I. Pengertian
Suatu kegiatan yang bertujuan untuk mengatasi masalah keperawatan klien yang
dilaksanakan oleh perawat, di samping pasien dilibatkan untuk membahas dan
melaksanakan asuhan keperawatan akan tetapi pada kasus tertentu harus dilakukan oleh
perawat primer atau konsulen, kepala ruangan, perawat associate yang perlu juga
melibatkan seluruh anggota tim.
Karakteristik :
Klien dilibatkan secara langsung
Klien merupakan fokus kegiatan
Perawat associate, perawat primer dan konsulen melakukan diskusi bersama
Konsulen memfasilitasi kreativitas
Konsulen membantu mengembangkan kemampuan perawat associate, perawat primer
untuk meningkatkan kemampuan dalam mengatasi masalah
2. Tujuan
2.1 Tujuan Umum
Menyelesaikan masalah pasien melalui pendekatan berpikir kritis
2.2 Tujuan Khusus
Memudahkan cara berpikir kritis dan sistematis
Meningkatkan kemampuan menentukan diagnosa keperawatan
Menumbuhkan pemikiran tentang keperawatan yang berasal dari masalah pasien
Meningkatkan kemampuan untuk memodifikasi rencana asuhan keperawatan
Meningkatkan kemampuan justifikasi
Meningkatkan kemampuan dalam menilai hasil kerja
3. Peran
3.1 Perawat primer dan Perawat associate
Dalam melaksanakan pekerjaannya perlu adanya sebuah peranan yang
dapat memaksimalkan keberhasilan, antara lain :
Menjelaskan keadaan dan data demografi klien
Menjelaskan masalah keperawatan utama
Menjelaskan intervensi yang belum akan dilakukan
Menjelaskan tindakan selanjutnya
Menjelaskan alasan ilmiah tindakan yang akan diambil
proposal
Penetapan pasien
Validitas data
Penyajian masalah
Analisa data
Masalah Teratasi
Aplikasi hasil analisa dan diskusi
4. Pelaksanaan
4.1 Persiapan
a. Penetapan kasus minimal sehari sebelum waktu pelaksanaan ronde
b. Pemberian informed consent kepada klien dan keluarga
5. Pengorganisasian
Kepala Instalasi : Dian Pramona Sari, S.Kep
Kepala ruangan : Hanna G. Tambunan, S.Kep
Ketua tim : Prayogi Wahyu Jatmiko, S.Kep
Perawat associate : Adrian Javas Setiadi, S.Kep
: Ami Kadewi, S.Kep
: Diah Mulyati Suga, S.Kep
: Fitriani, S.Kep
: Siti Army Lestari, S.Kep
: Selvia Fourwanty, S.Kep
: Vrisca Ayu Febrina, S.Kep
Konselor : Ovi Aprisa Nini, S.Kep
6. Penutup
Demikianlah proposal ronde keperawatan ini kami buat sebagai penilaian didalam
praktek manajemen keperawatan dan sebagai ronde keperawatan yang selanjutnya dapat lebih
baik lagi.
Mengetahui,
1. Tujuan
a. Menyelesaikan masalah-masalah keperawatan klien yang belum teratasi
b. Tujuan Khusus
Menjustifikasikan masalah yang belum teratasi
Mendiskusikan penyelesaian masalah dengan perawat.
Menemukan alasan ilmiah terhadap masalah pasien
Merumuskan intervensi keperawatan yang tepat sesuai masalah pasien
2. Sasaran
Klien Ny “P“ umur 52 tahun, dirawat di Ruang Kelingi 2 Di RSUP Dr. Moh Hoesin Palembang.
3. Materi
a. Teori keperawatan pada klien SOL (Space Occupying Lession)
b. Masalah – masalah yang muncul pada klien SOL
4. Metode
Ronde keperawatan
Diskusi
5. Media
Dokumen/ status pasien
Sarana diskusi: kertas dan bulpen
Materi yang disampaikan secara lisan
1. Proses Ronde
Kegiatan ronde keperawatan
7. Kriteria Evaluasi:
a. Struktur:
1) Ronde keperawatan dilaksanakan di Ruang Kelingi 2 RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang
2) Peserta ronde keperawatan hadir di tempat pelaksanaan ronde keperawatan
3) Persiapan dilakukan sebelumnya
b. Proses
1) Peserta mengikuti kegiatan dari awal hingga akhir
2) Seluruh peserta berperan aktif dalam kegiatan ronde sesuai peran yang telah
ditentukan
c. Hasil
1) Pasien puas dengan hasil kegiatan
2) Masalah pasien dapat teratasi
3) Perawat dapat :
- Menumbuhkan cara berpikir yang kritis dan sistematis
- Meningkatkan kemampuan validitas data pasien
- Meningkatkan kemampuan menentukan diagnosis keperawatan.
Menumbuhkan pemikiran tentang tindakan keperawatan yang berorientasi
pada masalah pasien
- Meningkatkan kemampuan memodifikasi rencana asuhan keperawatan
- Meningkatkan kemampuan justifikasi
- Meningkatkan kemampuan menilai hasil kerja
8. Pengorganisasian
a. Kepala Instalasi : Dian Pramona Sari, S.Kep
b. Kepala ruangan : Hanna G. Tambunan, S.Kep
c. Ketua tim : Ovi Aprisa Nini, S.Kep
d. Perawat associate : Adrian Javas Setiadi, S.Kep
: Ami Kadewi, S.Kep
: Diah Mulyati Suga, S.Kep
: Fitriani, S.Kep
: Siti Army Lestari, S.Kep
: Selvia Fourwanty, S.Kep
: Vrisca Ayu Febrina, S.Kep
e. Konselor : Prayogi Wahyu Jatmiko, S.Kep
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Tujuan
1.1.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami tentang konsep dasar penyakit SOL, serta
mampu mengaplikasikan asuhan keperawatan dengan tepat pada pasien penderita
pemfigus vulgaris.
