Disusun oleh :
Kelompok 3
1. Atika Putri Rahmadhani (04064881820064)
2. Eka Nadya Rahmania (04064881820048)
3. Dewi Lestari (04064881820061)
4. Rusi Wahyuni (04064881820037)
5. Winni Gianita Eldi (04064881820035)
6. Annisa Napreyani Utami (04064881820052)
7. Safa Tiara Kiani (04064881820066)
8. Nurul Masruroh (04064881820054)
9. Rini Lusiana Ray (040648818200
10. Hanifati Akalili (040648818200
I. Pengertian
Suatu kegiatan yang bertujuan untuk mengatasi masalah keperawatan klien yang
dilaksanakan oleh perawat, di samping pasien dilibatkan untuk membahas dan
melaksanakan asuhan keperawatan akan tetapi pada kasus tertentu harus dilakukan oleh
perawat primer atau konsulen, kepala ruangan, perawat associate yang perlu juga
melibatkan seluruh anggota tim.
Karakteristik :
Klien dilibatkan secara langsung
Klien merupakan fokus kegiatan
Perawat associate, perawat primer dan konsulen melakukan diskusi bersama
Konsulen memfasilitasi kreativitas
Konsulen membantu mengembangkan kemampuan perawat associate, perawat primer
untuk meningkatkan kemampuan dalam mengatasi masalah
2. Tujuan
2.1 Tujuan Umum
Menyelesaikan masalah pasien melalui pendekatan berpikir kritis
2.2 Tujuan Khusus
Memudahkan cara berpikir kritis dan sistematis
Meningkatkan kemampuan menentukan diagnosa keperawatan
Menumbuhkan pemikiran tentang keperawatan yang berasal dari masalah pasien
Meningkatkan kemampuan untuk memodifikasi rencana asuhan keperawatan
Meningkatkan kemampuan justifikasi
Meningkatkan kemampuan dalam menilai hasil kerja
3. Peran
3.1 Perawat primer dan Perawat associate
Dalam melaksanakan pekerjaannya perlu adanya sebuah peranan yang
dapat memaksimalkan keberhasilan, antara lain :
Menjelaskan keadaan dan data demografi klien
Menjelaskan masalah keperawatan utama
Menjelaskan intervensi yang belum akan dilakukan
Menjelaskan tindakan selanjutnya
Menjelaskan alasan ilmiah tindakan yang akan diambil
proposal
Penetapan pasien
Validitas data
Penyajian masalah
Analisa data
Masalah Teratasi
Aplikasi hasil analisa dan diskusi
4. Pelaksanaan
4.1 Persiapan
a. Penetapan kasus minimal sehari sebelum waktu pelaksanaan ronde
b. Pemberian informed consent kepada klien dan keluarga
5. Pengorganisasian
a. Kepala Instalasi : Hanifati Akalili
b. Karu : Rusi Wahyuni
c. Katim : Rini Lusiana Ray
d. Perawat associate : Winni Gianita Eldi
: Dewi Lestari
: Nurul Masruroh
: Annisa Napreyani Utami
: Atika Putri Rahmadhani
: Safa Tiara Kiani
e. Perawat Konselor : Eka Nadya Rahmania
6. Penutup
Demikianlah proposal ronde keperawatan ini kami buat sebagai penilaian didalam
praktek manajemen keperawatan dan sebagai ronde keperawatan yang selanjutnya dapat lebih
baik lagi.
Mengetahui,
1. Tujuan
a. Menyelesaikan masalah-masalah keperawatan klien yang belum teratasi
b. Tujuan Khusus
Menjustifikasikan masalah yang belum teratasi
Mendiskusikan penyelesaian masalah dengan perawat.
Menemukan alasan ilmiah terhadap masalah pasien
Merumuskan intervensi keperawatan yang tepat sesuai masalah pasien
2. Sasaran
Klien Ny “S.A“ umur 65 tahun, dirawat di Ruang Rawas 1.1 Di RSUP Dr. Moh Husien
Palembang.
3. Materi
a. Teori keperawatan pada klien SOL (Space Occupying Lession)
b. Masalah – masalah yang muncul pada klien SOL
4. Metode
Ronde keperawatan
Diskusi
5. Media
Dokumen/ status pasien
Sarana diskusi: kertas dan bulpen
Materi yang disampaikan secara lisan
1. Proses Ronde
Kegiatan ronde keperawatan
Waktu Tahap Kegiatan Pelaksana Kegiatan Tempat
pasien
3 hari Pra Praronde Penanggung - Ruang Kelingi 2
sebelum ronde 1. Menentukan kasus jawab: RSUP DR.
ronde dan topik Kepala Mohammad
2. Menentukan tim ruangan dan Hoesin
ronde tim Palembang
3. Menentukan literatur
4. Membuat proposal
5. Mempersiapkan
pasien dengan
pemberian informed
consent
5 menit Ronde Pembukaan Kepala - Nurse station
(Nurse 1. Salam pembuka ruangan
Station) 2. Memperkenalkan
tim ronde
3. Menjelaskan
tujuan ronde
4. Mengenalkan
masalah pasien
secara singkat
30 menit Penyajian masalah Perawat Mendengar Nurse station
1. Memberi salam Pelaksana kan
dan
memperkenalkan
pasien dan
keluarga kepada
tim ronde
2. Menjelaskan
riwayat penyakit
dan keperawatan
pasien
3. Menjelaskan
masalah pasien
dan rencana
tindakan yang
telah dilaksanakan
dan serta
menetapkan
prioritas yang
perlu didiskusikan
7. Kriteria Evaluasi:
a. Struktur:
1) Ronde keperawatan dilaksanakan di Ruang Rawas 1.1 RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang
2) Peserta ronde keperawatan hadir di tempat pelaksanaan ronde keperawatan
3) Persiapan dilakukan sebelumnya
b. Proses
1) Peserta mengikuti kegiatan dari awal hingga akhir
2) Seluruh peserta berperan aktif dalam kegiatan ronde sesuai peran yang telah
ditentukan
c. Hasil
1) Pasien puas dengan hasil kegiatan
2) Masalah pasien dapat teratasi
3) Perawat dapat :
- Menumbuhkan cara berpikir yang kritis dan sistematis
- Meningkatkan kemampuan validitas data pasien
- Meningkatkan kemampuan menentukan diagnosis keperawatan.
