Anda di halaman 1dari 64

PROPOSAL RONDE KEPERAWATAN

DI INSTALASI RAWAT INAP H RUANG RAWAS 1.1


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

Disusun oleh :
Kelompok 3
1. Atika Putri Rahmadhani (04064881820064)
2. Eka Nadya Rahmania (04064881820048)
3. Dewi Lestari (04064881820061)
4. Rusi Wahyuni (04064881820037)
5. Winni Gianita Eldi (04064881820035)
6. Annisa Napreyani Utami (04064881820052)
7. Safa Tiara Kiani (04064881820066)
8. Nurul Masruroh (04064881820054)
9. Rini Lusiana Ray (040648818200
10. Hanifati Akalili (040648818200

PROGRAM PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
PROPOSAL RONDE KEPERAWATAN

I. Pengertian
Suatu kegiatan yang bertujuan untuk mengatasi masalah keperawatan klien yang
dilaksanakan oleh perawat, di samping pasien dilibatkan untuk membahas dan
melaksanakan asuhan keperawatan akan tetapi pada kasus tertentu harus dilakukan oleh
perawat primer atau konsulen, kepala ruangan, perawat associate yang perlu juga
melibatkan seluruh anggota tim.
Karakteristik :
 Klien dilibatkan secara langsung
 Klien merupakan fokus kegiatan
 Perawat associate, perawat primer dan konsulen melakukan diskusi bersama
 Konsulen memfasilitasi kreativitas
 Konsulen membantu mengembangkan kemampuan perawat associate, perawat primer
untuk meningkatkan kemampuan dalam mengatasi masalah

2. Tujuan
2.1 Tujuan Umum
Menyelesaikan masalah pasien melalui pendekatan berpikir kritis
2.2 Tujuan Khusus
 Memudahkan cara berpikir kritis dan sistematis
 Meningkatkan kemampuan menentukan diagnosa keperawatan
 Menumbuhkan pemikiran tentang keperawatan yang berasal dari masalah pasien
 Meningkatkan kemampuan untuk memodifikasi rencana asuhan keperawatan
 Meningkatkan kemampuan justifikasi
 Meningkatkan kemampuan dalam menilai hasil kerja

3. Peran
3.1 Perawat primer dan Perawat associate
Dalam melaksanakan pekerjaannya perlu adanya sebuah peranan yang
dapat memaksimalkan keberhasilan, antara lain :
 Menjelaskan keadaan dan data demografi klien
 Menjelaskan masalah keperawatan utama
 Menjelaskan intervensi yang belum akan dilakukan
 Menjelaskan tindakan selanjutnya
 Menjelaskan alasan ilmiah tindakan yang akan diambil

3.2 Peran Perawat primer Lain dan Konsulen


 Memberikan justifikasi
 Memberikan reinforcement
 Menilai kebenaran dari suatu masalah, intervensi keperawatan serta tindakan yang
rasional
 Mengarah dan mengoreksi
 Mengintegrasikan teori dan konsep yang telah dipelajari
3.3 Langkah-langkah
Langlah-langkah yang diperlukan dalam ronde keperawatan adalah sebagai berikut :

Tahap pra ronde


PP

proposal
Penetapan pasien

 Apa yang menjadi masalah


Persiapan pasien :  Cross check data yang ada
 Apa yang menyebbakan
 Informed consent masalah tersebut
 Hasil pengkajian  Bagaimana pendekatan ( proses,
intervensi data SAK, SOP )

Validitas data
Penyajian masalah

Diskusi karu, PP, Perawat konselor


Tahap ronde pada bed
pasien

Analisa data

Masalah Teratasi
Aplikasi hasil analisa dan diskusi
4. Pelaksanaan
4.1 Persiapan
a. Penetapan kasus minimal sehari sebelum waktu pelaksanaan ronde
b. Pemberian informed consent kepada klien dan keluarga

4.2 Pelaksanaan Ronde


a. Penjelasan tentang klien oleh ronde perawat primer dalam hal ini penjelasan
difokuskan pada masalah keperawatan dan rencana yang akan atau dilaksanakan
dan memiliki prioritas yang akan didiskusikan
b. Diskusi antar anggota tim tentang kasus tersebut
c. Pemberi justifikasi oleh perawat primer atau perawat konselor/manajer tentang
masalah klien serta rencana tindakan yang akan dilakukan.
d. Tindakan keperawatan pada masalah prioritas yang telah ada yang akan
ditetapkan.

4.3 Pasca Ronde


a. Mendiskusikan hasil temuan dan tindakan pada klien tersebut serta menetapkan
tindakan yang perlu dilakukan.
b. Bagaimana peran perawat primer dan perawat associate dalam pelaksanaan
pengorganisasian ronde.

5. Pengorganisasian
a. Kepala Instalasi : Hanifati Akalili
b. Karu : Rusi Wahyuni
c. Katim : Rini Lusiana Ray
d. Perawat associate : Winni Gianita Eldi
: Dewi Lestari
: Nurul Masruroh
: Annisa Napreyani Utami
: Atika Putri Rahmadhani
: Safa Tiara Kiani
e. Perawat Konselor : Eka Nadya Rahmania
6. Penutup
Demikianlah proposal ronde keperawatan ini kami buat sebagai penilaian didalam
praktek manajemen keperawatan dan sebagai ronde keperawatan yang selanjutnya dapat lebih
baik lagi.

Palembang, 11 Mei 2019

Mengetahui,

Penanggung Jawab Ka. Kelompok

Rusi Wahyuni Hanifati Akalili .


PROPOSAL RONDE KEPERAWATAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN NY “S.A” DENGAN KASUS “ SPACE
OCCUPYING LESSION (SOL) ” DI RUANG RAWAS 1.1 RSUP DR. MOHAMMAD
HUSEIN
PALEMBANG 2019

Topik : Asuhan Keperawatan Pada Ny “S.A”


Sasaran : Ny “S.A” dan Keluarga
Waktu : 13.00 WIB s/d selesai
Hari/ tanggal : Rabu / 15 Februari 2019

1. Tujuan
a. Menyelesaikan masalah-masalah keperawatan klien yang belum teratasi
b. Tujuan Khusus
 Menjustifikasikan masalah yang belum teratasi
 Mendiskusikan penyelesaian masalah dengan perawat.
 Menemukan alasan ilmiah terhadap masalah pasien
 Merumuskan intervensi keperawatan yang tepat sesuai masalah pasien
2. Sasaran
Klien Ny “S.A“ umur 65 tahun, dirawat di Ruang Rawas 1.1 Di RSUP Dr. Moh Husien
Palembang.

3. Materi
a. Teori keperawatan pada klien SOL (Space Occupying Lession)
b. Masalah – masalah yang muncul pada klien SOL

4. Metode
Ronde keperawatan
Diskusi
5. Media
 Dokumen/ status pasien
 Sarana diskusi: kertas dan bulpen
 Materi yang disampaikan secara lisan

1. Proses Ronde
Kegiatan ronde keperawatan
Waktu Tahap Kegiatan Pelaksana Kegiatan Tempat
pasien
3 hari Pra Praronde Penanggung - Ruang Kelingi 2
sebelum ronde 1. Menentukan kasus jawab: RSUP DR.
ronde dan topik Kepala Mohammad
2. Menentukan tim ruangan dan Hoesin
ronde tim Palembang
3. Menentukan literatur
4. Membuat proposal
5. Mempersiapkan
pasien dengan
pemberian informed
consent
5 menit Ronde Pembukaan Kepala - Nurse station
(Nurse 1. Salam pembuka ruangan
Station) 2. Memperkenalkan
tim ronde
3. Menjelaskan
tujuan ronde
4. Mengenalkan
masalah pasien
secara singkat
30 menit Penyajian masalah Perawat Mendengar Nurse station
1. Memberi salam Pelaksana kan
dan
memperkenalkan
pasien dan
keluarga kepada
tim ronde
2. Menjelaskan
riwayat penyakit
dan keperawatan
pasien
3. Menjelaskan
masalah pasien
dan rencana
tindakan yang
telah dilaksanakan
dan serta
menetapkan
prioritas yang
perlu didiskusikan

Validasi data (bed Kepala Memberika Kamar 5 bed 4


pasien): ruangan, n respon
1. Mencocokkan dan perawat dan
menjelaskan pelaksana, menjawab
kembali data yang konselor pertanyaan
telah disampaikan
dengan
wawancara,
observasi dan
pemeriksaan
keadaan pasien
secara lansgung
dan melihat
dokumentasi
2. Diskusi antar
anggota tim dan
pasien tentang
masalah
keperawatan
tersebut di bed
pasien
3. Pemberian
justifikasi oleh
perawat primer
atau konselor atau
kepla ruang
tentang masalah
pasien
10 menit Pasca 1. Melanjutkan Kepala - Nurse station
ronde diskusi dan ruangan,
(Nurse masukkan dari tim ketua tim,
station) 2. Menyimpulkan perawat
untuk menentukan pelaksana,
tindakan konselor
keperawatan pada
masalah prioritas
yang telah
ditetapkan
3. Merekomendasika
n intervensi
keperawatan
4. Penutup

7. Kriteria Evaluasi:
a. Struktur:
1) Ronde keperawatan dilaksanakan di Ruang Rawas 1.1 RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang
2) Peserta ronde keperawatan hadir di tempat pelaksanaan ronde keperawatan
3) Persiapan dilakukan sebelumnya
b. Proses
1) Peserta mengikuti kegiatan dari awal hingga akhir
2) Seluruh peserta berperan aktif dalam kegiatan ronde sesuai peran yang telah
ditentukan
c. Hasil
1) Pasien puas dengan hasil kegiatan
2) Masalah pasien dapat teratasi
3) Perawat dapat :
- Menumbuhkan cara berpikir yang kritis dan sistematis
- Meningkatkan kemampuan validitas data pasien
- Meningkatkan kemampuan menentukan diagnosis keperawatan.
Menumbuhkan pemikiran tentang tindakan keperawatan yang berorientasi
pada masalah pasien
- Meningkatkan kemampuan memodifikasi rencana asuhan keperawatan
- Meningkatkan kemampuan justifikasi
- Meningkatkan kemampuan menilai hasil kerja
8. Pengorganisasian
a. Kepala Instalasi : Hanifati Akalili, S.Kep
b. Kepala ruangan : Rusi Wahyuni S.Kep
c. Ketua tim : Rini Lusiana Ray S.Kep
d. Perawat associate : Winni Gianita Eldi S.Kep
: Dewi Lestari, S.Kep
: Nurul Masruroh, S.Kep
: Safa Tiara Kiani, S.Kep
: Annisa Napreyani Utami S.Kep
: Atika Putri Rahmadhani, S.Kep
e. Konselor : Eka Nadya Rahmania, S.Kep
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Space Occupying Lession (SOL) ialah lesi substansial seperti neoplasma,
perdarahan atau granuloma yang menempati ruang. SOL intrakranial didefinisikan
sebagai neoplasma jinak maupun ganas, primer ataupun skunder serta hematoma atau
malformasi vaskuler yang terletak di dalam rongga tengkorak.
Peningkatan tekanan intrakranial didefinisikan sebagai peningkatan tekanan
dalam rongga kranialis. Ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan
cairan serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang
menghasilkan suatu tekanan intrakranial normal. Peningkatan volume salah satu dari
ketiga unsur utama mengakibatkan desakan ruang yang ditempati unsur lainnya dan
menaikkan tekanan intrakranial. Hipotesis Monroe-Kellie memberikan suatu contoh
konsep pemahaman peningkatan tekanan intracranial (Price, 2005).
Tumor otak merupakan penyebab sebagian besar dari space occupying lesion.
Di Amerika di dapat 35.000 kasus baru dari tumor otak setiap tahun, sedang menurut
Bertelone, tumor primer susunan saraf pusat dijumpai 10% dari seluruh penyakit
neurologi yang ditemukan di Rumah Sakit Umum (Iskandar, 2002).
Tumor otak meliputi 85-90% dari seluruh tumor susunan saraf pusat dengan
frekuensi 80% terletak di intrakranial dan 20% di kanalis spinalis. Insidensi berkisar
antara 6,6 per 100.000 penduduk per tahun di Amerika Serikat dengan mortalitas 4,7
per 100.000 penduduk per tahun
Menurut penilitian yang dilakukan oleh Rumah Sakit Lahore, Pakistan,
periode September 1999 hingga April 2000, dalam 100 kasus space occupying lesion
intrakranial, 54 kasus terjadi pada pria dan 46 kasus pada wanita. Selain itu, 18 kasus
ditemukan pada usia dibawah 12 tahun. 28 kasus terjadi pada rentan usia 20-29 tahun,
13 kasus pada usia 30-39, dan 14 kasus pada usia 40-49 (Ejaz butt, 2005).
Di Indonesia data tentang tumor susunan saraf pusat belum dilaporkan.
Insiden tumor otak pada anak-anak terbanyak dekade 1, sedang pada dewasa pada
usia 30-70 dengan pundak usia 40-65 tahun (Iskandar 2002).
Penelitian yang dilakukan di RSUP Prof.Dr.R.D Kandou Manado pada
periode Oktober 2014-September 2015 dikatakan bahwa data mengenai tumor otak di
Indonesia masih kurang. Di Bandar lampung periode 2009-2013 terdapat 173 kasus.
Di bagian Radiologi RSUP Prof.Dr.R.D Kandou Manado tahun 2011 terdapat 10
kasus yang terdiagnosis dengan neoplasma intrakranial (Dewi, 2016).

