Anda di halaman 1dari 47

MAKALAH SISTEM IMUN

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)

Dosen Pengampu:
Khamida, S.Kep.Ns,M.kep
Disusun Oleh:
Kelompok 14/ III-B

1
2
3
4
5

Naila Intias H.
Rafita
Thariqatul Jannah
Retno Dwi Lestari
Sinta Anggy L.

(1130014052)
(1130014059)
(1130014062)
(1130014064)
(1130014090)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


UNIVERSITAS NU SURABAYA
2015

KATA PENGANTAR

Berkat rahmat Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan makalah yang


berjudul Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Pada kesempatan ini, penulis
ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
Seperti kata pepatah Tak ada gading yang tak retak, maka penulis pun
sangat menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini, masih banyak terdapat
kekurangan. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi
kesempurnaan tugas ini.
Akhir kata, semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi kita semua amin.

Surabaya, 5 November 2015


Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................ii


DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................2
1.3 Tujuan................................................................................................................2
BAB II TINJAUAN TEORI....................................................................................4
2.1 Anatomi Sistem Imun .......................................................................................4
2.2 Fisiologi Sistem Imun .......................................................................................7
2.3 Biokimia Sistem Imun ....................................................................................13
BAB II KONSEP DASAR SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)........16
3.1 Definisi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) ..............................................16
3.2 Etiologi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) ..............................................16
3.3 Manifestasi Klinis Systemic Lupus Erythematosus (SLE) ..............................16
3.4 Patofisiologi Systemic Lupus Erythematosus (SLE)........................................18
3.5 Pemeriksaan Penunjang Systemic Lupus Erythematosus (SLE) .....................20
3.6 Penatalaksanaan Medis Systemic Lupus Erythematosus (SLE) ......................20
3.7 Komplikasi Systemic Lupus Erythematosus (SLE)..........................................21
3.8 Sistem Layanan Kesehatan untuk Pasien Systemic Lupus Erythematosus
(SLE) ...............................................................................................................21
BAB IV ASUHAN KEPERAWATAN SYSTEMIC LUPUS
ERYTHEMATOSUS (SLE) ....................................................................................25
4.1 Pengkajian Keperawatan..................................................................................25
4.2 Diagnosa Keperawatan ...................................................................................26
4.3 Intervensi Keperawatan ..................................................................................27
BAB V PENUTUP................................................................................................35
5.1 Kesimpulan .....................................................................................................35
5.2 Saran ...............................................................................................................35
5.3 Pertanyaan serta Jawaban....................................36
BAB VI SAP..37
6.1 Rancangan Pembelajaran37
6.2 Rencana pembelajaran....38

6.3 Materi pembelajaran...40


6.4 Metode pembelajaran.....43
6.5 Media pembelajaran...43
6.6 Evaluasi pembelajaran45
DAFTAR PUSTAiv

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Penyakit lupus merupakan penyakit kelainan pada kulit, dimana
disekitar pipi dan hidung akan terlihat kemerah-merahan. Perkembangan
penyakit lupus meningkat tajam di Indonesia. Pada tahun 2006 saja, di RS
Dr. Soetomo sudah terdapat 215 orang yang terkena SLE (Sistemic Lupus
Erythematosus). Hal ini disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering
terlambat diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi yang
inadekuat, penurunan kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang
dihadapi oleh penderita SLE.
Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan
penderita SLE dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan
dukungan yang terkait dengan SLE. Manifestasi klinis dari SLE
bermacam-macam meliputi sistemik, muskuloskeletal, kulit, hematologik,
neurologik, kardiopulmonal, ginjal, saluran cerna, mata, trombosis, dan
kematian janin.
Dengan demikian, lupus merupakan penyakit yang terjadi karena
kelainan dalam sistem pertahanan tubuh (sistem imun). Hal ini,
dikarenakan organ dan sel pada penderita SLE mengalami kerusakan yang
disebabkan oleh tissue-binding autoantibody dan kompleks imun, yang
menimbulkan peradangan dan bisa menyerang berbagai sistem organ. Oleh
karena itu, penyakit ini dinamakan sistemik karena mengenai hampir
seluruh bagian tubuh. Jika lupus hanya mengenai kulit saja, sedangkan
organ lain tidak terkena, maka disebut lupus kulit (lupus kutaneus) yang
tidak terlalu berbahaya dibandingkan lupus yang sistemik (Systemic Lupus
Erythematosus).
Dari uraian diatas dapat diketahui betapa beresikonya penyakit
Systemic Lupus Erythematosus jika menyerang sistem imun tubuh. Maka
dari itu, untuk menanggani masalah diatas tenaga kesehatan perlu
mengadakan penyuluhan kepada masyarakat tentang bahaya penyakit
Systemic Lupus Erythematosus begitu pula cara pencegahan dan cara
penanggulanannya. (Siregar, 2013)

1.2

Rumusan Masalah

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Adapun masalah yang dibahas dalam penulisan makalah ini adalah :


Bagaimana anatomi sistem imun ?
Bagaimana fisiologi sistem imun ?
Bagaimana biokimia sistem imun ?
Bagaimana definisi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) ?
Bagaimana etiologi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) ?
Bagaimana manifestasi klinis Systemic Lupus Erythematosus (SLE) ?
Bagaimana patofisiologi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) ?
Bagaimana pemeriksaan penunjang Systemic Lupus Erythematosus

(SLE) ?
9. Bagaimana penatalaksanaan medis Systemic Lupus Erythematosus
(SLE) ?
10. Bagaimana komplikasi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) ?
11. Bagaimana sistem layanan kesehatan pasien Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) ?
12. Bagaimana asuhan keperawatan Systemic Lupus Erythematosus
(SLE)? (Siregar, 2013)
1.3

Tujuan
1.
2.
3.
4.

Adapun tujuan daripada penulisan makalah ini adalah :


Mengetahui dan memahami anatomi sistem imun.
Mengetahui dan memahami fisiologi sistem imun.
Mengetahui dan memahami biokimia sistem imun.
Mengetahui dan memahami definisi Systemic Lupus Erythematosus

(SLE).
5. Mengetahui dan memahami etiologi Systemic Lupus Erythematosus
(SLE).
6. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis Systemic Lupus
Erythematosus (SLE).
7. Mengetahui dan memahami

patofisiologi

Systemic

Lupus

Erythematosus (SLE).
8. Mengetahui dan memahami pemeriksaan penunjang Systemic Lupus
Erythematosus (SLE).
9. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan medis Systemic Lupus
Erythematosus (SLE).
10. Mengetahui dan memahami

komplikasi

Systemic

Lupus

Erythematosus (SLE).
11. Mengetahui dan memahami sistem layanan kesehatan pasien Systemic
Lupus Erythematosus (SLE).
12. Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan Systemic Lupus
Erythematosus (SLE). (Siregar, 2013)

BAB II
TINJAUAN TEORI
3.1

Anatomi Sistem Imun


1. Jenis Imunitas
Ada dua tipe umum imunitas, yaitu : alami (natural) dan di
dapat (akuisita). Setiap tipe imunitas memainkan peranan yang berbeda
dalam

mempertahankan

tubuh

terhadap

para

penyerang

yang

berbahaya, namun berbagai komponen biasanya bekerja dengan cara


yang saling tergantung yang satu dengan yang lain.
Imunitas alami merupakan kekebalan yang non-spesifik yang di
temukan pada saat lahir dan memberikan respon non-spesifik terhadap
setiap penyerang asing tanpa memperhatikan komposisi penyerang
tersebut. Dasar mekanisme pertahanan alami semata-mata merupakan
kemampuan untuk membedakan antara sahabat dan musuh atau antara
diri sendiri dan bukan diri sendiri.
Mekanisme alami semacam ini mencakup :
a. Sawar (barier) fisik

Mencakup kulit serta membran mukosa yang utuh sehingga


mikroorganisme patogen dapat dicegah agar tidak masuk kedalam
tubuh, dan silia pada traktus respiratorius bersama respon batuk serta
bersin yang bekerja sebagai filter dan membersihkan saluran napas
atas dari mikroorganisme patogen sebelum mikroorganisme tersebut
menginflasi tubuh lebuh lajut.
b. Sawar (barier) kimia
Mencakup getah lambung yang asam, enzim dalam air mata serta air
liur (saliva) dan substansi dalam sekret kelenjar sebasea serta
lakrimalis, bekerja dengan cara non-spesifik untuk menghancurkan
bakteri dan jamur yang menginvasi tubuh. Virus dihadapi dengan
cara interveron yaitu salah satu tipe pengubah (modifier) respon
biologi yang merupakan substansi virisaida non-spesifik yang secara
alami yang diproduksi oleh tubuh dan dapat mengaktifkan
komponen lainya dari sistem imun.
c. Sel darah putih (leukosit)
Leukosit granular atau granolosit mencakup neutrofil (leukosit
polimorfonuklear atau PMN karena nukleusnya terdiri atas beberapa
lobus) merupakan sel pertama yang tiba pada tempat terjadinya
inflamasi. Eosinofil dan basofil yaitu tipe leukosit lain yang
meningkat jumlahnya pada saat terjadi reaksi alergi dan respon
terhadap stress. Granulosit akan memerangi serbuan benda asing
atau toksin dengan melepaskan mediator sel seperti histamine,
brandikinin, prostaglandin, dan akan menyerang benda asing atau
toksin tersebut. Leukosit non granuler mencakup monosit yang
berfungsi sebagai sel fagosit yang dapat menelan, mencerna, dan
menghancurkan benda asing atau toksin dalam jumlah yang lebih
besar dibandingkan granulosit dan limfosit yang terdiri atas sel T dan
sel B yang memainkan peranan utama dalam imunitas humoral dan
imunitas yang diantarai oleh sel.
d. Respon inflamasi

