Anda di halaman 1dari 24

Laporan Kasus

MANINGOENSEFALITIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unsyiah RSUDZA Banda Aceh

Oleh:
MUHAMMAD RIZALDI
NIM. 1507101030201

Pembimbing
dr. Anidar, Sp.A (K)

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RUMAH SAKIT dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2016
1

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena berkat rahmat
dan karunia nya penulis dapat menyelesaikan tugas laporan kasus ini. Shalawat
beriring salam penulis sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, atas
semangat perjuangan dan panutan bagi ummatnya.
Adapun tugas ini berjudul MANIGOENSEFALITIS yang diajukan sebagai
salah satu Tugas Dalam Menjalani Kepanitraan Klinik Senior pada Bagian/ SMF
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Unsyiah BPK RSUD dr. zainoel Abidin
Banda Aceh.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi - tingginya
kepada dr. Anidar, Sp. A (k) yang telah meluangkan waktunya untuk memberi arahan
dan bimbingan dalam menyelesaikan tugas ini.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari
kesempurnaan. Saran dan kritik dari pembimbing dan teman-teman akan penulis
terima dengan tangan terbuka, semoga dapat menjadi bahan pembelajaran dan bekal
di masa mendatang.

BAB I
PENDAHULUAN
Meningoensefalitis meruakan peradangan otak dan meningen, nama lainnya
yaitu cerebromeningitis, encephalomeningitis, meningocerebritis.17 Meningitis
adalah radang umum pada araknoid dan piameter yang disebabkan oleh bakteri, virus,
riketsia, atau protozoa yang dapat terjadi secara akut dan kronis. Sedangkan
ensefalitis adalah radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh bakteri, cacing,
protozoa, jamur, ricketsia, atau virus. Meningitis dan ensefalitis dapat dibedakan
pada banyak kasus atas dasar klinik namun keduanya sering bersamaan sehingga
disebut meningoensefalitis. Alasannya yaitu selama meningitis bakteri, mediator
radang dan toksin dihasilkan dalam sel subaraknoid menyebar ke dalam parenkim
otak dan menyebabkan respon radang jaringan otak. Pada ensefalitis, reaksi radang
mencapai cairan serebrospinal (CSS) dan menimbulkan gejala-gejala iritasi
meningeal di samping gejala-gejala yang berhubungan dengan ensefalitis dan pada
beberapa agen etiologi dapat menyerang meninges maupun otak misalnya
enterovirus. (1)
Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi
pada cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosa
adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan yang jernih.
Penyebab yang paling sering dijumpai adalah Mycobacterium tuberculosa,
Toxoplasma gondii, Ricketsia dan virus. Meningitis purulenta adalah radang
bernanaharaknoid dan piameter yang meliputi otak dan medula spinalis. Penyebabnya
antara lain: Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitidis
(meningokok), Streptococcus haemolyticus, Staphylococcus aureus, Haemophilus
influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeuruginosa.(2)
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh Mycobakterium tuberkulosa varian
hominis dapat terjadi pada segala umur, yang tersering adalah pada anak umur 6
bulan - 5 tahun.27,37 Insiden meningoensefalitis mumps lebih banyak ditemui pada
laki-laki yaitu sekitar 3-5 kali lebih banyak. Usia yang tersering ialah tujuh tahun.(3)

BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama

: Wirda zahira

No. CM

: 1-09-60-09

Tanggal Lahir

:13 Juni 2015

Umur

: 1 tahun 1 bulan 0 hari

Suku

: Aceh

Agama

: Islam

Alamat

: Senebok Punti, Aceh Utara

Tanggal Masuk RS

: 13 Juli 2016

Tanggal Pemeriksaan

: 2 Agustus 2016

2.2 Anamnesis
2.2.1 Keluhan Utama
Penurunan Kesadaran
2.2.2 Keluhan Tambahan
Kejang , demam, batuk, pilek dan muntah.
2.2.3 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUDZA rujukan dari RSUD Cut mutia Lhoksumawe
dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 9 hari yang lalu. Pasien memiliki riwayat
kejang sebanyak 5 kali sejak 9 hari yang lalu , kejang dialami seluruh tubuh dengan
keadaan pasien tidak sadarkan diri, kejang dialami selama 5-10 menit. Sebelum
terjadinya kejang,

pasien 2 hari sebelumnya mengalami demam disertai batuk,

muntah dan juga pilek.


2.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami sakit seperti ini sebelumnya.