Menumbuhkan pemikiran tentang tindakan keperawatan yang berorientasi
pada masalah pasien
- Meningkatkan kemampuan memodifikasi rencana asuhan keperawatan
- Meningkatkan kemampuan justifikasi
- Meningkatkan kemampuan menilai hasil kerja
8. Pengorganisasian
a. Kepala Instalasi : Hanifati Akalili, S.Kep
b. Kepala ruangan : Rusi Wahyuni S.Kep
c. Ketua tim : Rini Lusiana Ray S.Kep
d. Perawat associate : Winni Gianita Eldi S.Kep
: Dewi Lestari, S.Kep
: Nurul Masruroh, S.Kep
: Safa Tiara Kiani, S.Kep
: Annisa Napreyani Utami S.Kep
: Atika Putri Rahmadhani, S.Kep
e. Konselor : Eka Nadya Rahmania, S.Kep
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Space Occupying Lession (SOL) ialah lesi substansial seperti neoplasma,
perdarahan atau granuloma yang menempati ruang. SOL intrakranial didefinisikan
sebagai neoplasma jinak maupun ganas, primer ataupun skunder serta hematoma atau
malformasi vaskuler yang terletak di dalam rongga tengkorak.
Peningkatan tekanan intrakranial didefinisikan sebagai peningkatan tekanan
dalam rongga kranialis. Ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan
cairan serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang
menghasilkan suatu tekanan intrakranial normal. Peningkatan volume salah satu dari
ketiga unsur utama mengakibatkan desakan ruang yang ditempati unsur lainnya dan
menaikkan tekanan intrakranial. Hipotesis Monroe-Kellie memberikan suatu contoh
konsep pemahaman peningkatan tekanan intracranial (Price, 2005).
Tumor otak merupakan penyebab sebagian besar dari space occupying lesion.
Di Amerika di dapat 35.000 kasus baru dari tumor otak setiap tahun, sedang menurut
Bertelone, tumor primer susunan saraf pusat dijumpai 10% dari seluruh penyakit
neurologi yang ditemukan di Rumah Sakit Umum (Iskandar, 2002).
Tumor otak meliputi 85-90% dari seluruh tumor susunan saraf pusat dengan
frekuensi 80% terletak di intrakranial dan 20% di kanalis spinalis. Insidensi berkisar
antara 6,6 per 100.000 penduduk per tahun di Amerika Serikat dengan mortalitas 4,7
per 100.000 penduduk per tahun
Menurut penilitian yang dilakukan oleh Rumah Sakit Lahore, Pakistan,
periode September 1999 hingga April 2000, dalam 100 kasus space occupying lesion
intrakranial, 54 kasus terjadi pada pria dan 46 kasus pada wanita. Selain itu, 18 kasus
ditemukan pada usia dibawah 12 tahun. 28 kasus terjadi pada rentan usia 20-29 tahun,
13 kasus pada usia 30-39, dan 14 kasus pada usia 40-49 (Ejaz butt, 2005).
Di Indonesia data tentang tumor susunan saraf pusat belum dilaporkan.
Insiden tumor otak pada anak-anak terbanyak dekade 1, sedang pada dewasa pada
usia 30-70 dengan pundak usia 40-65 tahun (Iskandar 2002).
Penelitian yang dilakukan di RSUP Prof.Dr.R.D Kandou Manado pada
periode Oktober 2014-September 2015 dikatakan bahwa data mengenai tumor otak di
Indonesia masih kurang. Di Bandar lampung periode 2009-2013 terdapat 173 kasus.
Di bagian Radiologi RSUP Prof.Dr.R.D Kandou Manado tahun 2011 terdapat 10
kasus yang terdiagnosis dengan neoplasma intrakranial (Dewi, 2016).
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami tentang konsep dasar penyakit SOL, serta
mampu mengaplikasikan asuhan keperawatan dengan tepat pada pasien penderita
pemfigus vulgaris.
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengertian SOL Intracranial
b. Untuk mengetahui manifestasi klinis SOL Intracranial
c. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang SOL Intracranial
d. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis dengan tepat pada SOL Intracranial
e. Mampu melakukan pengkajian secara langsung pada pasien dengan SOL
Intracranial
f. Mampu merumuskan masalah dan membuat diagnosa keperawatan pada
pasien dengan SOL Intracranial
g. Mampu membuat perencanaan keperawatan pada pasien dengan SOL
Intracranial
h. Mampu melaksanakan tindakan keperawatan dan mampu mengevalusi
tindakan yang telah dilakukan pada pasien dengan SOL Intracranial
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tekanan Intra Kranial (TIK) dipertahankan 10 mmHg. Jika TIK lebih dari 20 mmHg
dianggap tidak normal, jika TIK lebih dari 40 mmHg termasuk kenaikan TIK berat
(Sumardjono,2004).
Otak yang mengalami kontusio akan cenderung menjadi lebih besar, hal tersebut
dikarenakan pembengkakan sel-sel otak dan edema sekitar kontusio. Sehingga akan
menyebabkan space occypying lesion (lesi desak ruang) intra kranial yang cukup berarti.
Karena wadah yang tetap tetapi terdapat adanya tambahan massa, maka secara
kompensasi akan menyebabkan tekanan intra kranial yang meningkat. Hal ini akan
menyebabkan kompresi pada otak dan penurunan kesadaran. Waktu terjadinya hal
tersebut bervariasi antara 24-48 jam dan berlangsung sampai hari ke 7-10
(Sumardjono,2004).
Kenaikan TIK ini secara langsung akan menurunkan TPO (Tekanan Perfusi Otak),
sehingga akan berakibat terjadinya iskemia dan kematian. TIK harus diturunkan tidak
melebihi 20-25 mmHg. Bila TIK 40 mmHg maka dapat terjadi kematian
(Sumardjono,2004).
Gambar 2.2 Hubungan Tekanan Intrakranial, Ruang Intrakranial dan isinya
(Sumardjono,2004)
Cushing Kernohan
Ependioma Ependioma
Meduloblastoma Meduloblastoma
Tumor “unclassified”
Oligodendroglioma
Ependioma dapat terjadi pada semua usia. Sebagian besar muncul di dalam
salah stu rongga ventrikel atau di daerah sentralis di korda spinalis.
Ependimoma intrakranial paling sering terjadi pada dua dekade pertama
kehidupan sedangkan lesi intraspinal terutama pada orang dewasa. Ependioma
intrakranial paling sering timbul di ventrikel keempat, tempat tumor ini
mungkin menyumbat CSS dan menyebabkan hidrosefalus dan peningkatan
tekanan intrakranial (Vinay Kumar dkk, 2007).