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami tentang konsep dasar penyakit SOL, serta
mampu mengaplikasikan asuhan keperawatan dengan tepat pada pasien penderita
pemfigus vulgaris.
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengertian SOL Intracranial
b. Untuk mengetahui manifestasi klinis SOL Intracranial
c. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang SOL Intracranial
d. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis dengan tepat pada SOL Intracranial
e. Mampu melakukan pengkajian secara langsung pada pasien dengan SOL
Intracranial
f. Mampu merumuskan masalah dan membuat diagnosa keperawatan pada
pasien dengan SOL Intracranial
g. Mampu membuat perencanaan keperawatan pada pasien dengan SOL
Intracranial
h. Mampu melaksanakan tindakan keperawatan dan mampu mengevalusi
tindakan yang telah dilakukan pada pasien dengan SOL Intracranial
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Prinsip hukum Monroe-Kellie


Ruang intra kranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan serebrospinal.
Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan suatu tekanan intra
kranial normal sebesar 50 sampai 200 mmH2O atau 4 sampai 15 mmHg. Dalam keadaan
normal, tekanan intra kranial (TIK) dipengaruhi oleh aktivitas sehari-hari dan dapat
meningkat sementara waktu sampai tingkat yang jauh lebih tinggi dari normal. Ruang
intra kranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai kapasitasnya dengan
unsur yang tidak dapat ditekan, yaitu : otak (1400 g), cairan serebrospinal (sekitar 75
ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan volume pada salah satu dari ketiga unsur
utama ini mengakibatkan desakan ruang yang ditempati oleh unsur lainnya dan
menaikkan tekanan intra kranial (Lombardo,2006 ).
Ruang intra krnial dibatasi oleh tuang-tulang kranium sehingga volume dari ruang
tersebut relatif tetap. Keseimbangan isi komponen dalam ruang intra kranial diterangkan
dengn konsep Doktrin Monro-Kellie (Sumardjono,2004).
Isi ruang intra kranial adalah: (Sumardjono,2004).
1. Parenkhim otak, 1100-1200 gram, merupakan komponen paling besar, kurang
lebih 70%.
2. Komponen vaskuler, terdiri dari darah arteri, arteriole, kapiler, venula, dam
vena-vena besar 150 cc, kurang lebih 15-20%, tetapi kapasitas variasi yang
cukup besar.
3. Komponen CSS (Cairan Serebro Spinal) 150 cc, 15-20% pada keadaan
tertentu sangat potensial untuk pengobatan, karena CSS dapat dikeluarkan.
Gambar 2.1 Doktirn Monroe-Kellie (Sumardjono,2004)

Tekanan Intra Kranial (TIK) dipertahankan 10 mmHg. Jika TIK lebih dari 20 mmHg
dianggap tidak normal, jika TIK lebih dari 40 mmHg termasuk kenaikan TIK berat
(Sumardjono,2004).
Otak yang mengalami kontusio akan cenderung menjadi lebih besar, hal tersebut
dikarenakan pembengkakan sel-sel otak dan edema sekitar kontusio. Sehingga akan
menyebabkan space occypying lesion (lesi desak ruang) intra kranial yang cukup berarti.
Karena wadah yang tetap tetapi terdapat adanya tambahan massa, maka secara
kompensasi akan menyebabkan tekanan intra kranial yang meningkat. Hal ini akan
menyebabkan kompresi pada otak dan penurunan kesadaran. Waktu terjadinya hal
tersebut bervariasi antara 24-48 jam dan berlangsung sampai hari ke 7-10
(Sumardjono,2004).
Kenaikan TIK ini secara langsung akan menurunkan TPO (Tekanan Perfusi Otak),
sehingga akan berakibat terjadinya iskemia dan kematian. TIK harus diturunkan tidak
melebihi 20-25 mmHg. Bila TIK 40 mmHg maka dapat terjadi kematian
(Sumardjono,2004).
Gambar 2.2 Hubungan Tekanan Intrakranial, Ruang Intrakranial dan isinya
(Sumardjono,2004)

II.2 Space Occupying Lesion Intrakranial


II.2.1 Definisi Space Occupying Lesion
Space occupying lesion intrakranial (lesi desak ruang intrakranial)
didefinisikan sebagai neoplasma, jinak atau ganas, primer atau sekunder, serta
setiap inflamasi yang berada di dalam rongga tengkorak yang menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial dan menempati ruang di dalam otak. Space
occupying lesion intrakranial meliputi tumor, hematoma, dan abses (Ejaz Butt,
2005).

II.2.2 Mekanisme Patofisiologi Space Occupying Lesion


Kranium merupakan kerangka baku yang berisi tiga komponen yaitu otak,
cairan serebrospinal (CSS) dan darah. Kranium mempunyai sebuah lubang keluar
utama yaitu foramen magnum dan memiliki tentorium yang memisahkan hemisfer
serebral dari serebelum. Timbulnya massa yang baru di dalam kranium seperti
neoplasma, akan menyebabkan isi intrakranial normal akan menggeser sebagai
konsekuensi dari space occupying lesion (SOL).
Cairan serebrospinal diproduksi terutama oleh pleksus koroideus ventrikel
lateral, tiga, dan empat. Dua pertiga atau lebih cairan ini berasal dari sekresi
pleksus di keempat ventrikel, terutama di kedua ventrikel lateral. Saluran utama
aliran cairan, berjalan dari pleksus koroideus dan kemudian melewati sistem cairan
serebrospinal. Cairan yang disekresikan di ventrikel lateral, mula-mula mengalir ke
dalam ventrikel ketiga. Setelah mendapat sejumlah cairan dari ventrikel ketiga,
cairan tersebut mengalir ke bawah di sepanjang akuaduktus Sylvii ke dalam
ventrikel keempat. Cairan ini keluar dari ventrikel keempat melalui tiga pintu kecil,
yaitu dua foramen Luschka di lateral dan satu foramen Magendie di tengah, dan
memasuki sisterna magna, yaitu suatu rongga cairan yang terletak di belakang
medula dan di bawah serebelum (Guyton, 2007).

Sisterna magna berhubungan dengan ruang subrakhnoid yang mengelilingi


seluruh otak dan medula spinalis. Cairan serebrospinal kemudian mengalir ke atas
dari sisterna magna dan mengalir ke dalam vili arakhnoidalis yang menjorok ke
dalam sinus venosis sagitalis besar dan sinus venosus lainnya di serebrum (Guyton,
2007).

Gambar 2.3 Pembentukan Cairan Serebrospinal


(Guyton, 2007)

Peningkatan tekanan intrakranial didefinisikan sebagai peningkatan tekanan


dalam rongga kranialis. Ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan
cairan serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang
menghasilkan suatu tekanan intrakranial normal sebesar 50 – 200 mm H2O atau 4 –
15 mm Hg. Ruang intrakranial adalah suatu ruangan baku yang terisi penuh sesuai
kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan: otak (1400 g), cairan
serebrospinal (sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan volume pada
salah satu dari ketiga unsur utama mengakibatkan desakan ruang yang ditempati
oleh unsur lainnya dan menaikkan tekanan intrakranial (Price, 2005).

Pada keadaan fisiologis normal volume intrakranial selalu dipertahankan


konstan dengan tekanan intrakranial berkisar 10-15 mmHg. Tekanan abnormal
apabila tekanan diatas 20 mmHg dan diatas 40 mmHg dikategorikan sebagai
peninggian yang parah. Penyebab peningkatan intrakranial adalah cedera otak yang
diakibatkan trauma kepala. Aneurisma intrakranial yang pecah dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial secara mendadak sehingga mencapai tingkatan
tekanan darah arteri untuk sesaat. Tingginya tekanan intrakranial pasca pecah
aneurisma sering kali diikuti dengan meningkatnya kadar laktat cairan
serebrospinal dan hal ini mengindikasi terjadinya suatu iskhemia serebri. Tumor
otak yang makin membesar akan menyebabkan pergeseran CSS dan darah
perlahan-lahan (Satyanegara, 2010).
Gambar 2.4 Skema Proses Desak Ruang Yang menimbulkan Kompresi
Pada Jaringan Otak dan Pergeseran Struktur Tengah.
(Satyanegara, 2010)

II.2.3 Macam-Macam Space Occupying Lesion


1. Tumor Otak
Tumor otak atau tumor intrakranial adalah neoplasma atau proses desak
ruang (space occupying lesion) yang timbul di dalam rongga tengkorak baik di
dalam kompartemen supertentorial maupun infratentorial (Satyanegara, 2010)
Keganasan tumor otak yang memberikan implikasi pada prognosanya
didasari oleh morfologi sitologi tumor dan konsekuensi klinis yang berkaitan
dengan tingkah laku biologis. Sifat-sifat keganasan tumor otak didasari oleh
hasil evaluasi morfologi makroskopis dan histologis neoplasma, dikelompokkan
atas kategori-kategori (Satyanegara, 2010):
a. Benigna (jinak)
Morfologi tumor tersebut menunjukkan batas yang jelas, tidak
infiltratif dan hanya mendesak organ-organ sekitar. Selain itu,
ditemukan adanya pembentukan kapsul serta tidak adanya metastasis
maupun rekurensi setelah dilakukan pengangkatan total. Secara
histologis, menunjukkan struktur sel yang reguler, pertumbuhan la,a
tanpa mitosis, densitas sel yang rendah dengan diferensiasi struktur
yang jelas parenkhim, stroma yang tersusun teratur tanpa adanya
formasi baru.
b. Maligna (ganas)
Tampilan mikroskopis yang infiltratif atau ekspansi destruktur
tanpa batas yang jelas, tumbuh cepat serta cenderung membentuk
metastasis dan rekurensi pasca pengangkatan total.

Tumor otak menyebabkan timbulnya gangguan neurologik progresif.


Gangguan neurologik pada tumor otak biasanya disebabkan oleh dua faktor,
yaitu gangguan fokal akibat tumor dan kenaikan intrakranial (Price, 2005).
Gangguan fokal terjadi apabila terdapat penekanan pada jaringan otak dan
infiltrasi atau invasi langsung pada aprenkim otak dengan kerusakan jaringan
neural. Perubahan suplai darah akibat tekanan tumor yang bertumbuh
menyebabkan nekrosis jaringan otak. Gangguan suplai darah arteri pada
umumnya bermanifestasi sebagai hilangnya fungsi secara akut dan gangguan
serebrovaskular primer. Serangan kejang sebagai manifestasi perubahan
kepekaan neuron dihubungkan dengan kompresi, invasi, dan perubahan suplai
darah ke jaringan otak. Beberapa tumor membentuk kista yang juga menekan
parenkim otak sekitar sehingga memperberat gangguan neurologis fokal (Price,
2005).
Peningkatan tekanan intrakranial dapat disebabkan oleh beberapa faktor
yaitu bertambahnya massa dalam tengkorak, terbentuknya edema sekitar tumor,
dan perubahan sirkulasi cairan serebrospinal. Pertumbuhan tumor akan
menyebabkan bertambahnya massa karena tumor akan mendesak ruang yang
relatif tetap pada ruangan tengkorak yang kaku. Obstruksi vena dan edema
akibat kerusakan sawar darah otak dapat menimbulkan peningkatan volume
intrakranial dan tekanan intrakranial. Obstruksi sirkulasi cairan serebrospinal
dari ventrikel lateralis ke ruangan subarakhnoid menimbulkan hidrosefalus
(Price, 2005).

Gambar 2.5 Skema Faktor Peningkatan Tekanan Intrakranial


Dikutip dari: Buka Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, 2010

Peningkatan tekanan intrakranial dapat membahayakan jiwa apabila terjadi


cepat akibat salah satu penyebab tersebut. Mekanisme kompensasi antara lain
bekerja menurunkan volume darah intrakranial, volume cairan serebrospinal,
kandungan cairan intrasel, dan mengurangi sel-sel parenkim. Peningkatan
tekanan yang tidak diobati mengakibatkan herniasi unkus atau serebelum.
Herniasi unkus timbul bila girus medialis lobus temporalis tergeser ke inferior
melelui incisura tentorial oleh massa dalam hemisfer otak. Herniasi menekan
mesensefalon menyebabkan hilangnya kesadaran dan menekan saraf otak
ketiga. Pada herniasi serebelum, tonsil serebelum bergeser ke bawah melalui
foramen magnum oleh suatu massa posterior (Price, 2005).
Klasifikasi tumor otak diawali oleh konsep Virchow berdasarkan tampilan
sitologinya dan dalam perkembangan selanjutnya dikemukakakn berbagai
variasi modifikasi peneliti-peneliti lain dari berbagai negara. Klasifikasi
universal awal dipeloporo oleh Bailey dan Cushing (1926) berdasarkan
histogenesis sel tumor dan sel embrional yang dikaitkan dengan diferensiasinya
pada berbagai tingkatan dan diperankan oleh faktor-faktor, seperti lokasi tumor,
efek radiasi, usia penderita, dan tindakan operasi yang dilakukan. Sedangkan
pada klasifikasi Kernohan (1949) didasari oleh sistem gradasi keganasan di atas
dan menghubungkannya dengan prognosis.

