Oleh
i
HALAMAN PENGESAHAN
DISUSUN OLEH
PEMBIMBING
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas segala limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan
Clinical Science Session ini dengan judul “Antipsikotik pada lansia“. Laporan ini
merupakan bagian dari tugas Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu
Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan
dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada dr. Fatmawati, Sp.KJ selaku pembimbing yang telah memberikan arahan
sehingga laporan Clinical Science Session ini dapat terselesaikan dengan baik dan
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan Clinical
Science Session ini.
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu
saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis.Sebagai
penutup semoga kiranya laporan Clinical Science Session ini dapat bermanfaat
bagi kita khususnya dan bagi dunia kesehatan pada umumnya.
Penulis
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Penuaan adalah suatu proses biologis, meskipun para ahli biologis belum
menemukan kesimpulan untuk menjelaskan karakteristik umum dari penuaan.
Tahap usia tua akan dialami oleh semua orang, ada perubahan fisik, psikis dan
sosial yang terjadi. Di sisi lain kondisi fisik dan psikis setiap orang lanjut usia
akan berbeda.1 Proses penuaan otak abnormal merupakan bagian dari proses
degenerasi pada seluruh organ tubuh. Hal ini akan menimbulkan berbagai
gangguan neuropsikologis.2
iv
Obat-obat antipsikotik tipikal merupakan antagonis reseptor dopamine
sehingga menahan terjadinya dopaminergik pada jalur mesolimbik dan
mesokortikal. Blokade reseptor D dopamine dapat memberikan efek samping
sindrom ekstrapiramidal.5,6
Sedangkan antipsikotik atipikal merupakan golongan yang selain
berafinitas terhadap Dopamine D-2 receptor juga berafinitas terhadap 5
HT2 Reseptor (Serotonin-dopamine antagonist ). Secara signifikan tidak
memberikan efek samping gejala ekstrapiramidal bila diberikan dalam dosis klinis
yang efektif.6
Untuk itu perlu diketahui penggunaan obat antipsikotik yang tepat bagi pasien
geriatri agar tatalaksana dapat diterapkan dengan tepat dan aman bagi pasien.
v
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
No Nama obat
1 Antipsikotik tipikal :
- Phenothiazine
Rantai aliphatic : chlorpromazine
Rantai piperazine : perphenazine, trifluoperazine,
fluphenazine
Rantai piperidine : thioridazine
- Butyrophenone : Haloperidol
- Diphenyl-butyl-piperidine : pimozide
2 Antipsikotik atipikal :
- Benzamide : sulpiride
- Dibenzodiazepin : clozapine, olanzapine, quetiapine, zotepine
- Benzisoxazole : risperidon, aripiprazole
vi
Sediaan obat antipsikotik 4
vii
konvensional atau tipikal.Dapat menurunkan gejala positif hingga 60-70% dan
hanya sedikit berpengaruh pada gejala negative.1,5
viii
serotonin (5HT2A) dan reseptor dopamin (D2). APG yang dikenal saat ini adalah
clozapine, risperidone, olanzapine, quetiapine, zotepine, ziprasidone, aripiprazole.
Saat ini antipsikotik ziprasidone belum tersedia di Indonesia. 1,3,6
1. Mesokortikal Pathways
2. Mesolimbik Pathways
ix
APG II di jalur mesolimbik, antagonis 5HT2A gagal untuk mengalahkan
antagonis D2 di jalur tersebut. jadi antagonsis 5HT2A tidak dapat mempengaruhi
blokade reseptor D2 di mesolimbik, sehingga blokade reseptor D2 menang. Hal ini
yang menyababkan APG II dapat memperbaiki gejala positif skizofrenia. Pada
keadaan normal serotonin akan menghambat pelepasan dari dopamin.1,6
3. Tuberoinfundibular Pathways
APG II di jalur tuberoinfundibular, antagonis reseptor 5HT2A dapat
mengalahkan antagonis reseptor D2. Hubungan antara neurotransmiter serotonin
dan dopamin sifatnya antagonis dan resiprokal dalam kontrol sekresi prolaktin
dari hipofise. Dopamin akan menghambat pengelepasan prolaktin, sedangkan
serotonin menigkatkan pelepasan prolaktin. Pemberian APG II dalam dosis terapi
akan menghambat reseptor 5HT2A sehingga menyebabkan pelepasan dopamin
menigkat. Ini mengakibatkan pelepasan prolaktin menurun sehingga tidak terjadi
hiperprolaktinemia.1,6
4. Nigrostriatal Pathways
x
Keuntungan yang didapatkan dari pemakaian APG II selain efek samping
yang minimal juga dapat memperbaiki gejala negatif, kognitif dan mood sehingga
mengurangi ketidaknyamanan dan ketidakpatuhan pasien akibat pemakian obat
antipsikotik.
xi
Selain untuk mengatasi gejala agresivitas, agitasi dan psikotik yang berkaitan
dengan demensia, risperidone juga digunakan pada pasien usia lanjut yang
menderita skizofrenia. Kepustakaan mencatat risperidone dan olanzapine adalah
dua antipsikotik atipikal yang paling sering digunakan pada populasi pasien usia
lanjut. Penelitian tersamar berganda dilakukan selama 8 minggu terhadap 175
pasien rawat jalan, pasien rawat inap dan panti werdha yang berusia 60 tahun ke
atas menggunakan risperidone (1 mg to 3 mg/hari) atau olanzapine (5 mg to 20
mg/hari). Hasilnya terdapat perbaikan pada nilai skor PANSS pada kedua
kelompok. Efek samping ektrapiramidal terlihat pada 9,2% pasien kelompok
risperidone dan 15,9% pasien kelompok olanzapine. Secara umum skor total dari
Extrapyramidal Symptom Rating Scale menurun pada kedua kelompok di akhir
penelitian. Peningkatan berat badan juga didapatkan di dua kelompok namun
lebih jarang terjadi pada pasien yang menggunakan risperidone.9
xii
dipercepat bila diberikan bersamaan carbamazepin, karena menginduksi CYP 3A4
sehingga perlu peningkatan dosis risperidone pada pemberiaan bersama
carbamazepin disebabkan konsentrasi risperidone di dalam plasma rendah. 1,3,7
b. CLOZAPINE
Merupakan APG II yang pertama dikenal, kurang menyebabkan timbulnya
EPS, tidak menyebabkan terjadinya tardice dyskinesia dan tidak terjadi
peningkatan dari prolaktin. Clozapine merupakan gold standard pada pasien yang
telah resisten dengan obat antipsikotik lainnya. Profil farmakoligiknya atipikal
bila dibandingkan dengan antipsikotik lain. Dibandingkan terhadap psikotropik
yang lain, clozapine menunjukkan efek dopaminergik rendah, tetapi dapat
mempengaruhi fungsi saraf dopamin pada sistem mesolimbik-mesokortikal otak,
yang berhubungan dengan fungsi emosional dan mental yang lebih tinggi, yang
berbeda dari dopamin neuron di daerah nigrostriatal (darah gerak) dan
tuberoinfundibular (daerah neruendokrin). 1
Clozapine efektif untuk menggontrol gejala-gejala psikosis dan skizofrenia
baik yang positif (iritabilitias) maupun yang negatif (social disinterest dan
incompetence, personal neatness). Efek yang bermanfaat terlihat dalam waktu 2
minggu, diikuti perbaikan secara bertahap pada minggu-minggu berikutnya. Obat
ini berguna untuk pasien yang refrakter dan terganggu berat selam pengobatan.1,3
Secara farmakokinetik, clozapine di absorpsi secara cepat dan sempurna
pada pemberian per oral. Kadar puncak plasma tercapai pada kira-kira 2 jam
setelah pemberian obat, dengan waktu paruh rata-rata 12 jam (antara 10-16 jam)
sehingga pemberiannya dianjurkan 2 kali dalam sehari. Distribusi dari clozapine
dibandingkan obat antipsikotik lainnya lebih rendah. Umunya afinitas dari
clozapine rendah pada reseptor D2 dan tinggi pada reseptor 5HT2A sehingga
cenderung rendah untuk menyebabkan terjadinya efek samping EPS. 1,3,8
Penggunaan clozapine untuk mengatasi gejala psikotik pada pasien parkinson
sudah diteliti secara luas. Terdapat bukti dari penelitian tersamar berganda bahwa
clozapine secara signifikan berguna memperbaiki gejala psikotik pada pasien
Parkinson. Dosis yang digunakan juga jauh lebih kecil yaitu berkisar antara 6,25–
xiii
50mg/hari. Sebuah penelitian retrospektif selama 5 tahun terhadap pasien
parkinson yang mengalami gejala psikotik mengatakan bahwa 19 dari 32 pasien
melanjutkan pengobatan sampai selesai, 9 di antaranya menghentikan pengobatan
sesaat setelah gejalanya menghilang tanpa merasakan efek samping ikutan setelah
putus obat. Efek samping yang paling sering dikeluhkan adalah sedasi dan
somnolen.17,18
Dosis clozapine yang disarankan untuk digunakan pada populasi pasien usia
lanjut adalah 25-150mg/hari. Pasien juga disarankan untuk tidak merokok karena
akan mengurangi konsentrasi clozapine di dalam plasma akibat peningkatan
bersihan di dalam darah.17
c. OLANZAPINE
Merupakan derivat dari clozapine dan dikelompokkan dalam golongan
Thienobenzodiazepine. Absorpsi tidak dipengaruhi oleh makanan. Plasma puncak
olanzapine dicapai dalam waktu 5 jam setalah pemberian oral, sedangkan pada
pemberian intramuskular dapat dicapai setelah 15-45 menit dengn waktu paruh 31
jam (antara 21-54 jam) sehingga pemberian cukup 1 kali sehari. 1,3
Olanzapine merupaka antagonis monoaminergik selektif yang mempunyai
afinitas yang kuat terhadap reseptor dopamin (D 1-D4), serotonin (5HT2A/2c),
Histamin (H1) dan α1 adrenergik. Afinitas sedang dengan reseptor kolinergik
muskarinik (M1-5) dan serotonin (5HT3). Berikatan lemah dengan reseptor
GABAA, benzodiazepin dan β-adrenergik. Metabolisme olanzapine di sitokrom
xiv
P450 CYP 1A2 dan 2D6. Metabolisme akan meningkat pada penderita yang
merokok dan menurun bila diberikan bersama dengan antidepresan fluvoxamine
atau antibiotik ciprofloxacin. 1
Bila dibandingkan dengan clozapine, olanzapine memblok D2 lebih besar
sehingga dosis tinggi dapat menyebabkan peningkatan kadar prolactin dan efek
pada EPS Olanzapine juga agonis pada 5HT1a sehingga baik untuk antianxietas
dan antidepresi. 1
Data mengenai penggunaan olanzapine lebih terbatas daripada risperidone.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Madhusoodanan et al, olanzapine terbukti
aman dan efektif pada populasi pasien geriatri dan menimbulkan efek samping
ekstrapiramidal yang minimal serta tidak mempengaruhi kondisi medis umum
pasien.3
d. QUETIAPINE
Quetiapine merupakan antagonis reseptor serotonin (5HT1A dan 5HT2A),
reseptor dopamin (D1 dan D2), reseptor histamin (H1), reseptor adrenergik α1 dan
xv
α2. Afinitasnya lemah pada reseptor muskarinik (M1) dan reseptor benzodiazepin.
Cleareance quetiapine menurun 40% pada penderita usia lanjut, sehinga perlu
penyesuaian dosis yang lebih rendah dan menurun 30%-50% pada penderita yang
mengalami gangguan fungsi hati. Cleareance quetiapine meningkat apabila
pemberiannya dilakukan bersamaan dengan antiepileptik fenitoin, barbiturat,
carbamazepin dan antijamur ketokonazole.1,2,3
Quetiapine dapat memperbaiki gejala positif, negatif, kognitif dan mood.
Dapat juga memperbaiki pasien yang resisten dengan antipsikotik generasi
pertama tetapi hasilnya tidak sebaik apabila di terapi dengan clozapine. Pemberian
pada pasien pertama kali mendapat quetiapine perlu dilakukan titrasi dosis untuk
mencegah terjadinya sinkope dan hipotensi postural.Waktu untuk konsentrasi
penuh setelah pemberian oral adalah 2 jam dengan waktu paruh berkisar 3-5 jam,
setelah 8-12 jam reseptor masih diduduki. 1
Dosis anjuran 50-400mg/hari dan sediaannya 25-100mg dan 200mg dan
300mg tablet XR (50mg, 300mg dan 400mg). Efek samping obat ini yang sering
adalah somnolen, hipotensi postural, pusing, peningkatan berat badan, takikardi,
dan hipertensi. 1,3
Untuk menghindari efek samping yang sering timbul pada usia lanjut;
hipotensi postural, dizziness dan agitasi, direkomendasikan permulaan dosis awal
yang rendah (25mg) yang dititrasi sampai 100-300mg/hari. 3 Penelitian lain
mengatakan bahwa efek samping yang sering mucul akibat penggunaan
quetiapine adalah somnolen, kelemahan bagian kaki bawah dan dizziness. Angka
kejadian sindrom ekstrapiramidal adalah 7% dari total 91 responden yang
mengikuti penelitian. Tidak didapatkan adanya gangguan pada sistem
kardiovaskuler dan jatuh pada penelitian tersebut.10
xvi
juga terbukti mempertahankan kognitif pasien dalam penelitian yang dilakukan
Juncos et al.
Laporan kasus dari sepuluh pasien usia lanjut penderita skizofrenia kronik
yang tidak mendapatkan respon dari suatu jenis antipsikotik atipikal sehingga
diganti dengan quetiapine. Skor BPRS (50,1 S.D.±13,6) kesepuluh pasien tersebut
secara signifikan (p=0,001)mengalami perbaikan setelah 6 bulan pengobatan
tanpa adanya efek samping dalam pergerakan motorik dan peningkatan berat
badan. Dosis rata-rata yang dipakai pada percobaan tersebut adalah 391mg/ hari
(S.D.±245), dengan rentang dosis antara 50-800mg/hari.12
xvii
geriatri, disarankan untuk hanya menggunakan dosis setinggi itu pada pasien yang
benar-benar membutuhkan.3
e. ARIPIPRAZOLE
Merupakan antipsikotik generasi baru, yang bersifat partial agonis pada
reseptor D2 dan reseptor serptonin 5HT1A serta antagonis pada reseptor serotonin
5HT2A. Aripiprazole bekerja sebagai dopamin sistem stabilizer artinya
menghasilkan signal transmisi dopamin yang sama pada keadaan hiper atau hipo-
dopaminergik karena pada keadaan hiperdopaminergik aripiprazole afinitasnya
lebih kuat dari dopamin akan mengeser secara kompetitif neurotransmiter
dopamin dan berikatan dengan reseptor dopamin. Pada keadaan
hipodopaminergik maka aripiprazole dapat menggantikan peran neurotransmiter
dopamin dan akan berikatan dengan reseptro dopamin. 3,7,8
Aripiprazole di metabolisme di hati melaui isoenzim P450 pada CYP 2D6
dan CYP 3A4, menjadi dehydro-aripiprazole. Afinitas dari hasil metabolisme ini
mirip dengan aripiprazole pada reseptor D2 dan berada di plasma sebesar 40% dari
keseluruhan aripiprazole. Waktu paruh berkisar antara 75-94 jam sehingga
pemberian cukup 1 kali sehari. Absorpsi aripiprazole mencapai konsentrasi
plasma ouncak dalam waktu 3-5 jam setelah pemberian oral. Aripiprazole
sebaiknya diberikan sesudah makan, terutama pada pasien yang mempunyai
keluhan dispepsia, mual dan muntah.3,7
Aripriprazole tergolong baru dalam dunia psikiatri. Cara kerjanya yang unik
sebagai parsial agonis di reseptor D2 mampu memperbaiki gejala positif maupun
negatif pasien psikotik. Lebih jauh lagi aripriprazole dikatakan memiliki efek
samping yang lebih kecil untuk terjadinya sindrom ekstrapiramidal, sedasi,
peningkatan berat badan dan efek samping kardiovaskular. Satu hal yang harus
diperhatikan adalah aripriprazole berbeda dengan antipsikotik yang lain memiliki
waktu paruh yang relatif lebih panjang yaitu sekitar 75 jam. Untuk itu penggunaan
pada pasien usia lanjut yang memiliki fungsi ginjal yang kurang baik harus
diperhatikan.17
xviii
2.4 Antipsikotik Penyakit Skizofenia Pada Usia Lanjut
A. Patofisiologi Skizofrenia pada Lansia
xix
neuropeptide, dengan latensi panjangnya dan efek respon pada perilaku. Pada
tingkat elektrofisiologi, telah dihipotesiskan bahwa gangguan awal pada
skizofrenia bersifat aberan (mungkin diinduksi eksitotoksik) focus lobus temporal
yang membingungkan homeostasis system dopamine. Bukti yang lebih mutakhir
menunjukkan viremia trimester kedua sebagai precursor dini skizofrenia.
Berdasarkan teori ini, lobus temporal pusat selama perkembangan fetal dan deficit
ini “tidak ditutupi” pada masa dewasa akhir dengan kegagalan terhadap kelebihan
neuron atau untuk mengatur aktivitas frontotemporal (Isselbacher et al.,2000).
a. Psikofarmaka
Pada pengobatan skizofrenia digunakan obat golongan antipsikosis. Obat
antipsikosis digunakan untuk mengendalikan gejala aktif dan mencegah
kekambuhan. Obat antipsikosis ini digolongkan menjadi golongan antipsikosis
tipikal dan golongan antipsikosis atipikal.
Efek samping obat antipsikosis dapat berupa:
xx
dengan efek samping yang minimal. Efek samping yang terjadi dapat berupa
gangguan ireversibel: tardive dyskinesia (gerak involunter berulang pada wajah,
mulut, anggota gerak yang menghilang saat tidur) yang biasanya terjadi pada
pemakaian jangka panjang (terapi pemeliharaan) dan pada pasien usia lanjut. Efek
samping ini non dose related.
Pada lansia akan lebih rentan terhadap efek samping obat yang
ditimbulkan, sehingga pada pasien lansia dibutuhkan obat yang memiliki efek
samping yang minimal dengan dosis yang rendah juga. Efek samping yang terjadi
pada pasien lansia bisa berupa ekstrapiramidal sindrom, sindroma metabolik, dan
tardive dyskinesia. Hal ini rentan pada lansia karena pada usia lanjut sel
neuronnya akan memiliki sifat dopaminergik yang lebih rendah daripada usia
dewasa karena reseptor D2 jumlahnya lebih sedikit sehingga apabila dosis yang
sama diberikan akan lebih mudah memberikan efek parkinsonism. Sementara itu
metabolisme pada usia lanjut mengalami penurunan kecepatan metabolisme
termasuk obat sehingga absorbsi dan eliminasi obat berlangsung lambat.
Pada dasarnya semua obat antipsikosis memiliki efek primer yang sama
pada dosis ekivalen, perbedaan terlihat pada efek sekunder (efek samping: sedasi,
otonom, ekstrapiramidal). Pemilihan jenis obat mempertimbangkan gejala
skizofrenia yang dominan dan efek samping obat. Penggantian obat disesuaikan
dengan dosis ekivalen. Berikut tabel dosis obat antipsikosis pada lansia (Dilip J
Veste, et al.,2013):
xxi
Haloperidol 0,25-0,5 1-3,5
Thioridazine 10-25 50-100
Clozapine 6,25-12,5 50-100
Risperidone 0,25-0,5 1-2,5
Olanzapine 1-5 5-15
Quetiapine 12,5-25 75-125
xxii
b. Psikoterapi
Psikoterapi dalam bentuk psikoanalisis tidak membawa hasil yang
diharapkan, bahkan hal tersebut dapat menambah isolasi diri pada penderita
skizofrenia. Pada penderita skizofrenia psikoterapi yang sesuai adalah psikoterapi
suportif baik individual maupun kelompok yang praktis dengan maksud
mengembalikan penderita ke masyarakat. Teknik terapi perilaku kognitif untuk
penderita skizofrenia akhir-akhir ini memberikan hasil yang menjanjikan. Terapi
perilaku kognitif dapat memperbaiki gangguan kognisi dan meningkatkan
kesadaran pasien akan penyakit pasien.
c. Psikososial
Terapi psikososial dapat juga diberikan pada pasien skizofrenia lansia
untuk meningkatkan kemampuan sosial dan ketrampilan praktis yang berguna
untuk kemandirian dalam kehidupannya.Terapi ini dapat dilakukan di rumah sakit
dan klub sosial.
Gejala Psikotik
Forstl et al. (1994), meneliti hubungan antara neuropatologi dan gejala
psikotik pada pasien AD (23% dengan halusinasi, 16% dengan waham paranoid,
dan 25% dengan waham misidentifikasi). Dibandingkan dengan kontrol, pasien
AD dengan gejala psikotik memiliki jumlah neuron yang lebih rendah pada
daerah otak berikut ini: girus parahippocampal, regio CA1 hippocampus, raphe
dorsalis, dan lokus seruleus.
Gejala psikotik berhubungan dengan peningkatan yang bermakna dari
kepadatan senile plaques dan neurofibrillary tangles di prosubiculum dan
pertengahan kortex frontal serta jumlah neuron yang berkurang di wilayah
parahippocampal. Selain itu, waham atau halusinasi berhubungan dengan
peningkatan densitas kekusutan ekstraseluler di lobus parietalis serta jumlah plak
neurites yang lebih tinggi di korteks oksipital.
Bondareff (1996) melaporkan bahwa waham kebanyakan terdapat pada
xxiii
gangguan ekstrapiramidal dan juga gangguan lobus temporalis, serta lebih
sering terjadi pada gangguan otak hemisfer kiri dibandingkan kanan. Waham
juga berhubungan dengan kalsifikasi dari ganglia basalis, disfungsi sistem limbik,
dan penyakit yang paling banyak dengan manifestasi waham melibatkan lobus
temporal atau struktur sistem limbik subkortikal.
Ketika membandingkan subyek AD dengan atau tanpa gejala psikotik,
penelitian dengan Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT) dan
Positron Emission Tomography (PET) menunjukkan penurunan
perfusi di lobus frontal dan temporal. Kuantitatif EEG (qEEG) pasien AD
dengan gejala psikotik menunjukkan disfungsi otak yang lebih parah (peningkatan
delta dan penurunan daya alfa) dibandingkan yang tanpa gejala ini, terlepas dari
keparahan demensia dan tanpa perbedaan topografi. Analisis visual EEG
menunjukkan bahwa pasien AD dengan waham dan halusinasi secara bermakna
mempunyai proporsi EEG yang abnormal secara moderat, dan analisis
spektral qEEG mengkonfirmasi sejumlah peningkatan aktivitas delta dan teta,
sehingga menunjukkan tingkat disfungsi serebral yang lebih besar. Penelitian
dengan pencitraan telah menunjukkan hubungan antara kelainan frontotemporal
dengan psikosis atau agitasi.
Perubahan Neurotransmitter4
A. Peran Serotonin
Beberapa gejala BPSD yang dapat terjadi karena kelainan pada sistem
serotonergik adalah mood depresi, kecemasan, agitasi, gelisah, dan agresivitas.
Neuron serotonergik berasal dari inti rafe dorsal dan median yang
mempersarafi banyak struktur dalam korteks dan sistem limbik. Proyeksi ini
secara luas memungkinkan sistem serotonergik untuk mengatur agresi, mood,
aktivitas makan, tidur, suhu, seksual, dan motorik. Oleh karena itu, perubahan
dalam fungsi sistem serotonergik pusat memiliki dampak klinis yang terlihat pada
perilaku.
Tabel berikut menggambarkan peranan reseptor serotonin dalam BPSD.
Tabel 2.2 Peranan Subtipe Serotonin pada BPSD
xxiv
Reseptor Gejala Perubahan pada AD
5-HT1
α1-post - -
xxv
β2-post ↑ cerebellum Agresi
C. Peran Dopamin
Pada demensia Lewy Body, metabolit dopamin secara bermakna menurun
pada pasien yang tidak berhalusinasi dalam hubungannya dengan kelainan
serotonergik (yakni, penurunan ikatan reseptor serotonergik 5-HT2 dan
penurunan metabolit 5-HT).
Sistem dopaminergik telah terlibat dalam depresi, perilaku agitasi, dan
psikotik pada pasien yang tidak demensia, dan dengan demikian sistem ini
memiliki potensi secara langsung mempengaruhi BPSD. Penelitian post mortem
telah menunjukkan pada pasien AD terdapat gangguan dalam sistem
dopaminergik dibandingkan dengan subyek kontrol.
D. Peran GABA
xxvi
interneuron lokal untuk neurotransmitter lain yang merupakan kunci dalam
mengendalikan perilaku. GABA mempengaruhi fungsi perilaku melalui interaksi
dengan serotonin.
Keterlibatan neurotransmitter GABA telah ditunjukkan dalam perilaku
seperti agresi, dimana peningkatan GABA dikaitkan dengan penurunan agresi.
E. Peran Asetilkolin
Cummings dan Back menunjukkan bahwa defisit kolinergik dapat
berkontribusi pada gejala seperti psikosis, agitasi, apati, disinhibisi, dan perilaku
motorik menyimpang. Defisit dalam sistem kolinergik terutama timbul pada
basal otak depan dan memproyeksikan ke korteks. Terdapat penurunan penanda
kolinergik
kolin asetiltransferase (CHAT) dan asetilkolinesterase (ACHE) pada
korteks, khususnya korteks temporal; kehilangan bermakna dalam nukleus
basalis Meynert; dan pengurangan densitas reseptor muskarinik 2 (M2)
presinaptik. Peningkatan reseptor M2 muskarinik kolinergik telah ditemukan pada
korteks frontal dan temporal pada pasien AD dengan gejala psikotik.
G. Disfungsi Neuroendokrin
Pada pasien AD, kadar somatostatin, vasopresin, corticotropin-releasing
hormone (CRH), substansi P, dan neuropeptida Y secara bermakna
berkurang di daerah kortikal dan sub kortikal otak, sedangkan kadar dari
galanin peptida meningkat. Namun, di hipotalamus, kadar somatostatin,
vasopresin, dan neuropeptida Y seperti galanin Anmeningkat secara bermakna,
dapat menyebabkan agitasi, gelisah, gangguan tidur dan gejala yang terkait
xxvii
dengan stres.
xxviii
Antipsikotik pada BPSD pada Lansia
1. Risperidone
Penggunaan Risperidone dalam rentang dosis fleksibel 0,5-2mg/hari untuk
mengatasi agresi, agitasi dan gangguan psikotik pada 34 pasien demensia rawat
inap dengan rata-rata usia 76 tahun. Hasilnya terjadi perbaikan gejala yang dinilai
dari Clinical Global Impression (CGI) pada 82% responden penelitian. Frekuensi
dan keparahan halusinasi, waham, agresi dan iritabilitas juga menurun, yang
dilihat dari rating Neuropsychiatric Inventory (NPI). Penggunaan risperidone pada
kelompok tersebut juga tidak membuat perubahan pada fungsi kognitif pasien
yang dilihat melalui skor Mini-Mental State Examination (MMSE), Age
Concentration Test [AKT] dan Brief Syndrome Test [SKT]. Risperidone juga
secara umum dapat ditoleransi dan tidak menimbulkan efek samping ekstra
piramidial yang bermakna.10
Penelitian yang melibatkan lebih banyak pasien dan tempat dilakukan oleh
Arriola et al pada 263 pasien dengan rata-rata usia 75,5 tahun. Dosis risperidone
yang digunakan pada penelitian (rata-rata(SD)) adalah 1,4 (0,7) mg/day pada 1
bulan dan 1,5 (0,8) mg/hari pada 3 bulan. Perbaikan gejala diukur
menggunakan Neuropsychiatric Inventory (NPI) dan skala Clinical Global
Impression of Severity (CGI-S). Hasilnya terdapat penurunan skor NPI dan CGI-S
yang secara statistik bermakna. Perbaikan gejala terutama pada gejala agitasi/
agresif dan ganguan tidur. Penelitian tersebut juga mencatat adanya perbaikan dari
gejala ekstrapiramidal.11 Penelitian lain melibatkan pengumpulan data dari tiga
penelitian acak dengan menggunakan plasebo (randomized, placebo-controlled
trials) untuk melihat efikasi dan keamanan risperidone dalam mengobati agitasi,
afresi dan gejala psikosis pada pasien demensia usia lanjut pada panti werdha.
Dosis rata-rata yang digunakan adalah 1mg/hari. Ditemukan adanya perbaikan
skor CGI, Cohen-Mansfield agitation inventory (CMAI) dan behavioral pathology
in Alzheimer’s disease (BEHAVE-AD) pada semua responden penelitian yang
menggunakan risperidone dibandingkan plasebo. Penelitian tersebut seperti
penelitian yang lain yang menggunakan risperidone juga tidak menemukan
xxix
adanya efek samping ortostatik, antikolinergik, jatuh dan penurunan kognitif pada
penggunaan sesuai rentang dosis pada penelitian.12
2. Quetiapine
Penelitian yang dilakukan oleh Rainer et al yang membandingkan penggunaan
quetiapine dengan risperidone pada pasien dengan gangguan perilaku dan
psikologis karena demensianya memperlihatkan bahwa pada dosis rendah
keduanya secara sebanding efektif dan dapat ditolerir pada pengobatan pasien
yang mengalami gangguan perilaku dan psikologis akibat demensia. Penelitian
tersebut juga memperlihatkan tidak adanya perubahan pada fungsi kognitif yang
diukur dengan skor MMSE dan Ageadjusted Concentration Test (AKT) pada dua
kelompok yang mendapat obat yang berbeda. Pada penelitian tersebut rerata dosis
quetiapine yang digunakan adalah 77±40mg/hari sedangkan risperidone
0,9±0,3mg/hari.13
3. Olanzapine
Data mengenai penggunaan olanzapine lebih terbatas daripada risperidone.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Madhusoodanan et al, olanzapine terbukti
aman dan efektif pada populasi pasien geriatri dan menimbulkan efek samping
ekstrapiramidal yang minimal serta tidak mempengaruhi kondisi medis umum
pasien.14
Olanzapine juga dihubungkan dengan manfaat terhadap kognisi pasien geriatri
daripada dengan penggunaan haloperidol. Pada penelitian selama 6 minggu
berhubungan dengan penyakit Alzheimer, tidak terdapat peningkatan kejadian
sindrom ekstrapiramidal, penurunan kognitif dan efek antikolinergik sentral pada
pasien dengan penggunaan olanzapine dibandingkan dengan plasebo.14 Penelitian
yang melibatkan 94 pasien geriatri dengan gangguan psikosis yang dirawat inap
memperlihatkan terjadinya perubahan yang bermakna dari CGI-I dengan
penurunan gejala dari data awal penelitian rata-rata sebesar 52,6%. Hal ini juga
terjadi pada skor Brief Psychiatry Rating Scale (BPRS). Dosis olanzapine yang
digunakan berkisar antara 5-20mg/hari (rata-rata 10,1mg/hari). Pada penelitian
tersebut efek samping yang sering muncul adalah somnolen, dizziness,
bradikinesia dan kelemahan kaki. Terjadi juga peningkatan berat badan dan kadar
xxx
gula serta trigliserida puasa.15 Penelitian yang dilakukan Street et al dengan
jumlah pasien 204 membandingkan olanzapine dengan plasebo dalam
memperbaiki gejala psikologis dan perilaku pasien demensia Alzheimer.
Penelitian tersebut memperlihatkan terjadinya perbaikan gejala psikologis dan
perilaku pasien demensia Alzheimer dilihat dari skor Neuropsychiatric Inventory-
Nursing Home version (NPI-NH). Dosis olanzapine yang digunakan pada
penelitian ini adalah 5mg/hari. Beberapa pasien di dalam penelitian tersebut juga
menggunakan dosis olanzapine yang lebih tinggi yaitu 10mg/hari namun ternyata
tidak berbeda secara signifikan dalam memperbaiki gejala dibandingkan dengan
dosis olanzapine 5mg/hari.16 Efek samping somnolen dan peningkatan berat
badan juga ditemukan pada beberapa penelitian lain. Selain somnolen, dizziness
yang kemungkinan besar disebabkan oleh hipotensi pada penggunaan olanzapine
juga banyak dikemukakan. Dosis olanzapine yang diberikan di beberapa
penelitian pada populasi pasien usia lanjut berkisar 5-20 mg/hari.15-18 Namun
demikian peneliti melihat bahwa dosis yang lebih kecil berkisar antara 5-
7,5mg/hari ternyata merupakan dosis yang paling banyak memperlihatkan
efektifitas pengobatan.16
Prinsip umum penggunaan antipsikotik pada BPSD :17
Obat dapat diberikan pada situasi sebagai berikut :
a. Bila ada indikasi spesifik (contoh depresi, psikosis) tanpa memperdulikan
keparahan maupun frekuensi gejala
b. Bila gejala berat dan terapi diperlukan segera
c. Bila perilaku tidak memiliki pemicu yang jelas atau terjadi pada kondisi di
mana keluarga tidak dapat mengatasi gejala perilaku yang serius.
Obat kurang tepat diberikan pada kondisi berikut : wandering, restlessness dan
perilaku agitasi yang tidak membahayakan diri sendiri maupun orang lain.
Pada kasus perilaku yang tidak diprediksi akan membahayakan, peresepan
medikasi bila diperlukan dapat dilakukan. Meski demikian terapi tidak boleh
diberikan lebih dari dua kali sehari tanpa penilaian penyebab atau
pengembangan rencana perawatan yang tepat.
xxxi
Bagi yang membutuhkan medikasi rutin, pendekatan 3T diperlukan
Terapi obat harus memiliki Target gejala yang spesifik
Dosis awal harus rendah dan Titrasi naik dilakukan
Terapi harus Terbatas dalam hal waktu pemberian
Antipsikotik atipikal harus dilanjutkan pada
Pasien yang masih mengalami BPSD
Bila diperkirakan efek buruk dapat terjadi bila dihentikan
Bila tidak ada terapi alternatif yang dapat diberikan.
Rekomendasi
Terapi Psikofarmakologis4
xxxii
c. Antipsikotik Delirium pada Lansia
1. Patofisiologi1.2
xxxiii
oksiradikal dan pelepasan glutamat, suatu neurotransmitter eksitasi. Adanya
gangguan neurotrasmitter menyebabkan hiperpolarisasi membran yang akan
menyebabkan penyebaran depresi membran.
Berdasarkan tingkat kesadarannya, delirium dapat dibagi tiga :
1. Delirium hiperaktif
Ditemukan pada pasien dalam keadaan penghentian alkohol yang tiba-tiba,
intoksikasi phencyclidine (PCP), amfetamin dan asam lisergic dietilamid
(LSD). Pasien bisa tampakgaduh gelisah, berteriak-teriak, jalan mondar-
mandir atau hipotesis mengenai delirium.
2. Delirium hipoaktif
Ditemukan pada pasien hepatic encephalopathy dan hiperkapnia
3. Delirium campuran
Pada pasien dengan gangguan tidur, pada siang hari mengantuk tetapi pada
malam hari terjadi agitasi dan gangguan sikap. Mekanisme delirium belum
sepenuhnya dimengerti. Delirium dapat disebabkan oleh gangguan struktural dan
fisiologis. Hipotesis utama adalah adanya gangguan yang irreversible terhadap
metabolisme oksidatif otak dan adanya kelainan multiple neurotransmitter.
Asetilkolin
Obat-obat anti kolinergik diketahui sebagai penyebab keadaan acute
confusional states (bingung) dan pada pasien dengan gangguan transmisi
kolinergik seperti pada penyakit alzheimer. Pada pasien dengan post operatif
delirium, aktivitas serum anti kolinergik meningkat.
Dopamin
Diotak terdapat hubungan reciprocal antara aktivitas kolinergik dan
dopaminergik. Pada delirium,terjadi peningkatan aktivitas dopaminergik.
Gejala simptomatis membaik dengan pemberian obat antipsikosis seperti
haloperidol dan obat penghambat dopamin.
Neurotransmitter lain
Serotonin : ditemukan peningkatan serotonin pada pasien hepatic
encephalopathy dan sepsis delirium. Agen serotoninergik seperti LSD dapat
pula menyebabkan delirium. Peningkatan inhibitor GABA (Gamma
xxxiv
aminobutyric acid) pada pasien dengan hepatic encephalopathy dapat
ditemukan. Peningkatan level ammonia terjadi pada pasien hepatic
encephalopathy, yang menyebabkan peningkatan pada asam amino glutamate
dan glutamin (kedua asam amino ini merupakan precursor GABA).
Penurunan level GABA pada susunan saraf pusat juga ditemukan pada pasien
yang mengalami gejala putus benzodiazepine dan alkohol.
Cortisol dan beta endorphins : pada delirium yang disebabkan glukokortikoid
eksogen terjadi gangguan pada ritme circadian dan beta-endorphin.
Mekanisme inflamasi
Mekanisme inflamasi turut berperan pada patofisiologi delirium, yaitu karena
keterlibatan sitokin seperti interleukin-1 dan interleukin-6, stress psychososial
dan gangguan tidur berperan dalam onset delirium. Inflamasi Delirium dapat
terjadi akibat gangguan primer dari luar otak, seperti penyakit infl amasi,
trauma, atau prosedur bedah. Padabeberapa kasus, respons inflamasi sistemik
menyebabkan peningkatan produksi sitokin, yang dapat mengaktivasi
mikroglia untuk memproduksi reaksi inflamasi pada otak. Sejalan dengan
efeknya yang merusak neuron, sitokin juga mengganggu pembentukan dan
pelepasan neurotransmiter. Proses inflamasi berperan menyebabkan delirium
pada pasien dengan penyakit utama di otak (terutama penyakit
neurodegeneratif ).
Mekanisme struktural
Formatio retikularis batang otak adalah daerah utama yang mengatur
perhatian kesadaran dan jalur utama yang berperan dalam delirium adalah
jalur tegmental dorsalis yang keluar dari formatio reticularis mesencephalic
ke tegmentum dan thalamus. Adanya gangguan metabolik (hepatic
encephalopathy) dan gangguan struktural (stroke, trauma kepala) yang
mengganggu jalur anatomis tersebut dapat menyebabkan delirium.
Kerusakan pada sawar darah otak juga dapat menyebabkan delirium,
mekanismenya karena dapat menyebabkan agen neuro toksik dan sel-sel
peradangan (sitokin) untuk menembus otak.
xxxv
Stres Faktor stres menginduksi sistem saraf simpatis untuk melepaskan lebih
banyak noradrenalin, dan aksis hipotalamuspituitari- adrenokortikal untuk
melepaskan lebih banyak glukokortikoid, yang juga dapat mengaktivasi glia
dan menyebab kan kerusakan neuron.20
xxxvi
pengobatan delirium telah menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan antara antipsikotik tipikal dan atipikal.6
Data empiris manfaat obat untuk mengatasi gejala sindrom delirium masih
terbatas. Beberapa obat antipsikotik mempunyai efek yang mampu menekan
berbagai gejala hiperaktif dan hipoaktif dari sindrom delirium; menjadi obat
pilihan utama pada fase akut (agitasi hebat, perilaku agresif, hostility, halusinasi,
atau gejala lain yang membahayakan dirinya). Untuk kondisi di atas haloperidol
masih merupakan pilihan utama. Dosis juga dapat ditingkatkan sesuai tanggapan
pasien. Dibandingkan dengan obat lain seperti chlorpromazine dan droperidol,
haloperidol memiliki metabolik dan efek antikolinergik, sedasi serta efek
hipotensi yang lebih kecil sehingga lebih aman. Dosis obat per oral pada
umumnya dapat diterima dengan baik, namun jika pasien tak mampu menelan
maka dapat diberikan intramuscular maupun intravena. Olanzapin dapat Beberapa
laporan kasus menunjukkan manfaat antipsikotik generasi kedua seperti risperidon
dan penghambat asetilkolin-esterase; masih diperlukan penelitian intervensional
lebih lanjut. Perlu dicatat bahwa penggunaan antipsikotik harus dimulai dengan
dosis rendah dan ditingkatkan secara bertahap jika diperlukan. Walau resiko efek
samping yang mungkin muncul rendah namun beberapa efek serius seperti
xxxvii
perpanjangan PT dan torsades de pointes, gejala ekstrapiramidal dan diskinesia
putus obat dapat terjadi.1,2,4
a) Farmakoterapi
Dua gejala utama delirium yang memerlukan terapi obat yaitu psikosis dan
insomnia. Obat yang dianggap cocok untuk psikosis adalah halolperidol.
Pemberian dosis obat tergantung umur, berat badan, dan kondisi pasien tersebut.
Pemberian halolperidol berkisar antara 2-10 mg intramuscular dan dapat diulang
satu jam kemudian bila pasien masih menunjukkan agitasi. Segera bila pasien
sudah tenang dapat diberikan obat secara peroral yang terbagi atas dua dosis yaitu
sepertiganya diberikan pada pagi hari dan dua pertiganya pada saat tidur. Untuk
mencapai dosis yang sama seperti suntikan. Maka jumlah dosis yang diberikan
peroral satu setengah kali dari dosis suntik. Dosis efektif halolperidol pada
kebanyakan penderita delirium berkisar antara5-50 mg.
Droperidol (inapsine) adalah suatu butyrophenon yang tersedia sebagai
suatu formula intravena alterbative, walaupun monitoring elektrokardiogram
adalah sangat penting untuk pengobatan ini. Golongan phenothiazine harus
dihindari pada pasien delirium, karena obat tersebut disertai dengan aktivitas anti
kolinergik yang bermakna.
Insomnia paling baik diobati dengan golongan benzodiazepine dengan
waktu paruh pendek atau hydroxizine (vistaril) 25 – 100 mg. Golongan
benzodiazepine dengan waktu paruh panjang dan barbiturat harus dihindari pada
pasien delirium karena obat tersebut telah digunakan sebagai bagian dari
pengobatan untuk gangguan dasar ( sebagai contoh : putus alkohol).
Pengobatan termasuk pengobatan pada penyakit yang mendasari dan
identifikasi medikasi yang mempengaruhi derajat kesadaran
Olanzapine (zyprexa) : adalah obat neuroleptic atipikal, dengan efek
ekstrapiramidal yang ringan, efektif untuk pengobatan delirium yang
disertai agitasi. Dosisnya dimulai dengan 2,5 mg dan meningkat sampai 20
mg per oral jika dibutuhkan. Olanzapine dapat menurunkan ambang kejang,
namun sisanya dapat ditoleransi dengan cukup baik.
xxxviii
Risperidone (risperidal) juga efektif dan dapat ditoleransi dengan baik,
dimulai dengan 0,5 mg 2x sehari atau 1 mg sebelum tidur, meningkat
sampai 3 mg 2x sehari jika dibutuhkan.
Haloperido (haldol) dapat digunakan dengan dosis rendah (0,5 mg – 2 mg
2x sehari), jika dibutuhkan secara intravena. Efek samping ekstrapiramidal
dapat terjadi,dapat ditambahkan dengan sedatif misalnya lorezepam diawali
0,5 mg – 1 mg setiap 3 – 8 jam jika dibutuhkan.
BAB III
KESIMPULAN
xxxix
DAFTAR PUSTAKA
xl
9. Hebert LE, Scherr PA, Bienias JL. Alzheimer disease in the US
population: prevalence estimates using the 2000 census. Arch Neurol.
2003;60(8):1119-22.
10. Kamajaya, Danu. 2014. Hubungan Depresi dan Demensia pada Pasien
Lanjut Usia dengan Hipertensi Primer [Skripsi]. Fakultas Kedokteran:
Universitas Diponegoro: Semarang. Tersedia pada:
http://eprints.undip.ac.id/44525/3/Danu_Kamajaya_22010110110028_BA
B_II.pdf. Diakses pada tanggal 28 Oktober 2019.
11. World Helath Organization. Dementia, April 2012, <
www.who.int/mediacentre/factsheets/fs362/en/ > [diakses 27 Oktober
2019].
12. Utami, Dian Cahaya. 2014. Behavioral And Psychological Symptoms Of
Dementia. Fakultas Kedokteran: Universitas Muhammadiyah Palembang.
Tersedia pada: Diakakses pada tanggal 27 Oktober 2019.
13. H, Juebin. Dementia. Merck Manual Home Health Handbook. 2008.
14. Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Edisi 6, ECG, Jakarta, 2006: 1134-1138.
15. Bird, Thomas D. Miller, Bruce L. 2006. Harrison’s Neurology in Clinical
Medicine: Alzheimer Disease and Other Dementias. McGrawHill.
16. Little, Ann A., Gomez-Hassan , Diana. 2010. Oxford American Handbook
of Neurology : Dementia . New York : Oxfor University Press.
17. Duus, Peter. 2005. Diagnosis Topik Neurologi : Anatomi , Fisiologi ,
Tanda , Gejala . Jakarta: ECG
18. Kaplan, Harold I. Sinopsis psikiatri; Ilmu Pengetahuan Prilaku Psikiatri
Klinis. 2010, hal 519-528.
19. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku Ajar Psikiatri. 2010 hal
99 – 105
20. Damping, Andri Cahries E.Majalah Kedokteran Indonesia. Peranan
psikiatri dan geriatri dalam penanganan pasien geriatri. 2007
21. http:/emedicine.medscape.com/article/288890-overview. Diakses pada
tanggal 5 November 2013.
22. Buchanan R. W, & Carpenter W.T.Jr, Kaplan and Sadock’s
Comprehensive Textbook of Phyciatry 7th edition, Philadelpia, Lippincott
Williams & Wilkins. 2000.
23. Miji Lee, Taeseung Kim, Sohyun Ah and Jeong Lan Kim. 2017.
Effectiveness of Antipsychotics on Delirium in Elderly Patients. Journal of
Psychiatry.
xli