L DENGAN
DIAGNOSA HELLP SYNDROME DI RUANG HCU
RSUD AL IHSAN BANDUNG
Disusun untuk memenuhi tugas Profesi Ners Stase Keperawatan Gawat Darurat
Oleh :
Rike Yanuaris Dayanti (402017048)
A. Latar Belakang
Sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low Platelets Count)
merupakan suatu variasi dari preeklamsia berat yang disertai trombositopenia,
hemolisis dan gangguan fungsi hepar. Sindrom HELLP juga merupakan suatu
komplikasi obstetri yang mengancam jiwa. Sindrom HELLP dulu dikenal sebagai
edema-proteinuria-hipertensi pada awal abad ke 20 dan kemudian berganti nama
pada tahun 1982 oleh Louis Weinstein (Prawirohardjo, 2009).
Dahulu penyakit ini dianggap sebagai misdiagnosis preekampsia atau sebagai
variasi unik dari suatu preeklamsia. Pada 1982, Weinstein melaporkan 29 kasus
preeklamsia berat, eklampsia dengan komplikasi trombositopenia, kelainan sediaan
apusan darah tepi, dan kelainan tes fungsi hati. Weinstein menyatakan bahwa
kumpulan tanda dan gejala ini benar-benar terpisah dari preeklamsia berat dan
membentuk suatu istilah Sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzymes,
Low Platelet) (Rambulangi, 2006).
Kejadian sindrom HELLP pada saat kehamilan (70%) paling sering
terjadi pada usia kehamilan 27 – 35 minggu (70%) dan 30% terjadi
pasca persalinan. Angka kejadian dilaporkan sebesar 0,2 - 0,6% dari seluruh
kehamilan, dan 10 - 20% terjadi pada pasien dengan komorbid preeklamsia.
Dilaporkan kematian maternal sebesar 24% dan kematian perinatal berkisar 30-
40%. Sindrom HELLP telah terbukti terjadi pada kelompok usia ibu yang lebih tua,
dengan usia rata-rata 25 tahun. Sebaliknya, preeklamsia paling sering terjadi pada
pasien yang lebih muda (usia rata-rata, 19 tahun) (Angsar, 2003).
Penanganan sindrom HELLP masih kontroversial antara perawatan konservatif
atau terminasi kehamilan yang jauh dari aterm. Sindrom HELLP merupakan
komplikasi yang berat dari kehamilan yang akan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas ibu dan perinatal. Sindrom ini juga dihubungkan dengan keadaan
penyakit yang berat atau akan berkembang menjadi lebih berat serta dengan
prognosis maternal dan perinatal yang lebih buruk, walaupun angka kematian
maternal dan perinatal yang dikemukakan masih sangat bervariasi mengingat
perbedaan kriteria diagnostik yang digunakan serta saat diagnosis ditegakkan.
Penggunaan steroid diduga akan memperbaiki keadaan hematologi dan nilai
biokimia pada penderita sindrom HELLP yang akan menurunkan angka morbiditas
dan mortalitas pada penderita sindrom HELLP.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah berdasarkan latar belakang tersebut yaitu “Bagaimana
asuhan keperawatan pada pasien ny. L dengan diagnosa hellp syndrome di ruang
HCU RSUD Al Ihsan bandung ?”
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Melakukan asuhan keperawatan pada pasien Ny. L dengan diagnosa hellp
syndrome di ruang HCU RSUD Al Ihsan Bandung.
2. Tujuan Khusus
a. Melakukan pengakajian pada pasien Ny. L dengan diagnosa hellp syndrome di
ruang HCU RSUD Al Ihsan Bandung.
b. Melakukan analisis perumusan keperawatan pada pasien Ny. L dengan
diagnosa hellp syndrome di ruang HCU RSUD Al Ihsan Bandung.
c. Membuat perencanaan keperawatan pada pasien Ny. L dengan diagnosa hellp
syndrome di ruang HCU RSUD Al Ihsan Bandung.
d. Melakukan implementasi pada pasien Ny. L dengan diagnosa hellp syndrome
di ruang HCU RSUD Al Ihsan Bandung.
e.
Melakukan evaluasi pada pasien Ny. L dengan diagnosa hellp syndrome di
ruang HCU RSUD Al Ihsan Bandung.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Definisi
Definisi dari sindrom HELLP sampai saat ini masih kontroversi. Menurut
Godlin (1982) sindrom HELLP merupakan bentuk awal dari preeklamsia berat.
Weinstein (1982) melaporkan sindrom HELLP merupakan varian yang unik dari
preeklamsia tetapi Mackenna dkk (1983) melaporkan bahwa sindrom ini tidak
berhubungan dengan preeklamsia. Dan dilain pihak banyak penulis melaporkan
bahwa sindrom HELLP merupakan bentuk yang ringan dari Disseminated
Intravascular Coagulation (DIC) yang terlewatkan karena pemeriksaan
laboratorium yang tidak adekuat. Salah satu alasan yang menyebabkan kontroversi
terhadap sindrom ini, karena adanya perbedaan dalam kriteria diagnostik dan
metode yang digunakan pada waktu penelitian. Walaupun hampir semua peneliti
sepakat bahwa sindrom ini merupakan petanda keadaan penyakit yang berat dan
dengan prognosis yang jelek. Secara garis besar, berdasarkan terminologinya,
sindrom HELLP dapat didefinisikan sebagai sindrom dengan gejala hemolisis
(Hemolysis), peningkatan enzim hati (Elevated Liver Enzyme), dan penurunan
jumlah faktor pembekuan darah (Low Platelets Count), (Cunningham, FG, 2013).
