dimensi ventrikel kiri normal. Pada gambaran ekokardiografi katup pulmonal,
gelombang “a” hilang, menunjukkan hipertensi pulmonal. Kadang-kadang dengan
pemeriksaan ekokardiografi susah terlihat katup pulmonal karena “accoustic
window” sempit akibat penyakit paru.

Gambar 4. Ekokardiografi Kor Pulmonal (Dilatasi atrium dan ventrikel kanan)

3.5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kor pulmonal dari aspek jantung bertujuan untuk menurunkan
hipertensi pulmonal, mengobati gagal jantung kanan, meningkatkan kelangsungan hidup,
dan mengobati penyakit dasar dan komplikasinya.
Tirah Baring dan Pembatasan Garam
Tirah baring sangat penting untuk mencegah memburuknya hipoksemia, yang
nantinya akan lebih menaikkan lagi tekanan arteri pulmonalis. Garam perlu
dibatasi tetapi tidak secara berlebihan karena klorida serum yang rendah akan
menghalangi usaha untuk menurunkan hiperkapnia.
Terapi Oksigen
Mekanisme bagaimana terapi oksigen dapat menigkatkan kelangsungan
hidup belum diketahui pasti, namun ada 2 hipotesis: (1) terapi oksigen
mengurangi vasokontriksi dan menurunkan resistensi vaskuler paru yang
kemudian meningkatkan isi sekuncup ventrikel kanan, (2) terapi oksigen
57
meningkatkan kadar oksigen arteri dan meningkatkan hantaran oksigen ke
jantung, otak, dan organ vital lainnya.
Pemakaian oksigen secara kontinyu selama 12 jam (National Institute of
Health, USA); 15 jam (British Medical Research Counsil) , dan 24 jam (NIH)
meningkatkan kelangsungan hidup dibanding kan dengan pasien tanpa terapi
oksigen.
Indikasi terapi oksigen adalah PaO2 ≤ 55 mmHg atau SaO2 ≤ 88%, PaO2
55-59 mmHg, dan disertai salah satu dari tanda seperti, edema yang disebabkan
gagal jantung kanan, P pulmonal pada EKG, dan eritrositosis hematokrit > 56%.
Diuretika
Diuretika diberikan untuk mengurangi tanda-tanda gagal jantung kanan.
Namun harus dingat, pemberian diuretika yang berlebihan dapat menimbulkan
alkalosis metabolik yang bisa memicu peningkatan hiperkapnia. Disamping itu,
dengan terapi diuretika dapat terjadi kekurangan cairan yang mengakibatkan
preload ventrikel kanan dan curah jantung menurun.
Vasodilator
Pemakaian vasodilator seperti nitrat, hidralazin, antagonis kalsium, agonis
alfa adrenergik, ACE-I, dan postaglandin belum direkomendasikan pemakaiannya
secara rutin. Vasodilator dapat menurunkan tekanan pulmonal pada kor pulmonal
kronik, meskipun efisiensinya lebih baik pada hipertensi pulmonal yang primer.1

Digitalis
Digitalis hnya digunakan pada pasien kor pulmonal bila disertai gagal
jantung kiri. Digitalis tidak terbukti meningkatkan fungsi ventrikel kanan pada
pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel normal, hanya pada pasien kor
pulmonal dengan fungsi ventrikel kiri yang menurun, digoksin bisa meningkatkan
fungsi ventrikel kanan. Pada pemberian digitalis perlu diwaspadai resiko aritmia.

Antikoagulan
Diberikan untuk menurunkan resiko terjadinya tromboemboli akibat
disfungsi dan pembesaran ventrikel kanan dan adanya faktor imobilisasi pada
pasien.

58
3.6. Komplikasi

Komplikasi dari cor pulmonale adalah bisa terjadi syncope, hypoxia, pedal edema,
passive hepatic congestion dan kematian.

3.7. Prognosis
Prognosis kor pulmonal yang disebabkan oleh PPOK lebih baik dari prognosis kor
pulmonal yang disebabkan oleh penyakit paru lain seperti "restrictive pulmonary
disease", dan kelainan pembuluh darah paru. Forrer mengatakan penderita kor pulmonal
masih dapat hidup antara 5 sampai 17 tahun setelah serangan pertama kegagalan jantung
kanan, asalkan mendapat pengobatan yang baik. Padmavati dkk di India mendapatkan
angka antara 14 tahun. Sadouls di Perancis mendapatkan angka 10 sampai 12 tahun.

59
BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien laki-laki usia 35 tahun datang dengan keluhan sesak nafas +1 bulan ini. Sesak
dirasakan memberat sejak seminggu terakhir SMRS dan dirasakan memberat sejak pagi hari
sampai siang hari SMRS. Sesak dirasakan pasien saat beristirahat maupun beraktivitas, ketika
tidur terlentang dan memberat ketika aktivitas berat dan cuaca bertambah panas. Sejak sesak
muncul os sulit tidur terutama pada malam hari. Os mengaku kalau tidur harus pakai 2-3
bantal untuk mengganjal agar sesaknya berkurang serta istirahat di atas tempat tidur dan
mengurangi aktivitas yang berlebihan untuk mengurangi keluhan sesak tersebut. Selain itu
sesak juga dirasakan berkurang oleh OS ketika duduk dan menyalakan kipas angin. Keluhan
sesak ini disertai dengan keluhan batuk yang hampir bersamaan dengan keluhan sesaknya,
batuk tersebut disertai dengan lendir jernih tanpa darah. Keluhan lemas dan tidak bisa
berjalan juga dirasakan pasien selama nafas + 3 minggu SMRS. Keluhan lain berupa bengkak
pada kedua tungkai dirasakan sejak 2 minggu SMRS. Keluhan dada berdebar juga dirasakan
pasien serta demam yang hilang timbul. Keluhan nyeri dada, mual-muntah, pingsan dan
keringat dingin serta perasaan tidak nyaman di dada disangkal pasien.
Riwayat penyakit jantung disangkal, riwayat penyakit TB (+) dengan riwayat
pengobatan TB paru kategori 1 selesai 6 bulan (tanpa periksa dahak saat pengobatan fase
intensif dan akhir fase lanjutan) (+). Riwayat penyakit dalam keluarga pasien tidak memiliki
riwayat sakit jantung dan riwayat sakit TB paru, di keluarganya tidak ada riwayat asma,
diabetes mellitus, hipertensi, ataupun alergi. Merokok ( + ) sejak SMP sd berhenti sejak 5-6
tahun terakhir rata-rata rokok yang dihabiskan palig banyak adalah 3 bungkus dalam sehari.
Meminum alkohol ( + ) , dimulai sejak kuliah dan berhenti sejak 5-6 tahun terakhir.
Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis, gizi baik, tekanan darah 90/60 mmHg, nadi 113x/menit irregular,
isi dan tegangan cukup, pernapasan 41 kali per menit, suhu 36,8ºC, SpO2 90% masker 7 lpm.
Pada leher, ditemukan JVP (5+4) cm H2O, pada pemeriksaan pulmo ditemukan suara nafas
vesikuler pada kedua lapang paru dan menurun pada paru kiri, adanya ronkhi basah halus
minimal pada kedua basal paru dan wheezing pada kedua lapang paru. .Pada pemeriksaan
jantung Iktus cordis tampak, kuat angkat, teraba 2 cm lateral linea midclavicula sinistra. BJ
S1/S2 ireguler, murmur sistolik diastolik(+), murmur sistolik trikuspid. Pada pemeriksaan

60
abdomen, abdomen terlihat datar, hepar teraba 2 jari BAC, tepi tumpul, permukaan rata,
konsistensi kenyal, lien tidak teraba.Tidak ditemukan nyeri tekan pada seluruh abdomen.
Pada pemeriksaan ektremitas didapatkan adanya edema tungkai pitting bilateral dan clubbing
finger positif.
Pada pemeriksaan laboratorium tanggal 1/3/2019 didapatkan adanya penigkatan kadar

Hb 16,7 g/dl, dan jumlah eritrosit 5,94 x 106 uL, leukosit 10.280/uL, peningkatan BUN 60,1

mg/dl dan creatinin 1,04 mg/dl dan pada pemeriksaan ulangan tanggal 6/3/2019 didapatkan

nilai LED darah kurang, peningkatan SGOT 181 U/L dan SGPT 333 U/L dan peningkatan

BUN 20 mg/dL, dan albumin 3,2 g/dl.

Diagnosis pasien

 RHF

 PHT

 CPCD

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien ini didapatkan

diagnosis gagal jantung kanan dengan gejala khas berupa sesak nafas saat istirahat atau

aktivitas, kelelahan, edema tungkai. Tanda khas gagal jantung takikardia dengan nadi

113x/menit, takipnea pernapasan 41 kali per menit, ronki basal pada kedua lapang paru,

peningkatan tekanan vena jugularis 5+ 4cm, dan hepatomegali hepar teraba 2 jari BAC tepi

tumpul, permukaan rata, konsistensi kenyal dan pada pasien ini didapatkan tanda objectif

gangguan struktur dan fungsional jantung berupa kardiomegali dibuktikan dari CXR dengan

CTR, didapatkan adanya bunyi jantung murmur sistolik pada area tricuspid dan abnormalitas

gambaran ekokardiografi (F/S sistolik RV menurun, RA,RV dilatasi, TR mild, mod

probability of PH, Disfungsi diastolic grade 1).

61
Gangguan fungsi pompa ventrikel

jantung tidak mampu memindahkan darah


dari sistem venosa ke sistem arteriosa

Curah jantung kanan menurun dan tekanan akhir systole ventrikel kanan meningkat

sehingga darah menumpuk di atrium kanan dan vena kava

desakan darah dalam atrium kanan dan vena kava meninggi

Hambatan arus balik vena

Bendungan sistemik

Takikardi Kardiomegali Takipnea

JVP meningkat Asites, edem tungkai

Berdasarkan teori penyebab gagal jantung kanan adalah

 Terdapat abnormalitas miokardium


 Overload ( hipertenssi sistemik dan pulmonal)
 Abnormalitas katup
 Abnormalitas ritme jantung ( adanya takikardi)
 Abnormalitas pericardium (efusi pericardium dan temponade)
 Kelainan kongenital jantung
 Factor sistemik
 Demam dan tirotoksikosis meningkatnya laju metabolism
 Hipoksia dan anemia dapat menurunkan suplay oksigen ke jantung
 Asidosis respiratorik dan metabolic (abnormalitas elektrolit menurunkan
kontraktilitas jantung.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang kemungkinan penyebab
gagal jantung kanan pada pasien ini adalah terkaid overload (hipertensi pulmonal) terkait

62
dengan adanya riwayat bekas TB yang dialami pasien dan kemungkinan adanya kerusakan
parenkim paru pada pasien yang mengarah kepada PPOK terkait kebiasaan merokok pasien
sesuai indeks Brinkman (derajat berat > 600) pada pasien ini indeks brinkman yang didapat
17x36= 612 walaupun perlu penegakan pasti diagnosisnya melalui pemeriksaan spirometri
dengan bronkodilator. Kemungkinan Hipertensi Pulmonal ini yang lama kelamaan akan
menyebabkan Cor pulmonale Chronic Decompensated (CPCD) bila tubuh pasien tidak
mampu mengkompensasi kelainan yang ada yang pada akhirnya berakhir dengan gagal
jatung kanan (Right Heart Failure).
Menurut WHO, definisi kor pulmonal adalah keadaan patologis dengan ditemukannya
hipertrofi ventrikel kanan yang disebabkan oleh kelainan fungsional dan struktur paru, tidak
termasuk kelainan karena penyakit jantung primer pada jantung kiri dan penyakit jantung
kongenital (bawaan). Penyakit yang mendasari terjadinya kor pulmonal dapat digolongkan
menjadi 4 kelompok :penyakit pembuluh darah paru, penekanan pada arteri pulmonal oleh
tumor mediastinum, aneurisma, granuloma atau fibrosis, penyakit neuro muskular dan
dinding dada, penyakit yang mengenai aliran udara paru, alveoli, termasuk Penyakit Paru
Obstruktif Kronis (PPOK), penyakit paru interstisial dan gangguan pernafasaan saat tidur.
Hipertensi pulmonal menyebabkan meningkatnya kinerja ventrikel kanan dan dapat
mengakibatkan dilatasi atau hipertropi bilik kanan jantung. Timbulnya keadaan ini diperberat
dengan adanya polisitemia akibat hipoksia jaringan, hipervolemia akibat adanya retensi air
dan natrium, serta meningkatnya cardiac output. Ketika jantung kanan tidak lagi dapat
melakukan adaptasi dan kompensasi maka akhirnya timbul kegagalan jantung kanan yang
ditandai dengan adanya edema perifer. Jangka waktu terjadinya hipertropi atau dilatasi
ventrikel kanan maupun gagal jantung kanan pada masing-masing orang berbeda-beda.
Berdasarkan anamnesis pemeriksaan fisik dan penunjang diagnosis kemungkinan Cor
Pulmonale Chronic Decompensated didapatkan dari keluhan utama berupa sesak nafas
biasanya karena adanya peningkatan kerja pernapasan akibat adanya perubahan dalam
elastisitas paru-paru (fibrosis penyakit paru dalam hal ini terkai bekas TB yang diderita
pasien ) atau adanya over inflasi terkait kemungkinan PPOK. Berdasarkan sebuah penelitian
di India dengan total pasien kor pulmonal kronik 60 pasien ( 52 laki-laki dan 8 perempuan)
sebanyak 63% penderita berusia diats 50 tahun dan 40 % diantaranya dengan bronchitis
kronik dan 30 % diantaranya dengan tuberculosis dan sebanyak 16,7% dengan asma
bronchial dan pada ECG dengan P pulmonal sebanyak 99,66% kasus serta 80 % kasus
dengan right ventricular dilatation dan right atrial dilatation sebanyak 50%.

63
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda khas sianosis perifer berupa clubbing
finger, menurut literatur bisa didapatkan , suara P2 yang mengeras, ventrikel kanan dapat
teraba di parasternal kanan. Terdapatnya murmur pada daerah pulmonal dan triskuspid (pada
pasien ini positf) dan terabanya ventrikel kanan merupakan tanda yang lebih lanjut. Bila
sudah terjadi fase dekompensasi, maka gallop (S3) mulai terdengar dan selain itu juga dapat
ditemukan murmur akibat insufisiensi trikuspid. Dilatasi vena jugularis (JVP pada pasien
meningkat 5+ 4 cm), hepatomegali (2 jari BAC), splenomegali, asites dan efusi pleura
merupakan tanda-tanda terjadinya overload pada ventrikel kanan.
Pada pemeriksaan penunjang radiologi didukung oleh adanya kardiomegali yang
dibuktikan dengan angka CTR 59,09 %, dan kesan pembesaran jantung bagian kanan (tbatas
jantung kanan tampak prominen) dan adamya gambaran radiologi hipertensi pulmonal adalah
dilatasi arteri pulmonalis utama dan cabang-cabangnya, meruncing ke perifer, dan lapang
paru perifer tampak relatif oligemia(avaskular perifer). Pada pemeriksaan EKG didapatkan
gambaran kesimpulan hipertrofi ventrikel kanan ( RVH) ditandai dengan deviasi aksis
kekanan dan rasio R/S di V1 > 1; pembesaran atrium kanan ditandai dengan P pulmonal pada
lead III. Selain pemeriksaan radiologi dan EKG diatas juga didukung oleh pemeriksaan
ekokardiografi pada tanggal 14/3/2019 didapatkan kesimpulan F/S sistolik RV menurun,
RA,RV dilatasi, TR mild, mod probability of PH, Disfungsi diastolic grade 1.
Pada pasien ini diberikan terapi oksigen dengan masker 7 lpm untuk menhidari
terjadinya hipoksia dan mempertahankan saturasi peripheral dalam batas normal. Mekanisme
bagaimana terapi oksigen dapat menigkatkan kelangsungan hidup belum diketahui pasti,
namun ada 2 hipotesis: (1) terapi oksigen mengurangi vasokontriksi dan menurunkan
resistensi vaskuler paru yang kemudian meningkatkan isi sekuncup ventrikel kanan, (2) terapi
oksigen meningkatkan kadar oksigen arteri dan meningkatkan hantaran oksigen ke jantung,
otak, dan organ vital lainnya.
Selain terapi oksigen pada pasien ini juga mendapatkan terapi diuretik furosemid 2x
20 mg (iv) untuk mengurangi edema dan tanda-tanda gagal jantung kanan. Namun harus
dingat, pemberian diuretika yang berlebihan dapat menimbulkan alkalosis metabolik yang
bisa memicu peningkatan hiperkapnia. Disamping itu, dengan terapi diuretika dapat terjadi
kekurangan cairan yang mengakibatkan preload ventrikel kanan dan curah jantung menurun.
Perlu diperhatikan pula efek samping penggunaan diuretic furosemid yang tergolong dalam
loop diuretic yang mula kerjanya lebih cepat dan efek diuretiknya lebih kuat dibandingkan
golongan thiazid dan cepat sekali menguras cairan tubuh dan elektrolit maka diberikan juga

64
spironolacton 2x25 mg (golongan diuretic hemat kalium). Terapi diuretic kombinasi ini
diberikan untuk mencegah hipokalemia.
Pada pasien ini juga diberikan digoksin 1 x 1(0,25 mg) tab. Digitalis hanya
digunakan pada pasien kor pulmonal bila disertai gagal jantung kiri. Digitalis tidak terbukti
meningkatkan fungsi ventrikel kanan pada pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel
normal, hanya pada pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel kiri yang menurun, digoksin
bisa meningkatkan fungsi ventrikel kanan. Pada pemberian digitalis perlu diwaspadai resiko
aritmia. Selain itu juga diberikan Dorner 2x 1 (20mcg) tab yang merubakan obat golongan
obat anti platelet beraprost sodium dan kombinasi dengan sildenafil 2 x ¼ tab (25mg) untuk
penatalaksaan hipertensi pulmonal yang ada. Sejalan dengan terapi yang diberikan gejala
gagal jantung kanan terutama edema tungkai sudah menghilang dan sesak yang dikeluhan
pasien mulai berkurang. . Pemberian obat-obat tersebut sudah tepat, sesuai dengan penjelasan
diatas. Edukasi tirah baring sangat penting untuk mencegah memburuknya hipoksemia, yang
nantinya akan lebih menaikkan lagi tekanan arteri pulmonalis. Garam perlu dibatasi tetapi
tidak secara berlebihan karena klorida serum yang rendah akan menghalangi usaha untuk
menurunkan hiperkapnia.

65
BAB V

KESIMPULAN

Diagnosis gagal jantung kanan dengan gejala khas berupa sesak nafas saat istirahat atau

aktivitas, kelelahan, edema tungkai. Tanda khas gagal jantung takikardia dengan nadi

113x/menit, takipnea pernapasan 41 kali per menit, ronki basal pada kedua lapang paru,

peningkatan tekanan vena jugularis 5+ 4cm, dan hepatomegali hepar teraba 2 jari BAC tepi

tumpul, permukaan rata, konsistensi kenyal dan pada pasien ini didapatkan tanda objectif

gangguan struktur dan fungsional jantung berupa kardiomegali dibuktikan dari CXR dengan

CTR, didapatkan adanya bunyi jantung murmur sistolik pada area tricuspid dan abnormalitas

gambaran ekokardiografi (F/S sistolik RV menurun, RA,RV dilatasi, TR mild, mod

probability of PH, Disfungsi diastolic grade 1).

Diagnosis kemungkinan Cor Pulmonale Chronic Decompensated didapatkan dari

keluhan utama berupa sesak nafas biasanya karena adanya peningkatan kerja pernapasan

akibat adanya perubahan dalam elastisitas paru-paru (fibrosis penyakit paru dalam hal ini

terkait bekas TB yang diderita pasien ) yang didapat dari anamnesis Riwayat pengobatan TB

paru kategori 1 selesai 6 bulan (tanpa periksa dahak saat pengobatan fase intensif dan akhir

fase lanjutan) (+) atau adanya over inflasi terkait kemungkinan PPOK perlu penegakan pasti

melalui spirometri dan bronkodilator meskipun didukung oleh ingeks brinkman riwayat

merokok lama 612. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda khas sianosis perifer

berupa clubbing finger, terdapatnya murmur triskuspid akibat insufisiensi trikuspid. Dilatasi

vena jugularis (JVP pada pasien meningkat 5+ 4 cm), hepatomegali (2 jari BAC). Pada

pemeriksaan penunjang radiologi didukung oleh adanya kardiomegali yang dibuktikan

dengan angka CTR 59,09 %, dan kesan pembesaran jantung bagian kanan (terbatas jantung

kanan tampak prominen) dan adamya gambaran radiologi hipertensi pulmonal adalah dilatasi

arteri pulmonalis utama dan cabang-cabangnya, meruncing ke perifer, dan lapang paru perifer

66
tampak relatif oligemia(avaskular perifer). Pada pemeriksaan EKG didapatkan gambaran

kesimpulan hipertrofi ventrikel kanan ( RVH) ditandai dengan deviasi aksis kekanan dan

rasio R/S di V1 > 1; pembesaran atrium kanan ditandai dengan P pulmonal pada lead III.

Selain pemeriksaan radiologi dan EKG diatas juga didukung oleh pemeriksaan

ekokardiografi pada tanggal 14/3/2019 didapatkan kesimpulan F/S sistolik RV menurun,

RA,RV dilatasi, TR mild, mod probability of PH, Disfungsi diastolic grade 1.

Pengobatan yang telah diberikan pada pasien ini menunjukan respon yang baik setelah

dilakukan evaluasi selama perawatan yang ditandai dengan menghilangnya edema tungkai

dan keluhan sesak nafas yang berkurang bila dibandingkan pertama kali masuk rumah sakit,

selain itu pasien juga sudah mulai latihan duduk dan berjalan secara bertahap.

67
DAFTAR PUSTAKA

Aderaye G. Causes and Clinical Characteristics Of Chronic Cor-Pulmonale In Ethiopia.


East African Medical Journal. 2006; 81 (4): 202-205.
Adil Shujaat, Ruth Minkin & Edward Eden. Pulmonary hypertension and chronic
Allegra et al. Possible Role Of Erythropoietin In The Pathogenesis Of Chronic Cor
Pulmonale. Nephrol Dial Transplant. 2005. 20: 2867.
cor pulmonale in COPD. International Journal of COPD 2007:2(3)
Cor Pulmonale: Evaluation of the Patient with Chronic Cor Pulmonale. Available from :
http://www.medscape.com/viewarticle/458659_6. Diakses tanggal 20 Oktober 2011
Cowie , dkk. 2008. The Epidemiology and Diagnosis of Heart Failure: Fuster 12th Ed Vol.1.
China: McGraw Hill pp. 713-723.

Dines DE, Parkin TW. Some Observation on the Value of the Electrocardiogram in Patient
with Chronic Cor Pulmonale. Mayo Clinic-Proc 2005; 40: 745-750
Fauci AS, Dennis LK, dkk. Heart Failure and Cor Pulmonale. Dalam Harrison’s Principles
of Internal Medicine 17th ed. United States of America. The McGraw-Hill Companies,
Inc. 2008; 217-244
Guyton & Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran: Fisiologi Jantung. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC pp. 107-119

Harun S, Ika PW. Kor Pulmonal Kronik. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Ed 4.
Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2006; 1680-81
Jota, Santa. 2008. Diagnosis Penyakit Jantung: Gagal Jantung. Jakarta: Penerbit Widya
Medika pp. 303-310

Kardiologi Indonesia. J Kardiol Ind 2007; 28:445-453. ISSN 0126/3773.


Kertohoesodo, Soeharto. 2007. Pengantar Kardiologi: Gagal Jantung Kongestif. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI pp. 245-248

Kumar, Clark. Cardiovascular Disease. Dalam Clinical Medicine 6th ed. Philadelphia.
Elsevier Saunders. 2005; 725-872
Laksono. 2009. Cermin Dunia Kedokteran (CDK): Patofisiologi Payah Jantung Kronik.
Jakarta: IDI pp.172-175

68
Nidal A Yunis, MD , Cardiovascular Medicine Fellow, St Elizabeth's Medical Center of
Boston; Department of Medicine, Brown University, 2004
Palevsky H, Fishman. A.P. The Management of Primary Pulmonary Hypertension. JAMA.
2006; 265:1014-20.
Price & Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit: Gagal Jantung
Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC pp. 200-211

Price SA, LM Wilson. Gangguan Sistem Pernapasan. Dalam Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 2006; 736-866
Rakhman, Otte. 2006. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik pada Penyakit Jantung. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI pp. 312-318

Rich S et al. Pulmonary Hypertension. Dalam Braunwald E, Heart Disease: A Text Book of
Cardiovascular Medicine 7th ed. Philadelphia. Elsevier Saunders. 2005; 1807-42
Silbernag S, Lang F. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Alih bahasa oleh : Setiawan I, et
al. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006; 214-15.
Six Abnormal ECGs — Not All Are Cases of the Heart: Slideshow Available from :
http://reference.medscape.com/features/slideshow/abnormal-ecg. Diakses tanggal 20
Oktober 2011.
Starry H. Rampengan, Eko Antono. Infark Miokard Ventrikel Kanan. Jurnal
Sugeng & Sitompul. 2003. Buku Ajar Kardiologi: Pengobatan pada Penyakit Gagal
Jantung. Jakarta: Balai Penerbit FKUI pp. 223-226

Weitzenblum E. Chronic Cor Pulmonale. Dalam : Education in Heart


http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1767533/. 2003; 89:225-30

69

Anda mungkin juga menyukai