Tabel 2.1 Klasifikasi Tumor Otak Oleh Chusing dan Kernohan

Cushing Kernohan

Astrositoma Astrositoma grade I dan II

Oligodendroglioma Oligodendroglioma grade I−IV

Ependioma Ependioma

Meduloblastoma Meduloblastoma

Glioblastoma multiforme Astrositoma grade III dan IV

Pinealoma (teratoma) Pinealoma

Ganglioneuroma (glioma) Neuroastrositoma grade I

Neuroblastoma Neuroastrositoma grade II−III

Papiloma pleksus khoroid Tumor campur

Tumor “unclassified”

Dikutip dari: Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, 2010


Astrositoma

Astrositoma adalah kelompok tumor sistem saraf pusat primer yang


tersering. Astrositoma adalah sekelompok neoplasma heterogen yang berkisar
dari lesi berbatas tegas tumbuh lambat seperti astrositoma pilositik hingga
neoplasma infiltratif yang sangat ganas seperti glioblastoma multiforme.
Astrositoma berdiferensiasi baik biasanya adalah lesi infiltratif berbatas samar
yang menyebabkan parenkim membesar dan batas substansia grisea/substansia
alba kabur (Vinay Kumar dkk, 2007).

Gambar 2.4 Astrositoma


(Vinay Kumar dkk, 2007)
Gambar 2.6 MRI Anaplastik Astrositoma
(Buku Ilmu Bedah Saraf Sastranegara, 2010)

Oligodendroglioma

Oligodendroglioma paling sering ditemukan pada masa dewasa dan


biasanya terbentuk dalam hemisferium serebri. Kelainan sitogenik yang sering
terjadi pada oligodendroglioma adalah hilangnya heterozigositas di lengan
panjang kromosom 19 dan lengan pendek kromosom 1. Secara makroskopis,
oligodendroglioma biasanya lunak dan galantinosa. Tumor ini memiliki batas
yang lebih tegas dibandingkan dengan astrositoma infiltratif dan sering terjadi
kalsifikias. Secara mikroskopis, oligodendroglioma dibedakan dengan adanya
sel infiltratif dengan nukleus bulat seragam (Vinay Kumar dkk, 2007).

Prognosis untuk pasien dengan oligodendroglioma lebih sulit diperkirakan.


Usia pasien, lokasi tumor, ada tidaknya peningkatan kontras dalam pemeriksaan
radiografik, aktivitas proliferatif, dan karakteristik sitogenik juga memiliki
pengaruh pada prognosis (Vinay Kumar dkk, 2007).
Ependimoma

Ependioma dapat terjadi pada semua usia. Sebagian besar muncul di dalam
salah stu rongga ventrikel atau di daerah sentralis di korda spinalis.
Ependimoma intrakranial paling sering terjadi pada dua dekade pertama
kehidupan sedangkan lesi intraspinal terutama pada orang dewasa. Ependioma
intrakranial paling sering timbul di ventrikel keempat, tempat tumor ini
mungkin menyumbat CSS dan menyebabkan hidrosefalus dan peningkatan
tekanan intrakranial (Vinay Kumar dkk, 2007).

Ependimoma memiliki lesi yang berbatas tegas yang timbul dari dinding
ventrikel. Lesi intrakranial biasanya menonjol ke dalam rongga ventrikuler
sebagai massa padat, kadang-kadang dengan papilar yang jelas (Vinay Kumar
dkk, 2007).

Gambaran klinis ependimoma bergantung pada lokasi neoplasma. Tumor


intrakranial sering menyebabkan hidrosefalus dan tanda peningkatan tekanan
intrakranial. Karena lokasinya di dalam sistem ventrikel, sebagian tumor dapat
menyebar ke dalam ruang subarakhnoid (Vinay Kumar dkk, 2007).

Gambar 2.7 Ependimoma


(Vinay Kumar dkk, 2007)
Glioblastoma

Glioblastoma dapat timbul dengan masa yang berbatas tegas atau


neoplasma yang infiltratif secara difuse. Potongan tumor dapat berupa masa
yang lunak berwarna keabuan atau kemerahan, daerah nekrosis dengan
konsistensi seperti krim kekuningan, ditandai dengan suatu daerah bekas
perdarahan berwarna cokelat kemerahan (Vinay Kumar dkk, 2007).

Gambar 2.8 Glioblastoma


(Vinay Kumar dkk, 2007)
Gambar 2.9 MRI Glioblastoma
(Buku Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, 2010)

Meduloblastoma

Meduloblastoma merupakan neoplasma yang invasif dan bertumbuh sangat


cepat. Neoplasma ini sering ditemukan pada anak. Sekitar 20% neoplasma otak
pada anak adalah meduloblastoma (Arthur, 2012).
Pada anak, lokasi tersering meduloblastoma adalah di infratentorial, di
bagian posterior vermis serebeli dan atap ventrikel ke empat. Pada analisis
kromosom ditemukan hilangnya informasi genetik di bagian distal kromosom
17, tepatnya di bagian distal dari regio yang mengkode protein p53 pada
sebagian besar pasien. Ini diduga bertanggung jawab terhadap perubahan
neoplastik dari sel-sel punca serebelum menjadi neoplasma (Arthur, 2012).
Kebanyakan pasien berusia 4 – 8 tahun. Diagnosis rata-rata ditegakkan 1 –
5 bulan setelah mulai muncul gejala. Gejala klinis yang ada timbul akibat
hidrosefalus obstruktif dan tekanan tinggi intrakranial. Biasanya anak akan
terlihat lesu, muntah-muntah, dan mengeluh nyeri kepala terutama di pagi hari.
Selanjutnya akan terlihat anak berjalan seperti tersandung, sering jatuh, melihat
dobel, dan mata menjadi juling. Pada tahap ini biasanya baru dilakukan
pemeriksaan neurologis yang secara khas akan memperlihatkan papiledema atau
paresis nervus abdusens (n. VI) (Arthur, 2012).

Gambar 2.10 Gambaran Skematik Meduloblastoma


(Netter’s Neurology, 2012)

Tumor Pleksus Khoroid

Tampilan mikroskopis tumor pleksus khoroid adalah berupa massa dengan


konsistensi lunak, vaskuler, ireguler yang berbentuk mirip dengan kembang kol.
Tumor ini cenderung berbentuk sesuai dengan kontur ventrikel yang
ditempatinya dan berekstensi melalui foramen-foramen ke dalam ventrikel lain
yang berdekatan atau ke dalam rongga subarakhnoid. Tumor ini mendesak
jaringan otak namun tidak menginvasinya (Vinay Kumar dkk, 2007).
Presentasi gejala tumor ini biasanya berupa tanda-tanda peningkatan
tekanan intrakranial disertai gejala neurologis fokal. Tumor intraventrikel IV
dapat menimbulkan gejala nistagmus dan ataksia (Vinay Kumar dkk, 2007).
2. Hematom Intrakranial
Hematom Epidural
Fraktur tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama arteri
meningea media yang masuk dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan
jalan antara durameter dan tulang di permukaan dalam os temporale. Perdarahan
yang terjadi menimbulkan hematom epidural. Desakan dari hematom akan
melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom
bertambah besar (R. Sjamsuhidajat, 2004).
Hematom yang meluas di daerah temporal menyebabkan tertekannya lobus
temporalis otek ke arah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian
medial lobus (unkis dan sebagian dari girus hipokampus) mengalami herniasi di
bawah tepi tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda
neurologik (Price, 2005).
Kelainan ini pada fase awal tidak menunjukkan gejala atau tanda. Baru
setelah hematom bertambah besar akan terlihat tanda pendesakan dan
peningkatan tekanan intrakranial. Penderita akan mengalami sakit kepala, mual,
dan muntah diikuti dengan penurunan kesadaran. Gejala neurologik yang
teroenting adalah pupil mata anisokor yaitu pupil ipsilateral melebar (R.
Sjamsuhidajat, 2004).
Gambar 2.11 Hematom Epidural
(Buku Ajar Ilmu Bedah, 2004)
Keterangan : 1. Os temporal, 2. Duramater, 3. Hematom epidural, 4. Otak terdorong
kesisi lain

Hematom Subdural
Hematom subdural disebabkan oleh trauma otak yang menyebabkan
robeknya vena di dalam ruang araknoid. Pembesaran hematom karena robeknya
vena memerlukan waktu yang lama. Oleh karena hematom subdural sering
disertai cedera otak berat lain, jika dibandingkan dengan hematom epidural
prognosisnya lebih jelek (R. Sjamsuhidajat, 2004).
Hematom subdural dibagi menjadi subdural akut bila gejala timbul pada
hari pertama sampai hari ketiga, subakut bila timbul antara hari ketiga hingga
minggu ketiga, dan kronik bila timbul sesudah minggu ketiga (R. Sjamsuhidajat,
2004).
Hematom subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang penting dan
serius dalam 24 sampai 48 jam setelah cidera. Hematoma sering berkaitan
dengan trauma otak berat dan memiliki mortalitas yang tinggi. Hematoma
subdural akut terjadi pada pasien yang meminum obat antikoagulan terus
menerus yang tampaknya mengalami trauma kepala minor. Cidera ini seringkali
berkaitan dengan cidera deselarasi akibat kecelakaan kendaraan bermotor.
Defisit neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan
herniasi batang otak ke dalam foramen magnum yang selanjutnya menimbulkan
henti nafas dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah (Price,
2005).
Hematom subdural subakut menyebabkan defisit neurologik bermakna
dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari dua minggu setelah cidera.
Riwayat klinis yang khas pada penderita hematom subdurak subakut adalah
adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti
perbaikan status neurologik yang bertahap. Namun, setelah jangka waktu
tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologis yang
memburuk. Tingkat kesadaran menurun secara bertahap dalam beberapa jam.
Meningkatnya tekanan intrakranial akibat timbunan hematom yang
menyebabkan menjadi sulit dibangunkan dan tidak merespon terhadap
rangsangan vebral maupun nyeri. Peningkatan tekanan intrakranial dan
pergeseran isi kranial akibat timbunan darah akan menyebabkan terjadinya
herniasi unkus atau sentral dan timbulnya tanda neurologik akibat kompresi
batang otak (Price, 2005).
Awitan gejala hematoma subdural kronik pada umumnya tertunda beberapa
minggu, bulan bahkan beberapa tahun setelah cidera awal. Pada orang dewasa,
gejala ini dapat dikelirukan dengan gejala awal demensia. Trauma pertama
merobek salah satu vena yang melewati ruang subdural sehingga terjadi
perdarahan lambat ke dalam ruang subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah
perdarahan, darah dikelilingi oleh membran fibrosa. Terjadi kerusakan sel-sel
darah dalam hematoma sehingga terbentuk peredaan tekanan osmotik yang
menyebabkan tertariknya cairan ke dalam hematoma. Bertambahnya ukuran
hematoma ini dapat menyebabkan perdarahan lebih lanjut akibat robekan
membran atau pembuluh darah di sekelilinhnya sehingga meningkatkan ukuran
dan tekanan hematoma. Jika dibiarkan mengikuti perjalanan alamiahnya, unsur-
unsur kandungan hematom subdural akan mengalami perubahan-perubahan
yang khas. Hematoma subdural kronik memiliki gejala dan tanda yang tidak
spesifik, tidak terlokalisasi, dan dapat disebabkan oleh banyak proses penyakit
lain. Gejala dan tanda perubahan yang paling khas adalah perubahan progresif
dalam tingkat kesadaran termasuk apati, latergi, berkurangnya perhatian dan
menurunnya kemampuan untuk mempergunakan kecakapan kognitif yang lebih
tinggi (Price, 2005).
Gambar 2.12 Stadium Perjalanan Klinis Alami Hematom Subdural
Dikutip dari: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, 2005

Hematom subdural akut secara klinis sukar dibedakan dengan hematom


epidural yang berkembang lambat. Hematom subdural akut dan kronik
memberikan gambaran klinis suatu proses desak ruang (space occupying lesion)
yang progresif sehingga tidak jarang dianggap sebagai neoplasma atau demensia
(R. Sjamsuhidajat, 2004).