2.2.Faktor Resiko
Pasien sindrom HELLP secara bermakna lebih tua (rata-rata umur 25 tahun)
dibandingkan pasien preeklamsia-eklampsia tanpa sindrom HELLP (rata-rata umur
19 tahun). Sindrom ini biasanya muncul pada trimester ke III, walaupun pada umur
kehamilan <27 minggu, pada masa antepartum sekitar 69% pasien dan pada masa
postpartum sekitar 31%. Pada masa post partum, saat terjadinya khas, dalam waktu
48 jam pertama post partum (Jayakusuma , 2005), (Angsar, 2003).
2.3.Patofisiologi
Etiologi dan patogenesis dari sindrom HELLP ini selalu dihubungkan dengan
preeklamsia, walaupun etiologi dan patogenesis dari preeklamsia sampai saat ini
juga belum dapat diketahui dengan pasti. Yang ditemukan pada penyakit
multisistem ini adalah kelainan tonus vaskuler, vasospasme, dan kelainan
koagulasi. Sampai sekarang tidak ditemukan faktor pencetusnya. Sindrom ini
kemungkinan merupakan akhir dari kelainan yang menyebabkan kerusakan endotel
mikrovaskuler dan aktivasi trombosit intravaskuler; akibatnya terjadi vasospasme,
aglutinasi dan agregasi trombosit dan selanjutnya terjadi kerusakan endotel.
Hemolisis yang didefinisikan sebagai anemia hemolitik mikroangiopati merupakan
tanda khas (Cunningham, 2013).
Banyak teori yang dikembangkan dari dulu hingga kini untuk
mengungkapkan patogenesis dari preeklamsia, namun dalam dekade terakhir ini
perhatian terfokus pada aktivasi atau disfungsi sel endotel. Tetapi penyebab dari
perubahan endotel ini belum juga diketahui dengan pasti (Prawirohardjo, 2009).
Saat ini ada empat hipotesis yang sedang diteliti untuk mengungkapkan etiologi
dari preeklamsia, yaitu: iskemia plasenta, Very Low Density Lipoprotein versus
aktivitas pertahanan toksisitas, maladaptasi imun dan penyakit genetik
(Cunningham, 2013). Sindrom HELLP ini merupakan manifestasi akhir dari hasil
kerusakan endotel mikrovaskular dan aktivasi dari trombosit intravaskular
(Lockwood, 2000).
Sindrom ini menyebabkan terjadinya kerusakan endotelial mikrovaskuler dan
aktivasi platelet intravaskuler. Aktivasi platelet akan menyebabkan pelepasan
tromboksan A dan serotonin, dan menyebabkan terjadinya vasospasme, aglutinasi,
agregasi platelet, serta kerusakan endotelial lebih lanjut. Kaskade ini hanya bisa
dihentikan dengan terminasi kehamilan (Lockwood, 2000).
Kelainan hematologis timbul pada beberapa perempuan dengan preeklamsia.
Salah satu kelainan yang lazim dijumpai adalah trombositopenia, yang sesekali
dapat sangat hebat, sehingga mengancam nyawa. Selain itu, kadar beberapa faktor
pembekuan darah dalam plasma dapat berkurang, dan eritrosit dapat
memperlihatkan bentuk abnormal serta mengalami hemolisis cepat (Cunningham,
2013).
Trombositopenia. Trombositopenia yang menyertai eklamsia telah
digambarkan paling tidak sejak tahun 1922 oleh Stancke. Karena lazim terjadi,
hitung trombosit secara rutin diperiksa pada perempuan dangan hipertensi
gestasional jenis apapun. Frekuensi dan keparahan trombositopenia bervariasi dan
bergantung pada keparahan dan durasi sindrom preeklamsia, serta pada frekuensi
dilakukannya pemeriksaan hitung trombosit, semakin tinggi angka kesakitan dan
kematian ibu dan janin. Pada sebagian besar kasus, disarankan untuk dilakukan
terminasi kehamilan karena trombositopenia yang terus memburuk. Setelah
persalinan, hitung trombosit dapat terus menurun pada hari pertama atau beberapa
hari pertama. Setelah itu, hitung trombosit biasanya meningkat secara progresif
hingga mencapai nilai normal, umumnya dalam 3-5 hari. Pada sindrom HELLP,
hitung trombosit terus berkurang seteah persalinan. Pada beberapa perempuan yang
tidak mencapai hitung trombosit terendah dalam 48 hingga 72 jam pascapelahiran,
sindrom preeklamsia dapat salah diduga sebagai salah satu mikroangiopati
trombotik (Cunningham, 2013).
Hemolisis. Preeklamsia berat sering disertai oleh tanda-tanda hemolisis
yang diukur secara semikuantitatif menggunakan kadar laktat dehidrogenase dalam
serum. Sel-sel darah merah yang mengalami hemolisis akan keluar dari pembuluh
darah yang telah rusak, membentuk timbunan fibrin. Adanya timbunan fibrin di
sinusoid akan mengakibatkan hambatan aliran darah hepar, akibatnya enzim hepar
akan meningkat. Proses ini terutama terjadi di hati, dan dapat menyebabkan
terjadinya iskemia yang mengarah kepada nekrosis periportal dan akhirnya
mempengaruhi organ lainnya. Bukti lain hemolisis tampak dari gambaran
sferositosis, skizositosis, dan retikulosis dalam darah tepi. Gangguan ini disebabkan
salah satunya oleh hemolisis mikroangiopati akiat kerusakan endotel disertai
perlekatan trombosit dsn penimbunan fibrin. Peningkatan fluiditas membran
eritrosit pada sindrom HELLP disebabkan oleh gangguan pada kadar lipid serum.
Perubahan membran eritrosit, peningkatan daya lekat, dan agregasi dapat juga
mempermudah terjadinya kondisi hiperkoagulabilitas. Terjadi peningkatan
transaminase hepar dalam serum lazim ditemukan pada preeklamia berat dan
merupakan penanda nekrosis hepatoseluler (Cunningham, 2013).