1.1.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengertian SOL Intracranial
b. Untuk mengetahui manifestasi klinis SOL Intracranial
c. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang SOL Intracranial
d. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis dengan tepat pada SOL Intracranial
e. Mampu melakukan pengkajian secara langsung pada pasien dengan SOL
Intracranial
f. Mampu merumuskan masalah dan membuat diagnosa keperawatan pada pasien
dengan SOL Intracranial
g. Mampu membuat perencanaan keperawatan pada pasien dengan SOL
Intracranial
h. Mampu melaksanakan tindakan keperawatan dan mampu mengevalusi tindakan
yang telah dilakukan pada pasien dengan SOL Intracranial
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tekanan Intra Kranial (TIK) dipertahankan 10 mmHg. Jika TIK lebih dari 20 mmHg
dianggap tidak normal, jika TIK lebih dari 40 mmHg termasuk kenaikan TIK berat
(Sumardjono,2004).
Otak yang mengalami kontusio akan cenderung menjadi lebih besar, hal tersebut
dikarenakan pembengkakan sel-sel otak dan edema sekitar kontusio. Sehingga akan
menyebabkan space occypying lesion (lesi desak ruang) intra kranial yang cukup berarti.
Karena wadah yang tetap tetapi terdapat adanya tambahan massa, maka secara kompensasi
akan menyebabkan tekanan intra kranial yang meningkat. Hal ini akan menyebabkan
kompresi pada otak dan penurunan kesadaran. Waktu terjadinya hal tersebut bervariasi
antara 24-48 jam dan berlangsung sampai hari ke 7-10 (Sumardjono,2004).
Kenaikan TIK ini secara langsung akan menurunkan TPO (Tekanan Perfusi Otak),
sehingga akan berakibat terjadinya iskemia dan kematian. TIK harus diturunkan tidak
melebihi 20-25 mmHg. Bila TIK 40 mmHg maka dapat terjadi kematian
(Sumardjono,2004).
Gambar 2.2 Hubungan Tekanan Intrakranial, Ruang Intrakranial dan isinya
(Sumardjono,2004)
Cushing Kernohan
Ependioma Ependioma
Meduloblastoma Meduloblastoma
Tumor “unclassified”
Astrositoma adalah kelompok tumor sistem saraf pusat primer yang tersering.
Astrositoma adalah sekelompok neoplasma heterogen yang berkisar dari lesi
berbatas tegas tumbuh lambat seperti astrositoma pilositik hingga neoplasma
infiltratif yang sangat ganas seperti glioblastoma multiforme. Astrositoma
berdiferensiasi baik biasanya adalah lesi infiltratif berbatas samar yang
menyebabkan parenkim membesar dan batas substansia grisea/substansia alba
kabur (Vinay Kumar dkk, 2007).
Oligodendroglioma
Ependioma dapat terjadi pada semua usia. Sebagian besar muncul di dalam
salah stu rongga ventrikel atau di daerah sentralis di korda spinalis. Ependimoma
intrakranial paling sering terjadi pada dua dekade pertama kehidupan sedangkan
lesi intraspinal terutama pada orang dewasa. Ependioma intrakranial paling sering
timbul di ventrikel keempat, tempat tumor ini mungkin menyumbat CSS dan
menyebabkan hidrosefalus dan peningkatan tekanan intrakranial (Vinay Kumar
dkk, 2007).
Ependimoma memiliki lesi yang berbatas tegas yang timbul dari dinding
ventrikel. Lesi intrakranial biasanya menonjol ke dalam rongga ventrikuler
sebagai massa padat, kadang-kadang dengan papilar yang jelas (Vinay Kumar
dkk, 2007).
Glioblastoma dapat timbul dengan masa yang berbatas tegas atau neoplasma
yang infiltratif secara difuse. Potongan tumor dapat berupa masa yang lunak
berwarna keabuan atau kemerahan, daerah nekrosis dengan konsistensi seperti
krim kekuningan, ditandai dengan suatu daerah bekas perdarahan berwarna
cokelat kemerahan (Vinay Kumar dkk, 2007).
Meduloblastoma
Hematom Subdural
Hematom subdural disebabkan oleh trauma otak yang menyebabkan
robeknya vena di dalam ruang araknoid. Pembesaran hematom karena robeknya
vena memerlukan waktu yang lama. Oleh karena hematom subdural sering
disertai cedera otak berat lain, jika dibandingkan dengan hematom epidural
prognosisnya lebih jelek (R. Sjamsuhidajat, 2004).
Hematom subdural dibagi menjadi subdural akut bila gejala timbul pada hari
pertama sampai hari ketiga, subakut bila timbul antara hari ketiga hingga minggu
ketiga, dan kronik bila timbul sesudah minggu ketiga (R. Sjamsuhidajat, 2004).
Hematom subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang penting dan
serius dalam 24 sampai 48 jam setelah cidera. Hematoma sering berkaitan dengan
trauma otak berat dan memiliki mortalitas yang tinggi. Hematoma subdural akut
terjadi pada pasien yang meminum obat antikoagulan terus menerus yang
tampaknya mengalami trauma kepala minor. Cidera ini seringkali berkaitan
dengan cidera deselarasi akibat kecelakaan kendaraan bermotor. Defisit
neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi
batang otak ke dalam foramen magnum yang selanjutnya menimbulkan
henti nafas dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah (Price,
2005).
Hematom subdural subakut menyebabkan defisit neurologik bermakna
dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari dua minggu setelah cidera.
Riwayat klinis yang khas pada penderita hematom subdurak subakut adalah
adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti
perbaikan status neurologik yang bertahap. Namun, setelah jangka waktu tertentu
penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologis yang memburuk.
Tingkat kesadaran menurun secara bertahap dalam beberapa jam. Meningkatnya
tekanan intrakranial akibat timbunan hematom yang menyebabkan menjadi sulit
dibangunkan dan tidak merespon terhadap rangsangan vebral maupun nyeri.
Peningkatan tekanan intrakranial dan pergeseran isi kranial akibat timbunan darah
akan menyebabkan terjadinya herniasi unkus atau sentral dan timbulnya tanda
neurologik akibat kompresi batang otak (Price, 2005).