Gambar 2.13 Hematom Subdural


(Buku Ajar Ilmu Bedah, 2004)
Keterangan : 1. Os temporal, 2. Duramater, 3. Hematom subdural, 4. Otak terdorong
kesisi lain

Higroma Subdural
Higroma subdural adalah hematom subdural lama yang mungkin disertai
pengumpulan cairan serebrospinal di dalam ruang subdural. Kelainan ini jarang
ditemukan dan dapat terjadi karena robekan selaput arakhnoid yang
menyebabkan cairan serebrospinal keluar ke ruang subdural. Gambaran klinis
menunjukkan tanda kenaikan tekanan intrakranial, sering tanpa tanda fokal (R.
Sjamsuhidajat, 2004).

II.3 Macam-Macam Keluhan dan Gejala yang Disebabkan oleh Space Occupying
Intracranial
II.3.1 Gejala Peningkatan Tekanan Intrakranial
Triad nyeri kepala, edema papil dan muntah secara umum dianggap
sebagai karakteristik peninggian tekanan intrakranial. Namun demikian, dua
pertiga pasien dengan lesi desak ruang memiliki semua gambaran tersebut,
sedang kebanyakan sisanya umumnya dua. Simtomatologi peninggian tekanan
intrakranial tergantung pada penyebab daripada tingkat tekanan yang terjadi.
Tak ada korelasi yang konsisten antara tinggi tekanan dengan beratnya gejala
(Syaiful Saanin, 2012).
1. Nyeri Kepala
Kebanyakan struktur di kepala tidak sensitif nyeri, ahli bedah saraf
dapat melakukan kraniotomi major dalam anestesia lokal karena tulang
tengkorak dan otak sendiri dapat ditindak tanpa nyeri. Struktur sensitif
nyeri didalam kranium adalah arteria meningeal media beserta cabangnya,
arteri besar didasar otak, sinus venosus dan bridging veins, serta dura
didasar fossa kranial. Peninggian tekanan intrakranial dan pergeseran otak
yang terjadi membendung dan menggeser pembuluh darah serebral atau
sinus venosus serta cabang utamanya dan memperberat nyeri lokal.
Nyeri yang lebih terlokalisir diakibatkan oleh peregangan atau
penggeseran duramater didaerah basal dan batang saraf sensori kranial
kelima, kesembilan dan kesepuluh. Nyeri kepala juga disebabkan oleh
spasme otot-otot besar didasar tengkorak. Ini mungkin berdiri sendiri
atau ditambah dengan reaksi refleks bila mekanisme nyeri bekerja (Syaiful
Saanin, 2012).
Pasien dengan peninggian tekanan intrakranial secara klasik bangun
pagi dengan nyeri kepala yang berkurang dalam satu-dua jam. Nyeri kepala
pagi ini pertanda terjadinya peningkatan tekanan intrakrania; selama
malam akibat posisi berbaring, peninggian PCO2 selama tidur karena
depresi pernafasan dan mungkin karena penurunan reabsorpsi cairan
serebrospinal (Syaiful Saanin, 2012).

2. Muntah
Ditemukan pada peninggian tekanan intrakranial oleh semua sebab
dan merupakan tampilan yang terlambat dan diagnosis biasanya dibuat
sebelum gejala ini timbul. Gejala ini mungkin jelas merupakan gambaran
dini dari tumor ventrikel keempat yang langsung mengenai nukleus
vagal. Setiap lesi hampir selalu meninggikan tekanan intrakranial akibat
obstruksi aliran cairan serebrospinal dan mungkin tidak mudah
menentukan mekanisme mana yang dominan. Muntah akibat peninggian
tekanan intrakranial biasanya timbul setelah bangun, sering bersama dengan
nyeri kepala pagi. Walau sering dijelaskan sebagai projektil, maksudnya
terjadi dengan kuat dan tanpa peringatan, hal ini jarang merupakan
gambaran yang menarik perhatian (Syaiful Saanin, 2012).

3. Papila Oedema
Papila oedema menunjukkan adanya oedema atau pembengkakan
diskus optikus yang disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial yang
menetap selama lebih dari beberapa hari atau minggu. Oedema ini
berhubungan dengan obstruksi cairan serebrospinal, dimana peningkatan
tekanan intrakranial pada selubung nervus optikus menghalangi drainase
vena dan aliran aksoplasmik pada neuron optikus dan menyebabkan
pembengkakan pada diskus optikus dan retina serta pendarahan diskus.
Papila oedema tahap lanjut dapat menyebabkan terjadinya atrofi sekunder
papil nervus optikus (Syaiful Saanin, 2012).
II.3.2 Gejala Umum Space Occupying Lesion
Gejala umum timbul karena peningkatan tekanan intrakranial atau akibat
infiltrasi difus dari tumor. Gejala yang paling sering adalah sakit kepala,
perubahan status mental, kejang, nyeri kepala hebat, papil edema, mual dan
muntah. Tumor maligna (ganas) menyebabkan gejala yang lebih progresif
daripada tumor benigna (jinak). Tumor pada lobus temporal depan dan frontal
dapat berkembang menjadi tumor dengan ukuran yang sangat besar tanpa
menyebabkan defisit neurologis, dan pada mulanya hanya memberikan
gejalagejala yang umum. Tumor pada fossa posterior atau pada lobus parietal dan
oksipital lebih sering memberikan gejala fokal dulu baru kemudian memberikan
gejala umum (Saanin, 2004, Bradley, 2000).
Tumor intrakranium pada umumnya dapat menyebabkan (Saanin, 2004,
Bradley, 2000):
1. Gangguan kesadaran akibat tekanan intrakranium yang meninggi.
Gangguan kesadaran akibat peningkatan tekana intrakranium dapat
berakhir hingga koma. Tekanan intrakranium yang meninggi dapat
menyebabkan ruang tengkorak yang tertutup terdesak dan dapat pula
menyebabkan perdarahan setempat. Selain itu, jaringan otak sendiri akan
bereaksi dengan menimbulkan edema, yang berkembang karena penimbunan
katabolit di sekitar jaringan neoplasmatik. Stasis dapat pula terjadi karena
penekanan pada vena dan disusuk dengan terjadi edema. Pada umumnya
tumor di fosa kranium posterior lebih cepat menimbulkan gejala-gejala yang
mencerminkan tekanan intrakranium yang meninggi. Hal ini mungkin
disebabkan karena aliran CSF pada aquaductus yang berpusat di fosa kranium
posterior dapat tersebumbat sehingga tekanan dapat meninggi dengan cepat.
Fenomena peningkatan tekanan intrakranium dapat diklasifikasikan
menjadi tiga, yaitu :
a. Sindroma unkus atau sindroma kompresi diansefalon ke lateral
Proses desak pertama kali terjadi pada bagian lateral dari fosa kranium
medial dan biasanya mendesak tepi medial unkus dan girus hipokampus
ke arah garis tengah dan ke kolong tepi bebas daun tentorium. Karena
desakan itu, bukan diansefalon yang pertama kali mengalami gangguan,
melainkan bagian ventral nervus okulomotoris. Akibatnya, pada awalnya
akan kan terjadi dilatasi pupil kontralateral barulah disusul dengan
gangguan kesadaran. Biasanya, setelah ini akan terjadi herniasi tentorial,
yaitu keadaan terjepitnya diansefalon oleh tentorium. Pupil yang melebar
merupakan cerminan dari terjepitnya nervus okulomotoris oleh arteri
serebeli superior. Pada tahap berkembangnya paralisis okulomotoris,
kesadaran akan menurun secara progresif.
b. Sindroma kompresi sentral rostro-kaudal terhadap batang otak
Suatu tumor supratentorial akan mendesak ruang supratentorial dan
secara berangsur-angsur akan menimbulkan kompresi ke bagian rostral
batang otak. Tanda bahwa suatu tumor supratentorial mulai menggangu
diansefalon biasanya berupa gangguan perangai. Yang pertama-tama
terjadi adalah keluhan cepat lupa, tidak bisa berkonsentrasi dan tidak bisa
mengingat.
Pada tahap dini, kompresi rostro-kaudal terhadap batang otak akan
menyebabkan :
 Respirasi yang kurang teratur
 Pupil kedua sisi sempit sekali
 Kedua bola mata bergerak perlahan-lahan ke samping kiri dan kanan
 Gejala-gejala UMN pada kedua sisi
Pada tahap kompresi rostro-kaudal yang lebih berat, akan terjadi :
 Kesadaran menurun sampai derajat paling rendah
 Suhu badan mulai meningkat dan cenderung untuk melonjak terus
 Respirasi cepat dan bersuara mendengkur
 Pupil yang tadinya sempit berangsur-angsur melebar dan tidak lagi
bereaksi terhadap sinar cahaya
c. Herniasi serebelum di foramen magnum
Herniasi ini akan menyebabkan jiratan pada medula oblongata. Gejala-
gejala gangguan pupil, pernafasan, okuler dan tekanan darah berikut nadi
yang menandakan gangguan pada medula oblongata, pons, ataupun
mesensefalon akan terjadi.

2. Gejala-gejala umum tekanan intrakranium yang tinggi


Gejala umum timbul karena peningkatan tekanan intrakranial atau akibat
infiltrasi difus dari tumor. Gejala yang paling sering adalah sakit kepala,
perubahan status mental, kejang, nyeri kepala hebat, papil edema, mual dan
muntah. Tumor maligna (ganas) menyebabkan gejala yang lebih progresif
daripada tumor benigna (jinak). Tumor pada lobus temporal depan dan frontal
dapat berkembang menjadi tumor dengan ukuran yang sangat besar tanpa
menyebabkan defisit neurologis, dan pada mulanya hanya memberikan gejala-
gejala yang umum. Tumor pada fossa posterior atau pada lobus parietal dan
oksipital lebih sering memberikan gejala fokal dulu baru kemudian
memberikan gejala umum (Saanin, 2004, Bradley, 2000).
a. Sakit kepala
Merupakan gejala awal pada 20% penderita dengan tumor otak yang
kemudian berkembang menjadi 60%. Nyerinya tumpul dan intermitten.
Nyeri kepala berat juga sering diperhebat oleh perubahan posisi, batuk,
maneuver valsava dan aktivitas fisik. Muntah ditemukan bersama nyeri
kepala pada 50% penderita. Nyeri kepala ipsilateral pada tumor
supratentorial sebanyak 80 % dan terutama pada bagian frontal. Tumor
pada fossa posterior memberikan nyeri alih ke oksiput dan leher. Sakit
kepala merupakan gejala umum yang dirasakan pada tumor intrakranium.
Sifat dari sakit kepala itu adalah nyeri berdenyut-denyut atau rasa penuh
di kepala seolaholah mau meledak. Nyerinya paling hebat di pagi hari,
karena selama tidur malam PCO2 arteri serebral meningkat sehingga
mengakibatkan peningkatan dari CBF dan dengan demikian meningkatkan
lagi tekanan intrakranium. Lokalisasai nyeri yang unilateral akan sesuai
dengan lokasi tumornya.
Pada penderita yang tumor serebrinya belum meluas, mungkin saja
sakit kepala belum dirasakan. Misalnya, glioma pada tahap dini dapat
mendekam di otak tanpa menimbulkan gejala apapun. Sebaliknya,
astrositoma derajat 1 sekalipun dapat berefek buruk jika menduduki
daerah yang penting, misalnya daerah bicara motorik Brocca.
Neoplasma di garis tengah fosa kranium posterior (tumor
infratentorial) dapat dengan cepat menekan saluran CSS. Karena itu, sakit
kepala akan terasa sejak awal dan untuk waktu yang lama tidak
menunjukkan gejala defisit neurologik. Tumor infratentorial yang
berlokasi di samping (unilateral) cepat menimbulkan gejala defisit
neurologik akibat pergeseran atau atau desakan terhadap batang otak.
Maka dari itu, tuli sesisi, vertigo, ataksia, neuralgia trigeminus,
oftalmoplegia (paralisis otot-otot mata) dan paresis (paralisis ringan)
perifer fasialis dapat ditemukan pada pemeriksaan.
Definisi “sakit kepala” dan “pusing” harus dapat dibedakan dengan
jelas. Pusing kepala biasanya disebabkan oleh oftalmoplegia (yang
menimbulkan diplopia). Kombinasi pusing kepala ataupun sakit kepala
dan diplopia harus menimbulkan kecurigaan terhadapa adanya tumor
serebri, terutama tumor serebri infratentorial.
b. Muntah
Muntah sering mengindikasikan tumor yang luas dengan efek dari
massa tumor tersebut juga mengindikasikan adanya pergeseran otak.
Muntah berulang pada pagi dan malam hari, dimana muntah yang
proyektil tanpa didahului mual menambah kecurigaan adanya massa
intrakranial.
Muntah sering timbul pada pagi hari setelah bangun tidur. Hal ini
disebabkan oleh tekanan intrakranium yang meninggi selama tidur malam,
di mana PCO2 serebral meningkat. Sifat muntah dari penderita dengan
tekanan intrakranium meninggi adalah khas, yaitu proyektil atau muncrat
yang tanpa didahului mual.
c. Kejang fokal
Kejang dapat timbul sebagai gejala dari tekanan intrakranium yang
melonjak secara cepat, terutama sebagai gejala dari glioblastoma
multiform. Kejang tonik biasanya timbul pada tumor di fosa kranium
posterior.
d. Gangguan mental
Gangguan konsentrasi, cepat lupa, perubahan kepribadian, perubahan
mood dan berkurangnya inisiatif adalah gejala-gejala umum pada
penderita dengan tumor lobus frontal atau temporal. Gejala ini bertambah
buruk dan jika tidak ditangani dapat menyebabkan terjadinya somnolen
hingga koma. (4,9,10) Tumor di sebagian besar otak dapat mengakibatkan
gangguan mental, misalnya demensia, apatia, gangguan watak dan serta
gangguan intelegensi dan psikosis. Gangguan emosi juga akan terjadi
terutama jika tumor tersebut mendesak sistem limbik (khususnya
amigdala dan girus cinguli) karena sistem limbik merupakan pusat
pengatur emosi.
e. Edema Papil
Gejala umum yang tidak berlangsung lama pada tumor otak, sebab
dengan teknik neuroimaging tumor dapat segera dideteksi. Edema papil
pada awalnya tidak menimbulkan gejala hilangnya kemampuan untuk
melihat, tetapi edema papil yang berkelanjutan dapat menyebabkan
perluasan bintik buta, penyempitan lapangan pandang perifer dan
menyebabkan penglihatan kabur yang tidak menetap.
f. Seizure
Adalah gejala utama dari tumor yang perkembangannya lambat seperti
astrositoma, oligodendroglioma dan meningioma. Paling sering terjadi
pada tumor di lobus frontal baru kemudian tumor pada lobus parietal dan
temporal.