Merupakan fungsi utama dari sistem imun alami yang dicetuskan


sebagai reaksi terhadap cidera jaringan atau mikroorganisme
penyerang. Zat-zat mediator kimia turut membantu respon inflamasi
untuk mengurangi kehilangan darah, mengisolasi mikroorganisme
penyerang,

mengaktifkan

sel-sel

fagosit,

dan

meningkatkan

pembentukan jaringan parut fibrosa serta regenerasi jaringan yang


cedera.
Imunitas yang didapat (acquired imunity) terdiri atas respon
imun yang tidak di jumpai pada saat lahir tetapi diperoleh dalam
kehidupan seseorang. Imunitas didapat biasanya terjadi setelah
seseorang terjangkit penyakit atau mendapatkan imunisasi yang
menghasilkan respon imun yang bersifat protektif. Ada dua tipe
imunitas yang di dapat, yaitu aktif dan pasif. Pada imunitas didapat
yang aktif, pertahanan imunologi akan dibetuk oleh tubuh orang yang
dilindungi oleh imunitas tersebut dan umumnya berlangsung selama
bertahun-tahun bahkan seumur hidup. Imunitas didapat yang pasif
merupakan imunitas temporer yang di transmisikan dari sumber lain
yang sudah memiliki kekebalan setelah menderita sakit atau menjalani
imunisasi.
2. Stadium Respon Imun
Ada empat stadium yang batasnya jelas dalam sutu respon imun, yaitu :
a. Stadium Pengenalan
Dasar setiap reaksi imun adalah pengenalan dimana kemampuan dari
sistem imunitas untuk mengenali anti gen sebagai unsur yang asing atau
bukan bagian dari dirinya sendiri. Tubuh akan melaksanakan
pengenalan (recognition) dengan menggunakan nodus limfatikus dan
limfosit sebagai pengawas (surveilans). Nodus limfatikus atau kelenjar
limfe tersebar luas diseluruh tubuh dan akan melepaskan limfosit
berukuran kecil ke dalam aliran darah. Limfosit ini akan mengawasi
jaringan dan pembuluh limfe yang mengalirkan cairan limfe dari daerah
yang dilayani oleh nodus limfatikus tersebut untuk membentuk sistem
kekebalan. Ketika bahan asing masuk ke dalam tubuh, limfosit yang

beredar akan mendekati dan melakukan kontak fisik dengan permukaan


antigen. Begitu terjadi kontak, limfosit dengan bantuan makrofa dapat
menghilangkan anti gen dalam permukaan dengan cara mengambil
cetakan stukturnya.
b. Stadium Poliferasi
Limfosit yang beredar dan mengandung pesan antigenik akan kembali
pada nodus limfatikus terdekat. Ketika dalam nodus limfatikus, limfosit
yang sudah disensitisasi akan menstimulasi limfosit yang aktif untuk
membesar, membelah diri, mengadakan poliferasi, dan berdeferensiasi
menjadi limfosit T atau B.
c. Stadium Respon
Dalam stadium respon, limfosit yang sudah berubah akan berfungsi
dengan cara humoral atau seluler. Respon humoral inisial memproduksi
antibodi oleh limfosit B sebagai reaksi terhadap antigen spesifik.
Antibodi dilepaskan ke dalam aliran darah dan berdiam di dalam
plasma atau fraksi darah berupa cairan. Dalam respon seluler inisial
limfosit yang sudah disensitisasi dan kembali ke nodus limfatikus akan
bermigrasi ke daerah lain untuk mejadi sel-sel Yang akan menyerang
langsung mikroba bukan lewat kerja antibodi. Limfosit ini dikenal
sebagai sel T sitotoksit. Respon seluler tampak dengan manivestasi
melaui peningkatan jumlah limfosit.
d. Stadium Efektor
Dalam stadium efektor, antibodi dari respon humoral atau seltis
sitotoksit dari respon seluler akan menjangkau antigen dan terangkai
pada permukaan objek yang asing. (Nurachmah, Elly. 2011)
3.2

Fisiologi Sistem Imun


Tubuh manusia mempunyai kemampuan untuk melawan hampir
semua organisme atau toksin yang cenderung masuk ke jaringan dan
organ. Kemampuan ini dinamakan imunitas (kekebalan) yang khusus
untuk membentuk antibodi serta limfosit untuk menyerang dan
menghancurkan mikroorganisme spesifik atau toksin.

1. Fungsi Sistem Imun


a. Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan
dan menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri,
parasit, jamur, dan virus, serta tumor) yang masuk ke dalam tubuh.
b. Menghilangkan jaringan atau sel yang mati atau rusak (debris sel)
untuk perbaikan jaringan.
c. Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal.
2. Faktor yang Mempengaruhi Sistem Imun
1) Usia
Frekuensi dan intensitas infeksi meningkat pada usia lanjut,
juga terjadi penurunan kemampuan untuk bereaksi secara memadai
terhadap mikroorganisme yang menginvasi. Terganggunya fungsi
limfosit T dan B menurunkan fungsi sistem organ yang berkaitan
seperti lambung, sel kemih, jaringan paru, penipisan kulit, neuropati
perifer, dan penurunan sensibilitas sirkulasi.
2) Gender (Jenis Kelamin)
a. Estrogen memodulasi aktivitas limfosit T (sel supresor).
b. Androgen berfungsi untuk mempertahankan produksi interkulin 2
dan aktivitas sel sukresor.
c. Estrogen cenderung menggalakkan imunitas sedangkan androgen
bersifat imunosupresif.
3) Nutrisi
a. Gangguan fungsi imun yang disebabkan oleh insufisiensi protein
kalori terjadi akibat kekurangan vitamin yang diperlukan untuk
sintesis DNA dan protein.
b. Vitamin akan membantu dalam pengaturan proliferasi sel dan
maturasi sel imun.
c. Kelebihan atau kekurangan unsur-unsur renik (tembaga, besi,
mangan, selenium, zink) akan mempengaruhi sistem imun.
4) Faktor Psikoneuroimunologi
a. Limfosit dan mikrofag memiliki reseptor yang dapat bereaksi
terhadap neurotransmiter dan hormon-hormon endokrin.

b. Proses imun dapat mempengaruhi fungsi neural dan endokrin


termasuk perilaku.
5) Kelainan Organ Lain
Keadaan seperti luka bakar atau bentuk cedera lain (infeksi dan
kanker) turut mengubah fungsi sistem imun. Hilangnya serum dalam
jumlah besar akan menimbulkan deplesi (kehilangan) protein tubuh
yang esensial, termasuk imunoglobulin stesor fisiologis dan
psikologis, disertai stres karena pembedahan atau cedera akan
menstimulasi (mendorong) pelepasan kortisol dari korteks adrenal
turut menyebabkan supresi respons imun yang normal.

3. Sel-Sel Sistem Imun


A. Sel-Sel Imun Non Spesifik
A) Sel Fagosit
a. Fagosit Agranulosit
a) Sel monosit : sel yang berasal dan matang di sum-sum tulang
dimana setelah matang akan bermigrasi ke sirkulasi darah dan
berfungsi sebagai fagosit.
b) Sel makrofag : diferensiasi dari sel monosit yang berada dalam
sirkulasi. Ada 2 golongan, yaitu :
1) Fagosit

professional : monosit dan makrofag yang

menempel

pada

permukaan

dan

akan

memakan

mikroorganisme asing yang masuk. Monosit dan makrofag


juga

mempunyai

Inhibition

Factor

resepto

interferon

(MIF).

Selanjutanya

dan

Migration

monosit

dan

makrofag diaktifkan oleh Macrophage Activating Factor


(MAF) yang dilepas oleh sel T yang disensitasi.
2) Antigen Presenting Cell (APC) : sel yang mengikat antigen

asing yang masuk lalu memprosesnya sebelum dikenal oleh

limfosit. Sel-sel yang dapat menjadi APC antara lain :


kelenjar limfoid, sel Langerhans di kulit, Sel Kupffer di
hati, sel mikrogrial di SSP dan sel B.
b. Fagosit Garnulosit
1) Neutrofil : mempunyai reseptor untuk fraksi Fc antibodi dan
komplemen yang diaktifkan.
2) Eosinofil : eosinofil dapat dirangsang untuk degranulasi sel
dimana mediator yang dilepas dapat menginaktifkan mediatormediator yang dilepas oleh mastosit/basofil pada reaksi alergi.
eosinofil mengandung berbagai granul seperti Major Basic
Protein

(MBP),

Eosinophil

Cationic

Protein

(ECP),

Eosinophil Derived Neurotoxin (EDN) dan Eosinophil


Peroxidase

(EPO)

yang

besifat

toksik

dan

dapat

menghancurkan sel sasaran bila dilepas.


