Oleh:
Muhammad Zulfikar
70700120016
Supervisor
dr. Fanny Wijaya Sp.KJ
Oleh:
Pembimbing
Mengetahui,
Ketua Program Pendidikan Profesi Dokter
UIN Alauddin Makassar
ii
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan.................................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................2
2.1 Pengertian Obat Antipsikotik.........................................................................2
2.2 Jenis-Jenis Antipsikotik..................................................................................2
2.2.1 Atipsikotik Generasi Pertama (APG I)....................................................4
2.2. 2 Antipsikotik Generasi Kedua (APG II)................................................15
2.3 Interaksi Obat..............................................................................................23
BAB III KESIMPULAN........................................................................................24
BAB IV DAFTAR PUSTAKA..............................................................................25
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
menurun) pasien skizofrenia. Golongan antipsikotik tipikal umumnya hanya
berespon untuk gejala positif.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
- Phenothiazine
Rantai aliphatic : chlorpromazine
Rantai piperazine : perphenazine, trifluoperazine,
fluphenazine
Rantai piperidine : thioridazine
- Butyrophenone : Haloperidol
- Diphenyl-butyl-piperidine : pimozide
2 Antipsikotik atipikal :
- Benzamide : sulpiride
- Dibenzodiazepin : clozapine, olanzapine, quetiapine, zotepine
- Benzisoxazole : risperidon, aripiprazole
2
Sediaan obat antipsikotik 4
3
2.2.1 Atipsikotik Generasi Pertama (APG I)
Obat antipsikotik yang ada di pasaran saat ini, dapat di kelompokkan
dalam dua kelompok besar yaitu antipsikotik generasi pertama (APG I) dan
antipsikotik generasi kedua (APG II). Antipsikotik generasi pertama mempunyai
cara kerja dengan memblok reseptor D2 khususnya di mesolimbik dopamine
pathways, oleh karena itu sering disebut juga dengan Antagonist Reseptor
Dopamin (ARD) atau antipsikotik konvensional atau tipikal.Dapat menurunkan
gejala positif hingga 60-70% dan hanya sedikit berpengaruh pada gejala
negative.1,5
4
dengan antagonis reseptor dopamin (ARD) atau antipsikotik konvensional. Kerja
dari antipsikotik ini menurunkan hiperaktivitas dopamine dijalur mesolimbik
sehingga menyebabkan gejala positif menurun tetapi ternyata tidak hanya
memblok reseptor D2 di mesolimbik tetapi juga di tempat lain seperti dijalur
mesokortikal, nigrostriatal, dan tuberoinfundibular.1,5,8
Apabila antipsikotik tipikal memblok reseptor D2 dijalur mesokortikal,
dapat memperberat gejala negatif dan gejala kognitif disebabkan penurunan
dopamin di jalur tersebut. Jika hal ini terjadi, maka merupakan sebuah tantangan
terapi, karena blokade reseptor dopamin di jalur ini secara teoritis akan
menyebabkan memburuknya gejala negatif dan kognitif.5,8
Blokade reseptor D2 di nigrostriatal dapat menyebabkan timbulnya
gangguan dalam mobilitas seperti pada parkinson, bila pemakaian secara kronik
dapat menyebabkan gangguan pergerakan hiperkinetik (tardive dyskinesia). Jalur
nigrostriatal dopamin, sebagai bagian dari sistem saraf ekstrapiramidal,
mengontrol movements atau pergerakan.2,8
Blokade reseptor D2 di tuberoinfundibular oleh antipsikotik tipikal
menyebabkan peningkatan kadar prolaktin sehingga dapat terjadi disfungsi
seksual dan peningkat berat badan. Fungsi normal jalur dopamin
tuberoinfundibular menghambat pelepasan prolaktin. Pada wanita postpartum,
aktivitas di jalur ini menurun, sehingga memungkinkan laktasi.2,8
5
Antipsikotik selain menyebabkan terjadinya blokade reseptor D2 pada
keempat jalur dopamine, juga menyebabkan terjadinya blokade reseptor
6
berbagai antipsikotik juga menghambat reseptor noradrenergik, kolinergik, dan
histaminergik jadi menyebabkan bervariasinya sifat efek merugikan yang
ditemukan pada obat-obat tersebut.