II.3.3 Gejala Lokal Space Occupying Lesion


Gejala lokal terjadi pada tumor yeng menyebabkan destruksi parenkim,
infark atau edema. Juga akibat pelepasan faktor-faktor ke daerah sekitar tumor
(contohnya : peroksidase, ion hydrogen, enzim proteolitik dan sitokin),
semuanya dapat menyebabkan disfungsi fokal yang reversibel (Saanin, 2004,
Bradley, 2000).
1. Tumor di lobus frontalis / kortikal
Sakit kepala akan muncul pada tahap awal, sedangkan muntah dan
papiludema akan timbul pada tahap lanjutan. Walaupun gangguan mental
dapat terjadi akibat tumor di bagian otak manapun, namun terutama terjadi
akibat tumor di bagian frontalis dan korpus kalosum. Akan terjadi
kemunduran intelegensi, ditandai dengan gejala “Witzelsucht”, yaitu suka
menceritakan lelucon-lelucon yang sering diulang-ulang dan disajikan
sebagai bahan tertawaan, yang bermutu rendah (Saanin, 2004, Bradley,
2000).
Kejang adversif (kejang tonik fokal) merupakan simptom lain dari tumor
di bagian posterior lobus frontalis, di sekitar daerah premotorik. Tumor di
lobus frontalis juga dapat menyebabkan refleks memegang dan anosmia
(Saanin, 2004, Bradley, 2000).
Tumor lobus frontal menyebabkan terjadinya kejang umum yang
diikuti paralisis post-iktal. Meningioma kompleks atau parasagital dan
glioma frontal khusus berkaitan dengan kejang. Tanda lokal tumor frontal
antara lain disartri, kelumpuhan kontralateral, dan afasia jika hemisfer
dominant dipengaruhi. Anosmia unilateral menunjukkan adanya tumor
bulbus olfaktorius (Saanin, 2004, Bradley, 2000).

2. Tumor di daerah presentralis


Tumor di daerah presentralis akan merangsang derah motorik sehingga
menimbulkan kejang pada sisi kontralateral sebagai gejala dini. Bila
tumor di daerah presentral sudah menimbulkan destruksi strukturil, maka
gejalanya berupa hemiparesis kontralateral. Jika tumor bertumbuh di
daerah falk serebri setinggi daerah presentralis, maka paparesis inferior
akan dijumpai (Saanin, 2004, Bradley, 2000).

3. Tumor di lobus temporalis


Bila lobus temporalis kanan yang diduduki, gejala klinis kurang
menonjol. Kecuali, bila daerah unkus terkena, akan timbul serangan
“uncinate fit” pada epilepsi. Kemudian akan terjadi gangguan pada funsgi
penciuman serta halusinasi auditorik dan afasia sensorik. Hal ini logis bila
dikaitkan dengan fungsi unkus sebagai pusat penciuman dan lobus
temporalis sebagai pusat pendengaran. Gejala tumor lobus temporalis
antara lain disfungsi traktus kortikospinal kontralateral, defisit lapangan
pandang homonim, perubahan kepribadian, disfungsi memori dan kejang
parsial kompleks (Saanin, 2004, Bradley, 2000).

4. Tumor di lobus parietalis


Tumor pada lobus parietalis dapat merangsang daerah sensorik. Jika
tumor sudah menimbulkan destruksi strukturil, maka segala macam perasa
pada daerah tubuh kontralateral yang bersangkutan tidak dapat dikenali
dan dirasakan. Han ini akan menimbulkan astereognosia dan ataksia
sensorik. Bila bagian dalam parietalis yang terkena, maka akan timbul
gejala yang disebut “thalamic over-reaction”, yaitu reaksi yang berlebihan
terhadap rangsang protopatik. Selain itu, dapat terjadi lesi yang
menyebabkan terputusnya optic radiation sehingga dapat timbul
hemianopsia Daerah posterior dari lobus parietalis yang berdampingan
dengan lobus temporalis dan lobus oksipitalis merupakan daerah penting
bagi keutuhan fungsi luhur sehingga destruksi pada daerah tersebut akan
menyebabkan agnosia (hilangnya kemampuan untuk mengenali rangsang
sensorik) dan afasia sensorik, serta apraksia (kegagalan untuk melakukan
gerakan-gerakan yang bertujuan walaupun tidak ada gangguan sensorik
dan motorik). Tumor hemisfer dominan menyebabkan afasia, gangguan
sensoris dan berkurangnya konsentrasi yang merupakan gejala utama
tumor lobus parietal. Adapun gejala yang lain diantaranya disfungsi
traktus kortikospinal kontralateral, hemianopsia/ quadrianopsia inferior
homonim kontralateral dan simple motor atau kejang sensoris (Saanin,
2004, Bradley, 2000).

5. Tumor pada lobus oksipitalis


Tumor pada lobus ini jarang ditemui. Bila ada, maka gejala yang
muncul biasanya adalah sakit kepala di daerah oksiput. Kemudian dapat
disusul dengan gangguan medan penglihatan.
Tumor lobus oksipital sering menyebabkan hemianopsia homonym yang
kongruen. Kejang fokal lobus oksipital sering ditandai dengan persepsi
kontralateral episodik terhadap cahaya senter, warna atau pada bentuk
geometri (Saanin, 2004, Bradley, 2000)
.
6. Tumor pada korpus kalosum
Sindroma pada korpus kalosum meliputi gangguan mental, terutama
menjadi cepat lupa sehingga melupakan sakit kepala yang baru dialami
dan mereda. Demensia uga akan sering timbul dosertai kejang tergantung
pada lokasi dan luar tumor yang menduduki korpus kalosum (Saanin,
2004, Bradley, 2000).

7. Tumor pada Ventrikel Tiga dan Regio Pineal


Tumor di dalam atau yang dekat dengan ventrikel tiga menghambat
ventrikel atau aquaduktus dan menyebabkan hidrosepalus. Perubahan
posisi dapat meningkatkan tekanan ventrikel sehingga terjadi sakit kepala
berat pada daerah frontal dan verteks, muntah dan kadang-kadang
pingsan. Hal ini juga menyebabkan gangguan ingatan, diabetes insipidus,
amenorea, galaktorea dan gangguan pengecapan dan pengaturan suhu
(Saanin, 2004, Bradley, 2000).

8. Tumor Batang Otak


Terutama ditandai oleh disfungsi saraf kranialis, defek lapangan
pandang, nistagmus, ataksia dan kelemahan ekstremitas. Kompresi pada
ventrikel empat menyebabkan hidrosepalus obstruktif dan menimbulkan
gejala-gejala umum (Saanin, 2004, Bradley, 2000).

9. Tumor Serebellar
Muntah berulang dan sakit kepala di bagian oksiput merupakan gejala
yang sering ditemukan pada tumor serebellar. Pusing, vertigo dan
nistagmus mungkin menonjol.

II.3.4 Gejala Lokal yang Menyesatkan


Gejala lokal yang menyesatkan ini melibatkan neuroaksis kecil dari lokasi
tumor yang sebenarnya. Sering disebabkan oleh peningkatan tekanan
intrakranial, pergeseran dari struktur-struktur intrakranial atau iskemi.
Kelumpuhan nervus VI berkembang ketika terjadi peningkatan tekanan
intrakranial yang menyebabkan kompresi saraf. Tumor lobus frontal yang difus
atau tumor pada korpus kallosum menyebabkan ataksia (frontal ataksia)
(Bradley, 2000).
Secara umum, tanda-tanda fisik yang dapat didiagnosis pada tumor
intrakranium (Bradley, 2000):
1. Papiledema (edema pada discus opticus) dapat timbul akibat tekanan
intrakranium yang meninggi atauapun karena penekanan pada nervus optikus
secara langsung. Papil akan terlihat berwarna merah tua dan ada perdarahan
di sekitarnya. Untuk melihat papiledemea, dapat dilakukan funduskopi atau
oftalmoskopi. Karena ruang subarachnoid pada otak berlanjut hingga medula
spinalis, maka peningkatan tekanan intrakranial juga akan tercermin pada
ruang subarachnoid di medula spinalis. Pada kedaan demikian, fungsi lumbal
tidak boleh dilakukan dapat menyebabkan herniasi serebelum di foramen
magnus yang dapat mengkahiri kehidupan.

2. Pada anak-anak, tekanan intrakranium yang meningkat dapat menyebabkan


ukuran kepala membesar atau terenggannya sutura.

3. Tekanan intrakranium yang meninggi mengakibatkan iskemi dan gangguan


pada pusatpusat vasomorotik serebral, sehingga menimbulkan bradikardi
(melambatnya denyut jantung) atau tekanan darah sistemik meningkat secara
progresif

4. Irama dan frekuensi pernapasan berubah. Kompresi pada batang otak dari
luar akan mempercepat pernafasan, sedangkan kompresi sentral rostro-kaudal
terhadap batang otak menyebabkan pernafasan yang lambat namun dalam.

5. Bagian-bagian dari tulang tengkorak dapat mengalami destruksi. Penipisan


tulang biasanya disebabkan meningioma yang bulat, sedangkan penebalan
tulang sebagai akibat rangsang dari meningioma yang gepeng.

II.4 Penegakan Diagnostik SOL Intrakranial

Perubahan Tanda Vital (Lombardo,2006, Thamburaj, 2008, Eccher,2004 ):


a. Denyut Nadi
Denyaut nadi relatif stabil selama stadium awal dari peningkatan ICP, terutama
pada anak-anak. Bradikardi merupakan mekanisme kompensasi yang mungkin terjadi
untuk mensuplai darah ke otak dan mekanisme ini dikontrol oleh tekanan pada
mekanisme reflex vagal yang terdapat di medulla. Apabila tekanan ini tidak
dihilangkan, maka denut nadi akan menjadi lambat dan irregular dan akhirnya
berhenti.
b. Pernapasan
Pada saat kesadaran menurun, korteks serebri akan lebih tertekan daripada batang
otak dan pada pasien dewasa, perubahan pernafasan ini normalnya akan diikuti
dengan penurunan level dari kesadaran.Perubahan pada pola pernafasan adalah hasil
dari tekanan langsung pada batang otak. Pada bayi, pernafasan irregular dan
meningkatnya serangan apneu sering terjadiantara gejala-gejala awal dari peningkatan
ICP yang cepat dan dapat berkembang dengan cepat ke respiratory arrest.
c. Tekanan Darah
Tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil selama stadium awal dari
peningkatan ICP, terutama pada anak-anak. Dengan terjadinya peningkatan ICP,
tekanan darah akan meningkat sebagai mekanisme kompensasi; Sebagai hasil dari
respon Cushing, dengan meningkatnya tekanan darah, akan terjadi penurunan dari
denyut nadi disertai dengan perubahan pada pola pernafasan. Apabila kondisi ini terus
berlangsung, maka tekanan darah akan mulai turun .
d. Suhu Tubuh
Selama mekanisme kompensasi dari peningkatan ICP berlangsung, suhu tubuh
akan tetap stabil. Ketika mekanisme dekompensasi berubah, peningktan suhu tubuh
akan muncul akibta dari disfungsi dari hipotalamus atau edema pada traktus yang
menghubungkannya.
e. Reaksi Pupil
Serabut saraf simpatis menyebabkan otot pupil berdilatasi. Reaksi pupil yang
lebih lambat dari normalnya dapat ditemukan pada kondisi yang menyebabkan
penekanan pada nervus okulomotorius, seperti edema otak atau lesi pada otak.
Penekanan pada n. Oklulomotorius menyebabkan penekanan ke bawah, menjepit
n.Okkulomotorius di antara tentorium dan herniasi dari lobus temporal yang
mengakibatkan dilatasi pupil yang permanen. N. okulomotorius (III) berfungsi untuk
mengendalikan fungsi pupil. Pupil harus diperiksa ukuran, bentuk dan
kesimetrisannya dimana ketika dibandingkan antara kiri dan kanan, kedua pupil harus
memiliki ukuran yang sama. Normalnya, konstriksi pupil akan terjadi dengan cepat.
Pemeriksaan fisik neurologis dalam menegakan diagnosis
a. Pemeriksaan mata yaitu ukuran pupil, bentuknya dan reaksinya terhadap
cahaya,pemeriksaan visus dan lapang pandang penglihatan serta pemeriksaan
gerakan bola mata
b. Pemeriksaan funduskopi untuk menentukan oedema pada papil nervus optikus
atau atrofi papil nervus optikus et causa papil odema tahap lanjut.
c. Pemeriksaan motorik yaitu gerak, kekuatan, tanus, trofi, refleks fisiologi,
reflek patologis, dan klonus.
d. Pemeriksaan sensibilitas.
Pemeriksaan Penunjang
 Elektroensefalografi (EEG)
 Foto polos kepala
 Arteriografi
 Computerized Tomografi (CT Scan)
 Magnetic Resonance Imaging (MRI)

