Anda di halaman 1dari 145

LAMPIRAN

PROPOSAL RONDE KEPERAWATAN


DI INSTALASI RAWAT INAP H RUANG RAWAS 1.1
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

Disusun oleh :

1. Atika Putri Rahmadhani (04064881820064)


2. Eka Nadya Rahmania (04064881820048)
3. Dewi Lestari (04064881820061)
4. Rusi Wahyuni (04064881820037)
5. Winni Gianita Eldi (04064881820035)
6. Annisa Napreyani Utami (04064881820052)
7. Safa Tiara Kiani (04064881820066)
8. Nurul Masruroh (04064881820054)
9. Rini Lusiana Ray (04064881820067)
10. Hanifati Akalili (04064881820060)

PROGRAM PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
PROPOSAL RONDE KEPERAWATAN

I. Pengertian
Suatu kegiatan yang bertujuan untuk mengatasi masalah keperawatan klien yang
dilaksanakan oleh perawat, di samping pasien dilibatkan untuk membahas dan
melaksanakan asuhan keperawatan akan tetapi pada kasus tertentu harus dilakukan oleh
perawat primer atau konsulen, kepala ruangan, perawat associate yang perlu juga
melibatkan seluruh anggota tim.
Karakteristik :
 Klien dilibatkan secara langsung
 Klien merupakan fokus kegiatan
 Perawat associate, perawat primer dan konsulen melakukan diskusi bersama
 Konsulen memfasilitasi kreativitas
 Konsulen membantu mengembangkan kemampuan perawat associate, perawatprimer
untuk meningkatkan kemampuan dalam mengatasi masalah
2. Tujuan
2.1 Tujuan Umum
Menyelesaikan masalah pasien melalui pendekatan berpikir kritis
2.2 Tujuan Khusus
 Memudahkan cara berpikir kritis dan sistematis
 Meningkatkan kemampuan menentukan diagnosa keperawatan
 Menumbuhkan pemikiran tentang keperawatan yang berasal dari masalah pasien
 Meningkatkan kemampuan untuk memodifikasi rencana asuhan keperawatan
 Meningkatkan kemampuan justifikasi
 Meningkatkan kemampuan dalam menilai hasil kerja
3. Peran
3.1 Perawat primer dan Perawat associate
Dalam melaksanakan pekerjaannya perlu adanya sebuah peranan yang
dapat memaksimalkan keberhasilan, antara lain :
 Menjelaskan keadaan dan data demografi klien
 Menjelaskan masalah keperawatan utama
 Menjelaskan intervensi yang belum akan dilakukan
 Menjelaskan tindakan selanjutnya
 Menjelaskan alasan ilmiah tindakan yang akan diambil

3.2 Peran Perawat primer Lain dan Konsulen


 Memberikan justifikasi
 Memberikan reinforcement
 Menilai kebenaran dari suatu masalah, intervensi keperawatan serta tindakan yang
rasional
 Mengarah dan mengoreksi
 Mengintegrasikan teori dan konsep yang telah dipelajari

3.3 Langkah-langkah
Langlah-langkah yang diperlukan dalam ronde keperawatan adalah sebagai berikut :

Tahap pra ronde


PP

proposal
Penetapan pasien

Apa yang menjadi masalah


Persiapan pasien : Cross check data yang ada
Informed consent Apa yang menyebbakan masalah
Hasil pengkajian tersebut
intervensi data Bagaimana pendekatan ( proses, SAK,
SOP )

Validitas data
Penyajian masalah

Diskusi karu, PP, Perawat konselor


Tahap ronde pada bed
pasien

Analisa data

Masalah Teratasi
Aplikasi hasil analisa dan diskusi
4. Pelaksanaan
4.1 Persiapan
a. Penetapan kasus minimal sehari sebelum waktu pelaksanaan ronde
b. Pemberian informed consent kepada klien dan keluarga

4.2 Pelaksanaan Ronde


a. Penjelasan tentang klien oleh ronde perawat primer dalam hal ini penjelasan
difokuskan pada masalah keperawatan dan rencana yang akan atau dilaksanakan
dan memiliki prioritas yang akan didiskusikan
b. Diskusi antar anggota tim tentang kasus tersebut
c. Pemberi justifikasi oleh perawat primer atau perawat konselor/manajer tentang
masalah klien serta rencana tindakan yang akan dilakukan.
d. Tindakan keperawatan pada masalah prioritas yang telah ada yang akan
ditetapkan.

4.3 Pasca Ronde


a. Mendiskusikan hasil temuan dan tindakan pada klien tersebut serta menetapkan
tindakan yang perlu dilakukan.
b. Bagaimana peran perawat primer dan perawat associate dalam pelaksanaan
pengorganisasian ronde.

5. Pengorganisasian
a. Kepala Instalasi : Hanifati Akalili
b. Karu : Rusi Wahyuni
c. Katim : Rini Lusiana Ray
d. Perawat associate : Winni Gianita Eldi
: Dewi Lestari
: Nurul Masruroh
: Annisa Napreyani Utami
: Atika Putri Rahmadhani
: Safa Tiara Kiani
e. Perawat Konselor : Eka Nadya Rahmania
6. Penutup
Demikianlah proposal ronde keperawatan ini kami buat sebagai penilaian didalam
praktek manajemen keperawatan dan sebagai ronde keperawatan yang selanjutnya dapat lebih
baik lagi.

Palembang, 11 Mei 2019

Mengetahui,

Penanggung Jawab Ka. Kelompok

Rusi Wahyuni Hanifati Akalili .


PROPOSAL RONDE KEPERAWATAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN NY “S.A” DENGAN KASUS “ SPACE
OCCUPYING LESSION (SOL) ” DI RUANG RAWAS 1.1 RSUP DR. MOHAMMAD
HUSEIN
PALEMBANG 2019

Topik : Asuhan Keperawatan Pada Ny “S.A”


Sasaran : Ny “S.A” dan Keluarga
Waktu : 13.00 WIB s/d selesai
Hari/ tanggal : Rabu / 15 Februari 2019

1. Tujuan
a. Menyelesaikan masalah-masalah keperawatan klien yang belum teratasi
b. TujuanKhusus
 Menjustifikasikan masalah yang belum teratasi
 Mendiskusikan penyelesaian masalah dengan perawat.
 Menemukan alasan ilmiah terhadap masalah pasien
 Merumuskan intervensi keperawatan yang tepat sesuai masalah pasien
2. Sasaran
Klien Ny “S.A“ umur 65 tahun, dirawat di Ruang Rawas 1.1 Di RSUP Dr. Moh Husien
Palembang.

3. Materi
a. Teori keperawatan pada klien SOL (Space Occupying Lession)
b. Masalah – masalah yang muncul pada klien SOL

4. Metode
Ronde keperawatan
Diskusi
5. Media
 Dokumen/ status pasien
 Sarana diskusi: kertas dan bulpen
 Materi yang disampaikan secara lisan

1. Proses Ronde
Kegiatan ronde keperawatan
Waktu Tahap Kegiatan Pelaksana Kegiatan Tempat
pasien

3 hari Pra Praronde Penanggung - Ruang Rawas


sebelum ronde 1. Menentukan kasus jawab: 1.1 RSUP DR.
ronde dan topik Kepala Mohammad
2. Menentukan tim ruangan dan Hoesin
ronde
tim Palembang
3. Menentukan literatur
4. Membuat proposal
5. Mempersiapkan
pasien dengan
pemberian informed
consent
5 menit Ronde Pembukaan Kepala - Nurse station
(Nurse 1. Salam pembuka ruangan
Station) 2. Memperkenalkan
tim ronde
3. Menjelaskan
tujuan ronde
4. Mengenalkan
masalah pasien
secara singkat
30 menit Penyajian masalah Perawat Mendengar Nurse station
1. Memberi salam Pelaksana kan
dan
memperkenalkan
pasien dan
keluarga kepada
tim ronde
2. Menjelaskan
riwayat penyakit
dan keperawatan
pasien
3. Menjelaskan
masalah pasien
dan rencana
tindakan yang
telah dilaksanakan
dan serta
menetapkan
prioritas yang
perlu didiskusikan

Validasi data (bed


pasien):
1. Mencocokkan dan
menjelaskan Kepala Memberika Kamar 5 bed 4
kembali data yang ruangan, n respon
telah disampaikan
perawat dan
dengan
wawancara, pelaksana, menjawab
observasi dan konselor pertanyaan
pemeriksaan
keadaan pasien
secara lansgung
dan melihat
dokumentasi
2. Diskusi antar
anggota tim dan
pasien tentang
masalah
keperawatan
tersebut di bed
pasien
3. Pemberian
justifikasi oleh
perawat primer
atau konselor atau
kepla ruang
tentang masalah
pasien
10 menit Pasca 1. Melanjutkan Kepala - Nurse station
ronde diskusi dan ruangan,
(Nurse masukkan dari tim ketua tim,
2. Menyimpulkan
station) perawat
untuk menentukan
tindakan pelaksana,
keperawatan pada konselor
masalah prioritas
yang telah
ditetapkan
3. Merekomendasika
n intervensi
keperawatan
4. Penutup
7. Kriteria Evaluasi:
a. Struktur:
1) Ronde keperawatan dilaksanakan di Ruang Rawas 1.1 RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang
2) Peserta ronde keperawatan hadir di tempat pelaksanaan ronde keperawatan
3) Persiapan dilakukan sebelumnya
b. Proses
1) Peserta mengikuti kegiatan dari awal hingga akhir
2) Seluruh peserta berperan aktif dalam kegiatan ronde sesuai peran yang telah
ditentukan
c. Hasil
1) Pasien puas dengan hasil kegiatan
2) Masalah pasien dapat teratasi
3) Perawat dapat:
- Menumbuhkan cara berpikir yang kritis dan sistematis
- Meningkatkan kemampuan validitas data pasien
- Meningkatkan kemampuan menentukan diagnosis keperawatan.
Menumbuhkan pemikiran tentang tindakan keperawatan yang berorientasi
pada masalah pasien
- Meningkatkan kemampuan memodifikasi rencana asuhan keperawatan
- Meningkatkan kemampuan justifikasi
- Meningkatkan kemampuan menilai hasil kerja
8. Pengorganisasian
a. Kepala Instalasi : Hanifati Akalili, S.Kep
b. Kepala ruangan : Rusi Wahyuni S.Kep
c. Ketua tim : Rini Lusiana Ray S.Kep
d. Perawat associate : Winni Gianita Eldi S.Kep
: Dewi Lestari, S.Kep
: Nurul Masruroh, S.Kep
: Safa Tiara Kiani, S.Kep
: Annisa Napreyani Utami S.Kep
: Atika Putri Rahmadhani, S.Kep
e. Konselor : Eka Nadya Rahmania, S.Kep
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Space Occupying Lession (SOL) ialah lesi substansial seperti neoplasma,
perdarahan atau granuloma yang menempati ruang. SOL intrakranial didefinisikan
sebagai neoplasma jinak maupun ganas, primer ataupun skunder serta hematoma atau
malformasi vaskuler yang terletak di dalam rongga tengkorak.

Peningkatan tekanan intrakranial didefinisikan sebagai peningkatan tekanan


dalam rongga kranialis. Ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan
cairan serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang
menghasilkan suatu tekanan intrakranial normal. Peningkatan volume salah satu dari
ketiga unsur utama mengakibatkan desakan ruang yang ditempati unsur lainnya dan
menaikkan tekanan intrakranial. Hipotesis Monroe-Kellie memberikan suatu contoh
konsep pemahaman peningkatan tekanan intracranial (Price, 2005).
Tumor otak merupakan penyebab sebagian besar dari space occupying lesion.
Di Amerika di dapat 35.000 kasus baru dari tumor otak setiap tahun, sedang menurut
Bertelone, tumor primer susunan saraf pusat dijumpai 10% dari seluruh penyakit
neurologi yang ditemukan di Rumah Sakit Umum (Iskandar, 2002).
Tumor otak meliputi 85-90% dari seluruh tumor susunan saraf pusat dengan
frekuensi 80% terletak di intrakranial dan 20% di kanalis spinalis. Insidensi berkisar
antara 6,6 per 100.000 penduduk per tahun di Amerika Serikat dengan mortalitas 4,7
per 100.000 penduduk per tahun
Menurut penilitian yang dilakukan oleh Rumah Sakit Lahore, Pakistan,
periode September 1999 hingga April 2000, dalam 100 kasus space occupying lesion
intrakranial, 54 kasus terjadi pada pria dan 46 kasus pada wanita. Selain itu, 18 kasus
ditemukan pada usia dibawah 12 tahun. 28 kasus terjadi pada rentan usia 20-29 tahun,
13 kasus pada usia 30-39, dan 14 kasus pada usia 40-49 (Ejaz butt, 2005).
Di Indonesia data tentang tumor susunan saraf pusat belum dilaporkan.Insiden
tumor otak pada anak-anak terbanyak dekade 1, sedang pada dewasa pada usia 30-70
dengan pundak usia 40-65 tahun (Iskandar 2002).
Penelitian yang dilakukan di RSUP Prof.Dr.R.D Kandou Manado pada
periode Oktober 2014-September 2015 dikatakan bahwa data mengenai tumor otak di
Indonesia masih kurang. Di Bandar lampung periode 2009-2013 terdapat 173 kasus.
Di bagian Radiologi RSUP Prof.Dr.R.D Kandou Manado tahun 2011 terdapat 10
kasus yang terdiagnosis dengan neoplasma intrakranial (Dewi, 2016).

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami tentang konsep dasar penyakit SOL, serta
mampu mengaplikasikan asuhan keperawatan dengan tepat pada pasien penderita
pemfigus vulgaris.
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengertian SOL Intracranial
b. Untuk mengetahui manifestasi klinis SOL Intracranial
c. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang SOL Intracranial
d. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis dengan tepat pada SOL Intracranial
e. Mampu melakukan pengkajian secara langsung pada pasien dengan SOL
Intracranial
f. Mampu merumuskan masalah dan membuat diagnosa keperawatan pada
pasien dengan SOL Intracranial
g. Mampu membuat perencanaan keperawatan pada pasien dengan SOL
Intracranial
h. Mampu melaksanakan tindakan keperawatan dan mampu mengevalusi
tindakan yang telah dilakukan pada pasien dengan SOL Intracranial
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Prinsip hukum Monroe-Kellie


Ruang intra kranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan serebrospinal.
Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan suatu tekanan intra
kranial normal sebesar 50 sampai 200 mmH2O atau 4 sampai 15 mmHg. Dalam keadaan
normal, tekanan intra kranial (TIK) dipengaruhi oleh aktivitas sehari-hari dan dapat
meningkat sementara waktu sampai tingkat yang jauh lebih tinggi dari normal. Ruang
intra kranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai kapasitasnya dengan
unsur yang tidak dapat ditekan, yaitu : otak (1400 g), cairan serebrospinal (sekitar 75
ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan volume pada salah satu dari ketiga unsur
utama ini mengakibatkan desakan ruang yang ditempati oleh unsur lainnya dan
menaikkan tekanan intra kranial (Lombardo,2006 ).
Ruang intra krnial dibatasi oleh tuang-tulang kranium sehingga volume dari ruang
tersebut relatif tetap. Keseimbangan isi komponen dalam ruang intra kranial diterangkan
dengn konsep Doktrin Monro-Kellie (Sumardjono,2004).
Isi ruang intra kranial adalah: (Sumardjono,2004).
1. Parenkhim otak, 1100-1200 gram, merupakan komponen paling besar, kurang
lebih 70%.
2. Komponen vaskuler, terdiri dari darah arteri, arteriole, kapiler, venula, dam
vena-vena besar 150 cc, kurang lebih 15-20%, tetapi kapasitas variasi yang
cukup besar.
3. Komponen CSS (Cairan Serebro Spinal) 150 cc, 15-20% pada keadaan
tertentu sangat potensial untuk pengobatan, karena CSS dapat dikeluarkan.
Gambar 2.1 Doktirn Monroe-Kellie(Sumardjono,2004)

Tekanan Intra Kranial (TIK) dipertahankan 10 mmHg. Jika TIK lebih dari 20 mmHg
dianggap tidak normal, jika TIK lebih dari 40 mmHg termasuk kenaikan TIK berat
(Sumardjono,2004).
Otak yang mengalami kontusio akan cenderung menjadi lebih besar, hal tersebut
dikarenakan pembengkakan sel-sel otak dan edema sekitar kontusio. Sehingga akan
menyebabkan space occypying lesion (lesi desak ruang) intra kranial yang cukup berarti.
Karena wadah yang tetap tetapi terdapat adanya tambahan massa, maka secara
kompensasi akan menyebabkan tekanan intra kranial yang meningkat. Hal ini akan
menyebabkan kompresi pada otak dan penurunan kesadaran. Waktu terjadinya hal
tersebut bervariasi antara 24-48 jam dan berlangsung sampai hari ke 7-10
(Sumardjono,2004).
Kenaikan TIK ini secara langsung akan menurunkan TPO (Tekanan Perfusi Otak),
sehingga akan berakibat terjadinya iskemia dan kematian. TIK harus diturunkan tidak
melebihi 20-25 mmHg. Bila TIK 40 mmHg maka dapat terjadi kematian
(Sumardjono,2004).
Gambar 2.2 Hubungan Tekanan Intrakranial, Ruang Intrakranial dan
isinya(Sumardjono,2004)

II.2 Space Occupying Lesion Intrakranial


II.2.1 Definisi Space Occupying Lesion
Space occupying lesion intrakranial (lesi desak ruang intrakranial)
didefinisikan sebagai neoplasma, jinak atau ganas, primeratau sekunder,
sertasetiapinflamasi yang berada di dalamrongga tengkorakyang menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial dan menempati ruang di dalam otak. Space
occupying lesion intrakranial meliputi tumor, hematoma, dan abses (Ejaz Butt,
2005).

II.2.2 Mekanisme Patofisiologi Space Occupying Lesion


Kranium merupakan kerangka baku yang berisi tiga komponen yaitu otak,
cairan serebrospinal (CSS) dan darah. Kranium mempunyai sebuah lubang keluar
utama yaitu foramen magnum dan memiliki tentorium yang memisahkan hemisfer
serebral dari serebelum. Timbulnya massa yang baru di dalam kranium seperti
neoplasma, akan menyebabkan isi intrakranial normal akan menggeser sebagai
konsekuensi dari space occupying lesion (SOL).
Cairan serebrospinal diproduksi terutama oleh pleksus koroideus ventrikel
lateral, tiga, dan empat. Dua pertiga atau lebih cairan ini berasal dari sekresi
pleksus di keempat ventrikel, terutama di kedua ventrikel lateral. Saluran utama
aliran cairan, berjalan dari pleksus koroideus dan kemudian melewati sistem cairan
serebrospinal. Cairan yang disekresikan di ventrikel lateral, mula-mula mengalir ke
dalam ventrikel ketiga. Setelah mendapat sejumlah cairan dari ventrikel ketiga,
cairan tersebut mengalir ke bawah di sepanjang akuaduktus Sylvii ke dalam
ventrikel keempat. Cairan ini keluar dari ventrikel keempat melalui tiga pintu kecil,
yaitu dua foramen Luschka di lateral dan satu foramen Magendie di tengah, dan
memasuki sisterna magna, yaitu suatu rongga cairan yang terletak di belakang
medula dan di bawah serebelum (Guyton, 2007).

Sisterna magna berhubungan dengan ruang subrakhnoid yang mengelilingi


seluruh otak dan medula spinalis. Cairan serebrospinal kemudian mengalir ke atas
dari sisterna magna dan mengalir ke dalam vili arakhnoidalis yang menjorok ke
dalam sinus venosis sagitalis besar dan sinus venosus lainnya di serebrum (Guyton,
2007).

Gambar 2.3 Pembentukan Cairan Serebrospinal


(Guyton, 2007)

Peningkatan tekanan intrakranial didefinisikan sebagai peningkatan tekanan


dalam rongga kranialis. Ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan
cairan serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang
menghasilkan suatu tekanan intrakranial normal sebesar 50 – 200 mm H2O atau 4 –
15 mm Hg. Ruang intrakranial adalah suatu ruangan baku yang terisi penuh sesuai
kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan: otak (1400 g), cairan
serebrospinal (sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan volume pada
salah satu dari ketiga unsur utama mengakibatkan desakan ruang yang ditempati
oleh unsur lainnya dan menaikkan tekanan intrakranial (Price, 2005).

Pada keadaan fisiologis normal volume intrakranial selalu dipertahankan


konstan dengan tekanan intrakranial berkisar 10-15 mmHg. Tekanan abnormal
apabila tekanan diatas 20 mmHg dan diatas 40 mmHg dikategorikan sebagai
peninggian yang parah. Penyebab peningkatan intrakranial adalah cedera otak yang
diakibatkan trauma kepala. Aneurisma intrakranial yang pecah dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial secara mendadak sehingga mencapai tingkatan
tekanan darah arteri untuk sesaat. Tingginya tekanan intrakranial pasca pecah
aneurisma sering kali diikuti dengan meningkatnya kadar laktat cairan
serebrospinal dan hal ini mengindikasi terjadinya suatu iskhemia serebri. Tumor
otak yang makin membesar akan menyebabkan pergeseran CSS dan darah
perlahan-lahan (Satyanegara, 2010).
Gambar 2.4 Skema Proses Desak Ruang Yang menimbulkan Kompresi
Pada Jaringan Otak dan Pergeseran Struktur Tengah.
(Satyanegara, 2010)

II.2.3 Macam-Macam Space Occupying Lesion


1. Tumor Otak
Tumor otak atau tumor intrakranial adalah neoplasma atau proses desak
ruang (space occupying lesion) yang timbul di dalam rongga tengkorak baik di
dalam kompartemen supertentorial maupun infratentorial (Satyanegara, 2010)
Keganasan tumor otak yang memberikan implikasi pada prognosanya
didasari oleh morfologi sitologi tumor dan konsekuensi klinis yang berkaitan
dengan tingkah laku biologis. Sifat-sifat keganasan tumor otak didasari oleh
hasil evaluasi morfologi makroskopis dan histologis neoplasma, dikelompokkan
atas kategori-kategori (Satyanegara, 2010):
a. Benigna (jinak)
Morfologi tumor tersebut menunjukkan batas yang jelas, tidak
infiltratif dan hanya mendesak organ-organ sekitar. Selain itu,
ditemukan adanya pembentukan kapsul serta tidak adanya metastasis
maupun rekurensi setelah dilakukan pengangkatan total. Secara
histologis, menunjukkan struktur sel yang reguler, pertumbuhan la,a
tanpa mitosis, densitas sel yang rendah dengan diferensiasi struktur
yang jelas parenkhim, stroma yang tersusun teratur tanpa adanya
formasi baru.
b. Maligna (ganas)
Tampilan mikroskopis yang infiltratif atau ekspansi destruktur
tanpa batas yang jelas, tumbuh cepat serta cenderung membentuk
metastasis dan rekurensi pasca pengangkatan total.

Tumor otak menyebabkan timbulnya gangguan neurologik progresif.


Gangguan neurologik pada tumor otak biasanya disebabkan oleh dua faktor,
yaitu gangguan fokal akibat tumor dan kenaikan intrakranial (Price, 2005).
Gangguan fokal terjadi apabila terdapat penekanan pada jaringan otak dan
infiltrasi atau invasi langsung pada aprenkim otak dengan kerusakan jaringan
neural. Perubahan suplai darah akibat tekanan tumor yang bertumbuh
menyebabkan nekrosis jaringan otak. Gangguan suplai darah arteri pada
umumnya bermanifestasi sebagai hilangnya fungsi secara akut dan gangguan
serebrovaskular primer. Serangan kejang sebagai manifestasi perubahan
kepekaan neuron dihubungkan dengan kompresi, invasi, dan perubahan suplai
darah ke jaringan otak. Beberapa tumor membentuk kista yang juga menekan
parenkim otak sekitar sehingga memperberat gangguan neurologis fokal (Price,
2005).
Peningkatan tekanan intrakranial dapat disebabkan oleh beberapa faktor
yaitu bertambahnya massa dalam tengkorak, terbentuknya edema sekitar tumor,
dan perubahan sirkulasi cairan serebrospinal. Pertumbuhan tumor akan
menyebabkan bertambahnya massa karena tumor akan mendesak ruang yang
relatif tetap pada ruangan tengkorak yang kaku. Obstruksi vena dan edema
akibat kerusakan sawar darah otak dapat menimbulkan peningkatan volume
intrakranial dan tekanan intrakranial. Obstruksi sirkulasi cairan serebrospinal
dari ventrikel lateralis ke ruangan subarakhnoid menimbulkan hidrosefalus
(Price, 2005).

Gambar 2.5 Skema Faktor Peningkatan Tekanan Intrakranial


Dikutip dari: Buka Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, 2010

Peningkatan tekanan intrakranial dapat membahayakan jiwa apabila terjadi


cepat akibat salah satu penyebab tersebut. Mekanisme kompensasi antara lain
bekerja menurunkan volume darah intrakranial, volume cairan serebrospinal,
kandungan cairan intrasel, dan mengurangi sel-sel parenkim. Peningkatan
tekanan yang tidak diobati mengakibatkan herniasi unkus atau serebelum.
Herniasi unkus timbul bila girus medialis lobus temporalis tergeser ke inferior
melelui incisura tentorial oleh massa dalam hemisfer otak. Herniasi menekan
mesensefalon menyebabkan hilangnya kesadaran dan menekan saraf otak
ketiga. Pada herniasi serebelum, tonsil serebelum bergeser ke bawah melalui
foramen magnum oleh suatu massa posterior (Price, 2005).

Klasifikasi tumor otak diawali oleh konsep Virchow berdasarkan tampilan


sitologinya dan dalam perkembangan selanjutnya dikemukakakn berbagai
variasi modifikasi peneliti-peneliti lain dari berbagai negara. Klasifikasi
universal awal dipeloporo oleh Bailey dan Cushing (1926) berdasarkan
histogenesis sel tumor dan sel embrional yang dikaitkan dengan diferensiasinya
pada berbagai tingkatan dan diperankan oleh faktor-faktor, seperti lokasi tumor,
efek radiasi, usia penderita, dan tindakan operasi yang dilakukan. Sedangkan
pada klasifikasi Kernohan (1949) didasari oleh sistem gradasi keganasan di atas
dan menghubungkannya dengan prognosis.

Tabel 2.1 Klasifikasi Tumor Otak Oleh Chusing dan Kernohan

Cushing Kernohan
Astrositoma Astrositoma grade I dan II
Oligodendroglioma Oligodendroglioma grade I−IV
Ependioma Ependioma
Meduloblastoma Meduloblastoma
Glioblastoma multiforme Astrositoma grade III dan IV
Pinealoma (teratoma) Pinealoma
Ganglioneuroma (glioma) Neuroastrositoma grade I
Neuroblastoma Neuroastrositoma grade II−III
Papiloma pleksus khoroid Tumor campur
Tumor “unclassified”
Dikutip dari: Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, 2010

Astrositoma

Astrositoma adalah kelompok tumor sistem saraf pusat primer yang


tersering. Astrositoma adalah sekelompok neoplasma heterogen yang berkisar
dari lesi berbatas tegas tumbuh lambat seperti astrositoma pilositik hingga
neoplasma infiltratif yang sangat ganas seperti glioblastoma multiforme.
Astrositoma berdiferensiasi baik biasanya adalah lesi infiltratif berbatas samar
yang menyebabkan parenkim membesar dan batas substansia grisea/substansia
alba kabur (Vinay Kumar dkk, 2007).

Gambar 2.4 Astrositoma


(Vinay Kumar dkk, 2007)

Gambar 2.6 MRI Anaplastik Astrositoma


(Buku Ilmu Bedah Saraf Sastranegara, 2010)

Oligodendroglioma

Oligodendroglioma paling sering ditemukan pada masa dewasa dan


biasanya terbentuk dalam hemisferium serebri. Kelainan sitogenik yang sering
terjadi pada oligodendroglioma adalah hilangnya heterozigositas di lengan
panjang kromosom 19 dan lengan pendek kromosom 1. Secara makroskopis,
oligodendroglioma biasanya lunak dan galantinosa. Tumor ini memiliki batas
yang lebih tegas dibandingkan dengan astrositoma infiltratif dan sering terjadi
kalsifikias. Secara mikroskopis, oligodendroglioma dibedakan dengan adanya
sel infiltratif dengan nukleus bulat seragam (Vinay Kumar dkk, 2007).

Prognosis untuk pasien dengan oligodendroglioma lebih sulit diperkirakan.


Usia pasien, lokasi tumor, ada tidaknya peningkatan kontras dalam pemeriksaan
radiografik, aktivitas proliferatif, dan karakteristik sitogenik juga memiliki
pengaruh pada prognosis (Vinay Kumar dkk, 2007).

Ependimoma

Ependioma dapat terjadi pada semua usia. Sebagian besar muncul di dalam
salah stu rongga ventrikel atau di daerah sentralis di korda spinalis.
Ependimoma intrakranial paling sering terjadi pada dua dekade pertama
kehidupan sedangkan lesi intraspinal terutama pada orang dewasa. Ependioma
intrakranial paling sering timbul di ventrikel keempat, tempat tumor ini
mungkin menyumbat CSS dan menyebabkan hidrosefalus dan peningkatan
tekanan intrakranial (Vinay Kumar dkk, 2007).

Ependimoma memiliki lesi yang berbatas tegas yang timbul dari dinding
ventrikel. Lesi intrakranial biasanya menonjol ke dalam rongga ventrikuler
sebagai massa padat, kadang-kadang dengan papilar yang jelas (Vinay Kumar
dkk, 2007).
Gambaran klinis ependimoma bergantung pada lokasi neoplasma. Tumor
intrakranial sering menyebabkan hidrosefalus dan tanda peningkatan tekanan
intrakranial. Karena lokasinya di dalam sistem ventrikel, sebagian tumor dapat
menyebar ke dalam ruang subarakhnoid (Vinay Kumar dkk, 2007).

Gambar 2.7 Ependimoma


(Vinay Kumar dkk, 2007)

Glioblastoma

Glioblastoma dapat timbul dengan masa yang berbatas tegas atau


neoplasma yang infiltratif secara difuse. Potongan tumor dapat berupa masa
yang lunak berwarna keabuan atau kemerahan, daerah nekrosis dengan
konsistensi seperti krim kekuningan, ditandai dengan suatu daerah bekas
perdarahan berwarna cokelat kemerahan (Vinay Kumar dkk, 2007).
Gambar 2.8 Glioblastoma
(Vinay Kumar dkk, 2007)

Gambar 2.9 MRI Glioblastoma


(Buku Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, 2010)

Meduloblastoma
Meduloblastoma merupakan neoplasma yang invasif dan bertumbuh sangat
cepat. Neoplasma ini sering ditemukan pada anak. Sekitar 20% neoplasma otak
pada anak adalah meduloblastoma (Arthur, 2012).
Pada anak, lokasi tersering meduloblastoma adalah di infratentorial, di
bagian posterior vermis serebeli dan atap ventrikel ke empat. Pada analisis
kromosom ditemukan hilangnya informasi genetik di bagian distal kromosom
17, tepatnya di bagian distal dari regio yang mengkode protein p53 pada
sebagian besar pasien. Ini diduga bertanggung jawab terhadap perubahan
neoplastik dari sel-sel punca serebelum menjadi neoplasma (Arthur, 2012).
Kebanyakan pasien berusia 4 – 8 tahun. Diagnosis rata-rata ditegakkan 1 –
5 bulan setelah mulai muncul gejala. Gejala klinis yang ada timbul akibat
hidrosefalus obstruktif dan tekanan tinggi intrakranial. Biasanya anak akan
terlihat lesu, muntah-muntah, dan mengeluh nyeri kepala terutama di pagi hari.
Selanjutnya akan terlihat anak berjalan seperti tersandung, sering jatuh, melihat
dobel, dan mata menjadi juling. Pada tahap ini biasanya baru dilakukan
pemeriksaan neurologis yang secara khas akan memperlihatkan papiledema atau
paresis nervus abdusens (n. VI) (Arthur, 2012).

Gambar 2.10 Gambaran Skematik Meduloblastoma


(Netter’s Neurology, 2012)

Tumor Pleksus Khoroid


Tampilan mikroskopis tumor pleksus khoroid adalah berupa massa dengan
konsistensi lunak, vaskuler, ireguler yang berbentuk mirip dengan kembang kol.
Tumor ini cenderung berbentuk sesuai dengan kontur ventrikel yang
ditempatinya dan berekstensi melalui foramen-foramen ke dalam ventrikel lain
yang berdekatan atau ke dalam rongga subarakhnoid. Tumor ini mendesak
jaringan otak namun tidak menginvasinya (Vinay Kumar dkk, 2007).
Presentasi gejala tumor ini biasanya berupa tanda-tanda peningkatan
tekanan intrakranial disertai gejala neurologis fokal. Tumor intraventrikel IV
dapat menimbulkan gejala nistagmus dan ataksia (Vinay Kumar dkk, 2007).

2. Hematom Intrakranial
Hematom Epidural
Fraktur tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama arteri
meningea media yang masuk dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan
jalan antara durameter dan tulang di permukaan dalam os temporale. Perdarahan
yang terjadi menimbulkan hematom epidural. Desakan dari hematom akan
melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom
bertambah besar (R. Sjamsuhidajat, 2004).
Hematom yang meluas di daerah temporal menyebabkan tertekannya lobus
temporalis otek ke arah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian
medial lobus (unkis dan sebagian dari girus hipokampus) mengalami herniasi di
bawah tepi tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda
neurologik (Price, 2005).
Kelainan ini pada fase awal tidak menunjukkan gejala atau tanda. Baru
setelah hematom bertambah besar akan terlihat tanda pendesakan dan
peningkatan tekanan intrakranial. Penderita akan mengalami sakit kepala, mual,
dan muntah diikuti dengan penurunan kesadaran. Gejala neurologik yang
teroenting adalah pupil mata anisokor yaitu pupil ipsilateral melebar (R.
Sjamsuhidajat, 2004).
Gambar 2.11 Hematom Epidural
(Buku Ajar Ilmu Bedah, 2004)
Keterangan : 1. Os temporal, 2. Duramater, 3. Hematom epidural, 4. Otak terdorong
kesisi lain

Hematom Subdural
Hematom subdural disebabkan oleh trauma otak yang menyebabkan
robeknya vena di dalam ruang araknoid. Pembesaran hematom karena robeknya
vena memerlukan waktu yang lama. Oleh karena hematom subdural sering
disertai cedera otak berat lain, jika dibandingkan dengan hematom epidural
prognosisnya lebih jelek (R. Sjamsuhidajat, 2004).
Hematom subdural dibagi menjadi subdural akut bila gejala timbul pada
hari pertama sampai hari ketiga, subakut bila timbul antara hari ketiga hingga
minggu ketiga, dan kronik bila timbul sesudah minggu ketiga (R. Sjamsuhidajat,
2004).
Hematom subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang penting dan
serius dalam 24 sampai 48 jam setelah cidera. Hematoma sering berkaitan
dengan trauma otak berat dan memiliki mortalitas yang tinggi. Hematoma
subdural akut terjadi pada pasien yang meminum obat antikoagulan terus
menerus yang tampaknya mengalami trauma kepala minor. Cidera ini seringkali
berkaitan dengan cidera deselarasi akibat kecelakaan kendaraan bermotor.
Defisit neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan
herniasi batang otak ke dalam foramen magnum yang selanjutnya menimbulkan
henti nafas dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah (Price,
2005).
Hematom subdural subakut menyebabkan defisit neurologik bermakna
dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari dua minggu setelah cidera.
Riwayat klinis yang khas pada penderita hematom subdurak subakut adalah
adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti
perbaikan status neurologik yang bertahap. Namun, setelah jangka waktu
tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologis yang
memburuk. Tingkat kesadaran menurun secara bertahap dalam beberapa jam.
Meningkatnya tekanan intrakranial akibat timbunan hematom yang
menyebabkan menjadi sulit dibangunkan dan tidak merespon terhadap
rangsangan vebral maupun nyeri. Peningkatan tekanan intrakranial dan
pergeseran isi kranial akibat timbunan darah akan menyebabkan terjadinya
herniasi unkus atau sentral dan timbulnya tanda neurologik akibat kompresi
batang otak (Price, 2005).
Awitan gejala hematoma subdural kronik pada umumnya tertunda beberapa
minggu, bulan bahkan beberapa tahun setelah cidera awal. Pada orang dewasa,
gejala ini dapat dikelirukan dengan gejala awal demensia. Trauma pertama
merobek salah satu vena yang melewati ruang subdural sehingga terjadi
perdarahan lambat ke dalam ruang subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah
perdarahan, darah dikelilingi oleh membran fibrosa. Terjadi kerusakan sel-sel
darah dalam hematoma sehingga terbentuk peredaan tekanan osmotik yang
menyebabkan tertariknya cairan ke dalam hematoma. Bertambahnya ukuran
hematoma ini dapat menyebabkan perdarahan lebih lanjut akibat robekan
membran atau pembuluh darah di sekelilinhnya sehingga meningkatkan ukuran
dan tekanan hematoma. Jika dibiarkan mengikuti perjalanan alamiahnya, unsur-
unsur kandungan hematom subdural akan mengalami perubahan-perubahan
yang khas. Hematoma subdural kronik memiliki gejala dan tanda yang tidak
spesifik, tidak terlokalisasi, dan dapat disebabkan oleh banyak proses penyakit
lain. Gejala dan tanda perubahan yang paling khas adalah perubahan progresif
dalam tingkat kesadaran termasuk apati, latergi, berkurangnya perhatian dan
menurunnya kemampuan untuk mempergunakan kecakapan kognitif yang lebih
tinggi (Price, 2005).

Gambar 2.12 Stadium Perjalanan Klinis Alami Hematom Subdural


Dikutip dari: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, 2005

Hematom subdural akut secara klinis sukar dibedakan dengan hematom


epidural yang berkembang lambat. Hematom subdural akut dan kronik
memberikan gambaran klinis suatu proses desak ruang (space occupying lesion)
yang progresif sehingga tidak jarang dianggap sebagai neoplasma atau demensia
(R. Sjamsuhidajat, 2004).
Gambar 2.13 Hematom Subdural
(Buku Ajar Ilmu Bedah, 2004)
Keterangan : 1. Os temporal, 2. Duramater, 3. Hematom subdural, 4. Otak terdorong
kesisi lain

Higroma Subdural
Higroma subdural adalah hematom subdural lama yang mungkin disertai
pengumpulan cairan serebrospinal di dalam ruang subdural. Kelainan ini jarang
ditemukan dan dapat terjadi karena robekan selaput arakhnoid yang
menyebabkan cairan serebrospinal keluar ke ruang subdural. Gambaran klinis
menunjukkan tanda kenaikan tekanan intrakranial, sering tanpa tanda fokal (R.
Sjamsuhidajat, 2004).

II.3 Macam-Macam Keluhan dan Gejala yang Disebabkan oleh Space Occupying
Intracranial
II.3.1 Gejala Peningkatan Tekanan Intrakranial

Triad nyeri kepala, edema papil dan muntah secara umum dianggap
sebagai karakteristik peninggian tekanan intrakranial. Namun demikian, dua
pertiga pasien dengan lesi desak ruang memiliki semua gambaran tersebut,
sedang kebanyakan sisanya umumnya dua. Simtomatologi peninggian tekanan
intrakranial tergantung pada penyebab daripada tingkat tekanan yang terjadi.
Tak ada korelasi yang konsisten antara tinggi tekanan dengan beratnya
gejala(Syaiful Saanin, 2012).
1. Nyeri Kepala
Kebanyakan struktur dikepala tidak sensitif nyeri, ahli bedah saraf
dapat melakukan kraniotomi major dalam anestesia lokal karena tulang
tengkorak dan otak sendiri dapat ditindak tanpa nyeri. Struktur sensitif
nyeri didalam kranium adalah arteria meningeal media beserta cabangnya,
arteri besar didasar otak, sinus venosus dan bridging veins, serta dura
didasar fossa kranial. Peninggian tekanan intrakranial dan pergeseran otak
yang terjadi membendung dan menggeser pembuluh darah serebral atau
sinus venosus serta cabang utamanya dan memperberat nyeri lokal.
Nyeri yang lebih terlokalisir diakibatkan oleh peregangan atau
penggeseran duramater didaerah basal dan batang saraf sensori kranial
kelima, kesembilan dan kesepuluh. Nyeri kepala juga disebabkan oleh
spasme otot-otot besar didasar tengkorak. Ini mungkin berdiri sendiri
atau ditambah dengan reaksi refleks bila mekanisme nyeri bekerja (Syaiful
Saanin, 2012).
Pasien dengan peninggian tekanan intrakranial secara klasik bangun
pagi dengan nyeri kepala yang berkurang dalam satu-dua jam. Nyeri kepala
pagi ini pertanda terjadinya peningkatan tekanan intrakrania; selama
malam akibat posisi berbaring, peninggian PCO2 selama tidur karena
depresi pernafasan dan mungkin karena penurunan reabsorpsi cairan
serebrospinal (Syaiful Saanin, 2012).

2. Muntah
Ditemukan pada peninggian tekanan intrakranial oleh semua sebab
dan merupakan tampilan yang terlambat dan diagnosis biasanya dibuat
sebelum gejala ini timbul. Gejala ini mungkin jelas merupakan gambaran
dini dari tumor ventrikel keempat yang langsung mengenai nukleus
vagal. Setiap lesi hampir selalu meninggikan tekanan intrakranial akibat
obstruksi aliran cairan serebrospinal dan mungkin tidak mudah
menentukan mekanisme mana yang dominan. Muntah akibat peninggian
tekanan intrakranial biasanya timbul setelah bangun, sering bersama dengan
nyeri kepala pagi. Walau sering dijelaskan sebagai projektil, maksudnya
terjadi dengan kuat dan tanpa peringatan, hal ini jarang merupakan
gambaran yang menarik perhatian (Syaiful Saanin, 2012).

3. Papila Oedema
Papila oedema menunjukkan adanya oedema atau pembengkakan
diskus optikus yang disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial yang
menetap selama lebih dari beberapa hari atau minggu. Oedema ini
berhubungan dengan obstruksi cairan serebrospinal, dimana peningkatan
tekanan intrakranial pada selubung nervus optikus menghalangi drainase
vena dan aliran aksoplasmik pada neuron optikus dan menyebabkan
pembengkakan pada diskus optikus dan retina serta pendarahan diskus.
Papila oedema tahap lanjut dapat menyebabkan terjadinya atrofi sekunder
papil nervus optikus (Syaiful Saanin, 2012).

II.3.2 Gejala Umum Space Occupying Lesion


Gejala umum timbul karena peningkatan tekanan intrakranial atau akibat
infiltrasi difus dari tumor. Gejala yang paling sering adalah sakit kepala,
perubahan status mental, kejang, nyeri kepala hebat, papil edema, mual dan
muntah. Tumor maligna (ganas) menyebabkan gejala yang lebih progresif
daripada tumor benigna (jinak). Tumor pada lobus temporal depan dan frontal
dapat berkembang menjadi tumor dengan ukuran yang sangat besar tanpa
menyebabkan defisit neurologis, dan pada mulanya hanya memberikan
gejalagejala yang umum. Tumor pada fossa posterior atau pada lobus parietal dan
oksipital lebih sering memberikan gejala fokal dulu baru kemudian memberikan
gejala umum (Saanin, 2004, Bradley, 2000).
Tumor intrakranium pada umumnya dapat menyebabkan (Saanin, 2004,
Bradley, 2000):
1. Gangguan kesadaran akibat tekanan intrakranium yang meninggi.
Gangguan kesadaran akibat peningkatan tekana intrakranium dapat
berakhir hingga koma. Tekanan intrakranium yang meninggi dapat
menyebabkan ruang tengkorak yang tertutup terdesak dan dapat pula
menyebabkan perdarahan setempat. Selain itu, jaringan otak sendiri akan
bereaksi dengan menimbulkan edema, yang berkembang karena penimbunan
katabolit di sekitar jaringan neoplasmatik. Stasis dapat pula terjadi karena
penekanan pada vena dan disusuk dengan terjadi edema. Pada umumnya
tumor di fosa kranium posterior lebih cepat menimbulkan gejala-gejala yang
mencerminkan tekanan intrakranium yang meninggi. Hal ini mungkin
disebabkan karena aliran CSF pada aquaductus yang berpusat di fosa kranium
posterior dapat tersebumbat sehingga tekanan dapat meninggi dengan cepat.
Fenomena peningkatan tekanan intrakranium dapat diklasifikasikan
menjadi tiga, yaitu :
a. Sindroma unkus atau sindroma kompresi diansefalon ke lateral
Proses desak pertama kali terjadi pada bagian lateral dari fosa kranium
medial dan biasanya mendesak tepi medial unkus dan girus hipokampus
ke arah garis tengah dan ke kolong tepi bebas daun tentorium. Karena
desakan itu, bukan diansefalon yang pertama kali mengalami gangguan,
melainkan bagian ventral nervus okulomotoris. Akibatnya, pada awalnya
akan kan terjadi dilatasi pupil kontralateral barulah disusul dengan
gangguan kesadaran. Biasanya, setelah ini akan terjadi herniasi tentorial,
yaitu keadaan terjepitnya diansefalon oleh tentorium. Pupil yang melebar
merupakan cerminan dari terjepitnya nervus okulomotoris oleh arteri
serebeli superior. Pada tahap berkembangnya paralisis okulomotoris,
kesadaran akan menurun secara progresif.
b. Sindroma kompresi sentral rostro-kaudal terhadap batang otak
Suatu tumor supratentorial akan mendesak ruang supratentorial dan
secara berangsur-angsur akan menimbulkan kompresi ke bagian rostral
batang otak. Tanda bahwa suatu tumor supratentorial mulai menggangu
diansefalon biasanya berupa gangguan perangai. Yang pertama-tama
terjadi adalah keluhan cepat lupa, tidak bisa berkonsentrasi dan tidak bisa
mengingat.
Pada tahap dini, kompresi rostro-kaudal terhadap batang otak akan
menyebabkan :
 Respirasi yang kurang teratur
 Pupil kedua sisi sempit sekali
 Kedua bola mata bergerak perlahan-lahan ke samping kiri dan kanan
 Gejala-gejala UMN pada kedua sisi
Pada tahap kompresi rostro-kaudal yang lebih berat, akan terjadi :
 Kesadaran menurun sampai derajat paling rendah
 Suhu badan mulai meningkat dan cenderung untuk melonjak terus
 Respirasi cepat dan bersuara mendengkur
 Pupil yang tadinya sempit berangsur-angsur melebar dan tidak lagi
bereaksi terhadap sinar cahaya
c. Herniasi serebelum di foramen magnum
Herniasi ini akan menyebabkan jiratan pada medula oblongata. Gejala-
gejala gangguan pupil, pernafasan, okuler dan tekanan darah berikut nadi
yang menandakan gangguan pada medula oblongata, pons, ataupun
mesensefalon akan terjadi.

2. Gejala-gejala umum tekanan intrakranium yang tinggi


Gejala umum timbul karena peningkatan tekanan intrakranial atau akibat
infiltrasi difus dari tumor. Gejala yang paling sering adalah sakit kepala,
perubahan status mental, kejang, nyeri kepala hebat, papil edema, mual dan
muntah. Tumor maligna (ganas) menyebabkan gejala yang lebih progresif
daripada tumor benigna (jinak). Tumor pada lobus temporal depan dan frontal
dapat berkembang menjadi tumor dengan ukuran yang sangat besar tanpa
menyebabkan defisit neurologis, dan pada mulanya hanya memberikan gejala-
gejala yang umum. Tumor pada fossa posterior atau pada lobus parietal dan
oksipital lebih sering memberikan gejala fokal dulu baru kemudian
memberikan gejala umum (Saanin, 2004, Bradley, 2000).
a. Sakit kepala
Merupakan gejala awal pada 20% penderita dengan tumor otak yang
kemudian berkembang menjadi 60%. Nyerinya tumpul dan intermitten.
Nyeri kepala berat juga sering diperhebat oleh perubahan posisi, batuk,
maneuver valsava dan aktivitas fisik. Muntah ditemukan bersama nyeri
kepala pada 50% penderita. Nyeri kepala ipsilateral pada tumor
supratentorial sebanyak 80 % dan terutama pada bagian frontal. Tumor
pada fossa posterior memberikan nyeri alih ke oksiput dan leher. Sakit
kepala merupakan gejala umum yang dirasakan pada tumor intrakranium.
Sifat dari sakit kepala itu adalah nyeri berdenyut-denyut atau rasa penuh
di kepala seolaholah mau meledak. Nyerinya paling hebat di pagi hari,
karena selama tidur malam PCO2 arteri serebral meningkat sehingga
mengakibatkan peningkatan dari CBF dan dengan demikian meningkatkan
lagi tekanan intrakranium. Lokalisasai nyeri yang unilateral akan sesuai
dengan lokasi tumornya.
Pada penderita yang tumor serebrinya belum meluas, mungkin saja
sakit kepala belum dirasakan. Misalnya, glioma pada tahap dini dapat
mendekam di otak tanpa menimbulkan gejala apapun. Sebaliknya,
astrositoma derajat 1 sekalipun dapat berefek buruk jika menduduki
daerah yang penting, misalnya daerah bicara motorik Brocca.
Neoplasma di garis tengah fosa kranium posterior (tumor
infratentorial) dapat dengan cepat menekan saluran CSS. Karena itu, sakit
kepala akan terasa sejak awal dan untuk waktu yang lama tidak
menunjukkan gejala defisit neurologik. Tumor infratentorial yang
berlokasi di samping (unilateral) cepat menimbulkan gejala defisit
neurologik akibat pergeseran atau atau desakan terhadap batang otak.
Maka dari itu, tuli sesisi, vertigo, ataksia, neuralgia trigeminus,
oftalmoplegia (paralisis otot-otot mata) dan paresis (paralisis ringan)
perifer fasialis dapat ditemukan pada pemeriksaan.
Definisi “sakit kepala” dan “pusing” harus dapat dibedakan dengan
jelas. Pusing kepala biasanya disebabkan oleh oftalmoplegia (yang
menimbulkan diplopia). Kombinasi pusing kepala ataupun sakit kepala
dan diplopia harus menimbulkan kecurigaan terhadapa adanya tumor
serebri, terutama tumor serebri infratentorial.
b. Muntah
Muntah sering mengindikasikan tumor yang luas dengan efek dari
massa tumor tersebut juga mengindikasikan adanya pergeseran otak.
Muntah berulang pada pagi dan malam hari, dimana muntah yang
proyektil tanpa didahului mual menambah kecurigaan adanya massa
intrakranial.
Muntah sering timbul pada pagi hari setelah bangun tidur. Hal ini
disebabkan oleh tekanan intrakranium yang meninggi selama tidur malam,
di mana PCO2 serebral meningkat. Sifat muntah dari penderita dengan
tekanan intrakranium meninggi adalah khas, yaitu proyektil atau muncrat
yang tanpa didahului mual.
c. Kejang fokal
Kejang dapat timbul sebagai gejala dari tekanan intrakranium yang
melonjak secara cepat, terutama sebagai gejala dari glioblastoma
multiform. Kejang tonik biasanya timbul pada tumor di fosa kranium
posterior.
d. Gangguan mental
Gangguan konsentrasi, cepat lupa, perubahan kepribadian, perubahan
mood dan berkurangnya inisiatif adalah gejala-gejala umum pada
penderita dengan tumor lobus frontal atau temporal. Gejala ini bertambah
buruk dan jika tidak ditangani dapat menyebabkan terjadinya somnolen
hingga koma. (4,9,10) Tumor di sebagian besar otak dapat mengakibatkan
gangguan mental, misalnya demensia, apatia, gangguan watak dan serta
gangguan intelegensi dan psikosis. Gangguan emosi juga akan terjadi
terutama jika tumor tersebut mendesak sistem limbik (khususnya
amigdala dan girus cinguli) karena sistem limbik merupakan pusat
pengatur emosi.
e. Edema Papil
Gejala umum yang tidak berlangsung lama pada tumor otak, sebab
dengan teknik neuroimaging tumor dapat segera dideteksi. Edema papil
pada awalnya tidak menimbulkan gejala hilangnya kemampuan untuk
melihat, tetapi edema papil yang berkelanjutan dapat menyebabkan
perluasan bintik buta, penyempitan lapangan pandang perifer dan
menyebabkan penglihatan kabur yang tidak menetap.
f. Seizure
Adalah gejala utama dari tumor yang perkembangannya lambat seperti
astrositoma, oligodendroglioma dan meningioma. Paling sering terjadi
pada tumor di lobus frontal baru kemudian tumor pada lobus parietal dan
temporal.
II.3.3 Gejala Lokal Space Occupying Lesion

Gejala lokal terjadi pada tumor yeng menyebabkan destruksi parenkim,


infark atau edema. Juga akibat pelepasan faktor-faktor ke daerah sekitar tumor
(contohnya : peroksidase, ion hydrogen, enzim proteolitik dan sitokin),
semuanya dapat menyebabkan disfungsi fokal yang reversibel(Saanin, 2004,
Bradley, 2000).
1. Tumor di lobus frontalis / kortikal
Sakit kepala akan muncul pada tahap awal, sedangkan muntah dan
papiludema akan timbul pada tahap lanjutan. Walaupun gangguan mental
dapat terjadi akibat tumor di bagian otak manapun, namun terutama terjadi
akibat tumor di bagian frontalis dan korpus kalosum. Akan terjadi
kemunduran intelegensi, ditandai dengan gejala “Witzelsucht”, yaitu suka
menceritakan lelucon-lelucon yang sering diulang-ulang dan disajikan
sebagai bahan tertawaan, yang bermutu rendah(Saanin, 2004, Bradley,
2000).
Kejang adversif (kejang tonik fokal) merupakan simptom lain dari tumor
di bagian posterior lobus frontalis, di sekitar daerah premotorik. Tumor di
lobus frontalis juga dapat menyebabkan refleks memegang dan
anosmia(Saanin, 2004, Bradley, 2000).
Tumor lobus frontal menyebabkan terjadinya kejang umum yang
diikuti paralisis post-iktal. Meningioma kompleks atau parasagital dan
glioma frontal khusus berkaitan dengan kejang. Tanda lokal tumor frontal
antara lain disartri, kelumpuhan kontralateral, dan afasia jika hemisfer
dominant dipengaruhi. Anosmia unilateral menunjukkan adanya tumor
bulbus olfaktorius(Saanin, 2004, Bradley, 2000).

2. Tumor di daerah presentralis


Tumor di daerah presentralis akan merangsang derah motorik sehingga
menimbulkan kejang pada sisi kontralateral sebagai gejala dini. Bila
tumor di daerah presentral sudah menimbulkan destruksi strukturil, maka
gejalanya berupa hemiparesis kontralateral. Jika tumor bertumbuh di
daerah falk serebri setinggi daerah presentralis, maka paparesis inferior
akan dijumpai(Saanin, 2004, Bradley, 2000).
3. Tumor di lobus temporalis
Bila lobus temporalis kanan yang diduduki, gejala klinis kurang
menonjol. Kecuali, bila daerah unkus terkena, akan timbul serangan
“uncinate fit” pada epilepsi. Kemudian akan terjadi gangguan pada funsgi
penciuman serta halusinasi auditorik dan afasia sensorik. Hal ini logis bila
dikaitkan dengan fungsi unkus sebagai pusat penciuman dan lobus
temporalis sebagai pusat pendengaran. Gejala tumor lobus temporalis
antara lain disfungsi traktus kortikospinal kontralateral, defisit lapangan
pandang homonim, perubahan kepribadian, disfungsi memori dan kejang
parsial kompleks(Saanin, 2004, Bradley, 2000).

4. Tumor di lobus parietalis


Tumor pada lobus parietalis dapat merangsang daerah sensorik. Jika
tumor sudah menimbulkan destruksi strukturil, maka segala macam perasa
pada daerah tubuh kontralateral yang bersangkutan tidak dapat dikenali
dan dirasakan. Han ini akan menimbulkan astereognosia dan ataksia
sensorik. Bila bagian dalam parietalis yang terkena, maka akan timbul
gejala yang disebut “thalamic over-reaction”, yaitu reaksi yang berlebihan
terhadap rangsang protopatik. Selain itu, dapat terjadi lesi yang
menyebabkan terputusnya optic radiation sehingga dapat timbul
hemianopsia Daerah posterior dari lobus parietalis yang berdampingan
dengan lobus temporalis dan lobus oksipitalis merupakan daerah penting
bagi keutuhan fungsi luhur sehingga destruksi pada daerah tersebut akan
menyebabkan agnosia (hilangnya kemampuan untuk mengenali rangsang
sensorik) dan afasia sensorik, serta apraksia (kegagalan untuk melakukan
gerakan-gerakan yang bertujuan walaupun tidak ada gangguan sensorik
dan motorik). Tumor hemisfer dominan menyebabkan afasia, gangguan
sensoris dan berkurangnya konsentrasi yang merupakan gejala utama
tumor lobus parietal. Adapun gejala yang lain diantaranya disfungsi
traktus kortikospinal kontralateral, hemianopsia/ quadrianopsia inferior
homonim kontralateral dan simple motor atau kejang sensoris(Saanin,
2004, Bradley, 2000).
5. Tumor pada lobus oksipitalis
Tumor pada lobus ini jarang ditemui. Bila ada, maka gejala yang
muncul biasanya adalah sakit kepala di daerah oksiput. Kemudian dapat
disusul dengan gangguan medan penglihatan.
Tumor lobus oksipital sering menyebabkan hemianopsia homonym yang
kongruen. Kejang fokal lobus oksipital sering ditandai dengan persepsi
kontralateral episodik terhadap cahaya senter, warna atau pada bentuk
geometri(Saanin, 2004, Bradley, 2000)
.
6. Tumor pada korpus kalosum
Sindroma pada korpus kalosum meliputi gangguan mental, terutama
menjadi cepat lupa sehingga melupakan sakit kepala yang baru dialami
dan mereda. Demensia uga akan sering timbul dosertai kejang tergantung
pada lokasi dan luar tumor yang menduduki korpus kalosum(Saanin,
2004, Bradley, 2000).

7. Tumor pada Ventrikel Tiga dan Regio Pineal


Tumor di dalam atau yang dekat dengan ventrikel tiga menghambat
ventrikel atau aquaduktus dan menyebabkan hidrosepalus. Perubahan
posisi dapat meningkatkan tekanan ventrikel sehingga terjadi sakit kepala
berat pada daerah frontal dan verteks, muntah dan kadang-kadang
pingsan. Hal ini juga menyebabkan gangguan ingatan, diabetes insipidus,
amenorea, galaktorea dan gangguan pengecapan dan pengaturan
suhu(Saanin, 2004, Bradley, 2000).

8. Tumor Batang Otak


Terutama ditandai oleh disfungsi saraf kranialis, defek lapangan
pandang, nistagmus, ataksia dan kelemahan ekstremitas. Kompresi pada
ventrikel empat menyebabkan hidrosepalus obstruktif dan menimbulkan
gejala-gejala umum(Saanin, 2004, Bradley, 2000).
9. Tumor Serebellar
Muntah berulang dan sakit kepala di bagian oksiput merupakan gejala
yang sering ditemukan pada tumor serebellar. Pusing, vertigo dan
nistagmus mungkin menonjol.
II.3.4 Gejala Lokal yang Menyesatkan
Gejala lokal yang menyesatkan ini melibatkan neuroaksis kecil dari lokasi
tumor yang sebenarnya. Sering disebabkan oleh peningkatan tekanan
intrakranial, pergeseran dari struktur-struktur intrakranial atau iskemi.
Kelumpuhan nervus VI berkembang ketika terjadi peningkatan tekanan
intrakranial yang menyebabkan kompresi saraf. Tumor lobus frontal yang difus
atau tumor pada korpus kallosum menyebabkan ataksia (frontal ataksia)
(Bradley, 2000).
Secara umum, tanda-tanda fisik yang dapat didiagnosis pada tumor
intrakranium (Bradley, 2000):
1. Papiledema (edema pada discus opticus) dapat timbul akibat tekanan
intrakranium yang meninggi atauapun karena penekanan pada nervus optikus
secara langsung. Papil akan terlihat berwarna merah tua dan ada perdarahan
di sekitarnya. Untuk melihat papiledemea, dapat dilakukan funduskopi atau
oftalmoskopi. Karena ruang subarachnoid pada otak berlanjut hingga medula
spinalis, maka peningkatan tekanan intrakranial juga akan tercermin pada
ruang subarachnoid di medula spinalis. Pada kedaan demikian, fungsi lumbal
tidak boleh dilakukan dapat menyebabkan herniasi serebelum di foramen
magnus yang dapat mengkahiri kehidupan.
2. Pada anak-anak, tekanan intrakranium yang meningkat dapat menyebabkan
ukuran kepala membesar atau terenggannya sutura.
3. Tekanan intrakranium yang meninggi mengakibatkan iskemi dan gangguan
pada pusatpusat vasomorotik serebral, sehingga menimbulkan bradikardi
(melambatnya denyut jantung) atau tekanan darah sistemik meningkat secara
progresif
4. Irama dan frekuensi pernapasan berubah. Kompresi pada batang otak dari
luar akan mempercepat pernafasan, sedangkan kompresi sentral rostro-kaudal
terhadap batang otak menyebabkan pernafasan yang lambat namun dalam.
5. Bagian-bagian dari tulang tengkorak dapat mengalami destruksi. Penipisan
tulang biasanya disebabkan meningioma yang bulat, sedangkan penebalan
tulang sebagai akibat rangsang dari meningioma yang gepeng.
II.4 Penegakan Diagnostik SOL Intrakranial

Perubahan Tanda Vital (Lombardo,2006, Thamburaj, 2008, Eccher,2004 ):


a. Denyut Nadi
Denyaut nadi relatif stabil selama stadium awal dari peningkatan ICP, terutama
pada anak-anak. Bradikardi merupakan mekanisme kompensasi yang mungkin terjadi
untuk mensuplai darah ke otak dan mekanisme ini dikontrol oleh tekanan pada
mekanisme reflex vagal yang terdapat di medulla. Apabila tekanan ini tidak
dihilangkan, maka denut nadi akan menjadi lambat dan irregular dan akhirnya
berhenti.
b. Pernapasan
Pada saat kesadaran menurun, korteks serebri akan lebih tertekan daripada batang
otak dan pada pasien dewasa, perubahan pernafasan ini normalnya akan diikuti
dengan penurunan level dari kesadaran.Perubahan pada pola pernafasan adalah hasil
dari tekanan langsung pada batang otak. Pada bayi, pernafasan irregular dan
meningkatnya serangan apneu sering terjadiantara gejala-gejala awal dari peningkatan
ICP yang cepat dan dapat berkembang dengan cepat ke respiratory arrest.
c. Tekanan Darah
Tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil selama stadium awal dari
peningkatan ICP, terutama pada anak-anak. Dengan terjadinya peningkatan ICP,
tekanan darah akan meningkat sebagai mekanisme kompensasi; Sebagai hasil dari
respon Cushing, dengan meningkatnya tekanan darah, akan terjadi penurunan dari
denyut nadi disertai dengan perubahan pada pola pernafasan. Apabila kondisi ini terus
berlangsung, maka tekanan darah akan mulai turun .
d. Suhu Tubuh
Selama mekanisme kompensasi dari peningkatan ICP berlangsung, suhu tubuh
akan tetap stabil. Ketika mekanisme dekompensasi berubah, peningktan suhu tubuh
akan muncul akibta dari disfungsi dari hipotalamus atau edema pada traktus yang
menghubungkannya.
e. Reaksi Pupil
Serabut saraf simpatis menyebabkan otot pupil berdilatasi. Reaksi pupil yang
lebih lambat dari normalnya dapat ditemukan pada kondisi yang menyebabkan
penekanan pada nervus okulomotorius, seperti edema otak atau lesi pada otak.
Penekanan pada n. Oklulomotorius menyebabkan penekanan ke bawah, menjepit
n.Okkulomotorius di antara tentorium dan herniasi dari lobus temporal yang
mengakibatkan dilatasi pupil yang permanen. N. okulomotorius (III) berfungsi untuk
mengendalikan fungsi pupil. Pupil harus diperiksa ukuran, bentuk dan
kesimetrisannya dimana ketika dibandingkan antara kiri dan kanan, kedua pupil harus
memiliki ukuran yang sama. Normalnya, konstriksi pupil akan terjadi dengan cepat.
Pemeriksaan fisik neurologis dalam menegakan diagnosis
a. Pemeriksaan mata yaitu ukuran pupil,bentuknya dan reaksinya terhadap
cahaya,pemeriksaan visus dan lapang pandang penglihatan serta pemeriksaan
gerakan bola mata
b. Pemeriksaan funduskopi untuk menentukan oedema pada papil nervus optikus
atau atrofi papil nervus optikus et causa papil odema tahap lanjut.
c. Pemeriksaan motorik yaitu gerak, kekuatan, tanus, trofi, refleks fisiologi,
reflek patologis, dan klonus.
d. Pemeriksaan sensibilitas.
Pemeriksaan Penunjang
 Elektroensefalografi (EEG)
 Foto polos kepala
 Arteriografi
 Computerized Tomografi (CT Scan)
 Magnetic Resonance Imaging (MRI)