Koagulasi. Perubahan ringan yang sesuai dengan koagulasi intravaskular dan
yang lebih jarang, apoptosis eritrosit lain lazim ditemukan pada preeklamsia dan
khususnya eklamsia. Beberapa perubahan ini termasuk peningkatan konsumsi
faktor VIII, peningkatan kadar fibrinopeptida A dan B serta produk degradasi fibrin,
serta penurunan kadar protein pengatur antitrombin III, serta protein C dan S.
Penyimpangan pada sistem koagulasi umumnya ringan kecuali bila disertai solusio
plasenta, kadar fibrinogen plasma biasanya tidak berbeda bermakna dengan kadar
yang ditemukan pada kehamilan normal, dan produk degradasi fibrin hanya sesekali
ditemukan meningkat. Pemeriksaan laboratorium termasuk prothrombin time,
activated pertial thromboplastin time, dan kadar fibrinogen plasma, tidak
diperlukan pada tatalaksana penyakit hipertensi dalam kehamilan. Faktor-faktor
pembekuan lain seperti, trombofilia adalah defisiensi faktor pembekuan yang
menyebabkan kondisi hiperkoagulabilitas (Cunningham, 2013).
2.4.Klasifikasi
Menurut Van Dam (1989), ada dua klasifikasi yang dipergunakan pada sindrom
HELLP, yaitu:
1. Berdasarkan jumlah keabnormalan yang didapati.
Pembagian sindrom HELLP berdasarkan jumlah keabnormalan parameter yang
di dapati yaitu :
Sindrom HELLP Murni bila didapati ketiga parameter di bawah ini, yaitu :
hemolisis, peningkatan enzim hepar dan penurunan jumlah trombosit
dengan karakteristik: gambaran darah tepi dijumpainya burr cell,
schistocyte atau spherocytes ; LDH > 600 IU/L ; SGOT> 70 IU/L ; bilirubin
> 1,2 ml/dL dan jumlah trombosit < 100.000/ mm3 .
Sindrom HELLP Parsial yaitu bila dijumpainya satu atau lebih tetapi tidak
ketiga parameter sindrom HELLP. Lebih jauh lagi sindrom HELLP Parsial
dapat dibagi beberapa sub grup lagi yaitu Hemolysis (H), Low Trombosit
counts (LP), Hemolysis + low trombosit counts (H+LP), hemolysis +
elevated liver enzymes (H+EL).
2. Berdasarkan jumlah dari trombosit.
Martin (1991) mengelompokkan penderita sindrom HELLP dalam 3 kelas yaitu:
kelas I jumlah trombosit £ 50.000/mm3,
kelas II jumlah trombosit > 50.000 - £ 100.000/mm3
kelas III jumlah trombosit > 100.000 - £ 150.000/mm3
2.5.Manifestasi Klinis
Pasien sindrom HELLP dapat mempunyai gejala dan tanda yang
sangat bervariasi, dari yang bernilai daignostik sampai semua gejala dan tanda
pada pasien preeklampsi-eklampsi yang tidak menderita sindrom HELLP.
Gejala yang paling sering dijumpai adalah nyeri pada daerah epigastrium atau
kuadran kanan atas (90%), nyeri kepala, malaise sampai beberapa hari sebelum
dibawa ke rumah sakit (90%), serta mual dan muntah (45 – 86%). Mual dan atau
muntah dan nyeri epigastrium diperkirakan akibat obstruksi aliran darah di sinusoid
hati, yang dihambat oleh deposit fibrin intravaskuler. Pasien sindrom HELLP
biasanya menunjukkan peningkatan berat badan yang bermakna dengan edema
menyeluruh. Hal yang penting adalah bahwa hipertensi berat (sistolik 160 mmHg,
diastolik 110 mmHg) tidak selalu ditemukan. Penambahan berat badan dan edema
(60%), hipertensi dapat tidak dijumpai sekitar 20% kasus, terdapat hipertensi ringan
(30%) dan hipertensi berat (50%) (Rambulangi, 2006).
Hubungan antara kenaikan tekanan darah dengan jumlah trombosit. Dimana
ditemukan tekanan darah sistolik berbeda secara bermakna pada ketiga kelompok
pasien. Pasien dengan Kelas I (jumlah trombosit £ 50.000/mm3) ternyata lebih
sering dengan tekanan darah £ 150 mmHg dibanding dengan pasien kelas II (jumlah
trombosit > 50.000 - £100.000/mm3 ) dan kelas III (jumlah trombosit > 100.000 -
£ 150.000/mm3), walaupun rerata puncak tekanan sistolik postpartum tidak berbeda
secara bermakna. Hipertensi berat ternyata tidak dijumpai pada semua penderita
dengan sindrom ini. Pada beberapa kasus dijumpai hepatomegali, kejang-kejang,
jaundice, perdarahan gastrointestinal dan perdarahan gusi. Sangat jarang dijumpai
hipoglikemia, koma, hiponatremia, gangguan mental, buta kortikal dan diabetes
insipidus yang nefrogenik. Edema pulmonum dan gagal ginjal akut biasanya
dijumpai pada kasus sindrom HELLP yang timbulnya postpartum atau antepartum
yang ditangani secara konservatif (Van Dam, 1989).