Ependimoma memiliki lesi yang berbatas tegas yang timbul dari dinding
ventrikel. Lesi intrakranial biasanya menonjol ke dalam rongga ventrikuler
sebagai massa padat, kadang-kadang dengan papilar yang jelas (Vinay Kumar
dkk, 2007).
Meduloblastoma
Hematom Subdural
Hematom subdural disebabkan oleh trauma otak yang menyebabkan
robeknya vena di dalam ruang araknoid. Pembesaran hematom karena robeknya
vena memerlukan waktu yang lama. Oleh karena hematom subdural sering
disertai cedera otak berat lain, jika dibandingkan dengan hematom epidural
prognosisnya lebih jelek (R. Sjamsuhidajat, 2004).
Hematom subdural dibagi menjadi subdural akut bila gejala timbul pada
hari pertama sampai hari ketiga, subakut bila timbul antara hari ketiga hingga
minggu ketiga, dan kronik bila timbul sesudah minggu ketiga (R. Sjamsuhidajat,
2004).
Hematom subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang penting dan
serius dalam 24 sampai 48 jam setelah cidera. Hematoma sering berkaitan
dengan trauma otak berat dan memiliki mortalitas yang tinggi. Hematoma
subdural akut terjadi pada pasien yang meminum obat antikoagulan terus
menerus yang tampaknya mengalami trauma kepala minor. Cidera ini seringkali
berkaitan dengan cidera deselarasi akibat kecelakaan kendaraan bermotor.
Defisit neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan
herniasi batang otak ke dalam foramen magnum yang selanjutnya menimbulkan
henti nafas dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah (Price,
2005).
Hematom subdural subakut menyebabkan defisit neurologik bermakna
dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari dua minggu setelah cidera.
Riwayat klinis yang khas pada penderita hematom subdurak subakut adalah
adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti
perbaikan status neurologik yang bertahap. Namun, setelah jangka waktu
tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologis yang
memburuk. Tingkat kesadaran menurun secara bertahap dalam beberapa jam.
Meningkatnya tekanan intrakranial akibat timbunan hematom yang
menyebabkan menjadi sulit dibangunkan dan tidak merespon terhadap
rangsangan vebral maupun nyeri. Peningkatan tekanan intrakranial dan
pergeseran isi kranial akibat timbunan darah akan menyebabkan terjadinya
herniasi unkus atau sentral dan timbulnya tanda neurologik akibat kompresi
batang otak (Price, 2005).
Awitan gejala hematoma subdural kronik pada umumnya tertunda beberapa
minggu, bulan bahkan beberapa tahun setelah cidera awal. Pada orang dewasa,
gejala ini dapat dikelirukan dengan gejala awal demensia. Trauma pertama
merobek salah satu vena yang melewati ruang subdural sehingga terjadi
perdarahan lambat ke dalam ruang subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah
perdarahan, darah dikelilingi oleh membran fibrosa. Terjadi kerusakan sel-sel
darah dalam hematoma sehingga terbentuk peredaan tekanan osmotik yang
menyebabkan tertariknya cairan ke dalam hematoma. Bertambahnya ukuran
hematoma ini dapat menyebabkan perdarahan lebih lanjut akibat robekan
membran atau pembuluh darah di sekelilinhnya sehingga meningkatkan ukuran
dan tekanan hematoma. Jika dibiarkan mengikuti perjalanan alamiahnya, unsur-
unsur kandungan hematom subdural akan mengalami perubahan-perubahan
yang khas. Hematoma subdural kronik memiliki gejala dan tanda yang tidak
spesifik, tidak terlokalisasi, dan dapat disebabkan oleh banyak proses penyakit
lain. Gejala dan tanda perubahan yang paling khas adalah perubahan progresif
dalam tingkat kesadaran termasuk apati, latergi, berkurangnya perhatian dan
menurunnya kemampuan untuk mempergunakan kecakapan kognitif yang lebih
tinggi (Price, 2005).
Gambar 2.12 Stadium Perjalanan Klinis Alami Hematom Subdural
Dikutip dari: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, 2005
Higroma Subdural
Higroma subdural adalah hematom subdural lama yang mungkin disertai
pengumpulan cairan serebrospinal di dalam ruang subdural. Kelainan ini jarang
ditemukan dan dapat terjadi karena robekan selaput arakhnoid yang
menyebabkan cairan serebrospinal keluar ke ruang subdural. Gambaran klinis
menunjukkan tanda kenaikan tekanan intrakranial, sering tanpa tanda fokal (R.
Sjamsuhidajat, 2004).
II.3 Macam-Macam Keluhan dan Gejala yang Disebabkan oleh Space Occupying
Intracranial
II.3.1 Gejala Peningkatan Tekanan Intrakranial
Triad nyeri kepala, edema papil dan muntah secara umum dianggap
sebagai karakteristik peninggian tekanan intrakranial. Namun demikian, dua
pertiga pasien dengan lesi desak ruang memiliki semua gambaran tersebut,
sedang kebanyakan sisanya umumnya dua. Simtomatologi peninggian tekanan
intrakranial tergantung pada penyebab daripada tingkat tekanan yang terjadi.
Tak ada korelasi yang konsisten antara tinggi tekanan dengan beratnya gejala
(Syaiful Saanin, 2012).
1. Nyeri Kepala
Kebanyakan struktur di kepala tidak sensitif nyeri, ahli bedah saraf
dapat melakukan kraniotomi major dalam anestesia lokal karena tulang
tengkorak dan otak sendiri dapat ditindak tanpa nyeri. Struktur sensitif
nyeri didalam kranium adalah arteria meningeal media beserta cabangnya,
arteri besar didasar otak, sinus venosus dan bridging veins, serta dura
didasar fossa kranial. Peninggian tekanan intrakranial dan pergeseran otak
yang terjadi membendung dan menggeser pembuluh darah serebral atau
sinus venosus serta cabang utamanya dan memperberat nyeri lokal.
Nyeri yang lebih terlokalisir diakibatkan oleh peregangan atau
penggeseran duramater didaerah basal dan batang saraf sensori kranial
kelima, kesembilan dan kesepuluh. Nyeri kepala juga disebabkan oleh
spasme otot-otot besar didasar tengkorak. Ini mungkin berdiri sendiri
atau ditambah dengan reaksi refleks bila mekanisme nyeri bekerja (Syaiful
Saanin, 2012).
Pasien dengan peninggian tekanan intrakranial secara klasik bangun
pagi dengan nyeri kepala yang berkurang dalam satu-dua jam. Nyeri kepala
pagi ini pertanda terjadinya peningkatan tekanan intrakrania; selama
malam akibat posisi berbaring, peninggian PCO2 selama tidur karena
depresi pernafasan dan mungkin karena penurunan reabsorpsi cairan
serebrospinal (Syaiful Saanin, 2012).