Awitan gejala hematoma subdural kronik pada umumnya tertunda beberapa
minggu, bulan bahkan beberapa tahun setelah cidera awal. Pada orang dewasa,
gejala ini dapat dikelirukan dengan gejala awal demensia. Trauma pertama
merobek salah satu vena yang melewati ruang subdural sehingga terjadi
perdarahan lambat ke dalam ruang subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah
perdarahan, darah dikelilingi oleh membran fibrosa. Terjadi kerusakan sel-sel
darah dalam hematoma sehingga terbentuk peredaan tekanan osmotik yang
menyebabkan tertariknya cairan ke dalam hematoma. Bertambahnya ukuran
hematoma ini dapat menyebabkan perdarahan lebih lanjut akibat robekan
membran atau pembuluh darah di sekelilinhnya sehingga meningkatkan ukuran
dan tekanan hematoma. Jika dibiarkan mengikuti perjalanan alamiahnya, unsur-
unsur kandungan hematom subdural akan mengalami perubahan-perubahan yang
khas. Hematoma subdural kronik memiliki gejala dan tanda yang tidak spesifik,
tidak terlokalisasi, dan dapat disebabkan oleh banyak proses penyakit lain. Gejala
dan tanda perubahan yang paling khas adalah perubahan progresif dalam tingkat
kesadaran termasuk apati, latergi, berkurangnya perhatian dan menurunnya
kemampuan untuk mempergunakan kecakapan kognitif yang lebih tinggi (Price,
2005).
Gambar 2.12 Stadium Perjalanan Klinis Alami Hematom Subdural
Dikutip dari: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, 2005
Higroma Subdural
Higroma subdural adalah hematom subdural lama yang mungkin disertai
pengumpulan cairan serebrospinal di dalam ruang subdural. Kelainan ini jarang
ditemukan dan dapat terjadi karena robekan selaput arakhnoid yang menyebabkan
cairan serebrospinal keluar ke ruang subdural. Gambaran klinis menunjukkan
tanda kenaikan tekanan intrakranial, sering tanpa tanda fokal (R. Sjamsuhidajat,
2004).
II.3 Macam-Macam Keluhan dan Gejala yang Disebabkan oleh Space Occupying
Intracranial
II.3.1 Gejala Peningkatan Tekanan Intrakranial
Triad nyeri kepala, edema papil dan muntah secara umum dianggap sebagai
karakteristik peninggian tekanan intrakranial. Namun demikian, dua pertiga
pasien dengan lesi desak ruang memiliki semua gambaran tersebut, sedang
kebanyakan sisanya umumnya dua. Simtomatologi peninggian tekanan
intrakranial tergantung pada penyebab daripada tingkat tekanan yang terjadi. Tak
ada korelasi yang konsisten antara tinggi tekanan dengan beratnya gejala (Syaiful
Saanin, 2012).
1. Nyeri Kepala
Kebanyakan struktur di kepala tidak sensitif nyeri, ahli bedah saraf dapat
melakukan kraniotomi major dalam anestesia lokal karena tulang tengkorak
dan otak sendiri dapat ditindak tanpa nyeri. Struktur sensitif nyeri didalam
kranium adalah arteria meningeal media beserta cabangnya, arteri besar
didasar otak, sinus venosus dan bridging veins, serta dura didasar fossa
kranial. Peninggian tekanan intrakranial dan pergeseran otak yang terjadi
membendung dan menggeser pembuluh darah serebral atau sinus venosus
serta cabang utamanya dan memperberat nyeri lokal. Nyeri yang lebih
terlokalisir diakibatkan oleh peregangan atau penggeseran duramater
didaerah basal dan batang saraf sensori kranial kelima, kesembilan dan
kesepuluh. Nyeri kepala juga disebabkan oleh spasme otot-otot besar didasar
tengkorak. Ini mungkin berdiri sendiri
atau ditambah dengan reaksi refleks bila mekanisme nyeri bekerja (Syaiful
Saanin, 2012).
Pasien dengan peninggian tekanan intrakranial secara klasik bangun
pagi dengan nyeri kepala yang berkurang dalam satu-dua jam. Nyeri kepala
pagi ini pertanda terjadinya peningkatan tekanan intrakrania; selama malam
akibat posisi berbaring, peninggian PCO2 selama tidur karena depresi
pernafasan dan mungkin karena penurunan reabsorpsi cairan serebrospinal
(Syaiful Saanin, 2012).
2. Muntah
Ditemukan pada peninggian tekanan intrakranial oleh semua sebab dan
merupakan tampilan yang terlambat dan diagnosis biasanya dibuat sebelum
gejala ini timbul. Gejala ini mungkin jelas merupakan gambaran dini dari
tumor ventrikel keempat yang langsung mengenai nukleus vagal. Setiap
lesi hampir selalu meninggikan tekanan intrakranial akibat obstruksi aliran
cairan serebrospinal dan mungkin tidak mudah menentukan mekanisme
mana yang dominan. Muntah akibat peninggian tekanan intrakranial
biasanya timbul setelah bangun, sering bersama dengan nyeri kepala pagi.
Walau sering dijelaskan sebagai projektil, maksudnya terjadi dengan kuat
dan tanpa peringatan, hal ini jarang merupakan gambaran yang menarik
perhatian (Syaiful Saanin, 2012).
3. Papila Oedema
Papila oedema menunjukkan adanya oedema atau pembengkakan diskus
optikus yang disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial yang
menetap selama lebih dari beberapa hari atau minggu. Oedema ini
berhubungan dengan obstruksi cairan serebrospinal, dimana peningkatan
tekanan intrakranial pada selubung nervus optikus menghalangi drainase
vena dan aliran aksoplasmik pada neuron optikus dan menyebabkan
pembengkakan pada diskus optikus dan retina serta pendarahan diskus.
Papila oedema tahap lanjut dapat menyebabkan terjadinya atrofi sekunder
papil nervus optikus (Syaiful Saanin, 2012).