2.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang sedang mengalami sakit atau mengalami
keluhan yang sama seperti yang dialami pasien. Tidak ada riwayat hipertensi dan DM
dan juga asma dalam keluarga.
2.2.6 Riwayat Penggunaan Obat
Dalam waktu dekat ini obat yang pernah dikonsumsi adalah Ceftriaxon dan
Fenitoin
2.2.7 Riwayat Kehamilan
Ibu pasien ANC teratur di bidan. Tidak ada riwayat penggunaan obat-obatan
maupun jamu-jamuan selama kehamilan.
2.2.8 Riwayat Persalinan
Pasien merupakan anak ke-1. Pasien lahir secara pervaginam dengan berat
badan lahir 3100 gram. Pasien segera menangis saat lahir dengan badan dan
ekstremitas kemerahan.
2.2.9 Riwayat Imunisasi
Pasien tidak mendapatkan imunisasi dasar lengkap: HB0, BCG, DPT, campak.
Hanya mendapatkan imunisasi polio.
2.2.10 Riwayat Makanan
0 bulan -3 bulan

: ASI

3 bulan - 1 tahun

: MP-ASI + ASI + Susu formula

1 tahun sekarang

: makanan keluarga: nasi + lauk pauk + susu. Sayur sayuran

dan buah buahan sedikit.


2.3 Status Present
Keadaan umum

: Sakit

Kesadaran

: Apatis

Frekuensi nadi

: 110 kali/menit

Frekuensi pernapasan

: 32 kali/menit

Temperatur

: 36,80C
5

2.4 Status Antropometri


Berat Badan Sekarang (BBS) : 8 kg
Berat Badan Ideal (BBI)

: 9 kg

Tinggi Badan (TB)

: 73 cm

BMI

: 15,1 kg/m2

Lingkar Lengan

: 13 cm

Lingkar kepala

: 43 cm

2.5 Status Gizi


BB/U

: +2 s/d -2 SD ( Normal)

TB/U

: +2 s/d -2 SD ( Normal)

BB/TB

: +2 s/d -2 SD ( Normal)

Kesimpulan

: Gizi Baik

Kebutuhan cairan

: (8 x 100) = 800cc/hari

Kebutuhan energi

: ( 81-83 kcal/kgbb ) x 8kg = 648 - 664 kkal/hari

Kebutuhan protein

: (81-83) x 0,08

x 8 kg = 12,96-13,28 gr/hari

4
2.6 Status General
a. Kulit
Warna

: Sawo matang

Turgor

: kembali cepat

Jaringan parut : tidak ada


Sianosis

: tidak ada

Ikterik

: tidak ada

Pucat

: ada

b. Kepala
Bentuk

: normocepali

Rambut

: hitam, sukar dicabut, distribusi merata

Wajah

: simetris

Mata

: konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), mata


cekung (-/-), pupil isokor 3mm/3mm, refleks cahaya langsung
(+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+)

Telinga

: normotia, sekret (-/-)

Hidung

: napas cuping hidung (-), sekret (-/-), tidak tampak depormitas

c. Mulut
Bibir

: bibir kering (-), mukosa bibir lembab, sianosis (-)

Lidah

: lidah kotor (-)

Tonsil

: T1/T1, hiperemis (-)

Faring

: hiperemis (-)

d. Leher
KGB

: tidak ada pembesaran, nyeri tekan (-)

Kelenjar tiroid: tidak ada pembesaran


TVJ

: R-2cmH2O

e. Thoraks
Paru
Inspeksi

: simetris saat statis dan dinamis

Palpasi

: nyeri tekan (-)

Perkusi

: sonor di kedua lapangan paru

Auskultasi

: vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi

: ictus cordis tidak terlihat

Palpasi

: ictrus cordis teraba di ICS V linea midklavikula sinistra

Auskultasi

: BJ I> BJII, reguler (+), bising (-)

f. Abdomen
Inspeksi

: simetris, distensi (-), vena kolateral (-)

Palpasi

: soepel (+), nyeri tekan (+), Turgor kembali cepat

Perkusi

: Timpani

Auskultasi

: peristaltik (+),

g. Genitalia
Tidak dilakukan pemeriksaan
h. Anus
Tidak dilakukan pemeriksaan
i. Ekstremitas
Superior

Penilaian

Kanan

Inferior
Kiri

Kanan

Kiri

Pucat

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Sianosis

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Edema

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Jenis Pemeriksaan
Hemoglobin (g/dl)

14/07/2016 15/8/2016
7,3

11,6

19/08/2016 3/8/2016
11,7

Nilai

11,0

Normal
12,0-

Hematokrit (%)

23

36

38

35

14,5
30-43

Eritrosit (106/mm3)

3,3

5,1

6,0

4,8

3,8-5,5

Leukosit (103/mm3)

18,1

18,4

26,6

12,0

6,0-17,5

Trombosit (103

500

428

701

712

150-450

0/0/0/70/7

0/0/0/84/1

0/0/0/75/2

4/0/1/40/

0-6/0-

4/6

4/2

0/5

50/5

2/2-6/50-

U/mm3)
Hitung jenis (%)
E/B/NS/L/M

70/20Natrium (mmol/L)
Imunoserologi

144

147

147

141

40/2-8/
135-145

Negatif

Negatif

negatif

Negatif

Negatif

HBsAg
8

AST/SGOT

256

204

178

77

<31

ALT/SGPT

830

531

265

65

<34

Kalium (mmol/L)

2,3

8,7

4,2

4,4

3,5-4,5

Klorida (mmol/L)

111

109

Tidak

100

90-110

KGDS (mg/dL)

78 mg/dl

98 mg/dl

Diperiksa
80 mg/dl

Ureum (mg/dL)

14

Tidak
Diperiksa

Keatinin (mg/dL)

0,30

Tidak
Diperiksa

Tidak

116
mg/dl
Tidak

13-43

Diperiksa

Diperiks

0,15

a
Tidak

0,51-

Diperiks

0,95

CT Scan Kepala Tanpa Kontras

ct scan tanggal 15 juli 2016

Kesimpulan : Edema Serebri


2.8 Diagnosis Banding

1. Penurunan Kesadaran dd Ensefalitis.


2.9 Diagnosis Kerja
1. maningoensefalitis + Edema Cerebri + imbalance elektrolit + Anemia sedang
+ Hypokalemia
2.10 Terapi
- IVFD KN 4 B 30 gtt (mikro)
- Cefixin 2 x 40 mg
- Piracetam 2 x 250 mg
- Ceterizin 1x cth 1/3
- Nindia drop 3 x 1 oles
- Xanvit syr 1 x cth
- Aspilet 1 x 20 mg
2.11 Planning
- CT scan kepala
- Follow up Tiap hari
- Vital sign
-

Cek KGDS/ 2J

2.12 Prognosis
Quo ad vitam

: dubia ad bonam

Quo ad functionam

: dubia ad bonam

Quo ad sanactionam

: dubia ad bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
10

3.1 ManingoEnsefalitis
3.1.1 Definisi
Meningoensefalitis adalah peradangan otak dan meningen, nama lainnya yaitu
cerebromeningitis, encephalomeningitis, meningocerebritis.17 Meningitis adalah
radang umum pada araknoid dan piameter yang disebabkan oleh bakteri, virus,
riketsia, atau protozoa yang dapat terjadi secara akut dan kronis. Sedangkan
ensefalitis adalah radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh bakteri, cacing,
protozoa, jamur, ricketsia, atau virus.18 Meningitis dan ensefalitis dapat dibedakan
pada banyak kasus atas dasar klinik namun keduanya sering bersamaan sehingga
disebut meningoensefalitis. Alasannya yaitu selama meningitis bakteri, mediator
radang dan toksin dihasilkan dalam sel subaraknoid menyebar ke dalam parenkim
otak dan menyebabkan respon radang jaringan otak. Pada ensefalitis, reaksi radang
mencapai cairan serebrospinal (CSS) dan menimbulkan gejala-gejala iritasi
meningeal di samping gejala-gejala yang berhubungan dengan ensefalitis dan pada
beberapa agen etiologi dapat menyerang meninges maupun otak misalnya
enterovirus. (4)
Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi
pada cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosa
adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan yang jernih.
Penyebab yang paling sering dijumpai adalah Mycobacterium tuberculosa,
Toxoplasma gondii, Ricketsia dan virus. Meningitis purulenta adalah radang bernanah
araknoid dan piameter yang meliputi otak dan medula spinalis. Penyebabnya antara
lain: Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitidis (meningokok),
Streptococcus haemolyticus, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae,
Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeuruginosa. (5)

3.1.2 Epidemiologi
Frekuensi penyakit yang tinggi dilaporkan pada orang-orang Afrika-Amerika,
penduduk asli Amerika, dan masyarakat di daerah pedesaan. Ada 40 Ssampai 20.000
11

kasus ensefalitis terjadi di Amerika Serikat setiap tahun, dengan ensefalitis herpes
simpleks menyebabkan sekitar 10% dari kasus ini. Meningoensefalitis yang
disebabkan oleh Tick born encephalitis dengan CFR di Asia yaitu 20% dan di Eropa
(1-5%). Sedangkan Meningoensefalitis yang disebabkan oleh Ensefalitis Jepang
tersebar luas di Asia Timur dari Korea sampai Indonesia, Cina, India dan Kepulauan
Pasifik Barat. (6)
Meningoensefalitis mumps terutama menyerang secara akut pada anak-anak
dan dewasa muda. Angka kejadian yang sukar dipastikan karena infeksi subklinis dari
sistem saraf pusat dilaporkan terjadi lebih dari 65% kasus. Bang dan Bang
menemukan adanya peningkatan sel yang abnormal pada cairan otak dari 62% kasus,
dimana hanya 28% dari penderita memberikan gambaran pembesaran kelenjar.
Parotitis epidemika merupakan penyebab 10-15% kasus aseptik meningitis di
Amerika.22,38 Paramyxovirus ini memiliki infeksi yang tinggi pada individu dengan
sistem imun yang rendah. Kematian karena virus gondongan ini jarang, mayoritas
kematian ( >50%) terjadi pada orang yang lebih tua dari 19 tahun. (7)
H. influenzae penyebab yang paling sering di Amerika Serikat, mempunyai
insiden tahunan 32-71/100.000 anak di bawah 5 tahun. Insiden ini jauh lebih tinggi
pada anak-anak Indian Navayo dan Eskimo Alaska (masing-masing 173 dan
409/100.000/tahun). Insiden yang tinggi pada populasi ini mungkin juga
menggambarkan status sosio-ekonomi yang rendah, yang beberapa cara tidak
diketahui dapat mengurangi daya tahan terhadap mikroorganisme ini. Insiden dengan
infeksi H. influenzae juga empat kali lebih besar pada orang kulit hitam daripada
orang kulit putih. (7)
3.3 ETIOLOGI
Virus penyebab meningoensefalitis memiliki variasi geografis yang besar yaitu:
di negara berkembang, penyebab terbesar yaitu herpes simplex type-1 (HSV-1), virus
gondok, enterovirus, herpes zooster, adenovirus dan virus Epstein Barr. Di Amerika
Serikat terdapat ensefalitis St.Louis, West Nile virus, Eastern and Weastern equine
virus, Bunyavirus termasuk Virus Ensefalitis California. Di Eropa Tengah dan Timur,

12

Virus Ensefalitis Tick-born adalah endemis. Herpes simpleks-type 2 merupakan


penyebab penyakit paling banyak pada neonatus. Di Asia, Ensefalitis Jepang adalah
penyebab ensefalitis yang paling banyak. Virus Valley fever di Afrika dan Timur
tengah, Amerika latin, dan berbagai belahan di dunia. Ensefalomieletis pasca infeksi
dapat mengikuti semua tetapi yang paling sering dikaitkan dengan campak. Sindrom
Guillane Barre telah dikaitkan dengan infeksi Virus Epstein Barr, cytomegalovirus,
coxsackie B, Virus Herpes zooster. Pasien dengan imunodefisiensi sangat rentan
dengan virus tertentu yaitu orang-orang dengan sel imunitas yang lemah termasuk
pasien yang terinfeksi virus HIV dapat berkembang menjadi ensefalitis yang
disebabkan oleh Herpes zoster atau Cytomegalovirus.(7)
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh Japanese B encephalitis virus banyak
menyerang anak berusia antara 3 tahun dan 15 tahun.35 Ensefalitis herpes virus dapat
terjadi pada semua umur, paling banyak kurang dari 20 tahun dan lebih dari 40 tahun.
Ensefalitis herpes virus memiliki angka mortalitas 15-20% dengan pengobatan dan
70-80% tanpa pengobatan. 39 Neonatus masih mempunyai imunitas maternal. Tetapi
setelah umur 6 bulan imunitas itu lenyap dan bayi dapat mengidap gingivo-stomatitis
virus herpes simpleks. Infeksi dapat hilang timbul dan berlokalisasi pada perbatasan
mukokutaneus antara mulut dan hidung. Infeksi-infeksi tersebut jinak sekali. Tetapi
apabila neonatus tidak memperoleh imunitas maternal terhadap virus herpes simpleks
atau apabila pada partus neonatus ketularan virus herpes simpleks dari ibunya yang
mengidap herpes genitalis, maka infeksi dapat berkembang menjadi viremia. Insiden
yang tinggi pada populasi ini mungkin juga menggambarkan status sosio-ekonomi
yang rendah, yang beberapa cara tidak diketahui dapat mengurangi daya tahan
terhadap mikroorganisme ini. Insiden dengan infeksi H. influenzae juga empat kali
lebih besar pada orang kulit hitam daripada orang kulit putih. (8)

3.4 PATOFISIOLLOGI
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh bakteri masuk melalui peredaran darah,
penyebaran langsung, komplikasi luka tembus, dan kelainan kardiopulmonal.

13

Penyebaran melalui peredaran darah dalam bentuk sepsis atau berasal dari radang
fokal di bagian lain di dekat otak. Penyebaran langsung dapat melalui
tromboflebilitis, osteomielitis, infeksi telinga bagian tengah, dan sinus paranasales.
Mula-mula terjadi peradangan supuratif pada selaput/jaringan otak. Proses
peradangan ini membentuk eksudat, trombosis septik pada pembuluh-pembuluh
darah, dan agregasi leukosit yang sudah mati. Di daerah yang mengalami peradangan
timbul edema, perlunakan, dan kongesti jaringan otak disertai perdarahan kecil.
Bagian tengah kemudian melunak dan membentuk dinding yang kuat membentuk
kapsul yang kosentris. Di sekeliling abses terjadi infiltrasi leukosit polimorfonuklear,
sel-sel plasma dan limfosit. Seluruh proses ini memakan waktu kurang dari 2 minggu.
Abses dapat membesar, kemudian pecah dan masuk ke dalam ventrikulus atau ruang
subaraknoid yang dapat mengakibatkan meningitis. (8)
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh virus terjadi melalui virus-virus yang
melalui parotitis, morbili, varisela, dll. masuk ke dalam tubuh manusia melalui
saluran pernapasan. Virus polio dan enterovirus melalui mulut, virus herpes simpleks
melalui mulut atau mukosa kelamin. Virus-virus yang lain masuk ke tubuh melalui
inokulasi seperti gigitan binatang (rabies) atau nyamuk. Bayi dalam kandungan
mendapat infeksi melalui plasenta oleh virus rubela atau cytomegalovirus. Di dalam
tubuh manusia virus memperbanyak diri secara lokal, kemudian terjadi viremia yang
menyerang susunan saraf pusat melalui kapilaris di pleksus koroideu. Cara lain
ialah melalui saraf perifer atau secara retrograde axoplasmic spread misalnya oleh

virus-virus herpes simpleks, rabies dan herpes zoster. Di dalam susunan saraf pusat
virus menyebar secara langsung atau melalui ruang ekstraseluler. Infeksi virus dalam
otak dapat menyebabkan meningitis aseptik dan ensefalitis (kecuali rabies). Pada
ensefalitis terdapat kerusakan neuron dan glia dimana terjadi peradangan otak, edema
otak, peradangan pada pembuluh darah kecil, trombosis, dan mikroglia. (8)
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1 derajat celcius akan menyebabkan
metabolisme basa meningkat 10-15 % dan kebutuhan oksigen meningkat 20%. Pada
seorang anak yang berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh,
sedangkan pada orang dewasa hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu

14

dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran dan dalam waktu yang singkat
terjadi difusi dari ion kalium maupun natrium melalui membran tadi, dengan akibat
terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini sedemikian besarnya sehingga
dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel lainnya dengan bantuan bahan
yang disebut neutransmitter sehingga terjadi kejang. (9)

DEMAM
(Kenaikan suhu tubuh 1 C)

Metabolisme basal

Kebutuhan O2

meningkat

meningkat ( 20%)

Perubahan keseimbangan
(membran sel neuro)

Difusi melalui membran


(ion K+ - ion Na +

Lepas Muatan Listrik

Kejang
3.5 Manifestasi Klinis
Kebanyakan pasien meningoensefalitis menunjukkan gejala-gejala meningitis
dan ensefalitis (demam, sakit kepala, kekakuan leher, vomiting) diikuti oleh
perubahan kesadaran, konvulsi, dan kadang-kadang tanda neurologik fokal, tanda15

tanda peningkatan tekanan intrakranial atau gejala-gejala psikiatrik. Kualitas


kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan parameter yang
paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat kesadaran klien dan respons
terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem
persarafan. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien biasanya berkisar pada
tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien sudah mengalami koma maka
penilaian GCS (The Glasgow Coma Scale) sangat penting untuk menilai tingkat
kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk memantau pemberian asuhan
keperawatan.30 Dalam klinik dikenal tingkat-tingkat kesadaran : compos mentis,
incompos mentis. (10)
Compos mentis : sadar sepenuhnya baik terhadap dirinya maupun lingkungan.
- Apatis : sikap acuh tak acuh terhadap lingkungan, tidak segera menjawab bila
ditanya.
- Delirium : penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan siklus tidur bangun
yang terganggu. Pasien tampak gelisah, disorientasi dan meronta-ronta
- Somnolen : mengantuk yang masih dapat dipulihkan bila diberi rangsangan tetapi
saat rangsangan dihentikan, pasien tertidur lagi
- Sopor : penurunan kesadaran yang dalam, dimana penderita hanya dapat
dibangunkan dalam waktu singkat oleh rangsang nyeri yang hebat dan berulangulang
- Coma adalah penurunan kesadaran yang sangat dalam, tidak ada gerakan spontan
dan tidak ada respon terhadap nyeri.
Pada riwayat pasien meliputi demam, muntah, sakit kepala, letargi, lekas
marah, dan kaku kuduk.32 Neonatus memiliki gambaran klinik berbeda dengan anak
dan orang dewasa. Meningitis karena bakteri pada neonatus terjadi secara akut
dengan panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang, nafsu makan
berkurang, minum sangat berkurang, konstipasi, diare. Kejang terjadi pada lebih
kurang 44% anak dengan penyebab Haemophilus influenzae, 25% oleh Streptococcus
16

pneumonia, 78% oleh streptokok dan 10% oleh infeksi meningokok. Gangguan
kesadaran berupa apatis, letargi, renjatan, koma. Pada bayi dan anak-anak (usia 3
bulan hingga 2 tahun) yaitu demam, malas makan, muntah, mudah terstimulasi,
kejang, menangis dengan merintih, ubun-ubun menonjol, kaku kuduk dan tanda
Kernig dan Brudzinski positif. Pada anak-anak dan remaja terjadi demam tinggi, sakit
kepala, muntah yang diikuti oleh perubahan sensori, fotofobia, mudah terstimulasi
dan teragitasi, halusinasi, perilaku agresif, stupor, koma, kaku kuduk, tanda Kernig
dan Brudzinski positif. Pada anak yang lebih besar dan orang dewasa permulaan
penyakit juga terjadi akut dengan panas, nyeri kepala yang bisa hebat sekali, malaise
umum, kelemahan, nyeri otot dan nyeri punggung. Biasanya dimulai dengan
gangguan saluran pernafasan bagian atas. Selanjutnya terjadi kaku kuduk,
opistotonus, dapat terjadi renjatan, hipotensi dan takikardi karena septikimia. (10)

Gambar 2.3. Pemeriksaan tanda Kernig dan Pemeriksaan Tanda


Brudzinski

Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang dapat meningkatkan


penurunan PH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang
sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani. Adakalanya
pada maningoensefalitis dapat dijimpai dengan aktivitas klonik umum yang
mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua. (10)

17

Proses radang pada ensefalitis virus selain terjadi jaringan otak saja, juga sering
mengenai jaringan selaput otak.18 Pada umumnya terdapat 4 jenis atau bentuk
manifestasi klinik, yaitu :
1. Bentuk asimtomatik
Umumnya gejalanya ringan, vertigo, diplopia. Diagnosis hanya ditegakkan
atas pemeriksaan CSS.
2. Bentuk abortif
Gejala berupa nyeri kepala, demam yang tidak tinggi, dan kaku kuduk ringan.
Umumnya terdapat gejala-gejala seperti infeksi saluran pernafasan bagian atas
atau gastrointestinal.
3. Bentuk fulminan
Bentuk ini berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari yang berakhir
dengan kematian. Pada stadium akut terdapat demam tinggi, nyeri kepala
difus yang hebat, apatis, kaku kuduk, sangat gelisah dan dalam waktu singkat
masuk ke dalam koma yang dalam.
4. Bentuk khas ensefalitis
Bentuk ini mulai secara bertahap dengan gejala awal nyeri kepala ringan,
demam, gejala infeksi saluran nafas bagian atas. Kemudian muncul tanda
radang Sistem Saraf Pusat (SSP) seperti kaku kuduk, tanda Kernig positif,
gelisah, lemah, sukar tidur. Selanjutnya kesadaran mulai menurun sampai
koma, dapat terjadi kejang fokal atau umum, hemiparesis, gangguan
koordinasi, gangguan bicara, gangguan mental. (11)
Manifestasi klinis yang disebabkan oleh jamur Cryptococcus neoformans
berupa nyeri kepala akut atau subakut, demam dan kadang kejang tetapi jarang
ditemukan defisit neurologis fokal.36 Gejala awal pada amuba meningoensefalitis
adalah radang hidung dan sakit tenggorokan yang diikuti oleh demam dan sakit
kepala, muntah, kaku kuduk dan gangguan kesadaran yang dapat diikuti oleh
kematian penderita 1 minggu kemudian. (11)

18

3.6 DIAGNOSIS
Diagnosis dalam keadaan maningoensefalitis tidak sukar, akan tetapi
perawatannya memerlukan lebih banyak perhatian. Maningoensefalitis dapat timbul
karena berbagai sebab. Bilamana dokter dipanggil untuk menolong penderita, maka
dokter tidak usah langsung memberi obat untuk menghilangkan kejang yang hebat
itu. Dengan tenang harus menyelidik dahulu penyakit yang mendasari. (12)
Ensefalitis virus dibagi dalam 3 kelompok yaitu: ensefalitis primer yang bisa
disebabkan oleh infeksi virus kelompok Herpes simpleks, Virus Influenza, ECHO,
Coxsackie dan Arbovirus. Ensefalitis primer yang belum diketahui penyebabnya dan
ensefalitis para infeksiosa, yaitu ensefalitis yang timbul sebagai komplikasi penyakit
virus yang sudah dikenal, seperti Rubela, Varisela, Herpes zooster, Parotitis
epidemika, Mononukleosis infeksiosa.

(13)

Ada beberapa cara dalam menegakkan diagnosa, terutama dalam hal yang
menyangkut mangoensefalitis, yaitu :

Anamnesa
1. Lama kejang, sifat kejang (fokal, umum, tonik klonik)
2. Tingkat kesadaran diantara kejang
3. Riwayat kejang sebelumnya, riwayat kejang dalam keluarga
4. Panas, trauma
5. Riwayat persalinan, tumbuh kembang
Pemeriksaan fisik
1. Tingkat kesedaran
2. Pupil
3. Reflek fisiologis dan patologis
4. Tanda-tanda perdarahan
5. Lateralisasi
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Pungsi Pumbal
a. Pada meningitis purulenta, diperoleh hasil pemeriksaan cairan
serebrospinal yang keruh karena mengandung pus, nanah yang

19

merupakan campuran leukosit yang hidup dan mati, jaringan yang


mati dan bakteri.
b. Infeksi yang disebabkan oleh virus, terjadi peningkatan cairan
serebrospinal, biasanya disertai limfositosis, peningkatan protein, dan
kadar glukosa yang normal
c. Penyebab dengan Mycobakterium tuberkulosa pada pemeriksaan
cairan otak ditemukan adanya protein meningkat, warna jernih,
tekanan meningkat, gula menurun, klorida menurun.
d. Pemeriksaan cairan serebrospinal pada amuba meningoensefalitis
yang diperiksa secara mikroskopik, mungkin dapat ditemukan
trofozoit amuba. (14)
Lumbal pungsi tidak dilakukan bila terdapat edema papil, atau terjadi
peningkatan tekanan intrakranial.30 Pada kasus seperti ini, pungsi lumbal dapat
ditunda sampai kemungkinan massa dapat disingkirkan dengan melakukan
pemindaian CT scan atau MRI kepala. (14)

Pemeriksaan darah
a. Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah dan jenis leukosit,
kadar glukosa, kadar ureum. Pada meningitis purulenta didapatkan
peningkatan leukosit dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis, biasanya
terdapat kenaikan jumlah leukosit.18 Gangguan elektrolit sering terjadi
karena dehidrasi. Di samping itu hiponatremia dapat terjadi akibat
pengeluaran hormon ADH (Anti Diuretic Hormon) yang menurun
b. Pada Mycobacterium tuberculosa, leukosit meningkat sampai 500/mm3
dengan sel mononuklear yang dominan, pemeriksaan pada darah
ditemukan jumlah leukosit meningkat sampai 20.000, dan test tuberkulin

sering positif. (14)


Pemeriksaan Radiologis
a. CT scan dan Magnetic Resonance Maging (MRI)

otak dapat

menyingkirkan kemungkinan lesi massa dan menunjukkan edema otak.


b. Untuk menegakkan diagnosa dengan penyebab herpes simpleks, diagnosa
dini dapat dibantu dengan immunoassay antigen virus dan PCR untuk
amplifikasi DNA virus.

20

c. Elektroensefalografi (EEG) menunjukkan kelainan dengan bukti disfungsi


otak difus.
3.7 Komplikasi
Komplikasi dari meningitis virus dan ensefalitis adalah hidrosefalus, epilepsi,
gangguan jiwa, buta karena atrofi N.II, kelumpuhan otot yang disarafi N.III, N.IV, N.VI,
hemiparesis. Komplikasi dari meningitis purulenta adalah efusi subdural, abses otak,
hidrosefalus, paralisis serebri, epilepsi, ensefalitis, tuli, renjatan septik.

(14)

3.8 Pencegahan
3.8.1 Pencegahan primer
Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resiko
meningoensefalitis bagi individu yang belum mempunyai faktor resiko dengan
melaksanakan pola hidup sehat.46 Pencegahan terhadap infeksi dilakukan dengan
cara imunisasi pasif atau aktif.
Kemoprofilaksis terhadap individu rentan yang diketahui terpajan pada pasien
yang mengidap penyakit (pasien indeks) serta imunisasi aktif. Imunisasi aktif
terhadap H. influenzae telah menghasilkan pengurangan dramatis pada penyakit
invasif, dengan pengurangan sebanyak 70-85% akibat organisme tersebut.40
Imunisasi untuk pencegahan infeksi Haemophilus influenzae (menggunakan vaksin
H.influenzae tipe b) direkomendasikan untuk diberikan secara rutin pada anak berusia
2, 3, dan 4 bulan. (15)
3.8.2 Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan penyakit sejak awal, saat
masih tanpa gejala (asimptomatik) dan saat pengobatan awal dapat menghentikan
perjalanan penyakit.48 Deteksi dini anak-anak yang mengalami kelainan neurologis
sangat penting karena adanya kemungkinan untuk mengembangkan potensinya di
kemudian hari melalui program intervensi diri. Untuk mengenal kelainan neurologik,
pemeriksaan neurologik dasar merupakan bagian integral yang tidak dapat
dipisahkan. (15)
3.9 Pengobatan

21

Pengobatan suportif dalam kebanyakan kasus meningitis virus dan ensefalitis.


Satu-satunya pengobatan spesifik adalah asiklovir 10 mg/kg iv setiap 8 jam selama
10-14 hari untuk infeksi herpes simpleks. Asiklovir juga efektif terhadap virus
Varicella zoster. Tidak ada manfaat yang terbukti untuk kortikosteroid, interferon,
atau terapi ajuvan lain pada ensefalitis virus dan yang disebabkan oleh bakteri dapat
diberikan klorampinikol 50-75 mg/kg bb/hari maksimum 4 gr/hari.
Meningitis pada neonatus (organisme yang mungkin adalah E.Coli, Steptococcus
grup B, dan Listeria) diobati dengan sefotaksim dan aminoglikosida, dengan
menambahkan ampisilin jika Listeria dicurigai. Akibat Haemophilus memerlukan
pengobatan

sefotaksim.

Meningitis

tuberkulosis

diobati

dengan

rifampisin,

pirazinamid, isoniazid, dan etambutol.44 Herpetik meningoensefalitis diobati dengan


asiklovir intravenous, cytarabin atau antimetabolit lainnya. Pengobatan amuba
meningoensefalitis dilakukan dengan memberikan amfoterisin B secara intravena,
intrateka atau intraventrikula. Pemberian obat ini dapat mengurangi angka kematian
akibat infeksi Naegleria fowleri, tetapi tidak berhasil mengobati meningoensefalitis
yang disebabkan oleh amuba lainnya. (15)
4.1 Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier merupakan aktifitas klinik yang mencegah kerusakan lanjut
atau mengurangi komplikasi setelah penyakit berhenti. Pada tingkat pencegahan ini
bertujuan untuk menurunkan kelemahan dan kecacatan, dan membantu penderita
untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi-kondisi yang tidak diobati lagi, dan
mengurangi kemungkinan untuk mengalami dampak neurologis jangka panjang
misalnya tuli, ketidakmampuan belajar, oleh karena itu fisioterapi dan rehabilitasi
juga diberikan untuk mencegah dan mengurangi kecacatan. (15)

22

DAFTAR PUSTAKA
1. Aminullah A, Dahlan A, Gatot J, dkk. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak.
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005.
2. Garna H. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak edisi 3. Bandung :
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD, 2005.
3. Mesiana M. Perbandingan Nilai Apgar Pada Persalinan Normal Dan Persalinan
Dengan Teknik Sectio Caesarea. Medan : FK USU, 2011.
4. Rachma. Perawatan Anak sakit. Jakarta : EGC, 2005
5. Prawihardjo, Sarwono. Pelayanan Kesehatan Maternal dan neonatal. Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo, 2002.
6. Kosim MS. Buku Ajar Neonatologi edisi 1. Jakarta : Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2010.
7. Hadinegoro SH. Sepsis dan meningitis pada neonatus. Dalam: Ruliana dkk,
editor. Penanganan mutakhir bayi prematur naskah PKB IKA XXXVIII. Jakarta :
Badan Penerbit FK UI, 1997.
8. Nelson, Behrman, Kliegman, dkk. Ilmu Kesehatan Anak Nelson edisi 15 vol 1.
Jakarta : EGC, 2000.
9. Lissauer T, Arroy. At a Glance Neonatologi. Jakarta : Penerbit Erlangga, 2010.
10. Nelson, Behrmen, Kliegman, dkk. Ilmu Kesehatan Anak Nelson edisi 15 vol 2.
Jakarta : EGC, 2000.

23

11. Surasmi A, Siti H, Heni NK. Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta : EGC, 2003.
12. Simbolon D. Faktor Resiko Sepsis Pada Bayi Baru Lahir di RSUD Curup
Kabupaten Rejang Lebong. Dalam : Buletin Panel Kesehatan vol 36. Bengkulu :
Politeknik Kesehatan Bengkulu, 2008.
13. Soedarmo SSP, Herry G, Sri Rezeki SH. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis.
Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008.
14. Alkamar A. Infeksi Pada Neonatus. Padang : FK UNANAD, 2010.
15. Wilar R, Ellen K, Diana YS, dkk. Faktor Resiko Sepsis Awitan Dini. Dalam : Sari
Pediatri. Manado : IKA FK Universitas Sam Ratulagi, 2010.

24

Anda mungkin juga menyukai