Anda di halaman 1dari 33

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Sistem pencernaan

Gambar 2.1

Sistem pencernaan

Sumber : Deden dermawan 2010

Sumber : Tortora dan Bryan, 2009

7
8

Sistem pencernaan atau sistem gastrointestinal (mulai dari

mulut sampai anus) adalah sistem organ dalam manusia yang

berfungsi untuk menerima makanan, mencernanya menjadi zat-zat

gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran darah serta

membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna atau

merupakan sisa proses tersebut dari tubuh. Saluran pencernaan

terdiri dari mulut, tenggorokan (faring), kerongkongan, lambung,

usus halus, usus besar, rectum dan anus. Sistem pencernaan juga

meliputi organ-organ yang terletak di luar saluran pencernaan, yaitu

pankreas, hati dan kandung empedu.

1. Mulut/oris

Mulut adalah permulaan saluran pencernaan yang terdiri

atas 2 bagian :

a. Bagian luar yang sempit atau verstibula yaitu ruang diantara

gusi, gigi, bibir, dan pipi

b. Bagian rongga mulut / bagian dalam, yaitu rongga mulutyang

dibatasi sisinya oleh tulang maksilaris, palatum dan

mandibularis disebelah belakang bersambung dengan faring.

2. Faring

Merupakan organ yang menghubungkan rongga mulut

dengan kerongkongan (esofagus), di dalam lengkung faring

terdapat tonsil (amandel) yaitu kumpulan kelenjr limfe yang

mengndung limfosit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi.


9

3. Esofagus

Merupakan saluran yang menghubungkan tekak dengan

lambung, panjangnya ± 25 cm, mulai dari faring sampai pintu

masuk kardiak di bawah lambung. Lapisan dingding dari dalam

keluar, lapisan selaput lendir ( mukosa), lapisan submukosa,

lapisan otot melingkar serkuler dan lapisan otot memanjang

longitudinal. Esofagus terletak di belakang trakea dan di depan

tulang punggung setelah melalui toraks menembus diagfragma

masuk kedalam abdomen menyambung dengan lambung.

4. Gaster (lambung)

Merupakan bagian dari saluran yang dapat mengembang

paling banyak terutama di daerah epigaster, lambung terdiri dari

bagian atas fundus uteri berhubungan dengan esophagus melalui

orifisium, terletak di bawah diafragma di depan pangkreas dan

limpa, menempel di sebelah kiri fundus uteri.

5. Usus Halus (usus kecil)

Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran

pencernaan yang terletak di antara lambung dan usus besar.

Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang mengangkut zat-

zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus

melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang

membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna).

Dinding usus juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang

mencerna protein, gula dan lemak. Lapisan usus halus meliputi,


10

lapisan mukosa (sebelah kanan), lapisan otot melingkar (M

sirkuler), lapisan otot memanjang (M longitudinal) dan lapisan

serosa (sebelah luar). Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu

usus dua belas jari duodenum), usus kosong (jejenum) dan usus

penyerapan (ileum). Villi usus halus terdiri dari pipa berotot (> 6

cm), pencernaan 9 secara kimiawi, penyerapan makanan.

Terbagi atas usus 12 jari (duodenum), usus tengah (jejenum),

usus penyerapan (ileum).

1. Usus dua belas jari (Duodenum)

Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari

usus halus yang terletak setelah lambung dan

menghubungkannya ke usus kosong (jejenum). Bagian usus

dua belas jari merupakan bagian terpendek dari usus halus,

dimulai dari bulbo duodenale dan berakhir di ligamentum

Treitz. Usus dua belas jari merupakan organ retroperitoneal,

yang tidak terbungkus seluruhnya oleh selaput peritoneum.

pH usus dua belas jari yang normal berkisar pada derajat

sembilan. Pada usus dua belas jari terdapat dua muara

saluran yaitu dari pancreas dan kantung empedu. Nama

duodenum berasal dari bahasa Latin duodenum digitorum,

yang berarti dua belas jari. Lambung melepaskan makanan

ke dalam usus dua belas jari (duodenum), yang merupakan

bagian pertama dari usus halus. Makanan masuk ke dalam

duodenum melalui sfingter pylorus dalam jumlah yang bisa


11

dicerna oleh usus halus. Jika penuh, duodenum akan

mengirimkan sinyal kepada lambung untuk berhenti

mengalirkan makanan.

2. Usus Kosong (jejenum)

Usus kosong atau jejenum (terkadang sering ditulis

yeyunum) adalah bagian dari usus halus, diantara usus dua

belas jari 10 (duodenum) dan usus penyerapan (ileum). Pada

manusia dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-8

meter, 1-2 meter adalah bagian usus kosong. Usus kosong

dan usus penyerapan digantungkan dalam tubuh dengan

mesenterium. Permukaan dalam usus kosong berupa

membran mukus dan terdapat jonjot usus (vili), yang

memperluas permukaan dari usus. Secara histologis dapat

dibedakan dengan usus dua belas jari, yakni berkurangnya

kelenjar Brunner. Secara hitologis pula dapat dibedakan

dengan usus penyerapan, yaitu sedikitnya sel goblet dan plak

Peyeri. Sedikit sulit untuk membedakan usus kosong dan

usus penyerapan secara makroskopis.

3. Usus Penyerapan (ileum)

Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari

usus halus. Pada sistem pencernaan manusia, ini memiliki

panjang sekitar 2-4 m dan terletak setelah duodenum dan

jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu. Ileum memiliki pH


12

antara 7 dan 8 (netral atau sedikit basa) dan berfungsi

menyerap vitamin B12 dan garam-garam empedu.

6. Usus Besar (Kolon)

Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus

antara usus buntu dan rektum. Fungsi utama organ ini adalah

menyerap air dari feses. Usus besar terdiri dari kolon asendens

(kanan), kolon transversum, kolon desendens (kiri), kolon

sigmoid (berhubungan dengan rectum) 11 Banyaknya bakteri

yang terdapat didalam usus besar berfungsi mencerna makanan

beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi. Bakteri

didalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting,

seperti vitamin K. Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari

usus. Beberapa penyakit serta antibiotik bisa menyebabkan

gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus besar. Akibatnya

terjadi iritasi yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan

air, dan terjadilah diare.

7. Usus Buntu (sekum)

Usus buntu atau sekum (Bahasa Latin : caecus, “buta”)

dalam istilah anatomi adalah suatu kantung yang terhubung pada

usus penyerapan serta bagian kolon menanjak dari usus besar.

Organ ini ditemukan pada mamalia, burung, dan beberapa jenis

reptil. Sebagian besar herbivore memiliki sekum yang besar,

sedangkan karnivora ekslusif memiliki yang kecil, yang sebagian

atau seluruhnya digantikan oleh umbai cacing.


13

8. Umbai Cacing (Appendix)

Umbai cacing atau apendiks adalah organ tambahan pada

usus buntu. Infeksi pada organ ini disebut apendisitis atau radang

umbai cacing. Apendisitis yang parah dapat menyebabkan

apendiks pecah dan membentuk nanah di dalam rongga abdomen

atau peritonitis (infeksi rongga abdomen). Dalam anatomi

manusia, umbai cacing adalah ujung buntu tabung yang

menyambung dengan caecum. Umbai cacing terbentuk dari

caecum pada tahap embrio. Dalam 12 orang dewasa, umbai

cacing berukuran sekitar 10 cm tetapi bisa bervariasi dari 2

sampai 20 cm. walaupun lokasi apendiks selalu tetap, lokasi

ujung umbai cacing bisa berbeda-beda di retrocaecal atau di

pinggang (pelvis) yang jelas tetap terletak di peritoneum. Banyak

orang percaya umbai cacing tidak berguna dan organ vestigial

(sisihan), sebagian yang lain percaya bahwa apendiks

mempunyai fungsi dalam sistem limfatik. Operasi membuang

umbai cacing dikenal sebagai appendiktomi.

9. Rektum dan Anus

Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari usus

besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini

berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses.

Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpang ditempat

yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon

desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul


14

keinginan untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya

dinding rektum karena penumpukan material didalam rectum

akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk

melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, seringkali

material akan dikembalikan ke usus besar, dimana penyerapan

air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk

periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi.

Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan keinginan

ini, tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami kekurangan

dalam pengendalian otot yang penting untuk menunda BAB.

Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana

bahan limba keluar dari tubuh. Sebagian besar anus terbentuk

dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lainnya dari usus.

Pembukaan dan penutupan anus diatur oleh otot spinter. Feses

dibuang dari tubuh melalui proses defekasi (buang air besar –

BAB), yang merupakan fungsi utama anus.

2.1.1 Fisiologi apendiks

Secara fisiologi apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml

per hari. Lendir tersebut normalnya dicurahkan kedalam

lumen dan selanjutnya mengalir kesektum. Hambatan

aliran lendir di muaran apendiks tampaknya berperan

pada patogenesis apendisitis.Imunoglobulin sekretoar

yang di hasilkan oleh Gut associated Lymphoid Tissue (

Galt ) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk


15

apendiks adalah Iga, imunoglobulin tersebut sangat

efektif sebagai pelindung infeksi. Namun demikian,

pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun

tubuh karena jumlah jaringan limfe disini sangat kecil

jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna

dan diseluruh tubuh. Istilah usus buntu yang dikenal

dimasyarakat awam adalah kurang tapat karena usus

yang buntu sebenarnya adalah sekum.

2.2 Konsep penyakit apendisitis

2.2.1 Definisi

Apendisitis merupakan penyakit bedah mayor yang

paling sering terjadi, walaupun apendisitis dapat terjadi

setiap usia, namun paling sering pada dewasa muda,

sebelum era antibiotik, mortalitas penyakit ini tinggi.

Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada

usus buntu atau umbai cacing ( apendiks). Usus buntu

sebenernya adalah sekum (secum). Infeksi ini bisa

mengakibatkan peradangan akut sehingga memerlukan

tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang

umumnya berbahaya (Wim de jong.2009).

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks

vermiformis dan merupakan penyebab abdomen akut

yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua


16

umur baik laki-laki maupun perempun, tetapi lebih

sering menyerang laki-laki berusia 10-30 tahun

(Mansjoer,2010).

Insiden appendisitis puncaknya pada dekade pertama

dan kedua, jarang terjadi pada usia sangat muda atau

sangat tua namun perporasi sering terjadi pada anak-anak

dan usia lanjut dimana periode ini merupakan angka

tertinggi pada mortalitas. Pria dan wanita sama sama

dapat terkena kecuali, pada antara umur purbertas dan

umur 25 tahun dimana pria dominan dengan rasio 3:2


17

2.1.4 Patofisiologi

Bagan 2.1

Pathway Apendisitis

Invasidanmultipikasi hipertermi febris

Peradangan pada Kerusakan control suhu


apendisitis jaringan terhadap inflamasi

operasi Secresi mucus berlebih pada


lumen apendik

Luka insisi ansietas

Kerusakan jaringan Pimtu masuk kuman

Ujung saraf terputus Resiko infeksi

Pelepasan prostaglandin Kerusakan integritas jaringan

Stimulasi dihantarkan Tekanan intraluminal lebih


Spasme dinding apendik
dari tekanan vena
Spinal cord
nyeri
Hipoksia jaringan apendik
Cortex cerebri
Nyeri dipersepsikan
ulcerasi
Resiko ketidakefektifan
perfusi gastro inyestinal perforasi

anestesi Reflekbatuk Akumulasi secret

Peristaltik usus Depresi system respirasi Ketidakefektifan


bersihan jalan napas
anoreksia
Distensi abdomen

Ketidakseimbangan nutrisi
Gangguan rasa nyaman kurangdarikebutuhannutrisi
Mual dan muntah

Resiko kekurangan volume


cairan
17 Nuratif. Kusuma. 2015
18
18

Apendiks belum diketahui fungsinya, merupakan bagian

dari sekum. Peradangan pada apendiks dapat terjadi oleh

adanya ulserasi dingding mukosa atau obsutruksi lumen

(biasanya oleh fecalit/feases yang keras). Penyumbatan

pengeluaran sekret mukus mengakibatkan perlengketan,

infeksi dan terhambatnya aliran darah. Dari keadaan hipoksia

mengakibatkan gangren atau ruptur dalam waktu 24-36 jam.

Bila proses ini berlangsung terus-menerus organ disekitar

dingding apendiks terjadi perlengketan dan akan menjadi akses

(kronik), apabila proses infeksi sangat cepat (akut) dapat

menyebkan peritonitis. Peritonitis merupakan komplikasi yang

sangat serius. Infeksi kronis dapat terjadi pada apendiks, tetapi

hal ini tidak selalu menimbulkan nyeri didaerah abdomen.

Penyebab utama apendisitis adalah obstruksi penyumbatan

yang dapat disebabkan oleh hiperplasia dari folikel limfoid

merupakan penyebab terbanyak, adanya fekalit dalam lumen

apendiks. Adanya benda asing seperti cacing, striktura karena

fibrosis akibat peradangan sebelumnya, sebab lain misalnya

keganasan (karsinoma karsinooid).

Obstruksi apendiks itu menyebabkan mukus yang

diproduksi mukosa terbendung, maka lama mukus yang

terbendung makin banyak dan menekan dingding apendiks

oedem serta merangsang tunika serosa dan peritonium viseral.

Oleh karena itu persarapan apendiks sama dengan usus yaitu


19

torakal maka rangsangan itu dirsakan sebagai rasa sakit

disekitar umbilikus.

Mukus yang terkumpul itu lalu terinfeksi oleh bakteri

menjadi nanah, kemudian timbul gangguan aliran vena,

sedangkan arteri belum terganggu, peradangan yang timbul

meluas dan mengenai peritomium parietal setempat, sehingga

menimbulkan rasa sakit dikanan bawah, keadaan ini disebut

dengan apendisitis supuratif akut.

Bila kemudian aliran arteri terganggu maka timbul alergen

dan ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dingding

apendiks yang telah akut itu pecah, dinamakan apendisitis

perforasi. Bila omentum usus yang berdekatan dapat

mengelilingi apendiks yang meradang atau perforasi akan

timbul masa lokal, keadaan ini disebut sebagai apedisitis abses.

( Rahayuningsih 2010).

2.1.3 Etiologi Apendiks

Apendiks merupakan organ yang belum diketahui fungsinya

tetapi menghasilkan lender 1-2 ml per hari yang normalnya

dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir kesekum.

Hambatan aliran lendir dimuara apendiks tampaknya berperan

dalam pathogenesis apendiks. ( wim dejong,2009 )

Menurut klasifikasi:

1. Apendisitis akut merupakan infeksi yang disebabkan oleh

bakteria. Dan faktor pencetusnya disebabkan oleh sumbatan


20

lumen apendik. Selain itu hyperplasia jaringan limf, fikalit

(tinja/batu), tumor apendiks, dan cacing askaris yang dapat

menyebabkan sumbatan dan juga erosi mukosa apendiks

karena parasit (E. Histolytica 2010)

2. Apendisitis rekurens yaitu jika ada riwayat nyeri berulang

diperut kanan bawah yang mendorong dilakukan

apendiktomi. Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis

akut pertama kali sembuh spontan. Namun apendisitis tidak

pernah kembali kebentuk aslinya karena terjadi fibrosis dan

jaringan parut.

3. Apendisitis kronis memiliki semua gejala riwayat nyeri

perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik

apendiks secara makroskopik dan mikroskopik (fibrosis

menyeluruh dingding apendiks, sumbatan parsial atau

lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama

dimukosa dan infiltasi sel inflamasi kronik).

2.1.4 Manisfestasi Klinis Apendisitis

Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik

apendisitis adalah nyeri samar(nyeri tumpul) di daerah

epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus. Keluhan ini

biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah,

dan pada umumnya nafsu makan menurun. Kemudian dalam

beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, di

titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga
21

merupakan nyeri somatik setempat. Namun terkadang tidak

terasa adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat

konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat

pencahar. Tindakan ini dianggap berbahaya karena bisa

mempermudah terjadinya perforasi. Terkadang apendisitis juga

disertai dengan demam derajat rendah.

2.1.5 Klasifikasi Appendiksitis

Klasifikasi appendiksitis menurut klinikopatologis :

1. appediksitis akut adalah keadaan akut abdomen yang

memerlukan pemedahaan segera untuk mencegah

komplikasi yang lebih buruk jika telah terjadi perporasi

maka komplikasi dapat terjadi seperti peritonitis umu,

terjadinya abses, dan komplikasi pasca operasi seperti

vistula dan infeksi luka operasi ( Berger, 2009 ).

Klasifikasi appendiksitis akut :

Appendiksitis akut simple : peradangan baru terjadi di

mukosa dan sub mukosa. Gejala diawali dengan rasa nyeri di

daerah umbilicus, mual, muntah, anoreksia, malaise dan

demam ringan. Appendiksitis hiperemia dan tidak ada

eksudet serosa.

a. Appendiksitis supuratif : Ditandai dengan rangsangan

peritonium lokal seperti, nyeri tekan, nyeri lepas di titik

MC Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif

dan pasit.
22

b. Appendiksitis akut Gangrenosia : didapatkan tanda-tanda

superatif, appendiks mengalami gangren pada bagian

tertentu. Dingding appendiks berwarna ungu, hijau

keabuan atau merah kehitaman. Jika appendiksitis akut

akan berlangsung lebih dari 48 jam maka keadaan dapat

berubah menjadi sembuh, infiltra, abses, perforasi,

kronik.

a) Appendiksitis infilrate adalah proses radang

appendiks yang penyebaranya dapat dibatasi oleh

omentum, usus halus, sektum, kolon dan peroneum

sehingga membentuk gumpalan massa flegmon yang

melekat erat satu dengan yang lainnya.

b) Appendiks abses terjadi bila massa lokal yang

terbentuk berisi nanah

c) Appendiks perporasi adalah pecahnya appendiks

yang sudah gangren yang menyebabkan pus masuk

kedalam rongga perut sehingga terjadi perotonitis

umum

d) Appendiks kronik adalah nyeri perut kanan bawah

lebih dari 2 minggu atau terjadi secara menahun.

Komplikasi

Pada kebanyakan kasus, peradangan dan infeksi

appendiks mungkin didahului oleh adanya

penyumbatan di dalam appendiks. Bila peradangan


23

berlanjut tanpa pengobatan appendiks bisa pecah.

Appendiks yang pecah dapat menyebabkan :

a. Perotinitis

b. Perforasi dengan pembentukan abses

c. Masuknya kuman ke dalam pembeluh abses

d. Masuknya kuman kedalam pembuluh darah

2. Apendisitis kronik

Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika

ditemukan adanya riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari

2 minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan

mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah

fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau

total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama

di mukosa dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden

apendisitis kronik antara 1-5%. Apendisitis kronik kadang-

kadang dapat menjadi akut lagi dan disebut apendisitis kronik

dengan eksaserbasi akut yang tampak jelas sudah adanya

pembentukan jaringan ikat (Rukmono, 2011).

2.1.5 Penatalaksanaan

1. Teknik operasi appendiktomi

Appendiktomi adalah pengangkatan appendiks terinflamasi dapat

dilakukan oleh pasien rawat jalan dengan menggunakan

pendekatan endoskopi, namun karena adanya perlengketan


24

multiple, posisi retriperitoneal dari appendiks, atau robet perlu

dilakukan prosedur pembukaan (Marilynn Doenges,2009).

a. Indikasi

a) Appendisitis akut.

b) Appendisitis infiltrat.

c) Appedisitis perporasi.

d) Appendisitis kronik.

b. Persiapan pembedahan

a) Puasa.

b) Antibiotika.

c) Premedikasi

d) Lapangan operasi

c. Penyulit appendiktomi

a) Durante operasi :

1) Perdarahan intra peritonial.

2) Perdarahan dari otot dingding perut.

3) Robekan usus.

b) Pasca pembedahaan dini :

1) Perdarahan.

2) Peritonitis.

3) Infeksi dingding perut.

2. Tehnik operasi laparatomi.

Laparatomi merupakan tindakan operasi pada daerah abdomen,

membuka selaput perut dengan operasi (Ramli,2008). Sedangkan


25

menurut (Mansjoer,2009). Laparatomi adalah pembedahan yang

di lakukan pada usus akibat terjadinya perlekatan usus dan

biasanya terjadi pada usus halus.

2.1.6 Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksan fisik

Palpasi : darah perut kanan bawah bila ditekan akan merasa

nyeri dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri (

Blumberg sign) yang mana merupakan kunci dari diagnosis

apendiks akut.

a) Dengan tindakan tungkai kanan dan paha ditekuk kuat/

tungkai diangkat tinggi-tinggi, maka rasa nyeri di perut

semakin parah

b) Kecurigaan adanya peradangan usus buntu semakin

bertambah bila pemeriksaan tubur.

c) Suhu dubur (rectal) yang lebih tinggi dari suhu ketiak, lebih

menunjang lagi adanya radang usus buntu

d) Pada apendiks terletak pada retro sekali maka uji psoas akan

positif dan tanda perangsangan peritonium tidak begitu

jelas, sedangkan bila apendiks terletak di rongga pelvis.

2. Pemeriksaan laboratorium

Kenaikan sel darah putih (leukosit) hingga sekitar 10.000-

18.000/mm3. Jika terjadi peningkatan yang lebih dari itu,

maka kemungkinan apendiks sudah mengalami perforasi

(pecah).
26

3. Pemeriksaan radiologi

a. Foto polos perut dapat memperlihatkan adanya feklait

b. Ultrasonografi (USG)

c. Pemeriksaan CT scan

d. Kasus kronik dapat dilakukan rontgen foto abdomen, USG

abdomen.

2.3 Konsep post op appendiktomi

2.3.1 Definisi

Appendiktomi adalah suatu intervensi bedah untuk

melakukan pengangkatan bagian tubuh yang mengalami

masalah atau mempunyai penyakit. (Mutaqin,2009).

Appendiktomi adalah pembedahan untuk mengangkatan

apendik. Operasi apendiktomi yaitu pembedahan untuk

mengangkat apendik yang dilakukan segera mungkin untuk

menurunkan resiko perforasi (Jitowiyono, 2010).

a. Tahap operasi apendiktomi

1) Pre operasi.

a. Observasi.

Klien dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan,

tanda gejala appendisitis sering kali masih belum

jelas. Observasi dilakukan dengan meminta klien

melakukan tirah baring dan dipuasakan.

Pemeriksaan abdomen dan rektual serta

pemeriksaan darah diulang, secara periodik. Foto


27

abdomen dan torak dilakukan untuk mencari

kemungkinan adanya penyulit lain. Diagnosa

biasanya ditegakkan dengan lokalisasi nyeri di

daerah kanan bawah dalam 12 jam setelah

timbulnya keluhan.

b. Intubasi bila perlu

c. Antibiotik dengan spektrum luas, dosis tinggi

dan diberikan secara intravena

2) Intra Operasi

a. Appendiktomy

Apendiks dibuang, jika apendiks mengalami

perforasi bebas, maka abdomen dicuci dengan

garam fisiologis dan antibiotika

b. Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV,

massa mungkin mengecil, atau abses mungkin

memerlukan drainase dalam jangka waktu

beberapa hari. Appendiktomy dilakukan bila

abses dilakukan operasi elektif sesudah 6

minggu sampai 3 bulan.

3) Post Operasi

Observasi perlu dilakukan seperti tanda

tanda vital untuk mengetahui terjadinya

perdarahan didalam, syok, hipertermia, atau

gangguan pernafasan. Angkat sonde lambung


28

bila pasien telah sadar sehingga aspirasi cairan

lambung dapat dicegah. Baringkan pasien

dalam posisi semi fowler. Memberikan

minum mulai 15ml/jam selama 4-5 jam lalu

naikkan menjadi 30ml/jam keesokan harinya

diberikan makanan saring, lalu hari

berikutnya diberikan makanan lunak. Satu

hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk

melakukan mobilisasi dini yaitu dengan duduk

tegak ditempat tidur 9 selam 2x30 menit.

Hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk

dan hari ketujuh jahitan dapat diangkat

(Dermawan, 2010).

2.1 Konsep asuhan keperawatan

Asuhan keperawatan merupakan proses atau

rangkaian pada praktik keperawatan yang diberikan

secara langsung kepada klien di berbagai tatanan

pelayanan kesehatan. Dilaksanakan berdasarkan kaidah-

kaidah keperawatan sebagai suatu profesi yang

berdasarkan perawat berperilaku caring menurut persepsi

( Gaghiwu, 2013 ).

Sedangkan menurut ( Ali,2009 ) asuhan keperawatan

mengacu kepada proses keperawatan yang meliputi


29

pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi

dan evaluasi.

2.2.1 Pengkajian

Pengkajian merupakan awal interaksi antara perawat

dan pasien dengan pengkajian akan didapatkan data yang

nantinyaakan mendukung proses keperawatan dan

pengobatan. Dengan pengkajian yang baik dan bener,

kitaakan mendapatkan data yang sangat bermanfaat untuk

peningkatan atau kesembuhan pasien ( Marni, 2014 ).

2.2.1.1 Pengkajian

a.) Identitas dan penanggung jawab

Terdiri dari nama, usia, alamat, nomor rekam medic,

diagnosa, tanggal masuk rumah sakit, dan sebagainya

terkait klien dan penanggung jawab

(Mansyur&Dahlan, 2014).

1. Pengkajian Sekunder

a. Keluhan utama

Pre post :

Nyeri pada daerah kuadran kanan bawah, nyeri

sekitar umbilicus.

Post op :

nyeri perut pada bekas insisi pembedahan.


30

b. Riwayat kesehatan sekarang

Pre post :

Mereka mengalami nyeri abdomen kolik,

sentral dan kostan yang berhubungan dengan

anoreksia mual dan muntah, setelah beberapa

hari nyeri berpindah ke fosa iliaka kanan.

Terjadinya kemerah-merahan, tadikardia,

demam.

Post op :

pasien mengeluh nyeri tekan di daerah apendik,

badan terasa panas tidak ada nafsu makan,

lemas dan pasien merasa sesak karena

pengaruhanestesi.

2. Pemeriksaan fisik

a. Inspeksi

Pre Op :

Padaa pendisitis akut sering ditemukan

adanyaabdominal swelling, sehingga pada

pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi

abdomen.

Post Op :

Pada pasien apendiktomi biasanya keadaan

umum lemah, disebabkan nyeri pada luka

operasi dan juga terlihat perut kembung


31

b. Palpasi

Pre Op :

Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan

akan terasa nyeri. Dan bila tekanan dilepas

jugaakan terasa nyeri, nyeri tekan perut kanan

bawah merupakvn kunci diagnosis dari

apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah

akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah,

ini disebut tandaRovsing ( Rovsing sign ). Dan

apabila tekanan pada perut kiri dilepas maka

jugaakan tersa sakit di perut bagian kanan

bawah.

Post Op :

Pada pasien apendiktomi terdapat nyeri tekan

pada abdomen kanan bawah dimulai dari sisi

yang tidak sakit untuk menyesuaikan tangan

pemeriksa pada perut penderita

c. Pemeriksaan colok dubur

Pemeriksaan ini dilakukan padaapendisitis untuk

menentukan letak apendiks apabila letaknya sulit

diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini terasa

nyeri, makakemungkinan apendiks yang meradang di

daerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci

diagnosis apendisitis pelvika.


32

d. Uji psoas dan uji obturator

Pemeriksaan ini di lakukan juga untuk mengetahui letak

apendiks yang meradang uji psoas dilakukan dengan

rangsangan otot psoas mayor lewat hiperkstensi sendi

panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan.

Bilaapendiks yang meradang menempel padam.psoas

mayor. Maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.

Sedangkan pada uji obturator dilkukan gerakan fleksi dan

andorotasi sendi panggul pada posisi telentang.

Bilaapendiks yang meradang kontak dengan m.obturator

internus yang merupakan diding kecil, maka tindakan ini

akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan dilakukan

padaapendiksitis ( akhyar, 2009 )

3. Perubahan pola fungsi

Data yang diperoleh dalam kasus apendiks menurut Doengus

Adalah sebagai berikut :

a. Sirkulasi

tanda : Takikardi

b. Eliminasi

Pre Op :

Gejala : konstipasi padaawitan awal.Diare kadang-

kadang.

Tanda : Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas,

kekuatan. Penurunan atau tidak ada bising usus.


33

Post Op :

Biasanya pada pasien post apendiktomy pola BAB dan

BAK mengalami gangguan karena pengaruh anastesi.

c. Makanan atau cairan

Pre Op :

Gejala : anoreksia, mual muntah

Post Op :

Biasanya pada pasien apendiktomi mengalami tidak ada

nafsu makan karena dipengaruhi oleh adanya nyeri di

daerah abdomen yang disertai pengaruh anastesi.

d. Nyeri / kenyamanan

Gejala : Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan

umbilikus yang meningkat berat dan terlokalisasi pada

titik ( setengah jarak antara umbilikus dan tulang ileum

kanan ), meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau

napas dalam ( nyeri berhenti tiba-tiba diduga perforasi

atau infark padaapendiks). Keluhan berbagai rasa nyeri/

gejala tak jelas berhubungan dengan lokasi apendiks,

contoh : retrosekal atau sebelah ureter ).

Tanda : perilaku berhati-hati ; berbaring kesamping atau

terlentang dengan lutut ditekuk meningkatnya nyeri pada

kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki kanan/

posisi duduk tegak.: nyeri lepas pada sisi kiri diduga

inflamsi peritonial.
34

e. Pernapasan

Tanda : pernapasan dangkal.

f. Keamanan

Tanda : Demam biasanya rendah

2.2.2 Diagnosa keperawatan

1. Nyeri akut b.d insisi pembedahan.

2. Pontensial terjadi infeksi b.d invasi kuman pada luka

operasi.

3. Kecemasan b.d kurangnya informasi tentang pengobatan

Deden,2010

2.2.3 Intervensi keperawatan

1. Nyeri akut b.d insisi pembedahan.

Tabel 2.1

Intervensi nyeri akut

Diagnosa Tujuan dan Intervensi Rasionalisasi


Keperawatan Kriteria Hasil
Nyeri akut Setelah dilakukan 1. Lakukan pengkajian 1. Untuk mengetahui
berhubungan dengan tindakan 3x24 jam nyeri secara penampilan dan
pembedahan insisi. diharapkan nyeri komprehensif. perilaku klien karena
berkurang dengan terjadi nyeri sebagai
kriteria hasil : temuan pengkajian.
1. Mampu
mengontrol nyeri 2. Observasi reaksi 2. Untuk mengetahui
( tahu penyebab nonverbal dari
keadaa klien.
nyeri, mampu ketidak nyamanan
menggunakan
tehnik non 3. Gunakan tehnik 3. Agar klien dapat
farmakologi, komunikasi untuk mengungkapkan apa
untuk mengetahui nyeri yang di rasakan.
mengurangi klien
nyeri)
2. Klien tampak 4. Evaluasi 4. Untuk mengetahui
nyaman. pengalaman nyeri bagai mana cara
3. Klien mampu masa lampau. managemen nyeri
melakukan cara klien
tehnik distraksi.
4. Skala nyeri klien 5. Evaluasi bersama 5. Agar mengetahui
berkurang 2 (1- pasien dan tim cara yang tepat untuk
managemen nyeri.
35

10) medis tentang


ketidakefektifan
kontrol nyeri masa
lampau
6. Bantu pasien dan 6. Agar klien merasa
keluarga untuk nyaman
mencari dan
menemukan
dukungan
7. Kontrol lingkungan 7. Lingkungan nyaman
yang dapat akan menurunkan
mempengaruhi stimukus nyeri
nyeri seperti suhu
ruangan,
pencahayaan dan
kebisingan
8. Kurangi faktor 8. Untuk mengurangi
presepsi nyeri nyeri klien.
9. Pilih dan lakukan 9. Untuk menurunkan
penangan nyeri skala nyeri
(teknik relaksasi).

2. Kecemasan b.d kurangnya informasi tentang

pengobatan.

Table 2.2

Intervensi kecemasan

Diagnosa Keerawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional


Hasil

Kecemasan b.d Setelah diberikan Anxiety Reduction Anxiety Reduction


kurangnya informasi asuhan keperawatan
selama 3 x 24 jam 1. Mendengarkan penyebab 1.Rasional : Klien
tentang pengobatan
diharapkan klien tidak kecemasan klien dengan dapat
mengalami penuh perhatian mengungkapkan
kecemasan, dengan penyebab
kriteria hasil : kecemasannya
sehingga perawat
NOC: anxiety level dapat menentukan
Kecemasan pada klien tingkat kecemasan
berkurang dari skala 7 klien dan
menjadi skala 3 menentukan
intervensi untuk
klien selanjutnya.
2.Rasional :
2. Observasi tanda verbal dan mengobservasi
non verbal dari kecemasan tanda verbal dan
klien non verbal dari
kecemasan klien
36

dapat mengetahui
tingkat kecemasan
yang klien alami.
Calming Technique
Calming Technique 1.Rasional :
1. Menganjurkan keluarga Dukungan keluarga
untuk tetap mendampingi dapat memperkuat
klien mekanisme koping
klien sehingga
tingkat ansietasnya
berkurang
2. Rasional :
2. Mengurangi atau Pengurangan atau
menghilangkan rangsangan penghilangan
yang menyebabkan rangsang penyebab
kecemasan pada klien kecemasan dapat
meningkatkan
ketenangan pada
klien dan
mengurangi tingkat
kecemasannya
Coping enhancement Coping enhancement
1. Meningkatkan 1. Rasional :
pengetahuan klien Peningkatan
pengetahuan
mengenai post operasi
tentang penyakit
apendiktomi. yang dialami klien
dapat membangun
2. Menginstruksikan klien mekanisme koping
untuk menggunakan klien terhadap
tekhnik relaksasi kecemasan yang
dialaminya
2. Rasional : tekhnik
relaksasi yang
diberikan pada klien
dapat mengurangi
ansietas
37

3. Resiko tinggi infeksi b.d adanya port enteree dari luka

pembedahaan.

Table 2.3

Intervensi resiko tinggi infeksi

Dignosa Tujuan dan Intervensi Rasional


keperawatan kriteria hasil

Resiko tinggi Setelah 1. Buat kondisi 1. Kondisi bersih


infeksi b.dadanya dilakukan balutan dalam dan kering akan
port entree dari tindakan 3x24 bersih dan menghindari
luka pembedahan tidak terjadi kering kontaminasi
infeksi 2. Lakukan komensal dan akan
Kriteria hasil : perawatan luka menyebabkan
Jahitan dilepas respon inflamasi
3. Kolaborasi
pada hari ke 12 lokal dan akan
penggunaan
tanpaadanya memperlama
antibiotik
tanda-tanda penyembuhan luka.
infeksi dan
2. Perawatan luka
peradangan
sebaiknya tidak

setiap hari untuk

menurunkan

kontrak tindakan

dengan luka yang

dalam.

3. Antibiotik injeksi
diberikan selama

satu hari pasca


38

pembedahaan yang

kemudian

dilanjutkan

antibiotik oral

sampai jahitan

dilepas. Peran

perawat mengkaji

adanya reaksi dan

riwayat alergi

antibiotik

1.2.4 Implementasi keperawatan

Implementasi keperawatan merupakan tahap ketika

perawat mengaplikasikan rencana asuhan keperawatan

kedalam bentuk intervensi keperawatan guna untuk

membantu klien mencapai tujuan yang telah ditetapkan

(Carpento, 2009 ).

1.2.5 Evaluasi Keperawatan

Evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir proses

keperawatan yang merupakan perbandingan yang

sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati

dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap

perencanaan ( Carpento, 2009 )

Anda mungkin juga menyukai