II.5 Penatalaksanaan Keluhan dan Gejala Disebabkan Space Occupying Lesion


Penanganan yang terbaik untuk peningkatan ICP adalah pengangkatan dari lesi
penyebabnya seperti tumor, hidrosefalus, dan hematoma. Peningkatan ICP pasca
operasi jarang terjadi hari-hari ini dengan meningkatnya penggunaan mikroskop dan
teknik khusus untuk menghindari pengangkatan otak. Peningkatan ICP adalah sebuah
fenomena sementara yang berlangsung untuk waktu yang singkat kecuali ada cedera
sekunder segar karena hipoksia, bekuan atau gangguan elektrolit. Pengobatan ditujukan
untuk mencegah peristiwa sekunder. ICP klinis dan pemantauan akan membantu.
Berikut merupakan tindakan yang dapat dilakukan (Widjoseno, 2004, Eccher,2004 ).

Trauma
1. Penanganan Primer
Tindakan utama untuk peningkatan ICP adalah untuk mengamankan ABCDE
(primary survey) pada pasien. Banyak pasien dengan peningkatan ICP
memerlukan intubasi. Pasien dengan skor GCS kurang dari 8 harus diintubasi
untuk melindungi airway. Yang menjadi perhatian utama pada pemasangan
intubasi ini adalah intubasi ini mampu memberikan ventilasi tekanan positif yang
kemudian dapat meningkatkan tekanan vena sentral yang kemudian akan
menghasilkan inhibisi aliran balik vena sehingga akan meningkatkan ICP (Kaye,
2005, Eccher,2004 ).
Hati-hati dalam memperhatikan gizi, elektrolit, fungsi kandung kemih dan
usus. Pengobatan yang tepat untuk infeksi berupa pemberian antibiotik harus
dilaksanakan dengan segera. Pemberian analgesia yang memadai harus diberikan
walaupun pasien dalam kondisi di bawah sadar (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
Posisi kepala pasien juga harus diperhatikan. Elevasi pada kepala dapat
menurunkan ICP pada komdisi normal dan pada pasien dengan cedera kepala
melalui mekanisme penurunan tekanan hidrostatis CSF yang akan menghasilkan
aliran balik vena. Sudut yang dianjurkan dan umumnya digunakan untuk elevasi
pada kepala adalah 30o. Pasien harus diposisikan dengan kepala menghadap lurus
ke depan karena apabila kepala pasien menghadap ke salah satu sisinya dan
disertai dengan fleksi pada leher akan meynebabkan penekanan pada vena
jugularis interna dan memperlambat aliran balik vena (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
Hipoksia sistemik, gangguan hemodinamik dan gangguan pada autoregulasi
yang kemudian disertai dengan kejang dapat membahayakan kondisi pasien
dengan peningkatan ICP. Sehingga banyak praktisi kesehatan yang kemudian
menggunakan terapi profilaksis fenitoin, terutama pada pasien dengan cedera
kepala, perdarahan subaraknoid, perdarahan intrakranial, dan kondisi yang
lainnya. Penggunaan fenitoin sebagai profilaksis pada pasein dengan tumor otak
dapat menghasilkan penurunan resiko untuk terjadinya kejang, tapi dengan efek
samping yang juga cukup besar (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).

2. Penanganan Sekunder
 Hiperventilasi digunakan pada pasien dengan skor GCS yang lebih dari 5.
Pembuluh darah otak merespon dengan cepat pada perubahan PaCO2.
PaCO2 yang rendah dapat menyebabkan vasokonstriksi, yang kemudian
akan mengurangi komponen darah dalam volume intrakranial, dimana
peningkatan PaCO2 menyebabkan vasodilatasi. Hiperventilasi bertujuan
menjaga agar PaCO2 berada pada level 25 – 30 mm Hg sehingga CBF
akan turun dan volume darah otak berkurang dan dengan demikian
mengurangi ICP. Hiperventilasi yang berkepanjangan harus dihindari dan
menjadi tidak efektif setelah sekitar 24 jam. Kecenderungannya adalah
untuk menjaga ventilasi normal dengan PaCO2 di kisaran 30 – 35 mmHg
dan PaO2 dari 120-140 mmHg. Ketikaa ada pemburukan klinis seperti
dilatasi pupil atau tekanan nadi melebar, hiperventilasi dapat dilakukan
(sebaiknya dengan Ambu bag) sampai ICP turun. Hyper barik O2,
hipotermia masih dalam tahap percobaan, terutama di Jepang. Mereka
pada dasarnya menyebabkan vasokonstriksi serebral dan mengurangi
volume darah otak dan ICP (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
 Osmotherapi berguna dalam tahap edema sitotoksik, ketika permeabilitas
kapiler yang masih baik, dengan meningkatkan osmolalitas serum. Manitol
masih merupakan obat yang baik untuk mengurangi ICP, tetapi hanya jika
digunakan dengan benar: itu adalah diuretik osmotik yang paling umum
digunakan. Hal ini juga dapat bertindak sebagai scavenger radikal bebas.
Manitol tidak inert dan tidak berbahaya. Gliserol dan urea merupak
golongan yang jarang digunakan hari ini. Beberapa teori telah
dikemukakan mengenai mekanisme yang mengurangi ICP (Kaye, 2005,
Eccher,2004 ).
a. Dengan meningkatkan fleksibilitas eritrosit, yang menurunkan
viskositas darah dan menyebabkan vasokonstriksi yang mengurangi
volume darah otak dan menurunkan ICP dan dapat mengurangi
produksi CSF oleh pleksus choroideus. Dalam dosis kecil dapat
melindungi otak dari iskemik karena fleksibilitas eritrosit meningkat
(Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
b. Efek diuretik terutama di sekitar lesi, di mana integritas sawar darah
otak terganggu dan tidak ada pengaruh yang signifikan pada otak
normal. Lesi intraaxial merespon lebih baik dari lesi ekstra aksial
(Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
c. Teori lain adalah, manitol dengan menarik air di ependyma dari
ventrikel dengan cara analog dengan yang dihasilkan oleh drainase
ventrikel. Dosis tradisional adalah 1 gm/kg/24 jam 20% sampai 25% iv
baik sebagai bolus atau lebih umum secara bertahap. Tidak ada peran
untuk dehidrasi. Efek Manitol pada ICP maksimal adalah 1 / 2 jam
setelah infus dan berlangsung selama 3 atau 4 jam sebagai sebuah
aturan. Dosis yang benar adalah dosis terkecil yang akan berpengaruh
cukup terhadap ICP. Ketika dosis berulang diperlukan, penggunaan
garis dasar osmolalitas serum meningkat secara bertahap dan saat ini
melebihi 330 mosm / 1 terapi manitol harus dihentikan. Penggunaan
lebih lanjut tidak efektif dan cenderung menimbulkan gagal ginjal.
Diuretik seperti furosemid, baik sendiri atau bersama dengan bantuan
manitol untuk mempercepat ekskresi dan mengurangi osmolalitas
serum awal sebelum dosis berikutnya. Beberapa mengklaim, bahwa
furosemid manitol dapat meningkatkan output. Beberapa memberikan
furosemid sebelum manitol, sehingga mengurangi overload sirkulasi.
Fenomena rebound adalah karena pembalikan gradien osmoICP
sebagai akibat kebocoran progresif dari agen osmotik melintasi
penghalang darah otak rusak, atau karena ICP yang meningkat kembali
(Kaye, 2005, Eccher,2004).

3. Barbiturat dapat menurunkan ICP ketika tindakan-tindakan lain gagal, tetapi tidak
memiliki nilai profilaksis. Mereka menghambat peroksidasi lipid dimediasi radikal
bebas dan menekan metabolisme serebral; persyaratan metabolisme otak dan
dengan demikian volume darah otak yang berkurang mengakibatkan penurunan
ICP. Fenobarbital yang paling banyak digunakan. Dosis 10 mg / kg pemuatan
lebih dari 30 menit dan 1-3mg/kg setiap jam secara luas digunakan. Fasilitas untuk
memantau dekat ICP dan ketidakstabilan hemodinamik harus menemani setiap
terapi obat tidur (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).

4. Dosis tinggi terapi steroid sangat populer beberapa tahun yang lalu dan masih
digunakan oleh beberapa ahli. Ini mengembalikan integritas dinding sel dan
membantu dalam pemulihan dan mengurangi edema. Barbiturat dan agen anestesi
lain mengurangi tekanan CBF dan arteri sehingga mengurangi ICP. Selain itu
mengurangi metabolisme otak dan permintaan energi yang memfasilitasi
penyembuhan lebih baik (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).

5. Hipotermi dapat digunakan sebagai terapi adjuvant terhadap terapi yang lain.
Temperatur tubuh dibuat menjadi lebih rendah dari temperature tubuh yang
normal yaitu sekitar 32°C – 34 °C. Metode ini dapat mungkin menurunkan ICP
dengan menurunkan metabolisme dari otak. Metode terapi hipotermia selama 48
jam atau kurang dapat dipertimbangkan pada pasien dengan TCB. Metode terapi
ini selama 8 jam atau lebih dapat dipertimbangkan untuk terapi pada peningkatan
ICP.. Penggunaan metode ini hanya direkomendasikan pada ahli yang
berpengalaman yang benar-benar mengerti perubahan fisiologi yang berhubungan
dengan hipotermia dan mampu merespon dengan cepat perubahan tersebut.
Komplikasi dari metode hipotermia ini meliputi depresi jantung pada suhu di
bawah 32°C. dan peningkatan insiden komplikasi berupa infeksi seperti
pneumonia telah dilaporkan pada metode terapi ini (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
Penggunaan Koagulopati. Kerusakan parenkim otak yang berat dapat
terjadi karena adanya pelepasan thromboplastin pada jaringan diamana hal ini
akan mengaktivasi faktor instrinsik. Sindroma klinis didiagnosa dengan adanya
pemanjangan PT dan aktivasi sebagian dari nilai APTT, penurunan level
fibrinogen, peningkatan level fibrin, dan penurunan jumlah platelet. APTT yang
memanjang ditangani dengan memberikan fresh frozen plasma. Kadar Fibrinogen
di bawah 150 mg/dL memerlukan penanganan berupa pemberian krioprecipitate.
Pemberian platelet harus dilakukan untuk mengobati nyeri kepala pada pasien
dengan jumlah platelet yang kurang dari 100.000/ml bila waktu perdarahan
memanjang (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).

6. Intervensi bedah
Tekanan intrakranial (intracranial pressure, ICP) dapat diukur secara
kontinu dengan menggunakan transduser intrakranial. Kateter dapat dimasukkan
ke dlam entrikel lateral dan dapat digunakan untuk mengeluarkan CSF dengan
tujuan untuk mengurangi ICP. Drain tipe ini dikenal dengan EVD
(ekstraventicular drain). Pada situasi yang jarang terjadi dimana CSf dalam jumlah
sedikit dapat dikeluarkan untuk mengurangi ICP, Drainase ICP melalui punksi
lumbal dapat digunakan sebagai suatu tindakan pengobatan (Eccher,2004 ,Gulli.
Dkk, 2010).
Kraniotomi adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk mengeluarkan
hematom di di dalam ruangan intrakranial dan untuk mengurangi tekanan
intrakranial dari bagian otak dengan cara membuat suatu lubang pada tulang
tengkorak kepala. Kranioektomi adalah suatu tindakan radikal yang dilakukan
sebagai penanganan untuk peningkatan tekanan intrakranial, dimana dilakukan
pengangkatan bagian tertentu dari tulang tengkorak kepala dan duramater
dibebaskan agar otak dapat membesar tanpa adanya herniasi. Bagian dari tulang
tengkorak kepala yang diangkat ini desebut dengan bone flap. Bone flap ini dapat
disimpan pada perut pasien dan dapat dipasang kembali ketika penyebab dari
peningkatan ICP tersebut telah disingkirkan. Material sintetik digunakan sebagai
pengganti dari bagian tulang tengkorak yang diangkat. Tindakan pemasangan
material sintetik ini dkenal dengan cranioplasty (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).
Kraniotomi adalah salah satu bentuk dari operasi pada otak. Operasi ini
paling banyak digunakan dalam operasi untuk mengangkat tumor pada otak.
Operasi ini juga sering digunakan untuk mengangkat bekuan darah (hematom),
untuk mengontrol perdarahan, aneurisma otak, abses otak, memperbaiki
malformasi arteri vena, mengurangi tekanan intrakranial, atau biopsi (Gulli. Dkk,
2010).
Sebelum melakukan tindakan kraniotomi, terlebih dahulu harus dilakukan
pemeriksaan penunjang untuk memastikan penyebab dan lokasi dari lesi di otak.
Oleh karena itu dilakuakn neuroimaging. Neuroimaging yang dapat dilakukan
adalah (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010):
 CT scan
 MRI
 Arteriogram
Pasien yang akan dilakuakn tindakan kraniotomi dpat diberikan
pengobatan terlebih dahulu untuk mengurangi rasa cemas dan mengurangi resiko
terjadinya kejang, edema, dan infeksi setelah operasi. Obata-obatan seperti
heparin, aspirin dan golongan NSAID memiliki hubungan dengan meningkatnya
bekuan darah yang terjadi pasca operasi. Obat-obatan ini harus disuntikkan 7 hari
sebelum operasi agar efeknya hilang sebelum operasi dilakukan.Sebagai
tambahan, dibutuhkan pemeriksaan laboratorium yang rutin atau yang khusus
sesuai dengan kebutuhan. Pasien tidak boleh makan dan minum 6-8 jam sebelum
operasi dan kepala pasien harus dicukur sesaat sebelum operasi dimulai
(Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).
Ada dua metode yang umumnya digunakan untuk membuka tengkorak.
Insisi dibuat pada daerah leher di sekitar os. Occipital atau insisi melengkung yang
dibuat di bagian depan telinga yang melengkung ke atas mata. Insisi dilakukan
hingga sejauh membran tipis yang membungkus tulang tengkorak kepala. Selama
insisi dilakukan, ahli bedah harus menutup pembuluh darah kecil sebanyak
mungkin. Hal ini dikarenakan scalp merupakan daerah yang kaya akan suplai
darah (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).
Scalp ditarik ke belakang agar tulang dapat terlihat. Dengan menggunakan
bor kecepatan tinggi, dilakukan pengeboran mengikuti pola lubang dan lakukan
pemotongan mengikuti pola lubang yang telah ada hingga bone flap dapat
diangkat. Hal ini akan memberikan akses ke dalam kraium dan memudahkan
untuk melakukan operasi di dalam otak. Setelah mengangkat lesi di dalam otak
atau setelah prosedur yang lainnya selesai, tulang dikembalikan ke posisi semula
dengan menggunakan kawat halus. Membran, otot, dan kulit dijahit dalam
posisinya. Apabila lesinya adalah suatu aneurisma, maka arteri yang terlibat
diklem. Apabila lesinya adalah tumor, sebanyak mungkin bagian dari tumor ini
diangkat. Untuk kelainan malformasi arteri vena, kelainannya dipotong kemudian
disambung kembali dengan pembuluh darah yang normal (Eccher,2004 ,Gulli.
Dkk, 2010).

Hidrosepalus
Tindakan bedah pada hidrosefalus sesungguhnya telah dirintis sejak beberapa
abad yang silam oleh Ferguson pada tahun 1898 berupa membuat shunt atau pintasan
untuk mengalirkan cairan otak di ruang tengkorak yang tersumbat ke tempat lain
dengan menggunakan alat sejenis kateter berdiameter kecil. Cara mekanik ini terus
berkembang, seperti Matson (1951) menciptakan pintasan dari rongga ventrikel ke
saluran kencing (ventrikulo ureter), Ransohoff (1954) mengembangkan pintasan dari
rongga ventrikel ke rongga dada (ventrikulo-pleural). Selanjutnya, Holter (1952),
Scott (1955), dan Anthony J Raimondi (1972) memperkenalkan pintasan ke arah
ruang jantung atria (ventrikulo-atrial) dan ke rongga perut (ventrikulo-peritoneal)
yang alirannya searah dengan menggunakan katup pengaman.Teknologi pintasan
terus berkembang dengan ditemukan bahan-bahan yang inert seperti silikon yang
sebelumnya menggunakan bahan polietilen. Hal itu penting karena selang pintasan itu
ditanam di jaringan otak, kulit, dan rongga perut dalam waktu yang lama bahkan
seumur hidup penderita sehingga perlu dihindarkan efek reaksi penolakan oleh tubuh.
Tindakan dilakukan terhadap penderita yang telah dibius total, ada sayatan kecil di
daerah kepala dan dilakukan pembukaan tulang tengkorak dan selaput otak yang
selanjutnya selang pintasan ventrikel di pasang, disusul kemudian dibuat sayatan kecil
di daerah perut, dibuka rongga perut lalu ditanam selang pintasan rongga perut antara
kedua ujung selang tersebut dihubungkan dengan sebuah selang pintasan yang
ditanam di bawah kulit sehingga tidak terlihat dari luar (Rosmini, 2008).
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN KELOLAAN

PENGKAJIAN KEPERAWATAN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. SA
Umur : 64 tahun 11 Bulan (2 Juni 1954)
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Suka Merindu, Kecamatan Pemulutan Barat OI-SUMSEL
Status marital : Menikah
Agama : Islam
Suku : Sumsel
Tanggal MRS : 20-04-2019
Tanggal pengkajian : 09-05-2019
Sumber informasi : Keluarga pasien

Keluarga yang dapat dihubungi


Nama : Tn. MS
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Suka Merindu, Kecamatan Pemulutan Barat OI-SUMSEL

B. STATUS KESEHATAN SAAT INI


1. Keluhan Utama
Pasien mengalami penurunan kesadaran
2. Riwayat Penyakit Dahulu
Keluarga pasien mengatakan sebelumnya pasien memiliki riwayat hipertensi satu
terakhir namun tidak rutin meminum obat antihipertensi.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada awalnya, pasien dibawa keluarga ke Rumah Sakit Aroyah Indralaya
dikarenakan terdapat peningkatan tekanan darah dan kolesterol (keluarga tidak ingat
terkait tekanan darah dan kolesterol saat itu). Namun, kondisi pasien saat itu masih
dalam kondisi sadar. Selama 1 minggu dirawat di rumah sakit tersebut, pasien tidak
mengalami perkembangan yang signifikan. Pasien kemudian dirujuk ke RS Bari
Palembang dikarenakan mengalami penurunan kesadaran dan dilakukan pemeriksaan
MRI sehingga didapatkan diagnosa medis berupa SOL dan terdapat benjolan di
bagian otak. Seminggu kemudian, pasien dirujuk ke RSUP dr.Mohammad Hoesin
Palembang untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut. Pasien mengalami penurunan
keadaran perlahan-lahan berupa sedikit bicara dan tampak mengantuk. Sebelumnya
pasien mengeluh pusing, mengalami hemiparesis, gangguan sensibilitas berupa rasa
baal, dan kesemutan.
4. Diagnosa Medis
SOL intracranial midline cerebri occipital bilateral + DM tipe II dd hiperglikemia
induced steroid + hemiparese duplex flaccyd

C. RIWAYAT BIOLOGIS
1. Pola Nutrisi
Keluarga mengatakan sebelum sakit pasien makan dengan pola makan teratur, pasien
hanya menghabiskan 1 porsi makanan dan tidak menambah porsi, pasien tidak terlalu
sering makan makanan yang manis. Sebelum sakit, pasien memiliki berat badan
sebesar 67 Kg. Selama di rumah sakit, pasien makan melalui selang NGT, diet cair
150 kkal 3x sehari. Saat ini, pasien memiliki berat badan sebesar 62 Kg.
2. Pola Eliminasi
Keluarga mengatakan sebelum sakit pasien BAB dan BAK secara mandiri. Setelah
dirawat di rumah sakit, pasien terpasang selang kateter dan menggunakan pampers.
3. Pola Istirahat dan Tidur
Keluarga pasien mengatakan sebelum masuk rumah sakit pasien tidur dan istirahat
teratur. Selama di rumah sakit, pasien hanya terbaring di tempat tidur dan mengalami
penurunan kesadaran.
4. Pola Aktivitas dan Bekerja
Sebelum sakit, pasien mampu melakukan aktivitas secara mandiri. Pasien merupakan
ibu rumah tangga dan aktif dalam kegiatan keagamaan di lingkungan tempat
tinggalnya. Setelah masuk rumah sakit, pasien hanya berbaring diatas kasur dan tidak
dapat berjalan.

Kebutuhan personal hygiene


Sebelum sakit Selama sakit
Pola Aktivitas
0 1 2 3 4 0 1 2 3 4

Makan √ √

Minum √ √

Mandi √ √

Toileting √ √

Berpakaian √ √

Mobilisasi √ √

Keterangan:
0 = Mandiri
1 = Memerlukan alat
2 = Memerlukan bantuan
3 = Memerlukan alat dan bantuan
4 = Tergantung

D. RIWAYAT KELUARGA
Keterangan:
: Laki-laki
: Perempuan
/ : Laki-laki meninggal/ Perempuan meninggal
: Hubungan Anak dan Orang Tua
: Hubungan Saudara
: Tinggal serumah
: Pasien

E. PENGKAJIAN FISIK
1. Kepala
Bentuk bulat, tidak ada perdarahan, rambut berwarna hitam keputihan (uban), tidak
ada luka.

2. Sistem Neurologi:
a. Kesadaran: somnolen
b. GCS: E3M5V afasia
c. Nervus cranial:
NIII : Pupil bulat, isokor, 4 mm
NIV, NV, NVI : kedudukan mata di tengah deviasi conjugate (-)
NVII : plisa nasolabialis kiri datar
NXII : deviasi lidah bdd, disatria bdd
d. Motorik : gerakan dan kekuatan lateralisasi menurun, tonus otot
menurun 2 2

1 1

3. Sistem Penglihatan:
a. Bentuk: Simetris
b. Tanda radang: Tidak ada
c. Sklera: Tidak ikterus
d. Akomodasi: Tidak dapat dikaji
e. Konjungtiva: Tidak anemis
f. Alat bantu: Tidak menggunakan alat bantu
g. Ukuran pupil: 4 mm

4. Sistem Pernapasan
a. Pola napas: reguler
b. Suara paru: vesikular
c. Respiration rate: 24 kali/menit
d. Retraksi intercostal: Ada
e. Reflek batuk: Ada, namun lemah
f. Pasien tampak sesak napas
g. Terpasang NRM 7 lpm
5. Sistem Kardiovaskuler
a. CRT: > 2 detik
b. Perubahan warna kulit: Ada, terdapat bintik merah di sekitar area leher
c. Clubbing finger: Tidak ada
d. Edema: Pada ekstremitas bawah
e. Akral: Dingin
f. Gallop: tidak ada
g. Mur-mur : tidak ada
h. Tekanan darah : 140/90 mmHg
i. Nadi : 83x permenit

6. Sistem Pencernaan
a. Berat badan: 62 Kg
b. Tinggi badan: 163 cm
c. Bising usus: 8 x/menit
d. Eliminasi
1) Frekuensi BAB: BAB menggunakan diapers, ± 100 cc/ hari.
2) Frekuensi BAK: pasien menggunakan foley kateter hari pemasangan ke-
3) Keluhan/gangguan: Tidak ada
4) Terpasang kateter: Pasien terpasang foley kateter hari pemasangan ke
5) Urine Output: 450 cc/ hari

7. Sistem Reproduksi
a. Perdarahan: Tidak ada
b. Keluhan: Tidak ada

8. Sistem Integumen
a. Warna kulit: Sawo matang
b. Tekstur: Halus
c. Nyeri tekan: Tidak dapat dikaji
d. Turgor kulit: Tidak elastis, kembali dalam > 3 detik (edema)

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. MRI Kepala
Tanggal 26 April 2019
Kesan : gambaran meningoencephalitis. Lesi dengan peripheral enchancement dan
blooming artefact di substansia alba dengan perietal bilateral.

2. Rontgen Thorax
Tanggal 21 April 2019
Kesan : Kardiomegali disertai edema paru, efusi pleura kiri, suspect efusi pleura
kanan sub pulmonum.

3. Laboratorium
Tanggal 8 Mei 2019
Jenis pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hematologi
Hemoglobin (Hb) 6,9* g/dL 11.40-15.00 g/dL
Eritrosit (RBC) 2.90 106/mm3 4.00-5.70 106/mm3
Leukosit (WBC) 12.73 103/mm3 4.73-10.89 103/mm3
Hematokrit 26 % 35-45 %
Trombosit (PLT) 353 103/𝜇𝐿 169-436 103/𝜇𝐿
RDW-CV 17.60 % 11-15 %

Hitung Jenis Leukosit


Basofil 0% 0-1 %
Eosinofil 0% 1-6 %
Netrofil 88 % 50-70 %
Limfosit 5% 20-40 %
Monosit 7% 2-8 %

Faal Hemostasis
PT+INR
 Kontrol 13.80 detik
 Pasien 48.1* detik 12-18 detik
Nilai kritis : >30
INR 54
APTT
 Kontrol 32.5 detik
 Pasien 57,0* detik 27-42 detik
Nilai kritis : >78
Fibrinogen
 Kontrol 358.0 mg/dL
 Pasien 37.0 mg/dL 200-400
Nilai kritis : <100 - >800 mg/dL
< 0.3 𝜇𝑔/𝑚𝐿
D-dimer 0.94 𝜇𝑔/𝑚𝐿

Kimia Klinik
Hb – A1c 5.6 4.0-6.5

Ginjal
Ureum 36 mg/dL 16.6-48.5 mg/dL
Kreatinin 0.49* mg/dL 0.50-0.90 mg/dL
Nilai kritis : >5 (bukan pasien
dialysis)

ELEKTROLIT
Kalsium (Ca) 8.0 mg/dL 8.4-9.7 Nilai kritis <6->13

Natrium (Na) 138 mEq/L 135-155 Nilai kritis <120- >160

Kalium (K) 3.2 mEq/L 3.5-5.5 Nilai kritis <2.5- >6.2


G. TERAPI SAAT INI (Tanggal 15 April 2019)
a. Omeprazole 40 mg/24 jam IV
b. Ceftriaxone 2 gr/ 12 jam IV
c. Dexamethasone 5 gr/ 24 jam IV
d. Paracetamol 500 mg/ 8 jam PO
e. Neurodex 1x/ 24 jam PO
f. Glauron 500 mg/8 jam PO
g. Simare 1 gr/ 24 jam PO
h. IVFD NS 0.9% gtt 20x/ menit
56

ANALISA DATA

Data Pohon masalah Masalah


keperawatan
DS: Gangguan Perfusi cerebral
Pasien tidak terkaji autoregulasi tidak efektif
Keluarga mengatakan Ny.SA
kondisinya sangat lemah
Keluarga mengatakan Ny.SA hanya Aliran darah ke
terbaring di bed otak menurun

DO :
 Ku lemah O2 menurun
 Pasien bedrest
 Pupil isokor 4 mm
 TD: 140/90 mmHg Peningkatan asam
 HR : 83x/menit laktat
 RR : 24x/menit
 Suhu : 36,5 C
Oedema otak
 E3M2Vafasia
 Hasil MRI menunjukan
pasien mengalami SOL
Gangguan perfusi
 Hb 6,9 g/dL jaringan cerebral

DS: Suplai darah ke Pola napas tidak


Pasien tidak terkaji jaringan serebral efektif
Keluarga mengatakan pasien susah menurun
untuk pernafas ↓
Vasospasme arteri
DO: dan saraf
 Kesadaran: Sopor ↓
 Keadaan umum: pasien TIK meningkat/
tampak lemah herniasi otak
 TD: 150/90 mmHg ↓
 HR: 83x/menit Penekanan saluran
 RR : 24x/menit pernafasan (depresi
 T : 36,50 C pernapasan)

 Terpasang O2 NRM 15 lpm
pola napas
 CRT 4 detik (>2 detik)
terganggu
 Hb 6,9 g/dL ↓
 Hasil rontgen kardiomegali
Pola napas tidak
dan efusi pleura
efektif
 Pasien menggunakan
pernafasan perut
 Terpasang ngt
57

 Hasil MRI menunjukan SOL

DS: Suplai Intoleransi


 Pasien tidak terkaji aktivitas
 Keluarga mengatakan Ny.SA O2 dan nutrisi ke
kondisinya sangat lemah
 Keluarga mengatakan Ny.SA jaringan ↓
hanya terbaring di bed

 DO: Metabolisme ↓
 Motorik :
gerakan dan kekuatan
lateralisasi menurun, tonus
otot menurun 2 Produksi
energi ↓
2

1 1 ATP ↓

 KU Lemah Kelemahan
 Pasien melakukan semua
aktivitas dibantu oleh
keluarga
 Pasien hanya terbaring di
tempat tidur
 GCS E3M2Vafasia

DS: Proses metabolism Resiko infeksi


 Pasien tidak terkaji dalam otak
 Keluarga mengatakan Ny.SA terganggu
kondisinya sangat lemah 
 Keluarga mengatakan Ny.SA Penurunan suplai
hanya terbaring di bed darah dan oksigen
ke otak
DO: 
 Pasien terpasang kateter Arteri vertebra
 Pasien terpasang selang ngt basiliaris dan arteri
serebri media
 Tirah baring lama

 Pasien bedrest
Kerusakan N.XI

Penurunan fungsi
motorik dan
musculoskeletal

Kelemahan pada
58

anggota gerak

Hemiparase/plegi

Tirah baring lama

Resiko infeksi

Prioritas masalah
1. Perfusi cerebral tidak efektif
2. Pola napas tidak efektif
3. Intoleransi aktivitas
4. Resiko infeksi

Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan gangguan
autoregulasi di otak.
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penekanan pada saluran
pernapasan akibat terjadinya peningkatan TIK.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan suplai oksigen
dan nutrisi ke jaringan.
4. Resiko infeksi berhubungan dengan tirah baring terlalu lama.
59

INTERVENSI KEPERAWATAN

Diagnosa keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan


Diagnosa keperawatan : Stelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 Peripheral Sensation Management (Manajemen
jam diharapkan Gangguan perfusi jaringan berkurang
Perfusi cerebral tidak efektif sensasi perifer) (2660)
atau tidak meluas selama dilakukan tindakan 1. Monitor tingkat kesadaran
Ds: pasien dengan penurunan perawatan. 2. Monitor adanya daerah tertentu yang hanya peka
kesadaran Kriteria Hasil : terhadap panas/dingin/tajam/tumpul
1. Tekanan systole dan diastole dalam rentang yang 3. Monitor adanya paretese
Do : diharapkan 4. Instruksikan keluarga untuk mengobservasi kulit
- ku lemah 2. Akral hangat jika ada lsi atau laserasi
- pasien bedrest 3. RR 16-20x/menit 5. Gunakan sarun tangan untuk proteksi
- pupil isokor 4. SpO2 > 98% 6. Batasi gerakan pada kepala, leher dan punggung
- TD: 140/90 mmHg 5. Tidak ada sianosis perifer 7. Monitor kemampuan BAB
- HR : 83x/menit 8. Kolaborasi pemberian terapi medik
- RR : 24x/menit 9. Monitor adanya tromboplebitis
- suhu : 36,5 C 10. Diskusikan menganai penyebab perubahan
- E3M5V afasia kondisi

Diagnosa Keperawatan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24


Pola napas tidak efektif jam. diharapkan pola nafas efektif dengan Kriteria
Hasil : Airway Managementi (3140)
Ds: pasien dengan penurunan 1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas 1. Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau
kesadaran yang bersih jaw thrust bila perlu
2. Tidak ada sianosis dan dyspnea 2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
Do: 3. Mampu bernafas dengan mudah 3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan
- Kesadaran: somnolen 4. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak nafas buatan
- Keadaan umum: pasien merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan 4. Pasang mayo bila perlu
tampak lemah dalam rentang normal, tidak ada suara nafas 5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
- TD: 150/90 mmHg abnormal) 6. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
60

HR: 83x/menit 5. Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan 7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
RR : 24x/menit darah, nadi, pernafasan) tambahan
T : 36,50 C 6. mudah 8. Lakukan suction pada mayo
- Terpasang O2 NRM 15lpm 7. Tidak ada retraksi dada, pernafasan cuping hidung 9. Berikan bronkodilator bila perlu
dan pursed lips 10. Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl
Lembab
11. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
keseimbangan.
12. Monitor respirasi dan status O2

Oxygen therapy (3320)

1. Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea


2. Pertahankan jalan nafas yang paten
3. Atur peralatan oksigenasi
4. Monitor aliran oksigen
5. Pertahankan posisi pasien
6. Onservasi adanya tanda tanda hipoventilasi
7. Monitor adanya kecemasan pasien terhadap
oksigenasi

Vital sign Monitoring(6680)

1. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR


2. Catat adanya fluktuasi tekanan darah
3. Monitor VS saat pasien berbaring, duduk, atau
berdiri
4. Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan
5. Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan
setelah aktivitas
6. Monitor kualitas dari nadi
61

7. Monitor frekuensi dan irama pernapasan


8. Monitor suara paru
9. Monitor pola pernapasan abnormal
10. Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit
11. Monitor sianosis perifer
12. Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang
melebar, bradikardi, peningkatan sistolik)
13. Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign
Diagnosa Keperawatan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 Mengkonservasi energy dan mentoleransi aktivitas
Intoleransi aktivitas jam diharapkan dapat mengkonservasi energy dan
1. Anjurkan keluarga untuk mendampingi setiap
mentoleransi aktivitas pasien, dengan kriteria hasil :
Ds: pasien dengan penurunan aktivitas yang akan dilakukan pasien
kesadaran 1. Mampu melakukan aktivitas sehari-hari secara 2. Sediakan penguatan positif bagi yang aktif
mandiri beraktivitas
Do: 2. Tanda-tanda vital normal 3. Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi
 Motorik : 3. Mampu berpindah: dengan atau tanpa bantuan diri dan penguatan
gerakan dan kekuatan alat. 4. Monitoring tanda-tanda vital.
lateralisasi menurun, tonus 4. Pasien mampu melakukan miring kanan dan 5. Kaji adanya luka decubitus.
otot menurun. miring kiri. 6. Ajarkan dan motivasi pasien untuk melakukan
 Ku Lemah, 5. Tidak terdapat luka dekubitus miring kanan dan miring kiri.
 Pasien melakukan semua
aktivitas dibantu oleh
keluarga.
 Pasien hanya terbaring di
tempat tidur
Diagnosa keperawatan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 Infection Control (Kontrol infeksi)
Resiko Infeksi jam. Diharapkan tidak terjadi infeksi dengan Kriteria
hasil : 1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
Ds: pasien dengan penurunan 1. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi 2. Pertahankan teknik isolasi
kesadaran 2. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah 3. Batasi pengunjung bila perlu
timbulnya infeksi 4. Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci
DO: 3. Jumlah leukosit dalam batas normal tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung
62

 Pasien terpasang kateter 4. Menunjukkan perilaku hidup sehat meninggalkan pasien


 Pasien terpasang selang 5. Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan
NGT. 6. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan
 Tirah baring lama. kperawtan
 Pasien bedrest 7. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat
pelindung
8. Pertahankan lingkungan aseptik selama
pemasangan alat
9. Ganti letak IV perifer dan line central dan
dressing sesuai dengan petunjuk umum
10. Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan
infeksi kandung kencing
11. Tingkatkan intake nutrisi
12. Berikan terapi antibiotik bila perlu

Infection Protection (proteksi terhadap infeksi)

1. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan


lokal
2. Monitor hitung granulosit, WBC
3. Monitor kerentanan terhadap infeksi
4. Batasi pengunjung
5. Saring pengunjung terhadap penyakit menular
6. Partahankan teknik aspesis pada pasien yang
beresiko
7. Pertahankan teknik isolasi k/p
8. Berikan perawatan kuliat pada area epidema
9. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap
kemerahan, panas, drainase
10. Ispeksi kondisi luka / insisi bedah
11. Dorong masukkan nutrisi yang cukup
63

12. Dorong masukan cairan


13. Dorong istirahat
14. Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai
resep
15. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala
infeksi
16. Ajarkan cara menghindari infeksi
17. Laporkan kecurigaan infeksi
18. Laporkan kultur positif
64

DAFTAR PUSTAKA

Dewi, M., Loho.E & Tubagus,V.N. 2016. Gambaran CT-Scan neoplasma Intrakranial di
Bagian/SMF Radiologi FK Unstrat RSUP Prof.Dr.R.D.Kandou Manado Periode
Oktober 2014-September 2015. Jurnal e-Clinic (eCl),Volume 4, Nomor 1, Januari-
Juni 2016.
Diakses pada Sabtu, 11 Mei 2019.

Iskandar, J. (2002). Penatalaksanaan Cidera Kepala Akut. USU digital library.

Price, S.A & Wilson, L.M. (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit,
Edisi 6. Vol.2, Diterjemahkan oleh Pendit, B.U dkk. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai