STROKE HEMORAGIK
Disusun oleh:
Pembimbing:
dr. Margareta Dewi Dwiwulandari, Sp.KFR
Laporan Kasus
STROKE HEMORAGIK
Oleh :
Nada Shafiyah, S.Ked 04054822022044
Riswan Ahmad Pradaretza, S.Ked 04054822022143
See Jia Whei, S.Ked 04054822022209
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
kepaniteraan klinik di Departemen Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin,
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang Periode 8 Oktober – 14
Oktober 2020.
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan YME karena atas rahmat
dan berkat-Nya laporan kasus yang berjudul “Stroke Hemoragik” ini dapat
diselesaikan tepat waktu. Laporan kasus ini dibuat untuk untuk memenuhi salah
satu syarat ujian kepaniteraan klinik senior di Departemen Rehabilitasi Medik
Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang, Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya.
Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Margareta Dewi
Dwiwulandari, Sp.KFR atas bimbingannya sehingga penulisan ini menjadi lebih
baik. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam
penulisan referat ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat
penulis harapkan untuk penulisan yang lebih baik di masa yang akan datang.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Stroke lebih sering terjadi pada orang berusia >65 tahun dengan risiko
stroke sebesar 71 %, sedangkat usia 65 – 45 tahun memiliki risiko 25 %, dan 4
% terjadi pada orang berusia < 45 tahun. Selain itu, Insiden stroke 1.25 kali
lebih besar pada laki – laki dibanding perempuan. Orang kulit hitam lebih
banyak menderita stroke daripada orang kulit putih. Jika ada riwayat stroke
dalam keluarga, terutama jika dua atau lebih anggota keluarga pernah
mengalami stroke pada usia < 65 tahun, meningkatkan risiko stroke
seseorang.2,3
1
meningkatkan angka kematian sebanyak 2 kali lipat.12 Hal ini mungkin
diakibatkan oleh obstructive hydrocephalus atau efek massa langsung dari darah
ventrikular pada struktur periventrikular, yang mana berhubungan dengan
hipoperfusi global korteks yang didasarinya. Darah ventrikular juga
mengganggu fungsi normal dari CSF dengan mengakibatkan asidosis laktat
lokal.
2
BAB II
STATUS PENDERITA
2.1 IDENTIFIKASI
Nama : Ny. K
Umur : 54 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status perkawinan : Menikah
Pendidikan : Sarjana
Pekerjaan : Guru
Agama : Islam
2.2 ANAMNESIS
KELUHAN UTAMA:
Tidak sadar sejak 3 jam SMRS
3
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU:
Pasien pernah dirawat 6 Bulan yang lalu karena menderita stroke namun
tidak ada kelemahan anggota gerak, hanya bicara menjadi pelo namun
kemudian membaik. Pasien memiliki riwayat darah tinggi tetapi tidak
minum obat secara teratur, obat hanya diminum ketika kepala terasa pusing.
Riwayat diabetes mellitus, sakit jantung, asma, kejang, dan alergi obat atau
makanan disangkal oleh pasien.
4
Thoraks
• Jantung : S1-2 reguler, murmur (-), gallop (-)
• Paru : suara napas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : datar, jejas (-), memar (-), supel, nyeri tekan (-)
bising usus (+) normal, hepar/lien tidak teraba membesar
Ekstremitas : oedem +|+, akral dingin -|-
Genitalia : tidak diperiksa
5
2.3.3 Status Psikiatrikus (Tidak dilakukan)
• Sikap :
• Perhatian :
• Ekspresi Muka :
• Kontak Psikis :
Kepala
Bentuk : mesocephali
Nyeri tekan : (-)
Pulsasi : (-)
Simetri : (+)
Leher
Sikap : normal
Pergerakan : dapat digerakkan
Nervi kranialis
N. I (Olfaktorius) ( tidak dilakukan)
6
Subjektif :
Dengan beban :
N.III (Okulomotorius)
Sela mata : 2 cm / 2 cm
Pergerakan bulbus :
Strabismus : (-) / (-)
Nistagmus : (-) / (-)
Eksofthalmus : (-) / (-)
Pupil
Besarnya : 3 mm / 3 mm (isokor)
Bentuknya : bulat / bulat
Refleks cahaya : RCL +/+, RCTL +/+
Refleks konvergensi :
Melihat kembar :
7
Menggigit :
Refleks kornea :
Sensibilitas muka :
N. VII (Facialis)
Mengerutkan dahi : tidak dapat dilakukan
Menutup mata : tidak dapat dilakukan
Memperlihatkan gigi : (-) / (+) sudut mulut sebelah kanan turun
Bisul : tidak dapat dilakukan
Perasaan lidah (2/3 depan) : tidak dilakukan
Hiperakusis : tidak dilakukan
8
Menelan :
Nadi :
Refleks okulokardiak :
N. XI (Accesorius) ( tidak bisa dilakukan)
Mengangkat bahu :
Memalingkan kepala :
Sensibilitas
Taktil : tidak bisa dilakukan
Nyeri : (+) / (+)
Suhu : tidak dilakukan
Diskriminasi 2 titik : tidak dilakukan
9
Triseps : (+) / (+)
Radius : tidak dilakukan
Ulna : tidak dilakukan
Refleks patologis
• Hoffman – Tromner : (-) / (-)
Sensibilitas
• Taktil : tidak bisa dilakukan
• Nyeri : (+) / (+)
• Suhu : tidak dilakukan
• Diskriminasi 2 titik : tidak dilakukan
Refleks fisiologis
• Patella : (+) / (+)
• Achilles : (+) / (+)
Refleks patologis
• Babinski : (+) / (+)
• Chaddock : (-) / (-)
• Schaefer : (-) / (-)
• Oppenheim : (-) / (-)
• Gordon : (-) / (-)
• Mendei : (-) / (-)
• Bechterew : (-) / (-)
10
• Rossolimo : (-) / (-)
Klonus
• Paha : (-) / (-)
• Kaki : (-) / (-)
Sensibilitas
• Taktil : tidak bisa dilakukan
• Nyeri : (+) / (+)
• Suhu : tidak dilakukan
• Diskriminasi 2 titik : tidak dilakukan
H. Gerak abnormal
Tremor : (-) / (-)
Athetose : (-) / (-)
Mioklonik : (-) / (-)
Chorea : (-) / (-)
I. Alat vegetatif
Miksi : dengan kateter
Defekasi : baik
Refleks anal : tidak dilakukan
Refleks kremaster : tidak dilakukan
11
Refleks bulbokavernosus : tidak dilakukan
J. Laseque : (-)
Patrick : (-)
Kontra Patrick : (-)
a. DM (0) Tidak
X (-3) -3
b. Angina pektoris (1) Ya
c. Hiperkolesterolemia
Klaudikasio Intermiten
6. Konstanta - 12 -12
HASIL SSS +2
Interpretasi : 1. SSS > 1 = Stroke hemoragik
2. SSS < -1 = Stroke non-hemoragik
Total: +2 → klinis Stroke hemoragik
12
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah rutin :
Hb : 11,8 g/dL (12-14 g/dL)
Ht : 33% (37-42%)
Leukosit : 14.400/uL (5.000-10.000/uL)
Trombosit : 667 ribu/uL (150.000-450.000/uL)
Eritrosit : 3,72 juta/ uL (4,2-5,4 juta/uL)
13
3. CT Scan Kepala
RESUME
Seorang wanita 52 tahun datang diantar keluarganya ke IGD RSMH dengan
keluhan tidak sadar sejak ± 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Keluhan timbul
mendadak pada saat pasien sedang BAB di kamar mandi. Sebelum tidak sadarkan
diri, mata pasien sempat mendelik ke atas dan badannya kaku, keluhan dirasakan
kurang dari 5 menit. Sepuluh hari sebelumnya, pasien juga mengeluhkan hal yang
sama, ditambah terdapat kelemahan anggota gerak sebelah kanan, bicara pelo, dan
mulut menjadi mencong, namun pasien masih sadarkan diri. Terdapat keluhan
mual namun tidak ada muntah, pasien juga mengeluhkan kepalanya sering sakit,
riwayat hipertensi tidak terkontrol +. Pasien memiliki riwayat stroke 6 bulan yang
lalu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan parese N. VII kanan, ditemukan refleks
14
patologis + (babinski) pada ekstremitas bawah, kekuatan motorik dan sensorik
tidak dapat dinilai.
DIAGNOSIS
Dx1 : Diagnosa klinis : paresis N.VII dx, gangguan kesadaran, afasia
global
Diagnosa etiologis : stroke
Diagnosa topis : subkortikal kanan
Diagnosa patologis : Stroke hemoragik, post kejang
Dx2 : Hipertensi grade II tidak terkontrol
Dx3 : Hiperkolesterolemia, hipoalbuminemia
PLANNING
A. Terapi
• IVFD RL 20 tpm
• O2 4 L/m
• Injeksi citicoline 2x500 mg
• Injeksi Phenitoin 3x1 amp dalam NaCL 100cc
• Simvastatin 1x80 mg tab
• Plasbumin iv 1gr/24 jam, untuk 2 hari
• Diet tinggi kalori tinggi protein
• Pasang DC dan NGT
• Konsul Bedah Saraf
B. Monitoring
• Awasi tanda-tanda vital
• Intake dan output cairan
15
• Kelemahan anggota gerak kanan
• Gangguan AKS dalam hal berpakaian, berjalan, dan naik turun tangga.
b. Program:
• Head Positioning 30˚C
2. Psikologi
a. Evaluasi:
• Kecemasan penderita dan keluarga terhadap penyakit yang dialami
penderita.
b. Program:
• Memberi dukungan mental pada penderita dan keluarga agar penderita
tidak cemas dengan sakitnya.
PROGNOSIS
Ad Vitam : Dubia ad Malam
Ad Fungsionam : Dubia ad Malam
Ad Sanationam : Dubia ad Malam
EDUKASI
1. Saat melakukan aktifitas disarankan menggunakan sisi yang sehat dengan
mengikut sertakan sisi yang sakit, seperti saat sedang memakai pakaian.
2. Sedapat mungkin untuk melakukan aktivitas kegiatan sehari-hari secara
mandiri.
3. Rajin berlatih dan kontrol secara teratur.
4. Tetap optimis dan menghindari stress.
16
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
17
3. Berdasarkan sistem pembuluh darah
a. Sistem karotis
b. Sistem vertebro-basiler
4. Klasifikasi Bamford untuk tipe infark16
a. Total Anterior Circulation Infark (TACI): triasnya hemiparesis, disfasia,
hemianopia homonym.
b. Partial Anterior Circulation Infark (PACI): 2 dari 3 gejala TACI atau
disfungsi kortikal tunggal atau deficit motorik dan sensorik sebagian.
c. Lacunar Infark (LACI): gangguan motorik murni, gangguan sensorik
murni, ataksia hemiparesis.
d. Posterior Circulation Infark (POCI): gangguan batang otak, serebelum,
homonymous heninopia.
18
Riwayat stroke dalam keluarga, terutama jika dua atau lebih anggota
keluarga pernah mengalami stroke pada usia < 65 tahun,
meningkatkan risiko stroke
2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi :
a. Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko utama terjadinya stroke. Hipertensi
meningkatkan risiko terjadinya stroke sebanyak 4 sampai 6 kali.
Makin tinggi tekanan darah kemungkinan stroke makin besar karena
terjadinya kerusakan pada dinding pembuluh darah sehingga
memudahkan terjadinya penyumbatan/perdarahan otak. Sebanyak
70% dari orang yang terserang stroke mempunyai tekanan darah
tinggi.
b. Diabetes Melitus
Diabetes melitus merupakan faktor risiko untuk stroke, namun tidak
sekuat hipertensi. Diabetes melitus dapat mempercepat terjadinya
aterosklerosis (pengerasan pembuluh darah) yang lebih berat sehingga
berpengaruh terhadap terjadinya stroke. risiko terjadinya stroke pada
penderita diabetes mellitus 3,39 kali dibandingkan dengan yang tidak
menderita diabetes mellitus.
c. Penyakit Jantung
Penyakit jantung yang paling sering menyebabkan stroke adalah
fibrilasi atrium/atrial fibrillation (AF), karena memudahkan terjadinya
penggumpalan darah di jantung dan dapat lepas hingga menyumbat
pembuluh darah di otak. Di samping itu juga penyakit jantung
koroner, kelainan katup jantung, infeksi otot jantung, pasca operasi
jantung juga memperbesar risiko stroke. Fibrilasi atrium yang tidak
diobati meningkatkan risiko stroke 4 – 7 kali.
d. Transient Ischemic Attack (TIA)
Sekitar 1 dari seratus orang dewasa akan mengalami paling sedikit 1
kali serangan iskemik sesaat (TIA) seumur hidup mereka. Jika diobati
dengan benar, sekitar 1/10 dari para pasien ini kemudian akan
19
mengalami stroke dalam 3,5 bulan setelah serangan pertama, dan
sekitar 1/3 akan terkena stroke dalam lima tahun setelah serangan
pertama. Risiko TIA untuk terkena stroke 35-60% dalam waktu lima
tahun.
e. Obesitas
Obesitas berhubungan erat dengan hipertensi, dislipidemia, dan
diabetes melitus. Obesitas meningkatkan risiko stroke sebesar 15%.
Obesitas dapat meningkatkan hipertensi, jantung, diabetes dan
aterosklerosis yang semuanya akan meningkatkan kemungkinan
terkena serangan stroke.
f. Hiperkolesterolemia
Kondisi ini secara langsung dan tidak langsung meningkatkan faktor
risiko, tingginya kolesterol dapat merusak dinding pembuluh darah
dan juga menyebabkan penyakit jantung koroner. Kolesterol yang
tinggi terutama Low Density Lipoprotein (LDL) akan membentuk
plak di dalam pembuluh darah dan dapat menyumbat pembuluh darah
baik di jantung maupun di otak. Kadar kolesterol total > 200 mg/dl
meningkatkan risiko stroke 1,31 - 2,9 kali.
g. Merokok
Kebiasaan merokok meningkatkan risiko terkena stroke sebesar 4 kali.
Merokok menyebabkan penyempitan dan pengerasan arteri di seluruh
tubuh (termasuk yang ada di otak dan jantung), sehingga merokok
mendorong terjadinya aterosklerosis, mengurangi aliran darah, dan
menyebabkan darah mudah menggumpal.
h. Alkohol
Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat mengganggu metabolisme
tubuh, sehingga terjadi dislipidemia, diabetes melitus, mempengaruhi
berat badan dan tekanan darah, dapat merusak sel-sel saraf tepi, saraf
otak dan lain – lain. Konsumsi alkohol berlebihan meningkatkan
risiko terkena stroke 2-3 kali.
i. Stres
20
Hampir setiap orang pernah mengalami stres. Stres psiokososial dapat
menyebabkan depresi. Jika depresi berkombinasi dengan faktor risiko
lain (misalnya, aterosklerosis berat, penyakit jantung atau hipertensi)
dapat memicu terjadinya stroke. Depresi meningkatkan risiko terkena
stroke sebesar 2 kali.
j. Penyalahgunaan Obat
Pada orang-orang yang menggunakan narkoba terutama jenis suntikan
akan mempermudah terjadinya stroke, akibat dari infeksi dan
kerusakan dinding pembuluh darah otak. Di samping itu, zat narkoba
itu sendiri akan mempengaruhi metabolisme tubuh, sehingga mudah
terserang stroke
21
Gambar 1. Mekanisme seluler pada iskemik SSP akut.14
22
tersebut. Plak cenderung terbentuk pada percabangan atau tempat-tempat yang
melengkung. Trombus juga dikaitkan dengan tempat-tempat khusus tersebut.
Pembuluh-pembuluh darah yang mempunyai resiko dalam urutan yang makin
jarang adalah sebagai berikut: arteria karotis interna, vertebralis bagian atas dan
basilaris bawah. Hilangnya intima akan membuat jaringan ikat terpapar.
Trombosit menempel pada permukaan yang terbuka sehingga permukaan dinding
pembuluh darah menjadi kasar. Trombosit akan melepasakan enzim, adenosin
difosfat yang mengawali mekanisme koagulasi. Sumbat fibrinotrombosit dapat
terlepas dan membentuk emboli, atau dapat tetap tinggal di tempat dan akhirnya
seluruh arteria itu akan tersumbat dengan sempurna.
23
Perdarahan subarachnoid (PSA) terjadi akibat pembuluh darah disekitar
permukaan otak pecah, sehingga terjadi ekstravasasi darah ke ruang subarachnoid.
Perdarahan subarachnoid umumnya disebabkan oleh rupturnya aneurisma sakular
atau perdarahan dari arteriovenous malformation (AVM).
3.1.5 Diagnosis
Diagnosis stroke hemoragik dapat ditegakkan berdasarkan :
1. Anamnesis
Dari anamnesa didapatkan gejala pada pasien biasanya bervariasi
tergantung dari area otak yang terkena dan seberapa luasnya perdarahan.
Stroke hemoragik biasanya menunjukkan gejala peningkatan tekanan
intrakranial dibandingkan daripada tipe lain dari stroke.