2.6.Pemeriksaan Penunjang
Proses yang dinamis dari sindrom ini, sangat mempengaruhi gambaran
parameter dari laboratorium. Gambaran parameter ini tidak konstan dipengaruhi
oleh pola penyakit yang menunjukkan perbaikan atau kemunduran. Pemeriksaan
laboratorium pada sindrom HELLP sangat diperlukan, karena diagnosa ditegakkan
berdasarkan hasil laboratorium. Walaupun sampai saat ini belum ada batasan yang
tegas mengenai nilai untuk masing-masing parameter. Hal ini terlihat dari
banyaknya penelitian terhadap sindrom HELLP yang bertujuan untuk membuat
suatu keputusan nilai batas dari masing-masing parameter (Rambulangi, 2006)
2.7.Penatalaksanaan
Pasien sindrom HELLP harus dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan tersier
dan pada penanganan awal harus diterapi sama seperti pasien preeklamsia. Prioritas
pertama adalah menilai dan menstabilkan kondisi ibu, khususnya kelainan
pembekuan darah (Rambulangi, 2006)
Sampai saat ini penanganan sindrom HELLP masih kontroversi. Beberapa
penelitian menganjurkan terminasi kehamilan dengan segera tanpa
memperhitungkan usia kehamilan, mengingat besarnya resiko maternal serta
buruknya komplikasi perinatal apabila kehamilan diteruskan. Beberapa peneliti lain
menganjurkan pendekatan yang konservatif untuk mematangkan paru janin dan
atau memperbaiki gejala klinis ibu. Namun semua peneliti sepakat bahwa terminasi
kehamilan merupakan satu satunya terapi definitif pada penelitian terhadap 128
pasien Preeklamsia dengan sindrom HELLP melaporkan bahwa dengan menunda
terminasi kehamilan pada sindrom HELLP lebih aman dan berguna untuk ibu dan
janin. Pendekatan konservatif dengan mematangkan paru janin dan atau
memperbaiki gejala klinis ibu dengan pemberian kortikosteroid (Bailis A, 2007).
2.8.Komplikasi
Angka kematian ibu dengan sindrom HELLP mencapai 1,1%. 1-25%
berkomplikasi serius seperti DIC, solusio plasenta, acute respiratory distress
syndrome, kegagalan hepatorenal, edema paru, heatom subkapsular, dan ruptur hati.
Angka kematian bayi berkisar 10-60%, disebabkan oleh solusio plasenta, hipoksia
intrauterin, dan prematur. Pengaruh sindrom HELLP pada janin berupa
pertumbuhan janin terhambat (IUGR) sebanyak 30% dan sindrom gangguan
pernapasan (RDS) (Rambulangi, 2006)
2.9.Prognosis
Penderita sindrom HELLP mempunyai kemungkinan 19 – 27 % untuk
mendapat risiko sindrom ini pada kehamilan berikutnya. Dan mempunyai resiko
sampai 43% untuk mendapat preeklamsia pada kehamilan berikutnya. Sindrom
HELLP kelas I merupakan resiko terbesar untuk berulangnya sindrom ini pada
kehamilan selanjutnya. Penderita dengan normotensif sebelum menderita sindrom
HELLP mempunyai kemungkinan 19% untuk terjadinya preeklamsia, 27% terjadi
kelainan hipertensi lainnya dan 3% terjadi sindrom HELLP pada kehamilan
berikutnya. Tetapi bila penderita sindrom HELLP dengan riwayat kronik hipertensi
sebelumnya, maka 75% akan terjadi preeklamsia dan 5% kemungkinan terjadi
sindrom HELLP pada kehamilan berikutnya. Angka kematian ibu pada sindrom
HELLP 1,1 %. Dengan komplikasi seperti DIC (21%), solusio plasenta (16%),
gagal ginjal akut ( 7,7%), edema pulmonum (6%), hematom hepar subkapsular
(0,9%) dan ablasi retina (0,9%). Isler dkk (1999) melaporkan penyebab kematian
ibu pada sindrom HELLP adalah perdarahan intrakranial atau stroke ( 45%), gagal
jantung paru (40%), DIC (39%), sindrom gagal nafas (28%), gagal ginjal (28%),
perdarahan hepar atau ruptur (20%) dan ensefalopati hipoksia (16%). 60% dari
kematian ibu dengan sindrom HELLP kelas I. Angka morbiditas dan mortalitas
pada bayi berkisar 10 – 60% tergantung dari keparahan penyakit ibu. Bayi yang
ibunya menderita sindrom HELLP akan mengalami pertumbuhan janin terhambat
(PJT) dan sindrom kegagalan pernafasan. Angka kematian bayi 5,5 %, dari 269 bayi
dengan ibu sindrom HELLP. Hampir 90% penyebab kematian karena sindrom
gagal nafas. Morbiditas dan mortalitas bayi tergantung dari usia kehamilan daripada
ada atau tidaknya sindrom HELLP (Bailis A, 2007).
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN Ny. L DENGAN DIAGNOSA
HELLP SYNDROME DI RUANG HCU
RSUD AL IHSAN BANDUNG
1. PENGKAJIAN
1. Pengumpulan data identitas diri
a. Identitas Pasien
Nama : Ny. L
Umur : 28 Th
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Pendidikan : SMA
1. Anamnesis
a. Keluhan utama
Klien tampak sesak
b. Riwayat penyakit sekarang
1) Kronologis pasien masuk rumah sakit
Menurut suami klien, klien di bawa ke Rumah Sakit karena sesak dan juga
menggigil sebelum masuk RS.
2) Kronologis penanganan saat di UGD/ ruangan sebelum masuk ICU
Klien masuk IGD Obgyn pada tanggal 07 – 03 – 2018 Pukul 23.40 merasa
hamil 9 bulan dengan keluhan sesak nafas, nyeri kepala, menggigil, berkeringat,
merasa mules dan keluaran cairan dari jalan lahir, mempunyai riwayat hipertensi
kehamilan dan asma. Kemudian, klien dilakukan pemeriksaan dengan hasil :
tingkat kesadaran CM, hasil TTV : TD: 200/120 N: 92x/menit RR: 28x/menit S:
36 C SaO2: 90%, dan dilakukan pemeriksaan pada janin dengan gerakan dirasa
aktif, Djj 148x/ menit, TFU 30 cm, Leopold II punggung kiri. Klien mendapat
terapi oksigen 3 liter/menit, terapi cairan RL dengan MGSO4 15cc untuk
20gtt/menit, terapi Dopamet 3x500mg, Nefedipin 3x10mg, dilakukan
pemeriksaan labolatorium dan pemeriksaan urine. hasil lab: Hb: 14,6 Ht: 40,8
Trombosit: 126000 Leukosit: 9500, SGOT 659 SGPT 446, Ureum 19, Kreatinin
0,85, Albumin Urine +. Pada tanggal 08 – 03 – 2018 Pukul 00.45 klien
dipindahkan ke ruang HCU.
e. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum :
Kesadaran : Delirium E4 M5 V4 dengan kontak mata (-)
TTV : TD: 140/77 mmHg,
N: 97 x/menit,
RR 40 x/menit,
S: 37,3 C,
SaO2 95%
BB : 80 kg TB: 165 cm BMI: 20,7 status gizi: baik
Status fungsional : ketergantungan penuh, skor: 0 (Barthel index)
Resiko jatuh : ya, skor:
1) Pernafasan :
Klien tampak sesak, takipneu (+), tidak ada PCH, terdapat penggunaan bantuan
otot nafas tambahan, suara nafas vesikuler, retraksi dada simetris, rentang
frekuensi nafas 23-40 x/menit, klien terpasang NRM dengan oksigen 10 Liter.
2) Persarafan
Kesadaran klien Delirium dengan kontak mata (-), diameter pupil simetris (+2/+2),
refleks cahaya (+), tidak ada kejang, tidak ada kaku kuduk.
3) Kardiovaskuler
Konjungtiva anemis, bunyi jantung reguler S1 dan S2, kulit tampak pucat, CRT <2
detik, akral hangat, gambaran EKG sinus takikardi, rentang heart rate 87-
101x/menit, rentang TD 140/77-155/79, nadi teraba kuat, antara kiri dan kanan
sama.
4) Pencernaan
Bentuk abdomen cembung, tidak ada asites, bising usus terdengar lemah, terdapat
distensi abdomen.
5) Perkemihan
Pola berkemih melalui kateter urine hari ketiga, warna urin kuning pekat dengan
jumlah urin 1.415+cc/24 jam dengan hasil intake 3075cc/ 24 jam dan output
1642cc/ 24 jam, klien menggunakan terapi diuretik dengan Lasix 10 mg/jam,
terdapat edema pada ekstremitas atas dan bawah dengan piting edema +2.
6) Muskuloskeletal
7) Integumen
Warna kulit kuning langsat, tidak ada hiperpigmentasi, tidak terdapat luka
dekubitus.
f. Hasil Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 07/03/2018
No. Jenis Hasil Nilai Satuan
Pemeriksaan rujukan
Darah Rutin
1. Hb 14.8 12,0-16,0 sel/uL
2. Leukosit 9500 3.800-10.600 g/dL
3. Eritrosit 4.60 3,6-5,8 juta/uL
4. Hematokrit 40.8 35-47 %
5. Trombosit 126000 150.000- sel/uL
440.000
6. Golongan Darah O
1. Analisa Data
No Data Etiologi Masalah
DS : - Terlampir Ketidakefektifan
1. DO : pola nafas
- Klien tampak
sesak, takipneu
(+),
- terdapat
penggunaan
bantuan otot nafas
tambahan,
- suara nafas
vesikuler, rentang
frekuensi nafas
23-40 x/menit
- klien terpasang
NRM dengan
oksigen 10 Liter
2. DS : - Terlampir Resiko
DO : ketidakseimbangan
- klien tampak elektrolit
lemas
- kesadaran klien
Delirium, GCS E4
M5 V4
- terdapat edema
pada ekstremitas
atas dan bawah
dengan piting
edema +2
- Hasil lab:
Hb 10,3 g/dL
Leukosit 23.200 sel/uL
Eritrosit 3.47 juta/uL
Hematokrit 29,7 %
Trombosit97.000 sel/uL
Natrium 132 mmol/L
Kalium 5.6 mmol/L
Kalsium 1.14 mmol/L
Ureum 117 mg/dL
Kreatinin 6.89 mg/dL
- warna urin
kuning pekat
dengan jumlah
urin 1.415+cc/24
jam
3. DS : - Terlampir Ketidakseimbangan
DO : nutrisi: kurang dari
- asupan nutrisi kebutuhan tubuh
klien menurun
- klien terpasang
NGT dengan
produksi cairan
cokelat kehitaman
- bising usus
terdengar lemah
- Hb 10,3 sel/uL
4. DS : - Terlampir Resiko sindrom
DO : disuse
- klien tampak
lemah
- klien hanya
berbaring di
tempat tidur
- klien terpasang,
infus, dan alat bed
site monitor
- status fungsional :
ketergantungan
penuh (skor:0)
A. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hipervetilasi
2. Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan
3. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
faktor biologis
4. Risiko sindrom disuse berhubungan dengan imobilisasi fisik.
B. PERENCANAAN
No Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
1. Ketidakefektifan pola Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi TTV 1. Mengetahui keadaan
nafas berhubungan keperawatan selama 3 X 24 2. Monitor respirasi dan status umum klien
dengan jam diharapkan pola nafas O2 2. Untuk mengetahui
klien normal dengan kriteria 3. Kaji frekuensi kedalaman respirasired dan
hasil: pernafasan dan ekspansi kebutuhan O2
Respiratorystatus: dada 3. Kecepatan biasanya
Ventilation(0703) 4. Auskultasi bunyi dada, mencapai kedalaman
- Respirasi dalam batas untuk karakter bunyi nafas pernafasan bervariasi
normal (16-24 x/menit) 5. Kolaborasi dalam tergantung derajat gagal
- Mudah bernafas pemberian oksigen nafas.
- Tidak ada dipsneu maupun 4. Untuk mengetahui
takipneu adanya suara nafas
- TTV normal (TD: 120/80 tambahan
mmHg, N: 60-100 x/menit, S 5. Memaksimalkan bernafas
36,5-37,5, R 16-24x/ menit) dan menurunkan kerja
nafas.