2. Muntah
Ditemukan pada peninggian tekanan intrakranial oleh semua sebab
dan merupakan tampilan yang terlambat dan diagnosis biasanya dibuat
sebelum gejala ini timbul. Gejala ini mungkin jelas merupakan gambaran
dini dari tumor ventrikel keempat yang langsung mengenai nukleus
vagal. Setiap lesi hampir selalu meninggikan tekanan intrakranial akibat
obstruksi aliran cairan serebrospinal dan mungkin tidak mudah
menentukan mekanisme mana yang dominan. Muntah akibat peninggian
tekanan intrakranial biasanya timbul setelah bangun, sering bersama dengan
nyeri kepala pagi. Walau sering dijelaskan sebagai projektil, maksudnya
terjadi dengan kuat dan tanpa peringatan, hal ini jarang merupakan
gambaran yang menarik perhatian (Syaiful Saanin, 2012).
3. Papila Oedema
Papila oedema menunjukkan adanya oedema atau pembengkakan
diskus optikus yang disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial yang
menetap selama lebih dari beberapa hari atau minggu. Oedema ini
berhubungan dengan obstruksi cairan serebrospinal, dimana peningkatan
tekanan intrakranial pada selubung nervus optikus menghalangi drainase
vena dan aliran aksoplasmik pada neuron optikus dan menyebabkan
pembengkakan pada diskus optikus dan retina serta pendarahan diskus.
Papila oedema tahap lanjut dapat menyebabkan terjadinya atrofi sekunder
papil nervus optikus (Syaiful Saanin, 2012).
II.3.2 Gejala Umum Space Occupying Lesion
Gejala umum timbul karena peningkatan tekanan intrakranial atau akibat
infiltrasi difus dari tumor. Gejala yang paling sering adalah sakit kepala,
perubahan status mental, kejang, nyeri kepala hebat, papil edema, mual dan
muntah. Tumor maligna (ganas) menyebabkan gejala yang lebih progresif
daripada tumor benigna (jinak). Tumor pada lobus temporal depan dan frontal
dapat berkembang menjadi tumor dengan ukuran yang sangat besar tanpa
menyebabkan defisit neurologis, dan pada mulanya hanya memberikan
gejalagejala yang umum. Tumor pada fossa posterior atau pada lobus parietal dan
oksipital lebih sering memberikan gejala fokal dulu baru kemudian memberikan
gejala umum (Saanin, 2004, Bradley, 2000).
Tumor intrakranium pada umumnya dapat menyebabkan (Saanin, 2004,
Bradley, 2000):
1. Gangguan kesadaran akibat tekanan intrakranium yang meninggi.
Gangguan kesadaran akibat peningkatan tekana intrakranium dapat
berakhir hingga koma. Tekanan intrakranium yang meninggi dapat
menyebabkan ruang tengkorak yang tertutup terdesak dan dapat pula
menyebabkan perdarahan setempat. Selain itu, jaringan otak sendiri akan
bereaksi dengan menimbulkan edema, yang berkembang karena penimbunan
katabolit di sekitar jaringan neoplasmatik. Stasis dapat pula terjadi karena
penekanan pada vena dan disusuk dengan terjadi edema. Pada umumnya
tumor di fosa kranium posterior lebih cepat menimbulkan gejala-gejala yang
mencerminkan tekanan intrakranium yang meninggi. Hal ini mungkin
disebabkan karena aliran CSF pada aquaductus yang berpusat di fosa kranium
posterior dapat tersebumbat sehingga tekanan dapat meninggi dengan cepat.
Fenomena peningkatan tekanan intrakranium dapat diklasifikasikan
menjadi tiga, yaitu :
a. Sindroma unkus atau sindroma kompresi diansefalon ke lateral
Proses desak pertama kali terjadi pada bagian lateral dari fosa kranium
medial dan biasanya mendesak tepi medial unkus dan girus hipokampus
ke arah garis tengah dan ke kolong tepi bebas daun tentorium. Karena
desakan itu, bukan diansefalon yang pertama kali mengalami gangguan,
melainkan bagian ventral nervus okulomotoris. Akibatnya, pada awalnya
akan kan terjadi dilatasi pupil kontralateral barulah disusul dengan
gangguan kesadaran. Biasanya, setelah ini akan terjadi herniasi tentorial,
yaitu keadaan terjepitnya diansefalon oleh tentorium. Pupil yang melebar
merupakan cerminan dari terjepitnya nervus okulomotoris oleh arteri
serebeli superior. Pada tahap berkembangnya paralisis okulomotoris,
kesadaran akan menurun secara progresif.
b. Sindroma kompresi sentral rostro-kaudal terhadap batang otak
Suatu tumor supratentorial akan mendesak ruang supratentorial dan
secara berangsur-angsur akan menimbulkan kompresi ke bagian rostral
batang otak. Tanda bahwa suatu tumor supratentorial mulai menggangu
diansefalon biasanya berupa gangguan perangai. Yang pertama-tama
terjadi adalah keluhan cepat lupa, tidak bisa berkonsentrasi dan tidak bisa
mengingat.
Pada tahap dini, kompresi rostro-kaudal terhadap batang otak akan
menyebabkan :
Respirasi yang kurang teratur
Pupil kedua sisi sempit sekali
Kedua bola mata bergerak perlahan-lahan ke samping kiri dan kanan
Gejala-gejala UMN pada kedua sisi
Pada tahap kompresi rostro-kaudal yang lebih berat, akan terjadi :
Kesadaran menurun sampai derajat paling rendah
Suhu badan mulai meningkat dan cenderung untuk melonjak terus
Respirasi cepat dan bersuara mendengkur
Pupil yang tadinya sempit berangsur-angsur melebar dan tidak lagi
bereaksi terhadap sinar cahaya
c. Herniasi serebelum di foramen magnum
Herniasi ini akan menyebabkan jiratan pada medula oblongata. Gejala-
gejala gangguan pupil, pernafasan, okuler dan tekanan darah berikut nadi
yang menandakan gangguan pada medula oblongata, pons, ataupun
mesensefalon akan terjadi.
9. Tumor Serebellar
Muntah berulang dan sakit kepala di bagian oksiput merupakan gejala
yang sering ditemukan pada tumor serebellar. Pusing, vertigo dan
nistagmus mungkin menonjol.
