Anda di halaman 1dari 41

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

*Kepaniteraan Klinik Senior/Tahun 2019


**Pembimbing

ANTIPSIKOTIK PADA LANSIA

Oleh

Meika Amsi Munte, S.Ked (G1A218104)

Anna Hanifa Defrita, S.Ked (G1A218105)

Roganda Hotmauli Marsoit, S.Ked (G1A218106)

Pembimbing: dr. Fatmawati, Sp.KJ**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA RUMAH SAKIT JIWA DAERAH
PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019

i
HALAMAN PENGESAHAN

Cinical Science Session (CSS)

Antipsikotik pada lansia

DISUSUN OLEH

Meika Amsi Munte, S.Ked (G1A218104)

Anna Hanifa Defrita, S.Ked (G1A218105)

Roganda Hotmauli Marsoit, S.Ked (G1A218106)

Telah diterima dan dipresentasikan sebagai salah satu tugas


Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi
Program Studi Kedokteran Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Jambi, Oktober 2019

PEMBIMBING

dr. Fatmawati, Sp.KJ

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas segala limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan
Clinical Science Session ini dengan judul “Antipsikotik pada lansia“. Laporan ini
merupakan bagian dari tugas Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu
Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan
dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada dr. Fatmawati, Sp.KJ selaku pembimbing yang telah memberikan arahan
sehingga laporan Clinical Science Session ini dapat terselesaikan dengan baik dan
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan Clinical
Science Session ini.
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu
saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis.Sebagai
penutup semoga kiranya laporan Clinical Science Session ini dapat bermanfaat
bagi kita khususnya dan bagi dunia kesehatan pada umumnya.

Jambi, Oktober 2019

Penulis

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Penuaan adalah suatu proses biologis, meskipun para ahli biologis belum
menemukan kesimpulan untuk menjelaskan karakteristik umum dari penuaan.
Tahap usia tua akan dialami oleh semua orang, ada perubahan fisik, psikis dan
sosial yang terjadi. Di sisi lain kondisi fisik dan psikis setiap orang lanjut usia
akan berbeda.1 Proses penuaan otak abnormal merupakan bagian dari proses
degenerasi pada seluruh organ tubuh. Hal ini akan menimbulkan berbagai
gangguan neuropsikologis.2

Penelitian telah memperlihatkan bahwa pasien geriatri memiliki risiko


untuk memiliki gejala psikotik. Beberapa diagnosis yang sering dihubungkan
dengan gejala psikotik pada pasien geriatri adalah demensia, delirium, skizofrenia
onset lambat, penyalahgunaan zat dan kondisi kelainan neurologi. Gejala psikotik
pada pasien usia lanjut dapat dilihat dari berbagai kondisi. Penyebab dan
manifestasi klinis biasanya beragam tergantung dari kondisi yang mendasarinya. 3,4
Gejala psikosis akut biasanya terlihat pada pasien delirium yang disebabkan oleh
kondisi medis umum, penggunaan obat yang salah dan gejala psikosis yang
diinduksi oleh obat.

Gejala psikosis yang kronik dan menetap biasanya disebabkan oleh


gangguan psikotik primer (seperti skizofrenia kronis, skizofrenia onset lambat,
gangguan waham dan gangguan mood), psikosis yang disebabkan karena proses
neurodegeneratif (demensia Alzheimer, demensia vaskuler, demensia badan Lewy
dan penyakit parkinson) atau karena kondisi medis yang kronik.3,4,5

Antipsikotik adalah antagonis dopamin dan menyekat reseptor dopamin


dalam berbagai jaras di otak. Obat-obatan antipsikotik dapat diklasifikasikan
dalam kelompok tipikal dan atipikal. Antipsikotik tipikal merupakan
golongan obat yang memblokade dopamine pada reseptor pasca-sinaptik
neuron di otak, khususnya sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal (dopamine D-
2 receptor antagonist).6

iv
Obat-obat antipsikotik tipikal merupakan antagonis reseptor dopamine
sehingga menahan terjadinya dopaminergik pada jalur mesolimbik dan
mesokortikal. Blokade reseptor D dopamine dapat memberikan efek samping
sindrom ekstrapiramidal.5,6
Sedangkan antipsikotik atipikal merupakan golongan yang selain
berafinitas terhadap Dopamine D-2 receptor juga berafinitas terhadap 5
HT2 Reseptor (Serotonin-dopamine antagonist ). Secara signifikan tidak
memberikan efek samping gejala ekstrapiramidal bila diberikan dalam dosis klinis
yang efektif.6

Untuk itu perlu diketahui penggunaan obat antipsikotik yang tepat bagi pasien
geriatri agar tatalaksana dapat diterapkan dengan tepat dan aman bagi pasien.

v
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Antipsikotik

Antipsikotik adalah antagonis dopamin dan menyekat reseptor dopamin


dalam berbagai jaras di otak. Obat antipsikotik adalah sekelompok bermacam-
macam obat yang menghambat reseptor dopamine tipe 2 (D2). Indikasi utama
untuk pemakaian obat adalah terapi skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya.6

Antipsikotik dan antagonis reseptor dopamine tidak sepenuhnya sama.


Clozapine adalah suatu antipsikotik yang efektif tetapi berbeda dengan semua
obat karena memiliki aktivitas pada reseptor D2 yang kecil. Obat-obat ini
dinamakan sebagai neuroleptik dan transkuiliser mayor. Istilah neuroleptik
menekankan efek neurologis dan motorik dari sebagian besar obat. 6

2.2 Jenis-Jenis Antipsikotik 3

No Nama obat
1 Antipsikotik tipikal :
- Phenothiazine
 Rantai aliphatic : chlorpromazine
 Rantai piperazine : perphenazine, trifluoperazine,
fluphenazine
 Rantai piperidine : thioridazine
- Butyrophenone : Haloperidol
- Diphenyl-butyl-piperidine : pimozide
2 Antipsikotik atipikal :
- Benzamide : sulpiride
- Dibenzodiazepin : clozapine, olanzapine, quetiapine, zotepine
- Benzisoxazole : risperidon, aripiprazole

vi
Sediaan obat antipsikotik 4

No Nama obat Sediaan Dosis anjuran


1 Chlorpromazine Tab 25-100 mg 150-600mg/h
Amp 50mg/2cc 50-100 mg(im) setiap 4-6 jam
Anak anak >5 tahun ½ dosis
orang dewasa, anak anak < 5
tahun 1 mg/kgBB . bila perlu
diberikan 2x sehari.

2 Haloperidol Tab 0,5-1,5 mg- 5 mg 5-15 mg/h


Amp 5mg/cc 5-10mg(im) setiap 4-6 jam
Amp 50mg/cc 50 mg (im) setiap 2-4 minggu
3 Perphenazine Tab 2-4-8 mg 12-24 mg/h
4 Fluphenazine Tab 2,5-5 mg 10-15 mg/h
Vial 25 mg/cc 25 mg(im) setiap 2-4 minggu
5 Trifluoperazine Tab 1-5 mg 10-15 mg/h
6 Thioridazine Tab 50-100 mg 150-300 mg/h
7 Sulpiride Amp 100mg/2cc 3-6 amp/h
Tab 200 mg 300-600mg/h
8 Pimozide Tab 4 mg 2-4 mg/h
9 Risperidone Tab 1-2-3 mg 2-6 mg/h
Vial 25 mg/cc 25-50 mg(im) setiap 2
Vial 50 mg/cc minggu
10 Clozapine Tab 25-100 mg 25-100mg/h
11 Quetiapine Tab 25-100 mg 50-400 mg
200 mg
12 Olanzapine Tab 5-10mg 10-20 mg/h
13 Zotepine Tab 25-50 mg 75-100 mg/h

1. Antipsikotik Generasi Pertama (APG I)

Antipsikotik generasi pertama mempunyai cara kerja dengan memblok


reseptor D2 khususnya di mesolimbik dopamine pathways, oleh karena itu sering
disebut juga dengan Antagonist Reseptor Dopamin (ARD) atau antipsikotik

vii
konvensional atau tipikal.Dapat menurunkan gejala positif hingga 60-70% dan
hanya sedikit berpengaruh pada gejala negative.1,5

Kerja dari antipsikotik ini menurunkan hiperaktivitas dopamine dijalur


mesolimbik sehingga menyebabkan gejala positif menurun tetapi ternyata tidak
hanya memblok reseptor D2 di mesolimbik tetapi juga di tempat lain seperti
dijalur mesokortikal, nigrostriatal, dan tuberoinfundibular.1,5,8
Antipsikotik selain menyebabkan terjadinya blokade reseptor D2 pada
keempat jalur dopamine, juga menyebabkan terjadinya blokade reseptor
kolinergik muskarinik sehingga timbul efek samping antikolinergik berupa mulut
kering, pandangan kabur, konstipasi dan kognitif tumpul. Reseptor histamin (H1)
juga terblok sehingga timbul efek samping mengantuk dan meningkatkan berat
bdan. Selain itu antipsikotik juga memblok reseptor alfa1 adrenergik sehingga
dapat menimbulkan efek samping pada kardiovaskuler berupa hipotensi ortostatic,
mengantuk, pusing, dan tekanan darah menurun.2,8

Penggunaan obat antipsikotik tipikal dalam beberapa penelitian terakhir mulai


jarang dikarenakan efek samping dan ketersediaan obat antipsikotik atipikal yang
semakin luas. Haloperidol dan trifluoperazine dengan dosis 10-30 mg/ hari
memberikan perbaikan pada gejala psikotik pasien usia lanjut. Penggunaan depot
juga berguna bagi pasien usia lanjut yang memiliki masalah penggunaan secara
oral. Dosis rendah flupenazine dekanoat (9 mg tiap 2 minggu) terbukti dapat
memperbaiki gejala psikotik pasien.

2. Antipsikotik Generasi Kedua (APG II)

APG II sering disebut juga sebagai Serotonin Dopamin Antagosis (SDA)


atau antipsikotik atipikal. APG II mempunyai mekanisme kerja melalui interaksi
antara serotonin dan dopamin pada ke 4 jalur dopamin di otak. Hal ini yang
menyebabkan efek samping EPS lebih rendah dan sanagat efektif untuk mengatasi
gejala negatif. Perbedaan antara APG I dan APG II adalah APG I hanya dapat
memblok reseptor D2 sedangkan APG II memblok secara bersamaan reseptor

viii
serotonin (5HT2A) dan reseptor dopamin (D2). APG yang dikenal saat ini adalah
clozapine, risperidone, olanzapine, quetiapine, zotepine, ziprasidone, aripiprazole.
Saat ini antipsikotik ziprasidone belum tersedia di Indonesia. 1,3,6

Kerja obat antipsikotik generasi kedua pada dopamin pathways:

1. Mesokortikal Pathways

Antagonis 5HT2A tidak hanya akan menyababkan berkurangnya blokade


terhadap antagonis D2 tetapi juga menyebabkan terjadinya aktivitas dopamin
pathways sehingga terjadi keseimbangan antara keseimbangan antara serotonin
dan dopamin. APG II lebih berpengaruh banyak dalam memblok reseptor 5HT 2A
dengan demikian meningkatkan pelepasan dopamin dan dopamin yand dilepas
menang dari pada yang dihambat di jalur mesokortikal. Hal ini menyebabkan
berkurangnya gejala negatif maka tidak terjadi lagi penurunan dopamin di jalur
mesokortikal dan gejala negatif yang ada dapat diperbaiki.

APG II dapat memperbaiki gejala negatif jauh lebih baik dibandingkan


APG I karena di jalur mesokortikal reseptor 5HT2A jumlahnya lebih banyak dari
reseptor D2, dan APG II lebih banyak berkaitan dan memblok reseptor 5HT 2A dan
sedikti memblok reseptor D2 akibatnya dopamin yang di lepas jumlahnya lebih
banyak, karena itu defisit dopamin di jalur mesokrtikal berkurang sehingga
menyebabkan perbaikan gejala negatif skizofrenia.1,6,8

2. Mesolimbik Pathways

ix
APG II di jalur mesolimbik, antagonis 5HT2A gagal untuk mengalahkan
antagonis D2 di jalur tersebut. jadi antagonsis 5HT2A tidak dapat mempengaruhi
blokade reseptor D2 di mesolimbik, sehingga blokade reseptor D2 menang. Hal ini
yang menyababkan APG II dapat memperbaiki gejala positif skizofrenia. Pada
keadaan normal serotonin akan menghambat pelepasan dari dopamin.1,6
3. Tuberoinfundibular Pathways
APG II di jalur tuberoinfundibular, antagonis reseptor 5HT2A dapat
mengalahkan antagonis reseptor D2. Hubungan antara neurotransmiter serotonin
dan dopamin sifatnya antagonis dan resiprokal dalam kontrol sekresi prolaktin
dari hipofise. Dopamin akan menghambat pengelepasan prolaktin, sedangkan
serotonin menigkatkan pelepasan prolaktin. Pemberian APG II dalam dosis terapi
akan menghambat reseptor 5HT2A sehingga menyebabkan pelepasan dopamin
menigkat. Ini mengakibatkan pelepasan prolaktin menurun sehingga tidak terjadi
hiperprolaktinemia.1,6
4. Nigrostriatal Pathways

APG II dalam klinis praktis, memiliki empat keuntungan, yaitu:

1. APG II menyebabkan EPS jauh lebih kecil dibandingkan APG I, umunya


pada dosis terapi sangat jarang terjadi EPS.
2. APG II dapat mengurangi gejala negatif dari skzofrenia dan tidak
memperburuk gejala negatif seperti yang terjadi pada pemberian APG II.
3. APG II menurunkan gejalan afektif dari skizofrenia dan sering digunakan
untuk pengobatan depresi dan gangguan bipolar yang resisten.
4. APG II menurunkan gejala kognitif pada pasien skizofrenia dan penyakit
Alzheimer.1,6

Antipsikotik generasi kedua yang digunakan sebagai:

First line: Risperidone, Olanzapine, Quetiapine, Ziprasidone, Aripiprazole

Second line: Clozapine.

x
Keuntungan yang didapatkan dari pemakaian APG II selain efek samping
yang minimal juga dapat memperbaiki gejala negatif, kognitif dan mood sehingga
mengurangi ketidaknyamanan dan ketidakpatuhan pasien akibat pemakian obat
antipsikotik.

Penggunaan antipsikotik atipikal saat ini merupakan lini pertama pengobatan


gejala psikotik pasien usia lanjut karena efek sampingnya yang lebih dapat
ditolerir daripada antipsikotik tipikal ataupun obat golongan non antipsikotik.

Namun demikian, tidak banyak penelitian yang menggunakan sampel


populasi pasien usia lanjut sehingga efikasi dan keamanannya secara ilmiah masih
perlu diteliti lebih lanjut. Secara klinis antipsikotik atipikal telah terbukti
mempunyai efektifitas dan keamanan yang cukup dalam mengobati gejala
psikotik pasien usia lanjut.

2.3 Farmakokinetik Dan Farmakodinamik Anti Psikotik


a. RISPERIDONE
Dibandingkan dengan semua jenis antipsikotik atipikal, risperidone
merupakan yang paling banyak diteliti. Hal tersebut disebabkan efektifitas
risperidone, dapat ditoleransi pada dosis rendah (1,5-6mg/hari) dan memberikan
perbaikan yang nyata pada pasien skizofrenia usia lanjut.

Rainer et al meneliti penggunaan Risperidone dalam rentang dosis fleksibel


0,5-2mg/hari untuk mengatasi agresi, agitasi dan gangguan psikotik pada 34
pasien demensia rawat inap dengan rata-rata usia 76 tahun. Hasilnya terjadi
perbaikan gejala yang dinilai dari Clinical Global Impression (CGI) pada 82%
responden penelitian. Frekuensi dan keparahan halusinasi, waham, agresi dan
iritabilitas juga menurun, yang dilihat dari rating Neuropsychiatric Inven-tory
(NPI). Penggunaan risperidone pada kelompok tersebut juga tidak membuat
perubahan pada fungsi kognitif pasien yang dilihat melalui skor Mini-Mental
State Examination (MMSE), Age Concentration Test [AKT] dan Brief Syndrome
Test [SKT]. Risperidone juga secara umum dapat ditoleransi dan tidak
menimbulkan efek samping ekstra piramidial yang bermakna.6

xi
Selain untuk mengatasi gejala agresivitas, agitasi dan psikotik yang berkaitan
dengan demensia, risperidone juga digunakan pada pasien usia lanjut yang
menderita skizofrenia. Kepustakaan mencatat risperidone dan olanzapine adalah
dua antipsikotik atipikal yang paling sering digunakan pada populasi pasien usia
lanjut. Penelitian tersamar berganda dilakukan selama 8 minggu terhadap 175
pasien rawat jalan, pasien rawat inap dan panti werdha yang berusia 60 tahun ke
atas menggunakan risperidone (1 mg to 3 mg/hari) atau olanzapine (5 mg to 20
mg/hari). Hasilnya terdapat perbaikan pada nilai skor PANSS pada kedua
kelompok. Efek samping ektrapiramidal terlihat pada 9,2% pasien kelompok
risperidone dan 15,9% pasien kelompok olanzapine. Secara umum skor total dari
Extrapyramidal Symptom Rating Scale menurun pada kedua kelompok di akhir
penelitian. Peningkatan berat badan juga didapatkan di dua kelompok namun
lebih jarang terjadi pada pasien yang menggunakan risperidone.9

Risperidone merupakan obat APG II yang kedua diterima oleh FDA


(Food and Drug Administration) sebagai antipsikotik setelah clozapine. Absorpsi
risperidone di usus tidak di pengaruhi oleh makanan dan efek terapeutik nya
terjadi dalam dosis rendah, pada dosis tinggi dapat terjadi EPS. Pemakaian
risperidone yang teratur dapat mencegah terjadinya kekambuhan dan menurunkan
jumlah dan lama perawatan sehingga baik digunakan dalam dosis pemeliharaan.1
Risperidone dapat memperbaiki skizofrenia yang gagal di terapi dengan
APG I tetapi hasil pengobatannya tidak sebaik clozapine. Obat ini juga dapat
memperbaiki fungsi kognitif tidak hanya pada skizofrenia tetapi juga pada
penderita demensia misalnya demensia Alzheimer.
Metabolisme risperidone sebagian besar terjadi di hati oleh enzim CYP
2D6 menjadi 9-hydroxyrisperidone dan sebagian kecil oleh enzim CYP 3A4.
Hydroxyrisperiodne mempunyai potensi afinitas terhadap reseptor dopamin yang
setara dengan risperidone. Eksresi terutama melalui urin. Metabolisme risperiodne
dihambat oleh antidepresan fluoxetine dan paroxetine, karena antidepresan ini
menghambat kerja dari enzim CYP 2D6 dan CYP 3A4 sehingga pada pemberian
bersama antidepresan ini, maka dosis risperidone harus dikurangi untuk
meminimalkan timbulnya efek samping dan toksik. Metabolisme obat ini

xii
dipercepat bila diberikan bersamaan carbamazepin, karena menginduksi CYP 3A4
sehingga perlu peningkatan dosis risperidone pada pemberiaan bersama
carbamazepin disebabkan konsentrasi risperidone di dalam plasma rendah. 1,3,7

b. CLOZAPINE
Merupakan APG II yang pertama dikenal, kurang menyebabkan timbulnya
EPS, tidak menyebabkan terjadinya tardice dyskinesia dan tidak terjadi
peningkatan dari prolaktin. Clozapine merupakan gold standard pada pasien yang
telah resisten dengan obat antipsikotik lainnya. Profil farmakoligiknya atipikal
bila dibandingkan dengan antipsikotik lain. Dibandingkan terhadap psikotropik
yang lain, clozapine menunjukkan efek dopaminergik rendah, tetapi dapat
mempengaruhi fungsi saraf dopamin pada sistem mesolimbik-mesokortikal otak,
yang berhubungan dengan fungsi emosional dan mental yang lebih tinggi, yang
berbeda dari dopamin neuron di daerah nigrostriatal (darah gerak) dan
tuberoinfundibular (daerah neruendokrin). 1
Clozapine efektif untuk menggontrol gejala-gejala psikosis dan skizofrenia
baik yang positif (iritabilitias) maupun yang negatif (social disinterest dan
incompetence, personal neatness). Efek yang bermanfaat terlihat dalam waktu 2
minggu, diikuti perbaikan secara bertahap pada minggu-minggu berikutnya. Obat
ini berguna untuk pasien yang refrakter dan terganggu berat selam pengobatan.1,3
Secara farmakokinetik, clozapine di absorpsi secara cepat dan sempurna
pada pemberian per oral. Kadar puncak plasma tercapai pada kira-kira 2 jam
setelah pemberian obat, dengan waktu paruh rata-rata 12 jam (antara 10-16 jam)
sehingga pemberiannya dianjurkan 2 kali dalam sehari. Distribusi dari clozapine
dibandingkan obat antipsikotik lainnya lebih rendah. Umunya afinitas dari
clozapine rendah pada reseptor D2 dan tinggi pada reseptor 5HT2A sehingga
cenderung rendah untuk menyebabkan terjadinya efek samping EPS. 1,3,8
Penggunaan clozapine untuk mengatasi gejala psikotik pada pasien parkinson
sudah diteliti secara luas. Terdapat bukti dari penelitian tersamar berganda bahwa
clozapine secara signifikan berguna memperbaiki gejala psikotik pada pasien
Parkinson. Dosis yang digunakan juga jauh lebih kecil yaitu berkisar antara 6,25–

xiii
50mg/hari. Sebuah penelitian retrospektif selama 5 tahun terhadap pasien
parkinson yang mengalami gejala psikotik mengatakan bahwa 19 dari 32 pasien
melanjutkan pengobatan sampai selesai, 9 di antaranya menghentikan pengobatan
sesaat setelah gejalanya menghilang tanpa merasakan efek samping ikutan setelah
putus obat. Efek samping yang paling sering dikeluhkan adalah sedasi dan
somnolen.17,18

Penelitian yang dilakukan oleh Sajatovic et al memperlihatkan adanya


perbaikan gejala teutama gejala positif pada pasien yang menerima clozapine.
Penelitian tersebut melibatkan 329 pasien berusia 55 tahun ke atas. Dosis yang
dipakai pada penelitian tersebut rata-ratanya 278mg/hari. Pada penelitian tersebut
juga berhasil memperlihatkan bahwa pasien di atas 65 tahun kurang responsif
terhadap pengobatan daripada pasien yang berusia di antara 55-65 tahun. Faktor
usia juga menjadi faktor peningkatan kejadian leukopenia/agranulositosis pada
pasien yang memakai clozapine.17-19

Dosis clozapine yang disarankan untuk digunakan pada populasi pasien usia
lanjut adalah 25-150mg/hari. Pasien juga disarankan untuk tidak merokok karena
akan mengurangi konsentrasi clozapine di dalam plasma akibat peningkatan
bersihan di dalam darah.17

c. OLANZAPINE
Merupakan derivat dari clozapine dan dikelompokkan dalam golongan
Thienobenzodiazepine. Absorpsi tidak dipengaruhi oleh makanan. Plasma puncak
olanzapine dicapai dalam waktu 5 jam setalah pemberian oral, sedangkan pada
pemberian intramuskular dapat dicapai setelah 15-45 menit dengn waktu paruh 31
jam (antara 21-54 jam) sehingga pemberian cukup 1 kali sehari. 1,3
Olanzapine merupaka antagonis monoaminergik selektif yang mempunyai
afinitas yang kuat terhadap reseptor dopamin (D 1-D4), serotonin (5HT2A/2c),
Histamin (H1) dan α1 adrenergik. Afinitas sedang dengan reseptor kolinergik
muskarinik (M1-5) dan serotonin (5HT3). Berikatan lemah dengan reseptor
GABAA, benzodiazepin dan β-adrenergik. Metabolisme olanzapine di sitokrom

xiv
P450 CYP 1A2 dan 2D6. Metabolisme akan meningkat pada penderita yang
merokok dan menurun bila diberikan bersama dengan antidepresan fluvoxamine
atau antibiotik ciprofloxacin. 1
Bila dibandingkan dengan clozapine, olanzapine memblok D2 lebih besar
sehingga dosis tinggi dapat menyebabkan peningkatan kadar prolactin dan efek
pada EPS Olanzapine juga agonis pada 5HT1a sehingga baik untuk antianxietas
dan antidepresi. 1
Data mengenai penggunaan olanzapine lebih terbatas daripada risperidone.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Madhusoodanan et al, olanzapine terbukti
aman dan efektif pada populasi pasien geriatri dan menimbulkan efek samping
ekstrapiramidal yang minimal serta tidak mempengaruhi kondisi medis umum
pasien.3

Olanzapine juga dihubungkan dengan manfaat terhadap kognisi pasien


geriatri daripada dengan penggunaan halo-peridol. Pada penelitian selama 6
minggu berhubungan dengan penyakit Alzheimer, tidak terdapat peningkatan
kejadian sindrom ekstrapiramidal, penurunan kognitif dan efek antikolinergik
sentral pada pasien dengan penggunaan olanzapine dibandingkan dengan
plasebo.4

Penelitian yang melibatkan 94 pasien geriatri dengan gangguan psikosis yang


dirawat inap memperlihatkan terjadinya perubahan yang bermakna dari CGI-I
dengan penurunan gejala dari data awal penelitian rata-rata sebesar 52,6%. Hal ini
juga terjadi pada skor Brief Psychiatry Rating Scale (BPRS). Dosis olanzapine
yang digunakan berkisar antara 5-20mg/hari (rata-rata 10,1mg/hari). Pada
penelitian tersebut efek samping yang sering muncul adalah somnolen, dizziness,
bradikinesia dan kelemahan kaki. Terjadi juga peningkatan berat badan dan kadar
gula serta trigliserida puasa.15

d. QUETIAPINE
Quetiapine merupakan antagonis reseptor serotonin (5HT1A dan 5HT2A),
reseptor dopamin (D1 dan D2), reseptor histamin (H1), reseptor adrenergik α1 dan

xv
α2. Afinitasnya lemah pada reseptor muskarinik (M1) dan reseptor benzodiazepin.
Cleareance quetiapine menurun 40% pada penderita usia lanjut, sehinga perlu
penyesuaian dosis yang lebih rendah dan menurun 30%-50% pada penderita yang
mengalami gangguan fungsi hati. Cleareance quetiapine meningkat apabila
pemberiannya dilakukan bersamaan dengan antiepileptik fenitoin, barbiturat,
carbamazepin dan antijamur ketokonazole.1,2,3
Quetiapine dapat memperbaiki gejala positif, negatif, kognitif dan mood.
Dapat juga memperbaiki pasien yang resisten dengan antipsikotik generasi
pertama tetapi hasilnya tidak sebaik apabila di terapi dengan clozapine. Pemberian
pada pasien pertama kali mendapat quetiapine perlu dilakukan titrasi dosis untuk
mencegah terjadinya sinkope dan hipotensi postural.Waktu untuk konsentrasi
penuh setelah pemberian oral adalah 2 jam dengan waktu paruh berkisar 3-5 jam,
setelah 8-12 jam reseptor masih diduduki. 1
Dosis anjuran 50-400mg/hari dan sediaannya 25-100mg dan 200mg dan
300mg tablet XR (50mg, 300mg dan 400mg). Efek samping obat ini yang sering
adalah somnolen, hipotensi postural, pusing, peningkatan berat badan, takikardi,
dan hipertensi. 1,3
Untuk menghindari efek samping yang sering timbul pada usia lanjut;
hipotensi postural, dizziness dan agitasi, direkomendasikan permulaan dosis awal
yang rendah (25mg) yang dititrasi sampai 100-300mg/hari. 3 Penelitian lain
mengatakan bahwa efek samping yang sering mucul akibat penggunaan
quetiapine adalah somnolen, kelemahan bagian kaki bawah dan dizziness. Angka
kejadian sindrom ekstrapiramidal adalah 7% dari total 91 responden yang
mengikuti penelitian. Tidak didapatkan adanya gangguan pada sistem
kardiovaskuler dan jatuh pada penelitian tersebut.10

Quetiapine juga terbukti bermanfaat dalam penanganan gejala psikotik yang


muncul akibat penggunaan obat agonis dopamin pada pasien Parkinson. Penelitian
yang dilakukan oleh Reddy et al menyebutkan bahwa 80% pasien Parkinson
mengalami perbaikan dalam gejala psikotiknya setelah pengobatan quetiapine
dengan dosis rata-rata 54mg/hari selama 10 bulan. 11 Selain memperbaiki gejala
psikotik pada pasien parkinson yang memakan obat agonis dopamin, quetiapine

xvi
juga terbukti mempertahankan kognitif pasien dalam penelitian yang dilakukan
Juncos et al.

Penelitian Yang et al pada 91 orang pasien usia lanjut menyebutkan terjadi


peningkatan nilai skor Global Impres-sion Improvement (CGI) pada 89% sampel
yang ikut serta dalam penelitian tersebut. Lebih jauh lagi terlihat adanya
pengurangan skor sebesar 39,5% dari Brief Psychiatric Rat-ing Scale (BPRS).
Penelitian tersebut memperlihatkan bahwa quetiapine mempunyai efikasi dan
keamanan yang baik pada pengobatan pasien psikosis usia lanjut.10

Laporan kasus dari sepuluh pasien usia lanjut penderita skizofrenia kronik
yang tidak mendapatkan respon dari suatu jenis antipsikotik atipikal sehingga
diganti dengan quetiapine. Skor BPRS (50,1 S.D.±13,6) kesepuluh pasien tersebut
secara signifikan (p=0,001)mengalami perbaikan setelah 6 bulan pengobatan
tanpa adanya efek samping dalam pergerakan motorik dan peningkatan berat
badan. Dosis rata-rata yang dipakai pada percobaan tersebut adalah 391mg/ hari
(S.D.±245), dengan rentang dosis antara 50-800mg/hari.12

Penelitian yang dilakukan oleh Rainer et al yang membandingkan


penggunaan quetiapine dengan risperidone pada pasien dengan gangguan perilaku
dan psikologis karena demensianya memperlihatkan bahwa pada dosis rendah
keduanya secara sebanding efektif dan dapat ditolerir pada pengobatan pasien
yang mengalami gangguan perilaku dan psikologis akibat demensia. Penelitian
tersebut juga memperlihatkan tidak adanya perubahan pada fungsi kognitif yang
diukur dengan skor MMSE dan Ageadjusted Concen-tration Test (AKT) pada dua
kelompok yang mendapat obat yang berbeda. Pada penelitian tersebut rerata dosis
quetiapine yang digunakan adalah 77±40mg/hari sedangkan risperidone
0,9±0,3mg/hari.13

Jaskiw et al pada suatu percobaan open-label multisenter mengatakan


keamanan penggunaan dosis terbagi sampai 750mg/hari. Namun, oleh karena
belum adanya penelitian lain yang menggunakan dosis sebesar itu pada pasien

xvii
geriatri, disarankan untuk hanya menggunakan dosis setinggi itu pada pasien yang
benar-benar membutuhkan.3

e. ARIPIPRAZOLE
Merupakan antipsikotik generasi baru, yang bersifat partial agonis pada
reseptor D2 dan reseptor serptonin 5HT1A serta antagonis pada reseptor serotonin
5HT2A. Aripiprazole bekerja sebagai dopamin sistem stabilizer artinya
menghasilkan signal transmisi dopamin yang sama pada keadaan hiper atau hipo-
dopaminergik karena pada keadaan hiperdopaminergik aripiprazole afinitasnya
lebih kuat dari dopamin akan mengeser secara kompetitif neurotransmiter
dopamin dan berikatan dengan reseptor dopamin. Pada keadaan
hipodopaminergik maka aripiprazole dapat menggantikan peran neurotransmiter
dopamin dan akan berikatan dengan reseptro dopamin. 3,7,8
Aripiprazole di metabolisme di hati melaui isoenzim P450 pada CYP 2D6
dan CYP 3A4, menjadi dehydro-aripiprazole. Afinitas dari hasil metabolisme ini
mirip dengan aripiprazole pada reseptor D2 dan berada di plasma sebesar 40% dari
keseluruhan aripiprazole. Waktu paruh berkisar antara 75-94 jam sehingga
pemberian cukup 1 kali sehari. Absorpsi aripiprazole mencapai konsentrasi
plasma ouncak dalam waktu 3-5 jam setelah pemberian oral. Aripiprazole
sebaiknya diberikan sesudah makan, terutama pada pasien yang mempunyai
keluhan dispepsia, mual dan muntah.3,7
Aripriprazole tergolong baru dalam dunia psikiatri. Cara kerjanya yang unik
sebagai parsial agonis di reseptor D2 mampu memperbaiki gejala positif maupun
negatif pasien psikotik. Lebih jauh lagi aripriprazole dikatakan memiliki efek
samping yang lebih kecil untuk terjadinya sindrom ekstrapiramidal, sedasi,
peningkatan berat badan dan efek samping kardiovaskular. Satu hal yang harus
diperhatikan adalah aripriprazole berbeda dengan antipsikotik yang lain memiliki
waktu paruh yang relatif lebih panjang yaitu sekitar 75 jam. Untuk itu penggunaan
pada pasien usia lanjut yang memiliki fungsi ginjal yang kurang baik harus
diperhatikan.17

xviii
2.4 Antipsikotik Penyakit Skizofenia Pada Usia Lanjut
A. Patofisiologi Skizofrenia pada Lansia

Neurotransmiter dan nuropeptida

Faktor neurobiologi dikorelasikan dengan episode skizofrenik. Hipotesis


neurotransmitter melibatkan aktivitas berlebihan dopaminergik. Bukti yang
mendukung hipotesis ini berasal dari beberapa sumber. Pertama, potensi semua
obat antipsikotik tradisional dapat diprediksi secara kasar melalui kapasitas
penghambat dopaminergik obat ini. Kedua, dopamine mesolimbik memiliki
peranan dalam mekanisme atensi dan rangsangan penyaringan. Bila mekanisme
rangsangan penyaringan rusak, terdapat kolaps informasi yang memproses
kapasitas individu dengan mengakibatkan peningkatan sensori.

Walaupun hipotesis ini mendukung, hipotesis dopamine penuh dengan


kesulitan bila dibandingkan dengan teori katekolamin gangguan afeksi. Gangguan
afeksi secara hipotesis (dan secara sederhana) merefleksikan penurunan tonus
norepinefrin pada nuclei hipotalamik yang menyebabkan jalur umum akhir gejala
neurovegetatif. Pada skizofrenia, tampaknya terdapat peningkatan tonus dopamine
pada jalur subkortikal kritis yang menyebabkan fragmentasi kognitif, gangguan
pikiran dan gejala klinis yang sangat kompleks dan bervariasi. Pada pola kerja ini,
gangguan afeksi terlihat sebagai yang menimpa “inti” diensefalik otak, sedangkan
skizofrenia dibuat konsep sebagai gangguan lapisan mesolimbic-frontal. Sangat
diragukan jika “satu neurotransmitter” atau “satu lokus” dapat menjelaskan semua
gangguan psikiatrik, memberikan kompleksitas intraktif system psikososial dan
neurobiologik, meskipun teori ini berguna.

Hipotesis aktivitas dopamine berlebihan pada skizofrenia secara umum


ditandai oleh teori static. Pada kenyataannya, tonus dopamine terkait pada cara
bervariasi dan dinamik terhadap GABA, serotonin dan neurotransmitter lain yang
secara fungsional tersusun pada system otak penting, seperti korteks prefrontal
dorsolateral, korteks temporal mesial, nucleus akumben, ventral palidum, dan
hipokampus. Skizofrenia yang berkorelasi lebih lama juga mengenai perubahan

xix
neuropeptide, dengan latensi panjangnya dan efek respon pada perilaku. Pada
tingkat elektrofisiologi, telah dihipotesiskan bahwa gangguan awal pada
skizofrenia bersifat aberan (mungkin diinduksi eksitotoksik) focus lobus temporal
yang membingungkan homeostasis system dopamine. Bukti yang lebih mutakhir
menunjukkan viremia trimester kedua sebagai precursor dini skizofrenia.
Berdasarkan teori ini, lobus temporal pusat selama perkembangan fetal dan deficit
ini “tidak ditutupi” pada masa dewasa akhir dengan kegagalan terhadap kelebihan
neuron atau untuk mengatur aktivitas frontotemporal (Isselbacher et al.,2000).

B. Terapi Skizofrenia pada Lansia

Penatalaksanaan pasien skizofrenia harus dilakukan sesegera mungkin,


karena keadaan psikotik yang lama menimbulkan kemungkinan lebih besar
penderita menuju ke kemunduran mental. Sementara itu, pengobatan skizofrenia
membutuhkan waktu yang relatif lama, hal ini dimaksudkan untuk menekan
sekecil mungkin kejadian kekambuhan. Penatalaksanaan yang dimaksud berupa
pengobatan psikofarmaka dan psikoterapi.

a. Psikofarmaka
Pada pengobatan skizofrenia digunakan obat golongan antipsikosis. Obat
antipsikosis digunakan untuk mengendalikan gejala aktif dan mencegah
kekambuhan. Obat antipsikosis ini digolongkan menjadi golongan antipsikosis
tipikal dan golongan antipsikosis atipikal.
Efek samping obat antipsikosis dapat berupa:

 Sedasi dan inhibisi psikomotor


 Gangguan otonom
 Gangguan ekstrapiramidal
 Gangguan endokrin, metabolik, dan hematologik, biasanya muncul pada
pemakaian jangka panjang.
Efek samping tersebut ada yang dapat ditolerir oleh pasien ada yang lambat
dan ada yang membutuhkan obat simptomatis untuk meredakan efek samping.
Dalam penggunaan antipsikosis yang hendak dicapai adalah respon optimal

xx
dengan efek samping yang minimal. Efek samping yang terjadi dapat berupa
gangguan ireversibel: tardive dyskinesia (gerak involunter berulang pada wajah,
mulut, anggota gerak yang menghilang saat tidur) yang biasanya terjadi pada
pemakaian jangka panjang (terapi pemeliharaan) dan pada pasien usia lanjut. Efek
samping ini non dose related.

Bila terjadi gejala tersebut, obat antipsikosis perlahan-lahan dihentikan dan


dapat diberikan reserpin 2,5mg/hari (dopamine depleting agent) atau obat
antipsikosis diganti dengan closapin 50-100mg/hari. Pada penggunaan obat
antipsikosis jangka panjang, secara periodik harus dilakukan pemeriksaan
laboratorium: darah lengkap, urin lengkap, faal hati, faal ginjal untuk deteksi dini
efek samping obat.

Pada lansia akan lebih rentan terhadap efek samping obat yang
ditimbulkan, sehingga pada pasien lansia dibutuhkan obat yang memiliki efek
samping yang minimal dengan dosis yang rendah juga. Efek samping yang terjadi
pada pasien lansia bisa berupa ekstrapiramidal sindrom, sindroma metabolik, dan
tardive dyskinesia. Hal ini rentan pada lansia karena pada usia lanjut sel
neuronnya akan memiliki sifat dopaminergik yang lebih rendah daripada usia
dewasa karena reseptor D2 jumlahnya lebih sedikit sehingga apabila dosis yang
sama diberikan akan lebih mudah memberikan efek parkinsonism. Sementara itu
metabolisme pada usia lanjut mengalami penurunan kecepatan metabolisme
termasuk obat sehingga absorbsi dan eliminasi obat berlangsung lambat.

Pada dasarnya semua obat antipsikosis memiliki efek primer yang sama
pada dosis ekivalen, perbedaan terlihat pada efek sekunder (efek samping: sedasi,
otonom, ekstrapiramidal). Pemilihan jenis obat mempertimbangkan gejala
skizofrenia yang dominan dan efek samping obat. Penggantian obat disesuaikan
dengan dosis ekivalen. Berikut tabel dosis obat antipsikosis pada lansia (Dilip J
Veste, et al.,2013):

Tabel. Rekomendasi obat antipsikosis pada lansia (mg/hari)

Antipsikosis Dosis awal Dosis pemeliharaan

xxi
Haloperidol 0,25-0,5 1-3,5
Thioridazine 10-25 50-100
Clozapine 6,25-12,5 50-100
Risperidone 0,25-0,5 1-2,5
Olanzapine 1-5 5-15
Quetiapine 12,5-25 75-125

Fase pengobatan pada skizofrenia dibagi menjadi 3 tahapan: fase akut


(fase untuk meredakan gejala), fase stabillisasi (mencegah relaps dan menemukan
dosis optimal), fase rumatan (maintenence dan dosis dipertahankan pada dosis
maintenence). Pengobatan diawali dengan pemberian dosis awal sesuai dosis
anjuran, dinaikkan setiap 2-3 hari dan dievaluasi 2 minggu hingga akan
menemukan dosis optimum dan dipertahankan selama 8-12 minggu, lalu dosis
diturunkan tiap 2 minggu dan pada dosis maintenence dosis dipertahankan 6 bulan
sampai dengan 2 tahun lalu ditapering off setiap 2-4 minggu dan akhirnya
dihentikan.

Pada serangan berulang fase maintenence dilakukan selama 5 tahun dan


pada pasien yang mengalami serangan pertama kali dilakukan selama 2 tahun.
Efek obat antipsikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari
setelah dosis terakhir diberikan masih mempunyai efek klinis, sehingga tidak
langsung menimbulkan kekambuhan segera setelah obat dihentikan. Biasanya satu
bulan kemudian gejala akan muncul kembali. Hal ini terjadi karena metabolisme
dan ekskresi obat yang berjalan lambat sementara hasil metabolit obat masih
memiliki efek antipsikosis.

Obat antipsikosis tidak memberikan gejala lepas obat yang hebat


walaupun diberikan dalam jangka waktu yang lama, sehingga potensi
ketergantungan obat kecil. Pada penghentian mendadak dapat terjadi Cholinergic
rebound yang bermanifestasi dengan gangguan lambung, mual, muntah, diare,
pusing, gemetar dan lain-lainnya. Keadaan ini mereda dengan antikolinergik
seperti sulfas atropin ataupun dengan triheksilpenidil. Oleh karena itu pada
penggunaan bersamaan obat antipsikosis dengan anti parkinson, bila sudah tiba
waktu penghentian obat yang dihentikan dulu adalah obat antipsikosisnya.

xxii
b. Psikoterapi
Psikoterapi dalam bentuk psikoanalisis tidak membawa hasil yang
diharapkan, bahkan hal tersebut dapat menambah isolasi diri pada penderita
skizofrenia. Pada penderita skizofrenia psikoterapi yang sesuai adalah psikoterapi
suportif baik individual maupun kelompok yang praktis dengan maksud
mengembalikan penderita ke masyarakat. Teknik terapi perilaku kognitif untuk
penderita skizofrenia akhir-akhir ini memberikan hasil yang menjanjikan. Terapi
perilaku kognitif dapat memperbaiki gangguan kognisi dan meningkatkan
kesadaran pasien akan penyakit pasien.
c. Psikososial
Terapi psikososial dapat juga diberikan pada pasien skizofrenia lansia
untuk meningkatkan kemampuan sosial dan ketrampilan praktis yang berguna
untuk kemandirian dalam kehidupannya.Terapi ini dapat dilakukan di rumah sakit
dan klub sosial.

b. antipsikotik penyakit demensia pada lansia

 Patofisiologi BPSD pada Perubahan Neuropatologi4

Gejala Psikotik
Forstl et al. (1994), meneliti hubungan antara neuropatologi dan gejala
psikotik pada pasien AD (23% dengan halusinasi, 16% dengan waham paranoid,
dan 25% dengan waham misidentifikasi). Dibandingkan dengan kontrol, pasien
AD dengan gejala psikotik memiliki jumlah neuron yang lebih rendah pada
daerah otak berikut ini: girus parahippocampal, regio CA1 hippocampus, raphe
dorsalis, dan lokus seruleus.
Gejala psikotik berhubungan dengan peningkatan yang bermakna dari
kepadatan senile plaques dan neurofibrillary tangles di prosubiculum dan
pertengahan kortex frontal serta jumlah neuron yang berkurang di wilayah
parahippocampal. Selain itu, waham atau halusinasi berhubungan dengan
peningkatan densitas kekusutan ekstraseluler di lobus parietalis serta jumlah plak
neurites yang lebih tinggi di korteks oksipital.
Bondareff (1996) melaporkan bahwa waham kebanyakan terdapat pada

xxiii
gangguan ekstrapiramidal dan juga gangguan lobus temporalis, serta lebih
sering terjadi pada gangguan otak hemisfer kiri dibandingkan kanan. Waham
juga berhubungan dengan kalsifikasi dari ganglia basalis, disfungsi sistem limbik,
dan penyakit yang paling banyak dengan manifestasi waham melibatkan lobus
temporal atau struktur sistem limbik subkortikal.
Ketika membandingkan subyek AD dengan atau tanpa gejala psikotik,
penelitian dengan Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT) dan
Positron Emission Tomography (PET) menunjukkan penurunan
perfusi di lobus frontal dan temporal. Kuantitatif EEG (qEEG) pasien AD
dengan gejala psikotik menunjukkan disfungsi otak yang lebih parah (peningkatan
delta dan penurunan daya alfa) dibandingkan yang tanpa gejala ini, terlepas dari
keparahan demensia dan tanpa perbedaan topografi. Analisis visual EEG
menunjukkan bahwa pasien AD dengan waham dan halusinasi secara bermakna
mempunyai proporsi EEG yang abnormal secara moderat, dan analisis
spektral qEEG mengkonfirmasi sejumlah peningkatan aktivitas delta dan teta,
sehingga menunjukkan tingkat disfungsi serebral yang lebih besar. Penelitian
dengan pencitraan telah menunjukkan hubungan antara kelainan frontotemporal
dengan psikosis atau agitasi.

 Perubahan Neurotransmitter4
A. Peran Serotonin
Beberapa gejala BPSD yang dapat terjadi karena kelainan pada sistem
serotonergik adalah mood depresi, kecemasan, agitasi, gelisah, dan agresivitas.
Neuron serotonergik berasal dari inti rafe dorsal dan median yang
mempersarafi banyak struktur dalam korteks dan sistem limbik. Proyeksi ini
secara luas memungkinkan sistem serotonergik untuk mengatur agresi, mood,
aktivitas makan, tidur, suhu, seksual, dan motorik. Oleh karena itu, perubahan
dalam fungsi sistem serotonergik pusat memiliki dampak klinis yang terlihat pada
perilaku.
Tabel berikut menggambarkan peranan reseptor serotonin dalam BPSD.
Tabel 2.2 Peranan Subtipe Serotonin pada BPSD

xxiv
Reseptor Gejala Perubahan pada AD
5-HT1

1A Agresi, anxietas, ↓ Frontal, temporal, hipokampus,


depresi, perilaku sexual amigdala
1D, 1E, 1F Tidak diketahui Tidak diketahui
5-HT2

2A Anxietas ↓ Frontal, temporal, cingulated,


hipokampus, amigdala
2B Depresi, halusinasi, Tidak diketahui
gangguan tidur
2C Anxietas, depresi, Tidak diketahui
gangguan belajar,
psikosis
5-HT3 Anxietas, psikosis Amigdala, hipokampus
5-HT4 Anxietas, kognitif, Tidak diketahui
emosi, defisit belajar,
ggn tidur
5-HT5,6,7 Tidak diketahui Tidak diketahui

B. Peran Norepinefrin / Noradrenergik


Peran NE pada BPSD dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 2.3 Ringkasan Hubungan Sistem Noradrenergik dengan BPSD


Komponen NA Temuan Perilaku

α1-post - -

α2-tidak spesifik ↑ cerebellum, ↔ Agresi


pre/post korteks frontal,
hipotalamus
β1-post ↑ cerebellum Agresi

xxv
β2-post ↑ cerebellum Agresi

Kadar 3-methoxy-4- ↑ CSF MHPG Restlessness


hydroxyphenylg
lycol (MHPG)
Jumlah sel di LC ↑ degenerasi Agresi
↑ : meningkat ↑ / ↔ degenerasi Depresi
↓ : menurun ↓ / ↔ degenerasi Psikosis
↔ : tidak ada
perubahan

C. Peran Dopamin
Pada demensia Lewy Body, metabolit dopamin secara bermakna menurun
pada pasien yang tidak berhalusinasi dalam hubungannya dengan kelainan
serotonergik (yakni, penurunan ikatan reseptor serotonergik 5-HT2 dan
penurunan metabolit 5-HT).
Sistem dopaminergik telah terlibat dalam depresi, perilaku agitasi, dan
psikotik pada pasien yang tidak demensia, dan dengan demikian sistem ini
memiliki potensi secara langsung mempengaruhi BPSD. Penelitian post mortem
telah menunjukkan pada pasien AD terdapat gangguan dalam sistem
dopaminergik dibandingkan dengan subyek kontrol.

Pasien AD dengan BPSD berat mungkin memiliki disfungsi metabolisme


dopamin striatal dibandingkan dengan mereka yang tidak BPSD. Ketika
dikombinasikan dengan temuan bahwa kolin asetiltransferase (CHAT) menurun
pada pasien berhalusinasi, hasil ini menunjukkan bahwa ketidakseimbangan
antara transmitter monoaminergik dan kolinergik terlibat dalam halusinasi visual
pada demensia Lewy Body. Perilaku gelisah dan agresif mungkin terkait dengan
preservasi relatif fungsi DA pada pasien AD.

D. Peran GABA

GABA adalah penghambat utama neurotransmitter pada SSP, penghambat

xxvi
interneuron lokal untuk neurotransmitter lain yang merupakan kunci dalam
mengendalikan perilaku. GABA mempengaruhi fungsi perilaku melalui interaksi
dengan serotonin.
Keterlibatan neurotransmitter GABA telah ditunjukkan dalam perilaku
seperti agresi, dimana peningkatan GABA dikaitkan dengan penurunan agresi.

E. Peran Asetilkolin
Cummings dan Back menunjukkan bahwa defisit kolinergik dapat
berkontribusi pada gejala seperti psikosis, agitasi, apati, disinhibisi, dan perilaku
motorik menyimpang. Defisit dalam sistem kolinergik terutama timbul pada
basal otak depan dan memproyeksikan ke korteks. Terdapat penurunan penanda
kolinergik
kolin asetiltransferase (CHAT) dan asetilkolinesterase (ACHE) pada
korteks, khususnya korteks temporal; kehilangan bermakna dalam nukleus
basalis Meynert; dan pengurangan densitas reseptor muskarinik 2 (M2)
presinaptik. Peningkatan reseptor M2 muskarinik kolinergik telah ditemukan pada
korteks frontal dan temporal pada pasien AD dengan gejala psikotik.

F. Peran Glutamat dalam BPSD


Glutamat adalah neurotransmitter excitatory di otak yang dominan.
Pasien AD memiliki kehilangan glutamat yang cukup berat. Ketidakseimbangan
antara glutamat dan sistem dopaminergik dapat menyebabkan disfungsi dalam
sirkuit talamik kortikal neostriatal, yang dapat menyebabkan gejala psikotik.

G. Disfungsi Neuroendokrin
Pada pasien AD, kadar somatostatin, vasopresin, corticotropin-releasing
hormone (CRH), substansi P, dan neuropeptida Y secara bermakna
berkurang di daerah kortikal dan sub kortikal otak, sedangkan kadar dari
galanin peptida meningkat. Namun, di hipotalamus, kadar somatostatin,
vasopresin, dan neuropeptida Y seperti galanin Anmeningkat secara bermakna,
dapat menyebabkan agitasi, gelisah, gangguan tidur dan gejala yang terkait

xxvii
dengan stres.

1.1. Penanganan BPSD


Terapi farmakologis
1. Anti psikotik
2. Anti depresan
3. Anti konvulsan dan mood stabilizer
4. Kolinergik Inhibitor
5. Benzodiazepine

xxviii
Antipsikotik pada BPSD pada Lansia
1. Risperidone
Penggunaan Risperidone dalam rentang dosis fleksibel 0,5-2mg/hari untuk
mengatasi agresi, agitasi dan gangguan psikotik pada 34 pasien demensia rawat
inap dengan rata-rata usia 76 tahun. Hasilnya terjadi perbaikan gejala yang dinilai
dari Clinical Global Impression (CGI) pada 82% responden penelitian. Frekuensi
dan keparahan halusinasi, waham, agresi dan iritabilitas juga menurun, yang
dilihat dari rating Neuropsychiatric Inventory (NPI). Penggunaan risperidone pada
kelompok tersebut juga tidak membuat perubahan pada fungsi kognitif pasien
yang dilihat melalui skor Mini-Mental State Examination (MMSE), Age
Concentration Test [AKT] dan Brief Syndrome Test [SKT]. Risperidone juga
secara umum dapat ditoleransi dan tidak menimbulkan efek samping ekstra
piramidial yang bermakna.10
Penelitian yang melibatkan lebih banyak pasien dan tempat dilakukan oleh
Arriola et al pada 263 pasien dengan rata-rata usia 75,5 tahun. Dosis risperidone
yang digunakan pada penelitian (rata-rata(SD)) adalah 1,4 (0,7) mg/day pada 1
bulan dan 1,5 (0,8) mg/hari pada 3 bulan. Perbaikan gejala diukur
menggunakan Neuropsychiatric Inventory (NPI) dan skala Clinical Global
Impression of Severity (CGI-S). Hasilnya terdapat penurunan skor NPI dan CGI-S
yang secara statistik bermakna. Perbaikan gejala terutama pada gejala agitasi/
agresif dan ganguan tidur. Penelitian tersebut juga mencatat adanya perbaikan dari
gejala ekstrapiramidal.11 Penelitian lain melibatkan pengumpulan data dari tiga
penelitian acak dengan menggunakan plasebo (randomized, placebo-controlled
trials) untuk melihat efikasi dan keamanan risperidone dalam mengobati agitasi,
afresi dan gejala psikosis pada pasien demensia usia lanjut pada panti werdha.
Dosis rata-rata yang digunakan adalah 1mg/hari. Ditemukan adanya perbaikan
skor CGI, Cohen-Mansfield agitation inventory (CMAI) dan behavioral pathology
in Alzheimer’s disease (BEHAVE-AD) pada semua responden penelitian yang
menggunakan risperidone dibandingkan plasebo. Penelitian tersebut seperti
penelitian yang lain yang menggunakan risperidone juga tidak menemukan

xxix
adanya efek samping ortostatik, antikolinergik, jatuh dan penurunan kognitif pada
penggunaan sesuai rentang dosis pada penelitian.12
2. Quetiapine
Penelitian yang dilakukan oleh Rainer et al yang membandingkan penggunaan
quetiapine dengan risperidone pada pasien dengan gangguan perilaku dan
psikologis karena demensianya memperlihatkan bahwa pada dosis rendah
keduanya secara sebanding efektif dan dapat ditolerir pada pengobatan pasien
yang mengalami gangguan perilaku dan psikologis akibat demensia. Penelitian
tersebut juga memperlihatkan tidak adanya perubahan pada fungsi kognitif yang
diukur dengan skor MMSE dan Ageadjusted Concentration Test (AKT) pada dua
kelompok yang mendapat obat yang berbeda. Pada penelitian tersebut rerata dosis
quetiapine yang digunakan adalah 77±40mg/hari sedangkan risperidone
0,9±0,3mg/hari.13
3. Olanzapine
Data mengenai penggunaan olanzapine lebih terbatas daripada risperidone.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Madhusoodanan et al, olanzapine terbukti
aman dan efektif pada populasi pasien geriatri dan menimbulkan efek samping
ekstrapiramidal yang minimal serta tidak mempengaruhi kondisi medis umum
pasien.14
Olanzapine juga dihubungkan dengan manfaat terhadap kognisi pasien geriatri
daripada dengan penggunaan haloperidol. Pada penelitian selama 6 minggu
berhubungan dengan penyakit Alzheimer, tidak terdapat peningkatan kejadian
sindrom ekstrapiramidal, penurunan kognitif dan efek antikolinergik sentral pada
pasien dengan penggunaan olanzapine dibandingkan dengan plasebo.14 Penelitian
yang melibatkan 94 pasien geriatri dengan gangguan psikosis yang dirawat inap
memperlihatkan terjadinya perubahan yang bermakna dari CGI-I dengan
penurunan gejala dari data awal penelitian rata-rata sebesar 52,6%. Hal ini juga
terjadi pada skor Brief Psychiatry Rating Scale (BPRS). Dosis olanzapine yang
digunakan berkisar antara 5-20mg/hari (rata-rata 10,1mg/hari). Pada penelitian
tersebut efek samping yang sering muncul adalah somnolen, dizziness,
bradikinesia dan kelemahan kaki. Terjadi juga peningkatan berat badan dan kadar

xxx
gula serta trigliserida puasa.15 Penelitian yang dilakukan Street et al dengan
jumlah pasien 204 membandingkan olanzapine dengan plasebo dalam
memperbaiki gejala psikologis dan perilaku pasien demensia Alzheimer.
Penelitian tersebut memperlihatkan terjadinya perbaikan gejala psikologis dan
perilaku pasien demensia Alzheimer dilihat dari skor Neuropsychiatric Inventory-
Nursing Home version (NPI-NH). Dosis olanzapine yang digunakan pada
penelitian ini adalah 5mg/hari. Beberapa pasien di dalam penelitian tersebut juga
menggunakan dosis olanzapine yang lebih tinggi yaitu 10mg/hari namun ternyata
tidak berbeda secara signifikan dalam memperbaiki gejala dibandingkan dengan
dosis olanzapine 5mg/hari.16 Efek samping somnolen dan peningkatan berat
badan juga ditemukan pada beberapa penelitian lain. Selain somnolen, dizziness
yang kemungkinan besar disebabkan oleh hipotensi pada penggunaan olanzapine
juga banyak dikemukakan. Dosis olanzapine yang diberikan di beberapa
penelitian pada populasi pasien usia lanjut berkisar 5-20 mg/hari.15-18 Namun
demikian peneliti melihat bahwa dosis yang lebih kecil berkisar antara 5-
7,5mg/hari ternyata merupakan dosis yang paling banyak memperlihatkan
efektifitas pengobatan.16
Prinsip umum penggunaan antipsikotik pada BPSD :17
Obat dapat diberikan pada situasi sebagai berikut :
a. Bila ada indikasi spesifik (contoh depresi, psikosis) tanpa memperdulikan
keparahan maupun frekuensi gejala
b. Bila gejala berat dan terapi diperlukan segera
c. Bila perilaku tidak memiliki pemicu yang jelas atau terjadi pada kondisi di
mana keluarga tidak dapat mengatasi gejala perilaku yang serius.
Obat kurang tepat diberikan pada kondisi berikut : wandering, restlessness dan
perilaku agitasi yang tidak membahayakan diri sendiri maupun orang lain.
Pada kasus perilaku yang tidak diprediksi akan membahayakan, peresepan
medikasi bila diperlukan dapat dilakukan. Meski demikian terapi tidak boleh
diberikan lebih dari dua kali sehari tanpa penilaian penyebab atau
pengembangan rencana perawatan yang tepat.

xxxi
Bagi yang membutuhkan medikasi rutin, pendekatan 3T diperlukan
 Terapi obat harus memiliki Target gejala yang spesifik
 Dosis awal harus rendah dan Titrasi naik dilakukan
 Terapi harus Terbatas dalam hal waktu pemberian
Antipsikotik atipikal harus dilanjutkan pada
 Pasien yang masih mengalami BPSD
 Bila diperkirakan efek buruk dapat terjadi bila dihentikan
 Bila tidak ada terapi alternatif yang dapat diberikan.

Rekomendasi

 Antipsikotik sebaiknya tidak digunakan secara rutin untuk mengobati


pasien demensia dengan agresi dan psikosis.
 Bila diindikasikan, sebaiknya pertimbangkan pemberian antipsikotik
atipikal.
 Didapatkan pula bukti bahwa rivastigmine (12 mg / hari selama 20 minggu
mengurangi gejala psikotik pada pasien DLB.
 Keluarga harus diberitahu tentang efek samping yang mungkin timbul
sebelum memulai terapi. Pasien harus diperiksa berkala dan antipsikosis
harus dihentikan secepatnya setelah gejala mereda.

Terapi Psikofarmakologis4

 Terapi Kognitif : reminiscence therapy, stimulation prensence therapy,


validation therapy.
 Stimulasi Sensorif : akupunture, aroma terapi, terapi sinar, terapi music,
pijat, trancutaneus electrical nerve stimulation.
 Management Behavioral
 Psikososial Intervensi

xxxii
c. Antipsikotik Delirium pada Lansia
1. Patofisiologi1.2

Patofisiologi delirium merupakan fenomena kompleks, multifaktorial, dan


mempengaruhi berbagai bagian sistem saraf pusat. Hipotesis terbaru menunjukkan
defisiensi jalur kolinergik dapat merupakan salah satu faktor penyebab delirium.
Delirium yang diakibatkan oleh penghentian substansi seperti alkohol,
benzodiazepin, atau nikotin dapat dibedakan dengan delirium karena penyebab
lain. Pada delirium akibat penghentian alkohol terjadi ketidakseimbangan
mekanisme inhibisi dan eksitasi pada system neurotransmiter. Konsumsi alkohol
secara reguler dapat menyebabkan inhibisi reseptor NMDA (N-methyl-D-
aspartate) dan aktivasi reseptor GABA-A (gammaaminobutyric acid-A).
Disinhibisi serebral berhubungan dengan perubahan neurotransmitter yang
memperkuat transmisi dopaminergik dan noradrenergik, adapun perubahan ini
memberikan manifestasi karakteristik delirium, termasuk aktivasi simpatis dan
kecenderungan kejang epileptik. Pada kondisi lain, penghentian benzodiazepine
menyebabkan delirium melalui jalur penurunan transmisi GABA-ergik dan dapat
timbul kejang epileptik. Delirium yang tidak diakibatkan karena penghentian
substansi timbul melalui berbagai mekanisme, jalur akhir biasanya melibatkan
defisit kolinergik dikombinasikan dengan hiperaktivitas dopaminergik.

Tanda dan gejala delirum merukana manifestasi dari gangguan neuronal,


biasanya melibatkan area di korteks cerebri dan reticular activating sistem. Dua
mekanisme yang terlibat langsung dalam terjadinya delirium adalah pelepasan
neurotransmitter yang berlebihan (kolinergik muskarinik dan dopamin) serta
jalannya impuls yang abnormal. Aktivitas yang berlebih dari neuron kolinergik
muskarinik pada reticular activating system, korteks dan hipokampus berperan
pada gangguan fungsi kognisis (disorientasi, berpikir konkrit dan inattention)
dalam delirium.
Peningkatan pelepasan dopamin serta pengambilan kembali dopamin yang
berkurang misalnya pada peningkatan stress metabolik. Adanya peningkatan
dopamin yang abnormal ini dapat bersifat neurotoksik melalui produksi

xxxiii
oksiradikal dan pelepasan glutamat, suatu neurotransmitter eksitasi. Adanya
gangguan neurotrasmitter menyebabkan hiperpolarisasi membran yang akan
menyebabkan penyebaran depresi membran.
Berdasarkan tingkat kesadarannya, delirium dapat dibagi tiga :
1. Delirium hiperaktif
Ditemukan pada pasien dalam keadaan penghentian alkohol yang tiba-tiba,
intoksikasi phencyclidine (PCP), amfetamin dan asam lisergic dietilamid
(LSD). Pasien bisa tampakgaduh gelisah, berteriak-teriak, jalan mondar-
mandir atau hipotesis mengenai delirium.
2. Delirium hipoaktif
Ditemukan pada pasien hepatic encephalopathy dan hiperkapnia
3. Delirium campuran
Pada pasien dengan gangguan tidur, pada siang hari mengantuk tetapi pada
malam hari terjadi agitasi dan gangguan sikap. Mekanisme delirium belum
sepenuhnya dimengerti. Delirium dapat disebabkan oleh gangguan struktural dan
fisiologis. Hipotesis utama adalah adanya gangguan yang irreversible terhadap
metabolisme oksidatif otak dan adanya kelainan multiple neurotransmitter.
 Asetilkolin
Obat-obat anti kolinergik diketahui sebagai penyebab keadaan acute
confusional states (bingung) dan pada pasien dengan gangguan transmisi
kolinergik seperti pada penyakit alzheimer. Pada pasien dengan post operatif
delirium, aktivitas serum anti kolinergik meningkat.
 Dopamin
Diotak terdapat hubungan reciprocal antara aktivitas kolinergik dan
dopaminergik. Pada delirium,terjadi peningkatan aktivitas dopaminergik.
Gejala simptomatis membaik dengan pemberian obat antipsikosis seperti
haloperidol dan obat penghambat dopamin.
 Neurotransmitter lain
Serotonin : ditemukan peningkatan serotonin pada pasien hepatic
encephalopathy dan sepsis delirium. Agen serotoninergik seperti LSD dapat
pula menyebabkan delirium. Peningkatan inhibitor GABA (Gamma

xxxiv
aminobutyric acid) pada pasien dengan hepatic encephalopathy dapat
ditemukan. Peningkatan level ammonia terjadi pada pasien hepatic
encephalopathy, yang menyebabkan peningkatan pada asam amino glutamate
dan glutamin (kedua asam amino ini merupakan precursor GABA).
Penurunan level GABA pada susunan saraf pusat juga ditemukan pada pasien
yang mengalami gejala putus benzodiazepine dan alkohol.
Cortisol dan beta endorphins : pada delirium yang disebabkan glukokortikoid
eksogen terjadi gangguan pada ritme circadian dan beta-endorphin.
 Mekanisme inflamasi
Mekanisme inflamasi turut berperan pada patofisiologi delirium, yaitu karena
keterlibatan sitokin seperti interleukin-1 dan interleukin-6, stress psychososial
dan gangguan tidur berperan dalam onset delirium. Inflamasi Delirium dapat
terjadi akibat gangguan primer dari luar otak, seperti penyakit infl amasi,
trauma, atau prosedur bedah. Padabeberapa kasus, respons inflamasi sistemik
menyebabkan peningkatan produksi sitokin, yang dapat mengaktivasi
mikroglia untuk memproduksi reaksi inflamasi pada otak. Sejalan dengan
efeknya yang merusak neuron, sitokin juga mengganggu pembentukan dan
pelepasan neurotransmiter. Proses inflamasi berperan menyebabkan delirium
pada pasien dengan penyakit utama di otak (terutama penyakit
neurodegeneratif ).
 Mekanisme struktural
Formatio retikularis batang otak adalah daerah utama yang mengatur
perhatian kesadaran dan jalur utama yang berperan dalam delirium adalah
jalur tegmental dorsalis yang keluar dari formatio reticularis mesencephalic
ke tegmentum dan thalamus. Adanya gangguan metabolik (hepatic
encephalopathy) dan gangguan struktural (stroke, trauma kepala) yang
mengganggu jalur anatomis tersebut dapat menyebabkan delirium.
Kerusakan pada sawar darah otak juga dapat menyebabkan delirium,
mekanismenya karena dapat menyebabkan agen neuro toksik dan sel-sel
peradangan (sitokin) untuk menembus otak.

xxxv
 Stres Faktor stres menginduksi sistem saraf simpatis untuk melepaskan lebih
banyak noradrenalin, dan aksis hipotalamuspituitari- adrenokortikal untuk
melepaskan lebih banyak glukokortikoid, yang juga dapat mengaktivasi glia
dan menyebab kan kerusakan neuron.20

Tujuan utama pengobatan adalah menentukan dan mengatasi pencetus


serta factor predisposisi. Keselamatan pasien dan keluarga harus diperhatikan.
Comprehensive geriatric assessment (pengkajian geriatric paripurna) sangat
bermanfaat karena akan memberikan gambaran lebih jelas tentang beberapa faktor
resiko yang dimiliki pasien.4

Pengobatan/penanganan yang diberikan tidak saja menyangkut aspek fisik,


namun juga psikologik/psikiatrik, kognitif, lingkungan, serta pemberian obat.
Untuk mencegah agar pasien tidak membahayakan dirinya sendiri atau orang lain
(pasien yang hiperaktif, gaduh, gelisah bias menendang-nendang, sangat agitatif,
agresif, bias terjatuh dari tempat tidur atau bias menciderai diri sendiri) maka
sebaiknya pasien ditemani pedamping atau yang biasa mendampingi pasien.4,5

Beberapa golongan obat telah digunakan untuk mengobati gejala delirium,


termasuk obat antipsikotik atipikal dan tipikal, penghambat cholinesterase,
antidepresan, benzodiazepin, dan gabapentin. Di antara intervensi farmakologis,
secara luas diterima bahwa obat antipsikotik adalah farmakoterapi lini pertama
untuk delirium. Antipsikotik adalah pilihan yang jelas untuk mengobati delirium
karena banyak gejalanya mirip dengan psikosis. Pengobatan antipsikotik delirium
didasarkan pada hipotesis bahwa aktivitas dopaminergik yang berlebihan sendiri,
dan dikombinasikan dengan asetilkolin, memainkan peran penting dalam
delirium.8

Antipsikotik yang khas, terutama haloperidol, telah digunakan secara


empiris untuk mengendalikan gejala delirium. Baru-baru ini, para peneliti telah
mulai melaporkan bahwa antipsikotik atipikal, seperti olanzapine, quetiapine, dan
risperidone, mungkin sama efektifnya dengan haloperidol dalam pengobatan
delirium. Penelitian sebelumnya mengenai kemanjuran obat antipsikotik untuk

xxxvi
pengobatan delirium telah menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan antara antipsikotik tipikal dan atipikal.6

Karena insidens efek samping ekstrapiramidal yang rendah, quetiapine


telah menjadi pilihan yang menarik pada pasien usia lanjut yang lebih rentan
terhadap efek samping tersebut. Dibandingkan dengan haloperidol, pasien dengan
delirium pada quetiapine menunjukkan peningkatan yang sama pada DRS dan
quetiapine lebih baik ditoleransi. Risperidone juga menunjukkan kemanjuran
dalam pengobatan delirium dibandingkan dengan pengobatan haloperidol dalam
uji coba double-blind. Dosis harian rata-rata risperidone adalah 1,02 mg, dan dosis
harian rata-rata haloperidol adalah 1,71 mg.6

Meskipun ada laporan ini, penggunaan obat antipsikotik atipikal untuk


pengobatan delirium yang lebih baik masih kontroversial karena masih belum ada
bukti yang cukup kuat.6

Data empiris manfaat obat untuk mengatasi gejala sindrom delirium masih
terbatas. Beberapa obat antipsikotik mempunyai efek yang mampu menekan
berbagai gejala hiperaktif dan hipoaktif dari sindrom delirium; menjadi obat
pilihan utama pada fase akut (agitasi hebat, perilaku agresif, hostility, halusinasi,
atau gejala lain yang membahayakan dirinya). Untuk kondisi di atas haloperidol
masih merupakan pilihan utama. Dosis juga dapat ditingkatkan sesuai tanggapan
pasien. Dibandingkan dengan obat lain seperti chlorpromazine dan droperidol,
haloperidol memiliki metabolik dan efek antikolinergik, sedasi serta efek
hipotensi yang lebih kecil sehingga lebih aman. Dosis obat per oral pada
umumnya dapat diterima dengan baik, namun jika pasien tak mampu menelan
maka dapat diberikan intramuscular maupun intravena. Olanzapin dapat Beberapa
laporan kasus menunjukkan manfaat antipsikotik generasi kedua seperti risperidon
dan penghambat asetilkolin-esterase; masih diperlukan penelitian intervensional
lebih lanjut. Perlu dicatat bahwa penggunaan antipsikotik harus dimulai dengan
dosis rendah dan ditingkatkan secara bertahap jika diperlukan. Walau resiko efek
samping yang mungkin muncul rendah namun beberapa efek serius seperti

xxxvii
perpanjangan PT dan torsades de pointes, gejala ekstrapiramidal dan diskinesia
putus obat dapat terjadi.1,2,4

a) Farmakoterapi
Dua gejala utama delirium yang memerlukan terapi obat yaitu psikosis dan
insomnia. Obat yang dianggap cocok untuk psikosis adalah halolperidol.
Pemberian dosis obat tergantung umur, berat badan, dan kondisi pasien tersebut.
Pemberian halolperidol berkisar antara 2-10 mg intramuscular dan dapat diulang
satu jam kemudian bila pasien masih menunjukkan agitasi. Segera bila pasien
sudah tenang dapat diberikan obat secara peroral yang terbagi atas dua dosis yaitu
sepertiganya diberikan pada pagi hari dan dua pertiganya pada saat tidur. Untuk
mencapai dosis yang sama seperti suntikan. Maka jumlah dosis yang diberikan
peroral satu setengah kali dari dosis suntik. Dosis efektif halolperidol pada
kebanyakan penderita delirium berkisar antara5-50 mg.
Droperidol (inapsine) adalah suatu butyrophenon yang tersedia sebagai
suatu formula intravena alterbative, walaupun monitoring elektrokardiogram
adalah sangat penting untuk pengobatan ini. Golongan phenothiazine harus
dihindari pada pasien delirium, karena obat tersebut disertai dengan aktivitas anti
kolinergik yang bermakna.
Insomnia paling baik diobati dengan golongan benzodiazepine dengan
waktu paruh pendek atau hydroxizine (vistaril) 25 – 100 mg. Golongan
benzodiazepine dengan waktu paruh panjang dan barbiturat harus dihindari pada
pasien delirium karena obat tersebut telah digunakan sebagai bagian dari
pengobatan untuk gangguan dasar ( sebagai contoh : putus alkohol).
 Pengobatan termasuk pengobatan pada penyakit yang mendasari dan
identifikasi medikasi yang mempengaruhi derajat kesadaran
 Olanzapine (zyprexa) : adalah obat neuroleptic atipikal, dengan efek
ekstrapiramidal yang ringan, efektif untuk pengobatan delirium yang
disertai agitasi. Dosisnya dimulai dengan 2,5 mg dan meningkat sampai 20
mg per oral jika dibutuhkan. Olanzapine dapat menurunkan ambang kejang,
namun sisanya dapat ditoleransi dengan cukup baik.

xxxviii
 Risperidone (risperidal) juga efektif dan dapat ditoleransi dengan baik,
dimulai dengan 0,5 mg 2x sehari atau 1 mg sebelum tidur, meningkat
sampai 3 mg 2x sehari jika dibutuhkan.
 Haloperido (haldol) dapat digunakan dengan dosis rendah (0,5 mg – 2 mg
2x sehari), jika dibutuhkan secara intravena. Efek samping ekstrapiramidal
dapat terjadi,dapat ditambahkan dengan sedatif misalnya lorezepam diawali
0,5 mg – 1 mg setiap 3 – 8 jam jika dibutuhkan.

BAB III
KESIMPULAN

Penelitian menunjukkan bahwa pasien geriatri berpotensi tinggi untuk


mengalami gangguan psikosis. Prevalensi gejala psikosis pada pasien geriatri
berkisar antara 0,2-4,7%. Banyak faktor yang menyebabkan keadaan tersebut,
salah satunya adalah kondisi medis umum geriatri yang kompleks. Hal tersebut
membuat penatalaksanaan gejala psikosis pasien geriatri selain dengan pemberian
obat antipsikotik juga melibatkan perbaikan kondisi medis umumnya.
Pemberian antipsikotik pada pasien geriatri memerlukan perhatian khusus.
Hal tersebut dikarenakan banyak hal-hal tertentu yang sangat mempengaruhi
pemberian antispikotik kepada pasien geriatri. Diantaranya adalah kondisi medis
umum pasien, farmakodinamik dan farmakokinetik dari obat yang digunakan serta
dikarenakan seringkali pasien geriatri mempunyai respon lebih rentan terhadap
efek samping obat dibandingkan populasi pasien yang lebih muda. Beberapa
tahun belakangan, pemberian antipsikotik atipikal cukup efektif mengatasi gejala
psikotik pasien geriatri dan yang memiliki efek samping yang lebih sedikit.

xxxix
DAFTAR PUSTAKA

1. Amir N.Buku Ajar Psikiatri Fakultas Kedokteran Universias Indonesia.


Edisi kedua. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia.
2013.Bab 12. Skizofrenia; p. 173-95.
2. Shirdev, E.B & Levey, D.A. 2004. Cross-Cultural Psychology, Critical
Thinking and Contemporary Application, Boston: Pearson Education,Inc.
3. Schaie K.W. & Willis, S.L. 1991. Adult Development and Aging, New
York: HarperCollins Publishers.
4. Targum SD. Treating psychotic symptoms in elderly patients. Praimary
care co …mpanion J clinical psychiatry 2001;3:156-16.
5. Sajatovic M, Madhusoodanan S, Buckley P. Schizophrenia in the elderly:
Guidelines for management. CNS Drugs 2000 Feb;13 (2):103-15.
6. Andri. 2014. Tatalaksana Psikofarmaka dalam Manajemen Gejala Psikosis
Penderita Usia Lanjut dalam Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 9,
September 2009. Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana:
Jakarta.
7. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s synopsis of psychiatry :
Behavioral sciences/clinical psychiatry.10 th edition. Philadelphia :
Lippincott Williams and WOLTERS Kluwer business.2007.Bab
13.Schizophrenia.;p.467-97.
8. Muslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik.Edisi
ketiga. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.Bab 3.
Penggolongan obat psikotropik; p.10-11.

xl
9. Hebert LE, Scherr PA, Bienias JL. Alzheimer disease in the US
population: prevalence estimates using the 2000 census. Arch Neurol.
2003;60(8):1119-22.
10. Kamajaya, Danu. 2014. Hubungan Depresi dan Demensia pada Pasien
Lanjut Usia dengan Hipertensi Primer [Skripsi]. Fakultas Kedokteran:
Universitas Diponegoro: Semarang. Tersedia pada:
http://eprints.undip.ac.id/44525/3/Danu_Kamajaya_22010110110028_BA
B_II.pdf. Diakses pada tanggal 28 Oktober 2019.
11. World Helath Organization. Dementia, April 2012, <
www.who.int/mediacentre/factsheets/fs362/en/ > [diakses 27 Oktober
2019].
12. Utami, Dian Cahaya. 2014. Behavioral And Psychological Symptoms Of
Dementia. Fakultas Kedokteran: Universitas Muhammadiyah Palembang.
Tersedia pada: Diakakses pada tanggal 27 Oktober 2019.
13. H, Juebin. Dementia. Merck Manual Home Health Handbook. 2008.
14. Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Edisi 6, ECG, Jakarta, 2006: 1134-1138.
15. Bird, Thomas D. Miller, Bruce L. 2006. Harrison’s Neurology in Clinical
Medicine: Alzheimer Disease and Other Dementias. McGrawHill.
16. Little, Ann A., Gomez-Hassan , Diana. 2010. Oxford American Handbook
of Neurology : Dementia . New York : Oxfor University Press.
17. Duus, Peter. 2005. Diagnosis Topik Neurologi : Anatomi , Fisiologi ,
Tanda , Gejala . Jakarta: ECG
18. Kaplan, Harold I. Sinopsis psikiatri; Ilmu Pengetahuan Prilaku Psikiatri
Klinis. 2010, hal 519-528.
19. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku Ajar Psikiatri. 2010 hal
99 – 105
20. Damping, Andri Cahries E.Majalah Kedokteran Indonesia. Peranan
psikiatri dan geriatri dalam penanganan pasien geriatri. 2007
21. http:/emedicine.medscape.com/article/288890-overview. Diakses pada
tanggal 5 November 2013.
22. Buchanan R. W, & Carpenter W.T.Jr, Kaplan and Sadock’s
Comprehensive Textbook of Phyciatry 7th edition, Philadelpia, Lippincott
Williams & Wilkins. 2000.
23. Miji Lee, Taeseung Kim, Sohyun Ah and Jeong Lan Kim. 2017.
Effectiveness of Antipsychotics on Delirium in Elderly Patients. Journal of
Psychiatry.

xli

Anda mungkin juga menyukai