2. Setelah diberikan asuhan 1. Monitoring tanda-tanda 1. Mengetahui keadaan
keperawatan selama 3 x 24 vital umum pasien
jam diharapkan cairan dan Fluid Management 2. Mengetahui intervensi
elektrolit klien seimbang 2. Monitor status hidrasi rehidrasi optimal
dengan ktrieria hasil: (keakuratan intake dan 3. Mengetahui penyebab
- Tanda-tanda vital output) untuk menentukan
dalam batas normal Electrolyte Monitoring intervensi penyesuaian
(TD: 120/80 mmHg, 3. Identifikasi kemungkinan
N: 60-100 x/menit, S penyebab
36,5-37,5, R 16-24x/ ketidakseimbangan
menit) elektrolit
- Intake dan output 4. Monitor adanya mual,
seimbang muntah
- Tidak ada edema
- Elektrolit dalam batas
normal
- Melakukan observasi
Respon :
11.00 Kesadaran: Delirium, pupil
(+2/+2), EKG: ST, TD: 115/74
N: 109x/menit, RR: 35x/menit, S:
37,8 C SaO2: 94%. Intake : 715,6
output: 188 balance: +521,4
12.00 - Melakukan observasi
Respon :
Kesadaran: Delirium, pupil
(+2/+2), EKG: ST, TD: 142/98
N: 101x/menit, RR: 30x/menit, S:
37,4 C SaO2: 94%.
- Melakukan observasi
13.00 Respon :
Kesadaran: Delirium, kontak
mata (-) pupil (+2/+2), EKG: ST,
TD: 134/100 N: 108x/menit, RR:
30x/menit, S: 37,4 C SaO2: 96%.
Intake : 719,5 output: 235
balance: +484,5
13.00 - Melakukan observasi
Respon :
Kesadaran: Delirium, kontak
mata (-) pupil (+2/+2), EKG: ST,
TD: 127/75 N: 119x/menit, RR:
29x/menit, S: 38,5 C SaO2: 95%.
Intake : 1681 output: 994,2
balance: +686,8
- Memberikan terapi
Ceftriaxone 2g
- Kalnex
- Pantoprazole
14.00 - Melakukan observasi
Respon :
Kesadaran: Delirium kontak mata
(-), pupil (+2/+2), EKG: ST, TD:
127/66 N: 109x/menit, RR:
31x/menit, S: 38,4 C SaO2: 95%.
Intake : 1733 output: 1061
balance: +671,9
2. 14 – 03 – - Memposisikan klien S : -
2018 senyaman mungkin O:
07.00 Respon : Posisi tidur klien semi fowler, bedplang dan restrain terpasang
Posisi semi fowler - Kesadaran: Delirium kontak mata (-), pupil (+2/+2), EKG: ST, TD:
- Pastikan keamanan pasien 133/68 N: 111x/menit, RR: 37x/menit, S: 38,1 C SaO2: 95%.
Respon : Intake : 1410 output: 961 balance: +249, terpasang NGT produksi
Restrain terpasang pada kedua cairan cokelat kehitaman, klien dipuasakan
ekstermitas atas dan bawah, Hasil lab :
bedplang terpasang dengan baik. Hb 7,7 12,0-16,0
- Mengobservasi produksi Leukosit 23.300 3.800-10.600
cairan NGT Eritrosit 2,51 3,6-5,8
Respon: Hematokrit 21,2 35-47
Produksi cairan NGT cokelat Trombosit 202.000 150.000-440.000
kehitaman
- Melakukan observasi A:
Respon : 1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hipervetilasi
Kesadaran: Delirium, kontak 2. Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan
mata (-), pupil (+2/+2), EKG: ST, 3. Resiko infeksi berhubungan dengan
TD: 126/75 N: 110x/menit, RR: 4. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
36x/menit, S: 37,4 C SaO2: berhubungan dengan faktor biologis
100%. 5. Risiko sindrom disuse berhubungan dengan imobilisasi fisik.
Intake : 3,9 output: 47 balance: -
43,1 P:
- Mendengarkan suara nafas - Managemen cairan
klien - managemen nutrisi
Respon : - perawatan tirah baring
Suara nafas vesikuler - manajemen elektrolit
09.00 - Melakukan observasi
Respon :
Kesadaran: Delir kontak mata (-),
pupil (+2/+2), EKG: ST, TD:
121/77 N: 115x/menit, RR:
33x/menit, S: 38,1C SaO2: 94%.
Intake : 107,8 output: 94
balance: +13,8
- Memberikan terapi sanmol
drop
Respon :
Terapi Sanmol diberikan lancar
10.00 - Melakukan observasi
Respon :
Kesadaran: Delirium kontak mata
(-) pupil (+2/+2), EKG: ST, TD:
132/63 N: 106x/menit, RR:
40x/menit, S: 37,8 C SaO2: 94%.
Intake : 111,7 output: 141
balance: -29,3
- Melakukan Lapase
Respon :
Lapase dilakukan dengan cairan
200cc
- Mengganti linen pasien
3. 15 – 03 – - Memposisikan klien S : -
2018 senyaman mungkin O:
07.00 Respon : Posisi tidur klien semi fowler, bedplang dan restrain terpasang
Posisi semi fowler Kesadaran: Delirium kontak mata (-), pupil (+2/+2), EKG: ST, TD:
- Pastikan keamanan pasien 133/68 N: 111x/menit, RR: 37x/menit, S: 38,1 C SaO2: 95%.
Respon : Intake : 994 output: 1681 balance: +686,
Restrain terpasang pada kedua A :
ekstermitas atas dan bawah, 1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hipervetilasi
bedplang terpasang dengan baik. 2. Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan
- Mengobservasi produksi 3. Resiko infeksi berhubungan dengan
cairan NGT 4. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
Respon: berhubungan dengan faktor biologis
Produksi cairan NGT cokelat 5. Risiko sindrom disuse berhubungan dengan imobilisasi fisik.
kehitaman
- Melakukan observasi P:
Respon : - Managemen cairan
Kesadaran: Delirium, kontak - managemen nutrisi
mata (-), pupil (+2/+2), EKG: ST, - perawatan tirah baring
TD: 126/75 N: 100x/menit, RR: - manajemen elektrolit
33x/menit, S: 37,6 C SaO2:
100%.