4. Irama dan frekuensi pernapasan berubah. Kompresi pada batang otak dari
luar akan mempercepat pernafasan, sedangkan kompresi sentral rostro-kaudal
terhadap batang otak menyebabkan pernafasan yang lambat namun dalam.
Trauma
1. Penanganan Primer
Tindakan utama untuk peningkatan ICP adalah untuk mengamankan ABCDE
(primary survey) pada pasien. Banyak pasien dengan peningkatan ICP
memerlukan intubasi. Pasien dengan skor GCS kurang dari 8 harus diintubasi
untuk melindungi airway. Yang menjadi perhatian utama pada pemasangan
intubasi ini adalah intubasi ini mampu memberikan ventilasi tekanan positif yang
kemudian dapat meningkatkan tekanan vena sentral yang kemudian akan
menghasilkan inhibisi aliran balik vena sehingga akan meningkatkan ICP (Kaye,
2005, Eccher,2004 ).
Hati-hati dalam memperhatikan gizi, elektrolit, fungsi kandung kemih dan
usus. Pengobatan yang tepat untuk infeksi berupa pemberian antibiotik harus
dilaksanakan dengan segera. Pemberian analgesia yang memadai harus diberikan
walaupun pasien dalam kondisi di bawah sadar (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
Posisi kepala pasien juga harus diperhatikan. Elevasi pada kepala dapat
menurunkan ICP pada komdisi normal dan pada pasien dengan cedera kepala
melalui mekanisme penurunan tekanan hidrostatis CSF yang akan menghasilkan
aliran balik vena. Sudut yang dianjurkan dan umumnya digunakan untuk elevasi
pada kepala adalah 30o. Pasien harus diposisikan dengan kepala menghadap lurus
ke depan karena apabila kepala pasien menghadap ke salah satu sisinya dan
disertai dengan fleksi pada leher akan meynebabkan penekanan pada vena
jugularis interna dan memperlambat aliran balik vena (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
Hipoksia sistemik, gangguan hemodinamik dan gangguan pada autoregulasi
yang kemudian disertai dengan kejang dapat membahayakan kondisi pasien
dengan peningkatan ICP. Sehingga banyak praktisi kesehatan yang kemudian
menggunakan terapi profilaksis fenitoin, terutama pada pasien dengan cedera
kepala, perdarahan subaraknoid, perdarahan intrakranial, dan kondisi yang
lainnya. Penggunaan fenitoin sebagai profilaksis pada pasein dengan tumor otak
dapat menghasilkan penurunan resiko untuk terjadinya kejang, tapi dengan efek
samping yang juga cukup besar (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
2. Penanganan Sekunder
Hiperventilasi digunakan pada pasien dengan skor GCS yang lebih dari 5.
Pembuluh darah otak merespon dengan cepat pada perubahan PaCO2.
PaCO2 yang rendah dapat menyebabkan vasokonstriksi, yang kemudian
akan mengurangi komponen darah dalam volume intrakranial, dimana
peningkatan PaCO2 menyebabkan vasodilatasi. Hiperventilasi bertujuan
menjaga agar PaCO2 berada pada level 25 – 30 mm Hg sehingga CBF
akan turun dan volume darah otak berkurang dan dengan demikian
mengurangi ICP. Hiperventilasi yang berkepanjangan harus dihindari dan
menjadi tidak efektif setelah sekitar 24 jam. Kecenderungannya adalah
untuk menjaga ventilasi normal dengan PaCO2 di kisaran 30 – 35 mmHg
dan PaO2 dari 120-140 mmHg. Ketikaa ada pemburukan klinis seperti
dilatasi pupil atau tekanan nadi melebar, hiperventilasi dapat dilakukan
(sebaiknya dengan Ambu bag) sampai ICP turun. Hyper barik O2,
hipotermia masih dalam tahap percobaan, terutama di Jepang. Mereka
pada dasarnya menyebabkan vasokonstriksi serebral dan mengurangi
volume darah otak dan ICP (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
Osmotherapi berguna dalam tahap edema sitotoksik, ketika permeabilitas
kapiler yang masih baik, dengan meningkatkan osmolalitas serum. Manitol
masih merupakan obat yang baik untuk mengurangi ICP, tetapi hanya jika
digunakan dengan benar: itu adalah diuretik osmotik yang paling umum
digunakan. Hal ini juga dapat bertindak sebagai scavenger radikal bebas.
Manitol tidak inert dan tidak berbahaya. Gliserol dan urea merupak
golongan yang jarang digunakan hari ini. Beberapa teori telah
dikemukakan mengenai mekanisme yang mengurangi ICP (Kaye, 2005,
Eccher,2004 ).
a. Dengan meningkatkan fleksibilitas eritrosit, yang menurunkan
viskositas darah dan menyebabkan vasokonstriksi yang mengurangi
volume darah otak dan menurunkan ICP dan dapat mengurangi
produksi CSF oleh pleksus choroideus. Dalam dosis kecil dapat
melindungi otak dari iskemik karena fleksibilitas eritrosit meningkat
(Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
b. Efek diuretik terutama di sekitar lesi, di mana integritas sawar darah
otak terganggu dan tidak ada pengaruh yang signifikan pada otak
normal. Lesi intraaxial merespon lebih baik dari lesi ekstra aksial
(Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
c. Teori lain adalah, manitol dengan menarik air di ependyma dari
ventrikel dengan cara analog dengan yang dihasilkan oleh drainase
ventrikel. Dosis tradisional adalah 1 gm/kg/24 jam 20% sampai 25% iv
baik sebagai bolus atau lebih umum secara bertahap. Tidak ada peran
untuk dehidrasi. Efek Manitol pada ICP maksimal adalah 1 / 2 jam
setelah infus dan berlangsung selama 3 atau 4 jam sebagai sebuah
aturan. Dosis yang benar adalah dosis terkecil yang akan berpengaruh
cukup terhadap ICP. Ketika dosis berulang diperlukan, penggunaan
garis dasar osmolalitas serum meningkat secara bertahap dan saat ini
melebihi 330 mosm / 1 terapi manitol harus dihentikan. Penggunaan
lebih lanjut tidak efektif dan cenderung menimbulkan gagal ginjal.
Diuretik seperti furosemid, baik sendiri atau bersama dengan bantuan
manitol untuk mempercepat ekskresi dan mengurangi osmolalitas
serum awal sebelum dosis berikutnya. Beberapa mengklaim, bahwa
furosemid manitol dapat meningkatkan output. Beberapa memberikan
furosemid sebelum manitol, sehingga mengurangi overload sirkulasi.