II.3.2 Gejala Umum Space Occupying Lesion
Gejala umum timbul karena peningkatan tekanan intrakranial atau akibat
infiltrasi difus dari tumor. Gejala yang paling sering adalah sakit kepala, perubahan
status mental, kejang, nyeri kepala hebat, papil edema, mual dan muntah. Tumor
maligna (ganas) menyebabkan gejala yang lebih progresif daripada tumor benigna
(jinak). Tumor pada lobus temporal depan dan frontal dapat berkembang menjadi
tumor dengan ukuran yang sangat besar tanpa menyebabkan defisit neurologis, dan
pada mulanya hanya memberikan gejalagejala yang umum. Tumor pada fossa
posterior atau pada lobus parietal dan oksipital lebih sering memberikan gejala
fokal dulu baru kemudian memberikan gejala umum (Saanin, 2004, Bradley,
2000).
Tumor intrakranium pada umumnya dapat menyebabkan (Saanin, 2004,
Bradley, 2000):
1. Gangguan kesadaran akibat tekanan intrakranium yang meninggi.
Gangguan kesadaran akibat peningkatan tekana intrakranium dapat berakhir
hingga koma. Tekanan intrakranium yang meninggi dapat menyebabkan ruang
tengkorak yang tertutup terdesak dan dapat pula menyebabkan perdarahan
setempat. Selain itu, jaringan otak sendiri akan bereaksi dengan menimbulkan
edema, yang berkembang karena penimbunan katabolit di sekitar jaringan
neoplasmatik. Stasis dapat pula terjadi karena penekanan pada vena dan disusuk
dengan terjadi edema. Pada umumnya tumor di fosa kranium posterior lebih
cepat menimbulkan gejala-gejala yang mencerminkan tekanan intrakranium
yang meninggi. Hal ini mungkin disebabkan karena aliran CSF pada aquaductus
yang berpusat di fosa kranium posterior dapat tersebumbat sehingga tekanan
dapat meninggi dengan cepat.
Fenomena peningkatan tekanan intrakranium dapat diklasifikasikan
menjadi tiga, yaitu :
a. Sindroma unkus atau sindroma kompresi diansefalon ke lateral
Proses desak pertama kali terjadi pada bagian lateral dari fosa kranium
medial dan biasanya mendesak tepi medial unkus dan girus hipokampus ke
arah garis tengah dan ke kolong tepi bebas daun tentorium. Karena desakan
itu, bukan diansefalon yang pertama kali mengalami gangguan, melainkan
bagian ventral nervus okulomotoris. Akibatnya, pada awalnya akan kan
terjadi dilatasi pupil kontralateral barulah disusul dengan
gangguan kesadaran. Biasanya, setelah ini akan terjadi herniasi tentorial,
yaitu keadaan terjepitnya diansefalon oleh tentorium. Pupil yang melebar
merupakan cerminan dari terjepitnya nervus okulomotoris oleh arteri
serebeli superior. Pada tahap berkembangnya paralisis okulomotoris,
kesadaran akan menurun secara progresif.
b. Sindroma kompresi sentral rostro-kaudal terhadap batang otak
Suatu tumor supratentorial akan mendesak ruang supratentorial dan
secara berangsur-angsur akan menimbulkan kompresi ke bagian rostral
batang otak. Tanda bahwa suatu tumor supratentorial mulai menggangu
diansefalon biasanya berupa gangguan perangai. Yang pertama-tama terjadi
adalah keluhan cepat lupa, tidak bisa berkonsentrasi dan tidak bisa
mengingat.
Pada tahap dini, kompresi rostro-kaudal terhadap batang otak akan
menyebabkan :
Respirasi yang kurang teratur
Pupil kedua sisi sempit sekali
Kedua bola mata bergerak perlahan-lahan ke samping kiri dan kanan
Gejala-gejala UMN pada kedua sisi
Pada tahap kompresi rostro-kaudal yang lebih berat, akan terjadi :
Kesadaran menurun sampai derajat paling rendah
Suhu badan mulai meningkat dan cenderung untuk melonjak terus
Respirasi cepat dan bersuara mendengkur
Pupil yang tadinya sempit berangsur-angsur melebar dan tidak lagi
bereaksi terhadap sinar cahaya
c. Herniasi serebelum di foramen magnum
Herniasi ini akan menyebabkan jiratan pada medula oblongata. Gejala-
gejala gangguan pupil, pernafasan, okuler dan tekanan darah berikut nadi
yang menandakan gangguan pada medula oblongata, pons, ataupun
mesensefalon akan terjadi.
9. Tumor Serebellar
Muntah berulang dan sakit kepala di bagian oksiput merupakan gejala
yang sering ditemukan pada tumor serebellar. Pusing, vertigo dan
nistagmus mungkin menonjol.
4. Irama dan frekuensi pernapasan berubah. Kompresi pada batang otak dari luar
akan mempercepat pernafasan, sedangkan kompresi sentral rostro-kaudal
terhadap batang otak menyebabkan pernafasan yang lambat namun dalam.
Trauma
1. Penanganan Primer
Tindakan utama untuk peningkatan ICP adalah untuk mengamankan ABCDE
(primary survey) pada pasien. Banyak pasien dengan peningkatan ICP memerlukan
intubasi. Pasien dengan skor GCS kurang dari 8 harus diintubasi untuk melindungi
airway. Yang menjadi perhatian utama pada pemasangan intubasi ini adalah
intubasi ini mampu memberikan ventilasi tekanan positif yang kemudian dapat
meningkatkan tekanan vena sentral yang kemudian akan menghasilkan inhibisi
aliran balik vena sehingga akan meningkatkan ICP (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
Hati-hati dalam memperhatikan gizi, elektrolit, fungsi kandung kemih dan usus.
Pengobatan yang tepat untuk infeksi berupa pemberian antibiotik harus
dilaksanakan dengan segera. Pemberian analgesia yang memadai harus diberikan
walaupun pasien dalam kondisi di bawah sadar (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
Posisi kepala pasien juga harus diperhatikan. Elevasi pada kepala dapat
menurunkan ICP pada komdisi normal dan pada pasien dengan cedera kepala
melalui mekanisme penurunan tekanan hidrostatis CSF yang akan menghasilkan
aliran balik vena. Sudut yang dianjurkan dan umumnya digunakan untuk elevasi
pada kepala adalah 30o. Pasien harus diposisikan dengan kepala menghadap lurus
ke depan karena apabila kepala pasien menghadap ke salah satu sisinya dan disertai
dengan fleksi pada leher akan meynebabkan penekanan pada vena jugularis interna
dan memperlambat aliran balik vena (Kaye, 2005, Eccher,2004 ). Hipoksia
sistemik, gangguan hemodinamik dan gangguan pada autoregulasi yang kemudian
disertai dengan kejang dapat membahayakan kondisi pasien dengan peningkatan
ICP. Sehingga banyak praktisi kesehatan yang kemudian menggunakan terapi
profilaksis fenitoin, terutama pada pasien dengan cedera kepala, perdarahan
subaraknoid, perdarahan intrakranial, dan kondisi yang lainnya. Penggunaan
fenitoin sebagai profilaksis pada pasein dengan tumor otak dapat menghasilkan
penurunan resiko untuk terjadinya kejang, tapi dengan efek
samping yang juga cukup besar (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
2. Penanganan Sekunder
Hiperventilasi digunakan pada pasien dengan skor GCS yang lebih dari 5.
Pembuluh darah otak merespon dengan cepat pada perubahan PaCO2.
PaCO2 yang rendah dapat menyebabkan vasokonstriksi, yang kemudian
akan mengurangi komponen darah dalam volume intrakranial, dimana
peningkatan PaCO2 menyebabkan vasodilatasi. Hiperventilasi bertujuan
menjaga agar PaCO2 berada pada level 25 – 30 mm Hg sehingga CBF akan
turun dan volume darah otak berkurang dan dengan demikian mengurangi
ICP. Hiperventilasi yang berkepanjangan harus dihindari dan menjadi tidak
efektif setelah sekitar 24 jam. Kecenderungannya adalah untuk menjaga
ventilasi normal dengan PaCO2 di kisaran 30 – 35 mmHg dan PaO2 dari
120-140 mmHg. Ketikaa ada pemburukan klinis seperti dilatasi pupil atau
tekanan nadi melebar, hiperventilasi dapat dilakukan (sebaiknya dengan
Ambu bag) sampai ICP turun. Hyper barik O2, hipotermia masih dalam
tahap percobaan, terutama di Jepang. Mereka pada dasarnya menyebabkan
vasokonstriksi serebral dan mengurangi volume darah otak dan ICP (Kaye,
2005, Eccher,2004 ).
Osmotherapi berguna dalam tahap edema sitotoksik, ketika permeabilitas
kapiler yang masih baik, dengan meningkatkan osmolalitas serum. Manitol
masih merupakan obat yang baik untuk mengurangi ICP, tetapi hanya jika
digunakan dengan benar: itu adalah diuretik osmotik yang paling umum
digunakan. Hal ini juga dapat bertindak sebagai scavenger radikal bebas.
Manitol tidak inert dan tidak berbahaya. Gliserol dan urea merupak
golongan yang jarang digunakan hari ini. Beberapa teori telah dikemukakan
mengenai mekanisme yang mengurangi ICP (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
a. Dengan meningkatkan fleksibilitas eritrosit, yang menurunkan
viskositas darah dan menyebabkan vasokonstriksi yang mengurangi
volume darah otak dan menurunkan ICP dan dapat mengurangi produksi
CSF oleh pleksus choroideus. Dalam dosis kecil dapat melindungi otak
dari iskemik karena fleksibilitas eritrosit meningkat (Kaye, 2005,
Eccher,2004 ).
b. Efek diuretik terutama di sekitar lesi, di mana integritas sawar darah otak
terganggu dan tidak ada pengaruh yang signifikan pada otak normal.
Lesi intraaxial merespon lebih baik dari lesi ekstra aksial (Kaye, 2005,
Eccher,2004 ).
c. Teori lain adalah, manitol dengan menarik air di ependyma dari ventrikel
dengan cara analog dengan yang dihasilkan oleh drainase ventrikel.
Dosis tradisional adalah 1 gm/kg/24 jam 20% sampai 25% iv baik
sebagai bolus atau lebih umum secara bertahap. Tidak ada peran untuk
dehidrasi. Efek Manitol pada ICP maksimal adalah 1 / 2 jam setelah
infus dan berlangsung selama 3 atau 4 jam sebagai sebuah aturan. Dosis
yang benar adalah dosis terkecil yang akan berpengaruh cukup terhadap
ICP. Ketika dosis berulang diperlukan, penggunaan garis dasar
osmolalitas serum meningkat secara bertahap dan saat ini melebihi 330
mosm / 1 terapi manitol harus dihentikan. Penggunaan lebih lanjut tidak
efektif dan cenderung menimbulkan gagal ginjal. Diuretik seperti
furosemid, baik sendiri atau bersama dengan bantuan manitol untuk
mempercepat ekskresi dan mengurangi osmolalitas serum awal sebelum
dosis berikutnya. Beberapa mengklaim, bahwa furosemid manitol dapat
meningkatkan output. Beberapa memberikan
furosemid sebelum manitol, sehingga mengurangi overload sirkulasi.
Fenomena rebound adalah karena pembalikan gradien osmoICP sebagai
akibat kebocoran progresif dari agen osmotik melintasi penghalang
darah otak rusak, atau karena ICP yang meningkat kembali (Kaye, 2005,
Eccher,2004).
