Anda di halaman 1dari 69

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN Ny.

L DENGAN
DIAGNOSA HELLP SYNDROME DI RUANG HCU
RSUD AL IHSAN BANDUNG

Disusun untuk memenuhi tugas Profesi Ners Stase Keperawatan Gawat Darurat

Oleh :
Rike Yanuaris Dayanti (402017048)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ‘AISYIYAH BANDUNG


PROGRAM STUDI PROFESI NERS
2018
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin kami panjatkan kehadirat Allah SWT dan rasa syukur


atas limpahan nikmat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyusun laporan
kasus Asuhan Keperawatan Pada Pasien Ny. L Dengan Diagnosa Hellp
Syndrome Di Ruang Hcu Rsud Al Ihsan Bandung. Banyak pihak yang telah
membantu dalam penyusunan laporan ini, karena itu penulis mengucapkan terima
kasih kepada yang terhormat :
1. Santy Sanusi, S.Kep.,Ners.,M.Kep selaku koordinator stase Keperawatan Gawat
Darurat yang selalu memberikan semangat dan masukan selama proses
penyusunan laporan ini.
2. Muh. Khairudin, S.Kep., Ners dan Gungun Targuna S.Kep., Ners sebagai
Preseptor lapangan yang senantiasa membimbing, memberikan masukan,
arahan, dan motivasi yang tinggi dalam penyusunan laporan ini sehingga penulis
dapat memahami dasar kasus ini.
3. Seluruh perawat ruangan HCU RSUD Al-Ihsan, yang banyak memberi
pengalaman dan pembelajaran selama penulis praktik di tempat tersebut .
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini masih belum sempurna, dari
isi maupun sistematika penulisannya, maka dari itu penulis sangat mengharapkan
adanya kritik dan saran yang positif untuk kesempurnaan laporan kasus ini.
Bandung, Maret 2018
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low Platelets Count)
merupakan suatu variasi dari preeklamsia berat yang disertai trombositopenia,
hemolisis dan gangguan fungsi hepar. Sindrom HELLP juga merupakan suatu
komplikasi obstetri yang mengancam jiwa. Sindrom HELLP dulu dikenal sebagai
edema-proteinuria-hipertensi pada awal abad ke 20 dan kemudian berganti nama
pada tahun 1982 oleh Louis Weinstein (Prawirohardjo, 2009).
Dahulu penyakit ini dianggap sebagai misdiagnosis preekampsia atau sebagai
variasi unik dari suatu preeklamsia. Pada 1982, Weinstein melaporkan 29 kasus
preeklamsia berat, eklampsia dengan komplikasi trombositopenia, kelainan sediaan
apusan darah tepi, dan kelainan tes fungsi hati. Weinstein menyatakan bahwa
kumpulan tanda dan gejala ini benar-benar terpisah dari preeklamsia berat dan
membentuk suatu istilah Sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzymes,
Low Platelet) (Rambulangi, 2006).
Kejadian sindrom HELLP pada saat kehamilan (70%) paling sering
terjadi pada usia kehamilan 27 – 35 minggu (70%) dan 30% terjadi
pasca persalinan. Angka kejadian dilaporkan sebesar 0,2 - 0,6% dari seluruh
kehamilan, dan 10 - 20% terjadi pada pasien dengan komorbid preeklamsia.
Dilaporkan kematian maternal sebesar 24% dan kematian perinatal berkisar 30-
40%. Sindrom HELLP telah terbukti terjadi pada kelompok usia ibu yang lebih tua,
dengan usia rata-rata 25 tahun. Sebaliknya, preeklamsia paling sering terjadi pada
pasien yang lebih muda (usia rata-rata, 19 tahun) (Angsar, 2003).
Penanganan sindrom HELLP masih kontroversial antara perawatan konservatif
atau terminasi kehamilan yang jauh dari aterm. Sindrom HELLP merupakan
komplikasi yang berat dari kehamilan yang akan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas ibu dan perinatal. Sindrom ini juga dihubungkan dengan keadaan
penyakit yang berat atau akan berkembang menjadi lebih berat serta dengan
prognosis maternal dan perinatal yang lebih buruk, walaupun angka kematian
maternal dan perinatal yang dikemukakan masih sangat bervariasi mengingat
perbedaan kriteria diagnostik yang digunakan serta saat diagnosis ditegakkan.
Penggunaan steroid diduga akan memperbaiki keadaan hematologi dan nilai
biokimia pada penderita sindrom HELLP yang akan menurunkan angka morbiditas
dan mortalitas pada penderita sindrom HELLP.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah berdasarkan latar belakang tersebut yaitu “Bagaimana
asuhan keperawatan pada pasien ny. L dengan diagnosa hellp syndrome di ruang
HCU RSUD Al Ihsan bandung ?”

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Melakukan asuhan keperawatan pada pasien Ny. L dengan diagnosa hellp
syndrome di ruang HCU RSUD Al Ihsan Bandung.
2. Tujuan Khusus
a. Melakukan pengakajian pada pasien Ny. L dengan diagnosa hellp syndrome di
ruang HCU RSUD Al Ihsan Bandung.
b. Melakukan analisis perumusan keperawatan pada pasien Ny. L dengan
diagnosa hellp syndrome di ruang HCU RSUD Al Ihsan Bandung.
c. Membuat perencanaan keperawatan pada pasien Ny. L dengan diagnosa hellp
syndrome di ruang HCU RSUD Al Ihsan Bandung.
d. Melakukan implementasi pada pasien Ny. L dengan diagnosa hellp syndrome
di ruang HCU RSUD Al Ihsan Bandung.
e.
Melakukan evaluasi pada pasien Ny. L dengan diagnosa hellp syndrome di
ruang HCU RSUD Al Ihsan Bandung.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Definisi
Definisi dari sindrom HELLP sampai saat ini masih kontroversi. Menurut
Godlin (1982) sindrom HELLP merupakan bentuk awal dari preeklamsia berat.
Weinstein (1982) melaporkan sindrom HELLP merupakan varian yang unik dari
preeklamsia tetapi Mackenna dkk (1983) melaporkan bahwa sindrom ini tidak
berhubungan dengan preeklamsia. Dan dilain pihak banyak penulis melaporkan
bahwa sindrom HELLP merupakan bentuk yang ringan dari Disseminated
Intravascular Coagulation (DIC) yang terlewatkan karena pemeriksaan
laboratorium yang tidak adekuat. Salah satu alasan yang menyebabkan kontroversi
terhadap sindrom ini, karena adanya perbedaan dalam kriteria diagnostik dan
metode yang digunakan pada waktu penelitian. Walaupun hampir semua peneliti
sepakat bahwa sindrom ini merupakan petanda keadaan penyakit yang berat dan
dengan prognosis yang jelek. Secara garis besar, berdasarkan terminologinya,
sindrom HELLP dapat didefinisikan sebagai sindrom dengan gejala hemolisis
(Hemolysis), peningkatan enzim hati (Elevated Liver Enzyme), dan penurunan
jumlah faktor pembekuan darah (Low Platelets Count), (Cunningham, FG, 2013).

2.2.Faktor Resiko
Pasien sindrom HELLP secara bermakna lebih tua (rata-rata umur 25 tahun)
dibandingkan pasien preeklamsia-eklampsia tanpa sindrom HELLP (rata-rata umur
19 tahun). Sindrom ini biasanya muncul pada trimester ke III, walaupun pada umur
kehamilan <27 minggu, pada masa antepartum sekitar 69% pasien dan pada masa
postpartum sekitar 31%. Pada masa post partum, saat terjadinya khas, dalam waktu
48 jam pertama post partum (Jayakusuma , 2005), (Angsar, 2003).

2.3.Patofisiologi
Etiologi dan patogenesis dari sindrom HELLP ini selalu dihubungkan dengan
preeklamsia, walaupun etiologi dan patogenesis dari preeklamsia sampai saat ini
juga belum dapat diketahui dengan pasti. Yang ditemukan pada penyakit
multisistem ini adalah kelainan tonus vaskuler, vasospasme, dan kelainan
koagulasi. Sampai sekarang tidak ditemukan faktor pencetusnya. Sindrom ini
kemungkinan merupakan akhir dari kelainan yang menyebabkan kerusakan endotel
mikrovaskuler dan aktivasi trombosit intravaskuler; akibatnya terjadi vasospasme,
aglutinasi dan agregasi trombosit dan selanjutnya terjadi kerusakan endotel.
Hemolisis yang didefinisikan sebagai anemia hemolitik mikroangiopati merupakan
tanda khas (Cunningham, 2013).
Banyak teori yang dikembangkan dari dulu hingga kini untuk
mengungkapkan patogenesis dari preeklamsia, namun dalam dekade terakhir ini
perhatian terfokus pada aktivasi atau disfungsi sel endotel. Tetapi penyebab dari
perubahan endotel ini belum juga diketahui dengan pasti (Prawirohardjo, 2009).
Saat ini ada empat hipotesis yang sedang diteliti untuk mengungkapkan etiologi
dari preeklamsia, yaitu: iskemia plasenta, Very Low Density Lipoprotein versus
aktivitas pertahanan toksisitas, maladaptasi imun dan penyakit genetik
(Cunningham, 2013). Sindrom HELLP ini merupakan manifestasi akhir dari hasil
kerusakan endotel mikrovaskular dan aktivasi dari trombosit intravaskular
(Lockwood, 2000).
Sindrom ini menyebabkan terjadinya kerusakan endotelial mikrovaskuler dan
aktivasi platelet intravaskuler. Aktivasi platelet akan menyebabkan pelepasan
tromboksan A dan serotonin, dan menyebabkan terjadinya vasospasme, aglutinasi,
agregasi platelet, serta kerusakan endotelial lebih lanjut. Kaskade ini hanya bisa
dihentikan dengan terminasi kehamilan (Lockwood, 2000).
Kelainan hematologis timbul pada beberapa perempuan dengan preeklamsia.
Salah satu kelainan yang lazim dijumpai adalah trombositopenia, yang sesekali
dapat sangat hebat, sehingga mengancam nyawa. Selain itu, kadar beberapa faktor
pembekuan darah dalam plasma dapat berkurang, dan eritrosit dapat
memperlihatkan bentuk abnormal serta mengalami hemolisis cepat (Cunningham,
2013).
Trombositopenia. Trombositopenia yang menyertai eklamsia telah
digambarkan paling tidak sejak tahun 1922 oleh Stancke. Karena lazim terjadi,
hitung trombosit secara rutin diperiksa pada perempuan dangan hipertensi
gestasional jenis apapun. Frekuensi dan keparahan trombositopenia bervariasi dan
bergantung pada keparahan dan durasi sindrom preeklamsia, serta pada frekuensi
dilakukannya pemeriksaan hitung trombosit, semakin tinggi angka kesakitan dan
kematian ibu dan janin. Pada sebagian besar kasus, disarankan untuk dilakukan
terminasi kehamilan karena trombositopenia yang terus memburuk. Setelah
persalinan, hitung trombosit dapat terus menurun pada hari pertama atau beberapa
hari pertama. Setelah itu, hitung trombosit biasanya meningkat secara progresif
hingga mencapai nilai normal, umumnya dalam 3-5 hari. Pada sindrom HELLP,
hitung trombosit terus berkurang seteah persalinan. Pada beberapa perempuan yang
tidak mencapai hitung trombosit terendah dalam 48 hingga 72 jam pascapelahiran,
sindrom preeklamsia dapat salah diduga sebagai salah satu mikroangiopati
trombotik (Cunningham, 2013).
Hemolisis. Preeklamsia berat sering disertai oleh tanda-tanda hemolisis
yang diukur secara semikuantitatif menggunakan kadar laktat dehidrogenase dalam
serum. Sel-sel darah merah yang mengalami hemolisis akan keluar dari pembuluh
darah yang telah rusak, membentuk timbunan fibrin. Adanya timbunan fibrin di
sinusoid akan mengakibatkan hambatan aliran darah hepar, akibatnya enzim hepar
akan meningkat. Proses ini terutama terjadi di hati, dan dapat menyebabkan
terjadinya iskemia yang mengarah kepada nekrosis periportal dan akhirnya
mempengaruhi organ lainnya. Bukti lain hemolisis tampak dari gambaran
sferositosis, skizositosis, dan retikulosis dalam darah tepi. Gangguan ini disebabkan
salah satunya oleh hemolisis mikroangiopati akiat kerusakan endotel disertai
perlekatan trombosit dsn penimbunan fibrin. Peningkatan fluiditas membran
eritrosit pada sindrom HELLP disebabkan oleh gangguan pada kadar lipid serum.
Perubahan membran eritrosit, peningkatan daya lekat, dan agregasi dapat juga
mempermudah terjadinya kondisi hiperkoagulabilitas. Terjadi peningkatan
transaminase hepar dalam serum lazim ditemukan pada preeklamia berat dan
merupakan penanda nekrosis hepatoseluler (Cunningham, 2013).
Koagulasi. Perubahan ringan yang sesuai dengan koagulasi intravaskular dan
yang lebih jarang, apoptosis eritrosit lain lazim ditemukan pada preeklamsia dan
khususnya eklamsia. Beberapa perubahan ini termasuk peningkatan konsumsi
faktor VIII, peningkatan kadar fibrinopeptida A dan B serta produk degradasi fibrin,
serta penurunan kadar protein pengatur antitrombin III, serta protein C dan S.
Penyimpangan pada sistem koagulasi umumnya ringan kecuali bila disertai solusio
plasenta, kadar fibrinogen plasma biasanya tidak berbeda bermakna dengan kadar
yang ditemukan pada kehamilan normal, dan produk degradasi fibrin hanya sesekali
ditemukan meningkat. Pemeriksaan laboratorium termasuk prothrombin time,
activated pertial thromboplastin time, dan kadar fibrinogen plasma, tidak
diperlukan pada tatalaksana penyakit hipertensi dalam kehamilan. Faktor-faktor
pembekuan lain seperti, trombofilia adalah defisiensi faktor pembekuan yang
menyebabkan kondisi hiperkoagulabilitas (Cunningham, 2013).

2.4.Klasifikasi
Menurut Van Dam (1989), ada dua klasifikasi yang dipergunakan pada sindrom
HELLP, yaitu:
1. Berdasarkan jumlah keabnormalan yang didapati.
Pembagian sindrom HELLP berdasarkan jumlah keabnormalan parameter yang
di dapati yaitu :
 Sindrom HELLP Murni bila didapati ketiga parameter di bawah ini, yaitu :
hemolisis, peningkatan enzim hepar dan penurunan jumlah trombosit
dengan karakteristik: gambaran darah tepi dijumpainya burr cell,
schistocyte atau spherocytes ; LDH > 600 IU/L ; SGOT> 70 IU/L ; bilirubin
> 1,2 ml/dL dan jumlah trombosit < 100.000/ mm3 .
 Sindrom HELLP Parsial yaitu bila dijumpainya satu atau lebih tetapi tidak
ketiga parameter sindrom HELLP. Lebih jauh lagi sindrom HELLP Parsial
dapat dibagi beberapa sub grup lagi yaitu Hemolysis (H), Low Trombosit
counts (LP), Hemolysis + low trombosit counts (H+LP), hemolysis +
elevated liver enzymes (H+EL).
2. Berdasarkan jumlah dari trombosit.
Martin (1991) mengelompokkan penderita sindrom HELLP dalam 3 kelas yaitu:
kelas I jumlah trombosit £ 50.000/mm3,
kelas II jumlah trombosit > 50.000 - £ 100.000/mm3
kelas III jumlah trombosit > 100.000 - £ 150.000/mm3

Tabel 1. Klasifikasi Sindrom HELLP

2.5.Manifestasi Klinis
Pasien sindrom HELLP dapat mempunyai gejala dan tanda yang
sangat bervariasi, dari yang bernilai daignostik sampai semua gejala dan tanda
pada pasien preeklampsi-eklampsi yang tidak menderita sindrom HELLP.
Gejala yang paling sering dijumpai adalah nyeri pada daerah epigastrium atau
kuadran kanan atas (90%), nyeri kepala, malaise sampai beberapa hari sebelum
dibawa ke rumah sakit (90%), serta mual dan muntah (45 – 86%). Mual dan atau
muntah dan nyeri epigastrium diperkirakan akibat obstruksi aliran darah di sinusoid
hati, yang dihambat oleh deposit fibrin intravaskuler. Pasien sindrom HELLP
biasanya menunjukkan peningkatan berat badan yang bermakna dengan edema
menyeluruh. Hal yang penting adalah bahwa hipertensi berat (sistolik 160 mmHg,
diastolik 110 mmHg) tidak selalu ditemukan. Penambahan berat badan dan edema
(60%), hipertensi dapat tidak dijumpai sekitar 20% kasus, terdapat hipertensi ringan
(30%) dan hipertensi berat (50%) (Rambulangi, 2006).
Hubungan antara kenaikan tekanan darah dengan jumlah trombosit. Dimana
ditemukan tekanan darah sistolik berbeda secara bermakna pada ketiga kelompok
pasien. Pasien dengan Kelas I (jumlah trombosit £ 50.000/mm3) ternyata lebih
sering dengan tekanan darah £ 150 mmHg dibanding dengan pasien kelas II (jumlah
trombosit > 50.000 - £100.000/mm3 ) dan kelas III (jumlah trombosit > 100.000 -
£ 150.000/mm3), walaupun rerata puncak tekanan sistolik postpartum tidak berbeda
secara bermakna. Hipertensi berat ternyata tidak dijumpai pada semua penderita
dengan sindrom ini. Pada beberapa kasus dijumpai hepatomegali, kejang-kejang,
jaundice, perdarahan gastrointestinal dan perdarahan gusi. Sangat jarang dijumpai
hipoglikemia, koma, hiponatremia, gangguan mental, buta kortikal dan diabetes
insipidus yang nefrogenik. Edema pulmonum dan gagal ginjal akut biasanya
dijumpai pada kasus sindrom HELLP yang timbulnya postpartum atau antepartum
yang ditangani secara konservatif (Van Dam, 1989).

2.6.Pemeriksaan Penunjang
Proses yang dinamis dari sindrom ini, sangat mempengaruhi gambaran
parameter dari laboratorium. Gambaran parameter ini tidak konstan dipengaruhi
oleh pola penyakit yang menunjukkan perbaikan atau kemunduran. Pemeriksaan
laboratorium pada sindrom HELLP sangat diperlukan, karena diagnosa ditegakkan
berdasarkan hasil laboratorium. Walaupun sampai saat ini belum ada batasan yang
tegas mengenai nilai untuk masing-masing parameter. Hal ini terlihat dari
banyaknya penelitian terhadap sindrom HELLP yang bertujuan untuk membuat
suatu keputusan nilai batas dari masing-masing parameter (Rambulangi, 2006)

Gambar 1. Kriteria diagnosis Sindrom HELLP


a. Hemolisis
Gambaran hapusan darah tepi sebagai parameter terjadinya hemolisis, adalah
dengan didapatinya burr cell dan atau schistocyte, dan atau helmet cell. Gambaran
ini merupakan gambaran yang spesifik terjadinya hemolisis pada sindrom HELLP.
Proses hemolisis pada sindrom HELLP oleh karena kerusakan dari sel darah merah
intravaskuler, menyebabkan hemoglobin keluar dari intravaskuler. Lepasnya
hemoglobin ini akan terikat dengan haptoglobin, dimana kompleks hemaglobin-
haptoglobin akan dimetabolisme di hepar dengan cepat. Hemoglobin bebas pada
sistim retikuloendotel akan berubah menjadi bilirubin. Peningkatan kadar bilirubin
menunjukkan terjadinya hemolisis. Pada wanita hamil normal kadar bilirubin
berkisar 0,1 – 1,0 mg/ dL. Dan pada sindrom HELLP kadar ini meningkat yaitu >
1,2 mg/dL. Hemolisis intravaskuler menyebabkan sumsum tulang merespon
dengan mengaktifkan proses eritropoesis, yang mengakibatkan beredarnya sel
darah merah yang imatur. Sel darah merah imatur ini mudah mengalami destruksi,
dan mengeluarkan isoenzim eritrosit. Isoenzim ini akan terikat dengan plasma
lactic dehidrogenase (LDH). Kadar LDH yang tinggi juga menunjukkan terjadinya
peroses hemolisis. Pada wanita hamil normal kadar LDH berkisar 340 – 670 IU/L.
Dan pada sindrom HELLP kadar ini meningkat yaitu > 600 IU/L (Bowers D, 2000).

b. Peningkatan Kadar Enzim Hepar.


Serum aminotranferase yaitu aspartat aminotranferase (serum glutamat
oksaloasetat transaminase/SGOT) dan alanine aminotranferase (serum glutamat
piruvat transaminase/SGPT) meningkat pada kerusakan sel hepar. Pada
Preeklamsia, SGOT dan SGPT meningkat pada seperlima kasus, dimana 50%
diantaranya adalah peningkatan SGOT. Menurut penelitian kadar SGOT lebih
tinggi dari SGPT pada sindrom HELLP. Peninggian ini menunjukkan fase akut dan
progresivitas dari sindrom ini. Peningkatan SGOT dan SGPT juga merupakan tanda
terjadinya ruptur kapsul hepar. Pada wanita hamil normal kadar SGOT berkisar 0 –
35 IU/L . Dan pada sindrom HELLP kadar ini meningkat yaitu >70 IU/L. Lactat
Dehidrogenase (LDH) adalah enzim katalase yang bertanggung jawab terhadap
proses oksidasi laktat menjadi piruvat. Peningkatan LDH menggambarkan
terjadinya kerusakan pada sel hepar, walaupun peningkatan kadar LDH juga
merupakan tanda terjadinya hemolisis. Peningkatan kadar LDH tanpa disertai
peningkatan kadar SGOT dan SGPT menunjukkan terjadinya hemolisis. Pada
sindrom HELLP kadar puncak LDH 581 –2380 IU/L dengan rerata 1369 IU/L,
dimana kadar puncak ini didapatkan pada 24 – 48 jam post partum. LDH dapat
dipergunakan untuk mendeteksi hemolisis dan kerusakan hepar. Oleh sebab itu
parameter ini sangat berguna dalam mendiagnosis sindrom HELLP. Peningkatan
bilirubin pada preeklamsia sangat jarang, pada kasus eklampsia hanya 4 – 20%.
Dan peningkatan ini jarang sampai lima kali lipat. Hiperbilirubinemia yang tidak
terkonjugasi menunjukkan hemolisis intra vaskuler. Hiperbilirubinemia yang
terkonjugasi menunjukkan kerusakan pada perenkim hepar (Bowers D, 2000).

c. Jumlah Trombosit yang Rendah


Pada kehamilan normal belum diketahui batasan jumlah trombosit yang
spesifik. Sebagian besar laporan mengatakan jumlah trombosit rerata menurun
selama kehamilan walaupun secara statistik tidak signifikan. Pada wanita hamil
normal kadar trombosit berkisar > 150.000/ mm3. Dan pada sindrom HELLP kadar
ini menurun sampai < 100.000/ mm3. Martin dkk (1991) melaporkan dari 158
preeklamsia berat dengan sindrom HELLP didapatkan kadar trombosit berbeda-
beda. Didapatinya 19% pasien pada saat masuk rumah sakit dengan jumlah
trombosit > 150.000/mm3, 35% antara 100.000 – 150.000/mm3, 31% antara 50.000
– 100.000/mm3 dan 15% <50.000/mm3 (Bowers D, 2000).

2.7.Penatalaksanaan
Pasien sindrom HELLP harus dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan tersier
dan pada penanganan awal harus diterapi sama seperti pasien preeklamsia. Prioritas
pertama adalah menilai dan menstabilkan kondisi ibu, khususnya kelainan
pembekuan darah (Rambulangi, 2006)
Sampai saat ini penanganan sindrom HELLP masih kontroversi. Beberapa
penelitian menganjurkan terminasi kehamilan dengan segera tanpa
memperhitungkan usia kehamilan, mengingat besarnya resiko maternal serta
buruknya komplikasi perinatal apabila kehamilan diteruskan. Beberapa peneliti lain
menganjurkan pendekatan yang konservatif untuk mematangkan paru janin dan
atau memperbaiki gejala klinis ibu. Namun semua peneliti sepakat bahwa terminasi
kehamilan merupakan satu satunya terapi definitif pada penelitian terhadap 128
pasien Preeklamsia dengan sindrom HELLP melaporkan bahwa dengan menunda
terminasi kehamilan pada sindrom HELLP lebih aman dan berguna untuk ibu dan
janin. Pendekatan konservatif dengan mematangkan paru janin dan atau
memperbaiki gejala klinis ibu dengan pemberian kortikosteroid (Bailis A, 2007).

Gambar 3. Alur penanganan Sindrom HELLP

Pemberian kortikosteroid baik bethametason maupun deksametason


meningkatkan pematangan paru, meningkatkan jumlah trombosit, mempengaruhi
fungsi hepar (kadar SGOT, SGPT dan menurunkan LDH) serta memungkinkan
untuk pemberian anastesia regional. Pemberian kortikosteroid antepartum,
bethametason 12 mg / IM yang diulang 24 jam kemudian dan diberikan tiap minggu
sampai persalinan pada kehamilan 26 sampai 34 minggu dapat meningkatkan
pematangan paru janin. Pemberian kortikosteroid antepartum, deksametason 10 mg
/ IV / 12 jam diberikan sampai persalinan pada kehamilan <32 minggu,
mendapatkan persalinan terjadi 41 ± 15 jam setelah pemberian kortikosteroid.
Mereka berpendapat dengan pemberian kortikosteroid dapat menunda persalinan,
memaksimumkan status hematologis ibu, memaksimumkan sistim organ pada janin
dan ibu dapat dirujuk ke pusat pelayanan dengan aman. Pemberian kortikosteroid
post partum, Deksametason 10 mg / 12 jam 2 kali pemberian, dilanjutkan dengan 5
mg / 12 jam pada 24 jam dan 36 jam post partum, mendapatkan penurunan tekanan
darah dan peningkatan jumlah trombosit pada 24 jam post partum serta penurunan
LDH dan SGOT pada 36 jam post partum. Penelitian prospektif tentang efikasi dari
Deksamethason dan Betametason. Dilaporkan bahwa pemberian Deksametason 10
mg/12 jam/IV lebih efektif dibandingkan dengan pemberian Betametason 12
mg/24 jam/IM. Pemberian Deksametason dapat diberikan langsung kedaerah
intravaskular,dimana Betametason (tidak dapat diberikan secara intravena) harus
diabsorbsi terlebih dahulu setelah pemberian secara intramuskuler. Hal ini
menyebabkan terlambatnya onset of action atau berkurangnya efektifitas obat
waktu sampai di pembuluh darah. Prinsip penanganan pada sindrom HELLP sama
dengan preeklamsia berat. Prioritas pertama adalah stabilisasi kondisi ibu terutama
terhadap abnormalitas pembekuan darah (Bailis A, 2007).

Penatalaksanaan Sindrom HELLP (Bailis A, 2007):


1. Penilaian dan stabilisasi kondisi ibu :
a. Bila terdapat DIC, koreksi faktor pembekuan
b. Pemberian profilaksis anti kejang dengan Sulfas Magnesikus
c. Penanganan hipertensi berat
d. Rujuk ke fasilitas kesehatan yang memadai
e. CT- scan dan USG abdomen bila dicurigai adanya hematom hepar
subkapsular
2. Evaluasi kesejahteraan janin:
a. Non Stress Test
b. Profil biofisik
c. Ultrasonografi biometri
3. Evaluasi kematangan paru, jika usia kehamilan < 35 minggu
a. Jika paru telah matang, segera lahirkan
b. Jika paru belum matang, beri kortikosteroid, kemudian lahirkan
Jika usia kehamilan 35 minggu, setelah kondisi ibu stabil, segera lahirkan

Adanya sindrom HELLP ini tidak merupakan indikasi untuk terminasi


kehamilan segera dengan cara seksio sesarea. Yang harus dipertimbangkan adalah
kondisi ibu dan bayi. Ibu yang telah mengalami stabilisasi dapat melahirkan
pervaginam, bila tidak ada kontra indikasi obstetrik. Persalinan dapat diinduksi
dengan oksitosin pada semua kehamilan 32 minggu. Ataupun kehamilan < 32
minggu dengan serviks yang telah matang untuk diinduksi. Pada kehamilan < 32
minggu dengan serviks yang belum matang, seksio sesarea elektif merupakan
pilihan (Bailis A, 2007).

2.8.Komplikasi
Angka kematian ibu dengan sindrom HELLP mencapai 1,1%. 1-25%
berkomplikasi serius seperti DIC, solusio plasenta, acute respiratory distress
syndrome, kegagalan hepatorenal, edema paru, heatom subkapsular, dan ruptur hati.
Angka kematian bayi berkisar 10-60%, disebabkan oleh solusio plasenta, hipoksia
intrauterin, dan prematur. Pengaruh sindrom HELLP pada janin berupa
pertumbuhan janin terhambat (IUGR) sebanyak 30% dan sindrom gangguan
pernapasan (RDS) (Rambulangi, 2006)

2.9.Prognosis
Penderita sindrom HELLP mempunyai kemungkinan 19 – 27 % untuk
mendapat risiko sindrom ini pada kehamilan berikutnya. Dan mempunyai resiko
sampai 43% untuk mendapat preeklamsia pada kehamilan berikutnya. Sindrom
HELLP kelas I merupakan resiko terbesar untuk berulangnya sindrom ini pada
kehamilan selanjutnya. Penderita dengan normotensif sebelum menderita sindrom
HELLP mempunyai kemungkinan 19% untuk terjadinya preeklamsia, 27% terjadi
kelainan hipertensi lainnya dan 3% terjadi sindrom HELLP pada kehamilan
berikutnya. Tetapi bila penderita sindrom HELLP dengan riwayat kronik hipertensi
sebelumnya, maka 75% akan terjadi preeklamsia dan 5% kemungkinan terjadi
sindrom HELLP pada kehamilan berikutnya. Angka kematian ibu pada sindrom
HELLP 1,1 %. Dengan komplikasi seperti DIC (21%), solusio plasenta (16%),
gagal ginjal akut ( 7,7%), edema pulmonum (6%), hematom hepar subkapsular
(0,9%) dan ablasi retina (0,9%). Isler dkk (1999) melaporkan penyebab kematian
ibu pada sindrom HELLP adalah perdarahan intrakranial atau stroke ( 45%), gagal
jantung paru (40%), DIC (39%), sindrom gagal nafas (28%), gagal ginjal (28%),
perdarahan hepar atau ruptur (20%) dan ensefalopati hipoksia (16%). 60% dari
kematian ibu dengan sindrom HELLP kelas I. Angka morbiditas dan mortalitas
pada bayi berkisar 10 – 60% tergantung dari keparahan penyakit ibu. Bayi yang
ibunya menderita sindrom HELLP akan mengalami pertumbuhan janin terhambat
(PJT) dan sindrom kegagalan pernafasan. Angka kematian bayi 5,5 %, dari 269 bayi
dengan ibu sindrom HELLP. Hampir 90% penyebab kematian karena sindrom
gagal nafas. Morbiditas dan mortalitas bayi tergantung dari usia kehamilan daripada
ada atau tidaknya sindrom HELLP (Bailis A, 2007).
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN Ny. L DENGAN DIAGNOSA
HELLP SYNDROME DI RUANG HCU
RSUD AL IHSAN BANDUNG

1. PENGKAJIAN
1. Pengumpulan data identitas diri
a. Identitas Pasien
Nama : Ny. L

Tempat, tanggal lahir : Bandung, 01 September 1989

Umur : 28 Th

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pendidikan : SMP

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Jl. Caringin 04/02 Ds. Wargamekar Kec.


Ciparay

Suku Bangsa : Indonesia, Sunda

Tanggal Masuk : 07-03-2018

Tanggal Pengkajian : 13-03-2018

Nomor Medik : 594314

Diagnosa Medik : Hellp Syndrome


b. Identitas penanggung jawab
Nama : Tn. A

Tempat, tanggal lahir : Tidak terkaji

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Karyawan Swasta

Jenis Kelamin : Perempuan

Hubungan Dengan : Suami


Klien
Alamat : Jl. Caringin 04/02 Ds. Wargamekar Kec.
Ciparay

1. Anamnesis
a. Keluhan utama
Klien tampak sesak
b. Riwayat penyakit sekarang
1) Kronologis pasien masuk rumah sakit
Menurut suami klien, klien di bawa ke Rumah Sakit karena sesak dan juga
menggigil sebelum masuk RS.
2) Kronologis penanganan saat di UGD/ ruangan sebelum masuk ICU
Klien masuk IGD Obgyn pada tanggal 07 – 03 – 2018 Pukul 23.40 merasa
hamil 9 bulan dengan keluhan sesak nafas, nyeri kepala, menggigil, berkeringat,
merasa mules dan keluaran cairan dari jalan lahir, mempunyai riwayat hipertensi
kehamilan dan asma. Kemudian, klien dilakukan pemeriksaan dengan hasil :
tingkat kesadaran CM, hasil TTV : TD: 200/120 N: 92x/menit RR: 28x/menit S:
36 C SaO2: 90%, dan dilakukan pemeriksaan pada janin dengan gerakan dirasa
aktif, Djj 148x/ menit, TFU 30 cm, Leopold II punggung kiri. Klien mendapat
terapi oksigen 3 liter/menit, terapi cairan RL dengan MGSO4 15cc untuk
20gtt/menit, terapi Dopamet 3x500mg, Nefedipin 3x10mg, dilakukan
pemeriksaan labolatorium dan pemeriksaan urine. hasil lab: Hb: 14,6 Ht: 40,8
Trombosit: 126000 Leukosit: 9500, SGOT 659 SGPT 446, Ureum 19, Kreatinin
0,85, Albumin Urine +. Pada tanggal 08 – 03 – 2018 Pukul 00.45 klien
dipindahkan ke ruang HCU.

3) Riwayat PQRST saat dilakukan pengkajian


Pada saat dilakukan pengkajian pada tanggal 13 maret 2018, klien masih tampak
sesak, kesadara Delirium GCS E4 M5 V4, TD: 140/77 mmHg, N: 97 x/menit, RR
40x/menit, S: 37,3 C, SaO2 95%, tampak lemas, suara nafas vesikuler, klien
terpasang NRM dengan oksigen 10 liter, klien terpasang selang NGT dengan
produksi cairan cokelat kehitaman, klien terpasang DC jumlah urine 10cc per3jam,
klien terpasang infuse di tangan kanan dua line terpasang Lasik drip untuk 30mg/
jam dalam Ns 100 dan dopamin untuk 3 mcq dalam Ns 100.

c. Riwayat penyakit sebelumnya


Klien mempunyai riwayat penyakit asma, selain itu klien mempunyai riwayat
hipertensi semenjak melahirkan anak keduanya 9 tahun yang lalu.

d. Riwayat penyakit keluarga


Menurut suami klien di keluarga tidak ada yang memiliki penyakit yang sama
seperti klien.

e. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum :
Kesadaran : Delirium E4 M5 V4 dengan kontak mata (-)
TTV : TD: 140/77 mmHg,
N: 97 x/menit,
RR 40 x/menit,
S: 37,3 C,
SaO2 95%
BB : 80 kg TB: 165 cm BMI: 20,7 status gizi: baik
Status fungsional : ketergantungan penuh, skor: 0 (Barthel index)
Resiko jatuh : ya, skor:
1) Pernafasan :
Klien tampak sesak, takipneu (+), tidak ada PCH, terdapat penggunaan bantuan
otot nafas tambahan, suara nafas vesikuler, retraksi dada simetris, rentang
frekuensi nafas 23-40 x/menit, klien terpasang NRM dengan oksigen 10 Liter.

2) Persarafan
Kesadaran klien Delirium dengan kontak mata (-), diameter pupil simetris (+2/+2),
refleks cahaya (+), tidak ada kejang, tidak ada kaku kuduk.

3) Kardiovaskuler
Konjungtiva anemis, bunyi jantung reguler S1 dan S2, kulit tampak pucat, CRT <2
detik, akral hangat, gambaran EKG sinus takikardi, rentang heart rate 87-
101x/menit, rentang TD 140/77-155/79, nadi teraba kuat, antara kiri dan kanan
sama.

4) Pencernaan
Bentuk abdomen cembung, tidak ada asites, bising usus terdengar lemah, terdapat
distensi abdomen.

5) Perkemihan
Pola berkemih melalui kateter urine hari ketiga, warna urin kuning pekat dengan
jumlah urin 1.415+cc/24 jam dengan hasil intake 3075cc/ 24 jam dan output
1642cc/ 24 jam, klien menggunakan terapi diuretik dengan Lasix 10 mg/jam,
terdapat edema pada ekstremitas atas dan bawah dengan piting edema +2.

6) Muskuloskeletal
7) Integumen
Warna kulit kuning langsat, tidak ada hiperpigmentasi, tidak terdapat luka
dekubitus.
f. Hasil Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 07/03/2018
No. Jenis Hasil Nilai Satuan
Pemeriksaan rujukan
Darah Rutin
1. Hb 14.8 12,0-16,0 sel/uL
2. Leukosit 9500 3.800-10.600 g/dL
3. Eritrosit 4.60 3,6-5,8 juta/uL
4. Hematokrit 40.8 35-47 %
5. Trombosit 126000 150.000- sel/uL
440.000
6. Golongan Darah O

Kimia Klinik (Fungsi Liver)

7. SGOT 659 10-31 U/L


8. SGPT 446 0-36 U/L
Fungsi Ginjal
9. Ureum 19 10-50 mg/dL
10. Kreatinin 0.85 0.7-1.13 mg/dL
Urine
11. Albumin Urine +++ Negative /uL

Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 08/03/2018


No. Jenis Hasil Nilai Satuan
Pemeriksaan rujukan
Darah Rutin
1. Hb 13,7 12,0-16,0 sel/uL
2. Leukosit 13.300 3.800-10.600 g/dL
3. Eritrosit 4,31 3,6-5,8 juta/uL
4. Hematokrit 36,4 35-47 %
5. Trombosit 66.000 150.000- sel/uL
440.000

Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 09/03/2018


No. Jenis Hasil Nilai Satuan
Pemeriksaan rujukan
Darah Rutin
1. Hb 14,2 12,0-16,0 sel/uL
2. Leukosit 17.600 3.800-10.600 g/dL
3. Eritrosit 4,69 3,6-5,8 juta/uL
4. Hematokrit 41,5 35-47 %
5. Trombosit 44.000 150.000- sel/uL
440.000
Hematologi
6. Masa 3’30” 1-3 Menit
Perdarahan/ BT
7. Masa 10’30” 5-11 menit
Pembekuan/ CT

Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 10/03/2018


No. Jenis Hasil Nilai Satuan
Pemeriksaan rujukan
Darah Rutin
1. Hb 9,1 12,0-16,0 sel/uL
2. Leukosit 13.700 3.800-10.600 g/dL
3. Eritrosit 2,93 3,6-5,8 juta/uL
4. Hematokrit 24,1 35-47 %
5. Trombosit 67.000 150.000- sel/uL
440.000
Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 11/03/2018
No. Jenis Hasil Nilai Satuan
Pemeriksaan rujukan
Darah Rutin
1. Hb 9,3 12,0-16,0 sel/uL
2. Leukosit 15.000 3.800-10.600 g/dL
3. Eritrosit 2,95 3,6-5,8 juta/uL
4. Hematokrit 24,4 35-47 %
5. Trombosit 98.000 150.000- sel/uL
440.000

Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 12/03/2018


No. Jenis Hasil Nilai Satuan
Pemeriksaan rujukan
Darah Rutin
1. Hb 10,3 12,0-16,0 sel/uL
2. Leukosit 23.200 3.800-10.600 g/dL
3. Eritrosit 3,47 3,6-5,8 juta/uL
4. Hematokrit 29,7 35-47 %
5. Trombosit 97.000 150.000- sel/uL
440.000

Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 13/03/2018


No. Jenis Hasil Nilai Satuan
Pemeriksaan rujukan
Kimia Klinik
1. Natrium (Na) 132 134-145 mmol/L
2. Kalium (K) 5.6 3.6-5.6 mmol/L
3. Kalsium 1,14 1,15-1,35 mmol/L
Fungsi Ginjal
4. Ureum 177 10-50 mg/dL
5. Kreatinin 6,89 0,7-1,13 mg/dL

Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 13/03/2018


No. Jenis Hasil Nilai Satuan
Pemeriksaan rujukan
Darah kimia
1. Natrium 126 134-145 mmol/L
2. Kalium 5.6 3.6-5.6 mmol/L
3. Kalsium 1,05 1,15-1,35 mmol/L
Fungsi Ginjal
3. Ureum 177 10-50 mg/dL
4 Kreatinin 8,42 0,7-1,13 mg/dL

Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 13/03/2018 (Post HD)


No. Jenis Hasil Nilai Satuan
Pemeriksaan rujukan
Darah kimia
1. Natrium 132 134-145 mmol/L
1. Kalium 4.9 3.6-5.6 mmol/L
2. Kalsium 1,14 1,15-1,35 mmol/L
Fungsi Ginjal
3. Ureum 157 10-50 mg/dL
4 Kreatinin 6.89 0,7-1,13 mg/dL

Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 14/03/2018


No Jenis Hasil Nilai Satuan
. Pemeriksaan rujukan
Darah Rutin
1. Hb 7,7 12,0-16,0 sel/uL
2. Leukosit 23.300 3.800-10.600 g/dL
3. Eritrosit 2,51 3,6-5,8 juta/uL
4. Hematokrit 21,2 35-47 %
5. Trombosit 202.000 150.000- sel/uL
440.000

Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 16/03/2018


No Jenis Hasil Nilai Satuan
. Pemeriksaan rujukan
Elektrolyte (Na, K, Ca)
1. Natrium (Na) 139 134-145 mmol/L
2. Kalium 4,5 3,6-5,6 mmol/L
3. Kalsium 1,06 1,15-1,35 mmol/L
Fungsi Liver
4. Bilirubin Total 2,37 < 1,5 mg/dL
5. Bilirubin 1,66 0,05-0,3 mg/uL
Direk
6. AST (SGOT) 69 10-31 U/L
7. ALT (SGPT) 34 9-36 U/L
Fungsi Ginjal
6. Ureum 257 10-50 mg/dL
7. Kreatinin 7,92 0,7-1,13 mg/dL

Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 17/03/2018


No Jenis Hasil Nilai Satuan
. Pemeriksaan rujukan
Darah Rutin
1. Hb 4,8 12,0-16,0 sel/uL
2. Leukosit 24.700 3.800-10.600 g/dL
3. Eritrosit 1,56 3,6-5,8 juta/uL
4. Hematokrit 15,0 35-47 %
5. Trombosit 321.000 150.000- sel/uL
440.000

Program dan Rencana Pengobatan


No Nama Obat Dosis Cara Pemberian
1. Ceftazidime 3 x 1 gr Via IV
2. Kalnex 3x1 Via IV
3. Citicolin 3 x 250 mg Via IV
4. Levoflaxin 1 x 500 mg Via IV
5. Pantoprazole Drip 1x1 Via IV
6. Sanmol Drop 3x1 Via IV
7. Dopamin 3 mcq Drip dalam Ns 100
8. Lasix Drip 30 mg Drip dalam Ns 100

1. Analisa Data
No Data Etiologi Masalah
DS : - Terlampir Ketidakefektifan
1. DO : pola nafas
- Klien tampak
sesak, takipneu
(+),
- terdapat
penggunaan
bantuan otot nafas
tambahan,
- suara nafas
vesikuler, rentang
frekuensi nafas
23-40 x/menit
- klien terpasang
NRM dengan
oksigen 10 Liter
2. DS : - Terlampir Resiko
DO : ketidakseimbangan
- klien tampak elektrolit
lemas
- kesadaran klien
Delirium, GCS E4
M5 V4
- terdapat edema
pada ekstremitas
atas dan bawah
dengan piting
edema +2
- Hasil lab:
Hb 10,3 g/dL
Leukosit 23.200 sel/uL
Eritrosit 3.47 juta/uL
Hematokrit 29,7 %
Trombosit97.000 sel/uL
Natrium 132 mmol/L
Kalium 5.6 mmol/L
Kalsium 1.14 mmol/L
Ureum 117 mg/dL
Kreatinin 6.89 mg/dL
- warna urin
kuning pekat
dengan jumlah
urin 1.415+cc/24
jam
3. DS : - Terlampir Ketidakseimbangan
DO : nutrisi: kurang dari
- asupan nutrisi kebutuhan tubuh
klien menurun
- klien terpasang
NGT dengan
produksi cairan
cokelat kehitaman
- bising usus
terdengar lemah
- Hb 10,3 sel/uL
4. DS : - Terlampir Resiko sindrom
DO : disuse
- klien tampak
lemah
- klien hanya
berbaring di
tempat tidur
- klien terpasang,
infus, dan alat bed
site monitor
- status fungsional :
ketergantungan
penuh (skor:0)

A. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hipervetilasi
2. Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan
3. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
faktor biologis
4. Risiko sindrom disuse berhubungan dengan imobilisasi fisik.
B. PERENCANAAN
No Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
1. Ketidakefektifan pola Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi TTV 1. Mengetahui keadaan
nafas berhubungan keperawatan selama 3 X 24 2. Monitor respirasi dan status umum klien
dengan jam diharapkan pola nafas O2 2. Untuk mengetahui
klien normal dengan kriteria 3. Kaji frekuensi kedalaman respirasired dan
hasil: pernafasan dan ekspansi kebutuhan O2
Respiratorystatus: dada 3. Kecepatan biasanya
Ventilation(0703) 4. Auskultasi bunyi dada, mencapai kedalaman
- Respirasi dalam batas untuk karakter bunyi nafas pernafasan bervariasi
normal (16-24 x/menit) 5. Kolaborasi dalam tergantung derajat gagal
- Mudah bernafas pemberian oksigen nafas.
- Tidak ada dipsneu maupun 4. Untuk mengetahui
takipneu adanya suara nafas
- TTV normal (TD: 120/80 tambahan
mmHg, N: 60-100 x/menit, S 5. Memaksimalkan bernafas
36,5-37,5, R 16-24x/ menit) dan menurunkan kerja
nafas.
2. Setelah diberikan asuhan 1. Monitoring tanda-tanda 1. Mengetahui keadaan
keperawatan selama 3 x 24 vital umum pasien
jam diharapkan cairan dan Fluid Management 2. Mengetahui intervensi
elektrolit klien seimbang 2. Monitor status hidrasi rehidrasi optimal
dengan ktrieria hasil: (keakuratan intake dan 3. Mengetahui penyebab
- Tanda-tanda vital output) untuk menentukan
dalam batas normal Electrolyte Monitoring intervensi penyesuaian
(TD: 120/80 mmHg, 3. Identifikasi kemungkinan
N: 60-100 x/menit, S penyebab
36,5-37,5, R 16-24x/ ketidakseimbangan
menit) elektrolit
- Intake dan output 4. Monitor adanya mual,
seimbang muntah
- Tidak ada edema
- Elektrolit dalam batas
normal

3. Setelah diberikan asuhan Management control 4.


keperawatan selama 3 x 24 Infecttion
jam diharapkan klien dapat 1. Pertahankan tekhnik aseptic
terhindar dari resiko infeksi, 2. Cuci tangan sebelum dan
dengan kriteria hasil: sesudah tindakan
. tanda-tanda vital dalam batas 3. Ganti letak IV perifer dan
normal (TD: 120/80 mmHg, dressing sesuai dengan
N: 60-100 x/menit, S 36,5- petunjuk umum
37,5, R 16-24x/ menit) 4. Ganti kakteter intermiten
. Klien bebas dari tanda dan untuk menurunkan infeksi
gejala infeksi 5. Kaji suhu badan pada
. Leukosit dalam batas normal pasien setiap 2-4 jam
6. Kolaborasi dalam
pemberian antibiotic
Ceftriaxone 2gram via IV
7. Nutrisi kurang dari Setelah dilakukan asuhan 1. Kaji status nutrisi klien, 1. Berguna dalam
kebutuhan tubuh b/d keperawatan selama 3 x 24 turgor kulit mengidentifikasi derajat
intake kurang, jam diharapkan nafsu makan 2. Monitor intake output kurang nutrisi dan
peningkatan metabolisme. klien normal lagi dengan 3. Observasi nilai albumin, menentukan pilihan
kriteria hasil: BUN, Hb dan protein intervensi
Nutritional status (1004) serum.
· Stamina,Tenaga 4. Tentukan jumlah kalori dan 2. Mengukur keefektifan
· Kekuatan menggenggam jenis nutrisi yang nutrisi dan dukungan
· Penyembuhan jaringan dibutuhkan untuk cairan.
· Daya tahan tubuh memenuhi persyaratan gizi. 3. Nilai rendah
· Tidak ada penurunan BB yg 5. Kolaborasi dengan ahli gizi menunjukan keadaan
berlebih untuk penentuan Diit yang malnutrisi.
. Menunjukan perubahan pola sesuai 4. Meningkatkan nutrisi
makan. yang adekuat.
. Hemoglobin dalam rentang
normal.
. Hasil produksi cairan
lambung jernih
8. Resiko sindrom disuse Setelah dilakukan tindakan Perawatan tirah baring 1. Memberikan rasa nyaman
keperawatan diharapkan 1. Hindari menggunakan kain dan mengurangi gesekan
sindrom disuse tidak terjadi linen yang kasar pada kulit.
2. Pastikan kain linen tetap 2. Menjaga kelembaban dan
bersih dan kering mengurangi resiko
3. Tinggikan tralis tempat timbulnya dekubitus.
tidur 3. Mencegah pasien jatuh
4. Ubah posisi klien setiap 2 4. Mencegah terjadinya
jam dekubitus pada pasien
5. Monitor kondisi kulit dengan tirah baring lama.
Manajemen tekanan 5. Mengetahui ada tidaknya
6. Berikan pakaian yang tidak masalah pada kulit akibat
ketat pada pasien tirah baring yang lama.
7. Gunakan alat pengkajian : 6. Memberikan rasa nyaman
faktor risiko yang ada dan memudahkan pada
(braden scale) saat pemberian terapi
8. Lakukan latihan ROM pasif fisik.
9. Monitor respon individu 7. Untuk mengukur resiko
terhadap program latihan terjadinya dekubitus
10. Kolaborasi dengan ahli 8. Mencegah terjadinya
terapi fisik dalam kontraktur atau kekakuan
perawatan klien. pada sendi.
C. Implementasi dan catatan

No Tanggal Implementasi Catatan perkembangan Paraf


1. 13 – 03 – - Memposisikan klien S : -
2018 senyaman mungkin O:
07.00 Respon : Posisi tidur klien semi fowler, bedplang dan restrain terpasang
Posisi semi fowler Kesadaran: Kesadaran: Delirium kontak mata (-), pupil (+2/+2), EKG:
- Pastikan keamanan pasien ST, TD: 127/66 N: 109x/menit, RR: 31x/menit, S: 38,4 C SaO2: 95%.
Respon : Intake : 1618 output: 961 balance: +657, terpasang NGT produksi
Restrain terpasang pada kedua cairan cokelat kehitaman, klien dipuasakan
ekstermitas atas dan bawah, A :
bedplang terpasang dengan baik. 1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hipervetilasi
- Melakukan observasi 2. Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan
Respon : 3. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
Kesadaran: Delirium, kontak berhubungan dengan faktor biologis
mata (-), pupil (+2/+2), EKG: ST, 4. Risiko sindrom disuse berhubungan dengan imobilisasi fisik.
TD: 124/63 N: 101x/menit, RR:
23x/menit, S: 37,4 C SaO2: P :
100%. - Managemen cairan
Intake : 3,9 output: 47 balance: - - managemen nutrisi
43,1 - perawatan tirah baring
- Mendengarkan suara nafas - managemen elektrolit
klien - managemen infeksi
Respon :
Suara nafas vesikuler
08.00 - Melakukan observasi
Respon :
Kesadaran: Delir kontak mata (-),
pupil (+2/+2), EKG: ST, TD:
121/77 N: 107x/menit, RR:
28x/menit, S: 38,2C SaO2: 94%.
Intake : 107.8 output: 94
balance: +13,8
- Memberikan terapi sanmol
drop
09.00 Respon :
Terapi Sanmol diberikan lancar
- Melakukan observasi
Respon :
Kesadaran: Delirium kontak mata
(-) pupil (+2/+2), EKG: ST, TD:
132/63 N: 106x/menit, RR:
40x/menit, S: 37,8 C SaO2: 94%.
Produksi cairan NGT cokelat
kehitaman
Intake : 111,7 output: 141
balance: -29,3
- Mengganti binasal kanul
dengan NRM
Respon :
10.00 Terpasang NRM dengan oksigen
10 Liter
- Mengganti linen pasien

- Melakukan observasi
Respon :
11.00 Kesadaran: Delirium, pupil
(+2/+2), EKG: ST, TD: 115/74
N: 109x/menit, RR: 35x/menit, S:
37,8 C SaO2: 94%. Intake : 715,6
output: 188 balance: +521,4
12.00 - Melakukan observasi
Respon :
Kesadaran: Delirium, pupil
(+2/+2), EKG: ST, TD: 142/98
N: 101x/menit, RR: 30x/menit, S:
37,4 C SaO2: 94%.
- Melakukan observasi
13.00 Respon :
Kesadaran: Delirium, kontak
mata (-) pupil (+2/+2), EKG: ST,
TD: 134/100 N: 108x/menit, RR:
30x/menit, S: 37,4 C SaO2: 96%.
Intake : 719,5 output: 235
balance: +484,5
13.00 - Melakukan observasi
Respon :
Kesadaran: Delirium, kontak
mata (-) pupil (+2/+2), EKG: ST,
TD: 127/75 N: 119x/menit, RR:
29x/menit, S: 38,5 C SaO2: 95%.
Intake : 1681 output: 994,2
balance: +686,8
- Memberikan terapi
Ceftriaxone 2g
- Kalnex
- Pantoprazole
14.00 - Melakukan observasi
Respon :
Kesadaran: Delirium kontak mata
(-), pupil (+2/+2), EKG: ST, TD:
127/66 N: 109x/menit, RR:
31x/menit, S: 38,4 C SaO2: 95%.
Intake : 1733 output: 1061
balance: +671,9
2. 14 – 03 – - Memposisikan klien S : -
2018 senyaman mungkin O:
07.00 Respon : Posisi tidur klien semi fowler, bedplang dan restrain terpasang
Posisi semi fowler - Kesadaran: Delirium kontak mata (-), pupil (+2/+2), EKG: ST, TD:
- Pastikan keamanan pasien 133/68 N: 111x/menit, RR: 37x/menit, S: 38,1 C SaO2: 95%.
Respon : Intake : 1410 output: 961 balance: +249, terpasang NGT produksi
Restrain terpasang pada kedua cairan cokelat kehitaman, klien dipuasakan
ekstermitas atas dan bawah, Hasil lab :
bedplang terpasang dengan baik. Hb 7,7 12,0-16,0
- Mengobservasi produksi Leukosit 23.300 3.800-10.600
cairan NGT Eritrosit 2,51 3,6-5,8
Respon: Hematokrit 21,2 35-47
Produksi cairan NGT cokelat Trombosit 202.000 150.000-440.000
kehitaman
- Melakukan observasi A:
Respon : 1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hipervetilasi
Kesadaran: Delirium, kontak 2. Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan
mata (-), pupil (+2/+2), EKG: ST, 3. Resiko infeksi berhubungan dengan
TD: 126/75 N: 110x/menit, RR: 4. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
36x/menit, S: 37,4 C SaO2: berhubungan dengan faktor biologis
100%. 5. Risiko sindrom disuse berhubungan dengan imobilisasi fisik.
Intake : 3,9 output: 47 balance: -
43,1 P:
- Mendengarkan suara nafas - Managemen cairan
klien - managemen nutrisi
Respon : - perawatan tirah baring
Suara nafas vesikuler - manajemen elektrolit
09.00 - Melakukan observasi
Respon :
Kesadaran: Delir kontak mata (-),
pupil (+2/+2), EKG: ST, TD:
121/77 N: 115x/menit, RR:
33x/menit, S: 38,1C SaO2: 94%.
Intake : 107,8 output: 94
balance: +13,8
- Memberikan terapi sanmol
drop
Respon :
Terapi Sanmol diberikan lancar
10.00 - Melakukan observasi
Respon :
Kesadaran: Delirium kontak mata
(-) pupil (+2/+2), EKG: ST, TD:
132/63 N: 106x/menit, RR:
40x/menit, S: 37,8 C SaO2: 94%.
Intake : 111,7 output: 141
balance: -29,3
- Melakukan Lapase
Respon :
Lapase dilakukan dengan cairan
200cc
- Mengganti linen pasien

11.00 - Melakukan observasi


Respon :
Kesadaran: Delirium, pupil
(+2/+2), EKG: ST, TD: 125/73
N: 109x/menit, RR: 35x/menit, S:
37,8 C SaO2: 94%. Intake : 715,6
output: 188 balance: +521,4
12.00 - Melakukan observasi
Respon :
Kesadaran: Delirium, pupil
(+2/+2), EKG: ST, TD: 142/98
N: 101x/menit, RR: 37x/menit, S:
37,4 C SaO2: 94%.
13.00 - Melakukan observasi
Respon :
Kesadaran: Delirium, kontak
mata (-) pupil (+2/+2), EKG: ST,
TD: 127/75 N: 119x/menit, RR:
29x/menit, S: 38,5 C SaO2: 95%.
Intake : 723,4 output: 282
balance: +441,4
- Memberikan terapi
Ceftriaxone 2g
- Kalnex
- Pantoprazole
14.00 - Melakukan observasi
Respon :
Kesadaran: Delirium kontak mata
(-), pupil (+2/+2), EKG: ST, TD:
133/68 N: 111x/menit, RR:
37x/menit, S: 38,1 C SaO2: 95%.
Intake : 1681 output: 994,2
balance: +686,8

3. 15 – 03 – - Memposisikan klien S : -
2018 senyaman mungkin O:
07.00 Respon : Posisi tidur klien semi fowler, bedplang dan restrain terpasang
Posisi semi fowler Kesadaran: Delirium kontak mata (-), pupil (+2/+2), EKG: ST, TD:
- Pastikan keamanan pasien 133/68 N: 111x/menit, RR: 37x/menit, S: 38,1 C SaO2: 95%.
Respon : Intake : 994 output: 1681 balance: +686,
Restrain terpasang pada kedua A :
ekstermitas atas dan bawah, 1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hipervetilasi
bedplang terpasang dengan baik. 2. Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan
- Mengobservasi produksi 3. Resiko infeksi berhubungan dengan
cairan NGT 4. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
Respon: berhubungan dengan faktor biologis
Produksi cairan NGT cokelat 5. Risiko sindrom disuse berhubungan dengan imobilisasi fisik.
kehitaman
- Melakukan observasi P:
Respon : - Managemen cairan
Kesadaran: Delirium, kontak - managemen nutrisi
mata (-), pupil (+2/+2), EKG: ST, - perawatan tirah baring
TD: 126/75 N: 100x/menit, RR: - manajemen elektrolit
33x/menit, S: 37,6 C SaO2:
100%.
Intake : 3,9 output: 47 balance: -
43,1
- Mendengarkan suara nafas
klien
Respon :
Suara nafas vesikuler
09.00 - Melakukan observasi
Respon :
Kesadaran: Delir kontak mata (-),
pupil (+2/+2), EKG: ST, TD:
121/77 N: 115x/menit, RR:
33x/menit, S: 38,1C SaO2: 94%.
Intake : 107,8 output: 94
balance: +13,8
- Memberikan terapi sanmol
drop
Respon :
Terapi Sanmol diberikan lancar
10.00 - Melakukan observasi
Respon :
Kesadaran: Delirium kontak mata
(-) pupil (+2/+2), EKG: ST, TD:
132/63 N: 106x/menit, RR:
40x/menit, S: 37,8 C SaO2: 94%.
Intake : 111,7 output: 141
balance: -29,3
- Melakukan Lapase
Respon :
Lapase dilakukan dengan cairan
200cc
- Mengganti linen pasien

11.00 - Melakukan observasi


Respon :
Kesadaran: Delirium, pupil
(+2/+2), EKG: ST, TD: 125/73
N: 109x/menit, RR: 35x/menit, S:
37,8 C SaO2: 94%. Intake : 723,4
12.00 output: 282 balance: +441,4
- Melakukan observasi
Respon :
Kesadaran: Delirium, pupil
(+2/+2), EKG: ST, TD: 142/98
N: 101x/menit, RR: 37x/menit, S:
13.00 37,4 C SaO2: 94%.
- Melakukan observasi
Respon :
Kesadaran: Delirium, kontak
mata (-) pupil (+2/+2), EKG: ST,
TD: 127/75 N: 119x/menit, RR:
29x/menit, S: 38,5 C SaO2: 95%.
Intake : 927,3 output: 1629
balance: -701,7
- Memberikan terapi
Ceftriaxone 2g
- Kalnex
- Pantoprazole
14.00 - Melakukan observasi
Respon :
Kesadaran: Delirium kontak mata
(-), pupil (+2/+2), EKG: ST, TD:
133/68 N: 111x/menit, RR:
37x/menit, S: 38,1 C SaO2: 95%.
Intake : 994 output: 1681
balance: +686,8

4. 16 – 03 – - Memposisikan klien S : -
2018 senyaman mungkin O:
07.00 Respon : Posisi tidur klien semi fowler, bedplang dan restrain terpasang
Posisi semi fowler Kesadaran: CM kontak mata (+), pupil (+2/+2), EKG: ST, TD: 133/68
- Pastikan keamanan pasien N: 91x/menit, RR: 27x/menit, S: 38,1 C SaO2: 95%.
Respon : Intake : 994 output: 1681 balance: +686,8
A:
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hipervetilasi
Restrain terpasang pada kedua 2. Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan
ekstermitas atas dan bawah, 3. Resiko infeksi berhubungan dengan
bedplang terpasang dengan baik. 4. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
- Mengobservasi produksi berhubungan dengan faktor biologis
cairan NGT 5. Risiko sindrom disuse berhubungan dengan imobilisasi fisik.
Respon:
Produksi cairan NGT cokelat P :
kehitaman - Managemen cairan
- Melakukan observasi - managemen nutrisi
Respon : - perawatan tirah baring
Kesadaran: Delirium, kontak - manajemen elektrolit
mata (-), pupil (+2/+2), EKG: ST,
TD: 126/75 N: 103x/menit, RR:
24x/menit, S: 37,6 C SaO2:
100%.
Intake : 3,9 output: 47 balance: -
43,1
- Mendengarkan suara nafas
klien
Respon :
09.00 Suara nafas vesikuler
- Melakukan observasi
Respon :
Kesadaran: Delir kontak mata (-),
pupil (+2/+2), EKG: ST, TD:
124/67 N: 100x/menit, RR:
26x/menit, S: 38,1C SaO2: 94%.
Intake : 107,8 output: 94
balance: +13,8
- Memberikan terapi sanmol
drop
Respon :
Terapi Sanmol diberikan lancar
10.00 - Melakukan observasi
Respon :
Kesadaran: CM kontak mata (+)
pupil (+2/+2), EKG: SR, TD:
132/63 N: 96x/menit, RR:
23x/menit, S: 37,8 C SaO2: 94%.
Intake : 111,7 output: 141
balance: -29,3
- Melakukan Lapase
Respon :
Lapase dilakukan dengan cairan
200cc
- Mengganti linen pasien

11.00 - Melakukan observasi


Respon :
Kesadaran: CM, pupil (+2/+2),
EKG: SR, TD: 125/73 N:
98x/menit, RR: 24x/menit, S:
37,8 C SaO2: 94%. Intake : 723,4
output: 282 balance: +441,4
12.00 - Melakukan observasi
Respon :
Kesadaran: CM, pupil (+2/+2),
EKG: ST, TD: 122/98 N:
98x/menit, RR: 27x/menit, S:
37,4 C SaO2: 94%.
13.00 - Melakukan observasi
Respon :
Kesadaran: Delirium, kontak
mata (+) pupil (+2/+2), EKG: SR,
TD: 127/75 N: 93x/menit, RR:
29x/menit, S: 38,5 C SaO2: 95%.
Intake : 927,3 output: 1629
balance: -701,7
- Memberikan terapi
Ceftriaxone 2g
- Kalnex
- Pantoprazole
- Melakukan observasi
14.00 Respon :
Kesadaran: CM kontak mata (+),
pupil (+2/+2), EKG: ST, TD:
133/68 N: 91x/menit, RR:
27x/menit, S: 38,1 C SaO2: 95%.
Intake : 994 output: 1681
balance: +686,8

5. 19 – 03 – - Memposisikan klien S : -
2018 senyaman mungkin O:
14.00 Respon : Posisi tidur klien semi fowler, bedplang dan restrain terpasang
Posisi semi fowler Kesadaran: Delirium kontak mata (-), pupil (+2/+2), EKG: ST, TD:
- Pastikan keamanan pasien 133/68 N: 111x/menit, RR: 37x/menit, S: 38,1 C SaO2: 95%.
Respon : A:
Restrain terpasang pada kedua 1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hipervetilasi
ekstermitas atas dan bawah, 2. Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan
bedplang terpasang dengan baik. 3. Resiko infeksi berhubungan dengan
- Mengobservasi produksi 4. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
cairan NGT berhubungan dengan faktor biologis
Respon: 5. Risiko sindrom disuse berhubungan dengan imobilisasi fisik.
Produksi cairan NGT cokelat
kehitaman P:
- Melakukan observasi - Managemen cairan
Respon : - managemen nutrisi
Kesadaran: Delirium, kontak - perawatan tirah baring
mata (-), pupil (+2/+2), EKG: ST, - manajemen elektrolit
TD: 126/75 N: 100x/menit, RR:
33x/menit, S: 37,6 C SaO2:
100%.
Intake : 944,1 output: 783
balance: +161,1
- Mendengarkan suara nafas
klien
Respon :
Suara nafas vesikuler
- Melakukan observasi
15.00 Respon :
Kesadaran: Delir kontak mata (-),
pupil (+2/+2), EKG: ST, TD:
121/77 N: 115x/menit, RR:
33x/menit, S: 38,1C SaO2: 94%.
Intake : 1009,7 output: 819
balance: +190,7
- Memberikan terapi sanmol
drop
Respon :
Terapi Sanmol diberikan lancar
16.00 - Melakukan observasi
Respon :
Kesadaran: Delirium kontak mata
(-) pupil (+2/+2), EKG: ST, TD:
132/63 N: 106x/menit, RR:
40x/menit, S: 37,8 C SaO2: 94%.
Intake : 1075,3 output: 855
balance: +220,3
- Melakukan Lapase
Respon :
Lapase dilakukan dengan cairan
200cc
- Mengganti linen pasien

17.00 - Melakukan observasi


Respon :
Kesadaran: Delirium, pupil
(+2/+2), EKG: ST, TD: 125/73
N: 109x/menit, RR: 35x/menit, S:
37,8 C SaO2: 94%. Intake :
1349,9 output: 891 balance:
+449,9
18.00 - Melakukan observasi
Respon :
Kesadaran: Delirium, pupil
(+2/+2), EKG: ST, TD: 142/98
N: 101x/menit, RR: 37x/menit, S:
37,4 C SaO2: 94%.
20.00 - Melakukan observasi
Respon :
Kesadaran: Delirium, kontak
mata (-) pupil (+2/+2), EKG: ST,
TD: 127/75 N: 119x/menit, RR:
29x/menit, S: 38,5 C SaO2: 95%.
Intake : 1587,7 output: 1487
balance: +100,7
- Memberikan terapi
Ceftazidime 1 gr
- Kalnex
- Citicolin 250mg
21.00 - Melakukan observasi
Respon :
Kesadaran: Delirium kontak mata
(-), pupil (+2/+2), EKG: ST, TD:
133/68 N: 111x/menit, RR:
37x/menit, S: 38,1 C SaO2: 95%.
Intake : 1653 output: 1665
balance: -11,7

6. 20 – 03 – - Memposisikan klien S : -
2018 senyaman mungkin O:
07.00 Respon : Posisi tidur klien semi fowler, bedplang dan restrain terpasang
Posisi semi fowler Kesadaran: Delirium kontak mata (-), pupil (+2/+2), EKG: ST, TD:
- Pastikan keamanan pasien 133/68 N: 111x/menit, RR: 37x/menit, S: 38,1 C SaO2: 95%.
Respon : Intake : 1681 output: 994 balance: -686,8
Restrain terpasang pada kedua A :
ekstermitas atas dan bawah, 1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hipervetilasi
bedplang terpasang dengan baik. 2. Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan
- Mengobservasi produksi 3. Resiko infeksi berhubungan dengan
cairan NGT 4. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
Respon: berhubungan dengan faktor biologis
Cairan berwarna hijau jernih 5. Risiko sindrom disuse berhubungan dengan imobilisasi fisik.
- Melakukan observasi
Respon : P:
Kesadaran: Delirium, kontak - Managemen cairan
mata (-), pupil (+2/+2), EKG: ST, - managemen nutrisi
TD: 126/75 N: 100x/menit, RR: - perawatan tirah baring
33x/menit, S: 37,6 C SaO2: - manajemen elektrolit
100%.
Intake : 3,9 output: 47 balance: -
43,1
- Mendengarkan suara nafas
klien
Respon :
Suara nafas vesikuler
- Melakukan observasi
Respon :
09.00 Kesadaran: Delir kontak mata (-),
pupil (+2/+2), EKG: ST, TD:
121/77 N: 115x/menit, RR:
33x/menit, S: 38,1C SaO2: 94%.
Intake : 107,8 output: 94
balance: +13,8
- Memberikan terapi sanmol
drop
Respon :
Terapi Sanmol diberikan lancar
- Melakukan observasi
Respon :
10.00 Kesadaran: Delirium kontak mata
(-) pupil (+2/+2), EKG: ST, TD:
132/63 N: 106x/menit, RR:
40x/menit, S: 37,8 C SaO2: 94%.
Intake : 111,7 output: 141
balance: -29,3
- Melakukan Lapase
Respon :
Lapase dilakukan dengan cairan
200cc
- Mengganti linen pasien

- Melakukan observasi
Respon :
11.00 Kesadaran: Delirium, pupil
(+2/+2), EKG: ST, TD: 125/73
N: 109x/menit, RR: 35x/menit, S:
37,8 C SaO2: 94%. Intake : 723,4
output: 282 balance: +441,4
- Melakukan observasi
Respon :
12.00 Kesadaran: Delirium, pupil
(+2/+2), EKG: ST, TD: 142/98
N: 101x/menit, RR: 37x/menit, S:
37,4 C SaO2: 94%.
- Melakukan observasi
Respon :
13.00 Kesadaran: Delirium, kontak
mata (-) pupil (+2/+2), EKG: ST,
TD: 127/75 N: 119x/menit, RR:
29x/menit, S: 38,5 C SaO2: 95%.
Intake : 927,3 output: 1629
balance: -701,7
- Memberikan terapi
Ceftriaxone 2g
- Kalnex
- Pantoprazole
- Melakukan observasi
Respon :
14.00 Kesadaran: Delirium kontak mata
(-), pupil (+2/+2), EKG: ST, TD:
133/68 N: 111x/menit, RR:
37x/menit, S: 38,1 C SaO2: 95%.
Intake : 1681 output: 994
balance: -686,8
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pasien wanita 28 tahun, hamil 9 bulan dengan hipertensi selama kehamilan. Pasien
menderita hpertensi selama kehamilan dimulai dari kehamilan anak kedua. Keluhan nyeri pada
ulu hati disangkal, keluhan mata kabur disangkal, keluhan mual-muntah disangkal, dan keluhan
nyeri kepala disangkal. Pasien juga mengeluh sesak, nyeri kepala, dan menggigil berkeringat
dingin.

Pasien di diagnosis PEB pada G3P1A1 hamil 32 minggu. Dilakukan pemeriksaan


laboratorium darah pada 7 Maret 2018, didapatkan adanya peningkatan enzim hati dengan nilai
SGOT 659 U/L SGPT 446 U/L dan nilai trombosit rendah dengan nilai 126000 sel/uL.
Sehingga pasien juga didiagnosis murni HELLP sindrom.

Dari penjelasan sebelumnya, HELLP sindrom terbagi menjadi HELLP sindrom murni
dan HELLP sindrom parsial. HELLP sindrom ditegakkan melalui pemeriksaan laboratorium
dengan peningkatan enzim hati, trombositopenia, dan peningkatan LDH. HELLP sindrom
murni adalah apabila ketiga kategori HELLP sindrom terdapat pada pasien tersebut, sedangkan
HELLP sindrom parsial ditegakkan apabila hanya satu atau dua dari tiga kategori tersebut yang
ada. HELLP sindrom merupakan komplikasi dari preeklamsia. Pada pasien ini, terlihat bahwa
murni HELLP sindrom yang dialami didahului oleh preeklamsia.

Pasien dirawat dan diobservasi untuk mencegah terjadinya perburukan dari preeklamsia
dan HELLP sindrom yang diderita.

66
BAB V
PENUTUP
Sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low Platelets Count)
merupakan suatu variasi dari preeklamsia berat yang disertai trombositopenia, hemolisis dan
gangguan fungsi hepar. Faktor risiko sindrom HELLP berbeda dengan preeklampsi pasien
sindrom HELLP secara bermakna lebih tua (rata-rata umur 25 tahun) dibandingkan pasien
preeklampsi-eklampsi tanpa sindrom HELLP. Gambaran klinis Sindrom HELLP bervariasi.
Oleh sebab itu diperlukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan penunjang untuk
mediagnosis Sindrom HELLP. Pasien-pasien dengan faktor risiko, diharapkan melakukan
pemeriksaan kehamilan (ANC) secara teratur. Diagnosis dini sangat penting mengingat
banyaknya penyakit yang mirip dengan sindrom HELLP. Pengobatan sindrom HELLP juga
harus memperhatikan cara-cara perawatan dan pengobatan pada preeklamsia dan eklamsia.

67
DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo, S. Buku Ajar Ilmu Kebidanan. FK-UI. 2009 : 530-60


2. Jayakusuma A. Sindrom HELLP Parsial Pada Kehamilan Prematur. FK – UNUD.
2005. 25 – 43
3. Angsar, M. Hipertensi Dalam Kehamilan Edisi II. FK-UNAIR. 2003: 10-19
4. Rambulangi, J. Sindrom HELLP. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran. No. 151. 2006
5. Weinstein L. Syndrome of Hemolysis, Elevated Liver Enzymes and Low Trombosit
counts : A Severe Consequence of Hypertension in Pregnancy. AmJ Obstet Gynecol
1982 ; 142 : 159 – 67.
6. Cunningham, FG. Obstetri Williams. Jakarta: EGC. 2013. 740-786.
7. Hohllagschwandtner M, Todesca DB. HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes and
low trombosit counts) Needs Help. AmJ Obstet Gynecol 2000:182.
8. Sofoewan S. Pregnancy Outcome of Women with Severe Preeclampsia With and
Without HELLP Syndrome. Dalam : AUFOG Accredited Ultrasound and Workshop.
Bandung. 2001
9. Lockwood CJ, Paidas MJ. Preeclampsia and Hypertensive Disorders. In : Cohen WR.
Complication in Pregnancy. Ed. 5th. Philadelphia : Lippicott Williams Wilkins. 2000
: 207 – 26.
10. Van Dam P, Reiner M, Baekelandt M, etal. Disseminated Intravascular Coagulation
and The Syndrome of Hemolysis, Elevated Liver Enzymes and Low Trombosit in
Severe Preeclampsia. Obstet Gynecol 1989 : 73 : 97-102.
11. Bowers D, Wenk RE. Clinical Laboratory Referent Values. In : Cohen WR.
Complication in Pregnancy. Ed. 5th. Philadelphia : Lippicott Williams & Wilkins. 2000
: 873 – 81.
12. Bailis A, Witter F. Hypertensive Disorders of Pregnancy. In: The Jhons Hopkins
Manual of Gynecology and Obstetrics, 3rd Ed. 2007.

68
69

Anda mungkin juga menyukai