II.5 Penatalaksanaan Keluhan dan Gejala Disebabkan Space Occupying Lesion


Penanganan yang terbaik untuk peningkatan ICP adalah pengangkatan dari lesi
penyebabnya seperti tumor, hidrosefalus, dan hematoma. Peningkatan ICP pasca
operasi jarang terjadi hari-hari ini dengan meningkatnya penggunaan mikroskop dan
teknik khusus untuk menghindari pengangkatan otak. Peningkatan ICP adalah sebuah
fenomena sementara yang berlangsung untuk waktu yang singkat kecuali ada cedera
sekunder segar karena hipoksia, bekuan atau gangguan elektrolit. Pengobatan ditujukan
untuk mencegah peristiwa sekunder. ICP klinis dan pemantauan akan membantu.
Berikut merupakan tindakan yang dapat dilakukan(Widjoseno, 2004, Eccher,2004 )
Trauma
1. Penanganan Primer
Tindakan utama untuk peningkatan ICP adalah untuk mengamankan ABCDE
(primary survey) pada pasien. Banyak pasien dengan peningkatan ICP
memerlukan intubasi. Pasien dengan skor GCS kurang dari 8 harus diintubasi
untuk melindungi airway. Yang menjadi perhatian utama pada pemasangan
intubasi ini adalah intubasi ini mampu memberikan ventilasi tekanan positif yang
kemudian dapat meningkatkan tekanan vena sentral yang kemudian akan
menghasilkan inhibisi aliran balik vena sehingga akan meningkatkan ICP (Kaye,
2005, Eccher,2004 ).
Hati-hati dalam memperhatikan gizi, elektrolit, fungsi kandung kemih dan
usus. Pengobatan yang tepat untuk infeksi berupa pemberian antibiotik harus
dilaksanakan dengan segera. Pemberian analgesia yang memadai harus diberikan
walaupun pasien dalam kondisi di bawah sadar (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
Posisi kepala pasien juga harus diperhatikan. Elevasi pada kepala dapat
menurunkan ICP pada komdisi normal dan pada pasien dengan cedera kepala
melalui mekanisme penurunan tekanan hidrostatis CSF yang akan menghasilkan
aliran balik vena. Sudut yang dianjurkan dan umumnya digunakan untuk elevasi
pada kepala adalah 30o. Pasien harus diposisikan dengan kepala menghadap lurus
ke depan karena apabila kepala pasien menghadap ke salah satu sisinya dan
disertai dengan fleksi pada leher akan meynebabkan penekanan pada vena
jugularis interna dan memperlambat aliran balik vena(Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
Hipoksia sistemik, gangguan hemodinamik dan gangguan pada autoregulasi
yang kemudian disertai dengan kejang dapat membahayakan kondisi pasien
dengan peningkatan ICP. Sehingga banyak praktisi kesehatan yang kemudian
menggunakan terapi profilaksis fenitoin, terutama pada pasien dengan cedera
kepala, perdarahan subaraknoid, perdarahan intrakranial, dan kondisi yang
lainnya. Penggunaan fenitoin sebagai profilaksis pada pasein dengan tumor otak
dapat menghasilkan penurunan resiko untuk terjadinya kejang, tapi dengan efek
samping yang juga cukup besar(Kaye, 2005, Eccher,2004 )
2. Penanganan Sekunder
 Hiperventilasi digunakan pada pasien dengan skor GCS yang lebih dari 5.
Pembuluh darah otak merespon dengan cepat pada perubahan PaCO2.
PaCO2 yang rendah dapat menyebabkan vasokonstriksi, yang kemudian
akan mengurangi komponen darah dalam volume intrakranial, dimana
peningkatan PaCO2 menyebabkan vasodilatasi. Hiperventilasi bertujuan
menjaga agar PaCO2 berada pada level 25 – 30 mm Hg sehingga CBF
akan turun dan volume darah otak berkurang dan dengan demikian
mengurangi ICP. Hiperventilasi yang berkepanjangan harus dihindari dan
menjadi tidak efektif setelah sekitar 24 jam. Kecenderungannya adalah
untuk menjaga ventilasi normal dengan PaCO2 di kisaran 30 – 35 mmHg
dan PaO2 dari 120-140 mmHg. Ketikaa ada pemburukan klinis seperti
dilatasi pupil atau tekanan nadi melebar, hiperventilasi dapat dilakukan
(sebaiknya dengan Ambu bag) sampai ICP turun. Hyper barik O2,
hipotermia masih dalam tahap percobaan, terutama di Jepang. Mereka
pada dasarnya menyebabkan vasokonstriksi serebral dan mengurangi
volume darah otak dan ICP (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
 Osmotherapi berguna dalam tahap edema sitotoksik, ketika permeabilitas
kapiler yang masih baik, dengan meningkatkan osmolalitas serum. Manitol
masih merupakan obat yang baik untuk mengurangi ICP, tetapi hanya jika
digunakan dengan benar: itu adalah diuretik osmotik yang paling umum
digunakan. Hal ini juga dapat bertindak sebagai scavenger radikal bebas.
Manitol tidak inert dan tidak berbahaya. Gliserol dan urea merupak
golongan yang jarang digunakan hari ini. Beberapa teori telah
dikemukakan mengenai mekanisme yang mengurangi ICP (Kaye, 2005,
Eccher,2004 ).
a. Dengan meningkatkan fleksibilitas eritrosit, yang menurunkan
viskositas darah dan menyebabkan vasokonstriksi yang mengurangi
volume darah otak dan menurunkan ICP dan dapat mengurangi
produksi CSF oleh pleksus choroideus. Dalam dosis kecil dapat
melindungi otak dari iskemik karena fleksibilitas eritrosit meningkat
(Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
b. Efek diuretik terutama di sekitar lesi, di mana integritas sawar darah
otak terganggu dan tidak ada pengaruh yang signifikan pada otak
normal. Lesi intraaxial merespon lebih baik dari lesi ekstra aksial
(Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
c. Teori lain adalah, manitol dengan menarik air di ependyma dari
ventrikel dengan cara analog dengan yang dihasilkan oleh drainase
ventrikel. Dosis tradisional adalah 1 gm/kg/24 jam 20% sampai 25% iv
baik sebagai bolus atau lebih umum secara bertahap. Tidak ada peran
untuk dehidrasi. Efek Manitol pada ICP maksimal adalah 1 / 2 jam
setelah infus dan berlangsung selama 3 atau 4 jam sebagai sebuah
aturan. Dosis yang benar adalah dosis terkecil yang akan berpengaruh
cukup terhadap ICP. Ketika dosis berulang diperlukan, penggunaan
garis dasar osmolalitas serum meningkat secara bertahap dan saat ini
melebihi 330 mosm / 1 terapi manitol harus dihentikan. Penggunaan
lebih lanjut tidak efektif dan cenderung menimbulkan gagal ginjal.
Diuretik seperti furosemid, baik sendiri atau bersama dengan bantuan
manitol untuk mempercepat ekskresi dan mengurangi osmolalitas
serum awal sebelum dosis berikutnya. Beberapa mengklaim, bahwa
furosemid manitol dapat meningkatkan output. Beberapa memberikan
furosemid sebelum manitol, sehingga mengurangi overload sirkulasi.
Fenomena rebound adalah karena pembalikan gradien osmoICP
sebagai akibat kebocoran progresif dari agen osmotik melintasi
penghalang darah otak rusak, atau karena ICP yang meningkat kembali
(Kaye, 2005, Eccher,2004).
3. Barbiturat dapat menurunkan ICP ketika tindakan-tindakan lain gagal, tetapi tidak
memiliki nilai profilaksis. Mereka menghambat peroksidasi lipid dimediasi radikal
bebas dan menekan metabolisme serebral; persyaratan metabolisme otak dan
dengan demikian volume darah otak yang berkurang mengakibatkan penurunan
ICP. Fenobarbital yang paling banyak digunakan. Dosis 10 mg / kg pemuatan
lebih dari 30 menit dan 1-3mg/kg setiap jam secara luas digunakan. Fasilitas untuk
memantau dekat ICP dan ketidakstabilan hemodinamik harus menemani setiap
terapi obat tidur (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
4. Dosis tinggi terapi steroid sangat populer beberapa tahun yang lalu dan masih
digunakan oleh beberapa ahli. Ini mengembalikan integritas dinding sel dan
membantu dalam pemulihan dan mengurangi edema. Barbiturat dan agen anestesi
lain mengurangi tekanan CBF dan arteri sehingga mengurangi ICP. Selain itu
mengurangi metabolisme otak dan permintaan energi yang memfasilitasi
penyembuhan lebih baik (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
5. Hipotermi dapat digunakan sebagai terapi adjuvant terhadap terapi yang lain.
Temperatur tubuh dibuat menjadi lebih rendah dari temperature tubuh yang
normal yaitu sekitar 32°C – 34 °C. Metode ini dapat mungkin menurunkan ICP
dengan menurunkan metabolisme dari otak. Metode terapi hipotermia selama 48
jam atau kurang dapat dipertimbangkan pada pasien dengan TCB. Metode terapi
ini selama 8 jam atau lebih dapat dipertimbangkan untuk terapi pada peningkatan
ICP.. Penggunaan metode ini hanya direkomendasikan pada ahli yang
berpengalaman yang benar-benar mengerti perubahan fisiologi yang berhubungan
dengan hipotermia dan mampu merespon dengan cepat perubahan tersebut.
Komplikasi dari metode hipotermia ini meliputi depresi jantung pada suhu di
bawah 32°C. dan peningkatan insiden komplikasi berupa infeksi seperti
pneumonia telah dilaporkan pada metode terapi ini(Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
Penggunaan Koagulopati. Kerusakan parenkim otak yang berat dapat
terjadi karena adanya pelepasan thromboplastin pada jaringan diamana hal ini
akan mengaktivasi faktor instrinsik. Sindroma klinis didiagnosa dengan adanya
pemanjangan PT dan aktivasi sebagian dari nilai APTT, penurunan level
fibrinogen, peningkatan level fibrin, dan penurunan jumlah platelet. APTT yang
memanjang ditangani dengan memberikan fresh frozen plasma. Kadar Fibrinogen
di bawah 150 mg/dL memerlukan penanganan berupa pemberian krioprecipitate.
Pemberian platelet harus dilakukan untuk mengobati nyeri kepala pada pasien
dengan jumlah platelet yang kurang dari 100.000/ml bila waktu perdarahan
memanjang(Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
6. Intervensi bedah
Tekanan intrakranial (intracranial pressure, ICP) dapat diukur secara
kontinu dengan menggunakan transduser intrakranial. Kateter dapat dimasukkan
ke dlam entrikel lateral dan dapat digunakan untuk mengeluarkan CSF dengan
tujuan untuk mengurangi ICP. Drain tipe ini dikenal dengan EVD
(ekstraventicular drain). Pada situasi yang jarang terjadi dimana CSf dalam jumlah
sedikit dapat dikeluarkan untuk mengurangi ICP, Drainase ICP melalui punksi
lumbal dapat digunakan sebagai suatu tindakan pengobatan (Eccher,2004 ,Gulli.
Dkk, 2010).
Kraniotomi adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk mengeluarkan
hematom di di dalam ruangan intrakranial dan untuk mengurangi tekanan
intrakranial dari bagian otak dengan cara membuat suatu lubang pada tulang
tengkorak kepala. Kranioektomi adalah suatu tindakan radikal yang dilakukan
sebagai penanganan untuk peningkatan tekanan intrakranial, dimana dilakukan
pengangkatan bagian tertentu dari tulang tengkorak kepala dan duramater
dibebaskan agar otak dapat membesar tanpa adanya herniasi. Bagian dari tulang
tengkorak kepala yang diangkat ini desebut dengan bone flap. Bone flap ini dapat
disimpan pada perut pasien dan dapat dipasang kembali ketika penyebab dari
peningkatan ICP tersebut telah disingkirkan. Material sintetik digunakan sebagai
pengganti dari bagian tulang tengkorak yang diangkat. Tindakan pemasangan
material sintetik ini dkenal dengan cranioplasty(Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).
Kraniotomi adalah salah satu bentuk dari operasi pada otak. Operasi ini
paling banyak digunakan dalam operasi untuk mengangkat tumor pada otak.
Operasi ini juga sering digunakan untuk mengangkat bekuan darah (hematom),
untuk mengontrol perdarahan, aneurisma otak, abses otak, memperbaiki
malformasi arteri vena, mengurangi tekanan intrakranial, atau biopsi (Gulli. Dkk,
2010).
Sebelum melakukan tindakan kraniotomi, terlebih dahulu harus dilakukan
pemeriksaan penunjang untuk memastikan penyebab dan lokasi dari lesi di otak.
Oleh karena itu dilakuakn neuroimaging. Neuroimaging yang dapat dilakukan
adalah (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010):
 CT scan
 MRI
 Arteriogram
Pasien yang akan dilakuakn tindakan kraniotomi dpat diberikan
pengobatan terlebih dahulu untuk mengurangi rasa cemas dan mengurangi resiko
terjadinya kejang, edema, dan infeksi setelah operasi. Obata-obatan seperti
heparin, aspirin dan golongan NSAID memiliki hubungan dengan meningkatnya
bekuan darah yang terjadi pasca operasi. Obat-obatan ini harus disuntikkan 7 hari
sebelum operasi agar efeknya hilang sebelum operasi dilakukan.Sebagai
tambahan, dibutuhkan pemeriksaan laboratorium yang rutin atau yang khusus
sesuai dengan kebutuhan. Pasien tidak boleh makan dan minum 6-8 jam sebelum
operasi dan kepala pasien harus dicukur sesaat sebelum operasi dimulai
(Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).
Ada dua metode yang umumnya digunakan untuk membuka tengkorak.
Insisi dibuat pada daerah leher di sekitar os. Occipital atau insisi melengkung yang
dibuat di bagian depan telinga yang melengkung ke atas mata. Insisi dilakukan
hingga sejauh membran tipis yang membungkus tulang tengkorak kepala. Selama
insisi dilakukan, ahli bedah harus menutup pembuluh darah kecil sebanyak
mungkin. Hal ini dikarenakan scalp merupakan daerah yang kaya akan suplai
darah(Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).
Scalp ditarik ke belakang agar tulang dapat terlihat. Dengan menggunakan
bor kecepatan tinggi, dilakukan pengeboran mengikuti pola lubang dan lakukan
pemotongan mengikuti pola lubang yang telah ada hingga bone flap dapat
diangkat. Hal ini akan memberikan akses ke dalam kraium dan memudahkan
untuk melakukan operasi di dalam otak. Setelah mengangkat lesi di dalam otak
atau setelah prosedur yang lainnya selesai, tulang dikembalikan ke posisi semula
dengan menggunakan kawat halus. Membran, otot, dan kulit dijahit dalam
posisinya. Apabila lesinya adalah suatu aneurisma, maka arteri yang terlibat
diklem. Apabila lesinya adalah tumor, sebanyak mungkin bagian dari tumor ini
diangkat. Untuk kelainan malformasi arteri vena, kelainannya dipotong kemudian
disambung kembali dengan pembuluh darah yang normal (Eccher,2004 ,Gulli.
Dkk, 2010)
Hidrosepalus
Tindakan bedah pada hidrosefalus sesungguhnya telah dirintis sejak beberapa
abad yang silam oleh Ferguson pada tahun 1898 berupa membuat shunt atau pintasan
untuk mengalirkan cairan otak di ruang tengkorak yang tersumbat ke tempat lain
dengan menggunakan alat sejenis kateter berdiameter kecil. Cara mekanik ini terus
berkembang, seperti Matson (1951) menciptakan pintasan dari rongga ventrikel ke
saluran kencing (ventrikulo ureter), Ransohoff (1954) mengembangkan pintasan dari
rongga ventrikel ke rongga dada (ventrikulo-pleural). Selanjutnya, Holter (1952),
Scott (1955), dan Anthony J Raimondi (1972) memperkenalkan pintasan ke arah
ruang jantung atria (ventrikulo-atrial) dan ke rongga perut (ventrikulo-peritoneal)
yang alirannya searah dengan menggunakan katup pengaman.Teknologi pintasan
terus berkembang dengan ditemukan bahan-bahan yang inert seperti silikon yang
sebelumnya menggunakan bahan polietilen. Hal itu penting karena selang pintasan itu
ditanam di jaringan otak, kulit, dan rongga perut dalam waktu yang lama bahkan
seumur hidup penderita sehingga perlu dihindarkan efek reaksi penolakan oleh tubuh.
Tindakan dilakukan terhadap penderita yang telah dibius total, ada sayatan kecil di
daerah kepala dan dilakukan pembukaan tulang tengkorak dan selaput otak yang
selanjutnya selang pintasan ventrikel di pasang, disusul kemudian dibuat sayatan kecil
di daerah perut, dibuka rongga perut lalu ditanam selang pintasan rongga perut antara
kedua ujung selang tersebut dihubungkan dengan sebuah selang pintasan yang
ditanam di bawah kulit sehingga tidak terlihat dari luar (Rosmini,2008).
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN KELOLAAN

PENGKAJIAN KEPERAWATAN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. SA
Umur : 64 tahun 11 Bulan (2 Juni 1954)
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Suka Merindu, Kecamatan Pemulutan Barat OI-SUMSEL
Status marital : Menikah
Agama : Islam
Suku : Sumsel
Tanggal MRS : 20-04-2019
Tanggal pengkajian : 09-05-2019
Sumber informasi : Keluarga pasien

Keluarga yang dapat dihubungi


Nama : Tn. MS
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Suka Merindu, Kecamatan Pemulutan Barat OI-SUMSEL

B. STATUS KESEHATAN SAAT INI


1. Keluhan Utama
Pasien mengalami penurunan kesadaran
2. Riwayat Penyakit Dahulu
Keluarga pasien mengatakan sebelumnya pasien memiliki riwayat hipertensi satu
terakhir namun tidak rutin meminum obat antihipertensi.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada awalnya, pasien dibawa keluarga ke Rumah Sakit Aroyah Indralaya
dikarenakan terdapat peningkatan tekanan darah dan kolesterol (keluarga tidak ingat
terkait tekanan darah dan kolesterol saat itu). Namun, kondisi pasien saat itu masih
dalam kondisi sadar. Selama 1 minggu dirawat di rumah sakit tersebut, pasien tidak
mengalami perkembangan yang signifikan. Pasien kemudian dirujuk ke RS Bari
Palembang dikarenakan mengalami penurunan kesadaran dan dilakukan pemeriksaan
MRI sehingga didapatkan diagnosa medis berupa SOL dan terdapat benjolan di
bagian otak. Seminggu kemudian, pasien dirujuk ke RSUP dr.Mohammad Hoesin
Palembang untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut. Pasien mengalami penurunan
keadaran perlahan-lahan berupa sedikit bicara dan tampak mengantuk. Sebelumnya
pasien mengeluh pusing, mengalami hemiparesis, gangguan sensibilitas berupa rasa
baal, dan kesemutan.
4. Diagnosa Medis
SOL intracranial midline cerebri occipital bilateral + DM tipe II dd hiperglikemia
induced steroid + hemiparese duplex flaccyd
C. RIWAYAT BIOLOGIS
1. Pola Nutrisi
Keluarga mengatakan sebelum sakit pasien makan dengan pola makan teratur, pasien
hanya menghabiskan 1 porsi makanan dan tidak menambah porsi, pasien tidak terlalu
sering makan makanan yang manis. Sebelum sakit, pasien memiliki berat badan
sebesar 67 Kg. Selama di rumah sakit, pasien makan melalui selang NGT, diet cair
150 kkal 3x sehari. Saat ini, pasien memiliki berat badan sebesar 62 Kg.
2. Pola Eliminasi
Keluarga mengatakan sebelum sakit pasien BAB dan BAK secara mandiri. Setelah
dirawat di rumah sakit, pasien terpasang selang kateter dan menggunakan pampers.
3. Pola Istirahat dan Tidur
Keluarga pasien mengatakan sebelum masuk rumah sakit pasien tidur dan istirahat
teratur. Selama di rumah sakit, pasien hanya terbaring di tempat tidur dan mengalami
penurunan kesadaran.
4. Pola Aktivitas dan Bekerja
Sebelum sakit, pasien mampu melakukan aktivitas secara mandiri. Pasien merupakan
ibu rumah tangga dan aktif dalam kegiatan keagamaan di lingkungan tempat
tinggalnya. Setelah masuk rumah sakit, pasien hanya berbaring diatas kasur dan tidak
dapat berjalan.

Kebutuhan personal hygiene

Sebelum sakit Selama sakit


Pola Aktivitas
0 1 2 3 4 0 1 2 3 4
Makan √ √
Minum √ √
Mandi √ √
Toileting √ √
Berpakaian √ √
Mobilisasi √ √
Keterangan:
0 = Mandiri
1 = Memerlukan alat
2 = Memerlukan bantuan
3 = Memerlukan alat dan bantuan
4 = Tergantung
D. RIWAYAT KELUARGA

Keterangan:
: Laki-laki
: Perempuan
/ : Laki-laki meninggal/ Perempuan meninggal

: Hubungan Anak dan Orang Tua

: Hubungan Saudara
: Tinggal serumah
: Pasien

E. PENGKAJIAN FISIK
1. Kepala
Bentuk bulat, tidak ada perdarahan, rambut berwarna hitam keputihan (uban), tidak
ada luka.

2. Sistem Neurologi:
a. Kesadaran: somnolen
b. GCS: E3M5V afasia
c. Nervus cranial:
NIII : Pupil bulat, isokor, 4 mm
NIV, NV, NVI : kedudukan mata di tengah deviasi conjugate (-)
NVII : plisa nasolabialis kiri datar
NXII : deviasi lidah bdd, disatria bdd
d. Motorik : gerakan dan kekuatan lateralisasi menurun, tonus otot
menurun 2 2

1 1

3. Sistem Penglihatan:
a. Bentuk: Simetris
b. Tanda radang: Tidak ada
c. Sklera: Tidak ikterus
d. Akomodasi: Tidak dapat dikaji
e. Konjungtiva: Tidak anemis
f. Alat bantu: Tidak menggunakan alat bantu
g. Ukuran pupil: 4 mm

4. Sistem Pernapasan
a. Pola napas: reguler
b. Suara paru: vesikular
c. Respiration rate: 24 kali/menit
d. Retraksi intercostal: Ada
e. Reflek batuk: Ada, namun lemah
f. Pasien tampak sesak napas
g. Terpasang NRM 7 lpm

5. Sistem Kardiovaskuler
a. CRT: > 2 detik
b. Perubahan warna kulit: Ada, terdapat bintik merah di sekitar area leher
c. Clubbing finger: Tidak ada
d. Edema: Pada ekstremitas bawah
e. Akral: Dingin
f. Gallop: tidak ada
g. Mur-mur : tidak ada
h. Tekanan darah : 140/90 mmHg
i. Nadi : 83x permenit

6. Sistem Pencernaan
a. Berat badan: 62 Kg
b. Tinggi badan: 163 cm
c. Bising usus: 8 x/menit
d. Eliminasi
1) Frekuensi BAB: BAB menggunakan diapers, ± 100 cc/ hari.
2) Frekuensi BAK: pasien menggunakan foley kateter hari pemasangan ke-
3) Keluhan/gangguan: Tidak ada
4) Terpasang kateter: Pasien terpasang foley kateter hari pemasangan ke
5) Urine Output: 450 cc/ hari

7. Sistem Reproduksi
a. Perdarahan: Tidak ada
b. Keluhan: Tidak ada

8. Sistem Integumen
a. Warna kulit: Sawo matang
b. Tekstur: Halus
c. Nyeri tekan: Tidak dapat dikaji
d. Turgor kulit: Tidak elastis, kembali dalam > 3 detik (edema)
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. MRI Kepala
Tanggal 26 April 2019
Kesan : gambaran meningoencephalitis. Lesi dengan peripheral enchancement dan
blooming artefact di substansia alba dengan perietal bilateral.

2. Rontgen Thorax
Tanggal 21 April 2019
Kesan : Kardiomegali disertai edema paru, efusi pleura kiri, suspect efusi pleura
kanan sub pulmonum.

3. Laboratorium
Tanggal 8 Mei 2019

Jenis pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Hematologi
Hemoglobin (Hb) 6,9* g/dL 11.40-15.00 g/dL
Eritrosit (RBC) 2.90 106/mm3 4.00-5.70 106/mm3
Leukosit (WBC) 12.73 103/mm3 4.73-10.89 103/mm3
Hematokrit 26 % 35-45 %
Trombosit (PLT) 353 103/μL 169-436 103/μL
RDW-CV 17.60 % 11-15 %

Hitung Jenis Leukosit


Basofil 0% 0-1 %
Eosinofil 0% 1-6 %
Netrofil 88 % 50-70 %
Limfosit 5% 20-40 %
Monosit 7% 2-8 %

Faal Hemostasis
PT+INR
 Kontrol 13.80 detik
 Pasien 48.1* detik 12-18 detik
Nilai kritis : >30
54
INR
APTT
32.5 detik
 Kontrol 27-42 detik
57,0* detik
 Pasien Nilai kritis : >78

Fibrinogen
 Kontrol 358.0 mg/dL 200-400
 Pasien Nilai kritis : <100 - >800 mg/dL
37.0 mg/dL < 0.3 μg/mL

D-dimer
0.94 μg/mL
Kimia Klinik 4.0-6.5
Hb – A1c

Ginjal 5.6 16.6-48.5 mg/dL


Ureum 0.50-0.90 mg/dL
Kreatinin Nilai kritis : >5 (bukan pasien
36 mg/dL dialysis)
0.49* mg/dL

ELEKTROLIT 8.4-9.7 Nilai kritis <6->13


Kalsium (Ca)
135-155 Nilai kritis <120- >160
Natrium (Na)
8.0 mg/dL 3.5-5.5 Nilai kritis <2.5- >6.2
Kalium (K)
138 mEq/L

3.2 mEq/L

G. TERAPI SAAT INI (Tanggal 15 April 2019)


a. Omeprazole 40 mg/24 jam IV
b. Ceftriaxone 2 gr/ 12 jam IV
c. Dexamethasone 5 gr/ 24 jam IV
d. Paracetamol 500 mg/ 8 jam PO
e. Neurodex 1x/ 24 jam PO
f. Glauron 500 mg/8 jam PO
g. Simare 1 gr/ 24 jam PO
h. IVFD NS 0.9% gtt 20x/ menit
ANALISA DATA

Data Pohon masalah Masalah


keperawatan
DS: Gangguan Perfusi cerebral
Pasien tidak terkaji autoregulasi tidak efektif
Keluarga mengatakan Ny.SA
kondisinya sangat lemah
Keluarga mengatakan Ny.SA hanya Aliran darah ke otak
terbaring di bed menurun

DO :
 Ku lemah O2 menurun
 Pasien bedrest
 Pupil isokor 4 mm
 TD: 140/90 mmHg Peningkatan asam
 HR : 83x/menit laktat
 RR : 24x/menit
 Suhu : 36,5 C
Oedema otak
 E3M2Vafasia
 Hasil MRI menunjukan
pasien mengalami SOL Gangguan perfusi
 Hb 6,9 g/dL jaringan cerebral

DS: Suplai darah ke Pola napas


Pasien tidak terkaji jaringan serebral tidak efektif
Keluarga mengatakan pasien susah menurun
untuk pernafas ↓
Vasospasme arteri
DO: dan saraf
 Kesadaran: Sopor ↓
 Keadaan umum: pasien TIK meningkat/
tampak lemah herniasi otak
 TD: 150/90 mmHg ↓
 HR: 83x/menit Penekanan saluran
 RR : 24x/menit pernafasan (depresi
 0
T: 36,5 C pernapasan)

 Terpasang O2 NRM 15 lpm
pola napas terganggu
 CRT 4 detik (>2 detik)

 Hb 6,9 g/dL
Polanapastidakefektif
 Hasil rontgen kardiomegali
dan efusi pleura
 Pasien menggunakan
pernafasan perut
 Terpasang ngt
 Hasil MRI menunjukan
SOL

DS: Suplai Intoleransi


 Pasien tidak terkaji aktivitas
 Keluarga mengatakan O2 dan nutrisi ke
Ny.SA kondisinya sangat
lemah jaringan ↓
 Keluarga mengatakan
Ny.SA hanya terbaring di
bed
Metabolisme↓

 DO:
 Motorik : Produksi energi
gerakan dan kekuatan ↓
lateralisasi menurun, tonus
otot menurun 22
ATP ↓
1 1
Kelemahan
 KU Lemah
 Pasien melakukan semua
aktivitas dibantu oleh
keluarga
 Pasien hanya terbaring di
tempat tidur
 GCS E3M2Vafasia

DS: Proses metabolism Resiko infeksi


 Pasien tidak terkaji dalam otak terganggu
 Keluarga mengatakan 
Ny.SA kondisinya sangat Penurunan suplai
lemah darah dan oksigen ke
 Keluarga mengatakan otak
Ny.SA hanya terbaring di 
bed Arteri vertebra
basiliaris dan arteri
DO: serebri media
 Pasien terpasang kateter 
Kerusakan N.XI
 Pasien terpasang selang ngt

 Tirah baring lama
Penurunan fungsi
 Pasien bedrest motorik dan
musculoskeletal

Kelemahan pada
anggota gerak

Hemiparase/plegi

Tirah baring lama

Resiko infeksi

Prioritas masalah
1. Perfusicerebral tidak efektif
2. Pola napas tidak efektif
3. Intoleransi aktivitas
4. Resiko infeksi

Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan gangguan
autoregulasi di otak.
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penekanan pada saluran
pernapasan akibat terjadinya peningkatan TIK.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan suplai oksigen
dan nutrisi ke jaringan.
4. Resiko infeksi berhubungan dengan tirah baring terlalu lama.
INTERVENSI KEPERAWATAN

Diagnosa keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan

Diagnosa keperawatan : Stelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 Peripheral Sensation Management (Manajemen
Perfusi cerebral tidak efektif jam diharapkan Gangguan perfusi jaringan berkurang sensasi perifer) (2660)
Ds: pasien dengan penurunan atau tidak meluas selama dilakukan tindakan 1. Monitor tingkat kesadaran
kesadaran perawatan. 2. Monitor adanya daerah tertentu yang hanya peka
Kriteria Hasil : terhadap panas/dingin/tajam/tumpul
Do : 1. Tekanan systole dan diastole dalam rentang yang 3. Monitor adanya paretese
- ku lemah diharapkan 4. Instruksikan keluarga untuk mengobservasi kulit
- pasien bedrest 2. Akral hangat jika ada lsi atau laserasi
- pupil isokor 3. RR 16-20x/menit 5. Gunakan sarun tangan untuk proteksi
- TD: 140/90 mmHg 4. SpO2 > 98% 6. Batasi gerakan pada kepala, leher dan punggung
- HR : 83x/menit 5. Tidak ada sianosis perifer 7. Monitor kemampuan BAB
- RR : 24x/menit 8. Kolaborasi pemberian terapi medik
- suhu : 36,5 C 9. Monitor adanya tromboplebitis
- E3M5V afasia 10. Diskusikan menganai penyebab perubahan
kondisi
Diagnosa Keperawatan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24
Pola napas tidak efektif jam. diharapkan pola nafas efektif dengan Kriteria
Hasil : Airway Managementi (3140)
Ds: pasien dengan penurunan 1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas 1. Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift
kesadaran yang bersih atau jaw thrust bila perlu
2. Tidak ada sianosis dan dyspnea 2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan
Do: 3. Mampu bernafas dengan mudah ventilasi
- Kesadaran: somnolen 4. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak 3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat
- Keadaan umum: pasien merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan jalan nafas buatan
tampak lemah dalam rentang normal, tidak ada suara nafas 4. Pasang mayo bila perlu
abnormal) 5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
- TD: 150/90 mmHg 5. Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan 6. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
HR: 83x/menit darah, nadi, pernafasan) 7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
RR : 24x/menit 6. mudah tambahan
T : 36,50 C 7. Tidak ada retraksi dada, pernafasan cuping hidung 8. Lakukan suction pada mayo
- Terpasang O2 NRM 15lpm dan pursed lips 9. Berikan bronkodilator bila perlu
10. Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl
Lembab
11. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
keseimbangan.
12. Monitor respirasi dan status O2

Oxygen therapy (3320)


1. Bersihkan mulut, hidung dan secret
trakea
2. Pertahankan jalan nafas yang paten
3. Atur peralatan oksigenasi
4. Monitor aliran oksigen
5. Pertahankan posisi pasien
6. Onservasi adanya tanda tanda
hipoventilasi
7. Monitor adanya kecemasan pasien
terhadap oksigenasi

Vital sign Monitoring(6680)


1. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
2. Catat adanya fluktuasi tekanan darah
3. Monitor VS saat pasien berbaring, duduk, atau
berdiri
4. Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan
5. Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan
setelah aktivitas
6. Monitor kualitas dari nadi
7. Monitor frekuensi dan irama pernapasan
8. Monitor suara paru
9. Monitor pola pernapasan abnormal
10. Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit
11. Monitor sianosis perifer
12. Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang
melebar, bradikardi, peningkatan sistolik)
13. Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign
Diagnosa Keperawatan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 Mengkonservasi energy dan mentoleransi aktivitas
Intoleransi aktivitas jam diharapkan dapat mengkonservasi energy dan
mentoleransi aktivitas pasien, dengan kriteria hasil : 1. Anjurkan keluarga untuk mendampingi setiap
Ds: pasien dengan penurunan aktivitas yang akan dilakukan pasien
kesadaran 1. Mampu melakukan aktivitas sehari-hari secara 2. Sediakan penguatan positif bagi yang aktif
mandiri beraktivitas
Do: 2. Tanda-tanda vital normal 3. Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi
 Motorik : 3. Mampu berpindah: dengan atau tanpa bantuan diri dan penguatan
gerakan dan kekuatan alat. 4. Monitoring tanda-tanda vital.
lateralisasi menurun, tonus 4. Pasien mampu melakukan miring kanan dan 5. Kaji adanya luka decubitus.
otot menurun. miring kiri. 6. Ajarkan dan motivasi pasien untuk melakukan
 Ku Lemah, 5. Tidak terdapat luka dekubitus miring kanan dan miring kiri.
 Pasien melakukan semua
aktivitas dibantu oleh
keluarga.
 Pasien hanya terbaring di
tempat tidur
Diagnosa keperawatan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 Infection Control (Kontrol infeksi)
Resiko Infeksi jam. Diharapkan tidak terjadi infeksi dengan Kriteria 1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
hasil : 2. Pertahankan teknik isolasi
Ds: pasien dengan penurunan 1. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi 3. Batasi pengunjung bila perlu
kesadaran 2. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah 4. Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci
timbulnya infeksi tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung
DO: 3. Jumlah leukosit dalam batas normal meninggalkan pasien
 Pasien terpasang kateter 4. Menunjukkan perilaku hidup sehat 5. Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan
6. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan
 Pasien terpasang selang kperawtan
NGT. 7. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat
 Tirah baring lama. pelindung
 Pasien bedrest 8. Pertahankan lingkungan aseptik selama
pemasangan alat
9. Ganti letak IV perifer dan line central dan
dressing sesuai dengan petunjuk umum
10. Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan
infeksi kandung kencing
11. Tingkatkan intake nutrisi
12. Berikan terapi antibiotik bila perlu

Infection Protection (proteksi terhadap infeksi)


1. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan
lokal
2. Monitor hitung granulosit, WBC
3. Monitor kerentanan terhadap infeksi
4. Batasi pengunjung
5. Saring pengunjung terhadap penyakit menular
6. Partahankan teknik aspesis pada pasien yang
beresiko
7. Pertahankan teknik isolasi k/p
8. Berikan perawatan kuliat pada area epidema
9. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap
kemerahan, panas, drainase
10. Ispeksi kondisi luka / insisi bedah
11. Dorong masukkan nutrisi yang cukup
12. Dorong masukan cairan
13. Dorong istirahat
14. Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai
resep
15. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala
infeksi
16. Ajarkan cara menghindari infeksi
17. Laporkan kecurigaan infeksi
18. Laporkan kultur positif
DAFTAR PUSTAKA

Dewi, M., Loho.E & Tubagus,V.N. 2016. Gambaran CT-Scan neoplasma Intrakranial di
Bagian/SMF Radiologi FK Unstrat RSUP Prof.Dr.R.D.Kandou Manado Periode
Oktober 2014-September 2015. Jurnal e-Clinic (eCl),Volume 4, Nomor 1, Januari-
Juni 2016.
Diakses pada Sabtu, 11 Mei 2019.

Iskandar, J. (2002). Penatalaksanaan Cidera Kepala Akut. USU digital library.

Price, S.A & Wilson, L.M. (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit,
Edisi 6. Vol.2, Diterjemahkan oleh Pendit, B.U dkk. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
DOKUMENTASI RONDE KEPERAWATAN
PENYULUHAN IDENTIFIKASI PASIEN MENGUNAKAN GELANG IDENTITAS
DI RUANG RAWAS 1.1 RSUP DR.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

PROPOSAL PENYULUHAN

OLEH

AtikaPutriRahmadhani, S.Kep 0406488182064

EkaNadyaRahmania, S.Kep 0406488182048

AnisaNapriyeniUtami, S.Kep 0406488182052

WinniGianitaEldi, S.Kep 0406488182035

HanifatiAkalili, S.Kep 0406488182060

RiniLusiana Ray, S.Kep 0406488182067

NurulMasruroh, S.Kep 0406488182054

Safa Tiara Kiani, S.Kep 0406488182066

RusiWahyuni, S.Kep 0406488182037

Dewi Lestari, S.Kep 0406488182061


STASE MANAJEMEN KEPERAWATAN

PROGRAM PROFESI NERS

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2019

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keselamatan pasien di rumah sakit (Hospital Patient Safety) merupakan suatu


sistem pelayanan rumah sakit yang memberikan asuhan agar pasien menjadi lebih
aman. Termasuk didalamnya adalah mengukur risiko, identifikasi dan pengelolaan
risiko terhadap pasien, pelaporan, dan analisis insiden, kemampuan untuk belajar
dan menindaklanjuti insiden serta merupakan solusi untuk mencegah,
mengurangi, serta meminimalkan risiko Kejadian risiko yang mengakibatkan pasien
tidak aman (patient not safety) tersebut sebagian besar masih dapat dicegah
(preventable adverse event) diminimalisasi dengan beberapa cara, antara lain petugas
pelayanan kesehatan selalu meningkatkan kompetensi melakukan kewaspadaan
dini melalui identifikasi yang tepat, serta komunikasi aktif dengan pasien (Widayat,
2009).
Identifikasi adalah pengumpulan data dan pencatatan segala keterangan tentang bukti-
bukti dari seseorang sehingga kita dapat menetapkan dan mempersamakan keterangan
tersebut dengan individu seseorang (Depkes RI, 2012).Ketepatan identifikasi pasien
menjadi hal yang penting, bahkan berhubungan dengan keselamatan pasien. Kesalahan
karena keliru merupakan hal yang amat tabu dan sangat berat hukumnya. Kesalahan
karena keliru pasien dapat terjadi dalam semua aspek diagnosis dan pengobatan. Perlu
proses kolaboratif untuk memperbaiki proses identifikasi untuk mengurangi kesalahan
identifikasi pasien. Tidak semua pasien rumah sakit dapat mengungkapkan identitas
secara lengkap dan benar. Beberapa keadaan pasien seperti pasien dalam keadaan terbius,
mengalami disorientasi, tidak sadar sepenuhnya, bertukar tempat tidur atau kamar
disorientasi, tidak sadar sepenuhnya, bertukar tempat tidur atau kamar atau lokasi dalam
rumah sakit atau kondisi lain dapat menyebabkan kesalahan dalam identifikasi pasien.
Proses identifikasi pasien perlu dilakukan sejak awal masuk rumah sakit dan saat di ruang
rawat inap, perawat melakukan identifikasi pada saat sebelum diberikan tindakan atau
terapi. Misalnya pada saat akanmemberikan obat, pemberian produk darah, mengambil
darah dan specimen lain
Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kesalahan identifikasi pasien yang nantinya bisa
berakibat fatal jika pasien menerima prosedur medis yang tidak sesuai dengan kondisi
pasien seperti salah pemberian obat, salah pengambilan darah bahkan salah tindakan
medis.Penyusunan kebijakan dan atau prosedur ini harus dikerjakan untuk berbagai pihak
agar hasilnya dipastikan dapat mengatasi semua permasalahan identifikasi yang mungkin
terjadi.

Berdasarkan hasil pengkajian situasional di ruang Rawas 1.1 RSUP dr.Mohammad


Hoesin Palembang, didapatkan bahwa sebagian pasien dan keluarga pasien tidak
mengetahui tentang fungsi dari gelang identitas yang ada pada pasien. Dari beberapa
permasalahan yang telah dipaparkan, kelompok stase manajemen keperawatan Program
Profesi Ners Universitas Sriwijaya membuat POA (Planning of Action) yang salah
satunya mengadakan penyuluhan mengenai gelang identitas pasien dengan sasaran pasien
dan keluarga di ruang Rawas 1.1 Instalasi Rawat Inap H RSUP dr. Mohammad Hoesin
Palembang.
B. Tujuan
1. TujuanUmum
Memberikan informasi tentang identifikasi menggunakan gelang identitas melalui
kegiatan penyuluhan kesehatan.
2. TujuanKhusus
a. Pesertadapatmenjelaskan ketepatan identitas pasien .
b. Pesertadapatmenjelaskan tujuan penggunaan gelang identitas.

c. Pesertadapatmenjelaskan bahaya penolakan penggunaan gelang identitas.

d. Pesertadapatmenjelaskan prosedur yang membutuhkan identitas pasien.


BAB II

TINJAUAN TEORI

KETETAPAN IDENTIFIKASI PASIENDI RUMAH SAKIT

A. Ketepatan Identifikasi Pasien


1. Gelang Identitas
a. Warna Biru : untuk pasien laki-laki
b. Warna Merah Muda : untuk pasien wanita
2. Klip Risiko
a. Merah : pasien dengan alergi/risiko alergi
b. Kuning : pasien dengan risiko jatuh
c. Ungu : pasien DNR (Do Not Resusciated)

b.Tujuan penggunaan gelang identitas

1)Untuk memudahkan identifikasi pasien dan mencocokkan layanan dan

perawatan kesehatan untuk pasien tersebut.

2)Untuk mencegah terjainya kesalahan identifikasi pasien, kesalahan prosedur,

kesalahanmedikasi,kesalahantransfuse,dankesalahanpemeriksaaan

diagnostic.

c.Bahaya penolakan penggunaan dan pelepasan gelang identitas

1)Kesalahan dalam pemberian obat

2)Kesalahan dalam melakukan tindakan

d.Prosedur yang membutuhkan identifikasi pasien

1)Pemberian obat

2)Prosedur pemeriksaan radiologi

3)Intervensi pembedahan (prosedur infasif)


4)Transfusi darah

5)Pengambilan sampel (darah, urin)

6)Transfer pasien

b.Tujuan penggunaan gelang identitas

1)Untuk memudahkan identifikasi pasien dan mencocokkan layanan dan

perawatan kesehatan untuk pasien tersebut.

2)Untuk mencegah terjainya kesalahan identifikasi pasien, kesalahan prosedur,

kesalahanmedikasi,kesalahantransfuse,dankesalahanpemeriksaaan

diagnostic.

c.Bahaya penolakan penggunaan dan pelepasan gelang identitas

1)Kesalahan dalam pemberian obat

2)Kesalahan dalam melakukan tindakan

d.Prosedur yang membutuhkan identifikasi pasien

1)Pemberian obat

2)Prosedur pemeriksaan radiologi

3)Intervensi pembedahan (prosedur infasif)

4)Transfusi darah

5)Pengambilan sampel (darah, urin)

6)Transfer pasien

Gambar 1.Gelang identitas dan klip risiko


B. Identitas Dalam Gelang
1. Nama Pasien Lengkap
Jika nama pasien terdiri dari satu kata maka ditambahkan bin/binti nama ayah
kandungnya, bila nama ayah kandungnya tidak diketahui maka memakai nama ibu
kandungnya.
Untuk pasien neonatus (umur 0-28 hari) dan infan (umur dibawah satu tahun),
yang datang ke rumah sakit dan sudah memiliki nama sendiri, maka tetap
menggunakan nama sendiri, tetapi jika belum memiliki nama, maka menggunakan
nama ibunya.
Contoh: “nama ibu bayi adalah Desi Ani, maka bayi baru lahir beridentitas
By Desi Ani, jika bayi kembar dibuat By Desi Ani 1 dan By Desi Ani 2, dan
seterusnya.
untuk pasien tanpa identitas yang jelas/tidak mengenal dirinya sendiri : Mr.X
(laki-laki, Mrs. Y (wanita).

2. Tanggal/bulan/tahun lahir (contoh: 01-Jan-1970)


Bila pasien/keluarga pasien lupa atau tidak mengetahui tanggal, bulan, dan
tahun kelahiran, maka yang dipakai adalah tanggal 1, bulan 1, tahun pengurangan
dari tahun perkiraan.
Contoh: diperkirakan umur pasien lebih kurang 43 tahun pada tahun 2013,
maka identitasnya tanggal bulan tahun lahir pasien adalah (01-Jan-70) (2015-43=70).
3. Nomor Rekam Medik
Tidak menggunakan nomor kamar pasien atau lokasi.

C. Tujuan Penggunaan Gelang Identitas


1. Untuk memudahkan identifikasi pasien dan mencocokkan layanan perawatan
kesehatan untuk pasien tersebut.
2. Untuk mencegah terjainya kesalahan identifikasi pasien, kesalahan
prosedur,kesalahan medikasi, kesalahan transfuse, dan kesalahan
pemeriksaaan diagnostic.
D. Bahaya Penolakan Penggunaan dan Pelepasan Gelang Identitas
1. Kesalahan dalam pemberian obat
2. Kesalahan dalam melakukan tindakan.

E. Prosedur Yang Membutuhkan Identifikasi Pasien


1. Pemberian obat
2. Pemberian diet makanan pasien
3. Pemberian transfusi darah dan produk darah
4. Pengambilan sampel darah atau spesimen urin)
5. Melakukan prosedur/tindakan/operasi
BAB III

SATUAN ACARA PENYULUHAN

IDENTIFIKASI PASIEN MENGGUNAKAN GELANG IDENTITAS

Pokok Bahasan : Identifikasi Pasien Menggunakan Gelang Identitas

Sasaran : Pasien dan keluarga di ruang Rawas 1.1

Hari/Tanggal : 14 Mei 2019

Waktu Pertemuan : 30 menit

A. Tujuan Instruksional Umum

Setelah diberikan penyuluhan 30 menit, diharapkan peserta mampu memahami dan


mengerti tentang identifikasi pasien menggunakan gelang identitas

A. Tujuan Instruksional Khusus

Setelah diberikan penjelasan selama 30 menit, diharapkan:


a. Ketepatan identitas pasien .

b. Tujuan penggunaan gelang identitas.

c. Bahaya penolakan penggunaan gelang identitas.

d. Prosedur yang membutuhkan identitas pasien.

B. Metode
1. Curah pendapat

2. Ceramah

3. Diskusi

C. Media

1. Leaflet

D. Waktu dan Tempat

1. Hari : Selasa

2. Tanggal : 14 Mei 2019

3. Jam : 11.30 s/d 12.00 WIB

4. Tempat : IRNA Rawas 1.1

E. Pengorganisasian

a. Penyaji : Rini Lusiana Ray, S.Kep., Winni Gianita Eldi, S.Kep.

b. Moderator : Dewi Lestari, S.Kep., Anisa Napriyeni Utami, S.Kep.

c. Fasilitator : Atika Putri Rahmadhani, S.Kep., Rusi Wahyuni, S.Kep., Safa Tiara

Kiani, S.Kep., Eka Nadya Rahmania, S.Kep.

d. Observer : Hanifati Akalili, S.Kep., Nurul Masruroh, S.Kep.


F. Setting Tempat

P
M

P P

P P

P P

O P P F

Keterangan :

P1 & P2 : Penyuluh

M : Moderator

F : Fasilitator

O : Observer

P : Peserta

G. Kegiatan Penyuluhan
No Tahapan Waktu Kegiatan Keterangan

1 Pembukaan 5 menit a. Memperkenalkan diri Curah pendapat


b. Menanyakan kabar peserta
c. Menjelaskan tujuan
penyuluhan
d. Menyepakati waktu untuk
penyuluhan
e. Menggali pengetahuan
peserta tentang gelang
yang dikenakan oleh pasien

2 Inti 10 menit Penyampaian materi oleh Ceramah


pemateri:

a. Ketepatan identitas pasien

b. Tujuan penggunaan gelang


identitas

c. Bahaya penolakan
penggunaan gelang
identitas

d. Prosedur yang
membutuhkan identitas
pasien

3 Diskusi 10 menit a. Memberikan kesempatan Diskusi


peserta untuk bertanya
tentang materi yang telah
diberikan
b. Menjawab pertanyaan
yang diberikan peserta
c. Memberikan
reinforcement positif atas
pertanyaan yang diberikan
peserta

4 Penutup 5 menit a. Menyimpulkan dan Ceramah


menutup diskusi
b. Memberikan salam
penutup

H. Evaluasi Hasil
a. Evaluasi struktur

- Peserta mengikuti penyuluhan dari awal sampai akhir.

- Selama penyuluhan lingkungan tenang dan tidak ada mondar-mandir.

- Peserta terlihat bersemangat mengikuti penyuluhan.

b. Evaluasi proses

- Pesertadapatmenjelaskan ketepatan identitas pasien.

- Pesertadapatmenjelaskan tujuan penggunaan gelang identitas.

- Pesertadapatmenjelaskan bahaya penolakan penggunaan gelang identitas.

- Pesertadapatmenjelaskan prosedur yang membutuhkan identitas pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Widayat R .(2009). Hospital Organitation. Yogyakarta : Andi Offset.

Depkes. (2011). Program Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi Nosokomial Merupakan


Unsur Patient Safety : Jakarta.

Nasution CR.(2012). Kemenkes Target Tujuh RS Capai Akreditasi JCI. Workshop


Bimbingan Teknis Akreditasi Rumah Sakit dengan Standar Internasiona ; Jakarta.
DOKUMENTASI
PENYULUHAN IDENTIFIKASI PASIEN MENGUNAKAN GELANG IDENTITAS

Gambar2. Penyuluhan di ruang Rawas 1.1


PENYULUHAN CUCI TANGAN
DI RUANG RAWAS 1.1 RSUP DR.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

PROPOSAL PENYULUHAN

OLEH

AtikaPutriRahmadhani, S.Kep 0406488182064

EkaNadyaRahmania, S.Kep 0406488182048

AnisaNapriyeniUtami, S.Kep 0406488182052

WinniGianitaEldi, S.Kep 0406488182035

HanifatiAkalili, S.Kep 0406488182060

RiniLusiana Ray, S.Kep 0406488182067

NurulMasruroh, S.Kep 0406488182054

Safa Tiara Kiani, S.Kep 0406488182066

RusiWahyuni, S.Kep 0406488182037

Dewi Lestari, S.Kep 0406488182061


STASE MANAJEMEN KEPERAWATAN

PROGRAM PROFESI NERS

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2019

BAB I

PENDAHULUAN

C. Latar Belakang
Masyarakat yang menerima pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan, dan pengunjung
di rumah sakit dihadapkan pada risiko terjadinya infeksi atau infeksi nosokomial yaitu
infeksi yang diperoleh dari rumah sakit, baik karena perawatan dan datang berkunjung ke
rumah sakit (Depkes RI, 2014). Infeksi nosokomial terjadi karena transmisi mikroba
patogen. Secara umum, sumber atau penyebab INOS (Infeksi Nosokomial)
dikelompokkan berdasarkan faktor lingkungan yang meliputi udara, air, dan bangunan,
faktor pasien yang meliputi umur, keparahan penyakit, dan status kekebalan, faktor
atrogenik meliputi tindakan operasi, tindakan invasif, peralatan dan penggunaan
antibiotik (Weinsten, 1998). Selain faktor penyebab terdapat juga faktor predisosisi INOS
yaitu faktor keperawatan seperti lama rawat, padatnya penderita dalam satu ruang, faktor
mikroba patogen seperti tingkat kemampuan merusak jaringan, lamanya pemaparan
antara sumber penularan dengan penderita (Darmadi, 2008).
Pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial diartikan sebagai upaya mencegah
dan mengendalikan infeksi dengan cara menghambat pertumbuhan transimis mikroba
yang berasal dari sumber di sekitar penderita yang sedang dirawat. Upaya tersebut
dilakukan dengan menerapkan kewaspadaan standar, salah satunya dengan mencuci
tangan. Tangan merupakan bagian tubuh yang lembab yang paling sering berkontak
dengan kuman yang menyebabkan penyakit dan menyebarnya. Cara terbaik untuk
mencegah masuknya kuman dengan membiasakan mencuci tangan (Kamarudin, 2009).
Mencuci tangan adalah teknik yang sangat mendasar dalam mencegah dan
mengendalikan infeksi, dengan mencuci tangan dapat menghilangkan sebagian besar
mikroorganisme yang ada di kulit.
Pada bebarapa penelitian dikatakan bahwa hand hygiene bisa menurunkan kejadian
infeksi nosokomial. beberapa negara berkembang kejadian INOS menurun seiring dengan
meningkatnya kesadaran akan hand hygiene (Duerink, et al, 2009). Beberapa studi juga
menunjukkan adanya hubungan antara hand hygiene dengan berkurangnya infeksi. Pada
penelitian meta analisis dari beberapa ruang rawat inap didapatkan perilaku hand hygiene
dapat menurunkan angka INOS (Pittet, et al, 2011).
Berdasarkan hasil pengkajian situasional di ruang Rawas 1.1 RSUP dr.Mohammad
Hoesin Palembang, didapatkan terdapat beberapa bed di kamar rawat inap yang tidak
memiliki handsrub dan beberapa pasien dan keluarga belum memahami dan menerapkan
cuci tangan yang telah diajarkan perawat. Pasien yang dirawat di ruang Rawas 1.1
periode bulan Februari-April 2019 merupakan pasien yang dirawat dengan beragam jenis
diagnosa medis seperti CVD Non Hemoragik, SOL, CVD Hemoragik, tetanus, adeno ca
colon, pemvigus vulgaris, CKD, adeno ca paru, spondylitis, epilepsy idiopatik, dan lain-
lain. Dari beberapa permasalahan yang telah dipaparkan, kelompok stase manajemen
keperawatan Program Profesi Ners Universitas Sriwijaya membuat POA (Planning of
Action) yang salah satunya mengadakan penyuluhan dan demonstrasi cuci tangan dengan
sasaran pasien dan keluarga di ruang Rawas 1.1 Instalasi Rawat Inap H RSUP
dr.Mohammad Hoesin Palembang.

D. Tujuan
1. Tujuan Umum
Memberikan informasi terkait cuci tangan untuk mencegah infeksi nosokomial
melalui kegiatan penyuluhan kesehatan.
2. Tujuan Khusus
a. Peserta dapat menjelaskan tentang pengertian cuci tangan
b. Peserta dapat menjelaskan tentang manfaat cuci tangan
c. Peserta dapat menjelaskan tentang waktu untuk cuci tangan
d. Peserta dapat mendemonstrasikan 6 langkah cuci tangan yang benar menurut
WHO (World Health Organization).

BAB II

TINJAUAN TEORI

1. Definisi Cuci Tangan

Menurut DEPKES (2016), mencuci tangan adalah proses yang secara mekanis
melepaskan kotoran dan debris dari kulit tangan dengan menggunakan sabun biasa dan
air. Mencuci tangan adalah membasahi tangan dengan air mengalir untuk menghindari
penyakit, agar kuman yang menempel pada tangan benar-benar hilang.Mencuci tangan
adalah kegiatan membersihkan bagian telapak, punggung tangan dan jari agar bersih dari
kotoran dan membunuh kuman penyebab penyakit yang merugikan kesehatan manusia
serta membuat tangan menjadi harum baunya.

2. Tujuan Mencuci Tangan


a. Menjaga Kebersihan diri

b. Mencegah infeksi silang

c. Sebagai pelindung diri

d. Supaya tangan menjadi bersih


e. Membebaskan tangan dari kuman dan mikroorganisme penyebab penyakit
f. Menghindari masuknya kuman kedalam tubuh

3. Manfaat Cuci Tangan

a. Untuk menghindarkan penularan penyakit melalui tangan.

b. Untuk menjaga kebersihan diri (perorangan).

c. Untuk membuat tubuh kita tetap sehat dan bugar.

d. Supaya tidak menjadi agen penular bibit penyakit kepada orang lain

4. Dampak Jika Tidak Cuci Tangan

a. Keracunan Bakteri Salmonella


Jika kita sering makan tanpa mencuci tangan maka bisa terkena infeksi bakteri
salmonella. Bakteri ini bisa menyebar secara langsung dari berbagai tempat. Potensi
ini juga bisa disebabkan karena makan sayuran mentah tanpa di cuci. Telur bakteri
salmonella akan berpindah dari makanan atau tangan ke dalam saluran pencernaan.
Bakteri ini bisa hidup dalam usus dan saluran pencernaan lain. Tanda keracunan
bakteri salmonella adalah seperti diare, sakit perut, keringat dingin, mual dan muntah.
Untuk mencegah agar tidak terlalu parah maka bisa meminta bantuan dokter.

b. Keracunan Bakteri E. Colli

Keracunan bakteri E. colli juga bisa terjadi jika Anda makan tanpa mencuci
tangan. Bakteri ini bisa berasal dari tempat umum seperti toilet. Misalnya jika Anda
makan setelah menggunakan toilet umum tanpa mencuci tangan, maka telur bakteri
E.colli bisa masuk ke saluran pencernaan secara langsung. Keracunan ini bisa
menyebabkan diare yang sangat berat, kram perut, nyeri perut yang parah dan jika
tidak segera diobati maka bisa menyebabkan gagal ginjal. (baca juga : bahaya gagal
ginjal – gejala danpencegahannya).

c. Resiko Tertular Flu atau Pilek

Tertular flu atau pilek menjadi resiko yang paling sering terjadi secara umum.
Penularan ini terjadi ketika Anda baru saja menggunakan fasilitas umum atau
bersentuhan denganorang lain. Kemudian ketika Anda makan secara langsung maka
bisa menyebabkan virus segera berpindah tangan. Virus akan menyebar sangat cepat,
tidak hanya masuk ke dalam tubuh tapi juga berpindah lewat saluran pernafasan.

d. Tertular Penyakit Infeksi Tenggorokan

Jika kita memiliki kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan, maka bisa
menyebabkan infeksi tenggorokan. Hal ini terjadi ketika ada banyak bakteri yang
sudah melekat ke tangan kemudian menyebar ke saluran pencernaan. Makanan yang
masuk ke saluran tenggorokan akan berhubungan langsung dengan lendir. Kemudian
bakteri akan tinggal dalam bagian lendir tersebut dan berkembang dengan pesat.
Kondisi ini bisa menyebabkan sakit tenggorokan dan infeksi yang lebih buruk. (baca
juga : bahayaradang tenggorokan kronis)
e. Diare

Orang yang tidak mencuci tangan sebelum makan juga sangat rentan terkena
penyakit diare. Infeksi ini bisa disebabkan oleh virus atau bakteri yang sebelumnya
sudah ada di tangan. Kemudian akan masuk ke saluran pencernaan lewat makanan
yang bersentuhan langsung dengan tangan. Perkembangan bakteri atau virus dalam
saluran pencernaan bisa menyebabkan diare. Usus tidak bisa menerima bakteri
tersebut sehingga membuat reaksi diare. Untuk mencegah hal yang lebih buruk
sebaiknya segera kunjungi dokter.

f. Infeksi Penyakit Hepatitis B

Bahaya tidak mencuci tangan sebelum makan juga bisa terkena hepatitis B.
Penyakit hepatitis ini akan menyerang organ hati dan menyebabkan penderita sulit
untuk memiliki tubuh yang sehat. Hepatitis B termasuk jenis penyakit yang mudah
menular. Salah satu cara untuk mencegahnya adalah sering mencuci tangan. Mencuci
tangan sebelum makan bisa menurunkan resiko hepatitis B. Virus ini bisa menyebar
dengan mudah lewat udara dan makanan. Bahkan lingkungan yang buruk bisa
menjadi tempat endemi hepatitis B.

g. Resiko Infeksi Shigellosis

Infeksi ini bisa menyebabkan penyakit shigellosis, yang merupakan infeksi


akibat jenis bakteri shigela. Penyakit yang dihasilkan seperti disentri. Disentri
umumnya disebabkan karena kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan.
Ketika tangan Anda kotor setelah melakukan berbagai pekerjaan maka mungkin
banyak bakteri yang bersarang dalam tangan Anda. Kontaminasi bisa terjadi lewat
makanan itu sendiri atau tangan yang kotor. Penyakit ini ditandai dengan demam,
diare yang parah, diare bisa disertai darah dan dehidrasi.

h. Resiko Infeksi Botulisme

Orang yang tidak mencuci tangan sebelum makan juga bisa terkena infeksi
penyakit botulisme. Penyakit ini menular secara langsung lewat makanan dan tangan
yang kotor. Ini termasuk jenis infeksi yang sangat berbahaya karena bisa
menyebabkan kematian. Infeksi juga membutuhkan perawatan yang segera untuk
mengurangi potensi bahaya yang lebih buruk. Beberapa tanda infeksi ini adalah
seperti diare, sakit perut, mual, muntah, demam, pandangan kabur dan hilang
kesadaran.

i. Resiko Infeksi Amoebiasis

Resiko infeksi amoebiasis adalah jenis penyakit yang bisa disebabkan karena
tidak mencuci tangan sebelum makan. Penyakit ini akan menyebabkan penderita
mengalami disentri. Jenis amuba penyebab infeksi ini termasuk dalam kelas
Entamoeba histolitica. Infeksi ini tidak hanya menyerang pada saluran pencernaan
namun juga berbagai organ lain. Karena itu infeksi ini cepat berkembang dalam
tubuh dan membutuhkan perawatan darurat. Mencuci tangan sebelum makan bisa
mencegah kondisi yang lebih berbahaya.

j. Resiko Radang Pernafasan

Orang yang memiliki kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan juga bisa
terkena penyakit radang saluran pernafasan. Penyakit ini bisa menyebabkan sesak
nafas, batuk, flu dan radang tenggorokan. Penyakit ini bisa menyebar lewat bakteri
atau virus yang masuk ke tubuh lewat makanan. Ketika bakteri atau sumber
penyebab infeksi bersentuhan dengan lendir dalam tenggorokan, maka sumber
infeksi akan berkembang dalam tempat itu. Kemudian akan menyebabkan
penurunan sistem kekebalan tubuh dan membuat penderita mudah sakit. Sumber
penyebab penyakit seperti bakteri atau virus mungkin memang tidak terlihat oleh
mata secara langsung. Sumber infeksi bisa saja berasal dari makanan, lingkungan
atau tangan yang kotor ketika makan. Untuk mengatasi berbagai bahaya tersebut
maka biasakan untuk selalu mencuci tangan sebelum makan. Anda bisa mencoba
untuk melakukan cara mencuci tangan yang benardan steril agar benar-benar bersih
dan tidak terkena resiko penyakit.

5. Waktu Cuci Tangan


Menurut Handayani, dkk (2014) waktu pelaksanaan cuci tangan adalah sebagai berikut:

a. Sebelum dan setelah makan.


b. Setelah ganti pembalut.

c. Sebelum dan setelah menyiapkan makanan, khususnya sebelum dan setelah


memegang bahan mentah, seperti produk ternak dan ikan.

d. Setelah memegang hewan atau kotoran hewan.

e. Setelah mengusap hidung, atau bersin di tangan.

f. Sebelum dan setelah mengiris sesuatu.

g. Sebelum dan setelah memegang orang sakit atau orang yang terluka.

h. Setelah menangani sampah.

i. Sebelum memasukkan atau mencopot lensa kontak.

j. Setelah menggunakan fasilitas umum (mis. toilet, warnet, wartel, dan lain –
lain).

k. Pulang bepergian dan setelah bermain.

l. Sesudah buang air besar dan buang air kecil.

Five moments ketika mencuci tangan di rumah sakit :

a. Sebelum bersentuhan dengan pasien.


b. Sebelum terpapar dengan cairan tubuh pasien.
c. Sebelum melakukan tindakan keperawatan.
d. Setelah melakukan tindakan keperawatan.
e. Setelah terpapar dengan lingkungan pasien.

6. Enam langkah cuci tangan


Mencuci tangan menurut WHO terdapat 6 langkah, yaitu:

a) Basahi kedua telapak tangan dengan air mengalir, lalu letakkan sabun ke telapak usap
dan gosok dengan lembut pada kedua telapak tangan.
b) Gosok masing- masing pungung tangan secara bergantian.
c) Jari jemari saling masuk untuk membersihkan sela-sela jari.
d) Gosokan ujung jari (buku-buku) dengan mengatupkan jari tangan kanan terus gosokan
ke telapak tangan kiri bergantian,
e) Gosok dan putar ibu jari secara bergantian
f) Gosokkan ujung kuku pada telapak tangan secara bergantian

Gambar 3. Cara mencuci tangan dengan sabun dan air


g) Terakhir, menggosok kedua pergelangan tangan dengan cara diputar dengan telapak
tangan bergantian setelah itu bilas denganmenggunakan air bersih dan mengalir, lalu
keringkan.
BAB III

SATUAN ACARA PENYULUHANCUCI TANGAN

Pokok Bahasan : Cuci tangan 6 langkah WHO

Sasaran : Pasien dan keluarga di ruang Rawas 1.1

Hari/Tanggal : 14 Mei 2019

Waktu Pertemuan : 30 menit

A. Tujuan Instruksional Umum

Setelah diberikan penyuluhan 30 menit, diharapkan peserta mampu memahami dan


mengerti tentang cuci tangan untuk mencegah infeksi nosokomial.

B. Tujuan Instruksional Khusus

Setelah diberikan penjelasan selama 30 menit, diharapkan:


1. Dapat menjelaskan tentang pengertian cuci tangan
2. Dapat menjelaskan tentang manfaat cuci tangan
3. Dapat menjelaskan tentang waktu untuk cuci tangan
4. Dapat memperagakan langkah-langkah cuci tangan yang benar

C. Metode

1. Curah pendapat

2. Ceramah
3. Demonstrasi

4. Diskusi

D. Media

1. Leaflet

E. Waktu dan Tempat

1. Hari : Sabtu

2. Tanggal : 14 Mei 2019

3. Jam : 11.00 s/d 11.30 WIB

4. Tempat : IRNA H Ruang Rawas 1.1

F. Pengorganisasian

e. Penyaji : Rini Lusiana Ray, S.Kep., Winni Gianita Eldi, S.Kep.

f. Moderator : Dewi Lestari, S.Kep., Anisa Napriyeni Utami, S.Kep.

g. Fasilitator : Atika Putri Rahmadhani, S.Kep., Rusi Wahyuni, S.Kep., Safa Tiara

Kiani, S.Kep., Eka Nadya Rahmania, S.Kep.

h. Observer : Hanifati Akalili, S.Kep., Nurul Masruroh, S.Kep.

G. Setting Tempat
P
P
M

P P

P P

P P

O P P F

Keterangan :

P1 & P2 : Penyuluh

M : Moderator

F : Fasilitator

O : Observer

P : Peserta

H. Kegiatan Penyuluhan

No Tahapan Waktu Kegiatan Keterangan


a. Memperkenalkan diri
b. Menanyakan kabar peserta
c. Menjelaskan tujuan
penyuluhan
1 Pembukaan 5 menit d. Menyepakati waktu untuk Curah pendapat
penyuluhan
e. Menggali pengetahuan
peserta tentang cuci tangan
dan nafas dalam

Ceramah

a. Menjelaskan tentang
pengertian cuci tangan
b. Menjelaskan tentang
manfaat cuci tangan
2 Inti 10 menit c. Menjelaskan waktu untuk
cuci tangan
d. Memperagakan tentang
langkah-langkah cuci
tangan

Demonstrasi

a. Memberikan kesempatan
peserta untuk bertanya
tentang materi yang telah
diberikan
b. Menjawab pertanyaan
3 Diskusi 10 menit Diskusi
yang diberikan peserta
c. Memberikan
reinforcement positif atas
pertanyaan yang diberikan
peserta

a. Menyimpulkan dan
menutup diskusi
4 Penutup 5 menit Ceramah
b. Memberikan salam
penutup

I. Evaluasi Hasil

a. Evaluasi struktur

- Peserta mengikuti penyuluhan dari awal sampai akhir


- Selama penyuluhan lingkungan tenang dan tidak ada mondar-mandir

- Peserta terlihat bersemangat mengikuti penyuluhan

b. Evaluasi proses

- Peserta dapat menjelaskan tentang pengertian cuci tangan

- Peserta dapat menjelaskan tentang manfaat cuci tangan

- Peserta dapat menjelaskan tentang waktu untuk cuci tangan

- Peserta dapat menjelaskan langkah-langkah cuci tangan yang benar

- Peserta dapat menjelaskan tentang manfaat relaksasi nafas dalam

- Peserta dapat menjelaskan langkah-langkah relaksasi nafas dalam

DAFTAR PUSTAKA

Darmadi. (2008). Infeksi Nosokomial Problematika dan Pengendaliannya. Jakarta: EGC.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Pentingnya Cuci Tangan dengan Sabun.
Jakarta: Depkes RI.

Duerink, D.O., et al. (2009). Preventing Nosocomial Infection: Improving Comliance with
Standar Precautions in an Indonesia Teaching Hospital. Journal of Hospital Infection
64(1):36-43.

Kamaruddin S (2009). Hubungan mencuci tangan dengan infeksi nosokomial RSUD


Purwerejo. Medical Journal of Indonesia, 16(3):195-200.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2014). Perilaku MencuciTangan Pakai Sabun
di Indonesia Pusat Data Dan Informasi. Jakarta Selatan.

UNICEF. (2013). 10 Pesan Hidup Sehat dalam Kedaruratan. 31 Januari 2019.


https://www.unicef.org/indonesia/PHSDalamKedaruratan.pdf.

Weinsten, R.A. (1998). Nosocomial Infection Update Country Hospital and Rus Medical
College. USA: Chicago Illnois.
DOKUMENTASI
PENYULUHAN CUCI TANGAN

Gambar 4. Penyuluhan cuci tangan di ruang Rawas 1.1


PENYULUHAN PENCEGAHAN DEKUBITUS
DI RUANG RAWAS 1.1 RSUP DR.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

PROPOSAL PENYULUHAN

OLEH

AtikaPutriRahmadhani, S.Kep 0406488182064

EkaNadyaRahmania, S.Kep 0406488182048

AnisaNapriyeniUtami, S.Kep 0406488182052

WinniGianitaEldi, S.Kep 0406488182035

HanifatiAkalili, S.Kep 0406488182060

RiniLusiana Ray, S.Kep 0406488182067

NurulMasruroh, S.Kep 0406488182054

Safa Tiara Kiani, S.Kep 0406488182066

RusiWahyuni, S.Kep 0406488182037


Dewi Lestari, S.Kep 0406488182061

STASE MANAJEMEN KEPERAWATAN

PROGRAM PROFESI NERS

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2019

BAB I

PENDAHULUAN

E. Latar Belakang
Salah satu aspek penting dalam pendidikan profesi perawat adalah meningkatkan
pengetahuan terutama kepada masyarakat dalam menjaga dan mempertahankan integritas
kulit klien agar senantiasa terjaga dan utuh. Intervensi dalam perawatan kulit klien akan
menjadi salah satu indikator kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan(Potter &
Perry, 2005).Salah satu indikator yang menjadi focus perawatan di
rumahsakitialahrisikoterjadinyadekubitus.
Dekubitus adalah kerusakan/kematian kulit sampai jaringan dibawah kulit, bahkan
menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan pada suatu area secara
terus menerus sehingga mengakibatkan gangguan sirkulasi darah setempat. Dekubitus
suatu luka akibat posisi penderita yang tidak berubah dalam jangka waktu lebih dari 6 jam
(Brandon, 2006). Dekubitus merupakan masalah yang dihadapi oleh pasien-pasien
dengan penyakit kronis, pasien yang sangat lemah, dan pasien yang lumpuh dalam waktu
lama, bahkan saat ini merupakan suatu penderitaan sekunder yang banyak dialami oleh
pasien-pasien yang dirawat di rumah sakit (Morison, 2003). Faktor
intrinsikberupapenuaan (regenerasi sel lemah), sejumlah penyakit yang menimbulkan
seperti diabetes mellitus, status gizi, underweight atau kebalikannya overweight, anemia,
hipoalbuminemia, penyakit-penyakit neurologik, dan penyakit-penyakit yang merusak
pembuluh darah, keadaan hidrasi/cairan tubuh. Faktor Ekstrinsikmeliputikebersihan
tempat tidur, alat-alat tenun yang kusut dan kotor, atau peralatan medik yang
menyebabkan penderita terfiksasi pada suatu sikap tertentu, duduk yang buruk, posisi
yang tidak tepat, danperubahan posisi yang kurang (Smeltzer 2002; Brandon 2006; Potter
&Perry, 2005).
Pengetahuan dan sikap merupakan landasan utama dan penting bagi semua orang
dalam perawatan kesehatan tubuh, tidak hanya petugas kesehatan yang memiliki
tanggung jawab utama dalam pelayanan keperawatan serta pelaksanaan Keluarga
merupakan bagian yang penting dalam perawatan pasien karena kurangnyainformasi
keluarga tentang perawatan pasien dapat menambah faktor resiko terjadinya dekubitus.
Sikap yang dimiliki keluarga merupakan respon batin yang timbul dan diperoleh
berdasarkan pengetahuan yang dimiliki. Pengetahuan yang kurang pada keluarga akan
berdampak negatif pada kesehatan pasien immobilisasi. Oleh karena itu, adapun tugas
keluarga adalah mengenal gangguan perkembangan kesehatan setiap anggotanya,
mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat, memberikan perawatan
kepada anggota keluarganya yang sakit dan tidak ada yang dapat membantu dirinya
sendiri karena cacat atau usianya yang terlalu muda (Effendy, 2006).Keluarga pasien juga
perlu memperhatikan pengetahuan, sikap dan perilaku yang dimilikinya karena tingkat
keberhasilan dalam upaya pencegahan dekubitus tergantung dari hal tersebut.
Berdasarkan hasil pengkajian situasional di ruang Rawas 1.1 RSUP dr.Mohammad
Hoesin Palembang, didapatkan bahwa sebagian keluarga pasien tidak mengetahui tentang
risiko terjadinya dekubitus pada pasien bahkan terdapat beberapa pasien dan keluarga
sebelumnya tidak pernah mendengar istilah dekubitus. Dari beberapa permasalahan yang
telah dipaparkan, kelompok stase manajemen keperawatan Program Profesi Ners
Universitas Sriwijaya membuat POA (Planning of Action) yang salah satunya
mengadakan penyuluhan mengenai risiko terjadinya dekubitus dengan sasaran pasien dan
keluarga di ruang Rawas 1.1 Instalasi Rawat Inap H RSUP dr. Mohammad Hoesin
Palembang.
F. Tujuan
1. Tujuan Umum
Memberikan informasi tentang dekubitus melalui kegiatan penyuluhan kesehatan.
2. Tujuan Khusus
a. Pesertadapat menjelaskan pengertian dekubitus.

b. Pesertadapatmenjelaskan faktor penyebab dekubitus.

c. Pesertadapatmenjelaskan tanda dan gejala munculnyadekubitus.

d. Pesertadapatmenjelaskancaramencegahterjadinyadekubitus.
BAB II

TINJAUAN TEORI

1. Pengertian Dekubitus

Ulkus dekubitus atau Bedsores adalah kerusakan/kematian kulit yang terjadi akibat
gangguan aliran darah setempat dan iritasi pada kulit yang menutupi tulang yang
menonjol, dimana kulit tersebut mendapat tekanan dari tempat tidur, kursi  roda, gips,
pembidaian atau benda keras lainnya dalam jangka waktu yang lama. Bagian tubuh yang
sering mengalami ulkus dekubitus adalah bagian dimana terdapat penonjolan tulang,
yaitu bagian siku, tumit, pinggul, pergelangan kaki, bahu, punggung dan kepala bagian
belakang (Budiartha&Putu, 2010).

2. Etiologi Dekubitus

Penyebab utama dekubitus adalah tekanan terus menerus pada kulit dan jaringan
yang terjadi pada orang dengan tirah baring lama, tidak sadar, penginderaan sensasi nyeri
yang berkurang, imobilisai dalam waktu yang lama, kekurangan nutrisi pada jaringan
bawah kulit serta kurangnya monitoring dan perawatan pada bagian kulit yang
tertekan(Ari, 2008).

3. Faktor Risiko Dekubitus


Menurut Budiartha (2010), resiko tinggi terjadinya ulkus dekubitus ditemukan pada :

a. Orang-orang yang tidak dapat bergerak misalnya lumpuh, sangat lemah.


b. Orang-orang yang tidak mampu merasakan nyeri, karena nyeri merupakan suatu
tanda yang normal mendorong seseorang untuk bergerak. Kerusakan saraf misalnya
akibat cedera, stroke, diabetis dan koma bisa menyebabkan berkurangnya
kemampuan merasakan nyeri.
c. Orang-orang yang mengalami kekureangan gizi (malnutrisi) tidak memiliki lapisan
lemak sebagai pelindung dan kulitnya tidak mengalami pemulihan sempurna karena
kekurangan zat-zat gizi yang penting.
d. Gesekan dan kerusakan lainya pada lapisan kulit paling luar bisa menyebabkan
terbentguknya ulkus. Baju yang terlalu besar atau terlalu kecil, kerutan pada seprai
yang bergesekan dengan kulit bisa menyebabkan cedera pada kulit. Pemaparan oleh
kelembaban dalam jangka panjang (karena berkeringat, air kemih atau tinja) bisa
merusak permukaan kulit.

4. Manifestasi Klinis Dekubitus

Karakteristik penampilan klinis dari dekubitus menurut Ari (2008) dapat dibagi
sebagai berikut :

a. Derajat 1 : Reaksi peradangan masih terbatas pada epidermis, tampat sebagai


daerah kemerahan atau lecet. ini terjadi di superficial setelah minimal dua jam
penekanan pada daerah tertentu.
b. Derajat 2 : Reaksi yang lebih dalam sampai mencapai seluruh dermis hingga
lapisan lemak sub kutan, tanpak sebagai ulkus yang dangkal dengan tepi yang
jelas dan perubahan pigmen kulit.
c. Derajat 3 : Ulkus menjadi lebih dalam, meliputi jaringan lemak sub kutan dan
berbatasan dengan fascia dari otot-otot. Sudah mulai didapat infeksi dengan
jaringan nekrotik yang berbau. Luka meluas sampai semua lapisan kulit hilang,
menembus jaringan dibawahnya dan mulai merusak jaringan.
d. Derajat 4 : Perluasan Ulkus menembus otot hingga tampat tulang di dasar ulkus
yang dapat mengakibatkan infeksi pada tulang atau sendi.
Gambar 5.Derajat Luka Dekubitus

5. Perawatan Luka Dekubitus

Pengelolaan dikubitus diawali dengan kewaspadaan untuk mencegah terjadinya


dekubitus dengan mengenal klien resiko tinggi terjadinya dekubitus, misalnya pada
klien yang imobiliasi dan konfusio. Usaha untuk menentukan resiko terjadinya
dekubitus ini antara lain dengan memakai scor Norton. Skor dibawah 14
menunjukkan adanya resiko tinggi terjadinya dekubitus. Dengan evaluasi skor ini
dapat dilihat perkembangan klien. Tindakan berikutnya adalah menjaga kebersihan
diri klien khususx kulit dengan mandi setiap hari, dikeringkan dengan baik lalu
digosok dengan lotion terutam dibagian kulit yang ada pada tonjolan-tontolan tulang.
Sebaiknya diberikan masase untuk melancarkan sirkulasi darah, semua ekskreta harus
dibersihkan dengan hati-hati agar tidak menyebabkan lecet pada kulit klien
(Budiartha, 2010). Menurut Ari (2008) perawatan dekubitus dapat dilakukan
berdasarkan derajat dekubitus, yaitu:

a. Derajat 1: Pengawasan terpenting adalah memberikan perhatian agar tidak


meningkat menjadi lebih lanjut dengan memberikan perubahan posisi minimal
2 jam sekali agar tidak menjadi lebih parah. Kulit yang kemerahan dibersihkan
hati-hati dengan air hangat dan sabun, diberi lotion, kemudian dimasase 2-3
kali/hari. Tetap memberikan asupan gizi yang baik sehingga terbentuk
jaringan penyokong yang baik dan memberikan pergerakan pasif pada pasien
pasien yang mengalami paralise.
b. Derajat 2 : Perawatan luka harus memperhatikan syarat-syarat aseptic dan
antiseptic. Daerah yang bersangkutan de gesek dengan es dan dihembus
dengan udara hangat bergantian untuk merangsang sirkulasi kemudian
memberikan salep topical, mungkin juga untuk merangsang tumbuhnya
jaringan muda/granulasi. Penggantian balut dan salep jangan terlalu sering
karena dapat merusak pertumbuhan jaringan yang diharapkan.
c. Derajat 3 : Tujuan perawatan derajat ini adalah tetap mengurangi tekanan dan
menghindari perluasan yang tidak kompleks. Pengobatan topical di daerah
ulkus diberikan dan didukung dengan perawatan luka. Pengobatan
menggunakan antibiotic untuk infeksi yang timbul. Usahan luka tetap bersih
dan eksudat dapat mengalir keluar. Balut jangan terlalu tebal dan sebaliknya
transparan sehingga permeabel untuk masuknya udara/oksigen dan penguapan.
Kelembaban luka dijaga tetap basah, karena akan mempermudah regenerasi
sel-sel kulit. Jika luka kotor dapat dicuci dengan larutan NaCl fisiologis.
d. Derajat 4 : Pengobatan infeksi sekunder menjadi penting agar tidak mengarah
ke sepsis. Sangat perlu dilakukan operasi plastic dengan tujuan untuk
mengurangi perluasan dan perbaikan jaringan yang rusak. Semua langkah-
langkah perawatan derajat I hingga III tetap dikerjakan dan jaringan nekrotik
yang ada harus dibersihkan sebab akan menghalangi pertumbuhan
jaringan/epitelisasi. Beberapa preparat enzim dapat diberikan dengan tujuan
mengurangi pendarahan dibandingkan tindakan bedah yang juga merupakan
alternative lain. Setelah jaringan nekrotik dibuang dan luka bersih,
penyembuhan luka secara alami dapat diharapkan. Beberapa usaha
mempercepat adalah antara lain dengan memberikan oksigenasi pada daerah
luka.

6. Pencegahan Dekubitus
a. Meningkatkan status kesehatan klien
b. Memperbaiki dan menjaga keadaan umum klien, misalnya anemia diatasi,
hipoalbuminemia dikoreksi, nutrisi dan hidarasi yang cukup, vitamin (vitamin C)
dan mineral (Zn) ditambahkan. Mengobati/mengatasi penyakit-penyakit yang ada
pada klien, misalnya diabetes mellitus.
c. Mengurangi/memeratakan faktor tekanan yang mengganggu aliran arah dengan
cara:
1) Alih posisi/alih baring/tidur selang-seling paling lama tiap 2 jam
sekali.keburukan pada cara ini adalah ketergantungan pada perawat yang
kadang-kadang sudah sangat kurang, dan mengganggu istirahat klien bahwa
menyakitkan.
2) Kasur khusus untuk lebih membagi rata tekanan yang terjadi pada tubuh
klien.misalnya kasur dengan gelembung udara , kasur air yang temperature
airnya dapat diatur.
3) Regangan kulit dan lipatan kulit yang menyebabkan sirkulasi darah
setempatterganggu dapat dikurangi antara lain: menjaga posisi klien,apa
ditidurkan rata pada tempat tidurnya atau sudah memungkinkan untuk duduk
dikursi.bantuan balok penyangga kedua kaki, bantal-bantal kecil untuk
menahan tubuh klien.

BAB III

SATUAN ACARA PENYULUHAN


PENCEGAHAN DEKUBITUS

Pokok Bahasan : Pencegahan Dekubitus

Sasaran : Pasien dan keluarga di ruang Rawas 1.1

Hari/Tanggal : 14 Mei 2019

Waktu Pertemuan : 30 menit

A. Tujuan Instruksional Umum

Setelah diberikan penyuluhan 30 menit, diharapkan peserta mampu memahami dan


mengerti tentang dekubitus.

B. Tujuan Instruksional Khusus


Setelah diberikan penjelasan selama 30 menit, diharapkan:

1. Pengertian Dekubitus

2. Faktor penyebab

3. Tanda dan gejala

4. Pencegahan Dekubitus

C. Metode

1. Curah pendapat

2. Ceramah
3. Diskusi

D. Media

1. Leaflet

E. Waktu dan Tempat

1. Hari : Selasa

2. Tanggal : 14 Mei 2019

3. Jam : 11.30 s/d 12.00 WIB

4. Tempat : IRNA Rawas 1.1

F. Pengorganisasian

a. Penyaji : Rini Lusiana Ray, S.Kep., Winni Gianita Eldi, S.Kep.

b. Moderator : Dewi Lestari, S.Kep., Anisa Napriyeni Utami, S.Kep.

c. Fasilitator : Atika Putri Rahmadhani, S.Kep., Rusi Wahyuni, S.Kep., Safa Tiara

Kiani, S.Kep., Eka Nadya Rahmania, S.Kep.

d. Observer : Hanifati Akalili, S.Kep., Nurul Masruroh, S.Kep.

G. Setting Tempat

P
P
M

P P
Keterangan :

P1 & P2 : Penyuluh

M : Moderator

F : Fasilitator

O : Observer

P : Peserta

H. Kegiatan Penyuluhan

No Tahapan Waktu Kegiatan Keterangan

1 Pembukaan 5 menit a. Memperkenalkan diri Curah pendapat


b. Menanyakan kabar peserta
c. Menjelaskan tujuan
penyuluhan
d. Menyepakati waktu untuk
penyuluhan
e. Menggali pengetahuan
peserta tentang dekubitus

2 Inti 10 menit Penyampaian materi oleh Ceramah


pemateri:

a. Pengertian dekubitus
b. Etiologi dan faktor resiko
terjadinya dekubitus
c. Gejala dekubitus
d. Penanganan Dekubitus
e. Pencegahan Dekubitus

3 Diskusi 11 menit d. Memberikan kesempatan Diskusi


peserta untuk bertanya
tentang materi yang telah
diberikan
e. Menjawab pertanyaan
yang diberikan peserta
f. Memberikan
reinforcement positif atas
pertanyaan yang diberikan
peserta

4 Penutup 6 menit c. Menyimpulkan dan Ceramah


menutup diskusi
d. Memberikan salam
penutup

I. Evaluasi Hasil

a. Evaluasi struktur

- Peserta mengikuti penyuluhan dari awal sampai akhir.

- Selama penyuluhan lingkungan tenang dan tidak ada mondar-mandir.


- Peserta terlihat bersemangat mengikuti penyuluhan.

b. Evaluasi proses

- Peserta dapat menjelaskan tentang pengertian dekubitus.

- Peserta dapat menjelaskan factorpenyebabterjadinyadekubitus.

- Pesertadapatmenjelaskantandadangejalamunculnyadekubitus.

- Pesertadapatmenjelaskancaramencegahterjadinyadekubitus.
DAFTAR PUSTAKA

Ari, P.N. (2008).Perawatan Dekubitus. Diakes di


http://www.slideshare.net/aripurwahyudi/perawatandekubitus-3617137pada 11 Mei
2019.

Brandon J Wilhelmi. (2006). Pressure Ulcers, Surgical Treatment and Principles.Diakses di


http://www.emedicine.com/plastic/topic 462.htmpada11 Mei 2019.

Budhiarta, P. (2010).Ulkus Dekubitus.Diakses di http;//nursingbegin.com/ulkus-


dekubitus/pada 11 Mei 2019.

Effendy, Nasrul. (2006). Dasar – dasar Keperawatan Masyarakat. Edisi 2. Jakarta: EGC.

Potter, P dan A, Perry, A. G.(2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses,
dan Praktik. Edisi 4. Volume 2. Jakarta: EGC.

Morison, Moya J. (2003). Manajemen Luka. Jakarta: EGC.

Suwardianto, H. (2018).Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Pencegahan Dekubitus Pada


Keluarga dengan Imobilisasi.JurnalBaptis 1(1):16-22.
DOKUMENTASI
PENYULUHAN PENCEGAHAN DEKUBITUS

Gambar 6. Penyuluhan pencegahan decubitus di ruang Rawas 1.1


DOKUMENTASI
OVERAN

Gambar 7. Proses overan di ruang Rawas 1.1


KUESIONER

1. Instrument A
Kuesioner Penerapan Standar Asuhan Keperawatan (Departemen Kesehatan RI,
2005) di Rawas 1.1

Kode berkas rekam medik pasien Ket


Aspek Yang Di
No.
Nilai
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

A. Pengkajian
1. Mencatat data
yang dikaji sesuai
dengan pedoman
pengkajian.
2. Data
dikelompokkan
(bio-psiko-sosial-
spiritual).
3. Data di kaji sejak
pasien masuk
sampai pulang
4. Masalah
dirumuskan
berdasarkan
kesenjangan
1. antara status
kesehatan dengan
norma dan pola
fungsi kehidupan.

SUB TOTAL

TOTAL

PRESENTASE
Kode berkas rekam medik pasien Ket
No Aspek Yang Di
. Nilai
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

B. Diagnosa
1. Dx. Keperawatan
berdasarkan
masalah yang
telah dirumuskan
2. Dx. Keperawatan
mencerminkan
PE/PES.
3. Merumuskan
diagnosa
2. keperawatan
aktual/potensial

SUB TOTAL

TOTAL

PRESENTASE

Kode berkas rekam medic pasien Ket


Aspek Yang Di
No.
Nilai
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

C. Perencanaan
1. Berdasarkan Dx.
Keperawatan
2. Disusun menurut
urutan prioritas.
3. Rumusan tujuan
mengandung
komponen
pasien/subjek,
perubahan,
perilaku,kondisi,
pasien dan atau
kriteria waktu.
4. Rencana tindakan
mengacu pada
tujuan dengan
kalimat perintah,
terinci dan jelas.
5. Rencana tindakan
menggambarkan
keterlibatan
pasien/keluarga.
6. Rencana tindakan
menggambarkan
kerja sam dengan
Tim Kesehatan
3. lain.
1.

SUB TOTAL

TOTAL

PRESENTASE

Kode berkas rekam medic pasien Ket


Aspek Yang Di
No.
Nilai
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

D.Tindakan
1. Tindakan
dilaksanakan
mengacu pada
rencana
perawatan.
2. Perawat
mengobservasi
respon pasien
terhadap tindakan
keperawatan.
3. Revisi tindakan
berdasarkan hasil
evaluasi.
4. Semua tindakan
4. yang telah
dilaksanakan
dicatat ringkas
dan jelas.

SUB TOTAL

TOTAL

PRESENTASE

Kode berkas rekam medic pasien Ket


Aspek Yang Di
No.
Nilai
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

E. Evaluasi
1. Evaluasi mengacu
pada tujuan.
2. Hasil evaluasi
dicatat.

1. 1.

SUB TOTAL

TOTAL

PRESENTASE
Aspek Yang Di Kode berkas rekam medic pasien Ket
No.
Nilai 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
E. Catatan
Asuhan
Keperawatan
1. Menulis pada
format yang baku.
2. Pencatatan
dilakukan sesuai
dengan tindakan
yang
dilaksanakan.
3. Pencatatan ditulis
dengan jelas,
ringkas, istilah
yang baku dan
benar.
4. Setiap melakukan
tindakan atau
kegiatan perawat
mencantumkan
paraf/nama jelas.
dan tanggal jam
dilakukannya.
5. Berkas catatan
keperawatan di
simpan sesuai
dengan ketentuan
yang berlaku.
a)
SUB TOTAL
TOTAL
PRESENTASE
2. Instrumen B
Kuesioner Kepuasan Pasien Rawas 1.1

Nama :
Usia :
Jenis Kelamin :
Pekerjaan :
Pendidikan Terakhir :
Lama Di Rawat :
Alamat :
No Karateristik 1 2 3 4
1. Reliability (Keandalan)
a. Perawat mampu menangani masalah keperawatan Anda dengan
tepat dan professional.
b. Perawat memberikan informasi tentang fasilias yang tersedia, cara
penggunaannya dan tata tertib yang berlaku di RS.
c. Perawat memberitahu dengan jelas tentang hal-hal yang harus
dipenuhi dalam perawatan Anda.
d. Perawat memberitahu dengan jelas tentang hal-hal yang dilarang
dalam perawatan Anda.
e. Ketepatan waktu perawat tiba diruangan ketika Anda
membutuhkan
2. Assurance (Jaminan)
a. Perawat memberi perhatian terhadap keluhan yang Anda rasakan.
b. Perawat dapat menjawab pertanyaan tentang tindakan perawatan
yang diberikan kepada Anda.
c. Perawat jujur dalam memberikan informasi tentang keadaan
Anda.
d. Perawat selalu memberi salam dan senyum ketika bertemu ANda.
e. Perawat teliti dan terampil dalam melaksanakan tindakan
keperawatan kepada Anda.
3. Tangibels (kenyataan)
a. Perawat memberi informasi tentang administrasi yang berlaku
bagi pasien rawat inap di RS.
b. Perawat selalu menjaga kebersihan dan kerapihan ruangan yang
Anda tempati.
c. Perawat selalu menjaga kebersihan dan kesiapan alat-alat
kesehatan yang digunakan.
d. Perawat menjaga kebersihan dan kelengkapan fasilitas kamar
mandi dan toilet.
e. Perawat selalu menjaga kerapian dan penampilannya.
4. Empathy (empati)
a. Perawat memberikan informasi kepada Anda tentang segala
tindakan yang akan dilakukan.
b. Perawat mudah ditemui dan dihubungi bila Anda membutuhkan.
c. Perawat sering melihat dan memeriksa keadaan Anda seperti
mengukur tensi, suhu, nadi, pernapasan dan cairan infus.
d. Pelayanan yang diberikan perawat tidak memandang pangkat atau
status tapi berdasarkan kondisi Anda.
e. Perawat perhatian dan memberi dukungan moril terhadap keadaan
Anda(menanyakan dan berbincang-bincang tentang keadaan
Anda).
5. Responsiveness (Tanggung jawab)
a. Perawat bersedia menawarkan bantuan kepada Anda ketika
mengalami kesulitan walau tanpadiminta.
b. Perawat segera menangani Anda ketika sampai diruangan rawat
inap.
c. Perawat menyediakan waktu khusus untuk membantu Anda
berjalan, BAB, BAK ganti posisi tidur, dan lain-lain.
d. Perawat membantu Anda memperoleh obat.
e. Perawat membantu Anda untuk pelaksanaan pelayanan foto dan
laboratorium di RS ini.
Total
Keterangan :
1 = Sangat tidak puas
2 = Tidak puas
3 = Puas
4 = Sangat puas

(Sumber : Nursalam, 2015)

3. Instrumen C
Kuesioner Kepuasan Kerja Perawat Rawas 1.1
N PERNYATAAN ST TS S SS
O S
1. Saya merasa bahagia karena pekerjaan ini dapat menjanjikan
status kepagawaian saya lebih baik
2. Saya merasa kecewa karena tidak ada arah, perencanaan yang
jelas dalam memberikan asuhan keperawatan
3. Saya merasa senang karena dilibatkan dalam pengambilan
keputusan
4. Saya merasa senang karena sistem pembagian insentif yang
saya terima sesuai dengan apa yang saya kerjakan
5. Saya merasa dapat bekerja dengan baik karena beban kerja
yang diberikan sesuai dengan kemampuan saya
6. Saya merasa senang dengan kebersihan dan keamanan tempat
saya bertugas
7. Saya merasa senang dengan peralatan dan perlengkapan yang
tersedia untuk melaksanakan asuhan keperawatan
8. Saya merasa kecewa dengan kebijakan sistem penjenjangan
karier di rumah sakit
9. Saya merasa sistem penempatan perawat yang menempati
jabatan struktural dan fungsional sesuai latar belakang
pendidikan
10. Saya merasa senang karena ada prosedur/peraturan protab
yang mudah dilaksanan dalam melaksanakan pekerjaan
11. Saya merasa kecewa terhadap sistem pengawasan asuhan
keperawatan yang dilakukan pihak manajemen
12. Saya merasa kecewa karena supervisi yang dilakukan belum
memberikan feedbak yang diharapkan
13. Saya merasa senang atas perhatian manajemen dalam
membimbing bawahannya

Sumber :
Depkes, RI. (2001). Petunjuk pelaksanaan penetapan indikator menuju indonesia sehat 2010.

Jakarta.
Sitorus, R. (2006). Model praktek keperawatan profesional di rumah sakit. Jakarta : EGC.

4. Instrumen D
Kuesioner Pelaksanaan Perencanaan Pulang
Oleh Perawat Rawas 1.1
A. Data Demografi Perawat

Petunjuk pengisian:Isilah jawaban sesuai dengan kondisi Anda.

Jenis Kelamin : Laki-laki/Perempuan*


Usia : ………….. tahun
Pendidikan terakhir : ……………………………..
Lama bekerja di RS ini : ………………bulan/ tahun*
Unit/ ruang perawatan : …………………………….
Level karir : PK 1 / PK 2 / PK 3 / PK 4 / PK 5*

Ket:
1. Coret pada pernyataan bertanda (*) yang tidak sesuai dengan kondisi Anda
2. Level karir:
a. PK 1 jika melakukan asuhan keperawatan dasar dengan penekanan pada
keterampilan teknis keperawatan dibawah bimbingan.
b. PK 2 jika melakukan asuhan keperawatan holistik pada klien secara mandiri dan
mengelola klien/sekelompok klien secara tim serta memperoleh bimbingan untuk
penanganan masalah lanjut/kompleks
c. PK 3 jika melakukan asuhan keperawatan komprehensif pada area spesifik dan
mengembangkan pelayanan keperawatan berdasarkan bukti ilmiah dan
melaksanakan pembelajaran klinis.
d. PK 4 jika melakukan asuhan keperawatan pada masalah klien yang kompleks di
area spesialistik dengan pendekatan tata kelola klinis secara interdisiplin,
multidisiplin, melakukan riset untuk mengembangkan praktek keperawatan serta
mengembangkan pembelajaran klinis.
e. PK 5 jika memberikan konsultasi klinis keperawatan pada area spesialistik,
melakukan tata kelola klinis secara transdisiplin, melakukan riset klinis untuk
pengembangan praktik, profesi dan kependidikan keperawatan.

B. Pengetahuan Perawat tentang Discharge Planning


Petunjuk pengisian:Berilah tanda cheklist () pada jawaban yang menurut Anda paling
tepat.

No Pernyataan Benar Salah


1 Perencanaan pulang (discharge planning) adalah proses
mempersiapkan pasien yang dirawat di rumah sakit agar
mampu mandiri merawat diri pasca rawatan.
2 Tujuan dari perencanaan pulang adalah untuk
meningkatkan pemahaman pasien tentang masalah
kesehatan yang dialaminya.
3 Salah satu akibat dari tidak dilaksanakannya
perencanaan pulang adalah pasien kembali dirawat di
rumah sakit dalam waktu 30 hari.
4 Peran perawat dalam pelaksanaan perencanaan
pulangyaitu mengkaji masalah kesehatan pasien.
5 Pendidikan kesehatan diberikan kepada pasien dan
keluarga sebelum pulang ke rumah untuk memastikan
perawatan yang tepat.
6 Pelaksanaan perencanaan pulang dimulai pada saat
pasien direncanakan akan pulang ke rumah.
7 Perencanaan perencanaan pulang dilakukan kepada
pasien dan tidak perlu melibatkan keluarga pasien.
8 Penyusunan perencanaan dalam perencanaan pulang
hanya dilakukan oleh perawat.
9 Perawat bertanggung jawab dalam memberikan
instruksi kepada pasien tentang sumber bantuan layanan
kesehatan yang tersedia di masyarakat, misalnya home
care.
10 Dua komponen dalam perencanaan pulang yaitu
penjelasan tentang jadwal kontrol ulang dan cara minum
obat
11 Dalam pelaksanaan perencanaan pulang perawat
bertanggung jawab untuk memberikan instruksi kepada
pasien tentang pengobatan, lingkungan, terapi,
pendidikan kesehatan, rujukan pasien, dan diet pasien.
12 Kunjungan ke rumah pasien dilakukan sebagai proses
evaluasi perencanaan pulang.
13 Perencanaan pulang sama dengan resume pasien pulang.
14 Informasi tentang perencanaan pulang disusun
berdasarkan hasil diskusi dan kesepakatan antara tenaga
kesehatan dengan pasien atau keluarga.
15 Perencanaan pulang hanya dilakukan bagi pasien yang
mempunyai risiko lebih tinggi memiliki kebutuhan akan
pelayanan khusus.

Instrumen Pelaksanaan Perencanaan Pulang


Oleh Perawat
Petunjuk pengisian:
1. Berilah tanda cheklist () pada pernyataan tindakan yang perawatlakukan/ tidak
lakukan pada pelaksanaan discharge planning (perencanaan pulang) kepada pasien.

1. Saat pasien masuk/ dirawat di bangsal/ rumah sakit

No Tindakan Ya Tidak
Perawat mengkaji kebutuhan pelayanan kesehatan
untuk pasien pulang, dengan berdasarkan riwayat
1.
keperawatan, fungsi fisik dan kognitif, rencana
perawatan secara terus menerus
Perawat mengkaji kebutuhan pendidikan kesehatan
pasien dan keluarga yang berhubungan dengan
tanda dan gejala penyakit, obatan-obatan yang
2.
diberikan, diet, teknik terapi di rumah, hal-hal yang
harus dihindari, dan komplikasi yang mungkin
terjadi
Perawat mengkaji faktor-faktor lingkungan di
3.
rumah yang dapat mengganggu perawatan diri

Perawat berkolaborasi dengan tim kesehatan lain


4.
dalam mengkaji kebutuhan pasien setelah pulang
Perawat berkolaborasi dengan tim kesehatan lain
dalam mengkaji perlunya rujukan untuk mendapat
5.
perawatan di rumah atau di tempat perawatan
kesehatan lainnya
Perawat mengkaji penerimaan pasien dan keluarga
6.
terhadap masalah kesehatan yang dialami pasien
Perawat melakukan pendidikan kesehatan pasien
dan keluarga yang berhubungan dengan tanda dan
7. gejala penyakit, obatan-obatan yang diberikan, diet,
teknik terapi di rumah, hal-hal yang harus dihindari,
dan komplikasi yang mungkin terjadi
Perawat menggunakan media pembelajaran
8. (misalnya flipchart/ leaflet) dalam memberikan
pendidikan kesehatan kepada pasien.
Perawat mendemonstrasikan tentang aktivitas
perawatan diri/ terapi yang dapat dilakukan oleh
9.
pasien dan keluarga di rumah setelah pulang dari
rumah sakit.
Perawat selalu meminta pasien dan keluarga
10. mendemonstrasikan kembali tentang aktivitas
perawatan diri/ terapi yang telah diajarkan.

2. Pada satu hari sebelum pasien pulang


No Tindakan Ya Tidak
Perawat menganjurkan cara-cara merubah
1. pengaturan fisik/ lingkungan sehingga kebutuhan
pasien dapat terpenuhi.
Perawat memberikan informasi tentang pelayanan
2. kesehatan di masyarakat kepada pasien dan
keluarga
Perawat mengulangi pendidikan kesehatan yang
3.
telah diberikan sebelumnya.
Perawat meminta pasien dan keluarga
4. mendemonstrasikan kembali tentang aktivitas
perawatan diri/ terapi yang telah diajarkan.

3. Pada hari kepulangan pasien


No Tindakan Ya Tidak
Perawat memberikan kesempatan kepada pasien
1. dan keluarga bertanya atau berdiskusi tentang
perawatan di rumah
Perawat memeriksa order/pesan pulang dari dokter
tentang resep obat, tindakan pengobatan, atau alat
2.
khusus yang diperlukan pasien (order/pesan harus
tertulis)
Perawat membantu pasien dan keluarga dalam
3.
mengatur transportasi untuk pulang ke rumah
Perawatmenawarkan bantuan ketika pasien
4. mempersiapkan diri dan barang pribadinya untuk
dbawa pulang
Perawat memeriksa ruangan/ lemari bila ada barang
5.
pasien yang masih tertinggal
Perawat memberikan resep atau obat-obatan sesuai
6. pesan dokter, jadwal kontrol, dan dokumen terkait
kepulangan pasien
Perawat membantu pasien dan keluarga dalam
7. memberikan informasi tentang alur administrasi
biaya perawatan selama di rumah sakit
Perawat membantu pasien dan keluarga saat akan
meninggalkan ruangan rawat (misalnya
8.
memberikan kursi roda bagi pasien yang tidak
dapat berjalan sendiri)
Perawat mencatat kepulangan pasien pada catatan
9.
resume pasien pulang
10. Perawat mendokumentasikan masalah kesehatan/
keperawatan saat pasien pulang

Instrumen Dokumentasi Perencanaan Pulang


Kode Dokumen:
No medrec pasien:

No Tindakan Ya Tidak
Ringkasan/ Resume Pemulangan Pasien terisi
1.
lengkap meliputi:
a. Tanggal pemulangan pasien
b. Tanda-tanda vital (Tekanan darah, denyut nadi,
frekuensi nafas, suhu) saat pasien pulang
c. Saran tindak lanjut

d. Jadwal kontrol

e. Diagnosa keperawatan saat pasien pulang

f. Tindakan keperawatan yang telah diberikan


g. Keadaan saat pasien pulang (sembuh/
meneruskan perawatan di rumah dengan obat jalan/
pindah ke RS lain/ pulang paksa/ lari/ meninggal)
h. Dokumen yang dibawa pulang (hasil lab/ foto
rontgen/ EKG/ surat kontrol/ surat keterangan sakit/
lainnya)
i. Daftar dokumen yang harus dibawa saat kontrol
(surat kontrol/ hasil lab/ foto rontgen/ lainnya)
j. Uraian intervensi keperawatan yang dapat
dilakukan pasien dirumah (misalnya penggantian
balutan/ perawatan luka/ dan lainnya)
k. Catatan dan saran dari tim kesehatan lainnya
Penjelasan dalam catatan resume pemulangan
2. pasien menggunakan bahasa yang jelas, singkat,
dan tulisan dapat dibaca oleh pasien dan keluarga
Terdapat tanda tangan/ paraf tim kesehatan
3. (perawat, dokter, petugas rehabilitasi, psikolog, ahli
nutrisi, dan lainnya)
4. Dokumentasi dilakukan secara komputerisasi

CATATAN: hanya dilakukan dengan cara melihat dokumen discharge planning yang ada di
ruangan.Minimal 25 dokumen.

1. Instrumen E

Instrumen Penilaian Kecenderungan Gaya Kepemimpinan


No. Situasi Alternatif Tindakan
1. Akhir-akhir ini perawat anda tidak A. Menekankan penggunaan prosedur yang
menanggapi anda tentang tugas-tugas seragam dan keharusan menyelesaikan
keperawatan, sedangkan perhatian anda tugas
terhadap kesejahteraan mereka tampak B. Anda menyediakan waktu untuk
menurun dengan tajam berdiskusi, tapi tidak mendorong
keterlibatan anda
C. Berbicara dengan bawahan dan
menyusun program-program
D. Secara sengaja tidak campur tangan

2 Kinerja perawat anda tampak A. Melibatkan diri dalam interaksi yang


meningkat, anda merasa, yakin bahwa bersahabat, tetapi terus berusaha
semua anggota menyadari tanggung memastikan bahwa semua anggota
jawab dan standar penampilan yang menyadari tanggung jawab dan standar
diharapkan dari mereka penampilan
B. Tidak mengambil tindakan apapun
C. Melakukan apa saja yang dapat anda
kerjakan untuk membuat kelompok
merasa penting dan dilibatkan
D. Menekankan pentingnya batas waktu
dan tugas-tugas

3. Perawat anda tidak dapat memecahkan A. Bekerja dengan kelompok dan bersama-
suatu masalah. Anda biasanya sama terlibat dalam pemecahan masalah
membiarkan mereka bekerja sendiri. B. Membiarkan kelompok mengusahakan
Selama ini kinerja kelompok dan sendiri pemecahannya
hubungan antara anggota baik. C. Bertindak cepat dan tegas untuk
mengoreksi dan mengarahkan kembali
D. Mendorong kelompok untuk berusaha
memecahkan masalah dan mendukung
usaha mereka

4. Anda sedang mempertimbangkan A. Melibatkan kelompok perawat dalam


adanya suatu perubahan. Perawat anda mengembangkan perubahan itu, tapi
menunjukkan kinerja yang baik. Merek jangan terlalu mengarahkan
menyambut perlunya perubahan dengan B. Merumuskan perubahan-perubahan dan
baik. kemudian menerapkan dengan
pengawasan yang cermat
C. Membiarkan kelompok merumuskan
arahannya sendiri
D. Mengikuti rekomendasi kelompok, tapi
anda mengarahkan perubahan.

5. Kinerja perawat anda menurun selama A. Melakukan apa saja yang dapat anda
beberapa bulan terakhir. Perawat anda kerjakan untuk membuat kelompok
telah mengabaikan pencapaian tujuan. merasa penting dan dilibatkan
Penegasan kembali peranan dan B. Menekankan pentingnya batas waktu
pertanggung jawaban telah sangat dan tugas-tugas
membantu mengatasi situasi tersebut di C. Secara sengaja tidak mengambil
masa lalu. Mereka secara terus menerus tindakan apa-apa
memerlukan peringatan untuk D. Mengusahakan keterlibatan kelompok
menyelesaikan tepat pada waktunya. dalam pengambilan keputusan, tapi
dilihat apakah tujuan tercapai.

6. Anda memasuki suatu organisasi yang A. Menjelaskan perubahan mengawasi


berjalan secara efisien. Pemimpin dengan cermat
sebelumnya mengontrol situasi dengan B. Mengikutsertakan kelompok dalam
tepat. Anda ingin mempertahankkan mengembangkan perubahan, tetapi
situasi yang produktif, tetapi ingin pula membiarkan mereka menerapkan
membangun lingkungan yang sendiri.
manusiawi. C. Menyetujui adanya perubahan seperti
yang direkomendasikan, tapi
mempertahankan pengawasan dalam
penerapan.
D. Membiarkan kelompok sendirian
sebagaimana adanya.

7. Anda mempertimbangkan untuk A. Menjelaskan perubahan mengawasi


berubah kepada suatu struktur yang dengan cermat
baru bagi perawat anda. Para perawat B. Mengikutsertakan kelompok dalam
telah menyampaikan saran-saran mengembangkan perubahan, tetapi
mengenai perubahan yang diperlukan. membiarkan mereka menerapkan
Kinerja perawat selama ini produktif sendiri.
dan mendemonstrasikan keluasan C. Menyetujui adanya perubahan seperti
pelaksanaan tugas. yang direkomendasikan, tapi
mempertahankan pengawasan dalam
penerapan.
D. Membiarkan kelompok sendirian
sebagaimana adanya.
8. Kinerja perawat dan hubungan antara A. Membiarkan kelompok bertindak sendiri
perawat adalah baik. Anda merasa B. Mendiskusikan situasi dengan kelompok
sedikit ragu-ragu mengenai kurangnya kemudian anda memulai perubahan-
pengaturan tentang bawahan. perubahan yang perlu
C. Mengambil langkah-langkah untuk
mengarahkan perawat kearah
pelaksanaan tugas-tugas dengan
perencanaan dengan baik.
D. Bersikap sportif dalam situasi dengan
kelompok, tapi tidak terlalu
mengarahkan.

9. Atasan telah menegaskan anda untuk A. Membiarkan kelompok kreatif dalam


memimpin satuan tugas yang sangat memecahkan masalah sendiri
terlambat dalam membuat rekomendasi B. Menyetujui rekomendasi kelompok
bagi perubahan yang diharapkan. tetapi lihat apakah tujuan tercapai
Tujuan kelompok tidak jelas. Kehadiran
anggota dalam persidangan tidak seperti C. Menegaskan kembali tujuan-tujuan dan
yang diharapka. Pertemuan-pertemuan mengawasinya dengan ketat.
diharapkan. Pertemuan-pertemuan telah D. Membiarkan keterlibatan kelompok
beralih fungsi menjadi ajang berbincang dalam penyusunan tujuan tetapi tidak
antar anggota mendorong

10. Perawat anda yang biasanya mampu A. Membiarkan keterlibatan kelompok


memikul tanggung jawab, tidak dalam menegaskan kembali standar,
menegaskan kembali standar yang anda tidak melakukan kontrol
tetapkan baru-baru ini. B. Menegaskan kembali standar dan
mengawasinya dengan saksama
C. Menghindari konfrontasi dengan tidak
melakukan tekanan dan membiarkan
saja situasi demikian
D. Mengikuti rekomendasi kelompok,
tetapi lihat apakah tujuannya telah
tercapai

11. Anda dipromosikan pada posisi yang A. Mengambil langkah-langkah untuk


beru, pimpinan sebelumnya tidak mengarahkan bawahan kearah
terlihat dalam persoalan kelompok. pelaksanaan tugas dengan perencanaan
Tugas-tugas dan pengarahan kelompok tugas dengan perencanaan yang baik
telah ditangani secara memadai B. Melibatkan bawahan dalam
pengambilan keputusan dan mendorong
untuk memberikan kontribusi yang
konstruktif
C. Mendiskusikan kinerja di masalalu
dengan kelompok dan kemudian anda
menguji praktik-praktik baru
D. Membiarkan kelompok bertindak
sebagaimana adanya
12. Informasi terbaru menunjukkan A. Mencoba solusi anda bersama tim dan
beberapa kesulitan internal diantara memeriksa kebutuhan tentang prosedur
anggota tim. Tim perawat memiliki baru
catatan tentang keberhasilan B. Memperbolehkan anggota tim bekerja
menyelesaikan tugas. Anggota tim telah sendiri
secara efektif mempertahankan tujuan C. Bertindak cepat dan keras untuk
jangka panjang. Mereka telah bekerja mengoreksi dan mengarahkan
secara harmonis selama setahun teakhir. D. Membuat diri anda siap berdiskusi tetapi
Semua memiliki kualifikasi yang baik tetap berusaha tidak merusak hubungan
terhadap tugas. antara pemimpin dan anggota
2. Instrumen F

Kuesioner Kepuasan Kepemimpinan Kepala Ruangan Rawat Inap Rawas 1.1


N
FUNGSI PERENCANAAN STP TP CP P SP KODE
O
1 Kepala ruangan telah menyusun
rencana kegiatan asuhan keperawatan
diruang rawat inap setiap tahun dengan
baik
2 Kepala ruangan menyusun rencana
kegiatan asuhan keperawatan diruang
rawat inap setiap bulan dengan baik
3 Kepala ruangan menyusun rencana
kegiatan asuhan keperawatan diruang
rawat inap setiap minggu
4 Kepala ruangan menyusun rencana
kegiatan asuhan keperawataan diruang
rawat inap setiap hari dengan baik
5 Kepala ruangan merencanakan
kebutuhan tenaga perawat sesuai
diruang rawat inap dengan baik
6 Kepala ruangan merencanakan metode
penugasan perawat diruang rawat inap
7 Kepala ruangan pernah merencanakan
pelatihan bagi perawat tentang asuhan
keperawatan
8 Kepala ruangan selalu merencanakan
kebutuhan logistic (form, bahan habis
pakai perawatan,dll) ruang rawat inap
sesuai kebutuhan

Keterangan :
STP : Sangat Tidak Puas
TP : Tidak Puas
CP : Cukup Puas
P : Puas
SP : Sangat Puas

Sumber :
Nursalam. (2013). Metodelogi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pendekatan Praktik Edisi 3.
Jakarta: Salemba Medika

N
FUNGSI PENGORGANISASIAN STP TP CP P SP KODE
O
1 Kepala ruangan sudah merumuskan
dengan baik metode / system
penugasan untuk perawat diruang
rawat inap
2 Kepala ruangan sudah merumuskan
dengan baik tujuan metode / system
penugasan untuk perawat diruang
rawat inap
3 Kepala ruangan sudah membuat rincian
tugas ketua tim dan anggota tim dan
anggota tim keperawatan secara jelas
4 Kepala ruangan sudah pernah membuat
rentang kendali : membawahi ketua tim
dan ketua tim membawahi perawat
pelaksana
5 Kepala ruangan sudah mengatur dan
mengendalikan dengan baik tenaga
keperawatan seperti membuat roster
dines, jdwal pekarya dll
6 Kepala ruangan telah menetapkan
standar dan sasaran asuhan
keperawatan diruang rawat inap
7 Kepala ruangan selalu mendelegasikan
tugas keperawatan kepada ketua tim
saat tidak berada ditempat
8 Kepala ruangan sudah memberikan
wewenang kepada tenaga tata usaha
untuk mengurus administrasi klien
dengan baik
9 Kepala ruangan pernah memfasilitasi
kolaborasi dengan tenaga lainya yang
ada diruang rawat inap
10 Kepala ruangan selalu melakukan
koordinasi dengan baik pelayanan dan
asuhan keperawatan dengan ruang
rawat inap lain

N
FUNGSI PENGARAHAN STP TP CP P SP KODE
O
1 Kepala ruangan selalu member umpan
balik dalam pelaksanaan asuhan
keperawatan
2 Kepala ruangan selalu
menginformasikan hal – hal penting
yang berhubungan dengan asuhan
keperawatan
3 Kepala ruangan selalu melibatkan
perawat sejak awal hingga akhir
kegiatan asuhan keperawatan
4 Kepala ruangan pernah member
motivasi dalam meningkatkan
pengetahuan keterampilan dan sikap
dalam asuhan keperawatan
5 Kepala ruangan selalu memberi pujian
kepada perawat dalam melaksanakan
asuhan keperawatan
6 Kepala ruangan sudah membimbing
perawatn dalam melaksanakan asuhan
keperawatan dengan benar
7 Kepala ruangan selalu meningkatkan
kolaborasi dengan anggota tim lain
dalam asuhan keperawatan

NO FUNGSI PENGAWASAN STP TP CP P SP KODE

1 Kepala ruangan pernah menilai


pelaksanaan asuhan keperawatan
2 Kepala ruangan selalu
mengkomunikasikan untuk suvervisi
kepada staf keperawatan dengan jelas
3 Kepala ruangan selalu melakukan
suvervisi langsung perawat pelaksana
dalam asuhan keperawatan
4 Kepala ruangan selalu melakukan
pemeriksaan rutin dokumen asuhan
keperawatan dari perawat pelaksana
5 Kepala ruangan selalu mengecek daftar
hadir ketua tim dan anggota tim dalam
asuhan keperawatan setiap hari
6 Kepala ruangan saat supervise selalu
memperhatikan kemajuan dan kualitas
asuhan keperawatan
7 Kepala ruangan kepala ruangan pernah
terlibat dalam memperbaiki /
mengatasi kelemahan asuhan
keperawatan pada saat supervise
8 Kepala ruangan selalu mengevaluasi
penampilan kerja ketua tim dan
pelaksana dalam asuhan keperawatan
9 Kepala ruangan menggunakan standar
untuk menilai rencana asuhan
keperawatan

N
FUNGSI PENGENDALIAN STP TP CP P SP KODE
O
1 Kepala ruangan pernah pernah
melakukan audit dokumentasi proses
keperawatan tiap dua bulan sekali
2 Kepala ruangan selalu melakukan
survey kepuasan klien dan keluarga
setiap kali pulang dengan format yang
telah ditetapkan
3 Kepala ruangan selalu melakukan
survey kepuasan perawat 6 bulan
sekali dengan format yang telah
ditetapkan
4 Kepala ruangan pernah melakukan
survey kepuasan tenaga kesehatan lain
5 Kepala ruangan selalu mengecek daftar
hadir ketua tim dan anggota tim dalam
asuhan keperawatan setiap hari
6 Kepala ruangan pernah menindak
lanjuti hasil untuk perbaikan mutu
asuhan keperawatan
7 Kepala ruangan selalu mengendalikan
logistic (form, bahan habis pakai
perawatan, dll) diruang rawat inap
8 Kepala ruangan selalu melakukan
penilaian perawat diruang rawat inap
9 Kepala ruangan selalu memfasilitasi
penilaian sejawat diruang rawat inap

Keterangan :
STP : Sangat Tidak Puas SP : Sangat Puas
TP : Tidak Puas
CP : Cukup Puas
P : Puas
Instrumen Klasifikasi Tingkat Ketergantungan Klien

(Berdasarkan Teori Douglas)

No. KLASIFIKASI DAN KRITERIA YA TIDAK KET

I. MINIMAL CARE
1. Pasien bis amandiri/hamper tidak
memerlukan bantuan
1. Mampu naik turun tempat tidur.
2. Mampu ambulasi dan berjalan
sendiri.
3. Mampu makan dan minum
sendiri.
4. Mampu mandi sendiri/mandi
sebagian dengan bantuan.
5. Mampu membersihkan
mulut( sikat gigi sendiri)
6. Mampu berpakaian dan
berdandan dengan sedikit
bantuan.
7. Mampu BAB dan BAK dengan
sedikit bantuan.
2. Status psikologis stabil
3. Pasien dirawat untuk prosedur
diagnostik.
4. Operasi ringan.
II. PARTIAL CARE
1. Pasien memerlukan bantuan
perawat sebagian:
1.Membutuhkan bantuan 1 orang
untuk naik-turun tempat tidur.
2. Membutuhkan bantuan untuk
ambulasi/berjalan.
3. Membutuhkan bantuan dalam
menyiapkan makanan.
4. Membutuhkan bantuan untuk
makan( disuap ).
5. Membutuhkan bantuan dalam
membersihkan mulut.
6. Membutuhkan bantuan untuk
berpakaian  dan berdandan.
7.Membutuhkan bantuan untuk
BAB dan BAK ( tempat tidur /
kamar mandi ).
2. Pasca operasi minor ( 24 jam ).
3. Melewati fase akut dari pasca
operasi mayor.
4. Fase awal dari penyembuhan.
5. Observasi tanda-tanda vital setiap
4 jam.
6. Gangguan operasional ringan.
III. TOTAL CARE
1. Pasien memerlukan bantuan
perawat sepenuhnya dan
memerlukan waktu perawat yang
lebih lama.
1. Membutuhkan 2 orang atau
lebih untuk mobilisasi dari
tempat tidur kekereta
dorong/kursi roda.
2. Membutuhkan latihan asif.
3. Kebutuhan nutrisi dan cairan di
penuhi melalui intravena
(infus) atau NG Tube (sonde).
4. Membutuhkan bantuan untuk
kebersihan mulut.
5. Membutuhkan bantuan penuh
untuk berpakaian dan
berdandan.
6. Dimandikan perawat / keluarga.
7. Dalam keadaan inkontinensia,
pasien menggunakan kateter.
2. Setelah 24 jam pasca operasi
mayor.
3. Pasien dalam keadaan tidak sadar.
4. Keadaan pasien tidak stabil.
5. Observasi TTV setiap kurang 2
jam.
6. Perawatan luka bakar.
7. Perawatan kolostomi.
8. Menggunakan alat bantu
pernafasan.
9. Menggunakan WSD.
10. Irigasi kandung kemih secara terus
menerus.
11. Menggunakan alat traksi( skeletal
traksi ).
12. Fraktur atau pasca operasi tulang
belakang/leher.

13. Gangguan emosional berat,


bingung disorientasi.
Sumber : Douglas (1984, dalam Swansburg, 1999)

DOKUMENTASI
PENGISIAN KUESIONER
Gambar 8. Proses pengisian kuesioner kepuasan pasien

DOKUMENTASI KAJIAN SITUASIONAL


LINGKUNGAN FISIK

Anda mungkin juga menyukai