Intake : 3,9 output: 47 balance: -
43,1
- Mendengarkan suara nafas
klien
Respon :
Suara nafas vesikuler
09.00 - Melakukan observasi
Respon :
Kesadaran: Delir kontak mata (-),
pupil (+2/+2), EKG: ST, TD:
121/77 N: 115x/menit, RR:
33x/menit, S: 38,1C SaO2: 94%.
Intake : 107,8 output: 94
balance: +13,8
- Memberikan terapi sanmol
drop
Respon :
Terapi Sanmol diberikan lancar
10.00 - Melakukan observasi
Respon :
Kesadaran: Delirium kontak mata
(-) pupil (+2/+2), EKG: ST, TD:
132/63 N: 106x/menit, RR:
40x/menit, S: 37,8 C SaO2: 94%.
Intake : 111,7 output: 141
balance: -29,3
- Melakukan Lapase
Respon :
Lapase dilakukan dengan cairan
200cc
- Mengganti linen pasien
4. 16 – 03 – - Memposisikan klien S : -
2018 senyaman mungkin O:
07.00 Respon : Posisi tidur klien semi fowler, bedplang dan restrain terpasang
Posisi semi fowler Kesadaran: CM kontak mata (+), pupil (+2/+2), EKG: ST, TD: 133/68
- Pastikan keamanan pasien N: 91x/menit, RR: 27x/menit, S: 38,1 C SaO2: 95%.
Respon : Intake : 994 output: 1681 balance: +686,8
A:
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hipervetilasi
Restrain terpasang pada kedua 2. Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan
ekstermitas atas dan bawah, 3. Resiko infeksi berhubungan dengan
bedplang terpasang dengan baik. 4. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
- Mengobservasi produksi berhubungan dengan faktor biologis
cairan NGT 5. Risiko sindrom disuse berhubungan dengan imobilisasi fisik.
Respon:
Produksi cairan NGT cokelat P :
kehitaman - Managemen cairan
- Melakukan observasi - managemen nutrisi
Respon : - perawatan tirah baring
Kesadaran: Delirium, kontak - manajemen elektrolit
mata (-), pupil (+2/+2), EKG: ST,
TD: 126/75 N: 103x/menit, RR:
24x/menit, S: 37,6 C SaO2:
100%.
Intake : 3,9 output: 47 balance: -
43,1
- Mendengarkan suara nafas
klien
Respon :
09.00 Suara nafas vesikuler
- Melakukan observasi
Respon :
Kesadaran: Delir kontak mata (-),
pupil (+2/+2), EKG: ST, TD:
124/67 N: 100x/menit, RR:
26x/menit, S: 38,1C SaO2: 94%.
Intake : 107,8 output: 94
balance: +13,8
- Memberikan terapi sanmol
drop
Respon :
Terapi Sanmol diberikan lancar
10.00 - Melakukan observasi
Respon :
Kesadaran: CM kontak mata (+)
pupil (+2/+2), EKG: SR, TD:
132/63 N: 96x/menit, RR:
23x/menit, S: 37,8 C SaO2: 94%.
Intake : 111,7 output: 141
balance: -29,3
- Melakukan Lapase
Respon :
Lapase dilakukan dengan cairan
200cc
- Mengganti linen pasien
5. 19 – 03 – - Memposisikan klien S : -
2018 senyaman mungkin O:
14.00 Respon : Posisi tidur klien semi fowler, bedplang dan restrain terpasang
Posisi semi fowler Kesadaran: Delirium kontak mata (-), pupil (+2/+2), EKG: ST, TD:
- Pastikan keamanan pasien 133/68 N: 111x/menit, RR: 37x/menit, S: 38,1 C SaO2: 95%.
Respon : A:
Restrain terpasang pada kedua 1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hipervetilasi
ekstermitas atas dan bawah, 2. Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan
bedplang terpasang dengan baik. 3. Resiko infeksi berhubungan dengan
- Mengobservasi produksi 4. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
cairan NGT berhubungan dengan faktor biologis
Respon: 5. Risiko sindrom disuse berhubungan dengan imobilisasi fisik.
Produksi cairan NGT cokelat
kehitaman P:
- Melakukan observasi - Managemen cairan
Respon : - managemen nutrisi
Kesadaran: Delirium, kontak - perawatan tirah baring
mata (-), pupil (+2/+2), EKG: ST, - manajemen elektrolit
TD: 126/75 N: 100x/menit, RR:
33x/menit, S: 37,6 C SaO2:
100%.
Intake : 944,1 output: 783
balance: +161,1
- Mendengarkan suara nafas
klien
Respon :
Suara nafas vesikuler
- Melakukan observasi
15.00 Respon :
Kesadaran: Delir kontak mata (-),
pupil (+2/+2), EKG: ST, TD:
121/77 N: 115x/menit, RR:
33x/menit, S: 38,1C SaO2: 94%.
Intake : 1009,7 output: 819
balance: +190,7
- Memberikan terapi sanmol
drop
Respon :
Terapi Sanmol diberikan lancar
16.00 - Melakukan observasi
Respon :
Kesadaran: Delirium kontak mata
(-) pupil (+2/+2), EKG: ST, TD:
132/63 N: 106x/menit, RR:
40x/menit, S: 37,8 C SaO2: 94%.
Intake : 1075,3 output: 855
balance: +220,3
- Melakukan Lapase
Respon :
Lapase dilakukan dengan cairan
200cc
- Mengganti linen pasien
6. 20 – 03 – - Memposisikan klien S : -
2018 senyaman mungkin O:
07.00 Respon : Posisi tidur klien semi fowler, bedplang dan restrain terpasang
Posisi semi fowler Kesadaran: Delirium kontak mata (-), pupil (+2/+2), EKG: ST, TD:
- Pastikan keamanan pasien 133/68 N: 111x/menit, RR: 37x/menit, S: 38,1 C SaO2: 95%.
Respon : Intake : 1681 output: 994 balance: -686,8
Restrain terpasang pada kedua A :
ekstermitas atas dan bawah, 1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hipervetilasi
bedplang terpasang dengan baik. 2. Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan
- Mengobservasi produksi 3. Resiko infeksi berhubungan dengan
cairan NGT 4. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
Respon: berhubungan dengan faktor biologis
Cairan berwarna hijau jernih 5. Risiko sindrom disuse berhubungan dengan imobilisasi fisik.
- Melakukan observasi
Respon : P:
Kesadaran: Delirium, kontak - Managemen cairan
mata (-), pupil (+2/+2), EKG: ST, - managemen nutrisi
TD: 126/75 N: 100x/menit, RR: - perawatan tirah baring
33x/menit, S: 37,6 C SaO2: - manajemen elektrolit
100%.
Intake : 3,9 output: 47 balance: -
43,1
- Mendengarkan suara nafas
klien
Respon :
Suara nafas vesikuler
- Melakukan observasi
Respon :
09.00 Kesadaran: Delir kontak mata (-),
pupil (+2/+2), EKG: ST, TD:
121/77 N: 115x/menit, RR:
33x/menit, S: 38,1C SaO2: 94%.
Intake : 107,8 output: 94
balance: +13,8
- Memberikan terapi sanmol
drop
Respon :
Terapi Sanmol diberikan lancar
- Melakukan observasi
Respon :
10.00 Kesadaran: Delirium kontak mata
(-) pupil (+2/+2), EKG: ST, TD:
132/63 N: 106x/menit, RR:
40x/menit, S: 37,8 C SaO2: 94%.
Intake : 111,7 output: 141
balance: -29,3
- Melakukan Lapase
Respon :
Lapase dilakukan dengan cairan
200cc
- Mengganti linen pasien
- Melakukan observasi
Respon :
11.00 Kesadaran: Delirium, pupil
(+2/+2), EKG: ST, TD: 125/73
N: 109x/menit, RR: 35x/menit, S:
37,8 C SaO2: 94%. Intake : 723,4
output: 282 balance: +441,4
- Melakukan observasi
Respon :
12.00 Kesadaran: Delirium, pupil
(+2/+2), EKG: ST, TD: 142/98
N: 101x/menit, RR: 37x/menit, S:
37,4 C SaO2: 94%.
- Melakukan observasi
Respon :
13.00 Kesadaran: Delirium, kontak
mata (-) pupil (+2/+2), EKG: ST,
TD: 127/75 N: 119x/menit, RR:
29x/menit, S: 38,5 C SaO2: 95%.
Intake : 927,3 output: 1629
balance: -701,7
- Memberikan terapi
Ceftriaxone 2g
- Kalnex
- Pantoprazole
- Melakukan observasi
Respon :
14.00 Kesadaran: Delirium kontak mata
(-), pupil (+2/+2), EKG: ST, TD:
133/68 N: 111x/menit, RR:
37x/menit, S: 38,1 C SaO2: 95%.
Intake : 1681 output: 994
balance: -686,8
BAB IV
ANALISIS KASUS
Pasien wanita 28 tahun, hamil 9 bulan dengan hipertensi selama kehamilan. Pasien
menderita hpertensi selama kehamilan dimulai dari kehamilan anak kedua. Keluhan nyeri pada
ulu hati disangkal, keluhan mata kabur disangkal, keluhan mual-muntah disangkal, dan keluhan
nyeri kepala disangkal. Pasien juga mengeluh sesak, nyeri kepala, dan menggigil berkeringat
dingin.
Dari penjelasan sebelumnya, HELLP sindrom terbagi menjadi HELLP sindrom murni
dan HELLP sindrom parsial. HELLP sindrom ditegakkan melalui pemeriksaan laboratorium
dengan peningkatan enzim hati, trombositopenia, dan peningkatan LDH. HELLP sindrom
murni adalah apabila ketiga kategori HELLP sindrom terdapat pada pasien tersebut, sedangkan
HELLP sindrom parsial ditegakkan apabila hanya satu atau dua dari tiga kategori tersebut yang
ada. HELLP sindrom merupakan komplikasi dari preeklamsia. Pada pasien ini, terlihat bahwa
murni HELLP sindrom yang dialami didahului oleh preeklamsia.
Pasien dirawat dan diobservasi untuk mencegah terjadinya perburukan dari preeklamsia
dan HELLP sindrom yang diderita.
66
BAB V
PENUTUP
Sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low Platelets Count)
merupakan suatu variasi dari preeklamsia berat yang disertai trombositopenia, hemolisis dan
gangguan fungsi hepar. Faktor risiko sindrom HELLP berbeda dengan preeklampsi pasien
sindrom HELLP secara bermakna lebih tua (rata-rata umur 25 tahun) dibandingkan pasien
preeklampsi-eklampsi tanpa sindrom HELLP. Gambaran klinis Sindrom HELLP bervariasi.
Oleh sebab itu diperlukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan penunjang untuk
mediagnosis Sindrom HELLP. Pasien-pasien dengan faktor risiko, diharapkan melakukan
pemeriksaan kehamilan (ANC) secara teratur. Diagnosis dini sangat penting mengingat
banyaknya penyakit yang mirip dengan sindrom HELLP. Pengobatan sindrom HELLP juga
harus memperhatikan cara-cara perawatan dan pengobatan pada preeklamsia dan eklamsia.
67
DAFTAR PUSTAKA
68
69