Interferensi dengan transmisi dopaminergik dapat mengakibatkan efek
samping baik endokrinologis seperti hiperprolaktinemia, yang dapat
memanifestasikan dirinya sebagai galaktorea, amenorea dan ginekomastia, dan
efek samping ekstrapiramidal (EPS). Selanjutnya, penggunaan jangka panjang
dapat menyebabkan penambahan berat badan. Kombinasi dari semua efek
samping tersebut akan sangat mungkin mempengaruhi kualitas-kualitas hidup
pasien dan keinginan mereka untuk melanjutkan dan mematuhi terapi .1,2,3
7
1. Efek pada jantung
Antipsikotik potensi rendah lebih bersifat kardiotoksik dibandingkan
dengan antipsikotik potensi tinggi. Chlorpromazine menyebabkan
perpanjangan interval QT dan PR, penumpulan gelombang T, dan depresi
segmen ST. Thioridazine, khususnya memiliki efek yang nyata pada
gelombang T dan disertai dengan aritmia malignan, seperti torsade de pointes
yang sangat mematikan. Selain itu kematian mendadak juga disebabkan
karena timbulnya takikardia ventrikuler atau fibrilasi ventrikuler. Untuk
mengantisipasi hal tersebut sebaiknya pada pasien yang berusia lebih dari 50
tahun dilakukan pemeriksaan EKG serta pemberian serum potassium dan
magnesium.1
2. Hipotensi ortostatik (postural)
Hipotensi ortostatik (postural) terjadi akibat penghambatan adrenergic
yang paling sering disebabkan oleh antipsikotik potensi rendah, khususnya
chlorpromazine dan thioridazine. Keadaan ini terjadi selama beberapa hari
pertama terapi dan memiliki toleransi yang cepat yaitu sekitar 2-3 bulan.
Bahaya utama dari hipotensi ortostatik adalah adanya kemungkinan pasien
terjatuh, pingsan, dan mencederai dirinya.
Jika menggunakan antipsikotik potensi rendah intramuscular (IM),
tekanan darah pasien harus diperiksa sebelum dan setelah pemberian dosis
pertama dalam beberapa hari pertama terapi. Bila diperlukan edukasi tentang
efek kemungkinan terjatuh dan pingsan akan sangat membantu pasien
sehingga pasien akan lebih berhati-hati. Bila hipotensi terjadi pada pasien
yang mendapatkan medikasi, gejala biasanya dapat ditangani dengan
membaringkan pasien dengan kaki lebih tinggi dibandingkan kepala. Ekspansi
volume dengan cairan sangat membantu. Pemberian epinefrin
dikontraindikasikan karena dapat memperburuk hipotensi. Metaraminol dan
norepinefrin sebagai agen pressor adrenergic α-1 murni adalah obat terpilih.
Untuk antipsikosis dosis dapat diturunkan atau diganti dengan obat yang tidak
menghambat adrenergic.1,5,8
8
3. Efek hematologis
Gangguan hematologis yang membahayakan yang dapat terjadi akibat
pemakaian antipsikotik tipikal seperti chlorpromazine, thioridazine dan pada
hamper semua antipsikotik adalah agranulositosis. Agranulositosis adalah
suatu kumpulan gejala yang ditandai dengan penurunan bermakna jumlah
granulosit yang beredar, neutropeni berat yang menimbulkan lesi-lesi di
tenggorokan, selaput lendir lain, saluran cerna dan kulit. Pada kebanyakan
kasus, gejala ini disebabkan oleh sensitasi terhadap obat-obatan, zat kimia,
radiasi yang mempengaruhi sumsum tulang dan menekan granulopoiesis.
Agranulositosis paling sering terjadi selama tiga bulan pertama terapi
dengan insidensi sekitar 5 dari 10.000 pasien yang diobati dengan antipsikotik.
Jika pasien melaporkan adanya suatu nyeri tenggorokan atau demam, hitung
darah lengkap harus segera dilakukan untuk memeriksa kemungkinan
terjadinya agranulositosis. Jika indeks darah rendah, antipsikotik harus segera
dihentikan. Angka mortalitas dari komplikasi setinggi 30%. Purpura
trombositopenia, anemia hemolitik, atau pansitopenia kadang-kadang dapat
terjadi pada pasien yang diobati dengan antipsikotik. 1
9
preparat laksatif biasa, tetapi kondisi ini masih dapat berkembang menjadi
ileus paralitik. Pada kasus tersebut diperlukan penurunan dosis atau
penggantian dengan obat yang kurang antikolinergik. Pilocarpine mungkin
berguna pada beberapa pasien dengan retensi urin. 1,5,8
5. Efek Endokrin
Penghambatan reseptor dopamine pada saluran tuberinfundibular
menyebabkan peningkatan sekresi prolaktin, yang dapat menyebabkan
pembesaran payudara, galaktorea, impotensi pada laki-laki, dan amenore serta
penghambatan orgasme pada wanita. Untuk mengatasi efek samping tersebut
dapat dilakukan penggantian obat antipsikotik yang diberikan. Pada keadaan
impotensi sebagai efek obat dapat diberikan bromokriptin. Untuk gangguan
pada orgasme maupun penurunan libido dapat diberikan brompheniramine
(bromfed), ephedrine (Primatene), phenylpropanolamin (Comtrex), midrione,
dan imipramin (tofranil). Priapisme dan laporan orgasme yang nyeri juga
dilaporkan, kemungkinan kedua hal tersebut terjadi akibat aktivitas antagonis
adrenergic α1. Peningkatan berat badan juga merupakan efek endokrin yang
paling sering terjadi akibat penggunaan antipsikotik tipikal. Peningkatan berat
badan nantinya akan menjadi resiko terjadinya DM tipe 2, hipertensi dan
dislipidemia. Peningkatan berat badan juga didaptkan karena adanya blok pada
reseptor 5 HT2c1,5,8.
6. Efek Dermatologis
Dermatitis alergik dan fotosensitivitas dapat terjadi pada sejumlah
kecil pasien, paling sering terjadi pada mereka yang menggunakan
antipsikotik tipikal potensi rendah, khusunya chlorpromazine. Berbagai erupsi
kulit seperti urtikaria, makulopapular, peteki, dan erupsi edematous telah
dilaporkan. Erupsi terjadi pada awal terapi, biasanya dalam minggu pertama
dan menghilang dengan spontan. Reaksi fotosensitivitas yang menyerupai
proses terbakar matahari (sunburn) yang parah juga terjadi pada beberapa
pasien yang menggunakan chlorpromazine. Pasien harus diperingatkan
tentang efek tersebut, yaitu agar tidak berada dibawah sinar matahari lebih
10
dari 30-60 menit, dan harus menggunakan tabir surya. Penggunaan
chlorpromazine juga disertai beberapa kasus diskolorasi biru-kelabu pada kulit
pada daerah yang terpapar dengan sinar matahari. 1
7. Efek pada Mata
Thioridazine disertai dengan pegmentasi ireversibel pada retina bila
diberikan dalam dosis lebih besar dari 800 mg sehari. Gejala awal dari efek
tersebut kadang-kadang berupa kebingungan nocturnal yang berhubungan
dengan kesulitan penglihatan malam. Pigmentasi dapat berkembang menjadi
kebutaan walaupun thioridazine dihentikan karena tidak bersifat reversible.
Chlorpromazine berhubungan dengan pigmentasi mata yang relatif
ringan, ditandai oleh deposit granular coklat keputihan yang terpusat di lensa
anterior dan kornea posterior yang dapat timbul bila pasien mengingesti 1-3
kg chlorpromazine selama hidupnya. Deposit dapat berkembang menjadi
granula putih opak dan coklat kekuningan. Keadaan ini hampir tidak
mempengaruhi penglihatan pasien. 5,8
8. Ikterus
Ikterus obstruktif atau kolestatik adalah suatu efek samping yang
relative jarang terjadi dalam penggunaan antipsikotik tipikal. Biasanya ikterus
muncul pada bulan pertama terapi dan ditandai oleh nyeri abdomen bagian
atas, mual, muntah, gejala mirip flu, demam, ruam, bilirubin pada urin dan
peningkatan bilirubin serum, alkali fosfatase dan transaminase hati. Jika
ikterus terjadi, maka terapi harus diberhentikan dan diganti. Ikterus dilaporkan
terjadi pada penggunaan promazine, thioridazine, dan sangat jarang terjadi
pada fluphenazine dan trifluoperazine. 3
9. Overdosis Antipsikotik
Gejala overdosis antipsikotik berupa gejala ekstrapiramidal, midriasis,
penurunan reflex tendon dalam, takikardia, dan hipotensi. Gejala overdosis