Fenomena rebound adalah karena pembalikan gradien osmoICP
sebagai akibat kebocoran progresif dari agen osmotik melintasi
penghalang darah otak rusak, atau karena ICP yang meningkat kembali
(Kaye, 2005, Eccher,2004).
3. Barbiturat dapat menurunkan ICP ketika tindakan-tindakan lain gagal, tetapi tidak
memiliki nilai profilaksis. Mereka menghambat peroksidasi lipid dimediasi radikal
bebas dan menekan metabolisme serebral; persyaratan metabolisme otak dan
dengan demikian volume darah otak yang berkurang mengakibatkan penurunan
ICP. Fenobarbital yang paling banyak digunakan. Dosis 10 mg / kg pemuatan
lebih dari 30 menit dan 1-3mg/kg setiap jam secara luas digunakan. Fasilitas untuk
memantau dekat ICP dan ketidakstabilan hemodinamik harus menemani setiap
terapi obat tidur (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
4. Dosis tinggi terapi steroid sangat populer beberapa tahun yang lalu dan masih
digunakan oleh beberapa ahli. Ini mengembalikan integritas dinding sel dan
membantu dalam pemulihan dan mengurangi edema. Barbiturat dan agen anestesi
lain mengurangi tekanan CBF dan arteri sehingga mengurangi ICP. Selain itu
mengurangi metabolisme otak dan permintaan energi yang memfasilitasi
penyembuhan lebih baik (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
5. Hipotermi dapat digunakan sebagai terapi adjuvant terhadap terapi yang lain.
Temperatur tubuh dibuat menjadi lebih rendah dari temperature tubuh yang
normal yaitu sekitar 32°C – 34 °C. Metode ini dapat mungkin menurunkan ICP
dengan menurunkan metabolisme dari otak. Metode terapi hipotermia selama 48
jam atau kurang dapat dipertimbangkan pada pasien dengan TCB. Metode terapi
ini selama 8 jam atau lebih dapat dipertimbangkan untuk terapi pada peningkatan
ICP.. Penggunaan metode ini hanya direkomendasikan pada ahli yang
berpengalaman yang benar-benar mengerti perubahan fisiologi yang berhubungan
dengan hipotermia dan mampu merespon dengan cepat perubahan tersebut.
Komplikasi dari metode hipotermia ini meliputi depresi jantung pada suhu di
bawah 32°C. dan peningkatan insiden komplikasi berupa infeksi seperti
pneumonia telah dilaporkan pada metode terapi ini (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
Penggunaan Koagulopati. Kerusakan parenkim otak yang berat dapat
terjadi karena adanya pelepasan thromboplastin pada jaringan diamana hal ini
akan mengaktivasi faktor instrinsik. Sindroma klinis didiagnosa dengan adanya
pemanjangan PT dan aktivasi sebagian dari nilai APTT, penurunan level
fibrinogen, peningkatan level fibrin, dan penurunan jumlah platelet. APTT yang
memanjang ditangani dengan memberikan fresh frozen plasma. Kadar Fibrinogen
di bawah 150 mg/dL memerlukan penanganan berupa pemberian krioprecipitate.
Pemberian platelet harus dilakukan untuk mengobati nyeri kepala pada pasien
dengan jumlah platelet yang kurang dari 100.000/ml bila waktu perdarahan
memanjang (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
6. Intervensi bedah
Tekanan intrakranial (intracranial pressure, ICP) dapat diukur secara
kontinu dengan menggunakan transduser intrakranial. Kateter dapat dimasukkan
ke dlam entrikel lateral dan dapat digunakan untuk mengeluarkan CSF dengan
tujuan untuk mengurangi ICP. Drain tipe ini dikenal dengan EVD
(ekstraventicular drain). Pada situasi yang jarang terjadi dimana CSf dalam jumlah
sedikit dapat dikeluarkan untuk mengurangi ICP, Drainase ICP melalui punksi
lumbal dapat digunakan sebagai suatu tindakan pengobatan (Eccher,2004 ,Gulli.
Dkk, 2010).
Kraniotomi adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk mengeluarkan
hematom di di dalam ruangan intrakranial dan untuk mengurangi tekanan
intrakranial dari bagian otak dengan cara membuat suatu lubang pada tulang
tengkorak kepala. Kranioektomi adalah suatu tindakan radikal yang dilakukan
sebagai penanganan untuk peningkatan tekanan intrakranial, dimana dilakukan
pengangkatan bagian tertentu dari tulang tengkorak kepala dan duramater
dibebaskan agar otak dapat membesar tanpa adanya herniasi. Bagian dari tulang
tengkorak kepala yang diangkat ini desebut dengan bone flap. Bone flap ini dapat
disimpan pada perut pasien dan dapat dipasang kembali ketika penyebab dari
peningkatan ICP tersebut telah disingkirkan. Material sintetik digunakan sebagai
pengganti dari bagian tulang tengkorak yang diangkat. Tindakan pemasangan
material sintetik ini dkenal dengan cranioplasty (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).
Kraniotomi adalah salah satu bentuk dari operasi pada otak. Operasi ini
paling banyak digunakan dalam operasi untuk mengangkat tumor pada otak.
Operasi ini juga sering digunakan untuk mengangkat bekuan darah (hematom),
untuk mengontrol perdarahan, aneurisma otak, abses otak, memperbaiki
malformasi arteri vena, mengurangi tekanan intrakranial, atau biopsi (Gulli. Dkk,
2010).
Sebelum melakukan tindakan kraniotomi, terlebih dahulu harus dilakukan
pemeriksaan penunjang untuk memastikan penyebab dan lokasi dari lesi di otak.
Oleh karena itu dilakuakn neuroimaging. Neuroimaging yang dapat dilakukan
adalah (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010):
CT scan
MRI
Arteriogram
Pasien yang akan dilakuakn tindakan kraniotomi dpat diberikan
pengobatan terlebih dahulu untuk mengurangi rasa cemas dan mengurangi resiko
terjadinya kejang, edema, dan infeksi setelah operasi. Obata-obatan seperti
heparin, aspirin dan golongan NSAID memiliki hubungan dengan meningkatnya
bekuan darah yang terjadi pasca operasi. Obat-obatan ini harus disuntikkan 7 hari
sebelum operasi agar efeknya hilang sebelum operasi dilakukan.Sebagai
tambahan, dibutuhkan pemeriksaan laboratorium yang rutin atau yang khusus
sesuai dengan kebutuhan. Pasien tidak boleh makan dan minum 6-8 jam sebelum
operasi dan kepala pasien harus dicukur sesaat sebelum operasi dimulai
(Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).
Ada dua metode yang umumnya digunakan untuk membuka tengkorak.
Insisi dibuat pada daerah leher di sekitar os. Occipital atau insisi melengkung yang
dibuat di bagian depan telinga yang melengkung ke atas mata. Insisi dilakukan
hingga sejauh membran tipis yang membungkus tulang tengkorak kepala. Selama
insisi dilakukan, ahli bedah harus menutup pembuluh darah kecil sebanyak
mungkin. Hal ini dikarenakan scalp merupakan daerah yang kaya akan suplai
darah (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).
Scalp ditarik ke belakang agar tulang dapat terlihat. Dengan menggunakan
bor kecepatan tinggi, dilakukan pengeboran mengikuti pola lubang dan lakukan
pemotongan mengikuti pola lubang yang telah ada hingga bone flap dapat
diangkat. Hal ini akan memberikan akses ke dalam kraium dan memudahkan
untuk melakukan operasi di dalam otak. Setelah mengangkat lesi di dalam otak
atau setelah prosedur yang lainnya selesai, tulang dikembalikan ke posisi semula
dengan menggunakan kawat halus. Membran, otot, dan kulit dijahit dalam
posisinya. Apabila lesinya adalah suatu aneurisma, maka arteri yang terlibat
diklem. Apabila lesinya adalah tumor, sebanyak mungkin bagian dari tumor ini
diangkat. Untuk kelainan malformasi arteri vena, kelainannya dipotong kemudian
disambung kembali dengan pembuluh darah yang normal (Eccher,2004 ,Gulli.
Dkk, 2010).
Hidrosepalus
Tindakan bedah pada hidrosefalus sesungguhnya telah dirintis sejak beberapa
abad yang silam oleh Ferguson pada tahun 1898 berupa membuat shunt atau pintasan
untuk mengalirkan cairan otak di ruang tengkorak yang tersumbat ke tempat lain
dengan menggunakan alat sejenis kateter berdiameter kecil. Cara mekanik ini terus
berkembang, seperti Matson (1951) menciptakan pintasan dari rongga ventrikel ke
saluran kencing (ventrikulo ureter), Ransohoff (1954) mengembangkan pintasan dari
rongga ventrikel ke rongga dada (ventrikulo-pleural). Selanjutnya, Holter (1952),
Scott (1955), dan Anthony J Raimondi (1972) memperkenalkan pintasan ke arah
ruang jantung atria (ventrikulo-atrial) dan ke rongga perut (ventrikulo-peritoneal)
yang alirannya searah dengan menggunakan katup pengaman.Teknologi pintasan
terus berkembang dengan ditemukan bahan-bahan yang inert seperti silikon yang
sebelumnya menggunakan bahan polietilen. Hal itu penting karena selang pintasan itu
ditanam di jaringan otak, kulit, dan rongga perut dalam waktu yang lama bahkan
seumur hidup penderita sehingga perlu dihindarkan efek reaksi penolakan oleh tubuh.
Tindakan dilakukan terhadap penderita yang telah dibius total, ada sayatan kecil di
daerah kepala dan dilakukan pembukaan tulang tengkorak dan selaput otak yang
selanjutnya selang pintasan ventrikel di pasang, disusul kemudian dibuat sayatan kecil
di daerah perut, dibuka rongga perut lalu ditanam selang pintasan rongga perut antara
kedua ujung selang tersebut dihubungkan dengan sebuah selang pintasan yang
ditanam di bawah kulit sehingga tidak terlihat dari luar (Rosmini, 2008).
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN KELOLAAN
PENGKAJIAN KEPERAWATAN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. SA
Umur : 64 tahun 11 Bulan (2 Juni 1954)
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Suka Merindu, Kecamatan Pemulutan Barat OI-SUMSEL
Status marital : Menikah
Agama : Islam
Suku : Sumsel
Tanggal MRS : 20-04-2019
Tanggal pengkajian : 09-05-2019
Sumber informasi : Keluarga pasien
C. RIWAYAT BIOLOGIS
1. Pola Nutrisi
Keluarga mengatakan sebelum sakit pasien makan dengan pola makan teratur, pasien
hanya menghabiskan 1 porsi makanan dan tidak menambah porsi, pasien tidak terlalu
sering makan makanan yang manis. Sebelum sakit, pasien memiliki berat badan
sebesar 67 Kg. Selama di rumah sakit, pasien makan melalui selang NGT, diet cair
150 kkal 3x sehari. Saat ini, pasien memiliki berat badan sebesar 62 Kg.
2. Pola Eliminasi
Keluarga mengatakan sebelum sakit pasien BAB dan BAK secara mandiri. Setelah
dirawat di rumah sakit, pasien terpasang selang kateter dan menggunakan pampers.
3. Pola Istirahat dan Tidur
Keluarga pasien mengatakan sebelum masuk rumah sakit pasien tidur dan istirahat
teratur. Selama di rumah sakit, pasien hanya terbaring di tempat tidur dan mengalami
penurunan kesadaran.
4. Pola Aktivitas dan Bekerja
Sebelum sakit, pasien mampu melakukan aktivitas secara mandiri. Pasien merupakan
ibu rumah tangga dan aktif dalam kegiatan keagamaan di lingkungan tempat
tinggalnya. Setelah masuk rumah sakit, pasien hanya berbaring diatas kasur dan tidak
dapat berjalan.
Makan √ √
Minum √ √
Mandi √ √
Toileting √ √
Berpakaian √ √
Mobilisasi √ √
Keterangan:
0 = Mandiri
1 = Memerlukan alat
2 = Memerlukan bantuan
3 = Memerlukan alat dan bantuan
4 = Tergantung
D. RIWAYAT KELUARGA
Keterangan:
: Laki-laki
: Perempuan
/ : Laki-laki meninggal/ Perempuan meninggal
: Hubungan Anak dan Orang Tua
: Hubungan Saudara
: Tinggal serumah
: Pasien
E. PENGKAJIAN FISIK
1. Kepala
Bentuk bulat, tidak ada perdarahan, rambut berwarna hitam keputihan (uban), tidak
ada luka.