Pokok manifestasi dari stroke ini adalah hemiparese, hemiparestesia,
afasia, disartria, & hemianopsia. Hemiparese yang ringan dapat dirasakan
oleh penderita sebagai gangguan gerakan tangkas. Hemiparestesia
hampir selamanya dikemukakan secara jelas.
a. Pada Insufisiensi karotis biasanya didapatkan keluhan berupa :
• Tidak bisa menggerakkan separuh atau sebagian dari anggota
tubuhnya
• Rasa kesemutan di sebagian tubuh
• Gangguan bicara (afasia) bila lesi pada daerah hemisfer
dominan
• Kebutaan (amaurosis fugaks)
• Kesulitan bicara (disartria)
b. Pada insufisiensi vertebrobasiler dapat ditemukan keluhan berupa:
• Penglihatan ganda (diplopia)
• Mata sulit untuk membuka (ptosis) akibat parese otot otot
ekstraokular
• Pusing seperti berputar (vertigo)
• Kesulitan untuk berbicara atau pelo (disartria)
• Kesulitan untuk menelan (disfagia)
24
• Kelumpuhan sebelah atau bahkan seluruh badan (hemiparese
atau tetraparese)
• Tidak merasakan anggota tubuhnya atau rasa baal
(hemianestesia) baik unilateral maupun bilateral
25
• < -1 : Stroke non-hemoragik
• -1 s/d 1 : Diagnosa tidak pasti, lihat hasil CT scan
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan awal dilakukan pemeriksaan status generalis pasien,
kemudian status neurologisnya.
Defisit neurologis yang sudah jelas mudah dikenal terutama
hemiparesis yang jelas. Selain itu terdapat pula tanda tanda pengiring
hemiparese yang dinamakan gangguan Upper Motor Neuron (UMN)
ialah:
a. Tonus otot pada lesi yang lumpuh meninggi
b. Refleks tendon meningkat pada sisi yang lumpuh
c. Refleks patologis positif pada sisi yang lumpuh
Mengenal manifestasi stroke yang sangat ringan adalah lebih penting
daripada mengenal hemiparese yang sudah jelas. Manifestasi stroke
yang paling ringan sering berupa gangguan ketangkasan gerak maka
dari itu urutan pemeriksaan susunan motorik sebagai berikut:
26
• Hemoglobin, hematokrit, eritrosit, leukosit, hitung jenis,
trombosit, masa perdarahan, masa pembekuan, Laju Endap
Darah (LED)
• Fungsi Ginjal (ureum, kreatinin)
• Fungsi hati (SGOT/SGPT)
• Urine Lengkap
• Elektrolit (Na, K, Cl) dan AGD (Analisa Gas Darah)
• Asam Urat
• Kholesterol, Trigliserid
b. CT scan
• Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan baku emas untuk
membedakan stroke infark dengan stroke perdarahan.
• Pada stroke karena infark, gambaran CT scannya secara
umum adalah didapatkan gambaran hipodense sedangkan
pada stroke perdarahan menunjukkan gambaran hiperdens.
c. Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan ini sangat baik untuk menentukan adanya lesi di
batang otak (sangat sensitif).
d. Pemeriksaan Angiografi.
Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan apakah lokasi
pada sistem karotis atau vertebrobasiler, menentukan ada
tidaknya penyempitan, oklusi atau aneurisma pada pembuluh
darah.
e. Pemeriksan USG
Pemeriksaan ini untuk menilai pembuluh darah intra dan ekstra
kranial, menentukan ada tidaknya stenosis arteri karotis.
f. Pemeriksaan Pungsi Lumbal
Pemeriksaan ini digunakan apabila tidak adanya CT scan atau
MRI. Pada stroke PIS didaptkan gambaran LCS seperti cucian
27
daging atau berwarna kekuningan. Pada PSA didapatkan LCS
yang gross hemorragik. Pada stroke infark tidak didapatkan
perdarahan (jernih).
3.1.6 Tatalaksana
28
d. Faktor VIIa rekombinan tidak mengganti semua factor pembekuan,
dan walaupun INR menurun, pembekuan bias jadi tidak membaik.
Oleh karena itu, factor VIIa rekombinan tidak secara rutin
direkomendasikan sebagai agen tunggal untuk mengganti
antikoagulan oral pada perdarahan intracranial. (AHA/ASA, Class
III, Level of evidence C). Walaupun factor VII a rekombinan dapat
membatasi perluasan hematoma pada pasien ICH tanpa
koagulopati, risiko kejadian tromboemboli akan meningkat dengan
factor VIIa rekombinan dan tidak ada keuntungan nyata pada
pasien yang tidak terseleksi (AHA/ASA, Class III, Level of
evidence A).
e. Kegunaan dari transfuse trombosit pada pasien perdarahan
intracranial dengan riwayat penggunaan antiplatelet masih tidak
jelas dan dalam tahap penelitian (AHA/ASA, Class IIb, Level of
evidence B).
f. Untuk mencegah tromboemboli vena pada pasien dengan
perdarahan intracranial, sebaiknya mendapat pneumatic
intermittent compression selain dengan stoking elastis (AHA/ASA,
Class I, Level of evidence B).
g. Setelah dokumentasi penghentian perdarahan LMWH atau UFH
subkutan dosis rendah dapat dipertimbangkan untuk pencegahan
tromboemboli vena pada pasien dengan mobilitas yang kurang
setelah satu hingga empat hari pascaawitan (AHA/ASA, Class IIb,
Level of evidence B).
h. Efek heparin dapat diatasi dengan pemberian proamin sulfat 10-50
mg IV dalam waktu 1-3 menit. Penderita dengan pemberian
protamin sulfat perlu pengawasan ketat untuk melihat tanda-tanda
hipersensitif (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).
29
a. Tatalaksana pasien PSA derajat I atau II berdasarkan Hunt & Hess
(H&H) adalah sebagai berikut :
• Identifikasi dan atasi nyeri kepala sedini mungkin
• Tirah baring total dengan posisi kepala ditinggikan 300 dan
nyaman, bila perlu berikan O2 2-3 L/menit
• Hati-hati dalam pemakaian sedatif (kesulitan dalam penilaian
tingkat kesadaran).
• Pasang infus diruang gawat darurat, usahakan euvolemia dan
monitor ketat sistem kardiopulmoner dan kelainan neurologi
yang timbul
b. Pasien PSA derajat III, IV atau V berdasarkan H&H,perawatan
harus lebih intensif
• Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protokol pasien
diruang gawat darurat
• Perawatan sebaiknya dilakukan diruang intensif atau
semiintensif
• Untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalan napas yang
adekuat perlu dipertimbangkan intubasi endotrakheal dengan
hati-hati terutama apabila didapatkan tanda-tanda tekanan
tinggi intrakranial
• Hindari pemakaian obat-obatan sedatif yang berlebihan karena
akan menyulitkan penialaian status neurologi
c. Tindakan untuk mencegah perdarahan ulang setelah PSA
• Kontrol dan monitor tekanan darah untuk mencegah risiko
perdarahan ulang. Hipertensi berkaitan dengan terjadinya
perdarahan ulang (AHA/ASA, Class I, Level of evidance B).
Tekanan darah sistolik sekitar 140-160 mmHg sangat
disarankan dalam rangka pencegahan perdarahan ulang pada
PSA. (lihat BAB V.A Penatalaksanaan Tekanan Darah Pada
Stroke Akut)
30
• Istirahat total di tempat tidur (AHA/ASA, Class IIb, Level of
evidance B).
• Terapi antifobrinolitik (epsilon-aminocaproic acid: loading 1 g
IV kemudian dilanjutkan 1 g setiap 6 jam sampai aneurisma
tertutup atau biasanya disarankan 72 jam) untuk mencegah
perdarahan ulang direkomendasikan pada keadaan klinis
tertentu. Terapi antifobrinolitik dikontraindikasikan pada
pasien dengan koagulopati, riwayat infark miokard akut, stroke
iskemik, emboli paru, atau trombosis vena dalam. Terapi
antifibrinolitik lebih dianjurkan pada pasien dengan risiko
rendah terhadapa terjadinya vasospasme atau pada pasien
dengan penundaan operasi. pada beberapa studi, terapi
antifibrinolitik dikaitkan dengan tingginya angka kejadian
iskemik serebral sehingga mungkin tidak menguntungkan pada
hasil akhir secara keseluruhan. Oleh karena itu, studi dengan
menggunakan kombinasi antifibrinolitik dengan obat-obatan
lain untuk mengurangi vasospasme perlu dilakukan
(AHA/ASA, Class IIb, Level of evidance B).
• Pengikatan (ligasi) karotis tidak bermanfaat untuk pencegahan
perdarahan ulang (AHA/ASA, Class III, Level of evidance A).
• Penggunaan koil intraluminal dan balon masih dalam uji coba.
Penelitian lebih lanjut masih diperlukan (AHA/ASA, ClassIV-
V, Level of evidance C).
31
atau pengasuh dalam pengambilan keputusan. Penanganan ini sebaiknya
dilakukan oleh tim multidisiplin yang terdiri dari dokter, perawat, tenaga terapi
fisik, tenaga terapi okupasi, tenaga terapi kinesi, ahli patologi bicara dan bahasa,
psikolog, tenaga terapi rekreasi, pasien dan keluarga pasien.8
Perhatian utama rehabilitasi adalah evaluasi potensi perkembangan pasien
dengan rehabilitasi yang intensif. Tujuan dari rehabilitasi harus realistis dan
fleksibel sebab status neorologis dari pasien dan derajat kelainan biasanya
berubah seiring waktu. Hal terbaik didapatkan jika pasien dan keluarga
berpartisipasi dalam mencapai tujuan rehabilitasi.9
Kepatuhan pasien stroke dalam menjalani program rehabilitasi dapat
mempengaruhi kecepatan kesembuhan pasien dari kecacatan. Semakin teratur
pasien stroke melakukan rehabilitasi, maka dapat mencegah dan memperkecil
risiko komplikasi, serta mempercepat pengembalian fungsi tubuh. Sebaliknya,
jika rehabilitasi tidak dilakukan dengan teratur maka dapat mempercepat
kelumpuhan secara permanen.8,9
1. Fase awal
Program ini harus dimulai sedini mungkin setelah keadaan umum
memungkinkan untuk dimulainya rehabilitasi. Bertujuan untuk
mencegah komplikasi sekunder dan melindungi fungsi yang tersisa.
Hal-hal yang dapat dikerjakan adalah proper bed positioning, latihan
lingkup gerak sendi, stimulasi elektrikal dan begitu penderita sadar
dimulai penanganan masalah emosional.8
2. Fase lanjutan
Program ini sebaiknya dimulai pada waktu penderita secara
medik telah stabil. Pada pasien dengan stroke trombotik atau embolik,
biasanya mobilisasi dimulai pada 2-3 hari setelah stroke. Pada pasien
dengan perdarahan subarakhnoid mobilisasi dimulai 10-15 hari setelah
stroke. Fase ini bertujuan untuk mencapai kemandirian fungsional
dalam mobilisasi dan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS). Program
pada fase ini meliputi:8-11
a. Fisioterapi
32
1) Stimulasi elektrikal untuk otot-otot dengan kekuatan otot 2 ke
bawah.
2) Diberikan terapi panas superficial (infra red) untuk melemaskan
otot.
3) Latihan lingkup gerak sendi bisa pasif, aktif dibantu atau aktif
tergantung dari kekuatan otot.
4) Latihan untuk meningkatkan kekuatan otot.
5) Latihan fasilitasi atau reedukasi otot.
6) Latihan mobilisasi.
b. Okupasi Terapi
Sebagian besar penderita stroke dapat mencapai kemandirian
dalam aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS), meskipun pemulihan
fungsi neurologis pada ekstremitas yang terkena belum tentu baik.
Dengan alat bantu yang disesuaikan, AKS dengan menggunakan satu
tangan secara mandiri dapat dikerjakan. Kemandirian dapat
dipermudah dengan pemakaian alat-alat yang disesuaikan.
c. Terapi Bicara
Penderita stroke sering mengalami gangguan bicara dan komunikasi.
Ini dapat ditangani oleh speech therapist dengan cara:
1) Latihan pernapasan (pre speech training) berupa latihan napas,
menelan, meniup, latihan gerak bibir, lidah dan tenggorokan.
2) Latihan di depan cermin untuk latihan gerakan lidah, bibir dan
mengucapkan kata-kata.
3) Latihan pada penderita disartria lebih ditekankan ke artikulasi
mengucapkan kata-kata.
4) Pelaksana terapi adalah tim medik dan keluarga.
d. Ortotik Prostetik
Pada penderita stroke dapat digunakan alat bantu atau alat
ganti dalam membantu transfer dan ambulasi penderita. Alat-alat
33
yang sering digunakan antara lain: arm sling, walker, wheel chair,
knee back slap, short leg brace, cock-up splint, ankle foot
orthotic (AFO), knee ankle foot orthotic (KAFO).
e. Psikologi
Semua penderita dengan gangguan fungsional yang akut akan
melampaui serial fase psikologis, yaitu: fase syok, fase penolakan,
fase penyesuaian dan fase penerimaan. Sebagian penderita
mengalami fase-fase tersebut secara cepat, sedangkan sebagian lagi
mengalami secara lambat, berhenti pada salah satu fase, bahkan
kembali ke fase yang telah lewat. Penderita harus berada pada fase
psikologis yang sesuai untuk dapat menerima rehabilitasi.
3.1.8 Prognosis
Prognosis bervariasi tergantung dari keparahan stroke, lokasi dan volume
perdarahan. Semakin rendah nilai SKG dan semakin besar volume perdarahan,
maka prognosis semakin buruk dan mortalitas semaking tinggi. Adanya darah di
dalam ventrikel berhubungan dengan angka mortalitas yang tinggi sebab dapat
meningkatkan angka kematian sebanyak 2 kali lipat.12 Hal ini mungkin
diakibatkan oleh obstructive hydrocephalus atau efek massa langsung dari darah
ventrikular pada struktur periventrikular, yang mana berhubungan dengan
hipoperfusi global korteks yang didasarinya. Darah ventrikular juga mengganggu
fungsi normal dari CSF dengan mengakibatkan asidosis laktat lokal.13
34
BAB IV
ANALISIS KASUS
Ny. K berusia 54 tahun datang diantar keluarganya ke Instalasi Gawat
Darurat RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang dengan keluhan tidak sadar
sejak ± 3 jam SMRS. Keluhan timbul mendadak pada saat pasien sedang BAB di
kamar mandi. Sebelum tidak sadarkan diri, mata pasien sempat mendelik ke atas
dan badannya kaku, keluhan dirasakan kurang dari 5 menit. Sepuluh hari
sebelumnya, pasien juga mengeluhkan hal yang sama, ditambah terdapat
kelemahan anggota gerak sebelah kanan, bicara pelo, dan mulut menjadi
mencong, namun pasien masih sadarkan diri. Terdapat keluhan mual namun tidak
ada muntah, pasien juga mengeluhkan kepalanya sering sakit, riwayat hipertensi
tidak terkontrol +. Pasien memiliki riwayat stroke 6 bulan yang lalu. Keluhan
yang dirasakan pasien ini sesuai dengan manifestasi klinis stroke hemoragik khas
yaitu sakit kepala, mual, dan kejang. Usia pasien yang sudah tua, adanya
penurunan kesadaran, dan adanya riwayat hipertensi tidak terkontrol mendukung
diagnosis stroke hemoragik tipe perdarahan intraserebral. Adanya kelemahan pada
tubuh sisi kanan pasien, bicara pelo, dan mulut menjadi mencong juga menunjang
diagnosis stroke.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan parese N. VII kanan, ditemukan refleks
patologis + (babinski) pada ekstremitas bawah, kekuatan motorik dan sensorik
tidak dapat dinilai. Pada pasien stroke hemoragik, terdapat kelumpuhan N. III, N.
VIII, dan N. VI, dan pada pasien ini ditemukan kelumpuhan N. VII sehingga
menunjang diagnosis stroke hemoragik. Selain itu ditemukan refleks patologis
babinski yang positif yang menandakan adanya lesi pada Upper Motor Neuron.
Pada pasien diberikan terapi cairan intravena, oksigen, injeksi citicoline,
injeksi fenitoin, simvastatin oral, dan plasbumin intravena. Pasien juga
direkomendasikan untuk diet tinggi kalori dan tinggi protein, dilakukan
pemasangan DC dan NGT, serta dikonsulkan ke bedah saraf. Tatalaksana pada
pasien ini sudah sesuai dengan pedoman tatalaksana stroke PERDOSSI 2011.
Pemberian cairan intravena serta pemberian oksigen merupakan bagian dari
tatalaksana stroke. Citicoline digunakan untuk mengurangi kerusakan jaringan
35
otak dan untuk perbaikan membran sel saraf melalui peningkatan sintesis
phosphatidylcholine serta perbaikan neuron kolinergik yang rusak. Citicoline
sampai saat ini masih memberikan manfaat pada pasien stroke akut. Pemberian
obat fenitoin bertujuan untuk mengendalikan kejang pada pasien. Simvastatin
digunakan untuk mengurangi kadar kolesterol dalam darah pasien. Plasbumin
(albumin) digunakan untuk pencegahan vasospasme yang digunakan pada pasien
stroke. Program rehabilitasi medik pada pasien ini adalah head positioning.
Program rehabilitasi medik yang telah diberikan kepada pasien sesuai dengan
program rehabilitasi medik yang harus diberikan pada pasien stroke fase akut.
Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam, hal ini mungkin
dikarenakan perjalanan penyakit pasien yang sudah cukup berat. Akan tetapi
penatalaksanaan yang adekuat dan monitoring ketat sangat penting dan diperlukan
untuk pasien ini.
36
BAB IV
KESIMPULAN
37
DAFTAR PUSTAKA
38
15. Caplan LR, editor. Caplan's stroke. Cambridge University Press; 2016 Sep 8.
16. Bamford J, Sandercock P, Dennis M, Burn J, Warlow C. Classification and
natural history of clinically identifiable subtypes of cerebral infarction.
Lancet. 1991;337:1521-1526.
39