3. Barbiturat dapat menurunkan ICP ketika tindakan-tindakan lain gagal, tetapi tidak
memiliki nilai profilaksis. Mereka menghambat peroksidasi lipid dimediasi radikal
bebas dan menekan metabolisme serebral; persyaratan metabolisme otak dan
dengan demikian volume darah otak yang berkurang mengakibatkan penurunan
ICP. Fenobarbital yang paling banyak digunakan. Dosis 10 mg / kg pemuatan lebih
dari 30 menit dan 1-3mg/kg setiap jam secara luas digunakan. Fasilitas untuk
memantau dekat ICP dan ketidakstabilan hemodinamik harus menemani setiap
terapi obat tidur (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
4. Dosis tinggi terapi steroid sangat populer beberapa tahun yang lalu dan masih
digunakan oleh beberapa ahli. Ini mengembalikan integritas dinding sel dan
membantu dalam pemulihan dan mengurangi edema. Barbiturat dan agen anestesi
lain mengurangi tekanan CBF dan arteri sehingga mengurangi ICP. Selain itu
mengurangi metabolisme otak dan permintaan energi yang memfasilitasi
penyembuhan lebih baik (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
5. Hipotermi dapat digunakan sebagai terapi adjuvant terhadap terapi yang lain.
Temperatur tubuh dibuat menjadi lebih rendah dari temperature tubuh yang normal
yaitu sekitar 32°C – 34 °C. Metode ini dapat mungkin menurunkan ICP dengan
menurunkan metabolisme dari otak. Metode terapi hipotermia selama 48 jam atau
kurang dapat dipertimbangkan pada pasien dengan TCB. Metode terapi ini selama
8 jam atau lebih dapat dipertimbangkan untuk terapi pada peningkatan ICP..
Penggunaan metode ini hanya direkomendasikan pada ahli yang berpengalaman
yang benar-benar mengerti perubahan fisiologi yang berhubungan dengan
hipotermia dan mampu merespon dengan cepat perubahan tersebut. Komplikasi dari
metode hipotermia ini meliputi depresi jantung pada suhu di
bawah 32°C. dan peningkatan insiden komplikasi berupa infeksi seperti pneumonia
telah dilaporkan pada metode terapi ini (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
Penggunaan Koagulopati. Kerusakan parenkim otak yang berat dapat terjadi
karena adanya pelepasan thromboplastin pada jaringan diamana hal ini akan
mengaktivasi faktor instrinsik. Sindroma klinis didiagnosa dengan adanya
pemanjangan PT dan aktivasi sebagian dari nilai APTT, penurunan level fibrinogen,
peningkatan level fibrin, dan penurunan jumlah platelet. APTT yang memanjang
ditangani dengan memberikan fresh frozen plasma. Kadar Fibrinogen di bawah 150
mg/dL memerlukan penanganan berupa pemberian krioprecipitate. Pemberian
platelet harus dilakukan untuk mengobati nyeri kepala pada pasien dengan jumlah
platelet yang kurang dari 100.000/ml bila waktu perdarahan memanjang (Kaye,
2005, Eccher,2004 ).
6. Intervensi bedah
Tekanan intrakranial (intracranial pressure, ICP) dapat diukur secara
kontinu dengan menggunakan transduser intrakranial. Kateter dapat dimasukkan ke
dlam entrikel lateral dan dapat digunakan untuk mengeluarkan CSF dengan tujuan
untuk mengurangi ICP. Drain tipe ini dikenal dengan EVD (ekstraventicular drain).
Pada situasi yang jarang terjadi dimana CSf dalam jumlah sedikit dapat dikeluarkan
untuk mengurangi ICP, Drainase ICP melalui punksi lumbal dapat digunakan
sebagai suatu tindakan pengobatan (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).
Kraniotomi adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk mengeluarkan
hematom di di dalam ruangan intrakranial dan untuk mengurangi tekanan
intrakranial dari bagian otak dengan cara membuat suatu lubang pada tulang
tengkorak kepala. Kranioektomi adalah suatu tindakan radikal yang dilakukan
sebagai penanganan untuk peningkatan tekanan intrakranial, dimana dilakukan
pengangkatan bagian tertentu dari tulang tengkorak kepala dan duramater
dibebaskan agar otak dapat membesar tanpa adanya herniasi. Bagian dari tulang
tengkorak kepala yang diangkat ini desebut dengan bone flap. Bone flap ini dapat
disimpan pada perut pasien dan dapat dipasang kembali ketika penyebab dari
peningkatan ICP tersebut telah disingkirkan. Material sintetik digunakan sebagai
pengganti dari bagian tulang tengkorak yang diangkat. Tindakan pemasangan
material sintetik ini dkenal dengan cranioplasty (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).
Kraniotomi adalah salah satu bentuk dari operasi pada otak. Operasi ini
paling banyak digunakan dalam operasi untuk mengangkat tumor pada otak.
Operasi ini juga sering digunakan untuk mengangkat bekuan darah (hematom),
untuk mengontrol perdarahan, aneurisma otak, abses otak, memperbaiki malformasi
arteri vena, mengurangi tekanan intrakranial, atau biopsi (Gulli. Dkk, 2010).
Sebelum melakukan tindakan kraniotomi, terlebih dahulu harus dilakukan
pemeriksaan penunjang untuk memastikan penyebab dan lokasi dari lesi di otak.
Oleh karena itu dilakuakn neuroimaging. Neuroimaging yang dapat dilakukan
adalah (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010):
CT scan
MRI
Arteriogram
Pasien yang akan dilakuakn tindakan kraniotomi dpat diberikan pengobatan
terlebih dahulu untuk mengurangi rasa cemas dan mengurangi resiko terjadinya
kejang, edema, dan infeksi setelah operasi. Obata-obatan seperti heparin, aspirin
dan golongan NSAID memiliki hubungan dengan meningkatnya bekuan darah yang
terjadi pasca operasi. Obat-obatan ini harus disuntikkan 7 hari sebelum operasi agar
efeknya hilang sebelum operasi dilakukan.Sebagai tambahan, dibutuhkan
pemeriksaan laboratorium yang rutin atau yang khusus sesuai dengan kebutuhan.
Pasien tidak boleh makan dan minum 6-8 jam sebelum operasi dan kepala pasien
harus dicukur sesaat sebelum operasi dimulai (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).
Ada dua metode yang umumnya digunakan untuk membuka tengkorak.
Insisi dibuat pada daerah leher di sekitar os. Occipital atau insisi melengkung yang
dibuat di bagian depan telinga yang melengkung ke atas mata. Insisi dilakukan
hingga sejauh membran tipis yang membungkus tulang tengkorak kepala. Selama
insisi dilakukan, ahli bedah harus menutup pembuluh darah kecil sebanyak
mungkin. Hal ini dikarenakan scalp merupakan daerah yang kaya akan suplai darah
(Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).
Scalp ditarik ke belakang agar tulang dapat terlihat. Dengan menggunakan
bor kecepatan tinggi, dilakukan pengeboran mengikuti pola lubang dan lakukan
pemotongan mengikuti pola lubang yang telah ada hingga bone flap dapat
diangkat. Hal ini akan memberikan akses ke dalam kraium dan memudahkan untuk
melakukan operasi di dalam otak. Setelah mengangkat lesi di dalam otak atau
setelah prosedur yang lainnya selesai, tulang dikembalikan ke posisi semula dengan
menggunakan kawat halus. Membran, otot, dan kulit dijahit dalam posisinya.
Apabila lesinya adalah suatu aneurisma, maka arteri yang terlibat diklem. Apabila
lesinya adalah tumor, sebanyak mungkin bagian dari tumor ini diangkat. Untuk
kelainan malformasi arteri vena, kelainannya dipotong kemudian disambung
kembali dengan pembuluh darah yang normal (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).
Hidrosepalus
Tindakan bedah pada hidrosefalus sesungguhnya telah dirintis sejak beberapa abad
yang silam oleh Ferguson pada tahun 1898 berupa membuat shunt atau pintasan untuk
mengalirkan cairan otak di ruang tengkorak yang tersumbat ke tempat lain dengan
menggunakan alat sejenis kateter berdiameter kecil. Cara mekanik ini terus
berkembang, seperti Matson (1951) menciptakan pintasan dari rongga ventrikel ke
saluran kencing (ventrikulo ureter), Ransohoff (1954) mengembangkan pintasan dari
rongga ventrikel ke rongga dada (ventrikulo-pleural). Selanjutnya, Holter (1952), Scott
(1955), dan Anthony J Raimondi (1972) memperkenalkan pintasan ke arah ruang
jantung atria (ventrikulo-atrial) dan ke rongga perut (ventrikulo-peritoneal) yang
alirannya searah dengan menggunakan katup pengaman.Teknologi pintasan terus
berkembang dengan ditemukan bahan-bahan yang inert seperti silikon yang
sebelumnya menggunakan bahan polietilen. Hal itu penting karena selang pintasan itu
ditanam di jaringan otak, kulit, dan rongga perut dalam waktu yang lama bahkan seumur
hidup penderita sehingga perlu dihindarkan efek reaksi penolakan oleh tubuh. Tindakan
dilakukan terhadap penderita yang telah dibius total, ada sayatan kecil di daerah kepala
dan dilakukan pembukaan tulang tengkorak dan selaput otak yang selanjutnya selang
pintasan ventrikel di pasang, disusul kemudian dibuat sayatan kecil di daerah perut,
dibuka rongga perut lalu ditanam selang pintasan rongga perut antara kedua ujung
selang tersebut dihubungkan dengan sebuah selang pintasan yang ditanam di bawah
kulit sehingga tidak terlihat dari luar (Rosmini, 2008).
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN KELOLAAN
PENGKAJIAN KEPERAWATAN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. P
Umur : 52 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Tirta Mulya Rt 10 Rw 05 Kec. Air Sugihan Kab. OKI
Status marital : Menikah
Agama : Islam
Suku : Sumatera
Tanggal MRS : 20 Februari 2020
Tanggal pengkajian : 02 Maret 2020
Sumber informasi : Keluarga pasien
B. RIWAYAT BIOLOGIS
1. Pola Nutrisi
Keluarga mengatakan sebelum sakit pasien makan dengan pola makan teratur sehari
3x, saat ini pasien terpasang NGT hanya menghabiskan 1/2 porsi makanan dan tidak
menambah porsi.
2. Pola Eliminasi
Keluarga mengatakan sebelum sakit pasien BAB dan BAK secara mandiri.
Setelah dirawat di rumah sakit aktifitas eliminasi di tempat tidur, pasien
memakai pampers, sehari ganti 2x pampers
3. Pola Istirahat dan Tidur
Keluarga pasien mengatakan sebelum masuk rumah sakit pasien tidur dan
istirahat teratur. Selama di rumah sakit, pasien hanya terbaring di tempat tidur
dan gelisah, sehingga keluarga selalu mendampingi pasien
4. Pola Aktivitas dan Bekerja
Sebelum sakit, pasien mampu melakukan aktivitas secara mandiri. Pasien
merupakan kepala rumah tangga, bekerja sebagai petani dan aktif dalam
kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. Setelah masuk rumah
sakit, pasien hanya berbaring diatas kasur dan tidak dapat berjalan.
Keterangan:
0 = Mandiri
1 = Memerlukan alat
2 = Memerlukan bantuan
3 = Memerlukan alat dan
bantuan 4 = Tergantung
C. RIWAYAT KELUARGA
D. PENGKAJIAN FISIK
1. Kepala
Bentuk bulat, tidak ada perdarahan, rambut berwarna hitam, beruban, tidak
ada luka.
2. Sistem Neurologi:
a. Kesadaran: somnolen
b. GCS: E3M5V2
c. Nervus cranial:
NIII : Pupil bulat, isokor, reflek cahaya +/+, ukuran pupil 4 mm
NIV, NV, NVI : kedudukan mata di conjugate ke kiri
NVII : Plica nasolabialis kanan datar dengan
nyeri
NXII : belum dapat dinilai
d. Motorik : gerakan dan kekuatan lateralisasi menurun, tonus otot
menurun 1 5
1 5
Masalah Keperawatan :
1) Gangguan Mobilitas Fisik
2) Resiko Perfusi Cerebral Tidak Efektif
3) Defisit Perawatan Diri
3. Sistem Penglihatan:
a. Bentuk: Simetris
b. Tanda radang: Tidak ada
c. Sklera: Tidak ikterus
d. Akomodasi: Tidak dapat dikaji
e. Konjungtiva: Tidak anemis
f. Alat bantu: Tidak menggunakan alat bantu
g. Ukuran pupil: 2 mm
Masalah Keperawatan :
Tidak ada masalah keperawatan
4. Sistem Pernapasan
a. Pola napas: irreguler
b. Suara paru: Ronchi
c. Respiration rate: 28 kali/menit
d. Retraksi intercostal: Ada
e. Reflek batuk: Ada, namun lemah
f. Pasien tampak sesak napas
g. Terpasang NRM 12 Liter/menit
Masalah Keperawatan :
1) Bersihan jalan nafas tidak efektif
5. Sistem Kardiovaskuler
a. CRT: < 3 detik detik
b. Perubahan warna kulit: Ada, terdapat bintik merah di sekitar area leher
c. Clubbing finger: Tidak ada
d. Edema: Pada ekstremitas bawah
e. Akral: Hangat
f. Gallop: tidak ada
g. Mur-mur : tidak ada
h. Tekanan darah : 120/80 mmHg
i. Nadi : 80x /menit
Masalah Keperawatan :
Tidak ada masalah keperawatan
6. Sistem Pencernaan
a. Berat badan sebelum sakit : 60 Kg
b. Berat badan saat ini : 50 kg
c. Pasien terpasang NGT
d. Diet cair TKTP 2100 kkal hanya menghabiskan 10 sendok
e. Pasien tampak mual
f. Tinggi badan: 164 cm
g. Bising usus: 8 x/menit
Masalah Keperawatan :
1). Desfisit Nutrisi
7. Eliminasi
1) Frekuensi BAB: Pasien memakai pampers, sehari sekali BAB ± 200 cc.
2) Frekuensi BAK: Pasien memakai pampers sehari 2-3 x ganti pampers
3) Keluhan/gangguan: Tidak ada
4) Urine Output: ± 450 cc/ hari
Masalah Keperawatan :
Tidak ada masalah keperawatan
8. Sistem Reproduksi
a. Perdarahan: Tidak ada
b. Keluhan: Tidak ada
Masalah Keperawatan :
Tidak ada masalah keperawatan
9. Sistem Integumen
a. Warna kulit: Sawo matang
b. Tekstur: Halus
c. Nyeri tekan: Tidak Ada nyeri tekan
d. Turgor kulit: Elastis, kembali dalam < 3 detik
e. Tidak ada oedem
f. Skor Braden : 12
Masalah Keperawatan :
1. Resiko kerusakan integritas kulit
Data Penunjang/laboraturium
Pengobatan : Ranitidin 550 gram tiap 12 jam IV
Dexamethason 5 mg tiap 6 jam Iv
Paracetamol 1 gram tiap 8 jam peroal
Omeperazole 40 mg tiap 12 jam IV
N Asetilsisten 200 gram tiap 8 jam per NGT
Azitromicin 500 mg tiap 24 jam per NGT
Hasil pemeriksaan diagnostik lainnya : pemeriksaaan RO. Thorax PA/AP tanggal 19-02-
2020. Kesan : gambaran pleuropneumonia kiri dengan efusi pleura kiri.
Penekanan
saluranpernafasan
(depresi pernapasan)
Peningkatan asam
laktat
Oedema otak
Resiko Perfusi Serebral
tidak efektif
6 Ds : Resiko gangguan
Do : integritas
Bagian belakang tubuh kulit/jaringan
pasien tampak merah
Pasien menggunakan bad
dekubitus
Skor breden 12. Resiko
tinggi kerusakan integritas
kulit
DIAGNOSIS KEPERAWATAN
NO TANGGAL DIAGNOSIS
1. 02 Maret Bersihan jalan tidak efetif berhubungan dengan hipersekresi sputum
2020
Senin, Resiko gangguan integritas Setelah dilakukan asuhan Perawatan integritas kulit :
02 kulit/jaringan keperawatan selama....integritas Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit
Maret kulit dan jaringan meningkat. Ubah posisi tiap 2 jam tirah baring
2020 Dengan kriteria hasil : Anjurkan menggunakan pelembab
Elastisitas meningkat Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
Perfusi jaringan meningkat
Kerusakan jaringan
meningkat
Suhu kulit membaik
4.3 Hambatan
Dalam pelaksanaan ronde keperawatan pada pasien kelolaan mahasiswa praktik profesi
manajemen di Kelingi 2, mahasiswa tidak menemukan hambatan yang berarti dalam
pelaksanaannya.
BAB 5
EVALUASI
5.1 Evaluasi Struktur
Pada pelaksaan MAKP Primer pasien kelolaan mahasiswa praktik profesi manajemen
di Ruang Kelingi 2 RSUP Dr. Moh. Hoesin 24 Februari 2020-07 Maret 2020. Mahasiswa
melakukan satu kali ronde keperawatan yang dilaksanakan pada Rabu, 03 Maret 2020.
Persiapan dilaksanakan sejak minggu pertama. Persiapan yang dilakukan meliputi pemilihan
penanggung jawab, pembuatan proposal, pembuatan resume asuhan keperawatan, dan lembar
persetujuan untuk dilakukan ronde keperawatan.
Dewi, M., Loho.E & Tubagus,V.N. 2016. Gambaran CT-Scan neoplasma Intrakranial di
Bagian/SMF Radiologi FK Unstrat RSUP Prof.Dr.R.D.Kandou Manado Periode
Oktober 2014-September 2015. Jurnal e-Clinic (eCl),Volume 4, Nomor 1, Januari-
Juni 2016.
Diakses pada Sabtu, 11 Mei 2019.
Price, S.A & Wilson, L.M. (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit,
Edisi 6. Vol.2, Diterjemahkan oleh Pendit, B.U dkk. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI.2017.Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta.DPP
PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI.2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta.DPP
PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI.2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta.DPP
PPNI’