2. Sistem Neurologi:
a. Kesadaran: somnolen
b. GCS: E3M5V afasia
c. Nervus cranial:
NIII : Pupil bulat, isokor, 4 mm
NIV, NV, NVI : kedudukan mata di tengah deviasi conjugate (-)
NVII : plisa nasolabialis kiri datar
NXII : deviasi lidah bdd, disatria bdd
d. Motorik : gerakan dan kekuatan lateralisasi menurun, tonus otot
menurun 2 2
1 1
3. Sistem Penglihatan:
a. Bentuk: Simetris
b. Tanda radang: Tidak ada
c. Sklera: Tidak ikterus
d. Akomodasi: Tidak dapat dikaji
e. Konjungtiva: Tidak anemis
f. Alat bantu: Tidak menggunakan alat bantu
g. Ukuran pupil: 4 mm
4. Sistem Pernapasan
a. Pola napas: reguler
b. Suara paru: vesikular
c. Respiration rate: 24 kali/menit
d. Retraksi intercostal: Ada
e. Reflek batuk: Ada, namun lemah
f. Pasien tampak sesak napas
g. Terpasang NRM 7 lpm
5. Sistem Kardiovaskuler
a. CRT: > 2 detik
b. Perubahan warna kulit: Ada, terdapat bintik merah di sekitar area leher
c. Clubbing finger: Tidak ada
d. Edema: Pada ekstremitas bawah
e. Akral: Dingin
f. Gallop: tidak ada
g. Mur-mur : tidak ada
h. Tekanan darah : 140/90 mmHg
i. Nadi : 83x permenit
6. Sistem Pencernaan
a. Berat badan: 62 Kg
b. Tinggi badan: 163 cm
c. Bising usus: 8 x/menit
d. Eliminasi
1) Frekuensi BAB: BAB menggunakan diapers, ± 100 cc/ hari.
2) Frekuensi BAK: pasien menggunakan foley kateter hari pemasangan ke-
3) Keluhan/gangguan: Tidak ada
4) Terpasang kateter: Pasien terpasang foley kateter hari pemasangan ke
5) Urine Output: 450 cc/ hari
7. Sistem Reproduksi
a. Perdarahan: Tidak ada
b. Keluhan: Tidak ada
8. Sistem Integumen
a. Warna kulit: Sawo matang
b. Tekstur: Halus
c. Nyeri tekan: Tidak dapat dikaji
d. Turgor kulit: Tidak elastis, kembali dalam > 3 detik (edema)
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. MRI Kepala
Tanggal 26 April 2019
Kesan : gambaran meningoencephalitis. Lesi dengan peripheral enchancement dan
blooming artefact di substansia alba dengan perietal bilateral.
2. Rontgen Thorax
Tanggal 21 April 2019
Kesan : Kardiomegali disertai edema paru, efusi pleura kiri, suspect efusi pleura
kanan sub pulmonum.
3. Laboratorium
Tanggal 8 Mei 2019
Jenis pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hematologi
Hemoglobin (Hb) 6,9* g/dL 11.40-15.00 g/dL
Eritrosit (RBC) 2.90 106/mm3 4.00-5.70 106/mm3
Leukosit (WBC) 12.73 103/mm3 4.73-10.89 103/mm3
Hematokrit 26 % 35-45 %
Trombosit (PLT) 353 103/𝜇𝐿 169-436 103/𝜇𝐿
RDW-CV 17.60 % 11-15 %
Faal Hemostasis
PT+INR
Kontrol 13.80 detik
Pasien 48.1* detik 12-18 detik
Nilai kritis : >30
INR 54
APTT
Kontrol 32.5 detik
Pasien 57,0* detik 27-42 detik
Nilai kritis : >78
Fibrinogen
Kontrol 358.0 mg/dL
Pasien 37.0 mg/dL 200-400
Nilai kritis : <100 - >800 mg/dL
< 0.3 𝜇𝑔/𝑚𝐿
D-dimer 0.94 𝜇𝑔/𝑚𝐿
Kimia Klinik
Hb – A1c 5.6 4.0-6.5
Ginjal
Ureum 36 mg/dL 16.6-48.5 mg/dL
Kreatinin 0.49* mg/dL 0.50-0.90 mg/dL
Nilai kritis : >5 (bukan pasien
dialysis)
ELEKTROLIT
Kalsium (Ca) 8.0 mg/dL 8.4-9.7 Nilai kritis <6->13
ANALISA DATA
DO :
Ku lemah O2 menurun
Pasien bedrest
Pupil isokor 4 mm
TD: 140/90 mmHg Peningkatan asam
HR : 83x/menit laktat
RR : 24x/menit
Suhu : 36,5 C
Oedema otak
E3M2Vafasia
Hasil MRI menunjukan
pasien mengalami SOL
Gangguan perfusi
Hb 6,9 g/dL jaringan cerebral
DO: Metabolisme ↓
Motorik :
gerakan dan kekuatan
lateralisasi menurun, tonus
otot menurun 2 Produksi
energi ↓
2
1 1 ATP ↓
KU Lemah Kelemahan
Pasien melakukan semua
aktivitas dibantu oleh
keluarga
Pasien hanya terbaring di
tempat tidur
GCS E3M2Vafasia
anggota gerak
Hemiparase/plegi
Tirah baring lama
Resiko infeksi
Prioritas masalah
1. Perfusi cerebral tidak efektif
2. Pola napas tidak efektif
3. Intoleransi aktivitas
4. Resiko infeksi
Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan gangguan
autoregulasi di otak.
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penekanan pada saluran
pernapasan akibat terjadinya peningkatan TIK.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan suplai oksigen
dan nutrisi ke jaringan.
4. Resiko infeksi berhubungan dengan tirah baring terlalu lama.
59
INTERVENSI KEPERAWATAN
HR: 83x/menit 5. Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan 7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
RR : 24x/menit darah, nadi, pernafasan) tambahan
T : 36,50 C 6. mudah 8. Lakukan suction pada mayo
- Terpasang O2 NRM 15lpm 7. Tidak ada retraksi dada, pernafasan cuping hidung 9. Berikan bronkodilator bila perlu
dan pursed lips 10. Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl
Lembab
11. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
keseimbangan.
12. Monitor respirasi dan status O2
DAFTAR PUSTAKA
Dewi, M., Loho.E & Tubagus,V.N. 2016. Gambaran CT-Scan neoplasma Intrakranial di
Bagian/SMF Radiologi FK Unstrat RSUP Prof.Dr.R.D.Kandou Manado Periode
Oktober 2014-September 2015. Jurnal e-Clinic (eCl),Volume 4, Nomor 1, Januari-
Juni 2016.
Diakses pada Sabtu, 11 Mei 2019.
Price, S.A & Wilson, L.M. (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit,
Edisi 6. Vol.2, Diterjemahkan oleh Pendit, B.U dkk. Penerbit Buku Kedokteran EGC.