B) Sel Nol
Berupa Large Granular Lymphocyte (LGL) yang terbagi dalam sel
NK (Natural Killer) dan sel K (Killer). Sel NK dapat membunuh sel
tumor dengan cara non-spesifik tanpa bantuan antibodi sedang sel K
merupakan efektor Antibody Dependent Cell (ADCC) yang dapat
membunuh sel secara non-spesifik namun bila sel sasaran dilapisi
antibodi.
C) Sel Mediator
a. Basofil dan mastosit : melepaskan bahan-bahan yang mempunyai
aktivitas biologik antara lain meningkatkan permeabilitas
vaskuler dan respons inflamasi.
b. Trombosit : berfungsi pada homeostasis, memodulasi respons
inflamasi, sitotoksik sebagai selefektor dan penyembuhan
jaringan.
B. Sel-Sel Imun Spesifik
A) Limfosit T
Limfosit T diaktifkan oleh kelenjar timus yang berada di antara
jantung dan sternum. Hormon timosin, dihasilkan oleh timus,

bertanggung jawab untuk meningkatkan proses, yang menyebabkan


pembentukan limfosit T yang benar-benar terdiferensiasi, matur, dan
fungsional. Penting untuk dipahami bahwa limfosit T telah
diprogram hanya untuk mengenali satu jenis antigen, jadi saat
terpapar oleh antigen selanjutnya, tubuh tidak akan bereaksi dengan
antigen lain, betapapun bahayanya antigen tersebut. Dengan
demikian, limfosit T yang dibuat, misalnya untuk mengenali virus
campak, sel kanker, atau bakteri tuberkulosis. Limfosit T
memberikan imunitas diperantarai sel. Empat jenis limfosit T khusus
adalah sebagai berikut :
a. Sel T memori
Sel yang hidup lama ini bertahan hidup setelah ancaman
dinetralkan dan memberikan imunitas diperantarai sel dengan
merespon secara cepat terhadap paparan antigen yang sama
lainnya.
b. Sel T sitotoksik
Sel ini secara langsung menon-aktifkan sel yang membawa
antigen. Sel ini melekatkan diri pada sel target dan melepaskan
toksin yang sangat kuat dan efektif karena kedua sel ini samgat
berdekatan.

Peran

utama

limfosit

sitotoksik

adalah

menghancurkan sel tubuh yang abnormal, misal sel yang


terinfeksi dan sel kanker.
c. Sel T helper
Sel ini penting untuk memperbaiki fungsi bukan hanya imunitas
diperantarai sel (cell-mediated immunity), tetapi juga imunitas
yang diperantarai antibodi (antibody-mediated immunity). Peran
utama sel ini dalam imunitas ditekankan pada situasi ketika sel ini
dihancurkan, seperti pada penyakit AIDS oleh HIV. Saat jumlah
limfosit T turun drastis, maka seluruh sistem imun terganggu. T
helper merupakan limfosit T yang paling umum, fungsi utamanya
meliputi : produksi zat kimia khusus yang disebut sitokin (misal
interleukin dan interferon yang menunjang serta meningkatkan

limfosit T sitoksik juga makrofag) dan bekerja sama dengan


limfosit

menghasilkan

antibodi;

walaupun

limfosit

bertanggung jawab sebagai penghasil antibodi, limfosit B harus


distimulus oleh limfosit T helper terlebih dahulu.
d. Sel T supresor
Sel ini bekerja sebagai rem, menghentikan limfosit T dan B
yang aktif. Sel ini membatasi efek yang kuat dan berpotensi
membahayakan respon imun.
B) Limfosit B
Limfosit B diproduksi dan diproses di dalam sumsum tulang.
Perannya dalam produksi antibodi (imunoglobulin) adalah protein
yang

dirancang

untuk

berikatan

dengan

antigen

dan

menghancurkannya. Seperti limfosit T, tiap limfosit B juga


diprogram hanya untuk satu antigen khusus; antibodi yang
dilepaskan bereaksi terhadap satu jenis antigen saja. Limfosit B
memproduksi dua jenis sel fungsional yang berbeda, yaitu sel plasma
dan sel memori B.
a. Sel Plasma
Sel ini menyekresikan antibodi ke darah. Antibodi dibawa oleh
jaringan, sementara limfosit B sendiri tetap berada di dalam
jaringan limfosid. Hidup sel plasma tidak lebih lama dari 1 hari
dan menghasilkan hanya satu jenis antibodi yang bekerja untuk
antigen tertentu saja yang awalnya berikatan dengan limfosit B.
Antibodi bekerja dan berikatan dengan antigen, menanamkan
antigen tersebut sebagai target untuk sel pertahanan. Terdapat
lima jenis antibodi, yaitu :
Jenis Antibodi
Ig A

Fungsi
Ditemukan pada sekret tubuh seperti
ASI dan saliva, serta mencegah antigen
menembus membran epitelium serta

Ig D

menyerang jaringan yang lebih dalam.


Dibuat oleh sel B dan ditampilkan pada
permukaannya. Antigen terikat di sini

Ig E

untuk mengaktifkan sel B.


Ditemukan pada membran sel (misal :
basofil dan sel mast), dan jika berikatan
dengan antigen akan mengaktifkan
respons imun. Antibodi ini sering

Ig G

ditemukan saat alergi.


Merupakan jenis antibodi yang paling
banyak dan paling besar. Antibodi ini
menyerang

banyak

patogen

dan

menembus plasenta untuk melindungi


Ig M

janin.
Dihasilkan dalam jumlah besar saat
respons

primer

dan

merupakan

aktivator komplemen yang kuat.


b. Sel B memori
Seperti sel T memori, sel ini tetap berada dalam tubuh untuk
waktu lama setelah episode awal saat pertama kali terpapar
antigen, dan dengan cepat berespons terhadap pemaparan antigen
yang sama berikutnya dengan menstimulasi produksi sel plasma
penyekresi antibodi. (Nurachmah, Elly. 2011)
3.3

Biokimia Sistem Imun


1. Tipe Sistem Imun
Secara umum sistem imun manusia terbagi dalam dua, yaitu :
alamiah dan adaptif (spesifik). Sistem imun alamiah terentang luas,
mulai dari air mata, air liur, keringat (dengan pHnya yang
rendah/asam), bulu hidung, kulit, selaput lendir, laktoferin dan asam
neuraminik (pada air susu ibu), sampai asam lambung termasuk di
dalamnya.
Secara lebih mendetail di dalam cairan tubuh seperti air mata atau
darah terdapat komponen sistem imun alamiah yang antara lain terdiri
dari fasa cair seperti IgA (Imunoglobulin A), Interferon, Komplemen,
Lisozim, ataupun C-Reactive Protein (CRP). Sementara fasa seluler
terdiri dari sel-sel pemangsa (fagosit) seperti sel darah putih

(Polymorpho Nuclear/PMN), sel-sel mono nuklear (monosit atau


makrofag), sel pembunuh alamiah (Natural Killer), dan sel-sel
dendritik.
Sedangkan pada sistem imun adaptif terdapat sistem dan struktur
fungsi yang lebih kompleks dan beragam. Sistem imun adaptif terdiri
dari sub sistem seluler yaitu keluarga sel limfosit T (T penolong dan T
sitotoksik) dan keluarga sel mono nuklear (berinti tunggal). Sub sistem
kedua adalah sub sistem humoral, yang terdiri dari kelompok protein
globulin terlarut yaitu: Imunoglobulin G, A, M, D, dan E.
Imunoglobulin dihasilkan oleh sel limfosit B melalui suatu proses
aktivasi khusus, bergantung kepada karakteristik antigen yang dihadapi.
Secara berkesinambunangan dalam jalinan koordinasi yang harmonis,
sistem imun baik yang alamiah maupun adapatif senantiasa bahumembahu menjaga keselarasan interaksi antara sistem tubuh manusia
dengan media hidupnya (ekosistem).
2. Mekanisme Kerja Sistem Imun
Keberadaan mikroba patogen dapat menimbulkan dampakdampak yang tidak diharapkan akan memicu sistem imun untuk
melakukan tindakan dengan urutan mekanisme sebagai berikut :
introduksi, persuasi, dan represi.
Meskipun komplemen dapat diasosiasikan sesuai artinya, yaitu
pelengkap, namun sesungguhnya fungsinya amatlah vital. Faktor
komplemen bertugas untuk menganalisa masalah untuk selanjutnya
mengenalkannya kepada imunoglobulin, untuk selanjutnya akan diolah
dan dipecah-pecah menjadi bagian-bagian molekul yang tidak
berbahaya bagi tubuh. Setelah itu limfosit T bekerja dengan memakan
mikroba patogen. Sel limfosit terdiri dari dua spesies besar, yaitu
limfosit T dan B. Bila limfosit B kelak akan bermetamorfosa menjadi
sel plasma dan selanjutnya akan menghasilkan imunoglobulin (G, A, M,
D, E), maka sel T akan menjadi divisi T helper, T sitotoksik, dan T
supresor.