yang parah adalah delirium, koma, depresi pernapasan, dan kejang. Terapi
overdosis antipsikotik harus termasuk pemakaian arang aktif (activated
charcoal), jika memungkinkan lavage lambung dapat dipertimbangkan. Terapi
11
kejang dengan diazepam serta hipotensi dengan norepinefrin juga merupakan
terapi overdosis antipsikotik atipikal.1
12
aktivitas antikolinergik yang rendah.Penghambatan transmisi dopaminergik
dalam traktus nigrostriatal adalah penyebab dari parkinsonisme akibat
neuroleptik. 1
Gangguan berupa parkinsonisme ini dapat diobati dengan pemberian
obat antikolinergik, amantadine atau diphenhydramine. Antikolinergik harus
dihentikan setelah 4-6 minggu untuk menilai apakah pasien telah
mengembangkan suatu toleransi terhadap efek parkinsonisme sebab kira-kira
50% pasien dengan parkinsonisme akibat neuroleptik dapat meneruskan
terapi.Pemberian anti Parkinson seperti levodopa lebih baik jangan diberikan
karena akan memperbuuk gejala psikotiknya.1,3,8
Pada pasien lanjut usia, setelah antipsikotik dihentikan, gejala
parkinsonisme dapat terus berjalan sampai 2 minggu dan bahkan sampai 3
bulan sehingga perlu meneruskan pemberian antikolinergik setelah
menghentikan antipsikotik sampai gejala parkinsonisme pulih sepenuhnya. 1
13
tinggi IM. Mekanisme kerja diperkirakan merupakan suatu hiperaktivitas
dopaminergik di ganglia basalis yang terjadi jika kadar antipsikotik dalam SSP
mulai menurun diantara pemberian dosis. 1,3,8
Profilaksis dengan antikolinergik atau obat yang berhubungan
biasanya mencegah berkembangnya distonia, walaupun risiko terapi
profilaksis melebihi manfaatnya. Terapi dengan antikolinergik IM atau
diphenhydramine IV atau IM (50 mg) hampir selalu menghilangkan gejala.
Diazepam (10 mg IV), amobarbital (Amytal), caffeine sodium benzoate dan
hipnosis dilaporkan juga efektif. 1,3
3. Sindrom Neuroleptik Maligna
Sindrom neuroleptik maligna adalah komplikasi yang membahayakan
yang dapat terjadi setiap waktu selama pemberian terapi antipsikotik.Hal ini
dapat terjadi karena reaksi idiosinkrasi terhadap obat psikotik khususnya pada
long acting.1
Gejala motorik dan perilaku adalah rigiditas otot dan distonia,
akinesia, mutisme, obtundasi, dan agitasi. Gejala otonomik adalah
hiperpireksia, berkeringat dan peningkatan kecepatan denyut nadi dan tekanan
darah. Temuan laboratorium adalah peningkatan hitung sel darah putih,
kreatinin fosfokinase, enzim hati, mioglobin plasma, dan mioglobinuria,
kadang-kadang disertai dengan gagal ginjal. 1,3
Untuk pengobatan segera hentikan anti psikotik dan berikan perawatan
suprotif dan berikan obat dopamine agonist (bromokriptin 7,5-60 mg/h 3x
sehari, l-dopa2x 100 mg/h atau amantadine 200 mg/h). Menurut kepustakaan
lain, pengobatan dengan datrolene juga efektif dengan dosis 0,8-2,5 mg/kgbb,
setiap 6 jam iv, apabila gejala berkurang diberikan oral dengan dosis 100-200
mg/hari dapat ditambahkan bromocriptin dengan dosis 20-30 mg/hari dalam
4x pemberian, terapi berlangsung selama 5-20 hari, bila pada penanganan
SNM membaik maka pengobatan anti psikotik dapat dilanjutkan kembali.1,3
4. Efek Epileptogenik
Pemberian antipsikotik ternyata menyebabkan perlambatan dan
peningkatan sinkronisasi EEG. Efek tersebut merupakan mekanisme dimana
14
antipsikotik menurunkan ambang kejang. Chlorpromazine dan antipsikotik
potensi rendah lain diperkirakan lebih epileptogenik dibandingkan obat
potensi tinggi. 1,3,5
5. Sedasi
Sedasi terutama merupakan akibat dari penghambatan reseptor
dopamine tipe-1. Chlorpromazine adalah antipsikotik yang paling
menimbulkan sedasi. Memberikan dosis antipsikotik harian sebelum tidur
biasanya menghilangkan masalah dari sedasi, dan toleransi untuk efek
merugikan tersebut dapat terjadi. 1,2
6. Efek Antikolinergik Sentral
Gejala aktivasi antikolinergik sentral adalah agitasi parah; disorientasi
terhadap waktu, orang dan tempat; halusinasi; kejang; demam tinggi; dilatasi
pupil. Stupor dan koma dapat timbul. Terapi toksisitas antikolinergik adalah
pertama menghentikan obat penyebab dan pemberian anticholinergic agents
seperti injeksi sulfas atropine 0,25 mg(im), tablet trihexyphenidyl 3x2mg/hari.
Hal ini juga dapat terjadi bila pengehntian mendadak dari antipsikotik. 1,3
1. Mesokortikal Pathways
15
Antagonis 5HT2A tidak hanya akan menyababkan berkurangnya blokade
terhadap antagonis D2 tetapi juga menyebabkan terjadinya aktivitas dopamin
pathways sehingga terjadi keseimbangan antara keseimbangan antara serotonin
dan dopamin. APG II lebih berpengaruh banyak dalam memblok reseptor 5HT 2A
dengan demikian meningkatkan pelepasan dopamin dan dopamin yang dilepas
lebih banyak dari pada yang dihambat di jalur mesokortikal. Hal ini menyebabkan
berkurangnya gejala negatif maka tidak terjadi lagi penurunan dopamin di jalur
mesokortikal dan gejala negatif yang ada dapat diperbaiki.
2. Mesolimbik Pathways
APG II di jalur mesolimbik, antagonis 5HT2A gagal untuk mengalahkan
antagonis D2 di jalur tersebut. jadi antagonsis 5HT2A tidak dapat mempengaruhi
blokade reseptor D2 di mesolimbik, sehingga blokade reseptor D2 menang. Hal ini
yang menyababkan APG II dapat memperbaiki gejala positif skizofrenia. Pada
keadaan normal serotonin akan menghambat pelepasan dari dopamin.1,6
3. Tuberoinfundibular Pathways
APG II di jalur tuberoinfundibular, antagonis reseptor 5HT2A dapat
mengalahkan antagonis reseptor D2. Hubungan antara neurotransmiter serotonin
dan dopamin sifatnya antagonis dan resiprokal dalam kontrol sekresi prolaktin
dari hipofise. Dopamin akan menghambat pengelepasan prolaktin, sedangkan
serotonin menigkatkan pelepasan prolaktin. Pemberian APG II dalam dosis terapi
akan menghambat reseptor 5HT2A sehingga menyebabkan pelepasan dopamin
menigkat. Ini mengakibatkan pelepasan prolaktin menurun sehingga tidak terjadi
hiperprolaktinemia.1,6
4. Nigrostriatal Pathways
16
APG II dalam klinis praktis, memiliki empat keuntungan, yaitu:
2.2.2.1 RISPERIDONE
Risperidone merupakan obat APG II yang kedua diterima oleh FDA
(Food and Drug Administration) sebagai antipsikotik setelah clozapine. Absorpsi
risperidone di usus tidak di pengaruhi oleh makanan dan efek terapeutik nya
terjadi dalam dosis rendah, pada dosis tinggi dapat terjadi EPS. Pemakaian
risperidone yang teratur dapat mencegah terjadinya kekambuhan dan menurunkan
jumlah dan lama perawatan sehingga baik digunakan dalam dosis pemeliharaan.1
17
memperbaiki fungsi kognitif tidak hanya pada skizofrenia tetapi juga pada
penderita demensia misalnya demensia Alzheimer.
Indikasi :
Dosis :
- Kadar puncak plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian
oral.1,3
18
Efek samping: 1,3
- EPS
- Peningkatan prolaktin (ditandai dengan gangguan menstruasi,
galaktorea, disfungsi seksual)
- Sindroma neuroleptik malignan
- Peningkatan berat badan
- Sedasi
- Pusing
- Konstipasi
- Takikardi
2.2.2.2 CLOZAPINE
Merupakan APG II yang pertama dikenal, kurang menyebabkan timbulnya
EPS, tidak menyebabkan terjadinya tardice dyskinesia dan tidak terjadi
peningkatan dari prolaktin. Clozapine merupakan gold standard pada pasien yang
telah resisten dengan obat antipsikotik lainnya. Profil farmakoligiknya atipikal
bila dibandingkan dengan antipsikotik lain. Dibandingkan terhadap psikotropik
yang lain, clozapine menunjukkan efek dopaminergik rendah, tetapi dapat
mempengaruhi fungsi saraf dopamin pada sistem mesolimbik-mesokortikal otak,
yang berhubungan dengan fungsi emosional dan mental yang lebih tinggi, yang
berbeda dari dopamin neuron di daerah nigrostriatal (darah gerak) dan
tuberoinfundibular (daerah neruendokrin). 1
19
sehingga pemberiannya dianjurkan 2 kali dalam sehari. Distribusi dari clozapine
dibandingkan obat antipsikotik lainnya lebih rendah. Umunya afinitas dari
clozapine rendah pada reseptor D2 dan tinggi pada reseptor 5HT2A sehingga
cenderung rendah untuk menyebabkan terjadinya efek samping EPS. 1,3,8
Dosis :1,3
Kontra indikasi :
- Koma.
- Depresi SSP.
20
- Gangguan liver.
2.2.2.3 OLANZAPINE
Merupakan derivat dari clozapine dan dikelompokkan dalam golongan
Thienobenzodiazepine. Absorpsi tidak dipengaruhi oleh makanan. Plasma puncak
olanzapine dicapai dalam waktu 5 jam setalah pemberian oral, sedangkan pada
pemberian intramuskular dapat dicapai setelah 15-45 menit dengn waktu paruh 31
jam (antara 21-54 jam) sehingga pemberian cukup 1 kali sehari. 1,3
Indikasi :1,3
Dosis :1,3
21
- Untuk skizofrenia mulai dengan dosis 10 mg 1 x sehari.
Efek samping:
2.2.2.4 QUETIAPINE
Quetiapine merupakan antagonis reseptor serotonin (5HT1A dan 5HT2A),
reseptor dopamin (D1 dan D2), reseptor histamin (H1), reseptor adrenergik α1 dan
α2. Afinitasnya lemah pada reseptor muskarinik (M1) dan reseptor benzodiazepin.
Cleareance quetiapine menurun 40% pada penderita usia lanjut, sehinga perlu
penyesuaian dosis yang lebih rendah dan menurun 30%-50% pada penderita yang
mengalami gangguan fungsi hati. Cleareance quetiapine meningkat apabila
pemberiannya dilakukan bersamaan dengan antiepileptik fenitoin, barbiturat,
carbamazepin dan antijamur ketokonazole.1,2,3
22
adalah somnolen, hipotensi postural, pusing, peningkatan berat badan, takikardi,
dan hipertensi. 1,3
2.2.2.5 ARIPIPRAZOLE
Merupakan antipsikotik generasi baru, yang bersifat partial agonis pada
reseptor D2 dan reseptor serptonin 5HT1A serta antagonis pada reseptor serotonin
5HT2A. Aripiprazole bekerja sebagai dopamin sistem stabilizer artinya
menghasilkan signal transmisi dopamin yang sama pada keadaan hiper atau hipo-
dopaminergik karena pada keadaan hiperdopaminergik aripiprazole afinitasnya
lebih kuat dari dopamin akan mengeser secara kompetitif neurotransmiter
dopamin dan berikatan dengan reseptor dopamin. Pada keadaan
hipodopaminergik maka aripiprazole dapat menggantikan peran neurotransmiter
dopamin dan akan berikatan dengan reseptro dopamin. 3,7,8
Indikasi : Skizofrenia.
Dosis : dosis anjuran 10—15mg/hari dan sedian tablet (5mg, 10mg dan 15mg).
Pemberuannya dapat 10 atau 15 mg 1 x sehari.
Efek samping :
- Sakit kepala.
23
- Mual, muntah.
- Konstipasi.
- Akhatisia.
24
BAB III
KESIMPULAN
25
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
26
http://psychopharmacologyinstitute.com/antipsychotics/first-generation-
antipsychotics/
10. Medlibes online medical library. Dopamine Pathways. Accessed on : 10
April 2021.Available at : http://medlibes.com/entry/dopamine-pathways
11. Episodes Self-Negotiated Unit: Side Effects of Atypical Antipsychotic
Drugs..Accessed on 10 April 2021 .Available at :
http://followpics.co/episodes-self-negotiated-unit-side-effects-of-atypical-
antipsychotic-drugs
27