Dalam kondisi yang berat akan terjadi beberapa proses berikut :


sel limfosit T akan meminimalisasi efek patogenik dari mikroba
patogen dengan cara bekerja sama dengan antibodi untuk mengenali
dan merubah antigen dari mikroba patogen menjadi serpihan asam
amino melalui sebuah mekanisme yang disebut Antibody Dependent
Cell Cytotoxicity (ADCC). Selain itu sel limfosit T bersama dengan sel
NK (Natural Killer) dan sel-sel dendritik dapat bertindak langsung
secara represif untuk menghentikan kegiatan mikroba patogen yang
destruktif melalui aktivitas kimiawi zat yang disebut perforin. Dalam
beberapa kondisi khusus, sel limfosit T dapat memperoleh bantuan dari
sel makrofag yang berperan sebagai Antigen Presenting Cell (APC)
alias sel penyaji antigen.
Sedangkan Sel limfosit B bertugas untuk membangun sistem
manajemen komunikasi terpadu di wilayah cairan tubuh (imunitas
humoral). Bila ada antigen dari unsur asing yang masuk, maka sel
limfosit B akan merespon dengan cara membentuk sel plasma yang
spesifik untuk menghasilkan molekul imunoglobulin yang sesuai
dengan karakteristik antigen dari unsur asing tersebut. (Nurachmah,
Elly. 2011)

BAB III
KONSEP DASAR SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)
3.1

Definisi Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


Lupus Eritematosus merupakan kelainan autoimun, yang terdapat
dalam dua bentuk utama, yaitu : Lupus Eritematosus Sistemik (Systemic
Lupus Erythematosus, SLE) yang dapat menyerang kulit maupun organorgan dalam, dan Lupus Eritematosus Diskoid (Discoid Lupus
Erythematosus, DLE), yang hanya bisa menyerang kulit. Pada sebagian
kecil pasien, DLE bisa berkembang menjadi SLE.
Lupus Eritematosus Sistemik merupakan kelainan multisistem,
yang dapat menyerang kulit, persendian, jantung, perikardium, paru-paru,
ginjal, otak, dan sistem hemopoietik. Penyakit ini secara khas menyerang
perempuan, terutama pada usia subur, serta berlanjut dalam suatu seri
terjadinya eksaserbasi dan remisi. (Siregar, 2013)

3.2

Etiologi Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


Penyebab pasti SLE masih merupakan misteri, tetapi bukti yang ada
menunjukkan faktor-faktor imunologi, lingkungan, hormonal dan genetik
yang saling terkait. Fakor yang lain meliputi :
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Stress fisik atau mental.


Infeksi streptokokus atau virus.
Panjaran cahaya matahari atau ultraviolet.
Imunisasi.
Kehamilan.
Metabolisme estrogen yang abnormal.

g.

Terapi dengan obat tertentu, seperti prokainamid (Pronestyl), hidralazi


(Apresoline), antikonvulsan, dan yang lebih jarang, penisilin, obatobat sulfa, serta kontrasepsi oral (pil KB). (Siregar, 2013)

3.3

Manifestasi Klinis Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


Awalnya SLE bisa bersifat akut atau insidius dan tidak
menghasilkan pola klinis yang khas. Meskipun SLE dapat mengenai setiap
sistem organ, namun tanda dan gejalanya berhubungan dengan cedera
jaringan dan inflamasi serta nekrosis yang kemudian terjadi sebagai akibat
serangan kompleks imun. Umumnya gejala klinis SLE meliputi :
a. Demam.
b. Penurunan berat badan.
c. Rasa tidak enak badan (malaise).
d. Keluhan mudah lelah.
e. Ruam.
f. Poliartlagia.
Tanda dan gejala tambahan dapat meliputi :
a. Lesi pada sendi yang serupa dengan artritis rematoid (meskipun artritis
lupus biasanya tidak erosif).
b. Lesi kulit yang paling sering berupa ruam eritematus di daerah yang
terpajan cahaya (ruam bentuk kupu-kupu yang klasik di daerah hidung
dan pipi terdapat pada kurang dari 50 % pasien) atau ruam berbentuk
papula dan skuama (yang menyerupai psoriasis), khususnya di bagian
tubuh yang terkena cahaya matahari.
c. Vaskulitis (khususnya pada jari-jari) yang mungkin terjadi karena lesi
yang bersifat infark, ulkus tungkai yang nekrotik atau gangren pada
jari-jari.
d. Fenomena Raynaud (sekitar 20% pasien).
e. Patchy alopecia dan ulkus yang tidak terasa nyeri pada membran
mukosa.
f. Abnormalitas paru, seperti pleuritis, efusi

pleura, pnemunitis,

hipertensi pulmoner, dan yang lebih jarang terjadi, perdarahan


pulmoner.

g. Kelainan jantung, seperti pericarditis, miokarditis, endocarditis, dan


aterosklerosis coroner yang dini.
h. Hemetoria, mikroskopik, piuria dan sedimen urine dengan silinder
seluler (celluler cast) akibat glomerulonefitis yang mungkin berlanjut
menjadi gagal ginjal (khususnya bila tidak ditangani dengan baik).
i. Infeksi saluran ini yang mungkin disebabkan oleh peningkatan
kerentanan pasien terhadap infeksi.
j. Gangguan serangan kejang (seizures) dan disfungsi mental.
k. Keterlibatan sistem saraf pusat (SSP), seperti ketidakstabilan emosi,
psikosis, dan sindrom otak organik.
l. Sakit kepala, iritabilitas, dan depresi (sering terjadi).
Gejala konstitusional SLE meliputi:
a) Rasa pegal, tidak enak badan, dan mudah lelah.
b) Demam dengan derajat rendah (subfebris) atau dengan lonjakan suhu
c)
d)
e)
f)
g)
3.4

tubuh (spiking fever) dan menggigil.


Anoreksia dan penurunan berat badan.
Pembesaran limfonodus (difus, local, dan tidak nyeri ketika ditekan).
Nyeri abdomen.
Mual, muntah, diare, konstipasi.
Haid yang tidak teratur atau amenore selama fase aktif SLE.
(Siregar, 2013)

Patofisiologi Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan

peningkatan

autoimun

yang

berlebihan.

Gangguan

imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,


hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya
terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka
bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid,
isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping
makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLEakibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada SLE, peningkatan produksi
autoimun diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal
sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan.
Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi
tambahan dan siklus tersebut berulang kembali. ( Price, Wilson 2005)
PATHW
Genetik, kuman/virus, sinar ultraviolet, obat-obat tertentu

Gangguan imunoregulasi
Antibodi yang berlebihan
Menimbulkan sel T supresor yang abnormal
Penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan
Perubahan
Antibodi menyerang organ-organ tubuh (sel, jaringan)
perfusi jaringan
Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Produksi antibodi secara terus-menerus
Res

Gangguan
Kulit
citra tubuh
kerusakan
integritas
kulit

3.5

Memicu penyakit inflamasi pada organ


Hb
Ginjal
Darah
Hati kerusakan
ParuOtak
Terjadi
ATP
Perubahan zat-zat
nutrisi
Perubahan
ParuKetidakefektifan
Efusi
Pleura statusyang dibutuhkan
tubuh
Intoleransi
BB
P
Kecemasan
dari kebutuhan
pola
napas
kesehatan
aktivitas
suplay
O2/
nutrien
Atritis
Sendi

Pemeriksaan Penunjang Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


Pemeriksaan untuk menentukan adanya penyakit ini bervariasi,
diantaranya :
a. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear, yang
terdapat pada hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi ini juga
bisa ditemukan pada penyakit lain. Karena itu jika menemukan antibodi
antinuklear, harus dilakukan juga pemeriksaan untuk antibodi terhadap
DNA rantai ganda. Kadar yang tinggi dari kedua antibodi ini hampir
spesifik untuk lupus, tapi tidak semua penderita lupus memiliki antibodi
ini. Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar komplemen (protein
yang berperan dalam sistem kekebalan) dan untuk menemukan antibodi
lainnya, mungkin perlu dilakukan untuk memperkirakan aktivitas dan
lamanya penyakit.
b. Ruam kulit atau lesi yang khas.
c. Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.

d. Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya


gesekan pleura atau jantung.
e. Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein lebih dari 0,5
mg/hari atau +++.
f. Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel
darah.
g. Biopsi ginjal.
h. Pemeriksaan saraf. (Siregar, 2013)
3.6

Penatalaksanaan Medis Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


a. Pemberian obat antiinflamasi nonsteroid termasuk aspirin untuk
mengendalikan gejala artritis.
b. Krim topikal kortikosteroid, seperti hidrokortison buteprat (Acticort)
atau triamsinolon (Aristocort) untuk lesi kulit yang kuat.
c. Penyuntikan kortikosteroid intalesi atau pemberian obat antimalaria,
seperti hidroksilorokuin sulfat (plaquenil), mengatasi lesi kulit yang
membandel.
d. Kortikosteroidsistemik untuk mengurangi gejala sistemik SLE dan
mencegah eksaserbasi akut yang menyeluruh ataupun penyakit yang
serius yang berhubungan dengan sistem organ yang penting, seperti
pleuritis, pericarditis, nefritis lupus, vaskulitis serta gangguan pada SSP.
e. Terapi steroid dosis tinggi dan terapi sitotoksik (seperti siklofosfamid
(Cytaxan) untuk mengatasi glomerulonephritis proliferative yang difus.
f. Dialisis atau transplantasi ginjal untuk gagal ginjal.
g. Obat-obat antihipertensi dan modifikasi diet untuk meniminalkan efek
lesi pada ginjal. (Siregar, 2013)

3.7

Komplikasi Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


Komplikasi SLE yang mungkin terjadi meliputi:
a. Infeksi lain yang terjadi secara bersamaan.
b. Infeksi saluran kemih.
c. Gagal ginjal.
d. Osteonecrosis tulang pinggul/ pangkal paha akibat akibat penggunaan
steroid jangka panjang. (Siregar, 2013)

3.8

Sistem

Layanan

Erythematosus (SLE)

Kesehatan

untuk

Pasien

Systemic Lupus

1. Rujukan Pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta dan Rumah Sakit
Hasan Sadikin Bandung, RS Dr. Soetomo Surabaya merupakan
beberapa rumah sakit di Indonesia yang melayani rujukan pasien
Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Dari data tahun 2002 di RSUP
Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE
dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam,
sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau
10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama
tahun 2010. Sedangkan pada tahun 2006 saja, di RS Dr. Soetomo sudah
terdapat 215 orang yang terkena SLE (sistemic lupus erythematosus).
2. Prosedur Rujukan Pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Batasan operasional rujukan kasus SLE ditujukan bagi dokter
umum, internis atau ahli lain yang memerlukan kepastian diagnosis,
pengelolaan pada kasus yang tidak responsif terhadap pengobatan yang
diberikan, adanya kekambuhan pada pasien yang telah tenang (remisi)
ataupun kasus SLE sedang berat dan keterlibatan organ vital, guna
pengelolaan spesialistik. Terdapat 4 (empat) tugas utama sebagai dokter
umum di perifer atau pusat pelayanan kesehatan primer, yaitu:
1) Waspada terhadap kemungkinan penyakit SLE ini di antara pasien
yang dirawatnya dan melakukan rujukan diagnosis.
2) Melakukan tatalaksana serta pemantauan penyakit SLE ringan dan
kondisinya stabil (pasien SLE tanpa keterlibatan organ vital dan atau
terdapat komorbiditas).
3) Mengetahui saat tepat untuk melakukan rujukan ke ahli reumatik
pada kasus SLE.
4) Melakukan kerjasama dalam pengobatan dan pemantauan aktivitas
penyakit pasien SLE derajat berat.
Bagan di bawah ini memperlihatkan alur fungsi rujukan dari dokter
umum di pusat pelayanan kesehatan primer sampai ke reumatologis :
DOKTER UMUM
PUSAT PELAYANAN
KESEHATAN PRIMER

KECURIGAAN SLE
RUJUK

Reumatologi/Internist
SLE derajat ringan

SLE dengan
komplikasi/aktivitas
RUJUK
meningkat.

Penegakan diagnosis.
Kajian aktivitas dan derajat
penyakit.
Perencanaan pengobatan.
Pemantauan
aktivitas
penyakit
secara
teratur/terprogram.

SLE derajat sedang dan berat


SLE refrakter/mengancam nyawa
Maksud rujukan dikelompokkan dalam:
a)
b)
c)
d)
e)

Konfirmasi diagnosis.
Kajian akan berat ringannya penyakit dan aktivitasnya..
Panduan pengelolaan secara umum.
Bila aktivitas penyakit tidak dapat dikendalikan.
Semua kasus SLE dengan keterlibatan organ vital

atau

membahayakan nyawa.
f) Pencegahan/pengobatan efek samping obat.
g) Pada SLE dengan keadaan tertentu seperti kehamilan.
3. Biaya Pengobatan
Meski tergolong penyakit tidak menular biaya pengobatan lupus
amat bervariasi, tergantung organ tubuh yang terkena dan berat
ringannya penyakit. Sebagian besar odapus cukup mengonsumsi obat
kortikosteroid, prednisone atau metilprednisolon.
Bila memakai obat generik, kedua obat tersebut harganya amat
murah, sebulan kurang dari Rp 100.000, jadi kalau berobat di rumah
sakit pemerintah, biasanya biayanya kurang dari Rp 200.000 sebulan.
Namun, apabila berobat ke dokter spesialis, tentu harganya akan lebih
mahal.
Apabila lupus menyerang ginjal pengobatan menjadi jauh lebih
mahal karena perlu tambahan siklofosfamid atau imuran atau cellcept
atau myfortic, yang memerlukan tambahan sekitar Rp 2 juta sebulan,
dengan pengobatan paling sedikit selama enam bulan. Kelainan pada

ginjal sering kali memerlukan biopsi ginjal dan kadang infus albumin
yang lumayan mahal.
Untuk lupus yang amat berat, seperti gangguan pada jantung
karena efusi perikard, penumpukan cairan di rongga perikard sekitar
jantung atau edem paru dengan sesak napas, pasiennya memerlukan
perawatan di ICU yang biayanya mahal. Sementara itu, untuk penyakit
lupus yang sangat ringan, penderita tidak perlu berobat khusus. Mereka
hanya perlu cukup menjaga pola hidup sehat. (Siregar, 2013)

BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN
SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)
4.1

Pengkajian Keperawatan
1. Identitas Pasien
Pasien tinggal di lingkungan yang sering terpapar sinar matahari
sehingga menjadi serangan pendahulu SLE, SLE lebih banyak
menyerang perempuan, terutama pada usia subur.
2. Riwayat Keperawatan
1) Keluhan Utama
Mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia, lesi kulit.
2) Riwayat Penyakit Sekarang
Timbul kemerah-merahan dengan edema di daerah pipi dalam
bentuk seperti kupu-kupu disertai rasa gatal.
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit yang berhubungan dengan SLE adalah anemia
hemolitik, trombositopeni, abotus spontan yang kronis, kelainan
pembekuan

darah

(kemungkinan

sindromma

antibodi

antikardiolipin).
4) Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit keluarga yang berhubungan dengan SLE adalah
anemia hemolitik, trombositopeni, abotus spontan yang kronis,
kelainan pembekuan darah (kemungkinan sindromma antibodi
antikardiolipin).
5) Riwayat Obat
Penting ditanyakan apakah pasien pernah minum obat hydrolozenit,
prokainamid, penisilin, antikonvulsi, sulfanamid, pil KB
3. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum
Mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia.
2) Sistem Kardiovaskuler

Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi


pleura. Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis
menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku,
jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral
tangan.
3) Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak,
rasa kaku pada pagi hari.
4) Sistem Integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu
yang melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat
mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
5) Sistem Pernapasan
Pleuritis atau efusi pleura.
6) Sistem Vaskuler
Inflamasi pada arteriol terminalis yang menimbulkan lesi papuler,
eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta
permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan
berlanjut nekrosis.
7) Sistem Renal
Edema dan hematuria.
8) Sistem Saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang,
korea ataupun manifestasi SSP lainnya. (Siregar, 2013)

4.2 Analisis ( Price, Wilson 2005)

No

Data

Masalah

Etiologi

1.

DS : Px mengatakan rasa takut


terhadap penolakan atau reaksi
orang lain.

Gangguan citra tubuh

Penyakit

DO : Terdapat ruam kupu-kupu


(butterfly atau malar rsh)
2.

DS : Px mengatakan nafsu makan


berkurang
DO : KU : lemah
BB menurun

Nutrisi kurang dari


kebutuhan

Mual dan muntah

3.

DS : Px mengatakan susah
bernafas
DO : K/u : melemah
RR : 27x/menit
TD : 130/100 Permenit
Suhu : 38oC

Ketidakefektifan jalan
nafas

Obstrusi jalan nafas


adanya suatu efusi
pleura

4.3 Diagnosis. ( Price, Wilson 2005)


1. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan suatu penyakit
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas
adanya suatu efusi pleura.

4.5 Intervensi (M.Judith Wilkiton & R. Ahern Nancy 2012)

No
1.

Diagnosis
Gangguan
citra

Krieria hasil

Intervensi

Rasional

Aktifitas keperawatan

Setelah dilakukan 1.Meningkatka 1.Meningkatkan

tubuh tindakan

n citra tubuh

persepsi

sadar

1. Tentukan

harapan

pasien tentang citra

berhubungan keperawatan

2.Meningkatka pasien serta sikap

dengan

selama 2x24 jam n koping

terhadap

suatu

maka

pasien.

penyakit

keparawatan

masalah

gangguan

3.Bimbingan
citra antisipasi

tubuh

berkurang

yang

dibuktikan

dengan oleh :

tubuh

2.Membantu pasien
untuk

beradaptasi

dengan

persepsi

streson

perubahan

atau ancaman yang

a. Adanya

pemenuhan

tuntunan dan peran

terhadap

berdasarkan

tahap

erkembangan

serta

identifikasi

pengaruh

budaya,

agama, jenis kelamin,


dan

usia

pasien

menyangkut

citra

tubuh

dan

pantau

frekuensi pernyataan

menghambat

penerimaa
fisik

tubuh

dan

hidup.

kritik diri.
2. Tawarkan

untuk

menghubungi

dirinya

sumber-sumber

sendiri.

komunitas

b. Dapat

1. Mempesiap

melakukan

kan

pasien

interaksi

terhadap

sosial

kritis

seperti

perkembang

semula

an dan krisis

yang

tersedia untuk pasien


keluarga

situasional

3. Berikan pasien dan


keluarga untuk secara
bertahap

menjadi

terbiasa

dengan

perubahan

pada

tubuhnya,

mungkin

menyentuh area yang


terganggu
2.

Ketidakseim

Setelah dilakukan 1.Manajemen

1.Mencegah

bangan

tindakan

menangani

nutrisi

keperawatan 2x24 makan.

gangguan

kurang dari jam maka masalah


kebutuhan

keperawatan

tubuh

ketidak

2.Pemantauan

berhubungan seimbangan nutrisi


dengan

kurang

anoreksia

kebutuhan

cairan.

dari
dapat 3.Manajemen

dan

pembatasan

diet

penyebab

yang

ktat

makan.

dan
berlebihan
makanan

dan

minuman

dalam

kemudian berusaha

b. Rasa

nutrisi.
5.Bantuan

lemah

menaikkan

menjadi

berat badan.

berkurang

gangguan

memasukkan

kriteria hasil :

meningkat

menentukan

atau

jumlah

4.Terapi

dokter

aktifitas

membaik. Dengan nutrisi.

a. BB

melihatnya
1. Rujuk ke
untuk

sangat

sebelum

banyak

mengeluarkan
semuanya
2.Mengumpulkan
data

menganalisis

data pasien untuk


mengatur
keseimbangan
cairan.

c. Nutrisi
yang

3.Membantu

atau

dibutuhkan

menyediakan

oleh tubuh

asupan

menjadi

dan

terpenuhi.

seimbang.

untuk

4.Pemberian

(misalnya

makanan dan cairan

pindahkan

barang-

untuk

barang

makanan
cairan

diet

mendukung

2. Ciptakan limgkungan
yang menyenangkan
makan

dan

cairan

proses

metabolic

pasien

yang

malnutrisi

atau

beresiko

tinggi

terhadap malnutrisi.
5.Memfasilitasi

tidak

berat

badan.

sedap

dipandang)
3. a.Ketahui

makan

kesukaan pasien.
b.tentukan
kemampuan
untuk

pencapaian
kenaikan

yang

pasien

memenuhi

kebutuhan nutrisi.
c.pantau kandungan
nutrisi

dan

kalori

pada catatatn asupan.


d.timbang
pasien
pada interval yang
tepat.
4. Buat

perencanaan

makan dengan pasien


yang masuk dalam
jadwal

makan,

lingkungan

makan,

kesukaan

dan

ketidaksukaan pasien,
serta suhu makanan
5. Bantu pasien menulis
tujuan

mingguan

yang realistic untuk


latihan

fisik

dan

asupan makanan.

3.

1.Ketidakefe Setelah dilakukan 1.Manajemen


jalan nafas
ktifan pola
tindakan
nafas

keperawatan

2.Pengisapan
berhubungan selam 2x24 jam jalan nafas

1. Memfasilitasi
kepatenan jalan
udara
2.Mengeluarkan
secret dari jalan

1. Informasikan pada
pasien sebelum
memulai prosedur,
untuk menurunkan
kecemasan dan

dengan

maka

obstruksi

masalah 3.Kewaspadaa
n aspirasi
keperawatan

jalan nafas

ketidak

efusi pleura.

teratasi.

efektifan 4.Pengaturan
adanya suatu pola nafas dapat posisi
Dengan 5.Pemantauan
pernafasan
kriteria hasil :
a.Menunjukkan
pembersihan jalan
nafas yang efektif
yang dibuktikan
dengan
pencegahan
aspirasi status
pernafasan:Ventila
si tidak terganggu.

b.Menunjukkan
kemudahan
bernafas
c.Frekuensi dan
pernafasan normal
d.Pergerakan
sputum keluar dari
jalan nafas
e.Pergerakan
sumbatan keluar
dari jalan nafas

nafas dengan
memasukkan
sebuah kateter
pengisap kedalam
jalan nafasoral atau
trakea.
3.Mencegah atau
meminimalkan
faktor risiko pada
pasien yang
berisiko mengalami
aspirasi
4.Mengubah posisi
pasien secara
sengaja untuk
memfasilitasi
kesejahteraan
fisiologis dan
psikologis

5.Mengumpulkan
dan menganalisis
data pasien untuk
memastikan
kepatenan jalan
nafas dan
pertukaran gas yang
adekuat

meningkatan control
diri
2. Jelaskan penggunaan
yang benar peralatan
pendukung
(misalnya:oksigen,me
sin pengisapan)
3. Informasikan kepada
pasien dan keluarga
tentang larangan
merokok di dalam ru
ruang perawatan, beri
penyuluhan tentang
pentingnya berhenti
merokok.
4. Instruksikan kepada
pasien tentang batuk
dan tekhnik nafas
dalam untuk
memudahkan dalam
pengeluaran sekret.
5. Atur posisi pasien
yang memungkinkan
untuk pengembangan
maksimal rongga
dada (misalnya,
posisi semi fowler)

BAB V
PENUTUP
5.1

Kesimpulan Makalah
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan salah satu
penyakit berbahaya selain AIDS. Penyakit ini merupakan salah satu
penyakit autoimun, dimana sistem imun terbentuk secara berlebihan
sehingga kelainan ini lebih dikenal dengan nama autoimunitas.
Penyebab penyakit ini belum diketahui secara pasti apa yang
menyebabkannya tetapi diduga yang menjadi penyebabnya adalah faktor
genetik, infeksi (kuman dan virus) sinar ultraviolet, obat-obatan tertentu,
dan lingkungan.
Penyakit ini menimbulkan gejala-gejala umum yang sering
dianggap biasa tetapi justru perlu untuk ditangani sejak awal agar terhindar
dari penyebarannya sampai ke organ-organ.
Asuhan keperawatan Systemic Lupus Erythematosus (SLE) ini
pengkajiannya

mengguanakn

persistem

yang

terdiri

dari

Sistem

Kardiovaskuler, Sistem Muskuloskeletal, Sistem Integumen, Sistem


Pernapasan, Sistem Vaskuler, Sistem Renal, Sistem Saraf serta
Diagnosanya meliputi

Kerusakan integritas kulit, Intoleransi aktivias,

Kecemasan, Ketidakefektifan pola napas, Perubahan nutrisi. (Siregar,


2013)
5.2

Saran
Systemic Lupus Eythematosus merupakan penyakit berbahaya jika
menyerang sistem imun tubuh. Maka dari itu, untuk menanggani masalah
tersebut perlu dikenali gejala-gejala pada penyakit lupus ini agar dapat
ditangani

dengan

baik

sejak

awal

untuk

mempercepat

proses

penyembuhan dan atau merawat penyakit ini untuk menghindari


penyebarannya keseluruh organ tubuh. Sehingga tenaga kesehatan perlu
mengadakan penyuluhan kepada masyarakat tentang bahaya penyakit
Systemis

Lupus

Erythematosus,

cara

pencegahan,

dan

cara

penanggulanannya. (Siregar, 2013)


5.3 Pertanyaan serta Jawaban
Contoh soal gambaran kasus
1. An.I berusia 13 tahun, jenis kelamin perempuan, dirawat diruang rawat
anak lantai 3 selatan gedung teratai rumah sakit umum pusat fatmawati
sejak tanggal 4 juni 2013 dengan diagnosa medis sistemik lupus
eritematosus (SLE) dan tersangka infeksi saluran kemih (ISK). An.I masuk
dari IGD dengan keluhan demam dirumah sejak 3 minggu yang lalu,
demam yang dirasakan hilang timbul, demam turun dengan obat penurun
panas yaitu paracetamol, klien mengeluh lemas, sendi terasa nyeri, rambut
rontok sejak 3 minggu yang lalu juga dirasakan klien dan terdapat bercak
kemerahan pada pipi dan seluruh tubuhnya. Pengkajian dengan pasien
dilakukan pada hari rawat ke-5 yaitu pada tanggal 8 juni 2013.
Apa saja masalah keperawatan yang ada dalam kasus tersebut, kecuali ..
a. Gangguan citra diri
b. Nyeri

c. Mobilitas fisik
d. Intoleransi aktifitas
e. Curah jantung menurun
Jawaban (E)
2. Seorang perempuan usia 35 tahun datang ke UGD dengan keluhan merasa
tidak nyaman dengan kulit memerah pada daerah pipi dan leher, awalnya
kecil setelah satu minggu bertambah besar, demam, nyeri dan terasa kaku
seluruh persendian terutama pada pagi hari dan kurang nafsu makan. Pada
pemeriksaan fisik diperoleh ruam pada pipi dengan terbatas tegas,
peradangan pada siku, lesi bersuama pada daerah leher, malaise. Tekanan
darah 110/ 80 mmHg, pernapasan 20X/ menit, nadi 90X/ menit, suhu 38,5 0
C, HB 11 gr/ dl, WBC 15.000/ mm3.
Apa ciri identik pada kasus diatas
a.
b.
c.
d.
e.

Lesi bersuama pada daerah leher , malaise


Sesak
nyeri dada
gatal-gatal kulit
jantung berdebar
jawaban (A)
3. Seorang pasien bernama Nabila 17 tahun tahun 2015 mengeluh adanya
bintik-bintik merah (malar rash), demam, nyeri persendian (glenohumeral
joint, interphalangeal join, genujoint). Pada saat itu didapatkan anemia,
dan sempat transfuse darah. Di kotanya pasuruan telah di terapi dokter,
tetapi tidak sembuh. Pada awal tahun 2015, pasien ini masuk RSSA
dengan gejala yang sama ditambah dengan adanya rambut rontok,
sariawan, lymphopenia (lymph : 1140), leukopenia (leukosit : 3990) dan
anemia (Hb : 7,3). Pada tanggal 3 desember 2015 telah dilakukan BMP
dan dihasilkan dioagnosa myelodisplastic syndrome. Pada tanggal 28
desember 2015, pasien ini datang kepoli rheumatologi

dengan telah

membawa tes dsDNA yang positif dan tinggi (105,8). Di poli


rheumatologiditegakkan diagnosa lupus dengan memperhatika gejala yang
ada (malar rash, oral ulcer, fotosensifitas, arthiritis, serta hasil
laboratorium). Pasien diterapi dengan kortikosteroid (methylprednisolone)
dan choloroquin
Apa sajakah masalah keperawatan yang akan muncul pada kasus diatas .

a.
b.
c.
d.
e.

Gangguan citra diri


Mobilitas fisik
Intoleransi aktifitas
A dan B benar
Semuanya benar
Jawaban (E)
4. Seorang perempuan usia 25 tahun datang ke UGD dengan keluhan merasa
tidak nyaman dengan kulit memerah pada daerah pipi dan leher, awalnya
kecil setelah satu minggu bertambah besar, demam, nyeri dan terasa kaku
seluruh persendian terutama pada pagi hari dan kurang nafsu makan. Pada
pemeriksaan fisik diperoleh ruam pada pipi dengan terbatas tegas,
peradangan pada siku, lesi bersuama pada daerah leher, malaise. Tekanan
darah 110/ 80 mmHg, pernapasan 26X/ menit, nadi 90X/ menit, suhu 390
C, HB 11 gr/ dl, WBC 15.000/ mm 3. Dia mengungkapkan bahwa dia
punya saudar kembar yang monozigot.
Apa etiologi dari penyakit yang terdapat pada kasus tersebut .
a. Merokok
b. Alcohol
c. Kembar monozigot
d. Jarang berolahraga
e. Semuanya benar
Jawaban (C)
5. Seorang anak umur 5 tahun datang ke RSUD dr. soetomo dengan keluhan
terdapat ruam yang berbentuk kupu-kupu daerah sekitar wajahnya, tubuh
panas, sesak, fisik melemah dengan suhu 38oC Hb : 10 BB : 10 kg, nadi
100x/menit. Sebelumnya orang tua px mengatakan bahwa anaknya pernah
mengonsumsi obat-obatan seperti hidralazin serta sering makan makanan
yang banyak mengandung emak jenuh. Dia diagnose dokter dengan
penyakit Lupus.
Menurut kasus diatas apakah pemicu px terserang penyakit lupus ..
a. Alcohol
b. Hidralizin dan lemak jenuh
c. Merokok
d. Narkoba
e. Semuanya benar
Jawaban (B)

BAB VI
SATUAN ACARA PENYULUHAN
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN
FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS NU SURABAYA
SATUAN ACARA PEMBELAJARAN (SAP)

Topik

: SLE (Sistemic Lupus Erythematosus)

Sasaran

: Semua pengunjung di RSI

Tempat

: Poli Kulit RSI

Hari/Tanggal : Jumat/13 November 2015


Waktu

: 15.00-16.00

6.1 Rancangan Pembelajaran


Tujuan Pembelajaran :
1. Tujuan Umum
Setelah mendapatkan pendidikan kesehatan diharapkan keluarga
Bapak Sutiyoso mempunyai gambaran dan mampu memahami
tentang SLE.
2. Tujuan Khusus
Setelah menerima pendidikan kesehatan selama 1 60 menit
keluarga Bapak Sutiyoso mampu :
1. Mengetahui dan memahami pengertian Systemic Lupus
Erythematosus (SLE).
2. Mengetahui dan memahami penyebab Systemic Lupus
Erythematosus (SLE).

3. Mengetahui dan memahami tanda dan gejala Systemic


Lupus Erythematosus (SLE).
4. Mengetahui dan memahami pencegahan Systemic
Lupus Erythematosus (SLE).
5. Mengetahui dan memahami pengelolahan Systemic
Lupus Erythematosus (SLE).
a. Rencana Pembelajaran (dilampirkan).
b. Materi Pembelajaran (dilampirkan).
c. Metode Pembelajaran (dilampirkan).
d. Media Pembelajaran (dilampirkan)

e. Evaluasi (dilampirkan).
6.2 Rencana Pembelajaran
No.
1.

Jadwal
Waktu
15.00 15.05 5 Menit

Aktivitas Penyuluh
Pembukaan :

Aktivitas Peserta

a. Membuka kegiatan

a. Menjawab salam.

dengan
mengucapkan
salam.
b. Memperkenalkan

b. Mendengarkan.

diri.
c. Membaca doa.

c. Mendengarkan.

d. Menjelaskan tujuan

d. Memperhatikan.

dari penyuluhan.
e. Menyebutkan materi

e. Memperhatikan.

yang akan diberikan.


f. Memberikan
2.

15.05 15.45 40 Menit

f. Menerima lembaran

lembaran leaflet.
Pelaksanaan :
a. Menjelaskan

leaflet.
a. Memperhatikan.

pengertian SLE.
b. Menjelaskan

b. Memperhatikan.

penyebab SLE.
c. Menjelaskan

tanda c. Memperhatikan.

dan gejala SLE.


d. Memberi kesempatan d. Bertanya.
kepada peserta untuk
bertanya.
e. Menjelaskan

e. Memperhatikan.

pencegahan SLE.
f. Menjelaskan

f. Memperhatikan.

pengelolahan SLE
g. Memberi kesempatan g. Bertanya
kepada peserta untuk
3.

15.45 15.55 10 Menit

bertanya.
Evaluasi :
Menanyakan

kepada Menjawab

dan

peserta tentang materi menjelaskan pertanyaan.


yang telah diberikan dan
reinforcement kepada
semua peserta
bila dapat menjawab dan
4.

15.55 -16.00

5 Menit

menjelaskan kembali.
Terminasi :
a. Mengucapkan
terimakasih

a. Mendengarkan.
atas

peran serta peserta.


b. Mengucapkan salam
penutup

6.3 Materi Pembelajaran


A. Pengertian SLE

b. Menjawab salam.

Lupus Eritematosus merupakan kelainan autoimun, yang


terdapat dalam dua bentuk utama, yaitu : Lupus Eritematosus Sistemik
(Systemic Lupus Erythematosus, SLE) yang dapat menyerang kulit
maupun organ-organ dalam, dan Lupus Eritematosus Diskoid (Discoid
Lupus Erythematosus, DLE), yang hanya bisa menyerang kulit. Pada
sebagian kecil pasien, DLE bisa berkembang menjadi SLE.
Lupus Eritematosus Sistemik merupakan kelainan multisistem,
yang dapat menyerang kulit, persendian, jantung, perikardium, paruparu, ginjal, otak, dan sistem hemopoietik. Penyakit ini secara khas
menyerang perempuan, terutama pada usia subur, serta berlanjut dalam
suatu seri terjadinya eksaserbasi dan remisi.
B. Penyebab SLE
Penyebab pasti SLE masih merupakan misteri, tetapi bukti yang
ada menunjukkan faktor-faktor imunologi, lingkungan, hormonal dan
genetik yang saling terkait. Fakor yang lain meliputi :
h. Stress fisik atau mental.
i. Infeksi streptokokus atau virus.
j. Panjaran cahaya matahari atau ultraviolet.
k. Imunisasi.
l. Kehamilan.
m. Metabolisme estrogen yang abnormal.
n. Terapi dengan obat tertentu, seperti prokainamid (Pronestyl),
hidralazi (Apresoline), antikonvulsan, dan yang lebih jarang,
penisilin, obat-obat sulfa, serta kontrasepsi oral (pil KB).
C. Tanda dan Gejala SLE
Awalnya SLE bisa bersifat akut atau insidius dan tidak
menghasilkan pola klinis yang khas. Meskipun SLE dapat mengenai
setiap sistem organ, namun tanda dan gejalanya berhubungan dengan
cedera jaringan dan inflamasi serta nekrosis yang kemudian terjadi
sebagai akibat serangan kompleks imun. Umumnya gejala klinis SLE
meliputi :
g. Demam.
h. Penurunan berat badan.
i. Rasa tidak enak badan (malaise).
j. Keluhan mudah lelah.
k. Ruam.

l. Poliartlagia.
Tanda dan gejala tambahan dapat meliputi :
m. Lesi pada sendi yang serupa dengan artritis rematoid (meskipun
artritis lupus biasanya tidak erosif).
n. Lesi kulit yang paling sering berupa ruam eritematus di daerah yang
terpajan cahaya (ruam bentuk kupu-kupu yang klasik di daerah
hidung dan pipi terdapat pada kurang dari 50 % pasien) atau ruam
berbentuk papula dan skuama (yang menyerupai psoriasis),
khususnya di bagian tubuh yang terkena cahaya matahari.
o. Vaskulitis (khususnya pada jari-jari) yang mungkin terjadi karena
lesi yang bersifat infark, ulkus tungkai yang nekrotik atau gangren
pada jari-jari.
p. Fenomena Raynaud (sekitar 20% pasien).
q. Patchy alopecia dan ulkus yang tidak terasa nyeri pada membran
mukosa.
r. Abnormalitas paru, seperti pleuritis, efusi

pleura, pnemunitis,

hipertensi pulmoner, dan yang lebih jarang terjadi, perdarahan


pulmoner.
s. Kelainan jantung, seperti pericarditis, miokarditis, endocarditis, dan
aterosklerosis coroner yang dini.
t. Hemetoria, mikroskopik, piuria dan sedimen urine dengan silinder
seluler (celluler cast) akibat glomerulonefitis yang mungkin
berlanjut menjadi gagal ginjal (khususnya bila tidak ditangani
dengan baik).
u. Infeksi saluran ini yang mungkin disebabkan oleh peningkatan
kerentanan pasien terhadap infeksi.
v. Gangguan serangan kejang (seizures) dan disfungsi mental.
w. Keterlibatan sistem saraf pusat (SSP), seperti ketidakstabilan emosi,
psikosis, dan sindrom otak organik.
x. Sakit kepala, iritabilitas, dan depresi (sering terjadi).
Gejala konstitusional SLE meliputi:
h) Rasa pegal, tidak enak badan, dan mudah lelah.
i) Demam dengan derajat rendah (subfebris) atau dengan lonjakan suhu
tubuh (spiking fever) dan menggigil.
j) Anoreksia dan penurunan berat badan.

k) Pembesaran limfonodus (difus, local, dan tidak nyeri ketika ditekan).


l) Nyeri abdomen.
m)Mual, muntah, diare, konstipasi.
n) Haid yang tidak teratur atau amenore selama fase aktif SLE.
D. Pencegahan SLE
Karena penyakit ini menyerang bagian kulit sebaiknya hindari
terpaan sinar matahari secara langung dan berlebihan. Selain itu juga
harus berganti pola hidup dengan pola hidup sehat seperti olah raga
yang teratur mengganti menu makanan dengan mengkonsumsi sayuran
dan buah-buahan. Dalam makanan juga harus memperhatikan
kandungannya, untuk lebih baiknya sebaiknya konsumsi makanan yang
mengandung banyak vitamin D dan protein. Selain itu waspadai juga
penyakit yang menyerang bagian pencernaan. Secara ringkas, dapat
disebutkan cara pencegahan penyakit lupus ialah :
1.
2.
3.
4.

Menghindari stress.
Menjaga agar tidak langsung terkena sinar matahari.
Mengurangi beban kerja yang berlebihan.
Menghindari pemakaian obat tertentu.

E. Pengelolahan SLE
Hingga saat ini penyakit lupus tak dapat disembuhkan namun dapat
dikendalikan. Tujuan pengobatan ialah untuk mencegah timbulnya
komplikasi dengan cara :
1. Perubahan pola hidup, yaitu hindari terkena sinar matahari jika perlu
pakai sunscreen.
2. Hindari kontak dengan zat kimia pemicu seperti silikon, air raksa
dan pestisida.
3. Hindari pemakaian suplemen golongan immune booster seperti
Echinacea.
4. Hindari pemakaian obat pemicu seperti procainamid, isoniazid,
fenitoin, kinin dan hidralazin.
5. Pemberian obat-obatan antara lain : golongan non-steroid antiinflamasi (NSAID), kortikosteroid, imunosupresan, dan obat antimalaria
6.4 Metode Pembelajaran
A. Ceramah

Metode ceramah yaitu sebuah metode mengajar dengan menyampaikan


informasi dan pengetahuan secara lisan.
B. Metode Tanya Jawab
Metode ini digunakan sebagai evaluasi. Metode ini juga digunakan
untuk mencapai tujuan dari promosi kesehatan tentang SLE sehingga
bisa dipahami keluarga Bapak Sutiyoso.
6.5 Media Pembelajaran
A. Leaflet
Suatu media menyampaikan pesan kesehatan melalui lembaran yang
dilipat, dapat berupa kalimat atau gambar. Pada leaflet kami berisi
penjelasan tentang pengertian SLE, penyebab SLE, tanda dan gejala
SLE, pencegahan serta pengelolahan SLE. Leaflet juga berisi gambar
tentang SLE.
B. Flipchart atau lembar balik
Suatu media menyampaikan pesan kesehatan dalam bentuk lembar
balik, bentuk buku berisi gambar peragaan dan dibaliknya berisi
kalimat sebagai pesan atau informasi berkaitan dengan gambar tersebut.
Pada lembar balik kami berisi penjelasan tentang pengertian SLE,
penyebab SLE, tanda dan gejala, pencegahan dan pengelolahan SLE. Di
dalam lembar balik ini peserta akan mudah memahami materi
pendidikan kesehatan yang diberikan, karena di dalamnya terdapat
gambar-gambar yang memudahkan peserta berimajinasi mengenai SLE.
C. Video
Video adalah suatu tampilan yang digunakan untuk membantu peserta
dalam memahami penyakit SLE.
D. LCD
LCD (Liquid Crystal Display) adalah suatu jenis media tampil yang
menggunakan kristal cair sebagai penampil utama. LCD sudah
digunakan diberbagai bidang misalnya alal-alat elektronik seperti
televisi, kalkulator, ataupun layar komputer. Disini LCD digunakan

untuk menampilkan materi penyuluhan tentang SLE sehingga lebih


mudah dipahami oleh peserta.
E. Laptop
Laptop adalah sebuah komputer yang ukurannya diperkecil dengan
tujuan dapat dibawa kemana-mana yang menggunakan baterei sebagai
sumber dayanya. Disini laptop digunakan sebagai media dalam
penyuluhan.
6.6 Evaluasi Pembelajaran
1. Evaluasi Persiapan
a. Keluarga hadir ditempat penyuluhan.
b. Tempat penyelenggaraan penyuluhan dilaksanakan telah disiapkan.
c. Pengorganisasian

penyelenggaraan

penyuluhan

dilakukan

sebelumnya.
d. Materi sudah siap dan dipelajari 3 hari sebelum penyuluhan
kesehatan.
e. Media dan tempat sudah siap 2 hari sebelum penyuluhan kesehatan.
2. Evaluasi Proses
a. 80% peserta didik datang tepat waktu.
b. Peserta didik memperhatikan penjelasan perawat atau penyuluh.
c. Peserta didik aktif bertanya atau memberikan pendapat.
d. Media dapat digunakan secara efektif.
3. Evaluasi Hasil
a. Menanyakan kepada peserta tentang materi yang telah diberikan.
b. Keluarga mengetahui tentang cara pengelolahan SLE.

DAFTAR PUSTAKA

Hartono, Andry. Buku Ajar Patofisiologi. 2011. Jakarta : EGC


Graham-Brown, Robin. 2005. Lecture Notes on Dermatologi Edisi 8. Jakarta :
Erlangga
Nurachmah, Elly, dkk. 2011. Dasar-Dasar Anatomi & Fisiologi. Jakarta :
Salemba Medika
Price, Wilson. 2005. Pathophysiology Edisi 6. Jakarta : EGC
Prof,dr.Siregar sp,kk. 2013. penyakit kulit Edisi 2. Jakarta : EGC
Wilkiton, Judith M & Nancy, R. Ahern. 2012. Buku Saku Diagnosa Keperawatan:
Diagnosis Nanda, Intervensi, Kriteria Hasil NOC Edisi 9. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai